departemen ilmu kesehatan mata fakultas...
TRANSCRIPT
0
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
Laporan Kasus : Diagnosis dan Tatalaksana Keratoglobus
Penyaji : Desi Kristina Utami
Pembimbing : Dr. dr. Karmelita Satari, Sp.M(K)
Telah diperiksa dan disetujui oleh
Pembimbing Refraksi, Low Vision dan Lensa Kontak
Dr.dr. Karmelita Satari , Sp.M(K)
Rabu, 16 Desember 2020
Pukul 07.30 WIB
1
DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF KERATOGLOBUS
ABSTRACT
Introduction : Keratoglobus is a bilateral, noninflammatory, ectatic cornea
disorder which the entire cornea becomes thin on a globular shape. There are
congenital and acquired forms of keratoglobus. Most of kerataglobus are
congenital form disorders. The goal of keratoglobus managements are to improve
visual function and to prevent loss of visual function. Involvement of patient
cooperation is important in the management of this disease.
Purpose : To report diagnostic and management of keratoglobus.
Case Reports : A 16 years old male was diagnosed with keratoglobus ODS + high
myopia OS + high astigmatism OS and conducted Rigid Gas Permeable lens fitting
to improve the visual function of the left eye, but the result was not satisfied.
Conclusion : Patient with keratoglobus was diagnosed by anamnesis,
ophthalmology examination and corneal topography examination that leads to sign
and symptoms of keratoglobus. The management of keratoglobus with RGP can
improve vision, but in this case the improvement is not significant. Surgical
management considered when non-surgical treatment failed. Routine follow up is
important to detect complications and progressive deteriorating of visual
impairment.
Keywords : keratoglobus-contact lens- Rigid Gas Permeable-keratoplasty
I. Pendahuluan
Keratoglobus merupakan non-inflamasi ektasia kornea yang bersifat bilateral,
asimetris, ditandai oleh penipisan stroma di seluruh bagian kornea dan betuk kornea
menjadi globular. Gangguan penglihatan yang dapat terjadi yaitu myopia tinggi,
astigmatism, kekeruhan kornea dan pembentukan jaringan parut kornea. Onset
keratogobus dapat terjadi sejak lahir dan berkembang sesuai dengan usia, namun
ada juga yang bentuk didapat saat pertumbuhan. Keratoglobus merupakan salah
satu bentuk kornea ektasia non-inflamasi yang jarang. Keratoglobus merupakan
kelainan bentuk kornea yang dapat berkaitan dengan syndrom Ehlers−Danlos type
2
VI, sindrom Rubenstein−Taybi dan Leber’s congenital amaurosis. Keratoglobus
yang didapat saat masa pertumbuhan, terjadi akibat pengaruh multifaktorial antara
kelainan biomekanik dan pengaruh lingkungan. Faktor resiko yang berpengaruh
terhadap progesivitas penyakit antara lain kebiasaan menggosok-gosok mata,
inflamasi, penyakit yang berkaitan dengan kolagen dan atopi. Faktor resiko tersebut
memiliki peran dalam onset dan progesivitas keratoglobus. Diagnosis keratoglobus
ditegakkan berdasarkan anamnesa, gejala klinis, hasil pemeriksaan keratometri,
topografi dan tomografi kornea.1,2
Tatalaksana keratoglobus secara umum bertujuan untuk memperbaiki kualitas
penglihatan, dan mencegah kehilangan penglihatan. Pilihan tatalaksana untuk
memperbaiki kualitas penglihatan yaitu non-bedah dengan menggunakan
kacamata, lensa kontak, kombinasi kecamata dan lensa kontak atau lensa kontak
desain khusus dan bedah dengan implan intracorneal ring segmen (ICRS), deep
anterior lamellar keratoplasty (DALK) atau penetrating keratoplasty (PK). Lensa
kontak merupakan tatalaksana yang paling banyak digunakan. Salah satu jenis lensa
kontak yang digunakan untuk kornea ektasia, termasuk keratoglobus, adalah Rigid
Gas Permeable (RGP). Pilihan bedah dipilih ketika tatalaksana non-bedah tidak
berhasil dilakukan. Tatalaksana yang bertujuan menghentikan progesivitas
keratoglobus sampai saat ini belum ada petunjuk klinis yang baku. Corneal cross
linking (CXL) merupakan pilihan terapi untuk menghentikan progesivitas
keratokonus. Namun, sampai saat ini belum ada laporan kasus atau penelitian yang
membuktikan efektivitas tatalaksana CXL untuk menghentikan progesivitas
keratoglobus.2,3,4
Laporan kasus ini akan membahas mengenai diagnosis dan tataksana
keratoglobus.
II. Laporan Kasus
Seorang laki-laki, An. D, berusia 16 tahun, datang ke poli refraksi Pusat Mata
Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo pada tanggal 5 November 2020, dirujuk oleh
3
poliklinik ROO dengan keluhan mata kiri untuk melihat tidak jelas. Pasien
mengeluh penglihatan buram yang disadari sejak 3 bulan yang lalu saat kontrol
untuk benjolan di kelopak atas mata kiri setelah 3 tahun tidak kontrol di poliklinik
Paediatrik-Oftalmologi (PO) RS Mata Cicendo. Riwayat kacamata sebelumnya(-),
Riwayat ganti kacamata(-). Riwayat penggunaan lensa kontak (-), riwayat sering
menggosok-gosok mata (+) pada mata kiri karena terasa gatal pada benjolan di
kelopak atas mata kiri, riwayat mata sering merah (-), riwayat alergi (-), riwayat
mata biru (-), riwayat kencing manis (-), riwayat keluarga dengan keluhan yang
berkaitan dengan jaringan ikat sendi (-), pengobatan TB selesai bulan September
2017.
Gambar 2.1. Mata tampak dari samping A. Mata kanan B. Mata kiri
Pemeriksaan refraktometer pupil kecil menunjukkan hasil S-0,50 C-0,50 x 15
pada mata kanan, sementara pemeriksaan refraktometer pada mata kiri tidak
mengeluarkan hasil karena over cylinder (pada layar refraktormeter). Pemeriksaan
visus dasar adalah 1,0 pada mata kanan dan 0,016 pada mata kiri. Pemeriksaan
dengan retinoscopy streak dilakukan namun tidak bisa diperoleh namun sulit
diperoleh kelainan refraksinya. Visus dekat dengan menggunakan koreksi terbaik
adalah 0,8 M/30 cm pada mata kanan dan 8M/10 cm pada mata kiri. Koreksi visus
pada mata kiri pasien dengan -22,00 D, terdapat perbaikan tajam penglihatan
menjadi 0,128. Karena visus pasien tidak dapat dikoreksi dengan kacamata,
alternatif selanjutnya adalah lensa kontak.
A B
4
Pada pemeriksaan gerak bola mata didapatkan hasil kedudukan kedua bola mata
ortotropia, gerak bola mata normal ke segala arah. Tekanan intraokular dengan
Noncontact Tonometer diperoleh 11 mmHg pada mata kanan dan pada mata kiri
tidak dapat dilakukan. Kemudian, dilakukan pemeriksaan tekanan intraokular
dengan palpasi diperoleh tekanan mata kiri hampir sama dengan tekanan mata
kanan. Pemeriksaan segmen anterior kedua mata, didapatkan Rizzuti sign pada
mata kiri, Munson’s sign pada mata kiri. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan
dan kiri dengan lampu celah biomikroskop didapatkan palpebra tenang,
konjungtiva relatif tenang dan kornea jernih. Bilik mata depan Van Herick grade
IV, flare dan sel -/-, pupil bulat, iris sinekia (-), dan lensa jernih. Pemeriksaan
segmen posterior mata kanan didapatkan refleks fundus (+), retina flat, papil bulat
batas tegas, dan c/d ratio 0,3-0,4. Pemeriksaan segmen posterior mata kanan
didapatkan refleks fundus (+), Charleux’s sign (+), retina flat, papil bulat batas
tegas, dan c/d ratio 0,3-0,4.
Gambar 2.2. Pemeriksaan oftlamogis An.D A.Munson’s sign pada mata kiri B.Rizzuti’s
sign pada pada mata kiri C.Pemeriksaan segmen anterior mata kanan
D.Pemeriksaan segmen anterior mata kiri
Pasien direncanakan untuk pemeriksaan Pentacam untuk mengetahui ketebalan
kornea. Hasil pemeriksaan Pentacam mata kiri tanggal 9 November 2020 adalah
K1 61,00D ; K2 67,60D ; Kmax 73,00D, progression index min 2,30, progression
5
index max 5,63 dan ketebalan kornea 371 µm. Pasien didiagnosis dengan
keratoglobus ODS DD keratokonus OS dan forme fruste keratoconus OD +
anisiometropia + post TB paru. Pasien saat itu direncanakan untuk dilakukan
corneal cross linking pada mata kiri.
Pasien datang berobat untuk kontrol pada tanggal 10 Desember 2020. Pasien
setuju untuk mencoba menggunakan lensa kontak. Pemeriksaan refraktometer pupil
kecil menunjukkan OD S+0,00 C-0,50 X 10 dan OS over cylinder. Kemudian
diulang pemeriksaan refraktometer pupil kecil dan diperoleh hasil OD S+0,00 C-
0,50 X 178 dan OS S-15,75 C-13,75 X 162. Dari pemeriksaan keratometri mata
kiri didapatkan ukuran K1 70,37D (4,80 mm) dan K2 62,98D(5,36 mm), Kmean
66,68 D dan dan Base Curve 5.08 mm. Pasien menjalani fitting lensa RGP trial
khusus untuk keratokonus, Menicon Z dengan Base Curve 5,40 mm; Power -8,50
Dioptri; Diameter 8.4 mm. Kedua mata dilakukan pemeriksaan flouresens pada
lampu celah biomikroskop untuk mengevaluasi posisi lensa kontak pada kornea dan
kemudian dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan jauh ulang. Kedua mata
dilakukan pemeriksaan flouresens pada lampu celah biomikroskop untuk
mengevaluasi posisi lensa kontak pada kornea.
Gambar 2.3. Hasil Pentacam Mata Kiri An.D
6
Pemeriksaan refraktometer setelah menggunakan RGP Menicon Z dengan Base
Curve 5,40 mm; Power -8,50 Dioptri; Diameter 8.4 mm menunjukkan S-10,50 C-
13,75 X 162. Koreksi mata kiri dengan terpasang RGP Menicon Z kekuatan -8,50
D dan lensa S-15,00 C-1,50 X 100 pasien adalah 0,16. Koreksi tajam penglihatan
maksimal dengan terpasang RGP dan over refraksi S-15,00 C-1,50 X 100 adalah
0,16, dan masih terdapat anisometropia tinggi pada pasien ini. RGP tidak diberikan
pada pasien ini karena tetap terdapat anisometropia tinggi dengan koreksi RGP dan
over refraksi.
Gambar 2.4. Pemeriksaan fluorescen pada mata kiri An.D dengan terpasang
RGP Menicon Z dengan BC 5,40 ; P-8,50 ; D 8.4
Pada riwayat penyakit sebelumnya, pasien datang berobat ke poli PO pada 13
Agustus 2020 ke Poli PO karena benjolan di PS OS membesar. Pada pemeriksaan
tajam penglihatan diperoleh VOD 1,0 VOS 1/60. Pemeriksaan oftalmologi,
diperoleh, rizzuti sign(+) dan benjolan berukuran 8 mm x 12 mm, nyeri tekan (-).
Pasien didiagnosis dengan hemangioma kapiler PS OS + anisometrop + post TB
paru + susp,keratokonus. Pasien dirujuk ke poli EED dengan suspect keratokonus.
Pasien menjalani pemeriksaan topografi kornea. Hasil pemeriksaan topografi
kornea mata kanan pasien yaitu : Power 43,99 D, Radius 7,67 mm, Distance 0 ;
Meridian 270 Height 0; Sim K steep =42,540D (7,93 mm) aksis 93° , flat 41,720
(8,09 mm) aksis 3° ; Avg=42,130D diff 8,3D ; CLMI Max 0,81D PPK 0,7%. Hasil
pemeriksaan topografi kornea mata kiri pasien yaitu : Power 68,04D, Radius 4,96
mm, Distance 0 ; Meridian 270 Height 0; Sim K steep =70,37D (4,9 mm) aksis
100°, flat 62,96 (5,26 mm) aksis 10° ; Avg=66,66D diff 7,38D ; CLMI Max 15,72D
7
PPK 100%. Pasien diagnosis dengan keratoglobus ODS dan hemangioma kapiler
PS OS. Pasien dirujuk ke poli ROO. Pasien berobat ke poli ROO pada tanggal 13
Agustus 2020, dirujuk oleh poli EED karena keluhan terdapat benjolan pada
kelopak atas mata kiri. Pasien menjalani operasi untuk pengambilan massa tumor
pada tanggal 28 Agustus 2020. Hasil pemeriksaan jaringan (Patologi Anatomi)
menunjukkan bahwa massa tumor adalah hemangioma kapiler pada regio kelopak
atas kata kiri.
Gambar 2.5. Topografi Kornea Mata Kanan dan Kiri An.D
8
Pasien pertama kali berobat di RS Mata Cicendo pada bulan 14 Maret 2017
dengan keluhan terdapat benjolan di kelopak atas mata kiri sejak lahir. Benjolan
tidak membesar dan batas tegas. Hasil pemeriksaan tajam penglihatan pasien adalah
VOD 1,0 dan VOS 1,0. Pada pemeriksaan oftalmologi, terdapat massa berukuran
7mm x 4mm, NT(-), lunak, batas tegas, ptosis(-), bruit (-) di palpebra superior OS.
Pasien didiagnosis dengan hemangioma kapiler PS OS dan direncanakan untuk
diberikan propranolol, lyteers. Pasien dikonsulkan ke bagian IKA untuk rencana
pemberian propranolol per oral. Di bagian IKA, berdasarkan hasil pemeriksaan
fisik, pasien didiagnosis suspect TB paru pada anak. Kemudian pasien menjalani
pemeriksaan penunjang berupa foto polos thorax PA dan mantoux test. Foto polos
thorax PA pasien menunjukkan suspect TB paru. Hasil Mantoux test menunjukan
indurasi dengan diameter 13 mm, bullae(-). Pasien didiagnosis Hemangioma
kapiler PS OS dan TB paru pada anak. Pasien diterapi dengan propranolol (hari I
3x15 mg, hari II 3x20 mg, dan hari III dan seterusnya 3x25 mg) dan obat anti-
tuberkulosis (OAT) untuk anak. Pasien setiap bulan kontrol ke poli PO dan poli
IKA untuk tatalaksana hemangioma kapiler PS OS dan TB paru pada anak.
Pengobatan TB selesai pada bulan September 2017. Pasien kontrol setiap bulan
sampai September 2017. Hasil pemeriksaan visus pada bulan September 2017 VOD
1,0 VOS 1,0. Anjuran saat kontrol pada bulan September 2017 adalah kontrol 1
bulan di bagian PO dan IKA. Pasien tidak datang kontrol. Pasien kembali kontrol
pada tanggal 13 Agustus 2020.
III. Diskusi
Keratoglobus merupakan non-inflamasi ektasia kornea yang bersifat bilateral,
asimetris, ditandai oleh penipisan stroma di seluruh bagian kornea dan betuk
kornea menjadi globular. Penipisan kornea bisa sampai sepertiga atau seperlima
tebal kornea normal. Penyebab pasti keratoglobus sendiri masih belum diketahui.
Terdapat dua jenis keratoglobus, kongenital dan didapat. Keratoglobus kongenital
berkaitan dengan penyakit Ehler-Danlos Syndrome, Leber Congenital Amaurosis,
Marfan Syndrome, dan osteogenesis imperfekta. Sedangkan, keratoglobus yang
9
didapat berkaitan dengan konjungtivitis vernal, chronic marginal blepharitis,
penyakit inflamasi mata idiopatik dan disthyroid eye. Riwayat menggosok mata
pada chronic marginal blepharitis berkaitan dengan kejadian keratoglobus.
Berdasarkan anamnesis pada pasien An.D, riwayat mata sering merah disangkal,
riwayat menggosok mata dengan tangan karena gatal pada benjolan hemangioma
kapiler sebelum benjolan tersebut diangkat. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
asma, atopi dan riwayat mudah patah tulang dengan trauma minimal (osteogenesis
imperfekta). Pemeriksaan fisik pasien secara umum normal, tidak tampak tanda-
tanda ligament yang terlalu elastis.1,2,5
Keratoglobus merupakan salah satu kelainan kornea ektasia yang jarang.
Kelainan kornea ektasia yang lain adalah keratokonus, posterior keratokonus dan
pellucid marginal degeneration (PMD). Keratokonus merupakan penyakit kornea
ektasia yang paling sering ditemukan. Keratokonus terkadang sulit dibedakan
dengan keratoglobus karena bentuk kornea yang sudah mengalami ekstasia sulit
dibedakan. Ketakoglobus yang mengalami protrusi kornea dapat menyerupai
bentuk keratokonus. Keratokonus tahap lanjut dapat menyerupai keratoglobus
karena penipisan korneanya. Secara umum, onset keratoglobus lebih awal
dibandingkan keratokonus. Onset keratoglobus mulai sejak lahir pada keratoglobus
kongenital. Onset keratokonus bermula pada usia pubertas atau remaja sampai usia
20 tahun dan berlanjut hingga usia 40-50 tahun. Gejala klinis yang dikeluhkan
pasien pada keratoglobus adalah penglihatan yang menurun yang disebabkan oleh
astigmatisme dan myopia yang tinggi. Bentuk kornea yang mengalami ekstasia dan
irregularitas permukaan kornea menyebabkan myopia dan astigmatisme yang
tinggi. Gejala klinis pada kertaokonus dan keratoglobus relatif tenang dan tidak
disadari pasien kecuali penglihatan yang buram.1,2,6,7
Kornea pada keratoglobus mengalami penipisan secara keseluruhan dari limbus
ke limbus dengan ketebalan kornea paling tipis pada perifer kornea dan protrusi
berbentuk globular. Pemeriksaan kornea tidak ditemukan Fleicher’s ring dan
Vogt’s striae yang ditemukan pada keratokonus. Karena penipisan kornea yang
merata, laserasi kornea karea trauma rentan pada pasien keratoglobus. Pada
10
keratoglobus juga dapat terjadi hidrops akut, karena robekan pada membran
descemet dan masuknya cairan ke dalam stroma yang menyebakan penglihatan
makin kabur. Resolusi hidrop akut terjadi dalam 5-36 minggu, dimulai dengan
menempelnya kembali membrane descemet dan migrasi endotel ke area yang
mengalami laserasi. Gejala yang ditemukan pada keratoglobus adalah Munson’s
sign, Rizzuti’s sign, Charleux’s sign pada oftalmoskop direct, dan hidrops akut.
Pada pasien ini ditemukan Munson’s sign, Rizzuti’s sign, dan Charleux’s sign pada
oftalmoskop direct. Pemeriksaan kornea pada pasien ini jernih dan tidak ditemukan
hidrops akut.5,6,7
Pasien An.D mengeluhkan pandangan mata kiri menurun yang disadari sejak 3
bulan yang lalu saat pemeriksaan tajam penglihatan di poli PO. Hasil tajam
penglihatan mata kanan 1,0 dan mata kiri 0,016. Pemeriksaan oftalmologis
menunjukkan Munson’s sign, Rizzuti’s sign, kornea mata kanan berbentuk globular
dan kornea mata kiri mengalami protrusi mirip keratokonus. Pemeriksaan
refraktometer pupil kecil adalah OD C-0,50 X 178 dan OS S-15,75 C-13,75 X 162.
Pemeriksaan refraktometer menunjukkan terdapat myopia dan astigmatisme tinggi
pada pasien ini. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan dan kiri dengan lampu
celah biomikroskop didapatkan bilik mata depan VH grade IV dan kornea jernih.
Pemeriksaan segmen posterior mata kanan normal. Pemeriksaan segmen posterior
mata kanan didapatkan refleks fundus (+), Charleux’s sign (+), retina flat, papil
bulat batas tegas, dan c/d ratio 0,3-0,4. Pasien didiagnosis keratoglobus ODS
dengan diagnosis banding keratokonus. Diagnosis keratoglobus ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan fisik secara klinis yaitu bentuk kornea kanan globular dan
pemeriksaan segmen anterior mata menunjukkan kedalaman bilik mata Van Herick
grade IV. Pada pasien ini ditemukan berntuk kornea kanan berbentuk globular
sedangkan kornea kiri mengalami protrusi berbentuk lebih kerucut. Tanda-tanda
klinis keratokonus juga terdapat pada pasien ini yaitu Munson’s sign, Rizzuti’s sign,
Charleux sign pada mata kiri, dan pasien berusia 16 tahun. Munson’s sign, Rizzuti’s
sign, Charleux’s sign pada mata kiri muncul karena terdapat protrusi pada kornea
mata kiri yang berbentuk lebih kerucut. Protrusi pada kornea kiri kemungkinan
disebabkan oleh pembesaran hemangioma kapiler yang ada sejak lahir dan
11
membesar dalam 3 tahun terakhir. Terdapat riwayat pasien sering menggosok-
gosok mata karena gatal pada benjolan tersebut. Keratokonus dan keratoglobus
adalah kelainan kornea yang bilateral, asimetris. Sehingga tidak mungkin apabila
mata kanan keratoglobus dan mata kiri pasien keratokonus. Diagnosis pasien ini
berdasarkan dengan tanda-tanda klinisnya adalah keratoglobus ODS.5,6,7
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis
ekstasia kornea adalah keratometri, topografi dan tomografi kornea serta optical
coherence tomography (OCT) segmen anterior (AS-OCT). Pemeriksaan
keratometri di atas 46 D merupakan pertanda bahwa terdapat ektasia kornea.
Pemeriksaan topografi kornea dapat menggambarkan topografi kornea, sementara
pemeriksaa tomografi kornea menggambarkan kornea termasuk ketebalannya.
Pemeriksaan topografi dan tomografi secara komperehensif dapat menggambarkan
permukaan anterior pada kornea dan juga ketebalan dipilih untuk kornea ektasia.
Pemeriksaan toppografi dan tomografi kornea merupakan pemeriksaan yang paling
Pada pemeriksaan AS-OCT, dapat menggambarkan potong lintang kornea, sudut,
kamera okuli anterior dan lensa di bagian anterior. Pasien An.D dilakukan
pemeriksaan keratometri, topografi dan tomografi kornea. Pada pemeriksaan
keratometri sulit dilakukan karena over cylinder. Pada pemeriksaan topografi
kornea mata kiri diperoleh gambaran kornea yang steep. 3,4
Sampai saat ini belum ada sistem klasifikasi yang mengklasifikasikan
keratoglobus. Sebaliknya, sistem klasifikasi keratokonus berkembang. Klasifikasi
keratokonus dapat menggunakan klasifikasi ABCD atau klasifikasi Amsler-
Krumeich.3,9
Tatalaksana keratoglobus secara preventif adalah mencegah tidak terjadi trauma
pada kornea yang menipis. Pencegahan dilakukan dengan edukasi kepada pasien
untuk tidak menggosok-gosok mata dan memakai kacamata untuk proteksi mata.
Tatalaksana kornea ektasia menurut Global Consensus on Keratoconus and Ectatic
Disease pada tahun 2015 adalah terapi non-bedah dan terapi bedah. Terapi non-
bedah bertujuan untuk meningkatkan penglihatan dan menghentikan progesivitas
penyakitnya. Terapi non bedah berupa kacamata, lensa kontak, atau kombinasi
12
kacamata dan lensa kontak. Terapi non-bedah yang bertujuan untuk menghentikan
progesivitas kornea ektasia adalah corneal cross linking (CXL). Terapi non bedah
dilakukan apabila pilihan non-bedah tidak bisa dilakukan. Pilihan terapi bedah
untuk keratoglobus adalah keratoplasti. Indikasi keratoplasti pada kornea ektasia
adalah pasien tidak memperoleh penglihatan fungsional dengan kacamata atau
lensa kontak dan kontraindikasi dilakukan CXL. Pilihan terapi bedah untuk
memperbaiki penglihatan pada kornea ektasia adalah implan intracorneal ring
segmen (ICRS) dan pemasangan Phakic Intaocular Lens (PIOL).3,4,10
Sebelum fitting lensa kontak, pasien menjalani pemeriksaan untuk memastikan
bahwa pasien tidak memiliki kontraindikasi pemasangan lensa kontak.
Kontraindikasi pemasangan lensa kontak yaitu alergi, penyakit inflamasi pada
mata, dry eye, memiliki penyakit diabetes mellitus, imunosupresi dan penggunaan
obat mata topikal dalam jangka waktu lama, monokular dan neovaskularisasi
kornea. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftlamologis pada pasien An.D,
tidak terdapat kontraindikasi pemakaian lensa kontak. Hasil pemeriksaan Schimer
II kedua mata pasien An.D normal.10,11
Pasien melakukan fitting lensa kontak untuk mengoreksi myopia dan
astigmatisme. Pilihan lensa kontak dipilih karena kacamata tidak dapat mengatasi
iregularitas kornea yang berdampak pada myopia dan astimatisme tinggi pada
pasien ini. Jenis lensa kontak yang dapat digunakan untuk kornea ektasia adalah
lensa kontak hard untuk mengkompensasi permukaan kornea yang ireguler. Pilihan
jenis lensa kontak hard pada kornea ireguler adalah RGP, lensa hybrid, lensa sklera,
dan lensa kontak desain khusus. Pada pasien dilakukan fitting dengan menggunakan
trial lens RGP Menicon Z dengan Base Curve 5,40 mm; Power -8,50 Dioptri;
Diameter 8.4 mm.3,10,11
Fitting trial lens RGP Menicon Z dengan BC 5,40 ; P-8,50 ; D 8.4 pada pasien
An.D memperoleh hasil yang baik. Evaluasi fitting lensa kontak dilakukan dengan
mengevaluasi stabilitas visus, posisi lensa kontak pada mata slight low riding dan
lensa bergerak ±1 mm dan kembali ke posisinya sesaat setelah berkedip.
Pemeriksaan fluoresen menunjukkan lensa pada kornea terpasang fit. Evaluasi
13
stabilitas dan gerakan lensa baik. Pasien merasa nyaman terpasang RGP Menicon
Z pada mata kiri. Posisi lensa pada pemeriksaan fluoresen setelah terpasang trial
lens RGP Menicon Z terpasang baik di kornea sentral. 10,11
Koreksi pada mata kiri pasien setelah terpasang RGP Menicon Z dengan BC
5,40 ; P-8,50 ; D 8.4 dengan overkoreksi S-15,00 C-1,50 aksis 100 adalah 0,16.
Tatalaksana kombinasi kacamata dan lensa kontak pada pasien ini merupakan
alternatif untuk mengatasi myopia dan astigmatisme. Pada pasien ini terdapat
perbaikan visus dengan RGP, namun pemberian RGP pada pasien ini tidak
mendesak karena visus pasien dengan koreksi maksimal lensa kontak RGP dan over
koreksi diperoleh 0,16, pasien sulit mengakses RGP (secara sosial ekonomi) dan
visus mata kanan 1,0. 4,11
Tatalaksana kornea ektasia pada pasien yang tidak berhasil dikoreksi dengan
kacamata dan lensa kontak adalah dengan implan ICRS. Implan ICRS menurunkan
kekuatan kornea sentral dengan membuat permukaan kornea sentral lebih rata.
Implan ICRS dapat dilakukan pada kornea yang jernih. Prosedur ini tidak dapat
dilakukan pada kornea yang telah mengalami hidrop akut. Sampai saat ini belum
ada laporan kasus penggunaan implan ICRS pada keratoglobus. 4,5,12
Pilihan tatalaksana keratoglobus apabila tidak dapat dikoreksi dengan lensa
kontak adalah keratoplasti. Sampai saat ini, belum ada prosedur bedah yang baku
untuk keratoglobus. Beberapa prosedur keratoplasti pada keratoglobus adalah large
penetrating keratoplasty dan lamellar keratoplasty procedure. Beberapa teknik
prosedur lamellar keraoplasty yang dilaporkan dilakukan pada keratoglobus adalah
epikeratoplasti, epikeratoplasti diikuti dengan secondary penetrating keratoplasty
‘Tuck-in’ lamellar keratoplasty, Pentacam-based deep anterior lamellar
keratoplasty dan corneoscleral rim. Indikasi tatalaksana bedah pada pasien An.D
adalah pada pasien ini tidak dapat dikoreksi dengan lensa kontak. Namun,
keputusan untuk keratoplasti masih memerlukan pengkajian lebih lanjut pada
pasien ini. 4,5,12,13
14
Pasien ini pernah menderita TB dan berobat selama 6 bulan dengan Obat Anti-
Tuberkulosis (OAT) pada anak lini pertama. Regimen obat TB pada anak meliputi
rifampicin, pyrazinamide dan isoniazid. Sampai saat ini belum ada literatur yang
menyebutkan bahwa efek TB dan obat TB pada anak berpengaruh terhadap
penyakit kolagen.14,15
Pada pasien ini semula direncanakan untuk CXL. CXL dapat menghentikan
progesivitas keratokonus. Global Concensus menyatakan bahwa pada kasus kornea
ektasia yang lanjut dapat dilakukan CXL bagi mata yang memenuhi persyaratan.
Literatur lain juga menyebutkaan bahwa CXL mungkin dapat dilakukan pada
keratoglobus. Namun, sampai saat ini belum ada studi mengenai CXL untuk
keratoglobus.2,3,4,16
Prognosis quo ad vitam ad bonam karena tidak mengancam jiwa, quo ad
functionam ad malam karena keratoglobus dapat menyebabkan fungsi penglihatan
pasien semakin menurun.
IV. SIMPULAN
Keratoglobus adalah kondisi kornea ektasia yang memilliki karakteristik
penipisan di seluruh stroma, protrusi, dan iregularitas pada kornea. Diagnosis
keratoglobus dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan oftalmologi, dan
pemeriksaan topografi dan tomografi kornea. Tujuan dari tatalaksana keratoglobus
adalah untuk memaksimalkan fungsi penglihatan pasien. Tatalaksana non-bedah
pada keratoglobus dapat menggunakan lensa kontak RGP untuk memaksimalkan
penglihatan. Tatalaksana bedah dilakukan apabila tatalaksana non-bedah tidak
berhasil dilakukan.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Preeya K. Gupta, Michelle J. Kim, Terry Kim. Developmental Corneal
Anomalies of Size and Shape. Dalam: Cornea. Edisi ke-4. Philadhelpia :
Elsevier Inc. ; 2017. hlm. 605-6.
2. Salmon, J.F. Cornea. Dalam : Kanski’s Clinical Ophthalmology. Edisi ke-
9. Philadhelpia : Elsevier Inc. ; 2020. hlm. 253.
3. Gomes, J.A.P., Tan D., Rapuano, C.J., Belin, M.W., Ambrosio, R., et al.
Global Consensus on Keratoconus and Ectatic Diseases. Cornea
2015;34:359–69.
4. Garrat, Susan (Ed). Corneal Ectasia Preferred Practice Pattern. American
Academy of Ophthlamology. San Francisco : 2018.
5. Wallang, BS dan Das, S. Keratoglobus. Eye 2013;27:1004-12
6. Sugar, J. dan Garcia-Zalisnak, D.E. Keratoconus and Other Ectasias.
Dalam: Ophthalmology, Edisi ke-4. Philadelphia : Elsevier Inc. ; 2019.
hlm. 254-7.
7. Olivo-Payne, A., Abdala-Figuerola, A., Hernandez-Bogantes, E., Pedro-
Aguilar, L., Chan, E., dan Godefrooij, D. Optimal management of pediatric
keratoconus: challenges and solutions. Clinical Ophthalmology. 2019;13
:1183–91.
8. Martínez-Abada, A. dan Piñerob, D.P. Review article Pellucid marginal
degeneration: Detection, discrimination from other corneal ectatic
disorders and progression. Contact Lens and Anterior Eye. 2019;42:341–
49.
9. Belin, M.W. dan Duncan, J.K. Ketaroconus : The ABCD Grading system.
2016. Thieme.
10. Maharana, P.K., Dubey, A., Jhanji, V., Sharma, N., Das, S., Vajpayeeet,
R.B. Management of advanced corneal ectasias. Br J Ophthalmol
2016;100:34–40
11. Brodie, S.E., Gupta, P.C., Irsch K., Jackson, M.L., Mauger T.F., Strauss,
L., et al. Contact Lens. Dalam : Clinical Optics. San Francisco : American
Academy of Ophthlamology; 2019. hlm. 214-35.
12. Taneri, S., Mimura, T., dan Azar, D.T. Current Concepts, Classification,
and History of Refractive Surgery Dalam : Ophthalmology. Edisi ke-5.
Philadelphia : Elsevier Inc. ; 2019. hlm. 75-83.
13. Papaioannou, L. dan Papathanassiou, M. Large Penetrating Keratoplasty in
the Management of Keratoglobus: A Case Report. Open Journal of
Ophthalmology. 2016, 6, 51-55
14. Diallo, .T, Adjobimey, M., Ruslami, R., Trajman, A., Sow, O., Baah, J.O.,
et al. Safety and Side Effects of Rifampin versus Isoniazid in Children. N
Engl J Med. 2018; 379;5 :454-63.
15
16
15. Hopewell, P.C., Kato-Maeda, M., dan Ernt, J.D. Tuberculosis. Dalam :
Murray and Nadel's Textbook of Respiratory Medicine,. Edisi ke-6. .
Philadhelpia : Elsevier Inc. ; 2016. hlm. 593-628.
16. Ziae, M, Barsam, A dan Donnenfeld, E.D. Collagen Crosslinking for
Keratoconus. Dalam: Cornea, Edisi ke-4. Philadelphia : Elsevier Inc ;2017.
hlm. 1618-25.