cerpen-mutiara tanpa berlian

9
Mutiara Tanpa Berlian Senja akan beranjak. Langit keemasan mulai dibayang- bayangi malam yang akan segera menjemput. Dia masih tenggelam dalam keasyikan menatap langit dan awan yang berarak-arak membentuk beberapa rupa yang dia ciptakan dalam ruang imajinasinya sendiri. Tidak ada seorangpun yang memikirkannya bahkan ketika hatinya terluka. Dia selalu sendirian ketika membutuhkan dan dia tidak terlalu berharga untuk dibutuhkan. Setidaknya, begitulah yang dia pikirkan tentang dirinya sendiri. Hanya seorang gadis di masa lalu yang mampu membuat dia merasa berarti dan memiliki tujuan untuk hidup. Suara Mama menyadarkannya dari lamunan berkepanjangan. Mama mengingatkannya untuk segera mandi. Dengan langkah gontai dia masuk. Langkahnya terhenti tatkala melihat seseorang keluar dari dalam rumah tetangga sebelah. Mereka saling bertukar pandangan cukup lama, dengan tatapan yang sama-sama tajam. Hingga akhirnya dia memilh untuk membuang muka dan meneruskan langkahnya. Hatinya terasa sedikit sakit dan jantungnya berdegup kencang. Tanpa dia sadari air mata telah menggenang di pelupuk matanya. Mutiara dan Berlian, dua gadis yang telah bersahabat sejak kecil. Suka duka telah mereka lewati bersama, setiap detail peristiwa yang berkesan tak pernah lekang dari ingatan mereka.

Upload: rizal355

Post on 31-Jan-2016

1 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

cerpen

TRANSCRIPT

Page 1: Cerpen-mutiara Tanpa Berlian

Mutiara Tanpa Berlian

Senja akan beranjak. Langit keemasan mulai dibayang-bayangi malam yang akan

segera menjemput. Dia masih tenggelam dalam keasyikan menatap langit dan awan yang

berarak-arak membentuk beberapa rupa yang dia ciptakan dalam ruang imajinasinya sendiri.

Tidak ada seorangpun yang memikirkannya bahkan ketika hatinya terluka. Dia selalu

sendirian ketika membutuhkan dan dia tidak terlalu berharga untuk dibutuhkan. Setidaknya,

begitulah yang dia pikirkan tentang dirinya sendiri. Hanya seorang gadis di masa lalu yang

mampu membuat dia merasa berarti dan memiliki tujuan untuk hidup.

Suara Mama menyadarkannya dari lamunan berkepanjangan. Mama

mengingatkannya untuk segera mandi. Dengan langkah gontai dia masuk. Langkahnya

terhenti tatkala melihat seseorang keluar dari dalam rumah tetangga sebelah. Mereka saling

bertukar pandangan cukup lama, dengan tatapan yang sama-sama tajam. Hingga akhirnya dia

memilh untuk membuang muka dan meneruskan langkahnya. Hatinya terasa sedikit sakit dan

jantungnya berdegup kencang. Tanpa dia sadari air mata telah menggenang di pelupuk

matanya.

Mutiara dan Berlian, dua gadis yang telah bersahabat sejak kecil. Suka duka telah

mereka lewati bersama, setiap detail peristiwa yang berkesan tak pernah lekang dari ingatan

mereka.

Hingga akhirnya suatu masalah merusak tali persahabatan mereka. Tidak ada yang

menyangka hubungan mereka bisa retak begitu saja. Mutiara dan Berlian, tidak lagi memiliki

magnet untuk bersatu. Ada jarak yang cukup besar terbentang ditengah mereka. Dan itu

menjadi misteri yang tidak diketahui oleh siapapun selain mereka berdua dan Tuhan. Entah

apa yang dapat memulihkan hubungan mereka berdua. Tidak ada satupun di antara mereka

yang mencoba untuk memulai mengakhiri permusuhan itu.

“Kamu bilang kita saling memiliki, padahal sebenarnya kita tidak pernah saling

memiliki. Semua janji yang kamu ucapkan selama ini hanya bualan yang menjijikkan. Kamu

pembohong! ” Jerit Berlian marah ditengah derai hujan deras yang mengguyur waktu itu.

“Maafkan aku Ian .” Hanya beberapa kata singkat itu yang mampu Mutiara ucapkan.

Air matanya yang jatuh mengalir tersembunyi dibalik guyuran hujan.

Page 2: Cerpen-mutiara Tanpa Berlian

“Aku benci kamu! Kita akhiri saja ini semua. Mulai sekarang, bersikaplah seolah-olah

kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Dan kalau bisa, jangan pernah muncul lagi di

hadapanku. Kau membuatku mual. Ciihh!” Berlian berbalik dan meninggalkan tubuh

mungil Mutiara menggigil kedinginan ditengah hujan yang tak kunjung reda.

Mutiara masih mengingat jelas kejadian beberapa minggu lalu. Dia tidak akan pernah

bisa melupakan peristiwa penting itu.

Sore itu, Mutiara dan Berlian masih menunggu hujan reda di koridor depan kelas

mereka. Sekolah sudah sepi, hanya mereka berdua yang kelihatannya masih berada di koridor

sekolah. Tangan mereka saling menggengam erat, Mutiara menyandarkan kepalanya di

pundak Berlian. Suara petir menggelegar bersahut-sahutan, membuat suasana menjadi begitu

mencekam. Sore itu Mutiara lebih banyak diam dan merenung. Tidak seperti dirnya yang

biasa cerewet dan usil.

Berlian meraih dagu Mutiara dan menatap matanya, mencoba menyelami apa yang

gadis itu sembunyikan. Sorot mata Mutiara tidak berbinar seperti biasanya dia menatap

Berlian. Pandangan itu terkesan hampa dan kelelahan.

“Kamu kenapa ?” Berlian mendekatkan wajahnya pada Mutiara, bibir mereka hanya

berjarak beberapa centi.

“Aku bingung dan lelah.” Bisik Mutiara dan melepaskan genggamannya. Dia

menggeser duduknya dan menjauh dari Berlian. Dia melemparkan pandangannya ke arah

lain, menghindari tatapan tajam Berlian yang meminta penjelasan.

“Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku ?”

“Nggg... aku merasa ada yang salah dengan ini semua.”

“Apa?” Ketus Berlian.

“Kita sudah melangkah terlalu jauh, melewati batas yang seharusnya tidak boleh kita

jalani. Aku menyerah, Ian. Ini semua tidak benar, kita harus memperbaiki ini semua.”

Butiran-butiran air bening menetes membasahi pipi tembem Mutiara.

“Kamu ngawur Tiara . Kamu kelelahan sehingga mengucapkan hal yang tidak pantas

begitu. Ayo pulang! Aku bisa gila kalau kamu terus ngigau begitu.” Berlian menarik

pergelangan tangan Mutiara dan memaksanya berjalan ditengah guyuran hujan.

Page 3: Cerpen-mutiara Tanpa Berlian

Mutiara menarik pergelangan tangannya yang terasa sakit. “Kita sudah melanggar

batas kewajaran. Aku ingin normal seperti gadis lainnya.”

“Normal kamu bilang? Kita sudah ditakdirkan untuk hidup seperti ini. Tidak akan ada

yang bisa kamu ubah selain menerimanya. Berhentilah menjadi orang munafik.” Berlian

mengguncang-guncangkan pundak Mutiara.

“Tapi ini semua salah!” Mutiara berlari meninggalkan Berlian. Tetapi cengkraman

tangan Berlian yang kuat menahannya.

“Salah siapa kita ditakdirkan untuk menyukai sesama jenis seperti ini hah ? Salah

siapa ? Jawab aku!” Berlian menggeram marah, matanya membelalak dan tangannya

mencengkram pergelangan tangan Mutiara semakin kuat.

“Aku hanya ingin hidup normal Ian.” Mutiara menangis terisak-isak.

Sejak sore itu segalanya berubah. Mereka berdua mulai sibuk dengan diri dan dunia

masing-masing. Saling menahan rindu demi keinginan untuk hidup normal. Semua orang

bingung, semua orang bertanya-tanya, tetapi mereka hanya diam seribu bahasa meninggalkan

pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.

Mereka sama-sama saling merasa sakit dan kehilangan. Sama-sama harus mengakhiri

rasa yang tengah bergejolak di antara mereka. Mereka berdua hanya gadis remaja biasa yang

sedang mencoba menata hati dan perasan. Mereka sedang menghadapi kenyataan hidup yang

begitu pahit

Hingga suatu hari, sepucuk surat terselip di buku catatan Mutiara. Sepucuk surat

beramplop ungu. Ungu adalah warna favorit Mutiara dan Berlian. Dengan jantung yang

berdegup kencang dan tangan yang sedikit bergetar Mutiara membaca isi surat itu. Pesan

sederhana, ditulis dengan acak-acakan.

Tolong temui aku di taman belakang sekolah.

Aku berjanji dengan seluruh nafasku, aku tidak akan menyakitimu.

Hanya sebentar, kumohon. Pukul 3 sore nanti. Aku menunggu.

Mutiara tidak sabar menunggu waktu itu. Dia berdandan secantik mungkin. Simple,

tapi menawan. Ada keinginan yang hebat untuk tampil cantik di depan Berlian setelah sekian

Page 4: Cerpen-mutiara Tanpa Berlian

lama tidak ada pertemuan seperti ini di antara mereka. Tidak bisa dia pungkiri, perasaan

sayang itu masih tersimpan jauh di lubuk hatinya sekeras apapun dia berusaha menguburnya.

Sore itu angin berhembus sepoi-sepoi, rambut panjang Mutiara berkibar-kibar indah.

Langkahnya terhenti menatap punggung Berlian yang duduk membelakanginya.

“Hai.” Bisik lidahnya terasa kelu.

“Hai!” Berlian berbalik dan memamerkan senyum termanisnya. Rambutnya yang

pendek mulai memanjang dan diberi bando. Tidak seperti Berlian yang biasanya. Berlian

tidak pernah tampil sefeminim itu.

Dia menepuk bangku yang kosong disebelahnya. “Sini duduk.”

“Apa kabar ?”

“Baik. Kamu ?”

“Tidak pernah baik sejak kehilangan kamu.” Berlian menatap mata Mutiara.

“Kamu mau bilang apa ? Aku tidak boleh berlama-lama disini.” Ujar Mutiara gugup.

“Hanya ingin mengucapkan salam perpisahan kepada orang yang kucintai.” Sahut

Berlian tercekat.

“Maksud kamu apa?”

“Aku cuman mau mengucapkan terimakasih atas segala kebersamaan yang udah kita

jalani selama ini. Mulai dari kita bermain bersama di waktu kecil, hingga tanpa kita sadari

ada perasaan yang tidak wajar muncul diantara kita ketika beranjak dewasa. Semuanya indah,

setiap duka maupun suka yang pernah kita lalui.” Berlian menatap lurus ke depan, ke arah

taman bunga yang bunganya mulai bermekaran.

Mutiara menatapi wajah gadis itu. Gadis yang selama ini menjadi sosok yang

melindunginya dan menjaganya layaknya seorang pria. Gadis yang selalu mengisi hari-

harinya sehingga terasa berharga.

“Aku tidak mengerti.”

“Aku akan pergi ke luar negri. Ingin memulai segala sesuatunya dari awal, belajar

untuk menjalani hidup seperti gadis normal pada umumnya. Belajar melupakan kamu, tapi

Page 5: Cerpen-mutiara Tanpa Berlian

tidak akan pernah mengubur kenangan tentang kamu. Kamu betul, kita tidak boleh terus

menerus terjebak pada perasaan yang tidak wajar. Kita berdua tahu ini adalah hal yang

terlarang.”

Tanpa disadari oleh dirinya sendiri, air mata Mutiara mengalir deras. Dia menggigit

bibirnya menahan rasa sakit di dadanya dan membenamkan wajahnya dibalik kedua telapak

tangannya.

“Berikan aku pelukan perpisahan, Tiara.” Bisik Berlian lembut.

“Maafkan aku Ian.” Hanya itu yang mampu ia ucapkan.

Mereka saling merangkul, berurai air mata dan melepas kerinduan yang menyiksa

mereka selama ini.

“Kelak kalau kita berjumpa, aku ingin lihat kita saling memperkenalkan pria

pendamping hidup kita. Bukan seorang wanita. Kau harus bahagia tanpa aku Tiara.” Berlian

mengecup lembut kening Tiara. Untuk yang terakhir kalinya.

“Janji. Aku berjanji. Kita akan tetap bersama walau dipisahkan jarak, kita akan tetap

saling memiliki sebagai seorang sahabat. Aku menyayangimu.”

Mereka berdua saling menautkan jari kelingking mereka.

“Bunga-bunga yang bermekaran itu menjadi saksi kita ya.” Ujar Tiara ditengah isak

tangisnya.

“Iya. Sekarang ijinkan aku merasakan bibirmu yang indah untuk pertama dan yang

terakhir kalinya.” Berlian mengangkat dagu Mutiara.

Mutiara hanya memejamkan matanya. Dan yang ia rasakan hanyalah jari Berlian yang

menghapus lembut air matanya. Tidak ada ciuman seperti yang ia bayangkan, yang ada hanya

pelukan lembut dari seorang gadis yang sangat dikasihinya.

Page 6: Cerpen-mutiara Tanpa Berlian

BIODATA PENULIS

Nama : Natanya Aloifolia Munthe

Tempat/ Tanggal Lahir : Medan, 04 Agustus 1995

Status : Mahasiswa

Jurusan/ Fakultas : Akuntansi / PDEB SV UGM 2013

No. Handphone : 085270096022

Alamat :Jl. Kuningan Blok H No.43 RT / RW 08/04 Selatan

Lembah UGM, Sleman, DIY