daerah aliran sungai

49
125 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daerah Aliran Sungai Batasan Pengertian Daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet) (Dunne dan Leopold, 1978). Menurut Asdak (2002), ekosistem DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, dengan kemiringan lereng lebih besar dari 15%, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan dengan kemiringan lereng kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominsi hutan gambut/bakau. DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas. Perubahan tataguna lahan dibagian hulu DAS seperti reboisasi, pembalakan hutan, deforestasi, budidaya yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi akan berdampak pada bagian hilirnya, sehingga DAS bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan dari segi tata air. Oleh Universitas Sumatera Utara

Upload: syahrul-anwar

Post on 26-Dec-2015

105 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Daerah Aliran Sungai

TRANSCRIPT

Page 1: Daerah Aliran Sungai

125

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai

Batasan Pengertian

Daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai hamparan wilayah yang

dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan

air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai

dan keluar pada satu titik (outlet) (Dunne dan Leopold, 1978).

Menurut Asdak (2002), ekosistem DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu,

tengah, dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu merupakan daerah konservasi,

mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, dengan kemiringan lereng lebih besar

dari 15%, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola

drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS

merupakan daerah pemanfaatan dengan kemiringan lereng kecil (kurang dari 8%),

pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan

oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali

daerah estuaria yang didominsi hutan gambut/bakau.

DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik

biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas. Perubahan tataguna lahan dibagian

hulu DAS seperti reboisasi, pembalakan hutan, deforestasi, budidaya yang

mengabaikan kaidah-kaidah konservasi akan berdampak pada bagian hilirnya,

sehingga DAS bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan dari segi tata air. Oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Daerah Aliran Sungai

126

karena itu yang menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS sering kali DAS bagian

hulu, mengingat adanya keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang

menempatkan DAS sebagai unit pengembangannya. Ada tiga aspek utama yang

selalu menjadi perhatian dalam pengelolaan DAS yaitu jumlah air (water yield),

waktu penyediaan (water regime) dan sedimen.

DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi yang dipengaruhi oleh

peubah presipitasi (hujan) sebagai masukan ke dalam sistem. Disamping itu DAS

mempunyai karakter yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur-unsur utamanya

seperti jenis tanah, topografi, geologi, geomorfologi, vegetasi dan tataguna lahan.

Karakteristik DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dapat

memberi pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi,

aliran permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai (Seyhan, 1977).

Dalam hal ini air hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalami proses yang

dikontrol oleh sistem DAS menjadi aliran permukaan (surface runoff), aliran bawah

permukaan (interflow) dan aliran air bawah tanah (groundwater flow). Ketiga jenis

aliran tersebut akan mengalir menuju sungai, yang tentunya membawa sedimen

dalam air sungai tersebut. Selanjutnya, karena daerah aliran sungai dianggap sebagai

sistem, maka perubahan yang terjadi disuatu bagian akan mempengaruhi bagian yang

lain dalam DAS (Grigg, 1996).

Bagian hilir dari DAS pada umumnya berupa kawasan budidaya pertanian,

tempat pemukiman (perkotaan), dan industri, serta waduk untuk pembangkit tenaga

listrik, perikanan dan lain-lain. Daerah bagian hulu DAS biasanya diperuntukan bagi

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Daerah Aliran Sungai

127

kawasan resapan air. Dengan demikian keberhasilan pengelolaan DAS bagian hilir

adalah tergantung dari keberhasilan pengelolaan kawasan DAS pada bagian hulunya.

Kerusakan DAS dapat ditandai oleh perubahan perilaku hidrologi, seperti tingginya

frekuensi kejadian banjir (puncak aliran) dan meningkatnya proses erosi dan

sedimentasi. Kondisi ini disebabkan belum tepatnya sistem penanganan dan

pemanfaatan DAS (Brooks et al, 1989).

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Tujuan umum pengelolaan DAS adalah keberlanjutan yang diukur dari

pendapatan, produksi, teknologi dan erosi. Teknologi yang dimaksud adalah

teknologi yang dapat dilakukan oleh petani dengan pengetahuan lokal tanpa

intervensi dari pihak luar dan teknologi tersebut dapat direplikasi berdasarkan faktor-

faktor sosial budaya petani itu sendiri. Erosi harus lebih kecil dari erosi yang dapat

ditoleransikan agar kelestarian produktivitas dapat dipertahankan (Sinukaban, 2007).

Tujuan akhir pengelolaan DAS adalah terwujudnya kondisi yang lestari dari

sumber daya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberikan manfaat secara

optimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Manfaat yang optimal

dan berkesinambungan akan tercapai apabila sumber daya alam dan lingkungan

dikelola dengan baik (Mangundikoro, 1985).

Hal yang sama dikemukakan oleh Haeruman (1985) yang mendefinisikan

pengelolaan DAS sebagai pengelolaan sumberdaya lahan, hutan dan air untuk tujuan

produksi air secara optimum baik kuantitas maupun kualitasnya, meningkatkan

stabilitas tanah, dan melindungi lahan.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Daerah Aliran Sungai

128

Untuk mencapai tujuan akhir dari pengelolaan DAS yaitu terwujudnya kondisi

yang optimal dari sumberdaya hutan, tanah dan air, maka kegiatan pengelolaan DAS

meliputi empat upaya pokok (Mangundikoro, 1985), yaitu : 1) Pengelolaan lahan

melalui usaha konservasi tanah dalam arti yang luas; 2) Pengelolaan air melalui

pengembangan sumberdaya air; 3) Pengelolaan hutan, khususnya pengelolaan hutan

yang memiliki fungsi perlindungan terhadap tanah dan air; 4) Pembinaan kesadaran

dan kemampuan manusia dalam penggunaan sumberdaya alam secara bijaksana

melalui usaha penerangan dan penyuluhan.

Dasar pertimbangan pentingnya penggunaan daerah aliran sungai (DAS)

sebagai unit pengelolaan sumberdaya alam tanah, air dan hutan, adalah bahwa DAS

merupakan unit hidrologi yang memiliki unsur-unsur biogeosistem dan manusia

dengan aktivitas budidayanya. Oleh karena itu DAS tepat sekali digunakan sebagai

unit perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi konservasi pengelolaan

sumberdaya alam (Asdak, 1995).

Selanjutnya, upaya yang dapat dilakukan untuk memperlambat proses degradasi

fungsi DAS dalam pengembangan dan pengelolaannya, pada dasarnya ditujukan

untuk; memelihara dan meningkatkan fungsi hidrologis DAS agar diperoleh hasil air

yang tinggi dan merata sepanjang tahun, tingkat erosi dan sedimentasi rendah,

produktivitas lahan tinggi, DAS lentur terhadap goncangan perubahan yang terjadi

(resillient), dan membina terlaksananya unsur-unsur pemerataan (equity) bagi petani

(Arsyad et al, 1985). Untuk mencapai upaya tersebut, dapat ditempuh dengan cara

memaksimalkan fungsi sejumlah komponen yang bekerja dalam sistem DAS, seperti

vegetasi, tanah, air dan faktor penggunaan lahan.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Daerah Aliran Sungai

129

Indikator Pengelolaan DAS Berkelanjutan

Seperti telah dijelaskan, bahwa fungsi hidrologis DAS adalah debit yang stabil,

tingkat erosi dan sedimentasi rendah, serta produktivitas lahan yang tinggi. Untuk itu

maka suatu DAS yang berkelanjutan adalah DAS dengan fungsi hidrologis dengan

indikator yang dimaksud. Berikut akan dijelaskan indikator-indikator DAS

berkelanjutan tersebut.

Debit

Respon hidrologi suatu DAS dapat berupa produksi air yang dinilai dari

kontribusi aliran langsung terhadap debit total yang besar kecilnya tergantung dari

sifat hujan dan karakteristik fisik DAS/sub DAS (Lee, 1980 dalam Rauf, 1994).

Tanggapan aliran sungai terhadap masukan air hujan merupakan wujud respon

hidrologi yang dapat dilihat pada kurva hidrograf, yang sangat ditentukan oleh sifat

hujan dan karakter sifat fisik DAS (Chow, 1964).

Analisis hidrograf aliran adalah merupakan satu metode yang cukup relevan

untuk menarik kesimpulan apakah kondisi suatu DAS masih dalam kondisi baik,

karena output DAS yang diharapkan harus menjamin distribusi air yang merata

sepanjang tahun dengan hasil air (water yield) yang cukup tinggi Asdak, 2002).

Bentuk hidrograf sebagai respon hidrologi sangat tergantung dari sifat hujan

dan karakteristik DAS yang bersangkutan. Grafik hidrograf tahunan dari satu daerah

aliran sungai menggambarkan kondisi hidrologis satu DAS. Apabila bentuk kurva

aliran mempunyai nilai maksimum dan minimum yang besar maka dipastikan bahwa

kondisi DAS relatif kurang baik, karena perbedaan besar aliran air pada musim

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Daerah Aliran Sungai

130

penghujan dan musim kemarau sangat besar, sebaliknya apabila kurva aliran

mempunyai perbedaan maksimum dan minimum yang kecil maka dapat disimpulkan

kondisi DAS dalam keadaan baik karena perbedaan besar aliran pada musim

penghujan dan musim kemarau relatif kecil sehingga sungai pada musim penghujan

tidak menyebabkan banjir sebaliknya pada musim kemarau masih dapat mensuplai

debit aliran yang cukup besar seperti Gambar 2 (Chow, 1964).

Gambar 2. Refleksi hidrograf yang diharapkan.

Erosi

Di daerah beriklim basah seperti di Indonesia kerusakan lahan oleh erosi

terutama disebabkan oleh hanyutnya tanah terbawa oleh air hujan. Erosi oleh air

sangat membahayakan tanah-tanah pertanian di Indonesia, terutama yang terletak di

daerah dengan kemiringan yang besar. Selain iklim dan kemiringan lahan (topografi),

besarnya erosi dipengaruhi pula oleh faktor-faktor vegetasi, pengolahan tanah dan

manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tersebut dapat dinyatakan dalam

suatu persamaan deskriptif berikut (Arsyad, 1989) :

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Daerah Aliran Sungai

131

E = f (C, T, V, S, H)

dimana C = curah hujan, T = topografi, V = vegetasi, S = tanah, dan H= manusia.

Faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap erosi adalah intensitas curah

hujan dan ketinggian tempat. Faktor topografi yang diduga berpengaruh terhadap

debit air dan kadar lumpur adalah kemiringan lereng maupun panjang lereng.

Selanjutnya Arsyad (1989) mengemukakan, bahwa faktor tanah yang diduga

mempengaruhi erosi dan sedimentasi adalah : (a) luas jenis tanah yang peka erosi, (b)

luas tanah kritis atau daerah erosi, dan (c) luas tanah dengan kedalaman tertentu.

Upaya membuat model persamaan matematis untuk memprediksi erosi tanah

telah dimulai sejak tahun 1940-an khususnya di negara Amerika Serikat; dimulai

dengan menganalisis variabel-variabel utama yang mempengaruhi terjadinya erosi

tanah oleh air. Cook (1936) dalam Renard, et al (1996) menyimpulkan tiga faktor

utama yang mempengaruhi erosi yaitu : 1) kepekaan tanah untuk tererosi, 2) potensi

erosivitas hujan dan aliran permukaan serta 3) perlindungan tanah oleh tutupan tajuk

vegetasi.

Zing (1940) dalam Wischmeier dan Smith (1928) mempublikasikan persamaan

pertama untuk menghitung erosi tanah dari suatu lahan usahatani dengan

memasukkan faktor kemiringan dan panjang lereng. Kemudian Smith (1941)

menambahkan faktor sistem penanaman dan faktor konservasi tanah terhadap

persamaan tersebut sekaligus mengemukakan konsep spesifik batas erosi tahunan.

Hasil persamaan tersebut digunakan untuk mengembangkan metoda grafis untuk

penentuan faktor tindakan konservasi yang diperlukan pada suatu kondisi tanah

tertentu di bagian barat-tengah Amerika Serikat.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Daerah Aliran Sungai

132

Model USLE (Universal Soil Loss Equation) merupakan model prediksi erosi

empirik yang paling populer dan secara luas digunakan sebagai referensi/acuan dalam

perencanaan konservasi tanah dan air (Wischmeier dan Smith, 1978). Model tersebut

dikembangkan berdasarkan pengamatan erosi jangka panjang pada skala plot dan

dirancang untuk memprediksi erosi rata-rata tahunan dari suatu lahan dengan

penggunaan dan pengolahan tertentu. Model USLE disajikan sebagai berikut:

A = R K L S C P

A : Jumlah tanah tererosi per unit area (ton/ha/tahun).

R : faktor erosivitas hujan: energi kinetik hujan (E) dikalikan dengan intensitas

hujan maksimum selama 30 menit pada curah hujan normal.

K : faktor erodibilitas tanah : laju erosi per-unit indeks erosi hujan untuk tanah

yang terus menerus diberakan (diolah bersih menurut lereng dan tidak

ditanami) dengan kemiringan lereng 9% dan panjang lereng 22 m.

L : faktor panjang lereng : rasio erosi tanah dari plot erosi dengan panjang lereng

tertentu terhadap erosi tanah dari plot erosi dengan panjang lereng 22 m, jenis

tanah dan pengelolaan yang identik.

S : faktor kemiringan lereng : rasio erosi tanah dari plot erosi dengan kemiringan

lereng tertentu terhadap erosi dari plot erosi dengan kemiringan 9% dan

pengelolaan yang identik.

C : faktor tanaman dan pengelolaan : rasio erosi dari erosi dengan tanaman dan

pengelolaan tertentu terhadap erosi dari plot erosi yang diolah bersih dan

diberakan.

P : faktor tindakan konservasi tanah : rasio erosi dari plot dengan tindakan

konservasi tertentu terhadap erosi dari plot erosi yang ditanami secara baris

menurun lereng.

Pada hakikatnya USLE dikembangkan sebagai alat perencanaan konservasi

tanah (soil conservation plainning tool). Namun karena belum adanya model prediksi

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Daerah Aliran Sungai

133

erosi skala DAS maka model ini tetap digunakan untuk memprediksi erosi DAS tanpa

dibarengi modifikasi yang berarti (Kinnell dan Risse, 1998)

Model prediksi erosi USLE telah digunakan secara luas, baik di Indonesia

maupun negara lain di Asia. Afrika, dan Eropa, tetapi ketepatan penggunaannya

dalam memprediksi erosi dari suatu wilayah (DAS) masih diragukan (Kurnia,1997)

mengingat bahwa metode USLE hanya dapat memprediksi rata-rata kehilangan tanah

dari erosi lembar (sheet erosion), dan erosi alur (rill erosion). Model ini juga tidak

dapat memprediksi pengendapan (deposition) dan tidak menghitung hasil sedimen

(sediment yield) dari erosi parit (gully erosion), tebing sungai (stream bank erosion)

dan dasar sungai (stream bed erosion) (Wischmeier, 1969). Hasil pendugaan erosi

tidak menggambarkan keadaan erosi suatu wilayah/kawasan yang luas, melainkan

hanya dari lahan usaha tani yang sempit dengan kemiringan lereng tunggal dan belum

memperhitungkan pengendapan tanah yang tererosi dari tanah diatasnya

(Wischmeier, 1976). Untuk menghitung besarnya erosi yang terjadi di DTA Danau

Toba akan didekati dengan memakai Model ANSWERS.

Hasil Sedimen

Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi

yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat

tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam

sungai (suspended sediment) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk.

Bentuk hubungan antara erosi yang berlangsung di daerah tangkapan dan besarnya

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Daerah Aliran Sungai

134

sedimen yang terukur di daerah hilir mempunyai mekanisme kausalitas yang rumit

dan belum banyak dimengerti (Simons dan Senturk,1992).

Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di DAS/sub-DAS dan

tergantung pada transpor partikel-partikel tanah yang tererosi tersebut keluar dari

daerah tangkapan air DAS/sub-DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu kepada

besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam

suatu sistem DAS. Tidak semua tanah yang tererosi di permukaan daerah tangkapan

air akan sampai ke titik pengamatan. Sebagian tanah tererosi akan terdeposisi di

cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk-bentuk

penampungan sedimen lainnya. Oleh karenanya, besarnya hasil sedimen biasanya

bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS/sub-DAS (Julien, 1995). Besarnya hasil

sedimen dinyatakan sebagai volume atau berat sedimen per satuan daerah tangkapan

air per satuan waktu (ton per km2 per tahun).

Penelitian jangka panjang yang dilakukan di daerah beriklim sedang

menunjukkan bahwa hasil sedimen tahunan merupakan fungsi dari besarnya air larian

tahunan di daerah kajian, daerah tangkapan air, dan persentase daerah yang digarap

(pertanian, perkebunan, peternakan). Besarnya hasil sedimen per kilometer persegi

meningkat dengan meningkatnya air larian, menurunnya daerah tangkapan asal

sedimen, dan meningkatnnya lahan garapan (Dunne dan Leopold, 1978).

Sistem Hidrology DAS

Konsep daur air (hydrology cycle) menjadikan dasar pemikiran untuk

mempelajari siklus hidrologi DAS sebagaimana siklus hidrologi yang continental

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Daerah Aliran Sungai

135

dalam skala luas (benua). Pendekatan geografik yang memandang DAS sebagai suatu

sistem yang alami, dimana DAS menjadi wadah tempat berlangsungnya proses-

proses fisik hidrologis maupun kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang kompleks

dengan dibatasi oleh punggung bukit dapat menjadi sarana untuk mempelajari respon

hidrologi yang terjadi (Pawitan dan Murdiyarso 1996).

Dalam sistem hidrologi DAS terdapat peubah sistem yang berperan dalam

proses masukan dan keluaran. Selain itu terdapat pula fungsi transfer yang

mencirikan interaksi antara setiap komponen dalam DAS. Interaksi antara komponen

dalam DAS dinyatakan dalam bentuk kesetimbangan yang bersifat dinamis, artinya

bahwa DAS tersebut menerima masukan hujan yang stokhastik sesuai dengan sifat

hidrometeorologinya dan sistem DAS dikendalikan oleh kendala fisiografi yang dapat

dianggap deterministik untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang juga

stokastik. Tanggapan kawasan DAS sebagai pengatur proses terhadap hujan akan

memberikan keluaran sebagai akibat interaksi semua proses yang terjadi dalam DAS

(Pawitan, 1995).

Perubahan fungsi hidrologi DAS sebagai dampak dari perluasan kawasan

budidaya dalam lahan DAS yang tidak terkendali seringkali mengarah pada kondisi

yang kurang diinginkan, yaitu berupa peningkatan erosi dan sedimentasi,

kemerosotan produktifitas lahan, dan degradasi lahan. Hasil akhir perubahan ini tidak

hanya nyata secara fisik berupa meluasnya lahan kritis dengan daya dukung yang

merosot, akan tetapi juga secara ekonomi, yaitu berupa masyarakat miskin yang

semakin hilang kesempatan berusaha tani (Pawitan dan Murdiyarso 1996). Oleh

karena itu, pengembangan kawasan budidaya dalam lahan DAS memerlukan

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Daerah Aliran Sungai

136

perencanaan terpadu untuk menjamin terwujudnya pengembangan DAS yang

berkelanjutan sebagaimana yang diharapkan.

2. 2. Model dan Sistem

Model

Model adalah suatu gambaran abstrak dari sistem dunia nyata (real world

system) yang mempunyai kelakuan seperti sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu.

Suatu model yang baik biasanya akan menggambarkan dengan baik semua segi-segi

yang penting dari kelakuan dunia nyata dalam masalah-masalah tertentu (Manetsch

dan Park, 1977). Penyederhanaan dari sebuah sistem di dunia nyata (real world) tidak

selalu mudah karena selalu dibayangi oleh distorsi terhadap sistem yang sebenarnya.

Menurut Sandi (1973) Penyusunan model merupakan suatu usaha untuk meniru

sistem dimana dicoba untuk menemukan komponen-komponen utama suatu sistem

dan interaksi setiap komponen. Selanjutnya dikatakan bahwa validitas suatu model

bukan merupakan satu konsep yang absolut. Apakah suatu model valid atau tidak,

tergantung tujuan membangun model tersebut.

Manetsch dan Park (1976) membagi model atas lima macam, yaitu: (1) model

matematik, (2) model fisik, (3) model analog, (4) model informal dan (5) model

kualitatif. Model yang paling abstrak adalah model matematik, dimana hubungan

timbal balik dalam suatu sistem dinyatakan dalam rumus-rumus matematika.

Selanjutnya dikatakan bahwa kegunaan model sangat tergantung pada

persyaratan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Daerah Aliran Sungai

137

1. Model harus merupakan gambaran yang sahih dari sistem yang nyata, jadi harus

realistik dan informatif. Model yang tidak sahih akan memberikan hasil simulasi

yang sangat menyimpang dari kenyataan yang ada dengan demikian akan

memberikan informasi yang keliru.

2. Model harus cukup sederhana agar mudah dikelola.

Bagaimanapun bagusnya model, ia tetap merupakan distorsi dari sistem yang

sebenarnya, oleh karena itu harus digunakan secara teliti dan seksama.

Sistem

Menurut Manetsch dan Park (1976), sistem adalah suatu perangkat elemen-

elemen yang saling berhubungan atau berkaitan yang diorganisasi untuk mencapai

satu tujuan atau seperangkat tujuan.

Pada hakekatnya semua yang dipandang sebagai sistem dapat digolongkan

menjadi dua, yaitu sistem tertutup (closed system) dan sistem terbuka (open system).

Dalam hal ini umumnya sistem-sistem alam, seperti sistem biologis dan sistem DAS

termasuk ke dalam sistem terbuka.

Selanjutnya, dalam pelaksanaan kajian sistem diperlukan suatu teknik yang

disebut dengan analisis sistem. Analisis sistem adalah studi mengenai sistem atau

oraganisasi dengan menggunakan azas-azas metoda ilmiah, sehingga dapat dibentuk

konsepsi atau model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk

mengadakan perubahan-perubahan struktur dan metode serta menentukan

kebijaksanaan, strategi dan taktik (Soerianegara, 1978). Oleh karena itu analisis

sistem dapat diartikan sebagai suatu metode pemecahan masalah (problem solving

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Daerah Aliran Sungai

138

methodology). Pada dasarnya analisis sistem merupakan suatu metode penyelidikan

atau penelitian yang dihadapkan dengan masalah pemilihan alternatif dalam

ketidakpastian. Jadi analisis sistem digunakan untuk kepentingan pemilihan alternatif

dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Budhiyono, 1981).

Reichle (1970) mengemukakan, bahwa tujuan dari analisis sistem adalah untuk

mengerti dan mengenali proses-proses yang terjadi dalam suatu ekosistem. Dalam

ekosistem sumberdaya alam, analisis sistem diartikan sebagai suatu cara analisis

matematis tentang hubungan antara faktor-faktor dan komponen-komponen dalam

ekosistem sumberdaya alam tersebut yang mempunyai peranan dalam proses-proses

produksi, konsumsi dan pembinaan (Soerianegara, 1978). Oleh karena itu metode

pendekatan sistem dapat digunakan sebagai suatu dasar pemikiran yang

memungkinkan dalam pemecahan masalah-masalah yang rumit.

Peubah sistem dapat dikelompokkan dalam 3 katagori, yaitu peubah input

sistem, peubah output sistem dan parameter-parameter dugaan yang merupakan

aspek-aspek atau komponen dari suatu struktur sistem. Untuk melihat ketelitian dari

nilai-nilai parameter dugaan komponen sistem, maka digunakan teknik analisis

kepekaan (sensitivity analysis). Dengan merubah nilai setiap parameter ke atas dan ke

bawah, melalui suatu analisis komputer dapat dilihat respon dari sistem tersebut.

Apabila respon sistem kecil maka dikatakan bahwa sistem tidak sensitif terhadap nilai

parameter tersebut. Apabila respon sistem besar menunjukkan bahwa nilai parameter

tersebut penting, oleh karena itu diperlukan suatu dugaan yang lebih teliti lagi (Smith,

1970).

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Daerah Aliran Sungai

139

Hubungan antara peubah-peubah dalam suatu sistem, sebagai hubungan sebab

akibat, dirumuskan dalam suatu bentuk umum yang disebut model. Model ini tidak

lain adalah hipotesis yang harus dibentuk dan diuji kebenarannya untuk suatu sistem

(Haeruman, 1971 dalam Budhiyono, 1981). Untuk itu maka secara umum dapat

dikatakan bahwa analisis sistem adalah metoda ilmiah yang merupakan dasar di

dalam pemecahan masalah-masalah pengelolaan.

2.3. Model Hidrologi Daerah Aliran Sungai

Model hidrologi adalah sebuah sajian sederhana (simple representation] dari

sebuah sistem hidrologi yang kompleks (Harto, 1993). Selanjutnya Brooks et al.

(1989) menyebutkan bahwa model hidrologi merupakan gambaran sederhana dari

suatu sistem hidrologi yang aktual. Model hidrologi biasanya dibuat untuk

mempelajari fungsi dan respon suatu DAS dari berbagai masukan DAS. Melalui

model hidrologi dapat dipelajari kejadian-kejadian hidrologi yang pada gilirannya

dapat digunakan untuk memprediksi kejadian hidrologi yang akan terjadi.

Konsep dasar yang digunakan dalam setiap sistem hidrologi adalah siklus

hidrologi (Harto, 1993). Persamaan dasar yang menjadi landasan bagi semua analisis

hidrologi adalah persamaan neraca air (water balanced equation). Persamaan neraca

air dari suatu daerah aliran sungai untuk suatu periode dapat dinyatakan dengan

persamaan berikut:

I - O = AS

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Daerah Aliran Sungai

140

dimana :

I = masukan (inflow)

O = keluaran (outflow)

AS = perubahan tampungan (storage change)

Sebagai suatu sistem hidrologi, daerah aliran sungai meliputi jasad hidup,

lingkungan fisik dan kimia yang berinteraksi secara dinamik, yang didalamnya terjadi

kesetimbangan dinamik antara energi dan meterial yang masuk dengan energi dan

material yang keluar. Dalam keadaan alami, energi matahari, iklim diatas DAS dan

unsur-unsur endogenik dibawah permukaan DAS merupakan masukan (input).

Sedangkan air dan sedimen yang keluar dari muara DAS serta air yang kembali ke

udara melalui evapotranspirasi adalah keluaran (output) DAS (Sinukaban, 1997).

Penggunaan model dalam penelitian hidrologi pertama kali diperkenalkan oleh

Crawford dan Linsley (1966), yang dikenal sebagai Stanford Watershed Model IV

(SWM IV) (Viessman Jr. et.al., 1977). Didalam model tersebut struktur neraca air

yang menyangkut parameter-parameter input dan output diuraikan secara ringkas.

Fungsi yang dirumuskannya diuji dengan simulasi komputer yang disebut

Hydrocomp Simulation Program (Biswas, 1976 dalam Murdiyarso, 1979).

Untuk analisis DAS, model hidrologi dapat dibedakan dalam "lumped" dan

"distributed". Model lumped parameter mentransformasi curah hujan (input) ke

dalam runoff (output) dengan konsep bahwa semua proses dalam DAS terjadi pada

satu titik spasial. Lumped parameter memperlakukan DAS sebagai himpunan

parameter-parameter yang berperilaku seragam. Sebaliknya, model distributed

parameter berusaha menggambarkan proses dan mekanisme fisik dan keruangan.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Daerah Aliran Sungai

141

Distributed parameter memperlakukan masing-masing komponen DAS atau proses

sebagai komponen mandiri dengan sifatnya masing-masing.

Model USLE, MUSLE, RUSLE, CREAMS (chemical runoff and erosion from

agricultural management system) dan GLEAMS (groundwater loading effect of

agricultural management system) tergolong dalam lumped parameter. Sedangkan

WEPP (water erosion prediction project), KINEROS (KINematic EROsion

Simulation), EUROSEM (EUROpean Soil Erosion Model), TOP MODEL

(TOPographically and physically based, variable contributing area MODEL of basin

hidrology) dan ANSWERS tergolong distributed parameter.

Simulasi adalah suatu teknik numeris untuk mengadakan eksperimen hipotetis

bagi model matematis, yang dapat menjabarkan tingkah laku sistem dinamik secara

kuantitatif (Hillel, 1977)

Dengan simulasi hidrologi dapat dengan jelas digambarkan proses curah hujan

dan limpasan permukaan melalui satu seri fungsi-fungsi matematik di mana setiap

komponen digambarkan dalam satu proses yang khusus dan seluruh proses sistem

alam dalam simulasi gabungan. Program simulasi hidrologi dirancang dengan curah

hujan sebagai masukan utama dan aliran sungai (streamflow) sebagai keluaran utama.

Jadi dengan simulasi hidrologi dimungkinkan untuk menggambarkan data curah

hujan historis ke dalam nilai-nilai aliran sungai yang menunjukkan pengaruh dari

lahan dan saluran-saluran terhadap fluktuasi aliran dan membantu pengertian

tentang siklus hidrologi dalam suatu Daerah Aliran Sungai.

Keuntungan menggunakan simulasi adalah dapat melakukan eksperimentasi

atas suatu sistem atau ekosistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Daerah Aliran Sungai

142

perlakukan terhadap sistem yang diteliti. Melalui penerapan analisis sistem dapat

dilakukan penelitian yang multi atau interdisiplin dan terintegrasi, yang seringkali

tidak mungkin dilakukan dalam keadaan sebenarnya. Dari segi efisiensi dan

kelayakan teknis, analisis sistem dapat dilakukan dengan singkat, dengan biaya yang

relatif murah serta hasil yang cukup dapat dipercaya (Soerianegara, 1978).

Secara lebih terperinci lagi Desonneville (1974) mengemukakan tahapan kerja

dalam melakukan simulasi dengan analisis sistem sebagai berikut:

1. Masalah yang akan disimulasikan harus ditentukan dengan jelas, demikian pula

ruang lingkup, pentingnya masalah dan manfaat dari hasil simulasi yang

dilakukan.

2. Setelah ditentukan masalah yang akan disimulasi kemudian dibuat model yang

didasarkan pada masalah dan keadaan dari sistem atau dengan kata lain model

tersebut harus mewakili sistem yang nyata tetapi tetap berada dalam ruang

lingkup masalah yang akan disimulasi.

3. Karena simulasi akan dilakukan pada komputer, maka model yang dibuat tersebut

harus dapat digambarkan dalam suatu model matematis.

4. Berdasarkan model yang telah dibuat tersebut sudah harus ditentukan, data apa

yang diperlukan untuk simulasi. Data yang dikumpulkan harus dapat dipercaya

kebenarannya dan yang lebih penting harus bersifat kuantitatif agar dapat

digunakan dalam model matematis yang telah dibuat.

5. Model matematis yang telah dibuat tersebut harus dapat ditransfer menjadi

program komputer. Dengan bantuan flowchart (diagram alir), program komputer

dapat dibuat.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Daerah Aliran Sungai

143

6. Model yang telah diprogramkan tadi, masih harus diuji apakah sudah mewakili

sistem yang sebenarnya dan masalah yang akan disimulasi. Apabila data yang

digunakan dapat dipercaya kebenarannya, maka pengujian model ini dapat

dilakukan dengan menganalisis model simulasi. Hasil simulasi ini dibandingkan

dengan kenyataan yang ada (dengan data yang ada). Jika hasil simulasi sudah

sesuai dengan kenyataan yang ada, maka model yang digunakan sudah tepat,

tetapi bila belum sesuai, maka model yang dibuat tersebut masih harus diperbaiki,

sampai diperoleh model yang benar-benar tepat.

7. Bila pengujian telah dilakukan dan ternyata model yang digunakan sudah dapat

mewakili sistem yang nyata, maka untuk tahap selanjutnya simulasi dapat

dilakukan dengan menggunakan model tersebut dengan catatan tidak ada

perubahan pada sistem.

Oleh karena itu apabila suatu sistem digambarkan dalam model-model mulai

dari kondisi awal sampai pada akhir dari sistem ini, yang diikuti oleh suatu waktu

yang singkat maka teknik ini disebut Simulasi ( Eriyatno, 1989).

Dengan berkembangnya penggunaan komputer maka penerapan simulasi dalam

sistem-sistem yang rumit lebih dimungkinkan. Para ahli bidang hidrologi menyadari

sepenuhnya bagaimana pentingnya digital computer untuk suatu Analisis hidrologi

melalui pendekatan simulasi hidrologi.

2.4. Model ANSWERS

Model hidrologi ANSWERS (Areal Nonpoint Source Watershed Environmental

Respons Simulation) dikembangkan dari EPA (Environment Protection Agency) oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Daerah Aliran Sungai

144

Purdue Agricultural Experiment Station (Beasley dan Huggins, 1991). Model

ANSWERS ini telah diaplikasikan penggunaannya di Indonesia melalui beberapa

riset, seperti Rauf (1994) yang melakukan penelitian di Sub DAS Palu Timur,

Aswandi (1996) di DAS Cikapundung, Tikno (1996) di DAS Citanduy serta Ginting

dan Ilyas (1997) di Sungai Salak. Dari hasil uji model ANSWERS pada lokasi yang

berlainan tersebut, diperoleh hasil bahwa model ANSWERS memiliki tingkat akurasi

yang baik dalam memodelkan suatu daerah aliran sungai.

Model ANSWERS merupakan model parameter terdistribusi, untuk kejadian

hujan tunggal (event based model) yang dirancang untuk mengevaluasi pengaruh

BMPs (best management practices) terhadap aliran permukaan dan kehilangan

sedimen dari suatu DAS penggunaan lahan utama pertanian (Hidayat, 2009).

Hipotesis yang dikembangkan dalam model ini adalah bahwa setiap bagian

dalam DAS terjadi hubungan antara laju aliran dan parameter-parameter hidrologi,

serta tipe tanah, topografi, infiltrasi, penggunaan lahan, dan sifat hujan. Laju aliran

yang terjadi dapat digunakan untuk mengkaji hubungan antara komponen hidrologi

yang menjadi dasar dalam pemodelan fenomena transport, seperti erosi tanah dan

pengangkutan serta pergerakan bahan kimia tanah (de Roo,1993).

Dalam model ini suatu DAS yang akan dianalisis responnya dibagi menjadi

satuan elemen yang berukuran bujur sangkar dan setiap elemen tersebut memiliki

paramater hidrologi yang sama. Perbedaan antar sel menyebabkan model mampu

mempertimbangkan heterogenitas DAS secara alami. Elemen diartikan sebagai suatu

areal yang mempunyai parameter hidrologi yang sama, dimana setiap elemen akan

memberikan kontribusi sesuai dengan karakteristik yang dimiliki.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Daerah Aliran Sungai

145

Di dalam setiap sel, model mensimulasikan intersepsi, retensi permukaan,

infiltrasi, aliran permukaan, perkolasi, penghancuran partikel tanah menjadi sedimen

dan pengangkutan sedimen. Aliran permukaan bergerak menuju downslope melalui

aliran sel tetangganya atau sel lain yang mempunyai saluran. Model ANSWERS

dapat digunakan untuk mensimulasikan beberapa BMPs seperti pengolahan tanah

konservasi, hutan, kolam, rerumputan dan tindakan lainnya yang mempengaruhi

parameter input model berdasarkan fisik (Beasley and Huggins, 1991).

Dari beberapa hasil penelitian terdahulu (Rauf, 1994; Aswandi, 1996; dan

Tikno, 1996) dapat disimpulkan bahwa model ANSWERS mempunyai kelebihan

antara lain: (a), analisis parameter distribusi yang dipergunakan dapat memberikan

hasil simulasi yang akurat terhadap sifat daerah tangkapan; (b). dapat mensimulasi

secara bersamaan dari berbagai kondisi dalam DAS; (c). memberikan keluaran berupa

limpasan dan sedimen dari suatu DAS yang dianalisis. Sedangkan kelemahan model

ANSWERS terletak pada model erosi yang sebagian besar bersifat empiris dan hanya

mensimulasikan transportasi total sedimen.

Diagram alir dari mekanisme model ANSWERS dapat dilihat pada gambar 3.

Dari sejumlah hujan yang turun, sebagian diintersepsi oleh kanopi vegetasi (dengan

penutupan PER = Potensi Evaporasi) sampai Potensial Simpanan Intersepsi (PIT)

terjadi. Apabila laju curah hujan yang turun lebih besar dari laju intersepsi, infiltrasi

ke dalam tanah dimulai. Laju infiltrasi dipengaruhi oleh kandungan air tanah mula-

mula (ASM, Antecedent Soil Moisture), Porositas Tanah Total (PTT), kandungan air

tanah pada kondisi Kapasitas Lapang (KL), laju infiltrasi pada saat konstan (FC), laju

infiltrasi awal (FC+A) dan kedalaman zona kontrol infiltrasi (DF).

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Daerah Aliran Sungai

146

Penurunan laju infiltrasi secara eksponensial dan meningkatnya kandungan air

tanah menyebabkan tercapainya suatu titik ketika laju hujan yang turun lebih besar

dari laju infiltrasi dan intersepsi. Jika kondisi ini terjadi air mulai mengumpul di atas

permukaan dalam depresi-mikro (retention storage) yang dipengaruhi oleh peubah

kekasaran permukaan, yaitu RC dan HU. Jika retensi permukaan melebihi kapasitas

depresi-mikro, maka akan terjadi limpasan permukaan (dipengaruhi oleh nilai n

Manning, kelerengan, dan arah aliran). Laju infiltrasi tetap (FC) akan dicapai bila

lama dan intensitas kejadian hujan relatif besar. Pada saat hujan reda, proses infiltrasi

berlangsung sampai air dalam simpanan depresi sudah tidak tersedia lebih lama lagi.

Air dan sedimen yang dapat mencapai elemen yang memiliki saluran, selanjutnya

akan diangkut menuju outlet DAS. Sedimentasi dalam saluran terjadi ketika besarnya

kapasitas transpor telah dilewati (de Roo, 1993).

Penghancuran dan pengangkutan partikel tanah disebabkan oleh dampak butiran

hujan yang jatuh (DRO=direct run off) atau limpasan permukaan. Ada atau tidaknya

partikel tanah yang dipindahkan tergantung besarnya sedimen dan kapasitas

transpornya (TC).

Daerah aliran sungai di modelkan dengan membangun strukturnya secara

konseptual oleh kumpulan elemen bujursangkar, sehingga derajat variabelitas spasial

dalam DAS dapat terakomendasi, dimana variasi tersebut diberikan oleh parameter

setiap elemen DAS. Elemen diartikan sebagai suatu areal yang mempunyai

parameterhidrologi yang sama, dimana setiap elemnen akan memberikan kontribusi

dengan karakteristik yang dimiliki. Dengan demikian model ANSWERS ini

melakukan analisis pada setiap satuan elemen (Beasley dan Huggins.1981).

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Daerah Aliran Sungai

147

Gambar 3. Diagram Alir Model ANSWERS (de Roo, 1993)

Hujan

Air hujan yang jatuh di atas permukaan lahan bervegetasi sebagian

diintersepsi oleh tutupan tajuk vegetasi. PIT menggambarkan volume air hujan yang

tertahan sebagai air intersepsi jika suatu lahan tertutupi sempurna oleh tanaman atau

penggunaan lahan tertentu. ANSWERS menggunakan maksimum potensial simpanan

intersepsi (PIT, dalam mm) sebagai input. Jumlah air hujan dikalikan dengan porsi

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Daerah Aliran Sungai

148

elemen yang tertutupi vegetasi (PER) menghasilkan intersepsi incremental (RIT).

Simpanan intersepsi potensial ditentukan untuk setiap kejadian hujan dan untuk setiap

jenis tanaman. Data simpanan intersepsi potensial sering diprediksikan menggunakan

persamaan Horton ( De Roo, 1993).

Infiltrasi

Model ANSWERS mensimulasikan infiltrasi air ke dalam tanah dengan

menggunakan persamaa Holtan�s (1961) yang dimodifikasi Everton (1964), dengan

persamaan :

FMAX = FC + A PIV TP dimana :

FMAX : Kapasitas infiltrasi dengan permukaan tanah tergenang (cm/jam)

FC : Kaspasitas infiltrasi konstan (cm/jam)

A : Maksimum kapasitas infiltrasi � FC (cm/jam)

TP : Prositas total di dalam zona control infiltrasi (%)

PIV : Volume air yang dapat ditahan dalam zona control hingga jenuh (cm)

P : Koefisien empirik yang menunjukkan penurunan laju infiltrasi

dengan meningkatnya kelembaban tanah

Infiltrasi dihitung berdasarkan 6 parameter fisik tanah yang meliputi porositas

total, kadar air kapasitas lapang, zona kontrol infiltrasi, koefisien A dan P. Persamaan

Holtan�s telah banyak digunakan namun persamaan tersebut mempunyai keterbatasan

terutama dalam penetapan zona kontrol infiltrasi pada suatu tanah dan penentuan nilai

A dan P. Nilai koefisien A dan P dapat ditentukan dengan menggunakan data

literature atau ditentukan dengan menggunakan metoda pengepasan (fitting) infiltrasi

P

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Daerah Aliran Sungai

149

hasil prediksi dan data infiltrasi hasil penggukuran (Bouroui, 1996). Pendekatan zona

control kedalaman infiltrasi ditentukan sebagai kedalaman horizon.

Smith (1976) menyatakan bahwa persamaan Holtan tidak bersesuaian dengan

prinsip hidrolik dimana laju infiltrasi tergantung kepada zona kontrol infiltrasi. Baun

et al. (1986) menunjukkan bahwa volume aliran permukaan sangat sensitive terhadap

pemilihan zona kontrol kedalaman. Penurunan zona kontrol kedalaman 33%

menigkatkan volume aliran permukaan 87%, sedangkan penigkatan zona kontrol

kedalaman 33% menurunkan volume aliran permukaan 28%.

Dalam model ANSWERS, jika zona kontrol kedalaman infiltrasi telah terisi

dengan air, maka air yang lebih dari kapasitas lapang akan terdrainase ke lapisan

bawah dengan menggunakan persamaan Huggins dan Monke (1966) :

DR = FC 1- PIV GWC

dimana :

DR : laju drainase air dari zona kontrol (cm/jam)

GWC : air gravitasi dari zona kontrol (cm/jam)

Bouraoui (1996) mengintro-duksi persamaan infiltrasi Green-Ampt kedalam

model ANSWERS untuk mengatasi kelemahan model infiltrasi Holtan�s. Hal tersebut

dilakukan dengan alasan : a) model Green-Ampt merupakan model berdasarkan fisik

sehingga hasil dugaannya akan menjadi lebih baik; b) perhitungan yang dilakukan

lebih efisien, dan c) parameter dapat ditentukan secara mudah dari informasi data

tanah dan tutupan vegetasi yang tersedia.

3

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Daerah Aliran Sungai

150

Simpanan Depresi Mikro

Laju infiltrasi aktual tergantung kepada luas permukaan tanah yang tertutupi

oleh air. Laju infiltrasi yang terjadi akan lebih kecil jika tidak seluruh permukaan

tanah tertutup air dan instensitas hujan lebih kecil dari kapasitas infiltrasi. Oleh

karena itu diasumsikan bahwa hanya bagian permukaan tanah yang tertutup air saja

(FWA) yang mempunyai kapasitas infiltrasi maksimum. Sedangkan infiltrasi pada

areal permukaan lainnya tergantung pada instensitas hujan, dimana laju infiltrasi

sama dengan instensitas hujan netto.

Area permukaan yang tertutupi air (FWA) dan simpanan permukaan potensial

(DEP) dihitung menggunakan persamaan Huggins dan Monke (1966).

FWA = H HU DEP = HU*RC* H HU dimana : FWA : fraksi tutupan air DEP : volume air yang tersimpan di permukaan (mm) H : keadaan fisik stored water diatas elevasi terendah atau datum (mm) HU : ketinggian maksimum mikro relief/ketinggian diatas datum (mm) RC : eksponen yang menunjukkan frekuensi kekasaran permukaan

Jika H = HU, maka FWA = 1 dan DEP = HU*RC. Jika RC = 1, maka DEP =

HU, sehingga kapasitas infiltrasi dapat dihitung dengan persamaan:

FILT = FWA*f + (1-FWA)*R

dimana :

FILT : laju infiltrasi (mm/jam) f : laju infiltrasi dimana seluruh permukaan tertutupi air (mm/jam) R : intensitas hujan netto (mm/jam) setelah dikoreksi interspsi HU : ketinggian maksimum mikro relief/ketinggian diatas datum (mm)

1 RC

1 RC

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Daerah Aliran Sungai

151

Variabel HU mudah diukur di lapangan, tetapi variabel RC relative sulit

diukur di lapangan sehingga biasanya digunakan data sekunder yang disajikan

Beasley dan Huggins (1981).

Retensi permukaan dihitung dengan asumsi bahwa ketinggian maksimum air

diatas datum sudut aliran = 0 ( H = 0.1*Hu), sehingga retensi permukaan maksimum

adalah :

MAXDEP = HU*RC* [0,10]

MAXDEP : maksimum volume simpanan retensi (mm).

Akumulasi air yang melebihi kapasitas simpanan retensi (simpanan depresi

mikro) akan menghasilkan aliran permukaan.

Aliran Permukaan

Respon hidrologis setiap elemen dihitung sebagai fungsi dari waktu secara

ekplisit melalui penjelasan backward differential pada persamaan kontinuitas :

I � Q = dS dt

dimana :

I : laju inflow pada suatu elemen yang berasal dari hujan dan elemen tetangganya

(m3/dt)

Q : laju outflow (m3/dt)

S : volume air yang tersimpan dalam elemen (m3)

t : waktu (dt)

1 -1 RC

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Daerah Aliran Sungai

152

Persamaan tersebut diselesaikan dengan persamaan Manning dalam hubungan

stagedischarge untuk kinematic overland flow dan channel routing sederhana. Radius

hidrolik pada persamaan Manning diasumsikan sama dengan kedalaman retensi pada

masing-masing sel.

Elemen yang mempunyai saluran dianggap sebagai 2 elemen, yang berperan

sebagai elemen overland dengan perkecualian bahwa semua overland flow yang

keluar dari elemen akann masuk kedalam segmen saluran. Aliran air dalam saluran

bergerak menuju saluran yang lebih rendah, dimana aliran air pada saluran tersebut

bersumber dari saluran lain yang terhubungkan dari overland flow elemen.

Sedimen

Erosi tanah dalam model ANSWERS dimodelkan dalam 2 tahapan proses

yaitu proses pertama penghancuran partikel tanah dan proses transportasi sedimen.

Penghancuran partikel tanah disebabkan oleh pukulan butiran hujan dan aliran air di

permukaan tanah, sedangkan trasportasi sedimen hanya disebabkan oleh aliran air

yang mengalir di permukaan tanah. Selanjutnya Meyer dan Wischmeier (1969)

mengembangkan model penghancuran partikel tanah akibat pukulan butir hujan dan

aliran permukaan masing-masing sebagai berikut:

DR = 0,108*CDR*SKDR*AI*R2

dimana :

Dr : efek pukulan air hujan terhadap tanah /detachment (kg/menit) CDR : faktor tanaman dan pengelolaan (dari USLE) SKDR : faktor erodibilitas tanah (dari USLE) AI : area increment (m2) R : intesitas hujan netto dalam interval waktu tertentu (mm/menit)

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Daerah Aliran Sungai

153

Do = 0,9*CDR*SKDR*AI*SL* qo Dimana :

Do : overland flow detachment rate (kg/menit) SL : kecuraman lereng qo : debit aliran per unit (m2/menit)

Persamaan Meyer dan Wischmeier (1969) secara umum dapat diterima,

namun karena persamaan tersebut menggunakan nilai C dan K yang bersumber dari

model USLE, maka validitas persamaan tersebut masih dipertanyakan (De

ROO,1993). Disamping itu, nilai faktor K adalah ukuran interrill erodibilitas,

sehingga detachment dalam rill dan gully/saluran atau perkembangannya belum

dipertimbangkan dalam model ANSWERS.

Trasportasi Sedimen

Model ANSWERS membedakan kapasitas trasnportasi aliran berdasarkan

jenis aliran yang terjadi secara laminar ataupun turbulent. Pada aliran laminar,

kapasitas transportasi aliran diasumsikan proposional terhadap akar kuadrat dari debit

aliran, sedangkan pada aliran turbulent kapasitas transportasi aliran proposional

kuadrat terhadap debit aliran. Kapasitas transportasi aliran tersebut dimodelkan

berdasarkan persamaan Yalin�s (1963) dan selanjutnya dimodifikasi oleh Foster dan

Meyer (1977) berikut ini:

TF = 161*SL*Q0,5 jika Q < 0,046 m2/menit

TF = 16320*SL*Q2 jika Q < 0,046 m2/menit

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Daerah Aliran Sungai

154

dimana :

TF : laju transportasi sedimen potensial (kg/menit/m)

Q : debit aliran per unit lebar (m2/menit/m)

SL : kemiringan lereng (%)

Pergerakan sedimen menuju outlet di telusuri (routing) bersama dengan

overland flow dan channel flow dengan menggunakan fungsi gelombang kinematik

sederhana (Beasley et al., 1980; Chow et al., 1988).

Integrasi Model Erosi dan SIG

Erosi tanah dipenuhi oleh berbagai faktor seperti heterogenitas keruangan

(spatial heterogenity) dari topografi, vegetasi, karakteristik tanah dan penggunaan

lahan. Sebagian besar model prediksi erosi belum mempertimbangkan aspek-aspek

tersebut sehingga Sistem Informasi Geografi (SIG) akan menjadi alat yang sangat

menunjang perbaikan model prediksi erosi dalam menganalisis data spasial dan

menghubungkan data dari berbagai sumber dalam proses pemodelan erosi. Beberapa

keuntungan mengintegrasikan model prediksi dengan SIG adalah :

- Mempercepat penyimpanan data input model untuk mensimulasikan beberapa

skenario

- Meningkatkan kemampuan simulasi dengan menggunakan banyak fixel

(khususnya DAS berukuran besar) sehingga DAS dapat disimulasikan secara

lebih detil ( De Roo, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Daerah Aliran Sungai

155

- Memungkinkan visualisasi keluaran model terutama dalam mendisplay dan

menganimasikan sequence peta/gambar keluaran model berdasar waktu dan

keruangan, sehingga mampu menampilkan obyek dari berbagai perspektif.

Ada tiga pendekatan dalam permodelan erosi dengan SIG yaitu : loose coupling,

tight coupling and embedded coupling/fully integrated (Wesseling et al., 1996, dalam

Pullar dan Springer, 2000). Dalam loose couping, SIG dan model prediksi erosi

terpisah, dimana SIG digunakan pada pengolahan awal data spasial kedalam format

file input model yang diinginkan kemudian memvisualisasikan keluaran model.

Sedangkan dalam tight coupling, SIG menyediakan interfase bersama (shared

interface) untuk memindahkan data spasial antara SIG dan permodelan erosi yang

terpisah. Pada embedded coupling/ fully integrated, model secara utuh terintegrasi

sebagai komponen dalam aplikasi SIG.

Sebagian besar integrasi model erosi dengan SIG saat ini tergolong ke dalam

loose dan tight coupling, antara lain dikembangkan oleh Winchell et all (2008) yang

menggabungkan teknologi GIS dengan Model RUSLE terutama dalam penentuan

kemiringan dan panjang slope lahan. Integrasi utuh antara model SIG masih belum

banyak dilakukan karena kurang efisiensinya dimensi temporal pada kebanyakan

sistem SIG (Kaden, 1993; Doe, 1999).

Walaupun banyak software SIG yang sangat maju dalam pemrosesan dan

penyajian data, SIG tidak mampu untuk permodelan berdasarkan fisik (physically

based modelling). Hingga saat ini, pensimulasian transportasi air dan pollutan melalui

suatu landscap masih merupakan masalah dalam SIG. Sejumlah metoda routing

tertentu dibutuhkan SIG untuk permodelan hidrologi.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Daerah Aliran Sungai

156

Penyajian elevasi suatu permukaan (topografi) merupakan kunci pokok analisis

geomorpologi sehingga penyajian topografi dalam bentuk DEM (digital elevation

model) menjadi sangat penting.

Masukan data untuk model ANSWERS, yaitu :

a. Data hujan meliputi lama dan intensitas hujan.

b. Data tanah yang mencakup: porositas total, kadar air kapasitas lapang, kedalaman

zone pengamatan infiltrasi tanah di horizon A, laju infiltrasi pada "keadaan

konstan, selisih laju infiltrasi maksimum dan konstan, dan nilai erodibiltas tanah

menurut metode USLE.

c. Penggunaan lahan dan kondisi permukaan meliputi: jenis penggunaan lahan dan

pengelolaannya, volume intersepsi potensial dan prosentase penutupan

permukaan pada setiap jenis penggunaan lahan, koefisien kekasaran dan tinggi

kekasaran maksimum, nilai kekasaran Manning (n), dan indeks pengelolaan

tanaman dan tanah (faktor CP dalam persamaan USLE).

d. Data saluran dan sungai meliputi lebar saluran dan kekasaran saluran (n

Manning).

e. Data individu elemen meliputi: kemiringan dan arah lereng, tipe sungai, jenis

tanah dan penggunaannya, liputan penakar hujan pewakil, kemiringan

sungai/saluran, pengelolaan lahan (tindakan konservasi) dan elevasi rata-rata.

Adapun keluaran (output) dari model ANSWERS berupa limpasan (total run

off) dan sedimen. Asumsi yang digunakan untuk memprediksi erosi dengan model ini

adalah (Beasley dan Huggins, 1981):

a. Erosi tidak terjadi di lapisan bawah permukaan.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Daerah Aliran Sungai

157

b. Sedimen dari suatu elemen ke elemen lain akan meningkatkan lapisan permukaan

elemen tempat pengendapan.

c. Pada segmen saluran tidak terjadi erosi akibat hempasan butir hujan.

d. Penghancuran tanah dalam saluran akibat curah hujan diasumsikan tidak ada.

Perangkat lunak ANSWERS juga menampilkan grafik yang berisi hydrograf

hujan terpilih, hidrograf aliran permukaan, dan sedimentasi. Dari setiap kejadian

hujan dapat dianalisis debit puncak (m3/detik) dan waktu puncak (menit). Debit

puncak adalah nilai puncak (tertinggi) dari suatu hidrograf aliran, dan waktu puncak

adalah selang waktu mulai dari awal terjadinya aliran permukan sampai terjadinya

debit puncak.

Model yang digunakan untuk simulasi terlebih dulu harus dilakukan pengujian

(validasi model) dengan memperhatikan perbedaan antara hidrograf hasil perhitungan

(model) dengan hasil pengukuran dari lapangan dengan menggunakan uji

pembandingan berpasangan (paired comparison) melalui uji-t. Nilai t-test hasil

perhitungan dibandingkan dengan nilai t-tabel pada tingkat kepercayaan tertentu

(misalnya pada tingkat kepercayaan 90 % atau 95% ). Apabila nilai t-test lebih kecil

dari nilai t-tabel berarti bahwa nilai hidrograf hasil pengukuran dengan keluaran

model tidak berbeda nyata dan dianggap cukup valid dalam mewakili kondisi aktual

di lapangan, sehingga model tersebut dapat digunakan dalam mensimulasikan

perubahan peubah-peubah model sesuai dengan skenario yang diinginkan.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Daerah Aliran Sungai

158

2.5. Lahan

Batasan Pengertian

Pada pemikiran masyarakat awam, tanah dan lahan merupakan dua istilah yang

sama, akan tetapi pengertian tanah dan lahan sebenarnya sangat berbeda. Tanah

didefinisikan sebagai permukaan bumi yang terdiri dari campuran bahan mineral,

bahan organik, air dan udara, yang tersusun oleh horison-horison tanah, dan

merupakan media tumbuh tanaman. Adapun istilah lahan yang digunakan dalam

penelitian ini diartikan sebagai tanah berikut faktor-faktor fisik lingkungan seperti

lereng, hidrologi, iklim, dan sebagainya. Dari batasan tersebut tampak, bahwa lahan

mempunyai fungsi yang sangat panting, terutama untuk keperluan penggunaan

berbagai kegiatan pertanian (Hardjowigeno, 1993) .

Mengingat fungsi lahan yang demikian penting, maka manusia harus

membangun hubungan yang saling menguntungkan antara manusia dengan lahan,

sehingga lahan dapat diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Upaya yang perlu

dilakukan antara lain melalui penggunaan lahan sesuai dengan kelas kemampuan

lahan, karena lahan mempunyai batas-batas kemampuan untuk mendukung berbagai

kegiatan diatasnya.

Selanjutnya dikatakan bahwa perencanaan penggunaan lahan pada dasarnya

adalah suatu proses inventarisasi dan penilaian keadaan (status), potensi dan

pembatas-pembatas dari suatu daerah tertentu dan sumber-dayanya. Proses ini

berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang-orang yang menaruh

perhatian terhadap daerah tersebut, terutama dalam menentukan kebutuhan-

Universitas Sumatera Utara

Page 35: Daerah Aliran Sungai

159

kebutuhan mereka, aspirasi dan keinginannya pada masa mendatang (Soil Survey

Staff, 1982 dalam Hardjowigeno, 1993).

Pola penggunaan lahan merupakan pencerminan berbagai kegiatan manusia

yang ada di atasnya. Adanya lahan pertanian menunjukkan adanya usaha di bidang

pertanian dan adanya lahan perkebunan menunjukkan kegiatan dibidang perkebunan.

Demikian pula adanya lahan perkotaan memperlihatkan adanya kegiatan-kegiatan di

luar bidang pertanian, dan sebagainya. Makin tinggi tingkat kegiatan manusia, makin

tinggi pula kebutuhan akan lahan, baik dalam arti peningkatan luas penggunaan lahan

maupun dalam intensitas penggunaannya. Gambaran pola penggunaan lahan suatu

daerah dapat memberikan gambaran tentang kehidupan ekonomi daerah tersebut dan

dapat dijadikan indikator tingkat pencemaran lingkungan hidup (Sandy, 1973).

Menurut Hardjowigeno (1993) penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi 2

kelompok besar menurut sifat polanya, yaitu; penggunaan lahan pedesaan (rural land

use) dan penggunaan lahan perkotaan (urban land use). Kedua pola penggunaan

tersebut memiliki tujuan yang berbeda. Penggunaan lahan perkotaan terutama

ditujukan untuk tempat tinggal dan berazaskan aman, tertib, lancar dan sehat.

Penggunaan lahan pedesaan dititikberatkan kepada tujuan produksi pertanian/

sehingga azasnya adalah lestari, optimal dan seimbang.

Kemampuan lahan untuk mendukung pertumbuhan tumbuhan atau

menghasilkan barang atau jasa dapat menurun akibat kerusakan tanah oleh satu atau

lebih proses berikut (Riquier, 1977 dalam Arsyad, 1989): (1) kehilangan unsur hara

dan bahan organik dari daerah perakaran; (2) proses salinisasi di daerah perakaran;

(3) terkumpulnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman; (4)

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Daerah Aliran Sungai

160

penjenuhan tanah oleh air (water logging); (5) erosi. Dengan demikian, maka

diperlukan adanya pengelolaan lahan yang optimal sehingga produktivitas lahan

dapat dipertahankan.

Pengelolaan Lahan

Pengelolaan lahan dapat diartikan sebagai segala tindakan atau perlakuan yang

diberikan pada sebidang lahan, untuk menjaga dan/atau mempertinggi produktivitas

lahan tersebut (Sitorus, 1991). Selanjutnya dikatakan pula, bahwa sistem pengelolaan

lahan mencakup lima unsur, yaitu: (1) Perencaaan penggunaan lahan sesuai dengan

kemampuannya, (2) Tindakan-tindakan khusus konservasi tanah dan air, (3)

Menyiapkan tanah dalam keadaan olah yang baik, (4) Mempergunakan sistem

pergiliran tanaman yang tersusun baik, (5) Menyediakan unsur hara yang cukup dan

seimbang bagi tumbuhan. Kelima unsur tersebut harus dilihat sebagai suatu rangkaian

yang satu sama lain saling mengisi.

2.6. Sistem Usahatani Konservasi

Aspek Konservasi

Usaha-usaha perbaikan pada lahan terdegradasi, misalnya dengan menerapkan

kombinasi teknik konservasi tanah antara vegetatif dan mekanik melalui alley

cropping, strip kontur dan teras dengan tanaman penguat serta pengelolaan bahan

organik dengan cara mengembalikan sisa panen ke lahan usahatani, selain

memperbaiki lahan juga mendorong terpeliharanya ternak. Perlu digarisbawahi

pentingnya tanaman penguat dalam teras, karena bangunan teras saja tidak cukup

Universitas Sumatera Utara

Page 37: Daerah Aliran Sungai

161

menahan erosi. Berdasarkan pengamatan Sembiring dan Fagi (1987), diacu dalam

Sembiring et al. (1989), lahan yang di teras bangku tetapi tidak dikelola dengan baik

memberikan erosi yang lebih tinggi daripada lahan yang di teras gulud yang dikelola

dan didesain dengan baik. Teras gulud mampu menekan/menurunkan indeks LS

(panjang dan kemiringan lereng).

Nilai faktor C dipengaruhi oleh banyak peubah yang dapat dikelompokkan

menjadi dua, .yaitu: peubah alami (terutama iklim dan fase pertumbuhan tanaman)

dan peubah-peubah yang dipengaruhi oleh sistem pengelolaan, antara lain: tajuk

tanaman, mulsa sisa-sisa tanaman yang dibenamkan ke dalam tanah, pengolahan

tanah, pengaruh residual pengelolaan tanah, dan interaksi antara peubah-peubah

tersebut (Arsyad 2002). Nilai C yang rendah sangat membantu memperkecil nilai A,

misalnya kacang tanah, kedelai, kacang tunggak, dan lain-lain yang dapat menutup

tanah dengan rapat yang secara langsung dapat menahan energi butiran hujan yang

jatuh ke permukaan tanah.

Faktor pengelolaan tanah (P) adalah semua perlakuan fisik mekanis yang

diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran

permukaan dan erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah yang

termasuk dalam metode mekanis adalah: (1) pengolahan tanah (tillage), (2)

pengolahan tanah menurut kontur (contour cultivation), (3) guludan dan guludan

bersaluran menurut kontur, (4) teras, (5) dam penghambat (check dam), waduk

(balong), rorak, tanggul, dan (6) perbaikan drainase dan irigasi (Arsyad 2002).

Semakin kecil nilai P, menunjukkan semakin baik kualitas dari usaha konservasi yang

dilakukan.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Daerah Aliran Sungai

162

Secara umum praktek-praktek konservasi tanah dan air bertujuan untuk

mencegah terjadinya erosi agar produktivitas tanah dapat dipertahankan. Upaya-

upaya yang dapat ditempuh meliputi:

1. Memperbesar kapasitas infiltrasi air dalam tanah.

2. Meningkatkan kandungan bahan organik tanah.

3. Memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.

4. Memperpendek lereng.

5. Menurunkan volume dan kecepatan aliran permukaan.

Sistem Budidaya Lorong (Alley Cropping)

Budidaya lorong atau Alley Cropping merupakan salah satu cara untuk

meningkatkan produktivitas tanah. Menurut Kang et al. (1984), diacu dalam Arsyad

(2002), budidaya lorong adalah suatu bentuk usahatani atau penggunaan tanah dengan

menanam tanaman semusim atau tanaman pangan di lorong atau gang yang ada

diantara barisan pagar tanaman pohon atau semak. Cara ini diharapkan dapat

menekan laju erosi, mampu memompa hara dari lapisan dalam tanah dan

mempertahankan kadar bahan organik tanah. Budidaya lorong sangat tepat dilakukan

baik pada tegalan (usahatani lahan kering) yang terletak pada tanah datar maupun

pada tanah yang berlereng. Pada tanah yang berlereng, barisan tanaman pagar dan

tanaman semusim harus ditanam menurut kontur agar pencegahan erosi terjadi

dengan baik. Fungsi tanaman pagar dalam sistem budidaya lorong, yaitu: (a) sumber

pupuk hijau atau mulsa bagi tanam semusim; (b) menciptakan keadaan yang baik

bagi perkembangan jasad makro dan mikro tanah; (c) pada tanah yang berlereng jika

ditanami menurut kontur akan mencegah erosi; (d) jika dipergunakan tanaman

Universitas Sumatera Utara

Page 39: Daerah Aliran Sungai

163

leguminosa sebagai tanaman pagar, hasil pangkasan yang dijadikan mulsa merupakan

sumber nitrogen yang cukup besar bagi tanaman semusim, dan memperbaiki sifat

fisik tanah; (e) dapat merupakan sumber kayu bakar bagi petani; (f) dapat merupakan

sumber makanan ternak.

Dalam usaha peningkatan kesuburan tanah, adanya ternak (terutama

ruminansia) dalam suatu sistem usahatani merupakan unsur pendukung yang berarti,

bahkan dari segi pendapatan petani mencapai hampir sepertiganya, atau kedua

tertinggi setelah tanaman pangan (P3HTA 1990, diacu dalam Lubis et al. 1991).

Dengan adanya ternak dalam unit usaha tani memacu petani untuk menyediakan

pakan yang mencukupi, yaitu dengan menanam berbagai jenis tanaman yang dapat

berfungsi ganda (rumput dan legum) baik sebagai sumber pakan maupun sebagai

pengendali erosi serta sumber bahan organik tanah. Keterpaduan yang saling mengisi

dalam sistem usahatani konservasi dapat terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Konsepsi pola usahatani konservasi secara sederhana Sumber: Agus et al. (1995)

Ternak

Tegalan Sawah

Hutan

RT

Pakan

Pupuk Kandang Pakan

Pupuk Kandang

Pendapatan TK, Modal

Pangan/ Pendapatan Pangan/ Pendapatan

TK, Modal TK, Modal

Kayu Bakar Kayu Bangunan

TK

Universitas Sumatera Utara

Page 40: Daerah Aliran Sungai

164

Di dalam suatu usahatani, siklus suatu unsur hara membentuk pola kurang lebih

melingkar. Unsur hara yang tersedia di dalam tanah dimanfaatkan oleh tanaman. Sisa-

sisa hasil tanaman pangan/semusim (limbah) dapat dijadikan pakan ternak atau diolah

menjadi kompos dan dikembalikan lagi ke dalam tanah sebagai pupuk organik. Hal

ini memungkinkan petani menstabilkan dan memperkaya tanah, mempertahankan

kelembaban tanah, mengurangi hama dan penyakit serta menekan kebutuhan input

yang mahal, seperti pupuk kimia dan pestisida.

Usaha-usaha tersebut diatas harus diikuti dengan pengolahan tanah sedini

mungkin dibarengi dengan usaha pembuatan teras bangku, teras gulud, atau melalui

usaha budidaya lorong yang sesuai dengan kondisi fisik tanah, kemiringan lahan dan

keadaan curah hujan. Menurut Reijntjes et al. (1999), usahatani sistem kontur

menjadikan sisi bukit yang mengalami erosi menjadi lansekap bertingkat dan hijau

dan teknologi ini dapat meningkatkan pendapatan tahunan petani hampir tiga kali

lipat setelah lima tahun.

Menurut Sinukaban (1995) tujuan pertanian konvensional di sekitar DAS

bagian hulu adalah untuk mewujudkan terciptanya kondisi DAS yang baik, namun

selain itu pertanian konvensional juga bertujuan untuk mewujudkan kondisi sebagai

berikut :

1. Produktivitas pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan

usahanya;

2. Pendapatan petani yang cukup tinggi sehingga petani dapat merancang masa

depan keluarganya dari pendapatan usahataninya;

Universitas Sumatera Utara

Page 41: Daerah Aliran Sungai

165

3. Teknologi yang diterapkan sesuai dengan kemampuan petani dan dapat mereka

terima sehingga system pertanian tersebut akan dilanjutkan secara terus-menerus;

4. Tanaman pertanian yang diusahakan beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik

daerah sehingga dapat diterima petani dan laku di pasaran;

5. Laju erosi minimal lebih kecil dari laju erosi yang dapat ditoleransikan sehingga

produktivitas yang cukup tinggi dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan secara

lestari dan fungsi hidrologis dapat dipertahankan dengan baik sehingga tidak

terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau;

6. Sistem penguasaan dan kepemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi

jangka panjang dan menggairahkan petani untuk terus menerus berusahatani.

Kartana (2002) menyatakan bahwa kegiatan pengelolaan DAS lebih

ditekankan pada daerah-daerah yang belum rusak, bukan dengan memindahkan

petani di sekitarnya. Aspek konservasi telah mampu menekan erosi dan

meningkatkan fungsi hidrologis.

System Agroforestri

Berbagai definisi tentang agroforestri telah banyak dijumpai pada berbagai

pustaka, namun Nair (1989a) mendefinisikan agroforestri sebagai suatu system

penggunaan lahan yang berorientasi social dan ekologi dengan mengintegrasikan

pepohonan (hutan) dengaan tanaman pertanian dan atau ternak secara simultan atau

berurutan untuk mendapatkan total produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan

dari suatu unit lahan, dengan input teknologi yang sederhana dan lahan yang marjinal.

Universitas Sumatera Utara

Page 42: Daerah Aliran Sungai

166

Menurut Van Noordwijk et al. (2004) aspek eokologi/konservasi dalam hal ini

pohon mempunyai fungsi perlindungan aktif terhadap aliran air ke daerah hilir

dimana jenis pohon dapat dipilih yang bernilai ekonomi tinggi. Hal terpenting yang

perlu diperhatikan adalah sistem penebangan/pemanenannya jangan sampai

menurunkan fungsi hidrologisnya. Untuk itu perlu keterpaduan aspek konservasi

dengan aspek ekonomi dan sosial agar petani mampu meningkatkan kesejahteraan

hidupnya antara lain melalui sistem agroforestri.

Agroforestri memberikan jalan bagi pengembalian modal yang cepat dan

berkelanjutan dari komponen pertanian yang diusahakan dalam bentuk campuran

serta dapat mendorong partisipasi sektor swasta untuk pengembangan hutan

komersial yang dapat menyediakan dan meningkatkan pasokan kayu bagi industri

perkayuan.

Menurut Chundawat dan Gautama (1993), cirri-ciri agroforestri antara lain

adalah : a). dalam bentuk normal, agroforestri terdiri dari dua atau lebih spesies

tanaman (dan atau hewan), b). selalu memiliki dua atau lebih produk, c). siklus dari

system agroforestri selalu lebih dari satu tahun dan d). system agroforestri lebih

kompleks daripada system monokultur dengan keuntungan secara ekologis (struktur

dan fungsinya) dan keuntungan secara ekonomis.

Selanjutnya Van Noordwijk et al. (2004) menyatakan bahwa pengembangan

agroforestri harus mampu mengurangi konflik yang ada di masyarakat dengan cara

mengarahkan pengelolaan lahan untuk sistem yang dapat mengembalikan fungsi

hutan sebagai fungsi lindung, tetapi juga sebagai fungsi produksi bukan hanya

berdasarkan persepsi tentang pentingnya tutupan lahan oleh vegetasi hutan.

Universitas Sumatera Utara

Page 43: Daerah Aliran Sungai

167

2.7. Proses Hirarki Analitis (AHP)

Proses Hirarki Analisis merupakan salah satu metoda pengambilan keputusan

(Analytical Hierarchy Process / AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L.

Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada

tahun 1970-an. Proses hirarki analisis pada dasarnya dirancang untuk menangkap

secara rasional presepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu

melalui prosedur untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai

alternatif. Analisis ini diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur

(kuantitatif) maupun masalah yang memerlukan pendapat (judgement), atau pada

situasi yang kompleks atau tidak berkerangka, pada situasi data atau informasi

statistik sangat minim atau pada masa yang hanya bersifat kualitatif yang didasarkan

oleh persepsi, pengalaman dan intuisi (Saaty, 1988).

Model AHP merupakan salah satu bentuk model pengambilan keputusan yang

komprehensif dan memperhitungkan hal-hal yang bersifat kuantitatif dan kualitatif

sekaligus. Model AHP memakai persepsi manusia yang dianggap �expert� sebagai

input utamanya. Suatu masalah yang tidak terstuktur dipecahkan kedalam kelompok-

kelompok yang kemudian diatur menjadi hirarki. Dalam penerapanya suatu tujuan

yang bersifat umum dijabarkan kedalam sub-sub tujuan, dilakukan dalam beberapa

tahap sehingga diperoleh tujuan operasional. Proses hirarki analitis dikembangkan

untuk memecahkan masalah kompleks dengan struktur masalah yang belum jelas,

ketidak pastian persepsi pengambilan keputusan serta ketidakpastian tersedianya data

statistik yang akurat. Proses hirarki analitis mempunyai kemampuan untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 44: Daerah Aliran Sungai

168

memecahkan masalah yang meliputi objektif dan multi criteria, berdasarkan

perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki.

AHP umumnya digunakan dengan tujuan untuk menyusun prioritas dari

berbagai alternatif pilihan yang ada yang bersifat kompleks atau multi kriteria.

Dengan menggunakan AHP, pada umumnya prioritas yang dihasilkan akan bersifat

konsisten dengan teori, logis, transparan dan partisipatif (Bourgeois, 2005). Menurut

Susila dan Munadi (2007), AHP akan sangat cocok digunakan untuk penyusunan

prioritas kebijakan publik yang menuntut transparansi dan partisipasi

AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan

pendekatan system. Pada penyelesaian persoalan dengan AHP ada beberapa prinsip

dasar yang harus dipahami antara lain :

1. Dekomposisi, setelah mendefenisikan permasalahan atau persualan yang akan

dipecahkan, maka dekomposisi, yaitu: memecahkan persoalan yang utuh menjadi

unsur-unsurnya. Jika menginginkan hasil yang akurat, maka dilakukan

pemecahan unsur-unsur tersebut sampai tidak dapat dipecahkan lagi, sehinga

didapatkan beberapa tingkatan persoalan.

2. Comparative Judgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan relatife

diantara dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitanya dengan

tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan

berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen yang disajikan dalam bentuk

matriks Pairwise Comparison.

Universitas Sumatera Utara

Page 45: Daerah Aliran Sungai

169

3. Synthesis of priority, yaitu melakukan sintesis prioritas dari setiap matriks

pairwise comparison terhadap setiap tingkat, oleh karena itu untuk melakukan

prioritas global harus dilakukan sintesis diantara prioritas local.

4. Logical Consistency, yang dapat memiliki dua makna, yaitu : (a) objek-objek

yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansinya,

(b) tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

Dalam Penentuan skala prioritas, pemilihan alternatif kebijakan Pengelolaan

DAS yang digunakan adalah AHP dengan berbagai pertimbangan antara lain :

fleksibel, sederhana, praktis dan mampu dipergunakan dalam menganalisis suatu

masalah yang memiliki kriteria atau atribut yang kompleks. Lebih jauh aplikasi AHP

telah terbukti berhasil dalam penyusunan rencana penggunaan lahan (land use

planning) dan perencanaan kehutanan di Finlandia dan Kenya (De vreese et al.,2001),

sehingga diharapkan aplikasi AHP dalam Pengelolaan DAS akan mempunyai tingkat

keberhasilan yang memadai.

Menurut Saaty (2000), AHP merupakan sebuah pendekatan pengambilan

keputusan yang dirancang dan didesain untuk membantu menyelesaikan

permasalahan dengan kriteria yang sangat kompleks yang diproritaskan pada kriteriya

yang paling dominan. Dalam pelaksanaannya pengambilan keputusan harus dapat

menentukan faktor yang mempunyai pengaruh tertinggi terhadap masalah yang akan

diambil solusinya. Kemudian dengan menggunakan AHP dihasilkan alternatif

keputusan terbaik yang berdasarkan pada skala prioritas (ranking atau pembobotan).

Menggunakan metode AHP dalam sistem pendukung pengambilan keputusan

mempunyai keungulan dan keterbatasan (de Vreese et al.,2001) sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 46: Daerah Aliran Sungai

170

1. Keunggulan:

a. Proses hirarki analitis mempunyai kemampuan untuk mendekomposisikan

sebuah masalah pengambilan keputusan yang kompleks menjadi beberapa

komponen sehingga lebih sederhana dan transparan.

b. Dapat menilai beberapa alternatif yang tersedia dalam satu kali proses.

c. Data kuantitatif dapat ditransfer dan diolah seperti halnya pengolahan data

kuantitatif.

d. Proses komputasi sistem AHP mudah dioperasikan dengan hasil yang efektif.

e. Dapat diintegrasikan dengan sistem pendukung pengambilan keputusan yang

sudah ada.

f. Proses hirarki analitis lebih trasparan, fair, terstruktur, dan terdokumentasi

sehingga hasilnya lebih mudah di validasi dan disempurnakan berdasarkan

masukan perkembangan teknologi terbaru.

2. Keterbatasan

a. Efisiensi dan keberhasilan AHP tergantung pada: kemampuan dalam

mendekomposisikan masalah kedalam struktur dan hirarki keputusan, dan

kemampuan dalam menterjemahkan ekspresi verbal atau kualitatif dan criteria

kuantitatif ke dalam AHP.

b. Pilihan keputusan yang dapat direkomendasikan, menurut Saaty (1988)

maksimal sepuluh dalam satu proses, sehinga diperlukan kemampuan untuk

sortasi atau seleksi pilihan yang ditawarkan.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: Daerah Aliran Sungai

171

c. Diperlukan kemampuan dan pengalaman dalam menetapkan skala

perbandingan untuk mengubah bentuk verbal menjadi bentuk angka.

d. Kemungkinan munculnya ketidakpastian dalam proses pembandingan kriteria.

e. Keterbatasan data, waktu dan sumberdaya manusia dalam membangun proses

AHP.

2.8. Kelembagaan Pengelolaan DAS (DTA Danau Toba)

Kelembagaan (institutional) dapat didefinisikan sebagai aturan main (the rule of

the game) yang dianut dan ditaati oleh masyarakat lokal setempat yang menjadi

pegangan oleh masyarakat yang bersangkutan (Anwar, 2001 jo Hayami dan Rutan,

1984). Istilah kelembagaan dalam beberapa literature lebih mengarah pada social

institution dan cenderung dipadankan dengan organisasi. Suatu kelembagaan adalah

suatu perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang. Unsur-unsur yang

membangun kelembagaan itu sendiri adalah adanya prinsip-prinsip hidup bersama,

nilai, norma dan peraturan yang harus ditaati oleh anggota masyarakat, adanya

organisasi yang mewadahi struktur saling keterkaitan diantara unsur-unsur yang ada

di dalam kelembagaan tersebut.

Pada suatu komunitas dapat disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila

memiliki empat komponen yang terdiri dari : (1) komponen person, orang-orang yang

terlibat dalam kelembagaan dapat diidentifikasi dengan jelas, (2) komponen

kepentingan, sehingga diantara mereka harus saling berinteraksi, (3) komponen

aturan, setiap kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang

secara bersama, sehingga seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 48: Daerah Aliran Sungai

172

lembaga tersebut, (4) komponen stryktur, setiap orang memiliki posisi dan peran yang

harus dijalankan secara benar. Orang tidak bisa mengubah posisinya semaunya

sendiri. (Tampubolon, 2009).

Kegiatan pengelolaan DAS selama ini seringkali dibatasi oleh batas-batas yang

bersifat politis/administrative baik tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota.

Sebaliknya batas-batas ekosistem alamiah kurang banyak diacu, padahal proses alam

seperti banjir dan tanah longsor tidak mengenal batas-batas politis. Hal ini

mengakibatkan penanganan masalah-masalah dalam suatu DAS menjadi kurang

berhasil karena dilaksanakan secara terpisah-pisah sesuai dengan kebijakan masing-

masing daerah. Pengelolaan DAS akan berjalan baik apabila ada koordinasi dan

keselarasan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah maupun antar lembaga

yang terkait dalam suatu daerah dan juga antar pemerintah, masyarakat dan dunia

usaha.

Secara legal pengelolaan DTA Danau Toba adalah berdasarkan Perda Nomor 1

Tahun 1990 tentang Penataan kawasan Danau Toba dan Keputusan Gubernur Nomor

660/061/K/Tahun 1994 tentang Petunjuk pelaksanaan Perda Propinsi Nomor 1 Tahun

1990. Kemudian pada Tahun 2006 telah diterbitkan Peraturan Gubernur Sumatera

Utara Nomor 12 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem

Kawasan Danau Toba (BKPEDT), suatu lembaga/institusi yang mewakili semua

stakeholders yang terkait dengan pengelolaan DTA Danau Toba. Selain itu di dalam

Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2006 pasal 3 juga disebutkan adanya Lake

Toba Ecosystem management Plan (LeTEMP) yang merupakan pedoman dalam

pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba.

Universitas Sumatera Utara

Page 49: Daerah Aliran Sungai

173

Namun demikian pengelolaan DTA Danau Toba belum bisa memberikan

dampak yang optimal. Kebijakan yang telah ada baru sampai pada tingkat propinsi,

sedangkan ke-7 kabupaten yang mengelilingi Danau Toba mempunyai kondisi dan

potensi spesifik, dimana kebijakan tersebut belum bisa untuk jadi pijakan dalam

pelaksanaan pengelolaan DTA Danau Toba. Diperlukan adanya kebijakan-kebijakan

yang diturunkan di tingkat kabupaten berdasarkan kondisi, potensi sosial ekonomi,

budaya/ adat dan politik yang ada di masing-masing kabupaten.

Universitas Sumatera Utara