conservative-evangelical, conserverepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2020/08/... ·...
TRANSCRIPT
1Ini dimuat dalam Five Fundamentals of Faith, yang diwarisi kalangan Injilidari kaJangan Fundamentalls,kendati kaum lnjili tidak identik dengan Fundamentalis. Studidan upaya selanjutnya untuk menjelaskan ciri-cirievangelikalisme,misalnya yang dUakukansejarawan Inggris DavidBebbington,menyebut sejumlah ciri yangbeberapa di antaranya serupa dengan kelima hal di atas (Noll2008, 9;Vander Kooietal. 2012, 3-4).
2 Bab pertama dari buku Noll ini dibuka dengan sebuah pernyataan deduktifyang mengusik danmenan tang: "Skandal dari akal budi Injili adalah bahwa tidak ada akal budi Injili yang benar-benar balk,"Hampir seluruh isi bukunya berisi uraian tentang skandal itu, dibarengi ajakan kepada kalangan Injili agarkernbali menghargai akal-budi, hal yang sebenarnya sudah terlihat pada para pemuka Injili sejak awal.
Kalangan Injili tentu tidak menerima penilaian bernada cemooh ini, atau - secara
positif - menerima penilaian itu sebagai tantangan untuk membuktikan bahwa
Tetapi - seiring dengan pergeseran pemahaman atas istilah konservatif - pemahaman
atas idiom Injili-Konservatif juga semakin bergeser kepada yang kurang positif. Gerakan
dan teologi Injili-Konservatif sering dianggap kolot, tertutup, tidak terbuka pada perubahan
dan perkembangan, termasuk di bidang teologi. Kalangan Injili-Konservatif sering dicap
anti-intelektual, kurang menggunakan akal-budi, serta lebih suka berkutat pada rumusan
klasik, tradisional, alias kuno [lihat a.l, Noll 2008, 11-13).2
Konservatif secara etimologis sebenarnya bukanlah istilah yang jelek, karena to
conserve berarti memelihara atau mengawetkan, supaya tidak berubah (menjadi rusak).
Ketika istilah Injili digandengkan dengan Konservatif dan Tradisional, dapat dipahami
bahwa gerakari/aliran ini berupaya memelihara atau mengawetkan keyakinan, tradisi, dan
ajaran yang mendasar dari Kekristenan, a.I. (1) Alkitab atau Kitab Suci adalah Firman
Tuhan yang tidak bisa salah atau keliru, isinya mutlak benar karena diilhamkan oleh Allah;
(2) keilahian Kristus dan kelahiran-Nya dari anak dara (perawan); (3) kematian Kristus sebagai
ganti dan penebus manusia; (4) kebangkitan-Nya secara jasmani; dan (5) kedatangan-Nya
kedua kali.'
Dalam Iiteratur teologi sering ditemukan ungkapan "Conservative-Evangelical", Ini
mengundang pertanyaan (untuk diteliti lebih lanjut): apakah Evangelical (Injili) mesti sarna
dengan Konservatif? Penelitian ini mencoba menelusuri perkembangan gerakan dan
teologi Injili, terutama dalam beberapa dasawarsa terakhir, dengan tujuan untuk mencari
tahu apakah Injili (Evangelical) mesti sarna dengan Konservatif.
Pengantar
Prof. 'an S.Aritonang, Ph.D.
IN,ILI (EVANGELICAL) SAMA DENGAN KONSERVATIF?
Penelitian tentang Perkembangan Upaya Berteologi Kalangan Injili dalam Beberapa
Dasawarsa Terakhir
3 'Regenerasi', transisi, dan pemikiran-pemikiran baru di kalangan Injili ini a.1.dikaji dalarn Penning et al.(2002), Larsen et al. (2007, 290-1), dan Van der Kooi et al. (2012). Khusus Penning et al., meneliti regenerasidi kalangan mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi Injili di AS. Berdasarkan penelitian itu Penning et al.optimis bahwa Evangelical sebagai pemahaman maupun gerakan masih punya masa depan.
4 C. van der Kooi et al. (eds.). Evangelical Theology in Transtition (2012) secara khusus mengkajiperkembangan tradisi dan gerakan Injili di Belanda, kendati mengaitkannya juga dengan yang di AS. Oidalam buku ini, atau di Belanda, Evangelical dipahami mencakup juga Pentakostal dan Kharismatik, sepertijuga dikemukakan dalam Noll (2008,27).
Sejak sekitar tahun 1940-an di Amerika Serikat (AS)muncul gerakan dan paham Injili
baru atau neo evangelicalism (lihat a.l. Aritonang 1995, 239-44; Timothy George, dalam
Sejarah gerakan dan teologi Injili dapat ditelusuri ke belakang hingga abad ke-18 [a.l.
merujuk pada John Wesley dan Jonathan Edwards). Ada yang melacak akamya pada
Reformasi abad ke-16 dan Pietismeabad ke-17 dan 18 (Anderson 1997,480; Noll 2008, 4;
Van der Kooi et al. 2012, xi + 2-3). Bahkan, menyangkut komitmen, disiplin, dan semangat
menginjili, menurut Pierard & Elwell (dalam Elwell eds. 2001, 407) sudah terlihat sejak
masa para rasul dan gereja mula-mula.
Sepintas Laiu Perkembangan Gerakan dan Teologi Injlli
Naskah penelitian ini tidak akan membahas semua perkembangan dan varian teologi
Injili itu, melainkan dibatasi pada beberapa saja, yaitu Evangelical Left, Evangelicals for
Social Action, dan Younger Evangelicals. Disamping ketiga varian ini tentu masih banyak
lagi, a.l, Barthian Evangelicals, Post-Foundationalist Evangelicals, Non-Foundationalist
Evangelicals, dan Spiritual Evangelicals, yang tidak dikaji di sini. Bahkan di kawasan
kawasan tertentu di luar AS (yaitu di Afrika, Asia, Eropa, dan Amerika Latin) berlangsung
perkembangan teologi Injili secara spesifik; hal-hal itu juga tidak dibicarakan dalam naskah
penelitian ini. Bagiyang berminat dapat menelusurinya a.l. dalam Larsen et al. (eds.),
Evangelical Theology (2007); dan Van der Kooi et al. (eds.) (2012)4.
evangelical [isme] tidak anti-intelektual. Karena itu dalam beberapa dasawarsa terakhir kita
melihat terjadinya transisi dan munculnya beberapa gerakan atau varian baru di kalangan
Injili, terutama di AS, serta sejumlah teolog baru (a.1.Stanley Grenz, Kevin J. Vanhoozer,Steven Land, Cheryl Bridges Johns, Frank Macchia, David Wells, Miroslav Volf,RickWarren,
John Piper, dan Brian McLaren, dan dalam arti tertentu juga Veli-Matti Karkkainen],
lengkap dengan pemikiran dan karya-karyatulis teologi mereka yang tak kalah bobotnya
dibanding kalangan lain.' Di situ sekaligus diperlihatkan pemaknaan baru atas akal-budi
atau intelektualitas, yang tidak mesti identik dengan rasionalitas.
5 Menurut Timothy George (dalam Larsen et aI. [eds.] 2007,282-90) tokoh-tokoh neo evangelicalism inia.I.Carl F.H. Henry (1913-2003), E.I. Carnell (1919-1967), Bernard Ramm (1916-1992), Donald Bloesch (1928-),Clark H. Pinnock (1937- ), Thomas C. Oden (1931- ), Millard I. Erickson (1932- ), danJ.l. Packer (1926- ).Anderson (1997, 483-489) menambah lagi beberapa teolog: Gerrit W. Berkouwer (I903-1995) dan HelmutThielicke (1908-1986). TentuWilliam FrankJin (Billy) Graham (1918- ) tidak boleh dilupakan.
6 Sementara itu Van der Kooi et aI. (2012, 4) menengarai bahwa di kalangan lnjili modern, termasuk diBelanda, aroma dan citarasa Anabaptis [a.l. kritis dan mengambil jarak dari penguasa) kian hilang.
Lebih lanjut Keener menjelaskan, banyak pengamat berharap bahwa melalui
Evangelical Left kalangan Injili berpengaruh besar di bidang politik, Tetapi sejak Ronald
Evangelical Left - kadang-kadang disebut juga Left Evangelical, New Evangelical, atau
Young Evangelical (tapi berbeda dari Younger Evangelicals yang akan dibicarakan di
bawah) - sebenarnya sudah ada sejak 1960-an dan 70-an, dan kadang-kadang dilihat
sebagai bagian dan new left, paham kiri baru yang dekat dengan sosialisme (Aritonang
1995,255-6; Keener 2012). Rupanya dalam beberapa dasawarsa terakhir sayap kin dan
Evangelical ini kian marak, sebagaimana a.I. diamati oleh Craig S.Keener dalam tulisannya,
The Evangelical Left in History and Today (2012), sambil mengingatkan bahwa "most
evangelicals have been politically varied and unpredictable".
Menurut Wikipedia, Evangelical Left - yang juga disebut Progressive Evangelicals -adalah orang Kristen penganut Evangelicalisme di AS,yang secara umum berfungsi sebagai
sayap kiri dari gerakan Evangelical, secara politis ataupun teologis. Para warga Evangelical
Left tetap mengakui ajaran utama dan teologi Injili, misalnya inkarnasi, pendamaian, dan
kebangkitan, dan juga memandang Alkitab sebagai otoritas utama bagi Gereja. Tetapi,
berbeda dari kebanyakan kaum Injili, Evangelical Left mendukung hal-hal yang sering
dianggap sebagai sayap kiri atau progresif dari kebijakan-kebijakan politis. Misalnya,
mereka menolak hukuman mati serta mendukung pengawasan senjata dan program
kesejahteraan. Dalam banyak kasus mereka juga pasifis (suka damai). Secara teologis
mereka juga sering mendukung dan menggunakan kritik biblika (biblical criticism)modern, sementara kalangan Injili Konservatiflebih banyak menolaknya. Walaupun warga
Evangelical Left kebanyakan bergabung dalam beberapa denominasi arus utama, mereka
sering sangat dipengaruhi oleh tradisi sosial Anabapns.s
Evangelical Left
Larsen et al. [eds.] 2007,282-90).5 Walaupun gerakan ini menyandang istilah 'baru', toh
kepadanya dilekatkan juga istilah 'konservatif', sehingga dikenallah idiom ConservativeEvangelical atau Injili-Konservatif. Selain itu ada juga yang menyebutnya 'the Traditionals'
(Webber, 2002). Berikut ini akan dilihat kemunculan beberapa varian gerakan dan teologi
Injili pada beberapa dasawarsa terakhir ini.
Reagan (dari Partai Republik) menjadi Presiden AS(1981-1989), banyak kalangan Injili -
yang sudah semakin mapan - menjadi bersikap apolitis alias tidak suka berpolitik. Toh
banyak kaum Injili yang tetap ingin berkiprah di bidang politik, terutama ketika Jerry
Falwell - walaupun ia seorang dari sayap 'religious right' dan juga dari Partai Republik -
mencanangkan gerakan Moral Majority. Gerakan ini dipahami sebagai yang ikut
mengusung semangat Evangelical Left, dan banyak kalangan Injili yang mengidentifikasi
diri mereka sebagai bagian dari gerakan ini, terlebih ketika dalam beberapa dasawarsa
terakhir kaum Injili sering merasa dipinggirkan secara kultural. Menurut mereka
evangelicalisme ASselalu merupakan gerakan populis, sehingga mereka tertarik ketika
terbentuk kelompok minat di bidang politik seperti yang digagas Falwell.
Pada survei yang dilakukan Princeton University tahun 2000, lanjut Keener, dua per
tiga kaum Injili ASmenimbang diri mereka liberal atau (terutama) moderat ketimbang
konservatif. Pada survei lain di tahun 2009, 35 persen kaum Injili di ASadalah anggota
atau pendukung Partai Demokrat, 34 persen Republik, dan sisanya independen. Padahal
banyak pengamat yang melihat Partai Republik sebagai kubu kalangan Injili sayap kanan
yang sudah mapan. Toh banyak juga yang melihat kaum Injili menentang stereotip;
misalnya pada tahun 2008 60 persen kaum Injili merasa bahwa pemerintah ASmestinya
lebih banyak lagi menolong kaum miskin.
Dalam perkembangan terkini, masih menurut Keener, terlihat adanya pergeseran di
kalangan Injili yang lebih muda; banyak dari mereka yang beralih dan meninggalkan sayap
"religious right", antara lain sebagai reaksi terhadap apa yang mereka lihat sebagai
sejumlah kebijakan ekstrem. Polling yang dilakukan Pew Research mengindikasikan
bahwa sejak 2005 jumlah kaum Injili muda dan kulit putih yang menyatakan diri sebagai
Republik berkurang 15 persen. Tetapi orang tak perlu meng-overestimate peralihan itu,
karena dua per tiga dari mereka yang beralih itu menjadi independen, jadi bukan beralih
ke Partai Demokrat.
Melihat perkembangan itu, ada yang menyatakan bahwa di kalangan Evangelical Left
tercampur kelompok Tony Campolo yang Demokrat dengan kelompok 'religious right' atau
'far right' dari Falwell yang tetap Republik. Tetapi, demikian Keener, bila menelusuri
sejarah Evangelicalisme yang beranekaragam dan masa depannya yang tidak bisa
dipastikan, pengamatan itu tidak akurat. Juga tidak menolong hila menstereotipkan semua
'kaum Injili' sebagai 'religious right', apalagi bila melihat Barack Obama bersama kalangan
Demokrat semakin gencar berupaya menjangkau kalangan Injili, tanpa mempersoalkan
apakah mereka 'left' atau 'right'.
Sayap kanan Evangelical, yang sedikit-banyak identik dengan kaum fundamentalis,
menentang perjuangan Evangelical Left ini, termasuk menjegal Jimmy Carter sehingga
pada tahun 1980 tidak terpilih menjadi presiden ASuntuk periode kedua, dan diganti oleh
Ronald Reagan yang dekat dengan kalangan sayap kanan (Evangelical Right). Sejak waktu
itu, selama beberapa dasawarsa, termasuk pada masa kepresidenan George H.W.Bush
(1989-1993) dan George W. Bush Jr. (2001-2009) kalangan sayap kanan ini berhasil
mengungguli kalangan Evangelical Left Lagi pula kalangan sayap kanan, yang kebanyakan
mendukung Partai Republik, lebih unggul di bidang dana dan media komunikasi (termasuk
melalui para penginjil tv atau televangelist), ketimbang Evangelical Left yang tersebar di
banyak partai, atau menjadi independen, dan kebanyakan tidak mau diafiliasikan ke Partai
Demokrat.
Elizabeth Bruenig, dalam tulisannya, Can the Evangelical Left RiseAgain? (2015),
menambahkan bahwa salah seorang pelopor Evangelical Left/Progressive Evangelical,
yang berseberangan dengan kelompok "religious right", adalah Jimmy Carter (Presiden AS
1977 -1981). Ia juga mencatat pendapat pengamat tertentu, yaitu Randall Balmer, profesor
Religious Studies dan penulis buku Redeemer: The Life ofJimmy Carter, bahwa "Jimmy
Carter is the last progressive Evangelical". Bahkan ada penulis lain menjuluki Jimmy Carter
sebagai "Mr. Evangelical". Ketika Carter tampil akhir Agustus 2015 dalam usia yang sudah
sangat lanjut (lahir 1924) dan kondisi fisik yang sudah sangat lemah, Bruenig dan banyak
orang bertanya-tanya apakah Evangelical Left masih bisa bangkit lagi. Terlepas dari bisa
tidaknya kalangan ini bangkit lagi, Bruenig mencatat bahwa selama sekian dasawarsa
kiprah sosial-politiknya, hingga awal abad ke-21 kalangan Evangelical Left dikenal sebagai
anti-perang, pro hak-hak sipil, serta peduli dan banyak berkampanye untuk keadilan
sosial, termasuk memberi semangat kepada buruh, kaum perempuan yang menderita, dan
orang-orang yang terpinggirkan di dalam masyarakat.
Evangelical Left, lanjut Bruenig sambil tetap mengacu pada tulisan Balmer di atas,
tidaklah komunitas yang tunggal; di kalangan mereka terdapat beberapa varian aliran,
mulai dari kelompok "Jesus People" yang melihat Kristus sebagai figur counter-culture
(budaya tandingan) hingga para pejuang keadilan sosial. Tetapi mereka memiliki ciri
bersama, a.l, anti rasialisme. Banyak dari tokoh-tokohnya berkulit putih, misalnya Jimmy
Carter, tetapi mereka menjalin kerjasama dan membangun jejaring dengan kaum kulit
hitam untuk menegakkan keadilan antar-ras dan memberantas kemiskinan.
Evangelicals for Social Action (ESA)
Salah satu lembaga penting yang berupaya mengkonkretkan gagasan Evangelical Left
di bidang sosial adalah ESA,yang didirikan tahun 1973 dan dipimpin oleh Ronald James
Sider (1939- ), guru besar Teologi, Pelayanan Holistik, dan Kebijakan Publik di Palmer
Theological Seminary, Eastern University, Philadelphia, AS.Nama Tony Campolo juga
sering disebut sebagai salah seorang tokoh penting ESA.Di dalam Wikipedia dan beberapa
situs dari ESAdijelaskan bahwa ESAmerupakan proyek utama dari Sider Center on
Ministry and Public Policy, yang dibentuk di Palmer Theological Seminary.
ESAmendaku sebagai sebuah think-tank (lumbung pemikiran) yang berupaya
mengembangkan pemecahan alkitabiah atas masalah-masalah sosial dan ekonomi. Misi
ESAadalah menolong setiap orang Kristen untuk menjadi murid Kristus yang sejati. ESA
menggabungkan pengertian dengan perbuatan, belajar dengan beraksi, analisis teoritis
dengan pembentukan spiritual. Pembentukan ESAdimulai dan didorong oleh "Chicago
Declaration of Evangelical Social Concern", yang ditulis pada sebuah pertemuan 40
pemimpin kaum Injili. Media massa tertentu, misalnya ChicagoSun- Times, melukiskan
pertemuan ini sebagai "the most significant church-related event of that year".
Lebih lanjut dijelaskan bahwa melalui proyek dan programnya ESAmenolong gereja
gereja lokal untuk mengembangkan dan mempraktikkan pelayanan holistik, menggabung
penginjilan dengan aksi sosial. ESAberjuang untuk menerapkan kebijakan publik yang
seimbang secara aklitabiah dan setia secara radikal pada amanat Injil Kristus. ESA
mempromosikan aksi ekonomi internasional melawan apartheid, mendukung kebijakan
luar negeri ASyang multilateral ketimbang unilateral, dan mendorong banyak upaya untuk
mengurangi kemiskinan, memajukan keadilan rasial, dan melestarikan ciptaan. ESA
mencanangkan semboyan pro-life, pro-poor, pro-peace, pro-creation care, dan pro-family.
Mengenai Ronald J. Sider, dicatat bahwa ia adalah konseptor utama dari "Chicago
Declaration of Evangelical Social Concern" tersebut, dan karena itu ia sering dicap sebagai
Christian left, kendati ia secara pribadi menolak berpihak pada kekuatan politik mana pun.
Selain memimpin ESA, Sider adalah juga anggota badan pendiri dari National Religious
Partnership for the Environment (Kemitraan Agama Nasional untuk Lingkungan). Iajuga
dikenal di dunia sebagai tokoh yang selama lebih dari 30 tahun menyiapkan wawasan
kepemimpinan bagi kalangan Injili yang tidak hanya memahami Alkitab sebagai yang hanya
menyangkut aspek spiritual, melainkan juga implikasi sosial dan politiknya.
Younger Evangelicals
Literatur yang paling banyak disebut bila berbicara tentang topik ini adalah Robert E.
Webber, The Younger Evangelicals: Facing the Challenges of the New World (2002). Dalam
buku ini Webber membagi kaum Injili Amerika daJam tiga goJongan dan tahapan: (1) The
Traditionals (identik dengan Konservatif, lihat di atas), yang berkembang pada dasawarsa
1950-an - awal1970-an, dengan tokoh utamanya BillyGraham. (2) The Attractionals atau
Pragmatic Evangelicals, yaitu yang berusaha menarik minat orang ke dalam gereja dan
berorientasi "church growth" (yang a.l. diotaki oleh Donald McGavran), yang sudah muncul
sejak 1960-an namun menjadi matang pada dasawarsa 1970-an - 1990-an, dengan tokoh
utama BillHybels dari Willow Creek Community Church dan RickWarren dari Saddleback
Valley Community Church. (3) The Younger Evangelicals, orang-orang muda yang usianya
baru 20-an - 30-an, atau yang dewasa pada era postmodern, terutama pasca 11 September
2001. Ketiga golongan ini masih eksis sampai awal abad ke-21 ini (Webber 2002,16; bnd.
Gilbert 2001 dan McCune 1999).
Webber membagi The Younger Evangelicals atas dua kategori: (1) "The Younger
Evangelicals Thinkers", yang banyak memberi perhatian pada komunikasi, sejarah, teologi,
apologetik, dan eklesiologi; dan (2) "The Younger Evangelical Practitioners", yang
Saya belum meneliti, apakah ada kalangan Injili di Indonesia yang mengidentikkan
atau mengasosiasikan diri kepada Evangelical Left, ataupun ambil bagian dalam ESA
(semoga ada yang akan meneliti lebih lanjut). Tetapi - sarna seperti banyak contoh di
Amerika - untuk menjadi pejuang keadilan sosial ataupun berkiprah menanggulangi
kemiskinan ataupun diskriminasi di berbagai bidang, seorang Injili tentu tidak mesti
menjadi bagian dari Evangelical Left atau aktivis ESA.Kritik Noll (2008, 3-4) juga patut
diperhatikan: "Mernberi makan orang lapar, hidup sederhana, dan melarang born adalah
tugas-tugas yang untuknya kelompok-kelompok Injili lain (mungkin maksudnya
Evangelical Left; jsa) akan secara sukarela memberikan segenap tenaga. Namun tugas
tugas itu tidak dengan sendirinya mendukung vitalitas intelektual." Lagi pula, seperti
dikemukakan Keener, "Globally,evangelicalism is a matter of a faith commitment rather
than politics." Begitu pun, keprihatinan dan perjuangan Evangelical Left ini patut juga
diapresiasi, termasuk oleh umat Kristen di Indonesia, tanpa harus mendaku sebagai Injili
sayap mana. Berikut ini kita beralih ke kelompok atau gerakan baru yang lain.
Mengenai Sejarab, menurut Webber kaum Injili muda ini juga sangat tertarik pada
warisan sejarah, meliputi peribadahan, lectio divina (ritual pembacaan Kitab Suci), musik
gereja kuno, pengakuan iman, dan teologi para bapa gereja lama. Semua itu tidak hanya
menggetarkan kaum muda Injili itu, melainkan juga menambah kedalaman dan kekayaan
Mengenai Komunitas, menurut Webber, Younger evangelicals "tertarik untuk
membangun komunitas Kristen organik, bukan 'gereja pragmatis' di mal-mal raksasa.
Mereka sangat dahaga akan komunitas yang real, serta cinta dan kepedulian yang real.
Gilbert menimpali bahwa ini bukan hal yang mengherankan; kebanyakan orang muda
masa kini bertumbuh tanpa struktur keluarga yang mengasihi dan mengasuh, yang
dinikmati oleh orangtua mereka pada masa lalu. Karena itu ide gereja yang real -
sebagaimana ditampilkan Alkitab: memikul beban orang lain, saling mengasihi, dsb. -
sangat memikat mereka. Kaum Injili muda ini tidak tertarik pada gereja yang tumbuh
membesar dan stream-lined, gedung-gedung megah mengkilap yang dibangun berdasar
teori pemasaran (survei dan analisis pasar). Mereka menginginkan komunitas yang
otentik, dengan segala jatuh-bangunnya. Karena itulah, menurut Webber, gerakan church
growth dari akhir abad ke-20 itu sudah obsolete (usang), ditenggelamkan oleh generasi
baru yang lebih tertarik pada otentisitas ketimbang kemegahan. (Webber 2002, 118)
mengurusi macam-macam hal, mulai dari para pendeta, pelayan kaum muda, dan artis.
Webber lebih banyak memberi perhatian pada ketegori pertama.
Webber juga menyebut Younger Evangelicals ini "The Missionals", untuk
membedakan mereka dari kelompok sebelumnya yang bersemangat church-growth.
"Missional" adalah adaptasi dari istilah Latin MissioDei atau MisiAllah. Kelompok ini
menegaskan keyakinan bahwa Allah mempunyai misi bagi dunia dan bahwa Ia secara
berdaulat bekerja untuk mewujudkannya, kadang-kadang melalui jalan yang dapat kita
lihat, tetapi kadang-kadang tidak. Hasrat Allah bagi dunia melampaui penginjilan semata,
melainkan juga mencakup perhatian pad a belarasa sosial dan keadilan, menuju penciptaan
komunitas seluruh umat manusia (bahkan seluruh ciptaan) yang mengalami manfaat dari
pemerintahan Allah.
Menurut Gilbert, visi Webber tentang the Younger Evangelicals berpusat pada tiga
pilar utama: Komunitas, Sejarab, dan Narasi. Ketiga pilar ini bukan baru muncul dan
menjadi sentral pada era postmodern, melainkan juga sudah menjadi pusat dari model
kehidupan gereja menurut Alkitab.
7 Dr. Rolland D. McCune (1934- ) adalah profesor Teologi Sistematik di Detroit Baptist TheologicalSeminary, AS. Ia menulis tinjauan yang panjang atas karya Webber dan Younger Evangelicals.
Lebih lanjut McCunemelihat bahwa Younger Evangelicals yang dipromosikan Webber
itu ingin mencocokkan, mempertobatkan, atau mengubah wajah warisan Injili mereka
dengan pemikiran dan metode baru dari postmodernitas, alias mengkontekstualkan iman
Yang kedua, Mct.une? (2003). Ia menghargai tulisan Webber ini dan kerja-kerasnya
memetakan perkembangan gerakan dan paham Injili, terutama pada periode 1950-2000,
serta menjelaskan posisi dan ciri-ciri Younger Evangelicals yang membedakan mereka dari
generasi Injili yang 'tradtsional dan pragmatis' sebelumnya. Namun ia menilai bahwa
gambaran Webber tentang gagasan dan praktik kelompok Younger Evangelicals (yang oleh
McCune disebut juga "postrnodern Evangelicals" dan "Injili Abad ke-21") lebih banyak
berasal dari laporan-laporan yang bersifat anecdotal (kelakar) dan kurang mendalam.
Ada banyak komentar dan kritik terhadap Younger Evangelicals maupun atas tulisan
Webber ini. Di sini hanya dikemukakan dua contoh. Yang pertama, Greg Gilbert (2002). Ia
menilai: pendapat Webber bahwa di gereja pada era postrnodern ini ternpat "propositional
truth" (a.1.pernyataan tentang Allah, dunia, kemanusiaan, dan ineransi Alkitab, yang
diklaim kaum Injili sebagai kebenaran) di kalangan Younger Evangelicals sudah diambil
alih oleh pemahaman ten tang komunitas, narasi, dan kekristenan yang historis, masih perlu
diuji kebenarannya. Ia mengajukan sejumlah argumen untuk menyanggah pendapat
Webber itu, yang tidak sempat dicatat di dalam naskah penelitian ini.
Mengenai Narasl, Webber mengaitkannya dengan dunia postmodern. Menurutnya, di
dunia postmodern, baik orang percaya (Kristen) maupun yang tidak percaya adalah umat
beriman. Yang satu beriman pada kisah Alkitab, yang lain beriman pada akal-budi, sains,
agama tertentu, atau ilah yang ia buat sendiri. Masalah bagi iman Kristen bukan lagi akal
budi kontra akal-budi, melainkan iman melawan iman atau keyakinan lain yang menolak
kebenaran kisah atau narasi Alkitab. Bagi orang Kristen yang akrab dengan kisah-kisah
besar dan memukau di dalam Alkitab, ini merupakan berita yang menarik! Itu berarti
bahwa para pendeta Kristen perlu mempelajari bagaimana menuturkan kisah tentang
tindakan penebusan oleh Allah di dalam sejarah man usia. Tugas pengkhotbah adalah
memperlihatkan kepada jemaatnya bagaimana setiap kitab, setiap pasal, setiap ayat cocok
dengan narasi sejarah keselamatan. (Webber 2002, 84)
hidup rohani mereka, yang tidak dapat diberikan power-point ataupun multi-media.
(Webber 2002, 84-87)
Penutup
Penelitian ini tidak sempat mengamati atau melacak sejauh mana pemikiran
pemikiran dan varian-varian baru dari kalangan Injili di atas dikaji oleh dan berkontribusi
bagi gagasan teologi kalangan Injili di Indonesia. Menurut informasi informal yang saya
terima, ada beberapa teolog dan sekolah teologi Injili Indonesia yang tidak lagi sepenuhnya
terikat pada teologi lnjili konservatif atau tradisional, dan sudah ikut menganut bahkan
mengembangkan teologi Injili yang baru ini. Tetapi dapat diduga, tidak kurang banyaknya
mereka untuk suatu era yang baru. Tapi, dengan begitu apakah mereka masih bisa tetap
disebut dan dihargai sebagai Injili? Menurut McCune,Younger Evangelicals, dan promosi
Webber atasnya, mengingatkan kita pada Young Evangelicals tahun 1970-an (lihat di atas;
jsa). Younger Evangelicals juga berada pada misi perubahan, dari New Evangelicalism-nyaBillyGraham dan Carl Henry ke evangelicalisme post-American yang liberal secara politis,
sebagaimana diperlihatkan kaum hippie dan para pemrotes anti-perang Vietnam yang
berciri budaya-tandingan. Zaman mereka datang dan pergi tanpa bekas dan dampak yang
besar. Young Evangelicals pada masa 1970-an itu tampil seperti sekelompok orang muda
yang emosional dan arogan, yang menuntut untuk dipandang dan didengar. Younger
Evangelicals masa kini memang jauh lebih ramah dan tidak terlalu diganggu oleh visi
tentang kehebatan dan kebesaran (gereja atau kekristenan maupun negara AS).Tetapi
emosionalisme mereka, tidak adanya suatu otoritas yang stabil untuk berteologi dan
bergereja, pelecehan mereka atas wahyu tertulis yang proposisional, kegagalan danjatau
ketidakmampuan mereka untuk menangani teks sud secara benar, dan adaptasi mereka
terhadap pemikiran dan praktik abad-abad pertengahan, menandai kehidupan Injili yang
rada dangkal, kendati mereka mendaku sebagai Injili yang sejati.
Apa dan bagaimana pun penilaian atas Younger Evangelicals ini, menurut pemahaman
saya kelompok atau gerakan ini menandai babak baru dalam perkembangan kaum Injili
dan paham Evangelicalisme, yang patut dihargai. Mereka - sarna seperti banyak kalangan
gereja dan teologi - berupaya menyikapi dan memberi jawab yang aktual dan rel evan
terhadap tantangan zaman atau era postmodern ini, tanpa harus terperangkap dalam
paham postmodernisme. Penilaian yang lebih kompeten atas Younger Evangelicals ini
tentu lebih tepat serta merupakan hak dan wewenang dari kalangan Injili sendiri.
Bini antara lain tercennin dalam kajian dan sajian di Summa Lectura yang diadakan SAATMinistry Centerdi bawah tajuk "Who Are the Evangelicals?", 18 Maret 2013 (yang sebagian saya hadiri), maupun dalampengalaman saya beberapa kali mengajar di sekolah teologi lnjili, hingga pada aras S3.
9 Berkait dengan ini, pentinglah kita camkan pernyataan dan harapan Ray S.Anderson (1997, 495): "Theviability of evangelical theology rests with its willingness to venture in the future, rather than reside in thepresent and to take comfort from the past In a generation, there will be new names in the books writtenabout evangelical theologians. That is as it should be, for evangelical theology is a living and creativecontinuum, leaving behind its theologians, with gratitude and respect"
Sumber internet:
Bruenig, Elizabeth. 2015. "Can the Evangelical Left Rise Again?". https.Z/newrepublic.com/artic1e/122716 (diakses 3 April 2020).
Anderson, Ray S. 1997. Evangelical Theology. Dalam David F. Ford. The Modern Theologians.Cambridge-USA: Blackwell, 480-498.
Aritonang, Jan S. 1995f142015. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja.Jakarta: BPKGunung Mulia.
Elwell, Walter A. (ed.). 2001. Evangelical Dictionary of Theology. Grand Rapids: BakerAcademic & Paternoster Press, 2nd edition.
Kooi, C.van der et al. (eds.). 2012. Evangelical Theology in Transition. Amsterdam: VUUniversity Press.
Larsen, Timothy et al. (eds.). 2007. Evangelical Theology. New York etc.: CambridgeUniversity Press.
Noll,Mark A. 2008. Skandal Pemikiran lnjilt (terj.). Surabaya: Momentum.
Penning, James M.et al. (eds.). 2002. Evangelism The Next Generation. Grand Rapids: BakerAcademic.
SAATMinistry Center. 2013. Summa Lectura, "Who Are the Evangelicals?", 18 Maret.
Webber, Robert E. 2002. The Younger Evangelicals: Facing the Challenges of the New World.Grand Rapids: Baker Books.
Daftar Acuan
Apa dan bagaimana pun halnya, kiranya penelitian ini ikut mendorong para teolog
Injili di Indonesia untuk terus mengembangkan teologi, mengingat bahwa teologi adalah
sebuah ilmu (kendati prinsip-prinsip dan metodologinya tidak sarna dengan ilmu-ilmu
lain). Kita semua sadar, sekadar mengulang-ulangi apa yang sudah dikatakan dan diyakini
sekian puluh tahun yang lalu, walaupun ada saja gunanya, tidak banyak menolong dan
memacu pengembangan teologi sebagai ilmu. Kalangan Injili pasti tetap ingin berkontribusi
dalam menyongsong dan menjawab berbagai masalah kehidupan di masa depan.?
(bahkan lebih banyak?) yang masih berkutat pada teologi Injili yang konservatif atau
tradisional itu.8
Gilbert, Greg. 2002. "The Younger Evangelicals, by Robert Webber" (Book Review).http://9marks.org/review /younger-evangelicals-robert-webber (diakses 3 April2020).
Keener, Craig S.2012. "The Evangelical Left in History and Today". www.huffingtonpost.com/craig-s-keener/evangelical-Ieft-in-history (diakses 3 April 2020).
McCune,Rolland D.2003. "The Younger Evangelicals: Facing the Challenges of the NewWorld", by Robert E.Webber (a Review Article). Dalam Detroit Baptist SeminaryJournal, 4, pp. 131-148. https://www.dbts.edu/journals/2003 (diakses 3April2020).
Wikipedia. "Evangelical left" (diakses 03 April 2020).
Wikipedia. "Evangelicals for Social Action (ESAr (diakses 03 April 2020).
JAN SIHAR ARITONANG lahir di Sibolga, [anuari 1952. Pendidikan terakhir: Doctor ofTheology (D.Theol.) dari SEAGST - Singapore (1987) dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dariUniversiteit Utrecht - Nederland (2000). Pendeta (emeritus) Gereja Kristen ProtestanIndonesia (GKPI); Dosen tetap/Curu Besar Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta.
Karya Tulis Utama: (1) Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (1988, edisi Inggris:Mission Schools in Batakland, 1994); (2) Berbaqai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja(1995); (3) Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004); (4) (bersama KarelSteenbrink) A History of Christianity in Indonesia; (bersama Asteria T. Aritonang) MerekaJuga Citra Allah; (5) Teologi-teologi Kontemporer (2018) (ditambah 12 buku lain danpuluhan artikel).
Bicdata/Curriculum Vitae Singkat JAN S. ARITONANG