cttn thd pp no 16 tahun 2010 ttg pedoman penyusunan tatib dprd 28 feb10

10
CATATAN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH Oleh: Ronald Rofiandri * Profil PP No. 16 Tahun 2010 Diundangkan pada 28 Januari 2010 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5104. Terdiri atas 121 pasal dan 18 bab. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya ditulis PP 16/2010) merupakan ketentuan yang memfasilitasi proses perumusan tata tertib DPRD, untuk tataran muatan yang paling minimal sesuai dengan Pasal 325 ayat (3) dan Pasal 376 ayat (3) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. PP 16/2010 mencabut dan menyatakan tidak berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4417) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4569). Prinsip Umum Keberadaan tata tertib DPRD haruslah bersifat responsif dan menjamin efektifitas tata kelola fungsi lembaga. Responsif dimaknai sejalan dengan keinginan untuk mewujudkan DPRD yang aspiratif, transparan, dan akuntabel. Sedangkan efektif dalam tata kelola lembaga menyangkut pembenahan * Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan dan Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) www.pshk.or.id | www.parlemen.net | www.danlevlibrary.net | Email: [email protected] 1

Upload: smk-nurul-huda

Post on 26-May-2015

7.872 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cttn thd pp no 16 tahun 2010 ttg pedoman penyusunan tatib dprd 28 feb10

CATATAN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

DAERAHOleh: Ronald Rofiandri*

Profil PP No. 16 Tahun 2010

Diundangkan pada 28 Januari 2010 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5104.

Terdiri atas 121 pasal dan 18 bab. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya ditulis PP 16/2010) merupakan ketentuan yang memfasilitasi proses perumusan tata tertib DPRD, untuk tataran muatan yang paling minimal sesuai dengan Pasal 325 ayat (3) dan Pasal 376 ayat (3) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

PP 16/2010 mencabut dan menyatakan tidak berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4417) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4569).

Prinsip Umum

Keberadaan tata tertib DPRD haruslah bersifat responsif dan menjamin efektifitas tata kelola fungsi lembaga.

Responsif dimaknai sejalan dengan keinginan untuk mewujudkan DPRD yang aspiratif, transparan, dan akuntabel. Sedangkan efektif dalam tata kelola lembaga menyangkut pembenahan terhadap prosedur kerja alat kelengkapan termasuk relasi dengan alat kelengkapan lainnya, manajemen persidangan, mekanisme pengambilan keputusan yang lebih elaboratif, prinsip pokok perencanaan dan pengelolaan anggaran yang tepat sasaran, rekrutmen dan pemberdayaan kelompok ahli.

Catatan ini merupakan identikasi terhadap sejumlah persoalan yang muncul dari aspek teks (batang tubuh dan pengelompokan pengaturan) serta subtansi PP 16/2010 berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (sebagai lampiran), UU No. 27 Tahun 2009, dan sebagai perbandingan adalah Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2009 tentang Peraturan Tata Tertib (yang dikontekstulisasikan dengan pengaturan di tingkat DPRD).

* Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan dan Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) www.pshk.or.id | www.parlemen.net | www.danlevlibrary.net | Email: [email protected]

1

Page 2: Cttn thd pp no 16 tahun 2010 ttg pedoman penyusunan tatib dprd 28 feb10

Beberapa Catatan

1. Penulisan nama Peraturan Perundang-undangan seharusnya dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan. Singkat di sini dapat dipahami, salah satunya, yaitu tidak adanya pengulangan kata yang sama. Pada PP 16/2010, terdapat dua kali penyebutan kata-kata “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Pengulangan ini dirasakan sekali dalam penyebutan maupun penulisan, karena terdapat 4 (empat) kata yang diulang. Bandingkan dengan PP No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Nama Peraturan Pemerintah tersebut cukup singkat, tanpa harus ada pengulangan kata-kata “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

2. Sebagai bagian dari tata cara pelaksanaan hak interpelasi, hak angket, dan hak

menyatakan pendapat, PP 16/2010 tidak menjelaskan mekanisme penjadwalan rapat paripurna pertama kali yang mengagendakan penyampaian usul hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, yang mana seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab Badan Musyawarah DPRD. Selain itu, PP 16/2010 luput mengatur: mekanisme lanjutan apabila para pengusul hak hak interpelasi, hak angket, dan hak

menyatakan pendapat menarik kembali usulannya atau melakukan perubahan terhadap materi usulan;

apabila jumlah pengusul hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, menjadi berkurang dari ketentuan minimal pengusul, sebelum diselenggarakan rapat paripurna; dan

apabila ada penambahan jumlah pengusul hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, sebelum atau pada saat penyelenggaraan rapat paripurna.

3. Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa usul pernyataan pendapat disampaikan dalam rapat paripurna setelah pimpinan DPRD mendapatkan pertimbangan dari Badan Musyawarah. Tidak ketahui alasan kenapa kemudian disyaratkan “setelah mendapat pertimbangan dari Badan Musyawarah” dan jika dibandingkan dengan penggunaan hak interpelasi dan hak angket, tidak ada pengaturan demikian (“setelah mendapat pertimbangan dari Badan Musyawarah”). Bahkan pada daftar tugas Badan Musyawarah sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) juga tidak ditemukan pengaturan (sebagai konsekuensi dari Pasal 21 ayat (1)) Badan Musyawarah memberikan pertimbangan kepada pimpinan DPRD sebelum usul pernyataan pendapat disampaikan dalam rapat paripurna.

4. Pasal 22 s/d Pasal 29 mengatur tentang pelaksanaan hak anggota DPRD. Sayangnya, tidak ada pengelompokkan pengaturan secara terpisah antara hak anggota DPRD yang satu dengan yang lainnya. Semuanya ditempatkan dalam satu bagian (Bagian Ketiga). Padahal UU No. 27 Tahun 2009 menempatkannya secara terpisah, agar lebih mudah diketahui dan dibaca, misalkan (untuk DPRD provinsi) pengaturan hak imunitas (Pasal 315), hak protokoler (Pasal 316), atau hak keuangan dan administratif (Pasal 317).

5. Pasal 23 dan Pasal 24 tidak mengatur ketentuan yang mendorong efektifitas hak pengajuan pertanyaan, usul, dan pendapat, misalkan soal pembatasan durasi bicara, konsekuensi bagi anggota dewan yang terlambat menghadiri suatu rapat atau yang meninggalkan rapat setelah mengajukan pertanyaan.

6. Muncul pertanyaan terhadap Pasal 22 ayat (9) yang berbunyi “Tata cara pembahasan rancangan peraturan daerah atas prakarsa DPRD mengikuti ketentuan yang berlaku

2

Page 3: Cttn thd pp no 16 tahun 2010 ttg pedoman penyusunan tatib dprd 28 feb10

dalam pembahasan rancangan peraturan daerah atas prakarsa kepala daerah”. Kenapa kemudian muncul aturan “mengikuti ketentuan yang berlaku dalam pembahasan rancangan peraturan daerah atas prakarsa kepala daerah”? Jika pembahasan rancangan peraturan daerah dimaksud berada pada wilayah Pembicaraan Tingkat I, maka sudah menjadi kendali dan tanggung jawab DPRD, terlepas siapapun prakarsanya dan tidak ada kewajiban bagi DPRD untuk “mengikuti ketentuan yang berlaku dalam pembahasan rancangan peraturan daerah atas prakarsa kepala daerah”.

7. Mengenai peran dan tugas pimpinan DPRD, PP 16/2010 tidak mengatur lebih rinci tata cara pelaksanaan tugas pimpinan DPRD, misalnya: memastikan quorum, acara, dan sifat rapat; menyusun rencana kerja pimpinan dan mengadakan pembagian kerja antara ketua

dan wakil ketua (Pasal 41 ayat (1) huruf b). Tidak diatur mekanisme apa yang digunakan (apakah rapat pimpinan atau yang lain?) atau kapan pembagian kerja dilakukan (apakah pada awal masa keanggotaan dan awal masa sidang?);

menjadi juru bicara DPRD (Pasal 41 ayat (1) huruf d). Apakah ada kewajiban reguler bagi pimpinan DPRD menyampaikan keterangan pers berkaitan dengan kegiatan DPRD dalam jangka waktu tertentu?; atau

tindakan-tindakan yang dimungkinkan bagi pimpinan DPRD dalam rangka mewakili DPRD di pengadilan (Pasal 41 ayat (1) huruf h).

8. Tidak terdapat pengaturan lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan tugas Badan Musyawarah, misalkan: mekanisme penentuan jangka waktu penyelesaian rancangan peraturan daerah

sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) huruf a; sifat pemberian saran/pendapat untuk memperlancar kegiatan (ditujukan kepada

siapa? Apakah bersifat proaktif atau pasif?); atau dasar pertimbangan pembentukan panitia khusus.

9. Tidak terdapat pengaturan lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan tugas Komisi, misalnya: pada saat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan

APBD (Pasal 49 huruf c); prosedur dan tahapan apa saja yang harus diketahui dan dilakukan oleh Komisi?; atau

apakah dimungkinkan Komisi membentuk panitia kerja yang bertugas melakukan pendalaman masalah dan perumusan kebijakan atas penyelesaian masalah?

10. Terdapat ketidakkonsistenan dalam penyebutan “kapan dibentuk alat kelengkapan dimaksud”. Badan Musyawarah, Komisi, dan Badan Anggaran disebutkan masing-masing dalam Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 54 ayat (1) dibentuk pada “awal masa jabatan keanggotaan DPRD”. Sedangkan pada Badan Legislasi Daerah, sesuai Pasal 51 ayat (1), menggunakan rumusan “Susunan dan keanggotaan Badan Legislasi Daerah dibentuk pada permulaan masa keanggotaan DPRD dan permulaan tahun sidang”.

11. Komisi seharusnya diberikan peluang dan peran untuk terlibat dalam proses legislasi (rancangan peraturan daerah yang merupakan prakarsa DPRD), sejak proses penyiapan dan penyusunan rancangan peraturan daerah, bukan hanya saat membahas. Ini seharusnya ada penafsiran lebih jauh terhadap ketentuan Pasal 49 huruf b, serta Pasal 82 ayat (1), dan ayat (8).

3

Page 4: Cttn thd pp no 16 tahun 2010 ttg pedoman penyusunan tatib dprd 28 feb10

12. Pasal 50 PP 16/2010 menyatakan bahwa Badan Legislasi Daerah merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap, dibentuk dalam rapat paripurna DPRD. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa kemudian pembentukan Badan Legislasi Daerah disyarakatkan dalam forum rapat paripurna? Harus dipahami bahwa pembentukan Badan Legislasi Daerah merupakan perintah UU No. 27 Tahun 2009 yang tidak mensyaratkan mekanisme apapun (misalkan dibentuknya dalam sebuah rapat paripurna DPRD). Bandingkan ketentuan sejenis untuk alat kelengkapan seperti Badan Musyawarah, Komisi, atau Badan Anggaran yang sama sekali tidak memuat rumusan “dibentuk dalam rapat paripurna DPRD”, setelah penyebutan sifat kelembagaan (yang kesemuanya berstatus tetap). Hal yang berbeda ditemui pula pada pembentukan Badan Kehormatan yang ditetapkan dengan keputusan DPRD (Pasal 56 ayat (2)). Padahal keberadaan Badan Kehormatan sendiri sama seperti alat kelengkapan lainnya yang dibentuk berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009, sehingga tidak perlu lagi ada model penetapan dengan keputusan DPRD.

13. Pasal 53 huruf b menyatakan bahwa Badan Legislasi Daerah bertugas “koordinasi untuk penyusunan Program Legislasi Daerah antara DPRD dan pemerintah daerah”, yang menjadi pertanyaan adalah siapa kemudian yang memegang kendali atas proses koordinasi tersebut? Klausul Pasal 53 huruf b hanya mewajibkan adanya koordinasi, padahal kesepakatan terhadap Program Legislasi Daerah memerlukan pembicaraan dan harus ada yang bertanggung jawab menyediakan forum pembahasannya. Secara tidak langsung, kondisi ini juga sebenarnya ingin menjawab produk hukum Program Legislasi Daerah nanti apakah suatu Keputusan DPRD (analogi berdasarkan praktek Program Legislasi Nasional yang ditetapkan melalui Keputusan DPR) atau ada produk hukum lainnya. Apabila Keputusan DPRD, maka sudah seharusnya Badan Legislasi Daerah yang menjembatani dan mengkoordinasikan pembicaraan atas rancangan Program Legislasi Daerah dan prioritas rancangan peraturan daerah untuk setiap tahun anggarannya. Sebagai konsekuensi, maka seharusnya diatur lebih lanjut dalam tata cara pelaksanaan tugas bahwa Badan Legislasi Daerah yang bertanggung jawab menyediakan forum pembahasannya.

14. Berdasarkan Pasal 53, ternyata tidak ditemukan tugas Badan Legislasi Daerah melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan peraturan daerah yang secara khusus ditugaskan oleh Badan Musyawarah, kecuali sebatas memberikan masukan tanpa ada kewenangan mengubah (Pasal 53 huruf g). Padahal sebagai konsekuensi Pasal 53 huruf d dan Pasal 82 ayat (8), tindakan mengubah materi rancangan peraturan daerah sangat dimungkinkan.

15. Pada Pasal 53 huruf h, terdapat ketentuan “membuat laporan kinerja pada masa akhir keanggotaan DPRD baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya” Muncul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan ketentuan “baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan”? Apakah pembahasan rancangan peraturan daerah? Sangat tidak jelas. Selain itu, Badan Legislasi Daerah hanya bertugas membuat laporan kinerja tanpa melakukan inventarisasi masalah yang terkait dengan fungsi legislasi DPRD yang sebenarnya sangat berguna baik keanggotaan DPRD berikutnya. Selain itu, Pasal 53 huruf h hanya mengatur penerima manfaat dari laporan kinerja adalah Komisi, padahal dalam konteks pemberdayaan dan yang seharusnya lebih banyak berperan dalam penguatan kinerja legislasi adalah Badan Legislasi Daerah.

4

Page 5: Cttn thd pp no 16 tahun 2010 ttg pedoman penyusunan tatib dprd 28 feb10

16. Ada banyak pengaturan lebih lanjut mengenai tugas-tugas Badan Legislasi Daerah yang tidak termuat dalam PP 16/2010, misalkan tahapan koordinasi dengan Komisi atau panitia khusus dalam rangka penyiapan rancangan Program Legislasi Daerah dan prioritas rancangan peraturan daerah untuk setiap tahun anggarannya dan evaluasi pelaksanaannya.

17. Muncul pertanyaan kenapa untuk alat kelengkapan seperti Komisi (Pasal 48 ayat (8)), Badan Legislasi Daerah (Pasal 52 ayat (3)), dan Badan Kehormatan (Pasal 56 ayat (8)), terdapat pembatasan masa jabatan pimpinan paling lama 2½ (dua setengah) tahun, sedangkan pimpinan Badan Musyawarah dan Badan Anggaran tidak ditemukan pengaturan sejenis? Apakah karena dipimpin langsung oleh pimpinan DPRD? Sebenarnya tidak perlu diberlakukan pembatasan masa jabatan, karena selain tidak ada alasan yang cukup rasional, pergantian pimpinan alat kelengkapan dapat terjadi dikarenakan yang bersangkutan berhalangan tetap, mengundurkan diri, terkait dengan evaluasi kinerja, atau diberhentikan oleh fraksi.

18. Seluruh tugas Badan Anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 55 tidak boleh mereduksi sama sekali tugas dan wewenang DPRD dalam membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai APBD provinsi yang diajukan oleh gubernur (Pasal 293 ayat (1) huruf b) dan APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota (Pasal 344 ayat (1) huruf a).

19. PP 16/2010 absen dalam mendorong dan memfasilitasi pelaksanaan kewajiban Komisi, Badan Legislasi Daerah, dan Badan Anggaran dalam membuat dan menyampaikan laporan kinerja sebagai wujud akuntabilitas, yang disampaikan kepada masyarakat, dalam setiap tahun periode kerja.

20. PP 16/2010 tidak boleh mereduksi kewenangan Badan Kehormatan dalam memberikan sanksi, dibatasi hanya pada pelanggaran kode etik DPRD, namun juga: tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPRD provinsi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 300 (Pasal 328 ayat (1)) dan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 ayat (1) dan/atau ayat (2) (Pasal 328 ayat (2))

tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 (Pasal 379 ayat (1)) dan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat (1) dan/atau ayat (2) (Pasal 379 ayat (2))

termasuk di sini yang tidak boleh dikurangi adalah mekanisme pengaduan/pelaporan, tidak hanya dapat disampaikan kepada pimpinan DPRD, namun dapat juga langsung kepada Badan Kehormatan DPRD provinsi (Pasal 330) dan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota (Pasal 381). Apabila yang diberlakukan adalah melalui pimpinan DPRD dulu baru kemudian ke Badan Kehormatan, cenderung menciptakan kondisi birokratis dan menjanjikan proses yang lebih lama.

21. Formulasi tentang masa reses dalam PP 16/2010 tidak dibarengi dengan kewajiban mempublikasikan kepada masyarakat mengenai kegiatan, jadwal acara, dan laporan pelaksanaan tugas reses, termasuk penyediaan akses (Pasal 64 ayat (6) dan ayat (7)).

22. Ketentuan tentang rapat mulai Pasal 65 sampai dengan Pasal 75 tidak mengatur:

5

Page 6: Cttn thd pp no 16 tahun 2010 ttg pedoman penyusunan tatib dprd 28 feb10

kewajiban penyampaian surat undangan rapat (yang disertai dengan pokok bahasan atau pertanyaan) kepada peserta rapat dan batas waktu (penyampaian) sebelum pelaksanaan rapat kerja, rapat dengar pendapat, dan rapat dengar pendapat umum, atau rapat-rapat lainnya;

tata cara mengubah acara rapat; lalu lintas (durasi, sesi, dan konsistensi) pembicaraan selama rapat berlangsung; risalah, catatan rapat, dan laporan singkat; dan pihak-pihak yang dapat hadir dan diundang dalam rapat-rapat DPRD, termasuk

peninjau dan wartawan.

23. Meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009, namun Pasal 67 ayat (4) mewajibkan: setiap peraturan atau keputusan DPRD provinsi dilaporkan kepada Menteri Dalam

Negeri dan peraturan atau keputusan DPRD kabupaten/kota dilaporkan kepada Gubernur; dan

apabila ada dalam proses pengambilan keputusan di DPRD tidak mencapai kuorum untuk rapat penetapan APBD, terkait dengan jumlah minimal quorum yang hadir, yang kemudian penyelesaiannya diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri dan Gubernur (Pasal 78 ayat (6).

Kedua ketentuan tersebut cenderung memperlihatkan ketidakmandirian DPRD dalam bekerja. Agar kemandirian DPRD tidak semakin tereduksi, harus ada ketentuan yang lebih rinci dan ketat atas kondisi yang dimungkinkan adanya peran dan tindakan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur terkait dengan tiga hal tersebut, termasuk konsekuensi hukum dan prosedural yang timbul.

24. PP 16/2010 absen mengatur tentang: alasan atau kriteria suatu rapat dilakukan secara tertutup (Pasal 68 dan Pasal 69).

Malah, substansi Pasal 69 ayat (1) dan ayat (2) cenderung mereduksi ketentuan Pasal 68.

status dokumen yang dipersiapkan, dibahas, dan beredar selama rapat tertutup berlangsung. Sebagai perwujudan hak masyarakat terhadap informasi proses legislasi, peraturan tata tertib seharusnya mengatur kesempatan bagi publik untuk memperoleh akses terhadap dokumen dimaksud. Selain itu, pimpinan, dibantu sekretariat alat kelengkapan, harus menyampaikan kepada publik proses dan kesepakatan yang dicapai melalui rapat yang dilakukan secara tertutup. Ini salah satu upaya agar setiap pengambilan keputusan di DPRD berjalan akuntabel dan tersosialisasikan.

tata cara pembahasan dan penetapan Perda APBD (Pasal 292 ayat (1) huruf b jo Pasal 293 ayat (1) huruf b dan Pasal 343 ayat (1) huruf b jo Pasal 344 ayat (1) huruf b)

tata cara pelaksanaan fungsi pengawasan (Pasal 292 ayat (1) huruf c jo Pasal 293 ayat (1) huruf b dan Pasal 343 ayat (1) huruf c jo Pasal 344 ayat (1) huruf c)

penegakan fungsi representasi dan fasilitasi partisipasi masyarakat (Pasal 292 ayat (2) dan Pasal 343 ayat (2))

25. Pada BAB IX tentang TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Pasal 81 s/d Pasal 88), tidak mengatur: mekanisme penyusunan, penetapan, dan penyebarluasan Program Legislasi Daerah; hal-hal minimum yang harus ada dalam setiap pengajuan rancangan peraturan

daerah, khususnya yang di luar Program Legislasi Daerah; format dan informasi yang harus termuat dalam dokumen naskah akademik; dan

6

Page 7: Cttn thd pp no 16 tahun 2010 ttg pedoman penyusunan tatib dprd 28 feb10

metode pembahasan rancangan peraturan daerah.

27. Pada Pasal 3 huruf j dan Pasal 49 huruf a PP 16/2001, termuat ketentuan yang sebagian materinya mencantumkan kata-kata “mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah”. Apa yang dimaksud dengan kewajiban daerah dan apa pula ukuran terlaksananya kewajiban daerah tersebut? Keambiguan ditemukan juga pada Pasal 49 huruf f (yang merupakan salah satu tugas dari Komisi), tertulis “memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah”. Apa ukuran dipenuhinya tindakan “memperhatikan”?

Rekomendasi

1. Tata tertib DPRD harus berorientasi “mempermudah” kerja lembaga parlemen di daerah. Selain itu, capaian yang dinilai “progresif” dalam UU No. 27 Tahun 2009 harus diperkuat dan diperinci dalam tata tertib, sekaligus berperan sebagai “penerobos” terhadap hal “minus” dalam UU No. 27 Tahun 2009 dan PP 16/2010.

2. Mengingat kehadiran PP 16/2010 hanya mengatur hal-hal yang bersifat minimal dan ini sebenarnya dapat dibaca sebagai peluang bagi DPRD provinsi/kabupaten/kota untuk mengembangkan berbagai rumusan sebagai inovasi dan terobosan dalam rangka mewujudkan sosok DPRD yang aspiratif, transparan, akuntabel, dan efektif dalam tata kelola lembaga, maka hal-hal berikut layak untuk dipertimbangkan dan diadopsi, yaitu: kewajiban menyampaikan kriteria dan alasan suatu rapat dilakukan tertutup tata cara penyelenggaraan dan pengelolaan hasil kunjungan kerja dan studi banding parameter dan mekanisme evaluasi kinerja anggota DPRD, tidak hanya oleh fraksi,

namun juga Komisi dan Badan Kehormatan mekanisme penyusunan laporan kinerja alat kelengkapan penggunaan hak imunitas.

7