dapus dip coating

18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Koloid Koloid adalah suatu supensi yang mana fasa terdispersinya sangat kecil, berukuran 1-1000 nm, dalam suatu medium pendispersi, dimana pengaruh gaya gravitasi dapat diabaikan, dan interaksi antar fasa terdispersi maupun medium pendispersi didominasi oleh gaya yang bekerja dalam jarak dekat, yaitu gaya tarik van der Waals dan muatan permukaan. Selain itu, inersia dari fasa terdispersi cukup kecil sehingga memiliki gerak Brownian (Brownian motion) atau difusi Brownian (Brownian diffusion), yaitu gerak acak yang digerakkan karena momentum yang dihasilkan dari tumbukan antar molekul dalam medium. Menurut Ostwald, koloid merupakan suatu sistem dimana terdiri dari fasa terdispersi (fasa diskontinu) yang terdistribusi secara seragam dalam medium pendispersi (fasa kontinu). Jenis-jenis koloid yang dapat digunakan untuk menghasilkan polimer atau partikel yang selanjutnya dapat menghasilkan material keramik, antara lain: ¾ Sol, yaitu sistem koloid dengan fasa terdispersi padat dalam cair. ¾ Aerosol, yaitu sistem koloid partikel dalam gas (disebut sebagai kabut atau fog jika partikelnya cair, disebut sebagai asap atau smoke jika partikelnya padat). ¾ Emulsi, yaitu sistem koloid dengan fasa terdispersi cair dalam cair. 4

Upload: ahmad-bikharudin

Post on 27-Jan-2016

224 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

dapus

TRANSCRIPT

Page 1: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Koloid

Koloid adalah suatu supensi yang mana fasa terdispersinya sangat kecil,

berukuran 1-1000 nm, dalam suatu medium pendispersi, dimana pengaruh gaya

gravitasi dapat diabaikan, dan interaksi antar fasa terdispersi maupun medium

pendispersi didominasi oleh gaya yang bekerja dalam jarak dekat, yaitu gaya tarik

van der Waals dan muatan permukaan. Selain itu, inersia dari fasa terdispersi cukup

kecil sehingga memiliki gerak Brownian (Brownian motion) atau difusi Brownian

(Brownian diffusion), yaitu gerak acak yang digerakkan karena momentum yang

dihasilkan dari tumbukan antar molekul dalam medium.

Menurut Ostwald, koloid merupakan suatu sistem dimana terdiri dari fasa

terdispersi (fasa diskontinu) yang terdistribusi secara seragam dalam medium

pendispersi (fasa kontinu).

Jenis-jenis koloid yang dapat digunakan untuk menghasilkan polimer atau

partikel yang selanjutnya dapat menghasilkan material keramik, antara lain:

Sol, yaitu sistem koloid dengan fasa terdispersi padat dalam cair.

Aerosol, yaitu sistem koloid partikel dalam gas (disebut sebagai kabut atau

fog jika partikelnya cair, disebut sebagai asap atau smoke jika partikelnya

padat).

Emulsi, yaitu sistem koloid dengan fasa terdispersi cair dalam cair.

  4

Page 2: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2.1 Partikel Koloid[18]

2.2 Teknologi Sol-Gel

Istilah sol-gel digunakan secara luas untuk menggambarkan preparasi material

keramik melalui suatu proses yang meliputi preparasi sol, gelasi sol, dan

penghilangan fasa cair. Sol merupakan suspensi partikel koloid dalam fasa cair,

dimana partikel terdispersi masih mengalami gerak Brownian (Brownian motion)

atau difusi Brownian (Brownian diffusion). Gel merupakan jaringan material padat

yang mengandung komponen cair, dimana keduanya berada dalam fasa terdispersi.

Secara umum teknik sol-gel digambarkan sebagai metode dimana padatan, biasanya

keramik, dibentuk melalui reaksi hidrolisis dan kondensasi dari molekul dalam fasa

cair.

Teknik pemrosesan sol-gel umumnya dibagi atas dua, yaitu teknik particulate

(atau colloidal) gel yang mana solnya terdiri dari partikel koloid padat yang

berukuran 1-1000 nm, dan teknik polimeryc gel yang mana solnya terdiri dari rantai

polimer tetapi tidak memiliki partikel padat yang berukuran lebih besar dari 1 nm.

Ketika ukuran partikel mencapai batas terendah rentang ukuran koloid, maka

perbedaan antara teknik particulate gel dan teknik polymeric gel menjadi tidak jelas.

  5

Page 3: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Di dalam teknik pemrosesan sol-gel, senyawa awal (prekursor) yang dipakai

untuk preparasi sol terdiri dari garam-garam organik atau senyawa metal organik. Di

dalam penelitian-penelitian sol-gel, jenis prekursor yang sering digunakan berasal

dari senyawa metal alkoksida, termasuk ke dalam jenis prekursor metal organik yang

memiliki ligan organik yang terikat pada atom metal atau metalloid. Hal ini

dikarenakan kemudahannya untuk mengalami reaksi hidrolisis dengan air (reaksi ini

sangat penting pada proses sol-gel selain reaksi kondensasi). Metal alkoksida yang

sering digunakan pada proses sol-gel adalah tetraethoxysilane (tetraethyl orthosilicate

-TEOS), Si(OC2H5)4 dan tetramethoxysilane (tetramethyl orthosilicate-TMOS),

Si(OCH3)4.

Gambar 2.2 TEOS[2] Gambar 2.3 TMOS[2]

Tabel 2.1 Berbagai Macam Metal Alkoksida

Alkoxide State

Na(OC2H5) Solid (decomposes above 530 K)

Ba(O-iC3H7)2 Solid (decomposes above 4000 K)

Al(O-iC3H7)3 Liquid (bp 408 K at 1.3 kPa)

Si(OC2H5)4 Liquid (bp 442 K at asmopheric pressure)

Ti(O-iC3H7)4 Liquid (bp 364.3 K at 0.65 kPa)

Zr(O-iC3H7)4 Liquid (bp 476 K at 0.65 kPa)

Sb(OC2H5)3 Liquid (bp 367 K at 1.3 kPa)

Te(OC2H5)4 Liquid (bp 363 K at 0.26 kPa)

Y(O-iC3H7)3 Solid (sublimes at 475 K)

  6

Page 4: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Terdapat tiga reaksi yang umumnya digunakan untuk menggambarkan proses

sol-gel, yaitu hidrolisis, kondensasi alkohol, dan kondensasi air. Laju dari ketiga

reaksi ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain, pH, temperatur dan

waktu reaksi, konsentrasi reagen, katalis, H2O/Si molar ratio (R), temperatur dan

waktu aging, dan pemanasan (drying). Ketiga reaksi tersebut dapat dilihat pada

Gambar 2.4 di bawah.

Gambar 2.4 Tiga Reaksi Pada Proses Sol-Gel[19]

Reaksi hidrolisis merupakan reaksi penggantian gugus alkoksida (-OR) oleh

gugus hidroksil (-OH). Reaksi kondensasi yang mengandung gugus silanol (Si-OH)

akan menghasilkan ikatan siloksan (Si-O-Si) ditambah produk air untuk kondensasi

air dan alkohol untuk kondensasi alkohol. Umumnya, reaksi kondensasi mulai terjadi

sebelum reaksi hidrolisis selesai. Faktor-faktor seperti pH, H2O/Si molar ratio (R),

dan katalis dapat mempercepat terjadinya reaksi hidrolisis sebelum reaksi kondensasi

terjadi. Karena air dan alkoksida tidak larut satu sama lain, maka digunakanlah

pelarut seperti alkohol. Dengan keberadaan alkohol sebagai agen homogenisasi,

hidrolisis dapat dilakukan dengan mudah.

  7

Page 5: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2.1 Mekanisme Hidrolisis Pada Kondisi Asam

Pada kondisi asam, gugus alkoksida terprotonasi dengan cepat. Misal, dengan

menggunakan TEOS, maka kerapatan elektron diambil dari atom silikon sehingga

mengakibatkan gugus alkoksidanya lebih elektrofilik dan lebih mudah diserang oleh

H2O. Proses ini menghasilkan formasi penta-coordinate transition state sesuai

dengan mekanisme SN-2.

Gambar 2.5 Mekanisme Hidrolisis Pada Kondisi Asam[5]

2.2.2 Mekanisme Hidrolisis Pada Kondisi Basa

Pada kondisi basa, hidrolisis silikon alkoksida membutuhkan waktu yang

lebih lama dibandingkan dengan hidrolisis silikon alkoksida pada kondisi asam pada

konsentrasi katalis yang sama. Hal ini dikarenakan oksigen alkoksida cenderung

menolak gugus –OH. Bagaimanapun, ketika reaksi hidrolisis sudah mulai terjadi,

maka akan diikuti tahap reaksi berikutnya, dengan gugus alkoksida yang berikutnya

lebih mudah dihilangkan dari monomer daripada gugus alkoksida yang sebelumnya.

Gambar 2.6 Mekanisme Hidrolisis Pada Kondisi Basa[19]

  8

Page 6: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2.3 Mekanisme Kondensasi Pada Kondisi Asam

Mekanisme kondensasi pada kondisi asam meliputi silanol yang terprotonasi.

Protonasi silanol membuat atom silikon lebih elektrofilik sehingga lebih mudah

diserang oleh nukleofilik. Dalam hal ini, silanol yang paling mungkin terprotonasi

adalah silanol yang terkandung di dalam monomer.

Gambar 2.7 Mekanisme Kondensasi Pada Kondisi Asam[5]

2.2.4 Mekanisme Kondensasi Pada Kondisi Basa

Mekanisme kondensasi pada kondisi basa yang umumnya terjadi adalah

reaksi yang meliputi serangan nukleofilik yang terdeprotonasi silanol pada asam

silika netral untuk membentuk ikatan siloksan.

Gambar 2.8 Mekanisme Kondensasi Pada Kondisi Basa[19]

Untuk senyawa inorganik, misalnya senyawa metal klorida, berlangsungnya

reaksi hidrolisis dan alkoholisis (bila dalam suatu prekursor terdapat alkohol) sampai

selesai akan sangat dipengaruhi oleh sifat elektropositif yang dimiliki oleh atom

metal. Reaktivitas senyawa metal klorida terhadap reaksi hidrolisis dan alkoholisis

akan menurun seiring dengan meningkatnya keelektropositifan atom metal.

TiCl4 + 2EtOH → TiCl2(OEt)2 + 2HCl

SiCl4 + 2EtOH → Si(OEt)2 + 2HCl

  9

Page 7: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dari kedua reaksi di atas dapat dilihat bahwa atom Ti yang lebih elektropositif

dibandingkan dengan atom Si akan menghasilkan reaksi alkoholisis yang parsial

(tidak selesai). Hal inilah yang menyebabkan senyawa alkoksida menjadi prioritas

utama dibandingkan senyawa inorganik metal dalam sintesis keramik dengan

menggunakan metoda sol-gel. Senyawa alkoksida dapat terhidrolisis dan

teralkoholisis dengan cepat dan tidak menghasilkan produk samping seperti senyawa

inorganik metal.

2.3 Hybrid Organic Inorganic Materials (HOIM)

Dari pandangan material maju, salah satu yang menarik dari teknologi sol-gel

adalah dimungkinkannya mensintesis material baru yang dikenal dengan Hybrid

Organic Inorganic Materials. Konsepnya dengan memanfaatkan masing-masing

fungsi spesifik dari material organik dan inorganik yang ada. Umumnya material

organik memiliki sifat elastis, fotorefraktif, koefisien ekspansi termal yang rendah,

dan fleksibel. Sedangkan material inorganik memiliki sifat ketahanan terhadap suhu

tinggi, stabil secara kimia, keras, getas, koefisien ekspansi termal yang tinggi, optik,

magnetik, dan elektronik yang khas. Dengan mengkombinasikan dua sifat tersebut

dimungkinkan membuat suatu lapisan multi fungsi. Seperti memanfaatkan sifat listrik

dari keramik untuk memodulasi warna dari polimer.

Hybrid Organic-Inorganic Materials disebut juga nano komposit atau

komposit molekular. Hybrid Organic-Inorganic Materials merupakan jenis baru di

dalam material komposit yang mana ukuran nanometer sebagai ukuran maksimum

komponen organik dan inorganiknya. Hal ini mengakibatkan permukaan kontak

antara komponen organik dengan komponen inorganiknya cenderung tidak terbatas.

Sanchez et al. (1994) mengklasifikasikan Hybrid Organic-Inorganic

Materials ke dalam dua kelas utama. Yang pertama disebut “Kelas I”, yang mana

interaksi antara komponen organik dan inorganiknya diatur melalui ikatan hidrogen

  10

Page 8: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dan gaya van der Waals. Yang kedua disebut “Kelas II”, yang mana komponen

organik dan inorganiknya secara kuat berikatan melalui ikatan iono-kovalen.

2.4 Organically Modified Silicates (Ormosils)

Organically Modified Silicates (Ormosils) termasuk ke dalam jenis Hybrid

Organic Inorganic Materials. Salah satu bentuk ormosils yaitu hasil reaksi antara

tetraethoxysilane (TEOS) dengan polydimethylsiloxane (PDMS). Ormosils dapat

dianggap sebagai “ceramic rubbers” tergantung pada rasio PDMS/TEOS yang

digunakan dalam reaksi.

Pada dasarnya ormosils dapat dihasilkan dengan metode sol-gel. Dengan

memperhatikan parameter-parameter tertentu, maka sifat akhir ormosils bisa berbeda.

Selain rasio PDMS/TEOS, sifat akhir ormosils juga ditentukan oleh kondisi pada saat

pemrosesan dan persen berat PDMS yang ditambahkan (% wt). Ketika PDMS yang

ditambahkan dengan persen berat yang kecil, maka material ormosils yang dihasilkan

akan memiliki sifat keras, kaku, dan cukup kuat. Seiring dengan penambahan persen

berat PDMS, maka material ormosils akan menjadi lebih lentur dan ketika melewati

konsentrasi kritisnya, maka material ormosils akan bersifat rubbery. Hal ini dapat

dilihat pada Gambar 2.9 di bawah ini.

Gambar 2.9 Sifat Mekanik Material Ormosils PDMS/TEOS[13]

  11

Page 9: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perubahan sifat materials ormosils dari keras menjadi ”rubbery” dapat terjadi

karena pengaruh dari penambahan persen berat PDMS. Pada Gambar 2.9, perubahan

sifat tersebut terjadi ketika penambahan PDMS kurang lebih 35% wt (batas

konsentrasi). Penambahan PDMS di bawah batas konsentrasi, maka fasa PDMS yang

terbentuk akan terputus-putus, sedangkan jika penambahan PDMS di atas batas

konsentrasi maka fasa PDMS akan membentuk rantai-rantai.

Kekuatan pada material ormosils dengan penambahan PDMS di bawah batas

konsentrasi akan sangat dipengaruhi oleh fasa inorganiknya. Bentuk ikatan

penambahan PDMS di bawah dan di atas batas konsentrasi dapat terlihat pada

Gambar 2.10 dan Gambar 2.11 di bawah ini.

 

Gambar 2.10 Silika Amorf Dan Material Ormosils Yang Bersifat Keras[13]

Gambar 2.11 Material Ormosils Yang Bersifat Rubbery[13]

  12

Page 10: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Material ormosils pada Gambar 2.11 yang memiliki sifat “rubbery” ini bisa

memiliki komponen inorganik sampai dengan 75% dan memiliki sifat mekanik yang

lebih stabil daripada karet biasa. Oleh karena itulah material ormosils bisa digunakan

sebagai material yang membutuhkan sifat “rubbery”, ringan, dan tahan temperatur

tinggi. Pada Gambar 2.12 di bawah ini dapat dilihat grafik tegangan-regangan

dengan persen berat (% wt) PDMS terhadap metal alkoksida (TEOS) 0% wt, 15% wt,

46% wt, dan 70% wt.

Gambar 2.12 Grafik Tegangan-Regangan PDMS/TEOS[5]

  13

Page 11: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Dip Coating

Prasyarat umum untuk memperoleh lapisan kimia basah (wet chemical

coatings) dengan kualitas optik yang tinggi pada gelas adalah dengan melakukan

pelapisan pada kondisi ruangan yang bersih, larutan pelapis (coating liquid) harus

terlebih dahulu disaring, dan gelas yang dipakai sebagai substrat harus terlebih dahulu

dibersihkan.

Teknik dip coating dapat digambarkan sebagai suatu proses dimana substrat

yang dilapisi dicelupkan ke dalam suatu larutan dan ditarik kembali dengan

kecepatan penarikan yang konstan. Proses dip coating dibagi ke dalam lima tahapan,

yaitu immersion, start-up, deposition, drainage, dan evaporation. Dengan memakai

pelarut yang mudah menguap, seperti alkohol, penguapan akan terjadi pada tahap

start-up, deposition, dan drainage.

Ketebalan lapisan yang dihasilkan merupakan kombinasi antara viskositas

dengan gravitasi. Secara teoritis dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

h = c1(ηU/ρg)1/2 (2.1) dimana h adalah ketebalan lapisan, c1 adalah konstanta (sekitar 0,8 untuk larutan

Newtonian), η adalah viskositas larutan, U adalah kecepatan tarik substrat, ρ adalah

rapat dari sol coating, dan g adalah gravitasi. Tetapi pada umumnya, hubungan antara

variabel coating dengan ketebalan yang dihasilkan dilakukan secara eksperimental.

Ketebalan untuk setiap kali proses biasanya berkisar 50-500 nm.

 

 

 

Gambar 2.13 Proses Dip Coating[2]

  14

Page 12: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berbeda dengan proses dip coating, proses continuous dip coating lebih

sederhana karena proses ini memisahkan tahap immersion dari tahap yang lain. Pada

dasarnya mengeliminasi tahap start-up dan “menyembunyikan” tahap drainage pada

lapisan yang terdeposisi.

2.6 XRD (X-Ray Diffraction)

Difraksi sinar-X untuk serbuk digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin

yang tidak diketahui dari suatu material. Aplikasi XRD yang digunakan pada

penulisan tugas akhir ini adalah untuk mengidentifikasi fasa-fasa yang terbentuk pada

hybrid film dan gel powder SiO2-TiO2-PDMS.

Sinar-X adalah bentuk dari radiasi gelombang elektromagnetik, dihasilkan

dari benda yang ditumbuk oleh elektron. Panjang gelombang sinar-X adalah 10-10 m

sampai dengan 10-8 m (1-100 Angstrom) dan hanya 0,3-0,25 Angstrom yang

digunakan untuk difraksi sinar-X. Sinar-X memiliki daya penetrasi yang besar,

sehingga sinar-X dapat mengetahui periodisitas kristal.

Apabila berkas sinar-X diarahkan pada material kristalin, maka atom-atom di

dalam kristal akan menyerap energi dan kemudian akan menghamburkan sinar-X

kembali ke segala arah. Berkas sinar-X yang dihamburkan oleh atom jika sefasa

maka akan saling menguatkan, akan tetapi jika tidak sefasa maka akan saling

meniadakan. Hukum yang digunakan pada difraksi sinar X adalah Hukum Bragg,

yaitu: (2.2) nλ = 2d sin θ

dimana n adalah orde reaksi, λ adalah panjang gelombang, d adalah jarak

penembakan sinar, dan θ adalah sudut yang dibentuk. Fenomena sinar-X yang

mengenai bidang kristal dapat dilihat pada Gambar 2.14.

  15

Page 13: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2.14 Difraksi Sinar-X Pada Kristal[3]

Secara eksperimen, Hukum Bragg dapat diamati melalui dua cara. Dengan

menggunakan sinar X dengan panjang gelombang (λ) tertentu dan mengukur θ,

sehingga dapat ditentukan lebar (d) dari beberapa bidang kristal. Metode ini disebut

dengan analisis struktur. Metoda yang lain adalah menggunakan kristal dengan lebar

(d) bidang diketahui, lalu mengukur θ, sehingga dapat ditentukan panjang gelombang

(λ) dari radiasi yang digunakan. Metoda ini disebut dengan X-ray spectroscopy.

Pola sinar X dari bahan-bahan kristalin dapat disebut sebagai sidik jari (finger

print), setiap material (secara terbatas) memiliki pola difraksi yang unik. Dengan

menggunakan metode difraksi serbuk ini, sebenarnya parameter yang diukur adalah

lebar dari kisi-kisi mineral yang diketahui daripada menetukan struktur dari mineral

tersebut.

  16

Page 14: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.7 SEM/EDS

  SEM (Scanning Electron Microscopy) dan EDS (Energy Dispersive

Spectroscopy) banyak digunakan untuk mengkarakterisasi material, antara lain

material logam, material keramik, dan material polimer. SEM merupakan

perkembangan dari mikroskop optik yang memiliki perbesaran maksimum 1000 x,

sehingga dapat mencapai perbesaran maksimum sampai 150.000 x (tergantung pada

kondisi spesimen dan SEM pada saat itu). SEM banyak digunakan untuk aplikasi

sebagai berikut:

• Pemeriksaan struktur mikro spesimen metalografi dengan perbesaran

(magnifikasi) yang jauh melebihi perbesaran mikroskop optik biasa.

• Pemeriksaan permukaan patahan dan permukaan yang memiliki kedalaman

tertentu yang tidak mungkin diperiksa dengan mikroskop optik.

• Evaluasi orientasi kristal dari permukaan spesimen metalografi, seperti butir

individual, fasa presipitat, dan dendrit (struktur khas dari proses pengecoran

logam).

• Analisis unsur pada objek dalam range mikron pada permukaan bulk

spesimen. Misalnya, inklusi dan fasa presipitat.

• Distribusi komposisi kimia pada permukaan bulk spesimen sampai jarak

mendekati 1 mikron.

Persyaratan spesimen untuk material konduktif diperlukan persiapan

metalografi standar seperti sudah dipolish dan dietsa. Untuk non-konduktif harus

dicoating terlebih dahulu dengan karbon dan emas supaya terbentuk lapisan tipis

yang konduktif. Prinsip kerja SEM secara sederhana:

• Electron gun yang dilengkapi dengan filamen tungsten (6-12 V DC) berfungsi

untuk menembakkan elektron.

• Elektron yang ditembakkan karena terdapat beda potensial (1-30 kV) akan

menumbuk benda kerja.

  17

Page 15: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

• Ketika menumbuk spesimen akan terjadi interaksi antara primary electron

dengan spesimen sehingga menghasilkan x-ray dan elektron (secondary

electron, backscattered electron, dan auger electron).

Gambar 2.15 Interaksi Elektron-Benda Kerja[1]

• Hasil interaksi yang keluar dari dalam material ditangkap oleh tiga detektor,

yaitu:

a. Detektor SE (Secondary Electron), bertujuan untuk menghasilkan image.

b. Detektor BSE (Back Scattered Electron), bertujuan untuk menghasilkan

image dan menampilkan perbedaan kontras berdasarkan perbedaan berat

massa atom.

c. Detektor X-ray, bertujuan untuk mengidentifikasi unsur kimia (EDS) yang

terdapat dalam material.

  18

Page 16: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EDS (Energy Dispersive Spectrometry) dapat digunakan untuk

mengidentifikasi komposisi elemental (per unsur) dari material yang dapat terlihat

oleh SEM (Scanning Electron Microscopy). EDS dapat digunakan untuk analisis

semikuantitatif unsur-unsur dari material. Jadi secara umum EDS dapat digunakan

untuk menganalisis kontaminan seperti inklusi, antarmuka, analisa partikel, pemetaan

unsur (elemental mapping), analisis deposit korosi, analisis ketidakmurnian (sampai

ketelitian di atas 2% berat). EDS juga dapat digunakan untuk verifikasi material,

analisa pelapisan, dan mengetahui secara semikuantitatif banyaknya inklusi pada

suatu produk. EDS merupakan suatu sistem peralatan dan software tambahan yang

dipasangkan pada suatu mikroskop elektron. Teknik ini memanfaatkan X-ray yang

dihasilkan oleh spesimen selama spesimen dibombardir oleh primary electron. Hal

ini digunakan untuk mengkarakterisasi komposisi unsur pada volume tertentu.

Saat spesimen dibombardir oleh elektron, maka mengakibatkan adanya

elektron yang keluar dari atom penyusun permukaan material sehingga terjadi

kekosongan. Karena terjadi kekosongan elektron pada kulit/orbital elektron tadi maka

elektron dari kulit terluar akan mengisi kekosongan tersebut.

Untuk menjaga kesetimbangan energi antara dua elektron (elektron yang

keluar dari orbital atom dan elektron pengisi kekosongan dari kulit orbital yang lebih

berada di luar) akan dihasilkan X-ray Fluorescense. Detektor dari EDS akan

mengukur jumlah X-ray Fluorescence yang dihasilkan versus energinya. Energi dari

X-ray Fluorescence merupakan karakteristik khusus suatu elemen atau unsur tertentu.

  19

Page 17: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2.16 Eksitasi Elektron Pada Orbital Dan Kα, Lα, dan Mα[3]

Spektrum energi versus perhitungan relatif X-ray Fluorescence yang

terdeteksi didapatkan dan dapat dievaluasi untuk menentukan secara kualitatif dan

semikuantitatif elemen yang ada pada spesimen.

2.8 UV-Vis

Spektrofometri ultraviolet dan cahaya tampak berguna pada penentuan

struktur molekul organik dan pada analisis kuantitatif. Spektrofometri ultraviolet dan

cahaya tampak juga berguna untuk:

• Penentuan jenis kromofor yang ada dalam molekul dan menentukan kromofor

manakah yang menyebabkan transisi berenergi terendah.

• Meramalkan daerah panjang gelombang kira-kira untuk berbagai jenis

transisi.

• Memahami mengapa sistem terkonjugasi mengabsorpsi pada panjang

gelombang yang lebih besar.

  20

Page 18: Dapus Dip Coating

 

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.9 Aplikasi Hybrid Film dan Gel Powder SiO2-TiO2-PDMS

Hybrid Film dan Gel Powder SiO2-TiO2-PDMS merupakan salah satu jenis

dari material Hybrid Organic Inorganic Materials yang memiliki sifat-sifat

multifungsi yang berasal dari penggabungan sifat-sifat spesifik dari material organik

dan inorganik yang ada. Keuntungan dari organically modified inorganic composites

ini adalah bisa mengatur ketebalan lapisan yang diinginkan, bisa diperoleh lapisan

yang bebas crack, dan bisa diperoleh bulk material. Oleh karena itu, hybrid film dan

gel powder SiO2-TiO2-PDMS banyak diaplikasikan pada material-material optik

seperti integrated optics, material laser, data storage, dan teknologi komunikasi.

Selain itu, bisa juga diaplikasikan sebagai photocatalyst.

  21