dasar teori gz buruk 1
DESCRIPTION
membahas tentang gizi burukTRANSCRIPT
1. BAB VI
TINJAUAN PUSTAKA
GIZI BURUK
A. LATAR BELAKANG
Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi pemantauan
pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko melalui kegiatan surveilans. Prevalensi balita
yang mengalami gizi buruk di Indonesia. Hasil Susenas menunjukkan adanya penurunan
prevalensi balita gizi buruk yaitu dari 10,1% pada tahun 1998 menjadi 8,1% pada tahun
1999 dan menjadi 6,3% pada tahun 2001.
Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya manusia.
Gizi buruk tidak hanya meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian tetapi juga
menurunkan produktifitas, menghambat pertumbuhan sel-sel otak yang mengakibatkan
kebodohan dan keterbelakangan (Novitasari, 2012).
Salah satu upaya peningkatan derajat kesehatan adalah perbaikan gizi masyarakat,
gizi yang seimbang dapat meningkatkan ketahanan tubuh, dapat meningkatkan
kecerdasan dan menjadikan pertumbuhan yang normal (Depkes RI, 2004). Namun
sebaliknya gizi yang tidak seimbang menimbulkan masalah yang sangat sulit sekali
ditanggulangi oleh Indonesia, masalah gizi yang tidak seimbang itu adalah Kurang Energi
Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY) dan Anemia Gizi Besi (Depkes RI, 2004 ).
Khusus untuk masalah Kurang Energi Protein (KEP) atau biasa dikenal dengan
gizi kurang atau yang sering ditemukan secara mendadak adalah gizi buruk terutama pada
anak balita, masih merupakan masalah yang sangat sulit sekali ditanggulangi oleh
pemerintah, walaupun penyebab gizi buruk itu sendiri pada dasarnya sangat sederhana
yaitu kurangnya intake (konsumsi) makanan terhadap kebutuhan makan seseorang.
Sebelum gizi buruk ini terjadi, telah melewati beberapa tahapan yang dimulai dari
penurunan berat badan dari berat badan ideal seorang anak sampai akhirnya terlihat anak
tersebut sangat buruk (gizi buruk). Jadi masalah sebenarnya adalah masyarakat atau
keluarga balita belum mengatahui cara menilai status berat badan anak (status gizi anak).
Gizi buruk merupakan salah satu Kejadian Luar Biasa (KLB) meskipun hanya
ditemukan 1 kasus saja. Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Porong terdapat tiga
anak balita yang mengalami gizi buruk. Dua anak balita sudah dapat tertangani dengan
baik dan status gizi saat ini sudah baik. Penderita An.A adalah anak balita yang masih
mendapatkan penanganan khusus karena meskipun telah disertakan dalam program
Puskesmas Porong “Pos Gizi”, perubahan status gizi balita ini belum maksimal.
B. DEFINISI
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau
nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni
gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan
karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan kedua-duanya. Gizi buruk
ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan ditampakkan oleh
membusungnya perut (busung lapar). Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang
dinyatakan kekurangan zat gizi, atau dengan ungkapan lain status gizinya berada di
bawah standar rata-rata. Zat gizi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan
kalori. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya
dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah
dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun (Novitasari, 2012).
Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari
pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta). Apabila
pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar
organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit dibawah standar disebut
bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh dibawah standar dikatakan bergizi
buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau
akut (Novitasari, 2012).
A. PENILAIAN STATUS GIZI
Penilaian status gizi merupakan perbandingan keadaan gizi menurut hasil
pengukuran terhadap standar yang sesuai dari individu atau kelompok masyarakat
tertentu. Metode penilaian status gizi ada 2 macam yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Metode penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan melalui
pemeriksaan fisik dan penilaian laboratoris. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak
langsung antara lain dengan studi konsumsi pangan (Susilowati, 2008).
Pada penilaian status gizi dengan studi konsumsi pangan, metode yang sering
digunakan adalah metode “ recall” konsumsi dalam 24 jam yang lalu. Konsumsi pangan
merupakan indikator pangan yang baik. Pemeriksaan laboratoris mempunyai kemampuan
untuk memberikan cara yang lebih tepat dan obyektif untuk menilai status gizi. Namun
pemeriksaan laboratoris kurang praktis dilakukan di lapangan, karena perlu tenaga ahli
khusus. Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi
seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun
subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Data objektif
dapat diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan, serta sumber lain yang
dapat diukur oleh anggota tim penilai (Susilowati, 2008).
Pada prinsipnya, penilaian status gizi anak serupa dengan penilaian pada periode
kehidupan lain. Komponen penilaian status gizi meliputi pada dasarnya penilaian status
gizi dapat dibagi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung (Susilowati, 2008).
Penilaian gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu
antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.
1. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagi macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Penggunaan antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan
asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik
dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Dalam
program gizi masyarakat, pemantauan status gizi anak balita menggunakan metode
antropometri. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala, lingkar lengan, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Beberapa indeks
antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurun umur (BB/U), tinggi
badan menurut umur (TT/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Berat badan
adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat
sensitif terhadap perubahan–perubahan yang mendadak misalnya karena terserang
penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang
dikonsumsi. Berat badan (BB) juga merupakan parameter antropometri yang sangat labil
dalam keadaan normal dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara
konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin, maka BB berkembang mengikuti pertambahan
umur (Susilowati, 2008).
2. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai
status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi
yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan
epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau
pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical
surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum
dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Di samping itu untuk mengetahui tingkat
gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala
(symptom) atau riwayat penyakit (Susilowati, 2008).
3. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji
secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh
yang digunakan antara lain darah, urine, tinja, dan beberapa jaringan tubuh seperti hati
dan otot. Penggunaan metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan
akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang
spesifik, maka penetuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan
kekurangan gizi yang spesifik (Susilowati, 2008).
4. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari
jaringan.
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat menjadi tiga yaitu survei
konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Soetjiningsih, 1995).
a. Survey konsumsi makanan
Survey konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak
langsung dengan melihat jumlah dan zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data
konsumsi makanan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,
keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan gizi
b. Statistik vital
Pengukuran status gizi dangan statistik vital adalah dengan menganalisis data
beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan
dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
Penggunaanya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung status gizi
masyarakat
c. Faktor Ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa factor
fisik, biologi, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung
dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, dan lain-lain. Pengukuran faktor ekologi
dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat
sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi (Susilowati, 2008).
B. KLASIFIKASI GIZI BURUK
Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari
masing-masing tipe yang berbeda-beda, antara lain (Wahidin 2007) :
1. Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang
timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di
bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,
gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya.
Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih
merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah (Wahidin 2007).
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya,
tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
2. Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana
dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian
tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau
edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal
pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (Wahidin 2007).
3. Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor
dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi
untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat
badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema,
kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula (Wahidin
2007).
C. PATOFISIOLOGIS GIZI BURUK
Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa
terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan,
pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan
protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan
nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi
karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel
batang lebih hanya bisa membedakan cahaya terang dan gelap. Sel batang atau rodopsin
ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang mengenai sel rodopsin,
maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul lagi pada cahaya yang
gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja
terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin (Wahidin 2007).
Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek
patella negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan
degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan
neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika
terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini
membuat penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka lemak yang
ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di
hepar.
Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema
adalah edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan
oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini
terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak
ke intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk
reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada
penderita kwashiorkor, selain defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika
ditekan, maka plasma pada intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh
membran sel dan mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel
yang rapat. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya
gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik (Nelson, 2007).
Sedangkan menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang
kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang
tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan metabolik
atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara
kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan ada beberapa faktor
lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap
terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut :
a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang
sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari
ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang
terlalu encer.
b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral
misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis
kongenital.
c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschpurng,
deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia,
hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas
d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI
kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat
e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup
f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance
g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila
penyebab maramus yang lain disingkirkan
h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang
kurang akan menimbulkan marasmus
i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus,
meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan
kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat
dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama
gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.
D. DAMPAK GIZI BURUK
Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait
dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai
konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi
banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan
defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi
tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi
(Soetjiningsih, 1995).
Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena
berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah
kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang
dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut
tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat ”catch
up” dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak
buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya.
Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat
kondisi ”stunting” (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan
anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung
dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak
terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital
bagi anak.
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap
perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan
gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan
skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan
pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya
prestasi anak (Nelson, 2007).
E. FAKTOR PENYEBAB GIZI BURUK
Ada 2 faktor penyebab dari gizi buruk adalah sebagai berikut (Wahidin, 2007) :
1. Penyebab Langsung. Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi,
menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit kanker. Anak yang
mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang atau demam akhirnya menderita
kurang gizi.
2. Penyebab tidak langsung, ketersediaan Pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan
kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan
masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan
dan kesempatan kerja. Oleh karena itu untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan
kerjasama lintas sektor Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga dalam
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup
baik maupun gizinya.
Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan yang
kurang atau anak sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat,
anak tidak cukup salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang salah.
Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan,
karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan
meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk
pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Soetjiningsih, 1995).
Kekurangan gizi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan zat-zat gizi
ensensial, yang bisa disebabkan oleh: asupan yang kurang karena makanan yang jelek
atau penyerapan yang buruk dari usus (malabsorbsi), penggunaan berlebihan dari zat-zat
gizi oleh tubuh, dan kehilangan zat-zat gizi yang abnormal melalui diare, pendarahan,
gagal ginjal atau keringat yang berlebihan (Soetjiningsih, 1995).
F. TATA LAKSANA UTAMA BALITA GIZI BURUK DI RUMAH SAKIT
alam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase
transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana
yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita
kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor (Wahidin 2007).
Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga
ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini
dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada
kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien
kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah
formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung.
Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada, berikan
ASI.
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan untuk anak
di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair, kemudian makanan
lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan keenceran
1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk meningkatkan energi
ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3 jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat pipa (per-
sonde) (RSCM, 2003).
Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara berangsur, tiap
1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai 150-200 kkal/kg
berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.
Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh makanan biasa
yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya diberikan penyuluhan
kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan, memilih bahan makanan, dan
mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya. Suplementasi zat gizi yang
mungkin diperlukan adalah :
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.
d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau 100.000 SI
secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A diberikan dengan dosis total
50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi (Fe) dan
asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP berat.
ALUR DETEKSI DINI DAN RUJUKAN STATUS GIZI BURUK
HUBUNGAN KONDISI PERUMAHAN DENGAN GIZI BURUK
Kondisi Lingkungan memegang peranan penting dalam menentukan status kese-
hatan balita. Lingkungan yang baik akan memberikan dampak yang baik bagi ke-sehatan
guna menciptakan manusia yang berkualitas. Sebaliknya lingkungan yang kumuh akan
berdampak buruk pada status kesehatan.
Faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan lingkungan diantaranya adalah
kondisi keluarga. Kondisi keluarga yang baik akan memberikan pengaruh kepada
lingkungan fisik rumah, ketahanan pangan dan asupan gizi anggota ke-luarga. Dengan
baiknya kondisi keluarga akan memungkinkan keluarga memper-baiki lingkungan fisik
rumah dan akan memberikan dampak yang baik bagi kese-hatan. Baiknya lingkungan
fisik rumah akan memberikan kontribusi terhindarnya balita dari kontak langsung dengan
kontaminan. Sehingga antara lingkungan fisik rumah dengan kondisi keluarga erat
hubungannya.
Kondisi keluarga juga mempunyai hubungan dengan ketahanan pangan, karena
dengan baiknya kondisi keluarga membuat orang tua akan memenuhi ke-butuhan akan
asupan pangan yang cukup. Dengan terpenuhinya pangan keluarga akan memperbaiki
kondisi status gizi balitanya, karena salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi
adalah ketahanan pangan keluarga. Dengan baiknya sta-tus gizi balita akan berhubungan
dengan status kesehatan.
Berdasarkan dari Laporan Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2004 ten-tang
kajian kesehatan lingkungan menyatakan bahwa cakupan jamban keluarga baru mencapai
76 %, air bersih 84,9 %, sistem pembuangan air limbah (SPAL) 77 %, sistem
pembuangan sampah yang belum memadai. Kondisi lingkungan se-perti ini akan menjadi
permasalahan serius yang perlu diperhatikan.
Kondisi itu banyak ditemukan pada rumah tangga pinggiran yang masih sangat
minim dalam penanganan masalah lingkungan. Ditandai dengan belum adanya wc
sendiri, tempat pembuangan sampah rumah tangga, belum tersedianya sarana air bersih,
masih menggunakan media kayu sebagai bahan bakar dan masih banyaknya rumah
dengan kondisi tidak sehat. Kondisi ini akan menyebabkan ter-jadinya kontak langsung
antara kontaminan dengan balita dan ibu yang mempe-ngaruhi keadaan kesehatan balita
itu sendiri.
Status kesehatan dan status gizi balita saling memberi dampak, karena ke-dua
faktor ini saling mempengaruhi. Baiknya asupan gizi akan memberikan pe-ngaruh yang
baik bagi status kesehatan balita. Karena status gizi pada balita ada-lah salah satu
indikator dalam pembangunan nasional. Pada masa balita mereka mengalami masa
pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan sangat penting untuk keberlangsungan
hidupnya. Oleh karena itu status gizi merupakan salah sa-tu ukuran penting dari kualitas
sumber daya manusia.
Sanitasi
Sanitasi adalah suatu usaha kesehatan yang bertujuan untuk mencegah fak-tor-
faktor hidup yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit secara epi-demologi,
meliputi semua media pemukiman hidup organisme serta segala kondisi yang secara
langsung maupun tidak yang diduga dapat mempengaruhi tingkat ke-hidupan dan
kesehatan organisme itu sendiri. Tempat pembuangan limbah rumah tangga di rumah
pasien terlihat tidak teratur. Kondisi rumah juga bersebelahan dengan kandang kambing
diman dapat menularkan penyakit akibat sanitasi yang buruk. Tempat pembuangan
kotoran rumah tangga (jamban) juga tidak ada di rumah tersebut sehingga jika buang air
besar di kali.
Air Minum
Air terlindungi yaitu air yang terhindar dari kontaminan luar seperti air ledeng,
pam, atau sejenisnya atau air yang langsung dari mata air tanpa harus kena sinar matahari
terlebih dahulu me-lalui pipa yang menyalurkan ke rumah-rumah. Sedangkan air tidak
terlindungi a-dalah air sungai, air sumur terbuka dan air hujan. Di tempat rumah pasien
sumber air minum berasal dari air sumur, dimana lokasi rumah pasien berdekatan dengan
lokasi lumpur, sehingga ada kemungkinan sumber air yang digunakan sudah tercemar.
Bahan Bakar
Bahan bakar dengan memperhatikan aspek bahan bakar yang digunakan untuk memasak.
Bahan bakar dikategorikan pada bahan bakar kayu, kompor dan kompor gas. Kondisi di
rumah pasien masih menggunakan tungku sebagai alat masak dimana kebersihannya
masih belum terjamin,
Lantai Rumah
Lantai rumah adalah keadaan fisik konstruksi lantai rumah dimana masih berupa lantai
dari tanah.
Kebiasaan dan perilaku penghuni
1. Harus rajin membersihkan rumah
2. Memindahkan kandang hewan jauh dari rumah
3. Membuat tempat pembuangan limbah yang baik
4. Membuat jamban
5. Membersihkan alat makanan dan minuman termasuk alat memasak
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Winda, 2010, Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Lokal Terhadap Status Gizi Anak Balita Gizi Kurang di Kelurahan Sambiroto Tembalang Kota Semarang, Fakultas Kedokteran Universitas Doponegoro, Semarang
Wahidin 2007, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI,cetakan kesebelas, FK UI, Jakarta
Departemen kesehatan RI, 2004, Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta
Departemen kesehatan RI, 2005, Standar Pemantauan Gizi Balita. Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Nelson, 2007, Ilmu Kesehatan Anak, Ed 15th , EGC, Jakarta
Novitasari, Dewi, 2012, Faktor-Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk Pada Balita yang Dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang, Fakultas Kedokteran Universitas Doponegoro, Semarang
Simangunsong, Matthew Mindo P., 2009, Status Gizi Bayi, FK UI, Jakarta
Siregar, Arifin, 2004, Pemberian ASI Eksklusif dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara, Medan
Soekirman, 2009, Ilmu Gizi dan Aplikasinya, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta
Soetjiningsih, 1995, Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta
Supariasa, I Dewa Nyoman, 2002, Penilaian Status Gizi, EGC, Jakarta