dasar hukum dan aspek etika transaksi terapeutik
DESCRIPTION
dasar hukum dan aspek etika transaksi terapeutikTRANSCRIPT
Dasar hukum dan aspek etika transaksi terapeutik
Pada umumnya seseorang yang merasakan adanya gangguan terhadap kesehatannya dan telah
berusaha mengatasi gangguan tersebut tetapi tidak berhasil, maka orang tersebut akan berusaha
mencari pertolongan. Oleh karena setiap orang bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri
maka jika seseorang menggunakan orang lain untuk menolong mengatasi permasalahan
kesehatannya, berarti sebagian tanggunang jawabnya diserahkan kepada pemberi bantuan.
Namun karena yang diminta bantuan itu seorang dokter yang memiliki kemampuan profesional
dan terikat pada norma etis dan norma hukum tertentu yang mengatur kewajiban profesionalnya
maka sebagai pemberi pertolongan maka sebagai pemberi pertolongan maka dokter juga
mempunyai kewajiban profesinal terlepas dari adanya permintaan pertolongan tersebut.
Seharusnya pasien juga akan mendapatkan pertolongan yang sebaik-baiknya didasarkan
keahlian, kewenangan serta ketelitian seorang pemberi jasa profesional dididang medik. Apalagi
sesuai dengan sistem pelayanan kesehatan yang berlaku di indonesia, dokter berdekukukan
sebagai abdi negara yang mengemban tugas untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
dengan menggunakan keahlian profesionalnya sehubungan dengan itu, didalam Pasal 53 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1992 ditegaskan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan
tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar propesi dan memenuhi hak pasien. Untuk itu,
pasien juga dilibatkan untuk berperan serta sebagai mana ditegaskan dalam pasal 5 undang –
undang tersebut yaitu berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan baik perseorangan keluarga ataupun lingkungannya.
Oleh karena itu sekalipun transaksi teraputik merupakan perjanjian yang didasarkan pada Pasal
1313 KUHPerdata tetapi lebih dikenal dengan nama inspanningsverbintenis. Hal ini
dimaksudkan sebagai perikatan yang objeknya berupa upaya yang harus dilakukan dengan hati-
hati dan usaha keras (met zorg en inspanning).
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai saat terjadinya transaksi terapeutik,
maka disamping dilihat dari asas hukum, peraturan hukum, dan pengertian hukum yang dapat
mendasarinya, juga perlu dilihat dari kekhususan yang terdapat dalam hubungan tersebut yang
terletak pada subjeknya, objeknya, dan tujuannya.
Pertama, subjeknya terdiri dari dokter sebagai pemberi pelayanan medik propesional yang
pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberin pertolongan dan pasien sebagai penerima
pelayanan medic yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter mempunyai kualifikasi dan
kewenangan tertentu sebagai tenaga propesional dibidang medik sedangkan pihak pasien tidak
mempunyai kualifikasi dan kewenangan tersebut.Tetapi memerlukan pertolongan jasa pelayanan
propesional dokter.Atas jasa tersebut pasien bersedia membayar honorarium kepada dokter yang
menolongnya.Kedua, objeknya berupa upaya medik propesional yang bercirikan pemberian
pertolongan.Ketiga, tujuannya adalah memeliharan dan meningkatkan kesehatan yang
berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan
penyekit (prefentif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).
Oleh karena transaksi terapeutik dilihat dari objeknya berupa upaya pemberian pertolongan,
maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tidak dapat dan tidak boleh dijamin
kapasitasnya oleh dokter.Lagi pula, pelaksanaan upaya medic tersebut tidak semata-mata
bergantung pada kesungguhan dan kecermatan dokter dalam pemberian pelayanan, tetapi juga
diperlukan peran serta pasien yang baik yang berorientasi demi kepentingan pasien itu sendiri.
Oleh karena itu pada umumnya proses terjadinya pelayanan medik itu diawali dengan keputusan
pasien dan atau keluarga untuk mengunjungi seorang dokter, maka kunjungannya ditempat
kraktek pribadi dokter, atau di rumasakit atau klinik, atau sarana pelayanan medic lainnya dapat
ditafsirkan bertujuan untuk mengajukan penawaran (offer, aanbod) kepada dokter untuk
menerima pertolongan dalam mangatasi keluhan yang dideritanya.
Langkah utama yang akan dilakukan dokter adalah mendapatkan informasi tentang pasien
sebelum dilakukan wawancara pengobatan , antara lain mengenai : nama. Umur, status,
perkawinan, pekerjaan agama, dan tempat tinggal.Pada umunnya pendataan ini telah dilakukan
oleh pembantu dokter (perawat) sebelum pasien masuk kedalam kamar periksa.Dengan
demikian, pertemuan diawali dengan pembicaraan mengenai keluhan pasien.Fase ini dapat
dikategorikan sebagai fase prakontraktual, yang dapat dimualai baik oleh pasien itu sendiri
dengan menceritakan secara sukarela, ataupun karena diminta dokter untuk mengemukakan
keluhanya.
Sehubungan dengan itu, baik responden dokter umum (90%) dan dokter spesialis (91%), ataupun
pasien rawat jalan (71%) pada umumnya menyatakan bahwa dirinya yang memulai pembicaraan
lebih dulu pada pertemuan pertama. Artinya adakalanya dokter yang menanyakan keluhan pasien
lebih dulu, dan adakalanya justru pasien yang mengemukakan keluhannya lebih dulu sebelum
menanyakannya.Demikian juga responden rawat inap (71%) menyatakan bahwa dokter yang
memberitahu mengenai penyakitnya. Akan tetapi, jika dokter belum memberitahukannya, maka
pasien pada umumnya akan menanyakan kepada perawat.
Selanjutnya dokter aka menyusun anemnesa yang merupakan dasar yang terpenting dalam
diagnose, sebab dari hasil diagnose inilah dapat diputuskan cara tindakan medic yang perlu
dilakukan sebaik-baiknya demi kepentingan pasien. Pada saat dokter bersedia melanjutkan
dengan menyusun anamnesa inilah, berarti dokter melakukan penerimaan (acceptance
aanvaarding).Dengan demikian, saat penerimaan inilah yang merupakan saat terjadinya
kesepakatan atau terjadinya transaksi terapeutik sehingga timbul perikatan untuk mulai dilakuka
tindakan diagnostic dan dilanjutkan dengan tindakan terapeutiknya.Oleh karena itu, informed
consent dalam transaksi terapeutik merupakan konstruksi dari kesepakatan tersebut.
Akan tetapi dalam tindakan diagnostik juga diperlukan informasi atau keterangan hasil dari
pemeriksaan fisik pasien dan atau laboratorium. Oleh karena itu, setelah dokter memahami
keluhan penderita, maka seharusnya dilakukan wawancara pengobatan guna mendapatkan
informasi mengenai :
1. Gambaran penyakit yang sedang diderita;
2. Keadaan badan seluruhnya;
3. Keadaan dan kesehatan keluarganya; dan
4. Keterangan mengenai kebiasaan pasien yang berkaitan dengan keluhannya.
Perlu dilakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran penyakit yang sedang diderita, karena
dari keluhan pasien saja belum dapat diketahui dengan tepat bagian tubuh mana yang
terganggu.Untuk mengetahui lokalosasi gangguan maka perlu dilakukan interogasi keadaan
bada, tetapi titik tolak pemeriksaan cukup berpangkal pada satu atau dua keluhan saja.
Selain itu, karena banyak pengekit yang menular atau ditularkan, maka baik secara langsung atau
tidak langsung dokter menanyakan keadaan kesehatan keluarga pasiennya dalam pemerikasaan
mengenai penyakit yang sedang diderita oleh pasien.
Keterangan mengenai kebiasaan atau kesenangan pasien juga perlu diketahui guna mendapatkan
hal-hal yang berhubungan dengan penyakit yang diderita, dan mendapatkan hal-hal yang
diperlukan untuk memberikan nasehat kepada pasien dalam mengatur pengobatannya.
Dengan demikian, pada saat dokter mulai menyusun anamnesa melaui wawancara pengobatan,
lalu mendiagnosa pasien dan menentukan cara penangannnya, serta memberikan nasehat kepada
pasien dalam mengatur pengobatannya termasuk memberikan resep obat, lalu pasien membayar
honorarium kepada dokter tersebut, maka fase ini dapat dikategorikan sebadai fase kontraktual.
Setelah fase tersebut, disebut sebagai fase postkontraktual, yang merupakan kelanjutan
pelaksanaan kontrak yang sepenuhnya bergantung dari hasil komunikasi dokter dalam
wawancara pengobatan, yaitu menyangkut pentaatan terhadap aturan medik, dan upaya
pencapaian tujuan pelayanan medik tersebut.
Dilihat dari berbagai kemungkinan kegiatan yang dilakuka dan sarana yang diguanakan dokter
dalam menangani pasiennya, serta sifat dari kegiatan pemberian pertolongan, maka tidaklah tepat
apabila ditapkan pembagian fase kontraktual sebagaimana tersebut diatas.Apalagi, jika dilihat
dari factor sumberdayanya, yaitu baik yang menyangkut tenaga pelaksanaanya maupun sarana
yang digunakannya, maka hubungan antara dokter dan pasien tidak dapat dilaksanakan sebagai
perjanjian jasa pada umumnya. Hal ini disebabkan, timbulnya kewajiban untuk memberikan
pertolongan dalam pelayanan medik tidak ditentukan oleh saat terjadinya transaksi terapeutik.
Selain itu karena pemberian informasi tidak dimaksudkan demi tercapainya persetujuan, maka
saat terjadinya transaksi terapeutik tidak bergantung pada ada tidaknya informasi yang diberikan
oleh dokter kepada pasien.
Etika Kedokteran dan Perbedaan Sanksi Hukum dan Etik
Pengertian etika
Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi kedokteran
dalam hubungannya dengan klien / pasien, teman sejawat dan masyarakat umumnya
serta merupakan bagian dari keseluruhan proses pengambilan keputusan dan
tindakan medic ditinjau dari segi norma-norma / nilai-nilai moral.
Kedokteran gigi adalah ilmu mengenai pencegahan dan perawatan penyakit
atau kelainan pada gigi dan mulut melalui tindakan tanpa atau dengan pembedahan.
Seseorang yang mempraktekkan ilmu kedokteran gigi disebut sebagai dokter gigi
Kita ketahui bahwa rekam medis sangat penting dalam pelayanan kesehatan.
Rekam medis merupakan catatan data-data pasien yang berguna dalam memberikan
pelayanan kesehatan, pengobatan dan tindakan medis bagi pasien. Rekam medis juga
memberikan kemudahan bagi dokter dan tenaga kesehatan baik yang berpraktek
pribadi maupun di rumah sakit dalam meningkatkan pelayanan kesehatan. Dokter
dan dokter gigi diwajibkan membuat rekam medis bila menjalankan praktek
pelayanan kesehatan. Pemerintah telah mengatur dalam undang-undang antara lain:
Pasal 79 UU Praktik Kedokteran Isinya :
1. Setiap dokter atau dokter gigi yang sengaja tidak membuat rekam medis dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
2. Dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis juga dikenakan sanksi
perdata.
3. Sanksi disiplin dan etik diberikan berdasarkan baik dari undang-undang maupun
kodek etik profesi:UU Praktik Kedokteran, Peraturan KKI, Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia
(KODEKGI).
Sanksi yang didapat :
a. Apabila terjadi pelanggaran berkaitan dengan rekam medis maka
berdasarkan undang-undang di atas dapat diketahui bahwa kelalaian dokter
dan dokter gigi yang sengaja tidak membuat rekam medis dalam pelayanan
kesehatan akan ancaman baik pidana maupun denda atau perdata.
b. Sanksi dilaksanakan oleh pengurus PDGI sesuai keputusan sidang MKEKG.
Sanksi tersebut berupa :
- Peringatan lisan berlaku paling lama 6 bulan
- Peringatan tertulis berlaku paling lama 6 bulan
- Penarikan rekomendasi PDGI untuk mendapatkan SIP paling lama 12
bulan.
Sanksi peringatan lisan disampaikan langsung kepada teradu dalam
sidang MKEKG. Sanksi peringatan tertulis disampaikan secara langsung
kepada teradu dalam sidang MKEKG, diikuti dengan peringatan
tertulisnya.
Dalam hal peringatan lisan telah disampaikan tetapi tetap tidak ada
perbaikan paling lama 6 bulan, dilanjutkan dengan peringatan tertulis.
Peringatan tertulis dapat diberikan sebanyak 3 kali .
Dalam hal peringatan tertulis telah diberikan sebanyak 3 kali tetap
belum ada perbaikan, diusulkan pencabutan rekomendasi untuk
memperoleh SIP.
Keputusan MKEKG yang telah diterima oleh teradu ditindaklanjuti
oleh PDGI .
c. Rekomendasi pencabutan sementara STR dan SIP.
d. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari : Hukuman disiplin ringan, Hukuman
disiplin sedang, dan, Hukuman disiplin berat
e. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama
satu tahun
Dalam Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006 tentang
Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin MKDKI dan MKDKIP,
menyebutkan beberapa sanksi disiplin antara lain:
1. Dokter maupun dokter gigi yang melanggar kodek etik akan diberikan
peringatan tertulis.
2. Surat tanda registrasi atau surat izin praktik dokter akan dicabut dalam waktu
sesuai ketentuan.
3. Dokter dan dokter gigi diwajibkan mengikuti pendidikan atau pelatihan untuk
meningkatkan kompetensi masing-masing keahliannya.
Dengan ketatnya aturan yang ada maka diharapkan pada dokter dan dokter gigi
melaksanakan aturan-aturan hukum yang mengatur Rekam Medis. Membuat rekam
medis yang baik akan meningkatkan pelayanan pada pasien dan memberikan
kemudahan bagi dokter amupun dokter gigi dalam manjalankan pelayanannya.