daftar isi sampul dalam prasyarat gelar...kewarganegaraan yang tunduk pada hukum kewarganegaraannya...
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ......................................................................................... i
PRASYARAT GELAR .................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................ iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................ v
UCAPAN TERIMAKASIH........................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
ABSTRACT .................................................................................................... x
RINGKASAN ................................................................................................. xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................... 13
1.3 Orisinalitas Penelitian ................................................... 13
1.4 Tujuan Penelitian .......................................................... 17
1.4.1 Tujuan Umum .................................................... 17
1.4.2 Tujuan Khusus .................................................... 17
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................ 17
1.5.1 Manfaat Teoritis ................................................. 18
1.5.2 Manfaat Praktis .................................................. 18
1.6 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran .................... 18
1.7 Metode Penelitian ........................................................ 54
1.7.1 Jenis Penelitian ................................................... 55
1.7.2 Jenis Pendekatan ................................................ 56
1.7.3 Sumber dan Jenis Bahan Hukum ....................... 56
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .................. 60
1.7.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum . 60
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
2.1 Pengertian Perkawinan ...................................................... 62
2.2 Syarat Sahnya Perkawinan ................................................ 67
2.3 Akibat Perkawinan ............................................................ 77
2.4 Perkawinan Campuran ...................................................... 83
2.5 Perjanjian Perkawinan ....................................................... 85
2.5.1 Pengertian & tujuan perjanjian perkawinan .......... 85
2.5.2 Syarat sah perjanjian perkawinan .......................... 91
2.5.3 Bentuk perjanjian perkawinan ............................... 94
2.5.4 Isi perjanjian perkawinan ....................................... 98
BAB III PENGATURAN VALIDITAS PERJANJIAN
PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN CAMPURAN
YANG DIBENTUK DI LUAR WILAYAH INDONESIA
YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT BATAS WAKTU
PENDAFTARAN
3.1 Pasal 16 Algemene Bepalingen Van Wetgeving ................ 104
3.2 Pengaturan Validitas Perjanjian Perkawinan Dalam
Perkawinan Campuran Menurut UU Perkawinan ............. 111
3.3 Pengaturan Validitas Perjanjian Perkawinan Dalam
Perkawinan Campuran Menurut PP 9/1975 ...................... 126
BAB IV PENGAKUAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN
PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN CAMPURAN
YANG DIBENTUK DI LUAR WILAYAH INDONESIA
YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT BATAS WAKTU
PENDAFTARAN
4.1 Pengakuan Hukum Dalam Peraturan Perundang-
Undangan ........................................................................... 130
4.2 Pengakuan Hukum Dalam Praktek ................................... 135
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ........................................................................ 144
5.2 Saran .................................................................................. 145
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 146
ABSTRAK
Terdapat dua keadaan perihal perjanjian perkawinan dalam perkawinan
campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia yaitu perjanjian perkawinan
yang memenuhi syarat batas waktu pendaftaran dan yang tidak memenuhi syarat
batas waktu pendaftaran. UU Perkawinan hanya mengatur mengenai syarat batas
waktu pendaftaran perjanjian perkawinan tersebut yaitu diatur dalam Pasal 56 ayat
(2).
Permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah pengaturan validitas perjanjian perkawinan dalam perkawinan
campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia yang tidak memenuhi syarat
batas waktu pendaftaran dan Apakah perjanjian perkawinan dalam perkawinan
campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia yang tidak memenuhi syarat
batas waktu pendaftaran dapat diakui di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan jenis
pendekatan yang digunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan
konsep. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik
pengumpulan bahan hukum menggunakan sistem kartu, teknik analisis bahan
hukum dengan teknik deskriptif, evaluasi, dan argumentasi. Terkait permasalahan
akan dianalisis dengan teori perjanjian, teori pembentukan peraturan perundang-
undangan, teori validitas norma, teori keadilan, dan asas lex loci celebrationis.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan validitas perjanjian
perkawinan dalam perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia
yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran tidak diatur dalam UU
Perkawinan, namun pengaturan validitas perjanjian perkawinan dalam perkawinan
campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia diatur dalam Pasal 56 UU
Perkawinan, Pasal 12 huruf h PP 9/1975, serta Pasal 16 AB. Pasal 56 ayat (2) UU
Perkawinan hanya mengakui perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran
yang memenuhi syarat batas waktu pendaftaran. Jadi, perihal perjanjian
perkawinan dalam perkawinan campuran yang tidak memenuhi syarat batas waktu
pendaftaran, dapat tetap diakui apabila mengajukan permohonan penetapan
pengadilan agar perjanjian tersebut dapat dicatatkan pada akta perkawinan.
Kata kunci : validitas, perjanjian perkawinan, perkawinan campuran, di
luar wilayah Indonesia
ABSTRACT
There are two circumstances of a prenuptial agreement in a mixed marriage
formed outside the territory of Indonesia, that is marriage agreement that meet
the deadline for registration and that does not meet the registration deadline. The
Law of Marriage only regulates the terms of the deadline for registration of the
prenuptial agreement that is regulated in Article 56 of paragraph (2).
The issues that can be raised in this study is how the regulation of the
validity of the Prenuptial agreement in a mixed marriage formed outside the
territory of Indonesia that does not meet the registration deadline and whether the
marriage agreement in a mixed marriage formed outside the territory of
Indonesia that does not meet the deadline of registration can recognized in
Indonesia.
This study is a normative legal research with the type of approach used the
statute approachand conceptual approach. The sources of legal materials used in
the study consist of primary legal materials, secondary legal materials and
tertiary legal materials. The techniques of collecting legal materials using a card
system, and the analysis techniques of legal materials was conducted by using
descriptive techniques, evaluation, and argumentation. Related issues will be
analyzed by the theory of agreement, the theory of formation of legislation, the
theory of validity norms, the theory of justice, and the principle of lex loci
celebrationis.
The results of the study indicate that the regulation of the validity of the
prenuptial agreement in a mixed marriage formed outside the territory of
Indonesia that does not meet the registration deadline not regulated in the Law of
Marriage, but the regulation of the validity of the prenuptial agreement in a mixed
marriage formed outside the territory of Indonesia is regulated in Article 56 of the
Law of Marriage, Article 12 Letter H of Government Regulation Number 9 of
1975 and Article 16 AB. Article 56 paragraph (2) of the Marriage Law only
recognizes prenuptial agreements in mixed marriages that meet the deadline for
registration. In the case of a prenuptial agreement in a mixed marriage that does
not meet the requirement of the registration deadline, it may still be admitted
when applying for judicial appointment so that the agreement can be registered
on the marriage deed.
Keywords: validity, prenuptial agreement, mixed marriage, outside the territory
of Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
karena sejak lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia selalu di dalam
lingkungan masyarakat. Dengan melangsungkan perkawinan, maka sudah
menjadi kodrat manusia untuk hidup berdampingan dengan sesama manusia dan
berusaha untuk meneruskan keturunan.
Salah satu peristiwa penting dalam kehidupan setiap manusia adalah
perkawinan. Seorang pria dan seorang wanita yang melangsungkan perkawinan
akan menimbulkan akibat lahir maupun batin di antara mereka. Bukan hanya
mengakibatkan timbulnya akibat lahir dan batin, adapun akibatnya terhadap
masyarakat dan juga terhadap harta kekayaan yang diperoleh di antara mereka
baik sebelum, selama, maupun sesudah perkawinan berlangsung
Menurut hukum adat di Indonesia, perkawinan merupakan perikatan adat
dan sekaligus juga merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan yang tidak
hanya berarti sebagai perikatan perdata. Jadi, di dalam hukum adat, terjadinya
suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-
hubungan keperdataan seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama,
kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua tetapi juga menyangkut hubungan-
hubungan adat istiadat kekeluargaan, kekerabatan, ketetanggaan, kewarisan, serta
menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.1
Adanya beragam pengaruh di dalam masyarakat tersebut mengakibatkan
terjadinya banyak aturan yang mengatur masalah perkawinan. Perbedaan dalam
cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan,
membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, dan kekayaan
seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.2
Perbedaan dalam hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sebelum
adanya pengaturan tentang perkawinan dalam bentuk Undang-undang disebabkan
oleh perbedaan budaya dan agama yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, aturan
yang berbeda mengenai perkawinan dalam sebuah agama dengan agama lainnya
dan budaya suatu daerah dengan budaya daerah lainnya merupakan penyebab dari
kesulitan untuk mengatur hukum perkawinan. Dengan adanya perbedaan tersebut,
maka sering menimbulkan kesulitas bagi keluarga maupun bagi keturunannya.
Di Indonesia, aturan mengenai perkawinan tidak saja dipengaruhi adat
setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai macam ajaran agama. Sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (yang
selanjutnya akan disebut UU Perkawinan), bangsa Indonesia sudah mengenal
pemberlakuan hukum secara plural yang diterapkan berdasarkan golongan
penduduk.3
1Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan
Hukum Adat dan Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 8. 2Ibid. 3Ibid, h. 9.
Pada masa pemerintahan kolonial menerapkan kebijakan penggolongan
penduduk Indonesia atas golongan sebagaimana tertuang dalam Indische
staatsregeling (IS), yaitu : golongan penduduk Eropa, golongan Pribumi dan
golongan penduduk Timur Tengah yang masing-masing dibedakan perlakuan
status perdatanya. Ketentuan hukum yang beragam tersebut berlaku terhadap
permasalahan perdata (hukum perdata) pada umumnya, kecuali golongan
Indonesia asli non Kristen, dirangkum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (yang selanjutnya akan disebut KUHPerdata) atau biasa disebut juga
Burgerlijk Wetboek (BW). Salah satu ketentuan yang hingga kini masih berlaku
adalah yang berkenaan dengan pengaturan harta dalam perkawinan. Pengaturan
tersebut telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dan menjadi
wacana perdebatan dalam pembaruan hukum nasional Indonesia.
Dengan adanya keadaan tersebut, demi menciptakan kepastian hukum
dalam perkawinan yang dapat mengatur semua warga, agama dan golongan serta
kebudayaan yang ada di Indonesia, maka pemerintah membuat unifikasi dalam
hukum perkawinan. Pemerintah akhirnya mengeluarkan UU Perkawinan pada
tanggal 2 Januari 1974 yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974. Budaya dan agama yang ada di Indonesia tetap berpijak
pada keanekaragaman suku bangsa dan budaya serta adat-istiadat bangsa
Indonesia dan tentunya berlaku bagi semua golongan dan daerah diseluruh
wilayah Indonesia merupakan sumber dari UU Perkawinan yang bersifat nasional.
Dibentuknya UU Perkawinan ini sudah pasti berdasar kepada Undang-
Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Dapat dilihat
dalam perihal menimbang dan mengingat dalam UU Perkawinan. UU Perkawinan
perlu dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk kepentingan seluruh warga negara,
atas dorongan falsafah Pancasila, serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional.
Beranjak dari hal tersebut, misi UU Perkawinan adalah diperuntukkan bagi setiap
orang yang memiliki atribut sebagai warga negara Indonesia, dalam arti sesama
warga negara Indonesia secara keseluruhan, tidak lagi tunduk pada aturan
perkawinan yang berbeda-beda seperti masa sebelumnya. Pembuatan UU
Perkawinan juga menunjukkan kerja nyata pemerintah yang bertekad membuat
kodifikasi pengaturan mengenai perkawinan, demi menggantikan kodifikasi
peninggalan Belanda yang tentunya untuk perangkat perkawinan yang dikemas
ini, wajib didasarkan pada falsafah bangsa.4 Dengan berlakunya UU Perkawinan,
maka telah ada unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia, sehingga
pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap semua warga
negara.
Kemajuan di era globalisasi ini berdampak terhadap perkembangan-
perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal tersebut juga mempengaruhi
pelaksanaan perkawinan antara Warga Negara Indonesia (yang selanjutnya akan
disebut WNI) dengan Warga Negara Asing (yang selanjutnya akan disebut
WNA), atau yang sering dikenal dengan perkawinan campuran. Perkawinan
campuran merupakan perkawinan yang dilaksanakan oleh para pihak yang
berbeda kewarganegaraan. Menurut UU Perkawinan Pasal 57 menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua
4H. Moch. Isnaeni, 2016, Hukum Perkawinan Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, h.
34.
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia. Secara rinci mengenai perkawinan
campuran diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 UU Perkawinan.
Perkawinan campuran dilaksanakan oleh para pihak yang berlainan
kewarganegaraan yang tunduk pada hukum kewarganegaraannya masing-masing.
Pekawinan campuran ini dapat berlangsung apabila sudah sesuai dan tunduk pada
hukum yang ada di negara salah satu mempelai. Berlangsungnya perkawinan
campuran ini, maka para pihak harus memilih salah satu kewarganegaraan yang
akan menentukan hukum mana yang berlaku bagi para pihak tersebut.
Perkawinan campuran yang diatur dalam UU Perkawinan adalah
perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan yaitu antara orang
Indonesia dengan orang asing. Hal tersebut penting diatur, mengingat eksistensi
bangsa dan negara Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari konteks pergaulan
transnasional dan atau internasional. Pengaruh dari gejala regionalisasi,
internasionalisasi atau globalisasi diberbagai bidang kehidupan manusia,
mengakibatkan hubungan antar manusia semakin luas dan tidak terbatas, sehingga
sampai pada perkawinan antar kewarganegaraan. Perkawinan campuran yang
berbeda kewarganegaraan ini semakin meningkat jumlahnya, meskipun pada
kenyataannya banyak yang menghadapi permasalahan.
Di Indonesia, sesuai Pasal 1 UU Perkawinan, maka perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan semacam itu yang berlangsung antara seorang
pria dan wanita yang masing-masing tunduk pada sistem hukum nasional yang
berbeda tentunya akan memunculkan persoalan-persoalan Hukum Perdata
Internasional (yang selanjutnya akan disebut HPI) dalam bidang hukum keluarga.
Secara teoritis dalam HPI dikenal dua pandangan utama yang berusaha membatasi
pengertian perkawinan campuran yaitu :
a. Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan campuran adalah
perkawinan yang berlangsung antara pihak-pihak yang berbeda domicile-
nya sehingga terhadap masing-masing pihak berlaku kaidah-kaidah hukum
intern dari dua sistem hukum yang berbeda.
b. Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan dianggap sebagai
perkawinan campuran apabila para pihak berbeda kewarganegaraannya
atau nasionalitasnya.5
Perkawinan WNI yang dilangsungkan di luar negeri berlaku Pasal 56 ayat
(1) UU Perkawinan, yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri
berlaku asas dalam HPI yaitu asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti
perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum negara dimana perkawinan
dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan UU Perkawinan. Dalam
Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan diatur bahwa dalam waktu 1 (satu) tahun setelah
suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka
harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
5Bayu Seto Hardjowahono, 2006, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 275.
Perkawinan sebagai lembaga hukum, mempunyai akibat yang penting dalam
kehidupan para pihak yang melangsungkan perkawinan.6 Perihal harta benda
bersama dalam perkawinan merupakan salah satu akibat hukum yang timbul
dalam perkawinan. Pada Bab VII, Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU
Perkawinan telah mengatur tentang harta benda bersama dalam perkawinan.
Pengaturan harta benda dalam perkawinan merupakan sebuah permasalahan
tersendiri, karena tidak jarang dari harta benda bersama dalam perkawinan sering
menimbulkan permasalahan dalam penggunaannya. Mencakup juga perihal
putusnya perkawinan atau sering disebut dengan perceraian, harta bersama dalam
perkawinan sering menjadi permasalahan yang sangat sulit diselesaikan dalam
pembagiannya, bahkan tidak jarang juga menjadi permasalahan yang akan
menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pihak yang bercerai untuk melanjutkan
hidupnya.
Untuk menghindari hal-hal meresahkan yang mungkin timbul di kemudian
hari dalam suatu perkawinan, UU Perkawinan telah memberikan solusi dengan
melakukan penyimpangan terhadap pembentukan harta bersama yaitu dengan
jalan membentuk perjanjian perkawinan. Sebelum diundangkannya UU
Perkawinan, mengenai perjanjian perkawinan tersebut diatur dalam KUHPerdata
yaitu pada BAB VII, Pasal 139 – 167. Pengaturan mengenai perkawinan telah
secara khusus diatur dalam UU Perkawinan, oleh karena itu setelah berlakunya
UU Perkawinan, pengaturan lain sepanjang telah diatur dalam UU Perkawinan
dinyatakan tidak berlaku sesuai Pasal 66 UU Perkawinan dan apabila sepanjang
6J. Satrio, 1993, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bhakti,Bandung, h. 28.
tidak diatur dalam UU Perkawinan dapat tetap berlaku seperti halnya hukum adat
dan hukum agama.
Mengenai perjanjian perkawinan ini diatur dalam UU Perkawinan, Pasal 29
yang berbunyi :
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut,
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan,
(3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Perjanjian perkawinan merupakan persetujuan antara calon suami atau istri,
untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka, yang
menyimpang dari persatuan harta kekayaan. Perjanjian perkawinan merupakan
solusi bagi para pihak yang akan melangsungkan perkawinan agar tidak terjadi
percampuran harta benda dalam perkawinan. Hal ini memiliki tujuan agar di
kemudian hari apabila di antara para pihak tersebut terjadi permasalahan terkait
dengan harta benda dalam perkawinannya seperti halnya memiliki utang maka
salah satu harta masih dapat dilindungi. Perjanjian perkawinan sebagai suatu
perjanjian mengenai harta benda suami istri dimungkinkan untuk dibentuk dan
diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh
Undang-Undang.7 Perjanjian Perkawinan dapat dibuat di hadapan Notaris dengan
akta otentik. Sesuai dengan kewenangan Notaris dalam Undang-Undang Nomor 2
7Subekti, 2004, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Cetakan Keempat, Intermasa,
Jakarta, h.9.
Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris Pasal 15 ayat (1) yaitu membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta otentik. Akan tetapi tidak sedikit pula para pihak yang membuat
perjanjian kawin tidak dengan akta otentik karena dalam Pasal 29 UU Perkawinan
tidak diatur bahwa bentuk perjanjian kawin harus dalam bentuk akta otentik
maupun surat dibawah tangan, cukup tertulis saja.8
Bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan campuran sesuai Pasal 56
ayat (2) haruslah mendaftarkan perkawinannya setelah kembali ke Indonesia
paling lambat 1 (satu) tahun. Apabila dalam pelaksanaan perkawinan campuran
tersebut terdapat perjanjian perkawinan, maka perjanjian tersebut juga harus
didaftarkan secara bersamaan dengan pendaftaran perkawinan karena sesuai
dengan Pasal 12 huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (yang
selanjutnya akan disebut PP 9/1975), bahwa akta perkawinan memuat adanya
perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak tersebut agar nantinya dapat
secara jelas berlaku bagi para pihak dan pihak ketiga yang terkait.
Para pihak yang melangsungkan perkawinan campuran memiliki hak
subyektif dalam memilih jalan keluar untuk mengatur harta benda dalam
perkawinan dengan membentuk perjanjian perkawinan yang mengatur pemisahan
harta mereka. Pada prakteknya, para pihak yang melangsungkan perkawinan
8H. Moch. Isnaeni, op.cit, h. 85.
campuran disarankan untuk membuat perjanjian perkawinan. Hal ini dimaksudkan
untuk menekan permasalahan yang nantinya mungkin timbul di dalam
perkawinan tersebut. Dengan dibentuknya perjanjian perkawinan dalam
perkawinan campuran tersebut maka akan berdampak terhadap beberapa hal
terkait dengan akibat daripada perkawinan tersebut seperti pembelian benda
bergerak maupun tidak bergerak yaitu rumah atau hak atas tanah. Hal ini
bertujuan agar WNA tidak dengan mudahnya dapat memiliki hak atas tanah
dengan cara menikahi WNI karena WNA sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya
akan disebut UUPA) tidak dapat memiliki hak milik atas tanah di Indonesia.
Selain karena kepemilikan hak atas tanah, perjanjian perkawinan dibentuk terkait
dengan permasalahan pembelian saham perseroan, perceraian, anak serta
pewarisan.
Para pihak yang memilih untuk melangsungkan perkawinan campuran dapat
melaksanakannya di Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia. Dengan
dilangsungkannya perkawinan campuran tersebut maka beberapa pihak memilih
untuk membentuk perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan yang dibuat
tersebut mengatur mengenai status harta benda yang akan diperoleh pada saat
perkawinan berlangsung.
Mengingat perkawinan dan perjanjian perkawinan dapat dilangsungkan di
negara mana saja berdasarkan hukum yang berlaku di negara tersebut, maka
terdapat para pihak yang melangsungkan perkawinan campuran dan membentuk
perjanjian perkawinan tersebut di luar wilayah Indonesia. Oleh karena itu di
dalam praktek terdapat dua keadaan perihal perjanjian perkawinan dalam
perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia yaitu :
1) Perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang dibentuk di
luar wilayah Indonesia yang memenuhi syarat batas waktu pendaftaran;
2) Perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang dibentuk di
luar wilayah Indonesia yang tidak memenuhi syarat batas waktu
pendaftaran.
Perihal dua keadaan tersebut, sebagaimana termuat di dalam Penetapan
Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 204/Pdt.P/2015/PN Dps mengenai perjanjian
perkawinan dalam perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia
yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran. Diajukannya permohonan
penetapan pengadilan tersebut didasarkan pada para pihak yang telah
melangsungkan perkawinan dan membentuk perjanjian perkawinan di luar
wilayah Indonesia. Pada saat para pihak tersebut kembali ke Indonesia sesuai
dengan Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan, perkawinan mereka telah dicatatkan
secara sah oleh Kantor Catatan Sipil Kabupaten Badung, namun para pihak tidak
secara bersamaan mencatatkan perjanjian perkawinan yang telah dibentuk
sebelum perkawinan berlangsung di luar wilayah Indonesia. Karena hal tersebut
maka pihak catatan sipil setempat menolak pencatatan perjanjian perkawinan
tersebut karena telah lewatnya waktu satu tahun sejak para pihak tersebut kembali
ke Indonesia. Oleh karena itu, pihak catatan sipil meminta para pihak tersebut
untuk mengajukan permohonan penetapan pengadilan Denpasar agar perjanjian
perkawinan mereka dapat dicatatkan di dalam pencatatan perkawinan yang telah
dicatatkan secara sah oleh Kantor Catatan Sipil Kabupaten Badung. Dengan
adanya permasalahan pencatatan perkawinannya, maka terdapat kaitannya
terhadap perjanjian perkawinan yang dicatatkan juga pada saat pencatatan
perkawinan tersebut sesuai dengan yang diatur dalam PP 9/1975. Jadi, mengenai
kevaliditasan perjanjian perkawinan yang dibentuk di luar wilayah Indonesia
dapat dianalisis lebih mendalam apakah hanya dapat dilihat dari aturan
pendaftaran secara administrasi atau ada hal lain yang berpengaruh terhadap
kevaliditasannya. Perihal validitas, penting dibahas karena validitas suatu norma
harus jelas. Validitas sama halnya dengan keabsahan daripada suatu norma.
Apabila suatu norma telah dianggap sah maka norma tersebut dapat berlaku dan
mengikat terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang.
Hal ini memiliki relevansi terhadap pengaturan tertulis mengenai HPI yang
belum dimiliki oleh Indonesia serta terhadap permasalahan ini terjadi kekosongan
norma dalam pengaturan UU Perkawinan perihal permasalahan yang akan dibahas
yaitu perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang dibentuk di luar
wilayah Indonesia yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran. Yang
diatur dalam UU Perkawinan hanyalah mengenai syarat batas waktu pendaftaran
sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan.
Dari pemaparan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk menulis
lebih lanjut mengenai Validitas Perjanjian Perkawinan Dalam Perkawinan
Campuran Yang Dibentuk Di Luar Wilayah Indonesia Yang Tidak Memenuhi
Syarat Batas Waktu Pendaftaran.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka terdapat beberapa
permasalahan hukum yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan validitas perjanjian perkawinan dalam
perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia yang tidak
memenuhi syarat batas waktu pendaftaran?
2. Apakah perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang dibentuk
di luar wilayah Indonesiayang tidak memenuhi syarat batas waktu
pendaftaran dapat diakui di Indonesia?
1.3 Orisinalitas Penelitian
Untuk menunjukkan kebaharuan penelitian ini, akan dipaparkan beberapa
tesis yang berkaitan dengan masalah perjanjian perkawinan terhadap perkawinan
campuran. Beberapa tesis yang dimaksudkan diteliti oleh Ira Rasjid dan Kadek
Dwi Tusidhi Cesaryanti.
Tesis Ira Rasjid, 2013, Universitas Indonesia Jakarta, yang berjudul
Tinjauan Perjanjian Perkawinan Terhadap Perkawinan Campuran Warga Negara
Indonesia – Warga Negara Australia Yang Dilangsungkan Di New South Wales –
Australia, dengan rumusan masalahnya adalah :
1. Apa yang harus diperhatikan oleh Notaris di Indonesia dalam hal
pembuatan perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) terhadap
perkawinan campuran/beda warga negara?
2. Bagaimana kedudukan akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh
Notaris di Indonesia terhadap perkawinan yang dilaksanakan di Australia
dan tunduk pada hukum perkawinan Australia (dalam hal ini yaitu negara
bagian New South Wales-Australia)?9
Kesimpulan dari permasalahan yang diangkat oleh Ira Rasjid, adalah :
1. Prenuptial Agreement atau perjanjian pranikah atau lazimnya disebut juga
perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon
suami dan calon istri secara otentik di hadapan Notaris yang menyatakan
bahwa mereka telah saling setuju dan mufakat untuk membuat pemisahan
atas harta mereka masing-masing dalam perkawinan mereka kelak. Notaris
harus memperhatikan mengenai isi yang tertuang ataupun yang diatur
dalam akta perjanjian perkawinan yang mereka buat. Dengan demikian
notaris dapat merubah isi akta perjanjian standar agar sesuai dengan apa
yang ingin diatur dan disepakati. Selama apa yang diatur dan disepakati
tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia.
Notaris juga harus memberikan pengertian kepada kliennya bahwa sampai
sejauh mana akta perjanjian perkawinan yang dibuat di Indonesia dapat
diberlakukan di negara asing.
9Ira Rasjid, 2013, “Tinjauan Perjanjian Perkawinan Terhadap Perkawinan Campuran
Warga Negara Indonesia - Warga Negara Australia Yang Dilangsungkan Di New South Wales –
Australia”, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Jakarta, h. 4.
2. Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris di Indonesia hanya
memiliki kekuatan hukum yang kuat di Indonesia. Australia tidak
mengakui adanya foreign prenuptial agreement (perjanjian pra-nikah) atau
marriage contract (perjanjian perkawinan) kecuali, foreign prenuptial
agreement tersebut dibuat dengan mengikuti peraturan dan perundang-
undangan Australia. Jadi, akta perjanjian perkawinan yang dibuat di
Indonesia oleh Notaris di Indonesia, hanya akan di berlakukan sebagai
bahan pertimbangan hakim dalam hal memutuskan pembagian harta benda
bersama dalam perkawinan yang berada di Australia.10
Tesis yang kedua dari Kadek Dwi Tusidhi Cesaryanti, 2014, Universitas
Udayana Denpasar yang mengangkat tentang Akibat Hukum Perjanjian
Perkawinan Yang Tidak Disahkan Di Kantor Catatan Sipil Bagi Warga Negara
Indonesia Terhadap Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Dalam Perkawinan
Campuran, dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana keabsahan dari suatu Perjanjian Perkawinan yang tidak
disahkan di Kantor Catatan Sipil?
2. Apa akibat hukum dari tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan di Kantor
Catatan Sipil terhadap pemilikan hak atas tanah bagi Warga Negara
Indonesia dalam Perkawinan Campuran?11
10Ibid, h. 81. 11Kadek Dwi Tusidhi Cesaryanti, 2014, “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang
Tidak Disahkan Di Kantor Catatan Sipil Bagi Warga Negara Indonesia Terhadap Kepemilikan
Hak Milik Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran”, Tesis Magister Kenotariatan Universitas
Udayana, Denpasar, h. 18.
Kesimpulan dari permasalahan yang diangkat oleh Kadek Dwi Tusidhi
Cesaryanti adalah :
1. Kata “disahkan” pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan bukan dimaksud untuk mengesahkan Perjanjian
Perkawinan yang belum sah menjadi sah, melainkan untuk mendaftarkan
Perjanjian Perkawinan tersebut sehingga Perjanjian Perkawinan yang
dibuat oleh para pihak namun tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil
adalah sah, sepanjang Perjanjian Perkawinan yang dibuat telah memenuhi
seluruh syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata dan ketentuan-ketentuan mengenai Perjanjian Perjanjian
Perkawinan dalam peraturan perundang-undangan.
2. Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran dengan Perjanjian
Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil akan
kehilanganhaknya sebagai Warga Negara Indonesia untuk mempunyai
Hak Milik atas tanah di Indonesia karena Perjanjian Perkawinan yang
tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil secara otomatis tidak terpublikasi
kepada pihak ketiga sehingga menyebabkan Perjanjian Perkawinan
dianggap tidak ada oleh pihak ketiga dan dengan demikian dalam
Perkawinan Campuran tersebut tetap terjadi percampuran harta benda
perkawinan.12
Berdasarkan uraian karya tulis diatas maka tidak ditemukan kesamaan,
sehingga tingkat orisinalitas penulis dapat dipertanggungjawabkan.
12Ibid, h. 146.
1.4 Tujuan Penelitian
Setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu, karena dengan adanya
tujuan tersebut akan memberikan arah yang jelas untu mencapai tujuan tersebut,
baik tujuan secara umum maupun khusus. Adapun tujuan tersebut adalah :
1.4.1 Tujuan umum
Untuk mencari dan mengetahui mengenai validitas perjanjian perkawinan
dalam perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia yang tidak
memenuhi syarat batas waktu pendaftaran.
1.4.2 Tujuan khusus
Selain tujuan umum, penelitian ini secara khusus bertujuan untuk :
1. Mengetahui dan menganalisis pengaturan valitidas suatu perjanjian
perkawinan dalam perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah
Indonesia yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran.
2. Menganalisis mengenai pengakuan hukum terhadap perjanjian perkawinan
dalam perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia
yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran.
1.5 Manfaat Penelitian
Dengan terjawabnya permasalahan dalam tulisan ini yang disertai dengan
tercapai tujuan penulisan diharapkan dapat memberikan manfaat baik dalam
tataran akademis maupun dalam tataran praktis, sehingga diharapkan penulisan ini
nantinya bermanfaat untuk :
1.5.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk sumbangan
bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum di bidang kenotariatan
yang berkaitan dengan perjanjian dan perkawinan.
1.5.2 Manfaat praktis
1. Secara praktis manfaat penulisan ini bagi masyarakat adalah untuk
memberikan pengetahuan tambahan kepada masyarakat tentang
permasalahan yang sedang terjadi sehingga dapat menyelesaikan
permasalahan apabila dialami dan dapat menemukan penyelesaian dari
permasalahan yang terjadi.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para
perancang peraturan perundang-undangan, legal drafter (perancang
kontrak/perjanjian), agar mampu menciptakan produk hukum yang baik
dan dapat berlaku secara efektif di masyarakat.
1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1.6.1 Landasan teoritis
Dalam suatu penelitian hukum, pembahasan yang relevan apabila dikaji
dengan menggunakan teori-teori hukum.Adapun kegunaan landasan teori di
dalam suatu penelitian hukum diantaranya yaitu, untuk mendukung argumentasi
hukum dalam pembahasan permasalahan, untuk mempertinggi derajat konsensus
dalam upaya memperoleh kebenaran dalam ilmu hukum, sebagai penanda suatu
karya ilmiah dalam bentuk skripsi, tesis atau disertasi dan sebagai arahan
(guidance) dalam mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder ataupun
tersier.13
Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis
tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara
kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan metode
interdisipliner yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan penjelasan
yang lebih baik, lebih jelas dan lebih mendasar mengenai hukum positif yang
bersangkutan.14 Dengan demikian teori sangat diperlukan di dalam suatu
penelitian karena teori merupakan pisau analisis yang digunakan untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini.
Oleh karena itu untuk menjawab rumusan masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini,digunakan teori-teori untuk membahas atau menganalisa 2 (dua)
permasalahan yang ada secara berturut-turut seperti disebutkan di bawah ini :
1. Teori Perjanjian
Teori Hukum perjanjian pertama kali dikemukakan oleh John Locke ketika
ia menjelaskan bahwa terbentuknya sebuah negara didasari adanya perjanjian dari
masyarakat yang mengiginkan berdirinya suatu Negara tersebut.Perjanjian
mengandung pengertian suatu hubungan hukum terhadap kekayaan atau harta
benda antara dua orang atau lebih pihak yang memberi kekuatan hak kepada salah
satu pihak untuk memperoleh prestasi dan mewajibkan pada pihak lainnya untuk
13I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi
Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h.133. 14Sudikno Mertokusumo, 2014, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, h. 87.
memberi prestasi.15 Mengenai perjanjian dalam bahasa Belandanya diistilahkan
dengan overeenkomst dan dalam bahasa inggris diistilahkan dengan contract. Van
Dunne sebagai pencetus teori baru mengartikan perjanjian sebagai :
‘Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum’. Teori baru tersebut tidak
hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan
sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat
perjanjian menurut teori hukum baru, yaitu :
1. Tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;
2. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak
antara para pihak;
3. Dan tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.16
Dapat dikatakan bahwa hubungan hukum akan timbul saat ditandatanganinya
sebuah perjanjian oleh dua orang atau lebih, hal tersebut dinamakan perikatan.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.17
Ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan “Perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”. Rumusan Pasal 1313 KUH Perdata dapat diartikan suatu
perjanjian adalah merupakan suatu perbuatan antara dua orang atau lebih yang
melahirkan perikatan dari orang-orang yang berjanji tersebut.
15M Yahya Harahap,1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, h.4. 16Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, Cet. VIII,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 26. 17Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, h.
4.
Menurut Salim H.S. unsur-unsur perjanjian menurut teori lama adalah
sebagai berikut :
1. Adanya perbuatan hukum;
2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang;
3. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan;
4. Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih;
5. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung
satu sama lain;
6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;
7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau
timbal balik; dan
8. Persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-
undangan.18
Adapun teori hukum perjanjian yang tradisional yaitu mempunyai ciri-ciri
menekankan pentingnya kepastian hukum dan predictability. Fungsi utama suatu
perjanjian adalah untuk memberikan kepastian tentang mengikatnya suatu
perjanjian antara para pihak sehingga prinsip-prinsip itikad baik dalam sistem
hukum civil law hanya dapat diberlakukan jika perjanjian sudah memenuhi syarat
sahnya suatu perjanjian. Sebaliknya, teori hukum perjanjian yang modern
mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian hukum demi
tercapainya keadilan yang substansial.19
Berdasarkan pengertian tersebut maka unsur yang memberikan pengertian
terhadap perjanjian adalah adanya hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang
berkaitan dengan hukum harta kekayaan antara dua orang (person) atau lebih,
yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain terhadap suatu
prestasi. Adanya unsur hubungan hukum tersebut maka dapat diartikan bahwa
perjanjian melahirkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
18Ibid, h. 25. 19Suharnoko, 2014, Hukum Perjanjian; Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, h. 23-24
Menurut Pitlo, perikatan itu adalah suatu ikatan hukum harta kekayan antara dua
atau lebih orang tertentu berdasarkan mana pihak satu berhak dan pihak yang
lainnya mempunyai kewajiban terhadap sesuatu. Ikatan harta kekayaan ini
merupakan akibat hukum.20 Dengan demikian hubungan antara perikatan dan
perjanjian adalah perjanjian melahirkan perikatan atau secara sederhana perjanjian
merupakan sumber perikatan. Sesuai dengan ketentuan pasal 1233 KUHPerdata
menyebutkan bahwa; “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik
karena undang-undang”
Berdasarkan Ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata: ”Suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.” Menurut Mariam Darus Badrulzaman banyak para
sarjana hukum perdata yang berpandangan bahwa definisi perjanjian yang
tertuang didalam Pasal 1313 KUHPerdata tidak lengkap dan cakupannya
sangatlah luas. Dikatakan tidak lengkap karena menunjuk pada perbuatan,
seharusnya perbuatan hukum karena perjanjian diadakan dengan tujuan untuk
memperoleh akibat hukum selain itu rumusan tersebut hanya menunjukan
perjanjian sepihak saja sedangkan ada juga perjanjian yang mengandung hak dan
kewajiban pada kedua pihak, seperti halnya pada perjanjian timbal balik.
Sementara itu dikatakan cakupannya sangat luas karena dapat pula mencakup
perbuatan hukum di dalam lapangan hukum keluarga, seperti halnya mengenai
perjanjian kawin. Oleh karena itu, beberapa sarjana mencoba merumuskan definisi
perjanjian diantaranya; Menurut Abdul Kadir Muhammad “Perjanjian adalah
20Mariam Darus Badrulzaman, 2015, Hukum Perikatan Dalam KUHPerdata Buku Ketiga
Yurisprudensi, Doktrin, Serta Penjelasan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 9.
suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri
untuk melaksanakan sesuatu hal mengenai harta kekayaan”.21 Menurut Wirjono
Prodjodikoro mendefinisikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai
harta benda antar dua pihak, dimana salah satu pihak berjanji atau dianggap
berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,
sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.22
Menurut Sudikno Mertokusumo, istilah perjanjian digunakan sebagai
terjemahan dari overeenkomst. Dimana salah satu syarat sahnya overeenkomst
adalah adanya toesteming yang diterjemahkan sebagai persetujuan, kata sepakat,
persesuaian kehendak ataupun konsensus. Sehingga apabila oveerenkomst
diterjemahkan sebagai persetujuan kuranglah tepat maka dari itu didalam
operasionalnya beliau menggunakan terjemahan dari oveerenkomst. Sehingga
menurutnya perjanjian adalah perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.23
Perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan
sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu, agar
keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang haruslah sesuai dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Syarat sahnya suatu
perjanjian ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa
perjanjian adalah sah jika :
21Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Ke-III, Alumni,
Bandung, h. 225. 22Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h. 4. 23Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h.14.
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3. Suatu pokok persoalan tertentu,
4. Suatu sebab yang tidak dilarang.24
Kata “sepakat mereka yang mengikatkan diri”, adalah merupakan asas
esensial dari hukum perjanjian. Asas ini juga sering disebut dengan asas
konsensualisme, yang menentukan adanya suatu perjanjian. Asas konsensualisme
yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung pengertian “kemauan”
dari para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling
mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan, bahwa perjanjian itu
dipenuhi. Asas kepercayaan ini, merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.
Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan
berkontrak dan asas kekuatan mengikat, yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian,
yaitu kebebasaan menentukan apa dan siapa perjanjian diadakan.
Merujuk pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat yaitu, sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya, cakap untuk membuat suatu perikatan,suatu hal tertentu dan suatu sebab
yang halal.
24Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2014, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 93.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Suatu perjanjian harus
dianggap lahir pada waktu tercapainya suatu kesepakatan diantara kedua
belah pihak. seseorang yang berkehendak untuk membuat suatu perjanjian
harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan diri.
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan. Kedua belah pihak yang membuat
perjanjian harus cakap menurut hukum. Berdasarkan ketentuan pasal 1130
KUHPerdata pihak-pihak yang dianggap tidak cakap untuk melakukan
sendiri suatu perbuatan hukum adalah orang di bawah umur, orang di
bawah pengawasan (Curatele), dan perempuan yang telah kawin
3. Suatu hal tertentu Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah
suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau dapat ditentukan.
4. Suatu sebab yang halal. Terkait dengan suatu hal tertentu yang
diperjanjikan tersebut adalah hal yang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua tersebut merupakan syarat subyektif karena kedua
syarat tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum. Syarat ketiga dan keempat
merupakan syarat obyektif karena kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek dari
suatu perjanjian. Apabila tidak dipenuhinya salah satu syarat subyektif maka akan
membawa konsekuensi hukum perjanjian menjadi dapat dibatalkan. Sebaliknya
apabila tidak dipenuhinya salah satu syarat obyektif maka perjanjian tersebut
dapat dikatakan batal demi hukum dengan kata lain sejak semula perjanjian
tersebut dianggap tidak pernah ada.
Di dalam suatu perjanjian kesepakatan para pihak atau kata sepakat menjadi
kunci utama. Sepakat merupakan pernyataan kehendak yang disetujui oleh para
pihak. Dengan adanya kata sepakat untuk mengadakan perjanjian, maka kedua
pihak harus memiliki kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat tekanan
yang mengakibatkan adanya cacat hukum terhadap perwujudan kehendak
tersebut. Kesepakatan tidaklah cukup dibuktikan dari keputusan yang telah
diambil oleh masing-masing pihak melainkan haruslah disampaikan atau
dinyatakan oleh para pihak secara timbal balik. Terdapat tiga teori yang berkaitan
dengan kehendak dan pernyataan yaitu :
a. Teori Kehendak (Wilstheorie)
Menurut teori ini, faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah
kehendak. Kehendak harus dinyatakan dan dengan demikian hubungan
alamiah antara kehendak dan pernyataan terwujud sebagai konsekuensi
dari teori ini apabila pernyataan tidak sesuai dengan keinginannya, tidak
akan terbentuk perjanjian. Untuk terbentuknya perjanjian kehendak
haruslah dinyatakan sebaliknya tidak mungkin ada pernyataan tanpa
didahului oleh kehendak untuk membuat suatu perjanjian.25
b. Teori Pernyataan (Verklaringstheorie)
Teori ini berpendapat bahwa pembentukan kehendak adalah proses
yang terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang (innerlijke process). Karena
itu pihak lawan tidak mungkin menegetahui apa yang sebenarnya
berlangsung dalam benak seseorang. Sehingga suatu kehendak yang tidak
25Herlien Budiono, 2015, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata, Buku Ketiga, Citra Aditya
Bakti, Bandung, h.77.
dapat dikenali oleh pihak luar tidak mungkin menjadi dasar terbentuknya
perjanjian.26
c. Teori Kepercayaan (Vertrouwenstheorie)
Teori ini beranjak dari teori pernyataan, tetapi yang diperlunak. Tidak
semua pernyataan melahirkan perjanjian. Pernyataan yang melahirkan
perjanjian hanyalah pernyataan kepada pihak lain yang menurut kebiasaan
di dalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang
dinyatakan memang benar dikehendaki. Suatu perjanjian terbentuk bukan
sekedar dari pernyatan-pernyatan, baik yang mengungkap kehendak para
pihak maupun melalui kehendak itu sendiri. Terbentuknya perjanjian
justru bergantung pada kepercayaan (pengharapan) yang muncul pada
pihak lawan sebagai akibat pernyataan yang diungkapkan.27
Terkait dalam hal pembentukan perjanjian perkawinan, para pihak harus
memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, karena sah atau tidaknya Perjanjian Perkawinan tersebut tergantung
dari pemenuhan syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut.
Dari teori yang telah dipaparkan, maka teori perjanjian ini akan digunakan
untuk menganalisis permasalahan pada rumusan masalah pertama yaitu mengenai
pengaturan validitas perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang
dibentuk di luar wilayah Indonesia yang tidak memenuhi syarat batas waktu
pendaftaran. Dengan teori ini, dapat dianalisis terlebih dahulu mengenai
pengaturan mengenai sahnya suatu perjanjian secara umum yang nantinya akan
26Ibid. 27Ibid, h. 78.
dikaitkan dengan perjanjian perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan dan
peraturan yang terkait mengenai perkawinan.
2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Salah seorang tokoh yang mengembangkan Teori Stufenbau adalah Hans
Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der
rechtsordnung. Susunan norma menurut teori ini adalah:28
1) Norma fundamental negara,
2) Aturan dasar negara,
3) Undang-undang formal,
4) Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar atau (staatsverfassung) dari suatu negara.
Posisi hukum dari suatu staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi
berlakunya suatu konstitusi.
Penerapan teori pada struktur tata hukum di Indonesia, struktur hierarki tata
hukum Indonesia dan dikaitkan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (yang selanjutnya
akan disebut UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, struktur tata
hukum Indonesia adalah :
28Ibid.
1) UUD NRI 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi, dan
7) Peraturan Daerah Kabupaten, Kota.
Kaitan susunan norma menurut teori dari Nawiasky dengan Pasal 7 UU
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut :
1) Norma fundamental negara adalah UUD NRI 1945
2) Aturan dasar negara juga adalah UUD NRI 1945
3) Undang-undang formal adalah Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang
4) Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom adalah Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten Kota
Pembentukan hukum positif mengharuskan untuk mencapai ide-ide yang
tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif.
Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm, maka
pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari
apa yang tercantum dalam Pancasila.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan asas-
asas, selain itu diperlukan pula syarat bahwa suatu perundang-undangan (undang-
undang) harus memiliki :
1) Landasan filosofis berarti bahwa hukum yang diberlakukan mencerminkan
filsafat hidup masyarakat (bangsa) di mana hukum tersebut diberlakukan
yang intinya berisi nilai-nilai moral, etika, budaya maupun keyakinan dari
bangsa tersebut,29 sebagaimana dikenal dalam adagium quid legex sine
moribus (apa jadinya hukum tanpa moralitas). Namun demikian, Hans
Kelsen pernah mengemukakan bahwa hukum tidak dibatasi oleh
pertimbangan moral.30
2) Landasan yuridis, berarti bahwa dalam membentuk undang-undang atau
suatu peraturan perundang-undangan, maka harus lahir dari pihak yang
mempunyai kewenangan membuatnya (landasan yuridis formal),
pengakuan terhadap jenis peraturan yang diberlakukan (landasan yuridis
material).
3) Landasan sosiologis berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan harus sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum
masyarakatnya agar ketentuan tersebut dapat ditaati karena pemahaman
dan kesadaran hukum masyarakatnya sesuai dengan hal-hal yang diatur.
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa untuk menghasilkan
peraturan perundang-undangan yang baik, juga perlu diperhatikan dari aspek
peraturan peralihan dan ketentuan penutup tentang pemberlakuan atau
pengundangannya. Dengan demikian, pengaturan yang tegas tentang mana
ketentuan yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku merupakan suatu
29Agus Surono, 2013, Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan,
UAI, Jakarta, h. 20. 30W. Friedman, 1960, Legal Theory, 4
th Edition, Steven & sons Limited, London, h. 229.
kedaan yang tidak boleh tidak harus terpenuhi dalam setiap penerbitan peraturan
perundang-undangan.
Teori pembentukan peraturan perundang-undangan digunakan untuk
menganalisis rumusan masalah pertama terkait dengan pengaturan validitas
perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah
Indonesia yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran. Kaitannya
dengan rumusan masalah pertama adalah bahwa belum adanya pengaturan
mengenai perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang dibentuk di
luar wilayah Indonesia yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran. Jadi
teori ini dapat dijadikan dasar untuk membentuk suatu peraturan perundang-
undangan yang baik.
3. Teori Validitas Norma
Teori Validitas Norma oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa
“validitas adalah eksistensi norma secara spesifik”. Suatu norma adalah valid
merupakan suatu pernyataan yang mengasumsikan eksistensi norma tersebut dan
mengasumsikan bahwa norma itu memiliki kekuatan mengikat (binding force)
terhadap orang yang perilakunya diatur.31
Norma mengatur perbuatan manusia dan perbuatan manusia berlangsung
dalam ruang dan waktu, maka norma itu valid untuk waktu tertentu dan dalam
ruang tertentu. Validitas dari suatu norma bisa dimulai pada saat dan berakhir
pada saat lain. Validitas suatu norma juga memiliki hubungan dengan ruang. Agar
31Asshiddqie Jimly, Ali Safa’at, M, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet. I,
Konstitusi Pers, Jakarta, h. 36.
benar-benar valid maka norma itu harus valid bukan hanya untuk waktu tertentu,
melainkan juga untuk teritorial tertentu. Oleh karena itu kita dapat membicarakan
tentang bidang waktu dan teritorial dari validitasnya suatu norma. Untuk
menentukan bagaimanakah orang-orang harus berbuat, harus ditentukan kapan
dan di mana mereka harus berbuat menurut cara yang ditetapkan. Yang
merupakan bidang isi validitas dari suatu norma adalah bagaimana mereka harus
berbuat, perbuatan apa yang mereka harus lakukan atau jangan lakukan. Terdapat
norma yang valid hanya untuk suatu teritorial tertentu, untuk suatu waktu tertentu,
dan berkenaan dengan masalah-masalah tertentu, di samping juga terdapat norma-
norma yang valid hanya untuk individu-individu tertentu saja. Perbuatan manusia
yang membentuk isi dari norma tersebut dan yang terjadi dalam waktu dan ruang
terdiri atas satu unsur personal dan satu unsur material (isi/objek), individu yang
di tempat tertentu dan dalam waktu tertentu melakukan suatu perbuatan atau
menahan diri dari berbuat sesuatu, dan sesuatu perbuatan yang dilakukan atau
tidak dilakukan.32 Oleh sebab itu, norma harus mengatur perbuatan manusia
dalam seluruh bidang ini. Pernyataan suatu norma adalah valid untuk teritorial
tertentu berarti bahwa norma itu terkait dengan perbuatan manusia yang terjadi di
dalam teritorial tersebut. Suatu norma adalah valid untuk suatu waktu tertentu
sama halnya mengatakan bahwa norma itu menunjuk kepada perbuatan manusia
yang terjadi dalam waktu tersebut.
32Hans Kelsen, 2011, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Cetakan VII, terjemahan
Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, h. 57-59.
Biasanya ditegaskan bahwa norma dapat memiliki validitas bukan untuk
masa lalu melainkan hanya untuk masa yang akan datang. Pernyataan tersebut
tidak benar, dan penegasan tersebut tampaknya disebabkan oleh suatu
ketidakmampuan membedakan antara validitas suatu norma dan efektivitas
pemahaman suatu norma. Suatu norma hukum, seperti norma undang-undang,
dapat melekatkan suatu sanksi kepada fakta-fakta yang terjadi sebelum norma itu
dibuat. Norma ini valid bagi subjek yang menahan diri dari melakukan delik dan
juga bagi organ yang melaksanakan sanksi. Norma semacam itu valid untuk masa
lalu, berkenaan dengan subjek.33
Menurut Hans Kelsen, suatu aturan harus dalam keadaan valid terlebih
dahulu baru diketahui apakah aturan tersebut dapat menjadi efektif. Setelah valid,
dan diterapkan ternyata peraturan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat
secara meluas dan/atau secara terus menerus, maka ketentuan hukum tersebut
menjadi hilang unsur validitasnya, sehingga berubah sifat dari aturan yang valid
menjadi aturan yang tidak valid.34 Memenuhi suatu kriteria tertentu adalah salah
satu katakteristik dari validitas, dimana dalam konsep validitas tercakup juga
pengertian kekuatan memaksa.
Dari teori yang telah disebutkan, maka teori validitas norma ini akan
digunakan untuk menganalisis permasalahan pada rumusan masalah kedua
mengenai pengakuan hukum terhadap perjanjian perkawinan yang dibentuk di
luar wilayah Indonesia yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran.
33Ibid. 34Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Prenada Media
Group, Jakarta, h. 117.
Teori validitas norma yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan
kapan suatu norma dianggap sah dan kapan suatu norma tidak dianggap sah.
4. Teori Kepastian Hukum
Negara Indonesia sebagaimana tersurat dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3),
ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Indonesia adalah
negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan tidak atas dasar kekuasaan
belaka (machtstaat), sehingga segala tindakan dan perbuatan harus didasarkan
atas hukum.35 Menurut Hans Kelsen, hukum merupakan sebuah sistem norma.
Norma adalah pernyataan yang menekankan terhadap aspek yang seharusnya atau
sebagaimana mestinya dengan menyertakan beberapa aturan tentang apa dan
bagaimana yang seharusnya dilakukan. Undang-undang berisi aturan yang bersifat
umum merupakan pedoman bagi seseorang untuk untuk bertingkah laku dalam
masyarakat. Dengan adanya aturan tersebut maka pelaksanaannya akan
menimbulkan suatu kepastian hukum.36
Kepastian hukum diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang membuat
suatu aturan hukum bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum
membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau
kemanfaatan, melainkan untuk mewujudkan kepastian hukum karena menurut
Gustav Radbruch, hukum harus mengandung tiga nilai identitas yaitu asas
35I Dewa Gede Atmadja, dkk, 2015, Teori Konstitusi & Konsep Negara Hukum, Setara
Press, Malang, h. 126. 36Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, h. 158.
kepastian hukum, asas keadilan hukum dan asas kemanfaatan hukum.37 Hukum
tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan
pedoman perilaku bagi semua orang
Menurut Peter Mahmud Marzuki, kepastian hukum mengandung dua
pengertian, yaitu:
1. Adanya aturan yang bersifat umum memuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
2. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah
karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu, individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu. Dari uraian tersebut maka dapat diketahui
bahwa salah satu tujuan hukum yaitu memberikan kepastian hukum.
Oleh karena itu perjanjian sebagai bentuk dari hukum harus
mengandung kepastian hukum. Kepastian dalam perjanjian tercermin
dari kekuatan mengikat suatu perjanjian merupakan undang-undang
bagi pembuatnya.38
Jadi, dalam suatu peraturan perundang-undangan haruslah mengandung
unsur kepastian hukum agar seseorang yang perilakunya diatur tersebut tidak
dapat menafsirkan berbeda dari yang seharusnya. Kepastian hukum harus
diutamakan agar masyarakat dapat berperilaku yang benar dan mendapatkan
kepastian hukum dari suatu peraturan perundang-undangan yang ada. Teori
kepastian hukum ini akan dikaitkan dengan rumusan masalah kedua perihal
37Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis),
Gunung Agung, Jakarta, h. 82-83. 38Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h. 137.
pengakuan hukum terhadap perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran
yang dibentuk di luar wilayah Indonesia yang tidak memenuhi syarat batas waktu
pendaftaran. Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan yang mengatur syarat batas waktu
pendaftaran perkawinan yang secara bersamaan harus mendaftarkan perjanjian
perkawinan tersebut dirasa sudah tidak sesuai karena pada kenyataannya terdapat
perjanjian perkawinan yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran,
selain itu perjanjian perkawinan dapat dibentuk setelah perkawinan
dilangsungkan. Oleh karena itu, Undang-undang sudah seharusnya dapat
menjamin suatu kepastian hukum bagi seluruh masyarakat agar masyarakat dapat
berperilaku sesuai dengan peraturan yang ada dan pelaksanaan dari suatu perilaku
tersebut telah dijamin dengan adanya kepastian hukum.
5. Asas Lex Loci Celebrationis
Negara yang memiliki kedaulatan, tentu akan mempunyai sistem hukumnya
masing-masing yang berbeda dengan negara lain sebagai hukum nasionalnya, dan
bagi hakim setempat itulah yang disebut lex fori.39 Hukum yang dimiliki oleh
setiap negara, sebagai hukum nasionalnya, terangkum dalam suatu sistem yang
tidak lain merupakan himpunan komponen yang berwujud bidang-bidang hukum
seperti Hukum Administrasi, Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan lain-lain. Suatu
bidang hukum akan saling berkait dengan bidang hukum lainnya sebagai suatu
kesatuan yang utuh dan komprehensif. Hukum nasional, diasumsikan untuk
mengatur tata kehidupan warganya agar tertib dan sejahtera. Hukum publik
39H. Moch Isnaeni, op.cit, h. 131.
sebagaimana misalnya Hukum Administrasi diarahkan untuk mengatur
pemerintahan, sedangkan Hukum Privat maupun Hukum Perdata digunakan untuk
menangani urusan pribadi dan bisnis warga negaranya. Kemajuan teknologi dan
informasi, mengakibatkan hubungan hukum yang tidak hanya dilakukan oleh
sesama warga negara melainkan sudah mulai melewati batas-batas negara
sehingga terhubungan dengan WNA. Berarti, hubungan hukum yang
bersangkutan unsur-unsurnya tidak lagi nasional murni melainkan sudah terdapat
unsur asing.
Susunan hukum nasional suatu negara karena merupakan suatu sistem,
berarti hukum nasional tersebut terdiri dari beberapa subkomponen yang satu
dengan lainnya akan saling terkait. Sub komponen hukum nasional yang secara
khusus menangani peristiwa atau hubungan hukum perdata yang mengandung
unsur asing (foreign element) akibat terkaitnya beberapa sistem hukum yang
berbeda, tidak lain adalah Hukum Perdata Internasional (HPI). Meski mempunyai
istilah internasional, bukan berarti HPI tersebut berlaku di seluruh dunia seperti
halnya Hukum Internasional. Istilah internasional dalam HPI bukan ditujukan
kepada sosok hukumnya, tetapi ditujukan pada materi atau perkaranya. Oleh
karena itu, setiap negara akan memiliki HPI sendiri sebagai salah satu
subkomponen hukum nasionalnya.40 HPI adalah hukum nasional yang ditulis
untuk hubungan-hubungan hukum internasional. Menurut Sudargo Gautama,
Hukum Perdata Internasional bukanlah hukum internasional, tetapi merupakan
hukum nasional. Jadi hukum perdata internasional bukan sumber hukumnya
40Sudargo Gautama, 1977, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Binacipta, Jakarta,
h. 3.
internasional, tetapi materinya yaitu hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa
yang merupakan obyeknya lah yang internasional. Meski HPI bersifat nasional,
namun kegunaannya sebatas pada perkara perdata yang mengandung unsur asing
yang relevan. Salah satu komponen hukum nasional Indonesia adalah HPI di
samping Hukum Perdata. Kedunya memiliki perbedaan yaitu dimana Hukum
Perdata ketentuannya mayoritas dalam bentuk tertulis yang terwadahi dalam
KUHPerdata, sedangkan HPI Indonesia sebagian besar ketentuannya tidak
tertulis. Karakter lain dari HPI adalah mengenal dua macam ketentuan yaitu
Ketentuan mandiri misalnya pada Pasal 495 KUHPerdata dan terdapat ketentuan
penunjuk yang tertulis yaitu sebatas pada Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18
Algemeene Bepalingen van Wetgeving (yang selanjutnya akan disebut AB).
Ketentuan penunjuk yang tidak tertulis misalnya seperti lex loci contractus, lex
loci solutionis, lex loci delicti, lex loci damni, lex loci celebrationis, dan masih
ada beberapa lagi. Sebagaimana suatu kaidah hukum, maka setiap ketentuan HPI
Indonesia juga mempunyai objeknya sendiri sebagai sebuah kategori hukum.41
Perihal pelaksanaan perkawinan campuran memiliki kaitan dengan HPI di
bidang hukum keluarga karena mengandung unsur asing yaitu perkawinan yang
dilangsungkan antara WNI dengan WNA. Ikatan perkawinan yang berlangsung
antara seorang pria dan seorang wanita yang masing-masing tunduk pada sistem
hukum nasional yang berbeda tentunya akan memunculkan persoalan HPI dalam
bidang hukum keluarga. Persoalan-persoalan yang mungkin muncul dalam
perkawinan tersebut adalah meliputi validitas perkawinan itu sendiri, kekuasaan
41H. Moch. Isnaeni, op.cit, h. 136.
orang tua, status anak, dan konsekuensi yuridis lainnya terkait dengan perkawinan
tersebut. Dalam HPI, persoalan pokoknya adalah sistem hukum manakah yang
harus diberlakukan terhadap persoalan-persoalan terkait perkawinan campuran
tersebut.
Asas-asas utama yang berkembang dalam HPI tentang hukum yang harus
digunakan untuk mengatur validitas materiil suatu perkawinan adalah :42
1) Asas lex loci celebrationis
Yang bermakna bahwa validitas materiil dari perkawinan haruslah
ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari tempat di mana perkawinan
dilangsungkan.
2) Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil suatu perkawinan
ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak
menjadi warga negara sebelum perkawinan dilangsungkan.
3) Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus
ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak
ber-domicile sebelum perkawinan berlangsung.
4) Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus
ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat dilangsungkannya
perkawinan, tanpa mengabaikan persyaratan perkawinan yang berlaku di
dalam sistem hukum para pihak sebelum perkawinan dilangsungkan.
Terkait validitas formal perkawinan, pada umumnya diberbagai sistem hukum
berdasarkan asas locus regit actum, diterima asas bahwa validitas atau persyaratan
42Bayu Seto Hardjowahono, op.cit, h. 275.
formal suatu perkawinan ditentukan berdasarkan asas lex loci celebrationis. Jadi,
secara umum perihal pelaksanaan perkawinan campuran akan berlaku asas lex loci
celebrationis agar perkawinan yang dilangsungkan tersebut dapat diakui secara
sah karena sudah memenuhi persyaratan validitas suatu perkawinan secara
materiil dan formil.
Asas ini akan digunakan menganalisis rumusan masalah pertama perihal
pengaturan validitas perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang
dibentuk di luar wilayah Indonesia yang tidak memenuhi syarat batas waktu
pendaftaran. Asas ini akan dikaitkan dengan pelaksanaan perkawinan campuran
maupun pembentukan perjanjian perkawinan. Asas lex loci celebrationis
berkaitan dengan Pasal 56 ayat (1) UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa
perkawinan dapat dilangsungkan di luar wilayah Indonesia menurut hukum
dimana perkawinan tersebut dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar
ketentuan dalam UU Perkawinan. Perihal pelaksanaan perkawinan campuran dan
perjanjian perkawinan, akan berlaku hukum di negara mana perkawinan
dilangsungkan serta dimana perjanjian perkawinan tersebut dibentuk. Jadi dalam
hal melangsungkan perkawinan campuran dan pembentukan perjanjian
perkawinan akan berlaku asas lex loci celebrationis.
6. Konsep Perkawinan Campuran
Perkawinan Campuran dalam beberapa aspek telah diatur dalam UU
Perkawinan yakni mulai dari Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Pengertian
Perkawinan Campuran dapat dijumpai pada Pasal 57 UU Perkawinan sebagai
berikut:
Yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran dalam Undang-undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.
Berdasarkan uraian pasal tersebut, unsur-unsur perkawinan campuran
adalah sebagai berikut :43
a. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita
Unsur ini menjelaskan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan
monogami.
b. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan
Bahwa perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang
melangsungkan perkawinan campuran itu bukan lagi karena perbedaan
agama, suku bangsa, dan golongan di Indonesia seperti yang diatur dalam
pengaturan sebelum diundangkannya UU Perkawinan, melainkan karena
perbedaan kewarganegaraan.
c. Perbedaan kewarganegaraan
Unsur ini menjelaskan bahwa salah satu pihak yang akan melangsungkan
perkawinan campuran itu harus WNA.
d. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
Unsur ini mempertegas bahwa salah satu pihak pria ataupun wanita dalam
perkawinan campuran harus WNI.
43Abdulkadir Muhammad, 2014, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 113.
Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan menegaskan :
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang
warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan
warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi
warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-
undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor
Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia harus dilakukan
menurut pengaturan yang diatur dalam UU Perkawinan. Perkawinan campuran
tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang
ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi
sesuai dengan Pasal 60 ayat (1) UU Perkawinan.44 Perkawinan yang
diselenggarakan di luar Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU
Perkawinan, baik yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, ataupun
salah satu pihaknya adalah orang asing, prosesnya wajib mengikuti hukum yang
berlaku di negara yang bersangkutan, dan dinyatakan sah, maka saat pasangan
tersebut kembali ke Indonesia sesuai Pasal 56 ayat (2), perkawinan tersebut harus
didaftarkan di Kantor Catatan Sipil dalam jangka waktu satu tahun setelah
kembali ke Indonesia. Dengan adanya unsur asing dari perkawinan tersebut, maka
penentuan keabsahannya dilandaskan pada kaidah HPI Indonesia yang mengenal
ketentuan lex loci celebrationis yaitu suatu perkawinan keabsahannya ditentukan
oleh hukum dari negara dimana perkawinan itu diselenggarakan.45
44Hilman Hadikusuma, op.cit, h. 13-15.
45Moch. Isnaeni, op.cit, h. 139.
Perkawinan campuran memberikan kesempatan kepada para pihak suami
dan istri untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi mereka sehubungan
dengan keberadaan harta bersama. Suami dan istri harus tunduk pada ketentuan
hukum di negara mana harta kekayaan mereka berada, dan berdasarkan kesetaraan
kedudukan maka pihak suami dan istri mempunyai kewenangan yang sama
terhadap segala perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan.46
Konsep perkawinan campuran digunakan dalam menganalisis rumusan
masalah pertama dan rumusan masalah kedua mengenai WNI yang
melangsungkan perkawinan dengan WNA serta membentuk perjanjian
perkawinan di luar wilayah Indonesia. Konsep perkawinan campuran digunakan
untuk memahami lebih mendalam mengenai perkawinan campuran yang pada
intinya merupakan perkawinan yang dilangsungkan oleh para pihak yang berbeda
kewarganegaraan dan masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan.
7. Konsep Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian tertulis yang dibuat sebelum,
pada saat atau setelah perkawinan dilangsungkan. perjanjian perkawinan ini
digunakan sebagai sarana untuk mencegah terjadinya sengketa mengenai harta
benda perkawinan diantara suami istri. Sengketa mengenai harta perkawinan
biasanya terjadi setelah putusnya perkawinan. Perkawinan sendiri dapat putus
karena tiga hal, yaitu kematian, perceraian, atau putusan hakim. Sengketa
mengenai harta perkawinan paling sering terjadi setelah adanya perceraian. Suami
46Sonny Dewi Judiasih, 2015, Harta Benda Perkawinan, Refika Aditama, Bandung, h.
27.
istri biasanya saling memperebutkan porsi pembagian harta bersama dan hak
milik atas masing-masing harta bendanya. Oleh karena itu keberadaan perjanjian
perkawinan dianggap perlu sebagai rule of the game bagi suami istri khususnya
mengenai pengaturan harta benda perkawinan. Perjanjian perkawinan yang dibuat
harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perjanjian perkawinan dapat menjadi sebuah solusi jika terjadi sengketa
terhadap harta bersama. Di Indonesia, ketentuan khusus mengenai istilah
perjanjian perkawinan itu adalah perjanjian yang dibuat calon suami isteri
sebelum perkawinan berlangsung dan disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan. Perjanjian perkawinan sebagai persetujuan antara calon suami istri
pada prinsipnya sama dengan perjanjian pada umumnya, sebab sama-sama terikat
dengan pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya
perjanjian.47
Terhadap kekuatan mengikat perjanjian perkawinan terkait harta bersama
yang diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan. Dalam arti formal perjanjian
perkawinan adalah tiap perjanjian yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
undang-undang antara calon suami isteri mengenai perkawinan mereka, tidak
dipersoalkan apa isinya hanya saja tidak boleh melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan hanyalah mengatur mengenai harta
kekayaan suami isteri dalam perkawinan saja, dimana dalam perjanjian
perkawinan tersebut calon suami isteri dapat menyatakan kehendak mereka
terhadap harta perkawinan yang akan diperolah setelah perkawinan berlangsung.
47H. A. Damanhuri H. R., 2012, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama,
CV. Mandar Maju, Bandung, h. 3-4.
Adanya perbedaan istilah-istilah mengenai perjanjian perkawinan tidaklah
berpengaruh terhadap mereka yang akan membuatnya karena pada umumnya
perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi harta bawaan masing-masing
secara hukum. Jadi pada dasarnya perjanjian perkawinan akan selalu terkait
dengan persoalan harta perkawinan.
Pembentukan perjanjian perkawinan sebagai bagian dari hukum perjanjian
tidak akan terlepas dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat sahnya suatu perjanjian perkawinan adalah
sebagai berikut :
1. Didasarkan pada kesepakatan para pihak yaitu suami dan istri yang akan
mengadakan perjanjian perkawinan. Para pihak yang akan membentuk
perjanjian perkawinan harus memiliki kehendak bebas yang tidak ada
unsur paksaan, penipuan dan kekhilafan dalam mengadakan perjanjian;
2. Para pihak haruslah cakap menurut hukum untuk melalukan suatu
tindakan hukum yaitu membentuk suatu perjanjian perkawinan. Untuk
membuat suatu perjanjian, para pihak harus cakap dan memiliki
kewenangan secara hukum sesuai dengan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3. Perjanjian yang dibentuk harus secara jelas memperjanjikan tentang
suatu hal yang tertentu atau objek perjanjian jelas. Yang dimaksud
dengan objek perjanjian adalah apa yang akan menjadi isi dari perjanjian
perkawinan tersebut, misalnya yang paling banyak dibuat adalah tentang
pengaturan harta bersama. Objek perjanjian perkawinan ini dapat
terhadap barang-barang yang sudah ada atau barang-barang yang akan
diperoleh di kemudian hari.
4. Hal-hal yang diperjanjikan oleh para pihak harus tentang sesuatu yang
halal dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan.
Mengenai perjanjian perkawinan ini diatur dalam UU Perkawinan, Pasal 29
yang berbunyi :
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut,
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan,
(3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Berdasarkan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan haruslah
dibuat tertulis pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan yang mana
perjanjian tersebut disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, tidak ditentukan
mengenai isi dari perjanjian perkawinan asalkan tidak melanggar batas-batas
hukum, agama, dan kesusilaan, apabila perjanjian perkawinan tersebut tidak
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan maka perjanjian tersebut tidaklah
dapat mengikat pihak ketiga melainkan berlaku secara umum bagi para pihak
yang membuatnya saja. Terkait terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 (yang selanjutnya akan disebut putusan MK tentang perjanjian
perkawinan), maka perjanjian perkawinan dapat dibuat setelah perkawinan
dilangsungkan. Jadi sahnya suatu perjanjian perkawinan tidak dapat dilepaskan
dari ketentuan syarat sahnya suatu perjanjian secara umum yang diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata serta ketentuan dalam Pasal 29 UU Perkawinan.
Pasal 29 UU Perkawinan tidak mengatur perihal bentuk dari perjanjian
perkawinan yang dibuat oleh para pihak, yang disebutkan hanya perjanjian
perkawinan haruslah dibuat dalam bentuk tertulis pada ayat (3). Perihal pemilihan
bentuk perjanjian perkawinan yang akan dipilih oleh pasangan yang hendak
membentuk perjanjian perkawinan tidak diatur secara tegas, asalkan telah sama-
sama sepakat perihal isi dari perjanjian tersebut serta telah memenuhi syarat-
syarat sahnya suatu perjanjian perkawinan. Oleh karena itu bagi para pihak yang
akan membentuk perjanjian perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan
sendiri tanpa harus datang dan membuat perjanjian tersebut dihadapan Notaris.
Membuat suatu perjanjian merupakan suatu kebebasan, maka isi yang diatur
dalam perjanjian perkawinan tergantung pada para pihak asalkan tidak
bertentangan dengan hukum atau undang-undang, agama dan kepatutan atau
kesusilaan. Menurut ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan, disebutkan
bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana isinya melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Sebagai contoh hal yang melanggar
batas hukum adalah apabila suami isteri membuat perjanjian perkawinan yang
berisi bahwa yang satu mempunyai kewajiban lebih besar dalam utang-utang
daripada bagiannya dalam keuntungan harta bersama. Hal tersebut tidak boleh
diperjanjikan dalam membuat perjanjian perkawinan karena telah melanggar
batas-batas hukum sehingga perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 ayat
(1) UU Perkawinan.
Perihal perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang dibentuk
di luar wilayah Indonesia akan berlaku asas lex loci celebrationis dimana asas
tersebut menyatakan hukum yang berlaku adalah hukum dimana perkawinan
dilangsungkan. Terkait prosedur pembentukan perjanjian perkawinan juga
mengikuti asas lex loci celebrationis. Jadi untuk perjanjian perkawinan dalam
perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia harus mengikuti
prosedur hukum dimana perjanjian perkawinan tersebut dibentuk. Perihal
keabsahan suatu perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang
dibentuk di luar wilayah Indonesia diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan
yang menyebutkan dalam jangka waktu satu tahun setelah kembali ke Indonesia,
pasangan suami istri tersebut harus mencatatkan perkawinannya pada Kantor
Catatan Sipil setempat sesuai domisili dan sesuai ketentuan Pasal 12 huruf h PP
9/1975 bahwa akta perkawinan memuat salah satunya adalah perjanjian kawin,
maka perjanjian perkawinan harus secara bersamaan dicatatkan dengan
perkawinan tersebut.
Konsep perjanjian perkawinan ini akan digunakan menganalisis rumusan
masalah pertama terkait pengaturan validitas dan pengakuan hukum terhadap
perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang tidak memenuhi syarat
batas waktu pendaftaran.
1.6.2 Kerangka pemikiran
Kekosongan norma dalam UU Perkawinan yang tidak mengatur
mengenai perlakuan hukum terhadap perjanjian perkawinan dalam
perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia
yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran.
Bagaimanakah pengaturan
validitas perjanjian
perkawinan dalam
perkawinan campuran yang
dibentuk di luar wilayah
Indonesia yang tidak
memenuhi syarat batas
waktu pendaftaran?
Apakah perjanjian
perkawinan dalam
perkawinan campuran yang
dibentuk di luar wilayah
Indonesia yang tidak
memenuhi syarat batas
waktu pendaftaran dapat
diakui di Indonesia?
-Teori perjanjian
-Teori pembentukan
peraturan perundang-
undangan
-Asas lex loci
celebrationis
-Konsep perkawinan
campuran
-Konsep perjanjian
perkawinan
Pendekatan:
- Perundang-
Undangan
- Konsep
VALIDITAS PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM
PERKAWINAN CAMPURAN YANG DIBENTUK DI
LUAR WILAYAH INDONESIA YANG TIDAK
MEMENUHI SYARAT BATAS WAKTU PENDAFTARAN
Penelitian Hukum
Normatif
Teknik
Pengumpulan
Bahan Hukum:
- Sistem kartu
Sumber Bahan
Hukum:
- Primer
- Sekunder
- Tersier
Teknik
Pengolahan dan
Analisis:
- Deskripsi
- Evaluasi
- Argumentasi
-Teori validitas norma
-Teori kepastian
hukum
-Konsep perkawinan
campuran
-Konsep perjanjian
perkawinan
KESIMPULAN
Pengaturan validitas perjanjian perkawinan dalam
perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah
Indonesia yang tidak memenuhi syarat batas waktu
pendaftaran tidak diatur dalam UU Perkawinan, namun
perihal pengaturan validitas perjanjian perkawinan
dalam perkawinan campuran yang dibentuk di luar
wilayah Indonesia diatur dalam Pasal 56 UU
Perkawinan, Pasal 12 huruf h PP 9/1975, serta Pasal 16
AB yang berkaitan dengan status personal seseorang
yang tidak dapat dilepaskan dari hukum nasionalnya
dan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran
yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran
dapat diakui setelah diajukannya penetapan pengadilan.
SARAN
Disarankan kepada pemerintah
Indonesia khususnya DPR RI agar
menambahkan pengaturan dalam
UU Perkawinan perihal perlakuan
hukum terhadap perjanjian
perkawinan dalam perkawinan
campuran yang tidak memenuhi
syarat batas waktu pendaftaran dan
untuk pengaturan yang dirasa sudah
tidak valid agar direvisi karena
mengingat telah terjadinya
kemajuan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Berdasarkan bagan, dapat diketahui bahwa semakin berkembangnya zaman
di Indonesia maka beberapa pihak memilih untuk melangsungkan perkawinan
campuran antara WNI dengan WNA di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Untuk melangsungkan perkawinan campuran, disarankan membentuk perjanjian
perkawinan demi menanggulangi beberapa resiko yang dapat terjadi dalam
perkawinan campuran tersebut. Mengenai pengaturan pelaksanaan perkawinan
campuran akan diatur oleh hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan
sesuai dengan asas lex loci celebrationis. Agar perjanjian perkawinan yang
dibentuk di luar wilayah Indonesia tersebut dapat berlaku dan diaku secara sah
maka harus memenuhi persyaratan pendafataran yang diatur dalam Pasal 56 ayat
(2) UU Perkawinan yang menyebutkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
kembali ke Indonesia suami isteri yang melangsungkan perkawinan di luar
wilayah Indonesia harus mencatatkan perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil
setempat sesuai tempat tinggalnya, namun pada prakteknya perjanjian perkawinan
dalam perkawinan campuran yang telah dibentuk di luar wilayah Indonesia tidak
memenuhi syarat batas waktu pendaftaran. Oleh karena itu penting dibahas
perihal validitas daripada perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran
yang dibentuk di luar wilayah Indonesia yang tidak memenuhi batas waktu
pendaftaran. Kekosongan norma dalam UU Perkawinan yang tidak mengatur
mengenai perlakuan hukum terhadap perjanjian perkawinan dalam perkawinan
campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia yang tidak memenuhi syarat
batas waktu pendaftaran.
Berdasarkan hal tersebut terdapat dua hal yang menarik untuk dikaji, yaitu
Bagaimanakah pengaturan validitas perjanjian perkawinan dalam perkawinan
campuran yang dibentuk di luar wilayah Indoesia yang tidak memenuhi syarat
batas waktu pendaftaran? dan Apakah perjanjian perkawinan dalam perkawinan
campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia dapat diakui di Indonesia?
Rumusan masalah pertama dianalisis dengan teori perjanjian, teori
perundang-undangan, asas lex loci celebrationis, konsep perkawinan campuran
dan konsep perjanjian perkawinan. Teori perjanjian akan digunakan untuk
menganalisis permasalahan pada rumusan masalah pertama yaitu mengenai
pengaturan sahnya suatu perjanjian pada umumnya yang nantinya akan dikaitkan
dengan perjanjian perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan dan peraturan
yang terkait mengenai perkawinan. Teori perundang-undangan digunakan
berkaitan dengan kekosongan norma dalam UU Perkawinan yang tidak mengatur
mengenai perlakuan hukum terhadap perjanjian perkawinan dalam perkawinan
campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia yang tidak memenuhi syarat
batas waktu pendaftaran, selain itu terdapat kaitan dengan belum adanya
pengaturan mengenai HPI di Indonesia. Teori pembentukan peraturan perundang-
undangan dapat dijadikan dasar untuk membentuk suatu perundang-undangan
yang baik berdasarkan landasan filosofis, landasan yuridis dan landasan
sosiologis. Terakhir asas lex loci celebrationis terkait hukum mana yang berlaku
dalam melangsungkan perkawinan campuran dan pembentukan perjanjian
perkawinan serta bagi WNI tidak melanggar ketentuan yang diatur dalam UU
Perkawinan.
Untuk menganalisis rumusan masalah kedua dipergunakan teori validitas
norma, teori kepastian hukum, konsep perkawinan campuran dan konsep
perjanjian perkawinan. Teori validitas norma digunakan untuk menganalisis
kapan suatu norma dapat dianggap sah dan kapan suatu norma tidak dianggap sah.
Suatu norma adalah valid merupakan suatu pernyataan yang mengartikan
eksistensi suatu norma tersebut dan mengasumsikan bahwa norma itu memiliki
kekuatan mengikat (binding force) terhadap orang yang perilakunya diatur. Teori
keadilan akan digunakan untuk menganalisis rumusan masalah kedua. Teori
keadilan tersebut digunakan karena berkaitan dengan hak setiap orang untuk
melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan hak alamiah semua orang.
Jadi seluruh sistem hukum pendukung harus mengusahakan pemenuhan hak
tersebut. Sehingga akan menjadi permasalahan mengenai keadilan apabila hak
tersebut tidak terpenuhi. Penggunaan konsep perkawinan campuran dan perjanjian
perkawinan digunakan untuk mengetahui bagaimana secara jelas perihal-perihal
yang diatur dalam melangsungkan perkawinan campuran dan perjanjian
perkawinan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Pendekatan perundang-
undangan dipergunakan karena penelitian ini beranjak dari kekosongan norma
dalam UU Perkawinan yang tidak mengatur mengenai perlakuan hukum apabila
perjanjian perkawinan yang dibentuk oleh para pihak yang melangsungkan
perkawinan campuran yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran, serta
belum adanya pengaturan mengenai HPI di Indonesia.Oleh karena itu dilakukan
dengan menelaah pengaturan yang terkait dengan permasalahan yang akan
dibahas. Pendekatan konsep dipergunakan untuk menganalisis konsep dasar
mengenai perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran. Jenis sumber
bahan hukum dalam penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer, sekunder
dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik kartu
(card system), dan untuk teknik analisis bahan hukum dilakukan dengan teknik
deskripsi, evaluasi dan argumentasi.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah Pengaturan validitas perjanjian
perkawinan dalam perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia
yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran tidak diatur dalam UU
Perkawinan, namun perihal pengaturan validitas perjanjian perkawinan dalam
perkawinan campuran yang dibentuk di luar wilayah Indonesia diatur dalam Pasal
56 UU Perkawinan, Pasal 12 huruf h PP 9/1975, serta Pasal 16 AB yang berkaitan
dengan status personal seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari hukum
nasionalnya. Terkait pengakuan hukum, UU Perkawinan hanya mengakui
perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang memenuhi syarat batas
waktu pendaftaran. UU Perkawinan tidak mengatur perjanjian perkawinan yang
tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran, maka dalam praktek perjanjian
tersebut akan diakui setelah diajukannya penetapan pengadilan, namun perlakuan
hukum dalam praktek ini belum diatur dalam UU. Dengan adanya putusan MK
perihal perjanjian perkawinan yang dapat dibentuk selama perkawinan
berlangsung, maka syarat batas waktu pendaftaran perjanjian perkawinan hanya
sebagai syarat administratif pada Kantor Catatan Sipil dan bukanlah sebagai batas
hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi perjanjian perkawinan. Saran
yang dapat diberikan adalah disarankan pemerintah Indonesia khususnya DPR RI
agar menambahkan pengaturan dalam UU Perkawinan terkait perjanjian
perkawinan dalam perkawinan campuran serta merampungkan RUU HPI yang
telah ada agar segera dapat disahkan sebagai UU HPI yang resmi, selain itu
disarankan juga perlu merevisi ataupun menambahkan pengaturan perihal
perlakuan hukum mengenai perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran
yang melewati batas waktu pendaftaran mengingat telah terjadinya kemajuan yang
sangat pesat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi, hal ini disebabkan oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan
konsisten.48 Ilmu dan penelitian mempunyai hubungan yang sangat erat, yang
menurut Almack hubungan antara ilmu dan penelitian seperti hasil dan proses,
dengan demikian Almack menyebut bahwa penelitian adalah proses sedangkan
hasilnya berupa ilmu49. Berbeda dengan yang dikemukakan Whitney berpendapat
bahwa ilmu dan penelitian sama-sama proses, sehingga ilmu dan penelitian adalah
proses yang sama dan hasil dari proses tersebut berupa kebenaran (truth).50
Terlepas dari kedua pendapat para pakar diatas, tiap langkah dalam menemukan
48Soerjono Soekanto, 2013, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Cetakan 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 1 49Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 29 50Ibid.
pengetahuan, setiap penelitian pasti selalu diintai dengan kegagalan. Adapun
metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif karena penelitian hukum ini
terfokus pada peraturan yang tertulis (law in book).51 Penelitian hukum normatif
ini merupakan penelitian sistematika hukum yang dapat dilakukan terhadap
peraturan perundang-undangan tertentu yang bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap pengertian pokok atau dasar hak dan kewajiban, peristiwa
hukum, hubungan hukum, dan objek hukum.52 Penelitian hukum normatif
beranjak dari adanya norma kosong, norma kabur dan norma konflik. Penelitian
hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan menelaah peraturan
perundangan-undangan yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas serta
menganalisis permasalahan yang dikaitkan dengan teori-teori yang bersumber dari
bahan hukum sekunder.
Pada penelitian ini permasalahan yang akan dianalisa berkenaan dengan
validitas perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran yang dibentuk di
luar wilayah Indonesia yang tidak memenuhi syarat batas waktu pendaftaran.
Adanya Kekosongan norma dalam UU Perkawinan yang tidak mengatur
mengenai perlakuan hukum apabila perjanjian perkawinan yang dibentuk oleh
51Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi ke-
1 Cet IV, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 118. 52H. Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 25.
para pihak yang melangsungkan perkawinan campuran yang tidak memenuhi
syarat batas waktu pendaftaran.Yang diatur dalam UU Perkawinan hanyalah
mengenai syarat batas waktu pendaftaran. Selain itu, terkait juga dengan
pengaturan mengenai HPI yang belum dimiliki oleh Indonesia.
1.7.2 Jenis Pendekatan
Pada umumnya pendekatan dalam penelitian hukum normatif terdiri dari
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual
(conseptual approach), pendekatan sejarah hukum (historical approach),
pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan perbandingan (comperative
approach).53Terkait penelitian ini yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual Approach).
Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk menelaah berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu
mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian dan
perkawinan. Serta pendekatan konsep hukum digunakan untuk menguraikan dan
menganalisis permasalahan hukum yang ada dalam penelitian ini khususnya yang
terkait dengan perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran.
1.7.3 Sumber dan Jenis Bahan Hukum
Bahan hukum suatu penelitian bersumber dari data kepustakaan yang dapat
dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu sumber data primer dan sumber
53I Made Pasek Diantha, op.cit, h. 156.
data sekunder. Sumber data primer disebut juga dengan sumber data dasar atau
empiris yang datanya diperoleh dari hasil penelitian empiris yaitu penelitian yang
dilakukan langsung di dalam masyarakat, sedangkan sumber data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau
penelaahan terhadap berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah atau materi
penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.54 Pada kepustakaan hukum,
sumber data yang digunakan dalam penelitian normatif disebut dengan sumber
bahan hukum.55 Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yang berasal
dari bahan kepustakaan baik itu peraturan perundang-undangan, literatur,
penelitian-penelitian terdahulu, maupun artikel yang berkaitan dengan penelitian
ini. Jenis bahan hukum yang akan dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini, antara
lain:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas.56 Menurut Cohen dan Olson dalam bukunya
Legal Research In A Nutshell, sebagaimana dikutip oleh I Made Pasek
Diantha, bahan hukum primer adalah semua aturan tertulis yang ditegakkan
oleh Negara, semua itu bisa ditemukan dalam putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap, undang-undang yang ditetapkan parlemen,
keputusan dan peraturan eksekutif serta putusan hukum agen-agen
54Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, 2013, Dualiasme Penelitian Hukum
Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 156. 55Salim HS, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi,
Cetakan Kedua, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 15-16. 56Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Cetakan Ketujuh, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, h. 141.
administrasi.57 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini
berupa perundang-undangan yang memiliki relevansi terhadap pengaturan
tentang Perjanjian Perkawinan serta penetapan pengadilan. Bahan hukum
primer yang digunakan, antara lain :
1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019);
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 3;
5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
6) Penetapan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 204/Pdt.P/2015/PN
Dps.
b. Bahan Hukum Sekunder
Selain bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder juga
digunakan dalam penelitian ini sebagai bahan pelengkap untuk proses
57I Made Pasek Diantha, op.cit, h. 142.
pengolahan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dapat digolongkan
atas bahan hukum sekunder dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti
sempit, bahan hukum sekunder dapat berupa buku-buku hukum yang berisi
ajaran atau doktrin, terbitan berkala berupa artikel-artikel tentang ulasan
hukum, dan narasi tentang arti istilah, konsep, berupa kamus hukum atau
ensiklopedi hukum.58
Bahan-bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
berupa buku-buku dalam bidang Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, Hukum
Perkawinan, Hukum Perdata Internasional dan buku-buku lain yang berkaitan
dengan penelitian ini, serta hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan
dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Selain bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, bahan hukum
tersier juga akan digunakan dalam penelitian ini. Bahan hukum tersier
merupakan bahan hukum yang digunakan sebagai pelengkap dalam
melakukan analisa terhadap suatu permasalahan. Bahan hukum tersier yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kamus hukum, majalah, surat kabar, wesite serta artikel-artikel hukum
maupun artikel lain yang terkait dengan penelitian ini sebagai bahan
penunjang dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
58I Made Pasek Diantha, op.cit, h. 144-145.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini digunakan studi
kepustakaan. Studi kepustakaan yang dimaksud adalah melakukan penelusuran
dan pencatatan mengenai bahan-bahan hukum terkait dengan permasalahan yang
diteliti, baik itu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan
hukum tersier. Studi kepustakaan dilakukan dengan tekniksistem kartu (card
system), sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami.Sistem kartu yaitu bahan
hukum yang telah dikumpulkan dicatat dan dibuat dalam bentuk kartu-kartu
dengan warna yang berbeda-beda. Pada kartu tersebut dicatat mengenai sumber
bahan hukum yang didapat baik nama penulis, tahun terbit, judul bahan hukum,
penerbit, halaman dan informasi lain yang diperlukan. Kartu-kartu tersebut
kemudian penulis susun sesuai warna berdasarkan substansi bahasan untuk
memudahkan analisis.
1.7.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul diolah dan dianalisa dengan
melakukan interpretasi atas teks-teks hukum dalam peraturan perundang-
undangan sehingga naskah normatif tersebut dimengerti dan dipahami. Untuk
menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan berbagai
teknik analisis seperti deskripsi, interpretasi, konstruksi, evaluasi, argumentasi,
atau sistimatisasi.59
59Program Studi Magister Kenotariatan, 2015, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, h. 55.
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Teknik deskripsi, teknik evaluasi dan teknik argumentasi. Teknik deskripsi
digunakan karena didalam penelitian ini menguraikan apa yang ada tentang suatu
peristiwa hukum atau kondisi hukum. Teknik evaluasi digunakan karena dalam
penelitian ini akan memberikan penilaian terhadap pernyataan suatu norma atau
keputusan yang tertera baik pada bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder dan teknik argumentasi tidak dapat dipisahkan dari teknik evaluasi
karena suatu penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum.