contradictoire delimitatie
DESCRIPTION
TesisTRANSCRIPT
PENERAPAN ASAS CONTRADICTOIRE DELIMITATIE DALAM PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI
A. LATAR BELAKANG
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa dan
rakyat Indonesia yang merupakan salah satu modal dasar pembangunan dalam
upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang berdasarkan Pancasila
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara yang dipergunakan
untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hakekat hubungan antara
wilayah kesatuan Republik Indonesia dan bangsa Indonesia adalah bersifat
abadi yang merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Pengaturan mengenai bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya, didalam wilayah negara Indonesia harus selalu
dilandasi dengan upaya ke arah persatuan dan kesatuan bangsa untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Oleh Pemerintah telah diundangkan Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
atau biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA. UUPA
memberikan kewenangan kepada negara agar mengelola tanah untuk sebesar–
besar kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat dari UUD 1945 itu sendiri.
1
Kewenangan negara di Indonesia disebut Hak Menguasai Negara
disingkat HMN yang mengatur hubungan manusia dengan tanah dalam
pemanfaatannya diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Hak mrnguasai oleh
negara memberi wewenang untuk (1) mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa, (2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, (3) menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Selain memberikan kewenangan kepada Negara, salah satu tujuan
UUPA adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat indonesia, sebagaimana
Pasal 19 UUPA ayat (1) bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh
Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam pembangunan jangka panjang peranan tanah untuk pemenuhan
berbagai keperluan akan meningkat baik sebagai tempat tinggal maupun untuk
kegiatan usaha. Sehubungan dengan itu maka akan meningkat pula kebutuhan
akan dukungan berupa jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.
Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memrlukan
perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas, yang dilaksanakan secara
konsisten sesuai engan jiwa dan isi ketentuannya.
2
Dalam kenyataannya, pendaftaran tanah yang diselengarakan
berdasarkan PP. 10 tahun 1961 selama 30 tahun belum cukup memberikan
hasil yang memuaskan. Dari sekitar 55 juta bidang tanah hak yang memenuhi
syarat untuk didaftar, baru lebih kurang 16,3 juta bidang tanah yang sudah
didaftar.1
Oleh karena itu dalam rangka memberikan dukungan yang lebih baik,
Pada tanggal 8 Juli 1997 Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menggantikan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Dalam ketentuan peralihan
Pasal 64 dinyatakan, bahwa semua peraturan perundang-undangan
pelaksanaan PP. 10/1961 yang telah ada tetap berlaku, sepanjang tidak
bertentangan atau diubah ataupun diganti berdasarkan PP yang baru.
Pendaftaran hak atas tanah pada mulanya dilakukan sebagai usaha untuk
menuju kearah kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang
haknya, pada perkembangannnya yaitu dengan berlakunya PP 24 tahun 1997,
Tujuan pelaksanaan Pendaftaran Tanah sebagaimana Pasal 3 adalah:
a. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,
b. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk Pemerintah,
c. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambtan 1997, Hal 424
3
Kepastian hukum yang dimaksudkan dalam Pasal 3 PP 24 Tahun 1997
tersebut adalah kepastian hukum mengenai subyek, kepastian hukum
mnegenai obyek dan kepastian hukum mengenai hak yaitu hubungan hukum
antara subyek dan obyek. Kepastian hukum mengenai obyek hak atas tanah
yaitu kepastian hukum mengenai bidang tanah itu sendiri meliputi letak, luas,
dan batas bidang tanah serta adanya kepastian batas dalam hal rekonstruksi
batas yaitu batas bidang tanah dapat dikembalikan kepada posisi seharusnya
jika batas tersebut hilang atau disengketakan.
Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah untuk kepastian hukum tersebut,
data yang dihimpun pada dasarnya meliputi 2 bidang, yaitu (1) data fisik
bidang tanah berupa lokasi, letak, batas-batas serta luas bidang tanah, dan (2)
data yuridis mengenai haknya berupa siapa subyeknya, ada tidaknya hubungan
subyek lain atas bidang tanah tersebut dan hubungan subyek obyek.
Selengkapnya dalam PP 24 Tahun 1997 dikenal dengan Pengumpulan dan
Pengolahan Data Fisik yang terkait dengan obyek bidang tanah dan
Pengumpulan Data Yuridis yang terkait dengan bukti kepemilikan dan
hubungan hukum antara subyek obyek.
Kegiatan Pendaftaran tanah dibedakan menjadi dua bagian yaitu
pendaftaran tanah pertama kali dan kegiatan perubahan data pendaftaran
tanah. Kegiatan pendafatran tanah pertama kali meliputi Pengumpulan dan
Pengolahan data fisik, Pembuktian hak dan pembukuannya, Penerbitan
Sertipikat, Penyajian data fisik dan data yuridis, Penyimpanan Daftar Umum
dan Dokumen.
4
Kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik, salah satu
kegiatannya adalah pelaksanaan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang
tanah. Pengukuran harus dilaksanakan secara kadastral dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum mengenai obyek bidang tanah yang
meliputi letak, batas-batas dan luas dapat diperoleh apabila pengukuran dan
pemetaan dilaksanakan memenuhi persyaratan : (a) batas yang diukur adalah
batas yang sebenarnya (b) batas-batas tersebut dapat di rekonstruksikan
apabila diperlukan.
Fakta dan fenomena yang bekembang di masyarakat bahwa sengketa
pertanahan yang marak salah satu penyebabnya adalah ketidakpastian batas-
batas bidang tanah atau sering disebut sengketa batas, selain itu ada keraguan
dari pihak penegak hukum mengenai kesesuaian antara bukti kepemilikan
(data yuridis) dengan obyek bidang tanah (data fisik).
Untuk memastikan bahwa batas-batas bidang tanah yang diukur adalah
batas yang sebenarnya dan sekaligus untuk mencapai kepastian hukum
mengenai obyek hak atas tanah tersebut, dalam pelaksanaan pendaftaran
tanah menurut PP 24 Tahun 1997 dikenal asas Contradictoire Delimitatie
yaitu pemasangan dan penetapan batas bidang tanah berdasarkan kesepakatan
atau persetujuan batas dengan pihak pemilik bidang tanah yang berbatasan.
Tujuan penerapan asas Contradictoire Delimitatie adalah agar bidang
tanah yang sudah diukur dan dipetakan tidak terjadi perselisihan atau
senngketa mengenai batas-batasnya, sehingga pemilik tanah merasa aman dari
sanggahan mengenai batas-batas tanah yang ditetapkan. Hal tersebut tentunya
5
dapat terwujud apabila dalam pelaksanaan pengukuran pemilik bidang tanah
yang berbatasan hadir dilokasi pengukuran atau terjadi kesepakatan dalam
pemasangan tanda batas.
Penerapan asas Contradictoire Delimitatie tentunya akan berjalan lancar
apabila pada saat pelaksanaan pengukuran batas-batas bidang tanah, pihak-
pihak terkait dapat hadir pada lokasi sekaligus masing-masing pihak tersebut
sepakat mengenai batas-batas dimaksud.
Kegiatan pengukuran yang dilaksanakan tidak selamanya berjalan
lancar, salah satu penyebabnya adalah pihak yang berbatasan tidak hadir
dalam penunjukan batas, dikarenakan sibuk, berdomisili diluar daerah atau
tidak jelas pemiliknya.
Mengingat kultur hukum atau budaya hukum masyarakat Indonesia
yang majemuk memungkingkan pelaksanaan atau penerapan asas
Contradictoire Delimitatie tidak dapat dilaksanakan secara efektif sehingga
pencapaian kepastian hukum mengenai obyek tidak dapat diwujudkan
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan masalah:
Bagaimana Penerapan asas Contradictoire Delimitatie dalam memberikan
kepastian hukum mengenai obyek hak milik atas tanah
C. TUJUAN PENELITIAN
6
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis Penerapan asas
Contradictoire Delimitatie dalam memberikan kepastian hukum mengenai
obyek hak milik atas tanah
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat
1. sebagai salah satu sumber referensi bagi peneliti dimasa yang akan
datang terhadap permasalahan yang sama untuk melakukan studi secara
mendalam
2. sebagai bahan masukan bagi kantor pelaksana pendaftaran tanah
untuk tercapainya tujuan pendaftaran tanah yaitu tercapainya kepastian
hukum.
E. KAJIAN PUSTAKA
1. Pendaftaran Tanah Di Indonesia sebelum UUPA
Menurut R. Hermanses dalam Prof Dr. M. Yamin Lubis dan Abd.
Rahim Lubis bahwa ‘”berdasarkan sejarah perkembangannya, pendaftaran
tanah di Indonesia, diuraikan dalam tiga periode, dengan uraian sebagai
berikut: 1). Periode Pra Kadaster tahun 1620-1837, 2). Periode Kadaster
lama tahun 1837-1875, 3) Periode Kadaster Baru setelah tahun 1875”.2
Sejalan dengan itu, Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur
menjelaskan bahwa:
2 ? Prof Dr. M. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, 2008, hal 25
7
periode pra kadaster, ...... untuk mengatur pemberian tanah VOC mengeluarkan suatu plakat (maklumat) tanggal 18 Agustus 1620 yang menetapkan bahwa “BALJUW” yaitu pegawai pengadilan dan “SCHEEPEN” yaitu hakim atau anggota pemerintah kota untuk menyelenggarakan kadaster dan pendaftaran hak. Menurut hal tersebut di atas, bahwa penyelenggaraan kadaster dan pendaftaran hak pada tahun-tahun pertama kali dilakukan oleh satu instansi yang dibentuk dari pemerintah VOC. Pendaftaran tanah dalam suatu daftar oleh “Baljuw” dan “Scheepen” dapat diartikan “kadaster kuno” yaitu kadaster yang dilakukan tanpa didasari peta-peta.3
Pada tanggal 23 Juli 1680, dikeluarkan suatu plakat (maklumat)
yang mengatur susunan dan tugas suatu dewan yaitu ‘DEWAN
HEEMRADEN”.Dewan Heemraden tersebut adalah suatu instansi
pemerintahan yang dibentuk oleh VOC untuk daerah kekuasaan di luar
kota Jakarta yang mempunyai tugas pokok sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan kadaster di daerah kekuasannya (di luar Kota
Jakarta) dengan pembuatan peta yang teliti untuk semua tanah
beserta jalan-jalan yang telah ada atau sedang direncanakan.
Jembatan-jembatan, selokan saluran air, mencatat luas tanah serta
nama pemiliknya.
b. Dalam pembuatan peta atau peta-peta tanah Dewan Heemraden
dapat mengangkat beberapa orang ahli ukur.
c. Mengadili perkara-perkara mengenai batas-batas tanah.
d.Memelihara jalan, jembatan, saluran air, tanggul, bendungan dan
sungai.4
3 ? Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur, Pengantar Pendaftaran Tanah, STPN Yogyakarta, 2007 hal 31
4 ? Ibid Hal 32
8
Selanjutnya Prof Dr. M. Yamin Lubis menjelaskan bahwa “Untuk
mengatur persoalan yang timbul berhubungan denngan pemberian tanah
dan pendaftarannya serta persoalan yang melingkupinya, VOC
mengeluarkan beberapa maklumat(plakaat)”5
Plakat dimaksud antara lain Instruksi Pemerintah (stb. 1837 Nomor
3) yakni kepada ahli ukur atau dewan scheepen ditugaskan mendirikan
suatu kantor bagi para ahli ukur, ketentuan tersebut mencakup 3 pokok
penyelenggaraan suatu kadaster yang modern, yaitu:
1). pemetaan bidang-bidang tanah;
2). pendaftaran bidang-bidang tanah itu dalam dafatar-daftar tanah;
3). pemeliharaan peta-peta dan daftar-daftar tanah. 6
Periode kadaster lama berlangsung dari tahun 1837 sampai tahun
1875. Kadaster lama ini dikenal juga sebagai periode ahli ukur pemerintah
karena dengan keputusan “Gouverneur General” S. 1837 No. 3 tanggal
18 Januari 1837, menetapkan instruksi kepada “Gouverneur Landmater”
atau ahli ukur pemerintah dalam penyelenggaraan kadaster secara
terperinci sesuai dengan pokok-pokok penyelenggaraan kadaster modern
di Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Lebih lanjut Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur menjelaskan
bahwa Adapun instruksi Gouverneur General” kepada “Gouverneur
Landmater” adalah sebagai berikut:
5 ? M. Yamin Lubis, Opcit hal 276 ? Ibid hal 36
9
1. Menyimpan dan memelihara peta-peta tanah yang telah ada dan
membuat peta-peta tanah dari blok-blok yang belum diukur dan
dipetakan. Peta ditetapkan skala yang harus digunakan dalam peta-
peta tanah, pada peta-peta tersebut telah dicantumkan pula nomor
dan huruf dari blok yang bersangkutan sedang tiap bidang tanah
dalam peta itu diberikan nomor atau huruf.
2. Menyelenggarakan daftar-daftar sebagai berikut:
a. Daftar tanah, yaitu daftar tiap bidang tanah yang didaftar
menurut nomor atau huruf yang diberikan pada bidang-bidang
tanah, uraian mengenai batas-batas, letak serta luas bidang
tanah yang diambil dari peta-peta.
b. Daftar-daftar semua peta, peta kasar dan peta lain yang mereka
terima dan mereka buat sendiri.
c. Daftar-daftar dari peralihan hak milik atas benda-benda tetap
d. Daftar dari pengukuran-pengukuran dan penaksiran-
penaksiran yang dilakukan para ahli ukur.
3. Memberikan landmeters kennis (surat keterangan ahli ukur)
memberikan landmeters kennis yaitu pemberitahuan dari kantor
kadaster kepada pegawai baliknama, bahwa akan terjadi
baliknama karena warisan, jual beli, hibah dan sebagainya.
a. Landmeters kennis adalah sebagai salah satu syarat pendaftaran
hak (pendaftaran peralihan hak) yang diatur dalam staatsblad
1834 No. 27.
10
b. Landmeters kennis merupakan alat bagi para ahli ukur untuk
memelihara peta-peta dan daftar-daftar tanah yang
diselenggarakan tetap sesuai dengan keadaan hukum dari
bidang-bidang tanah yang sebenarnya.
4. Memelihara daftar-daftar Verpondings salah satu tugas dari para
ahli ukur dalam hubungannya dengan pajak verpondings adalah
memberi nomor-nomor verpondings pada hak-hak 7
Kadaster Baru, berlangsung dari tahun 1875 hingga sekarang.
Periode kadaster baru ini, dikenal dengan periode “KADASTER
DIENST”, karena dengan “Besluit van Gouverneur Generaal van
Nederlandsch van 10 Mei 1879 No. 4”, penyelenggaraan pendaftaran
tanah diserahkan pada “KADASTRALE DIENST” dari departemen
kehakiman. 8
Periode ini oleh CG Van Huls disebut periode Jawatan Pendaftaran
Tanah (periode Van den Kadastrale dienst), yakni tata cara
penyelenggaraan kadaster distur itu secara terperinci`. 9
Setelah peta-peta kadaster dari suatu daerah kadaster selesai dibuat,
maka harus disusun tata usaha kadaster menurut contoh-contoh dan
denngan daftar-daftar yang harus diadakan menurut Bijblad 3308 antara
lain;
7 ? Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur Opcit hal 348 ? ibid hal 359 ? Prof Dr. M. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, opcit hal 42
11
(1). daftar tanah yang merupakan daftar utama dsari usaha kadaster.
Dalam daftar itu bidang-bidang tanah kadaster yang telah
dipetakan diuraikan secara lengkap menurut seksi dan nomor
kadaster yang diberikan pada tiap-tiap bidang tanah
(2). daftar nama yang disusun menurut abjadnya, yakni para
pemegang hak didaftar dengan hak-hak yang mereka punyai 10
Lebih lanjut Prof Dr. M. Yamin, menjelaskan bahwa kedua daftar
tersebut merupakan daftar yang harus diselenggarakan dalam rangka tata
usaha pendaftaran tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
10 tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997.11
Penyelenggaran pendaftaran hak di Indonesia, dasar-dasarnya telah
diletakkan oleh pemerintah VOC dengan maklumat VOC tanggal 18
Agustus 1620. Sistim peralihan hak dilakukan di depan pengadilan,
menurut hukum Belanda kuno yang pada waktu itu berlaku di negeri
Belanda. Ketentuan tersebut juga diberlakukan di daerah-daerah VOC
seperti di Indonesia. Sistim pengalihan hak ini, dilakukan oleh Baljuw dan
sheepen dan selanjutnya oleh 2 orang scheepen. Ketentuan pengalihan hak
di depan pengadilan dikenal sebagai asas “konkordansi”. 12
Selanjutnya pendaftaran hak-hak yang diadakan dalam hubungannya
dengan pengalihan hak di depan pengadilan yang bersifat administrasi,
berkembang menjadi pendaftaran hak untuk menjamin kepastian hukum
10 ? ibid, hal 4611 ? ibid hal 4712 ? Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur, Opcit hal 48
12
dari hak-hak atas tanah. Perkembangan selanjutnya pendaftaran hak di
Indonesia diatur dalam ordonansi balik nama S. 1834 Nomor 27, yang
berlangsung sampai dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pendfataran Tanah (PP 10 Tahun 1961). 13
Di Negeri Belanda, Pendaftaran hak atas setiap peralihan hak
dilakukan didepan pengadilan yang pada pokoknya bersifat
administrasi. .... Sejarah perkembangan peralihan hak Indonesia dibagi
dalam dua periode yakni:
1). Periode sebelum Ordonansi Balik Nama (tahun 1620 s/d 1834)
2). Periode Ordonansi Balik Nama (setelah tahun 1934) , 14
Periode sebelum ordonansi baliknama ini, berlangsung dari tahun
1920 sampai tahun 1834 Perkembangan pendaftaran hak-hak yang
diselenggarakan oleh VOC pada tahun 1620, dalam hubungannya dengan
peralihan hak di depan pengadilan oleh hakim Panitera Pengadilan Negeri,
maka pengalihan hak tersebut harus diberitahukan kepada 2 (dua) orang
scheepen untuk dicatat dalam “Stadboeken” atau daftar-daftar tanah dan
dibuat akta pemberitahuan pengalihan hak.
Pemberitahuan pengalihan hak tersebut kepada 2 (dua) orang
scheepen, adalah suatu penyerahan hak antara penjual kepada pembeli di
depan 2 orang scheepen. Pendaftaran hak-hak karena pengalihan hak yang
diselenggarakan pemerintah VOC adalah bersifat administrasi yaitu untuk
13 ? ibid14 ? Prof Dr. M. Yamin Lubis, Opcit hal 61
13
keperluan pemasukan pajak pengalihan hak dan untuk memperoleh suatu
ikhtisar pemilik hak atas tanah yang telah dikeluarkan. 15
Akta pengalihan yang telah didaftar dalam daftar-daftar tanah oleh 2
(dua) orang scheepen tersebut dterbitkan akta pendaftaran peralihan hak
atau akta over schrijving ordonantie atau akta van Eigendom yang
sekaligus merupakan hak eigendom sebagai bukti hak atas tanah.16
Pokok-pokok pendaftaran hak yang diatur dalam ordinansi balik
nama adalah sebagai berikut:
a. Setiap peralihan hak harus didaftar pada pejabat balik nama
(overschrijvings ambtenaaren) dulu oleh 2 orang scheepen
(jaman VOC) dalam menyelenggarakan pendaftaran hak
pejabat balik nama dibantu pejabat-pejabat pembantu
(bijstaande ambtenaarcn).
b. Untuk pendaftaran peralihan hak oleh pejabat balik nama
dibuat akta pendaftaran peralihan hak atau akta balik
nama/akta van over schrijving yang sekaligus merupakan
pendaftaran lahirnya hak eigendom. 17
Menurut pasal 20 ordonansi balik nama 1834 No. 27, bahwa setiap
peralihan hak dibuat akta peralihan hak baik di bawah tangan atau autentik
yang disebut penyerahan nyata (di lapangan dengan menduduki atau
15 ? Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur Opcit hal 4916 ? ibid17 ? ibid hal 50
14
menguasai fisik tanahnya, kemudian akta peralihan hak tersebut didaftar
dalam daftar-daftar tanah yang dikenal dengan “Yuridische Levering”.
Pendaftaran akta peralihan hak dalam daftar tanah oleh pejabat balik
nama tersebut diterbitkan akta pendaftaran peralihan hak atau akta balik
nama atau akta van eigendom yang sekaligus merupakan akta eigendom.
Sebagai tanda bukti hak atas tanah dan kepada pemegang haknya
diberikan salinan sah dari “akta van eigendom” yang disebut “groose akta
hak eigendom”.18
2. Pendaftaran Tanah di Indonesia Menurut UUPA
UUPA dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa Untuk
menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah
diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selengkapnya rumusan ketentuan
Pasal 19 UUPA sebagai berikut:
Pasal 19.(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut;c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan
Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi
18 ? ibid hal 51
15
serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Peraturan Pemerintah yang mengatur Pendaftaran tanah adalah PP
Nomor 10 tahun 1961 yang telah diganti dengan PP Nomor 24 tahun
1997. Pasal 1 ayat 1 PP. 24 tahun 1997 menerangkan bahwa
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.
Asas pendaftaran tanah menurut Pasal 2 PP 24/1997, bahwa
Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka. Tujuan Pendaftaran Tanah sebagaimana
dalam PP. 24/1997 Pasal 3 adalah:
a. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah,
b. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah,
c. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Obyek pendaftaran tanah dijelaskan dalam Pasal 9 PP 24/1997
bahwa Obyek pendaftaran tanah meliputi:
16
a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;
b. tanah hak pengelolaan;
c. tanah wakaf;
d. hak milik atas satuan rumah susun;
e. hak tanggungan;
f. tanah Negara.
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pasal 12 PP
24 tahun 1997 menerangkan bahwa Kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali meliputi:
a. pengumpulan dan pengolahan data fisik;
b. pembuktian hak dan pembukuannya;
c. penerbitan sertipikat;
d. penyajian data fisik dan data yuridis;
e. penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Sedangkan Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi:
a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;
b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan yang
dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar
berdasarkan PP. 10/1961. Pendaftaran tanah pertama kali dilaksanakan
17
melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara
sporadik.19
Pendaftaran tanah dilaksanakan melalui dua cara, yaitu pertama-
tama secara sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau kelurahan
atau sebagiannya yang terutama dilakukan atas prakarsa Pemerintah
atas permintaan pemegang atau penerima hak yang bersangkutan secara
individual atau massal.
3. Sistem Pendaftaran Tanah
Beberapa Sistem Pendaftaran Tanah yang ada diberbagai negara
yang menyelenggarakan pendaftaran tanah adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Bachtiar Effendi sebagai berikut:
a. Sistem Torrens
Sistem ini banyak dipakai di beberapa negara, dengan cirinya
yaitu manakala seseorang mengklaim sebagai pemilik free simple baik
karena undang-undang atau karena harus mengajukan suatu
permohonan agar lahan yang bersangkutan diletakkan atas namanya.
Permohonan ini kemudian diteliti oleh Kepala Kantor Pertanahan
sesuai dengan PP Nomor 24 tahun 1997.
Beberapa keuntungan penerapan Sistem Torrens adalah:
1. Menetapkan biaya-biaya tak terduga sebelumnya
2. Meniadakan pemeriksaan yang berulang-ulang
19 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta 1999, hal 460dan secara sporadik, yaitu pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah
18
3. Meniadakan kenbanyakan rekaman
4. Secara tegas menyatakan dasar haknya
5. Melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak
disebut dalam sertipikat
6. meniadakan (hampir tidak mungkin) kepalsuan
7. Meniadakan atas hak Pajak
8. Memberi suatu hak yang abadi, oleh karena negara
menjaminnya tanpa batas
Keuntungan lain dari sistem ini sebagaimana dijelaskan oleh AP
Parlindungan adalah:
1. Ketidakpastian diganti dengan kepastian
2. Mengurangi biaya dari peralihan hak dari pound kepada shilling,
dan waktu penyelesaian dari bulanan menjadi harian
3. Merubah ketidakjelasan yang bertele-tele menjadi singkat dan
jelas.20
Adapun sertipikat tanah menurut sistem ini merupakan alat bukti
pemegang hak atas tanah yang paling lengkap serta tidak bisa
diganggu gugat, ganti rugi terhadap pemilik sejati adalah melalui dana
asuransi. Untuk merubah buku tanah adalah tidak mungkin terkecuali
bila memperoleh tanah dengan jalan memalsukan tulisan atau
memperoleh dengan cara penipuan.
20 ? AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, 1990, hal 19
19
b. Sistem Positif
Menurut sistem ini, sertipikat merupakan tanda bukti hak atas
tanah yang mutlak dan satu-satunya. ciri pokok dari sistem ini adalah
bahwa pendaftaran tanah menjamin dengan sempurna nama yang
terdaftar dalam buku tanah sehingga tidak dapat dibantah lagi,
sekalipun sebenarnya ia bukan pemilik sesungguhnya. Disini pejabat
balik nama dalam sistem ini meiliki peranan yang sangat penting dan
aktif, karena mereka harus menyelidiki hak atas tanah yang
dipindahkan itu dapat terdaftar atau tidak, menyelidiki identitas para
pihak wewenangnya dan apakah formalitas-formalitas yang
disyaratkan untuk itu sudah terpenuhi.
Kebaikan sistem positif ini adalah:
a. adanya kepastian hukum dari buku tanah
b. adanya peranan aktif dari pejabat balik anam
c. mekanisme kerja dengan penerbitan sertipikat mudah
dipahami oleh masyarakat awam. 21
Kelemahan Sistem Positif ini adalah
1. Peranan aktif dari pejabat balik nama tanah, memakan waktu
yang lama
21 Bachtiar Effendy, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, Alumni Bandung, 1983, hal 32
20
2. Pemilik yang sebenarnya berhak atas tanah akan kehilangan
haknya oleh karena ketidakpastian hukum itu sendiri
3. Wewenang pengadilan diletakkan dalam kewenangan
administratif 22
c. Sistem Negatif
Menurut sistem ini segala apa yang tercantum dalam sertipikat
tanah dianggap benar sampai terbukti sebaliknya di muka pengadilan.
Asas dalam sistem negatif adalah nemo plus yuris, artinya melindungi
pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang lain
yang mengalihkan haknya tanpa diketahui pemegang hak yanng
sebenarnya.
Pendaftaran tanah tidaklah merupakan jaminan pada nama yang
terdaftar dalam buku tanah, hal ini merupakan ciri pokok dari sistem
negatif. Dengan kata lain buku tanah bisa berubah sepanjang dapat
dibuktikan bahwa dialah pemilik yang sebenarnya melalui putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum pasti.
Sertipikat menurut sistem ini tidak dapat dipergunakan
sepanjang sertipikat itu ad yang menyanggah dari pihak lain dan dapat
dibuktikan sebaliknya, sertipikat dapat dibatalkan oleh Badan
Pertanahan Nasional atas dasar Putusan Pengadilan.
Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di Indonesia adalah
sistem negatif yang bertendensi positif. Dalam penjelasan pasal 32 (2) 22 Bachtiar Effendy, ibid hal 33
21
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa pendaftaran tanah
yang diperintahkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria
menggunakan sistem publikasi negatif, tetapi walaupun demikian
tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif
secara murni, seperti tampak dari pernyataan pasal 19 ayat (2) huruf C
UUPA.
d. Sistem Pendaftaran Tanah Menurut PP 24
Tahun 1997
Ketentuan Pasal 19 UUPA ayat (2) huruf c UUPA, secara umum
menjelaskan bahwa pendaftaran dilakukan dengan tujuan untuk
memberikan alat bukti yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
UUPA, dianut sistem pendaftaran yang disebut dengan “registration
of title” stetsel negatif yang mengandung unsur positif.
Selanjutnya Penjelasan umum PP 24 tahun 1997 paragraf 4
bahwa “pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan
jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem
publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur
positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan
dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2)
dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.
22
Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Prof . Budi Harsono
bahwa Sistem publikasi yang digunakan UUPA dan PP 24 tahun 1997
dalah sistem negatif yang mengandung unsur positif. Sistemnya bukan
negatif murni karena dinyatakan dalam pasal 19 ayat (2) huruf c,
bahwa pendaftaran menghasilkan tanda bukti hak, yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.23
Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa pemerintah selaku
penyelenggara pendaftaran tanah harus berusaha agar sejauh mungkin
dapat disajikan data yang benar dalam buku tanah dan peta
pendaftaran. Hingga selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data
yang disajikan dalam buku tanahdan peta pendaftaran harus diterima
sebagai data yang benar. Baik dalam perbuatan hukum sehari-hari
maupun dalam berperkara di pengadilan. Demikian juga data yang
dimuat dalam sertipikat hak, sepanjang data tersebut sesuai dengan
yang ada dalam buku tanah dan peta pendaftaran. tetapi namun
demikian sistemnya juga bukan positif . Dalam sistem positif data
yang disajikan dijamin kebenarannya. Bukan hanya berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat, tetapi data yang dimuat dalam register
sebagai pembuktian yang mutlak.24
4. Asas Contradictoire Delimitatie
23 ? Prof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonsia, Djambatan, 1999, Hal. 8224 ? Prof. Boedi Harsono, ibiid
23
Dalam tujuan memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah,
maka diselenggarakan pendaftaran tanah yang meliputi : (1) Pengukuran,
perpetaan dan pembukuan tanah, (2) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan
peralihan hak-hak tersebut, (3) Pemberian surat-surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Mewujudkan Jaminan kepastian hukum, sebelum diterbitkan surat
tanda bukti hak berupa sertipikat maka terlebih dahulu dilaksanakan
pekerjaan lapangan berupa kegiatan pengukuran yang meliputi orientasi
lapang dan orientasi titik ikatan, pengukuran kerangka dasar dan
penetapan batas bidang tanah.
Khusus untuk tanah hak, penetapan batas-batas bidang tanah yang
sebenarnya dalam pelaksanaan pengukuran, maka harus ditempuh suatu
cara penunjuk batas berdasarkan Contradictoire Delimitatie. Dalam hal ini
para pemilik tanah yang berbatasan secara bersama-sama melakukan
kesepakatan dalam penentuan batas-batas bidang tanah sebelum diadakan
pengukuran dan menandatangan gambar ukur atau daftar riwayat tanah
yang telah disediakan pada saat pengukuran..
Penetapan batas-batas bidang tanah wajib dilakukan berdasarkan
penunjukan batas oleh para pemilik atau pemegang hak atas tanah dan
diupayakan telah memperoleh kesepakatan pihak yang berbatasan. Hal
tersebut dimaksud agar penguasaan obyek dapat diketahui secara tepat dan
tidak terjadi saling tumpang tindih batas antara pemilik bidang satu
24
dengan pemilik bidang lainnya serta menghindari kemungkinan adanya
suatu persengketaan batas-batas bidang tanah.
Disisi lain proses pengolahan data fisik yang dilaksanakan oleh
petugas pengambilan data dari Kantor Pertanahan dapat diperoleh dengan
mudah serta cepat dalam memperoleh jaminan batas, letak, dan luas
bidang tanah yang bersangkutan.
Adapun cara-cara penetapan batas menurut Sujito, SH bahwa,
“Batas-batas ditetapkan atas persesuaian pendapat antara pemilik tanah
yang berbatasan (system Contradictoire Delimitatie)”.25
Sejalan dengan itu Menurut Russel C. Brinker dan Kawan-kawan
bahwa, “Menetapkan batas-batas hak harus dikerjakan atas persetujuan
pemilik-pemilik yang berbatasan atau tindakan pengadilan”.26
Kesepakatan penunjukan batas-batas bidang tersebut merupakan
syarat dari diterbitkannnya surat ukur dan sertipikat. Hal ini menunjukkan
bahwa pengukuran bidang tanah dilaksanakan setelah ditetapkan batas-
batasnya untuk melihat tanda pada batas-batas yang ditentukan
ditempatkan tanda-tanda batas pada setiap sudut bidang tanah yang
bersangkutan.
Dalam penetapan batas bidang tanah tersebut diupayakan
berdasarkan kesepakatan para pihak yang berbatasan, Boedi Harsono
mengemukakan bahwa :“Penetapan batas bidang tanah yang sudah
25 ? Sujuito, PRONA persertipikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah yang bersifat Strategis, Liberty 1987, Hal 6526 ? Brinker, C. Russel, dan Kawan-kawan, Dasar-dasar Pengukuran Tanah, Erlangga 1986, Hal 134
25
dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar
tetapi belum ada surat ukur/gambar situasinya atau surat ukur/gambar
situasinya yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya,
dilakukan penunjukan batas oleh pemegang yang bersangkutan dan
sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang
berbatasan (Contradictoire Delimitatie)”.27
Pelaksanaan pendaftaran tanah didahului dengan kegiatan
pengukuran dan pemetaan kadastral. Pengukuran dan pemetaan kadastral
harus dilaksanakan dengan berdasarkan azas-azas yang disebutkan
berikut:
a. Azas Contradictoire Delimitatie
1). Pengukuran batas bidang tanah hanya dapat terlaksana apabila
batas-batas bidang tanah tersebut telah ditetapkan berdasarkan
hasil kesepakatan dalam penunjukan batas yang dilakukan oleh
pihak pemilik tanah yang berbatasan. Penetapan yang didasarkan
azas tersebut dituangkan kedalam Risalah Penelitian Data Yuridis
dan Penetapan Batas (daftar isian 201)
2). Hasil pengukuran batas bidang tanah digambarkan pada Gambar
Ukur dengan menuliskan angka-angka ukur, sketsa pengukuran
serta kronologi jalannya pengukuran, termasuk penandatanganan
petugas ukur, pemilik bidang tanah yang bersangkutan dan
pemilik tanah yang berbatasan.
27 ? Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan 1999, Hl 474
26
3). Bersama-sama dengan Berita Acara, Gambar Ukur tersebut
merupakan bagian yang saling tidak terpisahkan dan menjadi
dokumen bernilai yuridis atau memiliki kekuatan bukti dalam
persidangan dilembaga peradilan berkaitan dengan batas-batas
bidang tanah.
b. Azas Publisitas
1). Sebelum dilakukan pendaftaran tanah, hasil pengukuran dan
pemetaan kadastral tersebut diumumkan kepada masyarakat.
2). Lembaga pengumuman tersebut dimaksudkan agar pihak-pihak
yang berkepentingan mengerti hasil pengukuran dan pemetaan
kadastral yang telah dilakukan dan untuk memberikan kesempatan
kepada mereka yang dengan etikad baik mengajukan keberatan
atas hasil pengukuran dan pemetaan tersebut.
c. Azas Spesialitas
1). Bidang tanah yang telah diukur dan dipetakan secara kadastral
memiliki letak, luas dan bentuk yang unik diatas permukaan bumi.
2). Bidang tanah tersebut diikatkan kepada titik-titik dasar teknik,
yang merupakan bagian jaringan Kerangka Dasar Kadastral
Nasional (KDKN), sehingga apabila sewaktu-waktu tanda-tanda
batas bidang tanah dilapangan dikemudan hari tidak diketemukan,
maka bidang yang telah dipetakan tersebut dapat
direkonstruksikan kembali di lapangan secara cepat.
27
F. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Masalah
Penelitian yang akan dilaksanakan ini adalah Penelitian Normatif
dengan pendekatan masalah Yuridis Normatif dengan tipe penelitian yaitu
analisis Bahan Hukum yang menjadi obyek penelitian sekaligus data
dalam penelitian.
2. Sumber Bahan Hukum
Sumber Bahan Hukum dalam penlitian ini dibedakan menjadi 3
(tiga) yaitu:
a. Sumber Bahan Hukum Primer, terdiri dari:
1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
2). Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria
3). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
4). Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 3 tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 tahun 1997
28
b. Sumber Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku
tentang Pendaftaran tanah.
c. Sumber Bahan Hukum Tersier, meliputi Hasil Penelitian
pihak lain, kamus dan ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan
Hukum
Teknik pengumpulan dan pengolahan Bahan Hukum dalam
penelitian yuridis normatif ini secaragaris besar dapat digambarkan:
1. Inventarisasi dan pengumpulan Bahan Hukum
2. Pengelompokan Bahahn hukum
3. Analisis bahan hukum
4. Analisis Bahan Hukum
Adapun analisis bahan hukum yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deduktif yaitu analisis dari umum ke yang
khusus.
29
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika Penulisan Tesis dalam Penelitian normatif ini adalah sebagai
berikut:
1. BAB I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penelitian
1.4. Manfaat Penelitian
1.5. Kajian Pustaka
2. BAB II. Metode Penelitian
2.1. Jenis dan Tipe Penelitian
2.2. Sumber Bahan Hukum
2.3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum
2.4. Analisis Bahan Hukum
3. BAB III. Penerapan Asas Contradictoire Delimitatie Dalam Pendaftaran Tanah Pertama Kali
Pemasangan Batas berdasarkan Azas Contradictoire Delimitatie
Penetapan Batas berdasarkan Azas Contradictoire Delimitatie
30
Penyelesaian sengketa batas pada Azas Contradictoire Delimitatie
dalam pendaftaran tanah pertama kali
Kepastian obyek bidang tanah dalam penerapan Azas Contradictoire
Delimitatie
4. BAB IV. Penutup
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
AP. Parlindungan, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju.
Bachtiar Effendy, 1983, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, Alumni Bandung.
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan Jakarta
Brinker, C. Russel dan Kawan-kawan, 1986, Dasar-dasar Pengukuran Tanah, Erlangga
M. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju.
Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur, 2007, Pengantar Pendaftaran Tanah, STPN Yogyakarta.
Sujito, 1987, PRONA persertipikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah yang bersifat Strategis, Liberty
31