critical discourse analysis dalam website lgn.or.id pada kasus...
TRANSCRIPT
1
DISKURSUS LEGALISASI GANJA MEDIS PADA MEDIA DIGITAL
(Studi Critical Discourse Analysis dalam website lgn.or.id pada kasus Fidelis Ari)
Oleh: Aria Mahatamtama – 071411533001
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini adalah studi yang secara kritis menganalisa portal media
online, yakni lgn.or.id. Terdapat praktik yang terjadi pada pewacanaan legalisasi
ganja medis yang melibatkan kasus Fidelis Ari. Menemukan bagaimana wacana
legalisasi ganja medis diartikulasikan pada media online LGN, peneliti
mengaitkan beberapa konsep yang saling berkaitan. Beberapa konsep tersebut
antara lain adalah legalisasi sebagai resistensi, media sebagai strategi legalisasi,
internet sebagai medium counter-discourse, hegemoni media dan Negara dalam
diskursus dominan. Penelitian ini mengacu pada paradigma kritis. Dalam
menganalisis, penelitian ini menggunakan Critical Discourse Analysis (CDA)
model Norman Fairclough.
Dengan membahas dimensi teks, praktik wacana, praktik sosio-budaya
melalui teks artikel lgn.or.id pada kasus Fidelis Ari. Penelitian ini menunjukkan
bahwa wacana legalisasi ganja medis yang diartikulasikan dalam dimensi teks
seperti pada website LGN memunculkan sikap resisten terhadap UU Narkotika
No.35 tahun 2009. Artikulasi wacana sikap resisten tersebut didukung dengan
melihat „UU Narkotika‟ sebagai regulasi yang membawa nilai anti-kemanusiaan.
Terdapat dualisme antara LGN dan BNN sebagai representasi negara yang
menolak legalisasi ganja medis.
Kata Kunci: Diskursus, resistensi, legalisasi, ganja medis, Undang-undang
Narkotika, pasar gelap.
2
PENDAHULUAN
Penelitian ini melihat bagaimana pewacanaan legalisasi ganja medis yang
dinarasikan oleh Lingkar Ganja Nusantara pada kasus Fidelis Ari dalam situsnya
yaitu lgn.or.id. Kontroversi kegunaan tanaman ganja di Indonesia menuai banyak
kasus, salah satunya kasus yang dialami oleh Fidelis. Lelaki berdomisili Sanggau,
Kalimantan Barat tersebut harus kehilangan istrinya pada tahun 2017 yang
terkena penyakit kanker sum-sum tulang belakang sejak 2015 (Kompas, 2017).
Fokus peneliti, pada teks artikel yang dimuat dalam situs lgn.or.id dengan kasus
Fidelis. LGN berusaha untuk mengadvokasi, mengedukasi masyarakat termasuk
kasus Fidelis. Seperti bagaimana LGN menyediakan advokasi bagi Fidelis untuk
menggunakan ganja sebagai obat alternatif (lgn.or.id).
Penggunaan ganja sebagai alternatif pengobatan adalah perbuatan yang
melanggar UU Narkotika No.35 tahun 2009. Karena kebijakan tersebut
menggolongkan tanaman ganja kedalam Golongan 1 (satu) sebagai zat narkotika
yang berbahaya. Sikap perlawanan yang ditunjukkan oleh LGN menggambarkan
sikap resistensi. Resistensi sendiri bekerja tergantung bagaiamana seberapa
kuatnya wacana dominan tersebut dilawan. Dengan bentuk perlawanan tersebut,
lambat laun akan dilakukan secara masif ketika wacana minoritas benar-benar
tertindas (De Witt, 1973, p.3). Upaya legalisasi harus mengandung sistem hukum,
agar pondasi pada dimensi kewajiban dalam mengatur regulasi bisa berjalan Hart
(1961).
Fokus penelitian ini melihat bagaimana pewacanaan legalisasi ganja
medis. Lahirnya pewacanaan legalisasi ganja dimulai ketika awal mula LGN
terbentuk. Kampanye yang dilakukan oleh LGN pun dimulai lewat media sosial
facebook pada tahun 2012. Dengan memiliki nama akun legalisasiganja.com.
Website lgn.or.id sebagai media alternatif memproduksi teks yang menjadi
counter discourse terhadap wacana dominan terkait eksistensi dan identitas
tanaman ganja. Golongan 1 dalam Undang-undang menyebutkan: “Narkotika
golongan satu hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
3
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat
tinggi mengakibatkan ketergantungan. Hal ini dirujuk pada heroin, kokain, daun
kokain, opium, ganja, katinon, jicing, ecstasy dan 65 jenis lainnya” (UU
Narkotika, 2009)
Merujuk pada regulasi tersebut, penelitian ini melihat bagaimana
diskursus ganja medis ini diartikulasikan pada web lgn.or.id. Strategi yang
digunakan LGN untuk mengadvokasi masyarakat lewat media alternatif seperti
website, turun aksi ke jalan dalam rangka Global Marijuana March. LGN sendiri
selain website, memiliki media lain dalam menyampaikan edukasi lewat twitter,
facebook, instagram, dan youtube. Dalam akun youtubenya LGN sudah memiliki
14.665 subscribers. Akan tetapi dalam kanal website, LGN lebih fokus dalam
memberikan edukasi lewat artikel tentang manfaat tanaman ganja dari rekreasi,
medis, dan industri. Artikel tersebut memproduksi teks-teks yang membawa
praktik diskursus tertentu dalam membangun wacana. Analisis wacana kritis
melihat bahasa sebagai faktor yang terpenting. Seperti bagaimana bahasa
digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi (Fairclough, 1995
p.16).
Dengan dikeluarkannya instruksi presiden Republik Indonesia (inpres)
Nomor 6 tahun 1971 kepada kepala Badan Koordinasi Intelejen Nasional
(BAKIN) untuk menanggulangi 6 masalah dan salah satunya adalah Narkoba.
Pada masa kepemerintahan orde baru tersebut, narkoba menjadi salah satu
polemik yang kerap dirasakan pada era kepemerintahan Soeharto. Dengan
antisipasi pemerintah pada saat itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) mulai
mengesahkan Undang-Undang psikotropika dan Narkotika sebagai awal untuk
menegakkan pemberantasan narkotika. Lalu pada kepemerintahan Abdurachman
Wahid, membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional yang disingkat
BKNN, hingga mulai tahun 2002 mengganti nama menjadi Badan Narkotika
Nasional (BNN) untuk meningkatkan kerja sebagai „badan‟ pemberantas
narkotika (bnn.go.id).
4
LGN sendiri adalah Organisasi atau bisa dikenal sebagai Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Bergerak sesuai visinya yaitu mengedukasi
masyarakat akan manfaat tanaman ganja (lgn.or.id). Edukasi yang dilakukan
LGN kerap kontra dengan hukum positif negara, pola yang dilakukan adalah
dengan melawan hukum positif negara yaitu resisten. Resistensi harus digunakan
secara konstruktif, dan secara umum penggunaan terminologi resistensi
digunakan untuk merujuk pada pertentangan, pembangkangan, dalam konteks
antara kekuatan dan dominasi (Barker, 2004:178). Dalam melawan diskursus
dominan yang berbicara bahwa ganja adalah tanaman berbahaya, LGN
menggunakan media sebagai sarana penyebaran informasi kegunaan tanaman
ganja.
Media sosial dapat menjadi wadah partisipasi kolektif. Seperti
penggunaan internet untuk berbagi dan pertukaran informasi, pendapat,
pengalaman dan menjalin melalui komputer dimana penggunaannya tidak
semata-mata untuk alat namun juga dapat menimbulkan afeksi dan emosional
(McQuail, 2000, p.127). Sebagai salah satu kekuatan pembentuk opini publik,
media juga berperan dalam membentuk wacana dominan atas suatu realitas.
Wacana dominan adalah wacana yang diakui kebenarannya oleh masyarakat.
Akan tetapi, negara dengan baik membangun wacana dominan mengenai
tanaman ganja. Wacana dominan tersebut dapat dilihat sebagai hegemoni.
Hegemoni sendiri merupakan dominasi yang dibentuk oleh kelompok dominan,
lalu bergerak pada kelompok lain, tanpa adanya ancaman kekerasan, guna narasi
yang didikte oleh kelompok tersebut dapat diterima sebagai sebuah kebenaran
yang wajar dalam sifat moral, intelektual, serta budaya (Gramsci, 1971:13).
Maka dari itu, Fidelis dipersalahkan karena mengobati istrinya
menggunakan ekstrak ganja. Pertama, negara mengakui hukum positif bahwa
tanaman ganja adalah tanaman yang ilegal. Kedua, negara berusaha menunjukkan
kebenaran lewat pesan yang bersifat moral, rasional, dan membudaya. Negara
menolak penggunaan pengobatan dengan ganja dipertegas oleh Budi Waseso
sebagai kepala BNN. Perbuatan yang dilakukan Fidelis melanggar hukum,
5
apalagi dengan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan menggunakan
ganja sebagai alternatif adalah berdasarkan riset kecil yang dicari melalui
internet, bukan berdasarkan fakta para ahli medis di Indonesia (Merdeka.com,
2017).
Sehingga, permasalahan peneliti adalah dengan melihat bagaimana
wacana legalisasi ganja medis pada kasus Fidelis Ari dalam website lgn.or.id
diartikulasikan. Untuk mengurai dan membuktikan hal ini, peneliti akan memilih
metode Critical Discourse Analysis (CDA) milik Norman Fairclough sebagai
pisau analisa. Metode ini dipilih karena analisis wacana ingin mengintegrasikan
aspek lingustik dengan pemikiran sosial-politik (Eriyanto, 2001). Fairclough
(1995) membagi analisisnya ke dalam tiga tahapan yaitu analisis teks, analisis
praktik wacana, dan analisis praktik sosial. Dalam pemahaman Fairclough
terdapat tiga efek. Pertama, wacana memberikan andil dalam membentuk realitas
sosial. Kedua, wacana membantu mengkonstruksi relasi sosial di antara orang-
orang. Bagian ketiga, wacana memberikan kontribusi melalui sistem pengetahuan
dan kepercayaan dalam meneruskan praktik diskursif.
PEMBAHASAN
Diskursus “Legalisasi Ganja medis” merupakan diskursus yang constitutive
dan constituted yang dimana berarti diskursus adalah sebuah praktik sosial yang
dapat menciptakan dunia sosial dan sekaligus eksistensinya diciptakan oleh
praktik-praktik sosial yang lain. Diskursus legalisasi ganja akhirnya menjadi
suatu pengetahuan baru yang tercipta dari praktik sosial, salah satu organisasi
yang masuk dalam praktik sosial adalah LGN. Dari penjabaran tiap artikel,
peneliti menemukan konstruksi yang berulang pada penolakan UU Narkotika No.
35 tahun 2009. Penolakan tersebut digambarkan sebagai regulasi yang tidak
sesuai dengan pancasila. Peneliti merasa terdapat sikap resisten terhadap regulasi
tersebut.
Pada penjabaran tiap teks artikel pada lgn.or.id, ditemukan titik singgung
pada pancasila. Pancasila berusaha diudar sebagai sebuah konsep yang
6
berlawanan dengan UU Narkotika No.35 tahun 2009. Sikap perlawanan ini,
diperkuat pada artikel pertama yang diunggah oleh LGN berjudul “Global
Marijuana March”.
“LGN melihat bahwa UU Narkotika No.35 Tahun 2009 tidak sejalan
dengan prinsip Pancasila.” (lgn.or.id)
Maka disini LGN berusaha berbicara mengenai sikap perlawanan terhadap UU
Narkotika no. 35 tahun 2009. Dipertegas didalam artikel bahwa “UU Narkotika
tidak sejalan dengan pancasila. LGN mempertegas bahwa regulasi tersebut
sepatutnya dilawan, karena tidak mencerminkan lima sila yang terkandung dalam
pancasila.
Temuan yang didapat peneliti dalam artikel lgn.or.id pada kasus Fidelis
berusaha mengarahkan pada beberapa topik seperti narasi UU narkotika yang
memiliki sikap “resisten” karena UU Narkotika digambarkan tidak sesuai
pancasila. Selain itu terdapat artikulasi “anti-kemanusiaan” yang digambarkan
bahwa regulasi Narkotika dapat membuat Yeni meninggal, dan Fidelis harus
mendekam di penjara. Penanda yang ditemukan peneliti pada artikel melihat
bahwa LGN, berusaha untuk bersikap resisten terhadap Undang-undang. Praktik
resisten yang ditemukan penanda lain yang menjelaskan bahwa UU Narkotika
sangat tidak relevan dalam menggolongkan tanaman ganja sebagai narkotika dan
tidak dapat dipergunakan dalam manfaat medis.
Konsep resistensi yang digambarkan, menjadi praktik diskursif legalisasi
ganja. Penolakan regulasi UU Narkotika yang melihat bahwa tanaman ganja tidak
dapat dimanfaatkan meneruskan praktik diskursus legalisasi ganja. Kata
“resistensi” secara harfiah berawal dari kata bahasa inggris yaitu “resist” dalam
hal ini resistensi adalah tindakan terhadap pemerintah yang dimana merupakan
penentangan atau perlawanan terhadap kebijakan pemerintah (Barker, 2004, p.7).
Pernyataan pada sikap resisten tersebut ditunjukkan lewat artikel pada website
lgn.or.id.
Bpk. Budi Waseso, Pimpinan BNN, “tidak ada pengampunan ya.”
Menurutnya belum ada penelitian yang membuktikan ganja mampu
7
menjadi obat. Tidak lama berselang, Menteri Kesehatan, Ibu Nila
Moeloek, ikut bicara, “ganja itu buat „fly‟, jadi lupa akan rasa sakit
dan sebagainya.” Ketika ditanya soal riset, beliau juga menyatakan
belum ada niat melakukannya. Menurut Dhira, Ketua LGN, hal ini
menyisakan pertanyaan besar di masyarakat, “kalau belum pernah
diriset, kenapa ganja disimpulkan sebagai Narkotika dan tidak
bermanfaat buat medis? (lgn.or.id).
Jika menilik kutipan diatas maka bisa terlihat bagaimana LGN melakukan
sikap resistensi terhadap sistem yang berlaku terkait kebijakan narkotika. Seperti
bagaimana pemilihan narasumber yang berusaha dimunculkan dalam artikel LGN
seperti kutipan diatas. Terdapat Budi Waseso sebagai representasi BNN, dan juga
Nila Moeloek sebagai Kementrian kesahatan yang menjadi representasi pakar
kajian-kajian medis dalam menyikapi penggunaan medis tanaman ganja. Dalam
statemennya Bagaimana udaran diatas menjelaskan bahwa BNN dan Kemenkes
sebagai representatif negara hanya melihat konteks UU Narkotika sebagai hukum
positif tanpa melihat kontekstualisasi kasus Fidelis atas alasannya menanam
ganja. Selain sikap resisten, LGN juga menunjukkan bahwa Fidelis hanya ingin
menjalankan sisi kemanusiaan untuk mengobati istrinya. Udaran tersebut
dijelaskan dalam artikel pada web lgn.or.id (lgn.or.id).
tolong kawan-kawan lebih fokus pada sisi kemanusiaan yang
menimpa istri saya (alm. Yeni).
Menurut peneliti, udaran “lebih fokus pada sisi kemanusiaan”
menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan Fidelis ini resmi untuk membantu
istrinya dalam mengobati sakit kanker yang di deritanya. Fidelis merasa ganja
yang mampu menjawab sakit Syringomylia yang diderita oleh istrinya. LGN
dalam udaran diatas berusaha menegaskan bahwa BNNK Sanggau yang
menindak lanjuti harus melihat konteks kenapa Fidelis berani menanam. Jika
memang regulasi narkotika melarang Fidelis, tolong Pemerintah melihat sisi
kemanusiaan yang dilakukan Fidelis dalam mengobati istrinya. Jika negara tidak
terlalu represif dalam melihat hukum positif mengenai regulasi narkotika, maka
Fidelis tidak harus kehilangan (alm. Yeni). Penegasan kata “almarhum”
menandaskan bahwa regulasi narkotika belum bisa menjawab persoalan
kemanusiaan.
8
Wacana legalisasi ganja sebagai suatu praktik diskursif yang dilakukan
LGN jika teks tentang “legalisasi” tidak diiringi dengan analisis terkait regulasi.
Analisis pewacanaan juga harus melihat bagaimana sosial-kultural dapat dibaca
sebagai keterkaitan teks (Eriyanto, 2005, p.28). Karena kembali lagi, LGN
berkembang dalam iklim negara Indonesia dan Indonesia menganut lembaga
hukum dalam upaya menerapkan peraturan. Hal ini tidak lepas pada bagaimana
ganja dikonotasikan sebagai tanaman candu “membuat fly” yang seakan
menghapus segala kemanfaatannya dalam sisi medis. Sikap gagap-tanggap negara
mengistilahkan satu hal yaitu negara “takut” akan legalisasi ganja dengan
memberikan stigma negatif dan perlakuan yang totaliter. Sikap semacam ini yang
menghilangkan secara potensial manfaat tanaman ganja untuk diungkap,
didiskusikan, hingga dibudidayakan dalam ruang publik.
Selama ini ganja dikuasai oleh kartel narkoba, karena kartel narkoba
berjualan hasil produksinya kedalam pasar gelap (blackmarket). Pasar gelap
dalam sebuah negara selalu memperjualkan sesuatu yang ilegal. Penolakan LGN
terhadap pasar gelap dijelaskan dalam artikel pada website lgn.or.id (lgn.or.id).
Kami tidak ingin pohon ganja selamanya dikuasai pasar gelap
narkotika. Kami ingin pohon ganja dapat mengobati.
Udaran diatas menandaskan bahwa jika negara melegalkan ganja, maka negara
dapat mengatur pasar (market) yang nantinya semua prosedur produksi ganja
akan diatur negara, dan juga keuntungan ekonomi akan dapat diatur oleh negara.
Selama ini, kartel selalu bebas pajak. Keuntungan yang di dapat dari kartel ganja
dapat menjadi 30 kali lipat dari harga produksi awal. Keuntungan berlipat itu
akan masuk kedalam kantong Bandar dari kartel ganja tersebut. Negara tidak
dapat merasakan keuntungan dari penjualan ganja tersebut. Terdapat penanda lain
yang dapat memperkuat bagaimana ganja memiliki keuntungan karena masuk
pasar gelap, seperti yang masuk dalam investigasi mendalam CNN (CNN, 2016).
9
Gambar 1: Gambar invesitgasi CNN pada “Demam Ganja di
Indonesia”. (sumber:cnnindonesia.com)
Jika ganja dikirim dari Aceh Rp. 500.000/kg nya, maka sampai Jakarta harga
ganja bisa mencapai Rp 2,5 Juta – 5 Juta/kg nya, tergantung pada jenis kualitas
yang ditawarkan. LGN merasa Pemerintah harus berani mengambil sikap
mengenai legalisasi ganja. Selain itu juga, jika selamanya ganja dikuasai pasar
gelap maka yang diuntungkan hanya beberapa oknum saja. Sikap resistensi yang
dilangsungkan LGN bersumber bahwa sebenarnya legalisasi ganja bisa menjadi
komoditas negara. Negara dapat mengatur pasar mengenai produksi dan distribusi
ganja. Selain itu, ganja dapat dikaji sebagai alternatif medis.
Praktik pewacanaan legalisasi ganja medis menghasilkan tiga poin. Poin
pertama dalam teks yang menjadi penanda adalah, regulasi narkotika memiliki
nilai anti-kemanusiaan. Karena, jika negara tidak memandang ganja sebagai
tanaman terlarang, maka Yeni Indrawati nyawanya masih bisa terselamatkan,
10
yang akhirnya Fidelis tidak perlu dipenjara. Poin kedua menjelaskan bahwa sikap
resisten yang diudar oleh LGN melalui artikel menjelaskan bagaimana pasar
gelap sebenarnya yang berusaha dilawan oleh LGN. LGN berpendapat bahwa,
ketika ganja legal, maka ganja dalam pasar gelap (blackmarket) yang dikuasai
oleh kartel akan hilang. Karena semua masyarakat akan beralih pada pasar yang
legal. Pasar gelap yang menjual ganja akan bangkrut karena ganja sudah legal,
dan akhirnya ganja dapat menyumbang pertambahan ekonomi negara.
Poin yang ketiga adalah dualisme yang dihasilkan oleh LGN dan BNN
terkait tanaman ganja. Kedua pihak melihat tanaman ganja dengan kacamata pro
dan kontra. Temuan pada subab ini menjadi bagan yang menjelaskan legalisasi
sebagai praktik resistensi LGN pada pemerintah. Sikap yang ditunjukan dengan
menekan pada regulasi narkotika untuk menyegerakan revisi karena meletakkan
tanaman ganja sebagai golongan I yang tidak dapat dipergunakan manfaatnya.
Selanjutnya peneliti akan menjelaskan poin mengenai regulasi narkotika yang
membawa nilai anti-kemanusiaan. Peneliti akan membahas mengenai penanda-
penanda yang dimaksud dalam pembahasan topikal yang telah dibuat oleh
peneliti. Pembahasan pertopik akan memperlihatkan bahwa ada posisi tertentu
yang telah diambil oleh LGN mengenai UU Narkotika No.35 tahun 2009 dalam
pewacanaan legalisasi ganja pada kasus Fidelis Ari sebagai praktik diskursif.
Dualisme yang dimaksud peneliti, dari pihak LGN melihat tanaman ganja
sebagai tanaman yang pantas untuk dilegalisasikan. Sedangkan BNN melihat
tanaman ganja yang tidak dapat dilegalisasikan. BNN melihat pengobatan
tanaman ganja belum dapat membuktikan penyembuhan apapun. Dhira Narayana
sebagai representasi LGN juga menyebutkan “belum pernah diriset” yang
menguatkan dualisme diatas. BNN berusaha berbicara bahwa kajian ganja medis
belum pernah dilakukan, karena negara pun belum pernah melakukan pengobatan
ganja, serta ganja masuk dalam golongan I narkotika. LGN berbicara sebaliknya,
jika ganja belum pernah dilakukan riset, kenapa negara bisa berbicara bahwa
ganja tidak dapat menjadi obat alternatif? Kedua dualisme tersebut sama-sama
berbicara mengenai satu hal, yaitu ganja.
11
Selain itu juga wacana dominan yang beredar mengenai ilegalitas tanaman
ganja lewat regulasi Narkotika menjadi prosedur BNN untuk memberantasnya.
Maka dari itu, peneliti merasa bahwa subbab ini dapat mengaitkan bagaimana
dimensi teks dibaca melalui aspek sosial-budaya. Karena wacana dominan yang
lahir adalah wacana ilegalitas tanaman ganja. Indonesia menggolongkan tanaman
ganja kedalam kategori narkotika. LGN sebagai suatu LSM memiiki counter-
discourse mengenai tanaman ganja. Legalisasi sebagai sebuah pewacanaan LGN
harus dibaca secara sosial-budaya, karena sosial-budaya juga merupakan dimensi
teks (Fairclough, 1995, p.67). BNN sebagai sebuah Badan Narkotika Nasional,
dibentuk oleh Pemerintah sebagai badan yang menanggulangi peredaran
narkotika. Bagaimana BNN menanggapi pewacanaan ganja medis, dan
bagaimana BNN mengeluarkan wacana dominan dalam menanggapi wacana
legalisasi ganja.
BNN sebagai suatu badan yang bergerak berlandaskan visi-misi pada
regulasi UU Narkotika No.35 tahun 2009. Hukum bisa dilihat sebagai upaya
konforntasi dari hegemoni Negara mengenai pewacanaan legalisasi ganja. untuk
melihat kontestasi negara yang memberi wacana dominan dalam melawan
wacana legalisasi ganja. Upaya ini dirasa peneliti cukup penting dalam diskursus
legalisasi ganja karena BNN sebagai suatu „Badan‟ yang getol menyuarakan anti-
narkotika. Pemberitaan yang dilakukan oleh BNN pun, terus menolak ide
mengenai legalisasi ganja.
Berita yang terjadi pada tahun 2015 dengan judul “BNN Tegaskan
Penggunaan Ganja Tidak Membuat Kreatif”. Dijelaskan bahwa efek THC sendiri
menurut BNN tidak baik untuk dikonsumsi manusia. Akan tetapi, hingga
sekarang jika BNN mengacu pada UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 yang
menggolongkan ganja sebagai narkotika golongan I tidak valid. Ganja sudah
pertama kali digolongkan sebagai narkotika lewat perarturan VMO pada tahun
1927. Regulasi yang memiliki nama panjang Verdoovende Middelen Ordonnantie
yang dimana peraturan tersebut diperbarui pada tahun 1976 dengan menghasilkan
Undang-Undang baru yaitu UU Narkotika No 9. Tahun 1976. Penggolongan
12
tanaman ganja dari tahun ke tahun tetap mengikuti produk dari VMO. VMO
sendiri adalah draft regulasi yang disusun pada masa kolonial Belanda sewaktu
penjajahan.
Badan penanggulangan permasalahan layaknya BNN hanya berlindung
dibalik regulasi pelarangan tanaman ganja. Argumen ini dipertegas pada akhir
berita (CNN, 8 April 2018).
selama United Nations Office ond Drugs and
Crime (UNODC) masih menyatakan ganja
sebagai narkotik, maka dapat dipastikan BNN
tidak bisa menyebutnya sebagai obat. Kalau PBB
belum merilis ganja sebagai obat, dan bukan
narkotik, maka kami juga belum dapat merilis
ganja sebagai obat.
Dalam udaran diatas dipertegas bahwa BNN mengafirmasi bagaiamana
keikutsertaannya menggolongkan ganja sebagai narkotika tanpa mementingkan
kebutuhan riset. Akhirnya terasa logis jika negara belum pernah melakukan
penelitian tentang tanaman ganja. BNN berasumsi bahwa jika PBB belum
melepaskan tanaman ganja dari narkotika, maka Indonesia belum bisa
mengakui bahwa tanaman ganja dapat dilegalkan. Argumen tersebut
mendukung.
Menurut Siti Zaekhomsyah, sebagai Kepala BNN Samarinda menilai (Tribun, 2018)
Di beberapa Negara memang sudah ada yang
melegalkan ganja, namun masyarakat disana
sudah cukup sadar, dan masyarakat kita belum
siap.
Logika yang digunakan Kepala BNN Samarinda ini mungkin cukup relevan
untuk dijadikan acuan ajang dalam legalisasi ganja. Menurut peneliti memang,
harus banyak ditimbulkan kesadaran secara utuh bagi masyarakat. Untuk
mencapai regulasi terkait legalisasi ganja banyak yang harus dipertimbangkan
selain melakukan riset. Bagaimana kesiapan masyarakat kita dalam
menanggapi legalisasi ganja. Untuk melakukan legalisasi ganja harus banyak
persiapan mulai dari regulasi hingga edukasi.
13
Seperti pada berita yang berjudul “BNN: Tidak ada Negara yang
melegalkan Ganja” (tribun, 2019). Headline berita tersebut dengan jelas
menegaskan bahwa dari keseluruhan negara, tidak ada yang melegalkan
tanaman ganja. Udaran ini diucapkan oleh Arman Depari sebagai Deputi
Pemberantasan Narkotika. Selain itu pada poin berita keempat juga dijelaskan
bahwa “tidak ada negara yang melegalkan ganja, yang benar adalah membeli
denan jumlah yang sudah ditentukan”. Sampai disini, BNN sebagai suatu
badan hukum yang memberantas peredaran narkotika pun belum mengetahui
bahwasannya kata legalisasi belum bisa dimaknai secara kontekstual. Merujuk
KBBI, legalisasi memiliki arti yaitu pengesahan (menurut Undang-Undang atau
hukum) yang berarti dimana kata legalisasi bisa dimaknai ketika tanaman ganja
diregulasi oleh negara untuk bisa dikonsumsi masyarakat lewat prosedur
hukum yang jelas dan ketat. Seperti di Negara Uruguay misalnya, yang
melakukan legalisasi tanaman ganja dari rekreasi, medis, hingga budidaya.
Pengesahan ini di dasari dengan regulasi yang jelas, Dalam masa
kepemerintahan Jose Mujica misalnya, kebijakan ini lahir melalui beberapa
argumentasi (Rivaldo, 2014, p.26)
Pengguna ganja tertinggi berkisar pada umur 20 - 24
tahun dengan jumlah pengguna sebanyak 1761 jiwa,
dengan persentase 22,3. Selain itu usia yang
dikategorikan 15- 34 tahun mencapai 62,3 persen, hal
itu telah melebihi setengah dari persentase
keseluruhan pengguna ganja di Uruguay.
Keputusan/kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah
Uruguay dengan melegalisasikan ganja ini akan
memiliki dampak implikasi yang besar terhadap
masyarakat Uruguay, apabila kebijakan ini menuju
kearah yang salah maka peningkatan jumlah
penggunaan ganja dikalangan usia produktif ini akan
terus semakin meningkat dan ini juga akan berimbas
terhadap peredaran ganja yang akan semakin
meningkat juga. Sebaliknya jika keputusan dengan
melegalisasikan ganja ini tepat, maka penggunaan
ganja di usia produktif dapat terus di tekan angka
penggunanya dan tentunya peredaran ganja di
Uruguay dapat dikurangi dan diawasi oleh Pemerintah
Uruguay.
14
Sampai saat ini kebijakan diatas menawarkan penuruan lahirnya pasar
gelap, selain itu juga pemberdayaan tanaman ganja memiliki angka yang
fantastis dalam ekonomi negara. Penurunan pasar gelap terjadi karena
masyarakat banyak beralih untuk mengonsumsi tanaman ganja daripada
mencoba menggunakan beberapa narkotika lain. Selain itu juga regulasi hukum
juga menjamin masyarakat untuk tidak dilakukan penangkapan, yang nantinya
pembelian hingga pembudidayaan tanaman ganja tertuang dalam regulasi
tersebut. Masyarakat yang berumur 18 tahun bisa menggunakan tanaman ganja
yang didapatnya melalui apotik, sedangkan yang berumur 21-keatas bisa
membudidayakan tanaman ganja maksimal 6 tanaman.
Komunitas yang beranggotakan diatas 50 orang, dapat
membudidayakam tanaman ganja hingga 99 batang. Untuk komunitas, hasil
panen terhadap tumbuhan tersebut hanya dapat dibagikan kepada anggota
komunitas, tidak dapat diperjualbelikan kepada masyarakat yang tidak masuk
komunitas tersebut, terkecuali anak yang dibawah umur. Bila banyak
pelanggaran yang terjadi terkait penyalahgunaan tanaman ganja, pemerintah
tidak segan-segan untuk meregulasi seluruh regulasi yang melegalkan ganja
untuk ditinjau kembali.
besar terhadap masyarakat Uruguay, apabila kebijakan
ini menuju kearah yang salah maka peningkatan
jumlah penggunaan ganja dikalangan usia produktif
ini akan terus semakin meningkat dan ini juga akan
berimbas terhadap peredaran ganja yang akan semakin
meningkat juga. Sebaliknya jika keputusan dengan
melegalisasikan ganja ini tepat, maka penggunaan
ganja di usia produktif dapat terus di tekan angka
penggunanya dan tentunya peredaran ganja di
Uruguay dapat dikurangi dan diawasi oleh Pemerintah
Uruguay.
Sampai saat ini kebijakan tersebut menawarkan penuruan lahirnya pasar
gelap, selain itu juga pemberdayaan tanaman ganja memiliki angka yang
fantastis dalam ekonomi negara. Penurunan pasar gelap terjadi karena
masyarakat banyak beralih untuk mengonsumsi tanaman ganja daripada
mencoba menggunakan beberapa narkotika lain. Selain itu juga regulasi hukum
15
juga menjamin masyarakat untuk tidak dilakukan penangkapan, yang nantinya
pembelian hingga pembudidayaan tanaman ganja tertuang dalam regulasi
tersebut. Masyarakat yang berumur 18 tahun bisa menggunakan tanaman ganja
yang didapatnya melalui apotik, sedangkan yang berumur 21-keatas bisa
membudidayakan tanaman ganja maksimal 6 tanaman.
Selain itu jika terdapat komunitas yang beranggotakan diatas 50 orang,
dapat membudidayakam tanaman ganja hingga 99 batang. Untuk komunitas,
hasil panen terhadap tumbuhan tersebut hanya dapat dibagikan kepada anggota
komunitas, tidak dapat diperjualbelikan kepada masyarakat yang tidak masuk
komunitas tersebut, terkecuali anak yang dibawah umur. Bila banyak
pelanggaran yang terjadi terkait penyalahgunaan tanaman ganja, pemerintah
tidak segan-segan untuk meregulasi seluruh regulasi yang melegalkan ganja
untuk ditinjau kembali. Otomatis, sebenarnya negara juga selain merasa bahwa
PBB belum merumuskan bahwa ganja dapat keluar dari kategori narkotika,
Pemerintah juga merasa bahwa masyarakat belum siap untuk legalisasi ganja.
Terjadi dualisme antara pewacanaan legalisasi ganja. LGN mewakili
narasi counter-discourse, sedangkan BNN mewakili wacana kontra legalisasi
ganja. LGN bersikap resisten pada regulasi narkotika, untuk memaksa
pemerintah melakukan riset dan mengeluarkan tanaman ganja keluar dari
kategori narkotika. Narasi yang dikembangkan LGN dengan membuat UU
Narkotika tampak memiliki nilai anti-kemanusiaan. Dari praktik diskursif
tersebut, LGN menjadi salah satu komunitas di Indonesia yang berani berbicara
mengenai kandungan positif ganja. Bisa jadi dengan akses dan label seperti itu,
ketika Indonesia berani melegalkan ganja, LGN dapat menjadi kartel ganja
terbesar di Indonesia.
BNN sebagai „badan‟ yang menanggulangi peredaran narkoba juga
16
berbicara bahwa ide legalisasi ganja menjadi ide yang dapat merusak generasi
bangsa. BNN sebagai representasi Pemerintah menolak dengan apapun yang
berbicara mengenai legalisasi ganja, berusaha mengkampanyekan „war on
drugs‟ akan tetapi penyebaran narkoba kian membludak. Penjara Indonesia
menjadi over-kapasitas karena kasus Narkoba. Dengan akumulasi makin
banyak pengguna narkoba, maka kampanye „war on drugs‟ menjadi percuma.
Nyatanya, oknum lain menikmati uang hasil narkoba tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis, wacana legalisasi ganja medis dalam website
lgn.or.id bukan suatu yang taken for granted. Wacana legalisasi ganja adalah
diskursus yang dinamis, lahir karena penolakan terhadap penggunaan tanaman
ganja yang digolongkan kedalam golongan I yang dilarang. Dalam situs web
lgn.or.id pewacanaan legalisasi ganja medis terjadi dengan dua sikap dominan.
Sikap resisten terhadap UU Narkotika No.35 tahun 2009. Kedua adalah sikap
yang melihat UU Narkotika No.35 tahun 2009 membawa nilai anti-kemanusiaan.
Nilai anti-kemanusiaan tersebut didukung bagaimana BNN menolak legalisasi
ganja.
Selain itu, dalam praktik sosial-budaya LGN sebagai sebuah organisasi
memiliki visi yang resisten dengan hukum yang berlaku. Kampanye yang terus
disuarakan oleh LGN selalu bertolak belakang terhadap UU Narkotika No. 35
Tahun 2009. Yayasan Sativa Nusantara (YSN) sebagai badan riset yang dibentuk
oleh LGN pernah mengajukan riset ganja medis, akan tetapi tidak dilanjutkan
kembali oleh pihak Kementrian Kesehatan. Pengobatan menggunakan ganja telah
dilakukan oleh beberapa masyarakat Aceh sebagai obat tradisional. Selain itu,
informasi mengenai ganja sebagai medis tersebar luas pada media online.
Terdapat dualisme yang hadir antara LGN dan Negara dalam melihat
tanaman ganja. BNN sebagai Badan Narkotika Nasional menolak ide legalisasi
ganja medis, karena ide tersebut hanya membantu menghacurkan masa depan
generasi bangsa. Negara melalui BNN tetap mengafirmasi UU Narkotika yang
17
mengikuti kebijakan PBB dalam melarang peredaran tanaman ganja. Alih-alih
ingin melegalkan, BNN semakin banyak melarang peredaran apapun yang
memiliki kandungan cannabis sativa. LGN juga tetap berkampanye meskipun
negara tetap melarang peredaran ganja dan menggolongkannya sebagai narkotika.
Terdapat tiga poin yang didapat mengenai pewacanaan legalisasi ganja medis
oleh LGN. Poin pertama dalam teks yang menjadi penanda adalah, regulasi
narkotika memiliki nilai anti-kemanusiaan. Karena, jika negara tidak memandang
ganja sebagai tanaman terlarang, maka Yeni Indrawati nyawanya masih bisa
terselamatkan, yang akhirnya Fidelis tidak perlu dipenjara. Poin kedua
menjelaskan bahwa sikap resisten yang diudar oleh LGN melalui artikel
menjelaskan bagaimana pasar gelap sebenarnya yang berusaha dilawan oleh
LGN. LGN berpendapat bahwa, ketika ganja legal, maka ganja dalam pasar gelap
(blackmarket) yang dikuasai oleh kartel akan hilang. Karena semua masyarakat
akan beralih pada pasar yang legal. Pasar gelap yang menjual ganja akan
bangkrut karena ganja sudah legal, dan akhirnya ganja dapat menyumbang
pertambahan ekonomi negara.
Poin yang ketiga adalah dualisme yang dihasilkan oleh LGN dan BNN
terkait tanaman ganja. Kedua pihak melihat tanaman ganja dengan kacamata pro
dan kontra. Dualisme yang dimaksud peneliti, dari pihak LGN melihat tanaman
ganja sebagai tanaman yang pantas untuk dilegalisasikan. Sedangkan BNN
melihat tanaman ganja yang tidak dapat dilegalisasikan. Kedua dualisme tersebut
sama-sama berbicara mengenai satu hal, yaitu ganja.
18
Daftar Pustaka:
Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi: marxisme strukturalis, psikoanalisis.
cultural studies Yogyakarta: Jalasutra.
BAPPENKAR, 1972, Perang Total Melawan Narkotika. Surabaya: BAPPENKAR
Jawa Timur.
Burton, Tim, 1999, An Unauthorized Biography of the filmmaker, London,
Renaissance Books.
Eriyanto. 2005, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKis.
George, Ritzer. 2003. Teori Sosial Post Modern. Yogyakarta: kreasi wacana.
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa. Jakarta:
Granit.
Hendrick, S. S., & Hendrick, C. (1992). Romantic love. Newbury Park: Sage.
Hidayat, Komarudin. 2004. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Bandung: Teraju.
Kridalaksana, Harimurti. (2011). Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama.
Lerman, C L Terjemahan Mahyuddin, I 2010, „Wacana Dominan: Suara Institusional
dan Kendali Topik‟, Davis, H dan Walton, P, Bahasa Citra, Media,
Yogyakarta, p. 75-122.
Mc Quail, Dennis. 2000. Mc Quail‟s Communication Theory (4Th edition). London:
Sage Publications.
Mc Quail, Dennis. 2002. Media Perfomance: Mass Communication and the Public
Interest. London: Sage Publications
Narwaya, T G 2010, Kuasa Stigma dan Represi Ingatan, Resist Book.
Pabotinggi, Mochtar., 1991, Komunikasi Politik Dalam Transformasi Ilmu Politik.
Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi, Prisma No.1 Tahun XVIII, 1989, Jakarta,
LP3ES.
19
Scott, James, S. 2012. Senjata Orang-Orang Kalah : Bentuk Perlawanan Sehari-
hari Kaum Tani. Terjemahan oleh Sajogyo. Jakarta: Yayasan Obor
20
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tim Lingkar Ganja Nusantara, 2019, Hikayat Pohon Ganja, Jakarta, Gramedia
Pustaka.
Skripsi, Thesis atau Disertasi:
Kusumawardhani, Yuni (2014). Konstruksi Sosial Pengurus Organisasi Lingkar
Ganja Nusantara terhada Ganja di Indonesia, Skripsi, Universitas Airlangga.
Musthafa, Bisri (2017). Wacana Komunisme dalam Pilpres tahun 2014 di Indonesia
pada Portal berita Online Tempo.co dan Republika.co.id, Skripsi, Universitas
Airlangga
Rivaldo, Edward. 2014. Kebijakan Pemerintah Uruguay Melanggar Hasil Konvensi
Tunggal 1961 Berkaitan dengan Narkotika dan Psikotropika. Skripsi.
Universitas Riau.
Tama, Fajar K. 2018. Upaya Pemerintahan Belanda dalam Membatasi Penggunaan
Ganja. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Malang.
Wadipalapa, R P (2010). Reproduksi Komunisme dalam Perfilman Indonesia Pasca
Orde Baru‟, Skripsi, Universitas Airlangga.
Wibisono, Arief. (2017). Wacana Legalisasi Ganja Oleh Lingkar Ganja Nusantara
Sebagai Bentuk Resistensi Atas Undang Undang Narkotika. Skripsi,
Universitas Airlangga.
21
Jurnal:
Piliang, Y A. 2005, „Cyberspace dan Perubahan Sosial: Eksistensi, Identitas, dan
Makna‟, dalam Jurnal Balairung, Edisi 39. BPPM UGM Balairung,
Yogyakarta.
Jurnal yang ditulis oleh Bertha K. Madras (2015) dengan judul Update Cannabis and
its medical use, Psychiatry Of Journal, McLean Hospital Alcohol and Drug
Abuse Research Program, Harvard Medical School, Belmont.
Web:
Bayhaqi, Ahda, 2018, Amankan bisnis narkoba napi Karutan Purworejo terima
Rp. 300 Juta, diakses 5 Januari 2019, dari
https://www.merdeka.com/peristiwa/amankan-bisnis-narkoba-napi-karutan-
purworejo-terima-rp-300-juta.html
BBC Magazine, 2018, Buntoon Niyamapha di Thailand juga mencoba obat ganja,
diakses 6 Januari 2019, dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-42781125
BBC, 2018, Larangan ganja untuk pengobatan ganjil dan kejam, diakses 7 Januari
2019, dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-44516458
Berlianto, 2014, Dua hari dilegalkan di Kanada Kehabisan Ganja, diakses 5
Desember 2018 dari https://international.sindonews.com/read/1347975/42/dua-
hari-dilegalkan-kanada- kehabisan-ganja-1540111460
Cbc News, 2018, Global Marijuana March, diakses 8 Desember 2018, dari
https://www.cbc.ca/news/canada/toronto/global-marijuana-march-1.4650322
CNN Investigasi, 2016, Demam Ganja di Indonesia, diakses 10 Desember, dari
https://www.cnnindonesia.com/laporanmendalam/nasional/20160919/demamganja-
di-indonesia/index.php
Erdianto, Kristian, 2017, Menurut Menkes belum ada penelitian yang buktikan
ganja bisa jadi obat, diakses 8 Januari 2019, dari
https://nasional.kompas.com/read/2017/08/03/18364511/menurut-menkes-belum-ada-
penelitian-yang-buktikan-ganja-bisa-jadi-obat
Ferdian, Happy, 2018, Rakyat Kanada bangga negaranya jadi surga ganja terbersar
kedua di Dunia. diakses 7 Januari 2019, dari
https://www.liputan6.com/global/read/3670049/rakyat-kanada-bangga-negaranya-jadi-
surga-ganja-terbesar-kedua-di-dunia
22
Kurnia, Yohane, 2017, Ini isi nota pembelaan Fidelis yang membuat haru
pengunjung Sidang, diakses 8 Desember 2018, dari
https://regional.kompas.com/read/2017/07/24/07120771/ini-isi-nota-
pembelaan- fidelis-yang-membuat-haru-pengunjung-sidang?page=all.
Liputanrakyat.com, 2019, Senator Fachrul Razi, Manfaat ganja untul selamatkan
nyawa perlu jadi pertimbangan, diakses 11 Januari, dari
http://liputanrakyat.com/senator-fachrul-razi-manfaat-ganja-untuk-selamatkan-nyawa-
perlu-jadi-pertimbangan-hukum/
Munthalib, Abdul, 2018, „Uang rokok‟ Rp 2 Juta, Narkoba lolos pemeriksaan lapas,
diakses 13 Januari 2019, dari https://radarmalang.id/uang-rokok-rp-2-juta-narkoba-lolos-
pemeriksaan/
Rahma, Andita, 2019, Polisi sebut Andir Arief sudah lama gunakan sabu,
diakses 12 Januari 2019, dari https://nasional.tempo.co/read/1182191/polisi-sebut-
andi-arief-sudah-lama-gunakan-sabu/full&view=ok
Rantung, Ravi, 2018, Pelukis Tommy Tanggara kembali ditangkap karena
Narkoba, diakses 10 Januari 2019, dari
https://celebrity.okezone.com/read/2018/10/23/33/1967573/pelukis-tommy-tanggara-
kembali-ditangkap-karena-narkoba
Roy, Carlos, 2019, BNN: Ganja untuk pengobatan belum diperlukan, diakses 12
Januari 2019, dari https://www.beritasatu.com/nasional/544938/bnn-ganja-untuk-
pengobatan-alternatif- belum-diperlukan
Sugiyanto, 2018, Oknum sipir lapas Lubukpakam terima Rp. 50 juta perminggu dari
bandar Narkoba, diakses 14 Januari, 2019, dari
http://www.tribunnews.com/regional/2018/09/24/oknum-sipir-lapas-lubukpakam-terima-
rp-50-juta-per-minggu-dari-bandar-narkoba
Suprianto, Agus, 2018, Daerah Maluku, Sipir lapas temukan 8 tanaman ganja di
blok tahanan narkoba, diakses 13 Januari 2019, dari
https://www.inews.id/daerah/maluku/sipir-lapas-ternate-temukan-8-tanaman-ganja-di-
blok-tahanan-narkoba/315706
Syadri, Muhammad, 2017, DPR setuju ada penelitian tanaman ganja untuk
pengobatan, diakses 9 Januari 2019, dari
https://www.jawapos.com/nasional/humaniora/03/04/2017/dpr-setuju-ada-penelitian-
tanaman-ganja-untuk-pengobatan
Tobing, Sorta 2017, Budi Waseso: yang mau melegalkan ganja itu pengkhianat
bangsa, diakses 9 Januari 2019, dari https://beritagar.id/artikel/bincang/budi-
waseso-yang-mau-melegalkan-ganja-itu-pengkhianat-bangsa
Widya, Aditya, 2017, Momentum legalisasi ganja untuk medis, diakses 8
Januari 2019, dari https://tirto.id/momentum-legalisasi-ganja-untuk-medis-cl8Z
23
Wiwoho, Bimo, 2018, BNN 50 persen peredaran narkoba dikendalikan dari
penjara, diakses 10 Desember 2018, dari
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170713145408-12-227647/bnn-50-persen-
peredaran-narkoba-dikendalikan-dari-penjara
Yamani, Zaki, Menuju jalan Panjang pelegalan Marijuana, diakses 10 Januari
2019, dari https://www.dw.com/id/menuju-jalan-panjang-pelegalan-mariyuana-di-
indonesia/a-44566925
__,__, 2018, Understanding differences hemp, cbd, marijuana, diakses 10 Januari 2019,
dari http://winterridgefoods.com/understanding-differences-hemp-cbd-marijuana/