contoh embri skripso
TRANSCRIPT
1
VERBA TRANSITIF
DALAM KLAUSA BAHASA INDONESIA
PADA RUBRIK TAJUK RENCANA KOMPAS
(Studi Analisis Tagmemik)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tajuk rencana merupakan tulisan pokok dalam media massa surat kabar
yang merupakan pandangan redaksi terhadap peristiwa yang sedang menjadi
pembicaraan beberapa waktu sebelum surat kabar itu diterbitkan. Bahasa dalam
tajuk rencana sangat ringan sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Pada
penelitian awal terlihat bahwa tajuk rencana mengungkap informasi atau masalah
aktual, penegasan pentingnya masalah, opini redaksi tentang masalah tersebut,
kritik dan saran dalam mengatasi permasalahan, serta harapan redaksi akan peran
serta pembaca. Oleh karena itu, tajuk rencana sangat cocok untuk dibaca oleh
pelajar. Apalagi di kompetensi dasar kurikulum Sekolah Menengah Pertama (SMP)
siswa diwajibkan untuk menulis teks berita secara singkat, padat, dan jelas.
Bahasa dalam tajuk rencana mudah dipahami karena bentuk kalimatnya
pendek-pendek. Pengamatan sementara memperlihatkan bahwa kalimat-
kalimatnya terdiri atas satu klausa. Kebanyakan dalam konstruksi klausa bahasa
Indonesia terdapat verba sebagai predikat dan verba predikat itu memiliki keunikan
tersendiri dibandingkan dengan kelas kata nomina, adjektiva, numeralia, dan
adverbia. Hal itu disebabkan verba memiliki kekayaan bentuk dan memiliki
produktivitas yang tinggi serta memiliki perilaku sintaktik dalam konstruksi klausa.
Sebagai predikat, verba sangat menentukan kehadiran konsituen, baik sebagai
subjek (S), objek (O), keterangan (K) maupun sebagai pelengkap (Pel). Misalnya,
secara semantik verba datang sebagai P dalam klausa menuntut kehadiran frasa
2
nominal (atau nomina) pelaku (‘yang datang’) sebagai S dalam konstruksi itu,
sedangkan verba datangkan (penambahan sufiks -kan pada verba intransitif itu),
selain frasa nominal S, menuntut kehadiran frasa nominal atau nomina sebagai O.
Sementara itu, verba buat sebagai P dalam klausa memerlukan kehadiran frasa
nominal (atau nomina) pelaku (‘yang membuat’) sebagai S dan frasa nominal (atau
nomina) sasaran-penderita istilah tata bahasa tradisional-, (‘yang dibuat’) sebagai
O. Adapun verba buatkan (penambahan sufiks -kan pada verba transitif itu), selain
frasa nominal pelaku S, memerlukan frasa nominal benefaktif (‘yang mendapatkan
hasil buatan itu’) sebagai O dan frasa nominal sasaran (‘yang dibuat’) sebagai Pel.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh tersebut yang ditulis di bawah ini.
(1) si Merah datang
(2) panitia mendatangkan si Merah
(3) Pak Teguh membuat laporan pertandingan
(4) Ayah membuatkan adik minuman susu
Pada contoh (1) siapa yang datang, jawabnya si Merah, dalam konstruksi klausa
itu konstituen si Merah disebut S; pada contoh (2) siapa yang mendatangkan,
jawabnya ialah panitia sebagai S dan siapa yang didatangkan, jawabnya ialah si
Merah sebagai O. Adapun pada contoh (3) siapa yang membuat, jawabnya Pak
Teguh dalam konstruksi itu Pak Teguh sebagai S dan apa yang dibuat, jawabnya
laporan pertandingan sebagai O. Sementara itu, pada contoh (4) siapa yang
membuatkan, jawabnya Ayah, dalam konstruksi itu Ayah disebut S; siapa yang
dibuatkan, jawabnya adik sebagai O; apa yang dibuat, jawabnya minuman susu,
dalam konstruksi itu minuman susu disebut Pel. Dengan kata lain, konstruksi
klausa dengan predikat verba datang memerlukan S- pelaku (Pelk), sedangkan
verba mendatangkan memerlukan S-Pelk dan O-sasaran (Sas). Demikian juga,
predikat verba membuat memerlukan S-Pelk dan O-Sas. Adapun verba
membuatkan mewajibkan kehadiran S–Pelk, O-benefaktif (Ben), dan Pel-Sas. Dari
gambaran itu jelas tampak bahwa verba menentukan kehadiran konstituen
penyerta dalam konstruksi klausa contoh di atas. Oleh karena itu, penelitian
mengenai verba ini sangat menarik.
3
Dalam penelitian awal pada tajuk rencana Kompas banyak ditemukan
konstruksi klausa dengan tiga konstituen yang terdiri atas (verba) predikat yang
disertai S dan O. Konstruksi itu dikenal sebagai klausa transitif dan verba
predikatnya disebut verba transitif. Dengan kata lain, verba transitif sebagai
predikat membutuhkan kehadiran konstituen S dan O yang berupa frasa nominal
(nomina). Selain ciri fungsi (S, P, O, bahkan K) serta ciri kelas pengisi verba dan
nomina, verba predikat juga menandai ciri ketransitifan. Klausa dengan verba
predikat yang mewajibkan kehadiran S disebut sebagai klausa intransitif dan
klausa dengan verba predikat yang menghadirkan S dan Pel atau K disebut
sebagai klausa dwi-intransitif. Sementara itu, klausa dengan verba predikat yang
menghadirkan S dan O disebut sebagai klausa transitif dan klausa dengan verba
predikat yang mewajibkan kehadiran S, O, dan Pel atau K disebut sebagai klausa
dwitransitif.
Selain ciri ketranstifan tersebut, dalam penelitian awal ditemukan verba
predikat dengan bentuk meN- dan di- (mendatangkan, membuat dan didatangkan,
dibuat). Verba bentuk meN- dikenal sebagai aktif dan verba bentuk di- dikenal
sebagai pasif. Kedua bentuk verba itu memiliki ciri semantik ialah bahwa verba
aktif sebagai P menuntut S memiliki peran semantik sebagai pelaku dan O sebagai
sasaran. Adapun verba bentuk di- sebagai predikat menuntut S sebagai sasaran
dan peran pelaku menempati posisi K (Sutan Takdir Alisyahbana menyebut Pel).
Perhatikan contoh di bawah ini.
(5) M. Nuh mengeluarkan peraturan syarat kelulusan perguruan tingggi yang
terbaru
(6) peraturan syarat kelulusan perguruan tinggi yang terbaru dikeluarkan
(oleh) M. Nuh
Klausa (5) merupakan verba transitif aktif yang ditandai oleh prefiks meN-pada
verba keluarkan. Adapun sufiks -kan pada verba itu sebagai pembentuk transitif
dari verba intransitif keluar. Dalam konstruksi itu verba transitif mengeluarkan
membutuhkan (1) frasa nominal M Nuh sebagai S dengan peran sebagai pelaku
dan (2) membutuhkan frasa nominal peraturan syarat kelulusan perguruan tinggi
4
yang terbaru sebagai O dengan peran sebagai sasaran. Sementara itu, pada
klausa (6) termasuk verba transitif pasif yang ditandai oleh bentuk di- pada verba
keluarkan. Verba transitif pasif dikeluarkan membutuhkan (1) frasa nominal
peraturan syarat kelulusan perguruan tinggi yang terbaru sebagai S dengan peran
sebagai sasaran dan (2) membutuhkan frasa berpreposisi oleh M. Nuh sebagai K
dengan peran sebagai pelaku. Analisis ciri aktif dan pasif itu dapat digunakan
sebagai ciri verba transitif maka verba aktif yang tidak memiliki oposisi pasif tidak
termasuk verba transitif. Misalnya, verba datang, berasal, dan menjadi tidak
memiliki oposisi pasif *didatang, *diberasal, dan *dijadi. Dengan demikian, afiksasi
memengaruhi perilaku verba transitif dalam konstruksi klausa. Maka, apabila
fungsi O dengan peran sasaran pada klausa transitif aktif dapat menjadi S pada
klausa transitif pasif dan peran pelaku menempati fungsi K, konstruksi itu disebut
sebagai klausa transtif dengan predikat verba transitif.
Sebagaimana tampak pada paparan di atas, persoalan verba transitif dalam
fungsi sebagai predikat klausa sangat kompleks dan karena itu menarik perhatian
para peneliti bahasa. Oleh karena itu, peneliti tertarik pada verba transitif dalam
klausa bahasa Indonesia pada rubrik Tajuk Rencana Kompas untuk menelusuri
dan menemukan ciri konstruksi (bentuk) verba transitif dengan konstituen-
konstituen pembentuknya serta pengaruhnya terhadap tipe-tipe klausa transitif
bahasa Indonesia, baik dalam analisis fungsi, kelas pengisi, peran semantik, dan
kohesi maupun dalam analisis aktif-pasif klausa transitif bahasa Indonesia.
B. Fokus dan Subfokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, fokus penelitian ini ialah
verba transitif dalam klausa bahasa Indonesia pada rubrik “Tajuk Rencana”
Kompas. Adapun subfokus penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Konstruksi klausa transitif dalam kalimat-kalimat pada rubrik “Tajuk
Rencana” Kompas.
2. Klasifikasi verba transitif dalam klausa transitif pada rubrik tajuk tersebut.
5
3. Perilaku semantik dan sintaktik verba transitif sebagai predikat klausa
bahasa Indonesia.
4. Formula konstruksi verba transitif bahasa Indonesia
C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Adapun rumusan masalah penelitian ini ialah bagaimana konstruksi verba
transitif dalam klausa bahasa Indonesia pada rubrik “Tajuk Rencana” Kompas.
Berdasarkan rumusan masalah itu, pertanyaan penelitian yang muncul ialah
sebagai berikut.
1. Bagaimana konstruksi klausa transitif dalam kalimat-kalimat pada rubrik
“Tajuk Rencana” Kompas?
2. Bagaimana klasifikasi verba transitif dalam klausa pada rubrik “Tajuk
Rencana” Kompas?
3. Bagaimana perilaku semantik dan sintaktik verba transitif sebagai predikat
klausa bahasa Indonesia?
4. Bagaimana formula konstruksi verba transitif bahasa Indonesia?
D. Kegunaan Penelitian
Ada dua macam kegunaan penelitian ini, yaitu kegunaan teoretis dan
kegunaan praktis. Kegunaan teoretis penelitian ini ialah manfaat hasil penelitian
verba transitif ini bagi pengembangan ilmu linguistik, khususnya di bidang
sintaksis, bahasa Indonesia dan kegunaan praktis terkait dengan manfaat hasil
penelitian ini bagi kepentingan pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya dalam
memenuhi kompetensi dasar dalam memahami rubrik “Tajuk Rencana” surat kabar
melalui pemahaman secara mendalam tentang verba transitif sebagai inti
pernyataan dan sebagai pembentuk konstruksi kalimat. Adapun kegunaan teoretis
dan praktis penelitian ini sebagai berikut.
1. Kegunaan Teoretis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan studi analisis
sintaksis dari sudut pandang konstruksi klausa dan verba, khususnya klausa
6
dan verba transitif bahasa Indonesia. Di samping itu, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi bagi penyempurnaan kodifikasi kaidah sintaksis,
terutama tentang klausa dan verba transitif bahasa Indonesia.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam penanganan
masalah pembelajaran linguistik sintaksis, terutama tentang analisis dengan
teori tagmemik, pada program studi linguistik di perguruan tinggi. Sementara
itu, bagi keperluan pembelajaran bahasa Indonsia di Sekolah Menengah
Pertama penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pembelajaran
aspek kebahasaan-- khususnya ihwal kalimat dan pembentuknya (klausa)--
dan verba transitif dalam memenuhi tuntutan kompetensi dasar “membuat
kalimat dasar”, serta pemahaman teks rubrik “Tajuk Rencana” media massa
surat kabar dalam memenuhi tuntutan kompetensi dasar “menulis teks berita
dengan singkat, padat, dan jelas” pada satuan pendidikan tersebut.
7
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Deskripsi Konseptual Fokus dan Subfokus
1. Hakikat Konstruksi
Bahasa dapat dideskripsikan dalam tiga tataran hierarki, yaitu (1) hierarki
referensi, (2) hierarki fonologi, dan (3) hierarki gramatikal. Menurut Pike dan Pike,
tataran hierarki gramatikal suatu bahasa dari yang tertinggi sampai yang terendah
adalah sebagai berikut.
Conversation
Exchange or minimum dialog
Monolog
Paragraph or sentence cluster
Sentence
Clause
Phrase
Word
Morpheme cluster
Morpheme1
Dari hierarki gramatikal di atas jelas bahwa tertinggi hingga terendah ialah
percakapan, dialog minimum, monolog, paragraf, kalimat, klausa, frasa, kata,
gugus morfem, dan morfem.
Pike dan Pike menambahkan bahwa “because of this hierarchical structure, a
unit at any level of the hierarchy (except the unit of tmorpheme) may be segmental
into major parts called immediate constituents.”2 Dapat dikatakan bahwa setiap
tataran pada hierarki gramatika tersebut, kecuali morfem, merupakan konstruksi.
Konstruksi-konstruksi tersebut bersifat hierarki maka tiap unit (satuan) dalam satu
1 Kenneth L. Pike dan Evelyn G. Pike, Grammatical Analysis, (Dallas: Summer Institue of Linguistics dan University of Texas at Arlington, 1982), h. 212 Ibid.
8
tataran hierarki, kecuali morfem, dapat dipecah ke dalam bagian-bagian yang
disebut konstituen langsung. Dengan demikian, konstruksi merupakan unit (satuan
linguistik) dalam satu tataran hierarki yang mempunyai dua unsur langsung atau
lebih (bukan morfem) dan unit itu merupakan unsur pengisi slot gramatika tunggal.
Pendapat yang senada dikemukakan dalam hasil penelitian tentang verba dan
komplemetasinya, Sugono dan Indiyastini menyatakan bahwa “tiap unit dalam satu
tataran hierarki yang mempunyai dua unsur langsung atau lebih disebut
konstruksi.”3 Adapun menurut Ba’dulu dan Herman mengatakan bahwa konstruksi
adalah suatu pola untuk membangun bentuk-bentuk gabungan suatu kelas dari
unsur-unsur konstituen langsung kelas-kelas bentuk khusus tersebut.4 Dari
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa konstruksi identik dengan struktur
gramatikal, yaitu satu unit atau satuan gramatikal yang terdiri atas dua konstituen
langsung atau lebih dan satuan itu menjadi unsur langsung dari satuan gramatikal
yang lebih besar. Dalam membentuk satuan linguistik atau konstruksi tidak boleh
sembarangan dalam penempatan unsur-unsur pembentuknya karena konstruksi
menentukan sebuah makna.
Gugus morfem merupakan konstruksi tataran paling bawah. Misalnya,
pakaian terdiri atas dua unsur langsung (pakai dan -an) dan merupakan unsur
langsung dari berpakaian. Dengan demikian, pakaian dikatakan sebuah konstruksi
nomina turunan dari akar verba pakai dan morfem -an. Semenatara itu, bentuk
berpakaian merupakan konstruksi pada tataran kata turunan yang terdiri atas
morfem ber- dan bentuk dasar pakaian. Adapun bentuk teguran keras merupakan
konstruksi pada tataran frasa, terdiri atas teguran dan keras, sebagai satuan
linguistik di bawah ini,
(1a) Tuhan akan memberi teguran keras
merupakan konstruksi pada tataran klausa, sedangkan pernyataan di bawah ini
merupakan konstruksi pada tataran kalimat,
3 Dendy Sugono dan Titik Indiyastini, Verba dan Komplementasinya, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), h. 11.4 Abdul Muis Ba’dulu dan Herman, Morfosintaksis (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 44
9
(1b) Tuhan akan memberi teguran keras karena setan bertindak berlebihan
terhadap manusia.
Klausa dan kalimat memiliki persamaan, yaitu bahwa keduanya merupakan
konstruksi predikatif. Dalam klausa ataupun dalam kalimat ada predikat dan
hubungan antarkonstituen dalam klausa ataupun dalam kalimat merupakan
hubungan sintagmatik. Akan tetapi, keduanya memiliki perbedaan. Klausa
merupakan suatu konstruksi sintaktik yang belum menjadi ujaran, sedangkan
kalimat merupakan suatu konstruksi sintaktik dan semantik yang telah menjadi
ujaran. Dengan kata lain, satu konstruksi disebut kalimat jika konstruksi itu memiliki
intonasi final (wujud lisan) dan ditulis dengan menggunakan huruf kapital pada
huruf pertama kata awal dan menggunakan tanda titik, tanda tanya, atau tanda
seru (wujud tulis) pada akhir konstruksi itu. Sebaliknya, klausa tidak memiliki ciri-
ciri tersebut.5
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa konstruksi identik dengan
struktur gramatikal, yaitu satu unit atau satuan gramatikal yang terdiri atas dua
konstituen langsung atau lebih dan satuan itu menjadi unsur langsung dari satuan
gramatikal yang lebih besar. Pada contoh di atas satuan gramatikal pakaian (terdiri
atas pakai dan -an) merupakan konstituen langsung kata berpakaian serta kata itu
merupakan unsur langsung dari frasa sudah berpakaian. Frasa itu merupakan
unsur langsung dari klausa dia sudah berpakaian. Demikian juga contoh lain di
atas, satuan gramatikal teguran keras merupakan unsur langsung dari klausa
Tuhan akan memberi teguran keras dan struktur itu merupakan konstituen
langsung dari struktur gramatikal Tuhan akan memberi teguran keras karena setan
bertindak berlebihan terhadap manusia. Struktur gramatikal kalimat itu menjadi
konstituen langsung struktur paragraf, dan seterusnya, seperti tampak pada
paparan Soeparno berikut.
Setiap struktur gramatikal baik dalam tataran wacana, percakapan, dialog,
monolog, paragraf, kalimat, klausa, frasa, maupun kata terbangun atas tegmem-
5 Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 313.
10
tegmem. Tegmem adalah unsur dari suatu konstruksi gramatik yang memiliki
empat dimensi, yakni dimensi slot, dimensi kelas, dimensi peran, dan dimensi
kohesi.6
Misalnya, dalam kalimat berikut
(2) Anak muda itu sangat berbakat.
frasa anak muda itu dan sangat berbakat merupakan konstruksi, sedangkan
kelompok itu sangat bukan konstruksi. Dengan demikian, pengertian konstruksi
merujuk pada susunan satuan-satuan linguistik yang lebih kecil membentuk
satuan linguistik yang lebih besar. Contoh kalimat di atas terbentuk dari dua unsur
langsung, yaitu (1) anak muda itu dan (2) sangat berbakat. Masing-masing unsur
itu merupakan satuan linguistik yang terdiri atas unsur yang lebih kecil. Satuan
linguistik (1) anak muda itu terdiri atas (a) anak muda dan (b) itu. Satuan linguistik
anak muda terdiri atas (i) anak dan (ii) muda. Satuan linguistik (2) sangat berbakat
terdiri atas (i) sangat dan (ii) berbakat, sedangkan berbakat terdiri atas morfem
ber- dan bakat.
Dalam satuan linguistik tersebut terkadung kaidah atau sistem tata bahasa
yang teratur sehingga membentuk suatu makna. Urutan satuan linguistik pada
tataran frasa, misalnya, tidak dapat diubah. Oleh karena itu, dalam membentuk
satuan linguistik atau konstruksi tidak boleh sembarangan dalam penempatan
unsur-unsur pembentuknya. Perhatikan contoh konstruksi berikut.
(2a) *Muda anak itu sangat berbakat.
(2b) *Itu muda anak berbakat sangat.
(2c) * Muda itu anak sangat berbakat pemain.
Hubungan antar-unsur pada satuan linguistik, misalnya pada tataran kalimat
seperti dalam contoh di atas, disebut hubungan sintagmatik. Hubungan
sintagmatik diuji dengan cara permutasi, yakni perubahan-perubahan urutan
satuan-satuan unsur satuan bahasa. Hubungan sintagmatik dapat terjadi pada
6 Soeparno, Aliran Tagmemik: Teori, Analisis, dan Penerapan dalam Pembelajaran Bahasa, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 10.
11
setiap tataran bahasa. Hubungan sintagmatik menunjukkan hubungan makna dan
fungsi antarsatuan bahasa sesuai dengan tataran.
Kalau hubungan sintagmatik bersifat horizontal, hubungan paradigmatik
bersifat vertikal, yaitu hubungan antara satuan-satuan bahasa yang mempunyai
persesuaian tertentu secara sistematis. Oleh karena itu, hubungan paradigmatik
diperoleh melalui subtitusi. Substitusi tentu saja mempersyaratkan kelas atau
kategori sama, nomina disubstitusi dengan nomina, verba dengan verba, dan
sebagainya pada masing-masing tataran. Misalnya, kata target mempunyai
hubungan paradigmatik dengan kata impian atau kata Agnelli muda mempunyai
hubungan paradigmatik dengan Luigi Del Neri, seperti dalam kalimat berikut.
(3) Target besar Agnelli muda ialah membangun Indonesia berjaya di Eropa.
(3a) Impian besar Agnelli muda ialah membangun Indonesia berjaya di Eropa
(3b) Target besar Sheng Ren Kong Zi ialah membangun Indonesia berjaya di
Eropa.
Dari paparan di atas, dapat dikatakan hubungan yang bersifat sintagmatik
disebut dengan konstruksi. Konstruksi merupakan serangkaian tagmem yang
merupakan pengisi slot gramatika tunggal pada tataran hierarki yang lebih besar.
Adapun hubungan yang bersifat paradigmatik disebut sistem. Dengan demikian,
disimpulkan bahwa konstruksi pada tataran kalimat ialah susunan unsur-unsur
langsung kalimat secara horizontal (dari kiri ke kanan), sedangkan hubungan
antara unsur-unsur satu kalimat dengan kalimat yang lain disebut sistem.
a. Konstruksi Kalimat
Sebagaimana disinggung pada awal Bab ini, kalimat merupakan satuan
linguistik tertinggi dalam studi sintaksis maka kalimat merupakan konstruksi yang
terdiri atas satu klausa atau lebih. Satuan linguistik itu mengandung predikat (dan
hanya satu predikat) maka satuan itu disebut sebagai klausa.7 Kalimat yang terdiri
atas satu klausa disebut sebagai kalimat tungal. Konstruksi predikatif itu disebut
7 Benyamin Elson dan Velma Pickett, An Introduction to Morphology and Syntax (Santa Anna, California: Summer Institute of Linguistis, 1967), h. 64
12
kalimat apabila telah digunakan sebagai ekspresi ataupun komunikasi; berarti
konstruksi (satuan bahasa) itu memiliki intonasi dan jika ditulis diawali dengan
huruf kapital pada huruf awal kata pertama dan diakhiri dengan tanda titik, tanda
tanya, atau tanda seru sebagai intonasi final.8 Sementara itu, kalimat yang terdiri
atas dua klausa atau lebih disebut sebagai kalimat majemuk.
Atas dasar jumlah klausa sebagai unsur satuan linguistik tersebut, kalimat
dibedakan atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Adapun menurut proses
pembentukannya, kalimat dibedakan atas kalimat dasar (belum mengalami
perubahan) dan kalimat ubahan (transformasi). Menurut Alwi, dkk., pola-pola
kalimat dasar dilihat dari fungsi sintaktik sebagai berikut.
(a) S-P : Murid bernyanyi
(b) S-P-O : Betty mendapat penghargaan
(c) S-P-Pel : Sheng Ren Kong Zi menjadi pengusaha
(d) S-P-K : Kerusuha itu terjadi di Marassi
(e) S-P-O-Pel : Murid membelikan guru buku baru
(f) S-P-O-K : Madrid ingin mendatangkan Rooney musim depan9
Sementara itu, menurut Samsuri, pola dasar dilihat dari kategori kata atau disebut
analisis frasal berdasarkan teori Tata Bahasa Transformasional Chomsky sebagai
berikut.
(a) FN + FV Cristiano Ronaldo // telah pergi.
Iwan Setiawan // sedang bermain komputer Safa
Meti Mawrwitasari // sedang membacakan Naura
Makayla dongeng Kancil.
(b) FN + FN Rennel Indrawan PNS.
(c) FN + FAdj Sukma Indah Wulandari cantik sekali.
(d) FN + FNum Uangnya lima ratus rupiah.
(e) FN + FPrep Kuenya di kulkas10
8 Alwi, dkk. Op. Cit., h. 311. 9 Ibid., h. 322. 10 Samsuri, Tata Kalimat Bahasa Indonesia (Jakarta: Sastra Hudaya, 1989), hh. 237-246
13
Setiap unsur langsung dalam suatu konstruksi yang bukan koordinatif merupakan
unsur inti dan luar inti.11 Unsur inti memiliki sifat yang lebih jelas, misalnya kata
mendapatkan merupakan inti dari frasa akan mendapatkan karena dapat mengisi
peran inti konstituen langsung dalam klausa, bandingkan (4a) dan (4b) di bawah
ini.
(4) Kami akan mendapatkan hadiah utama.
(4a) Kami mendapatkan hadiah utama.
Kata akan tidak dapat mengisi peran inti dalam konstituen langsung klausa
tersebut, misalnya
(4b) *Kami akan hadiah utama.
Dengan demikian, inti dapat mewakili seluruh satuan konstruksi yang mengandung
inti itu, seperti halnya hadiah sebagai unsur inti pada hadiah utama dapat mewakili
konstruksinya sebagai pengisi fungsi objek dalam kalimat
(4c) Kami akan mendapatkan hadiah.
(4d) *Kami akan mendapatkan utama.
Unsur inti bisa terdapat dalam lebih banyak konstituen kalimat daripada unsur
luar inti. Maksudnya ialah unsur inti dapat mengisi fungsi-fungsi di dalam kalimat,
misalnya
(5) Pilot menerbangkan pesawat.
Dalam kalimat itu pilot sebagai pengisi fungsi subjek (pelaku), sedangkan dalam
kalimat berikut
(6) Pramugari mendatangi pilot.
11 Pike dan Pike, Op. Cit., hh. 26-27.
14
konstituen pilot sebagai pengisi fungsi objek (sasaran). Unsur inti mempunyai
peran semantik yang lebih sentral daripada luar inti.12 Misalnya, kata menyayangi
mempunyai peran semantis yang lebih pusat daripada selalu pada kalimat Orang
tua selalu menyanyangi setiap anaknya.
Dari pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa konstruksi kalimat adalah
klausa yang telah digunakan sebagai sarana ekspresi atau komunikasi sehingga
memiliki intonasi final (wujud lisan) dan digunakan huruf kapital pada huruf
pertama kata awal dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru
(wujud tulis) sehingga membentuk sebuah makna.
b. Konstruksi Klausa
Klausa merupakan satuan bahasa pada tataran gramatikal di bawah kalimat
dan di atas frasa. Klausa terdiri atas satuan gramatikal yang berupa untaian
(rangkaian) frasa yang bersifat predikatif dan berpotensi menjadi kalimat. Menurut
Elson dan Pickett, konstruksi klausa adalah satu untaian tagmem yang terdiri atas
(atau mengandung) satu —dan hanya satu— predikat atau semacam tagmem
predikat di antara tagmem-tagmem lain yang mengisi slot (unsur utama) kalimat.13
Tagmem adalah sebutan satuan bahasa (konstituen langsung) dari satuan yang
lebih besar, yang dianalisis dari empat ciri, yaitu (i) slot (fungsi sintaktik), (ii) kelas
pengisi (kategori), (iii) peran (fungai semantik), dan (iv) kohesi (hubungan
antarkonstituen).
Klausa terdiri atas klausa bebas dan klausa terikat. Cook mendefinisikan
klausa bebas dan klausa terikat sebagai berikut.
An independent clause is a clause that can stand alone as a major sentence
in the language. Dependent clauses are clauses that may not stand alone as
major sentences, though they occur, with final intonation, as minor
sentences.14
12 Sugono dan Indiyastini, Op. Cit., h. 12.13 Elson dan Pickett, Loc. Cit.14 Cook, Introduction to Tagmemic Analysis, (New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc, 1979), hh. 67-73
15
Dari paparan di atas jelas bahwa klausa yang dapat berdiri sendiri sebagai kalimat
mayor disebut klausa bebas dan klausa yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai
kalimat mayor disebut klausa terikat. Jadi, klausa bebas adalah klausa yang
secara potensial dapat menjadi kalimat bebas, sedangkan klausa terikat adalah
klausa yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai kalimat bebas. Contoh:
(7a) ketika saya datang
Klausa di atas tidak memiliki makna atau informasi karena belum ada pernyataan.
Ada apa ketika saya datang. Oleh karena itu, klausa di atas (ketika saya datang)
membutuhkan kehadiran klausa bebas, seperti dia belajar di perpustakaan
sehingga menjadi
(7b) ketika saya datang, dia belajar di perpustakaan
Dalam konstruksi (7b) itu klausa bebas merupakan unsur inti dan klausa terikat
merupakan unsur luar inti. Apabaila ada fungsi yang sama dalam klausa bebas
dan dalam klausa terikat, satu dari fungsi yang sama itu dilesapkan dan pelesapan
itu terjadi pada klausa luar inti itu, bukan pada klausa inti.
(7c) Dia datang
S P
(7d) karena dia ingin bertemu dengan saya
K
S-P-K
sehingga menjadi
(7e) Dia datang karena ingin bertemu dengan saya
S P K
Klausa yang terdiri atas unsur-unsur wajib disebut sebagai akar klausa
(clause root). Akar klausa merupakan pengisi slot inti suatu klausa dengan peran
statemen, interogatif, imperaktif, dan pengharapan. Akar klausa memiliki enam
16
macam ketransitifan, yaitu (i) akar klausa dwitransitif, (ii) akar klausa transitif, (iii)
akar klausa dwi-intransitif, (iv) akar klausa intransitif, (v) akar klausa dwi-equatif,
dan (vi) akar klausa equatif.15 Untuk lebih jelas tentang keenam akar klausa
tersebut, perhatikan contoh kalimat di bawah ini.
(8a) Si Merah mengirimkan buku kepada guru
Kalimat (8a) terdiri atas akar klausa dwitransitif (aktif). Si Merah merupakan subjek
sebagai pelaku, buku itu merupakan adjung (adjunct) sebagai sasaran, dan
kepada guru merupakan adjung sebagai benefaktif.
(8b) Buku dikirimkan kepada guru oleh Si Merah
Kalimat (8b) terdiri atas akar klausa dwitransitif (pasif). Buku merupakan subjek
sebagai sasaran, kepada guru merupakan adjung sebagai benefaktif, dan oleh Si
Merah merupakan adjung sebagai pelaku.
(8c) Dia menyimpan uang di dalam lemari
Kalimat (8c) terdiri atas akar klausa dwitransitif. Dia merupakan subjek sebagai
pelaku, uang merupakan adjung sebagai sasaran, dan di dalam lemari merupakan
adjung sebagai skup-lokasi.
Adapun contoh akar klausa transitif sebagai berikut.
(9a) perusahaanku mengalami penurunan produktivitas
Perusahaanku merupakan subjek sebagai pelaku dan penurunan produktivitas
merupakan adjung sebagai sasaran;
(9b) penurunan produktivitas dialami oleh perusahaanku
Penurunan produktivitas merupakan subjek sebagai sasaran dan perusahaanku
merupakan adjung sebagai pengalami (recipient).
Contoh akar klausa dwi-intransitif antara lain sebagai berikut:
(10a) paket itu tiba di rumah.
Paket itu merupakan subjek sebagai pelaku (metaforis) dan di rumah merupakan
adjung sebagai skup-lokatif.
15 Dendy Sugono, Verba Transitif Dialek Osing Analisis Tagmemik (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), h. 15.
17
(10b) mereka berlari ke orang tuanya
Mereka merupakan subjek sebagai pelaku dan ke orang tuanya merupakan adjung
sebagai skup-tujuan. Contoh akar klausa intransitif, yaitu
(11) panita datang
Panita merupakan subjek sebagai pelaku. Adapun akar klausa dwi-ekuatif tampak
pada contoh berikut.
(12) makanan itu rasanya enak buat saya
Makanan merupakan subjek sebagai item dan buat saya merupakan adjung
sebagai skup-benefaktif. Contoh akar klausa equatif di bawah ini.
(13a) saya ingin menjadi arsitek
(13b) Pak Teguh (adalah) pintar
Saya dan Pak Teguh merupakan subjek sebagai item, sedangkan arsitek dan
pintar komplemen sebagai identifikasi dan kualifikasi.
Contoh di atas memperlihatkan bahwa dalam analisis tagmemik akar klausa
dwitransitif mempunyai unsur peran pelaku, unsur sasaran, dan unsur skup; akar
klausa transitif mempunyai unsur pelaku dan unsur sasaran; akar klausa dwi-
intransitif mempunyai unsur pelaku dan unsur skup; akar klausa intransitif
mempunyai unsur pelaku saja; akar klausa dwi-equatif tidak mempunyai unsur
sebagai pelaku-subjek item- tetapi mempunyai unsur skup; akar klausa equatif
tidak mempunyai unsur pelaku-subjek item-dan tidak mempunyai skup. Dalam
hubungannya dengan akar klausa dwi-equatif dan equatif terdapat slot komplemen
sebagai sifat subjek. Untuk lebih jelas enam jenis akar klausa di atas berikut
dimuat pada bagan yang dikemukakan oleh Pike dan Pike.16
Bagan 1. Akar Klausa
Clause Root
Actor no Actor (item)
16 Pike dan Pike, Op. Cit., h. 44.
18
undergoer no U
Scope no SC Sc no Sc Sc no Sc
1 BT 2 T 3 BI 4 I 5 BEq 6 Eq
Pada tataran klausa, ada tagmem predikat (fungsi sintaktik) yang diisi frasa
verbal (kelas pengisi) sebagai pernyataan (peran semantik), dan tipe intransitif
(kohesi) serta tagmem subjek yang diisi oleh frasa nominal (kelas pengisi) sebagai
pelaku (peran semantik) pada klausa intransitif. Contoh suporter Munchen
menangis. Dalam klausa transitif selain tagmem subjek, tagmem predikat disertai
tagmem objek yang diisi oleh frasa nominal (kelas pengisi) sebagai sasaran (peran
semantik). Contoh: Suporter Munchen menangisi kekalahan tim kesayangannya.
Berbeda dengan frasa, satuan bahasa di bawah klausa itu tidak mengandung
atau tidak memiliki predikat, bukan konstruksi predikatif melainkan konstruksi
atributif, koordinatif, atau perangkai sumbu. Kalau klausa berpotensi menjadi
kalimat, frasa tidak berpotensi menjadi kalimat karena di dalam konstruksi klausa
sudah terdapat predikat sebagai inti kalimat yang disertai subjek, objek, pelengkap,
ketarangan yang hadir dalam konstruksi itu. Misalnya:
(14) Hernanes tak dijual
s p
(15) Italia mendapatkan hadiah kemenagan 3-0
s p o
(16) Benayoun menjalani operasi di Finlandia
s p o k
Konstruksi di atas merupakan sebuah klausa karena contoh (14) memiliki unsur
wajib: subjek (S) dan predikat (P), conoh (15) tiga unsur wajib: S, P, dan objek (O),
serta pada contoh (16) memiliki tiga unsur wajib: S, P, O, dan satu unsur mana
suka, yakni keterangan (K). Klausa-klausa di atas dapat menjadi kalimat jika
klausa itu memiliki intonasi final atau jika dituliskan, konstruksi itu diakhiri dengan
19
tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru. Sebagaimana disinggung pada bagian
terdahulu, jika dibandingkan dengan kalimat, klausa belum memiliki intonasi,
merupakan konstruksi predikatif belum digunakan sebagai ujaran, sedangkan
kalimat merupakan konstruksi predikatif yang telah digunakan sebagai ujaran yang
sudah selesai.
Dari pembahasan di atas, konstruksi klausa adalah struktur satuan (unit)
gramatikal (disebut juga untaian tagmem) yang mengandung (satu) predikat yang
dalam tataran gramatikal berada di bawah kalimat dan di atas frasa maka
konstruksi klausa terdiri atas frasa-frasa; konstruksi itu berpotensi menjadi kalimat
tunggal apabila digunakan dalam ujaran (memiliki intonasi akhir) atau dituliskan
dengan menggunakan huruf kapital pada huruf awal kata pertama dan diakhiri
engan tanda baca (titik, seru, dan tanya) sehingga membentuk satuan makna utuh.
Dengan syarat serupa, dua klausa atau lebih akan membentuk kalimat majemuk,
baik majemuk setara maupun majemuk bertingkat.
c. Konstruksi Frasa
Sebagaimana disinggung pada bagian awal, penjelasan tentang frasa sering
dikaitkan dengan klausa, dan sebaliknya berbicara tentang klausa dibedakannya
dari frasa. Frasa adalah komposisi satuan (unit) bahasa yang secara potensial
terdiri atas dua kata atau lebih tetapi tidak memiliki ciri-ciri suatu klausa, secara
khas (tidak selalu) mengisi slot-slot pada tataran klausa.17 Dalam tataran hierarki
gramatikal, frasa terletak di bawah klausa dan di atas kata. Dipandang dari sisi
konstruksi, frasa merupakan susunan dua kata atau lebih (bukan hubungan
predikatif) yang memiliki hubungan atributif, koordinatif, atau perangkai sumbu.
Misalnya,
(17) hidup ini, ban depan, impian baru → hubungan atributif/hukum DM
(18) sebuah pesan, telah mengirim, ingin menegaskan → hubungan
atributif/hukum MD
(19) Tua muda, besar kecil, kaya miskin → hubungan koordinatif
17 Elson dan Pickett, Op. Cit., hh.73.
20
(20) di bandara, dari sekolah, ke restoran → hubungan perangkai sumbu
Unsur-unsur frasa dapat disubstitusi dengan kata lain yang satu jenis atau satu
kelas, seperti pada contoh berikut.
(21) sepatu baru → sepatu tua, sepatu unik, sepatu antik;
(22) akan main → sedang main, masih main, belum main, sudah main;
(23) ke Jakarta → ke Yogyakarta, ke Malang, ke Medan, ke Denpasar.
Konstruksi frasa koordinatif yang unsur pembentuknya merupakan pasangan
antonim, yaitu unsurnya tidak dapat disubtitusi dengan kata lain. Misalnya, tua
muda, besar kecil, laki-laki perempuan, suami isteri, dan pulang pergi. Konstruksi
sintaktik pada tataran frasa diartikan sebagai susunan perpaduan kata yang
memiliki hubungan atributif, koordinatif, dan perangkai sumbu.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa frasa adalah satuan
bahasa di bawah klausa dan di atas kata yang terdiri atas dua kata atau lebih –
tidak mengandung predikat–yang memiliki hubungan atributif, koordinatif, atau
perangkai sumbu. Frasa merupakan satuan konstruksi bahasa pembentuk satuan
konstruksi bahasa yang lebih besar, yaitu klausa.
d. Konstruksi Kata
Cook mendefinisikan kata sebagai “the word is composed of morphemes and
typically fills slots at the phrase level.”18 Kata adalah suatu bentuk gramatikal
bebas terkecil yang secara potensial terdiri atas gabungan tagmem-tagmem yang
diisi oleh morfem. Kata mempunyai makna satuan gramatikal yang dapat diujarkan
sebagai bentuk bebas. Dengan kata lain, kata merupakan unsur bahasa yang
dapat berdiri sendiri. Dilihat dari tataran hierarki gramatikal; kata berada di bawah
frasa dan berada di atas morfem. Misalnya, motor, pulang, cantik, dan tiga adalah
unsur bahasa yang dapat berdiri sendiri, terdiri atas morfem bebas. Jika terdapat
bentuk, seperti meN-, ber-, ter- di-, -mu, -nya, merupakan bentuk terikat pada
bentuk lain. Jadi, bentuk tersebut bukan kata. Sebaliknya, menulis, membaca,
18 Cook, Op. Cit., h. 117.
21
meneliti, dan lukisan dapat berdiri sendiri dan dapat membentuk frasa; unsur itu
terdiri atas lebih dari satu morfem. Oleh karena itu, bentuk-bentuk itu tergolong
kata. Kelompok pertama (kata yang terdiri atas satu morfem bebas) disebut kata
dasar, sedangkan kelompok kedua (kata yang terdiri lebih dari satu morfem)
disebut kata turunan.
2. Verba Transitif
Dalam analisis tagmemik dikenal istilah tagmem yang menganalisis satuan
linguistik berdasarkan empat dimensi. Pertama, analisis fungsi sintaktik (slot) yang
berada pada tataran klausa meliputi S, P, O, Pel, dan K. Kedua, analisis kategori
(kelas) menyangkut kelas kata, misalnya nomina, verba, adjektiva, numeralia, dan
adverbia. Ketiga, analisis peran menyangkut fungsi semantik, seperti pelaku dan
sasaran. Keempat, analisis kohesi menyangkut pengontrol hubungan
antartagmem.
Dalam tataran klausa verba merupakan pengisi slot predikat, sedangkan
dalam tataran frasa verba merupakan pengisi slot inti yang didampingi kata aspek,
modalitas, dan/atau negasi sebagai pengisi slot luar inti.19 Dengan demikian,
secara sintaktik verba adalah kelas kata yang dalam tataran yang lebih tinggi pada
(1) frasa sebagai inti dengan pendamping kata aspek, modalitas, dan/atau negasi
sebagai luar inti yang bersifat opsional; (2) klausa sebagai predikat yang bersifat
wajib.20 Secara morfologis, verba memiliki bentuk berprefiks meN-(membuat,
meluas, menyatu, membatu), di- (dibuat, disatukan), ber-(berjuang, berbaju,
bersatu), ter- (terbaca, tersapu), per- (perkecil, perbanyak), dan konfliks ke-an
(kehujanan, kehilangan). Selain itu, ada bentuk verba tanpa afiksasi atau biasa
disebut verba dasar, seperti verba tinggal, duduk, pergi, dan datang tanpa
mengalami proses morfologis dapat menjadi inti dalam frasa verbal dan dapat
menjadi predikat dalam klausa bahasa Indonesia.
19 Sugono dan Indiyastini., Op. Cit., h. 15 20 D.P.Tampubolon, Abubakar, dan M. Sitorus, Tipe-Tipe Kata Kerja Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), h.7.
22
Adapun verba transitif dapat dipahami dari dua pendekatan juga, yaitu
pendekatan sintaktik dan pendekatan morfologis. Secara sintaktik, verba transitif
adalah verba yang dalam konstruksi klausa, sebagai predikat, menuntut kehadiran
fungsi sintaktik subjek dan objek. Misalnya,
(24) mereka sedang membuat laporan kemajuan onomi
(25) siswa kelas 9 membersihkan ruang guru
(26) tokoh itu akan menyatukan kedua warga desa
(27) saya ingin makan roti bakar
Sebagai predikat verba membuat, membersihkan, menyatukan, dan makan
memerlukan subjek mereka, siswa kelas 9, tokoh itu, dan saya serta memerlukan
objek laporan kemajuan ekonomi, ruang guru, kedua warga desa, dan roti bakar.
Dengan kata lain, verba-verba transtif itu mensyaratkan kehadiran frasa nominal
sebagai objek dalam konstruksi klausa.
Adapun secara morfologis verba transitif diklasifikasi atas verba transitif aktif
dan verba transitif pasif. Verba transitif aktif ditandai dengan prefiks meN-,
sedangkan verba pasif ditandai prefiks di-. Misalnya, verba predikat klausa di atas
membuat, membersihkan, menyatukan, dan makan sebagai bentuk aktif dan verba
dibuat, dibersihkan, disatukan, dan dimakan sebagai bentuk pasif. Dalam kaitan
dengan verba makan tidak bertanda prefiks meN- sudah berkategori verba transitif
aktif karena memenuhi kriteria sintaktik, yaitu mewajibkan kehadiran objek sebagai
sasaran. Ada beberapa verba dasar (monomorfemis) yang berkategori verba
transitif, seperti makan, minum, dengar, dan lihat. Dalam realisasi sebagai predikat
klausa verba itu memerlukan kehadiran objek.
Secara morfologis, kelas kata verba intransitif, nomina (termasuk numeralia,
pronomina), adjektiva, bahkan frasa berpreposisi dapat dibentuk menjadi verba
transitif dengan membubuhkan sufiks -kan atau –i. Misalnya,
(28) verba intransitif datang + -kan → datangkan
(29) verba intransitif duduk + -i → duduki
(30) nomina buku + -kan → bukukan
23
(31) pronomina aku + -i → akui
(32) adjektiva besar + -kan → besarkan
(33) frasa berpreposisi ke muka + -kan → kemukakan
Verba datangkan, duduki, bukukan, besarkan dan kemukakan sebagai predikat
telah memerlukan nomina sebagai sasaran “datangkan siapa/apa, duduki apa,
bukukan apa, akui apa, besarkan apa, dan kemukakan apa”. Verba transtif
turunan dari kelas kata lain itu akan menjadi verba transitif aktif atau pasif tinggal
pilih prefiks penanda aktif dengan meN- akan menjadi verba transitif aktif dan pilih
prefiks penanda pasif di- akan menjadi verba transitif pasif. Misalnya,
(28a) meN- + datangkan → mendatangkan
(29a) meN- + datangi → mendatangi
(30a) meN- + bukukan → membukukan
(31a) meN- + akui → mengakui
(32a) meN- + besarkan → membesarkan
(33a) meN- + kedepankan → mengedepankan
perhatikan
(28b) di- + datangkan → didatangkan
(29b) di- + datangi → didatangi
(30b) di- + bukukan → dibukukan
(31b) di- + akui → diakui
(32b) di- + besarkan → dibesarkan
(33b) di- + kedepankan → dikedepankan
Karena aktif dan pasif merupakan salah satu ciri verba transitif, yaitu bahwa verba
transitif itu memiliki oposisi pasif, konsep aktif dan pasif itu digunakan sebagai
salah satu langkah analisis verba transitif dalam peneltian ini. Berikut pengertian
verba transitif aktif bahasa Indonesia.
24
3. Tagmem
Satu lagi istilah penting dan mendasar dalam teori tagmemik, yaitu istilah
yang digunakan untuk memberi nama satuan-satuan konstituen langsung suatu
konstruksi, bahkan istilah itu menjadi nama teori ini. Istilah itu ialah tagmem; untuk
mengungkap konsep tagmem, ada dua hal utama yang perlu dikemukakan di sini,
yaitu empat ciri tagmem dan sifat kehadiran tagmem.
a. Empat Ciri Tagmem
Keempat ciri tagmem itu adalah slot, peran, kelas, dan kohesi. Ada
pandangan lain yang menyebut slot itu sebagai fungsi sintaktik, peran sebagai
peran semantik, kelas pengisi sebagai kelas kata (kategori), dan kohesi sebagai
ketransitifan.21 Jika suatu tagmem selalu hadir dalam realisasi konstruksinya,
tagmen itu dikategorikan sebagai wajib, dalam analisis ditandai dengan plus (+).
Sebaliknya, jika suatu tagmem tidak selalu hadir dalam realisasi konstruksinya,
tagmem itu dikatakan opsional (takwajib), dalam analisis ditandai dengan plus dan
minus (±).22 Satu konstituen sebuah konstruksi diperikan ke dalam empat ciri
tersebut beserta sifat kehadirannya dengan teknik sebagai berikut.
Slot Kelas
Peran Kohesi
b. Tataran klausa
48. Iniesta memainkan bola di depan gawang
49. Messi telah mencetak gol pertama
50. wasit itu membunyikan peluit
Ketiga klausa di atas berada dalam satu konstruksi yang terdiri atas tiga tagmem
wajib dan satu tagmem opsional bagaimana terlihat pada hasil perumusan kaidah
di bawah ini.
S FN P FV O FN K FPrep
21 Verhaar, Op. Cit., h. 174.22 Pike dan Pike, Op.Cit., h. 74
25
Kls: + + + ±
Pelk - Sta T Sas - Lok -
Konstruksi klausa (48-50) di atas dirumuskan dalam tiga tagmem wajib, yaitu
tagmem (1) slot subjek, kelas pengisi frasa nominal, peran pelaku, kohesi kosong,
kehadiran wajib, (2) slot predikat, kelas pengisi frasa verbal, peran statemen
(berita), kohesi transitif, kehadiran wajib, (3) slot objek, kelas pengisi frasa nominal,
peran sasaran, kohesi kosong, kehadiran wajib; (4) slot keterangan, kelas pengisi
frasa berpreposisi, peran lokatif, kehadiran opsional.
c. Tataran frasa
(51) sudah memakai
(52) belum membawa
(53) akan nyanyi
Data ketiga frasa verbal itu dirumuskan sebagai berikut.
LInt Part Int AkrVT
± +
Asp - Pred -
Frasa verbal terdiri atas dua tagmem, yaitu (a) slot luar inti, kelas pengisi partikel,
peran aspek, kohesi kosong, kehadiran opsional dan (b) slot inti, kelas pengisi akar
verba transitif, peran predikasi, kohesi kosong, kehadiran wajib.
d. Tataran kata
(54) meN- tulis
(55) meN- baca
26
LInt <meN-> Int AkrVT
VAktT + +
Pend Akt Pred
Verbal transitif aktif terdiri atas dua tagmem, yaitu (a) tagmem luar inti, kelas
pengisi prefiks meN-, peran penanda aktif, kohesi kosong, kehadiran wajib dan (b)
tagmem inti, kelas pengisi AkrVT, peran predikasi kohesi, kosong, kehadiran wajib.
4. Nama Tagmem
Penyebutan nama tagmem dipakai nama slot.23 Pada tataran klausa tagmem-
tagmemnya disebut tagmem subjek, tagmem predikat, tagmem objek, dan tagmem
pelengkap (complement), serta tagmem keterangan. Pada tataran frasa dan kata
penyebutan nama tagmem dipakai nama slot dan peran (untuk membedakan
tagmem luar inti yang satu dari tagmem luar inti lainnya). Misalnya, pada frasa:
tagmem luar inti aspek, tagmem luar inti ingkar (negasi), tagmem luar inti cara;
pada kata: tagmem luar inti penanda aktif, tagmem luar inti penanda ketransitifan,
dan tagmem luar inti penanda imperatif.
5. Perumusan Formula
Setelah klasifikasi dan pemetaan serta penampilan data, dilakukan analisis
konstruksi ke dalam tagmem-tagmem sesuai dengan tataran hierarki. Kemudian,
sesuai dengan tipe masing-masing konstruksi dibuat formula berdasarkan empat
ciri tagmem dan sifat kehadiran tagmem ke dalam model tagmemik seperti di
bawah ini.
S FN P FV O FN K FN
KlsTAkt: + + + ±
Pelk - Sta T Sas - Lok -
23 Dendy Sugono, “Dikotomi Aktif dan Pasif dalam Bahasa Jawa Malang” dalam Sawerigading No. 337/AU1/P2MBI/0420011 h. 237.
27
Klausa transitif aktif diwujudkan oleh tiga tagmem wajib dan satu tagmem opsional,
yaitu (a) tagmem subjek, kelas pengisi frasa nominal, peran pelaku, kohesi
kosong, kehadiran wajib; (b) tagmem predikat, kelas pengisi frasa verbal, peran
statemen (berita), kohesi transitif, kehadiran wajib; (c) tagmem objek, kelas pengisi
frasa nominal, peran sasaran, kohesi kosong, kehadiran wajib, (d) tagmem
keterangan, kelas pengisi frasa berpreposisi, peran lokatif, kohesi kosong,
kehadiran opsional.
6. Bahasa Tajuk Rencana
Dalam jurnalistik dikenal istilah rubrik. Rubrik merupakan ruangan tetap pada
halaman media massa cetak, baik surat kabar harian maupun majalah. Pada
umumnya rubrik surat kabar harian terdiri atas politik dan hukum, internasional,
pendidikan dan kebudayaan, lingkungan dan kesehatan, ilmu pengetahuan dan
teknologi, ekonomi, olahraga, dan opini. Opini sendiri antara lain kolom, pojok,
karikatur, surat pembaca, dan tajuk rencana. Barus mengemukakan tajuk rencana
sebagai berikut.
Kata tajuk rencana atau induk karangan berasal dari kata editorial yang
berfungsi sebagai mahkotanya karangan atau tulisan yang berisi ulasan,
pemikiran, pandangan, surat kabar mengenai suatu fakta, kejadian, atau
opini yang berkembang dalam masyarakat.24
Pada umumnya tajuk rencana ditulis oleh redaktur tetapi dalam tajuk rencana tidak
dicantumkan nama penulisnya. Setiap surat kabar harian berbeda-beda dalam hal
penamaan tajuk rencana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tajuk
rencana merupakan karangan yang bersifat argumentasi yang dimuat oleh surat
kabar dan ditulis oleh redaktur berisi ulasan berita-berita yang
menarik/menonjol/isu yang sedang menjadi pembicaraan di masyarakat.
24 Sedia Willing Barus, Jurnalistik: Petunjuk Teknis Menulis Berita (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 143.
28
Karena tajuk berupa opini yang ditulis oleh redaktur dan mewakili serta
mencerminkan pendapat dan sikap resmi surat kabar bersangkutan, menulis tajuk
rencana pun harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia. Suhandang menyatakan bahwa tajuk rencana cenderung dikemukakan
sependek mungkin. Panjang tajuk rata-rata 300 kata (berlaku di semua negara).
Penulis tajuk harus memadatkan fakta dan argumentasinya pada paragraf yang
pendek.25 Sementara itu, menurut Yohanes sebagai berikut.
Jenis-jenis kalimat untuk kepentingan penulisan karangan dapat ditinjau dari
beberapa sudut pandang, antara lain dari sudut jumlah kata yang terdapat
dalam kalimat, ada tidaknya klausa dalam kalimat, jumlah klausa yang
terdapat dalam kalimat, . . .26
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kalimat yang terdapat di dalam
paragraf tajuk rencana ialah kalimat tunggal/mayor yang terdiri hanya satu klausa.
Hal itu menyebabkan bahasa yang digunakan dalam tajuk rencana relatif mudah
dipahami dan efektif dalam penyampaian serta terpelihara kaidah-kaidah dan
sistem bahasanya.
Bahasa dalam tajuk rencana dibuat menarik, kalimat pendek-pendek supaya
mudah dicerna. Menurut Barus bahwa ciri pokok bahasa tajuk rencana ialah
penghemaan kata dan kalimat. Maksudnya hemat ialah singkat dan sederhana.27
Dapat dikatakan kalimat sederhana ialah kalimat yang hanya terdiri atas satu
klausa dan di dalam klausa tersebut terdapat verba transitif yang menduduki slot
predikat. Hal tersebut dipertegas oleh Barus dalam bukunya yang membahas
salah satu ciri bahasa jurnalistik ialah menggunakan kata kerja transitif.28 Kalimat
tajuk rencana harus singkat dan sederha agar pembaca mudah memahami dan
teratik terhadap informasi yang disampaikan.
BAB III
25 Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik (Bandung: Nuansa, 2010), h. 15626 Yohanes, Kalimat dalam Penulisan Karangan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hh. 14-28.27 Barus, Op. Cit., h. 21428 Ibid, h. 221.
29
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini ialah pemahaman mendalam mengenai
verba transitif dalam klausa bahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini dilakukan
untuk menemukan perilaku semantik dan sintaktik verba transitif dalam konstruksi
klausa bahasa Indonesia. Adapun tujuan secara khusus penelitian ini ialah untuk
menemukan konstruksi verba transitif serta perilaku semantik dan sintaktif verba
transitif dalam klausa bahasa Indonesia pada rubrik Tajuk Rencana Kompas.
Secara rinci tujuan penelitian ini ialah sebagai berikut.
1. Untuk menemukan konstruksi klausa transitif dalam kalimat-kalimat pada
rubrik “Tajuk Rencana” Kompas bulan Januari—Maret 2012
2. Untuk menemukan klasifikasi verba transitif dalam klausa pada data rubrik
Tajuk Rencana Kompas
3. Untuk menemukan perilaku semantik dan sintaktik verba transitif sebagai
predikat klausa bahasa Indonesia.
4. Untuk menemukan formula konstruksi verba transitif bahasa Indonesia
Temuan-temuan itu diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam
penyusunan materi pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dan universitas.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Karena penelitian ini termasuk metode analisis isi, penelitian ini tidak terikat
dengan tempat. Meskipun demikian, penelitian ini dilakukan di Jakarta karena
peneliti bertempat tinggal di Jakarta. Adapun waktu penelitian dilakukan pada
semester ganjil, yaitu bulan Januari sampai bulan Juli tahun akademik 2011-2012.
C. Metode Penelitian
Penelitian verba transitif ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif analitik sesuai dengan sifat penelitian ini
melakukan analisis isi teks (wacana) melalui analisis bahasa dalam teks itu.
30
Djajasudarma mengatakan bahwa metode deskriptif digunakan untuk membuat
deskripsi sistematis dan akurat mengenai ciri-ciri dan sifat-sifat data bahasa secara
ilmiah, serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti sehingga menghasilkan
deskripsi (perian) data secara aktual.29 Selain itu, penelitian deskriptif tidak
mempertimbangkan benar salahnya penggunaan bahasa oleh penutur-penuturnya,
berbeda dengan penelitian preskriptif yang memperimbangkan unsur benar dan
salah penggunaan bahasa berdasarkan kriteria atau norma tertentu.30
Adapun terknik dalam penelitian ini digunakan prinsip teknik analisis isi, yakni
teknik analisis teks (wacana) dari segi konstruksi klausa-klausa yang berpredikat
verba.
D. Data dan Sumber Data
Sebagaimana disinggung pada bagian terdahulu, data penelitian ini ialah
verba transitif dalam klausa bahasa Indonesia. Adapun sumber data penelitian ini
ialah surat kabar nasional ragam bahasa tulis resmi pada teks rubrik Tajuk
Rencana Kompas bulan Januari sampai Maret 2012. Media massa Kompas terbit
setiap hari. Namun, peneliti mengambil beberapa rubrik Tajuk Rencana Kompas
tiga terbitan dalam satu minggu. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan
cara sampling acak.
29 T. Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian, (Bandung: Eresco, 1993), h. 8. 30 Sudaryanto, Metode Linguistik: Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988), h. 62.