chapter ii

13
 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diklofenak 2.1.1 Rumus Bangun Gambar 1. Struktur kimia Diklofenak Natrium 2.1.2 Sifat Fisikokimia Rumus Molekul : C 14 H 10 Cl 2  NO 2  Na Berat Molekul : 318,3  Nama Kimia : Natrium {0-[2,6 dikofenil aminofenil} asetat Pemerian : Serbuk kristal, putih atau agak kekuningan, agak hi groskopis (USP Pharmacopiea, 2007). Diklofenak merupakan derivat fenil asetat dan termasuk NSAID yang terkuat daya anti-radangnya dengan efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan obat lainnya. Obat ini sering digunakan untuk segala macam nyeri, juga pada migrain dan encok. Lagi pula secara parenteral sangat efektif untuk menanggulangi rasa nyeri hebat (Tjay, 2002). Universitas Sumatera Utara

Upload: annajmiyatul-fitria

Post on 10-Jul-2015

69 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 1/13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diklofenak 

2.1.1 Rumus Bangun

Gambar 1. Struktur kimia Diklofenak Natrium

2.1.2 Sifat Fisikokimia

Rumus Molekul : C14H10Cl2 NO2 Na

Berat Molekul : 318,3

  Nama Kimia : Natrium {0-[2,6 dikofenil aminofenil} asetat 

Pemerian : Serbuk kristal, putih atau agak kekuningan, agak hi

groskopis (USP Pharmacopiea, 2007).

Diklofenak merupakan derivat fenil asetat dan termasuk NSAID yang terkuat

daya anti-radangnya dengan efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan obat

lainnya. Obat ini sering digunakan untuk segala macam nyeri, juga pada migrain dan

encok. Lagi pula secara parenteral sangat efektif untuk menanggulangi rasa nyeri hebat

(Tjay, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 2/13

Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang merupakan

 penghambat COX yang kuat dengan efek anti-inflamasi, analgesik, dan antipiretik. Obat

ini cepat diabsorpsi setelah pemberian oral dan mempunyai waktu paruh yang pendek.

Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti artritis rematoid dan

osteoartritis serta untuk pengobatan nyeri otot rangka akut. Efek samping terjadi kira-kira

20% penderita dan meliputi distres saluran cerna, perdarahan saluran cerna dan tukak 

lambung (Payan,1998). Inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa saluran cerna sering

menyebabkan kerusakan  gastrointestinal  (dispepsia, mual dan gastritis). Efek samping

yang paling serius adalah perdarahan gastrointestinal dan perforasi (Neal, 2006).

Diklofenak resorpsinya dari usus cepat dan lengkap, tetapi ketersediaan hayatinya

rata-rata 55% akibat FPE.. Efek analgetiknya dimulai setelah 1 jam, secara rektal dan

intramuskuler lebih cepat, masing-masing setelah 30 dan 15 menit. Penyerapan garam K 

(Cataflam) lebih pesat dari pada garam Na. Ikatan obat dengan protein plsma di atas 99%,

waktu paruhnya 1 jam. Ekskresi melalui kemih berlangsung 60% sebagai metabolit dan

20% dalam empedu dan tinja, sisanya dalam bentuk tidak berubah (Tjay, 2002).

Profil keberadaan bahan obat dalam darah sebagai fungsi dari waktu

menggambarkan interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. Selain

itu profil tersebut juga mengungkapkan nasib obat di dalam tubuh. Oleh karena fenomena

  penyerapan zat aktif dari darah menuju jaringan dapat terjadi secara bolak-balik 

(reversible), maka selalu terjadi hubungan dinamik antara konsentrasi zat aktif dalam

 jaringan dan konsentrasi zat aktif dalam darah (Aiache, 1993).

Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskuler yang

lain bergantung pada bentuk sediaan, anatomi dan fisiologi tempat absorpsi. Faktor-faktor 

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 3/13

seperti luas permukaan dinding usus, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan

saluran cerna dan aliran darah ke tempat absorpsi, semuanya mempengaruhi laju dan

 jumlah absorpsi obat (Shargel, 2005).

Absorpsi merupakan suatu fenomena yang memungkinkan zat aktif melewati

 jalur pemberian obat menuju sistem peredaran darah, dan penyerapan obat terjadi secara

langsung dengan mekanisme perlintasan membran. Tanpa mengabaikan masalah

ketersediaan hayati, maka harus dibahas pentingnya bentuk sediaan, perlunya zat aktif 

  berada dalam bentuk yang sesuai agar dapat menembus membran dan pentingnya

kelarutan atau keterlarutan zat aktif padat (Aiache, 1993).

Diklofenak adalah golongan obat non steroid dengan aktivitas anti inflamasi,

analgetik-antipiretik. Aktivitas diklofenak dengan jalan menghambat enzim siklo-

oksigenase sehingga pembentukan prostaglandin terhambat (Altaher, 2005).

  NSAID berkhasiat analgetis, antipiretik serta anti radang, dan sering sekali

digunakan untuk menghalau gejala penyakit rematik, seperti artrosis dan spondylosis.

Obat ini efektif unruk peradangan lain akibat trauma (pukulan, benturan, kecelakaan),

  juga misalnya setelah pembedahan, atau pada memar akibat olahraga. Obat ini dipakai

  pula untuk mencegah pembengkakan bila diminum sedini mungkin dalam dosis yang

cukup tinggi (Tjay, 2002).

Cara kerja NSAID untuk sebagian besar berdasarkan hambatan sintesis

  prostaglandin, dimana kedua jenis cyclo-oxygenase (COX) di blokir. NSAID ideal

hendaknya hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan

mukosa lambung), lagi pula menghambat lipo-oxygenase (pembentukan leukotrien)

(Tjay, 2002). Diklofenak adalah inhibitor COX yang memiliki afinitas lebih besar untuk 

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 4/13

COX-2 dibanding COX-1. Diklofenak menghambat biosintesa prostaglandin, dan juga

mengurangi pembentukan leukotrien, yang dapat memberikan kontribusi kepada aktivitas

anti-inflamasi. Obat ini waktu paruhnya pendek pada sebagian besar spesies, termasuk 

manusia, tetapi terakumulasi di situs peradangan, dimana mencapai konsentrasi yang

lebih tinggi di non-peradangan jaringan, dan sama dengan yang dicapai dalam plasma

(Veterinaria, 2006).

Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini

terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek metabolisme lintas pertama ( first 

  pass effect = FPE). Walaupun waktu paruhnya singkat yakni sekitar 1-3 jam, Na

diklofenak diakumulasi di cairan sinovial yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh

lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut (Altaher, 2005).

Informasi tentang kecepatan dan tingkat absorpsi obat jarang mempunyai

kepentingan klinis. Namun, absorpsi biasanya terjadi selama dua jam pertama setelah

dosis obat dan bervariasi menurut asupan makanan, posisi tubuh dan aktivitas. Oleh

karena itu tidak boleh mengambil darah sebelum absorpsi lengkap (kira-kira 2 jam

setelah dosis oral) (Holford, 1998).

Proses-proses absorpsi, distribusi dan eliminasi (metabolisme dan ekskresi) yang

dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi mengikuti kinetika orde pertama ( first 

order), artinya kecepatan proses-proses tersebut sebanding dengan jumlah obat yang ada

(yang tinggal). Jadi jumlah obat yang dibasorpsi, distribusi dan dieliminasi persatuan

waktu makin lama makin sedikit, sebanding dengan jumlah obat yang masih belum

mengalami proses tersebut (Setiawati, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 5/13

Absorpsi obat adalah perpindahan obat dari tempat pemberian menuju ke darah

dan target aksinya. Untuk memasuki aliran sistemik (darah), obat harus dapat melintasi

membran (barier) yang merupakan faktor terpenting bagi obat untuk mencpai tempat

aksinya (misalnya otak, jantung, dan anggota badan yang lain). Obat harus dapat

melewati berbagai membran sel (misalnya sel usus halus, pembuluh darah, sel gilia di

otak, dan sel saraf) (Shargel, 2005).

Penyebaran zat aktif tergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisiko-

kimia molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila

sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi

setempat. Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses

  penyerapan zat aktif, baik dalam hal jumlah yang diserap maupun laju penyerapannya

(Aiache, 1993).

Jumlah obat yang masuk ke tubuh tergantung kepada kecepatan dan tingkat

transfer obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Kelebihan dosis atau kekurangan

dosis yang relatif terhadap dosis yang diresepkan sering dapat diketahui dengan

  pengukuran konsentrasi. Variasi-variasi tingkat ketersediaan hayati lebih sering

disebabkan oleh adanya metabolisme selama absorpsi, walaupun kadang-kadang dapat

 pula disebabkan oleh kesalahan pembuatan formulasi obat tertentu (Holford, 1998).

Pada distribusi khususnya melalui peredaran darah, obat yang telah melalui hati

  bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara merata ke seluruh jaringan tubuh.

Melalui kapiler dan cairan ekstra sel (yang mengelilingi jaringan) obat diangkut ke

tempat kerjanya di dalam sel (cairan intra-sel), yaitu organ atau otot yang sakit. Tempat

kerja ini hendaknya memiliki penyaluran darah yang baik karena obat hanya dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 6/13

melakukan aktivitasnya bila konsentrasi setempatnya cukup tinggi selama waktu yang

cukup lama. Seringkali distribusi obat tidak merata akibat beberapa gangguan, yaitu

adanya rintangan, misalnya rintangan darah-otak, terikatnya obat pada protein darah atau

 jaringan dan lemak (Tjay, 2002).

Pada tahap distribusi ini penyebarannya sangat peka terhadap berbagai pengaruh

yang terkait dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi sesudahnya yaitu peniadaan,

serta terkait pula dengan komposisi biokimia serta keadaan fisiopatologi subyeknya,

disamping itu perlu diingat kemungkinan adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada

tahap ini merupakan fenomena dinamik, yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan

 penurunan kadar zat aktif. Pengertian akumulasi dan penimbunan terutama penimbunan

 bahan toksik, harus dijajaki dari sudut pandang dinamik, maksudnya melihat perbedaan

antara kecepatan masuk dan kecepatan keluar. Sebenarnay penimbunan bahan toksik 

merupakan efek racun atau hasil fatal sebagai akibat lambat atau sangat lambatnya laju

  pengeluaran dibandingkan laju penyerapan. Pengertian tentang waktu paruh biologik 

suatu zat aktif, seringkali diartikan dengan waktu setengah peniadaan dan bertumpu pada

kinetik, maka pengurangan laju peniadaan obat yang terbaca merupakan penjumlahan

aljabar dari laju peniadaan murni dan laju kembalinya zat aktif dari jaringan menuju

darah (distribusi inversi) (Aiache, 1993).

Bila obat diberikan per oral, maka availabilitas sistemiknya kurang dari 1 dan

  besarnya bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding saluran cerna

(jumlah obat yang dibasorpsi) dan jumlah obat yang mengalami eliminasi presistemik 

(metabolisme lintasan pertama) di mukosa usus dan dalam hepar (Setiawati, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 7/13

Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum masuk ke

dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung, paru-paru dan

  jaringan lainnya). Di dalam lever terdapat enzim khusus (yaitu sitokrom P-450) yang

akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih

larut dalam air (polar) dan akan dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses,

keringat, dan lain-lain. Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam

  plasma dimana obat yang mengalami  first pass metabolism akan kurang

 bioavailabilitasnya sehingga efek yang dihasilkan juga berkurang (Hinz, 2005).

Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian klinik berhubungan dengan

farmakokinetikanya. Efek obat terhadap tubuh pada dasarnya merupakan akibat interaksi

obat dengan reseptornya; maka secara teoretis intensitas efek obat baik efek terapi

maupun efek toksik tergantung dari kadar obat di tempat reseptor atau tempat kerjanya.

Oleh karena kadar obat di tempat kerja belum dapat diukur, maka sebagai gantinya

diambil kadar obat dalam plasma / serum yang umum dalam keseimbangan dengan

kadarnya di tempat kerja (Setiawati, 2005).

Farmakokinetika menggunakan model matematik untuk menguraikan proses-

 proses absorpsi, distribusi, biotranformasi dan ekskresi. Dengan memperkirakan besarnya

kadar obat dalam plasma sebagai fungsi dari besarnya dosis terhadap waktu pengambilan

sampel darah dalam penetapan kadar obat dalam darah tersebut (Setiawati, 2005).

Aktivitas serta toksisitas obat tergantung pada lama keberadaan dan perubahan zat

aktif di dalam tubuh. Penelitian tentang nasib obat dalam tubuh merupakan rangkaian

  penyidikan yang harus dilakukan untuk mengethui kapan obat tersebut menunjukkan

aktivitasnya atau efek toksiknya, sehingga dapat diketahui bahwa obat dengan dosis yang

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 8/13

diberikan akan memberikan efek terapi atau efek toksik dengan melihat nilai ambang

terapi dari obat tersebut. (Aiache, 1993).

Pada umumnya zat aktif suatu obat akan menunjukkan efek farmakologik pada

titik-tangkap jaringan bila bahan tersebut telah mencapai tempat tersebut dengan

  perantaraan darah. Peredaran darah bagaikan “lempeng berputar” dari perjalanan obat.

Fenomena penyerapan sebagai tahap awal farmakokinetika, ditentukan oleh penembusan

zat aktif ke dalam darah yang selanjutnya oleh darah dihantarkan menuju sasaran kerja

farmakologik, mengalami perubahan hayati dan selanjutnya ditiadakan (Aiache, 1993).

Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama

seperti semua obat NSAID. Pemakaian obat ini harus berhati-hati pada penderita tukak 

lambung. Peningkatan enzim transaminasi dapat terjadi pada 15% pasien dan umumnya

kembali ke normal. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan (Wilmana, 2005).

Diklofenak merupakan non-steroid anti-inflamasi (NSAID) yang telah digunakan

dalam farmakoterapi selama bertahun-tahun. Diklofenak diindikasikan untuk pengobatan

  berbagai peradangan dan pasca trauma gangguan degeneratif, serta perawatan pra-

operasi untuk katarak-ekstraksi (Veterinaria, 2006).

Diklofenak mempunyai durasi kerja singkat.. Obat ini bisa memberikan analgesia

 pasca operasi yang cukup dan tidak menyebabkan depresi napas. Efek analgesik NSAID

yang terdapat pada diklofenak digunakan baik di perifer maupun di sentral, tetapi efek 

 perifernya lebih banyak. Efek analgesik biasanya berhubungan dengan efek antiinflamasi

dan diakibatkan oleh inhibisi sistesis prostaglandin dalam jaringan yang meradang.

Prostaglandin mempotensiasi nyeri yang disebabkan mediator inflamasi lain. Pada

inflamasi prostaglandin berperan dalam vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 9/13

vaskuler. Akan tetapi, inhibisi sistesis prostaglandin oleh NSAID mengurangi inflamasi

daripada menghilangkannya karena obat ini tidak menghambat mediator inflamasi

lainnya. Meskipun demikian, pada sebagian besar pasien dengan artritis reumatoid, efek 

anti-inflamasi relatif ringan untuk mengurangi nyeri, kekakuan dan pembengkakan.

 Namun, tidak mengubah perjalanan penyakit (Neal, 2006).

Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu   Nonsynthetic Reactions (Reaksi

Fase I) dan Synthetic Reactions (Reaksi fase II). Reaksi fase I terdiri dari oksidasi,

reduksi, hidrolisa, alkali, dan dealkilasi. Metabolitnya bisa lebih aktif dari senyawa

asalnya. Umumnya tidak dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya metabolisme lebih

lanjut. Reaksi fase II berupa konjugasi (glukoronidasi dan sulfatasi) yaitu penggabungan

suatu obat dengan suatu molekul lain. Metabolitnya umumnya lebih larut dalam air dan

mudah diekskresikan (Hinz, 2005).

Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim yang dapat

meningkatkan kecepatan biotransformasi dirinya sendiri, atau obat lain yang

dimetabolisme oleh enzim yang sama yang dapat menyebabkan toleransi. Selain itu

inhibisi enzim yang merupakan kebalikan dari induksi enzim, biotransformasi obat

diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat, menimbulkan efek menjadi

lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga berpengaruh terhadap

metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh sistem enzim yang sama

(contoh alkohol dan barbiturat). Perbedaan individu juga berpengaruh terhadap

metabolisme karena adanya genetic polymorphism, dimana seseorang mungkin memiliki

kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang sama (Hinz, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 10/13

Metabolit umumnya merupakan suatu bentuk yang lebih larut dalam air 

dibandingkan molekul awal. Perubahan sifat fisiko-kimia ini paling sering dikaitkan

dengan penyebaran kuantitatif metabolit yang dapat sangat berbeda dari zat aktifnya

dengan segala akibatnya. Jika metabolit ini merupakan mediator farmakologik, maka

akan terjadi perubahan, baik berupa peningkatan maupun penurunan efeknya (Aiache,

1993).

Obat akan dieliminasi dari dalam tubuh dalam bentuk metabolitnya. Organ

ekskresi utama adalah ginjal yang menghasilkan urin. Namun bisa juga melalui paru-

 paru, keringat, air liur, feses dan asi (Hinz, 2005).

Obat dan metabolitnya yang terlarut dalam plasma melintasi dinding glomeruli

secara pasif dengan ultrafiltrat. Ekskresi dapat diperlancar dengan memperkuat disosiasi

obat yang kebanyakan bersifat asam atau basa lemah dengan derajat ionisasi yang agak 

ringan (Tjay, 2002).

Untuk dapat menilai suatu obat secara klinis, menetapkan dosis dan skema

 penakarannya yang tepat, perlu adanya sejumlah keterangan farmakokinetik. Khususnya

mengenai kadar obat di tempat tujuan kerja (target site) dan dalam darah, serta perubahan

kadar ini dalam waktu tertentu. Pada umumnya besarnya efek obat tergantung pada

konsentrasinya di target site dan ini berhubungan erat dengan konsentrasi plasma

(Waldon, 2008).

Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada kecepatan

metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat yang

dinyatakan dengan pengertian plasma half-life eliminasi (waktu paruh, t1/2) yaitu rentang

waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi menurun smapai separuhnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 11/13

Kecepatan eliminasi obat dan plasma t1/2-nya tergantung dari kecepatan biotransformasi

dan ekskresi. Obat dengan metabolisme cepat half life-nya juga pendek. Sebaliknya zat

yang tidak mengalami biotrasformasi atau yang diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal,

dengan sendirinya t1/2-nya panjang (Waldon, 2008).

AUC (Area Under Curve) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang

menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat

dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas suatu obat.

AUC dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila

  penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu antara kadar 

 plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Waldon, 2008).

Plasma half-life merupakan ukuran untuk lamanya efek obat, maka t1/2 bersama

grafik kadar-waktu penting sekali sebagai dasar untuk menentukan dosis dan frekuensi

 pemberian obat yang rasional, dengan kata lain berapa kali sehari sekianmg. Dosis yang

terlalu tinggi atau terlalu frekuen dapat menimbulkan efek toksis, sedangkan dosis

terlampau rendah atau terlalu jarang tidak menghasilkan efek, bahkan pada

kemoterapeutika dapat menimbulkan resistensi kuman (Waldon, 2008).

Obat dengan half-life panjang, lebih dari 24 jam pada umumnya cukup diberikan

dosis satu kali sehari dan tidak perlu sampai 2 atau 3 kali. Kecuali bila obat sangat terikat

  pada protein, sedangkan kadar plasma tinggi diperlukan untuk efek terapeutiknya.

Sebaliknya, obat yang dimetabolisasi cepat dan t1/2-nya pendek, perlu diberikan sampai 3-

6 kali sehari agar kadar plasmanya tetap tinggi (Waldon, 2008).

Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang

diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat. Pada

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 12/13

tmaks absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi

obat. Absorpsi masih berjalan setelah tmaks tercapai, tetapi pada laju yang lebih lambat.

Harga tmaks menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai

konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi lebih cepat (Shargel, 2005).

Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam

  plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu hubungan

antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma. Konsentrasi

  plasma puncak memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik 

untuk memberi suatu respons terapetik. Selain itu konsentrasi plasma puncak juga

memberi petunjuk dari kemungkinan adanya kadar toksik obat (Shargel, 2005).

Volume distribusi (vd) menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubh dengan

kadar plasma atau serum. Vd tidak perlu menunjukkan volume penyebaran obat yang

sesungguhnya ataupun volume secara anatomik, tetapi hanya volume imajinasi dimana

tubuh dianggap sebagi 1 kompartemen yang terdiri dari plasma atau serum, dan Vd

menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan kadarnya dalam plasma atau serum

(Setiawati, 2005).

Besarnya Vd ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, fungsi kardiovaskular,

kemampuan molekul obat memasuki berbagai kompartemen tubuh, dan derajat ikatan

obat dengan protein plasma dan dengan berbagai jaringan. Obat yang tertimbun dalam

 jaringan sehingga kadar dalam plasma rendah sekali, sedangkan obat yang terikat dengan

kuat pada protein plasma sehingga kadar dalam plasma cukup tinggi mempunyai vd

yang kecil (Setiawati, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

5/10/2018 Chapter II - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-ii-55a0c5dfbb729 13/13

Volume distribusi yang diperoleh mencerminkan suatu keseimbangan antara

ikatan pada jaringan, yang mengurangi konsentrasi plasma dan membuat nilai distribusi

lebih besar, dengan ikatan pada protein plasma, yang meningkatkan konsentrasi plasma

dan membuat volume distribusi menjadi lebih kecil. Perubahan-perubahan dalam ikatan

dengan jaringan ataupun dengan plasma dapat mengubah volume distribusi yang

ditentukan dari pengukuran-pengukuran konsentrasi plasma (Holford, 1998).

Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa

mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya, jaringan tubuh atau organ

dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas (volume distribusi)

dimana obat terlarut di dalamnya (Shargel, 2005).

Untuk beberapa obat rute pemakaian mempengaruhi kecepatan metabolismenya.

Obat-obat yang diberikan secara oral diabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus

halus dan ditanspor melalui pembuluh mesenterika menuju vena porta hepatik dan

kemudian ke hati sebelum ke sirkulasi sistemik. Obat-obat yang dimetabolisme dalam

  jumlah besar oleh hati atau oleh sel-sel mukosa usus halus menunjukkan availabilitas

sistemik yang jelek jika diberikan secara oral. Metabolisme secara oral sebelum mencapai

sirtkulasi umum disebut first pass effects atau eliminasi presistemik (Shargel, 2005).

Universitas Sumatera Utara