deteksi toxocara vitulorum pada kerbau perah (bubalus ... · penulis memasuki pendidikan formal...
TRANSCRIPT
i
DETEKSI Toxocara vitulorum PADA KERBAU PERAH (Bubalus bubalis) DI
KABUPATEN ENREKANG
OLEH:
RESKI OLIVIA DURI
O111 11 117
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
SKRIPSI
ii
DETEKSI Toxocara vitulorum PADA KERBAU PERAH (Bubalus bubalis) DI
KABUPATEN ENREKANG
RESKI OLIVIA DURI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
iii
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam skripsi saya yang berjudul Deteksi Toxocara vitulorum pada Kerbau Perah
(Bubalus bubalis) Di Kabupaten Enrekang karya saya sendiri dengan bimbingan Prof.
Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc dan drh. Junwar, M.Si serta belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir
skripsi ini.
Makassar, November 2015
Reski Olivia Duri
O111 11 117
v
INTISARI
RESKI OLIVIA DURI. O111 11 117. Deteksi Toxocara vitulorum pada Kerbau
Perah (Bubalus bubalis) Di Kabupaten Enrekang. Dibimbing oleh LUCIA
MUSLIMIN dan JUNWAR
Penyakit yang ditimbulkan akibat infeksi Toxocara vitulorum adalah
toxocariasis. Penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kejadian infeksi Toxocara vitulorum pada
kerbau perah di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Penelitian ini dilaksanakan
pada Juni 2015 jumlah populasi kerbau perah di Kecamatan Curio Kabupaten
Enrekang sebanyak 500 ekor dan sampel feses yang diambil yaitu sebanyak 28
sampel. Sampel dikumpulkan dengan menggunakan metode Simple Random
Sampling. Sampel feses di uji menggunakan uji apung, dan diamati dengan
pembesaran 100 x menggunakan mikroskop. Analisis data yang digunakan pada
penelitian ini adalah analisis deskriptif . hasil pengujian menunjukkan bahwa seluruh
sampel negatif yang artinya tidak terdeteksi adanya infeksi Toxocara vitulorum pada
kerbau perah di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang.
Kata Kunci : Deteksi, Toxocara vitulorum, kerbau perah, Curio, Enrekang
vi
Abstract
RESKI OLIVIA DURI. O11111117. Detection of Toxocara vitulorum Squeeze
Buffalo (Bubalus bubalis) in Enrekang Regency. Guidanced by LUCIA MUSLIMIN
and JUNWAR
Toxocariasis is a desease that caused by Toxocara vitulorum infection. This
desease can causes high economic loss. This study purposed to detect the infection of
Toxocara vitulorum in Squeeze Buffalo in Curio subdistrict, Enrekang Regency. This
study held in June 2015, with populations amount of Squeeze Buffalo in Curio
subdistrict, Enrekang Regency are 500 buffalos and feses samples that used are 28
samples. The samples collected with Simple Random Sampling method. Feses samples
were tested by Float Examination (Tes Apung), and observed with Microscop. Data
analysis that used in this study is analisis deskriptif. The examination shows negative
result for all samples means that infection of Toxocara vitulorum in Squeeze Buffalo
in Curio subdistrict, Enrekang Regency is undetected.
Key words : Detection, Swamp Buffalo, Curio, Enrekang.
vii
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Kalosi 03 September 1992, merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Supriadi dan Sanuria.
Penulis memasuki pendidikan formal sekolah dasar di SD
Negeri No. 57 Sangeran Kecamatan Anggeraja, Kabupaten
Enrekang pasa tahun 1999 dan tamat pada tahun 2004. Pada tahun
yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di tingkat Sekolah
Menengah Pertama di SMP 3 Alla dan tamat pada tahun 2007,
kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah SMA 1 Anggeraja
dan tamat pada tahun 2010. Pada tahun 2011 penulis mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang perguruan
tinggi di Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran
UniversitasHasanuddin.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
ALHAMDULILLAH, Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah
S.W.T karena atas berkat rahmat dan kehendak-Nya dalam memberikan hidayah dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Deteksi
Toxocara vitulorum pada Kerbau Perah (Bubalus bubalis) di Kabupaten
Enrekang”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan/S.KH dalam program pendidikan strata
satu Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis merasa sangat
bersyukur mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin,
2. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran
Hewan Universitas Hasanuddin,
3. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku pembimbing utama dan drh. Junwar,
M.Si selaku pembimbing anggota atas dedikasi ilmu, waktu, motivasi, dan
kesabarannya dalam membimbing mulai dari usulan penelitian, pelaksanaan
penelitian, dan penyusunan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan,
4. Kepada drh. Adriani Ris. M.Sc sebagai Dosen penguji atas motivasi, saran, dan
kritiknya kepada penulis,
5. Dinas Peternakan Kabupaten Enrekang beserta staf yang telah memberikan
fasilitas dan bantuan selama penelitian,
6. Seluruh dosen beserta staf pengelola pendidikan Program Studi Kedokteran
Hewan yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses pendidikan,
7. Drh. Fitri Amaliah, dan seluruh staf Balai Besar Veteriner Maros yang telah
membantu proses penelitian serta memberikan dukungan selama proses penelitian,
8. Paramedik dan rekan-rekan satu tim di lokasi penelitian yang senantiasa
meluangkan waktu, memberikan bantuan, dan atas kerja samanya selama
penelitian,
9. Terkhusus kedua orang tua tercinta Ayahanda Supriadi dan Ibunda Sanuria atas
cinta kasih dan untaian kasih sayang serta doa yang tidak pernah putus. Demikian
pula saudara(i)ku tercinta Rahmat dan Sherly serta keluarga besar atas segala
dukungan dan bantuannya, baik secara spiritual, moral, maupun material.
10. Masyarakat Kecamatan Curio khususnya para peternak yang telah membantu
pengumpulan data penelitian serta informasi-informasi penting yang dibutuhkan
peneliti dan dengan rasa kekeluargaan menerima dan membantu penulis selama
penelitian berlangsung,
11. Seluruh rekan mahasiswa(i) Angkatan 2011 yang telah memberikan semangat dan
motivasi kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Program Studi
ix
Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin dan membantu penulis secara
langsung maupun tidak langsung dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan
skripsi ini,
12. Kepada sahabat dekat Abd. Malik yang telah banyak memberikan bantuan,
semangat, doa, waktu dan motivasi.
13. Sahabat yang selalu memberikan semangat, motivasi dan bantuannya Yaumil
Ni’mah, Kuntum Khoirani, Wahyuni, Murtafia Daris, Sry Febrianti, Muspianto,
Ceng, serta sahabat yang selalu setia mendengarkan, memberikan masukan dan
kritikan,
Sekali lagi terima kasih kepada semua pihak yang juga tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu atas segala bantuan dan kerja samanya. Harapan dan doa
penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena kemampuan penulis dan sebagai
manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Oleh karena itu, penulis
senantiasa mengharapkan tanggapan, kritik, dan saran yang konstruktif sehingga
penulis dapat berkarya dengan lebih baik lagi kedepannya. Aamiin
Makassar, November 2015
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN iii
PERNYATAAN iv
INTISARI v
ABSTRAK vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTRA GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
1.3.1 Tujuan Umum 2
1.3.2 Tujuan Khusus 2
1.3.3 Manfaat Penelitian 2
1.4 Hipotesis 2
1.5 Keaslian Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Kerbau (Bubalus bubalis) 3
2.2 Karakteristik Kerbau 4
2.3 Toxocara vitulorum 5
2.3.1 Etiologi 5
2.3.2 Epidemiologi 6
xi
2.3.3 Siklus Hidup 6
2.3.4 Gejala Klinis 8
2.3.5 Diagnosis 8
2.3.6 Patogenesis Toxocariasis 9
2.3.7 Pencegahan dan Kontrol 9
2.3.8 Cara Penularan. 10
2.4 Keadaan Umum Wilayah 10
3 METODELOGI PENELITIAN 12
3.1 Waktu dan lokasi Penelitian 12
3.2 Materi Penelitian 12
3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling 12
3.2.2 Alat 12
3.2.3 Bahan 13
3.3 METODE PENELITIAN 14
3.3.1 Desain Penelitian 14
3.3.2 Pengambilan Sampel 14
3.3.3 Pengujian Laboratorium 14
3.3.4 Analisis Data 14
3.3.5 Kerangka Konsep 15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16
5 PENUTUP 23
5.1 Kesimpulan 23
5.2 Saran 23
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Sampel Feses Kerbau Perah 19
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Kerbau Lumpur Betina 4
Gambar 2 : Morfologi Cacing Jantan dan Betina Toxocara vitulorum 5
Gambar 3 : Telur Toxocara vitulorum 6
Gambar 4 : Siklus Hidup Toxocara vitulorum 7
Gambar 5 : Diagram Pemberian Obat Cacing 16
Gambar 6 : Diagram Pengalaman Beternak 17
Gambar 8 : Diagram Sistem Pemeliharaan Kerbau 17
Gambar 9 : Diagram Kondisis Kerbau Perah 18
Gambar 10 : Eimeria sp. 20
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Uji Laboratorium BBV Maros, Identifikasi Telur Cacing
Toxocara vitulorum pada Kerbau Perah di Kecamatan Curio,
Kabupaten Enrekang.
Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatn Proses Pengambilan Sampel dan Pemeriksaan
Sampel di Laboratorium..
Lampiran 3. Kuisioner Deteksi Toxocara vitulorum pada Kerbau Perah di
Kabupaten Enrekang.
Lampiran 4. Hasil Kuisioner.
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman hayati
sangat melimpah. Kerbau rawa (Bubalus bubalis) adalah salah satu
keanekaragaman hayati di Indonesia yang termasuk jenis ternak ruminansia yang
keberadaannya relatif kurang diperhatikan, namun demikian, secara nasional
kontribusinya terhadap pembangunan peternakan cukup berperan penting, dan
memberikan manfaat begitu besar bagi kehidupan masyarakat, salah satunya yaitu
untuk konsumsi sehari-hari dan juga sebagai barang yang bernilai ekonomi, sosial
dan budaya. Hal ini disebabkan peranan kerbau secara umum menghasilkan
daging, susu, kulit, dan sebagai ternak kerja (Karim, 2012).
Ternak kerbau merupakan salah satu sumber produksi susu dan daging yang
dimanfaatkan oleh masyarakat di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Kerbau
yang dipelihara dimanfaatkan dagingnya untuk dikonsumsi dan susunya sebagai
bahan baku pembuatan dangke (Anonim, 2012).
Berdasarkan aspek nutrisi dan fisiologisnya tidak jauh berbeda dengan sapi,
sehingga ternak ini cocok dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi
daging nasional. Peranan ternak kerbau cukup signifikan dalam menunjang
swasembada daging sapi. Saat ini pertumbuhan produksi hasil ternak kerbau
berupa daging salama 20 tahun terahir rata-rata 6,70%. Pertumbuhan produksi
daging ini masih jauh dari angka harapan yaitu 7,10% (Purwanta, 2006). Penyakit
yang disebabkan oleh cacing parasit saluran pencernaan menjadi salah satu
penyebab rendahnya produksi daging oleh ternak, salah satunya yaitu cacing
Toxocara vitulorum (Mufiidah et al, 2013).
Toxocara vitulorum merupakan parasit cacing yang hidup di saluran
pencernaan hewan ruminansia besar seperi kerbau. T. Vitulorum banyak
ditemukan di daerah tropis maupun subtropis. Cacing ini menyebabkan morbiditas
dan mortalitas yang cukup tinggi khusunya pada hewan muda. Prevalensi
toxocariasis di Malang sebesar 76%, di Surabaya 68,2%, Sumedang sebesar
42,31%, Kabupaten Pasuruan 21,33%, di Bali Timur 36,4%, Kabupaten Kebumen
33% (Yudha et al, 2014)
Berdasarkan survei di bebrapa pasar hewan di Indonesia menunjukkan bahwa
90% hewan ternak kerbau dan sapi mengidap penyakit cacing (Abidin, 2002).
penyakit cacingan (Toxocariasis) sangat menekan produktivitas ternak, hal ini
menjadi beban ekonomi bagi peternak secara berkepanjangan jika tidak dilakukan
pengendalian. Pedet yang menderita Toxocariasisakan kehilangan bobot badan
sebanyak 16 kg pada umur 12 minggu dibanding pedet yang bebas cacingan.
Kerugian yang diakibatkan oleh parasit diantaranya penurunan produksi dan
berat badan, turunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit lain bahkan dapat
menimbulkan kematian. Kejadian toxocariasis pada ternak di Indonesia masih
tergolong tinggi oleh sebab itu perlu dilakukan pendeteksian parasit T. vitulorum
pada kerbau sehingga dapat dilakukan pengendalian untuk menekan tingkat
kejadian dan kerugian yang ditimbulkan akibat parasit tersebut.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari penelitian ini
adalah apakah terdapat kejadian infeksi parasit (Toxocara vitulorum). Pada
Kerbau Perah (Bubalus bubalis) di Kabupaten Enrekang.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi adanya (Toxocara
vitulorum) pada Kerbau Perah (Bubalus bubalis) di Kabupaten Enrekang.
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengidentifikasi parasit (Toxocara vitulorum). Pada Kerbau Perah
(Bubalus bubalis) di Kabupaten Enrekang.
1.3.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keberadaan
kejadian parasit (Toxocara vitulorum) pada ternak kerbau perah. Informasi ini
diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan
(Pemerintah daerah, Balai Besar Veteriner Maros, dan peternak) dalam upaya
pencegahan dan pengendalian penyakit parasiter khususnya kejadian parasit
(Toxocara vitulorum) di Kabupaten Enrekang.
1.4 Hipotesis Ditemukan minimal satu ekor kerbau perah di Kabupaten Enrekang yang
terdeteksi adanya parasit (Toxocara vitulorum).
1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian tentang Deteksi parasit (Toxocara vitulorum) pada kerbau di
Kabupaten Enrekang belum pernah dilakukan.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerbau (Bubalus bubalis)
Kerbau adalah ternak asli daerah tropis yang lembab, dalam kehidupannya
ternak tersebut sangat menyukai air. Ada 2 tipe kerbau yaitu kerbau sungai (river
buffalo) dengan 50 pasang kromosom dan tipe rawa/lumpur (swamp buffalo)
dengan 48 pasang kromosom dengan total populasi sekitar 2.246.000 ekor (Talib,
2011). Kerbau sungai hanya ditemukan di daerah Sumatera Utara, sedangkan
kerbau lumpur hampir tersebar di seluruh daerah di Indonesia, terutama di
provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kerbau lumpur dipelihara terutama sebagai
ternak kerja dan untuk produksi daging, namun di beberapa daerah kerbau ini juga
diperah (Sjamsul, 2008; Wirdahayati, 2008).
Ternak kerbau merupakan hewan ruminansia yang bernilai ekonomi tinggi,
ternak kerbau dapat dijadikan usaha pokok petani, selain kegunaan membantu
mambajak sawah. Kerbau yang dipelihara oleh masyarakat biasanya untuk tujuan
keperluan tenaga kerja maupun untuk diambil dagingnya. Kerbau juga
mempunyai manfaat yang besar dalam sosial buadaya dan dapat dijadikan ukuran
martabat seseorang dalam masyarakat serta dapat pula sebagai hewan kurban pada
acara-acara ritual (Karim, 2012).
Dari sisi performans umum, maka kerbau lumpur serupa satu sama lainnya di
Indonesia, tetapi karena ada penerapan beberapa karakter kearifan lokal yang
sangat intensif maka timbul beberapa keragaman pada kerbau lumpur di
Indonesia, yaitu timbulnya variasi pada warna, ukuran tubuh dan kemampuan
adaptasi. Disamping itu juga muncul berbagai nama pada kerbau tersebut
berdasarkan nama tempat keberadaannya maupun berdasarkan warnanya. Maka
dikenal berbagai nama seperti kerbau Aceh, Binanga, Sumba, Sumbawa, Kalang,
Pampangan, Belang dan lainnya (Tiesnamurti dkk, 2011).
Klasifikasi ilmiah ternak kerbau lumpur adalah sebagai berikut menurut
Azimah (2013):
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Subfamili : Bovinae
Genus : Bubalus
Spesies : Bubalus bubalis
Berdasarkan penciptaannya, kerbau mempunyai beberapa karakter biologis
yang berbeda dengan sapi yang terlihat pada keunggulan maupun kelemahan dari
ternak tersebut jika dibandingkan dengan sapi potong. Beberapa hal tersebut
antara lain (a) mempunyai ketahanan terhadap parasit yang lebih tinggi karena
mempunyai kulit yang lebih tebal, (b) Memanfaatkan pakan dengan kandungan
serat kasar tinggi dengan kualitas rendah karena komponen biologis organisme
rumennya yang berbeda dengan sapi, (c) Menghasilkan daging yang rendah
4
kandungan kolesterol yaitu hampir 50% lebih rendah dari kolestrol daging sapi
dalam keadaan segar(Sompotan, 2011), (d) Kandungan lemak susu segar kerbau
lebih tinggi 100-300%, total protein lebih tinggi 11,4%, makro mineral Fe, Ca dan
P lebih tinggi 30-118%, Vit A lebih tinggi dan kandungan bahan bioprotektif juga
lebih tinggi sedangkan kolestrol lebih rendah dari kandungan dalam susu sapi. Hal
tersebut penting untuk dipopulerkan karena sudah jelas susu kerbau maupun
daging kerbau ternyata lebih baik sebagai pangan kesehatan dibandingkan dengan
susu dan daging sapi (India Dairy, 2011).
2.2 Karakteristik Kerbau Secara umum kerbau lumpur (Swamp buffalo) memiliki ciri-ciri warna kulit
coklat kehitam-hitaman, tubuhnya relatif pendek dan kaki pendek. Berat badan
kerbau dewasa berkisar antara 300-600 kg tergantung kondisi dan genetis ternak
(Azimah, 2013).
Rambut panjang di tengah antara leher, telinga relatif kecil, tengkorak kecil
memanjang, tanduk berbentuk bulan menyabit (pipih), kerbau tidak memiliki
punuk dan gelambir. Semua kerbau mempunyai tanduk yang lebar, pipih dan
hampir berbentuk segi empat panjang, arah pertumbuhan tanduk bervariasi
(Karim, 2012).
Bulu pada kerbau pendek dan kaku, menutup seluruh badan, agak panjang
tersebar sehingga kulit kerbau yang bersangkutan tetap kentar jelas. Hanya di
leher, di pusar kepala dan di bagian muka kuku, bulu lebih tebal. Tanduk kerbau
terletak pada kepala dengan dasar yang berdekatan satu sama lain, arah tanduk
berbentuk busur. Panjangnya berbeda-beda tetapi biasanya 50-70 cm. Umur
kerbau pada umumnya dapat dihitung paling tinggi sampai kurang lebih 20 tahun,
oleh para pengembala kerbau lazimnya dinilai berdasarkan panjang dan bentuk
tanduk yang bersangkutan dengan lekuk-lekuk melintang yang kelihatan diatasnya
(Karim, 2012).
Gambar 1. Kerbau Lumpur Betina
5
2.3 Toxocara vitulorum
2.3.1 Etiologi
Toxocara vitulorum merupakan salah satu cacing nematoda terbesar yang
memiliki distribusi luas di seluruh dunia, namun keberadaannya paling sering
dijumpai pada negara tropis dan subtropis. Prevalensinya sangat tinggi di negara
tropis. Hal tersebut sering menyebabkan masalah pada sapi (Bos spp.) dan kerbau
(Babalus spp.) di Asia Tenggara dan Afrika. Toxocara vitulorum memiliki
permukaan tubuh yang lunak dan tembus pandang. Cacing betina memiliki
panjang 150-400 mm dengan lebar 51-70 mm. Cacing jantan memiliki ukuran
yang lebih kecil, yaitu memiliki panjang 106-275 mm dan lebar 25-41 mm.
Cacing dewasa memiliki 3 bibir yang berfungsi dengan baik yang terdapat pada
dorsal dan subventral. Masing-masing bibir dilengkapi dengan beberapa papilla
besar dan kecil (Buzetti dkk, 2001).
Gambar 2. Morfologi Cacing Jantan dan Betina Toxocara vitulorum
Adapun taksonomi dari Toxocara vitulorum menurut Kania (2012) adalah
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Family : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara vitulorum
Telur cacing Toxocara vitulorum memiliki warna kekuning-kuningan.
Bentuknya agak bulat dan memiliki dinding yang tebal. Dinding tersebut sebagai
pertahanan telur cacing agar dapat bertahan hidup lama pada lingkungan sampai
termakan oleh inang. Telur tersebut dapat ditemukan setelah melakukan
pemeriksaan tinja (Yudha, 2014). Pengamatan melalui scanning electron
microscope (SEM) dapat dilihat T. vitulorum memiliki permukaan dinding
berlubang dengan struktur amorf (Koesdarto, dkk, 1999).
6
Gambar 3. Telur Toxocara vitulorum
2.3.2 Epidemiologi
Jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, prevalensi toxocariasis
pada induk maupun pedet sapi bali di Bali relatif lebih rendah dimana prevalensi
toksokariasis pada sapi dan kerbau di Malang telah dilaporkan oleh Trisnuwati, et
al. (1991) sebesar 76%, sedangkan di Surabaya pada anak sapi umur kurang dari 2
bulan prevalensinya adalah 68,2%, pada umur 2-4 bulan sebesar 51,4% dan umur
kurang dari 6 bulan mencapai 43,4% (Koesdarto et al, 1999). Kejadian
toksokariasis pada anak kerbau di Kabupaten Subang Jawa Barat telah dilaporkan
oleh Carmichael and Martindah (1996). Mereka melaporkan bahwa 14 dari 21
sampel feses dari anak kerbau umur 21-62 hari ditemukan telur T. Vitulorum 100
epg-104.000 epg. Penemuan telur T. Vitulorum yang lebih dari 100.000 epg bisa
merupakan suatu faktor penyebab kematian anak-anak kerbau maupun anak-anak
sapi (Carmichael, 1996).
Prevalensi toksokariasis akibat infeksi T. vitulorum pada pedet di Nigeria
adalah 61,4-91,1% (Agustina et al, 2013), dan di Vietnam 8% dari 74 pedet umur
1-2 bulan ditemukan telur cacing T. Vitulorum dalam fesesnya (Holland et al,
2000). Infeksi paten toksokara pada umumnya terjadi pada hewan-hewan yang
masih muda dan sangat jarang ditemukan pada hewan-hewan dewasa
(Estuningsih, 2005).
2.3.3 Siklus Hidup
Toxocara vitulorum biasanya lebih sering ditemukan pada kandang-kandang
yang sudah tercemar oleh parasit tersebut. Peternakan ruminansia yang sudah
tercemar biasanya tidak segera dapat dibebaskan karena sulitnya memutus mata
rantai daur hidup cacing tersebut. Hal ini disebabkan karena tebalnya dinding telur
Toxocara vitulorum. Daur hidup Toxocara vitulorum salah satunya dapat melalui
kolostrum. Cacing dewasa hidup di bagian depan usus halus dan sanggup
membebaskan telur dalam jumlah banyak. Seekor cacing betina mampu bertelur
sebanyak 200.000 telur/hari. Telur dibebaskan bersama tinja dan sangat tahan
terhadap udara dingin, panas dan kekeringan (Yudha, 2014).
Telur Toxocara vitulorum mampu bertahan hidup di alam selama 5 tahun.
Di tempat yang lembab dan hangat telur mengalami embrionase sehingga
7
terbentuk larva stadium kesatu, kedua, dan ketiga. Stadium terahir tersebut yang
dicapai dalam beberapa minggu bersifat infektif dan dapat menyebabkan hospes
lain tertular. Larva jarang menetas diluar telur dan yang paling umum adalah
penetasan setelah telur infektif tertelan setelah makanan atau air minum. Setelah
telur menetas di dalam usus halus, larva yang bebas bermigrasi dengan jalan
menembus dinding usus, yang selanjutnya mencapai vena porta hepatitis, hati,
dan dengan mengikuti aliran darah sampai di bronchus, paru-paru, tenggorokan
dan kemudian pindah ke pharynx. Selain itu, larva cacing juga akan bermigrasi ke
kelenjar susu. Dengan ikut makanan, air minum atau saliva akan sampai di usus
halus lagi untuk tumbuh menjadi dewasa. Waktu yang diperlukan oleh larva
dalam mencapai hati biasanya lebih kurang 24 jam sejak telur infektif tertelan, dan
untuk mencapai usus diperlukan waktu 3-4 minggu. Untuk menjadi dewasa
sampai bertelur dibutuhkan waktu lebih kurang 5 minggu. Jadi, bila dihitung sejak
infestasi pertama sampai mampu bertelur diperlukan waktu lebih kurang 8-9
minggu. Pedet memperoleh larva T. vitulorum induknya melalui kolostrum,
hingga pada umur 10 hari telah mengandung cacing dewasa, sehingga telur cacing
dapat ditemukan pada umur 2-3 minggu. Waktu pedet umur 5 bulan cacing
dewasa mungkin dikeluarkan secara spontan (Subronto, 2004). Beberapa hasil
penelitian Buzetti et al. (2001), telur T. Vitulorum sudah tidak ditemukan lagi di
dalam feses kerbau antara hari ke 30-120 setelah infeksi yang bertepatan dengan
turunnya level antibodi dalam serum dan diduga pada saat itu cacing dewasa telah
keluar dari usus (Yudha, 2014).
Gambar 4. Siklus Hidup Toxocara vitulorum
8
larva T. Vitulorum pada kerbau akan ditemukan di dalam kolostrum 1-5
hari setelah kelahiran dan 90% larva tersebut berada dalam kolostrum selama 8
hari. Namun, pada hari ke-11 sudah tidak ditemukan lagi di dalam susu (Yudha,
2014).
2.3.4 Gejala Klinis
Tanda-tanda klinis toxokariasis pada hewan sangat bervariasi dan
tergantung dari umur hewan. Gejala yang dapat ditimbulkan antara lain tidak mau
makan, sakit didaerah perut, diare, dehidrasi, penurunan berat badan dan tinja
berbau khas. Infeksi toxocara vitulorum pada kerbau dan sapi lebih banyak
ditemukan pada anak kerbau dan anak sapi dari pada yang dewasa (Rian, 2004).
Pneumonia akan terlihat pada anak sapi yang terinfeksi toxocara karena
adanya migrasi larva ke paru-paru. Selain itu, pada pedet juga akan terjadi diare
dan kekurusan akibat turunnya berat badan dan tidak mau makan. Estuningsih
(2005) melaporkan bahwa migrasi larva toxocara pada anak sapi bisa
menyebabkan kerusakan pada hati dan paru-paru. Selanjutnya keberadaan cacing
dewasa pada usus kecil akan menyebabkan diare dan turunnya berat badan, serta
dalam keadaan infeksi berat akan terjadi kematian sekitar 35-40%. Pedet yang
tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan. Infeksi toxocara pada pedet
digolongkan dalam 3 tingkatan yaitu, infeksi ringan dengan 5.000 epg, infeksi
sedang 5.000- 10.000 epg, dan infeksi berat lebih dari 10.000 epg. Jika kejadian
toxocariasis di lapangan tidak terkontrol dengan baik maka prevalensi penyakit
ini bisa mencapai 100% dengan mortalitasnya mencapai 80%. Dari beberapa
literatur disebutkan bahwa infeksi toxocariasis pada anak kerbau lebih berat
daripada anak sapi, akan tetapi keberadaan penyakitnya tidak jelas dan tingkat
kematiannya paling banyak terjadi pada anak sapi (Estuningsih, 2005).
2.3.5 Diagnosis
Infeksi paten T.vitulorum pada anak kerbau dapat didiagnosa secara tentatif
mulai dari tanda-tanda klinis yang terlihat dan umur dari hewan-hewan tersebut.
Konfirmasi diagnosis harus dilakukan dengan sejarah penyakit, adanya
pneumonia dan ditemukan telur cacing Toxocara dalam feses. Telur Toxocara
berbentuk bulat berwarna kecoklatan, permukaannya berbintik-bintik dan dinding
luarnya sangat tebal.
Pemeriksaan feses dengan uji apung merupakan salah satu metode untuk
mendeteksi adanya infeksi cacing. Dengan uji apung tersebut, telur cacing akan
mengapung dalam larutan garam jenuh dan dapat dihitung dalam kotak hitung. Uji
apung dalam pemeriksaan telur Toxocara spesifitasnya adalah 51%, sedangkan
sensitivitasnya 100%. Pemeriksaan oleh uji apung tersebut hanya bisa digunakan
untuk mendeteksi adanya infeksi paten, sedangkan untuk mendiagnosa adanya
infeksi prepaten bisa dilakukan dengan uji serologi. Uji serologi dengan Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi antibodi T. vitulorum pada
kerbau atau sapi dengan menggunakan antigen Excretory/Secretory (ES) dari
larva yang infektif telah dikembangkan oleh Buzetti et al. (2001). Uji serologi
juga telah diterapkan untuk melakukan penelitian seroepidemiologi toxocariasis
pada manusia (Yudha, 2014).
9
2.3.6 Patogenesis Toxocariasis
Dalam usus halus, cacing dewasa mengambil nutrisi dari hospes definitif-
nya dengan mengakibatkan kelukaan dinding usus dan mengambil nutrisi dari
sirkulasi. Berdasarkan siklus hidupnya, larva menyebabkan penyakit dengan fase
migrasi dengan meninggalkan lesi pada organ dan jaringan yang dilalui.
Keparahannya tergantung pada jumlah, baik pada cacing dewasa maupun pada
larva (Agna, 2009).
Perjalanan larva infektif Toxocara melalui jaringan paru-paru dan hati
dapat menyebabkan terjadinyaedema pada kedua organ tersebut. Paru-paru yang
mengalami edema mengakibatkan batuk, dispnoea, selesma, dengan eksudat yang
berbusa dan kadang mengandung darah (Subronto, 2006).
Adanya cacing yang banyak menyebabkan penurunan bahan makanan
yang diserap, hingga terjadi hipoalbuninemia yang selanjutnya menyebabkan
kekurusan dengan busung perut (ascites) (Agna, 2009).
2.3.7 Pencegahan dan Kontrol
Toxocara vitulorum menyebabkan kematian yang tinggi pada hewan muda
dibandingkan pada hewan dewasa. Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian
terdap T.vitulorum perlu dilakukan untuk menekan pertumbuhan dan infeksi
cacing tersebut. Pencegahan terhadap T.vitulorum dapat dilakukan dengan atau
tanpa bahan-bahan kimiawi (Junquera, 2014).
Tingkat kematian akibat infeksi T.vitulorum lebih tinggi pada hewan muda
dibanding hewan dewasa. Infeksi pada hewan muda dapat terjadi pada saat baru
lahir melalui induknya, oleh karena itu pencegahan yang paling efektif yaitu
mencegah infeksi pada indukknya. Telur T.vitulorum dikeluarkan oleh hewan
muda saat di padang rumput kemudian mengkontaminasi padang rumput yang
menyebabkan resiko tinggi terhadap infeksi T.vitulorum. Pencegahan yang
dilakukan yaitu membuang manur sehingga dapat mengurangi kontaminasi
terhadap telur T.vitulorum. Jika hewan tidak dapat dijauhkan dari padang rumput
yang terkontaminasi, maka harus dilakukan pencegahan terhadap hewan tersebut
dengan pemberian anthelmentik serta desinfeksi kandang (Junquera, 2014).
Pengendalian yang disarankan untuk menekan tingkat kejadian penyakit
akibat T.vitulorum diantaranya menejemen pengembalaan dan kesehatan hewan
yang baik. Menejemen pengembalaan yang baik pada hewan ternak dapat
menekan tingkat pertumbuhan T.vitulorum. Hal-hal yang dapat dilakukan yaitu
mengistrahatkan kubangan lumpur selama beberapa bulan. Hal ini dilakukan agar
larva T.vitulorum menjadi inaktif karena larva T.vitulorum rentan terhadap sinar
matahari dan lingkungan yang kering. Rotasi pengembalaan juga dapat menekan
jumlah T.vitulorum. Rotasi pengembalaan dilakukan dengan membagi jumlah
ternak kedalam beberapa petak padang rumput kemudian digembalakan secara
bergilir pada setiap area dengan memperpendek waktu pengembalaan dan
memperpanjang waktu istrahat (Junquera, 2004).
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terinfeksi
T.vitulorum yaitu menghindari kepadatan ternak yang berlebihan dipadang
rumput, mengganti tempat istrahat di malam hari secara periodik, rotasi
pengembalaan, dan menghindari ternak dari lingkungan yang terlalu lembab.
10
Pencegahan dapat dilakukan juga dengan pemberian anthelmentik.
Antihelmentik berspektrum luas efektif terhadap cacing dewasa dan larva di
saluran pencernaan seperti benzimidazole (albendazole, febantel, fenbendazole,
exfendazole dll), levamisole dan beberapa golongan makrosiklik lakton
(abamectin, doramectin, eprinomectin, ivermectin, moxidectin). Tidak semua
anthelmentik efektif terhadap larvae migransdan larva yang menetap
padajaringan. Piperazine dapat mengurangi ekskresi telur T.vitulorum sebanyak
93% dalam waktu 7 hari setelah pengobatan (Terry, 2013).
2.3.8 Cara Penularan.
Terdapat tiga cara penularan cacing T.vitulorum, antara lain memakan telur
dan tertelan tanpa sengaja, lewat plasenta pada ke fetus serta lewat kolostrum pada
waktu menyusui (intramamaria) dengan induknya (Estuningsih, 2005; Levine,
1994).
Telur T.vitulorum saat dikeluarkam melalui feses dari hewan yang terinfeksi
adalah belum infektif, dan akan menjadi infektif dalam waktu 3-6 minggu yang
sangat tergantung pada tipe tanah dan cuaca seperti temperatur dan kelembapan.
Telur toxocara yang infektif berdinding tebal, sangat tahan terhadap lingkungan
dan tetap infektif sampai beberapa tahun lamanya. Apabila hewan memakan telur
yang infektif maka hampir dipastikan hewan tersebut akan terinfeksi dengan
cacing toxocara (Estuningsih, 2005; Levine, 1994).
Penularan T.vitulorum melalui kelenjar susu (transmamary infection) pada
anak kerbau/sapi merupakan cara penularan T.vitulorum yang utama. Kira-kira 8
hari sebelum melahirkan, larva yang berada di dalam hati dan paru-paru yang
tadinya tidak aktif akan mulai bergerak dan bermigrasi ke kelenjar susu. Larva
T.Vitulorumakan ditemukan di dalam air susu antara 2-18 hari setelah sapi
melahirkan dan 90% akan ditemukan pada hari ke-11 setelah kelahiran. Pada
kerbau, larva T.vitulorum ditemukan dalam kolostrum selama 8 hari (Estuningsih,
2005; Levine, 1994).
2.4 Keadaan Umum Wilayah
Kabupaten Enrekang adalah salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi
Selatan dengan Ibukota Enrekang. Secara administrasi Kabupaten Enrekang
terdiri dari 11 Kecamatan dan 102 Desa Kelurahan. Enam kecamatan terletak di
Kawasan Barat Enrekang yaitu Kecamatan Enrekang, Cendana, Maiwa,
Anggeraja, Alla, dan Masalle. Sementara Lima kecamatan berada di Kawasan
Timur Enrekang yakni, Kecamatan Bungin, Baraka, Malua, Buntu Batu, dan
Curio (Wahab, 2009).
Topografi wilayah Kabupaten Enrekang pada umumnya bervariasi berupa
perbukitan, pegunungan, lembah dan sungai dengan ketinggian 47 - 3.293 m dari
permukaan laut serta tidak mempunyai wilayah pantai. Secara umum keadaan
Topografi wilayah didominasi oleh perbukitan yaitu sekitar 84,96% dari luas
wilayah Kabupaten Enrekang sedangkan yang datar hanya 15,04%. Potensi
peternakan pada dasarnya memiliki prospek pengembangan yang potensial,
prospek pengembangan sub sektor peternakan meliputi ternak besar yaitu sapi,
11
kuda, kerbau, kambing dan ternak kecil meliputi ayam ras dan ayam buras, ayam
broiler serta itik.Populasi kerbau pada tahun 2009 mencapai 2,641 ekor. Populasi
sapi pada tahun 2009 terdiri dari ; sapi potong sebanyak 30.168 ekor terjadi
peningkatan sebanyak 4476 ekor dibanding tahun 2008 yang lalu; sapi perah
sebanyak 1.508 ekor. Populasi kuda yang sempat terdata sampai tahun 2009
mencapai 981 ekor. Populasi kambing pada tahun 2009 mencapai 34.941 ekor
(Wahab, 2009).
Berdasarkan hasil sensus pertanian 2013 apabila dirinci menurut wilayah,
kecamatan yang memiliki kerbau dan sapi paling banyak adalah kecamatan
Enrekang dengan jumlah populasi sebanyak 13.153 ekor, kemudian Kecamatan
Maiwa (11.096 ekor), dan Kecamatan Baraka (4.370 ekor). Sedangkan kecamatan
yang memiliki kerbau dan sapi paling sedikit adalah Kecamatan Baroko dengan
jumlah populasi sebanyak 799 ekor (Wahab, 2009).
12
3 METODELOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2015 di Kecamatan Curio Kabupaten
Enrekang. Pemeriksaan sampel feses dilakukan diLaboratorium Parasitologi,
Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros.
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling
Populasi dalam penelitian ini adalah ternak Kerbau yang dipelihara oleh
masyarakat di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang sebanyak 500 ekor (Dinas
Peternakan Enrekang, 2014).
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 28 ekor kerbau yang
tersebar di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Berdasarkan formulasi deteksi
keberadaan penyakit (Martin et al., 1987):
Keterangan :
n : Besaran sampel yang digunakan.
a : Tingkat kepercayaan
D : Jumlah hewan sakit dalam populasi.
N : Jumlah populasi.
n = [1 – (1- a)1/D
] [N – (D – 1)/2]
n = [1 – (1- 0,95)1/50
] [500 – (50 – 1)/2]
n = [1 – 0,942] [500 – 24,5]
n = 0,058 x 475,5
n = 27,579 = 28
Dengan asumsi tingkat prevalensi T. vitulorum. Di Kecamatan Curio
Kabupaten Enrekang sebesar 10%, tingkat kepercayaan 95%, dan besaran
populasi 500 ekor, sehingga diperoleh besaran sampel sebesar 28 ekor.
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random
sampling dengan mengambil sampel yang terdapat di Kecamatan Curio
Kabupaten Enrekang.
3.2.2 Alat
Alat yang digunakan yaitu object glass, cover glass, mikroskop (pembesaran
10 x 10), sentrifus, tabung sentrifus, saringan teh, mortar, botol pot plastik, label,
coolbox, pulpen dan kamera.
n = [1 – (1- a)1/D
] [N – (D – 1)/2]
13
3.2.3 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu feses kerbau, formalin 10 %
dan kapas, garam jenuh (NaCl) atau glukosa.
14
3.3 METODE PENELITIAN
3.3.1 Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,
yaitu suatu jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian mengenai
kejadian Toxocara vitulorumpada Kerbau (Bubalus bubalis) melalui pemeriksaan
feses secara mikroskopis.
3.3.2 Pengambilan Sampel
Pengambilan feses dilakukan secara per rektal, sebanyak kurang lebih 4
gram setiap ekor kerbau. Feses segar dimasukkan ke dalam kantong plastik
bersama dengan kapas yang telah diberi formalin 10 % untuk mencegah
menetasnya telur selama pengangkutan dan penyimpanan. Setiap sampel diberi
label yang memuat keterangan desa tempat pengambilan dan keterangan lain yang
dapat dijadikan sebagai penanda setiap sampel. Setelah itu, sampel dibawa dengan
menggunakan coolbox dari tempat pengambilan sampel, kemudian dimasukkan ke
dalam refrigerator sampai dilakukan pemeriksaan di laboratorium.
3.3.3 Pengujian Laboratorium
Untuk mengetahui sampel yang positif terinfeksi (Toxocara vitulorum),
pemeriksaan dilakukan dengan metode uji apung yaitu pertama ditimbang
sebanyak 2 gram feses, diletakkan dalam botol pot plastik lalu ditambahkan
larutan gula atau garam jenuh sebanyak 30 ml, tinja dan larutan pengapung di
aduk sampai homogen dengan menggunakan mortar, setelah campuran homogen,
di saring menggunakan saringan teh dan hasil saringan di masukkan ke dalam
tabung sentrifus sampai volume 15 ml. Seimbangkan tabung sentrifus, kemudian
di sentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit kemudian ditambahkan
lagi sedikit larutan gula atau garam jenuh sampai permukaan cairan itu tepat
diatas permukaan tabung. Bagian atas tabung diletakkan cover glass, dibiarkan
selama 5 menit, kemudiancover glassdiangkat dan diletakkan ke dalam object
glass lalu periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10.
3.3.4 Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif.
15
3.3.5 Kerangka Konsep
Kerbau Perah
Feses
Positif Negatif
Analisis data
Identifikasi karakteristik telur
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya infeksi Toxocara
vitulorum pada kerbau perah di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015. Jumlah seluruh populasi Kerbau
di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang sebanyak 500 ekor dan sampel yang
diambil yaitu sebanyak 28 ekor. Berdasarkan sampel yang telah diperiksa,
menunjukkan bahwa seluruh sampel feses kerbau perah sebanyak 28 sampel yang
dikumpulkan dengan metode Simple Random Sampling tidak ditemukan adanya
infeksi parasit Toxocara vitulorum.
Sampel feses kerbau yang diteliti berjumlah 28 sampel, yang diambil dari
seluruh populasi di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Semua sampel feses
yang diambil kemudian dibawah ke Laboratorium Parasitologi BBVET Maros
lalu diidentifikasi menggunakan metode apung. Hasil pemeriksaan menunjukkan
bahwa seluruh sampel negatif terinfeksi Toxocara vitulorum yang artinya di
dalam sampel feses tidak ditemukan adanya telur Toxocara vitulorum. Ini
menunjukkan bahwa frekuensi kejadian infeksi parasit Toxocara vitulorum di
Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang adalah 0%.
Menurut Yudha (2014), telur cacing Toxocara vitulorum yang positif
memiliki warna kekuning-kuningan. Bentuknya agak bulat dan memiliki dinding
yang tebal. Dinding tersebut sebagai pertahanan telur cacing agar dapat bertahan
hidup lama pada lingkungan sampai termakan oleh inang. Pengamatan melalui
scanning electron microscope (SEM) dapat dilihat T. vitulorum memiliki
permukaan dinding berlubang dengan struktur amorf (Koesdarto, dkk, 1999).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, seluruh sampel feses yang
diidentifikasi menunjukkan hasil negatif yang berarti di dalam sampel feses tidak
terdapat telur cacing Toxocara vitulorum seperti yang di kemukakan oleh Yudha
(2014).
Berdasarkan hasil wawancara dari peternak dan pengamatan langsung
dilapangan, hal yang diduga memicu tidak timbulnya penyakit parasit tersebut
dikarenakan keadaan fisik ternak kerbau yang baik, cara pemeliharaan yang baik,
kondisi lingkungan yang baik dan kondisi kerbau yang berhubungan dengan
kekebalan tubuh kerbau yang ada di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang.
Analisis univariate terhadap variabel kuisioner menunjukkan pengalaman
beternak kerbau perah (gambar 4.2) yang terbagi atas peternak dengan
pengalaman beternak kerbau perah lebih dari 3 tahun (70%) dan peternak dengan
pengalaman beternak kerbau perah kurang dari 3 tahun (30%). Pengalaman
beternak lebih dari 3 tahun selaras dengan penerapan prinsip manajemen
pemeliharaan yang baik, sehingga hal tersebut dapat menjadi faktor yang diduga
memicu tidak timbulnya kejadian infeksi parasit Toxocara vitulorum pada kerbau
perah di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang.
17
Gambar 4.1 Pemberian Obat Cacing.
Antelmintika atau obat cacing (Yunani, anti = lawan, helmintes = cacing)
adalah obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan.
Dalam istilah ini termasuk semua zat yang bekerja lokal menghalau cacing dari
saluran cerna. Di negara berkembang seperti Indonesia, penyakit cacing
merupakan penyakit yang umum di masyarakat. Infeksinya pun dapat terjadi
secara simultan oleh beberapa cacing sekaligus. Infeksi cacing umumnya terjadi
melalui mulut, melalui luka di kulit, dari telur (kista) atau larva cacing yang ada
dimana-mana. Kebanyakan antelmintika efektif terhadap satu macam cacing.
Kebanyakan antelmintika diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah
makan. Salah satu antelmintika yang sering digunakan adalah dari golongan
benzimedazole. Anthelmintika spectrum luas biasanya menghambat sintesis
mikrotubulus, dengan demikian mengurangi pengambilan glukosa secara
irreversible, mengakibatkan cacing lumpuh. Pemberian anthelmintika spektrum
luas diharapkan mampu mencegah dan mengendalikan populasi cacing, karena
efektif melawan beberapa spesies cacing nematoda gastrointestinal, baik telur,
larva, maupun cacing dewasa.
Ternak yang diberi Antelmintika mengalami penurunan jumlah telur
cacing, sedangkan ternak yang tidak diberi antelmintika sama sekali tidak
mengalami penurunan jumlah telur cacing (Andrianty, 2015). Penelitian tersebut
dapat menjadi patokan tidak adanya kerbau perah yang positif terinfeksi cacing
toxocara vitulorum karena masyarakat di kecamatan Curio Kabupaten Enrekang
sangat memperhatikan kesehatan ternak kerbau perah mereka dengan memberikan
obat cacing. Diagram di atas menjelaskan bahwa ternak kerbau yang sudah pernah
diberi obat cacing sebesar 100% dan kerbau perah yang belum pernah diberi obat
cacing sebanyak 0%.
18
Gambar 4.2 Diagram Penilaian Pengalaman Beternak
Pola pemeliharaan (gambar 4.3) terbagi atas pola pemeliharaan
digembalakan (60%) dan dikandangkan (40%). Pola pemeliharaan kerbau perah di
Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang didominasi oleh pola pemeliharaan
digembalakan (60%). Kerbau perah yang dipelihara dengan pola pemeliharaan
dengan cara digembalakan akan mencegah kondisi cekaman terhadap kerbau,
kerbau yang digembalakan juga diduga dapat menekan kejadian stres pada kerbau
sehingga pola tersebut lebih banyak dilakukan oleh peternak.
Berdasarkan penciptaannya, kerbau mempunyai beberapa karakter biologis
yang berbeda dengan sapi yang terlihat pada keunggulan dari ternak tersebut jika
dibandingkan dengan sapi potong, keunggulan tersebut adalah kerbau mempunyai
ketahanan terhadap parasit yang lebih tinggi karena mempunyai kulit yang lebih
tebal (Sompotan, 2011).
Gambar 4.3 Diagram Penilaian Pola Pemeliharaan Kerbau
19
Gambar 4.4 diagram kondisi kerbau perah
Secara keseluruhan dari total sampel menunjukkan kondisi kerbau (gambar
4.4) yang terlihat sehat (96,5%) dan terlihat sakit (3,5%). Penggolongan kerbau
kategori sehat ataupun sakit dinilai dari kondisi tubuh, ada tidaknya luka terbuka,
feses encer, kurus dan nafsu makan.
Dari pengamatan dilapangan kebanyakan dari kerbau tersebut tidak
berada dikubangan lumpur, sebagian masyarakat mengikat kerbau mereka pada
tanah yang agak kering, seperti yang kita ketahui bahwa pertumbuhan dan
perkembangan cacing sangat produktif pada daerah yang lembab dan basah
seperti kubangan lumpur. Salah satu hal yang sangat berpengaruh besar terhadap
hasil negatif Toxocara vitulorum yang ada di Kecamatan curio Kabupaten
Enrekang yaitu kebanyakan kerbau yang dipelihara oleh warga adalah subsidi
dari pemerintah, sebelum kerbau dibagi kepada masyarakat di Kecamatan Curio
terlebih dahulu Dinas Peternakan Kabupaten Enrekang memberikan obat cacing
untuk mencegah penularan dan terjadinya infeksi cacing pada kerbau tersebut.
Dari hasil pemeriksaan mikroskop melalui uji apung tidak ditemukan
adanya telur cacing Toxocara vitulorum pada 28 sampel yang di ambil di
Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang. Sampel sebanyak 28 yang di ambil untuk
dilakukan pengujian dibawah mikroskop berasal dari kerbau perah betina. Hal ini
bisa menjadi salah satu faktor tidak ditemukannya infeksi Toxocara vitulorum
seperti yang dijelaskan oleh Yudha (2014) bahwa Toxocariasi yang disebabkan
oleh Toxocara vitulorum pada induk jantan lebih sering terjadi dari pada induk
betina karena pada induk betina yang terinfeksi larva ke 2 (L2) tidak berkembang
menjadi (L3) tetapi akan mengalami dormansi dan tetap tinggal di dalam jaringan.
Larva ketiga akan berkembang pada saat induk betina bunting, pada masa
menjelang kelahiran akan terjadi transplacental infection atau transmamary
infection.
20
Tabel 1. Hasil pemeriksaan sampel feses kerbau perah
No Nama Sampel Umur
Toxocara vitolorum
Positif Negatif
1. Agus 6th
√
2. Sangkala 2th
√
3. Mattana 7bl
√
4. Mattana 7th
√
5. Hodding 7bl
√
6. Kadis 1th
√
7. Kadis 4th
√
8. Amiruddin 2th
√
9. Mattana 2th
√
10. Jono 5th
√
11. Ahmad D 1th
√
12. Ahmad D 2th
√
13. Ahmad D 8bl
√
14. Abd.Latif 2th
√
15. Alwi 1th
√
16. Rahaman 2,5th
√
17. Masdar 1th
√
18. Sujono 7bl
√
19. Rusmin L 9bl
√
20. Jusli 1th
√
21. Halim 6bl
√
22. Muhajir 1th
√
23. Muhajir 2th
√
24. Muhajir 2th
√
25. Muhajir 3th
√
26. Sigeri 2th
√
27. Ranah 7bl
√
28. Sainal 7bl √
Tingkat infeksi dan kematian akibat Toxocara vitulorum lebih tinggi pada
hewan muda dibandingkan hewan dewasa. Infeksi pada hewan muda dapat terjadi
pada saat baru lahir melalui induknya. Kerbau yang rentan berumur di bawah 6
21
bulan. Gejala klinis atau kematian umumnya terjadi pada anak kerbau yang
berumur 1-2 bulan. Hewan yang berumur lebih dari 6 bulan tahan terhadap
infestasi cacing ini karena pembentukan daya tahan tubuh relatif telah sempurna.
Kondisi ini dapat diketahui dengan adanya penurunan jumlah telur cacing per
gram feses secara signifikan seiring dengan bertambahnya umur hewan (Yudha,
2014). Dari tabel hasil pemeriksaan laboratorium (Tabel 1) tidak terdapat sampel
yang memiliki umur dibawah 6 bulan.
Kecamatan Curio adalah salah satu Kecamatan diKabupaten Enrekang
yang mempunyai luas 178,51 km2 yang terdiri dari 11 Desa dan berada pada 740-
1.098 m diatas permukaan laut. Sebagian besar penduduk kecamatan Curio
bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Kecamatan Curio merupakan
salah satu Kecamatan di Kabupaten Enrekang yang berbatasan dengan Kecamatan
Alla di seblah Barat, sebelah Timur terdapat Kabupaten Luwu, Utara berbatasan
dengan Kabupaten Tanah Toraja dan di sebelah Selatan terdapat Kecamatan
Malua dan Baraka (Pemerintah Kabupaten Enrekang, 2011). salah satu yang
menyebabkan rendahnya tingkat helminthiasis di daerah tersebut adalah wilayah
dari Kecamatan Curio berada pada ketinggian 740-1.098 mdpl. Perbedaaan
dataran tinggi dan dataran rendah juga mempengaruhi tingkat infeksi helminthiasi.
Dari hasil penelitian Zulfikar (2012) yang dijelaskan bahwa pada ternak
dataran tinggi Kec. Pintu Rime Gayo, sebanyak 33 ekor (22%) dan dataran rendah
sebanyak 100 ekor (66,6%) positif terhadap infestasi Nematoda. Analisis
memperlihatkan perbedaan nyata (P<0,05) antara kedua dataran terkait keberadaan
parasit. Dapat disimpulkan dataran tinggi memiliki kejadian lebih rendah terhadap
infeksi parasit pada ternak dibanding dataran rendah.
Pada pemeriksaan sampel, selain telur Toxocara vitulorum diidentifikasi
juga telur nematoda lain yaitu Oesophagostomum dan jenis protozoa Eimeria.
Oesophagostomum juga termasuk Nematoda gastrointestinal seperti Toxocara
vitulorum, secara spesifik cacing ini digolongkan ke cacing bungkul. Disebut
cacing bungkul karena gejala yang nampak adalah timbulnya bungkul-bungkul di
dalam kolon dan gejala klinis lainnya yaitu, hewan menjadi kurus, kotoran
berwarna hitam lunak bercampur lendir dan kadang-kadang terdapat darah segar.
Dalam keadaan kronis ternak mengalami diare dengan feses berwarna kehitaman,
nafsu makan menurun, kurus, anemia, hipoalbuminemia, hipoproteinemia dan
busung (Sugama, 2011).
Eimeria adalah parasit berupa protozoa yang sering menginfeksi hewan
ternak. Eimeria bovis berukuran lebar 17-23 µm, panjang 23-34 µm berbentuk
ovoid dan tidak simetris, berwarna coklat/kuning, mempunyai 2 dinding sel, tidak
punya microphyle, oosit tidak polar, terdapat 2 gumpalan sporozoit (fitriastuti,
2013). Berikut gambar Eimeria yang ditemukan dalam sampel.
22
Gambar 5. Eiimeria bovis
23
5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan
bahwa tidak ditemukan adanya kejadian infeksi Toxocara vitulorum pada
kerbau perah di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang
2. Ditemukan adanya telur nematoda lain yaitu Oesophagostomum dan jenis
protozoa Eimeria.
3. Analisis univariate terhadap variabel kuisioner menunjukkan faktor yang
mempengaruhi hasil negative dari toxocara vitulorum diantaranya, analisis
univariate terhadap variabel kuisioner menunjukkan pengalaman peternak
lebih dari 3 tahun (70%) dan peternak dengan pengalaman beternak kerbau
perah kurang dari 3 tahun (30%). Secara keseluruhan dari total sampel
menunjukkan kondisi kerbau (gambar 4.4) yang terlihat sehat (96,5%) dan
terlihat sakit (3,5%). pola pemeliharaan digembalakan (60%) dan
dikandangkan (40%).
5.2 Saran
1. Berdasarkan hasil tersebut disarankan kepada peternak untuk lebih
memperhatikan kesehatan ternak dari segi pakan dan manajemen pemeliharaan.
Sebaiknya manajemen pemeliharaan yang diterapkan yaitu secara intensif agar
siklus hidup cacing dapat dihentikan dan kebersihan ternak juga dapat terjaga.
2. Sosialisasi kepada peternak mengenai pentingnya pemberian obat cacing pada
kerbau perah khususnya pada kerbau perah usia produktif perlu dilakukan agar
ternak terbebas dari penyakit parasiter. Sebaiknya pemberian obat cacing rutin
dilakukan sebanyak 2 kali pertahun.
24
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka Jakarta, 70 hal.
Anonim. 2012. Kecamatan Curio. http://www.scribd.com/doc Profil_Kecamatan
Curio. (diakses 27 Februari 2015).
Andrianty vivi. 2015. Kejadian Nematodiasis Gastrointestinal pada Pedet Sapi
Bali di Kec Marioriwawo Kabupaten Soppeng. Universitas hasanuddin.
Agustina, K, K, Dharmayuda, Wirata IW. 2013. The Prevalention Of Toxocara
Vitulorum On Bali Cow and Calf in Eastern Area Of Bali. Buletin
Veteriner Udayana, Vol 5 No. 1: 1-6.
Agna. 2009. Toxocariasis pada kucing, (on line), (http://dr-
agna.livejournal.com/3275. Diakses pada tanggal 27 maret 2015).
Azimah Nurul. 2013. Hubungan Antara Periode Laktasi dan Produksi Susu
Ternak Kerbau di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Skripsi.
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makssar.
Buzetti WA, Machado RZ, Zocoller MC. 2001. An Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) for Detection of Antibodies Against
Toxocara vitilorum in Water Buffaloes. Veterinary Parasitology 97 (2001)
55-64.
Carmichael, I.H. and E. Mmartindah. 1996. Mortalities Of Buffalo (Bubbalus
Bubalis) Calves As A Possible Source Of loss to Indonesia Draught
Power. Bull. IPKHI 5(2) : 29-31.
Estuningsih, S.E. 2005. Toxocariasis Pada Hewan dan Bahayanya Pada
Manusia. Warta Zoa, Vol 15 No: 3 P. 136-142.
Fitriastuti Erna. 2011. Studi Penyakit Koksidiosis pada Sapi Betina di 9 Provinsi
di Indonesia Tahun 2011.Unit Uji Bakteriologi Balai Besar Pengujian
Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Gunungsindur Bogor.
HOLLAND, W.G.,TT. Loung, L.A. Nguyen, T.T. Do and J. Vercruysee. 2000.
The Epidemiology of Nematode end Fluke Infection In Cattle in The Red
River Delta in Vietnam. Vet. Parasitol. 93: 141-147.
India Dairy. 20011. Buffalo_Milk_vs Cow Milk. http://www.
Indiadairy.com/info_buffalo_milk_vs. Html.
Junquera P. 2014. Toxocara vitulorum, parasitic roundworms of cattle: Biology,
Prevention and Control. Neoascaris Vitulorum. [internet]
http://parasitipedia.net/index.php?option=com_content&view=article&id=
2638&Itemid=2916. [Diunduh pada 2 Maret 2015].
Kania U. 2012. Nematoda Usus http://parasitipedia.net/index.php?option=
com_content&view=article&id=2638&Itemid=2916. [Diunduh pada 27
Februari 2015].
25
Karim. 2012. Manajemen Reproduksi Kerbau (Bubalus bubalis) Sebagai Ternak
Potong di Kabupaten Mamasa. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin Makssar.
Koesdarto, Mahfudz, Mumpuni, Kusnoto. 1999. Perbedaan Struktur dan
Morfologi Diantar Telur Cacing Toxocara. Fakultas Kedokteran Hewan
Unair.
Koesdarto, S., S. Uga, Machfudz, S.S. Mumpuni, Kusnoto and H. Puspitawati.
1999. The Prevalence Of Toxocara Vitulorum in Dairy Cow in Surabaya.
Proc. Seminar on Infectious Disease The Tropics. TDC Airlangga
University, Surabaya. P.46-49.
Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan Oleh
Prof. Dr. Gatut Ashadi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Mufiidah et al. 2013. The Productivity of Female Swamp Buffaloes Bubalus
bubalis carabanesis) in Terms Of Reproductive Performance and Body
Measurements at Tempursari Subdistrict Lumajang Regency. Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya.
Martin SW, Meek AH, Willeberg P. 1987. Veterinary Epidemiology. USA: Iowa
State University Press.
SNP. 2011. Profil Kecamatan. Pemerintah Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan.
Purwanta. 2006. Penyakit Cacing Pada Hati (Fascioliasis) Pada Sapi Bali Di
Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan Daerah Makassar. Jurnal
Agrisistem 2 : 63-69.
Rian. 2014. Toxocarosis pada Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kecamatan
Ujung Jaya, Sumedang. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor.
Sjamsul, B. Dan C. Talib. 2077. Strategi Pengembangan Pembibitan Ternak
Kerbau. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak
Kerbau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.
Subronto. 2006. Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sugama i nyoman dan suyasa. 2011. Keragaan Infeksi Parasit Gastrointestinal
pada Sapi Bali Model Kandang Simantri. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Bali.
Sompotan, J. 2011. Sejuta Manfaat Daging Kerbau.
http://www.okefood.com/read/2011/09/26/299/507080/sejuta-manfaat-
daging-kerbau
Talib. 2011. Penerapan Sistem Pembibitan Kerbau pada Kelompok Ternak.
Seminar Lokakarya Nasional Kerbau 2011.
Trisnuwati, P, T. Cornelissen and Nasich. 1991. A Parasitological Study on The
Impact of Nematodes on The Production of Livestock in The Limestone
Area Of South Malang. Interdiciplinary Res. J. Landbouw Agric. Univ.
Wageningen. The Netherlands.
26
Tiesnamurti, Talib. 2011. Inovasi Teknologi Dalam Pengembangan Perbibitan
dan Budidaya Kerbau Lumpur. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau
2011.
Terry JA. 2013. The Use Of Duddingtonia Flagrans For Gastrointestinal
Parasitic Nematode Control In Feces Of Exotic Artiodactylids At Disney’s
Animal Kingdom. [Tesis]. Lousiana (US): Lousiana State University.
Wahab. 2009. Dampak Peningkatan Kualitas Jalan Lingkar Barat Enrekang
Terhadap Pengembangan Kawasan Pertanian. Tesis. Universitas
Diponegoro.
Wirdahayati, R.B. 2008. Upaya Peningkatan Produksi Susu Kerbau untuk
Kelestarian Produk Dadih di Sumatera Barat. Wartazoa Vol. 17 (4) : 178-
184.
Yuda, Susanty. 2014. Identifikasi dan Program Pengendalian toxocara vitulorum
pada Ternak Ruminansia Besar. Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Zulfikar. 2012. Derajat Infestasi Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Sapi di
Aceh Bagian Tengan. Aceh: Universitas Syiah Kuala.
27
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Uji Laboratorium BBV Maros, Identifikasi Telur Cacing
Toxocara vitulorum pada Kerbau Perah di Kecamatan Curio, Kabupaten
Enrekang.
No Nama
Sampel Umur
Toxocara
vitolorum Oesophagostomum
sp Eimeria
sp. Positif Negatif
1. Agus 6th
√
2. Sangkala 2th
√
3. Mattana 7bl
√
4. Mattana 7th
√
5. Hodding 7bl
√
6. Kadis 1th
√ √
7. Kadis 4th
√
√
8. Amiruddin 2th
√
9. Mattana 2th
√
10. Jono 5th
√
11. Ahmad D 1th
√
12. Ahmad D 2th
√
13. Ahmad D 8bl
√
14. Abd.Latif 2th
√
15. Alwi 1th
√
16. Rahaman 2,5th
√
17. Masdar 1th
√
18. Sujono 7bl
√
19. Rusmin L 9bl
√
20. Jusli 1th
√
√
21. Halim 6bl
√
22. Muhajir 1th
√
√
23. Muhajir 2th
√
√
24. Muhajir 2th
√
25. Muhajir 3th
√
√
26. Sigeri 2th
√
27. Ranah 7bl
√
√
28. Sainal 7bl √ √
28
Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian
29
Foto 1. Pengambilan feses
30
Foto 3. Pemeriksann di BBV Maros
31
Lampiran 3
Kuesioner Deteksi Toxocara vitulorum pada
Kerbau Perah di Kabupaten
Enrekang.
I. INFORMASI DASAR
1.
2.
3.
Nomor kuesioner
: ………………… Tanggal : ……………… Nama enumerator :………………………................................ Nama peternak/pengelola : ……………...…………………..………...
a. Jenis kelamin : ( Pria ) (Wanita)
b. Umur : ………………..Tahun
c. Pendidikan terakhir setingkat : ( SD/SR ) / ( SMP ) / ( SMA ) / ( PT )
d. Pengalaman beternak sapi : ………...tahun 4. Alamat : ……………………………………………
a. Dusun : ……………………………………………
b. Desa : …………………………………………… 5. Sistem pemeliharaan : a) dikandangkan / b) digembalakan
II. MANAJEMEN PEMELIHARAAN
PERTANYAN
YA TDK
1 Apakah kerbau perah dikandangkan secara bersama-
sama?
2 Apakah kerbau perah digembalakan bersamaan dengan ternak jenis lain (kambing, kuda, kerbau)?
3
Jenis pakan apa yang sering diberikan ? a) Rerumputan
b) Konsentrat
c) Jerami
d) Lainnya: ........................
4
Apakah kerbau anda pernah diberikan obat cacing ?
5
Apakah kubangan yang sama digunakan oleh kerbau yang berbeda-beda dan secara bergantian?
32
III. PENGETAHUAN PETERNAK
NO PERTANYAAN Ya Tidak
1 Apakah anda tahu penyakit cacingan
(helminthiasis) pada
Kerbau perah?
2
Menurut anda gejala klinis
helminthiasis/caingan pada kerbau
perah adalah : a) Kerbau kurus b) kerbau mengalami bulu kusam, kasar,
kaku dan berdiri c) Kerbau mengalami kekurusan, bulu
kusam, kasar, kaku dan berdiri, serta
diare
3 Menurut anda, apakah faktor yang
yang dapat menyebabkan
helminthiasis?
a) Melalui vektor perantara
(siput)/ melalui ternak yang
sakit
b) Menular melalui merumput
dan minum sumber yang sama
c) Kandang yang jarang
dibersihkan/ kurangnya
kebersihan lingkungan
Pada musim hujan, daerah lembab
dan kotor.
4 Menurut anda pencegahan
helminthiasis dapat dilakukan
dengan:
a) Pemberian ransum/makanan yang
berkualitas dan cukup jumlahnya,
b) Memisahkan antara ternak muda
dan dewasa/menghindari kepadatan
dalam satu kandang.
c) Menjaga sanitasi (kebersihan
lingkungan) dn menghindari tempat
lembab
d) Melakukan pemeriksaan kesehatan
dan pemberian obat cacing secara
teratur
5 Apakah anda tahu cara pengobatan
helminthiasis?
Tidak
Ya
33
Lampiran 4. Hasil Kuesioner
No. Deskripsi Hasil Deskripsi
1. Pendidikan terakhir peternak:
1. SD/SR 0% (0/20) 2. SMP 45% (9/20) 3. SMA 55% (11/20)
2. Pola pemeliharaan
Di gembalakan 60% (17/28) Di kandangkan 40% (11/28)
3. Pengalaman beternak
< 3 Tahun 30%(6/20) 3 Tahun 70% (14/20)
4. Jenis Pakan yang diberikan peternak
:
Hijauan (Rumput) 90% (18/20)
Hijauan dan jerami 10% (2/20)
5. Kondisi kerbau perah
Terlihat sehat 96% (/28) Terlihat sakit 3,5% (/28)
6. Pemberian Obat cacing.
Ya
Tidak
100%(28/2
8)
0% (0/28)