cr kejang demam ayu, nidi, ibnu
TRANSCRIPT
CASE REPORT
KEJANG DEMAM SEDERHANA
Oleh
M. Ibnu Sina
Nidia Fifi F.
Ayu Kesuma Wardhani W
Pembimbing
Dr. Fedriansyah, Sp.A
Dr. Murdoyo Rahmanoe, Sp.A
SMF ANAK
PERIODE 13 Agustus – 13 Oktober 2012
RSUD Hi. ABDUL MOELOEK
PROVINSI LAMPUNG
STATUS PENDERITA
1
Nomor Rekam Medik : 259606/748128
Tanggal dan Pukul Masuk RSAM : 11 September 2012, pkl: 09.00 WIB
I. Anamnesis
A. Identitas
Nama Pasien : An. M. R
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 1 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Jl. Suprapto Gg. Langgar no 14. Tanjung Karang, Bandar
Lampung
Ayah
Nama : Tn. S
Usia : 28 tahun
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : SLTA
Ibu
Nama : Ny. R
Usia : 26 tahun
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SLTA
B. Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama
Kejang
2. Keluhan Tambahan
Demam, Batuk , Pilek
2
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Aloanamnesis (ibu pasien)
Pasien masuk melalui UGD RSAM pada hari Selasa, 11 September
2012 pukul 09.00 WIB dengan keluhan kejang tidak berulang. Kejang 2
jam SMRS kurang dari 15 menit berupa kejang kelojotan seluruh tubuh
setelah kejang anak rewel. Keluhan lain yaitu demam yang dirasakan
terus-menerus batuk berdahak dengan lendir berwarna putih diikuti
hidung berair ± 2 hari SMRS.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat pasien dengan keluhan yang sama disangkal.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga menderita kejang demam disangkal.
6. Riwayat Penyakit Kehamilan
Tidak ada riwayat penyakit selama hamil
7. Riwayat Persalinan
Pasien lahir cukup bulan, di bidan, lahir normal, langsung menangis,
tidak cacat, berat badan lahir 3300 gram, panjang badan 48 cm, pasien
merupakan anak kedua.
8. Riwayat Makanan
0-6 bulan : ASI eksklusif
6-9 bulan : ASI + nasi tim
9-12 bulan : ASI + nasi tim
Kesan
Kualitatif : cukup sesuai usia
Kuantitatif : cukup sesuai usia
3
9. Riwayat Imunisasi
BCG : 1x, usia 2 bulan
DPT : 3x, usia 2,4,6 bulan
Campak : -
Hepatitis : 3x, usia 0,2,6 bulan
Polio : 3x, usia 0, 2,4 bulan
Kesan
Imunisasi tidak lengkap sesuai usia
II. Pemeriksaan Fisik
A. Status Present (11 September 2012)
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : 39ºC
Frekuensi nadi : 166x/menit
Frekuensi nafas : 40x/menit
BB awal : 8,9 kg
BB sekarang : 8,9 kg
PB : 95 cm
Lingkar Kepala : 44 cm
Lingkar lengan : 13 cm (sesuai menurut usia)
Status Gizi : Baik
B. Status Generalis
1. Kelainan Mukosa Kulit/Subkutan yang Menyeluruh
Pucat : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Oedem : tidak ada
Turgor : baik
4
Pembesaran KGB : tidak membesar
2. Kepala
Muka : edema (-), merah
Rambut : hitam, distribusi baik, tidak mudah dicabut
UUB : datar tidak membonjol
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
kornea jernih, reflek cahaya (+/+)
Telinga : bentuk normal, liang lapang, simetris,serumen (-/-)
Hidung : normal, deviasi septum (-), nafas cuping hidung
(-), tampak sekret
Mulut : bibir kering, sianosis (-)
3. Leher
Bentuk : simetris
Trachea : letak di tengah
KGB : tidak membesar
4. Thoraks
Bentuk : simetris, pengembangan dada simetris
Retraksi suprasternal : (-)
Retraksi substernal : (-)
Retraksi intercostal : (-)
5. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba sela iga IV garis midclavicula sinistra
Perkusi : batas jantung kanan sela iga IV garis parasternal dextra
batas jantung kiri sela iga IV garis midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
6. Paru
5
Anterior Posterior
InspeksiBentuk dan pergerakan
hemithoraks kiri=kanan
Bentuk dan pergerakan
hemithoraks kiri=kanan
PalpasiFremitus taktil
hemithoraks kiri=kanan
Fremitus taktil hemithoraks
kiri=kanan
PerkusiSonor pada seluruh
lapangan paru
Sonor pada seluruh
lapangan paru
Auskultasi
Vesikuler +/+
Ronkhi -/-
wheezing -/-
Vesikuler +/+
Ronkhi -/-
wheezing -/-
7. Abdomen
Inspeksi : tampak datar, simetris
Palpasi : turgor baik, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : tympani, nyeri ketok (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
8. Genitalia eksterna
Kelamin : laki-laki normal, tidak ada kelainan
9. Ekstremitas
Superior Inferior
Anemis -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin +/+ +/+
Edema -/- -/-
Rangsang Meningeal
1. Kaku Kuduk (-)
2. Brudzinski sign I (-)
3. Brudzinski sign II (-)
4. Kernig’s sign (-)
6
5. Losseque sign (-)
III. Pemeriksaan Penunjang
A. Darah Rutin
Hb : 9,8 mg/dl
Ht : 15 %
Leukosit : 25.100 mm3
Trombosit : 273.000 mm3
Elektrolit : Na : 134 mmol/L
K : 4,5 mmol/L
Ca : 8,4 mmol/L
Cl : 99 mmol/L
MCV : 67,9 fl
MCH : 22,0 ps
B. Urin Rutin
Tidak dilakukan
C. Feces Rutin
Tidak dilakukan
D. Pemeriksaan Penunjang Lain/Anjuran
1. Pungsi Lumbal
2. EEG
Resume
7
I. Anamnesa
Pasien masuk melalui UGD RSAM pada hari Selasa, 11 September 2012 pukul
09.00 WIB dengan keluhan kejang tidak berulang. Kejang 2 jam SMRS kurang
dari 15 menit berupa kejang kelojotan seluruh tubuh setelah kejang anak rewel.
Keluhan lain yaitu demam yang dirasakan terus-menerus batuk berdahak
dengan lendir berwarna putih diikuti hidung berair ± 2 hari SMRS.
II. Pemeriksaan Fisik
-Keadaan umum : Tampak sakit sedang
-Kesadaran : komposmentis
-Nadi : 166 x/menit, reguler.
-Respirasi : 40 x/menit
-Suhu : 39 ºC
-BB : 8,9 kg
-Status gizi : baik
-Muka : mukosa hidung sekret (+)
-UUB : Tidak membonjol
-Thoraks : Cor dan Pulmo dalam batas normal
-Abdomen : Bising usus (+)
-Genitalia : laki-laki
-Ekstremitas : Akral dingin
III. Diagnosis Banding
1. Kejang Demam Sederhana
2. Epilepsi
3. Meningitis
IV. Diagnosis Kerja
Kejang Demam Sederhana
IV. Penatalaksanaan
8
- O2 1 L/menit (nasal canule)
- Stesolid suppostoria 10 mg
- IVFD RL X gtt makro/menit
- Paracetamol syrup 3 dd Cth 1
V. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam
9
FOLLOW UP
Hari/Tanggal Keluhan Status
Present
Penatalaksanaan
Selasa,11 September
2012
- Anak rewel- Demam (+)- Batuk-pilek (+)- Kejang (-)
KU : TSSKes : CM
Vital sign Nadi : 166xRR : 56xT : 38ºC
- IVFD RL x gtt makro/menit- Paracetamol syrup 3x1 sdt
10
ANALISA KASUS
1. Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat ?
Diagnosa kerja pada pasien ini adalah kejang demam sederhana, sudah tepat.
menggunakan kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman
untuak membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:2
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 6 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukkan kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang demam,
dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak didapatkan
gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu.
2. Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat ?
Penatalaksanaan pasien pada kasus ini sudah tepat yaitu berupa :
O2 1 L/menit (nasal canule)
Stesolid suppostoria 5 mg
IVFD RL 10 gtt makro/menit
Paracetamol syrup 3 dd Cth 1
Kompres hangat
Ampisilin inj/8 jam
3. Bagaimana prognosis pada kasus ini ?
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak perlu menyebabkan kematian. Tetapi ada kemungkinan anak dengan riwayat
menderita kejang demam dapat berulang kembali kejangnya di kemudian hari.
11
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor:
1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak
menderita kejang demam.
3. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian hari
akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya
terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa
demam hanya 2% - 3% saja ("Consensus Statement on Febrile Seizures, 1981").
12
II. TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh ( suhu rectal diatas 38C ) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium.1 Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering
dijumpai pada anak-anak, terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun.
Menurut Consensus statement on febrile seizures (1980), kejang demam adalah
kejadian pada bayi atau anak yang berhubungan dengan demam tetapi tidak
pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang
pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak
termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus dibedakan dengan
epilepsi,yaitu yang ditandai denagn kejang berulang tanpa demam.1,2,3
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf
seperti meningitis, ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini
mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang
mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat. Dahulu Livingston membagi
kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana (simple febrile
convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi triggered of by
fever).2
Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah
menderitanya (Millichap, 1968). Wegman (1939) dan Millichap (1959) dari
percobaan binatang berkesimpulan bahwa suhu yang tinggi dapat menyebabkan
terjadinya bangkitan kejang. 1
Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi serta
cepatnya suhu meningkat (Wegman, 1939; Prichard dan McGreal, 1958). Faktor
hereditas juga mempunyai peranan. Lennox-Buchthal (1971) berpendapat bahwa
kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan
dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2%
13
anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak
normal hanya 3%.1
KLASIFIKASI KEJANG DEMAM (KD)
Umumnya kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu
kejang demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan
berlangsung umum, dan kejang demam kompleks, yang berlangsung kurang dari
15 menit, fokal, atau multiple (lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam). Kriteria
penggolongan tersebut dikemukan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat
beberapa perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang,
tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekam
otak dan lainnya1,2
I. Kalsifikasi KD menurut Prichard dan Mc Greal2
Prichard dan Mc Greal membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana
2. Kejang demam tidak khas
Ciri–ciri kejang demam sederhana ialah:2
1. Kejangnya bersifat simetris, artinya akan terlihat lengan dan tungkai kiri
yang kejang sama seperti yang kanan
2. Usia penderita antara 6 bulan - 4 tahun
3. Suhu 100F (37,78C) atau lebih
4. Lamanya kejang berlangsung kurang dari 30 menit
5. Keadaan neurology (fs saraf) normal dan setelah kejang juga tetap normal
6. EEG (electro encephalography – rekaman otak) yang dibuat setelah tidak
demam adalah normal
Kejang demam yang tidak memenuhi butir tersebut diatas digolongkan sebagai
kejang demam tidak khas
II. Klasifikasi KD menurut Livingston2
Livingston membagi dalam:
1. KD sederhana
14
2. Epilepsy yang dicetuskan oleh demam
Ciri-ciri KD sederhana:2
1. Kejang bersifat umum
2. Lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
3. Usia waktu KD pertama muncul kurang dari 6 tahun
4. Frekuensi serangan 1-4 kali dalam satu tahun
5. EEG normal
KD yang tidak sesuai dengan ciri tersebut diatas digolongkan sebagai epilepsy
yang dicetuskan oleh demam
III. Klasifikasi KD menurut Fukuyama2
Fukuyama juga membagi KD menjadi 2 golongan, yaitu:
1. KD sederhana
2. KD kompleks
Ciri-ciri KD sederhana menurut Fukuyama:2
1. Pada keluarga penderita tidak ada riwayat epilepsy
2. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
3. Serangan KD yang pertama terjadi antara usia 6 bulan - 6 tahun
4. Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20menit
5. Kejang tidak bersifat fokal
6. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang
7. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologist atau
abnormalitas perkembangan
8. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat
KD yang tidak sesuai dengan criteria tersebut diatas digolongkan sebagai KD
jenis kompleks
Sub Bagian Saraf Anak Bagian IKA FKUI – RSCM Jakarta, menggunakan
kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuak membuat
diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:
8. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 6 tahun
15
9. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
10. Kejang bersifat umum
11. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
12. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
13. Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukkan kelainan
14. Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
KD yang tidak memenuhi kriteria diatas digolongkan sebagai epilepsi yang
diprovokasi oleh demam. Kejang kelompok kedua ini mempunyai suatu dasar
kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya
merupakan faktor pencetus.
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko pertama yang penting pada kejang demam adalah
demam. Selain itu juga terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau
saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak
dalam pengawasan khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam
pertama, kira-kira 33 anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan
kira-kira 9 anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi
meningkat pada usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,
temperature yang sangat rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan
riwayat keluarga epilepsi.1
Dua puluh sampai 25% penderita kejang demam mempunyai keluarga
dekat (orang-tua dan saudara kandung) yang juga pernah menderita kejang
demam. Tsuboi mendapatkan bahwa insiden kejang demam pada orang tua
penderita kejang demam ialah 17% dan pada saudara kandungnya 22%. Delapan-
puluh persen dari kembar monosigot dengan kejang demam adalah konkordans
untuk kejang demam. Kebanyakan peneliti mendapat kesan bahwa kejang demam
diturunkan secara dominan dengan penetrasi yang mengurang dan ekspresi yang
bervariasi, atau melalui modus poligenik.1
16
Pada penderita kejang demam risiko saudara kandung berikutnya
untuk mendapat kejang demam ialah 10%. Namun bila satu dari orang-tuanya dan
satu saudara pernah pula mengalami KD, kemungkinan ini meningkat menjadi
50% .1,2,3
Penelitian Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing juga memperoleh data
riwayat keluarga pada 231 penderita KD Dari mereka ini 60 penderita merupakan
anak tunggal waktu diperiksa. Sedang 221 penderita lainnya - yang mempunyai
satu atau lebih saudara kandung - 79 penderita (36%) mempunyai satu atau lebih
saudara kandung yang pemah mengalami kejang yang disertai demam. Jumlah
seluruh saudara kandung dari 221 penderita ini ialah 812 orang, dan 119 (14,7%)
di antaranya pernah mengalami kejang yang disertai demam.2
ETIOLOGI
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan
pasti. Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang
demam,yaitu:2,3,4
1. Demamnya sendiri
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap
otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak
diketahui atau ensefalopati toksik sepintas
6. Gabungan semua faktor diatas
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi
kejang demam. Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi
waktu anak sedang demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah
imunisasi pertusis (DPT) dan morbili (campak).1
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing
pada 297 penderita kejang demam, 66(22,2%) penderita tidak diketahui
penyebabnya.2 Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat
17
peradangan. Ada penderita yang mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian
tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis dan otrtis media akut. (lihat tabel ).
Penyebab demam pada 297 penderita KD1,2
Penyebab demam Jumlah penderita
Tonsilitis dan/atau faringitisOtitis media akut (radang liang telinga tengah)Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna)Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasiBronkitis (radang saiuran nafas)Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran nafas)Morbili (campak)Varisela (cacar air)Dengue (demam berdarah)Tidak diketahui
10091
22
441738
121166
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering di-sertai KD daripada
infeksi lainnya.
Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oteh kuman Shigella mengaiami KD
dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya di mana angka kejadian
KD hanya sekitar 1%,
Lahat dkk, 1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian KD
pada shigellosis dan salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat
racun yang dihasilkan kuman bersangkutan.
PATOFISIOLOGI1,5
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor
fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang 1.
Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi
yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen
disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
18
sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui
proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran
sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit
dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-).
Akibatnya kosentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi
rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena perbedaan
jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga
keseimbangan petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-
ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya:
1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%.
Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron, dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion
kalium listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya dengan bantuan bahan yang
disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang
kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang
anak menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan
ambang kejang yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38oC,
sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat
terjadi pada suhu 40oC atau lebih 4.
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet
19
sedangkan otot pernafasan tidak efisien sehingga tidak sempat bernafas yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis
disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang
tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat oleh karena meningkatnya
aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam
lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
menjadi kejang.
MANIFESTASI KLINIK
Terjadinya kejang pada kejang demam terkait dengan kenaikan suhu
yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39C atau lebih
(rectal). Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan tonik klonik.
Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan
disertai kekakuan atau kelemahan,gerakan sentakan berulang tanpa didahului
kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.2,3,4,5
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang
dari 8% yang berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti sendiri
setelah mendapat pertolongan pertama. Setelah kejang berhenti anak tampak
capek, mengantuk, tertidur pulas, dan tidak memberikan reaksi apapun untuk
sejenak atau disebut periode mengantuk singkat pasca kejang, tetapi setelah
beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
neurologis. 2
Kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit sering
bersifat fokal atau unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh parese Tood
(lumpuh sementara pasca serangan kejang) yang berlangsung beberapa jam
sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis
20
yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama biasanya lebih sering
terjadi pada kejang demam yang pertama.2
DIAGNOSIS
Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston
yang telah dimodifikasi, yang merupakan pedoman yang dipakai oleh Sub Bagian
Saraf Anak IKA FKUI-RSCM Jakarta, yaitu:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 6 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukkan kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang
demam, dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak
didapatkan gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu.
Tetapi perlu diingat bahwa kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula
tejadi pada kelainan lain, misalnya pada radang selaput otak (meningitis) atau
radang otak (ensefalitis)
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam
yang pertama dan dengan usia kurang dari 1 tahun. Elektroensefalografi (EEG)
ternyata kurang mempunyai nilai prognostic, EEG tidak dapat digunakan untuk
memperkirakan kemungkinan terjadinya epilepsy atau kejang demam berulang
dikemudian hari. Saat ini pemeriksaaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang
demam sederhana. Pemeriksaan laboratorium tidak dianjurkan dan dikerjakan
untuk mengevaluasi sumber infeksi. Pasien dengan keadaan diare, muntah dan
gangguan keseimbangan cairan dapat diduga terdapat gangguan metabolisme
21
akut, sehingga pemeriksaan elektrolit diperlukan. Pemeriksaan labratorium lain
perlu dilakukan untuk mencari penyebab timbulnya demam.2
DIAGNOSIS BANDING2,3,4,5,6
Epilepsi
Meningitis
Ensefalitis
PENATALAKSANAAN
Menurut dr. Dwi P. Widodo, neurolog anak RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, dalam seminar "Kejang Demam pada Anak" beberapa
waktu lalu, tindakan awal yang mesti dilakukan adalah menempatkan anak pada
posisi miring dan hangat. Setelah air menguap, demam akan turun. Tidak perlu
memasukkan apa pun di antara gigi. Jangan memasukkan sendok atau jari ke
dalam mulut anak untuk mencegah lidahnya tergigit. Hal ini tidak ada gunanya,
justru berbahaya karena gigi dapat patah atau jari luka. Miringkan posisi anak
sehingga ia tidak tersedak air liurnya. Jangan mencoba menahan gerakan anak.
Turunkan demam dengan membuka baju dan menyeka anak dengan air sedikit.1
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam
yaitu:2,3,4,5,6,9,10
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan fase akut
Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah
atau muntahan dan diusahakan jalan nafas harus bebas agar oksigenisasi terjamin.
Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan
fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan
pemberian antipiretik.
22
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama
pengobatan adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu
pemberian obat – obatan antipiretik sanagt diperlukan. Obat – obat yang dapat
digunakan sebagai antipiretik adalah asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4
– 6 jam atau ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam.
Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek
terapeutik diazepam sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek
toksik yang serius hampir tidak dijumpai apa bila diberikan secara perlahan dan
dosis tidak melebihi 50 mg persuntikan. Diazepam dapat diberikan secara
intravena dan intrarectal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti
sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar dan bila tidak
timbul kejang lagi jarum dicabut.
Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang
seringkali menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif
melalui rektum telah dibuktikan keampuhannya (Knudsen, 1979; Ismael dkk.,
1981; Kaspari dkk., 1981). Pemberian dilakukan pada anak/bayi dalam posisi
miring/ menungging dan dengan rektiol yang ujungnya diolesi vaselin,
dimasukkaniah pipa saluran keluar rektiol ke rektum sedalam 3 - 5 cm. Kemudian
rektiol dipijat hingga kosong betul dan selanjutnya untuk beberapa menit lubang
dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua muskulus gluteus. Dosis diazepam
intrarectal yg dapat digunakan adalah 5 mg (BB<10 kg) atau 10 mg (BB>10 kg).
Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian, bila tidak
berhenti juga berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena
perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan
pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan
iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital
yang langsung diberikan setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan –
1 tahun 50 mg dan 1 tahun keatas 75 mg secara intramuscular. Lalu 4 jam
kemudian diberikan fenobarbital dosis rumatan. Untuk 2 hari pertama diberikan
dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan
23
dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat
diberikan secara suntikan dan setelah membaik peroral. Harus diperhatikan bahwa
dosis total tidak boleh melebihi 200 mg/hari karena efek sampingnya adalah
hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi pernafasan.
Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada
kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau
bila kejang demam berlangsung lama.2
Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian, yaitu:2
1. Profilaksis intermiten
Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, penderita yang
menderita kejang demam sederhana diberikan diazepam secara oral untuk
profilaksis intermiten dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
saat pasien demam. Diazepam dapat juga diberikan secara intrarectal tiap 8 jam
sebanyak 5 mg (BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg) setiap pasien menunjukan suhu
lebih dari 38,5C.
Profilaksis intermiten ini sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk
menderita kejang demam sedarhana sangat kecil, yaitu sampai sekitar umur 4
tahun.
2. Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang berguna untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik
yang stabil dan cukup didalam darah penderita untuk mencegah terulangnya
kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat
mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari. Profilaksis terus-menerus setiap
hari dengan fenobarbital 4-5 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang
dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang
terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
24
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1
atau 2) yaitu:2
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal, retardasi mental).
2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang
multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan
jangka panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam
dengan diazepam oral alau rektal tiap 8 jam di samping antipiretik
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang
mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan
adalah sebagai berikut :8,9,10
Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping,
bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok atau
penggaris, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.
Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan
penanganan khusus.
Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke
fasilitas kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk dibawa
ke fasilitas kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit. Ada pula
sumber yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik dilakukan secepat
mungkin tanpa menyatakan batasan menit.
Setelah kejang berakhir (jika < 10 menit), anak perlu dibawa menemui
dokter untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher,
muntah-muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.
25
Jika anak dibawa ke fasilitas kesehatan, penanganan yang akan dilakukan selain
poin-poin di atas adalah sebagai berikut :8,9,10
Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat
Pemberian oksigen melalui face mask
Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per rektal (melalui anus) atau
jika telah terpasang selang infus 0,2 mg/kg per infus
Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
Sebagian sumber menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah untuk
meneliti kemungkinan hipoglikemia. Namun sumber lain hanya
menganjurkan pemeriksaan ini pada anak yang mengalami kejang cukup
lama atau keadaan pasca kejang (mengantuk, lemas) yang berkelanjutan.
Imunisasi dan kejang demam 8
Walaupun imunisasi dapat menimbulkan demam, namun imunisasi jarang diikuti
kejang demam. Suatu penelitian yang dilakukan memperlihatkan risiko kejang
demam pada beberapa jenis imunisasi sebagai berikut:
· DTP : 6-9 per 100.000 imunisasi. Risiko ini tinggi pada hari imunisasi, dan
menurun setelahnya.
· MMR : 25-34 per 100.000 imunisasi. Risiko meningkat pada hari 8-14 setelah
imunisasi.
Kejang demam pasca imunisasi tidak memiliki kecenderungan berulang yang
lebih besar daripada kejang demam pada umumnya. Dan kejang demam pasca
imunisasi kemungkinan besar tidak akan berulang pada imunisasi berikutnya. Jadi
kejang demam bukan merupakan kontra indikasi imunisasi.
PROGNOSIS2
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak perlu menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi
terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6
26
bulan pertama. Apabila melihat pada umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga,
Lennox-Buchthal (1973) mendapatkan:
Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita
50% dan pria 33%.
Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga
adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang
25%.
Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian, misalnya
Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6%, sedangkan Living-
ston (1954) mendapatkan dari golongan kejang demam sederhana hanya 2,9%
yang menjadi epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam
temyata 97% yang menjadi epilepsi.2
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor:2
4. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.
5. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak
menderita kejang demam.
6. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian hari
akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya
terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa
demam hanya 2% - 3% saja ("Consensus Statement on Febrile Seizures, 1981").
Pada penelitian yang dilakukan oleh The National Collaboratlve Perinatal Project
di Amerika Serikat , dalam hal mana 1.706 anak pasca kejang demam diikuti
perkembangannya sampai usia 7 tahun, tidak didapatkan kematian sebagai
akibat kejang demam. Anak dengan kejang demam ini lalu dibandingkan
dengan saudara kandungnya yang normal, terhadap tes iQ dengan menggunakan
WISC. Angka rata-rata untuk iQ total ialah 93 pada anak yang pernah mendapat
kejang demam. Skor ini tidak berbeda bermakna dari saudara kandungnya
(kontrol). Anak yang .sebelum terjadinya kejang demam sudah abnormal atau
27
dicurigai menunjukkan gejala yang abnormal, rnempunyai skor yang lebih rendah
daripada saudara kandungnya. Hasil yang diperoleh the National Collaborative
Perinatal Project ini hampir serupa dengan yang didapatkan di Inggris oleh The
National Child Development-Study* Didapatkan bahwa anak yang pernah
mengaiami KD kinerjanya tidak berbeda dengan populasi umum waktu di tes
pada usia 7 dan 11 tahun.2,3,4,5,6
Pada penelitian Ellenberg dan Nelson mendapatkan tidak ada perbedaan
IQ waktu diperiksa pada usia 7 tahun antara anak dengan KD dan kembarannya
yang tanpa kejang demam.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Tumbelaka,Alan R.,Trihono, Partini P.,Kurniati,Nia.,Putro Widodo,Dwi.
Penanganan Demam Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVII.Cetakan pertama,FKUI-
RSCM.Jakara,2005
2. Lumbantobing,S.M:Kejang Demam.Balai Penerbit FKUI,Jakarta,2007 3. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediateric II : Kejang Pada Anak. Cetakan ke2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2002.4.Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak : Kejang Demam. 18 edition. EGC, Jakarta 2007.5.Fleisher, Gary R, M.D., Stephen Ludwig, M.G. Text Book Of Pediatric Emergency Medicine : Seizures. Williams & Wilkins Baltimore. London6.Mansjoer, Arif., Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setyowulan. Kapita Selekta Kedokteran : kejang Demam. Edisi ke3 Jilid 2. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2000.7.Gary R. Fleisher, Stephen Ludwig. Textbook of Pediatric Emergency Medicine 4th edition (January 15, 2000).Seizures. Lippincott, Williams & Wilkins,USA,2000 8.Kejang Demam,Guidelinehttp://www.sehatgroup.web.id/artikel/1089.asp?FNM=1089 9 .9.Acute Management of Infants and Children with Seizures. December 2004http://www.health.nsw.gov.au/fcsd/rmc/cib/circulars/2004/cir2004-66.pdf10.Prodigy Guidance - Febrile convulsion. April 2005. http://www.prodigy.nhs.uk/guidance.asp?gt=Febrile%20convulsion
28
29