dalam perhitungan volume pohon digunakan rumus antara...
TRANSCRIPT
52
dalam perhitungan volume pohon digunakan rumus antara Huber, Smallian dan
Brereton.
4. Sortimen kayu gergajian adalah hasil yang diperoleh dari proses pengolahan kayu
bulat atau sebetan dari berbagai ukuran menjadi sortimen dengan ukuran tertentu.
Untuk mengetahui volume dari satu lembar sortimen sangat mudah dan sederhana,
dengan ketentuan dimensi dari sortimen tersebut harus diketahui yaitu panjang, lebar
dan tebal.
5. Rendemen adalah perbandingan antara out put dan input yang dinyatakan dalam
persen. Rendemen ini dapat dibedakan antara rendemen kwantita dan rendemen
kwalita. Dalam proses produksi biasanya kalau kita ingin menghasilkan Sortimen
Kwalita maka Kwantitanya akan dikorbankan tetapi apabila kita ingin kwalita yang
tinggi berarti Kwantitanya yang dikorbankan. Oleh sebab itu dalam suatu proses
produk dapat berjalan dengan baik maka kedua bentuk sortimen tersebut harus
berjalan secara bersamaan sampai mencapai hasil yang optimal.
Soal-Soal Latihan dan Tugas
1. Apa yang dimaksudkan dengan Kayu Bulat Rimba Indonesia ?
2. Jelaskan syarat-syarat dalam pengukuran kayu bulat (logs)?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kayu gergajian dan sortimen?
4. Diketahui hasil pengukuran sebuah logs jenis meranti adalah sebagai berikut :
d1 = 62 cm d3 = 78 p = 17,28 cm Cb2 = 23,5 cm
d2 = 75 cm d4 = 85 Cb1 = 30,3 cm
Berapakah isi bersih dari logs tersebut?
5. Pada lokasi tempat penimbunan kayu (logyard) dari salah satu pemegang IUPHHK di
Maluku, pilihlah secara random 5 batang kayu bulat yang growong dan juga 5 batang
kayu bulat yang cacat gubal. Pada masing-masing batang kayu bulat tersebut ukurlah
panjang dan diameter pada bontos pangkal serta bontos ujungnya. Dengan
memperhitungkan besarnya cacat growong dan cacat gubalnya maka berapakah
volume bersih kayu bulat tiap batang dari ke sepuluh kayu bulat tersebut?
53
BAB IV. TEKNIK PENARIKAN CONTOH BERBASIS LUAS LAHAN PADA
INVENTARISASI HUTAN
Deskripsi singkat
Pada bab ini akan dibahas mengenai berbagai macam teknik penarikan contoh (sampling
technique) pada inventarisasi hutan berbasis lahan yang umum digunakan yaitu: Simple
Random Sampling, Stratified Random Sampling, Systematic Sampling, Multistage
Sampling, Tree Sampling dan Point Sampling.
Kompetensi dasar
Mahasiswa mampu mengaplikasikan berbagai jenis teknik sampling dalam pelaksanaan
inventarisasi hutan termasuk dalam memilih teknik sampling yang tepat sesuai dengan
situasi dan kondisi hutan yang akan dilaksanakan inventarisasi.
Indikator
1. Mengapilkasikan teknis sampling pada kegiatan inventarisasi hutan.
2. Menggunakan rumus matematika dan statistika yang menjadi dasar dari perhitungan
sampling pada inventarisasi hutan.
3. Membedakan macam-macam teknik sampling pada kegiatan inventarisasi yaitu:
Simple Random Sampling, Stratified Random Sampling, Systematic Sampling,
Multistage Sampling, Tree Sampling dan Point Sampling.
6. Menganalisis kelemahan dan keunggulan macam-macam teknik sampling dalam
inventarisasi hutan.
7. Menggambarkan desain atau pola macam-macam teknik sampling dan inventarisasi
hutan
4.1 Penerapan Rumus Statistika pada Inventarisasi Hutan
Pada umumnya penggunaan sampling dalam inventarisasi hutan terutama adalah
untuk menaksir luas hutan dan pengukuran volume kayunya. Sampling yang ada harus
memberikan data yang objektif yaitu dari karakteristik sampel yang diukur diharapkan
mampu memberikan gambaran yang sama terhadap populasinya, seperti disajikan pada
Gambar 4.1.
54
Gambar 4.1. Proses pengambilan sampel pada suatu populasi tertentu
Telah dikemukakan dimuka bahwa perkembangan inventarisasi hutan yang pesat
yang ditunjang dengan perkembangan ilmu matematika dibidang biologi (kehutanan),
biometrika atau penginderaan jauh (remote sensing) telah mampu melukiskan suatu
hutan kedalam bentuk angka-angka seperti diameter, tinggi, jumlah pohon, angka bentuk,
ukuran tajuk dan lain-lain. Lukisan hutan yang telah dituangkan dalam bentuk angka-
angka tersebut kemudian diolah dengan bantuan pengetahuan statistika.
Beberapa rumus statistika yang menjadi dasar dari perhitungan-perhitungan hasil
sampling diantaranya adalah :
1. Harga rata-rata :
n
XiX
................................... (4.1)
2. Variance :
Pada umumnya variance dari populasi tidak atau sangat jarang diketahui.
Sebagai taksiran dipakai variance yang dihitung dari contoh-contoh saja
(umumnya diambil dari rumus sampel random sampling)
55
1
2
2
n
XXiS ................................... (4.2)
atau
1
2
2
2
n
n
XiXi
S ................................... (4.3)
dimana: S2 = Variance
Xi = Besarnya nilai dari contoh ke-
X = Harga rata-rata
n = Jumlah contoh
3. Standar deviasi / simpangan baku
Standar deviasi merupakan bentuk akar kwadrat dari variance yaitu:
1
2
n
XXiS ................................... (4.4)
atau
1
2
2
n
n
XiXi
S ................................... (4.5)
4. Standard Error
n
SxS ................................... (4.6)
5. Confident interval (CI)
XStXIC . ................................... (4.7)
dimana : X = Harga rata-rata
t = Tabel t (untuk penentuan nilai taraf kepercayaan)
XS = Standard Error
56
6. Koefisien Variasi (CV)
%100.X
SCV ................................... (4.8)
7. Covariance dari x terhadap y
1
n
YYiXXiSxy ................................... (4.9)
atau
1
.
n
n
yixiYiXi
Sxy ................................... (4.10)
8. Koefisien korelasi
22
22
SYSx
Sxyr ................................... (4.11)
22 SySx
Sxyr
Dalam inventarisasi hutan untuk mengetahui volume kayu pada suatu kawasan
dilaksanakan dengan pembuatan petak-petak ukur. Pengambilan contoh dengan
pembuatan petak ukur dinamakan metode konvensional. Bentuk dari petak ukur yang
dipergunakan bermacam-macam seperti lingkaran, stup, persegi panjang, bujur sangkar
dan segi enam sedangkan luasnya juga dapat bervariasi. Demikian juga dalam
pengukuran biomasa pada suatu kawasan hutan juga menggunakan metode konvensional
melalui pembuatan petak-petak ukur di lapangan.
Luas petak ukur optimum dihitung dengan membandingkan besarnya Coefficient of
Variation (CV) yang didapat dari hasil pengukuran dengan beberapa luas petak ukur pada
tempat yang sama. Hubungan CV dari berbagai petak ukur itu dapat dinyatakan dengan
persamaan:
w
CVxCVw
%% ……… ................................... (4.12)
dimana:
57
CVx = CV dari petak ukur yang kecil
CVw = CV dari petak ukur yang lebih besar
w = Faktor pembesar kedua petak ukur tersebar
Besar kecilnya pengukuran nilai CV dengan penambahan luas petak ukur ini
tergantung pada heterogenitas yang dihadapi dan dapat diukur dengan koefisien relasi (r)
antara populasi yang digambarkan oleh contoh yang kecil dengan contoh tambahan.
n
XX
n
XX
n
XXXX
r2
2
2
22
21
1
2121
................................... (4.13)
dimana:
X1 = harga dari contoh yang kecil
X2 = harga contoh tambahan
n = jumlah contoh
r = Koefisien korelasi yang berkisar antara +1 dan -1
Selanjutnya r ini dapat dipakai untuk menghitung harga CV dari contoh luas petak ukuran
yang besar yaitu:
2
1 rCVXCVY
................................... (4.14)
dimana:
CVY = CV dari contoh yang lebih besar
CVX = CV dari contoh yang kecil
r = Koefisien korelasi. Hal ini berarti bila r = +1, CVY akan = CVX
Penambahan luas petak tidak menambah keuntungan.
Dalam teknik sampling, hanya sebagian dari populasi saja yang diambil sebagai
sampel atau contoh. Misalnya jumlah seluruh pohon dalam suatu petak ada 620 pohon
maka untuk menghitung taksiran volume rata-rata pohon pada petak tersebut mungkin
cukup diambil 62 pohon saja untuk diukur diameter, tinggi, dan bilangan bentuknya.
58
Suatu bilangan yang menyatakan besarnya perbandingan antara jumlah contoh
dengan jumlah populasi seluruhnya disebut Intensitas Sampling. Dari contoh di atas,
intensitas sampling adalah:
1,0620
62 atau 10%
Contoh lain misalnya suatu kawasan hutan seluas 850 Ha dibuat petak ukur sebanyak
40 buah yang di tempatkan tersebar merata diseluruh kawasan hutan itu dengan luas
masing-masing 0,4 ha, maka intensitas samplingnya =
02,0850
4,040
x atau 2%
Intensitas sampling ditentukan oleh dua faktor yaitu tingkat kecermatan yang
diinginkan dan variabilitas dari populasi yang dihadapi. Apabila populasinya sangat
beragam akan dibutuhkan intensitas sampling yang lebih besar pada tingkat kecermatan
yang sama tetapi bila populasinya cukup seragam maka untuk intensitas sampling yang
kecil sudah diperoleh hasil pengukuran yang diharapkan. Pada hutan tanaman seumur
yaitu hutan yang terbentuk karena tahun tanam yang sama akan mempunyai tinggi yang
seragam karena itu kalau ingin mengukur tinggi rata-ratanya diperlukan contoh yang
diukur sedikit saja, yang berarti intensitas samplingnya kecil. Sebaliknya, jika yang akan
diukur itu adalah hutan alam yang sangat beragam tingginya akan diperlukan intensitas
yang lebih besar lagi. Harus diingat bahwa kecermatan hanya dapat ditingkatkan dengan
menambah jumlah contoh yang diambil bila pengambilan contoh itu bebas dari bias. Oleh
sebab itu sebenarnya semua perhitungan statistik untuk menentukan intensitas sampling
hanya berlaku bila penarikan contoh secara random, sebab hanya cara inilah yang
menjamin diperoleh contoh yang bebas dari bias. Biarpun demikian, dalam penarikan
contoh secara sistematik rumus ini juga dipakai dengan pengertian bahwa ada resiko pada
besarnya sampling error (SE) yang diperoleh dari contoh tersebut. (SEcal > SEactual)
Penentuan besarnya intensitas sampling dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:
1. Menghitung jumlah luas contoh yang dibutuhkan untuk memenuhi tingkat kecermatan
yang diinginkan dan kesalahan contoh yang diperkenankan. Dalam cara ini titik berat
terletak pada kecermatan hasil penarikan contoh. Jumlah contoh yang akan dibuat
harus mengikuti tujuan ini, demikian pula waktu dan biaya yang diperlukan.
59
2. Menetapkan besarnya intensitas sampling sebelum pelaksanaan pengukuran
dilapangan, tanpa menghiraukan kecermatan contoh yang diperoleh. Cara ini
dilaksanakan bila waktu atau biaya sudah tertentu atau sudah ada informasi yang
cukup mengenai populasi yang akan diukur dari pengalaman masa lalu karena
manajemen sudah intensif.
Sering kali besarnya intensitas sampling harus disesuaikan dengan besarnya biaya
yang tersedia. Dalam situasi seperti ini penentuan intensitas sampling dilakukan
menghitung jumlah contoh yang dapat dibuat oleh jumlah anggaran yang tersedia itu.
Jadi untuk ini harus diketahui besarnya biaya yang dibutuhkan tiap petak ukurnya. Jadi
pertama kali perlu mengetahui jumlah petak ukur untuk seluruh daerah bukan tiap unit
pengukuran. Dalam hal demikian stratifikasi lebih baik dilakukan bila tingkat kecermatan
yang lebih akan dirasakan lebih bermanfaat. Penempatan petak ukur ke dalam strata
kemudian dapat dilakukan sesuai dengan keadaan populasi. Bila populasi sangat
heterogen, penempatan secara optimum akan memberikan hasil yang lebih cermat
sedang bila keadaan populasinya homogen maka dengan penempatan contoh secara
sebanding akan mempermudah perhitungan dengan kecermatan yang tidak jauh berbeda
dengan penempatan secara optimum.
Kadang-kadang kondisi hutan yang diinventarisasikan belum diketahui secara pasti
luasnya. Dalam hal demikian intensitas sampling hanya diperkirakan untuk memenuhi
kecermatan yang dinginkan dan cara penarikan contoh telah ditetapkan lebih dulu.
Secara keseluruhan informasi yang dibutuhkan sebelum menentukan besarnya
intensitas sampling adalah:
1. Besarnya kesalahan yang diterima/diperlukan, misalnya 5% atau 10% tergantung
tujuan survei yang ditetapkan.
2. Tanda-tanda mengenai Variabilitas dari populasi.
Intensitas tersebut dapat diperoleh dari pengalaman masa lalu atau tempat-tempat
baru (inventarisasi yang pertama kali) atau diketahui dari pembuatan sejumlah
kecil petak ukur pendahuluan (preliminary survey).
Variabilitas populasi dapat dinyatakan dalam standart deviasi (S) Variation (CV)
dimana %100xX
SCV
60
3. Untuk dapat mengetahui nilai kesalahan, harus ditetapkan lebih dahulu taraf
peluang yang diinginkan. Besar kecil taraf peluang ini banyak tergantung pada
tujuan survei. Biasanya t diambil untuk taraf peluang 95%.
Intensitas sampling yang diinginkan untuk dapat diperoleh hasil sampling
dengan kecermatan tertentu, dihitung dengan rumus sampling error (SE) yaitu:
n
StxStSExStSE
2222...
Jika SE diganti dengan Allowable Eror (AE) atau kesalahan yang diperkenankan maka
2
22 .
A
Stn dimana:
n = Jumlah contoh
S = Standar deviasi
AΕ = Allowable Error
t = Nilai t taraf peluang tertentu
Dengan penetrapan N
nN dengan populasi yang terbatas, rumus tersebut menjadi
222
22
.
..
StAN
NStn
................................... (4.15)
Keterangan: N adalah luas/besarnya populasi
Nampak bahwa dari rumus di atas besarnya intensitas sampling tergantung dari:
1. Variabilitas dari populasi (S)
2. Semakin standart deviasi dari populasi atau semakin beragam populasinya
diperlukan intensitas sampling yang lebih besar untuk mencapai kecermatan
tertentu.
3. Taraf peluang ( t )
Semakin tinggi taraf peluang yang diperlukan, yang berkaitan dengan tingkat
kecermatan yang lebih besar, semakin besar nilai t sehingga makin besar pula
intensitas sampling yang diperlukan.
4. Kesalahan yang diperkenankan (AE)
61
Bila kesalahan contoh yang diperkenankan semakin besar sehingga batas
kepercayaan semakin lebar, maka semakin kecil intensitas sampling yang
diperlukan.
4.2 Macam-Macam Penarikan Contoh pada Kegiatan Inventarisasi Hutan
4.2.1 Penarikan Contoh Acak Sederhana (Simple Random Sampling).
Dalam Inventarisasi Hutan dikenal banyak sekali macam teknik sampling namun pada
dasarnya sulit untuk menentukan teknik yang paling baik karena dipengaruhi oleh faktor-
faktor seperti keadaan populasi yang dihadapi, pelaksanaan lapangan, tersedianya waktu
dan biaya atau tujuan inventarisasi dan lain-lain. Beberapa macam teknik sering
digunakan antara lain: Simple Random Sampling. Dasar dari Simple Random Sampling
adalah bahwa di dalam menilai contoh dari unit, setiap kombinasi unit yang mungkin,
mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih. Simple Random Sampling sering disebut
sebagai Random Sampling saja atau Sampling secara acak sederhana. Pada literatur yang
lain sering disebut dengan Unrestricted Random Sampling.
Cara sampling ini dapat menghasilkan penaksiran yang bebas dari bias karena setiap
kombinasi dari unit yang mungkin mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih
sebagai contoh. Simple Random Sampling merupakan cara penarikan contoh yang
sederhana tetapi mempunyai peran besar dalam pembentukan metode-metode sampling
lainnya.
4.2.1.1 Cara Memilih Contoh
Penyusunan dari contoh-contoh penyusun populasi pada umumnya beraneka ragam
dan dari kumpulan atau kelompok contoh ini akan dipilih sebagai wakil-wakil yang dapat
memberikan ciri atau gambaran dari populasinya. Untuk maksud tersebut pemilihan
Contoh secara acak sederhana ini dapat dilakukan dengan cara: diundi atau dapat pula
dengan penggunakan tabel Random. Cara undian cocok untuk populasi yang kecil sedang
untuk jumlah populasi yang besar dipakai tabel random.
Prosedur yang dilakukan adalah dengan memberikan nomor urut semua individu
penyusun populasi dari 1 sampai habis. Pada Inventore hutan, populasinya berupa areal
dalam bentuk petak maka pemilihan contoh secara acak sederhana disini, yaitu dengan
menentukan titik dimana contoh itu terletak dalam aljabar penentuan titik pada suatu
62
bidang datar ditunjukkan dengan pembentukan absis dan ordinat (koordinat). Dengan
demikian penarikan angka random untuk suatu contoh dilakukan 2 kali, sekali untuk
penentuan absis dan sekali untuk penentuan ordinat.
Pemilihan contoh secara acak sederhana dapat dibedakan dalam dua jenis pemilihan
contoh yaitu Sampling with Replacement (Sampling dengan Pemulihan) dan Sampling
without Replacement (Sampling tanpa pemulihan). Pada sampling pertama, individu yang
telah terpilih sebagai contoh masih dapat terpilih kembali. Dengan penggunakan undian
maka nomor undian yang telah terpilih sebagai contoh dimasukan kembali dan dicampur,
setelah itu baru dapat dilakukan pemilihan untuk nomor berikutnya sedangkan bila dapat
tabel random pemilihan contoh dalam sampling pemilihan tidak ada masalah.
Sampling kedua individu yang telah terpilih sebagai contoh tidak dapat dipilih lagi
sebagai contoh. Jadi contoh yang telah terpilih lewat nomor undian maka nomor undian
tersebut tidak perlu lagi untuk dicampur pada kotak undian. Bila yang dipakai adalah tabel
Random maka untuk nomor yang telah dipilih harus dilompati dan diteruskan nomor
berikutnya.
4.2.1.2. Perhitungan variance estimate, standard error, convidence interval
Harga rata-rata dari taksiran dihitung dengan rumus yaitu:
n
xiX
dimana x i = nilai dari contoh ke i
n = jumlah contoh ………… (4.16)
Variance estimate
1
)( 22
2
n
n
xixi
S n
SxS ……………………. (4.17)
Untuk sampling tanpa pemulihan, rumus yang dipakai untuk menaksir standard error
dari harga rata-rata adalah:
N
nNx
n
SxS
…………………………………………....................... (4.18)
63
N
nN merupakan koreksi bagi populasi yang disebut dengan Finite Population Correction
(fpc).
n
SSx
22
Catatan: Apabila jumlah ratio antar populasinya atau N
n kurang dari 5% maka pada
sampling tanpa pemulihan, fpc menjadi sangat kecil sehingga dapat diabaikan.
Convident Interval (CI) dimasukkan untuk melengkapi keterangan-keterangan
tentang keadaan populasi yang diukur dengan contoh-contoh tersebut. Dalam
perhitungan dibedakan antara contoh yang berjumlah banyak (n > 30) dengan contoh
yang berjumlah sedikit. Untuk contoh yang banyak, perhitungan CI untuk taraf
kepercayaan 95% adalah:
xSXCI 2 ……………………………………………............................... (4.19)
Sedangkan untuk contoh yang sedikit jumlah CI tergantung distribusi dari nilai unit di
dalam populasi. Berbagai pengukuran di Kehutanan pada umumnya mengikuti distribusi
normal sehingga untuk berapapun jumlah contoh CI dihitung dengan menggunakan tabel
t sehingga rumusnya menjadi:
SxtXCI . ……………………………….......…………............................ (4.20)
Nilai t dapat dilihat pada tabel sesuai dengan kebenaran yang diinginkan dan jumlah
contohnya (n). Jumlah contoh dipakai untuk menentukan derajat bebas yaitu (n-1) untuk
taraf kepercayaan 95% nilai t diambil dari kolom probabilitas 0,05 sedangkan untuk taraf
kepercayaan 99% nilai t diambil pada kolom probabilitas 0,01.
4.2.1.3. Contoh Perhitungan
Suatu tegakan yang luasnya 150 Ha bentuk persegi panjang 1,5 km x 1 km
mempunyai persebaran volume tiap hektar dapat dilukiskan pada Tabel 4.1.
Angka dalam daftar ini sesuai dengan letaknya di lapangan. Anggaplah bahwa volume
kayu per hektar dan tegakan itu belum diketahui. Untuk penafsiran kayunya akan diambil
64
beberapa contoh secara acak sederhana sebanyak 10 contoh. (Tiap angka dalam Tabel
4.1 merupakan unit pengambilan contoh).
Tabel 4.1: Persebaran volume kayu/Ha dari suatu tegakan seluas 150 Ha
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1 62 74 74 47 58 26 52 58 36 35 52 35 42 42 44
2 88 68 43 56 78 43 46 48 42 54 29 45 47 38 48
3 46 52 62 74 72 42 62 42 44 92 56 62 33 42 47
4 28 64 58 43 62 44 35 44 46 48 68 48 42 52 38
5 92 37 48 56 34 63 37 62 92 46 92 46 66 52 34
6 46 49 62 78 68 34 38 35 48 28 46 42 56 52 41
7 48 51 56 42 92 68 38 68 37 33 33 41 48 44 56
8 66 64 62 68 37 92 46 92 52 36 36 56 41 50 76
9 67 58 43 82 42 37 52 46 41 66 41 76 28 62 42
10 82 62 58 44 46 33 33 42 66 72 76 52 77 28 43
Penarikan contoh dipilih secara random, maka dengan penggunaan tabel random kita
tentukan contoh-contoh sebagai berikut:
Deretan angka (random) : 680 278 689 534 027 304 988 838 136 616 995 475
Kelipatan 150 : 600 150 600 450 000 300 ---- 750 000 600 - 450
sisa : 080 128 089 084 027 004 ---- 088 136 016 - 025
Catatan: Jika pada deretan angka (random) melebihi 6 x 150 = 900 maka deretan angka
tersebut tidak diambil sebagai contoh misalnya 901, 902, ……………. 000 (angka-angka ini
dianggap sudah 1.000 atau 4 digit). Dari hasil penarikan contoh di atas maka volume
kayu/ha yang terpilih sebagai contoh adalah nomor 80, 128, 89, 84, 27, 4, 88, 136, 16
65
dan 25. Jika hasil-hasil dimuka disusun kembali dalam bentuk daftar maka dapat diperiksa
Tabel 4.2 sebagai berikut ini:
Tabel 4.2.Hasil Penarikan Contoh secara Random.
No. No. Random No. Contoh Volume kayu/ha (nilai contoh = x)
x2
1 2 3 4 5
1. 680 80 68 4.624
2. 278 128 46 2.116
3. 639 89 52 2.704
4. 534 84 48 2.304
5. 027 27 45 2.025
6. 304 4 47 2.209
7. 838 88 56 3.136
8. 136 136 82 6.724
9. 616 168 88 7.744
10. 475 25 54 2.916
Jumlah - 586 36.502
Hasil perhitungan:
360,5810
586m
n
xiX
N
nNx
nn
n
xixi
xS
)1(
( )22
2
= 150
10150
90
10
)586(502,36
2
x
= 342,22150
140
90
60,339.34502,36mx
37355,4 mxS
66
%08,8%10060,58
7355,4 x
x
xSp
Pada interval kepercayaan 95%
SxtXxStXCI )110(05,0..
= )7355,4)(26,2(60,58
= 70,1060,58 atau antara = 47,90 m3 sampai 69,30 m3.
Untuk lebih jelasnya, letak masing-masing individu yang terpilih sebagai contoh
dapat dilihat pada Gambar 4.2. berikut ini:
Gambar 4.2. Pengambilan Contoh dengan Desain Simple Random Sampling
Ukuran petak 1500 m x 1000 m terbagi ke dalam 150 petak ukur yang sama luasnya.
67
4.2.2 Penarikan Contoh Acak Berlapis (Stratified Random Sampling)
Pelaksanaan Inventarisasi Hutan khususnya pada hutan alam akan berhadapan
dengan populasi yang sangat beragam, kita kenal berbagai tingkatan tumbuhan penyusun
hutan mulai dari seedling, sapling, poles, hingga trees yang jumlahnya sangat beragam,
juga mengenai penyebaran pohon-pohon kadang-kadang ditemui dalam situasi yang
berkelompok, ada yang hanya sebahagian atau tidak merata tingkat kerapatan yang
berbeda-beda, semakin besar kawasan hutan atau populasi yang akan diinventarisasikan
maka akan dijumpai variasi populasi yang semakin besar pula.
Variabilitas populasi ini mempengaruhi kecermatan samplingnya, untuk populasi
yang semakin beragam akan memberi kecermatan sampling yang rendah. Hal ini
diperoleh dari sejumlah contoh tertentu. Menghadapi kondisi seperti ini kadang-kadang
simple random sampling tidak dapat menghasilkan kecermatan sampling yang rendah dan
diperoleh dari jumlah contoh tertentu kecuali harus dilakukan dengan biaya yang lebih
banyak jumlahnya. Untuk mengatasi keadaan ini dapat dilakukan cara sampling yang
disebut “stratifikasi” (atau pembuatan strata atau lapisan-lapisan pada garis besarnya)
cara sampling ini mengusahakan agar populasi yang sangat beragam tadi dipisah-
pisahkan atau dibuat lapisan-lapisan menjadi beberapa kelompok (grup) sedemikian rupa
sehingga masing-masing kelompok mempunyai keragaman lebih kecil bila dibandingkan
dengan populasinya.
Kelompok-kelompok yang terbentuk tadi dinamakan stratum (sub-populasi). Jumlah
strata atau lapisan yang diperlukan tergantung pada ukuran populasi, variabilitasnya dan
kecermatan yang diinginkan. Bila stratifikasi telah dilaksanakan, kegiatan berikutnya
adalah penarikan contoh pada masing-masing kelompok (stratum) nya dari pengambilan
contoh dari kelompok yang lain. Demikian juga, bila pengambilan contoh untuk setiap
kelompok dilaksanakan secara random, maka cara samplingnya dinamakan Stratified
Random Sampling.
Penentuan jumlah contoh untuk tiap kelompok dapat dilaksanakan dengan tiga cara
yaitu:
1. Alokasi sama untuk masing-masing kelompok.
Jumlah contoh untuk masing-masing kelompok sama tanpa memperhatikan luas hutan
masing-masing kelompok. Misalnya stratum I, II, III, IV luasnya masing-masing 30 Ha, 60
68
Ha, 40 Ha dan 55 Ha maka pada masing-masing stratum ditempatkan 10 contoh yang
sama banyaknya.
2. Alokasi sebanding (Proportional allocation).
Jumlah contoh pada setiap stratum disesuaikan dengan ukuran stratum tersebut terhadap
populasinya. Misalnya stratum III luasnya 20% dari seluruh luas populasi maka pada
stratum ini ditempatkan contoh sebanyak 20% dari jumlah contoh untuk seluruh populasi.
3. Alokasi Optimum (Optimum allocation).
Jumlah contoh untuk setiap stratumnya disesuaikan dengan tingkat kepentingan atau
peranan dari masing-masing stratum dalam populasi, dipandang dari tujuan Inventarisasi
Hutan semakin penting peranan-peranan suatu stratum, untuk luas yang sama akan
semakin besar jumlah contoh yang ditempatkan pada stratum tersebut. Misalnya bila
Inventarisasi bertujuan untuk mengetahui volume tegakan dari suatu hutan, jumlah
contoh yang ditempatkan pada kelompok hutan yang rapat akan lebih banyak dari contoh
untuk daerah yang ditumbuhi semak, perdu dan atau tumbuhan bawah semata.
4.2.2.1 Perhitungan Harga Rata-Rata dan Varians.
Perlu diperhatikan disini bahwa dalam perhitungan harga rata-rata dan varians dari
seluruh populasi harus di hitung sesuai dengan bobot dari masing-masing stratumnya.
Rumus-rumusnya dapat dibuat sebagai berikut:
Harga rata-rata seluruh populasi:
N
iXNi
Ni
iXNiX
….. ................................... (4.21)
dimana:
iX = harga rata-rata untuk setiap stratum
Ni = jumlah unit contoh dalam setiap stratum
N = Ni = Jumlah unit contoh untuk seluruh populasi
Untuk alokasi sama setiap stratumnya, varians rata-rata seluruh populasi :
Ni
niNi
ni
SiNi
NxS
22
2.
1 ................................... (4.22)
69
atau ni
SiNi
NSx
22
2
1 ……… ................................... (4.23)
bila %5Ni
ni
Varians dari harga rata-rata untuk setiap stratum =
ni
SiixS
22 …….. ................................... (4.24)
atau untuk populasi yang terbatas harus di koreksi dengan pc. menjadi
Ni
niNi
Ni
SiixS
22 …….. ................................... (4.25)
dimana:
S2i = Varians untuk setiap stratum
ni = Jumlah unit contoh dalam setiap stratum
Varians rata-rata untuk seluruh populasi =
222
222
11SiWi
Nwi
SiWi
n
Ni
niNi
ni
SiWixS
................................... (4.26)
dimana:
n
niwi
N
NiWi ;
bila pc diabaikan, rumusnya menjadi
wi
SiWi
nxS
222 1
................................... (4.27)
Nilai total (T) untuk seluruh populasi
ixNiT ................................... (4.28)
Varians nilai total adalah =
70
222
2222
22222
1NiSi
wi
SiNi
n
SiWiNwi
SiWi
n
N
Ni
niNi
ni
SiNixSNiST
.................................. (4.29)
Untuk penempatan secara proporsional dimana N
Ni
n
niWiwi menjadi
222 11SiNi
NNiSi
nNxS ................................... (4.30)
sedangkan varians dari total
222 SiNiSiNin
NST ................................... (4.31)
untuk penempatan secara optimum, karena
SiNi
SiNin
SiWi
SiWinni
maka rumus untuk varians dari harga rata-rata dan varians dari total adalah:
Ni
SiWiSiWi
nxS
2222 1
2
2
211
NiSinN
SiNi
n ................................... (4.32)
222 1NiSiNiSi
nST ................................... (4.33)
4.2.2.2 Jumlah Satuan Contoh pada Masing-Masing Stratum
Apabila jumlah unit contoh untuk seluruh populasi (N) telah ditentukan maka jumlah
unit contoh untuk setiap stratum dapat dihitung.
Untuk alokasi sebanding:
nxN
Nini ................................... (4.34)
dimana: ni = jumlah unit contoh dalam tiap stratum
71
n = ∑ ni = Jumlah unit contoh untuk seluruh populasi
Ni = Ukuran stratum
N = ∑Ni = Ukuran seluruh stratum/populasi
Untuk alokasi optimum:
nSiNi
SiNini .
................................... (4.35)
dimana:
ni = jumlah unit contoh dalam tiap stratum
n = ∑ ni = Jumlah unit contoh untuk seluruh populasi
Ni = Ukuran stratum
Si = Standar deviasi stratum
Seringkali dalam alokasi optimum juga diperhitungkan dengan biaya penarikan
contohnya sebab medan tiap stratum biasanya berbeda sehingga mempengaruhi besar
kecilnya biaya inventore untuk setiap stratum. Oleh sebab itu alokasi optimum yang
dipehitungkan dengan biaya penarikan contoh mempunyai rumus sebagai berikut:
n
ci
SiNici
SiNi
ni
.
.
……………… ................................... (4.36)
dimana:
ni = jumlah unit contoh dalam tiap stratum
n = ∑ ni = Jumlah unit contoh untuk seluruh populasi
Ni = Ukuran stratum
Si = Standar deviasi stratum
Ci = biaya penarikan contoh tiap stratum
4.2.2.3 Contoh Perhitungan
Suatu populasi hutan dapat diklasifikasikan kedalam lima tipe hutan sehingga bisa
dianggap meliputi lima stratum masing-masing luasnya 400, 250, 300, 450 dan 200 Ha.
Sedangkan biaya penarikan contoh tiap stratum masing-masing US.$ 600.000,- ; US.$
400.000,- ; US.$ 300.000,- ; US.$ 800.000,- dan US.$ 500.000,- ditentukan jumlah satuan
72
contoh seluruh populasi tersebut 50 contoh kawasan. (Rata-rata kurs 1US $ = Rp.10.000,-
pada tahun 2009-2010). Untuk lebih jelas mengenai kawasan hutan yang ada dapat
diperiksa pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3. Kawasan hutan yang diklasifikasikan kedalam lima sub populasi, luas
populasi hutan = 1.600 Ha.
Alokasi sama
Alokasi sama untuk masing-masing kelompok telah diketahui bahwa jumlah satuan
contoh untuk seluruh populasi = 50 Ha. Satuan contoh petak ukur berbentuk lingkaran
dengan luas 1 Ha. Jadi untuk lokasi sama, pada masing-masing kelompok ditempatkan 10
contoh tanpa memandang ukuran dari stratumnya.
NI = NII = NIII = NIV = NV = 10
73
Gambar 4.4. Pengambilan contoh dengan disain Stratified Random Sampling untuk
alokasi sama pada masing-masing stratum.
Setiap stratum mempunyai jumlah satuan contoh yang sama = 10 petak ukur.
Penempatan contoh pada masing-masing stratum dilaksanakan secara random. Dari hasil
perandoman dapat ditentukan masing-masing contoh setiap stratumnya yang dapat dilihat
pada Gambar 4.4. sedangkan hasil pengukuran volume kayu per Ha setiap contoh
disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Hasil penarikan contoh pada tiap stratum untuk alokasi sama pada
masing-masing stratum (volume kayu/Ha)
Nomor Petak Ukur
Stratum
I II III IV V
1
2
3
4
5
43
60
45
88
44
112
108
99
102
104
82
84
62
78
78
120
102
88
160
140
66
108
120
42
140
74
6
7
8
9
10
66
68
52
44
46
120
116
100
104
116
90
68
82
49
63
122
132
106
108
118
162
48
56
46
78
Dengan rumus (4.21) dan (4.29) dapat dihitung rata-rata dari varians untuk tiap
stratum. Hasil perhitungan tersebut dicantumkan dalam Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Hasil perhitungan harga rata-rata dan variansnya untuk setiap stratum
penempatan contoh dengan alokasi sama.
Nomor
P.U
Stratum
I (x i I) II (x i II) III (x i III) IV (x i IV) V (x i IV)
1 2 3 4 5 6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
43
60
45
88
44
66
68
52
44
46
112
108
99
102
104
120
116
100
104
116
82
84
62
78
78
90
68
82
49
63
120
102
88
160
140
122
132
106
108
118
66
108
120
42
140
162
48
56
46
78
Xi
Xi2
ni
iX
Si2
Sxi2
Ni
656
32.890
10
55,60
219,96
21,96
400
1.081
117.357
10
108,10
55,65
7,46
250
736
55.610
10
73,60
160,04
12,65
300
1.196
146.880
10
119,60
426,49
20,651
450
866
91.668
10
86,60
1.852,49
1.852,25
200
75
Harga rata-rata untuk seluruh populasi:
305,89600.1
485,142
)200()450(
)60,86200()60,119450(
)300()250()400(
)60,73300()10,108250()60,55400(
m
xx
xxx
Ni
NixX
Varians rata-rata seluruh populasi =
Ni
niNi
ni
SiNi
NxS
)(1 22
2
karena %5
Ni
ni maka pc diabaikan sehingga rumusnya menjadi:
8877,283391
)5,217.348.21(00,560.2
1
10
49,1852200
10
49,426450
10
04,160300
10
66,55250
10
60,219400
)600.1(
1
1
22
222
2
22
2
xx
xxx
ni
SiNi
NxS
Alokasi sebanding (Proportional allocation)
penghitungan jumlah stratum contoh untuk tiap stratum dilaksanakan dengan rumus
(RI)
yaitu: nN
Nini
)(
)(
Jumlah satuan contoh untuk ke lima stratum sbb:
Stratum I : n I 5,1250)600.1(
)400( ῀ 13 contoh
Stratum II : n II 81,750)600.1(
)500.2( ῀ 8 contoh
Stratum III : n III 37,950)600.1(
)300( ῀ 9 contoh
76
Stratum IV : n IV 6,1450)600.1(
)450( ῀ 14 contoh
Stratum V : n V 25,650)600.1(
)200( ῀ 6 contoh
Total = 50 contoh
Jumlah satuan-satuan contoh ini kemudian ditempatkan di lapangan (atau diplotkan
pada peta kerja) secara Random, hasil pengeplotan disajikan pada Gambar 4.5.
sedangkan pengukuran volume kayu/ha disajikan pada Tabel 4.5. berikut ini.
Gambar 4.5 Pengambilan contoh dengan desain Stratified Random Sampling untuk
alokasi sebanding pada setiap stratum. Jumlah satuan contoh tiap
stratum berbeda tergantung besarnya ukuran stratum.
77
Tabel 4.5. Hasil penarikan contoh pada setiap stratum untuk alokasi sebanding
pada masing-masing stratum, (volume kayu/ha).
Nomor
Petak
Ukur
Stratum
I II III IV V
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
44
62
46
40
89
42
67
68
54
48
53
48
52
-
106
109
116
100
116
98
120
108
-
-
-
-
-
-
84
82
60
80
82
90
64
61
48
-
-
-
-
-
102
88
120
86
160
148
120
134
110
108
120
118
142
128
69
43
126
78
56
51
-
-
-
-
-
-
-
-
Dengan rumus (4.21) dan (4.29) dapat dihitung harga rata-rata dan varians untuk
tiap stratum. Hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 4.6.
Tabel 4.6 . Hasil perhitungan harga rata-rata dan variansnya untuk setiap
stratum, penempatan contoh dengan alokasi sebanding.
Nomor
Petak
Ukur
Stratum
I II III IV V
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
44
62
46
40
89
42
67
106
109
116
100
116
98
120
84
82
60
80
82
90
64
102
88
120
86
160
148
120
69
43
126
78
56
51
-
78
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
68
54
48
53
48
52
-
108
-
-
-
-
-
-
61
48
-
-
-
-
-
134
110
108
120
118
142
128
-
-
-
-
-
-
-
∑Xi
∑Xi2
ni
iX
Si2
2
xS
Ni
713
41.331
13
54,85
185,47
14.267
400
873
95.697
8
109,125
61,55
7.694
250
651
48.725
9
72,33
204,50
22.722
300
1.684
208.440
14
120,29
452,22
32,30
450
423
34.307
6
70,5
897,10
149.152
200
Harga rata-rata populasi:
397,86600.1
75,150.139
)200450300250400(
)5,70200()29,120450(
)33,72300()125,109250()85,54400(
m
xx
xxx
Ni
iXNix
Varians dari harga rata-rata untuk seluruh populasi:
32
3
2
2
2
2
2
22
54226,24648,6
4648,6
)50,844.533(0000121,0
10,89720022,425450
50,20430055,6125047,185400
)600.1(
1
)600.1(50
1
11
11
mxS
m
xx
xxx
SiNiNnN
SiNin
SiNinN
xS
Nilai total (volume kayu seluruh populasi):
T = ∑Ni iX
79
= 21.940 + 27.281,25 + 21.699 + 54.130,50 + 14,100
= 139.150,75 m3
Varians dari total =
33
3
222
068.40682,068.4
50,179.549.16
50,549.6
50,844.533024,083.17
)50,844.533()50,844.533(50
600.1
msetaram
ST
m
SiNiSiNin
NST
Alokasi Optimum
Penempatan jumlah suatu contoh untuk setiap stratum dengan alokasi optimum
selain ditentukan oleh ukuran masing-masing stratum juga standard deviasinya. Untuk
keperluan tersebut, standard dari tiap stratum dapat diperoleh dari 2 macam sumber
yaitu: pengalaman masa lalu (data sekunder yang tersedia) dan informasi dari data
sekunder kadng-kadang cukup baik serta memberikan hasil yang memuaskan untuk
kepentingan penempatan contoh secara optimum.
4.2.2.4 Pelaksanaan Survei Pendahuluan
Apabila populasi hutan yang akan di inventore belum pernah dilaksanakan sama
sekali yang berarti data sekundernya belum ada maka variabilitas dari populasi tersebut
diperoleh dengan survei pendahuluan. Caranya adalah dengan membuat beberapa contoh
guna mengetahui gambaran secara umum standard deviasi, dari setiap stratum yang ada.
Jumlah contoh yang dibuat disini jauh lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan jumlah
contoh yang benar-benar akan diukur. Oleh sebab itu hasil standard deviasi dari survei
pendahuluan akan berbeda dengan standar deviasi dari pengukuran sebenarnya.
Meskipun itu sudah dapat dikatakan dapat dipakai untuk menentukan jumlah contoh pada
tiap stratum agar dapat diperoleh hasil sampling dengan tingkat kecermatan yang
mendekati tujuan inventore.
Perhitungan jumlah satuan contoh tiap stratum yang melibatkan ukuran standar
deviasi itu pertama kali dikemukakan oleh NEYMAN sehingga sering kali disebut dengan
“Neyman’s allocation”. Sebagai contoh perhitungan maka standar deviasi dari survei
80
pendahuluan dianggap berasal dari penempatan contoh secara sebanding yang telah
disajikan pada tabel di muka. Hasil perhitungan jumlah unit contoh pada tiap stratum
dengan penempatan contoh secara optimum disajikan pada Tabel 4.7 berikut.
Tabel 4.7. Hasil perhitungan jumlah satuan contoh tiap stratum
dengan cara alokasi optimum.
Stratum Si2 Si Ni NiSi ni =
NiSi
NiSi N
I
II
III
IV
V
185,47
61,55
204,50
452,22
897,10
13,6187
7,8454
14,3003
21,2655
29,9561
400
250
300
450
200
5.447,48
1.961,35
4.290,09
9.569,47
5.991,22
9,99
3,60
7,87
17,55
10,99
20
7
15
17
11
Jumlah - - 1.600 27.259,67 50
Keterangan:
n adalah jumlah satuan contoh yang akan diambil pada seluruh populasi = 50
contoh.
Setelah jumlah satuan contoh yang perlu ditempatkan pada setiap stratum
diketahui maka kegiatan selanjutnya adalah penempatannya di lapangan atau dalam hal
ini di plot terlebih dahulu ke dalam peta secara random.Untuk mengetahui letak masing-
masing satuan contoh stratum dapat dilihat Gambar 4.5. sedangkan hasil pengukuran
volume kayu/ha disajikan pada Tabel 4.8 berikut ini:
81
Gambar 4.6. Pengambilan contoh dengan desain Stratified Random Sampling
untuk penempatan contoh secara optimum pada setiap stratum.
Tabel 4.8. Hasil penarikan contoh pada tiap stratum untuk alokasi optimum (volume)
kayu/Ha dan perhitungan harga rata-rata dan variansnya untuk tiap
stratum.
Nomor
Petak
Ukur
Stratum
I II III IV V
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
40
89
44
68
64
86
62
46
50
58
98
120
110
106
-
-
-
-
-
-
61
85
83
79
82
64
90
49
-
-
89
103
121
85
156
149
119
123
108
110
70
48
124
82
58
49
122
108
56
64
82
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
118
122
138
142
85
104
105
74
-
-
-
-
-
-
∑Xi
∑Xi2
ni
iX
Si2
2xS
Ni
607
39.397
10
60,7
283,57
28.357
400
434
47.340
4
108,50
83,67
20.916
250
593
45.397
8
74.125
205,84
25.729
300
1.977
237.069
17
116.294
447,22
26.307
450
855
74.325
11
77,73
786,82
71.529
200
Harga rata-rata untuk seluruh populasi:
34505,88600.1
8,520.141
200450300250400
)73,77200()294,116450()125,74300()50,108250()7,60400(
m
xxxxx
Ni
iXNix
Variasi harga rata-rata untuk seluruh populasi =
Stratum Si2 Si Ni Wi Wi Si (Wi2 Si2) : Ni
I
II
III
IV
V
283,57
83,67
205,84
447,22
786,82
16,839
9,147
14,347
21,147
28,050
400
250
300
450
200
0,2500
0,1563
0,1875
0,2812
0,1250
4,2098
1,4297
2,6901
5,9465
3,5063
0,0443
0,0082
0,0241
0,0786
0,0615
- - 1.600 1.0000 17,7824 0,2167
Ni
SiwiwiSi
nxS
222 41
83
3
22
4714,21076,6
1076,62167,03243,6
2167,0)7824,17(50
1
mxS
xS
Nilai total (volume kayu seluruh populasi)
iXNiT
= 24.280 + 27.125 + 22.273,5 + 52.332,3 + 15.546
= 141.520,8 m3
Varians dari total ST2 = 221NiSiNiSi
n
Stratum Si2 Si Ni NiSi NiSi2
I
II
III
IV
V
283,57
83,67
205,84
447,22
786,82
16,839
9,147
14,347
21,147
28,050
400
250
300
450
200
6.735,60
2.268,75
4.304,10
9.516,15
5.610,00
113.428
20.482
61.752
102.249
157.364
- - 1.600 28.452,60 554.710,5
ST2 = 50
1 (28.452,60)2 – 554.710,5 = 16.191.008,93 – 554.710,5 = 15.636.298,43
ST = 43,298.636.15 = 3.954,28 m3 setara 3.954 m3
Alokasi optimum yang diperhitungkan dengan biaya penarikan contoh:
Telah disebutkan pada awal contoh perhitungan bahwa biaya penarikan contoh tiap
stratum berbeda, oleh sebab itu perhitungan jumlah satuan contoh untuk tiap stratum
dapat diperoleh pada Tabel 4.9 berikut ini.
84
Tabel 4.9. Hasil perhitungan jumlah satuan contoh tiap stratum dengan penempatan
contoh secara optimum yang diperhitungkan dengan biaya penarikan contoh.
Stratum Ni Si Ci
(US.$) Ci NiSi
Ci
NiSi xn
Ci
NiSi
Ci
NiSi
ni
I
II
III
IV
V
400
250
300
450
200
13,6187
7,8454
14,3003
21,2655
29,9516
60.000
40.000
30.000
80.000
50.000
244,95
200,00
173,20
282,84
223,61
5.447,48
1.961,35
4.290,09
9.569,48
5.990,32
22,2391
9,8068
24,7696
33,8335
26,7891
9,47
4,18
10,55
14,40
11,40
10
4
11
14
11
Jumlah 1.600 - - - - 117,4381 50
Untuk membahas lebih lanjut mengenai penempatan satuan contoh dengan
berbagai cara di atas, berikut ini kita susun kembali hasil-hasil penarikan contoh yang
dicantumkan dalam Tabel 4.10. berikut ini.
Tabel 4.10. Hasil perhitungan jumlah satuan contoh untuk setiap stratum pada
berbagai cara pengalokasian suatu contoh.
Stratum
Alokasi Sebanding Jumlah satuan contoh tiap stratum (Ni)
Xi Si Alokasi
Sama
Alokasi
sebanding
Alokasi
optimum
Alokasi
Optimum
Dengan
biaya
I
II
III
IV
V
54,85
109,125
72,33
120,29
70,50
13,6187
7,8454
14,3003
21,2655
29,9516
10
10
10
10
10
13
8
9
14
6
10
4
8
17
11
10
4
11
14
11
Jumlah - - 50 50 50 50
Keterangan : SiiX , untuk hubungan antara standar deviasi dengan jumlah satuan contoh
stratum pada alokasi sebanding dan optimum.
85
Secara umum, tujuan stratifikasi adalah untuk memperoleh hasil sampling dengan
kecermatan yang lebih baik tanpa menambah jumlah contoh yang perlu di ukur. Jumlah
contoh yang sama akan dapat diperoleh hasil sampling yang lebih cermat dalam
variabilitas dari populasinya lebih kecil. Sehubungan dengan hal tersebut maka jumlah
contoh untuk seluruh populasi dari daftar diatas, nampak bahwa hasil penempatan jumlah
satuan contoh tiap stratum pada berbagai cara pengalokasian cukup bervariasi.
Dibandingkan dengan alokasi sama maka untuk alokasi sebanding, penempatan jumlah
contoh semakin banyak pada tiap stratum apabila luas stratumnya semakin besar.
Penempatan contoh dengan alokasi optimum membutuhkan informasi tambahan
mengenai gambaran umum tentang variablitas yang harus diperoleh dari survei
pendahuluan atau data sekunder. Hal ini tentunya menambah biaya, tenaga ataupun
waktu, tidak seperti halnya pada alokasi sebanding yang hanya memperhitungkan ukuran
stratum saja. Masalahnya sekarang cukup efektif kah kita mengadakan alokasi optimum
yang memerlukan biaya,tenaga dan waktu tambahan bila dibandingkan dengan alokasi
sebanding yang lebih sederhana tersebut/untuk mencari jawaban atas pertanyaan
tersebut marilah kita tinjau dulu hubungan antara standar deviasi dengan jumlah satuan
contoh untuk tiap stratum pada penempatan secara sebanding dengan secara optimum
seperti berikut.
Dari tabel tersebut di atas nampak bahwa stratum yang memiliki standar deviasi besar,
jumlah satuan contoh yang diperlukan pada alokasi optimum bertambah banyak dan
sebaliknya. Perhatikan stratum IV standar deviasi 21,2655, jumlah satuan contoh untuk
alokasi optimum 17 buah sedangkan untuk stratum dengan standar deviasi yang lebih
kecil yaitu pada stratum II : 7, 8454 hanya empat buah.
Perlu diketahui bahwa apabila populasi cukup homogen, lebih-lebih bila standar
deviasi masing-masing stratum tidak banyak berbeda seringkali penempatan contoh
secara optimum. Sebagai pedoman untuk menentukan apakah alokasi optimum akan lebih
baik bila dibandingkan dengan alokasi sebanding yaitu dengan melihat besarnya standar
deviasi (Si) dari stratum yang paling homogen dan stratum yang paling heterogen. Kalau
stratum yang paling heterogen mempunyai standar deviasi 2 kali lebih besar dari standar
deviasi stratum yang paling homogen, maka alokasi optimum akan lebih menguntungkan
dalam contoh tersebut di atas, stratum yang paling heterogen. (standar deviasi terbesar)
adalah stratum IV yaitu 29,9516, sedangkan stratum yang paling homogen pada stratum
86
II yaitu 7,8454 sehingga mempunyai rasio 4 : 1. jadi penempatan contoh secara optimum
pasti lebih menguntungkan dari pada penempatan contoh secara sebanding perlu
diperhatikan bahwa yang diperbandingkan tersebut adalah standar deviasi tiap stratum
pada alokasi sebanding karena untuk menjawab apakah alokasi lebih efektif atau dapat
menghasilkan sampling yang baik bila dibandingkan dengan alokasi sebanding.
4.2.3 Stratifikasi dengan Penempatan Dua Plot Tiap Stratum
Kegiatan Inventarisasi Hutan sering kali berhadapan pula dengan keadaan dimana
hutan yang akan diinventore tersebut telah dibagi-bagi kedalam beberapa bagian yang
hampir sama luasnya. Demikian pula pada inventore yang menggunakan jalur-jalur coba
seringkali ukuran jalur satu dengan lainnya hampir sama. Kalau menghadapi situasi
seperti ini maka blok-blok atau jalur-jalur yang hampir sama luasnya tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai strata dan pada setiap stratum hanya dapat ditempatkan dua
contoh/plot saja bila diperlukan untuk menaksir volume tegakan. Kedua contoh pada
msing-masing stratum bisa mempunyai ukuran yang sama tetapi dapat pula berbeda
sehingga terdapat dua macam stratifikasi dengan cara ini yaitu: (a) Stratifikasi dengan
penempatan dua plot yang sama luasnya tiap stratum dan (b) Stratifikasi dengan
penempatan dua plot yang berbeda luasnya tiap stratum dengan penjabaran sbb:
Stratifikasi dengan penempatan dua plot yang sama luasnya tiap stratum.
Pada setiap stratum yang ditempatkan dua plot yang sama luasnya maka dapat
diselesaikan perhitungan-perhitungan sebagai berikut:
Harga rata-rata dari tiap stratum
2
21 XXiX
………………………………… ................................... (4.37)
Harga rata-rata untuk seluruh populasi
n
XXX
21 …………………………… ................................... (4.38)
Varians dalam seluruh strata (varians within strata)
n
xx
n
xxS
22
221
2/1
212/1 …………… ................................... (4.39)
Varians dari harga rata-rata seluruh strata (mean variance over all strata)
87
2
2
221
n
xxxS
……………………………. ................................... (4.40)
Standard Error
n
xxxS
221
…………………………… ................................... (4.41)
Contoh perhitungannya sbb:
Suatu kegiatan inventore yang bertujuan untuk pengecakan akan dilaksanakan
pada volume tegakan menjelang pelaksanaan pengembangan hutan tropis seluas 84,4
Ha yang terbagi dalam 12 blok untuk itu pada masing-masing blok atau strata
ditempatkan 2 petak ukur yang sama luasnya yaitu 0,4 Ha.
Hasil pengukuran volume tegakan setiap petak ukur sebagai berikut:
Tabel 4.11. Volume tegakan pada tiap petak ukur seluas 0,4 Ha dari blok 1 – 9,
dinyatakan dalam m3
Blok/Startum Plot (x1) Plot (x2) (x1 – x2) (x1 – x2)2
1 2 3 4 5
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
146,22
88,37
73,06
108,26
112,85
108,42
65,27
99,92
125,62
122,43
92,72
92,00
142,84
81,34
76,81
102,77
99,86
110,74
74,81
103,46
120,26
123,46
104,22
87,79
3,38
7,03
-3,75
5,49
12,99
-2,32
-9,54
-3,54
5,36
-1,03
-1,50
4,21
11,4244
49,4209
14,0625
30,1401
168,7401
5,3824
91,0116
12,5316
28,7296
1,0609
132,2500
17,7241
Jumlah 1.235,14 1.228,36 6,78 562,4782
365,1021212
36,228.114,235.1mX
Volume tegakan seluruhnya = 102,65 x 1/0,4 x 84,4 = 21.659,15 m3
88
3
3
2
2
9881,09765,0
9765,024
4782,562
mxS
mxS
Stratifikasi dengan penempatan dua plot yang berbeda luasnya tiap stratum.
Stratifikasi ini dilaksanakan dengan mengingat dua pertimbangan yaitu:
1. Cara pembuatan plot yang tidak sama dapat menekan biaya operasional. Misalnya
pada contoh diatas satu plot dibuat dengan ukuran 0,4 Ha sedangkan plot yang kedua
cukup 0,2 Ha.
2. Dalam keadaan tertentu tidak mengurangi kecermatan sampling.
Hal yang perlu diperhatikan disini adalah besarnya ukuran plot yang berbeda sebab
perbedaan plot berpengaruh di dalam perhitungan yang ada.
Harga rata-rata tiap stratum
21
2211
ww
XwXwiX
………….. ................................... (4.42)
w1 = luas plot x1
w2 = luas plot x2
Varians rata-rata dalam populasi =
2
/2121
21 22 nxx
ww
wwS
…. ................................... (4.43)
Varians untuk harga rata-rata seluruh populasi
w
SxS
22 ………………………. ................................... (4.44)
Standard Error
w
SxS
2
……………………….. ................................... (4.45)
Contoh perhitungannya sbb:
Suatu inventore pada hutan daun jarum atau konifer dilakukan dengan desain
stratified random sampling, setiap blok ditempatkan dua plot yang berbentuk jalur yang
lebarnya sama tetapi panjang berbeda-beda sehingga luas tiap plotnya tidak sama.
89
Tabel 4.12. Volume kayu tiap jalur pada Blok I – VIII dari suatu hutan daun jarum
Nomor
Blok
Nomor
Plot/
Jalur
W V X 21
21
WW
WW
X1 – X2 (X1 – X2)2 22121
21XX
WW
WW
1 2 3 4 5 6 7 8 9
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1,68
1,24
0,98
1,20
1,44
1,26
0,98
1,22
1,46
1,78
0,86
1,04
1,34
1,28
1,66
1,52
152
114
138
144
126
108
142
150
130
174
112
126
120
112
242
227
90
92
141
120
88
86
145
123
89
98
130
121
90
88
146
149
0,713
0,539
0,672
0,543
0,802
0,471
0,655
0,793
-2
21
2
22
-9
9
2
-3
4
441
4
484
81
81
4
9
3
238
3
263
65
38
3
7
Jumlah n = 16 20,94 2.317 - - - - 620
Keterangan:
W = Luas masing-masing plot (jalur) pada tiap blok, dalam Ha.
V = Volume kayu pada tiap plot, dalam m3
n = Jumlah plot
HamX /65,11094,20
217,2 3
32 50,778
620mS
n/2 = 16/2 = 8
90
3
32
92,170,3
70,38
50,77
mxS
mxS
4.2.4. Sistematik Sampling (Systematic Sampling)
Sistematik sampling adalah suatu cara pengambilan contoh yang dilakukan
dengan suatu pola yang bersifat sistematis (Systematic pattern), yang telah ditentukan
terlebih dahulu. Bentuk dari pola tersebut bermacam-macam tergantung pada tujuan
inventore, waktu serta biaya yang tersedia serta kondisi populasi yang dihadapi.
Tujuan utama dari sistematik sampling memberikan beberapa keuntungan bila
dibandingkan dengan random sampling yaitu:
1. Mudah dalam perencanaan dan pelaksanaannya di lapangan.
2. Akibat dari itu, waktu dan biaya yang diperlukan dapat lebih sedikit.
3. Khususnya untuk kepentingan pemetaan dan penafsiran volume kayu, banyak akan
memberikan hasil yang cermat karena penempatan contoh yang tersebar merata.
Akan tetapi sistematik sampling juga mengandung beberapa kekurangan, terutama
ditinjau dari pandangan statistik yaitu:
Tak ada cara yang dapat dipercaya untuk menaksir besarnya standar error dari
contoh.
Pada umumnya perhitungan-perhitungan dari sistematik sampling menggunakan
rumus-rumus dari random sampling. Standard error yang diperoleh bukan merupakan
ukuran rata-rata deviasi melainkan merupakan ukuran dari maksimum deviasi dimana
kemungkinan perbedaannya dengan parameter populasi tidak diketahui. Oleh sebab
itu angka tersebut tidak memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh tujuan
menghitung standard error yaitu untuk mengetahui derajat kecermatan sampling.
Dalam kenyataan hasil sistematik sampling dapat over estimated atau under
estimated jika dibandingkan dengan hasil random sampling tetapi, keadaan yang
mana tidak pernah dapat diketahui.
Pengambilan contoh secara sistematik akan memberikan hasil yang cermat bila
interval yang diambil tidak berhimpit dengan periodesitas yang mungkin ada dalam
populasi.
91
Hal ini penting dalam inventore hutan karena hutan merupakan ”populasi organis”
dimana tiap individu saling mempengaruhi satu dengan lainnya dan masing-masing
dipengaruhi oleh faktor-faktor: topografi, tanah dan aktivitas manusia.
Juga karena periodesitas dari populasi ini maka besarnya harga rata-rata dari contoh
(X) tak dapat ditentukan apabila dia bebas dari bias atau tidak.
Kekurangan nomor pertama di atas dapat diperkecil dengan pelaksanaan sistematik
sampling dikombinasikan dengan random sampling yang secara umum disebut dengan
Sampling secara Sistimatik dengan awal acak (Systematic sampling with random start)
Caranya yaitu dengan menentukan salah satu contoh secara random, kemudian contoh-
contoh lainnya ditentukan secara sistimatik sesuai dengan pola yang telah ditentukan.
Menurut Simon (2008), Sistematik sampling pada garis besarnya dipisahkan menjadi 3
macam yaitu: Continous Strip Sampling, Line Plot Sampling dan Uniform Systematic
Distribution.
4.2.4.1 Continous Strip Sampling
Ciri-ciri dari Continous Strip Sampling adalah sbb:
- Sampling dimana contoh-contoh yang diambil berupa jalur-jalur yang dibuat sejajar
dengan ukuran dan jarak tertentu.
- Penentuan arah jalur biasanya didasarkan pada seluruh atau sebagian dari faktor-
faktor topografi, bonita (tempat tumbuh), faktor geologi dan pengaruh manusia.
- Ukuran jalur dapat bermacam-macam, tergantung pada ukuran atau umur tegakan
yang diukur.
- Pada hutan yang telah tua atau hutan alam, biasanya lebar jalur ditentukan 20 meter
sedangkan pada hutan yang masih muda atau berukuran kecil lebar jalur 10 meter
lebih memudahkan pelaksanaan jika dibandingkan dengan lebar jalur 20 meter.
- Jarak antar jalur yang satu dengan yang lainnya selalu diambil sama sedangkan besar
kecil jarak tersebut tergantung pada intensitas sampling yang dikehendaki. Makin
besar intensitas sampling akan semakin kecil jarak antar jalur tersebut dan sebaliknya.
Besarnya intensitas sampling tergantung pada keadaan populasi dan kecermatan
sampling yang diinginkan.
92
Gambar 4.7. Continous Strip Sampling pada kawasan bertopografi bergelombang.
Arah jalur tegak lurus pada jalur kontur.
Continous Strip Sampling dipakai inventore hutan di luar pulau Jawa untuk
mengetahui komposisi jenis dan volume kayu dari tegakan. Lebar jalur dipakai 20 m,
panjang 5 Km dan jarak antar jalur bervariasi dari 1 - 5 km. Pembuatan jalur untuk
inventore hutan ini biasanya dilakukan lewat sungai mengingat masih langkanya jalan
angkutan yang ada.
4.2.4.2 Line Plot Sampling
Ciri-ciri Line Plot Sampling adalah sbb:
- Line plot sampling ini serupa dengan continous strip sampling baik dalam penentuan
arah jalur maupun jarak antara jalur, akan tetapi pengukuran tidak dilaksanakan pada
jalur penuh melainkan pada tempat-tempat tertentu saja yang letaknya teratur (ajeg)
untuk seluruh jalur.
- Pada tempat tertentu tersebut dapat dibuat petak-petak ukur yang bermacam-macam
bentuknya seperti bujur sangkar, empat persegi panjang, lingkaran dan hanya pada
petak ukur tersebut pengukuran dilakukan.
93
Gambar 4.8. Line Plot Sampling pada kawasan bertopografi miring dengan petak
ukur bentuk empat persegi panjang.
Contoh dari penggunaan line plot sampling ini adalah survei permudaan diluar jawa,
yang dilakukan bersama-sama dengan survei untuk mengetahui volume kayu. Dari
survei permudaan ini maka pada setiap jarak 100 m dalam jalur-jalur yang dibuat untuk
mengetahui volume kayu dibuat petak-petak ukur berbentuk bujursangkar 2 x 2 meter.
Line plot sampling ini merupakan hasil pengembangan dari continous strip sampling
yang dimaksudkan sebagai upaya untuk penghematan waktu dan biaya dengan
mengurangi pekerjaan pengukuran di lapangan tetapi diharapkan tidak mengurangi
kecermatan sampling yang dihasilkan.
Jarak petak ukur didalam jalur ditentukan dengan mempertimbangkan intensitas
sampling, ukuran petak ukur dan jarak antar jalur sebab dalam tiga komponen ini
berkaitan erat dengan kecermatan sampling yang diinginkan. Intensitas sampling yang
sama dapat diperoleh dari beberapa macam kombinasi dari ketiga macam komponen
tersebut.
Contoh perhitungannya adalah sbb:
94
Intensitas sampling sebesar 4 % dapat diperoleh dari penentuan berbagai macam
kombinasi antara jarak antar petak ukur luas petak ukur dan jarak antar jalur seperti
berikut:
No. Jarak antar
Petak Ukur (m)
Luas Petak Ukur
(m x m)
Jarak antar jalur
(m)
Intensitas
Sampling (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
100
200
200
100
400
400
200
100
20 x 100
20 x 100
20 x 50
20 x 50
20 x 50
40 x 100
40 x 100
40 x 100
500
250
125
250
625
250
500
1000
4
4
4
4
4
4
4
4
4.2.4.3 Uniform Systimatic Distribution
Ciri-ciri Uniform systimatic distribution adalah sbb:
- Uniform systimatic distribution merupakan gabungan dari line plot sampling. Ciri
utama yang menonjol adalah persamaan antara jarak antar petak ukur dengan jarak
antar jalur sama sehingga petak-petak ukur yang dibuat terletak pada titik potong
antar jalur dan garis yang tegak lurus jalur serta membentuk bujur sangkar.
- Bentuk petak ukur dapat berbentuk empat persegi panjang, bujursangkar, atau
lingkaran. Untuk metoda ini maka bentuk petak ukur lingkaran yang lazim digunakan.
95
Gambar 4.9. Uniform Systimatic Distribution dengan jarak antar petak ukur 100 x
100 m dan petak ukur yang dipakai berbentuk lingkaran.
Contoh perhitungannya adalah sbb:
Continous Strip Sampling
Suatu petak hutan seluas 50 hektar dengan ukuran 500 x 1.000 meter akan
dilakukan penarikan contoh dengan desain continous strip sampling dibuat 5 jalur
masing-masing berukuran 20 x 500 meter, jarak antar jalur = 200 meter. Letak
masing-masing jalur dapat dilihat pada Gambar 4.8.
Hasil pengukuran diameter dapat disajikan pada Tabel 4.10 berikut ini:
Tabel 4.13. Hasil pengukuran diameter pohon pada jalur I – V
Jalur Diameter pohon pada petak ukur ke (dalam Cm)
1 2 3 4 5
I 68,80,40
38,46,70
39,40,69
42,32,68
72,78
34,36,62
64,58,48
72,52,46
29
28,34,42
28,40,28
46,52,42
33,39,43
50,62,46
27,38
II 46,62,54
28,89,43
66,28,34
48,28,32
62,44
32,29,62
28,30,52
64,72,28
37,52
42,46,52
64,57,32
96
III 72,36,68
52,54,29
72
74,78,56
42,58
77,56,49
49
46,62,34
29,32
42,29,38
IV 42,38,30
62,34,32
47,47,30
42,36
76,45,40
42,39,28
62,64,48
46,28,34
46,36,28
46,48,54
62,64,56
42,44,48
50,56,60
V 48,52,30
62,46,62
64
32,28,56
62,42
46,28,34 46,48,26
38,32,42
52,56,62
46,48,54
62,64
Dari Tabel 4.10 di atas kemudian dapat dihitung jumlah batang, diameter rata-rata
dan luas bidang dasar tegakan.
Tabel 4.14. Jumlah batang diameter rata-rata per pohon dan luas bidang dasar
tegakan.
Jalur Petak
Ukur
N (pohon) cmd
Luas bidang dasar (m2)
per PU per Ha per PU per Ha
I
1
2
3
4
5
6
8
10
9
8
30
40
50
45
40
48,6667
55,0000
50,1000
37,7778
42,2500
1,2240
2,0861
2,1132
1,0569
1,1853
6,12000
10,4305
10,5660
5,2845
5,9265
II
1
2
3
4
5
6
8
6
5
6
30
40
30
25
30
45,3333
42,7500
38,8333
50,6000
48,8333
1,0234
1,2751
0,7931
1,1103
1,1744
5,1170
6,3575
3,9655
5,5515
5,8720
III
1
2
3
4
5
7
5
4
5
3
35
25
20
25
15
54,7142
61,6000
57,7500
40,6000
36,3333
1,7867
1,5569
1,0892
0,7054
0,3180
8,9335
7,7845
5,4460
3,5270
1,5900
IV 1 6 30 39,6667 0,7957 3,9785
97
2
3
4
5
5
9
6
12
25
45
30
60
40,4000
50,5556
36,3333
52,5000
0,6580
1,9498
0,6482
2,6430
3,2900
9,7490
3,2410
13,2150
V
1
2
3
4
5
7
5
3
9
5
35
25
15
45
25
52,0000
44,0000
36,0000
44,6667
54,8000
1,5558
0,8287
0,3185
1,4985
1,1998
7,7790
4,1435
1,5930
7,4660
5,9990
Untuk menghitung rata-rata luas bidang dasar tegakan dalam contoh ini akan
digunakan luas dasar tegakan per petak ukur.
Tabel 4.15. Perhitungan rata-rata luas bidang dasar tegakan dan variansnya,
Continous Strip Sampling.
Jalur Petak ukur ke
∑Xi X ∑Xi2 1 2 3 4 5
I
II
III
IV
V
1,2249
1,0234
1,7867
0,7957
1,5558
2,0861
1,2715
1,5569
0,6580
0,8287
2,1132
0,7931
1,0892
1,9498
0,3186
1,0569
1,1103
0,7054
0,6482
1,4932
1,1853
1,1744
0,3180
2,6430
1,1998
7,6655
5,3727
5,4562
6,6947
5,3969
1,53
1,07
1,09
1,34
1,08
12,8376
5,9051
7,4013
12,2734
6,8779
Jumlah 6,3856 6,4012 6,2639 5,0140 6,5205 30,5852 - 45,2953
Keterangan : i = Jumlah petak dalam jalur
J = Jumlah jalur
ukurpetakmxn
XiX /22,1
55
5852,3 2
Luas bidang tegakan rata-rata = 6,10 m2/ha
0131,0600
8771,7
600
4182,372953,45
12525
25
5852,302953,45
1
22
2
2
nn
n
XiXi
xS
1146,00131,0 xS
98
%39,9%10022,1
1146,0 x
x
xSP
Intensitas sampling
%10%1001000500
500205 x
x
x
Line Plot Sampling
Dengan menggunakan data seperti pada continous strip sampling tetapi pada
setiap jalur tidak dilakukan inventore seluruhnya melainkan hanya pada petak ukur
nomor 1, 3 dan 5 untuk setiap jalurnya, posisi masing-masing petak ukur dapat dilihat
pada Gambar 2.10. sedangkan hasil pengukurannya disajikan dalam Tabel 4.13
berikut ini.
Tabel 4.16. Hasil pengukuran line plot sampling dengan petak ukur berukuran 20 x
100 meter.
Jalur Petak
Ukur
N (pohon) )(cmd Luas bidang dasar (m2)
per PU per Ha per PU per Ha
I
II
III
IV
V
1
3
5
1
3
5
1
3
5
1
3
5
1
3
5
6
10
8
6
6
6
7
4
3
6
9
12
7
3
5
30
50
40
30
30
30
35
20
15
30
45
60
35
15
25
48,6667
50,1000
42,2500
45,3333
38,8333
48,8333
54,7143
57,7500
36,3333
39,6667
50,5556
52,5000
52,0000
36,0000
54,8000
1,2240
2,1132
1,1853
1,0234
0,7931
1,1744
1,7867
1,0892
0,3180
0,7957
1,9498
2,6430
1,5558
0,3186
1,1998
6,12000
10,5660
5,9265
5,1170
3,9655
5,8720
8,9335
5,4460
1,5900
3,9785
9,7490
13,2150
7,7790
1,5930
5,9990
99
Perhitungan rata-rata luas bidang dasar dan variasinya adalah sebagai berikut:
Gambar 4.10. Penarikan contoh dengan Desain Continous Strip Sampling
(1000 m x 500 m).
Ukuran jalur 20 x 500 meter, jarak antar jalur 200 meter
Gambar 4.11. Penarikan contoh dengan desain Line Plot Sampling dengan ukuran contoh
20 x 100 m, jarak antar contoh dalam jalur 100 m, jarak antar jalur 200
meter.
100
Tabel 4.17. Perhitungan luas bidang dasar rata-rata tegakan dan variansnya,
line plot sampling dengan petak ukur 20 x 100 m.
Jalur Petak ukur ke
∑Xi 1 3 5
I
II
III
IV
V
1,2240
1,0234
1,7867
0,7957
1,5558
2,1132
0,7931
1,0892
1,9498
0,3186
1,1853
1,1744
0,3180
2,6430
1,1998
4,5225
2,9909
3,1939
5,3885
3,0742
∑XY 6,3856 6,2639 6,5205 9,1700
278,115
1700,19X Luas bidang dasar tegakan rata-rata = 6,39 m2/Ha
%6%100
000.500
1002015.
%64,1%100278,1
0209,0
0209,00004,0
00044,0
0329,075
1
4963,1225292,12275
1
3
1700,195205,62639,63856,6
)5(3
12
222
2
2
xxx
SI
xP
xS
x
xS
Contoh Perhitungan Uniform Systematic Distribution
Suatu petak hutan berukuran 500 x 1.000 m akan di inventore dengan desain
Uniform Systematic Distribution, pada areal tersebut ditempatkan 10 petak ukuran
berbentuk lingkaran seluas 0,1 Ha jarak antar petak ukur satu dengan lainnya 200 m x
200 m. Untuk jelasnya posisi petak ukuran yang bersangkutan dapat dilihat pada Gambar
4.12. hasil pengukuran disajikan pada Tabel 4.18 berikut ini.
101
Gambar 4.12. Penarikan contoh dengan desain Uniform Systematic Distribution.
Petak ukur berbentuk lingkaran seluas 0,1 Ha dan jarak antara petak
ukur 200 m x 200 m.
Tabel 4.18. Jumlah batang, diameter rata-rata per pohon dan luas tegakan
per petak ukur, Uniform Systematic Distribution.
Jalur Petak
Ukur
N (pohon) T
(an)
Luas bidang dasar
(m2)
per PU Per Ha per PU Per Ha
I. 1
2
4
7
40
70
50
64
0,9268
3,1259
9,27
31,26
II. 1
2
3
6
30
60
50
77
0,9268
1,6415
9,27
16,42
III. 1
2
10
9
100
90
45
50
0,3534
0,9268
3,53
9,27
IV. 1
2
2
5
20
50
58
43
6,1732
0,9582
61,73
9,58
V 1
2
6
8
60
80
46
77
2,0892
1,6415
20,89
16,42
Perhitungan varians harga rata-rata dilakukan dengan rumus pendekatan.
102
Tabel 4.19. Perhitungan rata-rata luas tegakan dan Variansnya, Uniform Systematic
Distribution.
Jalur Petak ukur ke
∑ Xi 1 2
I
II
III
IV
V
0,9268
0,9268
0,3534
6,1732
2,0892
3,1259
1,6415
0,9268
0,9582
1,6415
4,0527
2,5683
1,2802
7,1314
3,7307
Xj 10,4696 8,2939 18,7633
288,110
7633,18mX
%57,11%10088,1
2175,0
2175,00473,0
0473,00307,1763971,17850/1
2
7633,182939,84696,10
)5(3
1
2
2
222
2
2
xP
mxS
m
xS
Intensitas sampling %2%10050
1,010 x
x
4.2.5 Multistage Sampling atau Sub Sampling
Multistage sampling atau sub sampling adalah penarikan contoh dimana populasi
yang dihadapi dibagi secara bertingkat-tingkat kedalam sampling unit-sampling unit.
Pembagian sampling unit tingkat pertama didasarkan sesuatu karakter dari populasi yang
dihadapi. Masing-masing sampling unit yang di peroleh dari pembagian tingkat pertama
ini disebut unit primer (primary unit).
Pada berikutnya, tiap unit primer dibagi-bagi lagi menjadi beberapa sampling unit,
disebut unit sekunder (secondary unit), yang pembagiannya didasarkan pada karakter
populasi yang lain dari pembagian pertama. Proses seperti ini dapat di ulang sampai tiga
tingkat atau bahkan lebih. Bila proses ini di jalankan dengan dua tingkat maka metoda
sampling disebut Two Stage Sampling sedangkan untuk tiga tingkat disebut Three Stage
103
Sampling dan seterusnya. Ditinjau dari proses di atas maka simple random sampling dapat
di anggap sebagai One Stage Sampling.
Keuntungan multistage sampling adalah sbb:
1. Dapat memberikan hasil sampling yang baik dengan biaya yang rendah.
2. Dalam pelaksanaan tidak memerlukan informasi pendahuluan seperti halnya
pada stratifikasi.
3. Jumlah contoh yang harus di ukur biasanya relatif sangat kecil sehingga cocok
untuk di terapkan dalam menghadapi populasi yang sangat luas, tetapi di lain pihak
karena keterbatasan waktu dan atau biaya terpaksa hanya dapat dilaksanakan
pengambilan contoh yang sangat sedikit.
Contoh perhitungannya adalah sbb:
Penarikan contoh dua tahap (Two Stage Sampling)
Hutan yang tertulis pada peta di bawah ini akan dilaksanakan inventore untuk
mengetahui luas bidang dasar tegakkannya dengan “penarikan contoh dua tahap”. Areal
hutan tersebut dibagi kedalam petak-petak yang selanjutnya merupakan unit-unit
(Primary unit). Pengambilan unit primer ini sebagai contoh yang dilakukan secara random
sebanyak 4 %, selanjutnya dari unit-unit primer yang dipilih sebagai contoh akan sangat
sedikit.
104
Gambar 4.13. Penarikan contoh dengan desain Two Stage Sampling terdiri dari 10
unit primer yang terpilih sebagai contoh.
Pada gambar petak nampak unit-unit primer yang berjumlah 25 buah yang diberi
nomor urut dengan angka romawi.
Pengambilan unit primer sebagai contoh sebanyak 40 % jadi unit primer yang
ditetapkan sebagai contoh = 40 % x 25 % = 10 buah. Penempatan ke 10 buah secara
random, maka bila hasil angka-angka = 2, 8, 9, 6, 14, 22, 25, 10, 18, dan 13 maka letak
dari contoh-contoh yang bersangkutan dapat di periksa pada gambar di atas. Unit primer
yang terpilih sebagai contoh terbagi dalam 8 bagian yang sama luasnya sehingga tiap unit
primer terdapat 8 unit sekunder yang dibei nomor urut 1, 2, 3, . . . . . , 8. Selanjutnya
105
unit-unit sekunder ini di ambil 25 %, sebagai contoh yaitu sebanyak 25 % x 8 = 2 contoh
saja masing-masing di ambil secara random. Hasil perandoman misalnya sebagai berikut:
Pada unit primer (U.P) II terpilih unit sekunder nomor: 4 dan 6; U.P VI 2 dan 7; U.P
VIII 2 dan 5; U.P IX 3 dan 8; U.P X 1 dan 7; U.P XIII 3 dan 7; U.P XIV 3 dan 5; U.P XVIII
2 dan 6; U.P XXII 1 dan 8; U.P XXV 3 dan 8 (lihat bagian yang diarsir). Dari unit-unit
sekunder yang terpilih sebagai contoh (bagian yang di arsir/diblok) kemudian di ukur
keliling pohon juga jumlah pohon yang terdapat di dalamnya guna mengetahui luas
bidang dasar rata-rata dari seluruh tegakan yang ada sebagai berikut:
mn
XijX
.......................... (4.46)
Standard Error = mn
JS
MN
mn
m
S
n
mxS
11
22
.......................... (4.47)
dimana: 2SxxS
S2 within (dalam) = S2J =
1
2
2
nm
n
XijXij
S2 between = S2J + nS2β =
1
22
m
mn
xij
n
xij
n
JSbetweenSS
22
Confident interval (CI) = xStX . ................................... (4.48)
Precision (P) = %100xx
xS .......................... (4.49)
Keterangan:
M = Jumlah unit primer
N = Jumlah unit sekunder pada tiap unit primer
m = Jumlah unit primer yang terpilih sebagai contoh
n = Jumlah unit sekunder yang terpilih sebagai contoh pada tiap unit primer.
Contoh Perhitungan:
106
Seandainya dalam petak tersebut telah diukur bidang dasar tegakan (dalam meter
persegi) seperti tertera dalam Tabel 4.20.
Tabel 4.20. Hasil penarikan contoh pada Two Stage Sampling, penarikan contoh
pada unit sekunder dilakukan secara random.
Nomor
Unit
Primer
Nomor
Unit
Sekunder
Luas
Bidang
Dasar (m2)
= Xij
∑Xij (∑Xij)2 Xij2 ∑Xij2
II
VI
VIII
IX
X
XIII
XIV
XVIII
XXII
XXV
4
6
2
7
2
5
3
8
1
7
3
7
3
5
2
6
1
8
3
8
0,634
1,257
1,426
0,788
0,565
1,672
1,612
1,821
1,673
0,582
2,318
1,193
0,456
1,824
1,799
0,738
0,353
0,738
1,262
0,279
0,402
1,580
2,033
0,621
0,319
2,796
2,598
3,316
2,799
0,339
5,373
1,423
0,208
3,327
3,236
0,545
0,125
0,545
2,644
0,078
Jumlah - 23,354 23,354 59,132 - 34,307
107
Contoh hasil perhitungannya adalah sbb:
a) 21677,1
210
354,23m
xX
Luas bidang dasar/Ha 81677,15025
000.101677,1 x
xx
Ham /3416,9 2
b)
4741,0
10
741,4
1210
2
132,59307,34
2
jS
1095,02
0219,
219,04741,02551,0
2551,0
9
270,27566,29
110
20
354,23
2
132,59
2
2
2
2
S
nS
S
c) 210
4741,0
200
201
10
1095,0
25
101
xSx
0147645,00213345,000657,0
Standard error : 31215,00147645,0 mxS
Error tiap Ha Hamx /972,081215,0 3
d) Precision (P) %41,10%1003416,9
972,0 x
e) Pada tarap peluang 95 % dan derajat bebas (n-1) = 9 (nilai = 2,262) ,
SE = 2,262 x 0,972
= ± 2,193664
f) CI = 7,43 m2 dan 11, 540 m2
108
Rangkuman
1. Dalam Inventarisasi Hutan dikenal banyak sekali macam teknik sampling dan untuk
menentukan teknik yang paling baik perlu memperhatikan faktor-faktor yang
berpengaruh seperti keadaan populasi yang dihadapi, pelaksanaan lapangan,
tersedianya waktu dan biaya atau tujuan inventarisasi yang ditetapkan, dll. Beberapa
macam teknik sampling berbasis luas lahan yang sering digunakan antara lain: Simple
Random Sampling, Stratified Radom Sampling, Systematic Sampling, Multistage
Sampling atau Sub Sampling.
2. Rumus Statistika yang menjadi dasar dari perhitungan hasil sampling yaitu: harga
rata-rata, varians, standar deviasi, standard error, confidence interval, koefisien dari x
terhadap y, koefisien korelasi.
3. Pada penarikan contoh Simple Random Sampling, dibutuhkan penggunaan tabel
random untuk menentukan individu yang terpilih sebagai contoh. Dalam penarikan
contoh tersebut dikenal 2 cara yaitu penarikan contoh dengan pemulihan (with
replacement) dan tanpa pemulihan (without replacement).
4. Pada penarikan contoh Stratified Radom Sampling dilakukan a.l. untuk mengusahakan
agar populasi yang sangat beragam tadi dipisah-pisahkan atau dibuat lapisan-lapisan
menjadi beberapa kelompok (grup) sedemikian rupa sehingga masing-masing
kelompok mempunyai keragaman lebih kecil bila dibandingkan dengan populasinya.
5. Systematic Sampling (sistematik sampling) memberikan beberapa keuntungan bila
dibandingkan dengan random sampling yaitu: (1) Mudah dalam perencanaan dan
pelaksanaannya di lapangan, (2) Akibat dari itu, waktu dan biaya yang diperlukan
dapat lebih sedikit, (3) Khususnya untuk kepentingan pemetaan dan penafsiran
volume kayu, banyak akan memberikan hasil yang cermat karena penempatan contoh
yang tersebar merata.
6. Multistage sampling atau sub sampling adalah penarikan contoh dimana populasi yang
dihadapi dibagi secara bertingkat-tingkat kedalam sampling unit-sampling unit.
Pembagian sampling unit tingkat pertama didasarkan sesuatu karakter dari populasi
yang dihadapi. Masing-masing sampling unit yang di peroleh dari pembagian tingkat
pertama ini disebut unit primer (primary unit). Pada berikutnya, tiap unit primer
dibagi-bagi lagi menjadi beberapa sampling unit, disebut unit sekunder (secondary
unit), yang pembagiannya didasarkan pada karakter populasi yang lain dari
109
pembagian pertama. Pembagian tersebut dapat dilanjutkan sampai ke unit tersier
sesuai kebutuhan inventarisasi yang dilaksanakan.
Soal-Soal Latihan dan Tugas
1. Jelaskan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam perencanaan inventarisasi hutan.
2. Apa yang dimaksud dengan “Intensitas Sampling” dan berikan contoh
perhitungannya.
3. Bagaimana cara penentuan besarnya intensitas sampling? Jelaskan!
4. Jelaskan berbagai rumus Statistika yang menjadi dasar dari perhitungan sampling
pada pelaksanaan inventarisasi hutan dan contoh-contoh perhitungannya.
5. Jelaskan secara umum bagaimana cara memilih contoh, penerapan rumus statistika
dari teknik sampling sebagai berikut : (a) Simple Random Sampling, (b) Stratified
Random Sampling, (c) Systematic Sampling, (d) Multistage Sampling.
6. Suatu populasi hutan tropis dengan ukuran: 6 km x 5 km akan dilaksanakan
inventarisasi dengan Metode Random Sampling. Untuk maksud tersebut maka
populasi hutan yang tergambar dalam peta persebaran pohon ini (peta pohon
terdapat dalam lampiran 4.1) dibuat sub-sub populasi atau petak-petak ukur sebanyak
75 buah yang sama besarnya lalu tariklah contoh sebanyak 20 petak ukur secara
random dengan dua cara yaitu tanpa pemulihan dan dengan pemulihan dari kedua
penarikan sampel ini, hitunglah: (a) Besarnya intensitas sampling ( %), (b) Diameter
pohon rata-rata per hektar untuk seluruh populasi (cm/Ha), (c) Standard Error XS
dan (d) Kecermatan Sampling (P)
7. Suatu populasi hutan tropis seluas 300 Ha dengan letak posisi pohon seperti tertera
pada peta persebaran pohon skala 1: 20.000 (peta pohon terdapat pada lampiran)
akan dilaksanakan inventarisasi dengan metoda sistematik sampling yaitu: Continous
Strip Sampling. Oleh sebab itu pada kawasan hutan tersebut dibagi ke dalam petak-
petak ukur sebanyak 25 buah yang sama besarnya dan berbentuk jalur – jalur dengan
arah Utara – Selatan. Dari 25 buah jalur tersebut tariklah contoh sebanyak 8 atau 9
jalur secara sistematik yaitu dimana jarak antara jalur yang terpilih dengan contoh
sebanyak 2 jalur. Catatlah jenis dan diameter pohon yang terdapat pada jalur yang
terpilih sebagai contoh kemudian hitunglah : (a) Besarnya intensitas sampling (%), (b)
Diameter pohon rata-rata per hektar, (c) Jumlah pohon rata-rata per hektar, (d)
110
Standard Error XS untuk diameter dan jumlah pohon dan (d) Kecermatan sampling
untuk diameter dan jumlah pohon (P).
8. Lakukan inventarisasi hutan pada lahan hutan yang ada di sekitar Fak. Pertanian
Unpatti seluas 1 ha. Buatlah peta sebaran pohonnya dan setelah itu lakukan berbagai
macam teknik sampling Simple Random Sampling, (b) Stratified Random Sampling,
(c) Systematic Sampling, (d) Multistage Sampling dengan I.S = 20% dan 30%.
Bagaimana hasil rata-rata volume kayu yang diperoleh dari masing-masing teknik
sampling tersebut? Teknik sampling yang manakah yang memberikan kecermatan
sampling paling baik?
111
BAB V. TEKNIK PENARIKAN CONTOH BERBASIS JUMLAH POHON PADA
INVENTARISASI HUTAN
Deskripsi singkat
Pada bab ini akan dibahas mengenai dua macam teknik penarikan contoh (sampling
technique) berbasis jumlah pohon pada inventarisasi hutan yaitu: Tree Sampling dan Point
Sampling.
Kompetensi dasar
Mahasiswa mampu mengaplikasikan berbagai jenis teknik sampling dalam pelaksanaan
inventarisasi hutan berbasis jumlah pohon termasuk dalam memilih teknik sampling yang
tepat sesuai dengan situasi dan kondisi hutan yang akan dilaksanakan inventarisasi.
Indikator
1. Mengapilkasikan teknis sampling pada kegiatan inventarisasi hutan berbasis jumlah
pohon.
2. Menggunakan rumus matematika dan statistika yang menjadi dasar dari perhitungan
sampling pada pengukuran pohon dan inventarisasi hutan.
3. Menghitung harga rata-rata, standar deviasi, selang kepercayaan, kecermatan pada
penarikan contoh Tree Sampling dan Point Sampling.
4. Menganalisis kelemahan dan keunggulan Tree Sampling dan Point Sampling
5.1 Tree Sampling
Penarikan pohon contoh yang dikenal dengan “Tree Sampling” diperkenalkan oleh
Dr. Prodan (pada tahun 1969) dan kemudian dikembangkan oleh Zobeiry (pada tahun
1978). Secara sederhana pencuplikan sejumlah pohon contoh diartikan bahwa tiap petak
ukur terdiri dari sejumlah pohon contoh yang tertentu terdekat ke pusat petak ukur.
Pohon contoh jumlah dapat 6, 8, 10 pohon dan seterusnya, tergantung
kepentingannya. Jika ingin diambil 6 pohon contoh tiap petak ukurnya maka dari setiap
petak ukur diambil 6 pohon terdekat pohon contoh. Ke enam pohon contoh tersebut
mempunyai ukuran diameter berturut-turut misalnya: d1, d2, d3, d4, d5 dan d6, maka
luas bidang dasar dapat ditaksir untuk semua pohon dalam satu hektar dengan mengikuti
formula:
112
2
26
2
1....21
46
000.10/ dddx
RHaG
.......................... (5.1)
atau
2
26
2
1....21
6
500,2/ dddx
RHaG
.......................... (5.2)
Luas bidang dasar rata-rata/Ha untuk seluruh hutan dapat ditaksir dari:
2
......2211/
F
xFiGiFxGFxGHaG .......................... (5.3)
dimana:
i = 1 ....... n
G = Luas bidang dasar/Ha dari pohon tiap petak ukur/plot
F = Luas tiap-tiap petak ukur
Untuk jelasnya mengenai Tree Sampling dengan 6 pohon contoh dapat dilihat pada
Gambar 5.1 berikut ini:
Gambar 5.1. Sebuah petak ukur yang berisi 6 pohon contoh.
Keterangan:
d6 = diameter setinggi dada pohon ke 6, a6 = jarak dari pohon ke 6 ke pusat petak
(s), r6 = a6 + 2
1 d6 = jari-jari petak ukur
113
Contoh perhitungannya adalah sbb:
Pada sebuah petak hutan pinus seluas 30 Ha, akan ditempatkan 5 petak ukur
secara acak dan menggunakan “Tree Sampling” dimana tiap petak ukur berisi 6 pohon
contoh. Tujuan Inventore adalah untuk mengetahui luas bidang dasar rata-rata/Ha
untuk seluruh petak hutan. Berkenan hal itu perlu mengadakan pengukuran diameter
pohon dan jari-jari petak ukur plot. Hasilnya dapat diperiksa pada Tabel 5.1.
Pembuatan petak ukur dengan tree sampling ini sebenarnya tidak begitu berbeda
dengan pembuatan petak-petak ukur bentuk lingkaran sebelumnya yang telah
disampaikan di muka. Tree sampling memusatkan pada jumlah pohon yang harus
dipenuhi dalam satu peak ukur sedangkan luas petak ukur dapat berbeda-beda
tergantung dari kerapatan tegakan yang dihadapi. Semakin rapat kondisi tegakan yang
ada akan semakin kecil petak ukurnya dan sebaliknya. Pembuatan petak ukur bentuk
lingkaran justru menetapkan dulu luas petak ukurnya sehingga jumlah pohon yang
terpilih sebagai contoh pada setiap petak ukurnya berbeda-beda tergantung dari
kerapatan tegakan yang dihadapi.Semakin rapat kondisi tegakan yang dihadapi, maka
kemungkinan untuk memperoleh jumlah pohon contoh setiap petak ukurnya semakin
besar atau dengan perkataan lain semakin rapat tegaka semakin banyak jumlah pohon
yang terdapat dalam setiap petak ukurnya dan sebaliknya.
Menurut Zobeiry (1978) pencuplikan 6 pohon contoh mempunyai beberapa
keuntungan antara lain:
1. Pekerjaan lapangan lebih sederhana sebab hanya dibutuhkan 2 krew tenaga kerja.
2. Adanya kemudahan dalam pengukuran pohon terpilih pada petak ukur dan luas
dari petak ukur tergantung pada kerapatan tegakan.
114
Tabel 5.1.Hasil perhitungan luas bidang dasar rata-rata per Ha dengan metode
Tree Sampling
No.
PU
No.
PC
d
(m)
d2
(m2)
d6
(m) 2
1d6
(m)
R6
(m)
R62
(m2)
F =
πR26
(m2)
6/Ha
(m2/Ha)
F x 6
1 1
2
3
4
5
6
0,4838
0,4265
0,3247
0,5411
0,5730
0,3119
0,2341
0,1819
0,1054
0,2928
0,3283
0,0486*
9,89
0,16
10,05
101,00
∑ 6 1,1911 317,31 29,4827 9354,8607
II 1
2
3
4
5
6
0,3229
0,4648
0,5422
0,5822
0,3426
0,4243
0,1043
0,2160
02940
03390
01174
0,0900*
5,28
0,21
5,49
30,14
∑ 6 1,1607 94,69 96,2757 9116,3473
III 1
2
3
4
5
6
0,5825
0,4728
0,6102
05620
0,2948
0,3642
0,3394
0,2235
0,3723
0,3158
0,0869
0,0663*
6,24
0,18
6,42
41,22
∑ 6 1,4042 129,50 85,1650 11028,8634
IV 1
2
3
4
5
6
0,4283
0,3926
0,5224
0,2928
0,7263
0,4026
0,1834
0,1541
0,2729
0,0857
0,5275
0,0810*
8,84
0,20
9,04
81,72
∑ 6 1,3046 256,74 39,9107 10246,6656
115
V 1
2
3
4
5
6
0,2628
0,2984
0,3428
0,5264
0,3042
0,4924
0,0691
0,0890
0,1175
0,2771
0,0925
0,1212*
5,27
0,20
5,52
30,47
∑ 6 0,7664 95,73 62,8815 6019,6482
Total 893,97 45766,3852
Luas bidang dasar rata-rata/Ha untuk seluruh hutan pinus tersebut adalah:
Ham /1945,5197,893
3852,45766 3
5.2 Point Sampling
Point sampling adalah penarikan contoh dimana pengukuran contoh dilakukan
dari suatu titik yang merupakan titik pusat dari petak ukur yang bersangkutan dan
penaksiran luas bidang dasar dari suatu pohon dilakukan berdasarkan perbandingan
antara luas bidang dasar pohon tersbut dengan luas suatu lingkaran dimana titik pusat
ke dua lingkaran tersebut berhimpit, yaitu terletak pada titik pusat penampang lintang
pohon. Besar kecilnya lingkaran ini ditentukan oleh ukuran alat yang dipakai. Point
sampling ini diciptakan oleh Bitterlich (1948), seorang rimbawan Austria sehingga cara
ini disebut Metode Bitterlich atau Plot Less Sampling atau Probability Proportional to
Size (PPS – Sampling).
Metode ini diciptakan untuk mengatasi beberapa kekurangan dari penarikan
contoh pada cara konvensional (dengan pembuatan petak ukur, pengukuran luas
bidang dasar tiap hektar dilengkapi dengan pengukuran tinggi rata-rata dan jumlah
batang dan lain-lain:
- Dalam praktek cara konvensional mengandung 2 keberatan yaitu memerlukan
waktu dan biaya yang mahal dan masalah border line trees merupakan faktor yang
paling berpengaruh terhadap kecermatan contoh.
- Dalam metode point sampling pengambilan pohon sebagai contoh proporsionil
sesuai dengan ukuran (luas bidang dasar/diameter) dari tiap-tiap pohon maka
dapat dihindari pengambilan pohon-pohon yang berukuran kecil yang terlalu
banyak dan pohon-pohon yang berukuran besar yang tidak memadai. Hal ini
116
terutama terjadi pada inventarisasi hutan yang mempunyai variasi diamater pohon
yang besar dan dianggap sebagai salah satu keberatan pula.
Ciri-ciri Point Sampling adalah sbb:
- Penempatan titik pusat petak ukur dalam areal yang diukur dapat dilakukan
seperti pada cara konvensional hanya dalam cara ini batas petak ukur tidak
perlu dibuat dan pengambilan pohon sebagai contoh hanya berdasarkan sudut
pandang dari alat yang dipakai dan luas bidang dasar dari pohon yang
bersangkutan.
- Peluang bagi tiap individu pohon tidak sama satu dengan yang lain. Semakin
besar luas bidang dasar suatu pohon, semakin besar pula peluangnya untuk
diambil sebagai contoh.
Metode Point Sampling bisa sangat cepat dilaksanakan, dipakai cara luas
didaerah temperate dan terbukti memberi hasil yang memuaskan. Untuk kawasan
hutan hujan tropika, metode ini kurang disukai karena akan menimbulkan berbagai
kesulitan yang dapat memperbesar kesalahan contoh yaitu:
- Tumbuh-tumbuhan bawah yang lebat dapat menyebabkan tertumpuknya diameter
setinggi dada dari pohon-pohon yang akan diukur.
- Karena pohon cukup rapat dengan ukuran yang sangat beragam maka pohon yang
jauh sering tertutup oleh pohon yang lebih dekat dengan pusat petak ukur.
- Kadang-kadang tajuk yang rapat dapat menyebabkan tidak jelasnya penglihatan
pada alat yang dipakai.
- Untuk lapangan yang miring, pohon-pohon condong atau pohon yang berbanir
diperlukan pengukuran dan perhitungan yang teliti.
Pada garis besarnya ada dua macam alat untuk mengukur luas bidang dasar pada
point sampling yaitu alat pengukur sudut dan prisma.
a. Alat Pengukur Sudut
Alat pengukur sudut terdiri dari sebuah tongkat dengan pelat lobang pada kedua
ujungnya yang diberi lubang sehingga jika kita lihat pada salah satu ujungnya akan
terlihat sudut pandang yang disebut sudut kritis.
117
Gambar 5.2. Sebuah alat pengukur sudut
Dari alat tersebut di atas nampak bahwa antara panjang tongkat dengan lebar lubang
yang terdapat pada ujung (2) mempunyai perbandingan tertentu yaitu, 1 cm : 50 cm
atau 1 : 50. Selanjutnya perbandingan ini merupakan konstante (k) yang besarnya
1/50 mempunyai faktor luas bidang dasar (BAF = 1). Kadang-kadang dapat pula
dengan konstante 2/50 (BAF = 4), 3/50 (BAF = 9) tergantung keadaan tegakan yang
akan diinventarisir.
Untuk mengetahui luas bidang dasar tiap hektar dicari dengan membidikkan alat
tersebut pada setinggi mata dari pusat petak ukur ke segenap penjuru wilayah dimana
pohon-pohon berada disekeliling pusat petak ukur tersebut. Pohon-pohon yang terpilih
sebagai contoh adalah bila dilihat dari pusat petak ukur mempunyai diameter lebih
besar dari lubang pengamatan (lihat gambar posisi 1) sedang yang tidak terpilih
sebagai contoh adalah pohon-pohon yang mempunyai diameter lebih kecil dari lubang
pengamatan (posisi 3). Apabila diameter pohon yang bersangkutan sama dengan
lubang pengamatan, ini dikenal dengan “Border Line Trees” (posisi 2).
118
Keterangan:
a. Pohon 1, 3, 5, 7, 10 terpilih sebagai contoh.
b. Pohon 2, 4, 9 sebagai pohon batas.
c. Pohon 6, 8 tidak terpilih sebagai contoh.
Gambar 5.3. Alat pengukur sudut yang dibidikkan ke pohon untuk penentuan pohon
yang dipilh sebagai contoh.
119
Luas bidang dasar tiap hektar atau tiap petak ukur =
Lbds/Ha/P.U = n x BAF .......................... (5.4)
dimana: n = jumlah pohon yang terpilih sebagai contoh
BAF = Basal Areal Factor atau faktor luas bidang dasar dari alat pengukur sudut yang
dipergunakan.
Pemilihan Nilai BAF:
Seperti disebutkan di muka bahwasanya pemilihan BAF hendaknya disesuaikan
dengan keadaan tegakan yang dihadapi. Jika BAF yang dipilih tidak sesuai dengan
keadaan tegakan yang dihadapi akan terjadi pemborosan waktu atau penurunan
kecermatan taksiran. Pemilihan nilai BAF ini serupa dengan pemilihan luas petak ukur
yang optimum pada cara konvensional. Faktor-faktor yang berpengaruh pada
penentuan nilai BAF adalah:
Kerapatan tegakan:
Jika keadaan hutan yang dihadapi ternyata mempunyai kerapatan yang cukup tinggi
maka kemungkinan adanya pohon yang tertutup oleh pohon-pohon lain bila dilihat dari
titik pusat petak ukur akan lebih besar jika dibandingkan dengan tegakan yang lebih
jarang. Pohon-pohon yang tidak tercatat menjadi contoh, karena tertutup oleh pohon-
pohon yang lain akan merupakan sumber kesalahan dalam metode ini. Berkenaan
dengan hal tersebut, tegakan yang rapat dipilih alat pengukur sudut dengan nilai BAF
yang semakin kecil dan sebaliknya.
Ukuran Diameter atau luas bidang dasar rata-rata dari pohon yang diukur.
Nilai BAF yang besar dimaksudkan untuk pohon-pohon ukuran kecil, bila BAF yang
dipakai lebih kecil dari BAF yang semestinya untuk suatu tegakan maka akan lebih
banyak pohon yang tercatat sebagai contoh.
Terlalu banyaknya jumlah pohon yang dicatat sebagai contoh akan memperbesar
peluang akan terjadinya kesalahan dan memperbanyak waktu yang diperlukan untuk
pengukuran dan perhitungan. Pada hutan tanaman yang seumur, ukuran dari pohon-
pohon sejalan dengan umurnya. Oleh sebab itu BAF yang dipilih didasarkan pada klas
umur dari tegakan. Sudah barang tentu akan diperlukan beberapa alat pengukur
dengan nilai BAF yang berbeda-beda, sesuai dengan kelas-kelas umur yang ada.
Contoh perhitungannya adalah sbb:
120
Suatu petak hutan seluas 70 ha ditempatkan 14 titik pusat petak ukur dan pada
masing-masing titik tersebut dilaksanakan point sampling dengan menggunakan alat
pengukur sudut (BAF: 4). Pengukuran luas bidang dasar dengan BAF = 4 sbb:
Tabel 5.2. Hasil perhitungan luas bidang dasar/hektar/petak ukur dengan cara
point sampling.
Nomor
Petak Ukur
Jumlah Pohon
Contoh (n)
Lbds/Ha/PU
(m)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
10
6
6
7
4
8
9
10
8
13
7
6
5
13
40
24
24
28
16
32
36
40
32
52
28
24
20
52
Jumlah = 448
Rata-rata Lbds/Ha Ham /3214
448 2
b. Prisma (Wedge Prism)
Alat pengukur luas bidang dasar pada point sampling dengan prisma pada
dasarnya adalah memanfaatkan sinar yang melewati prisma dari kaca sehingga terjadi
penyimpangan sudut (sudut bias). Untuk penentuan pohon-pohon yang terpilih
sebagai contoh maka prisma yang terbentuk seperti baji tersebut diletakkan dalam
posisi melintang didepan mata ditunjukkan disegenap wilayah dimana pohon-pohon itu
berada seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
121
Gambar 5.4. Prisma yang dibidikkan ke pohon
Besarnya sudut bias prisma (diopters) akan menentukan nilai BAF-nya, sebuah
prisma dengan kekuatan satu diopters akan memindahkan kenampakan obyek sejauh
1 unit dalam 100 unit. Misalnya suatu pohon dilihat dari jarak 100 m dengan prisma
yang berkekuatan 1 diopters, pohon akan tampak bergeser dari tempat aslinya sejauh
1 m. Jika berkekuatan prisma = 4 diopters, dia akan memindah kenampakan suatu
benda sejauh 4 m pada jarak 100 m.
Sudut akibat yang dibiaskan prisma ini sama halnya dengan sudut pandang pada
alas pengukur sudut. Semakin kecil kekuatan prisma, nilai k semakin kecil dan BAF-nya
juga akan semakin kecil dan sebaliknya.
122
Besarnya nilai BAF dapat dihitung dengan penentuan sbb:
1. Nilai k (konstante)
Contoh: Suatu benda dengan lebar 25 cm dan dengan prisma yang akan diukur
BAF-nya, benda tersebut nampak bergeser sejauh 25 cm dan jarak 6,25 m (= 625
cm), maka nilai k = 25/625 = 1/25.
Jadi nilai BAF prisma = 4
2. Kekuatan (diopters) prisma
Prisma yang telah diketahui kekuatannya, nilai BAF dapat dihitung dari persamaan :
4
2diopters
BAF ……………………………. .......................... (5.5)
Contoh: Sebuah prisma memiliki kekuatan 4 diopters, maka nilai BAF-nya
44
16
4
42
Luas bidang dasar tiap hektar atau tiap petak ukur
BAFxnUPhalbds .// …………………… .......................... (5.6)
dimana: n = jumlah pohon yang terpilih
Penentuan Intensitas Sampling pada Point Sampling
Mengingat dalam point sampling luas tiap petak ukur tidak diketahui seperti halnya
pada tree sampling maka pengertian intensitas sampling menjadi agak berbeda dengan
pada cara konvensional. Penentuan Intensitas Sampling disini adalah penentuan jumlah
titik pusat petak ukur yang diperlukan.
Dengan bantuan statistika, jumlah titik pusat petak ukur dapat ditentukan dengan
melihat variabilitas populasi yang dihadapi serta tingkat kesalahan yang diperlukan
sebagai berikut:
2
22
%
%
SE
tCVn ……………………. .......................... (5.7)
dimana: n = jumlah titik yang dibutuhkan
CV = Coeficien of Variation
t = Nilai t pada taraf peluang yang diinginkan
SE = Kesalahan contoh yang diperkenankan
Nilai CV % diambil dari contoh pendahuluan atau pengalaman inventore masa lalu.
123
Misalnya suatu survei pendahuluan untuk mengetahui standing stock dari hutan
pinus diperoleh X = 79.82, S = 36.2034, xS = 7.06 dengan SE = 10 % pada taraf
peluang akan diperlukan contoh sebanyak:
titik
x
SE
tCVn 89
100
24.8900
10
08.210082.79
2034.36
%
%2
2
2
22
Persamaan di atas cocok untuk petak-petak hutan yang lusnya lebih besar dari 80
Ha, sedangkan untuk petak-petak yang lebih kecil dari 80 Ha, (Deers & Miller, 1964)
memberikan pedoman sebagai berikut:
- Sekurang-kurangnya jumlah contoh harus 10 titik
- Untuk 16 Ha pertama, diambil 2,5 titik/Ha
- Untuk 16 Ha berikutnya, diambil 1,25 titik/Ha
- Untuk 48 Ha berikutnya, diambil 0,25 titik/Ha
- Untuk areal lebih dari 80 Ha digunakan rumus di atas.
Kerapatan Tegakan
Dalam upaya melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan, maka inventarisasi hutan
yang dilaksanakan selalu berusaha agar berbagai informasi yang lengkap mengenai
keadaan hutan yang dihadapi dapat diperoleh dengan baik. Informasi yang diinginkan
tentunya bukan hanya luas bidang dasar tegakan saja tetapi juga volume, jumlah
batang per Ha yang dikenal dengan kerapatan tegakan. Mengingat dalam metode
sampling perihal luas petak ukurnya tidak diketahui serta selalu berubah-ubah dari
pusat petak ke petak ukur tidak memberikan gambaran mengenai kerapatan tegakan
di petak ukur yang bersangkutan. Suatu petak ukur dengan jumlah batang yang lebih
banyak, belum tentu di tempat tersebut tegakannya lebih rapat dari pada di tempat
lain dengan petak ukur yang jumlah batangnya lebih sedikit.
Teori dari metode ini yaitu point sampling menjelaskan bahwa semua pohon yang
masuk contoh tidak memandang ukuran dari pohon tersebut, akan memiliki areal
seluas nilai BAF yang dipakai. Bila dipergunakan BAF = 1, berarti tiap pohon akan
mewakili Lbds = 1 m2/Ha.
Jumlah batang per hektar juga dapat ditaksir dari suatu pohon dengan ukuran
tertentu. Misalnya dalam suatu petak ukur terdapat sebatang pohon dengan diameter
= 27 cm. Pohon ini mewakili Lbds = 4 m2/Ha, jadi jumlah pohon yang diwakili oleh
124
pohon dengan rumus tersebut (27 cm) dalam 1 Ha = 4 m2 dibagi dengan Lbds dari
pohon itu yang dikenal dengan nama “Tree Factor”
gbaLbds
BAFFt tan70/80,69
0573,0
4
Besarnya Ft (Tree Factor) ini menggambarkan jumlah pohon dalam satu hektar
yang diwakili oleh suatu pohon dengan ukuran tertentu, yang terpilih sebagai contoh
maka untuk bisa mengetahui jumlah batang/Ha dalam metode point sampling, juga
harus dilakukan pengukuran terhadap diameter dari pohon yang terpilih sebagi contoh.
Hal ini sering menimbulkan kelambatan dalam pelaksanaan metode ini di lapangan.
Rangkuman
1. “Tree Sampling” atau pencuplikan sejumlah pohon contoh diartikan bahwa tiap petak
ukur terdiri dari sejumlah pohon contoh yang tertentu terdekat kepusat petak ukur.
Pohon contoh yang dipilih berjumlah 6, 8, 10 pohon dan seterusnya, tergantung
kepentingannya. Jika ingin diambil 6 pohon contoh tiap petak ukurnya maka dari
setiap petak ukur diambil 6 pohon terdekat pohon contoh demikian seterusnya.
2. Point sampling adalah penarikan contoh dimana pengukuran contoh dilakukan dari
suatu titik yang merupakan titik pusat dari petak ukur yang bersangkutan dan
penaksiran luas bidang dasar dari suatu pohon dilakukan berdasarkan perbandingan
antara luas bidang dasar pohon tersebut dengan luas suatu lingkaran dimana titik
pusat ke dua lingkaran tersebut berhimpit, yaitu terletak pada titik pusat penampang
lintang pohon. Besar kecilnya lingkaran ini ditentukan oleh ukuran alat yang dipakai.
Metode ini diciptakan untuk mengatasi beberapa kekurangan dari penarikan contoh
pada cara konvensional (dengan pembuatan petak ukur, pengukuran luas bidang
dasar tiap hektar dilengkapi dengan pengukuran tinggi rata-rata dan jumlah batang
dan lain-lain).
125
Soal-soal Latihan dan Tugas
1. Apa yang dimaksud dengan penarikan contoh tree sampling dan point sampling?
Jelaskan.
2. Apa perbedaan prinsip antara penarikan contoh tree sampling dan point sampling?
Jelaskan.
3. Suatu tegakan hutan Pinus yang rapat akan dilakukan inventarisasi dengan penarikan
contoh tree sampling. Diketahui bahwa pada satu petak ukur dijumpai 6 pohon
terdekat ke pusat petak ukur berjarak 11 m dan 8 pohon terdekat berjarak 15 m.
Diameter pohon ke 1 s.d 8 berturut-turut yaitu 45 cm, 55 cm, 32 cm, 43 cm, 67 cm,
77 cm, 44 cm, 51 cm. Hitunglah rata-rata diameter dan standar deviasi pohon pinus
pada satu petak ukur tersebut.
4. Lakukan inventarisasi hutan pada lahan hutan yang ada di sekitar hutan pendidikan
Gunung Nona dengan penarikan contoh tree samping dan point sampling. Ambilah 6
petak ukur baik pada tree samping maupun point sampling
yang penentuan pusat-pusat petak ukurnya sama. Hitunglah rata-rata diameter pada
penarikan contoh baik pada tree samping maupun point sampling. Berdasarkan hasil
tersebut maka lakukan telaah mana teknik penarikan contoh yang memberikan nilai
kecermatan yang lebih baik antara tree samping dan point sampling. Berikan alasan-
alasan Saudara.
5. Setelah Saudara menjalankan praktek pelaksanaan teknik penarikan contoh tree
samping dan point sampling di suatu tegakan hutan maka teknik penarikan contoh
manakah yang paling mudah dan praktis digunakan? Berikan alasan-alasan Saudara.
126
BAB VI. PROSEDUR STANDAR OPERASIONAL (STANDARD OPERATING
PROCEDURES / SOP) PADA KEGIATAN INVENTARISASI HUTAN
Deskripsi singkat
Bab ini membahas: pengertian Standar Operasional Prosedur (SOP), tujuan SOP serta
contoh-contoh SOP yang dibuat dan dilaksanakan dalam kegiatan inventarisasi hutan.
Kompetensi dasar
Mahasiswa dapat membuat SOP di bidang inventarisasi hutan serta mengembangkannya
di bidang-bidang lainnya.
Indikator
1. Menjelaskan pengertian dan tujuan SOP
2. Menjelaskan materi-materi dalam susunan suatu SOP
3. Membuat contoh-contoh SOP dalam bidang inventarisasi hutan yaitu: inventarisasi
tegakan sebelum penebangan (ITSP), inventarisasi tegakan tinggal (ITT), pengecekan
inventarisasi tegakan, survei topografi dan perpetaan.
6.1. Pengertian Standard Operating Procedures (SOP)
Prosedur Standar Operasional atau sering juga disebut dengan Standar Operasional
Prosedur atau dalam Bahasa Inggris disebut Standard Operating Procedures atau dikenal
dengan singkatan SOP adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan
sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja instasi pemerintah dan juga swasta
berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata
kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan. Tujuan SOP
adalah menciptakan komitment mengenai apa yang dikerjakan oleh satuan unit kerja baik
pada instansi pemerintahan maupun swasta untuk mewujudkan good governance atau tata
kelola yang baik. SOP ini tidak saja bersifat internal tetapi juga eksternal, karena SOP selain
dapat digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik, juga dapat digunakan untuk
menilai kinerja organisasi publik di mata masyarakat berupa responsivitas, responsibilitas,
dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah maupun swasta. Dengan demikian SOP
merupakan pedoman atau acuan untuk menilai pelaksanaan kinerja baik instansi
pemerintah maupun swasta berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan
127
prosedural sesuai dengan tata hubungan kerja dalam organisasi yang bersangkutan
(Atmoko, 2009).
Dalam SOP tersebut biasanya diatur berbagai ketentuan umum yang berlaku dalam
suatu unit kerja sedang ketentuan khususnya diatur tersendiri dalam bentuk surat edaran
dari Pimpinan Pejabat yang berwenang atau Direksi Perusahaan yang bersangkutan. Secara
garis besar, materi SOP terdiri atas:
- Kebijakan Umum yang berisikan: tujuan, ruang lingkup, penanggung jawab serta hal-al
yang akan diatur dalam kebijakan yang bersangkutan.
- Prosedur yang berisikan: petunjuk pelaksanaan operasional pekerjaan yang dilakukan.
Biasanya berupa urutan pekerjaan yang harus dilakukan dan akan lebih baik lagi jika
dilengkapi dengan aliran dokumen (flow of document) berikut contoh-contoh format
lampiran.
6.2 SOP pada Kegiatan Inventarisasi Hutan
Kegiatan inventarisasi a.l. mencakup inventarisasi tegakan sebelum penebangan,
inventarisasi tegakan tinggal, pengecekan inventarisasi tegakan, survey topografi dan
perpetaan. Berkaitan dengan hal tersebut berikut ini disajikan contoh masing-masing SOP-
nya seperti yang dibuat oleh satu HPH/ IUPHH model di Sampit, Kalimantan Tengah.
6.2.1 SOP Survei Topografi
Tujuan
a. Mendapatkan gambaran tentang konfigurasi areal yang mendekati bentuk
sebenarnya di lapangan berdasarkan hasil pengukuran di lapangan.
b. Sebagai pedoman dalam melakukan pekerjaan untuk mencapai hasil kerja yang
baik dan mempunyai akurasi yang tinggi.
c. Sebagai data dasar dalam perencanaan penataan hutan produktif yang baik dalam
pembukaan wilayah hutan yang mantap dan efektif serta untuk perencanaan
produksi yang efisien dan optimal.
d. Pemantapan Rencana Kerja Lima tahun (RKL) dan Rencana Karya Tahunan (RKT),
sehingga pengelolaan hutan dapat dilaksanakan dengan baik, efisien dan
produktifitasnya tinggi.
Penanggung Jawab
a. Surveyor/Leader: Bertanggung jawab dalam pengaturan pelaksanaan kerja team
128
pengukuran, kebenaran dalam pelaksanaan dan hasil pelaksanaan di lapangan
maupun secara administratif.
b. Kasie. Keteknikan Hutan: Bertanggung jawab dalam pengaturan pelaksanaan kerja
dan hasil kerja dari pars surveyor di lapangan maupun administratif (hasil peta topo
survey), serta pengawasan.
c. Kabag. Perencanaan: Bertanggung jawab dalam pengendalian kerja (beaya, waktu
dan sasaran), koreksi dan pemanfaatan peta topografi untuk kegiatan perencanaan
selanjutnya.
Masukan yang Dibutuhkan
- Peta Poligon tebangan skala 1:5.000 (hasil plotting koordinat terkoreksi)
- Data X (absis) dan Y (ordinat) dari setiap patok poligon tebangan hasil
pengukuran poligon tertutup dalam PAK batas alam.
- Data H (elevasi/ketinggian) dari setiap patok poligon tebangan hasil pengukuran
waterpassing memanjang.
Siklus Waktu Pelaksanaan
- Pelaksanaan survey disesuaikan dengan rencana kegiatan perencanaan hutan
dalam RKT yang berjalan.
- Waktu yang diperlukan untuk melakukan survey topografi dalam 100 Ha/1
petak kerja rata-rata 20 hari, dengan mempertimbangkan prasarana dan
fisiografi lapangan. Sedangkan untuk pengolahan data hingga pembuatan peta
dibutuhkan waktu sekitar 12 hari
Urutan Kerja
Urutan kerja survei topografi disajikan pada Gambar 6.1.
129
Gambar 6.1. Urutan Kerja Survei Topografi
Instruksi Kerja
a. Tata waktu pelaksanaan kerja
Toposurvey dilaksanakan setelah kegiatan PAK, dimana bentuk areal kerjanya
berupa areal non square (poligon) dengan menggunakan batas alam.
Perencanaan Kerja
1. MENYIAPKAN TITIK IKAT & PEMASANGAN PATOK 2. MENYIAPKAN RENCANA PENGUKURAN (STARTING POINT,
DLL) 3. PENYIAPAN BARANG-BARANG SURVEY
Pengambilan Data Lapangan
1. PENENTUAN TITIK IKAT & PEMASANGAN PATOK 2. PENGUKURAN 3. PEMBUATAN SKETSA LAPANGAN
Pengolahan Data Survey
1. PERHITUNGAN DATA 2. MENCARI KESALAHAN DATA 3. PERHITUNGAN KOREKSI DATA (ABSIS, ORDINAT, BEDA
TINGGI) 4. PENENTUAN KOORDINAT TERKOREKSI
Penggambaran Peta Topografi
1. PLOTTING DATA KOORDINAT TERKOREKSIPOLIGON TEBANGAN
2. PLOTTING DATA KOORDINAT TERKOREKSI HASIL TOPOSURVEY
3. PENARIKAN GARIS KONTUR INTERVAL 5 METER 4. PENARIKAN KONTUR INDEX 100 METER 5. PEMBUATAN PETA MANUSKRIP SKALA 1:5.000 6. PEMBUATAN PETA KALKIR TOPOSURVEY 1:5.000
130
b. Perencanaan Kerja
-Rencana pengukuran
Kegiatan perencanaan pengukuran toposurvey dilakukan di kantor dengan input
data berupa peta poligon tebangan skala 1:5.000 dan koordinat (X,Y dan Z)
terkoreksi dari setiap titik pada poligon tebangan.
Berdasarkan input data tersebut dapat ditentukan:
Rencana lokasi kerja
Titik ikat pengukuran untuk setiap jalur, yakni berupa titik awal dan akhir
pengukuran
Arah pengukuran setiap jalur ukur (azimuth)
Jarak antara titik awal dan titik akhir pengukuran
Beda tinggi antara titik awal dan titik akhir setiap jalur ukur
-Penyusunan team kerja
Jumlah tenaga kerja yang diperlukan sebanyak 8 (delapan) orang dengan
pembagian tugas dan formasi sebagai berikut:
1 orang sebagai team leader, yang bertugas mengukur kelerengan dan
mencatat data hasil pengukuran.
1 orang compassman, yang bertugas menetapkan arah pembuatan jalur ukur
toposurvey.
2 orang brusher/perintis, yang bertugas membuat jalur ukur survey
2 orang chainman, yang masing-masing: front chainman, yang sebagai
pemasang patok, tag plate dan tanda-tanda yang diperlukan & back chainman
bertugas sebagai pelapor dan pembaca jarak miring pada skala bacaan pita
ukur.
1 orang pembantu umum, yang bertugas membantu team leader dalam
memperkirakan letak puncak gunung/bukit, arah alur sungai dan anak sungai,
luasan rawa-rawa, pertambakan dan informasi lain di lapangan.
1 orang tukang masak, yang bertugas menyediakan konsumsi seluruh anggota
kerja
131
-Penyiapan barang keperluan survei
a. Barang survei yang harus disiapkan meliputi:
Bahan makanan
Perlengkapan masak
Perlengkapan tidur
Obat-obatan
Terpal plastik untuk tenda ukuran 6x8 meter
Terpal plastik untuk dapur ukuran 4x6 meter
Kapak dan parang, dll
b. Penyiapan alat ukur:
2 buah alat pengukur azimuth (compass merk suunto)
1 buah alat pengukur sudut miring (clinometer merk suunto)
2 buah alat pengukur jarak (tali ukur nylon @ 30 meter), dimana salah
satunya merupakan cadangan.
c. Penyiapan alat bantu pengukuran
Tally sheet
Alat hitung (kalkulator)
Alat tulis (ballpoint, spidol permanen, pensil & penghapus karet)
2 buah tongkat kayu yang sama tingginya
Tag plate
Gun stapler
Cat merah untuk penanda jalur ukur
c. Pengambilan data lapangan
Langkah-langkah yang dilakukan dalam survey topografi adalah sebagai
berikut:
1. Team leader menentukan starting point untuk setiap jalur ukur di lapangan
sesuai dengan rencana jalur ukur yang telah ditetapkan sebelumnya, sedangkan
pembantu umum membantu membuat sketsa lapangan.
2. Compassman membuat jalur ukur dengan mengacu pada arah pengukuran
(azimuth) yang telah direncanakan pada peta poligon tebangan skala 1:5.000.
3. 2 orang brusher memperbesar jalur ukur dengan mengacu kepada jalur yang
132
telah dibuat oleh compassman dan dengan lebar bukaan rintisan ± 1 meter.
4. Back chainman meletakkan salah satu ujung tali ukur di ujung atas dari tongkat
kayu yang didirikan pada awal stasiun.
5. Dengan mempersiapkan patok dan tongkat kayu, front chainman menarik tali
ukur pada skala bacaan nol ke stasiun berikutnya (stasiun muka/akhir). Pasang
patok pada titik yang akan diukur ketinggiannya kemudian letakkan skala bacaan
nol tali ukur diujung atas tongkat kayu yang didirikan diatas patok tadi.
6. Back chainman merentangkan tali ukur (setegang mungkin) dan membaca skala
bacaan pada pita ukur yang menyinggung tepat di atas tongkat, dan kemudian
melaporkan hasil bacaan tersebut kepada team leader.
7. Pada waktu yang bersamaan, team leader melakukan pembacaan azimuth pada
compass dan bacaan helling (kelerengan) pada clinometer kemudian mencatat
hasil bacaan tersebut di atas tally sheet, dan juga bacaan pada pita ukur.
8. Pencatatan hasil pembacaan data ukur lapangan harus menggunakan ballpoint
dan jika terjadi kesalahan dalam pencatatan data, data yang dianggap salah
tidak boleh dihapus dan atau dicoret-coret, cukup dicoret satu kali kemudian
data yang dianggap benar ditulis di bawah atau di atas data yang dianggap
salah.
d. Pengolahan Data
Pada dasarnya dalam setiap pengukuran akan terjadi kesalahan, sehingga hasil
pengukuran tidak memenuhi syarat geometris. Karena itu hasil pengukuran
yang berupa arah (azimuth), sudut miring (helling), jarak lapang (miring) harus
diberi koreksi.
Syarat geometrik yang harus dipenuhi dalam pengukuran toposurvey, dimana
sistem yang digunakan adalah pengukuran poligon terikat yang titik awal dan
titik akhir pengukuran telah diketahui koordinatnya, adalah sebagai berikut:
∑ΔX = ∑ D Cos α = X (akhir) – X (awal) ± 10 meter √ D ............. (6.1)
∑ΔX = ∑ D α = Y (akhir) – Y (awal) ± 25 meter √ D .................... (6.2)
∑ΔX = ∑ D Cos β = Z (akhir) – Z (awal) ± 10 meter √ D ............. (6.3)
D = jumlah jarak datar dalam kilometer
133
Persamaan (6.1) dan (6.2) adalah syarat yang harus dipenuhi untuk pengukuran azimuth
dan jarak, sedangkan persamaan (6.3) harus dipenuhi untuk pengukuran sudut miring
dan jarak. Apabila terjadi kondisi dimana kesalahan pengukuran melebihi batas toleransi,
maka pengukuran untuk jalur tersebut harus diulangi.
Tahap pengolahan data dibagi dalam tiga bagian terpisah, yaitu:
Perhitungan data ukur lapangan
Tahap pengolahan data lapangan yang berupa data sudut miring, jarak miring dan
azimuth, merupakan pekerjaan yang meliputi:
Perhitungan jarak datar (D) antar stasiun pada tiap jalur ukur
D n-(n+1) = d n-(n+1) x Sin β n-(n+1) .......................... (6.4)
dimana, D n-(n+1) = jarak datar dari titik n ke titik n+1
d n-(n+1) = jarak miring dari titik n ke titik n+1
β n-(n+1) = sudut miring dari titik n ke titik n+1
Perhitungan beda tinggi (ΔZ) antar stasiun pada setiap jalur ukur
ΔZ n-(n+1) = d n-(n+1) x Cos β n-(n+1) ................ (6.5)
dimana, βZ n-(n+1) = beda tinggi dari titik n ke titik n+1
d n-(n+1) = jarak miring dari titik n ke titik n+1
β n-(n+1) = sudut miring dari titik n ke titik n+l
Perhitungan beda absis (ΔX) antar stasiun pada setiap jalur ukur
ΔX n-(n=l) = D n-(n+l) x Sin α n-(n+l) .................. (6.6)
dimana, AX n-(n+1) = beda absisi dari titik n ke titik n+1
D n-(n+1) = jarak datar dari titik n ke titik n+1
α n-(n+1) = azimuth dari titik n ke titik n+l
Perhitungan beda ordinat (Ali antar stasiun pada setiap jalur ukur
ΔY n-(n+1) = D n-(n+1) x Cos α n-(n+1) ................ (6.7)
dimana, AY n-(n+1) = beda ordinat dari titik n ke titik n+1
D n-(n+1) = jarak datar dari titik n ke titik n+1
α n-(n+1) = azimuth dari titik n ke titik n+1
1. Mencari kesalahan data ukur lapangan
Dengan adanya kesalahan dalam pengukuran, maka persamaan diatas menjadi
Mencari kesalahan data ukur beda tinggi (ΔZ)
134
∑ΔZ ukuran = ΔZ definitif = (Z akhir - Z awal) ................. (6.8)
∑AZ ukuran - (Z akhir - Z awal) = KPB ............................. (6.9)
∑AZ ukuran ± KPB = (Z akhir - Z awal) ............................(6.10)
dimana, KPB = kesalahan penutup beda tinggi
Mencari kesalahan data ukur beda absis (ΔX)
∑ΔX ukuran = AX definitif = (X akhir - X awal) ......... (6.11)
∑ΔX ukuran - (X akhir - X awal) = KPA ........................ (6.12)
∑ΔX ukuran ± KPA = (X akhir - X awal) ....................... (6.13)
dimana, KPA = kesalahan penutup beda absis
Mencari kesalahan data ukur beda ordinat (AV)
∑ΔY ukuran = ΔY definitif = (Y akhir - Y awal) ......... (6.14)
∑ΔY ukuran - (Y akhir - Y awal) = KPO ........................ (6.15)
∑ΔY ukuran ± KPA = (Y akhir - Y awal) ....................... (6.16)
dimana, KPO = kesalahan penutup beda ordinat
2. Perhitungan koreksi data ukur dan koordinat terkoreksi
Besarnya koreksi suatu data ukur berlawanan arah (tanda) dengan besaran kesalahan
itu sendiri. Jadi besaran kesalahan (f) sama dengan - (minus) koreksi (V), yaitu:
Kesalahan ukuran = - koreksi ukuran (KPB/KPA/KPO) atau f= - V ..........(6.17)
maka koreksi yang diberikan kepada data hasil pengukuran adalah:
Koreksi terhadap data ukur beda tinggi (ΔZ)
∑ΔZ ukuran + VZ = Z akhir - Z awal.......................... (6.18)
dimana, ∑ΔZ ukuran = jumlah beda tinggi ukuran
VZ = koreksi penutup beda tinggi
Z akhir = akhir ketinggian titik akhir pengukuran
Z awal = ketinggian titik awal pengukuran
Sedangkan besar koreksi yang harus-diberikan kepada setiap segmen (sisi):
V ΔZ (n-1)-n = D (n-1)-n : ∑D x VZ ...................... (6.19)
Sehingga ketinggian terkoreksi setiap titik adalah:
Zn = Z (n-1) + ΔZ (n-1)-n + VΔZ (n-1)-n
Dimana, Zn = ketinggian terkoreksi di titik n
Z (n-1) = ketinggian terkoreksi di titik (n) sebelumnya
135
ΔZ (n-1)-n = beda tinggi sisi ukuran
VΔZ (n-1)-n = koreksi beda tinggi sisi ukuran
D (n-1)-n = jarak datar sisi ukuran
∑ D = jumlah jarak datar pada jalur ukur
Koreksi terhadap data ukuran beda absis (ΔX)
∑ΔX ukuran + VX = X akhir - X awal ..................... (6.20)
Dimana, ∑AX ukuran = jumlah beda absis ukuran
VX = koreksi penutup beda absis
X akhir = absis titik akhir pengukuran
X awal = absis titik awal pengukuran
Sedangkan besar koreksi yang harus diberikan kepada setiap segmen (sisi):
V ∑AX (n-1)-n = D (n-1)-n : ∑D x VX ................. (6.21)
Sehingga ketinggian terkoreksi setiap titik adalah :
Xn = X (n-1) + ΔX (n-1)-n + VΔX (n-1)-n ............ (6.22)
Dimana, Xn = absis terkoreksi di titik n
X (n-1) = absis terkoreksi di titik (n) sebelumnya
ΔX (n-1)-n = beda absis sisi ukuran
VΔX (n-1)-n = koreksi beda absis sisi ukuran
D (n-1)-n = jarak datar sisi ukuran
∑ D = jumlah jarak datar pada jalur ukur
Koreksi terhadap data ukuran beda ordinat (ΔY)
∑ΔY ukuran + VY = Y akhir - Y awal ....................... (6.23)
Dimana, ∑ΔY ukuran = jumlah beda ordinat ukuran
VY = koreksi penutup beda ordinat
Y akhir = ordinat titik akhir pengukuran
Y awal = ordinat titik awal pengukuran
Sedangkan besar koreksi yang harus diberikan kepada setiap segmen (sisi):
V ΔY (n-1)-n = D (n-1)-n : ∑D x VY ......................... (6.24)
sehingga ketinggian terkoreksi setiap titik adalah :
Yn = Y (n-1) + ΔY (n-1)-n + VΔY (n-1)-n ................. (6.25)
dimana, Yn = ordinat terkoreksi di titik n
Y (n-1) = ordinat terkoreksi di titik (n) sebelumnya
136
ΔY (n-1)-n = beda ordinat sisi ukuran
VΔY (n-1)-n = koreksi beda ordinat sisi ukuran
D (n-1)-n = jarak datar sisi ukuran
Y- D = jumlah jarak datar pada jalur ukur
e. Penggambaran
Dalam tahap penggambaran dibagi menjadi beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Plotting data koordinat terkoreksi diatas kertas milimeter blok
Plotting data koordinat terkoreksi adalah pemasangan titik-titik detail lapangan
diatas peta (bidang proyeksi dengan skala tertentu) yang dalam hal ini dibuat
diatas kertas milimeter blok (peta manuskrip), dengan mencantumkan feature
atributnya, dengan tahapan sebagai berikut:
Points feature
Berupa koordinat terkoreksi dengan atribut nomor stasiun dan ketinggiannya,
balk titik awal dan titik akhir pengukuran toposurvey dari hasil kegiatan
penataan areal kerja (poligon tebang) serta posisi setiap stasiun dari setiap
jalur ukur toposurvey.
Lines Feature
Menggambarkan letak sungai / anak sungai dengan berdasarkan pada data
koordinat terkoreksi dari titik As sungai yang diukur dilapangan dan dibantu
dengan data sketsa lapangan mengenai lebar sungai dan arah alirannya.
Areas feature
Menggambarkan luasan daerah rawa, pasang-surut, batuan, pertambakan dan
lain sebagainya berdasarkan pada sketsing di lapangan.
2. Penarikan Garis kontur
a. Menghubungkan garis yang mempunyai ketinggian yang sama, dengan
memperhatikan hasil sketsa lapangan dan dengan interval ketinggian sebesar
2,5 meter dan index sebesar 10 meter.
b. Contoh perhitungan letak garis kontur dengan sistem interpolasi dalam satu
jalur ukur dapat dilihat pada lampiran.
c. Hasil dari kedua tahapan diatas (a dan b) berupa peta manuskrip yang siap
dipindahkan keatas kertas kalkir.
137
3. Penggambaran halus diatas kertas kalkir
Sebagai kelanjutan dari penggambaran berupa peta manuskrip kemudian
diperhalus hasilnya diatas kertas kalkir, untuk selanjutnya dinamakan PETA
TOPOGRAFI.
Peta topografi dapat disajikan dalam dua bentuk:
Skala 1:5.000, dengan interval kontur 5 meter dan index kontur 25 meter,
untuk digunakan perencanaan trace jalan diatas meja dan peta kerja di
lapangan.
Skala 1:25.000, dengan interval kontur 25 meter dan index kontur 100 meter,
untuk digunakan dalam penataan blok tebangan dan peta trace rencana
jaringan jalan.
Contoh perhitungan letak garis kontur dengan cara interpolasi dalam satu jalur
disajikan berikut ini.
Kasus:
Elevasi pada stasiun (sta) 9 adalah = 73,91 meter
Elevasi pada stasiun (sta) 8 adalah = 78,55 meter
Jarak datar antara stasiun 7 dan 8 adalah = 29 meter
Mencari letak garis kontur pada ketinggian 75 meter (?)
Penyelesaian:
a. Interpolasi ke atas
(75 – 73,91) / (78,55 – 73,91) x 29 meter = 6,81 meter
jadi letak garis kontur ketinggian 75 meter adalah, 6,81 meter, Jadi dari stasiun
9 menuju stasiun 8
b. Interpolasi ke bawah
(78,55 – 75) / (78,55 – 73,91) x 29 meter = 22,19 meter
jadi letak garis kontur ketinggian 75 meter adalah 22,19 meter dari stasiun 8
menuju stasiun 9
6.2.2 SOP Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP 100%)
Tujuan
Tujuan dilaksanakannya kegiatan ITSP 100% adalah:
a. Mendapatkan data tentang dimensi pohon, meliputi
138
b. Jenis, diameter, tinggi dan jumlah pohon inti.
c. Jenis, diameter, tinggi dan jumlah pohon yang akan ditebang, pohon induk dan
jenis pohon yang dilindungi.
d. Mengetahui letak terhadap jenis-jenis pohon yang diamati.
e. Untuk memperoleh informasi tentang kondisi umum lapangan, meliputi:
konfigurasi lapangan, keadaan fisik tanah, sungai dan anak sungai, rawa dan lain-
lain.
Berdasarkan data potensi yang diperoleh, untuk selanjutnya digunakan dalam
penentuan arah jalan angkutan, jalan sarad, serta perencanaan pemanenan agar
dapat efektif dan efisien.
Penanggung Jawab
Leader/Cruiser: Bertanggung jawab dalam pengaturan pelaksanaan kerja team
cruising, kebenaran dalam pelaksanaan dan hasil pelaksanaan di lapangan
maupun secara administratif.
Kasie. Inventarisasi Hutan: Bertanggung jawab dalam pengaturan pelaksanaan
kerja dan hasil kerja dari pars cruiser di lapangan maupun administratif
(pengolahan data dan penggambaran peta sebaran pohon).
Kabag.Perencanaan: Bertanggung jawab dalam pengendalian kerja (beaya,
waktu dan sasaran), koreksi dan pemanfaatan peta sebaran pohon untuk
kegiatan perencanaan selanjutnya.
Masukan yang Dibutuhkan
- Peta poligon tebangan skala 1:10.000
- Informasi penting lainnya dari kegiatan sebelumnya (titik ikat Jarak, aksesibilitas
dan lainnya)
- Produktivitas kerja Tim dan kebutuhan logistik.
Keluaran yang Dihasilkan
Buku Laporan Hasil Cruising (LHC), yang terdiri dari:
- Detail/rincian LHC tiap poligon tebang dan seluruh poligon tebang
- Rekapitulasi LHC tiap poligon tebang dan seluruh poligon tebang
Peta sebaran pohon skala 1: 1.000 atau 1 : 2.000, yang menggambarkan tentang
- Nomor, kode jenis pohon dan status pohon (induk, inti, siap tebang, cacat, dll).
139
- Letak pohon dalam poligon tebang.
- Informasi keadaan lapangan (sungai, anak sungai, arah sungai, rawa dan batu)
Siklus Waktu Kerja
- Pelaksanaan timber cruising disesuaikan dengan rencana kegiatan perencanaan
hutan dalam RKT yang berjalan (setelah kegiatan penataan areal kerja).
- Waktu yang diperlukan untuk melakukan timber cruising rata-rata 30 hari,
dengan mempertimbangkan prasarana, aksesibiltas dan fisiografi lapangan dan
kapasitas team adalah 4 ha per hari kerja. Sedangkan untuk pengolahan data
hingga pembuatan peta dalam 1 petak kerja (100 Ha) dibutuhkan waktu sekitar
12 hari.
Urutan Kerja
Urutan kerja inventarisasi tegakan sebelum penebangan disajikan pada Gambar
6.2.
140
Gambar 6.2. Urutan kerja inventarisasi tegakan sebelum penebangan
Instruksi kerja
1. Perencanaan kerja
a. Menyiapkan peta kerja
- Peta kerja yang dipergunakan adalah peta hasil penataan areal kerja skala
1:10.000
- Membuat jalur-jalur cruising di atas peta kerja tersebut, berikut starting point,
titik ikat dan menganalisa kemudahan untuk menuju ke lokasi kerja.
- Dari hasil perencanaan kerja tersebut dapat diketahui volume kerja, yang
kemudian dijadikan dasar untuk menentukan jumlah team, kebutuhan logistik,
obat-obatan, serta perlengkapan survey lainnya.
Perencanaan Kerja
1. MENYIAPKAN PETA KERJA (PETA POLIGON TEBANG 1:10.000). 2. MENYIAPKAN RENCANA CRUISING (STARTING POINT, DLL) 3. PENYIAPAN BARANG-BARANG SURVEY DAN TIM SURVEY
I. Pengambilan Data Lapangan
1. PENENTUAN TITIK IKAT & STARTING POINT 2. PENGENALAN JENIS,PENGUKURAN (DIAMETER, TINGGI & STATUS). 3. PEMBUATAN SKETSA LAPANGAN
II. Pengolahan Data Cruising
1. PERHITUNGAN VOLUME TIAP POHON 2. MEREKAP TOTAL VOLUME POHON PER PETAK DAN SELURUH PETAK
III. Penggambaran Peta Sebaran Pohon
1. PLOTTING LETAK POHON DIATAS MILIMETER BLOK (MANUSKRIP) 2. PLOTTING LETAK POHON DIATAS KALKIR SKALA 1:1.000
141
b. Menyiapkan tim cruising
Jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk satu team cruising adalah sebanyak
8 orang, dengan pembagian kerja sebagai berikut:
- 1 orang team leader, bertugas untuk mengkoordinir team dalam pelaksanaan
kerja, mengukur tinggi pohon, mencatat (hasil cruising) hasil pengenalan jenis
serta ukuran pohon, dan mengontrol crew survey saat melakukan
pengamatan/pengukuran.
- 1 orang compassman, yang bertugas sebagai pemandu arah dalam pembuatan
rintisan jalur dan memegang tali ukur depan (front chainman).
- 2 orang perintis/brusher, yang bertugas memperjelas rintisan jalur.
- 1 orang pemegang tali ukur belakang (back chainman), yang bertugas
mengukur kelerengan dan jarak lapang serta memasang patok Hm dalam jalur
pengamatan.
- 2 orang timber marker, yang bertugas sebagai pengenal jenis dan cacat pohon.
mengukur diameter dan tinggi pohon, penomoran dan penempelan tag
plate/ecolin, serta memegang stick ukur dan phi band.
c. Menyiapkan peralatan kerja
Peralatan kerja yang diperlukan dalam kegiatan timber cruising meliputi
- Peta kerja skala 1:10.000, sebagai panduan untuk kerja di lapangan
- Compass (merk Suunto), sebagai alat penetu arah.
- Clinometer (merk Suunto), sebagai alat bantu untuk mengukur tinggi pohon
- Stick ukur tinggi (skala 1 meter, panjang minimal 3 meter), sebagai alat bantu
untuk mengukur tinggi pohon.
- Phi band, sebagai alat untuk mengukur diameter pohon.
- Meteran (50 meter) untuk mengukur jarak/panjang jalur survey.
- Plastik ecolin/tag plate warna merah dan kuning, untuk ditempel sebagai
indentitas pohon yang telah di opname.
- Buku tally sheet, untuk pencatatan jenis, nomor, diameter, tinggi, skets letak
pohon, dan informasi kondisi lapang.
- Parang, paku, gun stapler, alat masak, tenda, dan lain-lain.
142
2. Pengambilan data lapangan
a. Penentuan starting point dan titik ikat
Starting point dan titik ikat ditentukan dilapangan sesuai dengan yang telah
direncanakan di atas peta kerja. Penentuan titik ikat banyak menggunakan
tanda-tanda yang menonjol/ekstrim di lapangan seperti muara sungai,
persimpangan jalan dan lain-lain yang telah terukur koordinatnya.
b. Pengukuran diameter pohon
- Pengukuran diameter dilakukan untuk pohon berdiameter 20 cm ke atas.
- Letak pengukuran diameter adalah setinggi dada (± 130 cm dpt) dan di atas
banir, apabila banir terlalu tinggi dapat dibuat garis proyeksi kebah dari sisi
batang pohon ke banir.
- Pengukuran diameter pohon harus dilakukan seakurat mungkin, karena ukuran
diameter sangat berpengaruh dalam penentuan volume pohon.
- Letak pengukuran diameter pohon dilapangan dapat bervariasi mengingat
beragamnya bentuk dan letak pohon, dengan syarat pengukuran tersebut tidak
menyalahi kaidah-kaidah pengukuran diameter pohon.
c. Pengukuran tinggi pohon
- Tinggi pohon yang diukur adalah tinggi pohon bebas cabang (dari permukaan
tanah sampai cabang pertama), atau banir sampai cabang pertama.
- Memperhatikan tingkat kepraktisan pelaksanaan di lapangan, maka dianjurkan
memakai sistem geometrik (pengukuran tinggi tanpa menggunakan jarak
datar).
- Cara pengukuran:
Tempelkan stick ukur tinggi berskala 1 meter dan sesuaikan antara dasar
stick (titik C) dengan batas (permukaan tanah/bebas banir).
Team leader mencari posisi sehingga titik-titik pengukuran (titik A - B - C)
dapat dibidik dari satu tempat pengukuran.
Bidik clinometer ketitik-titik pengukuran (A - B - C) dengan satuan persen.
Catat angka hasil pengukuran ke dalam tally sheet.
Pengukuran tinggi pohon disajikan pada Gambar 6.3.
143
Gambar 6.3. Pengukuran Tinggi Pohon
Tinggi Pohon (meter) = dibidik yangukur stick tinggixC(%) - B(%)
B(%)(%)
Keterangan:
A = titik cabang pertama
B = titik tinggi bidik ke stick ukur (1 meter, 2 meter, 3 meter, d1l)
C = titik dasar stick (dari muka tanah atau bebas banir).
A% = sudut bidik ke tiitk A
B% = sudut bidik ke titik B
C% = sudut bidik ke titik C
d. Pengenalan jenis dan penentuan cacat pohon
Dalam melakukan penentuan jenis dan cacat pohon harus dalam pengawasan
team leader.
Jenis pohon diklasifikasikan atas:
- Pohon inti = yaitu pohon yang berdiameter 20 – 49 cm dari jenis niagawi
yang sehat.
- Pohon tebang = yaitu pohon yang berdiameter 50 cm ke atas, dari jenis
niagawi yang sehat.
- Pohon lindung = yaitu pohon yang karena fungsinya harus dilindungi
- Pohon induk = yaitu pohon sehat dengan kenampakan bagus yang
diharapkan dapat menghasilkan benih maupun biji bagi permudaan di
sekitarnya.
Cacat pohon meliputi: cacat banir, cacat batang, dan cacat tajuk
144
Cacat pohon diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu:
- Cacat masih komersial = yaitu pohon secara visual/penampakan mata karena
kondisinya diperkirakan masih hidup sampai tahun penebangan (ET-0) dan
panjang batang komersial minimal 10 meter.
- Cacat tidak komersial = yaitu pohon secara visual diperkirakan dapat hidup
hingga tahun penebangan (ET-0), dengan panjang batang sehat kurang dari 10
meter.
e. Pembuatan sketsa posisi pohon dan kondisi lapangan
- Pembuatan skesta pohon didalam jalur cruising berdasarkan sistem koordinat,
dimana batas jalur merupakan sumbu Y (ordinat) dan sumbu sikunya adalah
sumbu X (absis).
- Pencatatan kondisi lapangan meliputi: konfigurasi lapangan, sungai dan arah
sungai, rawa, tanah dan batuan.
- Informasi kondisi lapangan dan posisi pohon yang dicruising dicatat dalam buku
tally sheet.
f. Penomoran
- Penomoran dikoordinir oleh team leader dengan cara menyebutkan nomor
pohon yang akan ditulis oleh timber marker pada plastik ecolin/tag plate untuk
kemudian ditempelkan di pohon yang diopname.
- Penomoran dimulai dari nomor 1 sampai nomor pohon terakhir dalam satu
poligon tebang/petak tanpa membedakan jenis, diameter, dan status pohon.
- Plastik ecolin/tag plate/label pohon warna merah digunakan untuk penandaan
pohon yang akan ditebang.
- Plastik ecolin/tag plate/label pohon warna kuning digunakan untuk penandaan
pohon inti, lindung dan pohon induk.
- Penempelan label pohon menggunakan paku atau gun stapler.
- Pada label pohon merah dan kuning diterakan nomor jalur cruising.
g. Pencatatan data cruising
- Pohon yang dicatat dalam pelaksanaan cruising adalah pohon yang berada pada
lebar 20 meter (10 meter kanan kiri jalur cruising).
- Data pohon-pohon yang dicruising dicatat dalam buku tally sheet, dan
penulisannya harus jelas dan mudah dipahami.
145
- Pada lembar tally sheet selain data-data pohon yang diamati juga ditulis: tahun
RKT, nomor polygon blok, nomor polygon tebang, tanggal pelaksanaan, nama
cruiser, nomor jalur.
- Status pohon digambarkan sebagai berikut:
= pohon inti diameter (20 – 49 cm)
= pohon yang akan ditebang (50 cm keatas)
= pohon yang dilindungi
= pohon induk
- Pada gambar di peta sebaran pohon, pada bagian samping/bawah setiap
kode simbol status pohon ditulis nomor urut pohon dan simbol jenis pohon
(dengan simbol 2 atau 3 huruf)
contoh:
= nomor opname pohon 2534 nomer kode jenis pohon
2534 JBN, disini 2534 JBN (merupakan jenis Jabon).
3. Pengolahan data cruising dan penggambaran peta sebaran pohon.
► Pengolahan data cruising
a. Data cruising yang dicatat dalam tally sheet, dikumpulkan dan
dikelompokkan untuk masing-masing petak.
b. Dalam pengolahan/penghitungan volume pohon, diikelompokkan
berdasarkan kelas diameter dan jenis pohon, dan disajikan untuk setiap
petak dan seluruh petak .
c. Rumus volume pohon yang dipergunakan adalah:
Vol (m3) = O,25 (Φ^2)*H*fb ................ (6.26)
Keterangan:
Π = konstanta phi, sebesar (22 / 7)
Φ = diameter pohon (dalam meter)
H = tinggi pohon (dalam meter)
146
fb = konstanta faktor bentuk (umum dipakai 0,7)
► Pembuatan peta sebaran pohon
- Peta sebaran pohon dibuat dengan cara memplotkan data hasil sketsa letak
pohon dari tally sheet kedalam kertas milimeter blok (manuskrip) sesuai
dengan nomor jalurnya, yang kemudian dipindahkan ke dalam kertas kalkir.
- Untuk kepentingan legalitas ke Kementrian Kehutanan, Dinas Kehutanan,
Peta sebaran pohon dibuat dengan skala 1:1.000
- Untuk rencana operasional, peta sebaran pohon dapat dibuat dengan skala
lebih kecil (1:10.000) yang berisi informasi tentang pengelompokan potensi
(peta isoden).
6.2.3 SOP Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT)
Pengertian
Inventarisasi tegakan tinggal adalah suatu kegiatan pencatatan dan pengukuran
pohon dan permudaan alami pada areal hutan yang telah dilakukan penebangan
untuk mengetahui:
a. Komposisi jenis, penyebaran serta kerapatan permudaan dan pohon inti.
b. Jumlah dan tingkat kerusakan pohon infi.
c. Luas areal yang kurang permudaan dan areal terbuka (bekas jalan sarad, TPn,
TPk, dan lain-lain).
Tujuan dan sasaran
a. Mengetahui intensitas kegiatan pembalakan hutan (penebangan, penyaradan).
b. Merupakan dasar untuk pelaksanaan kegiatan pembinaan hutan berikutnya.
c. Untuk menentukan perlakuan silvikultur pads petak-petak bekas tebangan.
Penanggung Jawab
a. Leader/Cruiser (ITT): Bertanggung jawab dalam pengaturan pelaksanaan kerja
team pengukuran, kebenaran dalam pelaksanaan dan hasil pelaksanaan di
lapangan maupun secara administratif.
b. Kasie. Persiapan: Bertanggung jawab dalam pengaturan pelaksanaan kerja dan
hasil kerja dari para cruiser ITT di lapangan maupun administratif (hasil
pengumpulan data permudaan dan pohon inti, serta peta hasil ITT).
c. Kabag. PPH: Bertanggung jawab dalam pengendalian kerja (beaya, waktu dan
sasaran), koreksi dan pemanfaatan data ITT dan peta hasil kerja untuk
147
kegiatan pembinaan hutan selanjutnya.
Masukan yang Dibutuhkan
a. Peta kerja, skala 1:25.000
b. Informasi umum tentang petak yang telah ditebang (lokasi, luas, medan, dll).
Keluaran yang Dihasilkan
a. Peta hasil Inventarisasi Tegakan Tinggal, skala 1:2.000
b. Lokasi dan luas areal penanaman/pengayaan dan rehabilitasi.
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
a. Tempat : Hutan bekas tebangan (loged over area)
b. Waktu : satu tahun sesudah penebangan
Urutan Kerja
Urutan kerja inventarisasi tegakan tinggal disajikan pada Gambar 6.4.
148
Gambar 6.4. Urutan kerja inventarisasi tegakan tinggal
INSTRUKSI KERJA
a. Persiapan tenaga kerja
Jumlah tenaga kerja untuk satu team inventarisasi tegakan tinggal berjumlah 7
(tujuh) orang, yang terdiri dari:
- orang kepala regu yang merangkap sebagai pencatat data
- 1 orang compassman
- 2 orang pemegang tali (pembuatan petak ukur) dan pembuat tanda.
149
- 2 orang pengenal pohon
- 1 orang pembantu umum
b. Persiapan peralatan kerja
Peralatan kerja yang dibutuhkan untuk kegiatan inventarisasi tegakan tinggal
adalah:
- Peta kerja skala 1:25.000 atau 1:1.000
- Kompas (merk Suunto)
- Clinometer (merk Suunto)
- Parang
- Tally sheet & alat tulis
- Tali ukur 50 meter
- Tenda dan peralatan masak
c. Perencanaan kegiatan Inventarisasi tegakan tinggal:
- Jumlah kebutuhan tenaga kerja, bahan makanan dan material
- Lama waktu yang direncanakan
- Biaya tenaga kerja, logistik dan material survey
d. Pelaksanaan Kerja
1. Menentukan petak yang akan di ITT , luas dan lokasinya pada peta rencana
ITT, skala 1:25.000 atau 1.1.000
2. Membuat jalur-jalur pengamatan dengan ukuran 20 x 20 meter sepanjang
jalur (yang diusahakan sama dengan jalur ITSP) dengan diberi nomor urut 1
s/d 50 per jalur. Sedangkan panjang jalur merupakan jarak datar.
3. Melakukan pemeriksaan pada petak ukur (PU) 20 x 20 meter untuk
pengamatan pohon inti atau pohon-pohon yang dilindungi.
a. Jika ditemukan 1 (satu) pohon inti dalam PU 20 x 20 meter, maka dicatat
jenis dan jumlahnya serta diberi tanda cat kuning melingkar pada batang
dan dilakukan penomoran pada pohon inti, pemberian nomor jalur,
pencatatan diameter dan jenisnya, dan kemudian dicatat bahwa PU
tersebut tidak perlu dilakukan pengayaan, dan selanjutnya tidak perlu
melakukan pengamatan pada PU 10 x 10 meter.
b. Jika ditemukan 2 (dua) atau lebih yang dapat ditunjuk sebagai pohon inti,
maka hanya dipilih dan ditetapkan 2 (dua) pohon inti, kemudian dicatat
150
pula jenis dan jumlahnya, dan dicatat bahwa pada PU tersebut tidak perlu
dilakukan pengayaan dan tidak perlu dilakukan pengamatan pada PU 10 x
10 meter.
c. Jika pohon inti dan atau pohon yang dilindungi rusak, maka harus
ditunjuk pohon lain dari jenis komersial sebagai pengganti pohon inti.
d. Jika tidak ditemukan pohon inti, maka dilanjutkan dengan pengamatan
dan pencatatan permudaan tingkat tiang, yaitu pada PU 10 x 10 meter.
4. Pengamatan pada petak ukur 10 x 10 meter
a. Jika pada PU 10 x 10 meter dijumpai minimal 2 (dua) permudaan jenis
komersial untuk tingkat tiang, maka tidak perlu dilakukan kegiatan
pengayaan pada PU 20 x 20 meter. Permudaan yang dijumpai tersebut
kemudian dicatat jenis dan jumlahnya dan selanjutnya tidak perlu
dilakukan pengamatan untuk PU 5 x 5 meter.
b. Jika tidak dijumpai permudaan tingkat tiang, maka selanjutnya dilakukan
pengamatan pada PU 5 x 5 meter untuk megetahui permudaan jenis
komersial untuk tingkat pancang.
5. Pengamatan pada petak ukur 5 x 5 meter
a. Jika pada PU 5 x 5 meter dijumpai minimal 4 (empat) permudaan tingkat
pancang, selanjutnya dicatat jenis dan jumlahnya, dan juga dicatat bahwa
pada PU tersebut (20 x 20 meter) tidak perlu dilakukan pengayaan.
b. Jika tidak dijumpai permudaan tingkat pancang, maka selanjutnya
dilakukan pengamatan pada PU 2 x 25 meter untuk mengetahui
permudaan jenis komersial untuk tingkat semai.
6. Pengamatan pada petak ukur 2 x 2 meter
a. Jika pada PU 2 x 2 meter dijumpai minimal 8 (delapan) permudaan tingkat
semai, selanjutnya dicatat jenis dan jumlahnya, dan juga dicatat bahwa
opada PU tersebut (20 x 20 meter) tidak perlu dilakukan pengayaan.
b. Jika dalam PU tersebut tidak dijumpai permudaan tingkat pancang maka
pada PU 20 x 20 meter tersebut perlu diadakan tindakan pengayaan dan
pada bagian tengah (pusat) petak ukur tersebut diberi tanda / kode patok
kayu berdiameter 10 cm dengan tinggi 1,30 meter dan pada bagian
ujungnya dicat warna kuning.
151
c. Pada petak ukur (PU) 20 x 20 meter ini (perlu pengayaan) diamati jumlah
dan jenis anakan/semai yang mungkin ada, yang selanjutnya untuk
digunakan sebagai informasi untuk rencana pengadaan bibit dari anakan
alam).
Bidang tegakan yang perlu dikayakan adalah bidang yang kurang
permudaan yang luasnya lebih dari satu hektar atau kumpulan lebih dari 25
petak ukur ITT (berkelompok) yang kurang permudaannya.
7. Pemeriksaan petak ukur pada areal terbuka
Pada areal terbuka seperti bekas tebangan, bekas jalan sarad, bekas TPn,
bekas TPk, dan lain-lain diberi patok kayu dengan diameter 10 cm dan tinggi
patok 1,3 meter dan bagian ujungnya diberi cat warna kuning. Pada daerah-
daerah tersebut juga diukur luasnya untuk keperluan perencanaan
kebutuhan bibit dan penanaman.
8. Pengolahan data dan pelaporan
- Menghitung jumlah dan jenis calon pohon binaan berupa pohon inti dan
permudaan lainnya dari setiap petak ITT.
- Membuat rekapitulasi rata-rata per hektar dari pohon inti, tiang, pancang,
dan semai per petak dan dikelompokkan menurut jenisnya.
- Menghitung jumlah luas tempat-tempat terbuka, TPn, TPk, bekas
tebangan atau yang kurang permudaannya, dari masing-masing petak
ITT.
- Membuat peta penyebaran pohon ITT skala 1:1.000.
6.2.4 SOP Checking Cruising (10%)
Pengertian
Checking cruising 10% adalah kegiatan pemeriksaan terhadap hasil-hasil kegiatan
timber cruising 100% yang meliputi pemeriksaan administrasi maupun fisik di
lapangan dengan sistem sampling 10 %.
Tujuan
a. Mendapatkan gambaran secara kuantitatif-statistik tentang akurasi informasi yang
dihasilkan oleh kegiatan timber cruising 100%, yang meliputi: posisi pohon, jenis
dan ukuran diameter pohon, tanda di lapangan, penentuan status pohon, dan
152
informasi lapangan.
b. Sebagai landasan tindakan untuk pengendalian dan pengembangan kegiatan
timber cruising 100%.
c. Memberi gambaran nilai faktor koreksi terhadap hasil timber cruising 100%
sebagai salah satu dasar dalam perencanaan produksi.
d. Memotivasi cruiser selalu mencapai hasil yang terbaik.
Penanggung Jawab
- Team Leader : Bertanggung jawab dalam pengaturan pelaksanaan kerja team
inventarisasi, kebenaran dalam pelaksanaan dan hasil pelaksanaan di lapangan
maupun secara administratif.
- Kasie. Inventarisasi Hutan
Memeriksa administrasi antara tally sheet dengan peta sebaran pohon
Menetapkan jalur cruising yang akan diperiksa di lapangan.
Memimpin kegiatan checking cruising.
Mendapatkan hasil kegiatan yang obyektif dan akurat.
- Kabag. Perencanaan :
Memeriksa hasil laporan checking cruising
Mengkoordinasikan dengan Kasie. Perencanaan untuk perbaikan sistem cruising
dan pengendaliannya.
Membuat estimasi faktor koreksi untuk perencanaan produksi berdasarkan hasil
checking cruising.
Masukan yang Dibutuhkan
- Peta sebaran pohon hasil ITSP/timber cruising 100%, skala 1:1.000
- Tally sheet hasil kegiatan timber cruising 100%
- Fungsi hutan di atas petak tebangan yang akan diperiksa
URUTAN KERJA
Urutan kerja checking cruising disjaikan pada Gambar 6.5.
153
Gambar 6.5. Urutan kerja checking cruising
a. Persiapan tenaga kerja
Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk kegiatan checking cruising adalah :
- 1 orang Cruiser inspector, yang bertugas memimpin team di lapangan serta
memeriksa dan menilai obyek yang diperiksa.
- 2 orang timber marker, yang bertugas masing-masing memeriksa kebenaran
jenis pohon, pengukuran diameter pohon, keberadaan tag plate, identifikasi
cacat kayu, dan kualitas material (spidol dll) yang digunakan dalam penandaan
pada kegiatan timber cruising.
154
- 2 orang compasman, yang bertugas melacak tanda-tanda jalur dan mengukur
azimuth, slope, check patok ukur, mendata keadaan lapangan sekaligus sebagai
pemegang tali ukur jalur (back chainman).
- 1 orang front chainman, sebagai penarik tali ukur jalur.
- 1 orang tukang masak
b. Persiapan peralatan
Peralatan yang dipergunakan meliputi:
- 1 set peralatan camping
- 1 set peralatan masak
- 2 buah kompas
- 1 buah clinometer
- 1 buah pita ukur panjang 30 m
- 1 buah pita ukur panjang 5 m/phi band
- 1 buah tally sheet dan alat tulis.
c.Pemeriksaan administrasi
Pemeriksaan administrasi dilakukan di kantor terhadap keberadaan tally sheet dan
peta sebaran pohon, meliputi:
- Petak-petak yang akan diperiksa keberadaaan tally sheet dan peta sebaran
pohon.
- Untuk petak yang tidak terdapat tally sheet maupun peta sebaran pohonnya
tidak dapat dilakukan pemeriksaan.
- Pemeriksaan terhadap cara-cara pengisian tally sheet maupun peta sebaran
pohon sesuai standar perpetaan.
- Membuat kesimpulan hasil pemeriksaan administrasi.
d.Penetapan jalur checking
- Nomor jalur cruising yang akan diperiksa dipilih secara acak agar mewakili
populasi (1 petak). Sedangkan sistem pengambilan contohnya (no jalur)
dilakukan dengan sistem random/acak menggunakan tabel sebuluh ribu angka
teracak.
- Contoh cara penetapan 5 jalur checking dengan menggunakan tabel bilangan
teracak adalah: Tunjuk sembarang angka (bebas) dalam tabel, misal terpilih
155
angka 90841 (baris 25 kolom 80-84) kemudian diambil empat angka pertama
menjadi 9084.
Angka 9084 dipakai untuk menetapkan angka acak dengan mengikuti baris 90
kolom 84, tertulis angka 74 603, kemudian diambil 2 angka terakhir sebagai
jalur checking yang terpilih yaitu jalur 03.
Jalur selanjutnya ditetapkan dengan mengambil 2 angka berturut-turut mulai
dari 03 ke arah kanan dan seterusnya dilanjutkan baris berikutnya. Karena
jumlah jalur ± 50 jalur maka angka yang diambil maksimal bernilai 50.
e.Pemeriksaan Lapangan
Pemeriksaan pohon, meliputi:
- Jenis pohon
- Diidentifikasi oleh timber marker dan diinformasikan ke team leader
(cruising inspector) untuk dicek kebenarannya.
- Ukuran diameter
- Diameter pohon diukur oleh timber marker menggunakan pita ukur 5 m /
phi band kemudian diinformasikan kepada team leader. Dalam kondisi
tertentu dimana terdapat banir yang tinggi bisa digunakan stick ukur
diameter.
- Kebenaran isi tag plate/label
- Tag plate/label diperiksa ada atau tidak ada, jika ada ditulis
nomor/indentitas yang ada didalamnya.
- Kondisi tag plate
- Kondisi tag plate saat pemeriksaan perlu diamati meliputi tulisannya
(kurang jelas, kabur, atau jelas) maupun kebenaran cara penulisannya,
untuk hal ini diberi nilai dengan selang 0% hingga 100%.
- Cacat pohon
- Identifikasi cacat pohon dilakukan dengan mengelompokkan cacat dalam
kategori cacat banir (R1), cacat batang (R2), cacat cabang/tajuk (R3).
- Status pohon
- Berdasarkan identifikasi jenis dan ukuran diameter pohon, ditentukan status
pohon dan kemudian dibandingkan dengan status pohon pada saat TC
100%.
156
f. Pemeriksaan jalur cruising, meliputi:
Pemeriksaan tanda nomor jalur
Tanda patok jalur cruising diperiksa terlebih dahulu, kalau tanda nomor jalur
tidak ditemukan maka pada jalur tersebut tidak dilakukan checking.
Pemeriksaan arah jalur
Jalur cruising diperiksa dan diukur baik arah maupun jaraknya berdasarkan
petak ukur pengamatan (per 20 meter) apabila patok per 20 meter tidak
ditemukan maka arah ditemukan sesuai arah yang seharusnya dilaksanakan
(terhadap patok ukur yang ditemukan ditulis nomor urutnya). Tanda-tanda
alam di lapangan dicatat baik sungai, alur, bukit, rawa, batu dll.
g. Pengolahan data
a. Kebenaran letak pohon dalam peta sebaran pohon.
- Hitung jumlah pohon yang keluar dari jalur cruising dan atau dari plot
pengamatan per 20 m (At).
- Hitung jumlah pohon total (Ac).
- Rumus yang digunakan :
Akurasi letak pohon = 100% - { (At/Ac) x 100% } ........ (6.27)
b. Akurasi jalur cruising
- Berdasarkan data ukur terhadap jalur checking, maka dibuat peta hasil
checking dengan skala 1:1.000
- Pada peta yang sama dilakukan plotting jalur yang seharusnya (Lt).
- Hitung panjang jalur yang berhimpit dengan toleransi max 2 meter
untuk tiap penyimpangan, jika lebih dari 2 meter dianggap tidak
berhimpit (Lc).
- Rumus yang digunakan : Lc/Lt x 100% ................................. (6.28)
c. Akurasi jenis pohon
- Hitung jumlah pohon yang jenisnya sama antara hasil TC 100% dengan
hasil checking cruising (Jc).
- Hitung jumlah pohon hasil TC 100% yang di sampling (Jt).
- Rumus yang digunakan
157
Akurasi jenis pohon = Jc / Jt x 100% .................................. (6.29)
d. Akurasi cacat pohon ;
- Hitung jumlah pohon yang diidentifikasi cacat pada saat checking
cruising (Pc).
- Hitung jumlah pohon yang diidentifikasi cacat saat TC 100% (Pt).
- Hitung jumlah pohon yang diidentifikasi cacat sama antara TC 100%
dengan saat checking cruising (Po).
Rumus yang digunakan:
Akurasi cacat pohon = Po / (Pc + Pt – Po) x 100% .......... (6.30)
e. Akurasi pengukuran diameter;
- Hitung selisih ukuran diameter hasil TC 100% dengan hasil checking
cruising untuk masing-masing nomor pohon (Ds).
- Hitung akurasi diameter untuk masing-masing nomor pohon terhadap
diameter hasil checking (Dc) untuk masing-masing pohon dengan
rumus berikut :
Akurasi diameter pohon = 100%-{(Ds/Dc) x100%} ................ (6.31)
Akurasi diameter keseluruhan merupakan rata-rata dari akurasi
diameter per pohon
f. Akurasi status pohon
- Hitung jumlah pohon yang diidentifikasi saat checking sebagai: pohon
produksi (Cp), pohon inti (Ci), pohon lindung (CI), pohon induk (Cd).
Hitung jumlah pohon yang diidentifikasi saat TC 100% sebagai: pohon
produksi (Sp), pohon inti (Si), pohon lindung (SI), pohon induk (Sd).
Hitung jumlah pohon yang sama identifikasinya saat CC 10% dan TC
100% sebagai: Pohon produksi (Ip), pohon inti (Ii), pohon lindung
(II), pohon induk (Id).
Rumus yang digunakan:
Akurasi pohon produksi = {Ip/(Cp + Sp – Ip}x 100% ........ (6.32)
Akurasi pohon inti = {Ii/(Ci + Si – Ii}x 100% ............ (6.33)
Akurasi pohon lindung = {II/(CI + SI – II}x 100% .......... (6.34)
158
Akurasi pohon induk = {Id/(Cd + Sd – Id}x 100% ........ (6.35)
g. Akurasi tanda-tanda jalur
- Hitung jumlah tanda patok ukur per 20 m yang ditemui saat CC 10%
(Jc).
- Hitung jumlah tanda patok ukur yang seharusnya dibuat (Jt).
- Rumus yang digunakan -.
Kelengkapan tanda jalur = Jc/Jt x 100% ................................. (6.36)
h. Kelengkapan tag plate
- Hitung jumlah tag plate yang ditemui saat CC 10% (Kc) A
- Hitung jumlah tag plate yang seharusnya dibuat saat TC 100% (Kt).
- Rumus yang digunakan :
Kelengkapan tanda jalur = Kc/Kt x 100% .............................. (6.37)
i. Kondisi tag plate
- Hitung tag plate yang kondisinya < 80 % (Tc).
- Hitung tag plate yang terpasang (Tt).
- Rumus yang digunakan :
Kelengkapan Informasi lapangan = Ft/Fc x 100% .................. (6.38)
j. Kelengkapan informasi lapangan
- Hitung jumlah informasi lapangan yang dicatat saat TC 100% (Ft).
- Hitung jumlah informasi yang dicatat saat CC 10% (Fc).
- Rumus yang digunakan :
Kelengkapan. Informasi lapangan = Ft / Fc x 100% ................ (6.39)
6.2.5 SOP Perpetaan
Pengertian
Perpetaan adalah kegiatan untuk membuat gambar / proyeksi rupa bumi yang
diperoleh dari hasil pengukuran, pencitraan, maupun pemotretan yang disajikan ke
dalam bidang datar sebagai sumber informasi.
Maksud dan Tujuan
a. Untuk memberikan pedoman dalam pembuatan dan penyajian peta, agar
informasi yang disajikan dapat dengan mudah dimengerti dan dipahami.
b. Untuk mendapatkan keseragaman dan kebenaran dalam pembuatan / penyajian
159
peta yang baku, sesuai dengan tujuan dan penggunaannya dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dirjen INTAG Nomor:
027/Kpts/VII-3/1986 tentang petunjuk teknis penyajian peta-peta kehutanan.
Masukan yang Dibutuhkan
Dalam pembuatan peta perlu adanya dasar dan sumber peta yang telah diakui
kebenarannya oleh Departemen Kehutanan, antara lain:
- Peta Rupa Bumi, yang diterbitkan oleh Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survey dan
Pemetaan Nasional).
- Peta hasil penafsiran Citra Landsat skala 1:100.000 yang telah disahkan oleh
Badan Planologi Kehutanan
- Peta hasil penafsiran foto udara skala 1:20.000.
- Peta Joint Operation Gaphic (JOG) skala 1 250.000
- Peta dasar yang telah disahkan oleh Badan Planologi Kehutanan dengan skala
1:50.000 atau 1:100.000
Keluaran yang Dihasilkan
Keluaran yang diharapkan adalah peta hasil realisasi setiap kegiatan yang dilakukan,
yang mampu memberikan informasi seakurat dan seoptimal mungkin tentang obyek
yang dipetakan dan penyajian peta tersebut mengikuti ketentuan yang berlaku.
Pelaksanaan
- Tempat : Studio / ruang perpetaan
- Waktu : Sebelum dan sesudah dilaksanakannya suatu kegiatan atau disesuaikan
dengan tingkat kebutuhan peta.
- Pelaksana : Draftman
- Penanggungjawab : Ka. Bagian Perpetaan dan Ka. Bidang Perencanaan.
Urutan Kerja
Urutan kerja perpetaan disajikan pada Gambar 6.6.
160
Gambar 6.6. Urutan kerja perpetaan
Proses Kerja
a. Persiapan
Sebelum melaksanakan pekerjaan dalam pemetaan, maka perlu disiapkan terlebih
dahulu bahan dan peralatan untuk pembuatan peta, antara lain:
Persiapan Bahan
- Bahan yang digunakan dalam pembuatan master peta adalah drafting film atau
kertas kalkir (tracing paper) dengan ketebalan 100/105 gr/gm. Dengan tujuan
untuk menjaga kestabilan bahan terhadap perubahan cuaca atau temperatur
udara.
- Dengan bahan yang baik maka informasi-informasi yang disajikan dapat
digambarkan dengan tepat dan teliti serta memperlancar dalam pengerjaan
dan memudahkan dalam pengerjaan dan memudahkan dalam melakukan
koreksi apabila ada kesalahan.
- Bahan lain yang digunakan dalam pembuatan master peta adalah jenis bahan
Persiapan
Pewarnaan Peta
Penyiapan Bahan
Penyiapan Alat
Merancang Peta
Menentukan ukuran
Tata Letak info tepi
Menentukan isi peta
161
yang terbuat dari bahan dasar plastik, seperti: kodac trace, astralon, dan
drafting film.
- Ketiga bahan tersebut sangat baik untuk pembuatan master peta, karena
bahannya stabil tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca maupun temperatur
udara dan tahan kena air, namun harga bahan tersebut lebih tinggi
dibandingkan dengan kertas kalkir biasa.
- Tinta gambar yang digunakan adalah berwarna hitam dengan kepekatan yang
tinggi. Hal tersebut untuk mendapatkan hasil gambar yang tajam sehingga
dalam waktu penggandaan (lightdruk) akan mendapatkan gambar peta yang
baik.
- Merk tinta yang dimaksud adalah rotring atau steadthler Marsmatic 745.
Persiapan peralatan
Jenis peralatan yang digunakan adalah:
Meja gambar lengkap, Pena gambar rapido graph atau isograph dengan
berbagai ukuran, Lettering set atau sablon huruf, Penggaris skala (scale matric),
Penggaris panjang ukuran 1 m, Busur derajat, Pisau cutter atau gillete,
Pantograph, Planimeter, Curvimeter, dll.
b. Merancang Peta
Merancang peta adalah menata bentuk dan penampilan peta secara keseluruhan,
baik ukuran lebar peta, isi/muka peta maupun informasi tepi (marginal
information).
Dalam merancang model peta, isi peta tergantung dari unsur data dan informasi
yang akan disajikan kedalam peta sesuai dengan judul atau terra peta. Ada tiga
unsur pokok dalam merancang peta, yaitu:
1. Merancang Ukuran Lembar Peta
- Ukuran lembar peta adalah panjang dan lebar sisi-sisi peta yang diukur
saling tegak lurus. Ukuran lembar peta diusahakan tidak lebih dari 60 cm x
80 cm. Ukuran lembar peta disajikan pada Gambar 6.7.
162
Gambar 6.7. Ukuran lembar peta
- Dalam membentuk lembar peta perlu melihat keseluruhan wilayah yang
akan dipetakan. Mungkin satu peta harus dibuat dalam beberapa ukuran
yang telah ditentukan, ukuran bahan gambar, ukuran alat cetak serta
kemudahan dalam pembuatan, dalam melipat dan penyimpanan.
- Dalam membagi lembar peta, perlu memperhatikan isi muka peta,
efisiensi pemakaian bahan dan segi kerapihan. Pembagian lembar ini
harus sama besar dan diusahakan ukuran tidak lebih dari 60cm x 80 cm
dan tiap lembar harus diberi nomor lembar.
Gambar 6.8. Pembagian lembar peta
2. Isi Peta
- Dalam membuat isi peta harus jelas dan mudah dimengerti sesuai dengan
penggunaan, judul dan informasi yang disajikan.
- Contoh untuk peta RKT meliputi: unsur kontur, jaringan sungai, lokasi base
camp, persemaian, log yard, nama sungai dan kampung, pembagian batas
163
petak atau poligon petak disertai nomornya, titik control pengukuran GPS,
koordinat geografis, dll. Informasi tersebut harus disajikan secara detail.
- Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pembuatan symbol dan
penempatannya dalam ruang peta harus tepat/pas. Simbol hendaknya
disesuaikan dengan karakteristik dari informasi yang disajikan.
3. Tata letak informasi tepi
- Informasi tepi adalah keterangan-keterangan yang terletak dari tepi muka
peta yang harus dicantumkan agar pembaca peta dapat menafsirkan isi peta
dan arti informasi yang disajikan.
- Informasi tepi memuat: Judul peta, skala (numeris dan grafis), Arah utara,
Legenda/keterangan symbol, harga koordinat geografis, petunjuk lembar
peta, diagram lokasi, sumber peta, identitas pembuat peta.
- Dalam membuat keterangan-keterangan hendaknya selalu memperhatikan
luas ruangan yang tersedia, pemilihan jenis dan bentuk huruf serta
pengaturan jarak. Penempatan setiap macam keterangan perlu ditata
dengan baik agar penampilan peta secara keseluruhan dapat serasi dan
menambah kejelasan atas informasi yang disajikan.
Keterangan:
1. Judul Peta 2. Skala (numeris dan grafis) 3. Arah utara 4. Legenda 5. harga koordinat geografis 6. Petunjuk lembar peta 7. Diagram lokasi (peta situasi) 8. Sumber Peta 9. Identitas Pembuat Peta
Gambar 6.9. Peta lengkap dengan legenda dan informasi lainnya
164
c. Pewarnaan Peta
Dengan pewarnaan, maka penampilan peta akan kelihatan menarik serta akan
mempermudah dalam memahami unsur-unsur yang tergambar dalam peta
tersebut.
Adapun susunan dalam pewarnaan peta tergantung dari jenis peta yang disajikan,
dan pada prinsipnya untuk pewarnaan peta RKL/RKT sudah ada standard dan
ketentuan yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan, yaitu dengan
menggunakan cat air ecoline dan spidol warna.
Daftar warna yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
Tabel 6.1. Daftar Warna
165
Untuk pewarnaan tahapan TPTI sama dengan pewarnaan pada RKT/RKL, hanya
pada kolom legenda dicantumkan ex. tebangan.
Rangkuman
1. Prosedur Standar Operasional atau Standard Operating Procedures atau dikenal dengan
singkatan SOP adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai
dengan fungsi dan alat penilaian kinerja instasi pemerintah dan juga swasta
berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata
kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan. Tujuan SOP
tersebut adalah menciptakan komitmen mengenai apa yang dikerjakan oleh satuan unit
kerja baik pada instansi pemerintahan maupun swasta untuk mewujudkan good
governance atau tata kelola yang baik.
2. SOP di bidang inventarisasi hutan antara lain yaitu: perpetaan, inventarisasi tegakan
sebelum penebangan, inventarisasi tegakan tinggal, checking cruising dan survei
topografi.
Soal-soal Latihan dan Tugas
1. Apakah yang dimaksud dengan Sistem Operasional Prosedur (SOP)? Berikan penjelasan
maksud dan tujuan SOP tersebut.
2. SOP untuk bidang inventarisasi hutan bermacam-macam. Sebutkan dan berikan
penjelasan secukupnya.
3. Urutan kerja SOP untuk bidang inventarisasi hutan itu penting untuk dianalisis dari
waktu ke waktu. Mengapa? Berikan alasan Saudara!
4. Apa perbedaan SOP inventarisasi hutan sebelum penebangan dan sesudah penebangan?
Jelaskan dan berikan contohnya.
5. Lakukan suatu pemetaan pohon dan survei topografi pada hutan pendidikan Gunung
Nona dan buatlah juga SOP Pemetaan dan survei topografinya.
166
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta. Atmoko, B. 2009. Pengantar SOP. Kanisius. Yogyakarta. Brown,S. and Lugo, A.E. , 1984. Biomass of Tropical Forest: a new estimate based on
forest volumes. Svience, 223: 1290-1293. Jones, G. 1979. Topics in applied geography vegetation productivity. Longman London
and New York Kittredge, J. 1944. Estimation of the amount of foliage of trees and stands. J. For. 42:905-
912. Lillesand, T.M and Kiefer, R.W. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation. New
York: John Willey & Sons.
Mandallaz, D. 2007. Sampling Techniques for Forest Inventories. Chapman & Hall/CRC Applied Environmental Statistics
Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit Informatika. Bandung.
Purwadhi, S.H., 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Simon, H. 2007. Metoda Inventore Hutan. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.