dampak keterbukaan ekonomi dan output gap …
TRANSCRIPT
1
LAPORAN PENELITIAN
DAMPAK KETERBUKAAN EKONOMI DAN
OUTPUT GAP TERHADAP INFLASI
DI INDONESIA – MODEL GALI-GETLER
Oleh:
Ketua :Dr. Sri Nawatmi, SE.MSi. (NIDN: 0627046701)
Anggota : Dr. Drs. Agus Budi Santosa, MSi. (NIDN: 0601126701)
Dr. Agung Nusantara,MSi. (NIDN: 0618066401)
Darsita (NIM: 13.05.51.0101)
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS STIKUBANK SEMARANG
2017
2
HALAMANPENGESAHAN
LAPORANPENELITIAN
1.JudulPenelitian:DampakKeterbukaanEkonomi Dan Output Gap TerhadapInflasiDi Indonesia – Model
Gali-Getler
2.JenisPenelitian : Basic Research
3.a.BidangPenelitian : Social Science
b.Kelompok :Economics
4.a. TujuanSosialEkonomi : Economics Framework
b.Kelompok :Macroeconomics Issue
5. KetuaPelaksana: a. NamaLengkap :Dr. Sri Nawatmi, SE. MSi.
b.JenisKelamin :Perempuan
c. NIP/NIDN :0627046701
d. DisiplinIlmu :EkonomiMakro.
e.Pangkat/Golongan :Pembina / IVB
f.JabatanFungsional :Lektor Kepala
g.Fakultas/Prodi :EkonomikadanBisnis / KeuangandanPerbankan
h.AlamatKampus : JL Kendeng V BendanNgisor Semarang
i.Telpon/Faks/E-mail :024 8414970 / 0248441738
j.AlamatRumah :BumiWanamukti B4/23 Semarang
k.Telpon/Faks/E-mail :085292293793/[email protected]
6.JumlahAnggotaPeneliti :2orang
a. NamaAnggotaI :Dr. DrsAgus Budi Santosa,MSi
b.NamaAnggotaII :Dr. Agung Nusantara,MSi
c.Mahasiswayangterlibat :Darsita (13.05.51.0101)
7.LokasiPenelitian : Indonesia
8.Jangkawaktupenelitian : Mei2017s/dOktober 2017
9.Jumlahbiayayangdiusulkan :Rp3.000.000 ,-
Mengetahui, Semarang, 11 Desember 2017
DekanFakultasEkonomikadanBisnis KetuaPeneliti
Dr. EuisSoliha,MSi. Dr.Sri Nawatmi, SE.,M.Si.
NIDN : 0027037101 NIDN : 0627046701
KepalaLPPM
3
DrAgus Budi Santosa, MSi.
NIDN : 0601126701
KATA PENGANTAR
Segalapujibagi Allah SWT yang
melimpahkanrahmatdankaruniaNyasehinggapenulisdimudahkandalammenyusunlaporanpenelitia
ninisampaiselesai. SholawatdansalamsemogatercurahpadaNabi Muhammad Shallallahu
„AlaihiWassalambesertakeluarga, para sahabatnyadan para pengikutnyahinggaakhir zaman.
Inflasi yang
stabilmerupakansalahsatutujuanpengelolaanmakroekonomikarenakestabilaninflasimenjadiprasya
ratbagipertumbuhanekonomi yang berkelanjutan. Dalam perkembangan sekarang ini, globalisasi
telah mengurangi peran faktor domestik dan meningkatkan peran faktor global dalam
menentukan inflasi. Hal tersebut menunjukkan pergeseran pemikiran yang relatif besar dari para
ekonom dengan menurunkan derajat peran domestik dan menempatkan peran ekonomi global
sebagai faktor yang dominan menentukan inflasi. Untuk mengkaji hubungan antara keterbukaan
ekonomi dan output gap terhadap inflasi di Indonesia sesudah krisis 2008 secara komprehensif
tidaklah mungkin. Oleh sebab itu, pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini masih perlu
dilengkapi dengan penelitian-penelitian sejenis.
Harapan kami, semoga penelitian ini berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Semoga pula, penelitian ini nantinya bisa dikembangkan lebih lanjut dengan memperhitungkan
kelemahan dari penelitian ini.
Terima kasih kami ucapkan pada lembaga yang telah memberikan kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan kami di bidang penelitian. Terima kasih juga pada pihak-pihak
terkait yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.
Semarang, 11 Desember 2017
Tim Peneliti
4
DAFTAR ISI
HalamanJudul
HalamanPengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
DaftarTabel
DaftarGambar
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2. PerumusanMasalah
1.3. TujuanPenelitian
1.4. Manfaatpenelitian
1
9
10
10
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Literatur Review
2.1.1. Peranan Output Gap Domestik
2.1.2. Peranan Output Gap LuarNegeri
2.2. Teori New Keynesian
2.2.1. GlobalisasiDalamPerspektifEkonomi
2.2.2. The New Keynesian Microfoundation of
Macroeconomics
2.2.3. PenentuanInflasi: InterkasiFaktorRiildanMoneter
2.2.4. New Keynesian Phillips Curve (NKPC)
2.3. KerangkaPemikiranTeoritik
2.4. Model Teoritik
2.5. HipotesisPenelitian
12
15
22
24
26
29
33
37
39
40
43
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN
3.1. SpesifikasiVariabeldanSumber Data
3.2. Model Penelitian
3.3. DefinisiOperasional
3.4. MetodeAnalisis
3.4.1. Asumsi-AsumsiKlasik
3.4.2. Uji-Uji
3.4.3. Model Selection Criterion
45
46
46
47
47
51
52
5
BAB IV:
PEMBAHASAN
4.1. Perbandingan Model
4.3. AnalisisHasilEstimasi
4.3. ImplikasiTeoritis
56
57
59
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
62
62
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
6
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Inflasi 2010-2012(% per tahun) 8
Tabel 2.1 DampakVariabelEkonomiMakroTerhadapInflasi 18
Tabel 3.1 Variabel, SpesifikasiVariabeldanSumber Data 45
Tabel 4.1 DeteksiAsumsiKlasik 57
Tabel 4.2 Model InflasiDenganFenomena Backward-Looking 58
7
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 KerangkaPemikiranTeoritik 39
8
9
DAMPAK KETERBUKAAN EKONOMI DAN OUTPUT GAP TERHADAP INFLASI DI
INDONESIA – MODEL GALI GETLER
Sri Nawatmi
Abstract
This study aims to analyze inflation in Indonesia by using New Keynesian Phillips Curve
(NKPC). Based on NKPC, there are three models that can be used to analyze inflation in
Indonesia. That is forward-looking model, backward-looking model and model Gali-Getler
model (hybrid model). Based on the results of classical assumption detection shows that only a
backword-looking model that meets the classical assumptions required in the OLS (Ordinary
Lesat Square). Based on regression results using backward-looking model shows that the
previous price level has a positive effect on domestic inflation as well as domestic output gap,
while the world output gap does not affect domestic inflation. Thus, Indonesia's inflation after
the 2008 crisis is more determined by domestic factors than foreign factors. This means that
openness economic has not yet had an impact in determining inflation in Indonesia.
Key word: Inflation, output gap, backward-looking, forward-looking, Gali-Getler model.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menganalisis inflasi di Indonesia dengan menggunakan New Keynesian
Phillips Curve (NKPC).Berdasar NKPC, ada tiga model yang bisa digunakan untuk menganalisis
inflasi di Indonesia yaitu model forward-looking, backward-looking dan model Gali-Getler
(model hybrid). Berdasar hasil deteksi asumsi klasik menunjukkan bahwa hanya model
backword-looking yang memenuhi asumsi klasik yang dibutuhkan dalam OLS (Ordinary Lesat
Square). Berdasar hasil regresi dengan menggunakan model backward-looking menunjukkan
bahwa tingkat harga sebelumnya berpengaruh positif terhadap inflasi domestik demikian juga
dengan output gap domestik, sedangkan output gap dunia ternyata tidak berpengaruh terhadap
inflasi domestik. Dengan demikian, inflasi Indonesia sesudah krisis 2008 lebih ditentukan oleh
faktor domestik dari pada faktor luar negeri.Hal itu berarti bahwa keterbuaan ekonomi ternyata
belum berdampak dalam menentukan inflasi di Indonesa.
Kata kunci: Inflasi, output gap, backward-looking, forward-looking, Gali-Getler model.
A. Pendahuluan
Globalisasi merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-
negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi, tanpa rintangan
batas teritorial negara. Semakin mengglobalnya suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat
dilihat dari peningkatan perdagangan internasionalnya. Hal itu tercermin dari: peningkatan
10
pangsa ekspornya di pasar global dan peningkatan rasio impor terhadap PDB dan juga semakin
besar arus investasi asing yang masuk ke negara tersebut atau semakin besarnya investasi dari
negara tersebut ke negara-negara lain.
Globalisasi ekonomi banyak dikaitkan dengan peningkatan integrasi ekonomi nasional-
internasional, baik dari sisi pasar barang, jasa, tenaga kerja maupun modal (Frankel, 2006). Dari
pemikiran Frankel maupun para pemikir lain seperti Romer (1991), Rogoff (2003), serta Ihrig,
Kamin, Lindner dan Marques (2007) terdapat keserupaan pandangan bahwa globalisasi
mengarah pada peningkatan dampaknya pada perilaku inflasi domestik.
Dalam perkembangannya sekarang ini, banyak peneliti berpandangan bahwa globalisasi
telah mengurangi peran faktor domestik dan meningkatkan peran ekonomi global dalam proses
pembentukan inflasi. Namun demikian, perdebatan tetap terjadi, baik dalam tataran teoritis
maupun empiris.
Perilaku dari inflasi itu sendiri tak bisa dilepaskan dari dasar teori yang
membentuknya.Perdebatan panjang dalam teori moneter antara golongan klasik dengan Keynes
tentang inflasi menunjukkan bahwa inflasi menempati posisi penting.Para pemikir klasik
menyatakan adanya netralitas uang (neutrality of money).Hal ini terjadi karena kaum klasik
percaya akan adanya classical dicotomy yaitu bahwa faktor yang menentukan variabel riil
berbeda dengan faktor yang menentukan variabel moneter. Sedangkan Keynes menolak adanya
netralitas uang baik jangka pendek maupun jangka panjang.Dengan demikian, Keynes percaya
bahwa uang mempengaruhi sektor riil atau uang tidak netral.
Pandangan yang diterima secara luas adalah bahwa inflasi merupakan fenomena moneter
(McCandless, 1995) dan dalam jangka panjang inflasi pada akhirnya ditentukan oleh kebijakan
moneter (Ball, 2006). Akan tetapi pandangan tersebut mendapat tantangan dari fiscal theory of
the price level yang dikembangkan oleh Leeper (1991) dan Woodford (1995) yang menyatakan
bahwa kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam penentuan harga melalui budget
constraint yang terkait dengan kebijakan utang, pengeluaran dan perpajakan.
Klasik mendasarkan pada asumsi bahwa pelaku ekonomi adalah perfect foresight,
perubahan ekspektasi pelaku ekonomi terealisasi secara langsung dan sempurna dalam harga,
sehingga harga bersifat fleksibel.Akan tetapi, Keynes berasumsi bahwa pelaku ekonomi adalah
adaptif, pelaku ekonomi melakukan forecasting berdasarkan informasi masa lalu saja sehingga
tingkat harga adalah tetap.
11
Pengambilan keputusan yang hanya mendasarkan pada informasi sebelumnya berpotensi
melakukan kesalahan sistematis (kritik Lucas). Oleh karena itu muncul New Keynesian yang
selalu merevisi kesalahannya sehingga mereka tidak melakukan kesalahan terus menerus,
sehingga dalam mengambil keputusan akan benar. Jadi, New Keynesian melakukan keputusan
berdasar informasi di masa lalu dan juga di masa yang akan datang. Lucas juga mengkritik
model Keynes yang tidak memiliki fondasi mikro ekonomi, terutama tidak ada penjelasan
mengapa output bisa meningkat tanpa ada insentif naiknya harga. Dia juga berjasa dalam
membuat hubungan antara ilmu ekonomi mikro dan makro yang sebelumnya terpisah.Oleh
karena itu buku-buku makro modern selalu berwawasan microfoundation.
Pada kenyataannya, tidak diragukan lagi bahwa peran inflasi dalam pembangunan sektor
riil di era global sangat penting, sehingga tidak lagi relevan untuk melakukan dikotomi antara
sektor riil dengan sektor moneter (Rogoff, 2003). Alternatif yang mungkin untuk melakukan
dikotomi tentang inflasi adalah antara the country-centric dan the globe-centric.
Hasil studi empiris menunjukkan adanya hubungan negatif antara keterbukaan dengan
inflasi, tetapi Romer (1993) menunjukkan hubungan yang cukup bervariasi di seluruh negeri dan
hasil tersebut sensitif terhadap negara yang dimasukkan ke dalam sampel. Estimasi untuk
negara-negara OECD nampak lebih kuat dibanding estimasi di negara-negara sedang
berkembang (Farvaque, 2009).
Variabel makro lainnya yang dijadikan sebagai variabel bebas dalam mempengaruhi
inflasi seperti output gap baik domestik maupun asing menunjukkan hasil yang berlainan atau
ada kontroversi antar peneliti atau kelompok peneliti. Misalnya, Borio (2007) menyimpulkan
bahwa faktor global telah menggantikan peran domestik dalam mempengaruhi inflasi (the globe-
centric). Hal tersebut didukung oleh Pain (2006), akan tetapi pendapat mereka ditentang oleh
Ball (2006) yang cenderung country-centric. Sedangkan yang berpendapat baik output gap
domestik maupun output gap asing berpengaruh terhadap inflasi adalah Pehnelt (2007).
Di samping itu dalam formulasi New Keynesian Phillips-Curve (NKPC), inflasi
sepenuhnya bersifat forward looking.Oleh karena itu, inflasi periode sebelumnya tidak relevan
untuk menentukan inflasi saat ini. Fenomena inflasi yang sebenarnya apakah merupakan
fenomena forward looking ataukah fenomena backward lookingsebagaimana dijelaskan oleh
Kurva Phillips versi tradisional. Gali dan Getler (1999) dan Gali et al (2000) mengajukan model
12
gabungan atau hybrid model yaitu model yang menggabungkan perilaku forward-looking
danbackward looking dari inflasi.
Berdasar hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara keterbukaan
terhadap harga barang dan jasa di suatu negara. Dengan adanya relevansi antara harga domestik
dengan tingkat keterbukaan ekonomi, maka harga juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berperan dalam mengubah struktur perdagangan internasional, yang salah satunya adalah
stabilitas harga negara partner dagang dan stabilitas faktor fundamental ekonomi negara partner
dagang.
Dengan demikian karena perekonomian Indonesia adalah perekonomian yang terbuka
maka, selalu terkena imbas apabila negara partner dagangnya mengalami permasalahan ekonomi,
demikian juga jika perekonomian global mengalami masa sulit, baik disebabkan oleh partner
dagang maupun negara lain.
B. Tinjauan Pustaka
Sebelum tahun 1990-an dimana globalisasi belum banyak diperdengarkan, inflasi lebih
banyak ditentukan oleh faktor-faktor domestik seperti jumlah uang beredar, nilai tukar, output
riil, pajak ataupun pengeluaran pemerintah. Dalam perkembangan sekarang ini, banyak peneliti
berpandangan bahwa globalisasi telah menurunkan peran faktor domestik dan meningkatkan
peran ekonomi global dalam proses pembentukan inflasi.
Teori tentang inflasi telah mengalami perkembangan atau evolusi pemikiran.
Perkembangan tersebut dimulai dari teori klasik kemudian Keynes hingga munculnya kritik
Lucas yang menyebabkan munculnya teori baru tentang penggunaan microfoundation dalam
menganalisis hubungan antar variabel makro ekonomi.
B.1. Teori New Keynesian
Dalam menelaah inflasi pada penelitian ini digunakan teori New Keynesian.Teori New
Keynesian menggunakan pendekatan microfoundation of macroeconomics (The New Keynesian
Microfoundatioan of Macroeconomics) atau disingkat New Keynesian macroeconomic
(NKM).Dalam ilmu ekonomi, terminologi microfoundation mengacu pada analisis
microeconomics dari perilaku individual seperti rumah tangga atau perusahaan yang mendukung
teori makroekonomi.Akhir-akhir ini, makroekonomi berusaha mengkombinasikan model
13
mikroekonomi dari perilaku rumah tangga dan perusahaan untuk menderivasi hubungan antar
variabel-variabel makroekonomi.
Seseorang yang sangat berpengaruh atas penggunaan microfoundation adalah Lucas
dengan kritiknya atas model forecasting macroeconomics tradisional. Lucas menyatakan bahwa,
hubungan antar variabel agregat yang diobservasi dalam data makroekonomi akan cenderung
berubah ketika kebijakan makroekonomi berubah. Hal ini menyatakan secara tak langsung
bahwa model microfoundation lebih tepat untuk memprediksi dampak perubahan kebijakan
dengan asumsi bahwa perubahan kebijakan makroekonomi tidak mendasari berubahnya struktur
mikroekonomi dari makroekonomi.
Oleh karena itu, microfoundation kemungkinan membawa model yang lebih baik atau
lebih berguna untuk memprediksi dimasa yang akan datang. Jika model memprediksi variabel-
variabel makro agregat dimasa datang semata-mata berdasar pada nilai-nilai dimasa lalu dari
variabel-variabel tersebut, maka hampir pasti kurang menggunakan informasi yang tersedia. Jika
kita memahami bagaimana pelaku-pelaku ekonomi membuat keputusannya, maka kita akan
mempunyai lebih banyak informasi. Lebih banyak informasi berarti model lebih baik.
Berpegang pada asumsi bahwa pasar finansial adalah pasar persaingan sempurna karena
informasi di sektor finansial adalah sempurna sehingga faktor moneter tidak mempengaruhi
inflasi.Dengan demikian yang mempengaruhi inflasi adalah sektor riil. Di samping itu juga
karena adanya kritik Lucas maka, untuk menjelaskan inflasi digunakanlah pendekatan New
Keynesian.
Perkembangan terkini dari teori moneter business cycle yang dikembangkan oleh ekonom
New Keynesian melahirkan analisis kurva Phillips versi baru, New Keynesian Phillips Curve
(NKPC).Oleh karena itu, teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah NKPC. Jadi
New Keynesian menunjukkan sebuah hubungan antara aktivitas riil yang diwujudkan dalam
bentuk output gap dengan inflasi. Dalam konteks ini, New Keynesian mengembangkan dan
mengestimasi model struktural dari Phillips Curve (Gali-Getler, 2000).
B.2. Penentuan Inflasi: Interaksi Faktor Riil dan Moneter
Berdasarkan cara pandang standard, inflasi memiliki penciri utama sebagai fungsi dari
faktor domestik, seperti permintaan agregat, perilaku upah, produktifitas perekonomian,
ekspektasi inflasi, serta kebijakan moneter sebagai penyeimbang faktor-faktor lainnya. Jika
inflasi domestik dikaitkan dengan faktor eksternal, maka beberapa variabel eksternal akan
14
dilibatkan yaitu perkembangan impor, harga energi di pasar dunia dan eksternal shock lainnya.
Secara sederhana, pandangan lama tentang inflasi dapat digambarkan sebagai berikut bahwa
inflasi dapat diakibatkan oleh dua sebab utama, yaitu pertama, inflasi yang timbul karena
permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat disebut sebagai demand pull inflation.
Kedua, inflasi yang timbul karena kenaikan ongkos produksi, disebut sebagai cost push inflation.
Penyebab pertama merupakan inflasi di tingkat konsumen sedangkan sedangkan yang kedua
berasal dari sisi produksi.Kedua jenis inflasi ini jarang dijumpai pada prakteknya dalam bentuk
murni. Umumnya, terjadinya inflasi di berbagai negara di dunia merupakan kombinasi keduanya
dan seringkali keduanya saling memperkuat satu sama lain.
Jika persoalan inflasi dikaitkan dengan perspektif jangka panjang vs jangka pendek, maka
para ekonom memiliki konsensus bahwa dalam jangka panjang harga akan fleksibel, sehingga
inflation is a monetary phenomenon. Dengan demikian, dalam jangka panjang tingkat harga riil
bersifat independen terhadap harga agregat. Harga agregat dalam jangka panjang tidak akan
berpengaruh pada tingkat output, sehingga tingkat harga merupakan fenomena moneter semata.
Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan dikotomi antara sektor riil dan moneter
menjadi tidak relevan.Pertama, tingkat inflasi menurut keyakinan otoritas moneter ditujukan
untuk mempengaruhi struktur perekonomian riil, misalnya pertumbuhan tenaga kerja, ekspor-
impor dan lain-lain.Pasar tenaga kerja yang bebas (menerapkan flexibility in wages) upah
nominalnya mungkin lebih rendah dari pada tingkat inflasi yang diharapkan pemerintah.
Persaingan yang bebas di pasar barang mungkin akan mendorong otoritas moneter untuk tidak
terlalu banyak melakukan terapi inflasi, yang berakibat stabilitas harga lebih terjamin.
Pandangan inilah yang digunakan oleh Rogoff (2003) untuk menyatakan bahwa peran inflasi
dalam pembangunan sektor riil di era global sangat penting sehingga tidak lagi relevan
melakukan dikotomi real-moneter.
B.3. Model Teoritik
Untuk menurunkan persamaan dari New Keynesian Phillips Curve, maka diasumsikan
bahwa pasar yang dihadapi adalah pasar persaingan monopolistik (monopolistic competition).
Perusahaan di pasar persaingan monopolistik memiliki market power meski kecil.Karena
memiliki market power maka, perusahaan mampu untuk merubah harga atau perusahaan sebagai
price maker atau price setter. Hal itu ditunjukkan dengan persamaan berikut:
pt = pt-1 + (1 - ) ptor
(1)
15
dimana masing-masing variabel diekspresikan sebagai persentase deviasi dari a zero inflation
steady state. Pt adalah hargaumum saat ini atau pada periode t. Pt-1 adalah harga sebelumnya,
adalah probabilitas untuk tidak berubah sehingga (1 - ) adalah probabilitas perubahan.por
(optimal reset price) adalah harga di luar keseimbangan sehingga dia memiliki probabilitas untuk
berubah. Nilai por
ditentukan oleh discount factor () dari serangkaian mc (marginal cost)
nominal.Calvo (1983) memformulasi sehingga optimal reset price terkait dengan mc:
∞
ptor
= (1 - ) ()k Etmc
nt+k (2)
k=0
Jika harga flexibel ( = 0) maka p akan bergerak proporsional terhadap mc saat ini (mct).
Dalam kasus ini, penelitian akan relevan jika harga bersifat tidak mudah berubah atau rigid (>
0) dan diketahui bahwa t pt – pt-1, dimana adalah tingkat inflasi pada periode t dan disisi lain
p terkait dengan mct persentase deviasi marginal cost riil perusahaan dari nilai steady state,
maka bisa dihubungkan antara t dengan mct:
t = mct + Ett+1 (3)
Dimana koefisien λ≡[(1-θ)(1-βθ)] / θ tergantung pada frekuensi dari penyesuaian harga θ dan
discount factor.
Karena perusahaan melakukan markup dan mempertimbangkan forward looking dan
multiple period dari harga maka perusahaan mendasarkan keputusan harga pada perilaku mc
yang diharapkan di masa akan datang sehingga didapatkan persamaan:
∞
t = kEtmct+k (4)
k=0
Berdasarkan persamaan (4) maka t harus sama dengan ekspektasi mc yang
didiskontokan atau mc riil yaitu menghitung nilai mc yang diharapkan di masa datang dengan
menilai sekarang (present value) atas mc yang akan datang.
Untuk menghubungkan mc dengan output gap, penjelasannya adalah sebagai berikut:
Output gap (Ygap) adalah selisih antara output saat ini (yt) dengan output potensial (y*) dimana
output potensial adalah output pada saat full employment (Ygap = yt – y*) dan xt yt – y*. Jika
selisih antara output saat ini dengan output potensial sama dengan nol (y – y* = 0) maka tidak
16
terjadi inflasi. Jika output aktual lebih kecil dari output potensial maka akan terjadi resesi dan
sebaliknya jika output aktual lebih besar dari pada output potensial maka akan terjadi
overheating yang menyebabkan terjadinya inflasi. Semakin besar selisih antara keduanya maka
akan semakin tinggi inflasinya. Hal itu berarti bahwa biaya akan semakin besar. Oleh karena itu
diasumsikan bahwa:
mct = xt (5)
dimana adalah elastisitas output terhadap marginal cost.
Kombinasi hubungan antara marginal cost dan output gap dengan persamaan (3)
menghasilkan sebuah hubungan seperti kurva Phillips:
t = xt + Ett+1 (6)
Sebagaimana kurva Phillips tradisional, inflasi tergantung secara positif terhadap output gap dan
sebuah terminologi “cost push” yang merefleksikan pengaruh dari expected inflation. Dengan
demikian inflasi saat ini dipengaruhi oleh output gap dan cost push. Jadi, model teoritik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model NKPC yang menggambarkan hubungan antara
inflasi dengan sektor riil. Sektor riil ditunjukkan dari output gap domestik yang merupakan
selisih antara output aktual dengan ouput potensial ditambah dengan expected inflation.
B.4. Penelitian Terdahulu
Rogoff (2003) menyatakan bahwa globalisasi membuat kurva Phillips lebih curam
(steeper). Hal itu berarrti bahwa kenaikan output tertentu diikuti dengan inflasi yang lebih
meningkat karena persaingan global membuat harga dan upah lebih fleksibel. Tetapi fakta akhir-
akhir menunjukkan bahwa slope dari kurva Phillips menjadi lebih datar (Ball, 2006: IMF, 2006).
Artinya sebuah kenaikan tertentu pada output berefek kecil pada inflasi. Perkembangan ini
kontradiktif dengan Rogoff (2003). Jika slope kurva Phillips betul-betul mempengaruhi inflasi
sebagaimana yang diprediksi Rogoff (2003) maka inflasi dunia akan meningkat sejak tahun
1980.
Salah satu ide yang disarankan oleh Fischer (2006) adalah bahwa inflasi tergantung
pada output partner dagang, bukan output sendiri. Ide tersebut diajukan dalam studi Bank for
International Settlements BIS Borio (2007). Paper di BIS beranggapan bahwa output asing
berpengaruh karena perusahaan-perusahaan bersaing dalam pasar global. Paper tersebut
mengestimasi kurva Phillips dengan output gap baik asing maupun domestik dan melaporkan
bahwa gap asing memiliki efek yang lebih besar terhadap inflasi selama periode 1985-
17
2005.Padahal dalam teori mainstream dikatakan bahwa output mempengaruhi inflasi karena
output mempengaruhi marginal cost perusahaan. Meningkatnya marginal cost membuat harga
lebih tinggi. Marginal cost bagi perusahaan-perusahaan di sebuah negara tergantung pada tingkat
outputnya sendiri bukan output asing. Globalisasi membuat pasar lebih kompetitif sehingga
markup rata-rata perusahaan menjadi turun.
Untuk kasus negara industri, terdapat kesepakatan dari para peneliti bahwa
responsiveness inflasi terhadap penggunaan sumber daya domestik akan mengalami penurunan,
atau kemiringan kurva Phillips menjadi lebih datar. Kesimpulan ini diungkapkan oleh beberapa
peneliti, misalnya Borio (2007), IMF (2006), Pain (2006) untuk negara-negara industri dan Ihrig
(2007).
Ihrig (2007) mencoba melakukan perubahan definisi operasional variabel inflasi dan
membuang peran output gap asing karena tidak signifikan. Untuk lebih fokus pada perilaku
inflasi yang lebih mendasar maka inflasi yang semula didefinisikan sebagai headline inflation
diganti dengan core inflation, maka terjadi penurunan yang signifikan untuk peran penggunaan
sumber daya domestik dalam penentuan inflasi.
Ball (2006) menggunakan regresi panel yang lebih sederhana untuk 14 negara industri
dengan data tahunan periode 1985-2005. Hasilnya menunjukkan bahwa output gap domestik
signifikan positif terhadap inflasi.
Tootell (1998) mengestimasi model kurva Phillips standar untuk Amerika pada periode
1973-1996 dengan menambahkan ke dalam model ukuran perdagangan- tertimbang dari
pemanfaatan sumber daya asing baik pengangguran dan output gap untuk enam partner dagang
Amerika. Dia menemukan tidak ada bukti bahwa variabel tersebut mempengaruhi
inflasi.Berlawanan dengan hasil Tootell (1998), Wynne (2007) mendukung peran pemanfaatan
sumber daya asing terhadap inflasi di Amerika.
Hasil yang paling kuat dan luas tentang peran pemanfaatan sumber daya asing adalah
Borio (2007).Mereka mengestimasi model kurva Phillips untuk 16 negara OECD (ditambah
negara Eropa) periode 1985-2005. Keduanya menemukan efek dari rata-rata tertimbang foreign
output gap berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi domestik dan secara umum
efeknya melampaui domestic output gap dan meningkat dari waktu ke waktu. Hasil ini
memperkuat variabel penjelas lainnya termasuk harga impor dan biaya tenaga kerja.
18
Akan tetapi Pain (2006) menemukan tidak ada peran dari global output gap terhadap
inflasi di 21 negara OECD tahun 1980-2005. Demikian juga dengan Ball (2006) yang
mengestimasi regresi panel untuk 14 negara OECD tahun 1985-2005, menemukan efek dari
foreign output gap terhadap inflasi domestik lebih kecil dibanding domestic output gap,
signifikansinya hanya marginal. Output gap asing hanya menjadi secondary influence terhadap
inflasi.
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan sampel negara Indonesia periode 2008Q4 -2016Q4.Data
yang digunakan adalah data sekunde kuartalan. Variabel yang digunakan adalah variable CPI
sebagai variable terikat, sedangkan variabel bebasnya adalah tingkat harga yang diharapkan,
tingkat harga periode sebelumnya, output gap domestik dan output gap dunia.
C.1. Spesifikasi Variabel dan Sumber Data
Berdasar kerangka teoritikal dasar mengenai inflasi, maka kebutuhan data untuk
penelitian ini adalah:
Tabel 1
Variabel, Spesifikasi Variabel dan Sumber Data
No. Variabel Spesifikasi Variabel Sumber Data
1 P Inflasi: kecenderungan kenaikan harga
yang diukur dengan menggunakan indeks
harga konsumen (log CPI)
International
Financial Statistic
(IMF)
2 PE Tingkat harga yang diharapkan International
Financial Statistic
(IMF)
3 PG Tingkat harga periode sebelumnya International
Financial Statistic
(IMF)
4 GI Output gap domestik: output aktual
domestik relatif terhadap output potensial
domestik (Rasio)
International
Financial Statistic
(IMF)
5 GW Output gap dunia: Output actual dunia
relatif terhadap output potensial dunia
(Rasio)
International
Financial Statistic
(IMF)
C.2. Model Penelitian
Model dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
19
Pt = c + β0 PEt + β1PGt + β2GIt+β4GWt +εit
Untuk t = 1, 2, 3,….., 8
Dimana:
P = Inflasi periode t (%)
PE = Tingkat harga yang diharapkan (%)
PG = Tingkat harga pada periode sebelumnya (%)
c = Konstanta
GI = Output gap domestik (rasio)
GW = Output gap dunia(rasio)
β = Koefisien
ɛ = Error term
t = Periode waktu
C.3. Definisi Operasional Variabel
Dari sejumlah variabel yang digunakan dalam penelitian disertasi ini, maka bisa diuraikan
definisi operasionalnya sebagai berikut:
1. Inflasi adalah perubahan harga yang tejadi secara terus–menerus atau kecenderungan
kenaikan harga yang diukur dengan menggunakan log dari indeks harga konsumen atau CPI
(Consumer Price Index).
2. Harga yang diharapkan adalah HP Filter dari indeks harga konsumen
3. Harga sebelumnya adalah Tingkat harga yang terjadi pada periode sebelumnya
4. Output gap domestik adalah output aktual relatif dengan output potensial yang terjadi di
Indonesia
5. Output gap dunia adalah Output actual dunia relatif dengan output potensial dunia
C.4. Metode Analisis
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada analisis regresi OLS
(Ordinary Least Square).Analisis regresi dapat dikatakan sebagai alat analisis yang mencoba
memahami hubungan antara dua variable atau lebih. Yang dianalisis dalam regresi adalah data
sampel, yang dianggap mewakili dari semua obyek yang akan dianalisis. Sebagaimana ilmu
social lain, teori ekonomi dapat dipostulasikan dalam sebuah perumusan secara lengkap.Oleh
sebab itu, dalam setiap analisis, dalam setiap analisis regresi pasti terdapat kesalahan
pengganggu.Model analisis regresi yang mencoba meminimalisasi tingkat kesalahan pengganggu
20
tersebut dikenal dengan istilah Ordinary Least Square.OLS merupakan metode estimasi yang
paling popular, bukan karena akurasi hasil perhitungannya, namun lebih disebabkan karena
kesederhaan pengoperasiannya. Sebagaimana sebuah alat yang sederhana, OLS harus ditunjang
oleh seperangkat asumsi yang harus dipenuhi agar mencapai hasil yang optimum.
AsumsiKlasik
Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam metode OLS adalah (Gujarati, 1995: 59-68):
1. Linier Regression Model. Model regreasi diasumsikan memiliki linieritas dalam
parameternya.
2. X value are fixed in repeated sampling. Asumsi ini menyatakan bahwa setiap kali dilakukan
pengambilan sampel dari populasi dilakukan, maka nilai yang terambil dianggap tetap atau
dekat dengan nilai rata-ratanya. Secara teknis dikatakan bahwa variabel X sebagai variabel
penjelas yang bersifat non-stochastic.
3. Zero mean value of disturbance ui; E(uiǀXi) = 0. Asumsi ini menyatakan bahwa nilai dari
kesalahan pengganggu yang bersifat random adalah nol.
4. Homoscedasticity or equal variance of ui. Apabila variable Y dihubungkan dengan beberapa
variable X, Variance-nya dianggap sama.
5. No Autocorrelation between the disturbances. Secara teknis dapat dikatakan bahwa antara
variable penjelas dianggap tidak berkorelasi atau no serial correlation, atau no autocorrelation.
6. Zero variance between uidan Xi atau E(uiXi) = 0. Asumsi ini menyatakan bahwa antara
variable penjelas dan kesalahan pengganggu dianggap tidak berkorelasi
7. The regression model is correctly specified. Model tidak memiliki spesifikasi bias.
8. There is no perfect multicollinierity. Merupakan asusmsi yang menyatakan bahwa di antara
variable penjelasnya tidak memiliki hubungan linier.
Untuk dapat mencapai hasil OLS yang optimum, maka asumsi-asumsi yang ada haruslah
dipenuhi.Untuk itu diperlukan uji statistik agar bisa diketahui apakah karakteristik model dan
data yang digunakan memenuhi asumsi atau tidak. Deteksi asumsi klasik yang akan dilakukan
adalah deteksi autocorrelation, multicollinearity, heteroscedastis, linierity dan normality.
Deteksi Otokorelasi
Pengujian ini digunakan untuk mengetahui apakah variable pengganggu pada periode
tertentu berkorelasi dengan variabel pengganggu pada periode lain, dengan kata lain variabel
pengganggu tidak random. Bila terjadi otokorelasi, maka parameter yang akan diestimasi akan
21
bias dan variannya tidak minimum sehingga tidak efisien. Deteksi otokorelasi yang digunakan
adalah uji Breusch-Godfrey (LM version) yang merupakan deteksi otokorelasi derajat
tinggi.Deteksi Multicollinearity
Multikolinieritas adalah keadaan dimana satu atau lebih variabel independen dapat
dinyatakn sebagai kombinasi linier dari variabel independen lainnya.Untuk mendeteksinya
digunakan Auxilary Regression (AXR). Uji AXR pada dasarnya adalah regresi antar variable
bebas secara bergantian, yang kemudian nilai uji F-nya dihitung berdasarkan:
F = [Rj2 / (k-2)]/ [(1 – Rj
2)/(N-k+1)
Apabila F hitung lebih besar dari F tabel maka hipotesis tentang tidak adanya multikolinearitas
ditolak, atau dengan kata lain terjadi multikolinieritas. Dapat juga hasil Rj2
AXR ini
dibandingkan dengan R2regresi keseluruhan.Apabila Rj
2 lebih besar dari R
2 regresi keseluruhan
maka multikolinieritas dapat dianggap sebagai persoalan yang serius (Klein’s Rule of Thumb).
Deteksi Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi jika variabel gangguan tidak memilki variance yang sama
untuk semua observasi. Akibat adanya heteroskedastisitas, penaksir OLS tetap tidak bias tetapi
tidak efisien. Untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas digunakan uji ARCH. Uji
ARCH (Autoregressive) dikembangkan oleh Engle dengan pemikiran pokoknya, variance pada
saat t (σt2)tergantung pada besarnya square error term pada periode sebelumnya (t-1).
Pengambilan keputusannya didasarkan atas uji F atau Chi-Square dengan hipotesis nol
homoskedastisitas pada variance error-nya.
Deteksi Normality
Asumsi normalitas pada kesalahan pengganggu akan dideteksi menggunakan uji Jarque-
Bera (JB test). JB test perhitungannya didasarkan atas kesalahan pengganggu yang muncul dari
estimasi OLS. JB test didefinisikan sebagai berikut:
JB = n [(S2/6) + (K-3)
2/24]
S=Skewness; K=Kurtosis. Hipotesis nol JB test adalah residual terdistribusi secara
normal dengan menggunakan angka statistic χ2-df.2, keputusan dapat dibuat. Disamping itu,
angka uji dapat juga dilihat melalui nilai probabilitasnya.Apabila probabilitas tinggi, maka
asumsi kenormalan tidak dapat ditolak.
Uji Ramsey’s RESET (Regression Specification Error Test)
22
Ramsey‟s RESET merupakan uji untuk mengetahui kesalahan spesifikasi pada model.
Kesalahan spesifikasi ini dapat terjadi karena membuang variabel yang seharusnya dipasangkan,
memakai variabel yang semestinya tidak dipasangkan, adanya kesalahan pengukuran variabel
dan kesalahan bentuk fungsionalnya. Uji ini didasarkan atas hipotesis nol mean vector dari
kesalahan pengganggu adalah nol. Dengan menggunakan statistik F dapat diketahui apakah telah
terjadi kesalahan spesifikasi atau tidak.
Uji t
Uji ini dilakukan untuk melihat signifikansi dari variabel independent secara individual
terhadap variabel dependent, dengan menganggap variabel independent lainnya konstan. Nilai t
hitung dapat dicari dengan rumus:
t hitung = koefisien regresi (bi)/standar deviasi bi
Jika t hitung > t tabel pada tingkat kepercayaan tertentu maka Ho ditolak, yang berarti bahwa
variabel independent yang diuji signifikan dan sebaliknya jika t hitung < t tabel maka Ho
diterima yang berarti bahwa variabel independent yang diuji tidak signifikan.
Uji F
Uji ini dilakukan untuk melihat pengaruh variabel-variabel independent secara bersama-
sama terhadap variabel dependent. Nilai F hitung dapat dicari dengan rumus:
F hitung = [R2/(k-1)] / [(1-R
2)/(N-k)]
Jika F hitung > Ftabel maka Ho ditolak, yang berarti bahwa variabel independent secara
bersama-sama mempengaruhi variabel dependent.Sebaliknya, jika F hitung < F tabel maka
variabel independent secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel dependent.
The Goodness of Fit (R2)
R2
menunjukkan besarnya koefisien determinasi.Dari R2 bisa diketahui goodness of fit
(kebaikan suai) dari suatu model, karena R2 menunjukkan persentase dari variasi variabel terikat
yang mampu dijelaskan oleh model.
D. Pembahasan
Untuk mendapatkan model terbaik di antara tiga model yang ada, yaitu model forward-
looking, model backward-looking dan model Hybrid (model Gali-Getler) maka dilakukan
perbandingan model inflasi Indonesia sesudah krisis 2008.
23
Tabel 2
Deteksi Asumsi Klasik
Model VIF Jarque-Bera
(probabilitas)
Breusch-
Godfrey
(Probabilitas)
Breusch-
Pagan-
Godfrey
(Probabilitas)
Ramsey’s
RESET
(probabilitas)
Forward-
Loking
< 10 0.708965 0.0026 0.3476 0.0392
Backward-
Looking
< 10 0.142105 0.3749 0.5035 0.2731
Hybrid > 10 0.165096 0.3806 0.7334 0.8464
Berdasar deteksi asumsi klasik pada tabel 3 menunjukkan bahwa pada model forward-
looking terdapat penyimpangan asumsi klasik berupa autokorelasi dan terdapat kesalahan
spesifikasi dalam model. Hal ini berarti bahwa model forward-looking tidak layak dijadikan
model untuk memahami inflasi di Indonesia sesudah krisis 2008.
Pada model Gali-Getler (model Hybrid) terdapat masalah multikolinieritas yang parah
karena nilai VIF untuk variabel harga yang diharapkan (PE) dan harga sebelumnya (PG)
nilainya lebih dari 10 (tabel 4.1). Lebih tepatnya, VIF dari PE sebesar 132,8628 dan VIF dari
PG adalah 131,1419. Dengan demikian model Gali-Getler juga tidak layak untuk dijadikan
model inflasi di Indonesia sesudah krisis ekonomi 2008.
Pada model yang ketiga yaitu model backward-looking, tidak terdapat penyimpangan
asumsi klasik. Hal ini berarti bahwa model yang tepat digunakan untuk melakukan estimasi
inflasi di Indonesia sesudah krisis 2008 adalah model backward-looking..
Analisis Hasil Estimasi
Berdasarkan hasil perbandingan model di atas menunjukkan bahwa model yang tepat
untuk menganalisis inflasi di Indonesia sesudah krisis 2008 adalah model backward-looking.
Oleh karena itu, untuk menganalisis inflasi di Indonesia digunakan model NKPC (New
Keynesian Phillips-Curve) dengan menggunakan fenomena backward-looking (tabel 3).
24
Tabel 3.
Model Inflasi Dengan Fenomena Backward-Looking
Dependent Variable: P
Method: Least Squares
Date: 11/26/17 Time: 16:08
Sample: 2008Q4 2016Q4
Included observations: 33 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.017426 0.059466 0.293043 0.7716
PG 0.998907 0.012579 79.40815 0.0000
GI 0.188847 0.108730 1.736851 0.0930
GW -0.030486 0.047661 -0.639638 0.5274 R-squared 0.995710 Mean dependent var 4.732309
Adjusted R-squared 0.995267 S.D. dependent var 0.128779
S.E. of regression 0.008860 Akaike info criterion -6.501318
Sum squared resid 0.002277 Schwarz criterion -6.319923
Log likelihood 111.2717 Hannan-Quinn criter. -6.440284
F-statistic 2243.780 Durbin-Watson stat 2.348863
Prob(F-statistic) 0.000000
Hasil uji t (tabel 3) menunjukkan bahwa tingkat harga sebelumnya (PG) berpengaruh
positif terhadap inflasi domestik dengan nilai koefisien sebesar 0.998907. Artinya jika tingkat
harga sebelumnya naik 1 persen maka inflasi akan naik sebesar 0.998907 persen dan sebaliknya
jika tingkat harga sebelumnya turun sebesar 1 persen maka inflasi saat ini akan turun sebesar
0.998907 persen. Nilai elastisitas tingkat harga hampir mendekati satu berarti elastisitas dari
tingkat harga sebelumnya termasuk unitary elasticity(proporsional).
Hasil uji t untuk variabel output gap domestik menunjukkan signifikan positif pada
tingkat signifikansi 10 persen. Dengan demikian, variabel faktor domestik berpengaruh positif
terhadap inflasi domestik dengan nilai koefisien sebesar 0.188847. Artinya jika output gap
domestik turun sebesar 1 persen maka inflasi domestik juga akan turun sebesar 0.188847 persen
dan sebaliknya jika output gap domestik naik sebesar 1 persen akan menaikkan inflasi Indonesia
sebesar 0.188847 persen. Meskipun signifikan positif dan sesuai dengan teori, inflasi domestik
ternyata kurang sensitif (inelastic) terhadap output gap domestik. Variabel Output gap dunia
ternyata tidak berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia.
25
Hasil uji F menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel tingkat harga sebelumnya,
variabel output gap domestik dan variabel output gap dunia berpengaruh terhadap inflasi di
Indonesia sesudah krisis 2008.
Nilai R2 sebesar 0.995710 persen. Artinya total variasi dari tingkat inflasi mampu
dijelaskan oleh model sebesar 99.5710 persen, sisanya 0.4229 dipengaruhi oleh variabel lain di
luar model. Ini menunjukkan hasil estimasi sangat fitted.
Implikasi Teoritis
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa tingakt harga sebelumnya pada jangka panjang
berpengaruh positif terhadap inflasi domestik saat ini. Ini menunjukkan bahwa inflasi Indonesia
sesudah krisis 2008 ternyata lebih mirip dengan teori Phillips-Curve tradisioanl yaitu inflasi saat
ini lebih dipengaruhi tingkat harga sebelumnya dari pada harapan harga dikemudian hari. Ini
berarti bahwa masyarakt Indonesia dalam memperkirakan inflasi di masa yang akan datang bisa
melihat atau memperhitungkan tingkat harga sebelumnya, sehingga para pelaku ekonomi baik
konsumen, produsen, pemerintah maupun luar negeri akan dengan mudah memperkirakan inflasi
di masa datang dengan memperhitungkan inflasi sebelumnya. Ditambah lagi elastisitasnya
mendekati 1 persen (Unitary elasticity). Artinya perubahan harga sebelumnya akan berdampak
pada inflasi domestik saat ini secara proporsional. Pemerintah dalam hal ini ini Bank Indonesia
harus lebih hati-hati dalam menentukan targer inflasi jika inflasi sebelumnya tinggi. Jangan
sampai inflasi berikutnya setinggi inflasi sebelumnya, karena kalau inflasi terus menerus tinggi
akan membahayakan perekonomian. Masyarakat, khususnya yang berpenghasilan tetap akan
semakin menderita menderita. Tingginya inflasi akan memnyebabkan kesejahteraan masyarakat
akan menurun karena daya beli yang menurun, kecuali kalau pemerintah mampu mendorong
kenaikan upah atau gaji para pekerja minimal setinggi inflasinya. Demikian juga jika inflasi
sebelumnya terlalu rendah juga tidak baik untuk perekonomian karena inflasi yang terlalu rendah
tidak memotivasi produsen untuk memproduksi barang lebih banyak karena keuntungannya
kecil.Jadi Bank Indonesia harus cerdas dalam mengendalikan inflasi agar tetap dijaga inflasinya
untuk tetap kondusif agar bisa mendorong perekonomian untuk menjadi lebih baik.
Output gap domestik pada jangka panjang ternyata berpengaruh positif terhadap inflasi
domestik sedangakan output gap dunia pada jangka panjang tidak berpengaruh terhadap inflasi
domestik.Dengan demikian.Inflasi di Indonesia setelah krisis 2008 lebih ditentukan oleh faktor
domestik dari pada faktor luar negeri. Faktor domestik adalah faktor yang berasal dari dalam
26
negeri yang terdiri dari unsur-unsur pembentuk output baik itu konsumsi, investasi, pengeluaran
pemerintah maupun aktivitas dari net ekspor. Faktor domestik lebih mudah dikendalikan Bank
Indonesia karena berasal dari dalam negeri dari pada faktor luar negeri (output gap dunia-di luar
kendali Bank Indonesia). Berarti hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ball (2006)
dan Ihrig et al (2007) yang menyatakan bahwa inflasi suatu negara lebih ditentukan oleh faktor
domestik dari pada faktor luar negeri. Globalisasi memang mulai diperhitungkan tapi belum
berdampak dalam menentukan inflasi suatu negara khususnya di Indonesia.
Tidak berdampaknya faktor luar negeri (dunia) terhadap inflasi di Indonesia bisa jadi
karena perekonomian Indonesia tidak begitu terkena dampak pada saat terjadi krisis 2008.Hal itu
ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih bisa bertahan pada
kisaran 5 persen. Padahal negar-negara lain (khususnya Eropa dan Amerika Serikat yang
notebene pasar sahamnya berkembang pesat) pertumbuhan ekonominya melemah bahkan ada
yang di bawah nol persen. Sampai sekarangpun masih bisa dilihat pengaruh imbas krisis 2008 di
Yunani maupun negar-negara Eropa lainnya (kecuali Inggris dan Jerman).
E. KESIMPULAN
Ternyata model inflasi Indonesia sesudah krisis 2008 yang terbaik dari tiga model inflasi
adalah inflasi dengan fenomena backward-looking, karena model ini memenuhi asumsi klasik,
sedangkan model lain, forward-looking dan Gali-Getler, terdapat penyimpangan asumsi klasik.
Oleh karena itu yang dianalisis lebih lanjut adalah model inflasi backward-looking.
Inflasi Indonesiasetelah krisis 2008 juga cenderung mengarah ke country-centric. Hal itu
ditunjukkan dengan signifikannya variabel output gap domestik sedangkan output gap dunia
tidak berpengaruh terhadap inflasi domestik.. Implikasinya, Bank Indonesia akan lebih mudah
dalam mengendalikan inflasi domestik karena inflasi domestik lebih dipengaruh oleh faktor-
faktor internal dari pada faktor luar negeri.
Meski faktor dunia tidak berpengaruh terhadap inflasi Indonesia sesudah krisis 2008,
Bank Indonesia tetap harus memperkuat kerja sama dengan Pemda dalam mengendalikan inflasi
daerah, karena adanya inflasi bisa menurunkan kesejahteraan masyarakat khususnya bagi
masyarakat yang pendapatannya cenderung tetap.
27
DAFTAR PUSTAKA
Aksoy Y., A. Orphanides, D. Small, V. Wieland dan David Wilcox, 2003, A Quantitative
Exploration of The Opportunistic Approach to Disinflation, CEPR Discussion Papers, no.
4073, September.
Alan A. Rabin, 2004, Monetary Theory, Edward Elgar Publishung limited.
Arintoko, 2011, Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Pnajang Di Indonesia, Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan.
Ball, L.M., 2006. Has Globalization Changed Inflation?.National Bureau of Economic Research
No. 12687.
Bernanke, B. S., 2007, Globalization and Monetary Policy,Remark by the Chairman of The
Board of Governors of th US Federal Reserve Syatem, at the Fourth Economic Summit,
Stanford Institute for Economic Policy Research, Stanford, California, March 2.
Borio, C., and A. Filardo, 2007. Globalization and Inflation: New Cross-Country Evidence on
the Global Determinants of Domestic Inflation. Bank for International Settlements BIS
Brian Snowdon and Howard R. Vane, Modern Macroeconomics-Its Origin Development and
Current State.
CAI Menghan, 2008, Is Globalization Operating to Reduce Inflation: Evidence from six OECD
Countries, Thesis 178.899
Carlstrom, C.T. dan T. S. Fuerst, 2006, Central Bank Independence and Inflation: A Note,
Federal Reserve Bank of Cleveland Working Paper N0. 06/21: 1 – 11.
Charles Engel, Inflation and Globalization: A Modelling Perspective, BIS (Bank for
International Settlements) Paper No. 70.
Chen, Imbs dan Scott (2004), Competition, Globalization and The Decline of Inflation, CEPR
Discussion Paper, No. 6495, October.
Chris Peacock dan Ursel Baumann, 2008, Globalisation, Import Prices and Inflation Dynamics,
Working Paper no. 359, Bank of England
Cicarelli M. Dan Mojon B., 2005, Global Inflation, Working Paper Paper Series No.
537/Oktober 2005
Clarida, Richard; Jordi Gali; dan Mark Getler, 2002, A Simple Framework for International
Monetary Policy Analisis, Journal of Monetary Econonomics,49, 913-940.
Denise Cote dan Carlos de Resende, 2008, Globalization and Inflation: The Role of China,Bank
of Canada Working Paper 2008-35.
Etienne Farque dan Ali Shah Syed Serfaraz, 2009, Is Asia Different? New Evidence on The
Globalization-Inflation Nexus.
Engel, Charles, 2011, Currency Misallignment and Optimal Monetary Policy: A Reexamination,
American Economic Review 101, 2796-2822.
Engel, Charles, 2012, Inflation and Globalisation: A Modelling Perspective, BIS Paper No. 70.
Frankel, J., 2006. What Do Economist Mean by Globalization? Implications for Inflation and
Monetary Policy.www.ksghome.harvard.edu.
Gali, J. dan Gertler, M., 2000, Inflation Dynamic: A Structural Econometric Analysis, NBER
Working Paper Series.
Gregory Mankiw, 2003, Macroeconomics, Worth Publisher New York.
Gujarati, D., 2003, Basic Econometrics, McGraw-Hill.
Heinz-Peter Spahn, 2009, The New Keynesian Microfoundation of Macroeconomics,
Hohenheimer Diskussionsbeitrage, Universitat Hohenheim.
28
Hooper, P., M. Spencer, and C. Dobridge, 2006.Understanding US Inflation.Global Market
Research (July).
International Monetary Fund, 2006, How Has Globalization Affected Inflation?World Economic
Outlook Chapter III, April.
Ihrig, Kamin, Lindner dan Marquez (2007), Some Simple Test of the Globalization and Inflation
Hypothesis.International Financial Discussion Papers-Board of Governors of the
Federal Reserve System No.891.
John B. Taylor, 2010, Globalization and Monetary Policy: Mission Impossible, National Bureau
of Economic Research
Joseph P. Byrne, Fatima Kaneez dan Alexandros Kontonikas, 2010, Inflation and Globalization:
A Dynamic Factor Model with Stochastic Volatility.
Kamin, S. B., M. Marazzi and J. W. Schindler, 2004, Is China’s Exporting Deflation?Federal
Reserve Board of Governors International Finance Discussion Paper 2004/79: 1-68.
Kumar, M. S., B. Taimur, J. Decressin, C.F. MacSonacgh, dan T. Feyziogulu, 2003, Deflation:
Determinants, Risks and Policy Option-Finding of an Interdepartmental Task Force, IMF
Occasional Paper 221, Washington D.C.: International Monetary Fund, June.
Lane, P. R. (1997), Inflation in Open Economics, Journal of International Economics42, pp.
447-462.
M. Maula Al Arif dan Achmad Tohari, 2006, Peranan Kebijakan Moneter Dalam Menjaga
Stabilitas Perekonomian Indonesia Sebagai Respon Terhadap Fluktuasi Perekonomian
Dunia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan
McCandless, G.T., Jr dan W.E. Weber. 1995, Some Monetary Facts, Federal Reserve Bank of
Minneapolis Quaterly Review, 19 (3): 2-11.
Michael Parkin, 2008, Macoeconomics, Pearson Addison Wesley.
Morel, L. 2007, The Direct Effect of China on Canadian Consumer Prices: An Empirical
Assessment, Bank of Canada Discussion Paper No. 10.
N. Gregory Mankiw, 2003, Teori Makroekonomi, Erlangga.
Odusanya, I.A. dan A. A. Atanda, 2010, Analysis of Inflasion and It‟s Determinant in Nigeria.
Pakistan Journal of Social Sciences, Vo. 7 No. 2 Pg. 97-100.
Pain, N., I. Koske, and M. Sollie, 2006.Globalization and Inflation in the OECD
Economies.OECD Economics Department Working Paper No. 524..
Rogoff, K., 2003. Globalization and Global Disinflation.Federal Reserve Bank of Kansas City.
Rogoff, K., 2006. Impact of Globalization on Monetary Policy.Federal Reserve Bank of Kansas
City.
Romer, D., 1991. Openness and Inflation: Theory and Evidence. National Bureau of Economic
Research Working Paper No. 3936, Cambridge.
Romer, D. (1993), Openness and Inflation: Theory and Evidence, Quarterly Journal of
Economics, 108 (4), pp. 865-903
Romer, D. (1998), A New Assesment Of Openness and Inflation: Reply, Quarterly Journal of
Economics, CXII (2), pp. 649-652.
Rudiger Dornbusch, Stanley Fischer & Richard Startz, 2004, Makroekonomi, PT Media Global
Edukasi.
Rumler F, 2007, Estimate of The Economy New Keynesian Phillips Curve for Euro Area
Countries, in: Open Economy Review, 18, 427-451.
Taylor, J., 2009, Globalization and Monetary Policy: Mission imposible, The International
Dimension of Monetary Policy, National Bureau of Economic Research Forth Coming
29