crp nycocard
DESCRIPTION
CRP nycocard vs LAtex aglutinationTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Sepsis merupakan salah satu penyakit kritis pada masa neonatus.
Insidensi sepsis pada neonatus di Negara maju seperti Amerika dan Eropa berkisar
antara 1 hingga 8 per 1000 kelahiran hidup.1 Sedangkan di Negara berkembang
seperti di India dan Indonesia, angka kejadiannya 34-37 per 1000 kelahiran hidup,
di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2009 insidensi sepsis
adalah 98 per 1000 kelahiran hidup, angka kejadian yang tinggi ini karena RSCM
merupakan senter pelayanan tersier dan pusat rujukan, seperti halnya di RSUP Dr
Sardjito.7 Angka Kematian pada sepsis neonatorum cukup tinggi, yaitu pada
beberapa literature dilaporkan bisa mencapai 30% hingga 69%, angka tertinggi
dilaporkan terjadi di negara berkembang .1,20,21
Terminologi infeksi neonatus adalah semua infeksi pada neonatus
kecuali diare dan tetanus. Sepsis dan pneumonia merupakan infeksi neonatus
yang paling sering terjadi. Sepsis neonatus merupakan suatu infeksi dalam darah
yang disebabkan oleh sejumlah bakteri. Escherichia coli (E. coli), Listeria, dan
beberapa golongan Streptococcus merupakan penyebab terbanyak sepsis neonatus
pada beberapa negara, termasuk di negara berpendapatan rendah seperti
Indonesia. 8
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis pada neonatus dibagi menjadi
dua yaitu early-onset neonatal sepsis dan late-onset neonatal sepsis. Early-onset
neonatal sepsis terlihat dalam minggu pertama kehidupan, paling sering muncul
pada3 hari pertama kehidupan, terutama dalam 24 jam paska kelahiran, hal ini
terjadi karena bayi terinfeksi dari si ibu sebelum atau selama persalinan. Kelahiran
prematur, ketuban pecah lebih dari 24 jam sebelum persalinan, infeksi jaringan
tali pusat atau cairan amnion merupakan faktor risiko terjadinya Early-onset
neonatal sepsis . Sedangkan late-onset neonatal sepsis terjadi setelah hari ke-8
pasca persalinan. Penggunaan infus intravena dan rawat inap di rumah sakit untuk
waktu yang lama dapat meningkatkan risiko terjadinya late-onset neonatal sepsis. 8,21
Diagnosis infeksi sistemik menjadi suatu tantangan yang kerap
dihadapi pada seting neonatal intensive care, dimana membedakan gejala dan
1
tanda klinis antara penyebab infeksi atau non-infeksi pada neonatus sakit sering
menyulitkan klinisi. Neonatus kerap kali tidak menampakkan gejala dan tanda
yang khas, gejala yang membuat bayi baru lahir dirawat dengan tersangka sepsis
adalah sesak napas, letargis, hipotermia, dan gejala di saluran cerna seperti
muntah serta perdarahan saluran cerna. sedangkan diagnosa definitif yang
berbasis pada hasil kultur baik darah, cairan serebrospinal atau urin memerlukan
waktu lama, hasil biasanya didapat setelah beberapa hari, sehingga menyebabkan
tertundanya perawatan yang dapat meningkatkan morbiditas maupun mortalitas
yang cukup signifikan.2,3,4,7
Praktek saat ini dimana pemberian antibiotik empirik pada semua
neonatus dengan gejala menyerupai sepsis ternyata memberikan efek yang tidak
diinginkan seperti peningkatan biaya perawatan, komplikasi nosokomial bahkan
terbentuknya strain kuman yang resisten. Sehingga diagnosis dini pada sepsis
neonatorum menjadi krusial untuk mencegah kondisi neonatus jatuh pada
keluaran yang buruk, terutama pada early-onset neonatal sepsis.
Beberapa tahun terakhir ini para peneliti mulai mencari parameter
diagnostik yang dapat secara cepat membedakan antara neonatus yang memiliki
gejala dan tanda karena sepsis mikroba ataupun yang memiliki gejala dan tanda
yang serupa namun dengan penyebab non-bakterial. 5,6,7
Peran uji laboratoris dapat membantu dalam menegakkan diagnosa
sepsis neonatus serta mengidentifikasi jenis bakteri yang menyebabkannya
sebetulnya cukup penting, diantaranya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
bikan kuman baik darah maupun urin, C-reactive protein (CRP) , pemeriksaan
darah lengkap serta hitung jenis dan jika dibutuhkan pemeriksaan cairan
serebrospinal (CSS) untuk menilai adanya bakteri di CSS.8
Walaupun perkembangan teknik diagnostik semakin maju, belum ada
yang dianggap setara dengan hasil kutur yang sayangnya membutuhkan waktu
yang lama sekurangnya hingga 48 jam, sehingga bayi-bayi dengan gejala dan
tanda klinis mengarah kepada klinis sepsis, biasanya telah diberikan terapi
antibiotic spectrum luas bahkan saat hasil uji laboratorium belum diterima.8
2
Dari waktu ke waktu pemeriksaan jumlah leukosit dan CRP
merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan oleh ahli penyakit anak
untuk menegakkan diagnosa penyakit infeksi maupun menkonfirmasi atau
monitor efek dari suatu terapi.14
CRP pertama kali diperkenalkan oleh Tillet dan Francis dari
universitas Rockefeller pada tahun 1930. Mereka meneliti tentang reaksi
presipitasi antara serum dari pasien yang menderita pneumonia pneumokokus
akut dengan ekstrak fraksi C polisakarida dari dinding sel pneumokokus, reaksi
ini tidak dapat dilihat ketika menggunakan serum dari kontrol sehat ataupun
serum dari pasien yang sama setelah sembuh. Karena fraksi C polisakarida
merupakan suatu protein, maka komponen C-reaktif pada serum dinamakan C-
reactive protein. 5
CRP merupakan salah satu protein fase akut yang konsentrasinya
dalam darah dapat meningkat kurang dari 1g/mL hingga lebih dari 600-1000g/mL
selama peningkatan respon fase akut. Waktu paruh CRP adalah kurang lebih 19
jam. Kadar CRP akan mulai meningkat 4 hingga 6 jam setelah onset gejala
maupun tanda infeksi atau kerusakan jatringan, dan kadarnya mencapai puncak
pada 24 hingga 48 jam kemudian dan menghilang segera setelah proses inflamasi
atau infeksi membaik.9,21
Dengan alasan ketersediaan, kemudahan, kecepatan dan alasan
ekonomis, deteksi CRP menjadi pemeriksaan yang banyak dilakukan pada kondisi
inflamasi maupun infeksi. Selain itu CRP juga dapat membantu dalam melakukan
diferental diagnosis pada manajemen sepsis atau meningitis pada neonatus dimana
pemeriksaan rujukan seperti biakan kuman memerlukan waktu yang cukup
lama.9,21
Pemeriksaan CRP ini mulanya menggunakan teknik kualitatif maupun
semi-kuantitatif dengan metode salah satunya aglutinasi lateks, metode ini lebih
sering digunakan dalam menyingkirkan diferential diagnosis, karena seberapapun
derajat inflamasinya akan memeberikan hasil positif.
3
Saat ini digunakan pula teknik kuantitatif yang diduga lebih akurat,
diantaranya menggunakan metode laser nephlometry, turbidimetric immunoassay,
chromatographic immunoassay. 9,10
Kedua metode baik aglutinasi lateks maupun chromatographic
immunoassay dalam pemeriksaan CRP telah banyak digunakan, termasuk di
negara berkembang seperti di Indonesia dan di RSUP Dr Sardjito sendiri.
Insidensi sepsis pada neonatus di berbagai negara maju cukup tinggi,
sedangkan di negara berkembang seperti halnya di Indonesia angka ini bahkan
jauh lebih tinggi yaitu sekitar 34-37 per 1000 kelahiran hidup.7
Diagnosis sepsis maupun kejadian infeksi pada neonatus kerap
menjadi tantangan tersendiri bagi klinisi, karena sering kali tidak menampakkan
gejala dan tanda yang khas, dan karena angka kematian pada sepsis neonatus ini
sangat tinggi bahkan bisa mencapai 50% pada kasus yang tidak diterapi dengan
tepat, diagnosa dini pada kasus ini menjadi sangat penting, termasuk diantaranya
pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yang menjadi ujung tombak penentuan
diagnosa dan tatalaksana kasus ini dengan cepat dan tepat.
Peran uji laboratoris sangat besar dalam membantu dalam skrining
sepsis neonatus, salah satunya adalah pemeriksaan CRP. Peneliti ingin mencoba
membandingkan hasil pemeriksaan CRP kualitatif metode aglutinasi lateks yang
sangat sederhana, tidak memerlukan peralatan khusus dan petugas dengan
ketrampilan tertentu yang sangat dapat diaplikasikan di fasilitas kesehatan tingkat
pertama dibandingkan dengan metode kuantitatif chromatographic immunoassay
yang telah digunakan di RSUP Dr Sardjito saat ini.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang dilakukan di
Instalasi Laboratorium Klinik RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta. Populasi penelitian
adalah bayi yang melakukan pemeriksaan CRP di instalasi laboratorium klinik
RSUP Dr Sardjito. Kriteria inklusi adalah neonatus, yang kriterianya yaitu bayi
usia 0 hari sampai 28 hari yang melakukan pemeriksaan CRP kuantitatif di
Instalasi Laboratorium Klinik RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Kriteria eksklusi
4
adalah sampel neonatus yang jumlah sampelnya tidak mencukupi untuk
pemeriksaan CRP kualitatif, juga pada kondisi sampel yang menjendal dan
lipemik. serta sampel yang tidak dapat ditelusuri data pada catatan medisnya.
BAHAN DAN CARAPemeriksaan CRP kuantitatif dilakukan menggunakan metode
chromathographic immunoassay. Sedangkan pemeriksaan CRP kualitatif
dilakukan menggunakan metode aglutinasi latex.
Sampel serum yang telah dilakukan pemeriksaan CRP kuantitatif
kemudian dilakukan pengumpulan dan penyimpanan dalam pendingin suhu -20ºC
untuk menjaga stabilitas sampel. Kemudian dilakukan thawing pada saat akan
dilakukan pemeriksaan CRP kualitatif secara serentak.18
Pemeriksaan CRP dilakukan sesuai petunjuk dari pabrikan.
Pemeriksaan CRP menggunakan metode kromatografi nycocard menggunakan
metode sandwich immunoassay, pada prinsipnya pada sumuran terdapat suatu
membran yang telah terlapisi antibody monoclonal spesifik terhadap CRP,
kemudian sample yang telah diencerkan diteteskan kedalam sumuran, , ketika
sampel melewati membran yang terdapat pada sumuran, makanakan ditangkap
oleh antibody yang telah menempel pada membran tersebut., kemudian protein
CRP yang terjebak pada membran di dalam sumuran ini kemudian akan mengikat
konjugat yang akan ditambahkan kemudian, konjugat yang tidak terikat pada
protein CRP akan dihilangkan pada proses pencucian pada penambahan washing
solution, ketika terdapat protein CRP pada sampal,membran dalam sumuran akan
berubah warna menjadi coklat kemerahan dengan intensitas warna sesuai dengan
kadar CRP yang terkandung dalam sampel yang kemudian intensitas warna ini
akan dibaca menggunakan Nycocard Reader II. metode tersebut seperti tertera
pada gambar 1.18
5
Gambar 1. Prosedur pemeriksaan CRP kuantitatif nycocard. 18
Pemeriksaan CRP kualitatif menggunakan metode aglutinasi latex,
pada prinsipnya terdapat suatu latex yang telah dilapisi suatu antibody antihuman
CRP, yang kemudian akan mengalami aglutinasi ketika dicampurkan dengan
sampel yang mengandung CRP. Adanya aglutinasi mengindikasikan konsentrasi
latex ≥ 6 mg/L. sebelum memulai pemeriksaan, sampel dan reagen harus
dikondisikan ssuai suhu ruangan, karena sensitivitas metode ini akan turun pada
suhu rerndah, kemudian tempatkan 50µL sampel, kontrol positif dan kontrol
negative pada lingkaran slide yang berbeda, kemudian campurkan reagen latex
menggunakan rotator senbelum dipergunakan, kemudian tambahkan reagen lateks
tersebut sebanyak 50µL kedalam sampel, kontrol positif dan konrol negative,
kemudian campurkan menggunakan pengaduk hingga merata didalam seluruh
lingkaran, kemudian letakkan diatas rotator dan campurkan selama 2 menit,
kemudian bacalah hasilnya. Prinsip metode tersebut seperti tertera pada gambar 2.
6
gambar 2. Prinsip aglutinasi lateks
Data subyek didapatkan dari catatan medik pasien di instalasi catatan
medik, meliputi identitas subyek, gejala klinis, diagnosis, hasil biakan kuman.
Hasil pemeriksaan laboratorium hematologi didapatkan dari sub bagian
hematologi Instalasi Laboratorium Klinik, sedangkah hasil pemeriksaan CRP
kuantitatif didapatkan dari sub bagian immunologi instalasi laboratorium klinik.
Karakteristik subyek ditampilkan dalam tabel berdasarkan umur,
diagnosis, Jumlah leukosit, IT dan IM, hasil kultur, serta hasil CRP kualitatif dan
kuantitatif.
ANALISA STATISTIK
Analisa data dilakukan dengan analisa statistic chi square atau fisher
test antara berbagai parameter laboratoris terhadap diagnosa klinis untuk
mengetahui kemaknaan hubungannya, dikatakan bermakna jika p<0.05.
Kemudian dilakukan uji diagnostik untuk pemeriksaan CRP kualitatif
dibandingkan dengan CRP kuantitatif metode CRP sandwich immunoassay
sebagai metode standar.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada awalnya dikumpulkan sebanyak 100 sampel penelitian, namun
selama proses pengumpulan data, didapatkan hanya enam puluh tujuh sampel
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang kemudian dijadikan sampel
dalam penelitian ini, Usia subyek penelitian berkisar antara 0 hari hingga 26 hari,
pada penelitian ini diagnosa paling banyak adalah sepsis, kemudian untuk
mempermudah analisa, dikelompokkan menjadi diagnosa sepsis dan non sepsis.
Rerata pemeriksaan angka leukosit adalah 13.18±11.83, dari 67 subyek penelitian
16 sampel diantaranya dengan leukositosis, 36 sampel dalam rentang normal, dan
5 sampel dengan leukopenia. Sedangkan hasil biakan bakteri dari sampel darah
subyek penelitian, 38 sampel diantaranya memberikan hasil positif, 5 sampel
memberikan hasil negatif dan 27 sampel tidak dilakukan pemeriksaan biakan
darah. Hasil pemeriksaan IT pada sampel penelitian, 9 sampel memeberikan nilai
>0.2 dan 18 sampel memberikan hasil ≤ 0.2. Sedangkan untuk perhitungan IM, 9
sampel memeberikan nilai ≥0.3 dan 18 sampel memberikan hasil < 0.3, seperti
tertera pada tabel berikut ini
Tabel 1. Karakteristik subyek
Parameter jumlahMedian (Min-Max)/
mean ± SDUsia (1-26 hari)Diagnosa infeksi bakteri/sepsis 42
non infeksi bakteri 25kultur positif 38
negatif 5CRP kualitatif positif 53
negatif 14CRP kuantitatif positif 54 24 (5-150)
negatif 13Jumlah leukosit leukositosis 16 13.18±11.83
normal 36leukopeni 5
IT >0.2 9 0.09 (0.02-0.4)≤0.2 18
IM ≥0.3 9 0.09 (0.02-0.8)<0.3 18
8
Pada sampel penelitian didapatkan berdasarkan pemeriksaan CRP
kualitatif aglutinasi lateks, 53 sampel memberikan hasil positif dan 14 sampel
mmeberikan hasil negative, sedangkan menggunakan pemeriksaan CRP
kuantitatif immunoturbidimateri, 54 sampel memberikan hasil positif dan 13
sampel memberikan hasil negatif. Sehingga terdapat 1 sampel yang tidak
memberikan keseragaman hasil CRP dari kedua metode, sampel ini menggunakan
metode aglutinasi lateks didapatkan hasil yang negatif, dan pada sampel yang
sama menggunakan metode kuantitatif kromatografi immunoassay didapatkan
hasil CRP 7 mg/L.
Pada penelitian ini terdapat satu sampel yang memberikan
ketidaksesuaian hasil CRP, ketidaksesuaian ini diduga karena kadar CRP yang
belum terlalu tinggi, sehingga metode aglutinasi lateks belum mampu
memberikan reaksi positif berupa aglutinasi, dimana pada metode ini berdasarkan
panduan dari pabrikan, akan memberikan hasil positif atau terjadi aglutinasi pada
hasil CRP 6mg/L
Kemudian dilakukan analisa statistik antara berbagai parameter
laboratoris dengan diagnose klinis, analisa ststistik menggunkan analisa korelasi
fisher dan analisa perbedaan non parametrik antara rerata dua kelompok tidak
berpasangan menggunakan analisa statistic spearman, hasilnya sebagaimana
tertera pada tabel 2 dan 3 berikut ini.
9
Tabel 2. Korelasi hasil laboratorium dengan diagnosa klinis
Parameter Diagnosa klinis pSepsis Non Sepsis
CRP kuantitatif Pos 41 13 0.169Neg 7 6
CRP kualitatif Pos 40 13 0,196Neg 8 6
Kultur Pos 38 0 0.011Neg 3 2
Jumlah leukosit Leukositosis 15 1 0.142Normal 26 9
IT >0.2≤0.2
817
11
1.00
IM ≥0.3<0.3
817
11
1.00
Pada tabel 2, hasil analisa statistik korelasi diatas menunjukkan bahwa
hanya parameter biakan kuman saja yang memiliki korelasi bermakna dengan
diagnose klinis, hal ini sesuai dengan kriteria penegakkan diagnosa sepsis yang
menjadikan adanya bukti infeksi termasuk diantaranya tumbuhnya biakan kuman
sebagi salah satu kriteria sepsis.
Analisa perbedaan dengan analisa nonparametrik mann whitney
digunakan untuk menilai perbedaan rerata hasil laboratorium terhadap diagnosis
klinis, hasilnya hanya parameter jumlah leukosit saja yang terdapat perbedaan
bermakna antara kelompok sepsis dan non sepsis, serta tidak terdapat perbedaan
bermakna antara rerata pada parameter CRP, IT dan IM antara kelompok sepsis
dan non sepsis. sebagaimana tertera pada tabel 3 berikut ini,
10
Tabel.3 perbandingan rerata beberapa parameter laboratoris terhadap diagnosa klinis
Parameter Sepsis
Median (Min-Max)
Non Sepsis
Median (Min-Max)
p
CRP 24 (5-150) 77.3 (5-150) 0,82
Jumlah leukosit 9,9 (3,28-17) 5,75 (5,7-10,12) 0,04
IT 0,08 (0,02-0,28) 0,24 (0,09-0,4) 0,57
IM 0,09 (0,02-0,39) 0,45 (0,1-0,8) 0,51
Terdapat perbedaan bermakna antara jumlah leukosit pada kelompok
sepsis dan non sepsis, hal ini wajar saja karena leukositosis merupakan salah satu
kriteria diagnosa sepsis.
Pada penelitian ini CRP kuantitatif metode kromatografi
immunoassay dijadikan metode standar, karena performa metode ini dikatakan
cukup baik pada beberapa penelitian, dan berkorelasi baik dengan metode lain
seperti immunoturbidimetri dan nephelometri, seperti pada penelitian oleh petter
et al, yang menyimpulkan bahwa hasil pemeriksaan CRP kuantitatif Nycocard
berkorelasi (r: 0,96) baik dengan metode kuantitatif immunoturbidimetri dengan
Cobas Bio.13. Serta penelitian Enrico et al. yang melaporkan bahwa terdapat
korelasi yang baik antara metode kromatografi immunometri dengan metode
nephelometri pada suyek bayi baru lahir.12
Pada penelitian ini didapatkan dari pemeriksaan CRP kualitatif
aglutinasi lateks, 53 sampel memberikan hasil positif dan 14 sampel mmeberikan
hasil negatif, sedangkan menggunakan pemeriksaan CRP kuantitatif
immunoturbidimateri, 54 sampel memberikan hasil positif dan 13 sampel
memberikan hasil negatif sebagaimana tertera pada tabel 4 berikut ini
Tabel 4. Hasil pemeriksaan CRP kualitatif dan kuantitatif
CRP Kuantitatif
Positif (>6) Negatif (≤6)
CRP Kualitatif Positif 53 0
CRP Kualitatif Negatif 1 13
11
Hasil pemeriksaan CRP analisa uji diagnostik, dengan metode
kromatografi immunoassay sebagai pemeriksaan standar, dari uji diagnostik ini
didapatkan sensistivitas CRP aglutinasi lateks adalah 98,15% dan spesifisitasnya
adalah 100%, nilai ramal positif 100%, dan nilai ramal negatif 92,86%. Hal ini
sesuai dengan penelitian Nicholas et al yang membandingkan CRP lateks
aglutinasi dengan CRP metode immunoturbidimetri dengan hasil sensitivitas
untuk CRP lateks aglutinasi adalah 95%, sedangkan spesifisitasnya 100%, atau
peelitian oleh Zeaei et al yang membandingkan tiga merek pemeriksaan CRP
kualitataif lateks aglutinasi dengan CRP chromatography immunoassay seperti
halnya nycocard dengan hasil sensitivitas sekitar 85% dan spesifisitas kurang
lebih sekitar 85%, berbeda dengan penelitian Damecha et al yang
memebandingkan CRP lateks aglutinasi dengan metode immunoturbidimetri yang
menyatakan sensitivitas CRP lateks hanya 57,42% dan spesifisitasnya 100%.9,16,17
CRP kualitatif aglutinasi latex merupakan pemeriksaan CRP yang
sederhana, membutuhkan waktu pemeriksaan hanya 2-3 menit per sampel, tanpa
membutuhkan peralatan yang mahal. Karena pemeriksaan ini sangat sederhana
baik prosedur dan interpretasinya maka pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh
petugas dengan ketrampilan yang minimal. Selain itu jumlah sampel yang
digunakan juga sangat sedikit, sehingga sangat cocok untuk pasien neonatus dan
pada laboratorium dengan fasilitas minimal, namun penilaian hasil pemeriksaan
ini bersifat sangat subjektif yaitu dengan cara visual, sehingga bisa menjadikan
misinterpretasi.
Pada penelitian ini terdapat satu sampel yang memberikan
ketidaksesuaian hasil CRP, dimana saat menggunakan metode aglutinasi lateks
didapatkan hasil yang negatif, pada sampel yang sama menggunakan metode
kuantitatif kromatografi immunoassay didapatkan hasil CRP 7 mg/L atau sudah
diatas normal, sehingga terapat ketidaksesuaian, walaupun pada metode kualitatif
berdasarkan panduan dari pabrikan, akan memberikan hasil positif atau terjadi
aglutinasi pada hasil CRP > 6mg/L . ketidaksesuaian ini diduga karena kadar
antigen CRP dalam serum yang belum terlalu tinggi, sehingga metode aglutinasi
12
lateks belum mampu memberikan reaksi positif berupa aglutinasi walaupun telah
ada ikatan antigen-antibodi, hal ini dikarenakan prezone effect.
Kesimpulan
Dengan mempertimbangkan faktor kepraktisan, pemeriksaan CRP
kualitatif dapat digunakan untuk pemeriksaan CRP pada neonatus untuk skrining
deteksi dini adanya kemungkinan sepsis, namun metode ini memiliki keterbatasan
diantaranya adalah kurang sensitif pada kadar CRP yang mendekati normal atau
hanya sedikit meningkat, sehingga kurang sesuai digunkakan pada inflamasi
ringan, juga pada laboratorium dengan jumlah pemeriksaan yang besar, dimana
metode otomatik menggunakan alat immunoassay analyzer otomatik dapat
dijadikan pilihan
13
Daftar Pustaka
1. Ayazi, P., Daneshi, M.M. & Hashemi, H.J., 2007. The Role of Serial Serum C-Reactive Protein Level in the Diagnosis of Neonatal Infection. iranian journal of pediatric society, 1(1), pp.47–51.
2. Chiesa, C. et al., 2003. C-Reactive Protein, Interleukin-6 and Procalcitonin in the Immediate Postnatal Period : Influence of Illness Severity , Risk Status , Antenatal and Perinatal Complications , and Infection. clinical chemistry, 68, pp.60–68.
3. B, C.S., Viren, V. & B, C.B., 2012. C-REACTIVE PROTEIN ( CRP ) IN EARLY DIAGNOSIS OF NEONATAL SEPTICEMIA Correspondence : national journal of medical research, 2(3), pp.276–278.
4. Benitz, W.E. et al., 1998. Serial serum C-Reactive Protein Levels in the diagnostic of Neonatal Sepsis. Pediatrics, 102(4).
5. Hofer, N., Müller, W. & Resch, B., 2013. The Role of C-Reactive Protein in the Diagnosis of Neonatal Sepsis. Intech, pp.45–58.
6. Khassawneh, M. et al., 2007. Diagnostic Markers for Neonatal Sepsis : Comparing C-reactive Protein , Interleukin-6 and Immunoglobulin M. Scandinavian Journal of Immunology, 68, pp.171–175.
7. Roeslani, R.D., Amir, I. & Nasrulloh, M.H., 2013. Penelitian Awal : Faktor Risiko pada Sepsis Neonatorum Awitan Dini. Sari Pediatri, 14(6), pp.363–368.
8. Setiawan, C., 2004. Neonatal Conditions, United kingdom.9. Dhamecha, M.N., Patel, M.K. & Shah, U. V, 2013. A Comparative Study
of Semi Quantitative Latex Agglutination Test and Quantitative Turbidimetric Immunoassay Method for the Detection of C-Reactive Protein from Human Sera . , (December), pp.27–29.
10. Naik, P.R. et al., 2013. I NTERNATIONAL J OURNAL OF P HARMACY & L IFE S CIENCES Comparison of rapid Semi-Quantitative card test against Immunoturbidimetric Quantitative test for determination of C - reactive protein levels in Neonatal Sepsis. , 4(11), pp.3138–3142.
11. Chan, T. & Gu, F., 2011. Early diagnosis of sepsis using serum biomarkers. Expert review of molecular diagnostics, 11(5), pp.487–96. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21707457.
12. Vallance, H. & Lockitch, G., 1991. Rapid , Semi-Quantitative of C-Reactive Protein Evaluated. clinical chemistry, 37(11), pp.1981–1982.
13. Urdal, P., Krutnes, M.B. & Gogstad, G.O., 1992. Rapid Immunometric Measurement of C-Reactive Protein in Whole Blood. clinical chemistry, 38(4).
14
14. Article, F., 1999. Efficacy and Significance of Rapid Simultaneous CRP and WBC Testing in Pediatric Diagnostic Practice. , (19), pp.1–7.
15. Ziaei, M. et al., 2012. Evaluation of Prevalence of False Negative Results of CRP Test Using Three Different Kit in Iran. J Army Univ Med Sci, 10(4), pp.273–277.
16. Nicolas, A. et al., 2013. Study Compare of Methods of Proportioning of the Reactive Protein C : Method of Agglutination and Method Immunoturbidimetrique at the Hospital of zone of Suru – Lere , Cotonou , Republic of Benin. , 2(3), pp.85–87.
17. axis shield diagnostics, 1992. CRP Latex Test Kit. -, (May), p.1992.18. axis shield diagnostics, Nycocard CRP Single Test. -, CRP Latex Test Kit
15