csr bukan cost semata

Upload: harits-sidney

Post on 07-Jul-2015

138 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

CSR bukan cost semata, tetapi juga sebuah investasi jangka panjang Posted by admin on May 7th, 2010 Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) seharusnya tidak dianggap sebagai cost semata, melainkan juga sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan mesti yakin, bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan CSR dengan meningkatnya appresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan bersangkutan.

Demikian ungkap B. Tamam Achda, Anggota Komisi VII DPR-RI dalam sambutan kunci Seminar A Promise of gold rating: Sustainable CSR yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di Hotel Hilton Jakarta, 23 Agustus 2006.

Dengan melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang, maka akan menumbuhkan rasa penerimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti itulah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan, jelasnya.

CSR dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya.

Menurutnya, sekarang telah banyak perusahaan (korporasi) yang mulai sadar akan pentingnya menjalankan CSR meski masih banyak juga yang belum menjalankannya dengan benar. Dari segi besaran uang, banyak perusahaan yang sudah memberikannya dalam jumlah yang cukup besar, ada yang sedang tapi juga ada yang hanya sekedarnya saja.

Dari segi cara penyampaian dan peruntukannya, banyak perusahaan yang sudah well-planned dan bahkan sangat integrated sedemikian rupa sehingga sangat sistematis dan methodologis. Tetapi juga masih banyak perusahaan yang pengeluaran dana CSR-nya berbasis kepada proposal yang diajukan masyarakat.

Maka sungguh diharapkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), dapat memprakarsai adanya peraturan yang baik, yang memungkinkan dijalankannya law enforcement bagi implementasi CSR di Indonesia, katanya.

Peraturan yang baik berarti peraturan yang memenuhi nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Bukan saja masyarakat sekitar lokasi perusahaan, melainkan juga masyarakat dunia usaha itu sendiri.

Selama ini, CSR di lingkungan perusahaan swasta masih bersifat sukarela (voluntary). Sehingga wajar jika penerapannya masih bebas tafsir berdasarkan kepentingan korporasi masing-masing.

Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya dorong. CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang lebih bersifat mandatory. Dengan demikian, kontribusi dunia usaha diharapkan terukur dan sistematis dalam ikut meningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang pro-masyarakat dan lingkungan seperti ini sangat dibutuhkan di tengah arus neo-liberalisme seperti sekarang ini.

Sebaliknya di sisi lain, masyarakat juga tidak bisa melakukan tuntutan kepada perusahaan, apabila harapannya itu berada di luar batas aturan yang berlaku. Sehingga dengan adanya aturan hukum, perbedaan kepentingan antara para pihak baik perusahaan dan masyarakat dapat dijembatani secara elegan. Jika kemitraan ini terjalin baik, diharapkan korporasi dan masyarakat dapat berhubungan secara co-eksistensial, simbiosis-mutualistik dan kekeluargaan.

Selanjutnya dalam sambutannya juga, Rachmat Witoelar sebagai Menteri Negara Lingkungan menyatakan bahwa sampai sekarang belum satu pun perusahaan yang berhasil memperoleh peringkat emas (peringkat tertinggi pada Proper). Itu dikarenakan adanya kesulitan menjabarkan kriteria dan indikator bagi komponen penilaian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang Berkelanjutan (Sustainable CSR).

Untuk itu seminar ini bertujuan untuk memanfaatkan pelajaran penerapan (Sustainable CSR) di tingkat internasional dan pengalaman perusahaan Indonesia sendiri dalam mendukung kegiatan pengembangan masyarakat di sekitar kawasan kerjanya, untuk merumuskan seperangkat kriteria yang realistis bagi perusahaan yang ingin memperoleh peringkat emas Proper di masa depan.

Bila kita menyimak upaya yang dilakukan di tingkat internasional, tercatat berbagai inisiatif dalam tiga dekade terakhir untuk menjabarkan dan menerapkan konsep Sustainable CSR, ungkap Witoelar.

Salah satu konsep itu diantaranya adalah peluncuran Socially Responsible Investment (SRI) di pertengahan 1990-an. Konsep SRI telah berhasil mengalirkan pendanaan global, dimana di akhir tahun 2003 tercatat dana sebesar 34 Milyar Euro. Bila definisi SRI yang dipakai tidak terlalu ketat, misalnya hanya untuk perusahaan yang tidak beroperasi di negara yang banyak melanggar Hak Azasi Manusia, maka jumlah dana yang dikelola menggunakan prinsip SRI mencapai 218 Milyar Euro atau lebih dari 2000 Trilyun Rupiah.

Contoh lain dari upaya menerapkan Sustainable CSR adalah EITI (Extractive Industry Transparency Initiative). EITI merupakan inisiatif yang diambil Pemerintah Inggris dan disambut baik oleh Pemerintah Indonesia dan belasan pemerintah negara maju dan berkembang lainnya, untuk meningkatkan transparansi pembiayaan dan penerimaan dana pada sektor industri ekstraktif.

Sedangkan Global Reporting Initiative adalah salah satu usaha di tingkat internasional untuk memperoleh informasi yang lebih rinci dari sekedar kinerja keuangan perusahaan, termasuk dampak kegiatan bisnis mereka terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Tiga Tingkat Kegiatan Program CSR Posted by admin on May 7th, 2010

Saat ini mulai dikampanyekan dan terjadi pergeseran dalam pengembangan program CSR yang berorientasi pada penguatan usaha kecil, di Indonesia program tersebut dipicu oleh kepres zaman Presiden Soeharto yang mewajibkan BUMN membantu UKM dengan penyisihan laba.

Dalam perjalananya mulai terjadi pergeseran paradigma dalam perkutana UKM seperti terlihat pada bagan di bawah, dalam pelaksanaannya terdapat tiga

tingkat kegiatan CSR atau program CSR yang berorientasi penguatan ekonomi masyarakat atau pengembangan ekonomi lokal.

Terdapat tiga tingkat kegiatan program CSR dalam usaha memperbaiki kesejahteraan masyarakat yakni :

Kegiatan program CSR yang bersifat charity, Bentuk kegiatan seperti ini ternyata dampaknya terhadap masyarakat hanyalah menyelesaikan masalah sesaat hampir tidak ada dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, selain lebih mahal, dampak jangka panjang tidak optimal untuk membentuk citra perusahaan, dari sisi biaya, promosi kegiatan sama mahalnya dengan biaya publikasi kegiatan. Walaupun masih sangat relevan, tetapi untuk kepentingan perusahaan dan masyarakat dalam jangka panjang lebih dibutuhkan pendekatan CSR yang berorientasi pada peningkatan produktifitas dan mendorong kemandirian masyarakat. Kegiatan program CSR yang membantu usaha kecil secara parsial. Saat ini makin banyak perusahaan yang menyadari pentingnya pendekatan CSR yang berorientasi pada peningkatan produktifitas dan mendorong kemandirian masyarakat, salah satu bentuk kegiatannya adalah membantu usaha kecil, tetapi bentuk kegiatan perkuatan tersebut masih parsial, memisahkan kegiatan program yang bersifat pendidikan, ekonomi, infrastruktur dan kesehatan. Walaupun lebih baik ternyata pada tingkat masyarakat kegiatan ini tidak dapat diharapkan berkelanjutan, bahkan cenderung meningkatkan kebergantungan masyarakat pada perusahaan, sehingga efek pada pembentukan citra ataupun usaha untuk menggalang kerjasama dengan masyarakat tidak didapat secara optimal. Kegiatan program CSR yang beroreintasi membangun daya saing masyarakat, program CSR akan memberi dampak ganda untuk perusahaan dan masyarakat karena : Dari awal dirancang untuk meningkatkan produktifitas (sebagai ukuran data saing) guna meningkatkan daya beli sehingga meningkatkan akses pada pendidikan dan kesehatan jangka panjang, untuk itu perlu diberikan penekanan pada keberlanjutan penguatan ekonomi secara mandiri (berjangka waktu yang jelas/mempunyai exit policy yang jelas) Untuk memberikan ungkitan besar pada pendapatan masyarakat maka kegiatan perkuatan dilakukan pada rumpun usaha spesifik yang saling terkait dalam rantai nilai, setiap pelaku pada mata rantai nilai pada dasarnya adalah organ ekonomi yang hidup, perkuatan dilakukan untuk meningkatkan metabolisme (aliran barang, jasa, uang, informasi dan pengetahuan) dalam sistem yang hidup tersebut yang pada gilirannya akan meningkatkan performance setiap organ. Pendekatan CSR yang smart adalah dengan mengambil peran sebagai fasilitatif-

katalistik sehingga kegiatan CSR lebih efesien memberikan dampak pada rumpun usaha dalam satu rantai nilai. Program pendidikan, kesehatan, dan infrasturktur infrastruktur dirancang sinergis dengan penguatan ekonomi sehingga mampu menigkatkan indeks pembangunan manusia pada tingkat lokal.

Pada dasarnya kegiatan corporate social responbility sangat beragam dan bergantung pada proses interaksi sosial, bersifat sukarela yang didasarkan pada dorongan moral dan etika. Biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, di dalam praktek, penerapan CSR selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakat. Idealnya, pelaku usaha budaya dan pariwisata melakukan serangkaian proses sejak design atau perencanaan program, implementasi program, monitoring program, evaluasi program hingga membuat pelaporan atau reporting program CSR.

Kepedulian pelaku usaha budaya dan pariwisata, hotel, restoran, resto caf, kepada masyarakat sekitar / relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas budaya dan pariwisata. Kesadaran tentang pentingnya mempraktekkan CSR ini menjadi trend global seiring dengan semakin maraknya kepedulian mengutamakan stakeholder. CSR ini selain wujud penerapan prinsip good corporate governance juga terkait untuk mendukung pencapaian tujuan Millenium Development Goals, salah satunya diantaranya pengurangan angka kemiskinan tiap tahun.

Prinsip dasar pelaku usaha budaya dan pariwisata dalam penerapan CSR adalah triple bottom line, dimana 3 unsur penting saling terkait erat, yaitu : (1) profit : pelaku usaha budaya dan pariwisata tidak lepas dari orientasi utamanya untuk mencari keuntungan, (2) people : pelaku usaha budaya dan pariwisata memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat (pendidikan, kesehatan, bantuan permodalan dan perlindungan sosial), (3) planet : pelaku usaha budaya dan pariwisata memiliki kepedulian terhadap keberlangsungan lingkungan hidup dan keberagaman hayati.

Pada umumnya, implementasi CSR oleh pelaku usaha budaya dan pariwisata dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, terkait dengan komitmen

pimpinannnya. Kedua, menyangkut ukuran dan kematangan perusahaan. Pelaku usaha budaya dan pariwisata yang besar dan mapan lebih memiliki potensi dalam memberikan kontribusi daripada pelaku usaha kecil dan belum mapan. Ketiga, regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah.

Semakin amburadulnya regulasi dan penataan pajak akan membuat semakin kecil ketertarikan perusahaan untuk memberikan donasi dan sumbangan sosial kepada masyarakat. Sebaliknya, semakin kondusifnya regulasi atau semakin besarnya insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat. Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa kalangan pelaku usaha budaya dan pariwisata sebaiknya merespon dan mengembangkan isu CSR sejalan dengan operasi usahanya, yaitu :

Pertama, pelaku usaha budaya dan pariwisata adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Pelaku usaha sebaiknya menyadari bahwa mereka beroperasi dalam suatu tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial ini berfungsi sebagai kompensasi atau upaya timbal balik atas penguasaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi oleh perusahaan yang terkadang bersifat ekspansif dan eksploratif, di samping sebagai kompensasi sosial karena timbulnya ketidaknyamanan (discomfort) kepada masyarakat.

Kedua, kalangan bisnis budaya dan pariwisata serta masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, setidaknya license to operate, wajar bila pelaku usaha juga diharapkan untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan. Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindari konfilik sosial. Potenis konflik itu bisa berasal akibat dampak operasional pelaku usaha budaya dan pariwisata ataupun akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat dengan komponen pelaku usaha budaya dan pariwisata.

Cara pelaku usaha / bisnis memandang CSR bisa diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu : Pertama, sekedar basa-basi dan keterpaksaan. Artinya CSR dipraktekkan lebih karena faktor eksternal (external driven). Misalnya karena reputation driven, motivasi pelaksanaan CSR adalah untuk mendongkrak citra perusahaan. Yang masih hangat dalam ingatan kita adalah saat bencana tsunami Aceh terjadi tahun 2004, korporasi besar dan kecil seperti dikomando untuk berebut memberikan bantuan uang, sembako, medis dan sebagainya.

Berikutnya, perusahaan berlomba-lomba menginformasikan kontribusinya melalui media massa, tujuannya bisa ditebak, mengangkat reputasi. Di satu sisi, hal itu memang menggembirakan terutama dikaitkan dengan kebutuhan riil atas bantuan bencana dan rasa solidaritas kemanusiaan. Namun di sisi lain, fenomena ini menimbulkan tanda tanya terutama dikaitkan dengan komitmen solidaritas kemanusiaan itu sendiri.

Ada pamrihnya, udang di balik batu. Pada fase ini, hampir bisa dipastikan bahwa pelaku usaha / bisnis melakukan CSR merupakan kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik. CSR diimplementasikan sebagai upaya dalam konteks ke-PRan. Pelaku usaha / bisnis melakukannya untuk memenuhi tuntutan dan member citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Jadi, sifatnya hanya tempelan saja yang munculnya pun kadang-kadang. Begitu pun aktivitasnya, masih disikapi sebagai liabilitas daripada asset.

Klasifikasi kedua, upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance). CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum dan aturan yang memaksanya, misalnya karena adanya market driven. Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasi CSR ini menjadi trend seiring dengan maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial. Misalnya, pengusaha-pengusaha Amerika Serikat sudah semakin keras dengan produk furniture yang datang dari Indonesia. Pasalnya, produk furniture diharuskan menerapkan ecolabelling, suatu tanda bahwa kayunya diambil secara bijaksana dengan memperhatikan lingkungan, yaitu tidak menebang kayu seenaknya tanpa upaya peremajaan.

Selain market driven, driven lain yang sanggup memaksa pelaku usaha untuk mempraktekkan CSR adalah adanya penghargaan-penghargaan (reward) yang diberikan oleh segenap institusi atau lembaga. Misalnya CSR award baik regional maupun global, PADMA (Pandu Daya Masyarakat) Award yang dilaksanakan oleh Depsos RI dan PROPER (Program Peringkat Kinerja Perusahaan) yang dilaksanakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup RI. Khusus untuk PROPER, jangan harap pelaku usaha bisa mendapatkan peringkat hijau apalagi emas, apabila praktek CSR-nya payah dan asal-asalan.

Klasifikasi ketiga, CSR diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Pelaku usaha telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada

kesehatan financial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan. Pelaku usaha meyakini bahwa program CSR merupakan investasi demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) usaha. Artinya CSR bukan dilihat sebagai sentra biaya (cost centre) melainkan sebagai sentra laba (profit centre) di masa mendatang. Logikanya sederhana, apabila CSR diabaikan, kemudian terjadi insiden, maka biaya untuk meng-cover resikonya jauh lebih besar daripada nilai yang hendak dihemat dari alokasi anggaran CSR itu sendiri. Belum lagi resiko non-finansialnya yang berpengaruh buruk pada citra korporasi dan kepercayaan masyarakat kepada masyarakat.

Dengan demikian, CSR bukan lagi sebagai sekedar aktifitas tempelan yang kalau terpaksa bisa dikorbankan demi mencapai efisiensi, namun CSR merupakan nyawa korporasi. CSR disikapi secara strategis dengan melakukan alignment antara inisiatif CSR dengan strategi korporasi. Caranya inisiatif CSR dikonsep untuk memperbaiki konteks kompetitif korporasi yang berupa kualitas lingkungan bisnis tempat korporasi beroperasi. Aktifitas CSR berada dalam koridor strategi perusahaan yang diarahkan untuk mencapai bottom line business goal, yaitu mendatangkan keuntungan. Perbaikan konteks ini diyakini akan menjadi sumber keunggulan kompetitif yang sangat powerfull bagi perusahaan.

Pada klasifikasi ketiga ini, implementasi CSR bagi pelaku usaha merupakan langkah-langkah pilihan sendiri, sebagai kebijakan perusahaan. Bukan karena dipaksa oleh aturan dan tekanan masyarakat. Pelaku usaha telah melepaskan motif-motif ke-Public Relation-an saat mempraktekkan CSR. Istilah kerennya, Beyond PR, Beyond Profit, Beyond Compliance. Karena dalam CSR itu ada nuansa mengedukasi dan berkomunikasi dengan masyarakat dalam nuansa kebersamaan. Jadi semata-mata tulus karena niat berbuat baik saja.

Bahwa kemudian efeknya positif ke arah pembentukan citra, melampaui standar regulasi yang berlaku, mendongkrak nilai saham atau memenangi kompetisi dan memperoleh penghargaan, hal itu sudah seharusnya. Tetapi niat awalnya murni karena korporasi berniat untuk berbuat baik. Dengan demikian, pelaku usaha budaya dan pariwisata bisa memilih ketiga klasifikasi di atas dalam menerapkan CSR sehingga bisa memberikan nilai (value) kepada masyarakat, apakah sesaat ataukah berkelanjutan? Semua itu tergantung keputusan pelaku usaha menerapkan klasifikasi CSR tersebut. Amin.

Ketika pertama kali mengetahui kalau Pertamina mengadakan kontes blog dengan tema Kerja Keras Adalah Energi Kita, saya mencoba mencari bahanbahan untuk membuat tulisan. Ketika membuka situs Pertamina, setelah melihat-lihat profil, saya melihat menu Corporate Social Responsibility. Ini karena fonemana yang cukup menarik, yaitu di saat sebuah perusahaan memperoleh keuntungan besar dan para shareholders-nya hidup serba berkecukupan, bahkan mewah, masyarakat yang berada di sekitar perusahaan justru hidup dalam jerat kemiskinan. Adanya CSR ataupun Community Development (ComDev), merupakan jalan keluar dari masalah tersebut.

PT Pertamina (Persero) sudah banyak dan cukup lama melaksanakan berbagai program CSR, seperti penghijauan, sumbangan-sumbangan kepada korban gempa, sumbangan kepada para penyandang cacat, dan dalam bentuk pendidikan. Tapi di sini saya cenderung melihat pada CSR pendidikan Pertamina. Karena pendidikan merupakan jalan yang cukup efektif untuk keluar dari kemiskinan, bahkan merupakan sarana yang jitu untuk memutus lingkaran setan kemiskinan.

Lingkaran setan kemiskinan bisa digambarkan sebagai ketika orang miskin, maka ia tidak mampu memberikan pendidikan yang layak buat anaknya. Anak yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak, ketika besar nanti tidak cerdas dan kreatif. Orang yang tidak cerdas dan kreatif, serta tidak punya modal pula, maka ia akan miskin. Karena miskin, maka ketika punya anak nanti, ia tidak mampu memberikan pendidikan yang layak buat anaknya. Karena sang anak tidak mendapatkan pendidikan yang layak, maka ia tidak cerdas dan kreatif. Dan begitu terus. Maka hal ini telah menjadi lingkaran setan kemiskinan.

CSR dalam bidang pendidikan memiliki tema "Cerdas bersama Pertamina". Program ini memiliki 2 pilar utama, yaitu Peningkatan mutu dan akses Pendidikan.

Adapun kegiatan-kegiatannya adalah sebagai berikut:

Pembangunan/Rehabilitasi Sekolah dan Universitas

Pertamina telah berkontribusi lewat pembangunan dan rehabilitasi sarana pendidikan dari tingkat SD hingga SLTA yang berada di sekitar kegiatan

Pertamina maupun Perguruan Tinggi Negeri di seluruh Indonesia. Kegiatan ini merupakan suatu kerjasama yang dilakukan dengan institusi pendidikan maupun instansi pemerintah sebagai Strategic Partner dalam mengembangkan kegiatan CSR Pertamina. Bentuk peningkatan mutu yang dilakukan meliputi pembangunan auditorium, sarana olah raga beserta perlengkapannya, penyediaan sarana teknologi berupa komputer, renovasi perpustakaan, pembangunan Green House hingga renovasi 70 SD di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Makasar bekerja sama dengan KOSTRAD. Pada tahun 2008 bentuk kontribusi Pertamina telah dirasakan oleh perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Diponegoro, Univesitas Sriwijaya, Institut Teknologi Surabaya, Universitas Brawijaya, Univeristas Andalas, Universitas Hasanudin, SMA Taruna Nusantara, SD Bendungan Hilir Jakarta, dan SMKN 1 Plered di Bantul. Salah satu strategic partner dalam melakukan kegiatan CSR saat ini

Beasiswa Pendidikan

Dalam meningkatkan akses pendidikan Pertamina juga telah memberikan beasiswa kepada lebih dari 2200 siswa kurang mampu dari tingkat SD sampai dengan SLTA dan lebih dari 100 mahasiswa Perguruan Tinggi. Selain pendidikan formal, Pertamina juga memberikan bantuan pendidikan ketrampilan kepada lebih dari 2000 orang anak-anak putus sekolah dan turut mendukung program Education for All (EFA) untuk pendidikan kepada tuna netra.

Taman Pintar Yogyakarta

Kegiatan dalam bidang pendidikan ini bertujuan untuk memberikan edukasi terhadap siswa-siswi SD hingga Pergururan Tinggi di wilayah Yogyakarta untuk mengenal lebih jauh Pertamina dilihat dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi,dalam program tersebut Pertamina menghadirkan maket kegiatan bisnis pertamina mulai dari hulu sampai ke hilir. Pada stand Pertamina tersebut juga terdapat alat peraga intraktif untuk siswa-siswi belajar lebih jauh mengenai teknologi perminyakan.

Olimpiade Sains Nasional (OSN)

Lewat kegiatan ini Pertamina mencoba hadir di tengah-tengah mahasiswa agar mereka dapat merasakan bahwa generasi muda merupakan tulang punggung bangsa. Kegiatan yang menguji kemampuan mahasiswa dalam bidang fisika,

kima, matematika ini mendapatkan sambutan hangat oleh mahasiswa ditanah air, hal ini dapat dilihat dari jumlah peserta yang mencapai hampir 5000 mahasiswa di seluruh Indonesia.

Kegiatan-kegiatan yang yang telah dilakukan tentu sangat baik. Dan akan lebih baik lagi kalu itu mampu ditingkatkan dan betul-betul bisa berkelanjutan. Sehinggan ini sesuai dengan slogan Pertamina: Kerja Keras Adalah Energi Kita.

Sebagai bentuk Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) terhadap masyarakat, Pelaksanaan program CSR yang telah dilakukan oleh Bio Farma dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

Community Development / Empowering yaitu program pengembangan masyarakat oleh perusahaan yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Program ini memberikan akses luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya yang diwujudkan melalui kegiatan antara lain pendidikan/pelatihan kewirausahaan, dana bergulir bagi UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah), pendampingan pengembangan lingkungan hidup.

Community Services, yaitu program dalam memenuhi kepentingan masyarakat, berdasarkan kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang. Program ini terdiri dari kegiatan seperti pembangunan dan perbaikan Sekolah Dasar, tempat ibadah, pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, air bersih, drainase, MCK

alam konteks CSR ini, program Community Services dapat dilakukan pula untuk mendukung program Community Development dalam keterkaitan peningkatan ekonomi lokal.

Community Relation, yaitu program yang lebih bersifat kedermawanan (charity) perusahaan seperti kegiatan vaksinasi dan pengobatan gratis, donor darah, beasiswa pendidikan, bantuan korban bencana alam.

Dalam mengkomunikasikan Program CSR Bio Farma diwujudkan melalui program Bio Farma to See atau yang lebih populer dengan istilah Bio Farma2 CE yang terdiri dari :

Communication, dimana perusahaan akan mengutamakan komunikasi dengan para stakeholder baik internal maupun eksternal; Community, dimana perusahaan membangun dan menciptakan keterlibatan masyarakat dalam setiap kegiatan CSR ini (community volunteerism); Employee, dimana perusahaan membangun dan menciptakan keterlibatan para karyawan dalam setiap kegiatan CSR ini (employee volunteerism); Earth-Environmen , dimana perusahaan menjaga lingkungan (planet) sekitar. Bio Farma 2 CE juga sebagai bentuk peluang untuk memperoleh keunggulan kompetitif (responsibility is opportunity) yang dilakukan oleh perusahaan dengan merujuk pada konsep CSR berdasarkan ISO 26000 : 2010 mengenai tanggung jawab sosial. dengan objective dari program ini dapat memberikan kontribusi yang mampu menciptakan pengembangan terus-menerus (suistainable development).

Garut - PT Infomedia Nusantara sebagai member of Telkom Group dengan visi To become The Regional Leader in Integrated Information and Digital Media Solution, berkomitmen untuk menjadi mitra lingkungan yang baik dengan memberikan manfaat bagi masyarakat dan menjunjung tinggi nilai moral.

Salah satunya melalui implementasi kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) pada hari Sabtu, tanggal 11 Juni 2011 berlokasi di Pesantren Baitur Rohmah, Desa Sukamukti Kec.Banyuresmi, Garut Jawa Barat.

Hadir dalam kegiatan tersebut adalah Bupati Garut H. Aceng H. M. Fikri, S. Ag., Direktur Compliance & Risk Management PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk Prasetio, Senior General Manager CDC PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk Gatot Rustamadji, President Director Infomedia Muhammad Awaluddin, Finance & IT Director Marihot B Sibarani, Human Resources & General Affairs Director Pandji Darmawan, Contact Center & Outsourcing Services Director - Arman Hazairin dan Digital Media & Rich Content Director Ruslan Rustam selain juga Manajemen Infomedia dan peserta Infomedia Motorider Club ( IMC ).

Program CSR Infomedia 2011 yang dilaksanakan dalam rangka HUT Infomedia ke-27 kali ini, fokus pada aspek kesehatan dan pendidikan yang dikemas dalam

bentuk kegiatan Khitanan Massal dan Pelatihan Kewirausahaan dengan tema Infomedia Bisnis Masa Denpan bagi pelaku bisnis Usaha Mikro Kecil (UMK) bagi masyarakat Garut. Khitanan diikuti oleh 50 peserta dari warga sekitar dengan cakupan usia 2 9 tahun didukung tenaga medis setempat.

Sebagai perusahaan yang fokus dalam penyediaan layanan informasi dan komunikasi di Indonesia, Infomedia sangat peduli terhadap perkembangan dunia bisnis di wilayah Garut melalui penyelengaraan Pelatihan Kewirausahaan bagi 150 orang pelaku bisnis Usaha Mikro Kecil (UMK) di wilayah Garut, bersinergi dengan Community Development Center (CDC) Telkom yang memiliki program pembinaan terhadap UMK dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan ( PKBL).

Muhammad Awaluddin mengatakan Infomedia memiliki komitmen yang tinggi yang diimplementasikan dalam program CSR dengan merealisasikan konsep CSR yang berkelanjutan. Program CSR Infomedia juga menyentuh kelompok usahawan tingkat mikro. Mereka dibina agar bisa menjadi usahawan yang lebih professional dan akhirnya sukses dalam masing-masing industri., tutur Awaluddin.

Dalam kesempatan yang sama, Infomedia memberikan bantuan dalam bentuk sarana dan prasarana pendidikan di SDIT Al Fadhil dan Mts. Baitur Rohmah yang dikelola oleh pesantren setempat, yaitu beberapa unit komputer, pemberian buku buku pelajaran dan renovasi sarana belajar. CSR Infomedia 2011, diharapkan dapat mendukung pengembangan bisnis di daerah Garut. (pay)