demam berdarah dengue

25
69 DEMAM BERDARAH DENGUE A. Definisi Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik (Suhendro, 2006). Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok. B. Epidemiologi Pada tahun 2005, virus dengue dan nyamuk aedes aegypti telah menyebar di daerah tropis dimana

Upload: valentine-wijaya

Post on 12-Jan-2016

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

lll

TRANSCRIPT

69

DEMAM BERDARAH DENGUE

A. Definisi

Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue

(DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi

yang disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes

aegypti dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang

disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis

hemoragik (Suhendro, 2006). Pada DBD terjadi perembesan plasma yang

ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan

cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome)

adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.

B. Epidemiologi

Pada tahun 2005, virus dengue dan nyamuk aedes aegypti telah

menyebar di daerah tropis dimana terdapat 2.5 miliar orang berisiko terkena

penyakit ini di daerah endemik (Gubler, 2002).

Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan

kematian lebih besar disbanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada

manusia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi

70

dengue yang mana ratusan ribu kasus demam berdarah dengue terjadi,

tergantung dari aktifitas epidemiknya (WHO, 2000).

Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2010 di Indonesia tercatat

14.875 orang terkena DBD dengan kematian 167 penderita. Daerah yang

perlu diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali,dan NTB.

C. Faktor Risiko

Infeksi virus dengue pada manusia menyebabkan gejala dengan

spektrum luas, berkisar dari demam biasa sampai penyakit perdarahan yang

serius. Pada area endemik, infeksi dengue memiliki gejala klinis yang tidak

spesifik, terutama pada anak-anak. Gejala yang tampak hanya seperti infeksi

virus pada umumnya.

Faktor risiko yang penting dan berpengaruh terhadap proporsi pasien

yang mengalami gejala yang berat selama transmisi endemik di antaranya

strain dan serotipe virus yang menginfeksi, status imunitas dari setiap

individu, usia penderita, faktor genetik dari pasien (WHO, 1997; Gubler,

1998).

D. Etiologi

Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang

termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus

merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai

tunggal dengan berat molekul 4x106 (Suhendro, 2006). Virus ini termasuk

71

genus flavivirus dari family Flaviviridae. Ada 4 serotipe yaitu DEN-1,

DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe DEN-3 merupakan jenis yang sering

dihubungkan dengan kasus-kasus parah. Infeksi oleh salah satu jenis

serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak

menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang

yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4

kali seumur hidupnya.

Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk

Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada

siang hari. Faktor risiko penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor

penderita seperti umur, status imunitas, dan predisposisi genetis. Vektor

utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (diderah perkotaan) dan

Aedes albopictus (didaerah pedesaan). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti

adalah :

Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih

Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak

mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air

seperti kaleng, pot tanaman, tempat minum burung, dan lain – lain.

Jarak terbang ± 100 meter

Nyamuk betina bersifat ‘ multiple biters’ (mengigit beberapa orang

karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat)

Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi

72

E. Patogenesis

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue sampai saat ini

masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat

bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam

berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue (Suhendro, 2006).

Virus dengue (Aedes aegypti), setelah memasuki tubuh akan

melekat pada monosit dan masuk ke dalam monosit. Kemudian terbentuk

mekanisme aferen (penempelan beberapa segmen dari sehingga terbentuk

reseptor Fc). Monosit yang mengandung virus menyebar ke hati, limpa,

usus, sumsum tulang, dan terjadi viremia (mekanisme eferen). Pada saat

yang bersamaan sel monosit yang telah terinfeksi akan mengadakan

interaksi dengan berbagai system humoral, seperti system komplemen, yang

akan mengeluarkan substansi inflamasi, pengeluaran sitokin, dan

tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktifasi

faktor koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.

Selain itu masuknya virus dengue akan membangkitakn respons

imun melalui system pertahanan alamiah (innate immune system), pada

system ini komplemen memegang peran utama. Aktifitas komplemen

tersebut dapat memalui monnosa-binding protein, maupun melaui antibody.

Komponen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis,

dekstruksi dan lisis virus dengue.

Untuk menghambat laju intervensi virus dengue, interferon α dan

interferon β berusaha mencegah replikasi virus dengue di intraselular. Pada

73

sisi lain limfosit B, sel plasma akan merespons melalui pembentukan

antibodi. Limfosit T mengalami ekpresi oleh indikator berbagai molekul

yang berperan sebagai regulator dan efektor.

Limfosit T yang teraktivasi mengakibatkan ekspresi protein

permukaan yang disebut ligan CD40, yang kemudian mengikat CD40 pada

limfosit B, makrofag, sel dendritik, sel endotel serta mengaktivasi berbagai

tersebut. CD40L merupakan mediator penting terhadap berbagai fungsi

efektor sel T helper, termasuk menstimulasi sel B memproduksi antibodi

dan aktivasi makrofag untuk menghancurkan virus dengue.

Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang

memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus

bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue

menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi

limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akn mengaktivasi

monosit sehingga disekresi berbagai mediator radang seperti TNF-, IL-1,

PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan

terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a

dan C5a terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi yang dapat

mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.

F. Gambaran Klinis

74

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik,

atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam, demam berdarah

dengue, atau syndrome syok dengue (SSD).

Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang

diikuti oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak

demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak

mendapat pengobatan yang adekuat (Suhendro, 2006). Bintik-bintik

perdarahan di kulit sering terjadi, kadang disertai bintik-bintik perdarahan di

farings dan konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan,

tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk kanan dan nyeri seluruh perut.

DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa

penderitanya, ditandai oleh :

demam tinggi yang terjadi tiba-tiba

manifestasi perdarahan

hepatomegali/pembesaran hati kadang-kadang terjadi syok manifestasi

perdarahan pada DHF dimulai dari tes torniquet positif dan bintik-bintik

perdarahan di kulit (ptechiae). Ptechiae ini bisa terlihat di seluruh

anggota gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi perdarahan

hidung, perdarahan gusi, perdarahan dari saluran cerna dan perdarahan

dalam urin.

G. Langkah Diagnostik

75

Diagnosis dari infeksi dengue dapat ditegakkan melalui tes

laboratorium dengan cara mengisolasi virus, mendeteksi sequence RNA-

spesifik virus dengue dengan tes amplifikasi nukleotida, atau dengan

mendeteksi antibody pada serum pasien (Guzman, 2004).

Langkah diagnostik demam dengue dapat dilakukan melalui:

1. Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien

tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar

hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk

melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma

biru.

Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell

culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-

PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun

karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi

adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM

maupun IgG lebih banyak.

Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :

Leukosit

Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan

limfositosis relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit

plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit pada fase syok

akan meningkat.

76

Trombosit

Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

Hematokrit

Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari

hematokrin awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam

Hemostasis

Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP

pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan

pembekuan darah.

Protein/albumin

Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma

Elektrolit

Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan

Serelogi

Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue,

yaitu:

- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3,

menghilang setelah 60-90 hari

- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2

(infeksi sekunder).

NS1

Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai

hari kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold

77

standart kultur virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak

menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.

2. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto dada didpatkan efusi pleura, terutama pada hematoraks

kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat

dijumpai kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya

dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan

sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan

pemeriksaan USG.

Masa inkubasi dalam tubuh mausia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14

hari), timbuk gejala prodormal yag tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri

tulang, belakang dan perasaan lelah.

H. Diagnosis

Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14

hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas, seperti nyeri kepala, nyeri

tulang belakang dan perasaan lelah.

Klasifikasi derajat penyakit Infeksi Virus Dengue, dapat dilihat pada

table berikut:

DD/DBD Derajat Gejala Lab

DD Demam disertasi 2 atau lebih tanda : sakit kepala, nyeri retro-

Leukopenia Trombositopenia,

tdk ada kebocoran plasma

Serologi dengue (+)

78

orbital, mialgia, artralgia

DBD I Gejala diatas, ditambah dgn uji bendung (+)

Trombositopenia (<100.000), bukti ada kebocoran plasma

II Gejala diatas, ditambah dgn perdarahan spontan

Trombositopenia (<100.000), bukti ada kebocoran plasma

III Gejala diatas ditambah dengan kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab, serta gelisah)

Trombositopenia (<100.000), bukti ada kebocoran plasma

IV Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur

Trombositopenia (<100.000), bukti ada kebocoran plasma

Sementara untuk diagnosis Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah

ditemukannya semua kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi

dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20

mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan

lembab serta gelisah.

I. Tata Laksana

Protokol dibagi dalam 5 kategori :

1. Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa

Syok

79

Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian pertolongan

pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat

Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi

rawat.

Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat

dilakukan pemeriksaan hemonglonin (Hb), hematokrin (Ht), dan

trombosit, bila :

Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-

150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau

berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya

(dilakukan pemriksaan Hb, Ht, leukosit dan trombosit tiap 24 jam)

atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit

Gawat Darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit , 100.000 dianjurkan untuk dirawat

Hb, Ht meningkat dan tombosit normal atau turun juga dianjurka

untuk dirawat

2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di

Ruanag Rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masih dan

tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan

jumlah seperti rumus berikut ini :

Volume cairan kristaloid / hari yang diperkukan, sesuai rumus berikut :

80

1500+ (20 x (BB dalam kg – 20 )

Setelah pemberian cairan dilakukan dilakukan pemberian Hb, Ht tiap

24 jam:

Bila Hb, Ht meningkan 10-20% dan tombosit < 100.000 jumlah

pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb,

Ht, trombo dilakukan tiap 12 jam.

Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka

pemberian cairan sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD

dengan peningkatan Ht >20%.

3. Protokol 3. Penatalaksaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%

Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit

cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan

adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7

ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan.

Bila terjadi perbaikkan perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda

hematokrin turun, frekuensi nadi turun tekanan darah stabil, produksi

urin meningkat maka jumlah cairan infuse dikurangimenjadi 5

ml/KgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan

bila keadaan tetap menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan infuse

dikurangi 3ml/KgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap

membaik cairan dapat dihentikan24-48 jam kemudian.

81

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/KgBB/jam dalam

tapi keadaan tetap tidak membaik, yang ditndai dengan Ht dan nadi

meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun,

maka kita harus menaikkan jumlah cairan infuse menjadi 10

ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan

bila keadaan menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan dikuarangi

menjadi 5 ml/KgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan

perbaikkan maka jumlaah cairan infuse dinaikkan 15ml/KgBB/jam dan

bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkn

tanda-tanda syok maka pasien ditananganisesuai protocol tatalaksana

sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka

pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan

4. Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah

perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah

diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan

melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing ( hematuria,

perdarahan otak atau perdarahan sembunyi dengan jumlah perdarahan

sebanyak 4-5 ml/KgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan

kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok.

82

Pemeriksaan TD, nadi, pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering

mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulang

setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris

didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID).

Taranfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila

didapatkan defisiensi factor-faktor pembekuan darah (PT dan aPTT)

yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl.

Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD yang perdarahan

spontan dan massif dengan jumlah tromboit <100.000/mm3 disertai atau

tanpa KID

5. Protokol 5. Tatalaksanaan Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

Bila berhadapan dengan SSD maka hal pertama yang harus diingat

adalah renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian

cairan dilakukan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan.

Angka kematian SSD 10 kali lipat dibandingakan dengan penderita

DBD tanpa renjatan. Dan renjatan dapat terjadi karena kerelambatan

penderita DBD mendapat pertolongan.

Pada kasus SSD cairan kritaloid adalah pilihan utama yang diberikan.

Penderita juga diberikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan yang harus

dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),

83

hemostalisi, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta

ureum dan kreatinin.

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kgBB dan

evaluasi 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi ( ditandai dengan TD

sistolik 100mmHg dan tekanan nadi > 20mmHg, frekuensi nadi <100

x/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak

pucat srta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi 7

ml/kgBB/jam. Biala dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil

pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dam waktu 60-120

menit keadaan tetap stabil pemberian cairan dikurangi 3 ml/kgBB/jam.

Bila 23-48 jam setelag renjatan teratasi tanda-tanda vital, hematokrin

tetap stabil srta dieresis cukup maka pemberian cairan perinfus

dihentikan.

Pengawan dini tetap dilakukan tertama dalam 24 jam pertama sejak

terjadi renjatan. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah

teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital, pembesaran

hati, nyeri tekan didaerah hipokondrium kana dan epigastrium serta

jumlah dieresis (diusahakan 2ml/kgBB/jam). Pemantauan DPL

dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.

Bila fase awal pemberian ternyata renjatan belum teratasi, maka

pemberan cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB,

dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit.

Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht.

84

Bila Ht meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung

maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan.

- Pemberian koloid mula-mula diberikan 10-20ml.kgBB dan

dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum

teratasi maka pemantaun cairan dilakukan pemasangan kateter

vena sentral, dan pmberian dapat ditambah hingga jumlah

maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5µ/hari) dengan

sasaran tekanan vena sentral 15-18cmH2O

- Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan

koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit,

hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder.

- Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target

tetapu renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat

inotropik / vasopresor.

Bila Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding)

maka pada penderita diberikan transfuse darah segar 10ml/kgBB

dan dapat diulang sesuai kebutuhan.