conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

38
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Berjalan Normal Gerakan berjalan merupakan gerakan dengan koordinasi tinggi yang dikontrol oleh susunan saraf pusat yang melibatkan sistem yang sangat kompleks, (Irfan, 2010). Menurut Marton Trew dan Tony Everett (1997) dikutip dalam Irfan (2010): Gait dapat diartikan sebagai pola atau ragam berjalan dimana berjalan berpindah tempat dan mengandung pertimbangan yang detail dan rinci yang terkait dengan sendi dan otot. Berjalan merupakan cara untuk menempuh jarak tertentu. Berjalan adalah hasil dari hilangnya keseimbangan pada sikap bersiri dari kedua kaki secara berturut-turut. Setiap keseimbangan dari satu kaki hilang, diganti atau diikuti oleh tumpuan baru kaki yang lain, sehingga terjadi keseimbangan kembali. Laju kedepan pada peristiwa berjalan, disebabkan karena kombinasi dari tiga kekuatan yang bekerja, yaitu: 1. Kekuatan otot yang menyebabkan tekanan pada kaki terhadap permukaan tumpuan. 2. Gaya berat yang berusaha menarik tubuh ke depan dan ke bawah bila terjadi ketidak seimbangan (imbalance). 3. Kekuatan momentum yang bermaksud mempertahankan tubuh yang bergerak dalam arah yang sama dengan kecepatan yang tetap. Kekuatan-kekuatan lain yang membantu adalah pemindahan momentum ayunan lengan, yang semula dimaksudkan untuk membantu keseimbangan, (Muryono, 2001).

Upload: nguyenkhue

Post on 09-Dec-2016

234 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pola Berjalan Normal

Gerakan berjalan merupakan gerakan dengan koordinasi tinggi

yang dikontrol oleh susunan saraf pusat yang melibatkan sistem yang

sangat kompleks, (Irfan, 2010). Menurut Marton Trew dan Tony Everett

(1997) dikutip dalam Irfan (2010): Gait dapat diartikan sebagai pola atau

ragam berjalan dimana berjalan berpindah tempat dan mengandung

pertimbangan yang detail dan rinci yang terkait dengan sendi dan otot.

Berjalan merupakan cara untuk menempuh jarak tertentu. Berjalan

adalah hasil dari hilangnya keseimbangan pada sikap bersiri dari kedua

kaki secara berturut-turut. Setiap keseimbangan dari satu kaki hilang,

diganti atau diikuti oleh tumpuan baru kaki yang lain, sehingga terjadi

keseimbangan kembali. Laju kedepan pada peristiwa berjalan, disebabkan

karena kombinasi dari tiga kekuatan yang bekerja, yaitu:

1. Kekuatan otot yang menyebabkan tekanan pada kaki terhadap

permukaan tumpuan.

2. Gaya berat yang berusaha menarik tubuh ke depan dan ke bawah bila

terjadi ketidak seimbangan (imbalance).

3. Kekuatan momentum yang bermaksud mempertahankan tubuh yang

bergerak dalam arah yang sama dengan kecepatan yang tetap.

Kekuatan-kekuatan lain yang membantu adalah pemindahan

momentum ayunan lengan, yang semula dimaksudkan untuk membantu

keseimbangan, (Muryono, 2001).

Page 2: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

11

2.1.1 Gait cycle

Siklus Berjalan (Gait Cycle) merupakan suatu rangkaian

fungsional dengan adanya gerakan pada satu anggota badan (Extremitas

Inferior). Hal ini berlangsung sejak kaki kanan menginjak lantai hingga

kaki kanan mneginjak lantai kembali (Irfan, 2010).

Dalam satu Siklus berjalan (Gait Cycle) terdiri dari 2 fase, yaitu

fase menapak (Stance phase) dan fase mengayun (Swing Phase). Menurut

Christoper et al. (1999), fase stance 60% dan fase Swing 40% dimana

setiap fase memiliki tahapan masing-masing:

1. Stance Phase

a. Initial Contact (interval: 0-2%)

Fase ini merupakan moment ketika tumit menyentuh lantai.

Initial contact merupakan awal dari fase stance dengan posisi heel

rocker. Posisi sendi pada waktu mengakhiri gerakan ini,

menentukan pola loading response.

Fase ini merupakan moment seluruh centre of gravity

berada pada tingkat terendah dan seseorang berada pada tingkat

yang paling stabil. Pada periode ini anggota bawah yang lain juga

menyentuh lantai sehingga terjadi posisi double stance.

Menyentuhnya tumit dengan lantai, memberikan bayangan

yang mengindikasikan bahwa tungkai akan bergerak, sedang

tungkai yang lain berada pada akhir terminal stance.

Page 3: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

12

b. Loading Response (interval: 0-10%)

Fase ini merupakan periode initial double stance. Awal fase

dilakukan dengan menyentuh lantai dan dilanjutkan sampai kaki

yang lain mengangkat untuk mengayun.

Berat tubuh berpindah ke depan pada tungkai. Dengan

tumit seperti rocker, knee fleksi sebagai shock absorption. Saat

heel rocker, ankle plantar fleksi dengan kaki depan menyentuh

lantai sedangkan tungkai yang berlawanan pada posisi fase

preswing

c. Midstance (interval: 10-30%)

Merupakan sebagian awal dari gerakan satu tungkai. Untuk

awalan gerakannya, kaki mengangkat dan dilanjutkan sampai berat

tubuh berpindah pada kaki yang lain dengan lurus. Saat ankle

dorsal fleksi (ankle rocker) bayangan tungkai mulai bergerak ke

depan sementara knee dan hip ekstensi. Sedangkan tungkai yang

berlawanan mulai bergerak menuju fase mid-swing.

d. Terminal stance (interval: 30-50%)

Pada fase ini satu tungkai memberikan bantuan. Fase ini

dimulai dengan mengangkat tumit dan dilanjutkan sampai kaki

memijak tanah. Keseluruhan pada fase ini berat badan berpindah

ke depan dari forefoot. Saat posisi ekstensi knee yang meningkat

dan akan diikuti sedikit fleksi. Dimana posisi tungkai yang lain

berada pada fase terminal swing.

Page 4: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

13

Pada fase Terminal stance, centre of gravity berada di

depan kaki yang menapak jadi tekanan gravitasi akan

meningkatkan lingkup dari ekstensi hip dan dorsal fleksi ankle.

e. Preswing (interval: 50-60%)

Pada akhir fase stance adalah interval gerakan kedua double

stance pada siklus berjalan. Dimulai dari initial contact pada

anggota gerak bawah kontralateral dan diakhiri toe-off pada

anggota gerak ipsilateral, dengan meningkatnya ankle ke posisi

plantar fleksi diikuti fleksi knee maka hip tidak lagi pada posisi

ekstensi. Disaat yang sama anggota gerak bawah yang lain pada

fase loading response. Menyentuhnya anggota gerak atau tungkai

kontralateral merupakan awal dari terminal double support.

2. Swing Phase

a. Initial swing (interval: 60-73%)

Pada fase pertama adalah perkiraan satu dari tiga fase

mengayun. Diawali dengan mengangkat kaki dari lantai dan

diakhiri ketika mengayun kaki sisi kontralateral dari kaki yang

menumpu. Pada saat posisi initial swing hip bergerak fleksi dan

knee naik menjadi fleksi dan ankle pada setengah dorsalfleksi.

Pada saat yang sama, sisi kontralateral bersiap pada mid stance.

b. Mid swing (interval: 73-87%)

Pada fase kedua dari periode swing dimulai, saat mengayun

anggota gerak bawah yang berlawanan dari tungkai yang

Page 5: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

14

menumpu. Akhir dari fase ini ketika tungkai mengayun ke depan

dan tibia vertikal atau lurus. Saat mid-swing, hip fleksi dengan knee

bergerak ekstensi untuk merespon gravitasi, dan diikuti dengan

ankle dorsifleksi menuju posisi netral. Sedangkan tungkai yang

lain berada pada akhir dari fase midstance.

c. Terminal swing (interval: 87-100%)

Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan

diakhiri saat kaki memijakkan lantai. Kedudukan tungkai yang

baik adalah dengan posisi ekstensi knee dan hip mempertahankan

fleksi sedangkan ankle bergerak dari dorsifleksi ke netral. Anggota

gerak bawah yang lain berada pasa fase terminal stance.

2.2 Stroke

Stroke adalah suatu sindrom klinis dengan karakteristik kehilangan

fungsi otak fokal akut yang mengarah ke kematian, dimungkingkan karena

perdarahan spontan pada substansi otak (perdarahan intracerebral primer atau

perdarahan subarachnoid yang secara berurutan menjadi stroke hemoragik)

atau tidak tercukupinya suplai darah yang menuju bagian dari otak sebagai

akibat dari aliran darah yang lambat atau rendah, trombosis,atau emboli yang

berhubungan dengan penyakit pembuluh darah , jantung, atau darah (stroke

iskemik atau infark cerebal. (Hankey, 2002).

Dengan kata lain stroke merupakan manifestasi keadaan pembuluh

darah cerebral yang tidak sehat sehingga disebut juga cerebral arterial

disease atau cerebrovascular disease. Cedera dapat diakibatkan oleh

Page 6: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

15

sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, sumbatan dan

penyempitan atau pecahnya pembuluh darah otak, semua ini akan

menyebabkan kurangnya pasokan darah ke otak (Irfan, 2010).

2.2.1 Klasifikasi stroke

Secara garis besar stroke dibagi menjadi 2 golongan, yaitu stroke

pendarahan (hemoragik) dan stroke non pendarahan (ischemic). Stroke

ischemic hampir 85% disebabkan oleh sumbatan bekuan darah,

penyempitan sebuah arteri yang mengarah ke otak, atau embolus yang

terlepas dari jantung atau arteri extrakranial yang menyebabkan sumbatan

di satu atau beberapa arteri intrakranial (Irfan, 2010).

Stroke hemoragik terjadi sekitar 15% - 20% dari total kejadian.

Dapat terjadi apabila lesi vasculer intraserebrum mengalami ruptur

sehingga terjadi pendarahan ke dalam ruang subsracnoid atau langsung ke

dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskuler yang dapat menyebabkan

pendarahan subaracnoid adalah aneurisma sakular, dan mallformasi

arteriovena (Price, 2005).

Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke dikelompokkan menjadi;

1) Transient Ischemic Attack (TIA); 2) Reversibel Ischemic Neurogical

Deficit (RIND); 3) Stroke in evolution; 3) completed stroke hemoragic dan

non hemoragic, (Sidharta dan Mardjono, 2008)

1. Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan gangguan pembuluh

darah otak yang menimbulkan defisit neurologis akut yang

berlangsung kurang dari 24 jam. Stroke ini tidak meninggalkan gejala

Page 7: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

16

sisa sehingga pasien tidak akan terlihat pernah mengalami serangan

stroke. Tetapi dengan adanya TIA merupakan peringatan akan

serangan stroke selanjutnya.

2. Reversibel Ischemic Neurogical Deficit (RIND) hampir sama dengan

TIA hanya saja waktunya berlangsung lebih lama, maksimal 1 minggu.

RIND juga tidak meninggalkan gejala sisa.

3. Complete stroke merupakan gangguan pembuluh darah otak yang

menyebabkan deficit neurologik akut yang berlangsung lebih dari 24

jam. Stroke ini akan meninggalkan gejala sisa.

4. Stroke in evolution merupakan jenis yang paling sulit ditentukan

prognosanya karena kondisi pasien yang cenderung labil dan dapat

mengarah kek kondisi yang lebih buruk.

Klasifikasi stroke berdasarkan klinis dikelompokkan menjadi (Irfan,

2010):1) Lacunar Syndromes (LACS), 2) Posterior Circulation Syndrome

(POCS), 3) Total Anterior Circulation Syndromes (TACS), dan 4) Partial

Circulation Syndromes (PACS).

1. Lacunar Syndromes (LACS), terjadi penyumbatan tunggal pada lubang

arteri sehingga menyebabkan area terbatas akibat infark yang disebut

dengan lacune. Istilah lacune adalah salah satu yang patologis akan

tetapi terdapat dalam beberapa literatur yang memiliki korelasi

patologi dengan klinikoradiologikal. Mayoritas lacune terjadi di area

seperti nucleus lentiform dan gejala klinisnya tidak diketahui.

Terkadang terjadi kemunduran kognitif pada pasien. Lacunar yang lain

Page 8: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

17

juga dapat mengenai kapsula interna dan pons dimana akan

mempengaruhi traktus asendens dan desendens yang menyebabkan

defisit klinis yang lebih luas. Jika diketahui lebih awal tentang pola

neurovaskuler, lesi tersebut dapat dikurangi sehingga mempunyai

tingkat kognitif dan fungsi visual yang lebih tinggi.

Kategori Lacunar Syndromes (LACS):

a. Pure Motor Stroke (PMS)

PMS merupakan kategori yang paling banyak ditemui pada

LACS, dimana pada syndrome ini mengalami paralisis komplit

atau inkomplit pada wajah, lengan, dan tungkai pada satu sisi tanpa

disertai oleh tanda-tanda sensoris, kerusakan visual, dysphasia,

ataxia cerebral, dan nystagmus. Mungkin terdapat gangguan

sensoris tetapi tidak muncul gejalanya.

b. Pure Sensory Stroke (PSS)

PSS mempunyai frekuensi yang lebih kecil, kemungkinan

terdapat gangguan sensori terus menerus tetapi dengan tanda yang

tidak terlihat. PSS biasanya mengenai thalamus dimana lesi yang

mengenai PSS lebih kecil dengan gejala yang kecil tetapi dengan

infark yang lebih dalam.

c. Homolateral Ataxia and Crural Pharesis (HACP), Dysarthria

Clumsy-Hand Syndrome (DCHS) dan Ataxia Hemiparesis (AH).

Kasus dengan kondisi HACP ini ditandai dengan adanya

kelemahan pada ekstrimitas bawah, terutama pada pergelangan

Page 9: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

18

kaki dan ibu jari, refleks babinski positif, dismetria pada lengan

dan tungkai satu sisi. Pada DCHS defisitnya berupa dysarthria,

kekakuan pada satu tangan, dua dari tiga kasus tanda-tandanya

mengarah pada kerusakan piramidal berupa disfungsi dari tungkai

sisi yang sama dengan pola jalan ataksik.

d. Sensory Motor Stroke (SMS)

SMS terjadi pada kapsula interna, terdapat defisit sensoris

yang menyebabkan lesi pada ekstremitas bagian posterior dari

kapsula interna, diduga terjadi gangguan jalur thalamocortikal.

Infark pada SMS merupakan yang terbesar dari semua kategori

LACS.

2. Posterior Circulation Syndromes (POCS), menyebabkan kelumpuhan

bagian saraf cranial ipsilateral (tunggal maupun majemuk) dengan

kontralateral defisit sensorik maupun motorik. Terjadi pula defisit

motorik-sensorik bilateral. Gangguan gerak bola mata (horizontal atau

vertikal), gangguan cereberal tanpa defisit tractus bagian ipsilateral,

terjadi hemianopia atau kebutaan kortikal. POCS merupakan gagguan

fungsi pada tingkat kortikal yang lebih tinggi atau yang dapat

dikategorikan sebagai POCS.

3. Total Anterior Circulation Syndrome (TACS). Meliputi hemiplegia,

hemianopia kontralateral pada lesi cerebral, gangguan fungsi serebral

pada tingkat yang lebih tinggi (dys-phasia, visuosphasia).

Page 10: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

19

4. Partial Circulation Ssyndromes (PACS), semua yang termasuk defisit

motorik dan sensorik dengan hemianopia, ganggua fungsi cerebral,

atau gangguan fungsi cerebral dengan hemianopia, murni dari

gangguan motorik atau sensorik yang lebih sempit dari LACS

(monofaresis), disfungsi serebral murni, bila terjadi gangguan lebih

dari satu tipe, kemungkinan terjadi kerusakan di bagian otak sisi yang

sama.

2.2.2 Patofisiologi stroke

Sistem cerebrovaskular memberi otak aliran darah yang banyak

mengandung zat makanan yang penting bagi fungsi normal otak.

Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam

arteri-arteri yang membentuk sirkulus Willisi: arteria karotis interna, dan

sistem vertebrobarsilar atau semua cabang-cabangnya.

Secara umum, apabila aliran darah ke otak terputus selama 15 – 20

menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Oklusi di suatu arteri

tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh

arteri tersebut diakibatkan adanya sirkulasi kolateral yang memadai.

Aliran kolateral dapat terbentuk secara perlahan saat aliran darah ke salah

satu bagian otak berkurang. Sebagian besar sirkulasi kolateral terbentuk

dari arteri-arteri besar melalui sirkulus willisi. Efek sirkulasi kolateral ini

adalah untuk menjamin terdstribusinya darah ke otak sehingga iskemia

dapat ditekan minimal apabila terjadi sumbatan arteri.

Page 11: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

20

Proses patologi yang mendasari mungkin dari salah satu dari

berbagai proses yang terjadi didalam pembuluh darah yang mensuplai

darah ke otak. Patologinya dapat berupa (1) keadaan penyakit pada

pembuluh darah itu sendiri, seperti aterosklerosis dan trombosis, robeknya

dinding pembuluh darah, atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat

gangguan status aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah; (3)

gangguan pembuluh darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang

berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium; (4) ruptur vaskular di

dalam jaringan otak atau ruang subaracnoid.

Fungsi dari korteks adalah memilah-milah dan menghubungkan

informasi yang diterima dengan memori masa lalu. Lesi pada korteks

motorik primer (area 4) akan menimbulkan paralysis yang lebih parah dari

kerusakan daerah motorik sekunder (area 6), kerusakan area ini akan

menimbulkan paralysis kontralateral lengkap.

Lesi pada girus frontalis inferior kiri (area broca) menyebabkan

kehilangan kemampuan untuk bicara (aphasia) ekspresif, dimana pasien

masih mampu memikirkan kata-kata, menuliskan kata-kata, masih

mengerti tulisan dan mendengarkan kata-kata. Lesi pada girus angularis

pada lobus parietalis superior akan mengganggu kemampuan untuk

mengkombinasikan rangsangan raba, tekanan propioseptif, tidak mampu

mengapresiasikan susunan, ukuran, dan bentuk stereognosis (Feigin,

2006).

Page 12: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

21

Cerebellum yang merupakan bagian penting dari susunan saraf

pusat secara tidak sadar mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara

optimal. Secara umum fungsi cerebellum adalah melakukan kerja sinergis

semua reflek dan aktivitas otot volunter.

Thalamus (bersama sub-thalamus, epithalamus, dan hipothalamus)

adalah stasiun relay sensorik yang sangat penting, sedangkan subthalamus

merupakan nukleus motorik ekstrapiramidal untuk gerakan involuntary

yang kuat. Epithalamus membantu dalam korelasi dalam korelasi ompuls

olfactorius dan somatic. Hipothalamus akan mempengaruhi suhu tubuh,

fungsi genital, tidur dan intake makan (Ganong, 2003).

Bagian lain dari sistem saraf pusat adalah medulla oblongata yang

secara terstruktur dibagi menjadi empat tingkatan yaitu: tingkat decusstio

piramidum motorik besar, tingkat decusstio piramidum sensorik besar,

tingkat olives dengan saraf cranialis (vestibulo cochlearis, glosso

pharyngeus, vagus, assesorium, hipoglossus, dan nucleus acuata) dan

tingkat di inferior pons. Pons merupakan bagian dari sistem saraf pusat

yang merupakan nucleus saraf cranialis: trigeminus, abduscens, fasialis,

dan vestibochlearis (Ganong, 2003).

2.2.3 Faktor resiko stroke

Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang

dapat dimodifikasi (modifiable) dan yang tidak dapat dimodifikasi (non-

modifiable). Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya

adalah hipertensi, penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes melitus,

Page 13: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

22

merokok, konsumsi alkohol, hiperlipidemia, kurang aktivitas, dan stenosis

arteri karotis. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara

lain usia, jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetik (Goetz, 2007 dan

Ropper and Brown, 2005). Diabetes mellitus juga merupakan faktor yang

signifikan dan terjadi pada 10% pasien post stroke. Keadaan ini

dihubungkan dengan terjadinya atherosklerosis intrakranial (Goetz, 2007).

1. Hipertensi

Tekanan darah terdiri dari dua komponen yang disebut dengan tekanan

darah sistolik dan diastolik. Apabila tekanan darah sistolik melebihi

160 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg maka

tekanan darah yang demikian harus diwaspadai. Hipertensi dapat

menyebabkan pecahnya maupun penyempitan pembuluh darah otak,

dan usia 30 tahun merupakan awal kewaspadaan tentang munculnya

hipertensi.

2. Diabetes melitus

Menurut WHO seseorang dikatakan penderita diabetes melitus bila

kadar glukosa darah vena dalam keasaan puasa lebih dari 140

mg/desiliter dan kadar gula darah vena 2 jam setelah diberi minum

75mg glukosa lebih dari 200 mg/desiliter. Diabetes melitus mampu

menebalkan pembuluh darah otak yang berukuran besar, sehingga

akan mengganggu kelancaran aliran darah ke otak yang dapat

mengakibatkan infark sel-sel otak

Page 14: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

23

3. Penyakit jantung

Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan GPDO.

Penyakit jantung rematik, penyakit jantung koroner dengan infark otot

jantung, dan gangguan irama denyut jantung merupakan faktor GPDO

yang potensial. Faktor resiko ini umumnya akan menimbulkan

sumbatan pada aliran darah ke otak karena jantung akan melepaskan

gumpalan darah atau sel-sel yang telah mati ke aliran darah. Peristiwa

ini disebut dengan emboli.

4. Hiperkolesterolemi

Meningginya kadar kolesterol dalam darah, terutama low density

lipoprotein LDL, merupakan faktor resiko terjadinya aterosklerosis,

yaitu penebalan dinding pembuluh darah yang kemudian diikuti

dengan penurunan elastisitas dinding pembuluh darah.

5. Kelainan pembuluh darah otak

Kodisi kelainan pembuluh darah otak ini jarang sekali ditemui,

biasanya akan terdeteksi setelah pasien mengalami infark melalui

pemeriksaan radiologi. Pembuluh darah yang tidak normal tadi suatu

saat dapat pecah atau robek secara spontan, sehingga menimbulkan

pendarahan atau mengganggu kelancaran aliran darah otak yang

mengakibatkan bagian otak tertentu akan mengalami infark.

Page 15: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

24

2.2.4 Pemulihan motorik

Stroke adalah penyakit Upper Motor Neuron (UMN) dan

kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik seperti hemiplegia

dan hemiparesis dapat terlihat pada penderita stroke. Pada awalnya,

gambaran yang muncul yakni paralysis dan hilang atau menurunnya reflex

tendon yang akan muncul lagi dalam 48 jam, dan sering disertai dengan

peningkatan reflek-reflek patologis, (Nurhidayat dan Rosijidi, 2008).

Pemulihan pada stroke masih banyak yang belum diketahui

bagaimana kompensasi otak untuk kerusakan tersebut. Beberapa

kerusakan sel otak dapat bersifat sementara, tidak mengakibatkan

kematian sel, hanya berkurangnya fungsi. Pada beberapa kasus otak dapat

mengorganisasi fungsi mereka sendiri, terkadang daerah otak yang lain

mengambil alih fungsi daerah yang rusak akibat stroke. Secara umum

pemulihan stroke dapat digambarkan sebagai berikut, (National Stroke

Assosiation, 2001):

1. 10% penderita stroke mengalami pemulihan hampir sempurna.

2. 25% pulih dengan kelemahan minimum.

3. 40% mengalami pemulihan sedang hingga berat dan membutuhkan

perawatan khusus.

4. 10% membutuhkan perawat pribadi di rumah atau fasilitas perawatan

jangka panjang lainnya.

5. 15% meninggal dunia setelah stroke

Page 16: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

25

Perbaikan fungsi motorik pada pasien post stroke berhubungan

dengan beratnya defisit motorik saat serangan stroke akut. Pasien dengan

defisit motorik ringan saat serangan akan lebih banyak kemungkinan

untuk mengalami perbaikan dibanding dengan pasien yang mempunyai

defisit motorik berat, (Mohr and Pessin, 1992).

Pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap perbaikan fungsi

neurologis masih belum ada kesamaan pendapat dari beberapa penelitian.

Wade (1998) tidak mendapatkan hubungan bermakna antara usia dan jenis

kelamin terhadap perbaikan fungsi motorik.

Duncan et al. (1992), dalam penelitiannya melaporkan bahwa

perbaikan fungsi motorik dan aktivitas sehari-hari terjadi paling cepat

dalam 30 hari pertama pasca stroke. Sedangkan Wade (1998),

mendapatkan 50% pasien mengalami perbaikan fungsional paling cepat

dalam 2 minggu pertama.

Berdasarkan observasi pola pemulihan pasien post stroke dengan

hemiparesis, didokumentasikan adanya kemajuan pemulihan kontrol

motorik lengan dan tungkai saat di rumah sakit. Pemulihan motorik dapat

timbul secara komplit dan hanya meninggalkan sedikit gejala sisa berupa

peningkatan refleks tendon dalam dan mudah lelah atau dengan berbagai

tingkat kelemahan dan spastisitas (Cailet, 1990).

Brunnstrom membagi pemulihan penderita hemiplegi dalam 6

tahapan, (Reding and Potes, 1988):

Page 17: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

26

Tahap 1 : Periode segera setelah fase akut, flacid, penderita tidak

bisa menggerakkan badannya yang lumpuh.

Tahap 2 : Spastisitas dan pola sinergis mulai muncul, penderita

mulai dapat menggerakkan anggota badannya yang lumpuh

secara volunter meskipun baru minimal.

Tahap 3 : Spastisitas semakin nyata. Penderita mulai dapat

mengontrol gerakan sinergis

Tahap 4 : Spastisitas mulai menurun. Penderita dapat menggerakkan

anggota tubuhnya diluar pola sinergis.

Tahap 5 : Spastisitas minimal, penderita dapat melakukan gerakan

kombinasi yang lebih kompleks diluar pola sinergis

Tahap 6 : Penderita sudah dapat melakukan banyak kombinasi

gerakan dengan koordinasi yang cukup baik yang jika

dilihat sepintas tampak normal. Spastisitas sudah

menghilang.

Stadium pertama merupakan periode flaccid yang biasanya

berlangsung 7- 10 hari. Pada minggu kedua spastisitas mulai muncul.

Variasi terjadi menurut luas dan lokasi lesi. Reding dan Potes (1988),

menunjukkan bahwa penderita dengan defisit motorik murni (hemiparesis)

lebih dari 90% kemungkinan berjalan tanpa alat bantu dalam 3,5 bulan

setelah stroke. Mayoritas penderita dapat memperoleh kembali ambulasi

dengan bantuan, tetapi waktu mencapai tujuan ini tergantung pada

hubungannya dengan defisit neurologik: 14 minggu untuk kelompok

Page 18: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

27

motorik murni, 22 minggu untuk kelompok sensorimotorik, dan 28

minggu untuk sensorimotor ditambah kelompok hemianopia.

Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas pemulihan

neurologis dan pemulihan fungsional. Pemulihan neurologis terjadi di

awal setelah terjadinya stroke. Mekanisme yang mendasari adalah

pulihnya fungsi sel otak dan terbukanya kembali sirkuit saraf yang

sebelumnya tertutup. Kemampuan fungsional pulih sejalan dengan

pemulihan neurologis yang terjadi (Wirawan, 2009).

Otak memiliki kapasitas untuk sembuh, selama otak tersebut

digunakan, dan otak juga mampu untuk melakukan reorganisasi dan

adaptasi. Pelatihan fungsi terarah dapat meningkatkan kemampuan otak

untuk membaik (Susanti dan Irfan, 2010).

2.2.5 Neuroplastisity

Otak manusia terbukti sangat adaptif dan plastis serta dapat

mengadakan perubahan struktural dan fungsional apabila diberikan

stimulasi lingkungan, stimulasi sensoris diterima oleh individu sebagai

sebuah pengalaman & respon tindakan (sensorimotor). Dan aktivitas di

otak juga meningkat pada saat membayangkan gerakan (mental practice),

tanpa harus melakukan aktivitas (Michael et al., 2004).

Kusumoputro (1995) mengartikan plastisitas sebagai kemampuan

struktur otak dan fungsi terkait untuk tetap berkembang karena adanya

suatu stimulus. Dengan stimulasi lingkungan tersebut terjadi pertumbuhan

jaringan dendrit sel dan terjadilah koneksi antar neuron yang lebih banyak.

Page 19: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

28

Neuroplastisitas adalah perubahan aktivasi otak yang

merefleksikan kemampuan adaptasi otak (Wilbert, 2008). Setelah lesi

susunan saraf pusat, terjadi proses penyembuhan anatomis melalui

mekanisme Neuroplastisitas yang meliputi (Bruno, 2007):

1. Collateral sprouting and synaptogenesis

Collateral sprouting merupakan suatu keadaan dimana axon saraf

normal di sekitar lesi akan membentuk cabang sinaps dengan serabut

saraf degenerasi yang ada di dekatnya. Collateral sprouting ini hanya

terjadi pada axon yang mempunyai target sel yang sama dengan axon

yang mengalami degenerasi. Fenomena ini juga disebut reactive

synaptogenesis

2. Unmasking of pathway

Unmasking of pathway adalah proses aktivasi jalur laten multi-

synaptik (yang tidak difungsikan dalam keadaan sebelum lesi) tetapi

bisa diaktifkan ketika jalur yang dominan gagal atau mengalami

kerusakan

3. Neural regeneration

Neural regeneration juga merupakan sprouting dari serabut saraf

yang cedera kemudian membentuk regenerative synaptogenesis

4. Reorganisasi Mekanisme

Reorganisasi mekanisme saraf merupakan penataan kembali

koneksi sinaps, melalui aktivitas spesifik dan terus menerus secara

berulang-ulang.

Page 20: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

29

Pada situasi tertentu bagian-bagian otak dapat mengambil alih

fungsi dari bagian-bagian yang rusak. Dengan kata lain bagian-bagian otak

seperti belajar sebuah kemampuan baru. Hal ini mungkin mekanisme yang

paling penting dalam pemulihan stroke (Magoun, 2005).

Kesembuhan anatomis tersebut tidak spontan membawa

kesembuhan fungsional, karena untuk aktivitas otak memerlukan

pengalaman dan pemahaman tertentu secara spesifik menurut tempat dan

tugasnya. Oleh karena itu , harus diadakan suatu program relearning

melalui (Hamid dan Satori, 1992):

1. Memberikan stimulus sebanyak mungkin pada sisi yang sakit

2. Mengajarkan kembali pengaturan posisi dan gerak melalui tahapan

yang berorientasi pada pola perkembangan refleks bayi/ anak, dimana

refleks primitif ditekan untuk digantikan reaksi tegak dan

keseimbangan, inhibisi spastisitas dan postur abnormal, dan latihan

gerak volunter.

2.2.6 Gait pada pasien post stroke

Pasien dengan kondisi stroke akan mengalami banyak gangguan-

gangguan yang bersifat fungsional. Kelemahan ekstremitas sesisi, kontrol

tubuh yang buruk serta ketidakstabilan pola berjalan merupakan aspek-

aspek pada pasien post stroke yang tak terpisahkan.

Pola jalan penderita stroke antara lain:

1. Fase menapak (stance phase)

a. Terbatasnya fleksi hip dan dorsifleksi ankle

Page 21: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

30

b. Terbatasnya kontrol fleksi-ekstensi lutut pada lingkup gerak sendi

0-15o (dapat berubah hiperekstensi lutut atau fleksi lutut yang

berlebih)

c. Terlalu besarnya terbatasnya geseran horizontal pelvis

d. Terbatasnya plantar fleksi ankle saat toe off

e. Terlalu besarnya gerakan pada sisi sehat berupa pelvis tilt ke arah

bawah dan geseran horizontal lateral ke arah sisi sakit.

Gambar 2.1 Fase Menapak pada Pasien post stroke

Sumber: Jones, 1996

2. Fase mengayun (Swing phase)

a. Terbatasnya fleksi lutut saat akan mengayun

b. Terbatasnya fleksi hip

c. Terbatasnya ekstensi lutut dan dorsofleksi ankle saat heel strike

Page 22: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

31

Gambar 2.2 Fase Mengayun pada Pasien post stroke

Sumber: Jones, 1996

Menurut Knutson dan richards, ada 3 tipe jalan penderita

hemiplegia, yaitu:

1. Type I

a. Hiperaktif Stretch Refleks

b. Gangguan jalan sedang

c. Hiperekstensi lutut saat menapak

d. Mampu berjalan cukup jauh

2. Type II

a. Sangat minim aktivitas kontrol motorik

b. Hiperekstensi lutut yang ekstrem

c. Terbatasnya fleksi lutut

d. Tidak adanya aktivitas calf muscle dan tibialis anterior

e. Kemampuan jalannya bervariasi

f. Kebanyakan memerlukan splint

Page 23: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

32

3. Type III

a. Sangat berlebihan

b. Stereotype

c. Disorganisasi saat fase menapak dan mengayun

2.3 Metode Konvensional

Rehabilitasi pasien post stroke salah satunya dengan terapi latihan.

Pemberian terapi latihan berupa gerakan pasif sangat bermanfaat dalam

menjaga sifat fisiologis dari jaringan otot dan sendi. Jenis latihan ini dapat

diberikan sedini mungkin untuk menghindari adanya komplikasi akibat

kurang gerak.

Pemberian terapi latihan sangat bermanfaat, sehingga sangat

dianjurkan untuk pasien post stroke. Penelitian Kwakkel et. al (2004),

sebuah meta-analisis, memperlihatkan bahwa peningkatan intensitas waktu

latihan, khususnya jika penambahannya minimal sebanyak 16 jam dalam

enam bulan pertama memiliki pengaruh yang kecil tapi bermakna pada

kemampuan fungsional penderita stroke.

Menurut Berman et. al, (2009), ROM aktif-asistif dilakukan

dengan cara klien mengguanakan lengan atau tungkai yang berlawanan

yang lebih kuat, atau dengan bantuan fisioterapist untuk menggerakkan

setiap sendi pada ekstrimitas yang tidak mampu melakukan gerakan aktif.

Penelitian Irdawati, (2008), menunjukkan, dengan memberikan perlakuan

melatih ROM terhadap pasien post stroke selama 12 hari didapatkan hasil

Page 24: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

33

bahwa kekuatan otot setelah terapi latihan jauh lebih tinggi daripada

sebelum terapi.

2.3.1 Definisi terapi latihan

Terapi latihan adalah salah satu alat untuk mempercepat pemulihan

pasien dari cedera dan penyakit yang dalam pelaksanaannya menggunakan

gerakan-gerakan aktif maupun pasif (Gardiner, 1964). Hal serupa juga

dikatakan Kwakkel, et. al, (2004) bahwa terapi latihan merupakan kegiatan

fisik yang reguler dan dilakukan dengan tujuan meningkatkan atau

mempertahankan kebugaran fisik atau kesehatan dan termasuk didalamnya

fisioterapi dan okupasional terapi.

Menurut Kisner dan Colby (2007), terapi latihan dapat dibagi

mejadi beberapa kategori yaitu: 1) ROM exercise; 2) Stretching; 3) Joint

mobilization; 4) Resistance exercise; 5) Aerobic exercise; 6) Aquatic

exercise.

2.3.2 ROM exercise

Latihan Range of Motion (ROM) merupakan sebuah teknik dasar

yang digunakan untuk pemeriksaan gerak dan sebagai permulaan program

intervensi terapeutik (Kisner dan Colby, 2007). Range of Motion (ROM)

merupakan tindakan atau latihan otot atau persendian yang diberikan

kepada pasien yang mengalami kterbatasan mobilitas sendi karena

penyakit, disabilitas, atau trauma. Terdapat tiga tipe latihan ROM yaitu

(Kisner dan Colby, 2007):

Page 25: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

34

1. Passive ROM (PROM)

Passive ROM (PROM) adalah sebuah gerakan dimana energi yang

digunakan berasal dari luar, sehingga tidak ada kontraksi otot secara

volunter. Sumber energi dapat berasal dari grafitasi, mesin, orang lain,

ataupun bagian tubuh lain dari pasien itu sendiri.

Tujuan dari PROM adalah: 1) Untuk menjaga fisiologis dari sendi

dan jaringan ikat; 2) Mencegah kontraktur karena imobilisasi; 3)

Menjaga elastisitas sendi; 4) Membantu sirkulasi dan vascular

dynamic; 5) Membantu pergerakan cairan sinovial untuk nutrisi

kartilago; 6) Mengurangi nyeri.

2. Aktive ROM (AROM)

Aktive ROM (AROM) adalah gerakan sebuah segmen dimana

tenaganya berasal dari kontraksi otot-otot penggerak segmen tersebut.

Manfaat dari AROM adalah: 1) Menjaga sifat fisiologis, elastisitas,

dan kontraktilitas dari otot; 2) Memberikan sensory feedback dari

kontraksi otot; 3) Memberikan stimulus untuk integritas tulang

danjaringan; 4) Meningkatkan sirkulasi dan mencegah adanya

trombus; 5) Meningkatkan koordinasi dan kemampuan motorik untuk

aktivitas fungsional.

3. Aktive-Assistive ROM (A-AROM)

Aktive-Assistive ROM (A-AROM) merupakan salah satu jenis

AROM dimana otot penggerak mengalami kelemahan sehingga

memerlukan bantuan bantuan untuk dapat melakukan gerakan.

Page 26: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

35

Bantuan dapat berasal dari orang lain, mesin, ataupun bagian lain dari

tubuh pasien sendiri.

2.4 Kinesiotaping

2.4.1 Definisi kinesiotaping

Kinesiotaping adalah pita khusus yang tipis, elastic, dan dapat

ditarik hingga 100 persen dari panjang aslinya sehingga cukup dikatakan

elastic dibanding dengan taping yang konvensional. Hal ini

memungkinkan pergerakan yang maksimal dari otot dan sendi, adanya

tarikan pada kulit oleh pita perekat (taping) bertujuan untuk meningkatkan

ruang antara kulit dan otot, sehingga mengurangi tekanan local dan

membantu meningkatkan sirkulasi dan drainase limfatik, akibat dari proses

tersebut dapat pengurangan nyeri, mengurangi oedema, dan mengurangi

spasme otot (Kase et al., 2003)

Kinesiotaping dikembangkan oleh Dr. Kenzo Kase pada tahun

1970-an. Pada awal penggunaannya Kinesiotaping banyak digunakan

untuk dunia olahraga. Kinesiotaping dibuat menyerupai kulit,

ketebalannya menyerupai epidermis kulit manusia dan dapat diregangkan

hingga 140% dari panjang normal sebelum diaplikasikan ke kulit,

sehingga memberikan ketegangan yang kuat saat diaplikasikan pada kulit

(Prentice , 2011; Thelen et al., 2008).

Kinesiotaping terdiri dari polimer elastic yang dibungkus serat

katun 100%. Serat katun memungkinkan untuk terjadinya penguapan

Page 27: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

36

kelembapan tubuh dan cepat kering. Tidak terdapat lateks di dalam

Kinesiotaping, perekat ini 100% acrylic (Kase et al., 2003).

2.4.2 Pengaruh fisiologis kinesiotaping

Kinesiotaping ini merangsang beberapa proses fisiologis tubuh

seperti meningkatkan fungsi otot, menurunkan tonus otot, melancarkan

sistem limfatik, dan mekanisme analgesic endogen serta meningkatkan

mikrosirkulasi. Kinesiotaping memiliki pengaruh recoil yang dapat

mengangkat kulit dan memberikan ruang pemisah antara kulit dan otot,

serta meningkatkan respon propioseptif melalui kulit untuk

menormalisasikan tonus otot, mengurangi nyeri, mengkoreksi posisi

jaringan, dan merangsan mechanoreseptor di kulit (Slupik et al., 2007;

Akbas et al., 2011; Prentice, 2011).

2.4.3 Pengaruh neuromuscular Kinesiotaping

Kinesiotaping melalui reseptor di cutaneus dapat memberikan

rangsangan pada sistem neuromuskuler dalam mengaktivasi kinerja saraf

dan otot saat melakukan suatu gerak fungsional (Yasukawa et al., 2006).

Kinesiotaping juga akan memfasilitasi mechanoreseptor untuk

mengarahkan gerakan yang sesuai dan memberikan rasa nyaman pada area

yang dipasangkan (Kase et al., 2003).

Page 28: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

37

2.4.4 Aplikasi dan manfaat Kinesiotaping

Metode Kinesiotaping dikembangkan berdasarkan struktur jaringan

otot sebagai penggerak utama tubuh manusia. Pemasangan Kinesiotaping

diawali dengan mengukur lembar Kinesiotaping mulai 2 inci dibawah

origo atau 2 inci diatas insersio otot. Pemasangan diharuskan

menyesuaikan bentuk anatomis tubuh manusia. Dasar pemasangan

Kinesiotaping selalu diawali dan diakhiri dan diakhiri tanpa adanya

tegangan dari Kinesiotaping. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir

rasa kurang nyaman dari aplikasi Kinesiotaping (Kase et al., 2003)

Kinesiotaping memiliki 4 fungsi utama yaitu:

1. Supporting muscle

Kinesiotaping dapat meningkatkan kemampuan otot yang lemah,

mengurangi nyeri dan rasa lelah, dan menjaga otot dari keadaan kram,

ketegangan dan kontraksi yang berlebihan.

2. Melancarkan sistem sirkulasi

Kinesiotaping dapat meningkatkan sirkulasi darah dan sistem limfatik,

juga mengurangi pembengkakan yang terjadi pada jaringan.

3. Mengaktifkan sistem analgesik endogen

Kinesiotaping dapat memfasilitasi tubuh untuk melakukan Self healing

dan memproduksi zat analgesik sehingga dapat mengurangi nyeri.

Page 29: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

38

4. Memperbaiki masalah persendian

Tujuan dari Kinesiotaping adalah memperbaiki Range of motion

dan menyesuaikan posisi sendi yang salah yang dihasilkan dari otot

yang tegang.

Aplikasi Kinesiotaping dapat dilakukan dengan beberapa teknik,

dapat dilakukan secara tunggal ataupun kombinasi tergantung kondisi dan

tujuan pemasangan. Teknik-teknik aplikasi Kinesiotaping antara lain:

1. Mechanichal correction

Hal yang harus diperhatikan pada koreksi mekanik ini

adalah posisi jaringan harus dalam keadaan bebas, dan bukan

membuat jaringan atau sendi berada dalam posisi terfiksasi.

Kinesiotaping diaplikasikan untuk memberikan stimulus pada

mechanoreseptor pada jaringan atau sendi. Teknik ini dapat

digunakan untuk membantu posisi dari otot, fascia, atau sendi

untuk menstimulasi mechanoreseptor sehingga akan membantu

tubuh beradaptasi dengan stimulus tersebut

2. Fascia correction

Fascia correction ini diaplikasikan untuk membuat fascia

pada posisi yang benar, dan menjaga fascia untuk tidak kembali ke

posisi yang tidak diinginkan. Teknik ini dimaksudkan untuk

mengurai keterbatasan fascia secara perlahan melalui gerakan kulit

dan kemampuan elastisitas dari Kinesiotaping itu sendiri.

Page 30: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

39

3. Space correction

Space corection ini diaplikasikan untuk membuat ruang

lebih langsung di area nyeri, inflamasi, atau oedem. Ruang yang

meningkat akan menurunkan tekanan dengan cara mengkerutkan

kulit pada area cidera. Hasil dari penurunan tekanan akan

menurunkan tingkat iritasi receptor kimia dan akan menurunkan

nyeri.

4. Ligament/ tendon correction

Ligamen/ tendon correction ini diaplikasikan untuk

membuat peningkatan pada daerah ligamen atau tendon yang

dihasilkan dari peningkatan stimulasi mechanoreceptor. Stimulus

ini dipercaya akan dirasakan sebagai propioceptive stimulation

yang akan diinterpretasikan oleh otak sebagai tegangan jaringan

yang normal.

5. Functional correction

Functional correction digunakan ketika membantu

keterbatasan gerak melalui stimulasi sensoris. Kinesiotaping

diaplikasikan dengan tanpa tarikan selama gerak aktif. Tegangan

yang muncul dipercaya akan memberikan stimulasi pada

mechanoreceptor. Persepsi stimulasi dipercaya diinterpretasikan

sebagai stimulasi propioceptif yang bertindak sebagai penanda

pada posisi akhir gerakan.

Page 31: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

40

6. Lymphatic correction

Lymphatic corection digunakan untuk membantu

mengurangi bengkak dengan cara mengarahkan cairan menuju

nodus lympatik yang lebih longgar.

Hal yang perlu dipahami pada aplikasi Kinesiotaping adalah

derajad dari penguluran pada area target. Ada beberapa pembagian

penguluran sesuai dengan teknik aplikasi yang diberikan:

1. Full : 100%

2. Berat : 75%

3. Sedang : 50%

4. Ringan/ Paper off : 15-25%

5. Sangat ringan : 0-15%

6. Tidak diulur

Aplikasi Kinesiotaping cukup tiga hari karena sesuai dengan

penelitian Slupik et al. (2007) , bahwa berdasarkan data

electromyography (EMG) pengaruh puncak dari Kinesiotaping setelah

24 jam akan memfasilitasi motor unit untuk dapat melakukan

kontraksi, dan akan menurun setelah 72 jam pemakaian.

Pada penelitian ini penulis menggunakan mechanic correction

dan fungsional correction untuk meningkatkan stimulasi

mechanoreceptor pada pasien post stroke. Mechanoreseptor

merupakan salah satu informasi yang diperlukan untuk feedback

sebuah gerakan volunter.

Page 32: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

41

2.5 Motor Relearning Programme

Motor Relearning Programme (MRP) pertama kali dikembangkan

oleh Janet H. Carr dan Roberta Shepherd pada tahun 1980-an. Metode ini

fokus pada pemahaman gerak normal dan bagaimana gerakan itu dipelajari

dan dipelajari ulang (Carr dan Shepherd, 1983). Carr and shepherd (dalam

Patricia dan barbara, 2003), mengatakan bahwa orang dewasa yang

mengalami gangguan neurologis mungkin tidak tahu bagaimana caranya

bergerak dan mungkin harus belajar kembali tentang gerakan tersebut.

Potensi serta kontribusi fisioterapi dalam proses pemulihan stroke

menjadikan prinsip-prinsip MRP berupa: pelatihan kembali kontrol

motorik berdasarkan pemahaman tentang kinematika dan kinetika gerakan

normal (biomekanik), kontrol dan latihan motorik (motor control and

motor learning), yang melibatkan proses kognitif, ilmu perilaku dan

psikologi, pelatihan, pemahaman, tentang anatomi dan fisiologi saraf, serta

tidak berdasarkan pada teori perkembangan normal (neurodevelopmental)

(Susanti dan Irfan, 2010).

Teknik Motor Relearning Programme dilakukan latihan fungsional

dan identifikasi kunci utama tugas-tugas motorik. Setiap aktivitas motorik

dianalisis dan ditentukan komponen-komponen yang tidak dapat

dilakukan, melatih penderita serta memastikan latihan dilakukan pada

aktivitas sehari-hari pasien. Latihan aktivitas motorik harus dilakukan

dalam bentuk aktivitas fungsional, karena tujuan dari rehabilitasi tidak

hanya sekedar mengembalikan suatu pergerakan tetapi juga

Page 33: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

42

mengembalikan fungsi. Delapan puluh persen penderita stroke mempunyai

defisit neuromotor sehingga memberikan gejala kelumpuhan setengah

badan, dengan tingkat kelemahan bervariasi dari yang lemah hingga berat,

kehilangan sensibilitas, kegagalan sistem koordinasi, perubahan pola jalan

dan tergangguanya sistem keseimbangan.

Dalam teknik ini dilakukan latihan fungsional dan identifikasi

kunci utama suatu tugas-tugas motorik, seperti duduk, berdiri atau

berjalan. Setiap tugas motorik dianalisis, ditentukan komponen-komponen

yang tidak dapat dilakukan.

2.5.1 Konsep motor learning

Pembelajaran (learning) merupakan suatu fenomena internal yang

tidak dapat secara langsung diamati. Fenomena ini didefinisikan sebagai

suatu perubahan permanen dalam kemampuan merespon sebagai akibat

latihan atau suatu pengalaman. Duncan dan Badke (1987) mendefinisikan

kemampuan motor learning sebagai kemampuan seseorang untuk belajar

dan mengorganisasikan pergerakan dengan tujuan untuk beradaptasi

dengan lingkungannya.

Terdapat perbedaan antara Motor Performance dengan Motor

Learning. Tse (1999), mendefinisikan Motor Performance sebagai suatu

penampilan keterampilan motorik tertentu yang terjadi selama latihan dan

tidak bersifat permanen, sementara Motor Learning adalah keterampilan

yang dipertahankan bahkan setelah latihan dihentikan. Penelitian yang

dilakukan Winstein (1987), menemukan bahwa kemampuan untuk

Page 34: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

43

mempelajari tugas-tugas motorik setelah stroke dapat berubah, tetapi

derajadnya bervariasi tergantung gejala yang diakibatkan oleh stroke.

Penderita stroke dengan apraksia akan mempunyai dampak negatif pada

proses motor learning, tetapi pada penderita stroke dengan hemiparetik

ringan, proses motor learning hanya sedikit terganggu

Asumsi utama tentang kontrol motorik berdasarkan model ini

adalah: peningkatan kemampuan motorik seperti berjalan, meraih dan

berdiri memerlukan proses belajar yang sama dengan orang normal

(pasien memerlukan pelatihan, umpan balik, tujuan); kontrol motorik yang

saling berhubungan dengan antisipasi, persiapan dan gerakan yang

dibentuk; kontrol dari gerakan motorik yang spesifik dapat semakin

meningkat dengan di dukung oleh lingkungan yang bervariasi; dan input

sensoris yang mempengaruhi gerakan (Susanti dan Irfan, 2010).

Patricia dan Barbara, (2003) mengatakan bahwa faktor utama

dalam proses motor learning, seperti yang diidentifikasi oleh Carr dan

Shepherd termasuk:

a. Mengidentifikasi tujuan

b. Inhibisi aktivitas yang tidak perlu

c. Kemampuan untuk mengatasi efek gravitasi dan melakukan

penyesuaian keseimbangan selama perpindahan berat tubuh

d. Body alignment yang tepat

e. Berlatih (baik secara fisik maupun mental)

f. Motivasi

Page 35: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

44

g. Feedback

Terdapat tiga tahapan dalam motor learning, antara lain:

1. Cognitive Stage

Pada tahap ini dibutuhkan pemusatan perhatian dalam

memahami tugas-tugas motorik yang akan dilakukan dan strategi

untuk melakukannya.

2. Associative Stage

Tahap ini mulai dikembangkan rujukan interna tentang

pergerakan motorik yang tepat dalam melakukan suatu tugas

motorik.

3. Autonomous Stage

Tahap ini ditandai dengan atensi minimal pada penampilan

motorik. Kemampuan untuk mendeteksi kesalahan telah

berkembang penuh dan penampilan motorik bersifat stabil dan

otomatis.

2.5.2 Aplikasi Motor Relearning Programme

Setiap pasien post stroke memerlukan penanganan yang berbeda

sesuai dengan tujuan yang dicapai. Tetapi semua pasien post stroke

memiliki gangguan motorik berupa komponen gerak utama seperti berdiri

dan berjalan.

Motor Relearning Programme memiliki asumsi bahwa otak

memiliki kapasitas untuk sembuh, selama otak tersebut digunakan, dan

otak juga mampu untuk melakukan reorganisasi dan adaptasi. Pelatihan

Page 36: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

45

fungsi terarah dapat meningkatkan kemampuan otak untuk membaik

(Susanti dan Irfan, 2010).

MRP terdiri dari tujuh sesi yang mewakili fungsi penting (tugas

motorik) dari kehidupan sehari-hari yang dikelompokkan menjadi:

1. Fungsi Ekstremitas atas

2. Fungsi orofacial

3. Gerakan motorik dari tidur ke duduk di tepi tempat tidur

4. Keseimbangan duduk

5. Posisi duduk ke berdiri

6. Keseimbangan berdiri

7. Berjalan

Setiap sesi terdiri dari berbagai macam pola gerak yang mengacu

kepada empat tahap yaitu:

1. Tahap pertama

a. Analisa gerakan

b. Pengamatan

c. Perbandingan

d. Analisa

2. Tahap kedua

a. Latihan untuk komponen yang hilang

b. Penjelasan identifikasi dari tujuan

c. Instruksi

d. Pelatihan, umpan balik verbal dan visual, dan petunjuk manual

Page 37: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

46

3. Tahap ketiga

a. Pelatihan gerakan

b. Penjelasan identifikasi dari tujuan

c. Instruksi

d. Pelatihan, umpan balik verbal dan visual, dan petunjuk manual

e. Re-evaluasi

f. Melatih fleksibilitas

4. Tahap keempat

a. Perpindahan dari latihan

b. Kesempatan untuk berlatih sesuai aktivitas

c. Konsistensi dari latihan

d. Mengorganisasikan untuk memonitor latihannya sendiri

e. Keterlibatan keluarga dan orang terdekat

Setiap sesi terdiri dari berbagai macam pola gerak mengacu pada

empat tahap diatas, dan didasari oleh aktivitas normal termasuk komponen

gerakan yang paling utama. Terdapat tiga hal penting yang perlu

diperhatikan menggunakan metode MRP, yaitu:

1. Kemampuan motorik dilatih secara komponen atau secara keseluruhan.

Pada umumnya, pasien pada tahap awal tidak dapat latihan langsung

secara keseluruhan sehingga perlu dilakukan gerakan yang terpisah.

2. Teknik. Penjelasan, demonstrasi dan arahan manual akan membantu

pasien untuk mengerti tujuan latihan yang akan dijalaninya.

Page 38: conventional method, kinesiotaping, and motor relearning

47

3. Metode untuk peningkatan ketika pasien menguasai gerkan-gerakan,

pasien dilatih ketrampilan yang sama, tetapi dengan kondisi

lingkungan yang berbeda, sehingga pasien terbiasa dan beradaptasi

dengan semua kondisi.

2.5.3 Propioseptif Feedback pada MRP

Propioseptif memiliki beberapa peran penting dalam Motor

Relearning Programme antara lain (Eyal, 2010):

1. Feedback untuk penyesuaian dengan segera dan penyempurnaan

gerakan

2. Feedback untuk motor learning

3. Replenishment pre-exiting motor programmes

Motor kontrol bergantung pada propioception untuk penyesuaian

akhir, perbaikan dan sinkronisasi dari gerakan yang kompleks (Bagesteiro

et al., 2006). Hal ini juga akan memberikan informasi jika gerakan

menyimpang jauh dari apa yang dimaksudkan, misalnya berjalan dan

tersandung. Untuk gerakan yang cepat, pengolahan informasi umpan balik

sensoris terlalu lambat untuk memungkinkan koreksi gerakan yang sedang

berlangsung (Eyal, 2010). Penyempurnaan dari program motor learning

yang sudah disimpan juga tergantung dari propioseptif, karena

propioseptif memainkan peranan penting dalam body-image dan sense of

self.