daftar isi kata pengantar . i - usu librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 mari...
TRANSCRIPT
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR . ........... ........................ ................................................... i
DAFTAR ISI . ... . . ... ... ... ... ... ........ ... ... ... ... ... ... ....... ... ... ... ... ... ......... ...... ..... ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan ......... ................ ... ... ... ... ... ....... ........................ ... ... ...... 1
1.1. Latar Belakang ......... ......................................................................... 1
1.2. Permasalahan………………………………………………………..10
BAB II Bentuk-Bentuk Persyaratan Penanaman Modal yang Tidak
Konsisten dengan Agreement on Trade-Related Investment
Measures .............. .................................................................................... 12
2.1. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan
Prinsip National 7reatment…………… ............................................ 12
2.1.1. Persvaratan Kandungan Lokal (local content
requirement)………………………. .................................................... 15
2.1.2. Kebijakan Keseimbangan Perdagangan (Trade
Balancing Policy)………………………………………………………… 23
2.2. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan
Prinsip General Prohibition on Ouantitative Restriction ................ 28.
2.11. Barang-Barang Impor Harus Seimbang dengan Eskpor….. 29
2.2.2. Pembatasan Akses Devisa Asing (Foreign Exchange
limitation) .................................. ........................................31.
2.2.3. Pembatasan Ekspor untuk Meningkatkan Nilai Tambah.. ...33
i
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
2.3. Transparansi dan Notifikasi ...................... ............................ .............35
BAB III Indonesia dan Agreement on Trade-Related Investment Measures…… 41
3.1. Pertirnbangan Strategis Menerima Agreement on TRIM’s .................41
3.1. 1 . Penurunan Tarif dan Perluasan Akses Pasar Dunia …......... 42
3.1.2. Tatatanan Multilateral Lebih Efektif Menghindari
Tekanan Unilateral . . . . . . ... ... . . . . . . . . . ... ... ... …….. ... ... ...... 45
3.2. Penyesuian Peraturan di Indonesia .....................................................50
3.3. Belum Ada Kewajiban Hukum untuk Menyesuaikan Semua
Bentuk Persyaratan Penanaman Modal ........................................... 57
BAB IV Kesimpulan dan Saran ... ... ... ... ... ... ... . . ... ... ... ... ...... . ... ... ... .... .....60
DAFTAR PUSTAKA 65
ii
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pemberitahuan TRIM's oleh Pemerintah Indonesia……………………..50
Tabel 2 Pengenaan Tarif Bea Masuk Komponen Impor Otomotif Berdasarkan Persentasi
Penggunaan Kandungan Lokal Tahun 1993..............................................52
iii
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Upaya mewujudkan penataan investasi asing secara multilateral sebenarnya telah
dimulai sejak tahun 1948 pada saat dilangsungkannya United Nations conference on Trade
and Employment di Havana. Konferensi tersebut telah membahas sejumlah ketentuan yang
bertujuan untuk mendorong kelancaran arus modal secara internasional sebagai salah satu
tujuan yang ingin dicapai oleh Organisasi Perdagangan Internasional (International Trade
Organization, ITO). Konferensi yang menghasilkan Havana Charter ini meminta kepada
negara-negara peserta agar menghindari perlakuan yang diskriminatif terhadap investor
asing.1 Namun, Havana Charter tidak berhasil mendapatkan persetujuan untuk diratifikasi
oleh para penandatangannya.2 Sejak saat itu praktis pembicaraan mengenai kebijakan
investasi dan perdagangan kurang mendapatkan perhatian dari negara-negara perserta, dan
hanya lebih fokus pada persoalan liberalisasi perdagangan.3 Keadaan ini berubah setelah
dilangsungkannya Uruguay Round pada kurun waktu 1986 - 1994 dimana masalah
penanaman modal menjadi salah satu agenda penting dalam pembicaraan menvangkut
perdagangan intemasional. 1United Nations, The Impact of Trade Related Investment Measures; Theory, Evidencv and Policy Implication, United Nations, New York, 1991, Hal, 79
2 Salah satu penyebabnya adalah tidak bersedianya kongres Amerika Serikat meratifikasi charter tersebut dan tindakan ini kemudian diikuti oleh negara-negara besar lainnya. Untuk mengisi kekosongan hukum dalam penataan perdagangan internasional, para peserta Konferensi menggunakan salah satu instrument dalam Havana Charter yakni Protocol of Provisional Aplication (PPA) yang penandatangannya cukup dilakukan oleh eksekutif. PPA inilah kemudian menjadi cikal bakal GATT. (Lebih lanjut lihat John H. Jackson, The World Trading System ; Law and Policy of International Economic Relations, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts, London, England, 1989, Hal. 32-39
3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”, Pertamina - Komite Nasional Indonesia - World Energy Council, Jakarta, 1996, hlm. 34.
1
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Adakalanya persyaratan penanaman modal tersebut dapat menghambat perdagangan
internasional. Tolak ukur yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi apakah sebuah
persyaratan penanaman modal menghambat perdagangan internasional adalah dampak
diskriminatif terhadap produk impor dan hambatan kuantitatif terhadap aliran barang yang
ditimbulkan persyaratan-persyaratan tersebut. Indikator ini pertama muncul dalam perkara
antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Kanada tahun 1982 mengenai Canada 's
Foreign Investment Review Act. Kasus ini kemudian sangat terkenal dengan sebutan FIRA
Case dan selalu dijadikan referensi dalam pembahasan-pembahasan mengenai persyaratan
penanaman modal yang terkait dengan perdagangan.
FIRA Case berawal dari tindakan Perlemen Kanada yang melakukan perubahan atas
Undang-Undang Penanaman Modal Kanada pada tanggal 12 Desember 1973. Perubahan
undang-undang ini ditujukan terutama untuk menjamin bahwa kegiatan bisnis perusahaan
asing di wilayah Kanada menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi kemajuan Kanada.
Pemerintah Kanada akan mengizinkan kegiatan operasi perusahaan investasi asing hanya jika
menurut pertimbangan Pemerintah Kanada perusahaan investasi asing tersebut dapat
memberikan keuntungan yang signifikan bagi kemajuan pembangunan ekonomi Kanada.
Untuk memastikan tercapainya keuntungan yang signifikan tersebut, Pemerintah Kanada
menetapkan syarat bagi investor yang melakukan permohonan penanaman modal asing di
Kanada untuk melakukan hal-hal berikut:
a. membeli sejumlah persentase tertentu barang-barang dari Kanada; b. menggantikan produk impor dengan produk buatan Kanada;
2
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
c. membeli barang-barang dari Kanada jika barang-barang tersebut dapat bersaing dengan
barang impor (misalnya jika harga atau persyaratannya sama, maka investor harus
membeli produk dari Kanada;
d. membeli dari supplier di Kanada (menyebabkan investor harus membeli barang secara
langsung dari produser dalam negeri tetapi tidak dapat membeli langsung dart produser
asing).
Meskipun pada Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing Kanada
disebutkan bahwa tindakan tersebut adalah tindakan sukarela dart perusahaan asing, jadi
bukan merupakan kewajiban yang dipaksakan, namun pada pelaksanaannya mau atau
tidaknya perusahaan investasi asing memenuhi secara sukarela persyaratan tersebut
dikaitkan dengan pemberian ijin investasi. Pernyataan perusahaan investasi asing untuk
secara sukarela memenuhi persyaratan tersebut dilampirkan dalam aplikasi permohonan
investasi, sehingga patut disangsikan bahwa kesediaan perusahaan investasi asing untuk
memenuhi persyaratan yang ditetapkan akan sangat berpengaruh pada putusan Pemerintah
Kanada untuk menerima atau menolak permohonan investasi asing untuk beroperasi di
wilayah Kanada. Tambahan lagi dinyatakan bahwa pernyataan sukarela tersebut akan
rnengikat secara hukurm setelah disetujui oleh investor asing.
Meskipun didalilkan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut bukan merupakan
kewajiban yang dipaksakan, akan tetapi pengalaman "Apple Computer", salah satu
perusahaan multinasional asal Amerika Serikat, justru menggambar sebaliknya. Pada
awalnya perusahaan multinasional ini keberatan
4 Paul Civello. “The TRIM's Agreement : A Filed Attempt at Investment Liberalization”, Minnesota Journal of Global Trade, 1999, hlm. 3-10
3
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
terhadap persyaratan-persyaratan yang ditawarkan oleh Pemerintah Kanada. Setelah hampir
selama satu tahun melakukan negosiasi dengan Pemerintah Kanada, perusahaan itu baru
diberikan ijin untuk beroperasi di wilayah Kanada. Pemberian ijin ini pun diberikan setelah
“Apple Computer” menyetujui serangkaian persyaratan, antara lain mengenai kesediaan
“Apple Computer” untuk membeli barang-barang buatan Kanada dalam persentase tertentu
dari proses produksi dan persetujuan untuk merekomendasikan komponen-komponen buatan
Kanada kepada dealer-dealer “Apple Computer” di seluruh dunia.5
Pemerintah Amerika Serikat dalam tuntutannya yang diajukan tahun 1982
mendalilkan bahwa persyaratan pembelian dan penggunaan komponen lokal buatan Kanada
dalam proses produksi bertentangan dengan Artikel III.46, III.57, XI.18 dan Pasal VII.1. c9
GATT, sedangkan kewajiban ekspor sejumlah tertentu dari hasil produksi melanggar
ketentuan Artikel XVII. 1.c dan XXIII10 dan GATT.
5Robert II. Edward Jr. and Simon N. Lester, "Toward A More Comprehensif World Trade Organization ; Agreement on trade-Related Investment Measures", Stanford Journal of International Law, 1997, hal.l7
6Article III.4 GATT : The product of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulation and requirement affecting their internal sale, purchase, transportation, distribution or use ...
7Article III.5 GATT : No contracting party shall establish or maintain any internal quantitative regulation relating to the mixture, processing or use of products in specified amount of proportions which requires, directly or indirectly, that any specified amount or proportion of any product which is the subject of the regulation must he supplied from domestic sources...
8 Article XI l GATT : No prohibiton or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licenses or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party...
9 Article XVII.I. [c] GATT : No cantracting party shall prevent any enterprise (whether or not an enterprise described in sub-paragraph (a) of this paragraph) under its jurisdiction from acting in accordance with the principle of sub-paragpraph (a) and (b) of this paragraph. Perhatikan sub-paragrap (a) dan (b) dari Article XVII.I sebagai berikut (a) Each contracting party undertake that if it establishes or maintains a State enterprise, wherever located, or
grants to Any enterprise, formally or in effect, exclusive or special privileges, such enterprise shall, in its purchases or sales involving either imports or exports, act in a manner consistent with the general principles of non-discriminatory treatment prescribed in this Agreement For govermental measures affecting imports or exports by private traders.
4
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Pemerintah Kanada dalam membantah tuntutan Pemerintah Amerika Serikat
mempergunakan pendekatan tentang kedaulatan dan kompetensi GATT sebagai dasar
argumentasi penolakan. Pemerintah Kanada mendalilkan bahwa ketentuan-ketentuan GATT
tidak meliputi masalah investasi. GATT sejak saat pembentukannya diterima sebagai sebuah
kesepakatan multilateral yang menyangkut masalah pengaturan liberalisasi perdagangan
barang, tidak termasuk di dalamnya masalah investasi. Penataan investasi asing menyangkut
langsung pada persoalan kedaulatan negara Kanada sebagai sebuah negara merdeka. Oleh
karena itu ketentuan-ketentuan GATT tidak dapat diterapkan atas persyaratan penanaman
modal yang ditetapkan oleh Pemerintah Kanada bagi perusahaan-perusahaan investasi asing
di wilayah hukum mereka.
Keberatan Pemerintah Kanada berkenaan dengan masalah kedaulatan negara Kanada
untuk menerapkan tindakan-tindakan tertentu di wilayah hukumnya pada dasarnya diterima
oleh Panel Penyelesaian Sengketa GATT yang (b) 'The provision of sub paragraph (a) of this paragraph shall be understood to require that such enterprises
shall, having due regard to the other provisions f this Agreement, make any such purchases o sales solely in accordance with commercial consideration, including price, quality, availability, marketability, transportation and other conditions of purchase or sale, and shall affordtne enterprises of the other contracting parties adequate opportunity, in accordance with customarv business practice, to compete for participation in such purchases or sales. 10 Article XX III (1) GATT : If any contracting party should consider that any benefit accruing to it
directly or indirectly under this Agreement is being nullified or impaired or that the attainment of any objective of the Agreement is being impeded as the result of (a) the failure of another contracting party to carry out its obligation under this Agreement, or (b) the application by another contracting party of any measures, whether or not it conflicts with the provision of this Agreement, or (c) the existence of any other situation, the contracting party may, with a view to the satisfactory adjustment of the matter, make written representations or proposals to the another contracting party or parties which it considers to be concerned. Any contracting party thus approached shall give sympathetic consideration to the representations or proposals made to it.
Article XXIII (2) If no satisfactory adjustment is effected between the contracting parties concerned within a reasonable time, or if the difficulty is of the type described in paragraph 1 [cl of this Article, the matter may be rcffored to the contracting parties. The contracting parties shall promptly investigate any matter so reffered to them and shall make appropriate recommandations to the contracting parties which they considered to be concerned, or give a ruling on the matter, as appropriate. The contracting parties, woth the Economic and Social Council of the United Nations and with any appropriate inter-govermental organization in case they consider such consultation necessary.
5
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
memeriksa dan mengadili FIRA Case ini, akan tetapi alasan tersebut tidak menyebabkan
Pemerintah Kanada menyampingkan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan perjanjian
internasional yang telah mereka sepakati, khususnya dalam hal ini adalah General
Agreement on Tariffs and Trade. Pendapat ini tercermin dari pertimbangan hukum Panel
yang diputuskan pada tahun 1984 yang menyatakan sebagai berikut :
"... in view of the fact that the General Agreement does not prevent Canada from exercising its sovereign right to regulate foreign direct investment, the panel examined the purchase and export undertaking by investors solely in the light of Canada's trade obligation under the General Agreement. Thus, the Panel clearly stated that this is not an inquiry into a sovereign state's right to regulate foreign investment in Canoda 's territory, but is only designed to determine whether or not the regulation effected Canada 's trade obligations within the framework of the GATT11 .
Dengan memperhatikan keterkaitan antara persyaratan penanaman modal dan
kewajiban-kewajiban Kanada di bawah ketentuan GATT selanjutnya Panel memutuskan
bahwa tindakan Pemerintah Kanada yang menjadikan syarat pembelian dan atau penggunaan
produk buatan dalam negeri Kanada serta menentukan jumlah tertentu dari hasil produksi
yang wajib diekspor, dijadikan sebagai pertimbangan utama untuk memberikan ijin operasi
bagi investasi asing, maka secara meyakinkan Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal
Asing Kanada tersebut telah melanggar ketentuan Artikel III.4 GATT tentang national
treatment.
11Lebih lanjut perhatikan Canada Administration of the Foreign Investment Review Act, FIRA Panel Report, Februari 7th 1994, Hal. 140 -144. Perhatikan juga Catherine Curtiss and Kathryn Cameroon, “The United State-Latin American Trade Laws”, Newyork Journal of International Law, 1995, Hal. 127. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tidak ada ketentuan-ketentuan GATT yang mengatur tentang penanaman modal asing. Masalah investment measures masuk dalam lingkup GATT hanya jika tindakan tersebut berdampak langsung terhadap kebebasan arus perdagangan barang.
6
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Persyaratan penanaman modal yang diterapkan oleh Pemerintah Kanada terhadap
para investor asing merupakan wujud perlakuan diskriminatif terhadap barang impor.
Perlakuan diskriminatif ini diwujudkan dengan cara memberikan perlakuan istimewa
terhadap barang-barang buatan dalam negeri Kanada. Dengan cara mewajibkan pembelian
atau penggunaan barang buatan dalam negeri Kanada, maka dengan sengaja Pemerintah
Kanada telah menghilangkan kesempatan bagi barang impor untuk bersaing secara adil
dengan barang-barang buatan dalam negeri Kanada di pasar Kanada sendiri. Tindakan ini,
meskipun keluar dalam bentuk kebijakan investasi asing tapi sebenarnya tindakan tersebut
ditujukan untuk mempengaruhi perdagangan barang-barang Kanada. Sehingga dapat
dikatakan bahwa tindakan investasi yang demikian merupakan bentuk hambatan
perdagangan.
Fontheim dan Gadbaw mendukung putusan Panel atas FIRA Case tersebut dengan
mengemukakan pendapat yang sedikit lebih luas sebagai berikut:
“Although no single article of GATT is applicable to all forms of (performance requirements), all (performance requirements) arguable violate one Article or another. Some (performance requirements) clearly run afoul of specific provisions while the case againts other forms is weaker, given a strict construction of treaty obligations. Nonetheless, where obligation do not appear, on their face, to prohibit certain (performane requirements), the general intent and context of the GATTMTN sistim should be considered. The sistim is intended to foster free trade, while (performance requirements) are protectionst measures. The presumption should, therefore, be againts considering any (performane requirements) valid under GATT.”12
Meskipun tidak ada satu pasal pun dari GATT yang dapat diterapkan untuk semua
bentuk persyaratan penanaman modal, dalam hal ini pembatasan tertentu, namun bukanlah
berarti tindakan seperti yang diterapkan oleh Kanada
12 Claude G.B. Fontheim and Micheal R. Gadbaw, “Trade Related Performance Requirement under the GATT-MTN System and US Law”, law and Policy International Bussiness, 1995, Hal. 143-144.
7
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
adalah tindakan yang dapat dibenarkan berdasarkan sistim GATT. Persyaratan-persyaratan
seperti yang terkandung dalam Canada's Foreign Investment Review Act tersebut merupakan
bentuk proteksi terhadap industri Kanada dan tindakan semacam ini bertentangan dengan
maksud dan tujuan umum dari GATT yang justru ingin menciptakan perdagangan yang lebih
bebas.
Pandangan ini lebih lugas karena mempergunakan aspek tujuan umum dari GATT itu
sendiri untuk menentang kebijakan pembatasan-pembatasan seperti yang diterapkan Kanada.
Pandangan semacam ini cenderung tidak memperhatikan fakta-fakta khusus dalam sebuah
peristiwa konkrit. Jika pandangan yang demikian digunakan, maka dapat menimbulkan
kekeliruan yang lebih besar, mengingat bahwa tujuan GATT itu sendiri ingin dicapai dalam
serangkaian ketentuan-ketentuan yang sangat kompleks dan dilengkapi dengan sejumlah
pengecualian-pengecualian yang hanya dapat dilihat dari fakta-fakta khusus yang terdapat
dalam sebuah peristiwa konkrit. Jika setiap perbuatan yang berlawanan dengan tujuan GATT
dilarang, maka negara-negara berkembang adalah pihak yang paling dirugikan, karena dalam
keadaan-keadaan tertentu kelompok negara ini masih diperkenankan melakukan
tindakan-tindakan yang sebenarnya justru bertentangan dengan tujuan umum GATT.
Perkara lain yang membuat semakin tingginya minat untuk mempelajari persyaratan
penanaman modal dalam kaitannya dengan hambatan perdagangan multilateral adalah
perkara “screwdriver case” antara Jepang versus European Communities (EC) pada tahun
1988. Dalam perkara ini Pemerintah Jepang keberatan atas tindakan Pemerintah EC yang
menerapkan bea anti dumping terhadap produk dari suatu pabrik screwdriver asal Jepang.
8
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Keberatan yang paling mendasar bagi Pemerintah Jepang adalah kebijakan tersebut telah
menimbulkan kerugian bagi perdagangan Jepang karena kewajiban bea anti dumping tersebut
dapat tidak diterapkan bagi investor asing di EC asalkan investor yang bersangkutan setuju
untuk membatasi penggunaan peralatan-peralatan dan komponen peralatan yang berasal dari
Jepang.13
Seperti halnya pada FIRA Case, Panel dalam perkara “screwdriver case” ini juga
menetapkan bahwa kebijakan EC bertentangan dengan Artikel III.4 GATT tentang perlakuan
sama (national treatment). Meskipun dalam perkara ini tindakan investor untuk membatasi
penggunaan barang-barang buatan Jepang merupakan suatu tindakan sukarela (tidak
diwajibkan), akan tetapi disediakannya sejumlah keuntungan besar dari pembebasan bea
anti-dumping dapat mendorong para investor untuk menyetujui kebijakan yang ditetapkan
EC. Dalam perkara ini, insentif yang ditawarkan EC bagi para investor asing berupa
pembebasan bea antidumping sangat tergantung pada kesediaan investor untuk tidak
menggunakan produk impor (buatan Jepang). Dengan kata lain keuntungan EC untuk
menarik investor diperoleh dari kerugian Jepang berupa pembatasan impor komponen-
komponen asal Jepang.
Panel menemukan adanya pelanggaran terhadap Article III.4 GATT. Meskipun EC
tidak mewajibkan harus menggunakan produk buatan mereka, tetapi dalam hal ini EC telah
memberikan tindakan diskriminatif terhadap produk-produk buatan Jepang. Tindakan yang
demikian secara meyakinkan bertentangan dengan kewajiban EC untuk menerapkan
perlakuan sama (national treatment) terhadap barang-barang impor tanpa harus memandang
asal negara.
13 EEC. Regulation on Imports of Part and Components, BISD 37S/132, 197, dikutip dari http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/88scrdvr.wpf.
9
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Keputusan panel dalam dua perkara perintis tersebut diatas telah membuka wacana
baru dalam hubungan antara peraturan penanaman modal dengan kelancaran arus
perdagangan barang. Titik taut yang menghubungkan peraturan penanaman modal langsung,
dengan liberalisasi perdagangan lahir dari kemungkinan terjadinya dampak yang
mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan terjadinya pembatasan akses pasar
(market acsess) melalui persyaratan investasi yang diterapkan oleh pemerintah host country.
Keputusan tersebut juga telah mengidentifikasi secara pasti dua bentuk persyaratan investasi
yang memiliki potensi mendistorsi kebebasan aliran perdagangan barang secara internasional,
yakni persyaratan kewajiban menggunakan kandungan lokal (local content requirement) dan
pembatasan pemakaian barang impor yang dikaitkan dengan insentif investasi. 1.2. Permasalahan
Sampai berakhirnya Perundingan Uruguay, para anggota WTO yang terlibat dalam
perundingan Putaran Uruguay tidak mencapai kata kesepatan tentang bentuk-bentuk
persyaratan penanaman modal yang bertentangan dengan Article III.4 dan Article IX. 1
GATT. Oleh karena itu Sekretaris Jenderal GATT pada saat itu merumuskan sebuah
illustrative list untuk mengantisipasi kegagalan perundingan. Ilustrative list ini memberikan
kriteria secara umum bentuk-bentuk persyaratan penanaman modal yang dipandang tidak
konsisten dengan prinsip national treatment dan prohibition on quantitative restriction.
Tidak diperolehnya kesepakatan tentang identifikasi bentuk-bentuk persyaratan
penanaman modal yang dilarang, disebabkan karena terjadinya penolakan negara-negara,
berkembang, termasuk Indonesia, terhadap masuknya masalah investasi dalam agenda
perundinganWTO.
10
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Negara-negara berkembang sangat khawatir jika perundingan tentang trade-related
investment measures, diarahkan pada perundingan investasi secara komprehensif. Hal ini
akan menyulitkan negara-negara berkembang untuk memanfaatkan rezim hukum investasi
domestik mereka untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan.
Namun, meskipun demikian pada akhir perundingan, Agreement on Trade-Related
Investment Measures tetap disahkan dan menjadi bagian yang integral dari final act of
Uruguay Round. Oleh karena Agreement ini sifatnya mengikat secara hukum (legally
binding), maka perlu diperhatikan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk konkrit dari persyaratan penanaman modal yang tidak konsisten
dengan Agreement on Trade-Related Investment Measures ?
2. Mengapa Pemerintah Indonesia menerima hasil perundingan tersebut ?
3. Bagaimana Pemerintah Indonesia melakukan penyesuian terhadap ketentuan-ketentuan
hukum investasinya ?
11
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
BAB II
BENTU-BENTUK PERSYARATAN PENANAMAN MODAL YANG TIDAK
KONSISTEN DENGAN AGREEMENT ON TRADE-RELATED
INVESTMENT MEASURES
Pada dasarnya Agreement on Trade-Related Investment Measures adalah
implementasi prinsip-prinsip dasar GATT dalam bentuk yang lebih spesifik yang terkait
dengan kegiatan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment), Hal ini
terlihat dari klausula-klausula dalam Kesepakatan tersebut yang tetap dapat dikembalikan
pada asas national treatment, prohibition on quantitative restriction, transparency, dan
reciprocity.
Bab ini akan membahas tentang bentuk-bentuk-bentuk dari performance requirement
yang bertentangan dengan GATT pada umumnya dan khususnya dengan Agreement on
Trode-Related Investment Measures. Uraian-uraian akan didasarkan pada prinsip dasar
GATT, yakni national treatment, prohibition on quantitative restriction, dan transparency. 2.1. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan Prinsip National
Treatment
Peraturan penanaman modal dalam TRIM's Agreement sebenarnya merupakan
penegasan kembali secara lebih spesifik prinsip-prinsip perdagangan bebas yang telah
dinegosiasikan sejak tahun 1947.14 Salah satu prinsip dasar dari perdagangan internasional
yang ditransformasikan adalah pnnsip national treatment.15 Prinsip ini dijadikan sebagai
alasan mendasar bagi dilarangnya
14 Hata, Aspek-Aspek Hukum don Non hukum Perdagangun Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Bandung, S'I'BH press, 1998, hlm.271
15 Ibid.,271
12
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
sebuah persyaratan penanaman modal karena dianggap mengandung tindakan diskriminatif
terhadap produk impor.
Prinsip national treatment merupakan batu penyangga dalam sistem perdagangan
internasional dewasa ini. Dalam sistim GATT, bersama dengan prinsip most- favoured
nations prinsip ini menjamin tidak adanya tindakan diskriminatif diterapkan oleh
negara-negara anggota. 17 Jiwa dari prinsip national treatment adalah adanya perlakuan yang
sama oleh suatu negara baik terhadap kepentingannya sendiri maupun terhadap kepentingan
negara lain."
Berkaitan dengan mekanisme perdagangan bebas multilateral, prinsip ini melarang
negara-negara anggota GATT/ WTO menerapkan kebijakan yang menyebabkan diskriminasi
perlakuan antara produk impor dengan produk buatan sendiri. Dengan kata lain
negara-negara anggota memiliki kewajiban untuk tidak memperlakukan produk-produk
impor secara berbeda dengan kebijakan terhadap produk-produk yang sama buatan dalam
negeri.18 Ruang lingkup berlakunya prinsip ini juga berlaku terhadap semua diskriminasi
yang muncul dari tindakan-tindakan perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini
berlaku pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan hukum
yang dapat mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan
produk-produk di pasar dalam, negeri. Prinsip ini juga memberikan 16 John H, .Jackson. The World Trading System ; Law and Policy of International Economic Relations. The MITpress, London, 1989, Hal. 199.
17 Perhatikan lebih lanjut Herman Mosler, The International Society as a Legal Community, Sijtihoff& Nordhoff USA, 1980, Hal. 254.
18National Treatment Principle, http .//www.meti.go.jp/English/report/gct0002e.pdf, Hal.1
13
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan
administratif atau legislatif19
Dengan demikian bahwa prinsip national treatment ini menghindari diterapkannya
peraturan-peraturan yang menerapkan perlakuan diskriminatif yang ditujukan sebagai alat
untuk memberikan proteksi terhadap produk-produk buatan dalam negeri. Tindakan yang
demikian ini menyebabkan terganggunya kondisi persaingan antara barang-barang buatan
dalam negeri dengan barang impor dan mengarah kepada pengurangan terhadap
kesejahteraan ekonomi.20 Dengan persaingan yang adil antara produk impor dan produk
dalam negeri, maka terjadi perbaikan kinerja pada produksi dalam negeri untuk lebih efisien
sehingga dapat bersaing dengan produk impor. sedangkan bagi konsumen hal ini akan lebih
menguntungkan karena memungkinkan konsumen memperoleh barang yang lebih baik dan
harga yang lebih wajar. Dalam perspektif lain disebutkan bahwa justru tindakan yang
demikian dapat menyebabkan kurangnya minat investor untuk menanamkan modalnya,
karena berkurangnya keleluasaan investor untuk mengambil keputusan bisnis yang lebih
bebas.
Agreement on TRIMs pada Article 2 pada prinsipnya melarang semua persyaratan
penanaman modal yang tidak konsisten dengan Article III GATT 1994 tentang national
treatment, namun tidak dijelaskan secara tegas bentuk-bentuk persyaratan penanaman modal
yang dipandang tidak konsisten dengan prinsip national treatment. Hanya saja dalam Article
2.2 Agreement on TRIMs disebutkan bahwa persyaratan penanaman modal yang dilarang
adalah tindakan-tindakan yang melanggar kewajiban negara-negara peserta berdasarkan
Article 111.4 GATT 1994" yaitu keharusan untuk memberikan perlakuan sama terhadap
produk impor.
19 Oliver Long, Law and Its Limitation in the GATT Multilateral Trade System, Martinus Nijhoff Publisher, 1987,Hal. 9
20 National Treatment Principle, ibid, Hal.3
14
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Oleh karena tidak diperolehnya suatu kesepakatan tentang bentuk yang pasti dari persyaratan
penanaman modal yang dianggap tidak konsisten dengan artikel III.4 GATT 1994, Dirjen
GATT memberikan illustrative list yang berisi gambaran tentang tindakan persyaratan
penanaman modal yang dilarang tersebut, sebagai berikut :
(a). pembelian atau penggunaan produk-produk yang berasal dari dalam negeri atau dari
sumber dalam negeri lainnya dirinci menurut produk-produk tertentu, volume atau nilai
barang produk, atau menurut perbandingan dari volume atau nilai produksi lokal (local
content requirement); atau
(b). pembelian atau penggunaan produk impor oleh perusahaan dibatasi sampai jumlah
tertentu dikaitkan dengan volume atau nilai produksi lokal yang diekspor (trade
balancing policy);
Dengan demikian terdapat dua ukuran untuk menyatakan apakah suatu persyaratan
penanaman modal melanggar ketentuan Article III.4 GATT 1994 vaitu persyaratan
penggunaan komponen buatan dalam negeri (local content requirement) dan persyaratan
keseimbangan perdagangan (trade balancing requirement).
2.1.1. Persyaratan Kandungan Lokal (local content requirement)
Paragraf l.a illustrative list dari Agreement on TRIMs melarang negara-negara
anggota WTO menerapkan kebijakan local content requirement yang
21 Article III.4 GATT : The product of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulation and requirement affecting their internal sale, purchase, transportation, distribution or use
15
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
dijadikan sebagai salah syarat bagi investor untuk dapat melakukan kegiatan penanaman
modal. Jika diperhatikan ketentuan dalam Paragraf 1.a tersebut terdapat dua bentuk kegiatan
yang dapat dikategorikan sebagai local content requirement, yaitu mewajibkan investor
membeli atau menggunakan produk-produk buatan dalam negeri dalam jumlah atau
persentase tertentu atau keharusan bagi investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam
negeri lainnya dalam hal pengadaan barang-barang impor, misalnya dengan menetapkan
kewajiban impor barang yang harus dilakukan dengan mempergunakan jasa importir dalam
negeri host country atau dengan kata lain tidak dimungkinkannya perusahaan penanaman
modal asing melakukan impor secara langsung.
Local content requirement dilarang karena tindakan tersebut merupakan bentuk
perlakuan diskriminatif terhadap barang impor. Dengan adanya kewajiban bagi investor
untuk membeli atau mempergunakan barang-barang buatan dalam negeri, maka dalam hal ini
Pemerintah telah memberikan perlakuan yang lebih baik pada barang buatan dalam negeri
dari pada barang impor. Perlakuan yang diskriminatif seperti ini dengan sendirinya
menciptakan persaingan yang tidak adil antara barang impor dan barang buatan dalam negeri.
Melalui persyaratan kandungan lokal sebenarnya Pemerintah host country telah membatasi
akses pasarnya bagi barang-barang yang sama dari negara-negara anggota lain.
Dalam sengketa antara Pemerintah Amerika Serikat vs. Pemerintah Kanada, Panel
penyelesaian sengketa GATT menemukan adanya dua bentuk tindakan Pemerintah Kanada
yang bertentangan dengan Article III.4 GATT, yaitu: 1. adanya kewajiban bagi investor asing
untuk membeli atau menggunakan barang-barang buatan dalam negeri yang dikaitkan
dengan persyaratan untuk
16
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
menanamkan modal di wilayah Kanada, 2. adanya kewajiban bagi investor untuk membeli
produk-produk impor dari supplier Kanada, jika investor yang bersangkutan lebih memilih
barang-barang impor dalam proses produksinya.22
Pemerintah Kanada dalam komunikasinya mendalilkan bahwa untuk dapat dikatakan
sebagai tindakan pelanggaran terhadap Article III.4 GATT tindakan local content
requirement haruslah merupakan persyaratan yang wajib dipatuhi oleh investor. Sementara,
dalam praktek pelaksanaannya di Kanada, penggunaan kandungan lokal tersebut bukan
merupakan keharusan akan tetapi merupakan tindakan sukarela. Tidak ada paksaan bagi
investor untuk mematuhi persyaratan kandungan lokal tersebut.23 Panel menolak argumentasi
Pemerintah Kanada dengan menegaskan bahwa tindakan Pemerintah Kanada mempengaruhi
pilihan investor untuk menggunakan produk impor, bahkan jika seandainya pun kebijakan
tersebut tidak mempengaruhi pilihan investor tetap saja Kanada telah melanggar
kewajibannya berdasarkan Article III.4 GATT karena Perubahan Undang-Undang
Penanaman Modal Asing Kanada tersebut telah menghapuskan kemungkinan pembelian
produk impor secara langsung oleh perusahaan asing. Perintah untuk pembelian produk
impor melalui agen atau importir Kanada memperlihatkan adanya perlakuan yang kurang
menguntungkan bagi produk impor dari pada saingannya produk buatan Kanada.24
Pelanggaran terhadap prinsip national treatment sebagaimana diatur dalam Article
III.4 GATT yang berkaitan dengan tindakan di bidang penanaman modal juga terjadi dalam
sengketa antara Europe Community vs. Pemerintah Jepang.
22 Canada - Administration on The Foreign Investment Review Act, Report of the Panel adopted on 7th February 1984, document L/5504 - 30S/ 140.
23 Canada - Administration on The Foreign Investment Review Act, FIRA Panel Report, Document 30 BISD 157 (1984), Hal. 148.
24 Ibid, Hal. 160-166.
17
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Sengketa ini berawal dari tindakan EEC mengamandemen Regulation No. 2176/84 yang
bertujuan memberikan perlindungan bagi negara-negara anggota EEC dari produk impor
berupa komponen-komponen .screwdriver atau bagian-bagiannya yang diduga merupakan
produk dumping dan hasil subsidi dari negara-negara yang bukan anggota European
Economic Community. 25 Perlindungan yang diberikan adalah dalam bentuk bea
anti-dumping yang dikenakan kepada produk impor dari negara-negara di luar keanggotaaan
EEC ataupun dari perusahaan-perusahaan yang berasosiasi dengan perusahaan yang ada di
negara asal pengekspor . Berdasarkan Article 13 : 10 amandement ini bea anti-dumping dan
hambatan-hambatan tertentu dikenakan pada produk impor yang berasal dari luar EEC yang
mencapai jumlah sedikit-dikitnya mencapai 50 % dari seluruh komponen yang diperlukan.26
Pemerintah Jepang mengajukan keberatan terhadap kebijakan EEC tersebut dengan
menyatakan bahwa perubahan kebijakan tersebut telah menimbulkan kerugian pada pihak
Jepang sebagai negara pemasok terbesar komponen screwdriver ke pasar Eropa. Adapun
argumentasi yang dipergunakan oleh Pemerintah Jepang, salah satunya adalah bahwa
tindakan tersebut melanggar kewajiban EEC berdasarkan Article III.4 GATT, karena
tindakan tersebut secara nyata merupakan sebuah tindakan diskriminatif terhadap produk
impor. Kewajiban bea anti-dumping hanya dikenakan terhadap produk impor dari negara-
negara bukan anggota EEC, dan tidak dikenakan kepada Negara-negara anggota EEC
seandainya negara tersebut juga memenuhi kriteria Article 13:10 amandement tersebut.
18
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Dengan kata lain, kebijakan ini sebenarnya ditujukan kepada perusahaan-perusahaan dari
Jepang.27
Panel dalam sengketa ini memutuskan bahwa tindakan EEC bertentangan dengan
Article III.4. GATT. Dalam pertimbangannya Penel menjelaskan bahwa Article III.4 GATT
berlaku pada setiap undang-undang dan peraturan lainnya yang menimbulkan dampak kepada
penjualan internal, penawaran, transportasi, distribusi dan penggunaan barang buatan dalam
negeri. Ketentuan ini dapat dikenakan tidak saja dalam keadaan dimana peraturan-peraturan
tersebut bersifat memaksa atau mewajibkan, tetapi juga terhadap tindakan sukarela yang
dianjurkan oleh peraturan yang demikian, seperti pada Perkara FIRA Case antara Pemerintah
Kanada dan Pemerintah Amenka Serikat. Amandement yang dilakukan EEC memang tidak
mewajibkan bagi perusahaan-perusahaan EEC untuk tidak mengimpor barang dari negara di
luar EEC, akan tetapi adanya pembebasan dari bea anti-dumping bila mematuhi peraturan
tersebut akan memberikan sejumlah keuntungan bagi perusahaan EEC dan ini sangat
mempengaruhi permintaan dan penjualan produk yang sama dari pasar EEC sendiri.
Keuntungan ini merupakan kerugian bagi perusahaan-perusahaan Jepang. Amandemen
tersebut nyata merupakan tindakan diskriminatif karena dengan kebijakan tersebut EEC telah
memberikan perlakuan yang lebih baik terhadap produk sendiri dari pada produk impor.28
Tindakan Pemerintah Kanada yang memberikan pengecualian kewajiban pajak impor
komponen pembuatan kenderaan bermotor oleh Panel Penyelesaian Sengketa WTO juga
dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Article III.4 27 Lebih lanjut, EEC - Regulation on Import of Parts and Componen : Report by the Panel adopted on 16th May 1990, Document L/6657 - 37S/132, Hal.5
28 Ibid, Hal. 52.
19
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
GATT 1994. Oleh karena keringanan pajak hanya diberikan apabila proses produksi
kenderaan bermotor rnenggunakan lebih banyak komponen buatan Kanada, maka jelas
tindakan ini merupakan tindakan diskriminatif yang memberikan perlakuan lebih baik
terhadap produk buatan sendiri dari pada produk impor.29
Pelanggaran terhadap larangan local content requirement juga dilakukan oleh India.
Melalui Undang-Undang Penanaman Modal India tahun 1997 Pemerintah India mewajibkan
setiap penanaman modal baru di sektor industri otomotif untuk menandatangani sebuah
memorandum of understanding dengan Pemerintah India yang berisi kesepakatan sebagai
berikut :
a. penanaman modal minimum sebesar US $ 50 million dan harus dilakukan dengan
joint venture dengan pemilikan saham mayoritas pada warga negara asing ;
b. lisensi impor akan dibebaskan jika proses produksi mempergunakan kandungan lokal
hingga mencapai 50 % ;
c. kewajiban mempergunakan kandungan lokal sebesar 50 % pada 3 tahun pertama
untuk complete knok-down dan semi knok-down dan jumlah tersebut harus meningkat
mencapai 70 %, pada tahun kelima ;
d. adanya kewajiban ekspor dalam tiga tahun pertama dengan ketentuan jika tidak
dilakukan, maka pemerintah akan melakukan pembatasan pemakaian barang impor.
Pada bulan Mei 1990 Pemerintah Amerika Serikat mengajukan keberatan kepada
WTO terhadap kebijakan Pemerintah India. WTO dispute settlement body dalam memeriksa
perkara ini menemukan adanya pelanggaran kewajiban India
29 Lebih lanjut, Panel Report, Canada Certain Heasures Affecting the Automotive Industry Document WT/DS139/R, 11 February 2000
20
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
berdasarkan Article 2 Agreement on TRIMs, khususnya mengenai larangan persyaratan
kandungan lokal dan memerintahkan Pemerintah India untuk mencabut Undang-Undang
tersebut.30
Perkara-perkara tersebut berbeda dengan kasus Indonesia. Pemerintah Indonesia
mencantumkan persyaratan local content requirement tetapi tidak merupakan persyaratan
wajib yang; harus dipenuhi oleh investor. Pemenuhan kandungan lokal terkait dengan
pemberian insentif investasi berupa pembebasan pajak impor dan pajak pertambahan nilai
barang mewah.
Dalam upaya meningkatkan industri otomotif nasional, Pemerintah Republik
Indonesia menjalankan Program Mobil Nasional. Untuk menjalankan program ini kepada
perusahaan otomotif nasional akan diberikan status sebagai perusahaan “pioner” apabila
dalam proses produksi memenuhi kriteria penggunaan kandungan lokal sebanyak 20 % pada
tahun pertama produksi, dan jumlah ini terus meningkat menjadi 40 % pada tahun kedua dan
60 % pada akhir tahun ketiga produksi komersial.31 Diperolehnya status sebagai perusahaan
“pioner” setidaknya akan memberikan dua keuntungan ekonomis, yakni perusahaan yang
bersangkutan dapat melakukan impor bahan tambahan untuk keperluan produksi mobil
nasional tanpa dikenakan pajak dan adanya pembebasan dari kewajiban pembayaran pajak
pertambahan nilai barang mewah (PPn BM). Status "pioner" dapat diberikan kepada
perusahaan asing apabila perusahaan yang bersangkutan dapat memenuhi ketentuan local
content requirement tersebut.
Dalam pelaksanannya status pioneer berikut dengan fasilitas pembebasan pajak
barang mewah hanya diberikan kepada PT. Timor Putra Nasional (PT.TPN).
30 Http://www.wto.org/english/trato p/investment/dispu e.html 31 Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1996. Keputusan Menteri perindustrian dan Perdagangan No. 31
/MP/SK/ 1996
21
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
PT. TPN pada tahun-tahun pertama produksi tidak memenuhi persyaratan kandungan lokal
yang ditetapkan pemerintah. PT. TPN selanjutnya diperkenankan melakukan impor mobil
dalam keadaan utuh dari Korea (PT.KIA) dengan tetap diberikan kemudahan pajak..
Panel penyelesaian sengketa WTO dalam memeriksa perkara ini memang memandang
bahwa kebijakan yang demikian ini tidak konsisten dengan Agreement on TRIMs, akan tetapi
bukan karena masalah kandungan lokal. Menurut Panel kurang tepat menggunakan ketentuan
larangan persyaratan kandungan lokal, karena kebijakan pemerintah Indonesia tidak
menjadikan persyaratan tersebut sebagai kewajiban yang dikaitkan dengan persetujuan
penanaman modal. Ketidak konsistenan dengan Agreement on TRIMs lebih karena kebijakan
tersebut tidak konsisten dengan Article 2 Agreement on TRIMs yang melarang kebijakan
investasi yang tidak konsisten dengan Article III. GATT tentang national treatment. 32
Panel berpandangan bahwa kemudahan pajak yang diberikan kepada PT.TPN dalam
impor mobil dari Korea adalah bentuk pelanggaran Article III.1 dan III.2 GATT dan Article
27.4 Agreement on Subsidies and Contorveiling Measures.
Berdasarkan Article III.2 GATT bahwa keringanan yang diperoleh PT.TPN tersebut
merupakan bentuk diskriminasi terhadap pengenaan pajak internal, karena keringanan
tersebut tidak diberikan kepada barang impor sejenis. Barang impor sejenis dalam hal ini
adalah mobil sedan produksi Amerika Serikat, EC dan Jepang. Dengan demikian kebijakan
ini memberikan perlakuan yang lebih
32 Indonesia Automotif Pioneer Industri. Panel Report, dapat diakses pada website WTO, http://www.wto.org?/english/tratop e/investment/dispu- e.html
22
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
baik terhadap barang impor dari salah satu negara anggota saja (Korea). Berdasarkan Article
III.1 GATT diberikannya kemudahan pajak pada produk impor asal Korea, dan sebaliknya
tidak memberikan hal yang sama dengan produk sejenis dari negara lain, adalah bentuk:
perbuatan yang dapat mempengaruhi penjualan atau pembelian produk-produk tersebut.
Negara anggota tidak dibenarkan oleh Article III. 1 GATT mengenakan pajak, pungutan atau
persyaratan lain yang mempengaruhi penjualan, penjualan, pembelian, pengangkutan,
distribusi atau penggunaan produk.33
Sedangkan pelanggaran terhadap Article 27.4 Agreement on Subsidies and
Contorveiling Measures adalah bentuk keringan pajak yang diberikan kepada industri lokal
(PT.TPN) adaiah penambahan subsidi yang dilarang selama masa transisi.34
2.1.2. Kebijakan Keseimbangan Perdagangan (Trade Balancing Policy)
Kebijakan trade balancing dilarang berdasarkan Paragraf 1 (b) Agreement on TRIMs.
Suatu tindakan dikategorikan sebagai trade balancing policy dalam perspektif Agreement on
TRIMs apabila dalam kegiatan penanaman modal negara tuan rumah mempersyaratkan
pembatasan pembelian atau penggunaan produk impor sampai jumlah tertentu yang dikaitkan
dengan volume atau nilai produk lokal yang diekspor oleh perusahaan penanaman modal
asing.35 Ada dua unsur penting dalam kebijakan trade balancing, berdasarkan Paragraf 1 (b)
33 Ibid 34 WTO Dispute Resolution Panel Report on Indonesia - Certain Measures Affecting, the Automobile
Industry, Doc. WT/DS54R, WT/DS55/R, WT/DS59/R, WT/DS64/R, Dokumen dapat diakses pada Website WTO http://ww.wto.org/english/tratop e/disput e Hal, 346
35 Agreement on TRIM’s, Ilustratif List, Paragraf 1 (b).
23
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
ilustrative list dari Agreement on TRIMs, yakni : a. penggunaan atau pembelian barang impor
oleh perusahaan penanaman modal asing hanya dibenarkan jika perusahaan tersebut telah
melakukan impor produk yang menggunakan produk buatan dalam negeri, b. jumlah barang
impor yang boleh dipergunakan oleh perusahaan penanaman modal asing terbatas sampai
jumlah tertentu, pembatasan mana ditetapkan berdasarkan volume atau nilai produk lokal
yang telah diekspor oleh perusahaan penanaman modal asing yang bersangkutan.
Jika diperhatikan secara seksama kedua anasir tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa dalam trade balancing policy terdapat adanya hambatan bagi perusahaan penanaman
modal asing untuk melakukan kegiatan impor secara langsung. Perusahaan penanaman modal
asing hanya dibenarkan membeli barang impor yang sudah berada di pasar domestik negara
host country. Barang impor ini hadir dalam pasar domestik negara host country pada
umumnya karena diimpor oleh perusahaan domestik. Dalam kebijakan yang demikian
terdapat tindakan diskriminasi terhadap barang impor oleh pemerintah host country. Batasan
penggunaan barang impor yang dikaitkan dengan kewajiban impor barang buatan dalam
negeri merupakan tindakan yang lebih mengutamakan barang produk sendiri dari pada
produk impor. Oleh karena itu trade balancing policy dilarang karena bertentangan dengan
Article III.4 GATT 1994.
Dalam catatan WTO tidak banyak ditemukan penerapan kebijakan trade balancing.
Perkara yang selalu dijadikan referensi adalah kebijakan Pemerintah India yang mewajibkan
investor menandatangani MoU dengan Kementrian Perdagangan India. Dalam MoU ini hak
investor untuk menggunakan barang impor tergantung pada terpenuhinya kewajiban ekspor
kandungan lokal yang telah dipenuhi oleh investor yang bersangkutan.36
36 Lebih lanjut lihat Trade Related Investment Measures, http://www.meti.go.ip/english/report/gCT000Be
24
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Terhadap kebijakan Pemerintah India ini Panel Penyelesaian Sengketa WTO memutuskan
bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan Article III.4 GATT jo. Paragraf 1 (b)
Agreement on TRIMs.
Brazil adalah negara yang menerapkan persyaratan penanaman modal yang
mengkombinasikan antara insentif penanaman modal, kewajiban local content requirement
dan trade balancing. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 1761 tanggal 26 Desember 1995
Pemerintah Brazil memberikan insentif penanaman modal berupa pengurangan bea masuk
sampai dengan 90 % untuk impor barang modal dan antara 40 % - 80 % untuk impor bahan
baku dan komponen pembuatan otomotif bagi para produsen yang memenuhi kualifikasi
yang ditetapkan oleh Pemerintah Brazil. Keringanan pengurangan bea masuk kenderaan
impor sebesar 50 % juga diberikan kepada produsen otomotif yang memenuhi kualifikasi
yang ditetapkan.37 Produsen dikatakan memenuhi kualifikasi sehingga berhak atas insentif
tersebut adalah produsen otomotif yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. wajib memenuhi persyaratan kandungan lokal sebesar 60 % dari total input yang
dipergunakan ;
b, wajib memenuhi rasio 1 : 1 atas impor barang mentah dengan yang dibuat di dalam
negeri serta terhadap perbandingan penggunaan barang modal impor dengan yang
dibuat di dalam negeri ;
c. impor kendaraan tidak boleh melebihi jumlah yang sudah ekspor ; 37 George Klenfeld and Deborah Wengel. Foreign Investment, International Law Journal, Summer, 1996, Hal.4
25
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
d. impor komponen tidak melebih 2/3 bagian dari total komponen yang diekspor oleh
produsen yang bersangkutan.38
Panel yang memeriksa perkara ini menetapkan bahwa tindakan pemerintah Brazil
menetapkan persyaratan penanaman modal yang mensyaratkan adanya kewajiban local
content requirement dan trade balancing bertentang dengan Article 2 Agreement on TRIMs,
Article III.4 dan Article XI.1 GATT 1994.39 Sementara insentif penanaman modal yang
diberikan oleh Pemerintah Brazil dalam bentuk pengurangan bea masuk tidak bertentangan
dengan Agreement on TRIMs akan tetapi melanggar ketentuan dari Article 3.1 Agreement on
Subsidies and Conterveiling Measures yang juga melarang persyaratan local content dan
trade balancing. Larangan ini berbeda dengan Agreement on TRIMs. Jika penerapan kedua
kebijakan tersebut dijadikan sebagai persyaratan untuk dapat beroperasinva sebuah
perusahaan asing, maka persyaratan tersebut bertentang dengan Agreement on TRIMs, akan
totapi apabila kedua persyaratan tersebut dijadikan sebagai prakondisi untuk mendapatkan
subsidi, maka bertentangan dengan Agreement on Subsidies and Conterveiling Measures.40
Dalam hal ini pemerintah Brazil telah dianggap memberikan subsidi kepada produsen dalam
38 Ibid. Hal. 5 39 Brazilian Automotif Measures, Panel Report, dapat diakses dalam Web Site WTO, http://www.wto.org/english/tratop e/investment/dispu c. 40 Article 1.1 Agreement Agreement on Subsidies and Contorveiling Measures menganggap subsidi ada jika terdapat kondisi sebagai berikut, antara lain :
a. kegiatan pemerintah melibatkan penyerahan dana secara langsung' (misalnya hibah, pinjaman dan penyertaan), kemungkinan pemindahan dana atau kewajiban secara langsung (misalnya jaminan hutang);
b. pendapatan pemerintah yang seharusnya sudah dibayar menjadi hapus atau tidak ditagih (misalnya insentif fiscal, seperti pengurangan pajak)
c. pemerintah menyediakan barang atau jasa selain dari infrastruktur umum atau pembelian barang ;
d. pemerintah melakukan pembayaran pada mekanisme pendanaan, atau mempercayakan, atau menunjuk suatu badan swasta untuk melaksanakan satu atau lebih dari jenis fungsi yang disebutkan pada point (a) sampai (c) diatas yang biasanya diberikan pada pemerintah dan pelaksanaannya secara nyata berbeda dari yang biasanya dilakukan oleh pemerintah.
26
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
bentuk pendapatan pemerintah dari pajak atau bea yang tidak ditagih oleh pemerintah dari
produsen. Pemberian subsidi ini disertai dengan syarat kewajiban penggunaan local content
atau trade balancing.
Kebijakan trade balancing sebenarnya memaksa investor asing melakukan tindakan
yang; tidak efektif karena tidak dibenarkan melakukan impor langsung dan hal ini justru
merugikan host country karena tidak menarik untuk menarik investor yang lebih berorientasi
pada efisiensi usaha. Oleh karena itu dengan melarang trade balancing policy, Agreement on
TRIMs selain membantu menciptakan iklim penanaman modal yang lebih kondusif di
wilayah host country, juga memberikan perlindungan terhadap kemampuan investor untuk
membuat keputusan bisnis yang lebih bebas yang berdasarkan pada prinsip efisiensi usaha.41
Jika mencantumkan local content requirement sebagai kewajiban adalah dilarang
demi hukum, tanpa diperhatikan lebih lanjut apakah secara defakto telah terjadi diskriminasi
internal, maka tidak demikian halnya terhadap trade balancing policy. Dalam trade
balancing policy unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan melanggar Article III.4
GATT adalah hanya apabila barang-barang impor sudah berada di dalam pasar domestik
negara host country. Apabila barang impor dimaksud belum berada di pasar domestik host
country maka tidak dapat dikatakan kewajiban national treatment telah dilanggar karena
tidak terjadi diskriminasi internal. 42 Hal ini penting untuk dipahami, karena jika barang
impor belum berada di pasar domestik negara host country, maka pelanggaran yang
41 Russin et.ll, “Trade Related Investment Measures and Vietnams Law”, US-Vietnam Trade Council, Education Forum, 2002. Hal. 8.
42 Morrisey, et.all, The GATT Agreement on Trade Related Investment Measures: lmplications for Developing Countries and Their Relationship with Transnational Corporations, The Journal of Development Studies, London, June, 1995, Vol.31, Iss No. 5, Hal. 6
27
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
ter jadi lebih tertuju pada Article XI GATT 1994 tentang general prohibition on qualitative
restriction. 2.2. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan Prinsip General
Prohibition on Quantitative Restriction
Prinsip general prohibition on gualitative restriction diatur dalam Article XI GATT
1994. Pada dasarnya prinsip ini tidak membenarkan adanya larangan atau hambatan
perdagangan lainnya kecuali melalui tariff.43 Dapat disimpulkan bahwa maksud dari article
XI.1. ini adalah melarang penggunaan hambatan non-tarif dalam kebijakan perdagangan
seperti kuota, lisensi ekspor atau impor. pembatasan ekspor secara sukarela dan
bentuk-bentuk perintah pengaturan pasar lainnya.
Praktek pembatasan kuantitatif dilarang dalam Agreement on TRIMs apabila
pembatasan kuantitatif tersebut menjadi syarat untuk mendapatkan fasilitas penanaman
modal. Paragraf 2 ilustrative list dari Agreement on TRIMs dalam pelarangan guantitative
restriction hanya mengacu pada Article XI. 1. GATT 1994. Dalam kaitannya dengan
kegiatan penanaman modal, Paragraf 2 mengidentifikasi 3 bentuk kegiatan yang dipandang
tidak konsisten dengan Article IX.1. GATT yakin apabila untuk memperoleh fasilitas
penanaman modal dipersyaratkan hal-hal berikut:
a. pembatasan impor produk-produk yang dipakai dalam proses produksi atau terkait
dengan produksi lokalnya secara umum atau senilai produk yang diekspor oleh
perusahaan yang bersangkutan ;
43 Pengertian tariff disini meliputi duties, taxes or other chargers. Lihat lebih lanjut Article XI.1. GATT 1994.
28
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
b. pembatasan impor produk-produk yang dipakai dalam atau terkait produksi lokal
dengan membatasi aksesnya terhadap devisa luar negeri sampai jumlah yang terkait
dengan devisa yang dimasukkan oleh perusahaan yang bersangkutan;
c. pembatasan ekspor atau penjualan untuk ekspor apakah dirinci menurut
produk-produk khusus, menurut volume atau nilai produk-produk atau menurut
perbandingan volume atau nilai dari produksi lokal perusahaan yang bersangkutan.44
Dengan demikian.Agreement on TRIMs menjabarkan larangan Article XI.1 GATT
dalam tiga bentuk kegiatan, yakni trade balancing policies, .foreign exchange restriction dan
export restriction. 2.2.1. Barang-Barang lmpor Harus Seimbang dengan Eskpor
Kebijakan keseimbangan perdagangan (trade balancing policy) pada intinya adalah
cara untuk meningkatkan penjualan produk buatan dalam negeri yang dilakukan dengan
membatasi pengaruh dari produk impor. Cara ini dapat ditempuh melalui dua model
hambatan, yakni membatasi pembelian atau penggunaan barang impor dan membatasi
kegiatan impor secara langsung.
Telah diuraikan sebelumnya bahwa terdapat perbedaan mendasar antara kedua model
tersebut. Model pertama, membatasi pembelian atau penggunaan barang impor, bertentangan
dengan prinsip national treatment sebagaimana diatur dalam Article III.4 GATT jo. Paragraf
1 (b) illustrative list dari Agreement on TRIMs. Sedangkan model kedua, pembatasan impor
langsung, bertentangan
44 Agreement on Trade Related Investment Measures, Ilustrative List, Paragraf 2 .
29
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
dengan Article XI.1. GATT 1994 jo. Paragraf 2 (a) illustrative list dari Agreement on TRIMs.
Perbedaan prinsip dari kedua model ini terletak pada terjadi atau tidaknya diskriminasi
internal dari kebijakan tersebut.
Dengan membatasi pembelian atau penggunaan barang impor terkandung makna
bahwa barang impor yang dibatasi pembeliannya atau penggunaannya sudah berada atau
terdapat dalam pasar domestik Negara host country. Oleh karena itu kebijakan yang
demikian merupakan bentuk diskriminasi internal karena pemerintah host country melalui
kebijakannya telah memberikan perlakuan yang lebih baik terhadap barang buatan dalam
negeri dari pada barang impor dalam pasar persaingan di wilayah host country. Tindakan ini
melanggar kewajiban host country untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap barang
buatan dalam negeri dan barang impor yang berada di pasar domestik, sebagaimana dituntut
oleh Article III.4 GATT 1994. Sementara pembatasan impor secara langsung tidak
memenuhi Article III.4. GATT, karena produk impor yang dibatasi pembelian atau
penggunaannya belum berada di pasar domestik Negara host country. Tindakan yang
demikian, meskipun termasuk pada bentuk trade balancing policy, tetapi tunduk pada
ketentuan larangan pembatasan kuantitatif, seperti dimaksud dalam Article XI. 1 GATT
1994.
Kasus Brazil seperti diuraikan sebelumnya merupakan salah satu referensi
pelanggaran terhadap ketentuan trade balancing policy baik berdasarkan Article XI.1 GATT
maupun Article III.4 GATT, karena dalam kasus ini pembatasan penggunaan barang impor
tidak saja diberlakukan terhadap kegiatan impor langsung juga terhadap penggunaan barang
impor yang berada di pasar Brazil.
30
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Seperti halnya kegiatan trade balancing policy yang bertentangan dengan Article III.1
GATT 1994, pembatasan impor yang dikaitkan dengan jumlah atau nilai ekspor yang telah
dilakukan investor ini juga tidak menarik bagi upaya memikat minat investor asing, karena
kebijakan yang demikian sangat membatasi perusahaan penanaman modal asing dalam
membuat keputusan bisnis yang lebih efisien.45
2.2.2. Pembatasan Akses Devisa Asing (Foreign Exchange Limitation)
Bentuk tindakan restriktif ini dilakukan dengan membatasi impor produkproduk yang
dipergunakan dalam proses produksi dengan membatasi akses perusahaan penanaman modal
asing terhadap devisa luar negeri yang dibutuhkan sampai pada satu jumlah atau nilai yang
sebanding dengan devisa yang dimasukkan oleh perusahaan asing yang bersangkutan.46
Apabila terhadap investor atau calon investor yang akan beroperasi di wilayah host country
diwajibkan untuk mematuhi pembatasan tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan ijin
penanaman modal, maka tindakan ini melanggar ketentuan Paragraf 2 (b) illustrative list dari
Agreement on TRIMs.
Larangan terhadap foreign exchange limitation bisa membawa dampak yang sangat
signifikan bagi negara-negara yang masih lemah, karena apabila tidak ada pembatasan dalam
penggunaan devisa asing, maka negara yang bersangkutan bias mengalami krisis devisa.
Oleh karena itu berdasarkan Article XII atau XVIII:B Negara yang mengalami krisis neraca
pembayaran (balance of payment)
45 lebih lanjut lihat, Quantitative Restriction, http://www.meti.go.jp/english/gCTO214e.pdf
46 Agreement on Trade Related Investment Measures, Ilustrative List, Paragraf 2 (b).
31
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
dimungkinkan untuk melakukan pembatasan terhadap semua kegiatan impor. Disini letak
keterkaitan antara IMF dengan WTO, dimana IMF memiliki peran untuk memberikan
rekomendasi atas Negara yang menurut IMF benar-benar mengalami krisis neraca
pembayaan.
Pilipina adalah salah satu negara yang pernah menerapkan kebijakan foreign
exchange limitation dalam upayanya membangun industri otomotif, khususnya untuk industri
mobil penumpang dan sepeda motor. Namun, kebijakan tersebut telah dinotifikasi di WTO
dan harus sudah dihapuskan sampai akhir Desember 2004.
Berdasarkan ketentuan WTO, negara yang mengalami kesulitan dalam neraca
pembayaran (balance of payment difficulties, BOPD) diperkenankan untuk melakukan
pembatasan impor. Namun, patut diketahui bahwa dalam upaya mengatasi situasi BOP
tersebut negara-negara anggota WTO yang melakukan hambatan impor berkewajiban untuk
menetapkan kebijakan pembatasan impor dengan dampak yang paling minim terhadap
hambatan perdagangan, misalnya melalui bea masuk tambahan yang dapat mempengaruhi
harga barang impor di pasar domestik.47 `
Apabila ternyata kebijakan bea tambahan tidak dapat mengatasi keadaan BOPD maka
negara yang bersangkutan bisa diberikan hak untuk menyimpang dari larangan pembatasan
kuantitatif. Namun sebelum permohonan untuk menerapkan hambatan kuantitatif diberikan,
negara yang bersangkutan harus memberikan penjelasan mengenai kegagalan kebijakan bea
tambahan dalam mengatasi BOPD.48
47 Agreement on Balance of Payment of GATT 1994, Paragraf 2
48 Ibid, Paragraph 5
32
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Kebijakan foreign exchange limitation tetap dianggap merupakan pelanggaran
terhadap Agreement on TRIMs jika kebijakan yang demikian diterapkan pada saat negara
host country menerapkan bea masuk tambahan. Hal ini tidak dapat dibenarkan berdasarkan
alasan BOPD. Keadaan demikian merupakan komitmen dari negara-negara anggota WTO
untuk meminimalkan dampak hambatan perdagangan.
Negara-negara berkembang pada umumnya berpandangan bahwa mekanisme
penyimpangan terhadap Article XI.1 GATT tidak membawa dampak yang signifikan bagi
negara berkembang pada umumnya. Meskipun Negara-negara berkembang dapat
mendalilkan bahwa mereka menghadap BOPD, namun untuk meminta penyimpangan harus
terlebih dahulu mendapat persetujuan dalam konsultasi yang melibatkan negara-negara lain
yang memiliki kepentingan di pasar negara berkembang. Kegagalan konsultasi bisa
membawa akibat berlarutnya kesulitan negara berkembang untuk mengatasi keadaan BOPD.
2.2.3. Pembatasan Ekspor untuk Meningkatkan Mai Tambah
Paragraf 2 (c.) dari illustrative list Agreement on TRIMs melarang negara-negara
anggota WTO menerapkan persyaratan penanaman modal yang mensyaratkan adanya
pembatasan ekspor atau penjualan untuk ekspor bagi perusahaan penanaman modal asing.
Kebanyakan larangan ekspor, dilakukan oleh Pemerintah host country adalah terhadap
pembatasan ekspor bahan mentah dengan mewajibkan bahan mentah yang bersangkutan
harus terlebih dahulu diproses di dalam negeri host country. Tindakan semacam ini
merupakan tindakan proteksi terhadap industri dalam negeri, karena dengan larangan ekspor
bahan mentah, maka industri pengolahan dalam negeri akan mendapatkan nilai tambah dari
proses pengolahan bahan mentah, Kanada tercatat sebagai salah satu negara yang pernah
melakukan kebijakan export restriction. Sebelum tahun 1993, Pemerintah Kanada, misalnya
melarang ekspor jenis ikan tertentu. Ijin ekspor hanya diberikan jika produk tersebut terlebih
dahulu diolah di dalam negeri. Kebijakan ini mendatangkan keuntungan bagi industri
pengolahan ikan di Kanada. Panel penyelesaian sengketa GATT menemukan bahwa tindakan
Pemerintah Kanada telah melanggar kewajiban Kanada berdasarkan ketentuan Article XI.l
GATT dan memerintahkan agar kebijakan tersebut dirubah atau dicabut.49
49 Keputusan Panel dapat diakses pada webside WTO,
http://www.wto.org/english/tratop e/disput e
33
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Disamping Kanada. India termasuk salah satu negara yang sejak tahun 1991
menerapkan kebijakan export restriction, terutama pada sektor pertanian dan barang-barang
industri. Setelah terbentuknya WTO, India menotifikasikan kebijakan tersebut sehingga
masih diperkenankan untuk dilaksanakan sampai akhir tahun 1999 sesuai ketentuan
perpanjangan waktu dan notifikasi dalam Agreement on TRIMs.50
Dalam sistim GATT regulasi perdagangan bebas sektor jasa membatasi regulasi
penanaman modal asing di sektor tersebut. Berdasarkan Article II GATS, negara-negara
anggota tidak dibenarkan menerapkan peraturan-peraturan penanaman modal yang
diskriminatif terhadap jasa dan pemasok jasa dari negara anggota lainnya. Larangan ini
terbatas pada bidang-bidang yang sudah menjadi specific commitment dari negara anggota
bersangkutan. Dengan demikian GATS membatasi kewenangan negara host country untuk
meregulasi penanaman modal asing apabila regulasi tersebut menimbulkan perbedaan
perlakuan antara investor asing dan investor domestik di sector usaha jasa.
50 Perhatikan Article 5 (1) dan (2) Agreement on TRIM’s.
34
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Mengapa hambatan investasi harus dilarang berdasarkan ketentuan GATT ? Kiranya
teori keunggulan komparatif (comparative adventages) dapat dipergunakan untuk menjawab
persoalan tersebut. Teori keunggulan komparatif mengajarkan bahwa sebuah negara selalu
bisa relatif lebih effisien dalam memproduksi sebuah barang dibandingkan dengan negara
lain. 51 Perdagangan bebas mengijinkan negara-negara untuk melakukan spesialisasi dalam
memproduksi barang-barang dimana mereka memiliki keunggulan komparatif. Barang ini
selanjutnya dipertukarkan dengan barang dari negara lain yang proses produksinva lebih
efisien jika dibandingkan bila barang tersebut diproduksi sendiri. Dengan cara seperti ini
keuntungan dalam level global akan lebih maksimal. Campur tangan negara yang mencoba
mempengaruhi mekanisme tersebut hanya akan membelokkan tujuan pencapaian keuntungan
maksimum dan akan menyebabkan para pelaku pasar memproduksi barang menjadi kurang
efisien.52 Paham kapitalisme klassik yang kemudian dilanjutkan oleh paham neoliberal
terlihat sangat berpengaruh dalam hal ini.53
2.3. Transparansi dan Notifikasi
Untuk memudahkan pengawasan terhadap penerapan persyaratan penanaman modal
yang tidak konsisten dengan Article III.4 dan XI.1 jo. Paragraf
51 David Ricardo, The Principle of Political Economy and Taxation, dikutip dalam Paul R. Krugman
dan Maurice Obstfeld, International Economics; Theory and Policy Second edition, 1991, Hal, 11. 52 Ibid . Hal. 13-21
53 William Ebenstein and Edwin Fogelman, Isme-lsme Dewasa Ini (terjemahan), Edisi Sembilan,
Erlangga, Jakarta; 1990, Hal. 149 -163
35
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
1 dan 2 ilustrative list dari Agreement on TRIMs, maka kepada setiap anggota WTO yang
menerapkan persyaratan penanaman modal yang demikian harus dilaksanakan secara
transparan melalui mekanisme notifikasi semua pembatasan yang mereka terapkan. Waktu
yang diberikan untuk notifikasi adalah sembilan puluh hari terhitung sejak Persetujuan
Pembetukan WTO berlaku secara efektif 54
Notifikasi pembatasan memegang peranan penting dalam pelaksanaan persetujuan
WTO terkait investasi. Dalam Agreement on TRIMs pentingnya notifikasi dikarenakan dua
hal. Pertama, pembatasan yang telah dinotifikasikan kepada Dewan Perdagangan Barang
(Council on Trade in Goods) dapat terus dilanjutkan sampai berakhirnya masa transisi
penghapusan persyaratan tersebut. Dengan demikian pembatasan yang tidak konsisten
dengan Agreement setelah dinotifikasi dapat terus berlanjut sampai awal tahun 1997 bagi
negara maju, bagi negara berkembang sampai awal tahun 2000 dan awal tahun 2002 bagi
negara terbelakang.55 Kedua, persyaratan yang tidak konsisten dengan Agreement dan tidak
dinotifikasikan, maka persyaratan yang bersangkutan dianggap sebagai pelanggaran,
meskipun kewajiban penghapusan seluruh persyaratan belum melewati masa yang
ditentukan. Sebagai konsekuensinya, negara anggota lainnya memiliki hak untuk melakukan
tuntutan hukum atas pelanggaran Agreement on TRIMs. Sebagai contoh dapat dilihat dalam
kasus Mobil Nasional Indonesia. Kebijakan mobil nasionl ini mengandung persyaratan yang
bertentangan dengan Article III.4 GATT 1994 Jo. Paragraf 1 (a) illustrative list dari
Agreement on
54 Article 5 (1) Agreement on TRIM's. 55 Masa penghapusan seluruh TRIM's adalah dua tahun bagi Negara maju, lima tahun bagi Negara
berkembang dan tujuh tahun bagi Negara terbelakang terhitung sejak Perjanjian Pembentukan W'ITO berlaku
secara efektif (Januari 1995).
36
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
TRIMs yakni mengenai larangan local content reguirement.56. Sebagai negara berkembang
batas waktu penghapusan TRIM's yang tidak konsisten bagi Indonesia adalah pada akhir
tahun 2000. Artinya sampai 1 Januari tahun 2000 masih diperkenankan menerapkan
persyaratan. Akan tetapi oleh karena kebijakan mobil nasional tersebut tidak dinotifikasi ke
WTO, maka pada tahun 1998 Jepang dan Amerika Serikat mengajukan tuntutan keberatan
kepada Panel Penyelesaian Sengketa WTO atas penerapan kebijakan Mobil Nasional
tersebut. Akhirnya pada tahun 1998 Panel memerintahan Pemerintah Indonesia untuk
mencabut peraturan-peraturan yang terkait dengan kebijakan Mobil Nasional.
Agreement on TRIMs memberikan pengecualian khusus kepada negara berkembang
dan negara terbelakang khusus mengenai perpanjangan masa transisi penghapusan
persyaratan. Dewan Perdagangan Barang setelah memperhatikan kesulitan-kesulitan negara
berkembang dalam melaksanakan ketentuan Agreement on TRIM.s serta mempertimbangkan
kebutuhan pembangunan, keuangan dan perdagangan dari negara berkembang, dapat
memberikan perpanjangan masa transisi penghapusan TRIMs. 57
Berkaitan dengan masa transisi penghapusan TRIM's dan perpanjangannya perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. perpanjangan masa transisi hanya dibenarkan terhadap TRIM's yang telah
dinofikasikan kepada Dewan Perdagangan Barang ;
56 Perhatikan Inpres No. 2 Tahun 1996, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No
31/MPP/SK/2/1996 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 82/KMK.0l tahun 1996.
57 Article 5 (3) Agreement on TRIM's.
37
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
b. TRIM's yang diberlakukan dalam waktu kurang dari 180 hari sebelum berlaku
efektifnya Persetujuan Pembentukan WTO tidak dapat diberikan masa transisi58
c. Selama masa peralihan tidak dibenarkan mengubah ketentuan dari TRIM's yang telah
dinotifikasi59
d. selama masa transisi TRIMs yang sudah dinotifikasi dapat dikenakan kepada
penanaman modal baru hanya apabila barang yang dihasilkan oleh perusahaan
penanaman modal baru tersebut sejenis degan barang yang dihasilkan oleh perusahaan
penanaman modal yang sudah berdiri dan terkena TRIMs. Tujuannya adalah untuk
menghindari persaingan yang tidak sehat antara perusahaan penanaman modal baru
dengan yang sudah ada.60
Dewan Perdagangan Barang dapat mempertimbangkan perpanjangan masa transisi
penghapusan TRIM's akan tetapi tidak jelas bagaimana mekanisme pengambilan keputusan
dalam pemberian masa perpanjangan transisi. Oleh karena itu terdapat perbedaan pandangan
yang tajam antara kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang. Disatu sisi
kelompok Negara-negara berkembang menghendaki agar negosiasi masa perpanjangan
dilakukan dalam bentuk negosiasi multilateral yang melibatkan kelompok-kelompok negara.
Sementara negara-negara maju justru menghendaki agar perpanjangan, masa transisi
dilakukan kasus per kasus dan harus dikonsultasikan secara bilateral dengan negara-negara
yang memiliki kepentingan. Ini artinya sama dengan setiap
58 Article 5 (4) Agreement om TRIMs 59 Ibid 5 (5) 60 Article 5 (5) Agreement on TRIMs.
38
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
permohonan perpanjangan masa transisi harus mendapat persetujuan dari negara mitra
utama, yakni USA, EC, Jepang dan Kanada.
Greenfield menyatakan bahwa ketidak jelasan ini selalu dimanfaatkan oleh negara
mitra utama untuk tujuan tertentu. Beliau mencontohkan kasus Filipina, meskipun Filipina
sudah mengajukan perpanjangan masa transisi penghapusan TRIM's disektor industri
otomotif sampai Desember 2004, namun Pemerintah USA tetap menargetkan bahwa waktu
bagi Filipina hanya sampai 1 Januari 2000 karena USA tidak pernah turut dalam negosiasi
bilateral sehubungan perpanjangan masa transisi bagi Filipina. Dengan menekan masalah ini,
USA bisa melakukan penekanan terhadap Filipina untuk memberikan konsesi di bidang lain
yang tidak memiliki kaitan dengan.industri otomotif 61
Keberhasilan pelaksanaan Agreement on TRIMs akan sangat didukung oleh
keterbukaan dari tiap-tiap anggota. Keterbukaan informasi mengenai hambatan-hambatan
penanaman modal merupakan salah satu faktor yang dapat menarik minat investor untuk
menamankan modalnya, karena keterbukaan informasi membantu investor dalam
menentukan keputusan bisnis.62 Dengan transparansi, maka hukum menjadi lebih dapat
dipergunakan sebagai media prediksi, dan hal ini akan lebih menunjang pembangunan
ekonomi63 karena terciptanya kepercayaan investor. Oleh karena itu, Article 6 (2) Agreement
on TRIMs mewajibkan negara-negara anggota GATT memberitahukan kepada Sekretariat
WTO publikasi-publikasi yang memuat ketentuan-ketentuan TRIM's
61 Gerard Greenfield. Op..cit., Ha1.4 62 George Anders, Merchants of Debt, KKR and the Mortagaging of American Business, BasicBook,
New York, 1993, Hal.36 63 JD. N. Hart, The Role a Law in Fconomic Development, dalam Erman Rajagukguk. Peranan Hukum
dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, Hal.365-367.
39
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
termasuk TRIM's yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Keterbukaan informasi mengenai
TRIM's juga harus diberikan pada setiap anggota yang meminta layanan informasi serta pada
saat konsultasi bilateral. 64 Namun keterbukaan informasi tidak mengharuskan negara
anggota memberikan informasi-informasi yang dapat menghalangi penegakan hukum,
bertentangan dengan kepentingan umum dan informasi yang dapat merugikan kepentingan
perusahaan perdagangan tertentu.
Jika ditelusuri dengan seksama sistim perdagangan multilateral, pelaksanaan
keterbukaan seperti yang dituntut oleh Agreement on TRIMs sebenarnya bukanlah hal yang
baru. GATT 1947 sudah menghasilkan ketentuan yang demikian. Hanya saja transparansi
dalam GATT ditujukan untuk seluruh publikasi-publikasi yang mengandung
hambatan-hambatan perdagangan.65 Dengan demikian ketentuan transparansi dalam
Agreement on TRIMs hanya mempersempit atau menjadikan lebih spesifik ketentuan
transparansi dalam GATT 1947.
64 Agreement on TRIM's, Article 6 (3). 65 Article X GATT 1947
40
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
BAB III
INDONESIA DAN AGREEMENT ON TRADE-RELATED
INVESTMENT MEASURES
Pada dasarnya pertimbangan-pertimbangan yang mendasari Pemerintah Indonesia,
demikian juga negara berkembang lainnya, untuk menerima Agreement on TRIMs adalah
keuntungan akses pasar dan perbedaan tingkat tariff yang dijanjikan dalam
kesepakatan-kesepakatan WTO lainnya. Jadi, tidak secara spesific terhadap keuntungan
ekonomis dari pelaksanaan Agreement on TRIMs. Bagaimanapun juga substansi dari
Agreement on TRIM's membatasi ruang bagi pemerintah untuk mengenakan syarat-syarat
tertentu dari kegiatan penanaman modal asing. meskipun persyaratan tersebut didalilkan
sebagai kebutuhan pembangunan
Bab ini akan membahas tentang pertimbangan-pertimbangan strategis Pemerintah
menerima Agreement on TRIMs dan penyesuian-penyesuian yang kemudian dilakukan
sebagai pemenuhan kewajiban berdasarkan Kesepakatan tersebut.
3.1. Pertimbangan Strategis Menerima Agreement on TRIM's
Sistim ratifkasi single undertaking yang diterapkan dalam Perundingan Uruguay tidak
memberikan kemungkinan bagi pemerintah negara-negara peserta perundingan untuk
melakukan ratifikasi secara parsial atas hasil-hasil perundingan. Menerima atau menolak
sebagian hasil perundingan seperti yang umum berlaku pada perundingan sebelum Putaran
Uruguay telah ditinggalkan untuk lebih menjamin terciptanya liberalisasi perdagangan dunia
yang agresif. Oleh karena itu, pertimbangan untuk mengikuti dan selanjutnya menerima suatu
41
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
hasil negosiasi dalam bidang-bidang tertentu sangat dipengaruhi oleh pertimbangan
komprehensif tentang manfaat secara umum yang dijanjikan oleh berjalannnya mekanisme
perdagangan bebas secara umum. Mungkin terjadi suatu keadaaan dimana suatu negara tidak
diuntungkan dalam perundingan bidang TRIM's. akan tetapi negara tersebut bisa memperoleh
manfaat yang lebih dengan berlakunya sistim perdagangan bebas (GATT) sccara umum.
Oleh karena itu analisis terhadap hash negosiasi perbidang perundingan tidak mungkin
mengabaikan dampak GATT secara umum bagi perekonomian suatu negara termasuk
Indonesia.
3.1.1. Penurunan Tariff dan Perluasan Akses Pasar Dunia
Sistim perdagangan bebas dengan perlindungan tariff dalam kalkulasi ekonomis akan
sangat menguntungkan bagi Indonesia. Pemyataan ini jelas menjadi asumsi yang sangat
berpengaruh dalam pandangan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dijelaskan oleh
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan, dalam Rapat Kerja antara DPR RI dengan
Pemerintah pada tanggal 30 September 1994 sehubungan dengan pembahasan RUU
Ratifikasi Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia sebagai berikut :
“... bahwa negara-negara industri maju berdasarkan kesepakatan GATT harus menurunkan tingkat tariff mereka pada kisaran 0 - 5 %, sedangkan kita di sektor industri tidak perlu melakukan hal yang demikian. Bahkan kita mendapatkan komitmen apabila diperlukan untuk meningkatkan lagi bea masuk kita sampai sebesar 40 %. Jadi, komitmen dan ,hasil yang kita capai adalah bahwa kita dalam sektor industri tidak boleh mengenakan perlindungan melalui tariff sampai sebesar 40 %, padahal dalam sektor industri tariff yang kita kenakan jauh lebih rendah dari itu. Hal ini berarti bahwa kita tidak perlu menurunkan proteksi tariff terhadap industri dalam negeri, atau dengan kata lain proteksi tariff sektor industri tetap berlangsung sebagaimana adanya saat ini. Apabila kita menurunkan bea masuk terhadap barang-barang hasil produksi industri, maka akan kita lakukan sendiri berdasarkan kebutuhan kita sendiri untuk meningkatkan daya saing industri hilir, tapi tidak ada kewajiban bagi kita untuk menurunkan tariff, sebaliknya kita bisa untung karena masih bisa menaikkan tariff sampai 40 %.66
66 Pendapat Pemerintah Rl, dalam hal ini Menteri Perdagangan RI dalam Rapat Kerja dengan DPR RI
schubungan dengan Pembahasan RUU Ratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, pada tanggal 30
September 1994 dikutip dalam “Catatan Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menteri Luar Negeri, Menteri
Perdagangan dan Menteri Kehakiman” tanggal 30 September 1994, Hal, 26.
42
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Dengan batas penurunan tariff sampai 40% berarti Indonesia sangat diuntungkan,
karena beberapa alasan, antara lain Indonesia masih dimungkinkan untuk meningkatkan tariff
sampai 40 %, sementara tariff yang dikenanakan oleh Pemerintah atas barang impor hasil
industri hanya berkisar 13 - 20 %. Dengan demikian jika dibutuhkan negara masih
dimungkinkan memperoleh masukan dari pos tariff dengan cara peningkatan tariff sampai
maksimum 40%. Keuntungan lainnya adalah dengan kesepakatan Putaran Uruguay Indonesia
tidak memiliki kewajiban untuk melakukan penurunan tariff sektor industri karena tingkat
tariff yang diterapkan jauh lebih rendah dari ketentuan yang dibenarkan GATT. Ini berarti
bahwa proteksi terhadap industri dalam negeri melalui kebijakan tariff tetap berjalan seperti
biasa tanpa ada perubahan yang signifikan.
Bagi pelaku usaha dalam negeri tatanan yang demikian merupakan keuntungan yang
terbuka dengan sangat lebar untuk memperkuat daya saing di pasar internasional. mengingat
bahwa pasar internasional, terutama di negara-negara mitra utama akan semakin terbuka dan
dengan tingkat tariff yang sangat rendah. Sementara itu di dalam negeri sendiri tetap bisa
dilindungi dari desakan produk impor dengan tariff yang relatif lebih tinggi.
Nada-nada optimis dan kalkulasi keuntungan ekonomis kurang terdengar ketika
pembicaraan menyangkut masalah perdagangan jasa dan perlindungan hak atas kekayaan
intelektual. Pemerintah hanya menjelaskan bahwa bangsa Indonesia harus menyadan
konsekuensi dari perdagangan jasa dan perlindungan hak atas intelektual yang juga diatur
dalam GATT 1994 antara lain harus adanya imbangan yang diberikan berupa pelaksanaan
kewajiban-kewajiban lain yang harus kita laksanakan. Hal ini tersirat dalam jawaban
Pemerintah sebagai berikut :
43
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
“sebaiknya kita menyadari bahwa kita tidak bisa lepas dari tatanan perdagangan dunia yang semakin menuju pada perdagangan bukan barang tetapi perdagangan jasa yang berbasis pada keahlian sumber daya manusia dan teknologi. Maka dari itu, kita tidak bisa terlepas dari kewajiban kita untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan kita di bidang perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual. Ini merupakan suatu konsekuensi bagi kita untuk maju . ... Supaya film kita, audio visual kita bisa masuk ke pasar negara-negara lain, maka kita harus mengimbangkan dengan perlindungan yang kita berikan terhadap kekayaan intelektual dari negara lain sesuai kewajiban yang kita telah tandatangani.”67
Dalam pembicaraan RUU Ratifikasi Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
dalam parlemen Indonesia tidak ditemukan pembahasan yang intensif tentang
persetujuan-persetujuan perdagangan yang terkait dengan penanaman modal. Sama halnya
dengan bidang perdagangan jasa, maka bidang ini pun dikatakan sebagai konsekuensi dari
kewajiban yang harus dipenuhi, sebagaimana dijelaskan Pemerintah sebagai berikut :
"Ada satu yang perlu kita sesuaikan yaitu di bidang kewajiban investasi, dimana kita mengikatkan diri untuk menyesuaikan ketentuan penanaman modal yang tidak lagi membolehkan diwajibkannya penggunaan komponen-komponen dalam negeri dalam berbagai hak industri dan ini dengan radar kita telah ikut menandatangani demi kemajuan industri kita di dalam negeri. Akibatnya, misalnya adalah di bidang industri otomotif tidak lagi akan menggunakan komponen dalam negeri kecuali harga buatan dalam negeri Indonesia itu sendiri sudah cukup murah untuk dipakai dalam kegiatan investasi asing. Namun sebaliknya dengan menggunakan komitmen itu kita masih ada jaga-jaga, dalam arti bahwa di bidang akses pasar mengenai barang industri kita masih bisa memberikan perlindungan tariff kepada komponen dalam negeri. Dengan demikian, maka dalam jangka panjang perjanjian ini akan memberikan keuntungan dalam akses pasar dan dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan bahwa kita akan tergerak menjadikan suatu kekuatan ekonomi yang lebih berdaya saing.68
67 Ibid., Hal. 25. 68 Jawaban Pemerinlah atas pertanyaan fraksi-fraksi DPR RI pada Rapat Pleno Komisi I DPR RI
tanggal 7 Oktoher 1994, ibid.. Hal. 26.
44
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Berdasarkan pen jelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa harapan dari persetujuan
perdagangan yang terkait dengan penanaman modal adalah bahwa
perjanjian ini bisa menstimulasi kompetisi yang sehat yang dapat mendorong industri di
dalam negeri dalam Jangka panjang untuk melakukan usaha-usaha meningkatkan daya saing.
Dengan dihapuskannya kewajiban local content requirement misalnya, maka industri di
dalam negeri harus mampu memperbaiki daya saingnya agar produk yang mereka hasilkan
menarik untuk diserap oleh pasar. Penjelasan Pemerintah tersebut cukup menggambarkan
suatu pandangan bahwa potensi keuntungan yang mungkin diperoleh bagi perekonomian
nasional dari terbukanya akses pasar, terutama pasar negara-negara mitra dagang utama serta
pengikatan tariff maksimum sampai 40 % adalah jauh lebih penting dari sekedar
mempertahankan kebijakan local content requirement. Hal ini terlihat dari penjelasan
pemerintah yang memberi sinyal bahwa Pemerintah masih bisa melindungi industri nasional
meskipun mungkin akan kehilangan keuntungan dari kewajiban local content, yakni dengan
mengenakan tariff maksimum, jika diperlukan, terhadap komponen impor. Dengan
perlindungan tariff seperti ini, komponen buatan industri dalam negeri yang sebelumnya
diwajibkan untuk digunakan atau dibeli dalam proses produksi, masih mampu bersaing dan
menjadi pilihan untuk digunakan dalam proses produksi, karena dengan bantuan proteksi
tariff harganya relatif lebih murah daripada komponen impor yang dikenakan tariff tinggi.
3.1.2. Tatatanan Multilateral Lebih Efektif Menghindari Tekanan Unilateral
Mohammad Hatta mengatakan bahwa politik luar negeri suatu negara senantiasa
dijalankan sesuai dengan kepentingannya. Oleh karena tidak ada suatu negara yang dalam
keadan serba cukup, maka politik luar negeri ditujukan pula untuk memperoleh dari negeri
lain barang-barang yang diperlukan untuk memajukan kemakmuran rakyat. Politik luar
negeri suatu negara tidak selalu sama dari masa-masa. dan akan sangat tergantung pada
keadaan hubungan internasional yang terjadi pada masa itu. Adakalanya suatu negara
menjalankan politik isolasionisme. Ada pula masanya suatu negara melakukan politik aliansi
untuk menjamin kepentingannya, dan kemudian muncul pula kembali politik imperialisme
sebagai dasar politik tertentu bagi politik luar negeri. Bagaimana politik luar negeri
Indonesia menghadapi hal ini, sudah sejak lama ditegaskan bahwa sikap politik luar negeri
Indonesia adalah bahwa Indonesia tidak akan bersedia menjadi objek pertarungan politik
45
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
internasional, melainkan ia harus menjadi subjek yang berhak menentukan sikap sendiri.
Politik luar negeri Indonesia harus ditentukan oleh kepentingannya sendiri dan dijalankan
menurut keadaan dan kenyataan yang kita hadapi. Pandangan ini merupakan penjabaran dari
dasar politik bebas yang dianut dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia.69
Disamping itu, politik luar negeri Indonesia juga menganut politik aktif, dalam arti
turut serta secara aktif dalam menciptaan tatanan dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan.
perdamaian, dan keadilan sosial. Paham ini menuntut kesigapan bangsa Indonesia untuk
tidak saja mengamati perkembangan internasional, akan tetapi turut mengambil peranan guna
memanfaatkan perkembangan yang terjadi untuk kepentingan nasional dan internasional.
Peran penting dart garis politik yang bebas aktif ini sangat terasa untuk menghadapi
globalisasi yang terjadi dewasa ini. Globalisasi yang ditandai dengan hubungan saling
terpengaruh antara berbagai belahan bumi dan internasionalisasi kegiatan ekonomi, tidak
bisa disikapi secara pasif cdan apriori. Bangsa Indonesia harus turun bermain dalam
menciptakan tatanan dunia baru yang dicita-citakan oleh banyak bangsa dewasa ini.
69 Mohammad Hatta. Dasar Politik luar Ncgeri Republik Indonesia, Tinta Mas, Djakarta, 1953, Hal.
3-5
46
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Persetujuan perdagangan yang terkait dengan peraturan penanaman modal yang
disepakati dalam Putaran Uruguay, jika diperhatikan sepintas mungkin hanya akan
menimbulkan kerugian bagi Indonesia. Agreement on TRIMs telah menghilangkan
kesempatan bagi Indonesia untuk mempromosikan industri dalam negeri melalui persyaratan
kandungan lokal dalam penanaman modal asing. GATS telah memaksa Indonesia untuk
meliberalisasikan pasar investasi di sektor jasa. Persetujuan ini telah mempersempit ruang
bagi pemerintah untuk melindungi pelaku usaha jasa domestik. Pemerintah menyetujui hal
tersebut tentu didasarkan pada pertimbangan tertentu.
Partisipasi Indonesia dalam Perundingan Putaran Uruguay adalah dalam rangka upaya
merumuskan tatanan perdagangan multilateral yang lebih komprehensif dan yang
penegakannya berkepastian karena dilaksanakan oleh organisasi permanen yang khusus
dibentuk untuk itu. Tanpa adanya tata aturan perdagangan multilateral yang komprehensif
dan mengikat serta penegakannya dilakukan oleh suatu lembaga permanen (WTO), maka
tatanan perdagangan internasional akan lebih banyak dilakukan dalam bentuk
hubungan-hubungan bilateral. Dalam keadaan yang demikian, negara berkembang adalah
pihak yang lemah dan selalu mendapatkan tekanan dalam bentuk tindakan unilateral dari
mitra dagang yang berasal dari negara industri maju tanpa adanya dasar pengaturan yang
tegas. Negara berkembang, seperti Indonesia sering didikte oleh negara maju dan negara
berkembang hanya dapat menerima karena posisinya yang lemah.
47
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Terutama karena negara berkembang membutuhkan pinjaman dari negara maju, khususnya
mitra dagang utama.70 Dengan kata lain, bahwa negara berkembang ditekan untuk membuka
akses pasar mereka, sementara disisi lain negara-negara maju tetap membangun
tembok-tembok yang sukar ditembus untuk melindungi pasar mereka.
Seperti diingatkan oleh Derry Salim, anggota Textile Advisory Committee
“Dalam era perdagangan bebas saat ini, Pemerintah RI agar lebih berhati-hati menjalin hubungan dagang dengan negara-negara besar, apalagi hal itu ditempuh melalui hubungan bilateral. Kondisi tersebut justru membahayakan posisi Indonesia yang sedang berorientasi ekspor.
Kita tidak mungkin menghadapi masalah hubungan perdagangan dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat atas dasar perjanjian bilateral. Jelas posisi kita lemah, soalnya mereka bisa bertindak unilateral. Sebaiknya pemerintah tetap berpegang pada prinsip multilateral sesuai kesepakatan GATT.” 71
Keadaan seperti ini sulit diatasi dengan sistim GATT sebelum Putaran Uruguay.
Mungkin proteksi yang diterapkan negara ma.ju tidak tercakup dalam
kesepakatan-kesepakatan yang ada saat itu. Bisa juga terjadi karena suatu negara tidak
meratifikasi suatu kesepakatan bidang tertentu sehingga tidak terikat dengan ketentuan
perdagangan yang mengatur bidang tersebut, mengingat sistim ratifikasi sebelum Putaran
Uruguay adalah bersifat a la carte. Dengan semakin komprehensifnya ketentuan
perdagangan multilateral versi Putaran Uruguay, maka negara-negara berkembang dapat
menuntut ke WTO setiap tindakan negara maju yang bertentangan dengan kesepakatan
Putaran Uruguay.72
70 “Pengantar Musyawarah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia dalam Rapat Kerja DPR RI tanggal 30
September 1994”, Catatan Rapat Kerja DPR RI dengan Menteri Luar Negeri, Menteri Perdagangan dan Menteri
Kehakiman, jumat, 30 September 1994, Hal. 18-19. 71 “Ambivalensi RI dalam Membuka Pasar Merugikan Swasta”, Harian Bisnis Indonesia, 15 Juli 1994. 72 Keterangan Pemerinlah pada Rapat Pleno Komisi I DPR RI, Catatan Rapat Komisi I DPR RI tanggal
7 Oktober 1994, Hal.24.
48
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Upaya yang diperlihatkan oleh Pemerintah Indonesia dalam partisipasinya dalam
perundingan perdagangan internasional guna memperbaiki tatanan ekonomi dunia yang lebih
menguntungkan sebenarnya merupakan pandangan yang umum dalam politik perdagangan
luar negeri di negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang menyadari bahwa
sistim hubungan ekonomi internasional yang terjadi saat sekarang ini ternyata lebih banyak
memberikan keuntungan kepada negara maju dan telah menyebabkan ketergantungan
ekonomi negara berkembang sehingga menciptakan kesenjangan yang semakin lebar.
Usaha-usaha untuk memperbaiki tatanan perekonomian internasional, termasuk di dalamnva
tatanan perdagangan dan investasi sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara
berkembang dengan dukungan PBB dalam bentuk persetujuan PBB untuk membentuk Tata
Ekonomi Dunia Baru. Tujuannya adalah untuk merombak ketidak adilan dalam sistim
perekonomian internasional.73
Namun pengalaman menunjukkan bahwa usaha tersebut sulit dilakukan, terutama
dikarenakan kemauan politik negara maju yang memang tidak menghendakinya. Perbedaan
persepsi yang tajam antara negara maju dan negara berkembang dalam memandang Tata
Ekonomi Dunia Baru sulit dipertemukan. 74 Secara politis Putaran Uruguay merupakan
upaya untuk melanjutkan pembentukan Tata Ekonomi Dunia Baru, meskipun dalam wilayah
kegiatan ekonomi yang relatif kecil, yakni perdagangan.
73 Hasim Djalil, Politik Luar Negeri Indonesia dalam Dasa Warsa 1990, CSIS, Jakarta. 1997. Hal.45
74 Ibid., Hal. 45 .
49
3.2. Penyesuian Peraturan di Indonesia
Sebagai negara anggota WTO yang terikat dengan Agreement on TRIMs, sebenarnya
Pemerintah Indonesia telah memperlihatkan komitmennya sesuai Agreement on TRIMs
dengan menyerahkan daftar peraturan-peraturan nasionalnya yang mengandung persyaratan
penanaman modal yang potensial melanggar Agreement on TRIMs kepada Komite TRIM's
WTO pada tanggal 23 Mei 1995.
Secara garis besar peraturan yang dinotifikasi tersebut antara lain seperti diuraikan pada
Tabel I berikut ini :
Tabel - 1
Pemberitahuan TRIM's oleh Pemerintah Indonesia
sumber : Pemberitahuan Pemerintah Indonesia mengenai TRIM's, 23 Mei 1995 (dikutip dalam Departemen Luar Negeri
Indonesia, Pembentukan Wilayah Penanaman modal ASEAN
dan Implikasinya Bagi Indonesia, Jakarta, 1996. hlm. 96)
50
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Dengan komitmen tersebut Indonesia memiliki kewajiban untuk menghapuskan,
persyaratan-persyaratan tersebut secara bertahap sampai tahun 2000 sesuai ketentuan Article
5.(1) dan (2) Agreement on TRIMs. Dengan dilaksanakannya notifikasi tersebut, maka
penerapan pembatasan-pembatasan yang demikian akan terhindar dari legal action yang
dapat diajukan oleh negara anggota lainnya, sepanjang tidak dilakukan perubahan
persyaratan tersebut selama masa peralihan.75
Persyaratan pemakaian komponen tertentu buatan dalam negeri di Indonesia
dltempatkan dalam deregulasi investasi tahun 1993. Persyaratan kandungan lokal tidak saja
pada bidang otomotif, tapi juga pada sektor utility boilers. Instruksi Presiden No. 54 Tahun
1993 tanggal 10 Juni 1993 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup Bagi Penanaman
Modal menetapkan persyaratan penggunaan kandungan lokal pada dua sektor usaha tersebut
sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menanamkan modal. Khusus untuk sektor
otomotif kebijakan kandungan lokal dikombinasikan dengan penurunan tariff bea masuk.
Untuk menunjang program tersebut Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan
RI No. 645/KMK.01/1993 tentang Keringanan Bea Masuk terhadap Impor Bagian Tertentu
Kenderaan Bermotor untuk Tujuan Perakitan dan atau Pembuatan Kenderaan Bermotor.
Besarnya tarif bea masuk komponen impor sangat bervariasi, ditentukan oleh besarnya
persentase kandungan lokal yang dipergunakan oleh perusahaan dalam proses produksi.
Semakin besar jumlah kandungan lokal yang dipergunakan. maka akan semakin kecil tariff
bea masuk yang dikenakan.
75 Article 5.4 Agreement on TRIM's
51
Ketentuan pengenaan tariff yang dikaitkan dengan komponen lokal sesuai Keputusan
Menteri Keuangan RI No. 645/KMK.01/1993 dapat digambarkan pada Tabel 2 berikut :
Tabel - 2
Pengenaan Tariff Bea Masuk Komponen Impor Otomotif Berdasarkan Persentasi
Penggunaan Kandungan Lokal Tahun 1993
52
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Sumber : Pasal 2 dan 3 Keputusan Menteri Keuangan Rl No. 645/KMK.01/1993 tentang
Keringanan Bea Masuk terhadap Impor Bagian Tertentu Kenderaan Bermotor untuk Tujuan
Perakitan dan atau Pembuatan Kenderaan Bermotor.
Kebijaksanaan ini dikeluarkan pada saat menjelang rampungnya Putaran Uruguay,
pada saat dimana Agreement on TRIM's, termasuk di dalamnya pelarangan kebijakan local
content, sedang diperdebatkan oleh kelompok negara maju dan negara sedang berkembang.
Kelihatannya bahwa Pemerintah memainkan safety measures dengan memperbaiki
kebijakan kandungan lokal. Jika perundingan yang diperjuangkan oleh negara sedang
berkembang untuk menolak local content requirement berhasil, maka kebijakan kandungan
lokal tersebut di atas ini tidak akan menjadi persoalan. Namun, apabila seandainya
perundingan tetap mencantumkan larangan local content requirement, maka kebijaksanaan
kandungan lokal tersebut masih dapat menikmati masa transisi selama lima tahun setelah
dilakukan notifikasi.76 Dapat dikatakan bahwa Paket Deregulasi Investasi 1993 ini
merupakan langkah antisipasi terhadap hasil perundingan di bidang perdagangan yang
terkait dengan peraturan penanaman modal (TRIMs).
Di luar sektor otomotif, langkah antisipatif lain dilakukan dalam sektor industri
produksi kue kacang kedelai dan susu segar. Melalui Keputusan Menteri Perdagangan No.
126/KP/VI/1994 dikeluarkan persyaratan rasio 7 : 3 antara
76 Article 5.2 Agreement on Trade Related Investment Measures menetapkan bahwa negara anggota
yang tergolong negara berkembang harus menghapuskan semua TRIMs yang telah dinotifikasi dalam waktu
lima tahun terhitung sejak Persetujuan Pembentukan WTO berlaku secara efektif (1 Januari 1995)
53
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
kacang kedelai impor dengan produksi domestik dalam pembuatan kue kacang kedelai dan
melalui Kepmendag No. 58/KP/IV/1995 diberlakukan persyaratan rasio 1 : 2,25 antara
produksi domestik dengan impor susu segar. 77
Setelah rampungnya perundingan Agreement on TRIMs yang kemudian melarang
persyaratan kandungan lokal pemerintah RI melakukan notifikasi terhadap TRIMs yang
terkandung dalam peraturan perundang-undangannya, antara lain Inpres No. 54 Tahun 1993,
Keputusan Menteri Keuangan No.645/KMK.01 /1993, Keputusan Menteri Perdagangan No.
126/KP/VI/1994 dan Keputusan Menteri Perdagangan No. 58/KP/IV/1995 tersebut di atas.
Dengan demikian berdasarkan Article 5.2 Agreement on TRIMs (Persetujuan tentang
Perdagangan yang Terkait dengan Peraturan Penanaman Modal) kebijaksanaan kandungan
lokal yang terkandung dalam semua peraturan tersebut harus sudah dihapuskan pada akhir
tahun 2000.
Penyesuian peraturan sebagai pelaksanaan kewajiban Indonesia berdasarkan
Agreement TRIM.s dilakukan pasca Putusan Panel Penyelesaian Sengketa WTO atas kasus
Mobil Nasional, yang memutuskan kebijakan mobnas tidak konsisten dengan Article III
GATT tentang national treatment.
Sebagai respon Indonesia terhadap keputusan Panel, maka pada 21 Januari 1998
dikeluarkan Keppres No. 20 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keppres No. 42 Tahun 1996
tentang Pembangunan Mobil Nasional. Maka sejak saat itu, tidak adalagi persyaratan
investasi sektor otomotif khususnya yang dikaitkan dengan penggunaan kandungan lokal.
77 Kebijaksanaan susu segar, Kepmendag No. 58/KP/IV/1995 diterbitkan bulan April 1995 dan
notifikasi dilakukan pada tanggai 23 Mei 1995.
54
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Sebagai pengganti kebijakan otomotif nasional, Pemerintah mengeluarkan Paket
Kebijaksanaan Pemerintah tentang Otomotif Tahun 1999. Jika sebelumnya perubahan
kebijakan lebih dikarenakan untuk memanfaatkan peluang terbukanya pasar, maka perubahan
kebijakan otomotif pada tahun 1999 lebih dikarenakan desakan internasional. Dalam Siaran
Pers Pemerintah pada bulan Juni 1999 dicantumkan beberapa faktor eksternal sebagai latar
belakang perubahan kebijakan, antara lain Letter if Intent antara RI dan IMF yang
mengharuskan dihapuskannya program-program subsidi tertentu, termasuk di dalamnya
subsidi untuk program mobil nasional (kebijakan otomotif 1996) dan subsidi pajak yang
dikaitkan dengan tingkat kandungan lokal (kebijakan otomotif tahun 1993) ; putusan DSB
WTO tentang kebijakan otomotif nasional tahun 1996 (mobil nasional) yang mewajibkan
dihapuskannya persyaratan kandungan lokal ; dan desakan liberalisasi regional yang
menuntut secara mutlak dilakukannya efesiensi dan daya saing industri otomotif nasional.78
Paket kebijaksanaan otomotif 1999 ini terdiri dari satu peraturan pemerintah79 dua
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangang80 dan enam Surat Keputusan Menteri
Keuangan RI.81. Jika dilihat secara keseluruhan paket
78 Siaran Pers Paket Kebijaksanaan Industri Otomotif 1999, Departemen Perindustrian dan
Pardagangan, 24 Juni 1999, Hal. 1-2 79 PP No. 59 Tahun 1999 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994,
80 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 275/MPP/Kep/6/1999 tentang lndustri Kenderaan Bermotor, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 276/MPP/Kep/6/1999 tentang Pendaftaran Tipe dan Varian Kenderaan Bermotor.
81 Keputusan Menteri Keuangan RI No. 344/KMK.01/1999 tentang Ketentuan Umum Menginterpretasi pada Harmonized System, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 345/KMK.01/1999 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Bahan Baku untuk Pembuatan Komponen Kenderaan Bermotor, Keputusan Menteri Keuangan R1 No. 345/KMK.01/1999 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan untuk Pembuatan Komponen, Peralatan, dan Karoseri Kenderaan Bermotor Khusus, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 347/KMK.01/1999 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan atau Bahan dari Gudang Berikat untuk Diolah, Dirakit atau Dipasang pada Barang Lain untuk Pembuatan Kenderaan Bermotor dengan Tujuan Ekspor, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 348/KMK.01/1999 tentang Macam dan Jenis Kenderaan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 349/KMK.01/1999 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 292/KMK.01 / 1998.
55
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
ini, maka strategi yang dipilih untuk meningkatkan industri otomotif di dalam negeri adalah
memberikan kernudahan impor komponen dan bahan baku dengan cara menurunkan dan
membebaskan tariff bea masuk dan relaksasi tata niaga serta penurunan PPn BM. Secara
teoritis penurunan bea masuk dan PPn BM akan mengurangi beban industri dalam negeri
baik dari segi faktor ongkos produksi dan kemudahan memperoleh bahan baku dalam
pembuatan komponen. Dengan demikian daya saing komponen dalam negeri akan
meningkat, karena harga yang relatif turun. Hanya dengan cara demikianlah komponen
dalarn negeri memungkinkan untuk dipakai pembuatan kenderaan bermotor, karena
persyaratan penggunaan kandungan lokal sudah tidak dimungkinkan.
Yang patut diperhatikan dan yang selalu menjadi masalah klasik adalah konsistensi
dalam pelaksanaan peraturan, karena apabila tidak, maka akan sangat rentan terjadinya
perilaku administrator yang menyimpang dan birokrasi yang terlalu rumit. Pada akhirnya,
memang biaya produksi menjadi lebih murah karena harga bahan baku yang turun akibat
pembebasan bea masuk, akan tetapi persyaratan-persyaratan administratif yang tidak
transparan mengakibatkan pungutan-pungutan tidak resmi menjadi besar. Pasar akan tetap
terbebani, karena produsen akan tetap akan menghitung pungutan-pungutan tersebut menjadi
biaya produksi.
Penyesuaian juga dilakukan terhadap daftar negatif investasi. Keputusan Presiden No.
96 Tahun 2000 yang disempumakan dengan Keputusan Presiden No. 118 Tahun 2000 telah
menghapuskan persyaratan kandungan lokal dalam memperoleh persetujuan investasi.
56
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah telah melakukan
penyesuaian peraturan-peraturan yang mengandung TRIMs.Tampaknya pemerintah telah
melakukan langkah antisipasi lebih awal, mengingat bahwa perundingan lebih lanjut tentang
kebijakan investasi di WTO da.pat mengarah pada dilarangnya kebijakan yang menghambat
masuk modalnya asing, termasuk persyaratan ekspor dan divestasi. Meskipun di sisi lain
Pemerintah menyatakan menolak adanya perundingan tentang kebijakan investasi secara
komprehensif, karena hal ini merupakan urusan dalam negeri suatu negara dan menyangkut
masalah kedaulatan negara. Ketergantungan negara ini terhadap modal asinglah yang
terutama menyebabkan pergesaran kebijakan tersebut.
3.3. Belum Ada Kewajiban Hukum untuk Menyesuaikan Semua Bentuk Persyaratan
Penanaman Modal
Performance requirement yang dikenakan terhadap pemodal asing dalam rejim
hukum pemanaman modal asing di Indonesia sebenamya tidak saja terbatas pada persyaratan
local content requirement dan trade balancing policy, akan tetapi masih terdapat beberapa
bentuk lain dari performance requirement, seperti pembatasan bidang usaha, pembatasan
pemilikan saham oleh pihak asing, persyaratan alih teknologi, kewajiban rnengutamakan
tenaga kerja domestik atau pembatasan penggunaan tenaga kerja asing, kewajiban divestasi
dan lain sebagainya. Namun meskipun demikian sampai saat ini belum ada kewajiban yang
mengikat secara hukum untuk menghapuskan pembatasan-pembatasan yang demikian dalam
forum WTO, kecuali yang sudah ditetapkan dalamAgreement on TRIMs.
Oleh karena Agreement on TRIMs tersebut lingkup berlakunya hanya terbatas pada
persyaratan-persyaratan tertentu saja, sebagaimana dijelaskan di atas, maka terhadap
performance requirement lainnya masih dibenarkan untuk diterapkan oleh negara-negara
host country.
57
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
General Agreement on Trade in Services (GATS), mengandung sejumlah larangan
dalam persyaratan investasi asing yang terkait dengan bentuk investasi commercial presence,
akan tetapi keberlakuan Kesepakatan ini tidak otomatis menyebabkan negara-negara
menghapuskan kebijakan investasi yang tidak konsisten dengan GATS karena keberlakuan
GATS dibatasi oleh specific of commitment yang diberikan oleh negara-negara peratifikasi.
Jadi, sejauh suatu negara belum memberikan komitmen khusus untuk menghapuskan
performance requirement, maka negara yang bersangkutan masih dibenarkan untuk
menerapkan kebijakan/ persyaratan pembatasan yang demikian. Sistim specific of
commitment dalam kesepakatan investasi asing secara komprehensif juga diterapkan dalam
Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).
Dalam lingkup bilateral (ASEAN Free Trade Area), dikenal pula ASEAN Investment
Agreement yang juga menuntut adanya perlakuan sama dan penghapusan performance
requirement yang lebih luas dari Agreement on TRIMs, namun meskipun demikian
kesepakatan ini terbatas pada negara-negara sekawasan, Jadi, performance requirement (di
luar ketentuan ,Agreement on TRIMs), masih dapat dikenakan pada negara-negara
non-AFTA.
Saat ini telah ada upaya secara multilateral untuk menciptakan sebuah rejim hukum
investasi multilateral yang komperehensif. Pengaturan investasi tidak saja akan meliputi
ketentuan performance requirement, tetapi juga masalah-masalah lainnya dalam kebijakan
investasi asing suatu negara. Perundingan ini kemungkinan dapat menertibkan semua bentuk
persyaratan penanaman modal, akan tetapi sampai saat ini perundingan tersebut belum
mencapai kesepakatan karena perbedaan pandangan dan kepentingan yang sangat dalam
antara negara-negara home country atau negara donor ( umumnya adalah negara-negara
maju dengan negara-negara host country atau negara recipient (umumnya adalah negara
sedang berkembang).
58
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu, selanjutnya dapat dirumuskan
kesimpulan sebagai berikut :
1. Kesepakatan Perdagangan yang Terkait dengan Peraturan Penanaman Modal
(Agreement on TRIMs), memperlihatkan bahwa hukum tentang investasi (asing) memiliki
kaitan erat dengan hukum perdagangan internasional. Dengan demikian hak untuk
menentukan sendiri kebijakan investasi asing yang selama ini dipandang sebagai
kedaulatan absolut suatu negara akan mengalami pergeseran, karena adanya sejumlah
pembatasan terhadap kedaulatan negara untuk menentukan pilihan dalam kebijakan
investasi asing.
Keterkaitan antara dua disiplin hukum tersebut di atas, didasarkan pada pertimbangan
bahwa adakalanya pelaksanaan kedaulatan negara host country untuk menerapkan
kebijakan investasi asing melalui persyaratan-persyaratan penanaman modal, adakalanya
menghambat arus perdagangan bebas barang dan jasa yang telah disepakati dalam
sejumlah kesepakatan internasional di bawah rejim WTO. Parameter yang dipergunakan
dalam menghubungkan kedua disiplin hukum tersebut di atas dalam Agreement on
TRIMs adalah sejauh mana persyaratan penanaman modal yang diterapkan suatu negara
mengakibatkan dampak diskriminatif terhadap barang-barang impor atau memberikan
perlakuan khusus yang lebih baik terhadap barang domestik dan sejauh mana persyaratan
investasi tersebut oleh negara host country diperpunakan sebagai bentuk hambatan
quantitative terhadap barang impor. Sehingga dihasilkan bentuk-bentuk performance
requirement yang dipandang tidak konsisten dengan Article III.4 dan IX.1 GATT seperti
local content requirement, trade balancing policy ,foreign exchange limitation, dan
export restriction.
Dengan demikian, sasaran dari pendisiplinan performance requirement yang
dicantumkan dalam Agreement on TRIMs adalah untuk mencapai iklim perdagangan
dan investasi internasional yang terprediksi, tidak terdistorsi, dan transparan.
59
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
2. Pada dasarnya perguangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pada saat
berlangsungnya perundingan Agreement on TRIMs telah mencapai kemajuan yang cukup
signifikan. Dengan kerjasama yang semakin kuat, negara-negara berkembang dapat
mengatasi keinginan negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada dan Jepang yang lebih
menginginkan agar perundingan tentang TRIMs ditujukan untuk mengatur semua bentuk
performance requirement.
Namun meskipun demikian, ratifikasi dengan single undertaking tidak
memungkinkan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk menolak hasil
perundingan yang menghasilkan Agreement on TRIMs. Negara-negara berkembang dapat
dikatakan telah memanfaatkan sistim single undertaking secara lebih baik. Alasannya,
karena penolakan terhadap Agreement on TRIMs sebagai salah satu paket dalam final act
of Uruguay Round memiliki konsekuensi tertundanya implementasi hasil perundingan
perdagangan lainnya yang justru negara-negara berkembang memiliki kepentingan yang
lebih besar. Oleh karena itu, pertimbangan tentang keuntungan dari perluasan akses pasar
dan perbedaan tingkat pengenaan tariff serta upaya melindungi diri dari tindakan
unilateral negara-negara maju untuk menerima Agreement on TRIMs adalah sejumlah
pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Terkait dengan kewajiban hukum berdasarkan Agreement on TRlMs, Pemerintah
Indonesia telah melakukan penyesuian peraturan perundang-undangan nasional.
khususnya kebijakan penanaman modal yang mengandung performance requirement
dalam bentuk local content requirement dan trade balancing policy. Diharapkan
dengan penyesuian tersebut, iklim investasi di Indonesia dapat lebih menarik minat
investor asing untuk mengisi kekurangan dana investasi pembangunan nasional.
60
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Namun meskipun demikian, penyesuian lebih lanjut terhadap performance
requirement lainnya di luar kewajiban berdasarkan Agreement on TRIMs, seperti
pembatasan bidang usaha, pembatasan penguasaan saham, kewajiban alih teknologi,
pembatasan penggunaan tenaga asing, dan persyaratan lainnya, harus benar-benar
dipertimbangkan berdasarkan kepentingan pencapaian sasaran pembangunan nasional.
Apalagi mengingat sampai saat ini belum ada piranti hukum investasi maupun
perdagangan internasional yang melarang kebijakan yang demikian.
Berdasarkan uraian-uraian terdahulu dan memperhatikan sejumlah kesimpulan diatas,
perlu dirumuskan saran-saran sebagai berikut :
1. Negara-negara berkembang harus lebih mempererat kerjasama dalam menghadapi
perundingan perdagangan multilateral, khususnya menyangkut masalah kebijakan
investasi. Mengingat bahwa Agreement on TRIMs masih dimungkinkan untuk ditinjau
kembali dan dilengkapi dengan Persetujuan di Bidang Penanaman Modal (Multilateral
Agreement on Investment). Negara sedang berkembang secara individual akan lebih sulit
menghadapi tekanan negara-negara maju dalam setiap perundingan. Berbeda halnya jika
negara-negara berkembang yang jumlahnya mayoritas bersatu memperjuangkan
kepentingannya.
Di sisi lain, WTO juga sebaiknya harus memperhatikan secara proporsional
pencapaian tujuan liberalisasi perdagangan dan investasi dengan kepentingan negara
berkembang dan terbelakang dalam upaya mereka mencapai sasaran-sasaran
pembangunan yang sesuai dengan kondisi ekonomi negara-negara tesebut.
Kecenderungan WTO sebagai alat bagi negara maju untuk memaksakan kepentingan
mereka harus dihindarkan, karena jika tidak maka WTO akan mengalami kesulitan
melaksanakan program-programnya disebabkan akan terjadinya krisis kepercayaan dari
negara-negara berkembang yang justru jumlahnya mayoritas. Keadaan seperti lambat laun
dapat mengakibatkan terjadinya krisis legitimasi terhadap WTO.
61
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
2. Kajian-kajian yang lebih mendalam terhadap WTO dan semua sektor perundingannya
harus lebih ditingkatkan, agar Pemerintah, mendapatkan masukan yang lebih luas dalam
menentukan sikap pada setiap perundingan. Perkembangan-perkembangan perundingan
perdagangan multilateral harus terus diikuti agar dapat diantisipasi secara lebih dini
berbagai kemungkinan dan dapat diidentifikasi sejumlah peluang-peluang ekonomis yang
dapat dimanfaatkan untuk mendukung percepatan pencapaian sasaran pembangunan
nasional. Dalam melaksanakan langkah tersebut, kepentingan nasional Negara Kesatuan
Republik Indonesia haruslah tetap menjadi kerangka acuan utama.
3. Dalam menghadapi perundingan lebih lanjut yang kemungkinan akan mengarah pada
pembentukan rejim tunggal investasi internasional, maka kepada negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, harus tetap memperjuangkan terbukanya ruang bagi
pemerintah host country untuk menentukan pilihan kebijakan penanaman modal asing
yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pembangunan dan kondisi ekonomi
negara-negara berkembang dan terbelakang. Hal ini penting mengingat bahwa masalah
investasi asing tidak saja berdimensi perdagangan internasional semata, tetapi lebih luas
lagi menyangkut masalah kebijakan politik, ekonomi secara lebih luas, budaya, dan
dimensi pembangunan. oleh karena itu, menjadikan keterkaitan investasi dan liberalisasi
perdagangan semata sebagai alasan pembentukan rejim investasi multilateral tanpa
mempertimbangkan secara proporsional dimensi pembangunan suatu negara, bukanlah
sebuah pertirnbangan yang tepat bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
62
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
DAFTAR PUSTAKA
Anders, George, Merchants of Debt, KKR and the Mortagaging of Amerikan Business.
BasicBook, New York. 1993.
Bisnis Indonesia, “Ambivalensi RI dalam Membuka Pasar Merugikan
Swasta”, Harian Bisnis Indonesia, 15 Juli 1994.
Civello, Paul “The TRIM's Agreement : A Filed Attempt at Investment Liberalization”,
Minnesota Journal of Global Trade, 1999.
Canada Administration of the Foreign Investment Review Act, FIRA Panel
Report, Februari 7th 1984.
Curtiss, Catherine and Cameroon, Kathryn, “The United State-Latin American TradeLaws ",
Newyork Journal of International Law, 1995.
Djalil, Hasim, Politik Luar Negeri Indonesia dalam Dasa Warsa 1990, CSIS, Jakarta, 1997.
Ebenstein, William and Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (terjemahan), Edisi
Sembilan, Erlangga, Jakarta, 1990.
Edward, H, Robert, Jr. and Lester- N.Simon, “Toward A More Comprehensif World Trade
Organization ; Agreement on Trade-Related Investment Measures”. Stanford
Journal of International Law. 1997.
EEC, Regulation on Imports of Part and Components, BISD 37S/132, 197,
dikutip dari http://www.wto.org/english/tratop e/dispu e/88scrdvr.wpf
63
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
EEC - Regulation on Import of Parts and Component : Report by the Panel
adopted on 16th May 1990, Document L/6657 -37S/132.
Fontheim, G. B., Claude and Gadbaw, R.Micheal, “Trade Related Performance Requirement
under the GATT-MTN System and US Law”, Law and Policy International
Bussiness, 1985.
Hata, Aspek-Aspek Hukum dan Non HukumPerdagangan Internasional dalam Sistem GATT
dan WTO, Bandung, STBH Press, 1998.
Hatta, Mohammad, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Tinta Mas, Djakarta.
1953.
Jackson, H. John, The World Trading System ; Law and Policy of International Economic
Relations, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts, London, England,
1989.
Klenfeld, George and Wengel, Deborah, Foreign Investment, International Law Journal,
Summer, 1996.
Krugman R, Paul dan Obstfeld , Maurice , International Economics ; Theory and Policy
Second edition, 1991.
Long. Oliver, !',ow and Its /,imitation in the (;A77'Ahd1da1era1 Trade ~vs/cin, Martinus
Nijhofl' Publisher, 1987.
Morrisey, et.all, The GATT Agreement on Trade Related Investment Measures: Implications
for Developing Countries and Their Relationship with Transnational
Corporations, The Journal of Development Studies, London, June, 1995, Vol.
31, Iss No. 5.
64
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Mosler, Herman, The International Society as a Legal Community, Sijtihoff & Nordhoff,
USA, 1980.
Pangestu, Marie, “Perjanjian lnternasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan
APEC”, Pertamina - Komite Nasional Indonesia - World Energy Council,
Jakarta, 1996.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1999 tentarng
Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 1994 tentang
Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Republik Indonesia. Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1996
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
31/MP/SK/2/ 1996
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustnan dan Perdagangan RI
No. 275/MPP/Kep/6/1999 tentang Industri Kenderaan Bermotor.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI
No. 276/MPP/Kep/6/1999 tentang Pendaftaran Tipe dan Varian Kenderaan
Bermotor.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 344/KMK.01/1999
tentang Ketentuan Umum Menginterpretasi pada Harmonized System.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 345/KMK.01/l999
tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Bahan Baku untuk pembuatan
Komponen Kenderaan Bermotor.
65
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan R1 No. 345/KMK.01/1999
tenting Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan untuk
Pembuatan Komponen, Peralatan, dan Karoseri Kenderaan Bermotor Khusus.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 347/KMK.01/1999
tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan atau Bahan dari
Gudang Berikat untuk Diolah, Dirakit atau Dipasang pada Barang Lain untuk
Pembuatan Kenderaan Bermotor dengan Tujuan Ekspor.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 34R/KMK.01/1999
tentang Macam dan Jenis Kenderaan Bermotor yang Dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 349/KMK.01/1999
tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997
tentang Kawasan Berikat sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan
Keputusan Menteri Keuangan No. 292/KMK.01/1998.
Rajagukguk, Erman, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, Universitas
Indonesia, Jakarta, 1995.
Russin et.ll, “Trade Related Investment Measures and Vietnams Law”, US-Vietnam Trade
Council, Education Forum, 2002.
'etnam Tr,
United Nations. The Impact of Trade Related Investment Measures; Theory,
Evidency and Policy Implication; United Nations, New York, 1991.
66
Mahmul Siregar: Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal, 2005 USU Repository©2006
WT0 Dispute Resolution Panel Report on Indonesia – Certain Measures
Affecting the Automobile Industry, Doc. WT/DS54R,WT/DS55/R,
WT/DS59/R, WT/DS64/R, Dokumen dapat diakses padaWebsite WTO
Http://www.wto.org/english/tratop_e/disput_ e
67