css 2 - marry sindrom nefrotik

49
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS) SINDROM NEFROTIK Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) SMF Ilmu Kesehatan Anak Disusun oleh: Marry Nadya Elmiera 12010011007 Partisipan : Eva Noviani Lestari 12010011035 Khairuli Amri 12010011028 Cynde Bayu Naga D. 12010011044 Dini Paramita 12010011068 Dety Nur Rachmawati 12010011021 Preseptor: Nina Surtiretna dr.,Sp. A., M. Kes 0

Upload: dikie-mustofadijaya

Post on 12-Feb-2016

246 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

css

TRANSCRIPT

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)SINDROM NEFROTIK

Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)SMF Ilmu Kesehatan Anak

Disusun oleh:

Marry Nadya Elmiera 12010011007

Partisipan :

Eva Noviani Lestari 12010011035Khairuli Amri 12010011028Cynde Bayu Naga D. 12010011044Dini Paramita 12010011068Dety Nur Rachmawati 12010011021

Preseptor:

Nina Surtiretna dr.,Sp. A., M. Kes

SMF ILMU KESEHATAN ANAKPROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNGRUMAH SAKIT MUHAMMADIAH BANDUNG

20110

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom yang mengenai glomerulus,

ditandai dengan adanya edema, proteinuria masif (>40 mg/m2/jam atau >3,5 g/24 jam

atau rasio protein/kreatinin pada urin >2 mg/mg atau dipstick >2+), hipoalbuminemia

(<2,5 g/dl), dan dapat disertai dengan hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) atau

hiperlipidemia. Istilah Sindrom Nefrotik ini pertama kali diperkenalkan oleh Calvin dan

Goldberg.

Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak (<18 tahun) dengan angka kejadian

2-7 kasus/100.000 per tahun. Sebagian besar pasien sindrom nefrotik, berkisar antara

75-85% termasuk sindrom nefrotik idiopati, etiologinya tidak diketahui. Sebagian

kecilnya (20%) termasuk sindrom nefrotik sekunder.

Puncak insidensi pada umur 2-3 tahun. Pada saat anak-anak, perbandingan anak

laki-laki dan perempuan 2:1. Sindrom nefrotik primer lebih banyak terdapat pada anak-

anak, sedangkan yang sindrom nefrotik sekunder pada dewasa.

1

BAB II

ANATOMI GINJAL

Ginjal terletak di retroperitoneal pada dinding abdominal posterior, terletak

setinggi vertebra T12-L3. Ginjal kanan biasanya terletak lebih inferior dibandingkan

ginjal kiri, karenan di bagian kanan terdapat liver.

Ukuran panjang ginjal adalah 10 cm, lebar 5 cm, dan ketebalan 2,5 cm. Bagian

superior ginjal berhubungan dengan diafragma yang memisahkan dengan rongga pleura

dan tulang rusuk ke-12. Di bagian inferior, permukaan posterior ginjal berhubungan

dengan otot quadrates lumborum. Nervus dan pembuluh subkostalis serta nervus

iliohipogastrik dan nervus ilioinguinal turun secara diagonal melewati permukaan

posterior ginjal. Liver, duodenum, dan kolon asenden terletak di anterior ginjal kanan.

Ginjal kanan dipisahkan dari liver oleh hepatorenal recess. Ginjal kiri berhubungan

dengan lambung, spleen, pancreas, jejunum, dan kolon desenden.

Gambar 2.1. Anatomi dan histologi ginjal

2

BAB III

SINDROM NEFROTIK

3.1. Definisi

Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom yang mengenai glomerulus,

ditandai dengan :

a. Edema,

b. Proteinuria masif

- >40 mg/m2/jam atau >3,5 g/24 jam (kuantitatif)

- rasio protein/kreatinin pada urin >2 mg/mg

- dipstick >2+ (kualitatif)

c. Hipoalbuminemia (<2,5 g/dl), dan

d. Dapat disertai dengan hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) atau hiperlipidemia.

Beberapa definisi atau batasan yang dipakai pada SN, yaitu:

a. Remisi

Proteinuria (-) atau trace (proteinuria <40 mg/m2/jam) 3 hari berturut-turut

dalam 1 minggu.

b. Relaps

Proteinuria ≥2+ (proteinuria <40 mg/m2/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1

minggu.

c. Relaps jarang

Relaps terjadi kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau

kurang dari 4 kali pertahun pengamatan.

3

d. Relaps sering (frequent relaps)

Relaps ≥2 x dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau ≥4 kali dalam

periode 1 tahun.

e. Dependen steroid

Relaps ≥2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau

dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.

f. Resisten steroid

Tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2

mg/kgbb/hari selama 4 minggu

3.2. Epidemiologi

Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris

adalah 2-4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang insidensinya

lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-

laki dan perempuan 2:1.

3.3. Klasifikasi

Klasifikasi sindrom nefrotik (SN), yaitu:

1. Berdasarkan etiologi

a. SN primer

b. SN sekunder

2. Berdasarkan histopatologi

a. SN kelainan minimal (SNKM) (85%)

4

b. SN non-minimal

- mesangial proliferatif difus (MPD) (5%)

- glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) (10%)

3. Berdasarkan respon pengobatan terhadap steroid

a. Steroid responsif

b. Tidak steroid responsif

3.4. Etiologi

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti

penyakit sistemik antara lain SLE, purpura henoch schoenlein, amyloidosis, infeksi

HIV, parvovirus B19, infeksi virus Hepatitis B atau C, dan lain-lain.

1. SN idopatik (90%)

Umumnya SN idiopatik diduga ada hubungan dengan genetik, imunologik, dan

alergi. Bentuk SN idiopatik meliputi:

a. kelainan minimal (SNKM) (85%)

b. mesangial proliferatif difus (MPD) (5%)

c. glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) (10%)

2. SN sekunder (10%)

SN sekunder atau didapat bersal dari luar ginjal yang terjadi karena berhubungan

dengan penyakit sistemik. Bentuk SN sekunder meliputi:

a. glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)

b. nefropati membranosa (GNM)

5

Tabel 3.1. Penyebab sindrom nefrotik pada anak

GENETIC DISORDERNephrotic Syndrome Typical

Finnish-type congenital nephritic syndromeFocal segmental glomerulosclerosisDiffuse mesangial sclerosisDenys-Drash syndromeSchimke immune-osseous dysplasia

Proteinuria with or without Nephrotic SyndromeNail-patella syndromeAlport syndrome

Multisystem Syndrome with or without Nephrotic SyndromeGalloway-Mowat syndromeCharcot-Marie-Tooth diseaseJeune syndromeCockayne syndromeLaurence-Moon-Biedl_bardet syndrome

Metabolic Disorders with or without Nephrotic SyndromeAlagille syndromeα1 Antitrypsin deficiencyFabry diseaseGlutaric acidemia Glycogen storage diseaseHurler syndromeLipoprotein disordersMitochondrial cytopathiesSickle cell disease

IDIOPATHIC NEPHROTIC SYNDROMEMinimal change diseaseFocal segmental glomerulosclerosisMembranous nephropathy

SECONDARY CAUSESInfections

Hepatitis B, CHIV-1MalariaSyphilisToxoplasmosis

DrugsPenicillamineGoldNonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)PamidronateInterferonMercuryHeroinLithium

Immunologic or Allergic DisordersCastleman diseaseKimura diseaseBee stingFood allergens

Associated with Malignant DiseaseLymphomaLeukemia

Glomerular HyperfiltrationOligomeganephroniaMorbid obesityAdaptation to nephron reduction

Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami

remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80%-85% tidak responsif (resisten

steroid). Sindrom Nefrotik yang muncul dalam 3 bulan pertama kehidupan disebut

sebagai Sindrom Nefrotik Kongenital dan dianggap penyebabnya adalah infeksi

intrauterin (infeksi TORCH).

3.5. Patofisiologi

Patofisiologi dari sindrom nefrotik masih tidak diketahui secara pasti, tetapi ada

bukti kuat mengenai kelainan imunologik yang terutama mengganggu cell-mediated

immnunity. Yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein

sehingga terjadi proteinuria.

6

Terdapat 3 mekanisme yang mendasari proteinuria, yaitu:

1. Hilangnya muatan poliamnion pada dinding kapiler glomerulus,

2. Perubahan pori-pori dinding kapiler glomerulus,

3. Perubahan hemodinamik yang mengatur aliran kapiler.

Bertahun-tahun lamanya, penelitian difokuskan pada membran glomerulus atau

faktor-faktor dari ekstraglomerolus yang berperanan dalam peningkatan permeabilitas

glomerolus dan terdapat bukti yang mengatakan bahwa kelainan primer pada sindrom

nefrotik idiopatik mungkin terdapat pada tingkat podosit, sel epitel pada viseral

glomerolus. Kelainan pada podosit ini berimplikasi pada peningkatan proteinuria

glomerolus. Ada beberapa virus seperti HIV, parvovirus B19, dan simian SV40 yang

bisa secara langsung menyebabkan luka pada podosit.

Mutasi gen ditemukan pada anak-anak dengan sindroma nefrotik familial,

dimana diantaranya mutasi pada gen NPHS1 pada sindroma nefrotik tipe Finnish yang

mengkode protein nefrin. Protein ini terdapat pada protein transmembran dalam slit

diafragma antara podosit. Disamping mutasi NPHS1 juga ada mutasi gen NPHS2 atau

ACTN4 pada FSGS, WT1 pada sindrom Denys-Drash (sindrom nefrotik,

pseudohermafrodit laki-laki, dan gonadoblastoma) dan sindrom Frasier (FSGS,

pseudohermafrodit laki-laki, gonadoblastoma).

Terdapat 2 teori tentang terjadinya edema pada sindrom nefrotik, yaitu:

1. Teori Underfill

Kelainan glomerolus ini akan menyebabkan terjadinya albuminuria berat.

Albuminuria ini menyebabkan terjadinya hipoalbunemia. Selanjutnya

hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga

akan terjadi perpindahan cairan dari plasma ke rongga interstisial dan terjadilah

7

edema dan hipovolemia. Hipovolemia ini mengakibatkan penurunan laju filtrasi

glomerolus, peningkatan reabsorbsi garam dan air pada tubulus proksimal,

aktivasi dari sistem renin-angiotensin-aldosteron, pelepasan hormon anti

diuresis, dan inhibisi atrial natriuretic peptide. Kemudian akan menyebabkan

terjadinya retensi air dan garam, yang selanjutnya akan menimbulkan terjadinya

edema, yang akan diperparah dengan asupan garam dan air yang terus menerus.

(Gambar 3.1.)

Albuminemia Berat

Penurunan tekanan onkotik plasma

Perpindahan cairan dari plasma keRongga interstisial

Penurunan LFG

Peningkatan reabsorbsi garam dan airpada tubulus proksimal

Aktivasi SRAA

Pelepasan ADH

Inhibisi Atrial Natriuretic peptide

Hipovolemia EDEMA

Asupan garam dan airyang terus menerus

Retensi garamdan air

Hipoalbuminemia

Gambar 3.1. Mekanisme edema pada sindrom nefrotik menurut teori underfill

8

2. Teori Overflow/Overfill

Kelainan glomerolus menyebabkan terjadinya retensi primer ginjal terhadap

garam dan air sehingga akan terjadi peningkatan volume ekstraseluler.

Peningkatan volume ekstraseluler ini akan menyebabkan terjadinya edema dan

peningkatan volume plasma yang bersirkulasi, yang selanjutnya akan

menyebabkan terjadi inhibisi sistem rennin-angiotensin-aldosteron, pelepasan

arginin vasopressin, dan inhibisi atrial natriuretic peptide. Ketiga hal ini akan

menyebabkan kegagalan kontrol feedback negatif terhadap retensi primer renal

terhadap garam dan air. Hal ini akan diperberat dengan asupan garam dan air

yang terus menerus. (Gambar 3.2.)

9

Retensi primer ginjalthd garam dan air

Peningkatan Volume Ekstraseluler

PeningkatanVolume

Plasma/Sirkulasi

Inhibisi SRAA Pelepasan AVP Inhibisi ANP

EDEMA

Asupan air dan garamyang terus menerus

KegagalanKontrol

FeedbackNegatif

Gambar 3.2. Mekanisme edema pada sindrom nefrotik menurut teori overflow/overfill

3.6. Patomekanisme

Gangguan dalam glomerulus basement membrane karena metabolik ataupun biokimia

Mempengaruhi permeabilitas glomerular

Peningkatan filtrasi pada protein plasma

Hilangnya protein plasma seperti albumin dan beberapa imunoglobulin

Proteinuria

Hilangya transport protein hipoalbuminemia ↓ Ig (globulin)

Tekanan onkotik menurun Mudah terkena infeksi

↓ vit D ↓ thyroxine cairan berpindah dari intravaskuler ke interstisial

edema

10

penurunan sirkulasi darah menerunkan perfusi ginjal mengaktifkan system renin angiotensin

retensi natrium edema lebih lanjut

hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein dihati dan peningkatan

konsentrasi lemak dalam plasma hiperlipoproteinemia lipiduria

3.7. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah edema. Edema ini bersifat

generalisata dan berdasar atas daya gravitasi dimana edema pada regio periorbital

terjadi pada pagi hari sedangkan pada kaki sore harinya.

Bila lebih berat akan disertai dengan asites, efusi pleura, dan edema

skrotum/vulva. Kadang-kadang disertai dengan oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan

berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya

peritonitis.

Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan,

lingkar perut, dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International Study Of Kidney

Disease In Children) pada SNKM dapat ditemukan 22% hematuria mikroskopik, 15%-

20% hipertensi, dan sebesar 32% disertai peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah,

tetapi bersifat sementara.

3.7.1. Proteinuria

Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar berasal

dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal

11

dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis

glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein

plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat

proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus.

3.7.2. Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan

peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat

(namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi

mungkin normal atau menurun.

3.7.3. Hiperlipidemia

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein

(LDL), trigliserida meningkat. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar

dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL,

kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis

lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan

onkotik.

3.7.4. Lipiduria

12

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber

lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang

permeable.

3.7.5. Edema

Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat

hipoalbuminemi dan retensi natrium (teori underfill). Hipovolemi menyebabkan

peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta

penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan

meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi

fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang. Peneliti lain

mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi volume adalah hipertensi dan

aktivitas renin plasma yang rendah serta peningkatan ANP. Beberapa penjelasan

berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan

edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun secara

bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase dieresis. Pada

SNKM edema timbul secara cepat dan progresif dalam beberapa hari.edema berupa

pitting

3.7.6. Hiperkoagulabilitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan

plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X,

trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel

serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).

13

3.7.7. Kerentanan terhadap infeksi

Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal,

penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan

terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella,

Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering

terjadi bronkopneumoni dan peritonitis.

3.8. Diagnosis

Diagnosis sindrom nefrotik meliputi:

1. Anamnesis

Paparan terhadap obat-obatan atau allergen, riwayat penyakit ginjal keluarga,

riwayat urin keruh (menandai awal infeksi)

2. Pemeriksaan fisik

Edema periorbita, dapat pula asites, edema dapat ditemukan pada genitalia,

lengan, pinggang.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Urinalisis dan bila perlu biakan urin,

b. Protein urin kuantitatif dapat berupa urin 24 jam atau rasio albumin/kreatinin

pada urin pertama pagi hari,

c. Pemeriksaan darah

14

₋ Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,

hematokrit, LED)

₋ Albumin dan kolesterol

₋ Ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin atau dengan rumus Schwartz

₋ C3; bila dicurigai SLE pemeriksaan ditambah dengan C4 dan ANA (anti

nuclear antibody)

3.9. Penatalaksanaan

Pada penderita SN pertama kali sebaiknya di rawat di rumah sakit dengan tujuan

untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema,

memulai pengobatan steroid, dan edukasi pada orang tuanya. Sebelum pengobatan

steroid dimulai dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan

profilaksis INH bersama steroid. Bila ditemukan tuberkolusis aktif pada pemeriksaan

foto toraks diberi obat anti tuberkulosis (OAT).

Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai edema anasarka yang

berat atau disertai komplikasi yang berat seperti muntah-muntah, infeksi berat atau

gagal ginjal, syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan, aktivitas disesuaikan dengan

kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.

3.9.1. Diitetik

Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra

indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa

metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus.

Jadi cukup diberi diit protein normal sesuai dengan RDA (Recommended daily

15

allowances) yaitu 2 g/kgbb/hari. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrasi

energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah

garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.

3.9.2. Diuretika

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema yang berat. Biasanya diberikan

loop diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasi dengan

spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgbb/hari. Pada

pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah

kalium dan natrium.

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (refrakter) biasanya terjadi karena

hipovolemia atau hipoalbumenemia berat (≤1 g/kgbb selama 4 jam, untuk menarik

cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid i.v 1-2

mg/kgbb/hari. Bila pasien tidak mampu diberi plasma 20 ml/kggb/hari secara pelan-

pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila

deiperlukan dapat diberi selang sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan

mencegah overload cairan. Pemberian plasma berpotensi menyebabkan penularan

infeksi hepatitis, HIV, dan lain-lain. Bila asites sedemikian berat hingga mengganggu

pernapasan dapat dilakukan pungsi berulang.

3.9.3. Antibiotik Profilaksis

Di beberapa negara pasien SN dengan edema dan asites yang banyak diberikan

profilaksis dengan penisillin oral 125-250 mg 2 x sehari sampai edema berkurang. Di

Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau

16

berkala dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik. Biasanya

diberikan amoksilin, eritromisin, atau sefaleksin.

3.9.4. Imunisasi

Imunisasi pada SN selama pengobatan kortikosteroid atau dalam 6 minggu

setelah obat dihentikan hanya boleh diberi vaksin virus mati. Setelah lebih dari 6

minggu penghentian steroid dapat diberi vaksin virus hidup. Imunisasi juga dihindari

bagi penderita SN yang mendapat terapi siklofosfamid atau siklosporin A.

Pemberian vaksin S. pneumoniae pada beberapa negara dianjurkan, tetapi karena

belum ada laporan efektivitasnya yang jelas, di Indonesia belum dianjurkan. Pada orang

tuanya dipesankan untuk menghindari kontak dengan penderita varisela. Bila terjadi

kontak diberi profilaksis dengan varicella-zoster imunoglobulin dalam waktu kurang

dari 72 jam. Bila tidak memungkinkan diberikan dosis tunggal imunoglobulin i.v. Bila

sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir dan pengobatan steroid sebaiknya

dihentikan sementara.

3.9.5. Pengobatan Kortikosteroid

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal kecuali bila ada

kontra indikasi. Dapat diberikan prednison atau prednisolon.

3.9.5.1 Pengobatan Inisial

Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in

Children) diberi prednison 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari)

untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan BB ideal, (berat

17

terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4

minggu. Pada pemberian 2 minggu pertama remisi terjadi sebanyak 80% dan pada 4

minggu 94%. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu

kedua dengan dosis 40 mg/m2 (⅔ dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 x

sehari setelah makan pagi. Bila selama 4 minggu tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan

sebagai resistens steroid (Gambar 3.3.).

PREDNISON FULL DOSE

Gambar 3.3. Pengobatan inisial kortikosteroid

KeteranganPrednison dosis penuh 60 mg/m2 LPB/hari (2mg/kgBB/hari) dibagi 3 dosis diberikan setiap hari selama 4 minggu, dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis penuh), dapat diberikan secara intermittent (3 hari berturut-turut dalam 1 minggu) atau alternating (selang sehari), selama 4 minggu.Bila remisi terjadi dalam 4 minggu pertama, maka prednison intermitent/alternating 40 mg/m2 LPB/hari diberikan selama 4 minggu. Bila remisi tidak terjadi pada 4 minggu pertama, maka pasien tersebut didiagnosis sebagai sindrom nefrotik resisten steroid.

APN (Arbeitgemeinshaft fur Pediatrische Nephrology) Jerman melaporkan

bahwa pada pemberian prednison dosis penuh 6 minggu, dilanjutkan dengan dosis

alternationg 6 minggu dapat memperpanjang remisi dibandingkan dengan dosis standar

8 minggu. Pada pengamatan 12 bulan relaps menurun 36,2% v.s 81% (dosis standar).

Pada penelitian di Jakarta didapat kesan adanya penurunan jumlah relaps tetapi

karena jumlah kasus sedikit tidak dapat dinilai secara statistik, tetapi di Surabaya

ditemukan perbedaan yang tidak bermakna.

18

4 MINGGU4 MINGGU

R = REMISIPROTEINURIA (-)EDEMA (-) Remisi (-) : RESISTEN STEROID

TERAPI IMUNOSUPRESIF

SENSITIFSTEROID

Prednison FD : 60 mg/m2/harPrednison AD : 40 mg/m2/har

3.9.5.2 Pengobatan SN Relaps

Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total 94%, tetapi sebagian besar

akan mengalami relaps (60%-70%) dan 50% mengalami relaps sering. Skema

pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 4, yaitu diberikan prednison dosis penuh

sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4

minggu. Pada penderita SN yang mengalami proteinuria kembali ≥2+ tetapi tanpa

edema sebelum diberi prednison kembali dicari dulu pemicunya, biasanya infeksi

saluran napas atas. Bila ada diberi antibiotik 5-7 hari dan bila kemudian proteinuria

menghilang tidak perlu diberi pengobatan relaps. Tetapi bila sejak awal ditemukan

proteinuria 2+ dan edema didiagnosis sebagai relaps dan diberi pengobatan.

SN RELAPS

Gambar 3.4. Pengobatan sindrom nefrotik relaps

KeteranganPredinison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermitent/alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu. Bila sampai pengobatan dosis penuh selama 4 minggu tidak juga terjadi remisi, maka pasien didiagnosis sebagai SN resisten steroid dan harus diberikan terpai imunosupresif lain.

Jumlah relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan sangat penting karena

dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi

dalam 6 bulan pertama, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan:

1. Tidak ada relaps sama sekali (30 %)

2. Relaps jarang : kurang dari 2 x (10-20%)

19

REMISIFD Prednison FD: 60 mg/m2/hari

Prednison AD: 40 mg/m2/hari

3. Relaps sering : relaps > 2 x (40-50 %)

4. Dependen steroid : relaps ≥ 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan

(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan

dihentikan

Dependen steroid adalah bagian dari relaps sering yang jumlah relapsnya lebih

banyak dan prognosisnya lebih buruk, tetapi masih lebih baik daripada resisten steroid.

Penderita pada kategori 1 dan 2 prognosisnya paling baik, biasanya setelah

mengalami 2-3 kali relaps akan tidak relaps lagi. Sedangkan pada kategori 3 dan 4 bila

berlangsung lama akan menimbulkan efek samping steroid, antara lain moon face,

hipertensi, striae, dll. Penderita SN relaps sering dan dependen steroid sebaiknya dirujuk

ke dokter spesialis anak atau paling sedikit diobati bersama-sama dengan dokter

spesialis anak.

3.9.5.3 Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid

Dahulu pada penderita SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan

pengobatan alternating dengan siklofosfamid (CPA), tetapi sekarang dalam

kepustakaan ada 4 opsi :

a. Dicoba pemberian steroid jangka panjang

b. Pemberian levamisol

c. Pengobatan CPA

d. Pengobatan siklosporin (terakhir)

Perlu dilakukan usulan untuk mencari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi

atau kecacingan.

20

a. Steroid Jangka Panjang

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka panjang

dapat dicoba dulu sebelum diberi CPA, mengingat efek samping yang lebih kecil. Jadi

bila telah dinyatakan relaps sering/dependen steroid, setelah remisi dengan prednison

dosis penuh diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan

perlahan/bertahap 0.5 mg/kgbb sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps

yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat

diteruskan 6-12 bulan, lalu dicoba dihentikan (Gambar 3.5). Umumnya anak usia

sekolah dapat menolerir prednison 0.5 mg/kgbb dan usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb

secara alternating.

Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0.5 mg/kgbb/alternating, tetapi

<1,0 mg/kgbb/alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasi

dengan Levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan atau langsung diberi

CPA.

SN relaps frekuen / dependen steroid

Prednison FD Remisi Prednison ALT + CPA

Diturunkan sampai dosis treshold0,1-0,5 mg/kg ALT

(6-12 bulan)

(2)(1)

Relaps pada Relaps pada Prednison > 0,5 mg/kg ALT prednison > 1 mg/kg ALT

Atau efek samping steroid (2)

21

Levanisol 2,5 mg/kg ALT CPA 2-3 mg/kgBB(4-12 bulan) 9-12 minggu

(3)Relaps prednison standar

Relaps pada prednison > 0,5 mg/kg ALT

Siklosporin 5 mg/kg/hariSelama 1 tahun

Gambar 3.5. Skema pengobatan prednison jangka panjang

Keterangan :(1) Langsung diberi CPA (+ prednison ALT)(2) Sesudah prednison jangka panjang dilanjutkan dengan CPA(3) Sesudah prednison jangka panjang + levamison, dilanjutkan dengan CPA

Bila pasien :

1. relaps pada dosis rumat >1 mg/kgbb/alternating, atau

2. meskipun dosis rumat <1 mg tetapi disertai:

₋ efek samping steroid yang berat

₋ pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, sepsis

diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.

b. Levamisol

Pemakaian levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih diragukan.

Efek samping levamisol: mual, muntah dan netropenia revesibel.

Dalam studi kontrol double blind, levamisol dilaporkan dapat mempertahankan

remisi sampai 50%. Penelitian multisenter oleh British association for paediatric

nephrology pada 61 anak secara random sampling mendapatkan hasil pada 14 anak

yang diberi levamisol dan 4 kontrol masih menunjukkan remisi setelah 112 hari

22

meskipun pemberian prednison sudah dihentikan, tetapi 3 bulan setelah obat dihentikan

akan terjadi relaps. Pada satu penelitian retrospekstif di India, levamisol dilaporkan

merupakan obat yang aman dan efektif bila diberikan bersamaan dengan steroid, untuk

penderita SN dependen steroid dan relaps sering, khususnya anak-anak yang lebih tua.

Di Jakarta, levamisol pernah dicoba diberikan tetapi hasilnya kurang memuaskan. Oleh

karena itu pada saat ini belum dapat direkomendasikan secara umum, tetapi keputusan

diserahkan kepada spesialis anak yang mengobati.

c. Sitostatika

Obat sitostika yang dipakai pada pengobatan SN anak paling sering adalah

siklosfamid (CPA oral) 2-3 mg/kgbb atau klorambusil 0,2-0,3 mg/kgbb/hari selama 8

minggu. Sitostika dapat mengurangi relaps sampai >50% yaitu 67%-93% pada tahun

pertama dan 36%-66% selama 5 tahun. Oleh APN dilaporkan pemberian 12 minggu

dapat mempertahankan remisi lebih lama daripada 8 minggu yaitu 67% dibandingkan

30%, tetapi hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain.

Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada SN relaps sering

(70%) daripada dependen steroid (30%). Efek samping sitostika adalah depresi sumsum

tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia dan jangka panjang keganasan. Oleh

karena itu perlu pemantauan dengan pemeriksaan darah tepi: Hb, lekosit, trombosit 1-2

x seminggu. Bila jumlah lekosit < 3000/ul, Hb <8 g/dl, trombosit <100.000/ul obat

dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah >5.000/ul.

Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis total kumulatif mencapai >200-300

mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis atau puls baik pada SN

relaps sering/dependen steroid, dengan skema pengobatan seperti pada Gambar 4.

23

d. Siklosporin (CyA)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau

sitostatika dianjurkan untuk diberi sikloporin dengan dosis 5 mg/kgbb/hari (Gambar

3.5). Pada SN relaps sering/dependen steroid CyA dapat menimbulkan dan

mempertahankan remisi, hingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan.

Tetapi bila CyA dihentikan akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping

dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada SN resisten steroid.

24

SN RELAPS FREKUEN

REMISI

FD AD 8 minggu

PREDNISON

+

CPA ORAL 8 minggu

SN DEPENDEN STEROID REMISI

FD AD 12 minggu tap off

PREDNISON +

CPA PULSE

------------------------------------------------------- atau -------------------------------------------------------

AD 12 minggu tap offPREDNISON +

CPA ORAL

Gambar 3.6. Skema Pengobatan SN Relaps Frekuen dan SN Dependen Steroid

Keterangan1. SN Relaps frekuen

Prednison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermitent/alternating 40 mg/m2 LPB/hari dan imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2 – 3 mg/kgBB/hari) dosis tunggal selama 8 minggu.

2. SN Dependen steroidPrednison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan

siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan berturut-turut dan prednison intermittent/altenating 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison

25

Pemantauan : Hb. Leukosit, trombosit/mingguLeukosit < 3000/L stop duluLeukosit > 5000 L terapi lagi

CPA oral : 2-3 mg/kgBB/hariPrednison : 40 mg/m2/hari (1x pagi hari)

CPA pulse : 500 mg/m2/bulanPrednison : 40 mg/m2/hari (1 x pagi hari)Tap off: 1 mg/k/hr (1 bln) 0,5 mg/kgBB/hari (1 bln)

AD 6 bulan tap off

di tapering off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, atau

Prednison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 12 minggu dan prednison di tapering off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan.

3.9..5.4 Pengobatan SN Resisten Steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.

Kebanyakan publikasi dalam literatur tidak dengan subjek kontrol. Pada pasien SNRS

sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran

dengan CPA hasil pengobatan lebih baik bila hasil biposi SNRS pada SNKM daripada

GSFS. Demikian pula lebih baik pada SNRS nonresponder kasep daripada SNRS sejak

awal (initial non responder).

a. Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan

remisi pada 20 % penderita. Setelah pemberian CPA bila terjadi relaps kembali

mekipun sebelumnya SN resisten steroid dapat dicoba prednison lagi, yang resistan bisa

menjadi sensitif lagi. Tetapi bila terjadi resisten atau dependen steroid kembali bila

mampu dapat diberi Siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat

pada Gambar 3.7.

SN RESISTEN STEROID

26

PREDNISON + CPA PULSE

PREDNISON

+ CPA ORAL

6 bulan

AD 6 bulan tap off

3 - 6 bulan

Gambar 3.7. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroidKeterangan Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan Prednison dosis 40 mg/m2 LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral. Kemudian ditapering off

dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan)

atau Siklofosfamid puls dengan 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan, dapat

dilanjutkan tergantung keadaan pasien. Prednison dosis 40 mg/m2 LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral. Kemudian ditapering off

dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan)

CPA puls dilaporkan memberi hasil yang lebih baik daripada CPA oral, tetapi

jumlah kasus yang dilaporkan hanya sedikit. Yang jelas dosis kumulatif pada CPA puls

lebih kecil dari CPA oral dan efek sampingnya lebih sedikit, tetapi harganya lebih

mahal pemakaian di Indonesia masih selektif.

b. Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total 20%

pada 60 penderita dan remisi parsial 13%.

Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,

hipertrofigingiva dan juga bersifat nefrooksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial.

Oleh karena itu perlu pemantauan terhadap :

1. Kadar CyA dalam darah : dipertahankan antara 100-200 ug/ml

2. Kadar kreatinim darah berkala

27

atau

CPA pulse : 500 mg/m2/bulanPrednison : 40 mg/m2/hari (1 x pagi hari)Tapering off : 1 mg/kgBB/hari (1 bulan) 0,5 mg/kgBB/hari (1 bulan)

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam

literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang/sangat

selektif.

c. Metil Prednisolon Puls

Mendoza dkk melaporkan pada SNRS yang diobati dengan metil predisolon puls

selama 82 minggu + prednison oral + siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu pada

pengamatan selama 6 tahun, 21 dari 32 penderita (66%) tetap menunjukkan remisi total

dan gagal ginjal terminal hanya ditemukan sebanyak 5% dibandingkan 40% pada

kontrol sejarah. Tetapi hasil ini tidak dapat dikonformasi pada laporan penelitian

lainnya di samping itu efek sampingnya juga banyak, sehingga pengobatan dengan cara

ini agak sukar untuk direkomendasikan di Indonesia.

d. Obat Imunosupresif Lain

Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah dipakai pada SNRS adalah

vincristin, tacrolimus dan mukofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang

masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol masih belum dapat

direkomendasi di Indonesia.

e. Pengobatan Non Imunosupesif Untuk Mengurangi Proteinuria

28

Pada pasien SN yang telah resisten terahdap obat kortikosteroid, sitostatika dan

siklosporin (atau tidak mampu membeli obat ini) dapat diberi diuretik (bila ada edema)

dengan kombinasi ACE inhibitor untuk mengurangi proteinuria. Jenis obat ini bisa

dipakai adalah kapopril 0,3 mg/kgbb 3 x sehari, atau enalapril 0,5 mg/kgbb/hari dibagi 2

dosis.

Suatu penelitian secara random dengan pemberian enalapril 0.2 mg/kgbb/hari

dan 0.6 mg/kgbb/hari selama 8 minggu dapat menurunkan proteinuria 33% dan 52%.

Tujuan pemberian ACE inhibitor untuk menghambat terjadinya gagal ginjal terminal

(renoprotekif).

Biopsi ginjal

Dalam praktek sehari-hari, respons terhadap terapi kortikosteroid lebih penting

daripada histologi ginjal. Biopsi ginjal dilakukan bila dicurigai sindrom nefrotik yang

bukan lesi minimal atau yang resisten steroid. Indikasi biopsi ginjal adalah:

1. Sebelum terapi

₋ umur < 6 bulan

₋ hematuria makroskopis

₋ persisten hematuria mikroskopis dengan hipertensi

₋ gagal ginjal akut yang tidak berhubungan dengan hipovolemia

₋ kadar plasma C3 yang rendah

Biopsi ginjal bisa dipertimbangkan jika onset kejadian berumur antara 6 – 12

bulan, atau 14 – 16 tahun, adanya hipertensi yang menetap, dan hematuria

mikroskopis

2. Sesudah terapi

29

Direkomendasikan pada semua pasien sindrom nefrotik yang resisten dan

dependen steroid, dan bisa dipertimbangkan pada sindrom nefrotik yang relaps

sering sebelum mendapatkan terapi selain kortikosteroid.

3.10. Komplikasi

3.10.1. Infeksi

Tersering adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadinya

kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjdi peritonitis primer

yang bhiasanya disebabkan oleh kuman Gram- negatif dan streptokokus pneumoniae

diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi

ketiga, yaitu sefotaksim/ seftriakson selama 10 - 14 hari.

3.10.2. Tromboemboli

Dapat terjadi trombosis di arteri maupun vena karena adanya hiperkoagulasi,

peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, penurunan anti trombin III. Pencegahan nya

dengan pemberian aspirin dosis rendah (80 mg) dan dipiridamol. Bila telah terjadi

trombosis diberikan heparin.

3.10.3. Hiperlipidemia

Terjadi peningkatan LDL dan VLDL kolesterol, trigeliserida dan lipoprotein (a)

(Lpa), HDL menurun atau normal. Zat – zat tersebut bersifat aterogenik dan

30

trombogenik. Dapat diatasi dengan pengaturan diit lemak, obat penurun lipid questran,

derivat atau fibrat dan inhibitor HmgCoA reduktasia(statin).

3.10.4. Hipokalsemia

Terjadi karena penggunaan steroid jangka panjang yang dapat menimbulkan

osteoporosis dan osteopeni. dan kebocoran metabolit vitamin D. Dapat diberikan

vitamin D dan kalsium 500 mg/hari. Bila terjadi tetani bisa diberikan kalsium glukonas

0,5 mg/kgbb i.v.

3.10.5. Hipovolemia

Akibat pemberian diuretik yang berlebihan. Atau pada SN relaps dengan gejala

hipotensi, takikardi, ekstremitas dingin dan sakit perut. Beri infus NaCl fisiologik dan

albumin 1 gr/kgbb atau plasma 20 ml/kgbb tetesan lambat 10 permenit, bila

hipovolemia teratasi dan tetap oligouria, beri furosemid 1-2 mg/kgbb i.v.

3.11. Prognosis

Prognosis jangka panjang SNKM pada pengamatan 20 tahun hanya 4-5%

menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal

dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. Pada

berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih

dapat dipakai untuk menentukan prognosis daripada gambaran PA.

3.12. Kesimpulan

31

Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik yang terdiri dari edema,

proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin >2 mg/mg atau

dipstick >2+), hipoproteinemia (<2,5 g/dL), dan dapat disertai dengan

hiperkolesterolemia atau hiperlipidemia. Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital,

primer/idiopatik dan sekunder mengikuti penyakit sistemik. Patofisiologi dari Sindrom

Nefrotik masih tidak diketahui secara pasti, tetapi ada bukti kuat mengenai kelainan

imunologik yang terutama mengganggu cell-mediated immunity yang mengakibatkan

peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein sehingga terjadi proteinuria.

Terdapat 2 teori tentang terjadinya edema pada Sindrom Nefrotik, yaitu: teori overfill

dan teori underfill. Manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah edema. Bila

lebih berat akan disertai dengan asites, efusi pleura, dan edema skrotum/vulva. Kadang-

kadang disertai dengan oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare.

Terapi yang diberikan adalah steroid, levamisol, siklofosfamid dan siklosporin A.

Komplikasi SN antara lain adalah infeksi, tromboemboli, hiperlipidemia, hipokalsemia,

dan hipovolemia.

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Bagga A, Mantan A. Nephrotic syndrome in children. Indian J Med Res 2005; 122: 13-28.

2. Haycock G. The child with idiopatic nephrotic syndrome. Dalam: Webb N, Postlethwaite R, editor. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. New York: Oxford United Press; 2003: 341-66.

3. Vogt BA, Avner ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editor, Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007: 2190-5.

4. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Sindroma nefrotik. Dalam: Garna H, Melinda HDN, Rahayuningsih SE, editor. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak. Edisi ke-3; 2005: 538-41.

5. Abhay, VN. Genetics of idiopathic nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2005; 72: 777-83.

6. Wirya W. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede S, editor. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai penerbit FK UI; 2002: 381-423.

7. Appel GB. Improved outcomes in nephrotic syndrome. Cleveland Clinic Journal of Medicine 2006; 73: 161-7

8. Abeyagunawardena AS. Treatment of steroid sensitive nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2005; 72: 763-69.

33

9. Hafeez F, Ahmed TM, Samina U. Levamisole in steroid dependent and frequently relapsing nephrotic syndrome. JCPSP 2006; 16: 35-7

34