cerpen

6
Hari itu, Sabtu. Dua hari menjelang lebaran yang ke-duapuluh tiga semenjak aku terlahir di dunia. Entah apa yang kurasa saat itu, hatiku debarnya mulai tak menentu. Apakah mungkin karena hari itu hari kepulanganmu dari perantauan? Lalu kenapa, bukankah setiap tahunnya ini adalah hal yang biasa? ataukah aku Fani, mulai mengharapkan perasaan lebih dari sebuah persahabatan denganmu Andre, yang terjalin semenjak kita berseragam putih biru? Entahlah, yang jelas Aku begitu merindumu saat itu. Merindukan kebersamaan kita setahun sebelum itu. Meski aku tak tahu sebab pergimu, dan yang kuingat saat itu kau hanya inginBagaimana ketika itu kamu sering mengajakku menepi pada pinggiran danau di kota kita, sekedar meminjam telingaku untuk kau hujani dengan ceritamu baik ceria maupun duka-duka. Tentang rumitnya cinta yang pernah kau jalani dengan Dan ketika itu aku hanya bisa menimpali sepatah dua kata dengan kerutan dahi dan anggukan atau senyuman sesekali. Kamupun tak keberatan saat itu, karna kamu tahu aku perempuan yang pemalu dan jika berkata seperlunya saja. Dan ketika ada jeda dalam dialog kita, aku mengajakmu beradu lempar kerikil sampai sejauh tengah danau. Tentu saja aku takkan pernah menang melawanmu, walau kutahu pernah kamu mengalah untukku, entah untuk mengejek atau sekedar menghiburku. Semisal hari mulai senja, aku sering bertanya tentang burung-burung pulang, “Kemanakah mereka? Aku ingin terbang bersama mereka, Andre?” Dengan sigap kamu meraih tanganku dan bersiap untuk melontarkanku ke atas, “Oke, aku lempar dan terbanglah..!”, teriakmu. Kau selalu membuatku tersenyum dengan candamu seperti itu. Kau memang sosok sanguinis dan hal-hal positif selalu terpancar dari wajahmu. Kau hampir tak pernah kehabisan kata-kata dalam bercerita. Kau yang membuatku percaya bahwa persahabatan kita akan berjalan sampai masa tua, masa kita menimang cucu-cucu kita. Tidak akan ada yang mampu merusak persahabatan kita bahkan cinta sekalipun. Sampai pada ketika kau pergi meninggalkan kampung ini untuk bekerja di kota. Bukan untuk meninggalkan aku, sahabatmu, tapi

Upload: rerinranrun

Post on 21-Dec-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

cerita pendek

TRANSCRIPT

Page 1: Cerpen

Hari itu, Sabtu. Dua hari menjelang lebaran yang ke-duapuluh tiga semenjak aku terlahir di dunia. Entah apa yang kurasa saat itu, hatiku debarnya mulai tak menentu. Apakah mungkin karena hari itu hari kepulanganmu dari perantauan? Lalu kenapa, bukankah setiap tahunnya ini adalah hal yang biasa? ataukah aku Fani, mulai mengharapkan perasaan lebih dari sebuah persahabatan denganmu Andre, yang terjalin semenjak kita berseragam putih biru?

Entahlah, yang jelas Aku begitu merindumu saat itu. Merindukan kebersamaan kita setahun sebelum itu. Meski aku tak tahu sebab pergimu, dan yang kuingat saat itu kau hanya inginBagaimana ketika itu kamu sering mengajakku menepi pada pinggiran danau di kota kita, sekedar meminjam telingaku untuk kau hujani dengan ceritamu baik ceria maupun duka-duka. Tentang rumitnya cinta yang pernah kau jalani dengan Dan ketika itu aku hanya bisa menimpali sepatah dua kata dengan kerutan dahi dan anggukan atau senyuman sesekali. Kamupun tak keberatan saat itu, karna kamu tahu aku perempuan yang pemalu dan jika berkata seperlunya saja.

Dan ketika ada jeda dalam dialog kita, aku mengajakmu beradu lempar kerikil sampai sejauh tengah danau. Tentu saja aku takkan pernah menang melawanmu, walau kutahu pernah kamu mengalah untukku, entah untuk mengejek atau sekedar menghiburku. Semisal hari mulai senja, aku sering bertanya tentang burung-burung pulang,“Kemanakah mereka? Aku ingin terbang bersama mereka, Andre?” Dengan sigap kamu meraih tanganku dan bersiap untuk melontarkanku ke atas, “Oke, aku lempar dan terbanglah..!”, teriakmu.

Kau selalu membuatku tersenyum dengan candamu seperti itu. Kau memang sosok sanguinis dan hal-hal positif selalu terpancar dari wajahmu. Kau hampir tak pernah kehabisan kata-kata dalam bercerita. Kau yang membuatku percaya bahwa persahabatan kita akan berjalan sampai masa tua, masa kita menimang cucu-cucu kita. Tidak akan ada yang mampu merusak persahabatan kita bahkan cinta sekalipun.

Sampai pada ketika kau pergi meninggalkan kampung ini untuk bekerja di kota. Bukan untuk meninggalkan aku, sahabatmu, tapi untuk meningalkan hatimu yang tersakiti di kampung ini. Kau telah patah hati, katamu. Dan kau akan pergi untuk melupakan sakit-sakitnya. Perempuan yang biasa kau ceritakan itu telah mengingkari.

…………………

Sampailah aku di terminal bus itu pada pagi yang gerimis. Tempat dan waktu yang telah kau janjikan untukku menjemputmu pulang. Tempat yang dekat dari rumah kau juga aku, sehingga cukup berjalan kaki saja kita sampai ke sana. Dan tempat itulah yang juga satu tahun lalu aku mengiringimu pergi.

Kudapati peron bus yang penuh sesak oleh penumpang dan orang-orang yang menjemput rekan ataupun keluarganya. Hanya satu tempat duduk tersisa di sebelah ujung. Sebab itulah aku lebih memilih berdiri dekat dengan dimana bus yang kau tumpangi akan menepi. Agar mudah untuk kau ataupun aku saling menemukan nanti, pikirku ketika itu. Sementara gerimis tak henti-henti namun menderas menjadi-jadi.

Page 2: Cerpen

Aku berdiri, lalu sesekali bersandar pada tiang, sesekali memutar-mutar payung yang masih terlipat, dan sesekali melihat jam pada ponsel yang kugenggam erat. Sudah melewati empatpuluh lima menit dari waktu yang telah kau kabarkan tepat datang. Lalu angin yang membawa butiran hujan mulai memercik ke sekujur tubuhku. Aku tetap tak beranjak, bahkan melirik tajam ke jauh luar seakan menantang angin yang datang. Beberapa orang mulai memperhatikanku, dan aku hanya memberi mereka anggukan lalu senyuman. Merekapun membalas senyum. Barangkali mereka sudah tahu, bahwa orang yang kutunggu kedatangannya adalah orang spesial, orang yang sang sangat kucinta. Tapi benarkah begitu? Bukankah ia hanya sahabatku?

Detak jantungku semakin tak menentu manakala bus yang kau tumpangi datang dan parkir tepat di depanku berdiri, seolah tahu bahwa penumpang yang ia bawa hanya satu yaitu kau yang ia persembahkan hanya untukku. Seperti di negeri dongeng saja, pikirku.

Mesin bus dimatikan, pintu depan dan belakang bus tampak dibuka pelan. Satu persatu penumpang turun dan sambutan orang-orang membaur bersama pekikan tawa suka. Samar aku mulai melihat kau keluar dari pintu depan. Itu dia! Ya, itulah kau orang yang kutunggu. Namun, aku masih diam tak bergerak, terpaku oleh detak detak jantungku yang semakin memberat. Menoleh saja tak sanggup apalagi melangkah memberi sambut.

“Hai! Ngalamun…!!”

Suara itu, ya! Itu suaramu. Suara yang tiba-tiba membuyarkan kaku-kaku tubuhku, menjadi lemas lunglai. Baru tersadar bahwa sepersekian detik sebelumnya jantungku telah berhenti.

“Ah. Heii..” terkejut aku menjawab, bersama senyuman yang mengembang dari bibirku. Senyuman yang tulus, senyuman terimakasihku atas terbayarnya rinduku akan sapaanmu secara langsung untuk pertama kalinya setelah satu tahun lalu kau pergi. Lalu aku, menatapmu cukup lama, mencoba membacakan kerinduanku akan kau yang begitu dekat, melalui binar kedua mataku. Apakah kau tahu itu? Namun yang kudapati saat itu kau hanya tersenyum, singkat. Seketika itu aku baru tersadar bahwa kau yang berada di depanku bukanlah Andre yang dulu lagi. Tatapanmu pun tampak lain. Entah kenapa saat itu aku tiba-tiba ingin berlari lalu sembunyi. Malu. Aku malu kepadamu. Saat itu memang tak seperti hari-hari sebelum kau pergi dimana sempat aku berjanji untuk mengurangi rasa takut dan malu entah kepada siapapun itu bukan hanya kepadamu saja. Tapai saat itu beda, sebab kenyataannya kau juga berbeda.

Entah kenapa aku tak pernah paham, bagaimana ketika berada di dekatmu denyar nadiku bisa menjadi begitu lain. Ataukah mungkin karena ada sebuah ikatan yang kini telah berubah dari sekedar persahabatan antara aku—Amanda yang sangat centil—dengan engkau—Azward yang selalu pemalu?               Lalu aku, ketika akhirnya menyimak keretamu datang melambat dari kejauhan dengan lampu-lampunya yang nyala menembus rinai-rinai, jantungku seketika degab merancu. Aku

Page 3: Cerpen

mendengar suara-suara yang sangat keras muncul dari dalam dadaku. Lebih keras daripada suara hujan yang berkertapan di atas langit-langit peron, bahkan juga lebih tak beraturan daripada derak gerbong kereta yang membawamu pulang itu. Yang akhirnya satu persatu melintas jelas di depanku, dengan kaca-kaca pintu yang seolah berkata, “Tebak, dari mana akan keluar orang yang kau tunggu?”       Aku mencarimu dari satu pintu ke pintu yang lain, tapi tak kutemukan engkau. Mungkin karena kau tak benar-benar pulang seperti apa yang telah dikatakan keluargamu padaku, atau mungkin kau lebih dulu turun sebelum aku sampai pada pintu di mana engkau telah keluar berjalan.       TEP!       Dan akhirnya, tepukan yang hangat dan lembut itu mendarat juga di pundakku— tepukan tanganmu yang tetap sama seperti dulu. Seketika kerinduanku akan sentuhmu lunas. Apalagi saat aku tahu kalau kau tak pernah lupa dengan wajahku walaupun telah lima tahun kita tak pernah saling bertemu.       Ketika itu aku begitu lama menatap ke kedalaman matamu, tapi kau hanya tersenyum. Hingga akhirnya aku menjadi sadar kalau saat itu kau sudah tak lagi sama dengan Azward yang kukenal dulu. Entah kenapa, rasanya ketika itu aku jadi ingin sekali menundukkan kepala usai melihat caramu membalas tatapan mataku, seperti bagaimana dulu aku kau paksa untuk diam dan khidmat menyimak kesahajaan kata juga kerendah hatianmu. Dan saat itu, sekali lagi aku memutar cerita yang pernah kita lalui dalam kepalaku—mencoba menemukan kembali alasan kenapa aku ingin sekali berada di sampingmu.       Aku kembali ingat bagaimana dulu engkau tetap menerimaku sebagai sahabat kendati agama kita tak sama. Engkau kerap meyakinkanku bahwa perbedaan tak pernah menjadi sesuatu yang akan mampu memisahkan kita. Sehingga kau tak pernah ragu untuk mendengar bunyi lonceng gereja tempat aku bersembahyang karena kau suka. Dan demikian juga dengan aku, aku juga akhirnya tak pernah ragu mengakui kekagumanku akan kumandang adzan yang merdu dari puncak menara masjid tempat ibadahmu.       “Tuhan itu satu, hanya saja kita—kau dan aku—menyembahnya dengan cara yang berbeda.” Begitulah dulu engkau selalu berkata padaku jika hatiku gundah memikirkan jurang yang sekali waktu—mungkin—bisa memisahkan kita. Itulah juga yang akhirnya menjadi alasan kenapa aku selalu merasa nyaman jika berada di dekatmu.       Kau juga kerap mengatakan padaku kalau kebenaran hanya akan bisa muncul dari kebijaksanaan. Dan kesahajaanmu itulah yang membuatku merasa sangat kehilangan dirimu ketika engkau berlalu.        Lima tahun, kota besar yang mendidikmu, dan kesepianku karena kehilanganmu ternyata telah mengubah banyak hal dalam diri kita. Kau dan aku seperti telah bertukar mata, bahkan mungkin hati. Aku menjadi engkau yang pemalu yang hanya akan mengatakan hal-hal penting saja kalau bicara, dan engkau menjadi aku yang sanguinis dan tak pernah kehabisan kata-kata untuk terus bercerita..       Lebih dari itu, ternyata ketika itu aku melihat ada jarak yang terasa begitu berbeda saat kita berdiri dan berjalan pulang di bawah payung yang sama, kendati saat masih kanak-kanak dulu kita berdua begitu sering melakukannya. Mungkin saja karena masing-masing kita telah dewasa. Atau mungkin, jangan-jangan aku tak menyadari kalau saat itu kepadamu aku telah jatuh cinta.       Ingin sekali aku bertanya padamu satu hal saat itu, tapi ternyata kaulah yang lebih dulu mengatakan padaku sesuatu. Sesuatu yang ternyata begitu purna melindap segala rindu yang

Page 4: Cerpen

seharian itu membuncah dalam dadaku. Rindu itu hilang, lenyap bukan oleh karena aku sudah melihat keseluruhan dirimu. Namun oleh kabar yang bibirmu ujar.       Kau akan menikah pada bulan ke lima, begitulah katamu padaku sebelum aku sempat menanyakan apakah di kota engkau sudah punya seorang kekasih. Dan itulah alasan yang membuatku merasa kenapa ketika itu aku tak lagi pantas untuk merindukanmu.       Maka akhirnya aku memilih menghentikan langkahku saat kau bicara panjang lebar tentang calon pengantinmu. Kau begitu senang menceritakan kesempurnaannya, sampai tak sadar kalau aku telah kuyup berdiri di belakangmu.       “Kau bodoh, apa yang kau lakukan di sana?” Itulah yang kau kata sambil tertawa hari itu ketika kau sadar kalau aku sudah tak lagi sepayung denganmu..       “Sudah lama tidak main hujan-hujanan, kau mau ikut?” Dan aku tak pernah lupa seperti itulah aku menimpali tanyamu, dengan tanya lain yang hanya kau jawab dengan sedikit senyuman dan gelengan kepala di bawah payung yang tak juga kau katupkan.       Dan sebenarnya, jika aku berani memberitahumu. Hari itu, aku berhenti bukan karena aku ingin seperti apa yang aku katakan, namun tak lain karena aku tak ingin kau melihat Amanda yang dulu selalu kau kenal sebagai gadis tegar menangis di depanmu. Aku selalu percaya, bahwa hujan selalu dapat menyembunyikan air mata. Sebab itulah hari itu aku lebih memilih berdiri di bawah hujan agar kau tak bisa melihat air mataku.        Dan saat ini, dua tahun setelah hari itu. Aku bercerita tentangmu dan tentang itu semua kepada angin dan tetumbuhan perdu sambil menengadahkan wajah ke langit, di “Tanah Cerita” yang kini kian senyap sebab tak lagi ada engkau yang barang sejenak duduk diam seperti dulu. Aku sendirian. Begitu dingin, seperti hujan yang ketika itu menyambut kepulanganmu. (*)   Bekasi, Februari 2011