cerpen gus mus
TRANSCRIPT
91
BAB III
KH. MUSTOFA BISRI
DAN KUMPULAN CERPEN LUKISAN KALIGRAFI
A. RIWAYAT HIDUP KH. A. MUSTOFA BISRI
1. Latar Belakang Kehidupan
Mustafa Bisri lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944.
Beliau lahir dari pasangan KH. Bisri bin H. Zaenal Mustofa dan Hj.
Ma’rufah binti KH. Kholil Harun. Gus Mus adalah anak kedua dari
delapan bersaudara. Ketujuh saudara Gus Mus yang lain adalah: KH.
Kholil Bisri, KH. Adib Bisri, Hj. Faridah, Hj. Najihah, Nihayah, Labib
dan Hj. Atikah.1
Bakat menulis diperoleh dari ayahnya. Ayah Gus Mus, KH. Bisri
Mustofa adalah salah satu ulama terkenal pada waktu itu yang juga gemar
menulis. Salah satu hasil karyanya yang hingga sekarang masih digemari
oleh para pembaca ialah Kitab Tafsir Al Ibriz. Bakat menulis KH. Bisri
Mustofa juga tampak dalam penerjemahan kitab-kitab klasik yang
umumnya sulit dipahami oleh para santri, semisal: Fath al-Mu’in, Alfiyah
Ibnu Malik, Al-Iktsir dan Al-Baiquniyah. Tetapi oleh beliau diterjemahkan
ke dalam bahasa yang lugas dengan bahasa indah dan mudah dipahami. 2
KH. Bisri Mustofa juga sangat berpengaruh pada watak Gus Mus
yang kreatif, bebas dan gemar membuat karya seni. Watak bebas namun
bertanggung jawabmemang diterapkan pada semua keluarga dan keluarga
KH. Bisri Mustofa. Sebuah prinsip yang diajarkan Kyai Bisrri Mustofa
adalah semua boleh bebas asal tidak meninggalkan kewajiban pokok.
Dalam konteks ini yang dimaksud kewajiban pokok adalah melaksanakan
ibadah wajib dan mengikuti pengajian. 3
1 Abu Asma Anshari, dkk, Ngetan Ngulon Ketemu Gus Mus, Refleksi 61 Tahun KH.
Mustofa Bisri, (Semarang, HMT Foundation, 2005), hlm. 17. 2 Ibid., hlm. 30. 3 Ibid., hlm. 53
91
Sikap bebas dan egalitarian (tidak membedakan teman =
persamaan derajat) juga diperoleh Gus Mus selama belajar di Universitas
Al-Azhar, Mesir. Di sana, beliau berteman dengan beberapa rekan
diantaranya Gus Dur, Kyai Syukri Zarkasyi, Roem Rowi, Quraish Shihab
dan Alwi Shihab. Pada saat itu persahabatan di antara mereka tidak
terdapat sekat pembeda berdasarkan strata sosial atau ketokohan dalam
agama. Sikap egalitarian ini juga didukung dengan tradisi liwetan ala
pesantren yang dilakukan secara bergantian. 4
Jiwa seni Gus Mus telah terlihat sejak beliau berada di pesantren
Lirboyo. Menurut Kyai Abdul Aziz, Gus Mus sudah mampu menerapkan
ungkapan-ungkapan dengan syair Arab untuk menjelaskan tentang tidak
adanya keabadian selain Allah. “Kullu syai-in maa kholallahu baathilun,
wa kullu na’iimin lamahlakin zaailun” (segala sesuatu selain Allah akan
lenyap, dan segala kenikmatan yang kamu peroleh akan sirna). 5
Pada waktu Gus Mus belajar di Pesantren Krapyak, Jogja, beliau
banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku sastra hasil
penulis terkemuka nasional. Gus Mus juga sering jalan-jalan ke rumah-
rumah seniman Jogja, salah satunya ke rumah Affandi. Ia ingin sekali
melihat bagaimana cara sang maestro melukis. Dari pengalamannya ini
kemudian beliau mengambil spidol, pena atau cat air untuk membuat
corat-coret. Di kemudian hari kebiasaan ini akhirnya menghasilkan karya-
karya lukis yang berbobot, semisal lukisan kletet. 6
Kebiasaannya dalam bidang seni juga terus berkembang ketika
beliau kuliah di Mesir. Di sana beliau berdua bersama Gus Dur pernah
mengelola sebuah majalah organisasi. Gus Mus, oleh Gus Dur diminta
untuk mengisi ruang-ruang luang dengan puisi atau lukisan hasil
karyanya. 7
4 Ibid., hlm. 64. 5 Ibid., hlm. 43. 6 Ibid., hlm. 49. 7 Ibid., hlm. 62.
91
Secara lengkap, Gus Mus menempuh pendidikan di sekolah
Rakyat di Rembang; Pesantren Lirbayo, Kediri; Pesantren Krapyak,
Yogyakarta; Pesantren Taman Pelajar, Rembang; dan al-Qism al’Aalie lid
Diraasaati ‘Islamiyah wal ‘Arabiyah, Al-Azhar University, Cairo. Pernah
menjadi anggota DPRD Jawa Tengah periode 1987-1992, mewakili PPP
dan sekarang mengasuh di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin,
Rembang.8
Selain menulis, berceramah, dan baca puisi, Gus Mus, panggilan
akrab pengarang ini, juga mengajar di Pesantren Taman Pelajar Rembang,
selain juga menjadi Rais PBNU.
Menulis kolom, esai, cerpen, puisi di berbagai media massa:
Intisari, Amanah, Panji Masyarakat, DR, Horison, Jawa Pos, Tempo,
Forum, Kompas Suara Merdeka, Detak,Wawasan, Dumas, Bernas, dll.
Ia juga melukis. Karya-karya lukisnya pernah tampil dalam
pameran Tunggal Lukisan Kletet di gedung Pameran seni rupa
DEPDIKBUD Jakarta (1997); Pameran Lukisan bersama Amang Rahman
dan D. Zamawi Imron di Surabaya (2000); Pameran Lukisan bersama
pelukis-pelukis Ibukota, Bandung, dan Surabaya di Jakarta (2001);
Pameran Kaos Perdamean di surabaya (2001), di Gresik (2001), di
Rembang (2001), di Jakarta (2001); Pameran Lukisan bersama para
pelukis Ibukota, Bandung, Surabaya di Surabaya (2003).
Menikah dengan Siti Fatma, dikaruniai 6 (enam) anak
perempuan; Ienas Tsuroiya, Kautsar Uzmut, Raudloh Quds, Rabiyatul
Bisriyah, Nada dan Almas dan seorang anak laki-laki:Muhammad Bisri
Mustofa: 3 (tiga) orang menantu: Ulil Abshar Abdalla, Reza Shafi Habibi,
dan Ahmad Samton; 3 (tiga) cucu; Ektada Bennabi Muhammad, Ektada
Bilhadi Muhammad, dan Muhammad Ravi Hamadah.9
8 Pamusuk Eneste, Buku Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), hlm.
22-23. 9 A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hlm. 132-
134.
91
2. Karya-Karya Tulisnya
K.H.A Mustofa Bisri sangat produktif menulis. Selain menulis
puisi dan cerpen ayah dari tujuh anak ini , juga produktif menulis esai di
berbagai media terbitan ibukota dan daerah seperti : INTISARI, Amanah,
Panji Masyarakat, Editor, PELITA, Republika , Jawa Pos, Suara Merdeka,
Wawasan, Aula, Warta dan penerbit lainnya. Adapun sejumlah karya
tulisnya yang diterbitkan antara lain :
1. Ensiklopedi Ijmak ( terjemahan bersama K.H.M.A. Sahal Mahfudz,
Pustaka Firdaus, Jakarta)
2. Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya)
3. Awas, Manusia dan Nyamuk Yang Perkasa ( gubahan cerita anak-
anak, Gaya Favorit Press, Jakarta)
4. Maha Kyai Hasyim Asy’ari ( terjemahan, Kurnia Kalam Semesta,
Yogyakarta)
5. Saleh Ritual , Saleh Sosial : Esai-Esai Moral (Mizan Bandung)
6. Mutara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat , Yogyakarta, 2004)
7. Canda Nabi dan Tawa Sufi (Hikmah, Jakarta, )
8. Fikih Keseharian , Bunga Rampai Masalah-Malasah Keberagamaan
(Yayasan Pendidikan al-Ibriz, Rembang dan Al-Miftah, Surabaya,
1997)
9. Melihat Diri Sendiri (Gama Media, Yogyakarta)
10. Syair Asmaul Husna (Al-Huda, Temanggung)
11. Al-Muna, Terjemahan Syair Asmaul Husna (Al-Miftah, Surabaya)
12. Pesan Islam Sehari-Hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1999)
Sedangkan sebagai seorang penyair, kumpulan puisinya sudah 8
(delapan), yaitu :
1. Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (P3M, Jakarta dan kemudian Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1991)
2. Tadarus , Antologi Puisi ( Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993)
3. Pahlawan dan Tikus (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995)
91
4. Rubaiyat Angin & Rumput (Diterbitkan atas kerjasama Majalah
“Humor” dan PT. Matra Multi Media, Jakarta, 1995).
5. Wekwekwek (Risalah Gusti , Surabaya, 1996)
6. Gelap Berlapis-Lapis (Fatma Press, Jakarta)
7. Gandrung, Sajak-Sajak Cinta (Al-Ibriz, Rembang, 2000)
8. Negeri Daging (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002)
Sedangkan dalam bidang menulis cerpen, Gus Mus, baru
menyelesaikan satu kumpulan cerpen yaitu “Lukisan Kaligrafi” (Penerbit
Kompas, Jakarta, 2005).10
B. GAMBARAN KUMPULAN CERPEN LUKISAN KALIGRAFI
Sebagai seorang sastrawan, Gus Mus, telah banyak melahirkan karya
sastra berupa puisi. Namun beliau baru memulai membuat cerpen pada
pertengahan 2002 lewat cerpen Gus Jakfar yang diterbitkan di Harian
Kompas pada tanggal 23 Juni 2002. Kemudian setelah itu barulah ia aktif
menulis banyak cerpen yang dipublikasikan di berbagai surat kabar di
Indonesia.
Kemudian pada tahun 2003, atas jasa Joko Pinurbo, perwakilan dari
Kompas, cerpen-cerpen yang telah ditulisnya dijadikan buku dalam satu
kumpulan cerpen berjudul Lukisan Kaligrafi.11
Lukisan Kaligrafi merupakan kumpulan cerpen pertama dari KH.
Mustofa Bisri. Kumpulan ini berisi 17 cerpen yang sebenarnya telah
diterbitkan dalam surat kabar yang berbeda-beda. Judul kumpulan cerpen
Lukisan Kaligrafi sendiri diambil dari salah satu judul cerpen yang ada di
dalamnya.
Sama halnya dengan kebanyakan puisi Gus Mus yang bernuansa
Islami dan banyak mengandung nilai-nilai ajaran Islam, pada kebanyakan
cerpen Gus Mus selain bernuansa Islam dan mengandung nilai ajaran Islam
juga setting sosial yang diceritakan merupakan cerita keseharian yang sering
10 Inid. 11 Ibid., hlm. ix.
91
terjadi di kalangan umat Islam. Banyak sebutan tokoh dalam kumpulan cerpen
ini menggunakan simbol-simbol yang bernuansa Islami namun tetapi masih
mengandung kultur Jawa. Ambil contoh sebutan Gus, Kyai, Ning, dan lain-
lain merupakan sebutan dalam kultur Islam dan masyarakat jawa. Untuk lebih
mengerti isi cerita, secara rinci penulis akan memberikan gambaran cerpen
tersebut satu persatu.
1. Gus Jakfar
a. Tema : Manusia tidak boleh mendahului kehendak Allah.
b. Tokoh : Gus Jakfar, Kyai Saleh, Mas Bambang (pegawai Pemda),
Mas Guru Slamet, Lik Salamun, Pak Carik, Ustadz Kamil dan Mbah
Jogo (Kyai Tawakkal).
c. Gambaran Cerita
Gus Jakfar adalah salah seorang putra Kyai Saleh. Dari
beberapa putra Kyai Saleh, beliau-lah yang lebih mendapatkan
perhatian dari masyarakat. Hal ini dikarenakan kepandaiannya
membaca pertanda. Bahkan mengenai kepandaian ini, bapaknya
sendiri, Kyai Saleh, mengakui kehebatannya.
Pernah beliau membaca pertanda pada salah satu jamaah
pengajiannya. Beliau berkata, “Kang, saya lihat hidung sampeyan
kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya ?” Ternyata
keesokan harinya jamaah tersebut benar-benar meninggal.
Namun seluruh jamaah pengajiannya sontak dibuat kaget.
Pasalnya sejak Gus Jakfar menghilang beberapa hari lantas kembali,
beliau telah berubah. Beliau tak lagi mau membaca tanda-tanda, baik
tanda baik apalagi tanda jelek.
Di satu pihak kebiasaan baru Gus ini membuat senang
para jamaahnya yang kini tidak perlu takut lagi dibaca pertandanya
apabila sewaktu-waktu ingin rawuh ke dalemnya, namun di sisi lain
jelas ini membuat satu pertanyaan besar.
91
Hingga suatu hari beberapa dari jamaah tersebut
memberanikan diri untuk bertanya kepada Gus Jakfar perihal
kebiasaan baru Gus mereka itu.
Setelah ngobrol ke sana ke mari, akhirnya Gus Jakfar
menjawab. Bahwa ia tak lagi mau membaca pertanda adalah bermula
ketika ia bermimpi bertemu dengan ayahnya dan di suruh untuk ke
suatu tempat untuk berguru pada Kyai Tawakkal. Setelah bangun
Gus Jakfar pergi dan meghilang dari pesantren ayahnya untuk
bertemu dan mencari kyai yang tak ia kenal itu.
Setelah pencarian yang lama, beliau berhasil menemukan
Kyai Tawakkal atau yang oleh masyarakat sekitar dipanggil Mbah
Jogo. Namun betapa kagetnya Gus Jakfar ketika melihat tulisan pada
kening Mbah Jogo. Di sana tertulis kalimat ‘Ahli Neraka’. Pada
mulanya beliau mengira itu hanya halusinasinya sendiri. Namun
semakin dilebarkan matanya tulisan itu semakin terlihat jelas.
Gus Jakfar menjadi penasaran dan bertekad mencari
jawaban. Hingga pada suatu malam beliau berkesempatan (tepatnya
keberanian) untuk menguntit Kyai Tawakkal dari belakang. Ternyata
sang Kyai pergi ke warung dan di sana Kyai memesan kopi layaknya
para penduduk biasa. Yang mengherankan Gus Jakfar adalah sang
Kyai terlihat biasa bergaul dengan para wanita. Mulai yakinlah Gus
Jakfar bahwa pertanda di kening Kyai Tawakkal adalah benar.
Namun tiba-tiba Gus Jakfar ketahuan Kyai Tawakkal dan
diajak minum bersama di warung tersebut. Setelah tengah malam
beliau bersama Kyai Tawakkal pulang. Namun tidak melewati jalan
yang semula. Malam itu mereka berdua melewati sebuah sungai
besar. Kyai Tawakkal dengan santai berjalan di atas air untuk
menyeberangi sungai tersebut. Sedangkan Gus Jakfar terpaksa
berenang dengan susah.
Sesampainya di pinggir, Kyai Tawakkal atau Mbah Jogo
menasehati Gus Jakfar, “ Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat
91
cobaan Allah berupa anugrah. Cobaan berupa anugrah tidak kalah
gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Selain itu
siapa yang bisa memastikan bahwa kita yang dijuluki kyai akan lebih
mudah masuk surga ketimbang orang awam yang kurang mengerti
agama. Semua itu terserah yang kuasa. Kita hanya berusaha
menjalankan perintahnya. Sekali lagi perkara diterima atau tidak,
masuk surga atau neraka itu hak Allah semata. Jangan takabbur.”
2. Gus Muslih
a. Tema : Akhlak harus dijalankan terhadap siapa saja.
b. Tokoh : Gus Muslih, Golongan tua, Golongan Muda, Sopir.
c. Gambaran Cerita
Dia merupakan seorang kyai muda yang cerdas dan kritis,
lugas dan tegas dalam menyampaikan dakwahnya. Kalimat yang
paling ia suka ialah Qulilhaqqa walau kaana murran. Penggemarnya
adalah anak-anak muda karena bagi mereka Gus Muslih ini adalah
seorang pembaharu. Banyak kebiasaan yang sudah berjalan lama
dihujat dan dipertanyakan keberadaannya. Contohnya kebiasaan
keluarga yang mendapat musibah memberi uang salawat kepada kyai
atau modin ditentangnya habis-habisan. “Kalau yang mendapat
musibah orang berada tidak mengapa, tetapi orang miskin apa tidak
malah membuat musibah baru ?” begitu menurutnya.
Terhadap sikapnya ini ada yang setuju ada juga yang
menolak . mereka yang menolak umumnya golongan tua. Mereka
menganggapnya terlalu sok maju. “ Wong itu sudah tradisi ko’ mau
diutak-atik !”
Terhadap pendapat ini Gus Muslih dengan santai
menjawab, “Tradisi yang baik memang perlu dilestarikan, tetapi
yang jelek apa harus kita lestarikan? Kalau begitu, apa bedanya kita
dengan kaum Jahiliyah yang dulu mengecam Nabi kita yang mereka
anggap merusak tradisi yang sudah lama dijalankan nenek moyang
mereka ?”
91
Kelompok tua yang cenderung tidak setuju dengan Gus
Muslih ini serba salah. Pasalnya Beliau tidak seperti kyai muda
lainnya yang asal membasmi tradisi, yang mengecam selamatan dan
tahlilan.
Gus Muslih mau selamatan juga mau tahlilan. Bahkan ia
mau memimpin anak-anak muda ziarah ke makam Walisongo.
Beliau juga bisa menjawab pendapat kaum tua dengan argumen yang
cukup mematikan.
Suatu ketika tersebar berita Gus Muslih memelihara
anjing. Kaum muda yang menjadi pengikutnya tidak rela dan
menganggap berita ini sebagai fitnah. Kaum tua menjadi keheranan
setengah menghantamnya di setiap kesempatan. “Lihat itu, tokoh
yang kalian anggap sebagai pembaharu, dia tidak hanya berani
menyeleweng dari ajaran-ajaran orang tua tapi juga berani
melanggar adat keluarganya sendiri. Kalian kan tahu malaikat tidak
akan masuk ke rumah orang yang memelihara anjing. Sekarang
ketahuan belangnya.”
Karena cemburu dan panas, anak-anak muda
pendukungnya berusaha mencari kebenaran dan sumber dari berita
ini. Akhirnya ketahuan orang yang mula-mula menyebarkan berita
ini adalah seseorang dari kota P. namun sebelum bertemu dengan
orang yang mereka cari, mereka bertemu dengan Gus Muslih sendiri
dan berniat menanyakan kebenaran berita tersebut.
“Mengapa harus dibantah ?” tanya Gus Muslih kalem,
membuat semua yang merubungnya jengah. “Aku sekarang memang
sedang memelihara anjing.”
“Hah!” hampir semuanya kaget.
“Mengapa kalian begitu kaget ?” kata Gus Muslih masih
dengan nada kalem. Akhirnya Gus Muslih menceritakan awal mula
ia memelihara anjing. Suatu malam Gus ini pulang setelah
berceramah di kota P dengan diantar oleh seorang panitia
91
menggunakan mobil kijang barunya. Ketika melintasi jalan raya
beliau melihat sosok makhluk kecil bergerak-gerak ditengan jalan.
Dengan cepat Gus Muslih menyuruh sang panitia untuk
menghentikan kijang barunya dan kemudian beliau mengambil
benda tersebut yang ternyata seekor anjing kecil yang terluka
tertabrak mobil sebelumnya.
Melihat Gus Muslih masuk membawa anjing ke dalam
Kijang barunya, yang punya mobil seperti melihat hantu. “Lho Pak,
najis lho, pak!” teriaknya kaget setengah mati. Akhirnya Gus Muslih
menyarankan agar si panitia kembali dan Gus Muslih sendiri turun
dan memilih jalan kaki.
Sejenak Gus Muslih dilanda kesedihan. Sedih bukan
karena ditinggal sendirian. Tapi sedih karena ia teringat akan
ceramahnya yang baru saja selesai ia sampaikan. Ternyata
ceramahnya itu belum juga sampai dan diterima dilubuk hati
pendengarnya bahkan oleh panitia sendiri.
“Aku sedih, ternyata Ramadhan belum benar-benar
berpengaruh ke dalam sanubari kaum muslimin. Padahal pada bulan
Ramadhan kita telah mampu menaklukkan setan, namun ternyata
setelah Ramadhan selesai kita belum mampu menaklukkan nafsu
kebinatangan kita.”
Gus Muslih berhenti sejenak. Kemudian menceritakan
bahwa anjingnya sudah sembuh dan sudah diminta oleh Babah Ong,
tetangganya.
“Alhamdulillah!” gumam anak-anak muda yang dari tadi
setia mendengarkan. Entah gumam mensyukuri kesembuhan anjing
itu atau mensyukuri kini kyainya tidak lagi memelihara anjing
seperti yang dituturkan kaum tua.
91
3. Amplop- Amplop Abu-Abu
a. Tema : Orang tidaklah sempurna dan harus mau menerima
nasehat orang lain.
b. Tokoh : Aku (Mubaligh), Istri, Orang Misterius (Nabi Khidir).
c. Gambaran Cerita
Kejadian ini mulanya aku anggap kejadian biasa. Namun
setelah terjadi lima sampai enam kali aku menjadi kepikiran, pasti
bukan suatu kebetulan.
Pada bulan-bulan tertentu, sebagai mubalig, aku harus
keliling daerah memenuhi undangan mengisi pengajian. Hampir
setiap bulan aku keliling daerah yang berbeda untuk memenuhi
undangan ini. Capek juga rasanya. Ingin sekali sebenarnya aku
menghentikan kegiatan seperti ini. Selain karena harus menempuh
jarak yang cukup melelahkan, praktis waktu dengan keluarga
berkurang. Pasalnya setiap aku pulang, hampir istri dan semua
anakku sudah tidur.
Kalau pengajian ini jelas pengaruhnya pada jamaah sih
tidak jadi masalah. Ini tidak. Pengajian yang begitu intens dan begitu
tinggi volumenya itu seperti tidak ada hikmahnya. Tak membekas.
Yang bakhil ya tetap bakhil, yang jahat ya tetap jahat, pendeknya
seolah tidak ada korelasi antara pengajian dengan mereka yang di
beri pengajian.
Tapi biarlah, aku ceritakan saja pengalamanku. Biasanya
selesai memberi pengajian selalu aku melayani para jamaah yang
ingin bersalaman kepadaku. Pada saat itu, ada seorang jamaah yang
memberi salam tempel kepadaku, bersalaman sambil memberi
amplop. Mulanya aku tidak memperhatikan, bahkan aku anggap
orang itu salah seorang panitia.
Tapi setelah terjadi lagi pada pengajian berikutnya yang
bertempat jauh dari pengajian pertama, barulah aku mulai
memperhatikan wajah orang yang memberi salam tempel. Pada
91
waktu-waktu lain yang tempatnya berjauhan, kulihat memang yang
memberi salam tempel orang-orang itu juga. Orang yang selalu
berpakaian hitam-hitam, wajahnya bersih dan memiliki senyum yang
misterius. Tanpa berkata sepatah katapun, ia selalu menyelipkan
amplop yang merupakan buatan sendiri dan berwarna abu-abu. Jenis
warna kertas yang sangat jarang berada di desa-desa.
Sampai akhirnya aku suruh istriku untuk membuka
kembali seluruh amplop yang aku terima dari panitia- panitia
pengajian yang pernah kupenuhi undangannya. Memang aku hampir
sama sekali tidak pernah langsung membuka amplop-amplop
tersebut. Semua kuberikan pada istriku. Sampai akhirnya aku
temukan lima buah amplop abu-abu.
Aku mencoba mengurutkan tanggal-tanggal di lima
amplop tersebut. Kemudian membaca apa yang tertulis di masing-
masing amplop secara berurutan sesuai urutan tanggalnya. Aku
kaget. Semuanya justru nasehat untukku sebagai muballig.
Amplop pertama tertulis: “Ud’uu ilaa sabiili Rabbika
bilhikmati walmau’idzatil khasanah ….(ajaklah orang- orang kepada
Tuhanmu dengan jalan bijaksana dan nasehat yang baik…). Genuk,
Semarang, 8 Juli 2001.”
Amplop kedua: “Sebelum anda menasehati orang banyak,
sudahkah anda menasehati diri anda sendiri ? Cilegon, 11 Juli 2001”
Amplop ketiga: “amar ma’ruf dan nahi munkar seharusnya
disampaikan dengan cara yang ma’ruf juga. Beji, Tuban, 10
September 2001.”
Amplop keempat: ”Yassiruu wala tu’asiru ! (Berikan yang
mudah-mudah dan jangan mempersulit !) Duduk, Gresik, 4 Januari
2002.”
Amplop kelima: “Yaa ayyuhalladzina aamanuu lima
taquuluuna malaa taf’aluun ? Kabura maqtan indallahi antaquulu
malaa taf’alun ! (Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
91
mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak melakukannya ? Besar
sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang
kamu sendiri tidak melakukannya !) Batanghari, Lampung, 29 April
2002.”
Aku masih bingung, seingatku ada enam amplop abu-abu
yang pernah aku terima. Berarti masih kurang satu.
“Bu, benar hanya ini, amplop abu-abu itu ?” tanyaku.
“Benar, pak ! aku tidak lupa. Semua isinya sama, dua ratus
ribu.” Jawab istriku.
Aku masih mengingat-ingat jumlah yang pasti.
“Pak, lihat ini !” teriak istriku tiba-tiba. Masya Allah.
Kulihat lemari pakaian isteriku terbuka dan dari dalamnya
berhampuran uang ratusan ribu rupiah yang masih baru-baru. Di
antaranya kulihat terdapat amplop abu-abu. Berarti ini amplop
keenam itu.
Segera kubuka amplop itu dan kubaca isinya. Isinya:
”Wamal hayatud dunya illaa mata’ul ghurur! (Kehidupan duniawi
itu tidak lain hanya kesenangan yang memperdayakan !). Arafah, 9
Dhulhijah, 1418.”
Tidak seperti amplop-amplop yang lainnya, yang satu ini
juga terdapat tanda tangan dan nama sang pengirim, “Hamba Allah,
Khidir !” Subhanallah.
4. Bidadari Itu Dibawa Jibril
a. Tema : Amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara
yang bijaksana agar mengena pada sasaran.
b. Tokoh : Hindun. Mas Danu, Aku.
c. Gambaran Cerita
Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah
selalu memakai busana muslimah itu. Hindun seorang muslimah
yang taat kepada agama yang selalu jihad menegakkan amar ma’ruf
nahi munkar walau dimana saja. Kemudian sampai Hindun menikah
91
dengan Mas Danu, walau ia sudah berkeluarga, Hindun masih
bersemangat untuk mengikuti grup-grup pengajian yang ada di
daerahnya. Sebagai seorang jamaah yang baik, Hindun selalu
mengikuti semua yang diperintahkan oleh Imamnya. Menurut
Hindun, semua yang dikatakan oleh Imamnya selalu benar. Sampai
sampai dia jarang pulang dan banyak perubahan darinya, yang
mulanya dia membenci orang yang memelihara anjing tapi sekarang
sebaliknya dia malah pulang membawa anjing. Dan yang sangat
menyedihkan lagi Hindun keluar dari agama.
5. Ning Ummi
a. Tema : Kenikmatan di dunia tidaklah abadi
b. Tokoh : Ning Ummi, Ning Saudah, Nunik, Sri, Monah dan Mbak
Tiah.
c. Gambaran Cerita
Nama lengkapnya Ummi Salamah. Kawan-kawannya di
pesantren Tarbiyatut Mu’allimin (bagian putera) wal mua’llimat
(bagian puteri) memanggilnya Ning Ummi. Ning adalah panggilan
untuk anak perempuan kiai, seperti Gus untuk anak laki-laki. Ning
Ummi merupakan wujud yang sempurna dari ciptaan Allah. Orang
akan bingung dan sulit mengatakan apa yang paling istimewa pada
Ning Ummi, karena hampir semua yang ada pada dirinya istimewa.
Karena kesempurnaan tubuhnya dan kecerdasannya serta
aktivitasnya dalam berbagai kegiatan intern maupun ekstern
pesantren , maka tidak heran bila Ning Ummi Salamah binti Kiai
Abdur Rozzaq menjadi kembang dan sekaligus kebanggaan
pesantren.
Di kalangan santri-santri putera, Ning Ummi bagaikan
superstar, mengalahkan bintang-bintang film yang menjadi idola
saat itu. Banyak tulisan seputar Ning Ummi, dengan ungkapan-
ungkapan yang menggelitik, sengaja dipajang di gotakan-gotakan
tempat tinggal santri atau bahkan di dinding-dindinng kamar mandi
91
umum. Sebagian malah diberi gambar perempuan. Ada yang
singkat-singkat saja seperti : “O, Ummiku…….”, “Ummi+ Dullah”.
Ada yang seperti memo buat Ning Ummi : “I love you , Ummi, ana
bahibbik !”. Ada juga yang lebih “Konstruktif “, misalnya: “Kau
mau Ning Ummi, belajar sungguh-sungguh “? atau “mana mungkin
Ning Ummi mau dengan pemuda yang bodoh?!”.
Memang belum jelas benar, apakah coretan-coretan itu
ungkapan sebenarnya dari mereka untuk menyatakan perasaannya
pada Ning Ummi, ataukah itu semua hanya keisengan anak muda.
Namun hal itu cukup menjadi bukti bahwa Ning Ummi memang
menjadi pujaan pesantren, minimal di Tarbiyatul Mu’allimin-nya.
Sikap santri-santri puteri sendiri yang setiap hari bergaul
langsung dengan Ning Ummi yang kebetulan menjadi ketua
pengurus pondok puteri, ternyata tidak sama persis dengan santri
putera. Memang tidak sedikit yang mengagumi Ning Ummi
terutama kecantikan dan kepandaiannya. Namun ada juga yang
kurang menyukai puteri kiai Abdur Rozzaq ini. Seperti Ning
Saudah, yang mengatakan kepada teman-temannya yang sama
mencuci di plataran sumur pondok. Bahwa Ning Ummi ini anak
yang sombong dan suka merendahkan orang lain.
Nunik mengatakan kalau dia mendengar sendiri Ning
Ummi pernah berkata, “Pokoknya lebih baik tidak kawin bila
calon pelamarku hanya orang biasa-biasa saja. Percuma dong
belajar jauh-jauh, terus sepeti si Asiyah itu, Cuma kawin sama
carik, kasihan !. “katanya dia hanya mau kawin dengan lelaki
muda yang gagah dan ganteng, syukur punya kumis seperti Raj
Kapoor, aktor India yang terkenal itu. ” Tidak hanya muda,
gagah dan ganteng . Katanya calon suaminya itu juga mesti
pinter tidak hanya dibidang agama saja intelek plus atau kiai plus.
Ia tidak suka lelaki pas-pasan, apalagi minus. Kalau tidak percaya
apa yang aku katakan ini kamu semua boleh tanya kepada Fuah, Nur
91
dan Ning Iyah yang waktu itu bersama-sama saya mendengarkan
Ning Ummi berbicara tentang masa depannya!.( Setelah
mendengarkan cerita Nunik Ning Saudah bertambah yakin kalau
Ning Ummi ini anak yang sombong.)
“Tiba-tiba Mbak Tiah ,santri senior itu ikut komentar.
“Ning Ummi memang pantas mengidamkan suami yang demikian,
jarang ada santri perempuan yang seperti dia. Pikirannya maju,
Maaf, Ning Saudah ya ! melihat orang itu tidak boleh dengan kaca
mata negatif dan hanya sekilas. Saya tidak setuju jika Ning Ummi
dibilang sombong, saya kenal betul dengan dia. Dia itu selalu
berpikir bagaimana agar perempuan tidak selalu dicitrakan sebagai
makhluk yang lemah. Menurut dia, kaum perempuan tidak
seharusnya kalah dengan kaum laki-laki. Lihatlah program-
program yang dibuat Ning Ummi. Seperti kursus-kursus,
pelatihan-pelatihan, seminar dan lain sebagainya, itu semua
menunjukkan obsesinya yang begitu besar untuk memajukan kita
para santri perempuan ini, dan lebih jauh lagi: meningkatkan
martabat kaum perempuan .Kalau kadang-kadang dia terkesan
sombong menurut hemat saya, lantaran harga dirinya sebagai
perempuan memang begitu besar.
Dengan berakhirnya komentar Mbak Tiah, ternyata
berakhir juga pergosipan dipelataran sumur hari itu.
Setelah selang waktu yang cukup lama mereka baru
ketemu lagi di acara Haul. Haul pendiri Pesantren Tarbiyatul
Mu’alimin wal Mu’alimat, Almarhum kiai Fadoli Umar, kali ini
benar-benar meriah. Soalnya haul kali ini dibarengi dengan
HUT ke 50 berdirinya pondok pesantren. Santri lama dari
berbagai periode, baik putera maupun puteri, banyak yang hadir.
Suasana betul-betul istimewa, khususnya bagi santri lama itu. Ini
benar-benar merupakan reuni akbar. Diantara mereka banyak
yang sejak meninggalkan pesantren baru saling berjumpa
91
kembali saat itu. Tak heran bila mereka begitu asyik menikmati
perjumpaan mereka. Saling melepas rindu dan bernostalgia.
Di pondok puteri suasana tampak lebih semarak lagi
karena banyak santri lama yang dating dengan membawa anak-
anak mereka. “Geng-geng” yang dulu sering ngumpul di
plataran sumur pondok atau di aula kini pindah di ruang-ruang
tamu. Di setiap ruang tamu, berkumpul sesama kawan
seperiode. Disitulah mereka saling bercerita tentang
kehidupannya masing-masing selama meninggalkan pondok.
Kebanyakan dari mereka sudah berkeluarga dan punya
momongan, hanya Monah dan Sri yang belum punya
momongan , Kalau yu Monah katanya tidak mempunyai
keturunan mungkin gabuk, sedangkan Sri baru kawin tiga bulan
sudah ditinggal kabur suaminya.
“Setelah mereka saling menanyakan kabar dan sudah
bercerita kesana-kesini tiba-tiba mereka menanyakan kabar Ning
Ummi yang dari tadi belum datang, dan mereka semua tidak
pernah melihat Ning Ummi setiap acara haul selama ini. Diantara
mereka yang tahu tentang kabar Ning Ummi hanyalah Mbak
Tiah, itupun dari saudara Mbak Tiah yang tinggal di S, katanya
sepulang dari sini, Ning Ummi sempat aktif diorganisasi
kewanitaan dan bahkan menjadi ketua wilayah. Tapi kemudian
dia mengundurkan diri sebagai pengurus dengan alasan akan
pindah ke propinsi lain. Memang Ning Ummi pindah dari S ke
M”.
“Kata saudara saya, Ning Ummi dikawin oleh seorang
Kiai tua terkenal di M, dijadikan istri yang keempat.”
“He ! ” serentak semua yang mendengar terhenyak.
6. Iseng
a. Tema : Kehidupan dunia tidaklah kekal.
b. Tokoh : aku, Syahrazad Nurul Jannah.
91
c. Gambaran Cerita
Aku mendapat undangan berceramah di Jakarta. Panitia
menyediakan penginapan di sebuah hotel berbintang.
Dari Gambir aku langsung ke hotel. Di hotel aku
sempat subuhan sebelum kembali tidur, meneruskan tidurku
yang kurang nyenyak di kereta api. Siang hari baru aku
bangun, sedangkan acara yang harus aku hadiri baru nanti
malam.
Aku segera pesan makanan seteleh terlebih dahulu
kucari menu yang tepat melalui buku menu. Harganya memang
gila-gilaan, mahal. Tapi tak apa, semua ditanggung oleh panitia.
Habis pesan makanan, iseng kuraih buku telepon yang
tebalnya sebantal. Kubolak-balik. Tiba-tiba terbaca olehku
sebuah nama yang sangat kukenal. Nama yang tak lazim
dipakai di negeri ini, kecuali di negeri dongeng. Syahrazad
Nurul Jannah, begitu namanya. Tak mungkin ada yang bernama
sama. Tak mungkin ada nama seperti itu kecuali dia. Terbayang
olehku sosok wanita yang anggun dan penuh perhatian. Alim
dan rendah hati tapi berwibawa. Wanita yang benar-benar
wanita.
Dia sendiri bagiku memang istimewa. Mulai dari
namanya, wajahnya, bentuk tubuhnya, bicaranya, hingga
sikapnya dimataku memang lain dari yang lain. Aku sendiri
seperti kawan-kawan lelaki lain, merasa diperhatikan olehnya.
Jadi aku tidak berani menyimpulkan dia menganggapku
istimewa. Tapi hari ini dia memilihku untuk mengantarnya
dalam perjalanan yang jauh. Jangan-jangan aku memang
istimewa baginya.
Pagi-pagi benar aku sampai di asrama putri. Bel
kupencet, pintu terbuka dan hatiku berbunga-bunga. Dia sendiri
yang membuka pintu, seolah-olah dia telah menungguku.
91
Kawan-kawannya seolah membiarkan kami duduk berdua
menikmati kopi yang telah dia bikin khusus untukku. Setelah
pamitan kepada kawan-kawannya, kami-pun berangkat.
Di stasiun kereta kami benar-benar seperti sepasang
kekasih yang akan berpiknik. Dalam hati aku bersyukur pada
Tuhan yang telah mengabulkan keinginanku berduaan dengan
orang yang diam- diam sangat aku cintai.
“Udaranya enak ya ?” tiba-tiba ia memecahkan
kesunyian.
“Ya enak, ” kataku terbata-bata.
Diam lagi. Aku memandanginya begitu lama. Aku
yakin dia tahu aku perhatikan.
“Aku bawa roti, ” katanya saat mata kami bertemu.
“mau / atau mau minum ?”
“Nanti saja !” jawabku sambil terus memandanginya.
Diam lagi.
“Kau menyukaiku, ya ?” tiba-tiba suaranya yang biasa
menyambarku. Aku kaget. “ya, sejak lama.” Dan hampir aku
tidak percaya, dia mengulurkan tangannya yang lembut dan
menggenggam tanganku, sementara bibirnya tersenyum manis
sekali. “terima kasih ya, Mus !” katanya. Aku memejamkan
mata, merasakan kebahagiaan yang tiada tara.
Tiba-tiba bel berbunyi. Aku kaget dan meloncat
membuka pintu. Ternyata petugas hotel memabawa makanan
yang aku pesan. Membuyarkan lamunan indahku.
Sambil makan akau mencoba mengahadirkan kembali
masa laluku dengan Sahrazad Nurul Jannah. Gadis yang sampai
aku pulang dari Mesir dan berpisah dengannya, tak pernah aku
ketahui perasaan sebenarnya.
Sehabis shalat Maghrib, kawanku dan beberapa panitia
datang menjemputku. Ternyata pengajian di Ibukota tidak kalah
91
ramainya dengan pengajian di desa-desa. Bahkan yang mengisi
pengajian tidak hanya satu orang. Malam ini selain aku masih
ada tiga pembicara dari Jakarta sendiri. Satu diantaranya seorang
mubalighah yang menurutnya sangat terkenal di Ibukota.
Sebelum mubaligh kedua selesai bicara, hadirin agak
ribut sebentar ada rombongan ibu-ibu yang datang. Tampak
paling depan seorang wanita tua gemuk dengan pakaian
mencolok seperti umumnya pakaian tokoh penceraah yang
tampil di tv-tv. Ibu-ibu panitia pun tergopoh-gopoh menyambut
dan menempatkannya di tempat khusus yang sudah disediakan.
Beberapa saat setelah pembicara kedua turun,
pembawa acara mengumumka: “pembicara ketiga, mubalighah
yang kita nanti-natikan Ustazdah Dra. Hj. Srahrazad Nurul
Jannah, MA. Kepada beliau, waktu dan tempat kami
persilahkan.” Aku terkejut setengah mati mendengarnya. Lebih
terkejut lagi ketika wanita tua gemuk itu bangkit naik ke
mimbar. Dari tempat dudukku di depan mimbar aku
memperhatikan mubalighah itu tanpa berkedip. Benarkah dia ?
Aku mencoba-coba mencari-cari di wajahnya yang bergelambir,
barangkali masih ada sesuatu yang dapat mengingatkanku kepada
Srahrazadku yang dulu, tapi sia-sia. Aku justru tersadar bahwa
kami sudah berpisah dan tak saling bertemu selama tiga puluh
tahun lebih. Subhanallah !
7. Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi
a. Tema : Doa istri sholihah merupakan doa yang makbul.
b. Tokoh : Siti, Mat Sholeh, Polisi.
c. Gambaran Cerita
Saat pamit dua minggu yang lalu, suaminya berjanji
akan pulang sebelum lebaran. Kini lebaran tinggal satu hari
lagi dan belum ada kabar berita dari suaminyaitu. Sebagai
seorang istritentunya hatinya tidak tenang dan gelisah atas
91
keadaan suaminya yang jauh darinya tanpa ada kabar apapun,
mungkin karena ini menjelang lebaran, dan biasanya mereka
selalu berlebaran bersama. Mungkin juga berita-brita yang selalu
didengarnya turut mempengaruhi batinnya.
Setelah ledakan bom di Bali tampaknya semua orang
bias dicurigai atau diciduk oleh aparat, dan setiap rumahpun
bisa digeledah oleh polisi. Karena tidak pernah mengetahui apa
yang dikerjakan suaminya di luaran, yang ia ketahui hanyalah
suaminya berbisnis dan bisnisnya apa-pun dia kurang paham.
Karena menuurutnya, sebagai seorang istri yang berasal dari
desa tidak pantas menanyai macam- macam terhadap suaminya.
Tapi sekarang ini ia sangat gelisah dan was-was, jangan-jangan
bisnis suaminya merupakan kegiatan seperti yang dilakukan
oleh orang-orang yang dicurigai polisi. Tapi ia tidak yakin
kalau suaminya seperti itu, karena menurutnya suaminya orang
yang lemah lembut, sabar, dan tidak neko-neko. Tapi
kebanyakan orang-orang yang ditangkap polisi juga tidak
nampak sangar dan neko-neko. Ia jadi bingung dengan keadaan
seperti itu.
Setelah menidurkan anak semata wayangnya Siti
sembahyang Isya dan tidak seperti biasanya kali ini ia
membaca doa sangat panjang. Semua doa yang ia hafal
dibacanya, dan ditambah dengan doa bahasa ibunya. Demi
untuk keselematan suaminya. Karena begitu baiknya suami,
Siti tidak henti-henti meminta kepada Allah untuk keselamatan
suaminya tersebutnya. Ketika kemudian siti merebahkan badan
di samping anaknya, yang tertidur pulas, Siti masih terus
berdzikir.
Tiba-tiba terdengar suara orang yang menggedor-gedor
pintu. Ia agak lega karena mengira suaminyalah yang pulang.
Dengan buru-buru ia bukakan pintu, akan tetapi betapa kagetnya,
91
ketika pintu baru dibuka beberapa orang berhamburan masuk,
semua berwajah angker. Salah satu diantaranya menjelaskan
bahwa mereka ditugaskan untuk mencari suaminya, Mat Soleh.
Pikiran Siti tak karuan ketika melihat orang-orang itu
menyebar ke seluruh ruang rumahnya, yang terpikir olehnya
hanyaklah anak kecilnya yang sedang tidur. Siti meminta agar
tidak terlalu berisik. Tapi tak ada gunanya, anaknya yang baru
berumur lima tahun itu sudah keluar kamar dan menangis
memanggilnya. Dia merasa ketakutan. Siti segera memeluk buah
hatinya sambil berusaha menenangkan. Ia juga menjelaskan
kepada anaknya bahwa orang-orang tersebut mencari sesuatu.
Tak ada satupun benda yang selamat dari
pemeriksaan. Sampai tempat makanan-pun mereka udal-udal.
Setelah serentetan pertanyaan mengenai suaminya telah terjawab,
seorang diantara mereka meberi isyarat untuk pergi. Namun
sebelum pergi, mereka sempat memberi pesan kepada Siti akan
kembali lagi.
Besok paginya koran-koran memuat berita tentang
temuan baru polisi dengan huruf besar dihalaman depan. “polisi
menemukan tokoh Intelektual Pengeboman di Bali”, dengan
inisial MS. Polisi sedang mencari Mat Soleh, otak pengeboman
di Bali: Berdasarkan penyelidikan terhadap para tersangka, telah
diketemukan tokoh Intelekpengeboman di Bali yang selama ini
di cari. Juga dilaporkan bahwa rumah tersangka telah di
geledah, namun polisi tidak menemukan apa-apa.
Siti tidak bias menbendung tangisnya, sambil
mengelus-elus anaknya , dia terus mengucap doa, “Ya Tuhan,
selamatkan suamiku ! selamatkan suamiku!”
Tiba-tiba dirasanya dari belakang ada seseorang yang
memeluknya.
91
“Hei, ada apa ini ?” terdengar suara lirih, “ada apa
dengan suamimu? Ini suamimu telah datang, sayang. Kenapa
pintunya tidak di kunci, sengaja menungguku ya? Lihat, seperti
janjiku aku datang sebelum lebaran.”
Siti kaget. Dibaliknya tubuhnya dan masya allah
dilihatnya suaminya tersenyum dengan lembut. Dipagutnya
suaminya dan diciuminya kedua pipinya habis-habisan. Meski
bingung, suaminya tertawa-tawa saja melihat kelakuan istrinya
yang tidak seperti biasanya. Mungkin rindu, pikirnya. Atau
mungkin ia bahagia bahwa suaminya menepati janji.
Setelah melepaskan suaminya , Siti tersenyum-senyum
sendiri dan merasa lega hatinya, kali ini sambil mendesiskan
Syukur: Allahu Akbar, walillahil Hamdu !
8. Lukisan Kaligrafi
a. Tema : Berani berusaha dan tidak putus asa.
b. Tokoh : Ustadz Bachri, Hardi, anak-anak, Istri, kolektor
lukisan.
c. Gambaran Cerita
Ustadz Bachri sama sekali tidak manyangka. Bermula
dari kunjungan seorang kawan lamanya, Hardi, seorang pelukis.
Kedatangan tamunya itu selain bersilaturohmi ia juga
membicarakan soal kaligrafi. Ustadz Bachri sendiri yang sedikit
banyak mengerti soal kaligrafi Arab, segera menanggapinya
dengan antusias. Tapi ternyata tamunya itu lebih banyak
berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari naturalisme,
surealisme, dadaisme dan lain sebagainya, yang Ustadz Bachri
sendiri pun tidak paham apa arti semua itu. Apalagi tentang
tehnik melukis, tentang komposisi, perspektif, dan istilah lain ,
yang baru mendengar sekali itu.
Yang membuat Ustadz Bachri agak kaget, ternyata
meskipun sudah sering ikut pameran kaligrafi, Hardi sama
91
sekali tidak mengetahui aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak
tahu bedanya Naskh, Tsuluts, Riq’ah dan Kufi. Apalagi
falsafahnya. Katanya dia asal “menggambar” tulisan, mencontoh
kitab Quran atau kitab-kitab bertuliskan Arab lainnya.Dia hanya
tertarik dengan makna ayat yang dia ketahui lewat terjemahan
Quran Depertemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu dalam
kertas atau kanvas. Atau dia tulis ayat yang dipilihnya dalam
bentuk tertentu yang menurutnya sesuai dengan makna ayat itu.
Ringkas cerita, begitu si tamu berpamitan, seperti biasa
Ustadz Bachri selalu mengantarkan tamunya sampai didepan
pintu, sebelum keluar melintasi pintu rumahnya tiba-tina si tamu
berhenti seperti terkejut. Matanya memandang kertas yang bertulisan
Arab yang tertempel diatas pintu, lalu dia menanyakan siapa yang
menulis itu.
Ustadz Bachri tersenyum dan menjawab. “Itu rajah, untuk
penangkal jin, saya yang menulisnya sendiri.”
“Itu kok warnanya aneh, sampean menulisnya pakai apa
?,” tamunya kagum dengan tulisan itu.
“Pakai kalam biasa dan tinta cina dicampur dengan
minyak za’faran, katanya minyak itu termasuk syarat menulis rajah.”
“Wah,” kata tamunya masih belum melepas pandanganya
ke tulisan diatas pintu, “sampean mesti menulis kaligrafi.”
“Saya ? Saya menulis kaligrafi ?” katanya sambil ketawa
spontan.
Hardi terus mendesak agar Ustadz Bachri ikut melukis
kaligrafi yang tiga bulan lagi akan ada pameran, dan lukisannya akan
diikut sertakan.
Ustadz Bachri-pun merasa tertantang, kenapa tidak
pikirnya. Orang yang tidak tahu khat saja berani memamerkan
kaligrafinya, mengapa dia tidak ?. Namun ketika didesak tamunya
dia hanya mengangguk asal mengangguk.
91
Setelah tamunya pulang Ustadz Bachri benar-benar
merasa tertantang dan sering kali memikirkan permintaan tamunya
itu. Kemudian Ustadz Bachripun mencoba corat-coret diatas kertas,
dan dia buka kitab-kitab tentang khat dan sejarah perkembangan
tulisan Arab, diapun menyempatkan datang ke kota hanya untuk
melihat lukisan–lukisan yang dipajang di toko-toko.
Anak-anak dan istrinya agak bingung juga melihat dia
datang dari kota membawa oleh-oleh peralatan melukis, lebih heran
lagi ketika dia mengatakan bahwa dia sendiri yang akan melukis.
Meski mula-mula istri dan anak-anaknya mentertawakan, namun
melihat keseriusannya, ramai-ramai juga mereka menyemangati.
Dan akhirnya Ustadz Bachri memulai melukis kaligrafi
yang bertempat di gudang. Mungkin karena malu atau tidak mau
diganggu, gudanglah yang dia pilih untuk melukis. Di situlah Ustadz
Bachri memulai melukis dan sesekali lukisan yang hampir jadi, dia
tindas begitu saja dengan cat, karena menurutnya kurang srek.
Kadang-kadang sampai subuh dia baru keluar dari gudang, sampai
beberapa kali dia mencoba melukis, akhirnya dia sadar bahwa
melukis itu sulit. Hampir saja Ustadz Bachri putus asa,. Tapi istri
dan anak-anaknya selalu melempar pertanyaan atau komentar-
komentar yang yang terdengar di telinganya seperti menyindir
nyalinya. Maka diapun bertekat, apa pun yang terjadi harus ada
lukisan yang jadi untuk diikutkan dalam pameran.
Sampai akhirnya datang seorang kurir yang dikirin oleh
Hardi, datang mengambil lukisannya untuk diikut sertakan dalam
pameran, dia hanya –atau, alhamdulillah, sudah berhasil-
menyerahkan sebuah “lukisan.”
Ketika kurir itu menanyakan judul dan harga lukisan itu
,dia merasa di ejeknya. Ustadz Bachri bingung dan mengatakan
terserah saja pada mas Hardi.
91
Dengan rasa malu dan rendah diri, dia datang juga pada
waktu pembukaan pameran itu, karena pameran itu diselenggarakan
di hotel berbintang, Ustadz Bachri menjadi kurang percaya diri,
dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi dia menyelinap diantara
pengunjung. Dia sibuk mencari-cari “lukisan”-nya diantara lukisan-
lukisan yang dipajang yang rata-rata tampak indah dan mempesona.
Sampai akhirnya, ketika acara pidato dan sambutan usai
para pengunjung beramai-ramai mengamati lukisan-lukisan yang
dipamerkan, dia yang mengalirkan diri diantara jejalan pengunjung
yang belum juga menemukan lukisannya. Tiba-tiba terbetik
dikepalanya : “jangan-jangan lukisanku diapkir, tidak diikutkan
pameran karena tidak memenuhi standar.” Mendapat pikiran begitu,
dia tiba-tiba justru menjadi tenang dan tidak menyembunyikan diri
dari punggung para pengunjung. Bahkan dia sengaja mendekati
Hardi yang tampak sibuk menerangkan sebuah lukisan kepada para
pengunjung. Lukisan itu hampir tak tampak olehnya, tertutup banyak
kepala pengunjung yang sedang memperhatikannya.
“Lha, ini dia !” tiba-tiba Hardi berteriak ketika melihatnya.
Dia jadi salah tingkah dilihat oleh banyak orang. “Ini pelukisnya !”
ujar Hardi lagi. Hardipun menanyakan keberadaannya yang dari tadi
dicari tidak kelihatan. Kemudian Hardi memperkenalkan seorang
kolektor dari Jakarta, yang ingin membeli lukisannya.Seketika itu
jiga Ustadz Bachri terkejut ternyata lukisan yang dikerumuni banyak
pengunjung itu adalah lukisannya. Sambil melirik kearah lukisannya
dia mengagumi Hardi yang ternyata tidak hanya pandai melukis tapi
pandai juga mengarang judul yang hebat-hebat, pikirnya. Lebih
kaget lagi ketika Ustadz Bachri mrmbaca angka dalam keterangan
harga, dan hampir tidak mempercanyai matanya. $ 10.000. Sepuluh
ribu US dollar ! Gila !
91
Tiba-tiba si bapak kolektor menyatakan tertarik dengan
lukisannya itu, sambil menepuk bahunya. Apalagi setelah
mengetahui makna dan falsafah lukisan itu, dari Hardi.
Dia tersipu-sipu Hardipun mengucapkan selamat atas
terbelinya lukisannya itu oleh kolektor tersebut.
Bapak kolektor itu berkata:”Teruskan melukis dari dalam
seperti ini,” (Melukis dari dalam ? apa pula ini ? pikirnya ).
Wartawan-wartawan menyuruhnya berdiri disamping
lukisan Alifnya dan diambil gambarnya. Dia benar-benar salah
tingkah, dan pertanyaan-pertanyaan para wartawanpun dijawab
sekenanya.
Besoknya hampir semua media massa membuat berita
tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan tentang
dirrinya dan lukisannya. Hampir semua koran, baik koran ibukota
maupun daerah melengkapi pemberitaan itu dengan menampilkan
fotonya, sayang dalam semua foto itu tidak nampak lukisan Alif-nya.
Yang terlihat hanya dia yang berdiri disamping kanvas kosong !.
Ketika makan siang anak-anak dan istrinyapun ikut-
ikutan bertanya macam-macam tentang lukisannya. Ustadz Bachri
menjadi kesal. Mereka ikut-ikutan seperti wartawan yang menjejali
berbagai pertanyaan yang membuat dia bingung sendiri.
Ustadz Bachri geleng-geleng kepala mendengar anak-anak
dan istrinya terus menjejali berbagai pertanyaan kepadanya. Kepada
wartawan dan orang lain dia bisa tidak terus terang, tapi kepada
keluarganya sendiri bagaimana mungkin dia menyembunyikan
sesuatu. Bukankah dia sendiri yang mengajarkan dan memulai tradisi
keterbukaan di rumah ?
Kemudian akhirnya Ustadz Bachri menjelaskan kepada
anak-anak dan isterinya itu tentang lukisannya. Semula karena
merasa tertantang, kemudian saya mencoba melukis, kalian tahu
sendiri, saya baru kali ini melukis, dan setelah mencoba dan
91
mencoba sampai akhirnya saya hampir putus asa. Dengan keadaan
seperti itu kalian masih memberiku semangat, dan Hardipun ngotot
mendorong-dorong saya untuk mengikuti pameran itu.
“Lalu ketika cat-cat itu hampir habis, saya baru teringat
pameran kaligrafi dalam rangka MTQ belasan tahun yang lalu,
seorang pelukis besar memamerkan kaligrafinya yang
menggambarkan dirinya sedang sembahyang yang diatas kepalanya
ada lafal Allah. Sayapun berpikir mengapa saya tidak menulis Allah
saja ?”
Ketika saya sudah siap melukis, ternyata cat yang tersisa
hanya ada dua warna: warna putih dan silver. Karena tekad saya
sudah bulat dengan dua warna itu saya memulai melukis Alif, saya
merasa huruf yang saya tulis bagus sekali, sesuai dengan standar
huruf Tsuluts Jaly. Namun ketika saya pandang-pandang letak
tulisan Alif saya pas ditengah-tengah kanvas, kalau saya lanjutkan
menulis Allah, menurut selera saya wagu, dan saya memutuskan
cukup Alif itu lah yang akan saya ikutkan dalam pameran. Dan
mengenai mengapa lukisan Alif itu tidak nampak di foto mungkin
karena warna silver diatas putih.
Istri dan anak-anaknya tak bertanya-tanya lagi, tapi Ustadz
Bachri tak tahu apakah mereka percaya penjelasannya atau tidak.
9. Kang Amin
a. Tema : Takdir manusia telah ditentukan oleh Allah.
b. Tokoh : Kang Amin, Kyai Nur, Ning Romlah, Ning Ummi, Ning
Laila,, Nyai Jamilah.
c. Gambaran Cerita
Setiap kali Kiai Nur punya gawe untuk perhelatan, kali
inipun, jauh-jauh hari orang-orang kampung sudah sibuk. Paling
tidak, sibuk membicarakannya. Soalnya belum pernah kiai pengasuh
pesantren Tanwirul ‘ Uquul itu mengadakan perhelatan tak gede-
91
gedean. Selalu meriah. Apalagi ini Walimatu ‘Urusy, resepsi
pernikahan puterinya yang terakhir, tutup punjen, istilah jawanya.
Kabarnya hiburan yang akan ikut memeriahkan acara ini
adalah grup Rebana Ria yang sering tampil di TV, dan Qorinya saja
dari Jakarta, juara MTQ Internasional. “Wah pasti ramai sekali, ya ?”
Malam hari dikamarnya, Kang Amin tidak bisa tidur,
bukan karena capek dan udara panas akan tetapi karena pikirannya
kalut. Peristiwa demi peristiwa sejak dia ikut dengan Kiai Nur
sebagai khadam, melayani beliau dan keluarganya, muncul bagai
gambar hidup.
Kang Amin memang keluarga ndalem paling senior dan
kepercayaan Kiai Nur. Mendiang ibunya menitipkannya kepada kiai
sejak ia masih kecil. Dia tidak tinggal di gotakan-gotakan bersama
santri yang lainnya. Kang Amin ditempatkan oleh Kiai Nur dikamar
khusus disamping ndalem, sendirian. Sehingga apabila tenaganya
diperlukan tidak susah-susah mencarinya. Kiai Nur dan Ibu Nyai
sudah menganggapnya sebagai anak sendiri
Dia besar bersama Ning Romlah, puteri sulung kiai Nur,
karena saking seringnya mereka bersama-sama, dari sekolah
Madrasah mulai Ibtidaiyah hingga tamat Aliyah-pun sekelas terus,
Kang Amin menjadi dekat dengannya. Meski dekat, meski seperti
saudara sendiri, kang Amin tetap tahu diri. Tak pernah nglunjak,
besar kepala, misalnya bersikap seperti Gus. Dia menyadari bahwa
dia hanyalah khadam, pembantu. Inilah yang menyebabkan seisi
ndalem, khususnya Ning Romlah, menyukainya. Kang Aminpun
sebenarnya mempunyai perasaan tertentu kepada ning Romlah, gadis
yang manis dan tidak sombong itu. Kadang-kadang Kang Amin
kalau menjumpai Ning Romlah sendirian, hatinya tergoda sesekali
ingin menyatakan perasaannya, tapi kang Amin selalu
mengurungkan niatnya itu karena melihat ketulusan hati Ning
Romlah yang menganggapnya sebagai saudara sendiri. Sampai
91
akhirnya Ning Romlah kawin dengan Gus Ali.Kang Amin sempat
kecewa dan uring-uringan sendiri. Tapi melihat kebaikan Gus Ali
akhirnya hati kang Amin menjadi luluh juga. Seperti biasa, dengan
iklas, kang Amin mnjadi “seksi sibuk” dalam perhelatan pujaan
hatinya itu.
Setelah Ning Romlah diboyong Gus Ali, hati kang amin
serasa kosong, namun kekosongan hati kang Amin tidak begitu lama,
sekarang Ning Ummi, adik Ning Romlah, tidak menjaga jarak lagi
dengan kang Amin. Lama kelamaan kang Aminpun jadi tertarik
dengan Ning Ummi, malah kang Amin mempunyai perasaan yang
lebih kepada Ning Ummi ketimbang dengan Ning Romlah dulu.
Akan tetapi apakah sudah menjadi nasib kang Amin atau
takdir memang sudah mengaturnya sedemikian rupa. Ning Ummipun
tak jadi miliknya, dia dipersunting oleh putra Kiai Makmun dari
Jawa Barat. Hatinya kecewa kembali. Ditinggalkan Ning Ummi,
hanya beberapa lama dia seperti linglung. Setelah itu dia kembali
seperti sebelumnya. Dia kembali bersemangat seperti mendapat obat
kuat, kali ini obat kuatnya adalah Ning Laila, puteri bungsu Kiai.
Ning Laila yang lincah dan menggemaskan ini tidak hanya
mampu mengisi kekosongan hati kang Amin, tapi sudah membuat
tekadnya bulat, karena sudah dua kali dia kecewa. Kali ini dia ingin
nekad matur kepada Kiai untuk meminang Ning Laila.
Tapi seperti pepatah kuno, untung tak bisa diraih malang
tak bisa ditolak. Belum sempat matur kepada Kiai, lagi-lagi gledek
menyambar di siang bolong, kali ini lebih parah lagi, karena gledek
itu muncul langsung dari mulut Ning Laila sendiri, yang tiba-tiba
memintanya mengarangkan undangan pernikahannya dengan Gus
Zaim, sepupunya sendiri. Mendengar itu hati kang Amin benar-benar
hancur dan tak bisa berbuat apa-apa.
Sejak perningkahan Ning Laila dengan Gus Zaim, tak
banyak yang bisa diceritakan dari keluarga ndalem, kecuali tentang
91
kewafatan Kiai Nur, beberapa saat setelah itu. Tapi setengah tahun
kewafatan Kiai Nur, ada peristiwa besar yang benar-benar
mengejutkan dan menggegerkan. Karena kang Amin kawin dengan
Nyai Jamilah, janda Kiai Nur.
10. Kang Kasanun
a. Tema : Kelebihan yang diberikan oleh Allah jangan disalah
gunakan.
b. Tokoh : Kang Kasanun, Kyai Mabrur, Ayah, Aku, orang Cina tua.
c. Gambaran Cerita
Mendengar cerita-cerita tentang tokoh yang akan aku
ceritakan ini, baik dari Ayah atau kawan-kawannya seangkatan di
pesantren, aku diam-diam mengaguminya. Bahkan seringkali aku
membayangkan seperti Supermen, Spidermen, atau si pesulap
Mandrake. Wah, seandainya aku sempat pertemu dengannya dan
dapat satu ilmu saja, lamunanku selalu. Ayah maupun kawan-
kawannya selalu menyebutnya Kang Kasanun. Tidak ada yang
menyebut namanya saja. Boleh jadi karena faktor keseniorannya atau
karena ilmunya.
Kata Kiai Mabrur, guruku ngaji Quran dan salah seorang
kawan Ayah di pesantren, bahwa Kang Kasanun itu pendekar yang
ilmu silatnya komplit, dia itu bahkan mempunyai ilmu cicak. Bila
sedang bersilat , bisa nempel dan merayap di dinding.
Ayah sendiri sering juga bercerita tentang Kang Kasanun.
“Nggak tahu, dia itu ilmunya dari mana,” kata Ayah suatu hari ketika
sedang bercerita tentang kawanya yang disebutnya jadug itu.
Disamping menguasai ilmu silat, ilmu hikmahnya aneh-aneh. Hanya
dengan merapalkan bacan aneh - campuran bahasa Arab dan Jawa -
dia bisa membuat tidur seisi mushalla. Pernah ia menjadi tontonan
orang sepasar karena dia dihinna penjual lombok, lalu lombok satu
pikul ia makan semua dan ia tak apa-apa malah yang murus penjual
91
lomboknya itu. Kata kawan-kawannya ia juga bisa memanggil
burung yang terbang dan ikan di sungai.
Pada suatu hari Kang Kasanun mengajak kawan-kawannya
yang ikut mempelajari ilmu halimunanya itu untuk dipraktikkan.
Hari itu kami ramai – ramai mendatangi toko milik orang cina yang
terkenal galak dikota. Kang Kasanun berpesan, siapapun di antara
kami yang masih melihat orang lengkap dengan kepalanya, kami
tidak boleh mengambil sesuatu yang ada di toko itu. Karena, tanda
bahwa kami sudah benar-benar hilang , tidak terlihat orang, ialah
apabila kepala semua orang tidak tampak. Dan ingat, kata Kang
Kasanun, kita tidak berniat untuk mencuri, hanya mengamalkan ilmu
saja . jadi ambil barang-barang yang harganya murah saja.
Dari sekian orang yang ikut “program halimunan” itu,
hanya ayah yang gagal. “Karena saya masih melihat kepala semua
orang yang ada disitu. Jadi sesuai dengan pesan Kang Kasanun saya
tidak berani mengambil apa-apa. Kata kang Kasanun saya kurang
mantap. Memang terus terang, waktu itu sebelum menyaksikan
sendiri adegan di toko itu tidak percaya ada ilmu halimunan, ada
orang bisa menghilang.”
Dan suatu ketika di rumahku ada tamu kawan lama Ayahku,
dan Ibuku bilang bahwa tamu Ayah itu adalah Kang Kasanun yang
tiggal di luar Jawa. Mendengar itu aku sangat terkejut dan ingin
sekali bertemu dengannya. Tapi setelah saya lihat dari gorden aku
jadi ragu–ragu, tamu Ayah tidak seperti apa yang aku bayangkan,
tidak gagah, malah kelihatan kecil di depan Ayahku. Tapi setelah
nguping, mendengar pembicaraan Ayah dan tamunya itu, aku
menjadi yakin memang itulah Sang Superman, Kang Kasanun.
Apalagi tak lama kemudian Kiai Mabrur datang dan saling
berpelukan dengan si tamu.
Kebetulan sekali , malam ketika Ayah akan mengajar ngaji,
aku dipanggil, katanya, “Kenalkan, ini kawan Ayah di pesantren,
91
Kang Kasanun yang sering Ayah ceritakan itu! Kawani dulu beliau
sementara Ayah mengaji.” Setelah bercerita panjang lebar aku
menyempatkan untuk diajari ilmunya itu. “Bapak Kasanun,” sengaja
saya mengganti sebutan Kiai dengan Bapak, “sekarang mumpung
ketemu, saya mohon sudilah kiranya Bapak memberikan ijazah
kepada saya : barang satu atau dua dari ilmu Bapak.”
Mendengar permohonanku, tiba-tiba tamu yang sejak lama
aku harapkan itu menangis. Benar-benar menangis sambil kedua
tangannya menggapai-gapai. “Jangan, jangan, Gus ! Gus jangan
terperdaya oleh cerita-cerita tentang Bapak, apalagi kepingin yang
macam-macam seperti yang pernah Bapak lakukan. Biarlah yang
menyesal Bapak sendiri. Jadilah seperti Ayahanda Gus saja. Belajar.
Ngaji yang giat. Dulu Ayahandamu tak serius belajar ilmu yang aku
beri, Bapak rasa karena Ayahandamu hanya serius dalam urusan
belajar dan mengaji. Dan, sekarang Ayahandamu menjadi Kiai besar,
sementara Bapak lontang-lantung seperti ini. Kawan-kawan bapak
yang dulu ikut Bapak mendalami ilmu-ilmu kanuragan seperti ini
rata-rata kini hanya menjadi dukun. Itu masih mendingan , ada yang
malah menggunakan untuk menipu masyarakat dengan mengaku-
ngaku sebagai wali dan sebagainya. Orang awam mana bisa
membedakan antara karomah dengan ilmu sulapan seperti itu.
“Pernah suatu ketika dalam perjalanan Bapak kehabisan
sangu, kemudian Bapak rapalkan aji halimunan Bapak ditoko milik
singkek yang sudah tua sekali. Semua pelayan dan pelanggan tidak
melihat Bapak. Kemudian Bapak mendekati meja si singkek tua
yang terlihat tekantuk-kantuk di kursinya. Pelan-pelan aku menbuka
laji mejanya, tempat ia menyimpan uang. Bapak mengambil semua
uang yang ada. Si singkek tua tidak bergerak. Namun ketika tangan
Bapak akan Bapak tarik dari laci, tiba-tiba tangan keriput si singkek
itu memegangnya dan langsung seluruh tubuh Bapak lemas tak
berdaya.
91
Pendek kata habislah Bapak dinasihati. Setelah itu Bapak
diberi uang dan disuruh pergi. Sejak itulah Bapak tidak
mengamalkan ilmu-ilmu itu. Sebenarnya semua itu hanyalah
memantapkan apa yang lama Bapak renungkan, tapi Bapak ragu .
Pak Kasanun memegang kedua tanganku penuh sayang, dan
katanya kemudian, “sekarang Bapak sudah mantap. Jalan yang
Bapak tempuh kemarin memang salah , mestinya sejak awal Bapak
mengikuti jejak Ayahanda Gus.”
Kemudian akupun disuruh untuk mengikuti jejak Ayahku
dan tidak boleh mengikuti jejaknya yang salah. Aku disuruh pula
mencari ilmu yang bermanfaat bagi diriku dan bagi sesama. Aku
tidak sempat memberi komentar apa-apa karena keburu Kiai Mabrur
dan kawan-kawannya datang. Tapi aku masih mempunyai banyak
waktu merenungi nasihatnya.
11. Ndara Mat Amit
a. Tema : Kelebihan yang diberikan oleh Allah bukanlah untuk
dipamerkan.
b. Tokoh : Ndara Mat Amit, Anak Desa, Ayah, Pak Min.
c. Gambaran Cerita
Anak-anak kecil takut dengan lelaki ini. Bukan saja karena
tubuhnya yang tinggi besar, mukanya yang sangar, tapi terutama
karena kebiasaan yang aneh. Suka mencaci dengan berteriak keras
terhadap siapa saja.
Tak ada seorangpun yang tahu dimana Ndara Mat Amit
tinggal. Orang hanya tahu dia bukan penduduk asli tapi punya
banyak kenalan di kota kami. Ada yang bilang dia dipanggil ndara
karena masih keturunan Nabi. Hampir tiga kali dalam sebulan ia
datang ke kota kami. Anehnya setiap anak yang mengetahui
kehadirannya akan segera lari ketakutan.
Di antara yang sering dikunjungi Ndara Mat Amit adalah
rumah kami. Kalau datang ia tak lupa mampir ke rumah. Mungkin
91
karena ia menyukai ayahku yang selalu ramah terhadap siapa saja
yang datang. Ayah sendiri pernah menasehatiku untuk selalu
menghormati setiap tamu. “itu kan anjuran Rasulullah,” begitu jelas
ayah.
Entah karena sudah terbiasa atau karena nasehat ayah, aku –
tidak seperti banyak kawanku – tidak lagi takut pada Ndara Mat
Amit. Memang aku dulu pernah dibentak hingga gemetaran.
“Hei kamu bajingan kecil ke sini !”
Aku terpaku, “setan kecil ! punya telinga, tidak?” lanjutnya.
Aku pun ragu mendekat. Dengan hati-hati dan siap-siap
melarikan diri apabila beliau hendak memukul. Ternyata dia
memberiku beberapa uang receh yang ia ambil dari saku jasnya yang
kumal.
“Goblok, terima !” hardiknya. Ragu-ragu aku menerimanya.
“Lho apalagi ? kurang ? kalau tidak kurang sana lekas minggat,
monyet kecil !” lanjutnya.aku membatin, ada baiknya juga orang
sangar ini.
Pada bulan Maulud sudah menjadi kebiasaan ayah
mengadakan berzanjen di aula pondoknya. Dan biasa pula Ndara
Mat Amit hadir pada acara itu. Dia kelihatan paling semangat
menyahuti syair-syair yang dilagukannya dengan suara sumbang,
sember dan keras.
Sampai pada suatu ketika, pada saat mauludan sampai pada
acara assyraqalan, ketika semua orang berdiri, Ndara Mat Amit
nampak tertunduk sambil menangis meraung-raung. Di sudut lain,
Pak Min, kusir dokar yang sering mengantar Ndara Mat Amit, juga
melakukan hal yang sama, menangis dan meraung-raung. Setelah
acara berzanjen selesai kulihat ayah mennyai Pak Min.
“Lho, apa Kyai tidak pirso tadi Kenjeng Nabi rawuh ?”
jawab Pak Min sambil setengah berbisik.
91
“Kusir samber gelap, begitu saja ente pamer-pamerkan !”
suara Ndara Mat Amit menyambar. “Kusir tak tahu malu !”
lanjutnya.
“Kau ini, Yik, yang tak tahu malu ! Dari dulu nggak capek-
capeknya pakai topeng. Sudahlah yang wajar-wajar saja, ente kira
dengan memakai topeng bisa menyembunyikan diri ? Kusir dokar
saja tahu siapa diri ente sebenarnya !” balas Pak Min dengan keras
pula membuat semua orang terheran-heran.
Orang-orang mengira Ndara Mat Amit akan meradang dan
menerkam Pak Min. ternyata tidak. “Assalamu’alaikum !” katanya
memberi salam pada kami sambil meninggalkan majlis begitu saja.
Tak lama kemudian Pak Min minta pamit pula. Sampai sekarang
keduanya tak lagi pernah kelihatan di kota kami.
“Dua orang itu,” kata ayah menjelaskan kepadaku, ”adalah
Sayyid Muhammad Hamid – yang dipanggil Ndara Mat Amit – dan
Kyai Mukmin – yang dipanggil Pak Min – sama-sama memakai
topeng. Artinya mereka sama-sama menyembunyikan diri mereka
agar tidak diketahui siapa sebenarnya diri mereka. Keduanya ingin
nampak awam bahkan hina di depan umum. Yang satu dengan
berlagak kasar, yang satu lagi menyembunyikan diri dengan
pekerjaanya sebagai kusir. Dulu banyak orang saleh yang
menyembunyikan diri mereka karena tak ingin didekati penguasa.
Bahkan ada yang pura-pura gila. Mereka adalah Wali Mastur yang
menyembunyikan kesalehannya dan menghilang bila ketahuan
umum.”
12. Mbah Sidiq
a. Tema : Cinta kepada manusia tidak boleh berlebihan.
b. Tokoh : Mbah Sidiq, Nasrul, Pak Manaf, Mas Slamet, Wak
Rukiban, Haji Husen.
c. Gambaran Cerita
91
Ketenaran Mbah Sidiq telah sampai ke daerah kami. Tidak
jelas siapa yang pertama kali menyebar-luaskannya. Yang jelas kini
penduduk sudah seperti mengenal Mbah Sidiq, meskipun belum
pernah bertemu. Memang ada beberapa orang yang mengaku pernah
bertemu dengan beliau, bahkan mengaku sebagai orang dekatnya.
Yang jelas nama Mbah Sidiq sudah melegenda di daerah kami.
Nasrul adalah salah satu orang yang mengaku seperti itu.
Dia paling pandai kalau menceritakan tentang Mbah Sidiq. Dasar
pinter omong, membuat orang lupa akan acaranya sendiri.
“Percaya tidak, saya pernah diajak beliau ke makam Sunan
Ampel di Surabaya, kata Nasrul suatu hari di warung Wak Rukiban.
“Saya pikir di sana ia berdoa, ternyata beliau berdiskusi dengan
Sunan,” jelas Nasrul.
“Darimana kamu tahu kalau dia berdiskusi ?” tanya Pak
Manaf, guru SD yang tertarik dengan tokoh yang menjadi buah bibir
itu.
“Ya dari pembicaraan dan sikap Mbah Sidiq, jelas dia
berdiskusi.” Jawab Nasrul.
“Tapi katanya Mbah Sidiq suka menggigit kuping orang ?”
tanya Wak Rukiban tiba-tiba.
“Ah, ya nggak mesti, Wak. Lihat-lihat tamunya. Biasanya,
Mbah menggigit telinga orang yang wataknya bandel. Seperti
Parman yang suka membuat jengkel ibunya. ‘Telinga kan gunanya
untuk mendengar’ begitu kata Mbah Sidiq sehabis menggigit kuping
Parman, tapi ada juga tamu beliau cium atau beliau kasih duit.” Jelas
Nasrul pada Wak Rukiban.
Begitulah kisah Mbah Sidiq yang menjadi legenda bagi
kebanyakan penduduk dan menjadi kehorhamatan bagi Nasrul yang
merasa menjadi orang dekatnya.
Hingga suatu saat terjadi kehebohan di warung Wak
Rukiban. Nasrul tak pernah lagi kelihatan. Banyak yang mengatakan
91
Nasrul menyusul istrinya yang terlebih dahulu pergi ke luar kota.
Ada juga yang mengatakan Nasrul sedang sakit.
Ketika banyak orang membicarakannya, tiba-tiba Nasrul
datang dengan wajah dan tubuh yang nampak lesu. “Kopi, Wak,”
Nasrul memesan pada Wak Rukiban.
Tentu saja kawan-kawannya heran. Tak seperti biasanya
yang selalu bersemangat, apalagi jika menceritakan tentang Mbah
Sidiqnya itu. Tapi semua diam, seolah-olah menunggu Nasrul
menceritakan apa yang terjadi pada dirinya.
Tiba-tiba terdengar suara Nasrul seperti bukan dari
mulutnya. “Sidiq bajingan,” lirih tapi terdengar sangat keras dan
tajam bagai sembilu. Hampir semua mulut kawan-kawannya
ternganga seperti merekalah yang terkena tikam umpatan Nasrul.
“Wali macam apa itu ? Seperti tahi termakan. Aku
menyesal ikut membesar-besarkan namanya. Bangsat, penipu !”
semakin serak suara Nasrul, kemudian pecahlah tangisnya.
“Sabar, Srul. Apa yang terjadi ? Ceritakanlah pada kami,
teman-temanmu ! tumpahkanlah semua isi dadamu biar lega !” Pak
Manaf mencoba menenangkan. Tangannya menepuk-nepuk pundak
Nasrul.
“Maaf, Kang !” Nasrul mencoba mengangkat kepalanya
kembali. “Aku kurang sabar bagaiman ? Semua yang diminta sudah
aku berikan. Sawah dan sapiku kuserahkan kepadanya, sepeda
motorku kujual untuk menyenangkannya. Lho kok tega-teganya
membawa kabur istriku ! Masya Allah ! Manusia laknat macam apa
itu ?” dipukulkannya tangannya ke meja hingga beberapa cangkir
dan gelas terguling, pecah.
13. Mubalig Kondang
a. Tema : Semua di bawah takdir Allah.
b. Tokoh : Aku, Istriku, Sudin.
91
c. Gambaran Cerita
Aku tak memperhatikan isteriku ketika jauh hari dia
mengingatkan kota ini bakal kedatangan seorang mubaligh kondang.
Hari ini dia mengingatkan lagi.
“Ustadz Makin bikin rombongan menyewa kolt. Ibu-ibu
juga bikin rombongan sendiri. Bu Lurah menyiapkan bus mini dan
truk. Tadi saya sudah daftarkan dua orang. Kalau sampeyan tidak
berangkat, biarlah nanti saya sama simbok. Ini pengajian akbar,
mubalighnya dari Jakarta. Kita mesti datang gasik supaya dapet
tempat duduk.” Begitu kata isteriku mengingatkan.
Isteriku, seperti kebanyakan warga kampung yang lain,
mungkin maniak pengajian. Di mana saja ada pengajian ia mesti
mendengar dan menghadirinya. Aku tak tahu apa yang ia peroleh
dari pengajian yang sering ia ikuti. Nyatanya kelakuannya sama saja.
Kesukaannya menggunjing orang masih berjalan. Hobinya bohong
tidak berkurang. Kesukaannya pada duit juga malah semakin
bertambah. Juga seperti Haji Mardud yang menjadi panitia pengajian
kali ini, masih juga merenten uang dan menyengsarakan orang kecil.
Lalu apa gunanya pengajian-pengajian jika tak merubah apa-apa dari
perilaku masyarakat pengajian ?
Menjelang Isya rupanya isteriku dan simbok sudah
berdandan. Begitu selesai sembahyang, langsung rukuh mereka
copot dan memperbaiki dandanannya sebentar. Kemudian
berangkatlah mereka ke kota bersama rombngan.
Tak lama kemudian suasana menjadi sepi. Rombongan-
rombongan sudah berangkat. Setelah makan aku rebahkan badanku
di balai-balai, berharap bisa tertidur. Tapi mataku tak mau terpejam.
Aku menyesal juga tadi tidak ikut rombongan. Terpikir begitu,
akhirnya aku bangkit. Kukenakan baju, kuambil sepeda pusakaku,
dan kututup pintu rumahku.
91
Kukayuh sepeda pelan-pelan menuju kota. Toh aku tak
sedang mengejar apa-apa. Hampir tak kujumpai manusia dan yang
kudengar hanyalah lenguh sapi dan suara jangkerik. Untung listrik
sudah masuk desaku. Meskipun lampu yang terpasang di jalan tidak
terlalu terang dan hanya jarang-jarang. Bersepa malam-malam begini
aku jadi teringat akan Sudin, kawanku di pesantren dulu. Di mana
kira-kira si anak badung itu sekarang ?
Sudin anak orang kaya. Sering dulu aku ditraktirnya nonton
film India kesukaannya dan tidak jarang pulang ke pesantren sudah
larut malam. Karena sudah sering ditakzir, dihukum, sebab nonton,
aku-pun lalu menolak jika di ajak Sudin nonton. Aku malu pada
santri-santri yang lain. Sudin sendiri tetap dengan kebiasaannya.
Masih saja nonton film India, meski dihukum berkali-kali. Takzir
baginya sudah dianggap biasa dan tidak perlu ditakuti. Dia sendiri
tidak hanya ditakzir karena nonton, tapi juga karena melanggar
banyak larangan dan menyalahi banyak peraturan pesantren, seperti
berkelahi, membolos, mengintip santri putri, dan lain sebagainya.
Berbagai macam bentuk takzir sudah dicobanya, mulai dari
membersihkan kakus, membayar denda, mengisi kolah mesjid, dll.
Rambutnya tak sempat tumbuh karena sering kena hukuman gundul.
Terakhir Sudin diusir dari pesantren karena kedapatan mencuri kas
pesantren.
“Eit,” hampir saja aku terjatuh. Akar pohon asam di tepi
jalan membuat sepedakuku oleng. Untung aku segera bisa
menguasainya. Lamunanku buyar.
Sesampai di alun-alun dua orang berambut gondrong segera
menarik sepedaku ke arah lapangan yang sepertinya sudah
dipersiapkan. Kubaca pada secarik kertas yang terpampang
bertuliskan: TTTIPAN SEPEDA Rp. 1000,-. Untung di sakuku
masih ada uang seribu persis, sehingga kuberikan uang satu-satunya
milikku itu.
91
Dari kejauhan mubaligh itu sudah kelihatan, karena
panggungnya yang tinggi dan lampu yang luar biasa terangnya.
Hanya beberapa pengunjung paling depan yang duduk di kursi,
lainnya lesehan di rerumputan. Tapi aku tak juga melihat istriku dan
simbok. Aku terus menerobos agar bisa lebih dekat dengan
panggung.
Semakin dekat, semakin jelas sosok mubaligh kondang
yang dari kejauhan suaranya menggelegar itu. Ternyata tubuhnya
sedang-sedang saja. Yang membuatnya gagah justru pakaiannya.
Penampilan mubaligh kondang memang berbeda dengan mubaligh
lokal. Bicaranya lantang dan mantap. Gerakan tubuh dan tangannya
sesuai dengan isi ceramahnya. Dan wajahnya……
Dan wajahnya……nanti dulu. Sepertinya sudah aku kenal.
Tapi tak mungkin. Masak dia ? Tapi persis sekali. Dahinya yang
sempit, matanya yang agak sipit dengan sorot yang nakal itu,
hidungnya yang bulat, mulutnya yang lebar dan seperti terus
mengejek, dan telinganya yang lebar. Ah, tak mungkin lain. Aku tak
salah lagi, pastilah dia. Sudin !.
Aku tiba-tiba kepingin mendengarkannya.
“Jadi sekali lagi, saudara-saudara, maksiat yang sudah
merajalela itu harus kita perangi. Juga kenakalan remaja sekarang ini
sudah sangat mengkhawatirkan. Apa jadinya generasi kita yang akan
datang bila kenakalan remaja itu tidak segera kita tanggulangi. Kalau
di waktu muda malas, apa jadinya bila sudah tua ? Kere, saudara-
saudara ! kere, betul nggak ?”
“Kalau di waktu muda sudah suka jambret, apa jadinya bila
sudah tua ? apa saudara- saudara ? ko,…ko….!”
“Korupsiii !!!” teriak hadirin serempak disusul tepuk tangan
sorak gegap gempita.
Memang ajaib. Sudin yang nakal. Sudin yang di pesantern
langganan takzir. Sudin yang dulu diusir dari pesantren karena
91
mencuri uang kas pesantren. Ah, siapa mengira kini menjadi
mubaligh kondang seperti itu. Bagaimana ceritanya Sudin sampai
mempunyai karomah begitu besar ? bagiku itu sungguh musykil.
14. Ngelmu Sigar Raga
a. Tema : Semua ilmu datangnya dari Allah
b. Tokoh : Aku (Mus), Mbah Jonet, Ibuku, Haji Muin.
c. Gambaran Cerita
Aku beruntung bisa bertemu dengan Mbah Joned. Karena
tidak setiap orang bisa bertemu atau ditemui kyai sepuh yang
melegenda itu. Menurut kepercayaan orang-orang yang mengenalnya,
Mbah Joned memang tidak selalu bersedia ditemui. Ada seorang
jenderal yang sudah menunggu seharian, gagal bertemu dengan
beliau. Tapi seorang kusir dokar malah disambut di depan pintu
rumah beliau dengan penuh penghormatan. Kabarnya Mbah Jonet
tahu tujuan setiap orang yang akan sowan. Dan berdasarkan tujuan si
tamu itulah, Mbah Joned bersedia menemui atau tidak. Wallahu’alam.
Yang penting, alhamdulillah aku ditemui beliau.
Aku dan beberapa tamu yang lain ditemui Mbah Joned di
“ruang tamu”-nya, sebuah kamar yang pengap. Hanya ada sebuah
kursi besar yang beliau duduki. Sedang kami dipersilakan duduk di
dipan bambu tempat tidur beliau. Kami di suguhi minuman yang
berbeda-beda dengan cangkir yang berbeda-beda pula. Ada yang
mendapat teh dalam cangkir porselin, ada yang kopi dalam cangkir
kaleng, ada yang wedang jahe dalam cangkir tanpa pegangan; dsb.
Konon semua itu ada maknanya tapi entah, aku sendiri tidak begitu
mengerti. Aku sendiri dapat minuman legen, nira yang baru disadap,
dalam gelas bamboo. Makanannya, semua rebusan: jagung, ketela,
kacang, pisang, dan gendoyo (semangka muda).
Aku sengaja menunggu mereka semua pergi dan agaknya
Mbah Joned sendiri arif tentang hal ini. Beliau tidak menanyaiku apa-
apa sebelum semua tamu yang lain pergi. ”Nah,sekarang tinggal kita
91
bertiga. Silahkan sampaikan keperluan sampeyan !” kata Mbah Joned
ramah. Hampir saja aku bertanya : kok bertiga? Siapa yang lain?
Untung aku segara menyadari bahwa yang di maksud tentu kami
berdua dan Allah. Maka aku langsung memberanikan diri
menyampaikan masudku, ingin memohon ijazah dari beliau.
Kebetulan pada hari itu Mbah Joned sedang murah hati,
kata beliau aku akan diberi ijazah yang jarang dimiliki orang zaman
sekarang dan belum pernah diberikan pada orang lain, selain aku.
Kemudian aku disuruh merapalkan bacaan yang terdiri dari lafal-lafal
Arab campur jawa, setelah beliau membacanya. Mendengar sekali
aku masih bingung, dan akhirnya Mbah Jonet mengulanginya. Bacaan
yang kedua ini lebih cepat dari yang pertama tadi, kemudian beliau
menyuruhku mengulangi apa yang baru beliau baca.
Dengan memeras ingatan, Alhamdulillah, aku berhasil.
Mbah Joned langsung menangkap tanganku, disalaminya. “Selamat!
Jodoh ! Sampeyan berhasil!” Kemudian diterangkan tatacaranya
mengamalkan ngilmu yang beliau sebut Sigar Raga itu. Setelah aku
memahami semua penjelasannya, akupun pamit sambil berkali-kali
menyampaikan terima kasih.
Setelah aku melaksanakan puasa mutih selama tujuh hari,
pada malam hari kedelapan, aku praktikkan ilmu yang diajarkan
Mbah Joned. Aku berpakaian serba putih dan tidur telentang di atas
tanah sendirian ditengah malam, lalu aku rapalkan bacaannya dan aku
bayangkan diriku keluar dari tubuhku yang telentang. Ajaib, aku tiba-
tiba bisa membayangkan sangat jelas diriku keluar dari tubuhku. Dan
sesuai wejangan Mbah Joned, aku kemudian berkata pada diriku yang
telentang mengawasiku. “Mus, ingsun arep lungo, siro kario nang
ngomah !” ( Mus, aku pergi ya, kamu tinggal saja dirumah !) Kulihat
diriku mengangguk dan melambaikan tangan. Akupun pergi
meninggalkan diriku.
91
Aku termasuk aktivis termuda dalam partaiku. Setelah
sekian lama aku berjuang keras di partaiku, sekarang aku menuai jerih
payahku itu. Akhirnya aku terpilih menjadi salah satu ketua partai di
tingkat pusat. Dalam pencalonan aku termasuk urutan jadi di DPR.
Semua orang menghormatiku, honorku cukup besar dan
kadang-kadang masih mendapat tambahan dari orang-orang yang
membutuhkan jasaku. Jumlah simpanan dalam rekeningku di berbagai
bank terus bertambah, dan mobilku tergolong mobil yang mewah,
sekarang aku sudah makmur, selamat tinggal hidup sulit !
Kini bicaraku dan sikapku selalu dibenarkan oleh semua
orang yang ada disekelilingku. Juga ketika aku membisikkan
keinginanku “menyimpan “ artis cantik favoritku kepada orang
kepercayaanku, spontan dia mendukung dan bahkan dia bersedia
memfasilitasi. Aku tinggal tahu beres.
Ketika reses panjang, semua anggota DPR dari partaiku
mendapat tugas pembinaan ke daerah. Atas usulku, disetujui bahwa
tugas semua anggota adalah melakukan pembinaan ke daerah masing-
masing. Alhamdulillah. Sebenarnya latar belakang usulku itu bersifat
pribadi. Aku ingin mejenguk rumah yang cukup lama aku tinggalkan.
Dalam perjalanan ini aku hanya membawa tas kecil dan sekedar oleh-
oleh yang di belikan stafku ketika di airport; “untuk Ibunda, madu
Sumbawa” katanya.
Magrib taksiku sampai tujuan, kampung halamanku
ternyata masih seperti dulu. Memasuki halaman rumahku, aku agak
gembira. Tampak lebih bersih, dan pagar hidup dari tanaman di depan
rumahku kelihatan terawat baik. Ini pasti kerja Lik Tukin, adik Ibu
yang selama ini mengawani dan membantunya.
Aku masuk rumah. Ternyata keadaan di dalam rumah juga
bersih, meski tidak ada perubahan. Meja-kursi masih yang dulu. Baru
saja aku meletakkan tasku, kudengar suara lirih dari dalam salah satu
kamar, kamar ibuku. “Mus ya ? “Ah, itu dia suara ibuku. Aku merasa
91
lega dan sekaligus heran. Bagaiman beliau tahu aku datang, “Likmu
Tukin sudah datang ? Aku tak menjawab, tapi langsung masuk kamar
sambil menjinjing bungkusan oleh-oleh madu Sumbawa.
Ibu sedang bersujud, mencopot rukuhnya. Dan kelihatannya
ibu sudah tahu kalau aku datang membawa madu Sunbawa. Dalam
kebingunganku aku hampiri beliau dan aku ciun tangannya. Tapi
aneh, seperti geli, Ibu menarik tangannya. “Hei, Mus, kesambet
dimana kau ini?” Aku sungguh tak mengerti. Tak ada satu patah
katapun yang diucapkan ibu aku pahami. Sampai masuk seorang laki-
laki berpakaian putih-putih sambil menjinjing bungkusan persis
seperti bungkusan oleh-oleh yang dibelikan stafku. Madu Sumbawa.
Aku berdiri mematung mengawasinya. Demikian pula dia.
Setelah berjamaah maghrib di mesjid, bersama haji Muin
aku mampir ke tokonya, mengambil madu Sumbawa titipan ibu.
Ternyata aku ditahan untuk makan malam. Setelah cukup lama aku
ingatkan tentang ibuku yang sendirian di rumah, dia memaklumi dan
membiarkan aku pulang.
Sampai di rumah, tanpa menoleh, aku langsung menuju ke
kamar Ibu. Aku kaget, kulihat seorang lelaki di kamar ibuku. Orang
itu memandangku seperti melihat hantu. Aku terpaku
memandanginya. Demikian pula dia.
Perempuan itu terus tertawa melihat anaknya tiba-tiba
menjadi seperti patung. Ketika beranjak ke dapur sambil membawa
bungkusan madu Sunbawapun , masih terdengar derai tawanya. “Mus,
Mus aneh-aneh saja kau! Katanya di sela-sela tawanya yang semakin
geli.
15. Mbok Yem
a. Tema : Segala kebaikan akan mendapatkan balasan yang
setimpal.
b. Tokoh : Mbok Yem, Ibu, Mbah Joyo, ketua rombongan, adikku.
91
c. Gambaran Cerita
Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah, aku bisa bertemu
dengan ibu dan adikku di pondokan mereka di Makkah. Mereka
tinggal di kamar yang sempit bersama empat pasang suami istri.
Di antara mereka itu ada dua sejoli yang sudah sangat tua.
Lebih tua dari ibu. Yang laki-laki dipanggil Mbah Joyo lebih tua
lagi. Beberapa tahun lebih tua dari Mbok Yem, istrinya. Berbeda
dengan Mbah Joyo yang agak pendiam, Mbok Yem orangnya ramah
dan banyak bicara, mendekati ceriwis.
Yang kemudian menarik perhatianku adalah kemesraan
kedua sejoli itu. Mereka seperti pengantin baru saja. Seperti tidak
memperhatikan yang lain, Mbok Yem menggelendot manja di
pundak Mbah Joyo.
“Pak, kita beruntung. Nak Mus ini kan kuliah di Mesir, dia
bisa menjadi muthawwif kita dan membimbing manasik kita. Bukan
begitu nak Mus ?” katanya sambil mengelus rambut suaminya yang
putih.
Aku mengangguk saja sambil tersenyum.
Alhamdulillah, sejak di Arafah aku bisa ikut dengan
rombongan ibu. Malam menjelang wukuf, kami sudah sampai ke
padang luas yang seperti menjadi lautan tenda itu. beberapa orang
nampak letih, justru Mbok Yem dan Mbah Joyo, anggota kami yang
paling tua sedikitpun tidak memperlihatkan tanda-tanda kelelahan.
Kudengar isak tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah Joyo
yang juga terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi kemah pun
terdiam. Sampai datang petugas kloter menyuruh semuanya bersiap-
siap untuk sholat bersama.
Aku perhatikan, sejak selesai sholat dan berdoa bersama,
Mbok Yem dan Mbah Joyo terus menangis dan hanya mengulang-
ulang Astaghfirullah, Astaghfirullah. Mereka memohon ampun
91
kepada Allah. Tak terdengar kedua sejoli itu berdzikir dan berdoa
yang lain.
Malam ketika arus kendaraan dan manusia mengalir dari
Arafah ke Muzdalifah dan Mina, di atas bus kami hanya mendengar
suara talbiyah dan takbir. Kecuali sepasang mulut Mbah Joyo dan
Mbok Yem yang terus beristighfar.
Menjelang dini hari, kami sampai di wilayah Muzdalifah.
Bus kami berhenti dan rombongan berhamburan keluar dalam gelap,
mencari batu-batu kerikil untuk melempar jumrah.
Tapi setelah waktu dinyatakan habis, aku berusaha
membantu petugas meneriaki para jamaah agar segera naik bis dan
bersiap menuju Mina. Tiba-tiba ketika ketua rombongan mengabsen
dan menghitung jamaah, terdengar suara Mbok Yem histeris, “Mbah
Joyo ! mana Mbah Joyoku ?” Seketika semua sadar Mbah Joyo
belum kembali. Mbok Yem meloncat turun dari bus dan menjerit-
jerit memanggil suaminya. Hampir seisi bus pun ikut turun dan
membantu mencari Mbah Joyo.
Ibuku membujuk Mbok Yem sambil merangkul perempuan
tua itu supaya tenang. “Mbah Joyo tidak akan kemana-mana, pasti
kita akan menemukannya.”
Setelah dicari sampai ke luar area dan tidak juga ditemukan,
akhirnya kami sepakat untuk naik bus dan melanjutkan perjalanan.
Mbok Yem sesekali masih menoleh ke arah gelapnya Muzdalifah.
Ibu menemani dan merangkul sahabat tuanya yang kini diam saja itu.
Subuh, kami baru sampai di Mina. Semuanya terlihat letih,
lebih-lebih Mbok Yem. Dan begitu masuk kemah, bukan main
terkejutnya kami. Mbah Joyo tengah duduk sambil menikmati
anggur. Mbok Yem langsung menjerit dan berhambur memeluk
Mbah Joyo.
Semua lantas merubung Mbah Joyo yang masih dipeluk,
dielus dan diciumi Mbok Yem. Semuanya gembira.
91
“Ke mana saja sampeyan semalam, Mbah Joyo, kok tahu-
tahu sudah ada di sini ?” tanya ketua rombongan.
“Mbah Joyo sudah melempar jumrah Aqabah?” tanya yang
lain.
Mbah Joyo hanya mengangguk sambil tersenyum sambil
memperlihatkan kini dia telah menggunakan piyama yang berarti
telah selesai menjalankan jumrah. Kemudian bercerita seperti sedang
menceritakan sebuah dongeng.
“Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus. Saya bertemu
dengan anak muda yang gagah dan ganteng dan diajak naik
kendaraannya yang bagus sekali. Saya bilang bahwa saya bersama
rombongan kawan dan istri saya. Dia bilang sudah tahu dan
meyakinkan akan bertemu lagi dengan robongan di Mina. Bapak
sudah tua, katanya, nanti capek kalau naik bus. Akhirnya saya ikut.
Sampai di Mina saya dibawa kemari, disuruh istirahat sebentar. Saya
tertidur entah berapa lama. Tahu-tahu menjelang subuh saya
dibangunkan dan diajak melempar Jumrah Aqabah. Setelah itu saya
diantar kemari lagi. Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia
pamit dan katanya sebentar lagi kalian akan datang. Dan ternyata dia
benar.”
“Dia itu siapa, Mbah ? Orang Mana ?”
“Wah, iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya begitu
ketemu dia langsung akrab. Jadi saya sungkan dan akhirnya , sampai
pergi, saya lupa menanyakan nama dan alamatnya.”
“Ajaib.”
Rupanya bagi Mbok Yem apa yang dialami suaminya
merupakan anugrah Allah yang ada kaitannya dengan amal
perbuatannya. Dia menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika
Mbah Joyo menghilang. Mbok Yem ternyata dulu adalah WTS
sedangkan Mbah Joyo adalah “langganan”-nya yang dengan sabar
membuatnya sadar, mengentaskannya dari kehidupan mesum.
91
Setelah mereka berdua nikah, mereka menjalankan usaha warung
kecil-kecilan hingga akhirnya menjadi besar dan memiliki tabungan
untuk naik haji, sesuatu yang menjadi cita-cita keduanya. Mereka
mempunyai keyakinan bahwa dosa-dosanya hanya bisa benar-benar
diampuni apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di
Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina. seperti kata kyai di kampung,
haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.
“Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang,
sehingga kami berdua masih berkesampatan menyempurnakan
ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah selesai nanti,
kami ikhlas kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami kapan
saja. Syukur di sini, di tanah suci ini.” Mbok Yem mengusap
airmatanya, air mata bahagia, baru kemudian dibaringkannya
tubuhnya di sisi tubuh ibuku.
Cerita ini merupakan kisah nyata yang terjadi dan dialami
oleh Gus Mus pada tahun 1970 ketika masih kuliah di Kairo dan
berkerja sebagai tenaga musiman di Kedubes RI di Jedah.12
Demikianlah gambaran cerpen-cerpen yang terdapat di dalam kumpulan
cerpen “Lukisan Kaligrafi” karya K.H. Ahmad Mustofa Bisri.13
12 A. Mustofa Bisri, Saya Merasa Diwelwhke Tuhan, dalam Mustofa W. Hasyim dan
Ahmad Munif, Sebuah Perjalanan Air Mata, Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997), hlm. 157.
13 Disarikan dari A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, op. cit., hlm. 1-130.