daerah aliran sungai
DESCRIPTION
Daerah Aliran SungaiTRANSCRIPT
125
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daerah Aliran Sungai
Batasan Pengertian
Daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai hamparan wilayah yang
dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan
air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai
dan keluar pada satu titik (outlet) (Dunne dan Leopold, 1978).
Menurut Asdak (2002), ekosistem DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu,
tengah, dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu merupakan daerah konservasi,
mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, dengan kemiringan lereng lebih besar
dari 15%, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola
drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS
merupakan daerah pemanfaatan dengan kemiringan lereng kecil (kurang dari 8%),
pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan
oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali
daerah estuaria yang didominsi hutan gambut/bakau.
DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik
biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas. Perubahan tataguna lahan dibagian
hulu DAS seperti reboisasi, pembalakan hutan, deforestasi, budidaya yang
mengabaikan kaidah-kaidah konservasi akan berdampak pada bagian hilirnya,
sehingga DAS bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan dari segi tata air. Oleh
Universitas Sumatera Utara
126
karena itu yang menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS sering kali DAS bagian
hulu, mengingat adanya keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.
Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang
menempatkan DAS sebagai unit pengembangannya. Ada tiga aspek utama yang
selalu menjadi perhatian dalam pengelolaan DAS yaitu jumlah air (water yield),
waktu penyediaan (water regime) dan sedimen.
DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi yang dipengaruhi oleh
peubah presipitasi (hujan) sebagai masukan ke dalam sistem. Disamping itu DAS
mempunyai karakter yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur-unsur utamanya
seperti jenis tanah, topografi, geologi, geomorfologi, vegetasi dan tataguna lahan.
Karakteristik DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dapat
memberi pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi,
aliran permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai (Seyhan, 1977).
Dalam hal ini air hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalami proses yang
dikontrol oleh sistem DAS menjadi aliran permukaan (surface runoff), aliran bawah
permukaan (interflow) dan aliran air bawah tanah (groundwater flow). Ketiga jenis
aliran tersebut akan mengalir menuju sungai, yang tentunya membawa sedimen
dalam air sungai tersebut. Selanjutnya, karena daerah aliran sungai dianggap sebagai
sistem, maka perubahan yang terjadi disuatu bagian akan mempengaruhi bagian yang
lain dalam DAS (Grigg, 1996).
Bagian hilir dari DAS pada umumnya berupa kawasan budidaya pertanian,
tempat pemukiman (perkotaan), dan industri, serta waduk untuk pembangkit tenaga
listrik, perikanan dan lain-lain. Daerah bagian hulu DAS biasanya diperuntukan bagi
Universitas Sumatera Utara
127
kawasan resapan air. Dengan demikian keberhasilan pengelolaan DAS bagian hilir
adalah tergantung dari keberhasilan pengelolaan kawasan DAS pada bagian hulunya.
Kerusakan DAS dapat ditandai oleh perubahan perilaku hidrologi, seperti tingginya
frekuensi kejadian banjir (puncak aliran) dan meningkatnya proses erosi dan
sedimentasi. Kondisi ini disebabkan belum tepatnya sistem penanganan dan
pemanfaatan DAS (Brooks et al, 1989).
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Tujuan umum pengelolaan DAS adalah keberlanjutan yang diukur dari
pendapatan, produksi, teknologi dan erosi. Teknologi yang dimaksud adalah
teknologi yang dapat dilakukan oleh petani dengan pengetahuan lokal tanpa
intervensi dari pihak luar dan teknologi tersebut dapat direplikasi berdasarkan faktor-
faktor sosial budaya petani itu sendiri. Erosi harus lebih kecil dari erosi yang dapat
ditoleransikan agar kelestarian produktivitas dapat dipertahankan (Sinukaban, 2007).
Tujuan akhir pengelolaan DAS adalah terwujudnya kondisi yang lestari dari
sumber daya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberikan manfaat secara
optimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Manfaat yang optimal
dan berkesinambungan akan tercapai apabila sumber daya alam dan lingkungan
dikelola dengan baik (Mangundikoro, 1985).
Hal yang sama dikemukakan oleh Haeruman (1985) yang mendefinisikan
pengelolaan DAS sebagai pengelolaan sumberdaya lahan, hutan dan air untuk tujuan
produksi air secara optimum baik kuantitas maupun kualitasnya, meningkatkan
stabilitas tanah, dan melindungi lahan.
Universitas Sumatera Utara
128
Untuk mencapai tujuan akhir dari pengelolaan DAS yaitu terwujudnya kondisi
yang optimal dari sumberdaya hutan, tanah dan air, maka kegiatan pengelolaan DAS
meliputi empat upaya pokok (Mangundikoro, 1985), yaitu : 1) Pengelolaan lahan
melalui usaha konservasi tanah dalam arti yang luas; 2) Pengelolaan air melalui
pengembangan sumberdaya air; 3) Pengelolaan hutan, khususnya pengelolaan hutan
yang memiliki fungsi perlindungan terhadap tanah dan air; 4) Pembinaan kesadaran
dan kemampuan manusia dalam penggunaan sumberdaya alam secara bijaksana
melalui usaha penerangan dan penyuluhan.
Dasar pertimbangan pentingnya penggunaan daerah aliran sungai (DAS)
sebagai unit pengelolaan sumberdaya alam tanah, air dan hutan, adalah bahwa DAS
merupakan unit hidrologi yang memiliki unsur-unsur biogeosistem dan manusia
dengan aktivitas budidayanya. Oleh karena itu DAS tepat sekali digunakan sebagai
unit perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi konservasi pengelolaan
sumberdaya alam (Asdak, 1995).
Selanjutnya, upaya yang dapat dilakukan untuk memperlambat proses degradasi
fungsi DAS dalam pengembangan dan pengelolaannya, pada dasarnya ditujukan
untuk; memelihara dan meningkatkan fungsi hidrologis DAS agar diperoleh hasil air
yang tinggi dan merata sepanjang tahun, tingkat erosi dan sedimentasi rendah,
produktivitas lahan tinggi, DAS lentur terhadap goncangan perubahan yang terjadi
(resillient), dan membina terlaksananya unsur-unsur pemerataan (equity) bagi petani
(Arsyad et al, 1985). Untuk mencapai upaya tersebut, dapat ditempuh dengan cara
memaksimalkan fungsi sejumlah komponen yang bekerja dalam sistem DAS, seperti
vegetasi, tanah, air dan faktor penggunaan lahan.
Universitas Sumatera Utara
129
Indikator Pengelolaan DAS Berkelanjutan
Seperti telah dijelaskan, bahwa fungsi hidrologis DAS adalah debit yang stabil,
tingkat erosi dan sedimentasi rendah, serta produktivitas lahan yang tinggi. Untuk itu
maka suatu DAS yang berkelanjutan adalah DAS dengan fungsi hidrologis dengan
indikator yang dimaksud. Berikut akan dijelaskan indikator-indikator DAS
berkelanjutan tersebut.
Debit
Respon hidrologi suatu DAS dapat berupa produksi air yang dinilai dari
kontribusi aliran langsung terhadap debit total yang besar kecilnya tergantung dari
sifat hujan dan karakteristik fisik DAS/sub DAS (Lee, 1980 dalam Rauf, 1994).
Tanggapan aliran sungai terhadap masukan air hujan merupakan wujud respon
hidrologi yang dapat dilihat pada kurva hidrograf, yang sangat ditentukan oleh sifat
hujan dan karakter sifat fisik DAS (Chow, 1964).
Analisis hidrograf aliran adalah merupakan satu metode yang cukup relevan
untuk menarik kesimpulan apakah kondisi suatu DAS masih dalam kondisi baik,
karena output DAS yang diharapkan harus menjamin distribusi air yang merata
sepanjang tahun dengan hasil air (water yield) yang cukup tinggi Asdak, 2002).
Bentuk hidrograf sebagai respon hidrologi sangat tergantung dari sifat hujan
dan karakteristik DAS yang bersangkutan. Grafik hidrograf tahunan dari satu daerah
aliran sungai menggambarkan kondisi hidrologis satu DAS. Apabila bentuk kurva
aliran mempunyai nilai maksimum dan minimum yang besar maka dipastikan bahwa
kondisi DAS relatif kurang baik, karena perbedaan besar aliran air pada musim
Universitas Sumatera Utara
130
penghujan dan musim kemarau sangat besar, sebaliknya apabila kurva aliran
mempunyai perbedaan maksimum dan minimum yang kecil maka dapat disimpulkan
kondisi DAS dalam keadaan baik karena perbedaan besar aliran pada musim
penghujan dan musim kemarau relatif kecil sehingga sungai pada musim penghujan
tidak menyebabkan banjir sebaliknya pada musim kemarau masih dapat mensuplai
debit aliran yang cukup besar seperti Gambar 2 (Chow, 1964).
Gambar 2. Refleksi hidrograf yang diharapkan.
Erosi
Di daerah beriklim basah seperti di Indonesia kerusakan lahan oleh erosi
terutama disebabkan oleh hanyutnya tanah terbawa oleh air hujan. Erosi oleh air
sangat membahayakan tanah-tanah pertanian di Indonesia, terutama yang terletak di
daerah dengan kemiringan yang besar. Selain iklim dan kemiringan lahan (topografi),
besarnya erosi dipengaruhi pula oleh faktor-faktor vegetasi, pengolahan tanah dan
manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tersebut dapat dinyatakan dalam
suatu persamaan deskriptif berikut (Arsyad, 1989) :
Universitas Sumatera Utara
131
E = f (C, T, V, S, H)
dimana C = curah hujan, T = topografi, V = vegetasi, S = tanah, dan H= manusia.
Faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap erosi adalah intensitas curah
hujan dan ketinggian tempat. Faktor topografi yang diduga berpengaruh terhadap
debit air dan kadar lumpur adalah kemiringan lereng maupun panjang lereng.
Selanjutnya Arsyad (1989) mengemukakan, bahwa faktor tanah yang diduga
mempengaruhi erosi dan sedimentasi adalah : (a) luas jenis tanah yang peka erosi, (b)
luas tanah kritis atau daerah erosi, dan (c) luas tanah dengan kedalaman tertentu.
Upaya membuat model persamaan matematis untuk memprediksi erosi tanah
telah dimulai sejak tahun 1940-an khususnya di negara Amerika Serikat; dimulai
dengan menganalisis variabel-variabel utama yang mempengaruhi terjadinya erosi
tanah oleh air. Cook (1936) dalam Renard, et al (1996) menyimpulkan tiga faktor
utama yang mempengaruhi erosi yaitu : 1) kepekaan tanah untuk tererosi, 2) potensi
erosivitas hujan dan aliran permukaan serta 3) perlindungan tanah oleh tutupan tajuk
vegetasi.
Zing (1940) dalam Wischmeier dan Smith (1928) mempublikasikan persamaan
pertama untuk menghitung erosi tanah dari suatu lahan usahatani dengan
memasukkan faktor kemiringan dan panjang lereng. Kemudian Smith (1941)
menambahkan faktor sistem penanaman dan faktor konservasi tanah terhadap
persamaan tersebut sekaligus mengemukakan konsep spesifik batas erosi tahunan.
Hasil persamaan tersebut digunakan untuk mengembangkan metoda grafis untuk
penentuan faktor tindakan konservasi yang diperlukan pada suatu kondisi tanah
tertentu di bagian barat-tengah Amerika Serikat.
Universitas Sumatera Utara
132
Model USLE (Universal Soil Loss Equation) merupakan model prediksi erosi
empirik yang paling populer dan secara luas digunakan sebagai referensi/acuan dalam
perencanaan konservasi tanah dan air (Wischmeier dan Smith, 1978). Model tersebut
dikembangkan berdasarkan pengamatan erosi jangka panjang pada skala plot dan
dirancang untuk memprediksi erosi rata-rata tahunan dari suatu lahan dengan
penggunaan dan pengolahan tertentu. Model USLE disajikan sebagai berikut:
A = R K L S C P
A : Jumlah tanah tererosi per unit area (ton/ha/tahun).
R : faktor erosivitas hujan: energi kinetik hujan (E) dikalikan dengan intensitas
hujan maksimum selama 30 menit pada curah hujan normal.
K : faktor erodibilitas tanah : laju erosi per-unit indeks erosi hujan untuk tanah
yang terus menerus diberakan (diolah bersih menurut lereng dan tidak
ditanami) dengan kemiringan lereng 9% dan panjang lereng 22 m.
L : faktor panjang lereng : rasio erosi tanah dari plot erosi dengan panjang lereng
tertentu terhadap erosi tanah dari plot erosi dengan panjang lereng 22 m, jenis
tanah dan pengelolaan yang identik.
S : faktor kemiringan lereng : rasio erosi tanah dari plot erosi dengan kemiringan
lereng tertentu terhadap erosi dari plot erosi dengan kemiringan 9% dan
pengelolaan yang identik.
C : faktor tanaman dan pengelolaan : rasio erosi dari erosi dengan tanaman dan
pengelolaan tertentu terhadap erosi dari plot erosi yang diolah bersih dan
diberakan.
P : faktor tindakan konservasi tanah : rasio erosi dari plot dengan tindakan
konservasi tertentu terhadap erosi dari plot erosi yang ditanami secara baris
menurun lereng.
Pada hakikatnya USLE dikembangkan sebagai alat perencanaan konservasi
tanah (soil conservation plainning tool). Namun karena belum adanya model prediksi
Universitas Sumatera Utara
133
erosi skala DAS maka model ini tetap digunakan untuk memprediksi erosi DAS tanpa
dibarengi modifikasi yang berarti (Kinnell dan Risse, 1998)
Model prediksi erosi USLE telah digunakan secara luas, baik di Indonesia
maupun negara lain di Asia. Afrika, dan Eropa, tetapi ketepatan penggunaannya
dalam memprediksi erosi dari suatu wilayah (DAS) masih diragukan (Kurnia,1997)
mengingat bahwa metode USLE hanya dapat memprediksi rata-rata kehilangan tanah
dari erosi lembar (sheet erosion), dan erosi alur (rill erosion). Model ini juga tidak
dapat memprediksi pengendapan (deposition) dan tidak menghitung hasil sedimen
(sediment yield) dari erosi parit (gully erosion), tebing sungai (stream bank erosion)
dan dasar sungai (stream bed erosion) (Wischmeier, 1969). Hasil pendugaan erosi
tidak menggambarkan keadaan erosi suatu wilayah/kawasan yang luas, melainkan
hanya dari lahan usaha tani yang sempit dengan kemiringan lereng tunggal dan belum
memperhitungkan pengendapan tanah yang tererosi dari tanah diatasnya
(Wischmeier, 1976). Untuk menghitung besarnya erosi yang terjadi di DTA Danau
Toba akan didekati dengan memakai Model ANSWERS.
Hasil Sedimen
Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi
yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat
tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam
sungai (suspended sediment) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk.
Bentuk hubungan antara erosi yang berlangsung di daerah tangkapan dan besarnya
Universitas Sumatera Utara
134
sedimen yang terukur di daerah hilir mempunyai mekanisme kausalitas yang rumit
dan belum banyak dimengerti (Simons dan Senturk,1992).
Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di DAS/sub-DAS dan
tergantung pada transpor partikel-partikel tanah yang tererosi tersebut keluar dari
daerah tangkapan air DAS/sub-DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu kepada
besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam
suatu sistem DAS. Tidak semua tanah yang tererosi di permukaan daerah tangkapan
air akan sampai ke titik pengamatan. Sebagian tanah tererosi akan terdeposisi di
cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk-bentuk
penampungan sedimen lainnya. Oleh karenanya, besarnya hasil sedimen biasanya
bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS/sub-DAS (Julien, 1995). Besarnya hasil
sedimen dinyatakan sebagai volume atau berat sedimen per satuan daerah tangkapan
air per satuan waktu (ton per km2 per tahun).
Penelitian jangka panjang yang dilakukan di daerah beriklim sedang
menunjukkan bahwa hasil sedimen tahunan merupakan fungsi dari besarnya air larian
tahunan di daerah kajian, daerah tangkapan air, dan persentase daerah yang digarap
(pertanian, perkebunan, peternakan). Besarnya hasil sedimen per kilometer persegi
meningkat dengan meningkatnya air larian, menurunnya daerah tangkapan asal
sedimen, dan meningkatnnya lahan garapan (Dunne dan Leopold, 1978).
Sistem Hidrology DAS
Konsep daur air (hydrology cycle) menjadikan dasar pemikiran untuk
mempelajari siklus hidrologi DAS sebagaimana siklus hidrologi yang continental
Universitas Sumatera Utara
135
dalam skala luas (benua). Pendekatan geografik yang memandang DAS sebagai suatu
sistem yang alami, dimana DAS menjadi wadah tempat berlangsungnya proses-
proses fisik hidrologis maupun kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang kompleks
dengan dibatasi oleh punggung bukit dapat menjadi sarana untuk mempelajari respon
hidrologi yang terjadi (Pawitan dan Murdiyarso 1996).
Dalam sistem hidrologi DAS terdapat peubah sistem yang berperan dalam
proses masukan dan keluaran. Selain itu terdapat pula fungsi transfer yang
mencirikan interaksi antara setiap komponen dalam DAS. Interaksi antara komponen
dalam DAS dinyatakan dalam bentuk kesetimbangan yang bersifat dinamis, artinya
bahwa DAS tersebut menerima masukan hujan yang stokhastik sesuai dengan sifat
hidrometeorologinya dan sistem DAS dikendalikan oleh kendala fisiografi yang dapat
dianggap deterministik untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang juga
stokastik. Tanggapan kawasan DAS sebagai pengatur proses terhadap hujan akan
memberikan keluaran sebagai akibat interaksi semua proses yang terjadi dalam DAS
(Pawitan, 1995).
Perubahan fungsi hidrologi DAS sebagai dampak dari perluasan kawasan
budidaya dalam lahan DAS yang tidak terkendali seringkali mengarah pada kondisi
yang kurang diinginkan, yaitu berupa peningkatan erosi dan sedimentasi,
kemerosotan produktifitas lahan, dan degradasi lahan. Hasil akhir perubahan ini tidak
hanya nyata secara fisik berupa meluasnya lahan kritis dengan daya dukung yang
merosot, akan tetapi juga secara ekonomi, yaitu berupa masyarakat miskin yang
semakin hilang kesempatan berusaha tani (Pawitan dan Murdiyarso 1996). Oleh
karena itu, pengembangan kawasan budidaya dalam lahan DAS memerlukan
Universitas Sumatera Utara
136
perencanaan terpadu untuk menjamin terwujudnya pengembangan DAS yang
berkelanjutan sebagaimana yang diharapkan.
2. 2. Model dan Sistem
Model
Model adalah suatu gambaran abstrak dari sistem dunia nyata (real world
system) yang mempunyai kelakuan seperti sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu.
Suatu model yang baik biasanya akan menggambarkan dengan baik semua segi-segi
yang penting dari kelakuan dunia nyata dalam masalah-masalah tertentu (Manetsch
dan Park, 1977). Penyederhanaan dari sebuah sistem di dunia nyata (real world) tidak
selalu mudah karena selalu dibayangi oleh distorsi terhadap sistem yang sebenarnya.
Menurut Sandi (1973) Penyusunan model merupakan suatu usaha untuk meniru
sistem dimana dicoba untuk menemukan komponen-komponen utama suatu sistem
dan interaksi setiap komponen. Selanjutnya dikatakan bahwa validitas suatu model
bukan merupakan satu konsep yang absolut. Apakah suatu model valid atau tidak,
tergantung tujuan membangun model tersebut.
Manetsch dan Park (1976) membagi model atas lima macam, yaitu: (1) model
matematik, (2) model fisik, (3) model analog, (4) model informal dan (5) model
kualitatif. Model yang paling abstrak adalah model matematik, dimana hubungan
timbal balik dalam suatu sistem dinyatakan dalam rumus-rumus matematika.
Selanjutnya dikatakan bahwa kegunaan model sangat tergantung pada
persyaratan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
137
1. Model harus merupakan gambaran yang sahih dari sistem yang nyata, jadi harus
realistik dan informatif. Model yang tidak sahih akan memberikan hasil simulasi
yang sangat menyimpang dari kenyataan yang ada dengan demikian akan
memberikan informasi yang keliru.
2. Model harus cukup sederhana agar mudah dikelola.
Bagaimanapun bagusnya model, ia tetap merupakan distorsi dari sistem yang
sebenarnya, oleh karena itu harus digunakan secara teliti dan seksama.
Sistem
Menurut Manetsch dan Park (1976), sistem adalah suatu perangkat elemen-
elemen yang saling berhubungan atau berkaitan yang diorganisasi untuk mencapai
satu tujuan atau seperangkat tujuan.
Pada hakekatnya semua yang dipandang sebagai sistem dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu sistem tertutup (closed system) dan sistem terbuka (open system).
Dalam hal ini umumnya sistem-sistem alam, seperti sistem biologis dan sistem DAS
termasuk ke dalam sistem terbuka.
Selanjutnya, dalam pelaksanaan kajian sistem diperlukan suatu teknik yang
disebut dengan analisis sistem. Analisis sistem adalah studi mengenai sistem atau
oraganisasi dengan menggunakan azas-azas metoda ilmiah, sehingga dapat dibentuk
konsepsi atau model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk
mengadakan perubahan-perubahan struktur dan metode serta menentukan
kebijaksanaan, strategi dan taktik (Soerianegara, 1978). Oleh karena itu analisis
sistem dapat diartikan sebagai suatu metode pemecahan masalah (problem solving
Universitas Sumatera Utara
138
methodology). Pada dasarnya analisis sistem merupakan suatu metode penyelidikan
atau penelitian yang dihadapkan dengan masalah pemilihan alternatif dalam
ketidakpastian. Jadi analisis sistem digunakan untuk kepentingan pemilihan alternatif
dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Budhiyono, 1981).
Reichle (1970) mengemukakan, bahwa tujuan dari analisis sistem adalah untuk
mengerti dan mengenali proses-proses yang terjadi dalam suatu ekosistem. Dalam
ekosistem sumberdaya alam, analisis sistem diartikan sebagai suatu cara analisis
matematis tentang hubungan antara faktor-faktor dan komponen-komponen dalam
ekosistem sumberdaya alam tersebut yang mempunyai peranan dalam proses-proses
produksi, konsumsi dan pembinaan (Soerianegara, 1978). Oleh karena itu metode
pendekatan sistem dapat digunakan sebagai suatu dasar pemikiran yang
memungkinkan dalam pemecahan masalah-masalah yang rumit.
Peubah sistem dapat dikelompokkan dalam 3 katagori, yaitu peubah input
sistem, peubah output sistem dan parameter-parameter dugaan yang merupakan
aspek-aspek atau komponen dari suatu struktur sistem. Untuk melihat ketelitian dari
nilai-nilai parameter dugaan komponen sistem, maka digunakan teknik analisis
kepekaan (sensitivity analysis). Dengan merubah nilai setiap parameter ke atas dan ke
bawah, melalui suatu analisis komputer dapat dilihat respon dari sistem tersebut.
Apabila respon sistem kecil maka dikatakan bahwa sistem tidak sensitif terhadap nilai
parameter tersebut. Apabila respon sistem besar menunjukkan bahwa nilai parameter
tersebut penting, oleh karena itu diperlukan suatu dugaan yang lebih teliti lagi (Smith,
1970).
Universitas Sumatera Utara
139
Hubungan antara peubah-peubah dalam suatu sistem, sebagai hubungan sebab
akibat, dirumuskan dalam suatu bentuk umum yang disebut model. Model ini tidak
lain adalah hipotesis yang harus dibentuk dan diuji kebenarannya untuk suatu sistem
(Haeruman, 1971 dalam Budhiyono, 1981). Untuk itu maka secara umum dapat
dikatakan bahwa analisis sistem adalah metoda ilmiah yang merupakan dasar di
dalam pemecahan masalah-masalah pengelolaan.
2.3. Model Hidrologi Daerah Aliran Sungai
Model hidrologi adalah sebuah sajian sederhana (simple representation] dari
sebuah sistem hidrologi yang kompleks (Harto, 1993). Selanjutnya Brooks et al.
(1989) menyebutkan bahwa model hidrologi merupakan gambaran sederhana dari
suatu sistem hidrologi yang aktual. Model hidrologi biasanya dibuat untuk
mempelajari fungsi dan respon suatu DAS dari berbagai masukan DAS. Melalui
model hidrologi dapat dipelajari kejadian-kejadian hidrologi yang pada gilirannya
dapat digunakan untuk memprediksi kejadian hidrologi yang akan terjadi.
Konsep dasar yang digunakan dalam setiap sistem hidrologi adalah siklus
hidrologi (Harto, 1993). Persamaan dasar yang menjadi landasan bagi semua analisis
hidrologi adalah persamaan neraca air (water balanced equation). Persamaan neraca
air dari suatu daerah aliran sungai untuk suatu periode dapat dinyatakan dengan
persamaan berikut:
I - O = AS
Universitas Sumatera Utara
140
dimana :
I = masukan (inflow)
O = keluaran (outflow)
AS = perubahan tampungan (storage change)
Sebagai suatu sistem hidrologi, daerah aliran sungai meliputi jasad hidup,
lingkungan fisik dan kimia yang berinteraksi secara dinamik, yang didalamnya terjadi
kesetimbangan dinamik antara energi dan meterial yang masuk dengan energi dan
material yang keluar. Dalam keadaan alami, energi matahari, iklim diatas DAS dan
unsur-unsur endogenik dibawah permukaan DAS merupakan masukan (input).
Sedangkan air dan sedimen yang keluar dari muara DAS serta air yang kembali ke
udara melalui evapotranspirasi adalah keluaran (output) DAS (Sinukaban, 1997).
Penggunaan model dalam penelitian hidrologi pertama kali diperkenalkan oleh
Crawford dan Linsley (1966), yang dikenal sebagai Stanford Watershed Model IV
(SWM IV) (Viessman Jr. et.al., 1977). Didalam model tersebut struktur neraca air
yang menyangkut parameter-parameter input dan output diuraikan secara ringkas.
Fungsi yang dirumuskannya diuji dengan simulasi komputer yang disebut
Hydrocomp Simulation Program (Biswas, 1976 dalam Murdiyarso, 1979).
Untuk analisis DAS, model hidrologi dapat dibedakan dalam "lumped" dan
"distributed". Model lumped parameter mentransformasi curah hujan (input) ke
dalam runoff (output) dengan konsep bahwa semua proses dalam DAS terjadi pada
satu titik spasial. Lumped parameter memperlakukan DAS sebagai himpunan
parameter-parameter yang berperilaku seragam. Sebaliknya, model distributed
parameter berusaha menggambarkan proses dan mekanisme fisik dan keruangan.
Universitas Sumatera Utara
141
Distributed parameter memperlakukan masing-masing komponen DAS atau proses
sebagai komponen mandiri dengan sifatnya masing-masing.
Model USLE, MUSLE, RUSLE, CREAMS (chemical runoff and erosion from
agricultural management system) dan GLEAMS (groundwater loading effect of
agricultural management system) tergolong dalam lumped parameter. Sedangkan
WEPP (water erosion prediction project), KINEROS (KINematic EROsion
Simulation), EUROSEM (EUROpean Soil Erosion Model), TOP MODEL
(TOPographically and physically based, variable contributing area MODEL of basin
hidrology) dan ANSWERS tergolong distributed parameter.
Simulasi adalah suatu teknik numeris untuk mengadakan eksperimen hipotetis
bagi model matematis, yang dapat menjabarkan tingkah laku sistem dinamik secara
kuantitatif (Hillel, 1977)
Dengan simulasi hidrologi dapat dengan jelas digambarkan proses curah hujan
dan limpasan permukaan melalui satu seri fungsi-fungsi matematik di mana setiap
komponen digambarkan dalam satu proses yang khusus dan seluruh proses sistem
alam dalam simulasi gabungan. Program simulasi hidrologi dirancang dengan curah
hujan sebagai masukan utama dan aliran sungai (streamflow) sebagai keluaran utama.
Jadi dengan simulasi hidrologi dimungkinkan untuk menggambarkan data curah
hujan historis ke dalam nilai-nilai aliran sungai yang menunjukkan pengaruh dari
lahan dan saluran-saluran terhadap fluktuasi aliran dan membantu pengertian
tentang siklus hidrologi dalam suatu Daerah Aliran Sungai.
Keuntungan menggunakan simulasi adalah dapat melakukan eksperimentasi
atas suatu sistem atau ekosistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan
Universitas Sumatera Utara
142
perlakukan terhadap sistem yang diteliti. Melalui penerapan analisis sistem dapat
dilakukan penelitian yang multi atau interdisiplin dan terintegrasi, yang seringkali
tidak mungkin dilakukan dalam keadaan sebenarnya. Dari segi efisiensi dan
kelayakan teknis, analisis sistem dapat dilakukan dengan singkat, dengan biaya yang
relatif murah serta hasil yang cukup dapat dipercaya (Soerianegara, 1978).
Secara lebih terperinci lagi Desonneville (1974) mengemukakan tahapan kerja
dalam melakukan simulasi dengan analisis sistem sebagai berikut:
1. Masalah yang akan disimulasikan harus ditentukan dengan jelas, demikian pula
ruang lingkup, pentingnya masalah dan manfaat dari hasil simulasi yang
dilakukan.
2. Setelah ditentukan masalah yang akan disimulasi kemudian dibuat model yang
didasarkan pada masalah dan keadaan dari sistem atau dengan kata lain model
tersebut harus mewakili sistem yang nyata tetapi tetap berada dalam ruang
lingkup masalah yang akan disimulasi.
3. Karena simulasi akan dilakukan pada komputer, maka model yang dibuat tersebut
harus dapat digambarkan dalam suatu model matematis.
4. Berdasarkan model yang telah dibuat tersebut sudah harus ditentukan, data apa
yang diperlukan untuk simulasi. Data yang dikumpulkan harus dapat dipercaya
kebenarannya dan yang lebih penting harus bersifat kuantitatif agar dapat
digunakan dalam model matematis yang telah dibuat.
5. Model matematis yang telah dibuat tersebut harus dapat ditransfer menjadi
program komputer. Dengan bantuan flowchart (diagram alir), program komputer
dapat dibuat.
Universitas Sumatera Utara
143
6. Model yang telah diprogramkan tadi, masih harus diuji apakah sudah mewakili
sistem yang sebenarnya dan masalah yang akan disimulasi. Apabila data yang
digunakan dapat dipercaya kebenarannya, maka pengujian model ini dapat
dilakukan dengan menganalisis model simulasi. Hasil simulasi ini dibandingkan
dengan kenyataan yang ada (dengan data yang ada). Jika hasil simulasi sudah
sesuai dengan kenyataan yang ada, maka model yang digunakan sudah tepat,
tetapi bila belum sesuai, maka model yang dibuat tersebut masih harus diperbaiki,
sampai diperoleh model yang benar-benar tepat.
7. Bila pengujian telah dilakukan dan ternyata model yang digunakan sudah dapat
mewakili sistem yang nyata, maka untuk tahap selanjutnya simulasi dapat
dilakukan dengan menggunakan model tersebut dengan catatan tidak ada
perubahan pada sistem.
Oleh karena itu apabila suatu sistem digambarkan dalam model-model mulai
dari kondisi awal sampai pada akhir dari sistem ini, yang diikuti oleh suatu waktu
yang singkat maka teknik ini disebut Simulasi ( Eriyatno, 1989).
Dengan berkembangnya penggunaan komputer maka penerapan simulasi dalam
sistem-sistem yang rumit lebih dimungkinkan. Para ahli bidang hidrologi menyadari
sepenuhnya bagaimana pentingnya digital computer untuk suatu Analisis hidrologi
melalui pendekatan simulasi hidrologi.
2.4. Model ANSWERS
Model hidrologi ANSWERS (Areal Nonpoint Source Watershed Environmental
Respons Simulation) dikembangkan dari EPA (Environment Protection Agency) oleh
Universitas Sumatera Utara
144
Purdue Agricultural Experiment Station (Beasley dan Huggins, 1991). Model
ANSWERS ini telah diaplikasikan penggunaannya di Indonesia melalui beberapa
riset, seperti Rauf (1994) yang melakukan penelitian di Sub DAS Palu Timur,
Aswandi (1996) di DAS Cikapundung, Tikno (1996) di DAS Citanduy serta Ginting
dan Ilyas (1997) di Sungai Salak. Dari hasil uji model ANSWERS pada lokasi yang
berlainan tersebut, diperoleh hasil bahwa model ANSWERS memiliki tingkat akurasi
yang baik dalam memodelkan suatu daerah aliran sungai.
Model ANSWERS merupakan model parameter terdistribusi, untuk kejadian
hujan tunggal (event based model) yang dirancang untuk mengevaluasi pengaruh
BMPs (best management practices) terhadap aliran permukaan dan kehilangan
sedimen dari suatu DAS penggunaan lahan utama pertanian (Hidayat, 2009).
Hipotesis yang dikembangkan dalam model ini adalah bahwa setiap bagian
dalam DAS terjadi hubungan antara laju aliran dan parameter-parameter hidrologi,
serta tipe tanah, topografi, infiltrasi, penggunaan lahan, dan sifat hujan. Laju aliran
yang terjadi dapat digunakan untuk mengkaji hubungan antara komponen hidrologi
yang menjadi dasar dalam pemodelan fenomena transport, seperti erosi tanah dan
pengangkutan serta pergerakan bahan kimia tanah (de Roo,1993).
Dalam model ini suatu DAS yang akan dianalisis responnya dibagi menjadi
satuan elemen yang berukuran bujur sangkar dan setiap elemen tersebut memiliki
paramater hidrologi yang sama. Perbedaan antar sel menyebabkan model mampu
mempertimbangkan heterogenitas DAS secara alami. Elemen diartikan sebagai suatu
areal yang mempunyai parameter hidrologi yang sama, dimana setiap elemen akan
memberikan kontribusi sesuai dengan karakteristik yang dimiliki.
Universitas Sumatera Utara
145
Di dalam setiap sel, model mensimulasikan intersepsi, retensi permukaan,
infiltrasi, aliran permukaan, perkolasi, penghancuran partikel tanah menjadi sedimen
dan pengangkutan sedimen. Aliran permukaan bergerak menuju downslope melalui
aliran sel tetangganya atau sel lain yang mempunyai saluran. Model ANSWERS
dapat digunakan untuk mensimulasikan beberapa BMPs seperti pengolahan tanah
konservasi, hutan, kolam, rerumputan dan tindakan lainnya yang mempengaruhi
parameter input model berdasarkan fisik (Beasley and Huggins, 1991).
Dari beberapa hasil penelitian terdahulu (Rauf, 1994; Aswandi, 1996; dan
Tikno, 1996) dapat disimpulkan bahwa model ANSWERS mempunyai kelebihan
antara lain: (a), analisis parameter distribusi yang dipergunakan dapat memberikan
hasil simulasi yang akurat terhadap sifat daerah tangkapan; (b). dapat mensimulasi
secara bersamaan dari berbagai kondisi dalam DAS; (c). memberikan keluaran berupa
limpasan dan sedimen dari suatu DAS yang dianalisis. Sedangkan kelemahan model
ANSWERS terletak pada model erosi yang sebagian besar bersifat empiris dan hanya
mensimulasikan transportasi total sedimen.
Diagram alir dari mekanisme model ANSWERS dapat dilihat pada gambar 3.
Dari sejumlah hujan yang turun, sebagian diintersepsi oleh kanopi vegetasi (dengan
penutupan PER = Potensi Evaporasi) sampai Potensial Simpanan Intersepsi (PIT)
terjadi. Apabila laju curah hujan yang turun lebih besar dari laju intersepsi, infiltrasi
ke dalam tanah dimulai. Laju infiltrasi dipengaruhi oleh kandungan air tanah mula-
mula (ASM, Antecedent Soil Moisture), Porositas Tanah Total (PTT), kandungan air
tanah pada kondisi Kapasitas Lapang (KL), laju infiltrasi pada saat konstan (FC), laju
infiltrasi awal (FC+A) dan kedalaman zona kontrol infiltrasi (DF).
Universitas Sumatera Utara
146
Penurunan laju infiltrasi secara eksponensial dan meningkatnya kandungan air
tanah menyebabkan tercapainya suatu titik ketika laju hujan yang turun lebih besar
dari laju infiltrasi dan intersepsi. Jika kondisi ini terjadi air mulai mengumpul di atas
permukaan dalam depresi-mikro (retention storage) yang dipengaruhi oleh peubah
kekasaran permukaan, yaitu RC dan HU. Jika retensi permukaan melebihi kapasitas
depresi-mikro, maka akan terjadi limpasan permukaan (dipengaruhi oleh nilai n
Manning, kelerengan, dan arah aliran). Laju infiltrasi tetap (FC) akan dicapai bila
lama dan intensitas kejadian hujan relatif besar. Pada saat hujan reda, proses infiltrasi
berlangsung sampai air dalam simpanan depresi sudah tidak tersedia lebih lama lagi.
Air dan sedimen yang dapat mencapai elemen yang memiliki saluran, selanjutnya
akan diangkut menuju outlet DAS. Sedimentasi dalam saluran terjadi ketika besarnya
kapasitas transpor telah dilewati (de Roo, 1993).
Penghancuran dan pengangkutan partikel tanah disebabkan oleh dampak butiran
hujan yang jatuh (DRO=direct run off) atau limpasan permukaan. Ada atau tidaknya
partikel tanah yang dipindahkan tergantung besarnya sedimen dan kapasitas
transpornya (TC).
Daerah aliran sungai di modelkan dengan membangun strukturnya secara
konseptual oleh kumpulan elemen bujursangkar, sehingga derajat variabelitas spasial
dalam DAS dapat terakomendasi, dimana variasi tersebut diberikan oleh parameter
setiap elemen DAS. Elemen diartikan sebagai suatu areal yang mempunyai
parameterhidrologi yang sama, dimana setiap elemnen akan memberikan kontribusi
dengan karakteristik yang dimiliki. Dengan demikian model ANSWERS ini
melakukan analisis pada setiap satuan elemen (Beasley dan Huggins.1981).
Universitas Sumatera Utara
147
Gambar 3. Diagram Alir Model ANSWERS (de Roo, 1993)
Hujan
Air hujan yang jatuh di atas permukaan lahan bervegetasi sebagian
diintersepsi oleh tutupan tajuk vegetasi. PIT menggambarkan volume air hujan yang
tertahan sebagai air intersepsi jika suatu lahan tertutupi sempurna oleh tanaman atau
penggunaan lahan tertentu. ANSWERS menggunakan maksimum potensial simpanan
intersepsi (PIT, dalam mm) sebagai input. Jumlah air hujan dikalikan dengan porsi
Universitas Sumatera Utara
148
elemen yang tertutupi vegetasi (PER) menghasilkan intersepsi incremental (RIT).
Simpanan intersepsi potensial ditentukan untuk setiap kejadian hujan dan untuk setiap
jenis tanaman. Data simpanan intersepsi potensial sering diprediksikan menggunakan
persamaan Horton ( De Roo, 1993).
Infiltrasi
Model ANSWERS mensimulasikan infiltrasi air ke dalam tanah dengan
menggunakan persamaa Holtan�s (1961) yang dimodifikasi Everton (1964), dengan
persamaan :
FMAX = FC + A PIV TP dimana :
FMAX : Kapasitas infiltrasi dengan permukaan tanah tergenang (cm/jam)
FC : Kaspasitas infiltrasi konstan (cm/jam)
A : Maksimum kapasitas infiltrasi � FC (cm/jam)
TP : Prositas total di dalam zona control infiltrasi (%)
PIV : Volume air yang dapat ditahan dalam zona control hingga jenuh (cm)
P : Koefisien empirik yang menunjukkan penurunan laju infiltrasi
dengan meningkatnya kelembaban tanah
Infiltrasi dihitung berdasarkan 6 parameter fisik tanah yang meliputi porositas
total, kadar air kapasitas lapang, zona kontrol infiltrasi, koefisien A dan P. Persamaan
Holtan�s telah banyak digunakan namun persamaan tersebut mempunyai keterbatasan
terutama dalam penetapan zona kontrol infiltrasi pada suatu tanah dan penentuan nilai
A dan P. Nilai koefisien A dan P dapat ditentukan dengan menggunakan data
literature atau ditentukan dengan menggunakan metoda pengepasan (fitting) infiltrasi
P
Universitas Sumatera Utara
149
hasil prediksi dan data infiltrasi hasil penggukuran (Bouroui, 1996). Pendekatan zona
control kedalaman infiltrasi ditentukan sebagai kedalaman horizon.
Smith (1976) menyatakan bahwa persamaan Holtan tidak bersesuaian dengan
prinsip hidrolik dimana laju infiltrasi tergantung kepada zona kontrol infiltrasi. Baun
et al. (1986) menunjukkan bahwa volume aliran permukaan sangat sensitive terhadap
pemilihan zona kontrol kedalaman. Penurunan zona kontrol kedalaman 33%
menigkatkan volume aliran permukaan 87%, sedangkan penigkatan zona kontrol
kedalaman 33% menurunkan volume aliran permukaan 28%.
Dalam model ANSWERS, jika zona kontrol kedalaman infiltrasi telah terisi
dengan air, maka air yang lebih dari kapasitas lapang akan terdrainase ke lapisan
bawah dengan menggunakan persamaan Huggins dan Monke (1966) :
DR = FC 1- PIV GWC
dimana :
DR : laju drainase air dari zona kontrol (cm/jam)
GWC : air gravitasi dari zona kontrol (cm/jam)
Bouraoui (1996) mengintro-duksi persamaan infiltrasi Green-Ampt kedalam
model ANSWERS untuk mengatasi kelemahan model infiltrasi Holtan�s. Hal tersebut
dilakukan dengan alasan : a) model Green-Ampt merupakan model berdasarkan fisik
sehingga hasil dugaannya akan menjadi lebih baik; b) perhitungan yang dilakukan
lebih efisien, dan c) parameter dapat ditentukan secara mudah dari informasi data
tanah dan tutupan vegetasi yang tersedia.
3
Universitas Sumatera Utara
150
Simpanan Depresi Mikro
Laju infiltrasi aktual tergantung kepada luas permukaan tanah yang tertutupi
oleh air. Laju infiltrasi yang terjadi akan lebih kecil jika tidak seluruh permukaan
tanah tertutup air dan instensitas hujan lebih kecil dari kapasitas infiltrasi. Oleh
karena itu diasumsikan bahwa hanya bagian permukaan tanah yang tertutup air saja
(FWA) yang mempunyai kapasitas infiltrasi maksimum. Sedangkan infiltrasi pada
areal permukaan lainnya tergantung pada instensitas hujan, dimana laju infiltrasi
sama dengan instensitas hujan netto.
Area permukaan yang tertutupi air (FWA) dan simpanan permukaan potensial
(DEP) dihitung menggunakan persamaan Huggins dan Monke (1966).
FWA = H HU DEP = HU*RC* H HU dimana : FWA : fraksi tutupan air DEP : volume air yang tersimpan di permukaan (mm) H : keadaan fisik stored water diatas elevasi terendah atau datum (mm) HU : ketinggian maksimum mikro relief/ketinggian diatas datum (mm) RC : eksponen yang menunjukkan frekuensi kekasaran permukaan
Jika H = HU, maka FWA = 1 dan DEP = HU*RC. Jika RC = 1, maka DEP =
HU, sehingga kapasitas infiltrasi dapat dihitung dengan persamaan:
FILT = FWA*f + (1-FWA)*R
dimana :
FILT : laju infiltrasi (mm/jam) f : laju infiltrasi dimana seluruh permukaan tertutupi air (mm/jam) R : intensitas hujan netto (mm/jam) setelah dikoreksi interspsi HU : ketinggian maksimum mikro relief/ketinggian diatas datum (mm)
1 RC
1 RC
Universitas Sumatera Utara
151
Variabel HU mudah diukur di lapangan, tetapi variabel RC relative sulit
diukur di lapangan sehingga biasanya digunakan data sekunder yang disajikan
Beasley dan Huggins (1981).
Retensi permukaan dihitung dengan asumsi bahwa ketinggian maksimum air
diatas datum sudut aliran = 0 ( H = 0.1*Hu), sehingga retensi permukaan maksimum
adalah :
MAXDEP = HU*RC* [0,10]
MAXDEP : maksimum volume simpanan retensi (mm).
Akumulasi air yang melebihi kapasitas simpanan retensi (simpanan depresi
mikro) akan menghasilkan aliran permukaan.
Aliran Permukaan
Respon hidrologis setiap elemen dihitung sebagai fungsi dari waktu secara
ekplisit melalui penjelasan backward differential pada persamaan kontinuitas :
I � Q = dS dt
dimana :
I : laju inflow pada suatu elemen yang berasal dari hujan dan elemen tetangganya
(m3/dt)
Q : laju outflow (m3/dt)
S : volume air yang tersimpan dalam elemen (m3)
t : waktu (dt)
1 -1 RC
Universitas Sumatera Utara
152
Persamaan tersebut diselesaikan dengan persamaan Manning dalam hubungan
stagedischarge untuk kinematic overland flow dan channel routing sederhana. Radius
hidrolik pada persamaan Manning diasumsikan sama dengan kedalaman retensi pada
masing-masing sel.
Elemen yang mempunyai saluran dianggap sebagai 2 elemen, yang berperan
sebagai elemen overland dengan perkecualian bahwa semua overland flow yang
keluar dari elemen akann masuk kedalam segmen saluran. Aliran air dalam saluran
bergerak menuju saluran yang lebih rendah, dimana aliran air pada saluran tersebut
bersumber dari saluran lain yang terhubungkan dari overland flow elemen.
Sedimen
Erosi tanah dalam model ANSWERS dimodelkan dalam 2 tahapan proses
yaitu proses pertama penghancuran partikel tanah dan proses transportasi sedimen.
Penghancuran partikel tanah disebabkan oleh pukulan butiran hujan dan aliran air di
permukaan tanah, sedangkan trasportasi sedimen hanya disebabkan oleh aliran air
yang mengalir di permukaan tanah. Selanjutnya Meyer dan Wischmeier (1969)
mengembangkan model penghancuran partikel tanah akibat pukulan butir hujan dan
aliran permukaan masing-masing sebagai berikut:
DR = 0,108*CDR*SKDR*AI*R2
dimana :
Dr : efek pukulan air hujan terhadap tanah /detachment (kg/menit) CDR : faktor tanaman dan pengelolaan (dari USLE) SKDR : faktor erodibilitas tanah (dari USLE) AI : area increment (m2) R : intesitas hujan netto dalam interval waktu tertentu (mm/menit)
Universitas Sumatera Utara
153
Do = 0,9*CDR*SKDR*AI*SL* qo Dimana :
Do : overland flow detachment rate (kg/menit) SL : kecuraman lereng qo : debit aliran per unit (m2/menit)
Persamaan Meyer dan Wischmeier (1969) secara umum dapat diterima,
namun karena persamaan tersebut menggunakan nilai C dan K yang bersumber dari
model USLE, maka validitas persamaan tersebut masih dipertanyakan (De
ROO,1993). Disamping itu, nilai faktor K adalah ukuran interrill erodibilitas,
sehingga detachment dalam rill dan gully/saluran atau perkembangannya belum
dipertimbangkan dalam model ANSWERS.
Trasportasi Sedimen
Model ANSWERS membedakan kapasitas trasnportasi aliran berdasarkan
jenis aliran yang terjadi secara laminar ataupun turbulent. Pada aliran laminar,
kapasitas transportasi aliran diasumsikan proposional terhadap akar kuadrat dari debit
aliran, sedangkan pada aliran turbulent kapasitas transportasi aliran proposional
kuadrat terhadap debit aliran. Kapasitas transportasi aliran tersebut dimodelkan
berdasarkan persamaan Yalin�s (1963) dan selanjutnya dimodifikasi oleh Foster dan
Meyer (1977) berikut ini:
TF = 161*SL*Q0,5 jika Q < 0,046 m2/menit
TF = 16320*SL*Q2 jika Q < 0,046 m2/menit
Universitas Sumatera Utara
154
dimana :
TF : laju transportasi sedimen potensial (kg/menit/m)
Q : debit aliran per unit lebar (m2/menit/m)
SL : kemiringan lereng (%)
Pergerakan sedimen menuju outlet di telusuri (routing) bersama dengan
overland flow dan channel flow dengan menggunakan fungsi gelombang kinematik
sederhana (Beasley et al., 1980; Chow et al., 1988).
Integrasi Model Erosi dan SIG
Erosi tanah dipenuhi oleh berbagai faktor seperti heterogenitas keruangan
(spatial heterogenity) dari topografi, vegetasi, karakteristik tanah dan penggunaan
lahan. Sebagian besar model prediksi erosi belum mempertimbangkan aspek-aspek
tersebut sehingga Sistem Informasi Geografi (SIG) akan menjadi alat yang sangat
menunjang perbaikan model prediksi erosi dalam menganalisis data spasial dan
menghubungkan data dari berbagai sumber dalam proses pemodelan erosi. Beberapa
keuntungan mengintegrasikan model prediksi dengan SIG adalah :
- Mempercepat penyimpanan data input model untuk mensimulasikan beberapa
skenario
- Meningkatkan kemampuan simulasi dengan menggunakan banyak fixel
(khususnya DAS berukuran besar) sehingga DAS dapat disimulasikan secara
lebih detil ( De Roo, 1996).
Universitas Sumatera Utara
155
- Memungkinkan visualisasi keluaran model terutama dalam mendisplay dan
menganimasikan sequence peta/gambar keluaran model berdasar waktu dan
keruangan, sehingga mampu menampilkan obyek dari berbagai perspektif.
Ada tiga pendekatan dalam permodelan erosi dengan SIG yaitu : loose coupling,
tight coupling and embedded coupling/fully integrated (Wesseling et al., 1996, dalam
Pullar dan Springer, 2000). Dalam loose couping, SIG dan model prediksi erosi
terpisah, dimana SIG digunakan pada pengolahan awal data spasial kedalam format
file input model yang diinginkan kemudian memvisualisasikan keluaran model.
Sedangkan dalam tight coupling, SIG menyediakan interfase bersama (shared
interface) untuk memindahkan data spasial antara SIG dan permodelan erosi yang
terpisah. Pada embedded coupling/ fully integrated, model secara utuh terintegrasi
sebagai komponen dalam aplikasi SIG.
Sebagian besar integrasi model erosi dengan SIG saat ini tergolong ke dalam
loose dan tight coupling, antara lain dikembangkan oleh Winchell et all (2008) yang
menggabungkan teknologi GIS dengan Model RUSLE terutama dalam penentuan
kemiringan dan panjang slope lahan. Integrasi utuh antara model SIG masih belum
banyak dilakukan karena kurang efisiensinya dimensi temporal pada kebanyakan
sistem SIG (Kaden, 1993; Doe, 1999).
Walaupun banyak software SIG yang sangat maju dalam pemrosesan dan
penyajian data, SIG tidak mampu untuk permodelan berdasarkan fisik (physically
based modelling). Hingga saat ini, pensimulasian transportasi air dan pollutan melalui
suatu landscap masih merupakan masalah dalam SIG. Sejumlah metoda routing
tertentu dibutuhkan SIG untuk permodelan hidrologi.
Universitas Sumatera Utara
156
Penyajian elevasi suatu permukaan (topografi) merupakan kunci pokok analisis
geomorpologi sehingga penyajian topografi dalam bentuk DEM (digital elevation
model) menjadi sangat penting.
Masukan data untuk model ANSWERS, yaitu :
a. Data hujan meliputi lama dan intensitas hujan.
b. Data tanah yang mencakup: porositas total, kadar air kapasitas lapang, kedalaman
zone pengamatan infiltrasi tanah di horizon A, laju infiltrasi pada "keadaan
konstan, selisih laju infiltrasi maksimum dan konstan, dan nilai erodibiltas tanah
menurut metode USLE.
c. Penggunaan lahan dan kondisi permukaan meliputi: jenis penggunaan lahan dan
pengelolaannya, volume intersepsi potensial dan prosentase penutupan
permukaan pada setiap jenis penggunaan lahan, koefisien kekasaran dan tinggi
kekasaran maksimum, nilai kekasaran Manning (n), dan indeks pengelolaan
tanaman dan tanah (faktor CP dalam persamaan USLE).
d. Data saluran dan sungai meliputi lebar saluran dan kekasaran saluran (n
Manning).
e. Data individu elemen meliputi: kemiringan dan arah lereng, tipe sungai, jenis
tanah dan penggunaannya, liputan penakar hujan pewakil, kemiringan
sungai/saluran, pengelolaan lahan (tindakan konservasi) dan elevasi rata-rata.
Adapun keluaran (output) dari model ANSWERS berupa limpasan (total run
off) dan sedimen. Asumsi yang digunakan untuk memprediksi erosi dengan model ini
adalah (Beasley dan Huggins, 1981):
a. Erosi tidak terjadi di lapisan bawah permukaan.
Universitas Sumatera Utara
157
b. Sedimen dari suatu elemen ke elemen lain akan meningkatkan lapisan permukaan
elemen tempat pengendapan.
c. Pada segmen saluran tidak terjadi erosi akibat hempasan butir hujan.
d. Penghancuran tanah dalam saluran akibat curah hujan diasumsikan tidak ada.
Perangkat lunak ANSWERS juga menampilkan grafik yang berisi hydrograf
hujan terpilih, hidrograf aliran permukaan, dan sedimentasi. Dari setiap kejadian
hujan dapat dianalisis debit puncak (m3/detik) dan waktu puncak (menit). Debit
puncak adalah nilai puncak (tertinggi) dari suatu hidrograf aliran, dan waktu puncak
adalah selang waktu mulai dari awal terjadinya aliran permukan sampai terjadinya
debit puncak.
Model yang digunakan untuk simulasi terlebih dulu harus dilakukan pengujian
(validasi model) dengan memperhatikan perbedaan antara hidrograf hasil perhitungan
(model) dengan hasil pengukuran dari lapangan dengan menggunakan uji
pembandingan berpasangan (paired comparison) melalui uji-t. Nilai t-test hasil
perhitungan dibandingkan dengan nilai t-tabel pada tingkat kepercayaan tertentu
(misalnya pada tingkat kepercayaan 90 % atau 95% ). Apabila nilai t-test lebih kecil
dari nilai t-tabel berarti bahwa nilai hidrograf hasil pengukuran dengan keluaran
model tidak berbeda nyata dan dianggap cukup valid dalam mewakili kondisi aktual
di lapangan, sehingga model tersebut dapat digunakan dalam mensimulasikan
perubahan peubah-peubah model sesuai dengan skenario yang diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
158
2.5. Lahan
Batasan Pengertian
Pada pemikiran masyarakat awam, tanah dan lahan merupakan dua istilah yang
sama, akan tetapi pengertian tanah dan lahan sebenarnya sangat berbeda. Tanah
didefinisikan sebagai permukaan bumi yang terdiri dari campuran bahan mineral,
bahan organik, air dan udara, yang tersusun oleh horison-horison tanah, dan
merupakan media tumbuh tanaman. Adapun istilah lahan yang digunakan dalam
penelitian ini diartikan sebagai tanah berikut faktor-faktor fisik lingkungan seperti
lereng, hidrologi, iklim, dan sebagainya. Dari batasan tersebut tampak, bahwa lahan
mempunyai fungsi yang sangat panting, terutama untuk keperluan penggunaan
berbagai kegiatan pertanian (Hardjowigeno, 1993) .
Mengingat fungsi lahan yang demikian penting, maka manusia harus
membangun hubungan yang saling menguntungkan antara manusia dengan lahan,
sehingga lahan dapat diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Upaya yang perlu
dilakukan antara lain melalui penggunaan lahan sesuai dengan kelas kemampuan
lahan, karena lahan mempunyai batas-batas kemampuan untuk mendukung berbagai
kegiatan diatasnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa perencanaan penggunaan lahan pada dasarnya
adalah suatu proses inventarisasi dan penilaian keadaan (status), potensi dan
pembatas-pembatas dari suatu daerah tertentu dan sumber-dayanya. Proses ini
berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang-orang yang menaruh
perhatian terhadap daerah tersebut, terutama dalam menentukan kebutuhan-
Universitas Sumatera Utara
159
kebutuhan mereka, aspirasi dan keinginannya pada masa mendatang (Soil Survey
Staff, 1982 dalam Hardjowigeno, 1993).
Pola penggunaan lahan merupakan pencerminan berbagai kegiatan manusia
yang ada di atasnya. Adanya lahan pertanian menunjukkan adanya usaha di bidang
pertanian dan adanya lahan perkebunan menunjukkan kegiatan dibidang perkebunan.
Demikian pula adanya lahan perkotaan memperlihatkan adanya kegiatan-kegiatan di
luar bidang pertanian, dan sebagainya. Makin tinggi tingkat kegiatan manusia, makin
tinggi pula kebutuhan akan lahan, baik dalam arti peningkatan luas penggunaan lahan
maupun dalam intensitas penggunaannya. Gambaran pola penggunaan lahan suatu
daerah dapat memberikan gambaran tentang kehidupan ekonomi daerah tersebut dan
dapat dijadikan indikator tingkat pencemaran lingkungan hidup (Sandy, 1973).
Menurut Hardjowigeno (1993) penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi 2
kelompok besar menurut sifat polanya, yaitu; penggunaan lahan pedesaan (rural land
use) dan penggunaan lahan perkotaan (urban land use). Kedua pola penggunaan
tersebut memiliki tujuan yang berbeda. Penggunaan lahan perkotaan terutama
ditujukan untuk tempat tinggal dan berazaskan aman, tertib, lancar dan sehat.
Penggunaan lahan pedesaan dititikberatkan kepada tujuan produksi pertanian/
sehingga azasnya adalah lestari, optimal dan seimbang.
Kemampuan lahan untuk mendukung pertumbuhan tumbuhan atau
menghasilkan barang atau jasa dapat menurun akibat kerusakan tanah oleh satu atau
lebih proses berikut (Riquier, 1977 dalam Arsyad, 1989): (1) kehilangan unsur hara
dan bahan organik dari daerah perakaran; (2) proses salinisasi di daerah perakaran;
(3) terkumpulnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman; (4)
Universitas Sumatera Utara
160
penjenuhan tanah oleh air (water logging); (5) erosi. Dengan demikian, maka
diperlukan adanya pengelolaan lahan yang optimal sehingga produktivitas lahan
dapat dipertahankan.
Pengelolaan Lahan
Pengelolaan lahan dapat diartikan sebagai segala tindakan atau perlakuan yang
diberikan pada sebidang lahan, untuk menjaga dan/atau mempertinggi produktivitas
lahan tersebut (Sitorus, 1991). Selanjutnya dikatakan pula, bahwa sistem pengelolaan
lahan mencakup lima unsur, yaitu: (1) Perencaaan penggunaan lahan sesuai dengan
kemampuannya, (2) Tindakan-tindakan khusus konservasi tanah dan air, (3)
Menyiapkan tanah dalam keadaan olah yang baik, (4) Mempergunakan sistem
pergiliran tanaman yang tersusun baik, (5) Menyediakan unsur hara yang cukup dan
seimbang bagi tumbuhan. Kelima unsur tersebut harus dilihat sebagai suatu rangkaian
yang satu sama lain saling mengisi.
2.6. Sistem Usahatani Konservasi
Aspek Konservasi
Usaha-usaha perbaikan pada lahan terdegradasi, misalnya dengan menerapkan
kombinasi teknik konservasi tanah antara vegetatif dan mekanik melalui alley
cropping, strip kontur dan teras dengan tanaman penguat serta pengelolaan bahan
organik dengan cara mengembalikan sisa panen ke lahan usahatani, selain
memperbaiki lahan juga mendorong terpeliharanya ternak. Perlu digarisbawahi
pentingnya tanaman penguat dalam teras, karena bangunan teras saja tidak cukup
Universitas Sumatera Utara
161
menahan erosi. Berdasarkan pengamatan Sembiring dan Fagi (1987), diacu dalam
Sembiring et al. (1989), lahan yang di teras bangku tetapi tidak dikelola dengan baik
memberikan erosi yang lebih tinggi daripada lahan yang di teras gulud yang dikelola
dan didesain dengan baik. Teras gulud mampu menekan/menurunkan indeks LS
(panjang dan kemiringan lereng).
Nilai faktor C dipengaruhi oleh banyak peubah yang dapat dikelompokkan
menjadi dua, .yaitu: peubah alami (terutama iklim dan fase pertumbuhan tanaman)
dan peubah-peubah yang dipengaruhi oleh sistem pengelolaan, antara lain: tajuk
tanaman, mulsa sisa-sisa tanaman yang dibenamkan ke dalam tanah, pengolahan
tanah, pengaruh residual pengelolaan tanah, dan interaksi antara peubah-peubah
tersebut (Arsyad 2002). Nilai C yang rendah sangat membantu memperkecil nilai A,
misalnya kacang tanah, kedelai, kacang tunggak, dan lain-lain yang dapat menutup
tanah dengan rapat yang secara langsung dapat menahan energi butiran hujan yang
jatuh ke permukaan tanah.
Faktor pengelolaan tanah (P) adalah semua perlakuan fisik mekanis yang
diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran
permukaan dan erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah yang
termasuk dalam metode mekanis adalah: (1) pengolahan tanah (tillage), (2)
pengolahan tanah menurut kontur (contour cultivation), (3) guludan dan guludan
bersaluran menurut kontur, (4) teras, (5) dam penghambat (check dam), waduk
(balong), rorak, tanggul, dan (6) perbaikan drainase dan irigasi (Arsyad 2002).
Semakin kecil nilai P, menunjukkan semakin baik kualitas dari usaha konservasi yang
dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
162
Secara umum praktek-praktek konservasi tanah dan air bertujuan untuk
mencegah terjadinya erosi agar produktivitas tanah dapat dipertahankan. Upaya-
upaya yang dapat ditempuh meliputi:
1. Memperbesar kapasitas infiltrasi air dalam tanah.
2. Meningkatkan kandungan bahan organik tanah.
3. Memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.
4. Memperpendek lereng.
5. Menurunkan volume dan kecepatan aliran permukaan.
Sistem Budidaya Lorong (Alley Cropping)
Budidaya lorong atau Alley Cropping merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan produktivitas tanah. Menurut Kang et al. (1984), diacu dalam Arsyad
(2002), budidaya lorong adalah suatu bentuk usahatani atau penggunaan tanah dengan
menanam tanaman semusim atau tanaman pangan di lorong atau gang yang ada
diantara barisan pagar tanaman pohon atau semak. Cara ini diharapkan dapat
menekan laju erosi, mampu memompa hara dari lapisan dalam tanah dan
mempertahankan kadar bahan organik tanah. Budidaya lorong sangat tepat dilakukan
baik pada tegalan (usahatani lahan kering) yang terletak pada tanah datar maupun
pada tanah yang berlereng. Pada tanah yang berlereng, barisan tanaman pagar dan
tanaman semusim harus ditanam menurut kontur agar pencegahan erosi terjadi
dengan baik. Fungsi tanaman pagar dalam sistem budidaya lorong, yaitu: (a) sumber
pupuk hijau atau mulsa bagi tanam semusim; (b) menciptakan keadaan yang baik
bagi perkembangan jasad makro dan mikro tanah; (c) pada tanah yang berlereng jika
ditanami menurut kontur akan mencegah erosi; (d) jika dipergunakan tanaman
Universitas Sumatera Utara
163
leguminosa sebagai tanaman pagar, hasil pangkasan yang dijadikan mulsa merupakan
sumber nitrogen yang cukup besar bagi tanaman semusim, dan memperbaiki sifat
fisik tanah; (e) dapat merupakan sumber kayu bakar bagi petani; (f) dapat merupakan
sumber makanan ternak.
Dalam usaha peningkatan kesuburan tanah, adanya ternak (terutama
ruminansia) dalam suatu sistem usahatani merupakan unsur pendukung yang berarti,
bahkan dari segi pendapatan petani mencapai hampir sepertiganya, atau kedua
tertinggi setelah tanaman pangan (P3HTA 1990, diacu dalam Lubis et al. 1991).
Dengan adanya ternak dalam unit usaha tani memacu petani untuk menyediakan
pakan yang mencukupi, yaitu dengan menanam berbagai jenis tanaman yang dapat
berfungsi ganda (rumput dan legum) baik sebagai sumber pakan maupun sebagai
pengendali erosi serta sumber bahan organik tanah. Keterpaduan yang saling mengisi
dalam sistem usahatani konservasi dapat terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Konsepsi pola usahatani konservasi secara sederhana Sumber: Agus et al. (1995)
Ternak
Tegalan Sawah
Hutan
RT
Pakan
Pupuk Kandang Pakan
Pupuk Kandang
Pendapatan TK, Modal
Pangan/ Pendapatan Pangan/ Pendapatan
TK, Modal TK, Modal
Kayu Bakar Kayu Bangunan
TK
Universitas Sumatera Utara
164
Di dalam suatu usahatani, siklus suatu unsur hara membentuk pola kurang lebih
melingkar. Unsur hara yang tersedia di dalam tanah dimanfaatkan oleh tanaman. Sisa-
sisa hasil tanaman pangan/semusim (limbah) dapat dijadikan pakan ternak atau diolah
menjadi kompos dan dikembalikan lagi ke dalam tanah sebagai pupuk organik. Hal
ini memungkinkan petani menstabilkan dan memperkaya tanah, mempertahankan
kelembaban tanah, mengurangi hama dan penyakit serta menekan kebutuhan input
yang mahal, seperti pupuk kimia dan pestisida.
Usaha-usaha tersebut diatas harus diikuti dengan pengolahan tanah sedini
mungkin dibarengi dengan usaha pembuatan teras bangku, teras gulud, atau melalui
usaha budidaya lorong yang sesuai dengan kondisi fisik tanah, kemiringan lahan dan
keadaan curah hujan. Menurut Reijntjes et al. (1999), usahatani sistem kontur
menjadikan sisi bukit yang mengalami erosi menjadi lansekap bertingkat dan hijau
dan teknologi ini dapat meningkatkan pendapatan tahunan petani hampir tiga kali
lipat setelah lima tahun.
Menurut Sinukaban (1995) tujuan pertanian konvensional di sekitar DAS
bagian hulu adalah untuk mewujudkan terciptanya kondisi DAS yang baik, namun
selain itu pertanian konvensional juga bertujuan untuk mewujudkan kondisi sebagai
berikut :
1. Produktivitas pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan
usahanya;
2. Pendapatan petani yang cukup tinggi sehingga petani dapat merancang masa
depan keluarganya dari pendapatan usahataninya;
Universitas Sumatera Utara
165
3. Teknologi yang diterapkan sesuai dengan kemampuan petani dan dapat mereka
terima sehingga system pertanian tersebut akan dilanjutkan secara terus-menerus;
4. Tanaman pertanian yang diusahakan beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik
daerah sehingga dapat diterima petani dan laku di pasaran;
5. Laju erosi minimal lebih kecil dari laju erosi yang dapat ditoleransikan sehingga
produktivitas yang cukup tinggi dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan secara
lestari dan fungsi hidrologis dapat dipertahankan dengan baik sehingga tidak
terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau;
6. Sistem penguasaan dan kepemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi
jangka panjang dan menggairahkan petani untuk terus menerus berusahatani.
Kartana (2002) menyatakan bahwa kegiatan pengelolaan DAS lebih
ditekankan pada daerah-daerah yang belum rusak, bukan dengan memindahkan
petani di sekitarnya. Aspek konservasi telah mampu menekan erosi dan
meningkatkan fungsi hidrologis.
System Agroforestri
Berbagai definisi tentang agroforestri telah banyak dijumpai pada berbagai
pustaka, namun Nair (1989a) mendefinisikan agroforestri sebagai suatu system
penggunaan lahan yang berorientasi social dan ekologi dengan mengintegrasikan
pepohonan (hutan) dengaan tanaman pertanian dan atau ternak secara simultan atau
berurutan untuk mendapatkan total produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan
dari suatu unit lahan, dengan input teknologi yang sederhana dan lahan yang marjinal.
Universitas Sumatera Utara
166
Menurut Van Noordwijk et al. (2004) aspek eokologi/konservasi dalam hal ini
pohon mempunyai fungsi perlindungan aktif terhadap aliran air ke daerah hilir
dimana jenis pohon dapat dipilih yang bernilai ekonomi tinggi. Hal terpenting yang
perlu diperhatikan adalah sistem penebangan/pemanenannya jangan sampai
menurunkan fungsi hidrologisnya. Untuk itu perlu keterpaduan aspek konservasi
dengan aspek ekonomi dan sosial agar petani mampu meningkatkan kesejahteraan
hidupnya antara lain melalui sistem agroforestri.
Agroforestri memberikan jalan bagi pengembalian modal yang cepat dan
berkelanjutan dari komponen pertanian yang diusahakan dalam bentuk campuran
serta dapat mendorong partisipasi sektor swasta untuk pengembangan hutan
komersial yang dapat menyediakan dan meningkatkan pasokan kayu bagi industri
perkayuan.
Menurut Chundawat dan Gautama (1993), cirri-ciri agroforestri antara lain
adalah : a). dalam bentuk normal, agroforestri terdiri dari dua atau lebih spesies
tanaman (dan atau hewan), b). selalu memiliki dua atau lebih produk, c). siklus dari
system agroforestri selalu lebih dari satu tahun dan d). system agroforestri lebih
kompleks daripada system monokultur dengan keuntungan secara ekologis (struktur
dan fungsinya) dan keuntungan secara ekonomis.
Selanjutnya Van Noordwijk et al. (2004) menyatakan bahwa pengembangan
agroforestri harus mampu mengurangi konflik yang ada di masyarakat dengan cara
mengarahkan pengelolaan lahan untuk sistem yang dapat mengembalikan fungsi
hutan sebagai fungsi lindung, tetapi juga sebagai fungsi produksi bukan hanya
berdasarkan persepsi tentang pentingnya tutupan lahan oleh vegetasi hutan.
Universitas Sumatera Utara
167
2.7. Proses Hirarki Analitis (AHP)
Proses Hirarki Analisis merupakan salah satu metoda pengambilan keputusan
(Analytical Hierarchy Process / AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L.
Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada
tahun 1970-an. Proses hirarki analisis pada dasarnya dirancang untuk menangkap
secara rasional presepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu
melalui prosedur untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai
alternatif. Analisis ini diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur
(kuantitatif) maupun masalah yang memerlukan pendapat (judgement), atau pada
situasi yang kompleks atau tidak berkerangka, pada situasi data atau informasi
statistik sangat minim atau pada masa yang hanya bersifat kualitatif yang didasarkan
oleh persepsi, pengalaman dan intuisi (Saaty, 1988).
Model AHP merupakan salah satu bentuk model pengambilan keputusan yang
komprehensif dan memperhitungkan hal-hal yang bersifat kuantitatif dan kualitatif
sekaligus. Model AHP memakai persepsi manusia yang dianggap �expert� sebagai
input utamanya. Suatu masalah yang tidak terstuktur dipecahkan kedalam kelompok-
kelompok yang kemudian diatur menjadi hirarki. Dalam penerapanya suatu tujuan
yang bersifat umum dijabarkan kedalam sub-sub tujuan, dilakukan dalam beberapa
tahap sehingga diperoleh tujuan operasional. Proses hirarki analitis dikembangkan
untuk memecahkan masalah kompleks dengan struktur masalah yang belum jelas,
ketidak pastian persepsi pengambilan keputusan serta ketidakpastian tersedianya data
statistik yang akurat. Proses hirarki analitis mempunyai kemampuan untuk
Universitas Sumatera Utara
168
memecahkan masalah yang meliputi objektif dan multi criteria, berdasarkan
perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki.
AHP umumnya digunakan dengan tujuan untuk menyusun prioritas dari
berbagai alternatif pilihan yang ada yang bersifat kompleks atau multi kriteria.
Dengan menggunakan AHP, pada umumnya prioritas yang dihasilkan akan bersifat
konsisten dengan teori, logis, transparan dan partisipatif (Bourgeois, 2005). Menurut
Susila dan Munadi (2007), AHP akan sangat cocok digunakan untuk penyusunan
prioritas kebijakan publik yang menuntut transparansi dan partisipasi
AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan
pendekatan system. Pada penyelesaian persoalan dengan AHP ada beberapa prinsip
dasar yang harus dipahami antara lain :
1. Dekomposisi, setelah mendefenisikan permasalahan atau persualan yang akan
dipecahkan, maka dekomposisi, yaitu: memecahkan persoalan yang utuh menjadi
unsur-unsurnya. Jika menginginkan hasil yang akurat, maka dilakukan
pemecahan unsur-unsur tersebut sampai tidak dapat dipecahkan lagi, sehinga
didapatkan beberapa tingkatan persoalan.
2. Comparative Judgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan relatife
diantara dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitanya dengan
tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan
berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen yang disajikan dalam bentuk
matriks Pairwise Comparison.
Universitas Sumatera Utara
169
3. Synthesis of priority, yaitu melakukan sintesis prioritas dari setiap matriks
pairwise comparison terhadap setiap tingkat, oleh karena itu untuk melakukan
prioritas global harus dilakukan sintesis diantara prioritas local.
4. Logical Consistency, yang dapat memiliki dua makna, yaitu : (a) objek-objek
yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansinya,
(b) tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
Dalam Penentuan skala prioritas, pemilihan alternatif kebijakan Pengelolaan
DAS yang digunakan adalah AHP dengan berbagai pertimbangan antara lain :
fleksibel, sederhana, praktis dan mampu dipergunakan dalam menganalisis suatu
masalah yang memiliki kriteria atau atribut yang kompleks. Lebih jauh aplikasi AHP
telah terbukti berhasil dalam penyusunan rencana penggunaan lahan (land use
planning) dan perencanaan kehutanan di Finlandia dan Kenya (De vreese et al.,2001),
sehingga diharapkan aplikasi AHP dalam Pengelolaan DAS akan mempunyai tingkat
keberhasilan yang memadai.
Menurut Saaty (2000), AHP merupakan sebuah pendekatan pengambilan
keputusan yang dirancang dan didesain untuk membantu menyelesaikan
permasalahan dengan kriteria yang sangat kompleks yang diproritaskan pada kriteriya
yang paling dominan. Dalam pelaksanaannya pengambilan keputusan harus dapat
menentukan faktor yang mempunyai pengaruh tertinggi terhadap masalah yang akan
diambil solusinya. Kemudian dengan menggunakan AHP dihasilkan alternatif
keputusan terbaik yang berdasarkan pada skala prioritas (ranking atau pembobotan).
Menggunakan metode AHP dalam sistem pendukung pengambilan keputusan
mempunyai keungulan dan keterbatasan (de Vreese et al.,2001) sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
170
1. Keunggulan:
a. Proses hirarki analitis mempunyai kemampuan untuk mendekomposisikan
sebuah masalah pengambilan keputusan yang kompleks menjadi beberapa
komponen sehingga lebih sederhana dan transparan.
b. Dapat menilai beberapa alternatif yang tersedia dalam satu kali proses.
c. Data kuantitatif dapat ditransfer dan diolah seperti halnya pengolahan data
kuantitatif.
d. Proses komputasi sistem AHP mudah dioperasikan dengan hasil yang efektif.
e. Dapat diintegrasikan dengan sistem pendukung pengambilan keputusan yang
sudah ada.
f. Proses hirarki analitis lebih trasparan, fair, terstruktur, dan terdokumentasi
sehingga hasilnya lebih mudah di validasi dan disempurnakan berdasarkan
masukan perkembangan teknologi terbaru.
2. Keterbatasan
a. Efisiensi dan keberhasilan AHP tergantung pada: kemampuan dalam
mendekomposisikan masalah kedalam struktur dan hirarki keputusan, dan
kemampuan dalam menterjemahkan ekspresi verbal atau kualitatif dan criteria
kuantitatif ke dalam AHP.
b. Pilihan keputusan yang dapat direkomendasikan, menurut Saaty (1988)
maksimal sepuluh dalam satu proses, sehinga diperlukan kemampuan untuk
sortasi atau seleksi pilihan yang ditawarkan.
Universitas Sumatera Utara
171
c. Diperlukan kemampuan dan pengalaman dalam menetapkan skala
perbandingan untuk mengubah bentuk verbal menjadi bentuk angka.
d. Kemungkinan munculnya ketidakpastian dalam proses pembandingan kriteria.
e. Keterbatasan data, waktu dan sumberdaya manusia dalam membangun proses
AHP.
2.8. Kelembagaan Pengelolaan DAS (DTA Danau Toba)
Kelembagaan (institutional) dapat didefinisikan sebagai aturan main (the rule of
the game) yang dianut dan ditaati oleh masyarakat lokal setempat yang menjadi
pegangan oleh masyarakat yang bersangkutan (Anwar, 2001 jo Hayami dan Rutan,
1984). Istilah kelembagaan dalam beberapa literature lebih mengarah pada social
institution dan cenderung dipadankan dengan organisasi. Suatu kelembagaan adalah
suatu perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang. Unsur-unsur yang
membangun kelembagaan itu sendiri adalah adanya prinsip-prinsip hidup bersama,
nilai, norma dan peraturan yang harus ditaati oleh anggota masyarakat, adanya
organisasi yang mewadahi struktur saling keterkaitan diantara unsur-unsur yang ada
di dalam kelembagaan tersebut.
Pada suatu komunitas dapat disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila
memiliki empat komponen yang terdiri dari : (1) komponen person, orang-orang yang
terlibat dalam kelembagaan dapat diidentifikasi dengan jelas, (2) komponen
kepentingan, sehingga diantara mereka harus saling berinteraksi, (3) komponen
aturan, setiap kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang
secara bersama, sehingga seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam
Universitas Sumatera Utara
172
lembaga tersebut, (4) komponen stryktur, setiap orang memiliki posisi dan peran yang
harus dijalankan secara benar. Orang tidak bisa mengubah posisinya semaunya
sendiri. (Tampubolon, 2009).
Kegiatan pengelolaan DAS selama ini seringkali dibatasi oleh batas-batas yang
bersifat politis/administrative baik tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota.
Sebaliknya batas-batas ekosistem alamiah kurang banyak diacu, padahal proses alam
seperti banjir dan tanah longsor tidak mengenal batas-batas politis. Hal ini
mengakibatkan penanganan masalah-masalah dalam suatu DAS menjadi kurang
berhasil karena dilaksanakan secara terpisah-pisah sesuai dengan kebijakan masing-
masing daerah. Pengelolaan DAS akan berjalan baik apabila ada koordinasi dan
keselarasan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah maupun antar lembaga
yang terkait dalam suatu daerah dan juga antar pemerintah, masyarakat dan dunia
usaha.
Secara legal pengelolaan DTA Danau Toba adalah berdasarkan Perda Nomor 1
Tahun 1990 tentang Penataan kawasan Danau Toba dan Keputusan Gubernur Nomor
660/061/K/Tahun 1994 tentang Petunjuk pelaksanaan Perda Propinsi Nomor 1 Tahun
1990. Kemudian pada Tahun 2006 telah diterbitkan Peraturan Gubernur Sumatera
Utara Nomor 12 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem
Kawasan Danau Toba (BKPEDT), suatu lembaga/institusi yang mewakili semua
stakeholders yang terkait dengan pengelolaan DTA Danau Toba. Selain itu di dalam
Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2006 pasal 3 juga disebutkan adanya Lake
Toba Ecosystem management Plan (LeTEMP) yang merupakan pedoman dalam
pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba.
Universitas Sumatera Utara
173
Namun demikian pengelolaan DTA Danau Toba belum bisa memberikan
dampak yang optimal. Kebijakan yang telah ada baru sampai pada tingkat propinsi,
sedangkan ke-7 kabupaten yang mengelilingi Danau Toba mempunyai kondisi dan
potensi spesifik, dimana kebijakan tersebut belum bisa untuk jadi pijakan dalam
pelaksanaan pengelolaan DTA Danau Toba. Diperlukan adanya kebijakan-kebijakan
yang diturunkan di tingkat kabupaten berdasarkan kondisi, potensi sosial ekonomi,
budaya/ adat dan politik yang ada di masing-masing kabupaten.
Universitas Sumatera Utara