dbd

15
Terdapat 2 jenis larvasida yang dapat digunakan pada wadah yang dipakai untuk menampung air minum (TPA) yakni: temephos (Abate 1%) dan Insect growth regulators (pengatur pertumbuhan serangga) Untuk pemberantasan larva dapat digunakan abate 1 % SG. Cara ini biasanya digunakan dengan menaburkan abate kedalam bejana tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah adanya jentik selama 2-3 bulan. a. Abatisasi selektif Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat penampungan air (TPA) baik didalam maupun diluar rumah pada seluruh rumah dan bangunan di desa/kelurahan endemis dan sporadik dan penaburan bubuk abate (larvasida) pada TPA yang ditemukan jentik dan dilaksanakan 4 kali setahun. Pelaksana abatisasi adalah kader yang telah dilatih oleh petugas Puskesmas.Tujuan pelaksanaan abatisasi selektif adalah sebagai tindakan sweeping hasil penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD. b. Abatisasi massal Abatisasi massal adalah penaburan abate atau altosid (larvasida) secara serentak diseluruh wilayah/daerah tertentu disemua TPA baik terdapat jentik maupun tidak ada jentik di seluruh rumah/bangunan. Kegiatan abatisasi massal ini dilaksanakan dilokasi terjadinya KLB DBD. Dalam kegiatan abatisasi massal masyarakat diminta partisipasinya untuk melaksanakan pemberantasan Aedes aegypti di wilayah masing- masing. Tenaga di beri latihan dahulu sebelum melaksanakan abatisasi, agar tidak mengalami kesalahan Fogging 2.1.3.1 Definisi Fogging merupakan suatu kegiatan penyemprotan insektisida dan PSN-DBD serta penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan radius 200 meter, dilaksanakan 2 siklus

Upload: butikcantik

Post on 28-Dec-2015

33 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dbd

TRANSCRIPT

Page 1: Dbd

Terdapat 2 jenis larvasida yang dapat digunakan pada wadah yang dipakai untuk menampung air minum (TPA) yakni: temephos (Abate 1%) dan Insect growth regulators (pengatur pertumbuhan serangga) Untuk pemberantasan larva dapat digunakan abate 1 % SG. Cara ini biasanya digunakan dengan menaburkan abate kedalam bejana tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah adanya jentik selama 2-3 bulan.a. Abatisasi selektif

Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat penampungan air (TPA) baik didalam maupun diluar rumah pada seluruh rumah dan bangunan di desa/kelurahan endemis dan sporadik dan penaburan bubuk abate (larvasida) pada TPA yang ditemukan jentik dan dilaksanakan 4 kali setahun. Pelaksana abatisasi adalah kader yang telah dilatih oleh petugas Puskesmas.Tujuan pelaksanaan abatisasi selektif adalah sebagai tindakan sweeping hasil penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD.

b. Abatisasi massal

Abatisasi massal adalah penaburan abate atau altosid (larvasida) secara serentak diseluruh wilayah/daerah tertentu disemua TPA baik terdapat jentik maupun tidak ada jentik di seluruh rumah/bangunan. Kegiatan abatisasi massal ini dilaksanakan dilokasi terjadinya KLB DBD. Dalam kegiatan abatisasi massal masyarakat diminta partisipasinya untuk melaksanakan pemberantasan Aedes aegypti di wilayah masing-masing. Tenaga di beri latihan dahulu sebelum melaksanakan abatisasi, agar tidak mengalami kesalahanFogging

2.1.3.1 Definisi

Fogging merupakan suatu kegiatan penyemprotan insektisida dan PSN-DBD serta penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan radius 200 meter,

dilaksanakan 2 siklus dengan interval 7 hari oleh petugas.[28] Biasanya Fogging diadakan 2 kali di suatu tempat menggunakan malathion dalam campuran solar dosis 438 g/ha. (500 ml malathion 96%technical grade/ha). Sasaran adalah rumah serta bangunan di pinggir jalan yang dapat dilalui mobil di desa endemis tinggi. Alat yang dipakai swing fog SN 1 untuk bangunan dan mesin ULV untuk perumahan. Waktu pengasapan pagi dan sore ini dengan memperhatikan kecepatan angin dan suhu udara. Fogging dilakukan oleh tim yang terlatih dari Dinas Kesehatan Propinsi

dan Pusat sesudah survei dasar.[29] Penanggulangan fogging fokus ini dilakukan dengan maksud untuk mencegah/membatasi penularan penyakit. Cara ini dapat dilakukan untuk nyamuk dewasa maupun larva. Untuk nyamuk dewasa saat ini dilakukan dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau pengagutan (colg Fogging = Ultra low volume). Pemberantasan nyamuk dewasa tidak dengan menggunakan cara penyemprotan pada dinding (resisual spraying) karena nyamuk Ae.aegypti tidak suka hinggap pada dinding, melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti kelambu dan pakaian yang tergantung. Untuk pemakaian di

Page 2: Dbd

rumah tangga dipergunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan yang disemprotkan kedalan kamar atau ruangan misalnya, golongan organophospat atau

pyrethroid synthetic.[30]

Adapun syarat-syarat untuk melakukan fogging[31], yaitu:

1. Adanya pasien yang meninggal di suatu daerah akibat DBD.

2. Tercatat dua orang yang positif terkena DBD di daerah tersebut.

3. Lebih dari tiga orang di daerah yang sama, mengalami demam.Plus adanya jentik-jentik nyamuk Aedes Aegypti.

Apabila ada laporan DBD di rumah sakit atau puskesmas di suatu daerah, maka pihak rumah sakit harus segera melaporkan dalam waktu 24 jam, setelah itu akan langsung diadakan penyelidikan epidemiologi kemudian baru fogging fokus.

Surveilans Epidemiologi

2.1.4.1 Definisi

Surveilans Epidemiologi DBD adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit DBD dan kondisi yang memperbesar resiko terjadinya, dengan maksud agar peningkatan dan penularannya dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara

program kesehatan[32]. Proses surveilans dibagi menjadi dua kegiatan,yaitu[33]:

1. Kegiatan inti; mencakup (1) surveilans: deteksi, pencatatan, pelaporan, analisis, konfirmasi dan umpan balik (2) tindakan: respon segera (epidemic type response) dan respon terencana (management type response)

2. Kegiatan pendukung; mencakup, pelatihan, supervisi, penyediaan dan manajemen sumber daya.

Program surveilans epidemiologi DBD meliputi surveilans penyakit yang dilakukan dengan cara meminta laporan kasus dari rumah sakit dan sarana kesehatan serta surveilans vektor yang dilakukan dengan melakukan penelitian epidemiologi di daerah yang terjangkit DBD. Pelaksanaan surveilans epidemiologi vektor DBD untuk deteksi dini biasanya dilakukan penelitian di tempat-tempat umum; sarana air bersih; pemukiman dan lingkungan perumahan; dan limbah industri, RS serta kegiatan lain.

Kegiatan di atas dilakukan oleh petugas kesehatan, juru pemantau jentik dan tim pemberantasan nyamuk di sekolah dan masyarakat. Sebagai indikator keberhasilan program tersebut adalah Angka Bebas Jentik (ABJ).

Surveilans epidemiologi penyakit DBD memegang peranan penting dalam upaya memutus mata rantai penyakit DBD. Namun, pada kenyataanya belum berjalan dengan baik disebabkan karena faktor eksternal dan internal, misalnya petugas puskesmas tidak menjalankan tugas dengan sebagaimana mestinya dalam

melakukan Pemantauan Jentik Berkala (PJB)[34].

Page 3: Dbd

Berdasarkan surveilans epidemiologi DBD yang telah dilakukan peningkatan dan penyebaran jumlah kejadian penyakit DBD ada kaitannya dengan beberapa hal berikut:

1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi

2. Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali

3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis

4. Peningkatan sarana transportasi

Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru telah mengembangkan suatu sistem surveilen dengan menggunakan teknologi informasi (Computerize) yang disebut dengan Early Warning Outbreak Recognition System ( EWORS ).

EWORS adalah suatu sistem jaringan informasi yang menggunakan internet yang bertujuan untuk menyampaikan berita adanya kejadian luar biasa pada suatu daerah di seluruh Indonesia ke pusat EWORS (Badan Litbangkes. Depkes RI.) secara cepat. Melalui sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat diketahui dengan cepat, sehingga tindakan penanggulangan penyakit dapat dilakukan sedini mungkin. Dalam masalah DBD pada tahun 2004, EWORS telah berperan dalam hal menginformasikan data kasus DBD dari segi jumlah, gejala/karakteristik penyakit,

tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari seluruh rumah sakit DATI II di Indonesia.[35]

2.1.4.2 Peraturan Daerah

Pasal 6

1) Surveilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c terdiri dari :

a. Surveilans Aktif Rumah Sakit;

b. Surveilans Berbasis Masyarakat.

2) Surveilans Aktif Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kewajiban Rumah Sakit melaporkan setiap kasus baru DBD yang dirawat ke Dinas Kesehatan dalam waktu 1 (satu) x 24 (dua puluh empat) jam.

3) Surveilans Berbasis Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan kewajiban Masyarakat melaporkan setiap penderita DBD ke Puskesmas.

2.1.5 Case Management

Berbagai macam aksi telah dicanangkan untuk mencegah munculnya dan meluasnya kasus DBD (preventif primer). Namun, disamping aksi pencegahan, diperlukan juga penanganan kasus yang baik demi mencegah meningkatnya angka kematian dan Case Fatality Rate (CFR). Hal yang penting dalam penanganan kasus adalah penegakan diagnosis dan pengobatan segera (preventif sekunder). Sebagaimana yang diketahui, penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau typhoid/ tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimptomatik atau tidak jelas gejalanya. Data dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa pasien DBD sering

Page 4: Dbd

menunjukkan gejala batuk, pilek, demam, mual, muntah maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu perlu kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Untuk memperoleh kepastian tentang diagnosis, perlu juga dilakukan pemeriksaan penunjang di laboratorium.

Penegakan diagnosis dengan cepat sangat penting karena memberikan efek yang besar terhadap prognosis penyakit. Jika terjadi keterlambatan sedikit saja, keadaan pasien bisa jauh lebih parah karena fase klinis penyakit DBD cukup pendek. Keputusan perawatan yang diberikan juga harus sesuai dengan kondisi pasien, apakah rawat inap biasa sudah cukup atau harus mendapatkan perawatan intensif di ICU.

2.2 Aplikasi Program dalam Masyarakat

2.2.1 PSN dan 3M

Kurangnya sosialisasi[36] adalah salah satu penyebab PSN belum optimal sebagaimana fakta di daerah Tangerang dan Banten masih banyak warga yang tidak mengetahui 3M plus itu apa. Dapat dilihat juga beberapa komentar warga mengenai PSN, diantaranya adalah Bakir, seorang ketua RT di Larangan Utara, Kecamatan Ciledug, juga belum pernah mendapat penjelasan mengenai DBD dan cara penanggulangannya. Ia tak paham mengenai PSN dengan 3M + 1M. “Kalau ada sosialisasi soal itu, pasti saya tahu karena kebetulan rumah saya dekat dengan ketua RW. Kalau ada apa-apa, Pak Lurah Larangan biasanya segera memberi tahu. Tetapi, tahun ini saya belum dengar apa-apa mengenai pemberantasan DBD,” jelasnya. Namun, beberapa waktu lalu di kawasan padat permukiman rumah petak tersebut pernah ditarik iuran untuk bayar orang bersih-bersih selokan, tetapi itu sudah lama sekali. Seorang warga Perumahan Kehakiman di belakang Puskesmas Sukasari, Tangerang, juga tidak pernah tahu apa itu 3M + 1M. Sepanjang tahun 2004 dan tahun 2005, di kompleksnya belum pernah ada penjelasan tentang DBD dari aparat kesehatan setempat.

Tidak hanya didaerah pemukiman, tetapi adapula sekolah yang belum pernah mendengar penjelasan PSN dengan 3M + 1M dari aparat kesehatan. “Saya mah dengar soal PSN dan harus ikut pencanangan PSN oleh Pak Wali dari Kepala Dinas Pendidikan minggu lalu. Setelah itu langsung saya minta siswa SD sini kerja bakti membersihkan sekolah dan lingkungan kami,” kata Kepala Sekolah SDN Pondok Bahar IV Kecamatan Karangtengah AM Bhakty NTR.

Kemudian adapula komentar masyarakat yang skeptis mengenai PSN diantaranya adalah di Kecamatan Cipondoh, Yanti, ibu rumah tangga warga RT 01 RW 01, Kelurahan Cipondoh, mengaku tidak tahu-menahu mengenai PSN dan 3M + 1M. Ia tidak terlalu peduli mengenai bahaya DBD karena rumahnya hanya beberapa meter dari Puskesmas Cipondoh.

Penuturan komentar-komentar di atas mengenai ketidaktahuan masyarakat mengenai pemberantasan DBD melalui 3M sangat ironis sekali karena gubernur daerah setempat telah mencanangkan program PSN tersebut bahkan telah dilakukan aksi pengasapan di daerah pemukiman dan tempat-tempat umum seperti sekolah.

Keadaan di atas mengindikasikan bahwa pencegahan DBD tidak hanya

Page 5: Dbd

cukup dengan acara pencanangan dan pemasangan spanduk berisi peringatan, karena pada kenyatannya masyarakat sangat mengharapkan dokter atau aparat kesehatan lain bersedia menjelaskan soal DBD langsung ke masyarakat agar mereka benar-benar paham penyakit yang sulit didiagnosa itu sekaligus mendapat dorongan untuk memberantasnya.

Kegiatan PSN DBD harus dijadikan prioritas oleh setiap daerah yang memiliki laporan kasus DBD.Walaupun pelaksanaan PSN memang membutuhkan waktu yang agak lama, sehingga memerlukan peran aktif masyarakat akan tetapi keberhasilan dari upaya ini cukup besar dalam rangka penurunan angka penyakit DBD.

2.2.2 Abatisasi

Temephos berupa “sand granules” ditaburkan dengan pasir sebagai “carrier” ke dalam bejana tempat penampungan air. Penaburan larvasida di tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah timbulnya jentik selama 2-3 bulan. Larvasida yang dipakai adalah abate 1 % dengan dosis 1 gr per 10 liter air. Namun cara ini tidak menjamin terbasminya tempat perindukkan nyamuk secara permanen, karena masyarakat pada umumnya tidak begitu senang dengan bau yang ditimbulkan larvasida selain itu pula diperlukan abate secara rutin untuk keperluan pelaksanaannya.

Penelitian peningkataan kualitas lingkungan dalam rangka pemberantasan demam berdarah di Kodya Sukabumi, propinsi Jawa Barat tahun 1988/89 dilakukan oleh Sumengen dkk yang diawali dengan intruksi PSN oleh Walikota Sukabumi. Intervensi dilakukan dengan cara fogging, abatisasi dan PSN di 4 kelurahan endemis tinggi, abatisasi dan PSN di 4 kelurahan endemis sedang, PSN di 5 kelurahan endemis rendah. fogging menggunakan malathion 96% “technical grade” dosis 438 per ba dilakukan 2 “cycle”. abatisasi menggunakan 1 % abate “sand granules” abate dengan dosis 1 gr per 10 liter. Setelah 6 bulan intervensi diadakan survei penilaian didapat hasil pengawasan kualitas lingkungan secara konsisten lebih efektif dari pada intervensi lain. Penurunan, “house index” mencapai 13,3 “container index” 1,0 dan “breteau index” 13,4.

Hasil studi lain yang dilakukan oleh Kasnodiharjo di Kotamadya Pontianak, Kalimantan Barat tahun 1990 menunjukkan pengetahuan sikap dan prilaku masyarakat menunjukkan bahwa, sebagian besar warga masyarakat (83 %) pernah mendengar tentang dengan demam berdarah, 81% diantaranya bahwa demam berdarah adalah suatu penyakit yang berbahaya. Sedangkan mereka yang mengetahui tentang pencegahan demam berdarah dengan cara menutup rapat TPA

17 % dengan cara mengganti air 27 % dan menaburkan abate pada TPA 29 %[37].

2.2.3 Fogging

Sebagai tindaklanjut dari penetapan kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah pada tiga pekan lalu, Pemprov DKI Jakarta akan melakukan pengasapan fokus serentak di 3.291 titik pada 258 kelurahan yang ada di Jakarta dengan total

luas titik 13.164 hektar atau 60 persen wilayah DKI.[38] Dari 258 kelurahan tersebut, 135 diantaranya berkategori kelurahan status merah untuk demam berdarah dan 123 untuk berkategori kuning.Setiap titik fokus akan diasap oleh dua tim yang terdiri atas masing-masing satu kepala regu dan enam petugas

Page 6: Dbd

penyemprotan. Kepala regu berasal dari petugas puskesmas sedangkan petugas yang menyemprot berasal dari anggota masyarakat dan petugas Linmas yang sudah dilatih. Obat-obatan yang digunakan berasal dari yang telah ada di puskesmas dan sudin masing-masing untuk jenis Fendona sebanyak 3.843 liter dan cynoff sebanyak 7.545 liter.

Bantuan Dinkes sebanyak 14.000 liter yang digunakan untuk cadangan bila kurang. Terdapat empat mesin untuk satu titik, setiap titik mempunyai cakupan empat hektar. Mesin yang disiapkan berjumlah 2.000 unit dari kelurahan dan 429 unit mesin dari puskesmas, sehingga total mencapai sekitar 2.429 unit. Dana yang dibutuhkan untuk pengasapan fokus serentak bagi dua siklus berjumlah Rp1.928.000 untuk setiap titik sehingga diperkirakan membutuhkan biaya Rp6,3 miliar.

di Jakarta Utara sendiri, Pihak Sudin Kesehatan Mayarakat (Kesmas) Jakarta Utara gencar melakukan fogging fokus serentak di 32 titik fokus penyemprotan, namun jumlah kasus DBD di Jakarta Utara setiap hari mengalami peningkatan yang signifikan.

Data Sudin Kesmas, pada 15 Januari 2008 jumlah kasus tercatat 91 orang. Dalam seminggu jumlah kasus meningkat 100 % menjadi 197 orang pada 21 Januari 2008. Sedangkan jumlah RW rawan DBD periode Desember 2007 – Januari 2008 tercatat 118 RW. Kecamatan yang paling banyak RW nya masuk dalam kategori RW rawan yakni Kecamatan Kelapa Gading dengan 38 RW. Dan jumlah RW terbanyak dalam satu kelurahan di kuasai oleh Kelurahan Kelapa Gading Timur sebanyak 16 RW. Selain itu hampir setiap kecamatan terdapat RW rawan seperti di Kecamatan Penjaringan ada 5 RW, di Kecamatan Pademangan 9 RW, Kecamatan Tanjung Priok 35 RW, Kecamatan Koja 5 RW dan Kecamatan Cilincing terdapat 26 RW. Fogging fokus serempak yang dilaksanakan pada Jumat (18/01/2007)-Minggu (20/01/2007) belum semua titik fokus tersemprot karena banyaknya jumlah area fokus penyemprotan dengan jumlah petugas sebanyak 100 orang yang dibagi dalam 20 tim. Untuk itu akan diadakan lagi penyemprotan siklus II di wilayah yang belum

dilakukan fogging. [39]

Di Jakarta Utara terdapat 16 kelurahan zona merah sesuai ketetapan Gubernur DKI Jakarta. Ke 16 kelurahan tersebut antara lain Penjaringan, Pademangan Barat, Pademangan Timur, Tanjung Priok, Kebun Bawang, Warakas, Sunter Agung, Koja, Lagoa, Rawa Badak Utara, Tugu Utara, Tugu Selatan, Kelapa Gading Timur,

Pegangsaan Dua, Semper Barat dan Semper Timur.[40]

Masih di Puskesmas Kecamatan Tg. Priok data yang berhasil dihimpun perkembangan kasus DBD, dari Januari hingga 10 April 2007, jumlah kasus DBD tercatat 116 kasus. Dengan perincian di Kelurahan Sunter Agung 67 Kasus, Sunter Jaya 25 Kasus, Papanggo 25 kasus, Warakas 59 kasus, Tg.Priok 42 kasus, dan Sungai Bambu 26 kasus. Sedangkan pelaksanaan foging khusus ( Fokus ) yang telah dilakukan, di Kelurahan Sunter Jaya 26 fokus, Sunter Agung 16 Fokus, Papanggo 1 fokus,Warakas 13 Fokus, Tg.Priok 5 Fokus, Sungai Bambu 16 fokus dan Kebon Bawang 12 fokus. Total pelaksanan focus 89 kali se-Kecamatan Tg. Priok.

Sasaran fogging massal akan dilaksanakan di 118 RW di kelurahan zona merah Jakarta Utara, terdiri dari 12 RW di Kelurahan Penjaringan, 4 RW Pademangan Barat, 4 Pademangan Timur, 8 Tanjung Priok, 9 Kebon Bawang, 8 Sunter Agung, 8 Warakas, 5 Koja, 5 Lagoa, 5 Rawa Badak Utara, 5 Tugu Selatan, 5 Tugu Utara. Kemudian 17 RW di Kelurahan Kelapa Gading Timur, 15 Pegangsaan Dua, 4 Semper Timur dan 4 RW di Semper Barat.

Page 7: Dbd

Sedangkan untuk kelurahan lainnya yang masuk dalam zona kuning, juga akan dilaksanakan kegiatan fogging dan kegiatan kesehatan lingkungan berupa laporan kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) oleh para jumantik dan kader.

2.2.4 Case Management

Jumlah pasien rawat inap penderita demam berdarah dengue (DBD) di Rumah Sakit Pasar Rebo semakin meningkat dan melebihi kapasitas kamar yang dimiliki rumah sakit tersebut. Pada tanggal 21 April 2007 jumlah pasien penderita DBD yang masuk ke RS Pasar Rebo mencapai 85 pasien, terdiri atas 54 pasien dewasa dan 31

pasien anak-anak.[41] “Kapasitas ruang ruang inap yang kami miliki sudah full, sampai-sampai pasien DBD terpaksa kami rawat di selasar luar,” ujar Edi Customer Service Rumah Sakit Pasar Rebo ketika ditemui wartawan.

Pasien rawat inap yang tidak tertampung di kamar, terpaksa dirawat di selasar-selasar rumah sakit. Sampai saat ini pasien penderita DBD yang dirawat di selasar luar untuk Ruang Melati sebanyak 10 orang, sedangkan di Ruang Mawar sebanyak delapan orang, dan salah satunya adalah Sofyan. S (15 thn) yang kini dalam kondisi kritis dan terpaksa dirawat di ruang ICU. Terhitung sejak awal April hingga 21 April 2007, pasien penderita DBD yang dirawat inap di Rumah Sakit Pasar Rebo sudah mencapai angka 1.463 pasien, yang terdiri atas 938 pasien dewasa dan 525 pasien anak-anak.

2.3 Perda Vs Aplikasi Program di Masyarakat

Dalam kenyatannya, serapi apapun peraturan daerah yang dibuat, tetap saja jumlah penderita demam berdarah terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah pun dibuat pusing karenanya, dari data-data yang kita temukan di internet, dapat diketahui bahwa kegiatan yang telah dicanangkan oleh pemerintah tidak semulus apa yang terjadi di lapangan. Seperti program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), berupa Jum’at bersih ataupun kerja bakti di lingkungan sekitar yang mencakup 3M (Mengubur, Menguras, dan Menutup) yang kemudian disempurnakan

lagi menjadi 3M plus[42]. Walaupun sudah gencar begitu, hingga dibuat iklan layanan masyarakatnya, tetap saja masyarakat belum terlalu mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka. Siapakah kemudian yang akan disalahkan? Pemerintahkah? Masyarakatkah? Jikalau pemerintah yang disalahkan, namun nyatanya mereka para pejabat telah berusaha sedemikian rupa, mengeluarkan berbagai peraturan untuk menertibkan program-program tersebut, namun tetap saja sesempurna apapun peraturannya, jika tidak diiringi dengan pengawasan yang cukup, hasil di lapangan akan berbeda, seperti fogging, dalam perda telah disebutkan bahwa fogging dilakukan oleh orang yang terlatih dari puskesmas setempat, namun kenyataannya bahwa efektivitas program penyemprotan (fogging) massal dalam rangka memberantas nyamuk aedes aegypty penyebab wabah

demam berdarah dengue (DBD) di DKI Jakarta dipertanyakan kalangan warga[43]. Dalam suarakarya.com disebutkan bahwa sejumlah warga menyatakan kecewa karena fogging putaran pertama, Jumat pekan lalu, terkesan dilakukan asal-asalan. Karena itu tak heran jika nyamuk atau kecoa tidak lantas mati setelah penyemprotan dilakukan. Pada malam hari setelah penyemprotan, banyak nyamuk dewasa tetap bergentayangan. Padahal menurut Asisten Kesehatan Masyarakat (Askesmas) Pemprov DKI Jakarta Rohana Manggala, jenis obat yang digunakan dalam

Page 8: Dbd

penyemprotan — veridona dan cynoff — paling efektif membunuh nyamuk dewasa.

Menurut Tony Bramantoro, warga RT 014/RW 03, Kelurahan Kemayoran, Jakarta Pusat, asap fogging lebih pekat berbau minyak solar. “Petugas penyemprot pun bukan tenaga yang mengerti ukuran campuran obat, mereka hansip dan tramtib,” kata Tony.

Pengakuan senada disampaikan Sudarto Legowo, warga RT 001/RW 06, Kelurahan Kebon Baru, Tebet, Jaksel. “Beda dengan dulu, dalam fogging putaran pertama ini kecoa dan nyamuk dewasa tidak mati. Saya curiga, obat yang digunakan palsu,” ujarnya.

Masih dalam fogging, bila penanganan pengasapan dilakukan dengan cara yang tidak benar maka hal ini akan membahayakan kesehatan masyarakat, disamping itu pula cara ini memerlukan dana yang sangat mahal dalam pelaksanaannya. Penaburan larvasida di tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah timbulnya jentik selama 2-3 bulan.Larvasida yang dipakai adalah abate 1 % dengan dosis 1 gr per 10 liter air. Namun cara ini tidak menjamin terbasminya tempat perindukkan nyamuk secara permanen, karena masyarakat pada umumnya tidak begitu senang dengan bau yang ditimbulkan larvasida selain itu

pula diperlukan abate secara rutin untuk keperluan pelaksanaannya.[44] Sehingga pelaksanaan ini masih terasa memberatkan bagi warga yang hanya memiliki pendapatan pas-pasan untuk hidup.

Oleh karena itu, mengapa pemerintah lebih menganjurkan masyarakat untuk bekerja bakti dalam artian melaksanakan program 3M yang meliputi PSN dan Jum’at Bersih, kedua program ini lebih efektif karena tidak perlu mengeluarkan uang yang terlalu banyak, keuntungan lain yang dapat diperoleh yaitu lingkungan mereka menjadi terjaga kebersihannya, sehingga mereka tidak hanya mencegah demam berdarah ini berkembang namun juga penyakit-penyakit lain.

Diharapkan agar program yang telah disusun oleh pemerintah ini nantinya akan dapat dilaksanakan secara efektif di masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya masyarakat DKI Jakarta saja, namun masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sehingga angka penderita demam berdarah dapat menurun seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan mereka.

Namun, masyarakat juga perlu pengawasan dan bimbingan penuh dari pemerintah. Pemerintah jangan hanya membuat peraturannya saja, namun kemudian lepas tangan dan berharap peraturan itu bisa terlaksana dengan baik di lapangan. Harapannya, pemerintah bisa memperketat pengawasan terhadap setiap peraturan yang mereka buat, entah itu dengan turun langsung ke lapangan atau melalui pembentukan kader-kader kesehatan sebagai perpanjangan tangan mereka. Penyebab tidak langsung DBD yang juga harus menjadi agenda pemerintah untuk diselesaikan adalah masalah pendidikan, bagaimanapun usaha pemerintah untuk menjalankan program DBD, jika pendidikan tidak mulai diperbaiki dari saat ini, maka angka penderitanya tidak akan pernah dapat diturunkan, dengan peningkatan pendidikan, masyarakat akan dapat mengubah persepsi mereka bahwa bagaimanapun juga mencegah lebih baik daripada mengobati, sehingga secara tidak langsung pula mereka akan lebih sadar untuk menjaga dan memperhatikan kebersihan lingkungan sekitar.

Page 9: Dbd

BAB 3

Page 10: Dbd

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan dapat menulari manusia melalui vector nyamuk Aedes Aegypti. Demam berdarah Dengue pertama kali timbul di serentak di dunia sektar tahun 1978 sedangkan di Indonesia, penyakit ini masuk pada tahun 1968-an namun hingga saat ini DBD masih menjadi masalah rutin bagi Indonesia.Penanganan DBD di Indonesia telah dilakukan oleh pemerintah melalui pengadaan program pencegahan dan penanganannya seperti adanya peraturan atau pernyataan wajib dari Menkes atau pimpinan provinsi/kota mengenai PSN, Abatisasi, Fogging, Surveilant Epidemiologi maupun perbaikan dalam hal Case Managementnya. Namun pada kenyataannya kesemua langkah pemerintah tersebut belum cukup untuk membasmi penyakit ini dari Indonesia. Hal tersebut dikarenakan masih adanya kekurangan dalam hal sosialisasi mengenai beberapa program pencegahan tersebut, kurangnya tenaga kesehatan yang dapat memberikan penjelasan langsung mengenai program – program tersebut ke masyarakat, system informasi mengenai pelaporan kejadian penyakit ini yang belum maksimal, aplikasi pelaksanaan program yang tidak sesuai dengan kebijakan – kebijakan yang ada, kesalahan dalam hal diagnosis serta kurangnya kesadaran masyarkat untuk memiliki pola hidup bersih dan sehat.

3.2 Saran

Ada beberapa saran yang mungkin dapat dijadikan rekomendasi dalam penanganan penyakit ini di Indonesia, antara lain:

1. Tersedianya tenaga kesehatan yang memadai sebagai “orang penting” dalam sosialisasi program – program pencegahan DBD yang dibuat pemerintah kepada masyarakat secara langsung.

2. Adanya perbaikan system informasi dalam kasus ini sehingga proses surveilant epideomilogis terhadap kasus penyakit ini dapat maksimal.

3. Peran serta pemerintah secara aktif, bukan hanya sebagai pembuat sebuah kebijakan namun pula sebagai pelaksana kebijakan itu sendiri.

4. Adanya kesesuaian antara pelaksanaan program – program pencegahan dan penanganan DBD yang dilakukan secara rill di masyarakat dengan aturan mengenai pelaksanaan program – program tersebut pada kebijakan yang telah dibuat oleh lembaga eksekutif, legislative baik di tingkat pusat, provinsi maupun tingkat bawahnya.

Page 11: Dbd

KLBTerdapat satu kasus DBD atau lebih yang selama 3 bulan terakhir di daerah kabupaten/kota bersangkutan tidak ditemukan penderita DBD tetapi HI jentik Aedes Aegypti desa atau kelurahan tersebut lebih dari 5%.Terdapat peningkatan bermakna jumlah kasus DBD dibandingkan keadaan sebelumnya.Terdapat peningkatan bermakna dibandingkan dengan keadaan tahun sebelumnya pada periode yang sama.