determinan asupan energi dan protein pada...
TRANSCRIPT
DETERMINAN ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN PADA BALITA DI
WILAYAH INDONESIA TIMUR DAN BARAT TAHUN 2010
(Analisis data sekunder RISKESDAS 2010)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH:
AYU PUNARSIH
NIM: 108101000015
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H / 2012 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Desember 2012
Ayu Punarsih
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI
SKRIPSI, 25 JANUARI 2013
Ayu Punarsih, NIM: 108101000015
Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah Indonesia Timur
dan Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)
xiv + 106 halaman + 12 tabel + 5 grafik + 5 gambar + 2 lampiran
ABSTRAK Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia.
Balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi.
Sejak tahun 1993 di Indonesia sudah diperkenalkan pembagian wilayah menjadi dua
kawasan pembangunan, yaitu wilayah Indonesia Timur dan Barat. Menurut data riskesdas
2010 di wilayah Indonesia timur dan barat didapatkan bahwa sebagian besar anak balita di
wilayah Indonesia Timur memiliki risiko mengalami malnutrisi lebih besar dari wilayah
Indonesia Barat. Berdasarkan hal di atas perlu dibuktikan determinan asupan energi dan
protein balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Studi
ini menggunakan data sekunder yaitu dengan menganalisis data dari penelitian RISKESDAS
2010 di wilayah Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei- Desember 2012.
Sampel penelitian sebanyak 10.478 individu di wilayah Indonesia Barat dan 2.636 individu
di wilayah Indonesia Timur. Pada penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah
(umur ibu, umur balita, status bekerja ibu, pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga, tingkat
ekonomi keluarga). Sedangkan untuk variabel dependen adalah asupan energi dan protein
balita. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner riskesdas. Data yang
diperoleh kemudian dilakukan uji statistik dengan rumus chi square dan Mean withney.
Hasil penelitian menunjukkan balita yang memiliki asupan energi dan protein kurang
dari kebutuhan minimal sebanyak 62,86% balita di wilayah Indonesia Timur dan 37,50%
balita di Barat. Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui faktor yang berhubungan
dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur yaitu umur balita,
pendidikan ibu, tingkat ekonomi, jumlah anggota keluarga. Sedangkan Faktor yang
berhubungan dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Barat yaitu
umur ibu, umur balita, pendidikan ibu, tingkat ekonomi, jumlah anggota keluarga.
Oleh karena itu disarankan agar instansi kesehatan terkait dapat melakukan intervensi
yang sesuai dengan hasil penelitian di wilayah Indonesia Timur dan Barat. Selain itu,
penyebaran informasi mengenai asupan gizi yang baik untuk balita agar dapat menyeluruh
ke daerah-daerah terpencil seperti pada wilayah Indonesia Timur.
Kata kunci : Asupan, Energi Dan Protein, Balita
Daftar bacaan : 107 (1989-2012)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
SPECIALISATION NUTRITION
Paper, Januari 25 2013
Ayu Punarsih, NIM : 108101000015
Determinants of Energy and Protein Intake of Toddler in East & West
Indonesian’s Region, Year 2010 (Secondary Data Analysis of Riskesdas 2010)
xiv + 106 pages + 12 tables + 5 charts + 5 images + 2 attachment
ABSTRACT
Protein Energy Malnutrition (PEM) is one of the major nutritional problems in
Indonesia. Toddler is the age group that most often suffer from malnutrition. Since 1993
Indonesia has been introduced in the division of the region into two areas of
development, in the name are East Indonesian‟s Region and West Indonesian‟s Region.
According to Riskesdas 2010 data in the east and west region of Indonesia found that the
majority of children under five in east region of Indonesia have a greater risk of
malnutrition from the west region of Indonesia. Based on that opinion need to be proven
determinant of energy and protein intake of toddler in east and west region of Indonesia.
This research is a quantitative study with cross sectional approach. This study used
secondary data analysis from the study of RISKESDAS 2010 in Indonesia. The research
was conducted in May-December 2012. The sample‟s research from this study are
10,478 people in west region of Indonesia, and 2636 people in east region of Indonesia.
In this study, the independent variables are (maternal age, toddler age, maternal
employment status, maternal education, family number, family income level). As for the
dependent variables are the energy and protein intake of toddler. The instrument that
used in this study is a questionnaire of Riskesdas. The data obtained is then performed
with the statistical test and the chi-square formula Mean Whitney.
The results of the research showed a toodler that has less energy and protein intake
from the minimum needed are 62.86% in the east Indonesian Region and 37.50% in the
West Indonesian Region. Based of the bivariate result is knowed the factors that
associated with the energy and protein intake in toddler at east Indonesia region are aged
toddler, maternal education, economic level, number of family members. While factors
related to energy and protein intake in infants in western parts of Indonesia, namely
maternal age, infant age, maternal education, economic level, number of family
members.
It is therefore recommended that health-related agencies to intervene in accordance
with the results of research in western and eastern Indonesia. In addition, the
dissemination of information on good nutrition for toddlers to be thorough to remote
areas such as in eastern Indonesia.
Keywords : Energy and Protein, Intake, Toddler
The reading list : 107 (1989-2012)
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi
DETERMINAN ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN PADA BALITA DI
WILAYAH INDONESIA BARAT DAN TIMUR TAHUN 2010 (ANALISIS DATA
SEKUNDER RISKESDAS 2010)
Telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan dihadapan Tim pembimbing dan penguji
skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Januari 2013
Mengetahui
Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes
Pembimbing I
v
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, Januari 2013
Mengetahui,
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ayu Punarsih
TTL : Jakarta, 4 Agustus 1990
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Ponsel : 0856 8979 021
Alamat : Jl. KH. Hasyim Ashari Gg. Almakmur Kebalen RT 06/03 No.59
Kel. Pinang, Kec. Pinang, Tangerang - Banten
E-mail : [email protected] / [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
2008 – Sekarang : Peminatan Gizi, Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2005 – 2008 : SMAN 12 Tangerang (Jurusan IPA)
2002 – 2005 : SMPN 3 Ciledug- Tangerang
1996 – 2002 : SDN Pinang 3 Tangerang
PENGALAMAN ORGANISASI
2008 – sekarang : Anggota Paduan Suara Mahasiswa FKIK-UIN (PASIFIK)
2008 – 2010 : Anggota BEM Jurusan Kesehatan Masyarakat
2009 : Anggota FMITFB (Forum Mahasiswa Indonesia Tanggap Flu
Burung)
PENGALAMAN KERJA
2009- Sekarang : Freelance Interviewer Polling Litbang - KOMPAS GRAMEDIA
2011 : APPL (Asisten Pengawas Pemilu Lapangan) PEMILUKADA
TANGERANG SELATAN
2012- Sekarang : ASPEN (Asisten Peneliti) Polling Litbang - Kompas Gramedia
vii
Skripsi ini Ku Persembahkan Untuk Kedua Orang Tua Ku,.
Terima Kasih Ibu Dan Bapak,.
Terima Kasih Atas Doa Ibu dan Bapak Yang Tidak Pernah
Henti Untukku,.
Terima Kasih Atas Semangat Yang Diberikan ,
TERIMA KASIH IBU,. TERIMA KASIH BAPAK,.
“Ya Allah, berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya atas didikan mereka
padaku dan Pahala yang besar atas kasih sayang yang Mereka limpahkan
kepadaku,Peliharalah mereka Sebagaimana mereka memeliharaku”
Keridhoan Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan
kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.”
(HR Tirmidzi)
AKU BUKANLAH ORANG YANG HEBAT, TAPI KU MAU BELAJAR DARI ORANG-
ORANG YANG HEBAT
AKU ADALAH ORANG BIASA, TAPI AKU INGIN MENJADI ORANG YANG LUAR BIASA
DAN AKU BUKANLAH ORANG YANG ISTIMEWA, TAPI AKU INGIN MEMBUAT
SESEORANG MENJADI ISTIMEWA
(Kutipan)
viii
KATA PENGANTAR
حين لر ا لرحمن ا هلل ا بسن
ته كا بر و هلل ا ورحمة عليكن م اسال
Alhamdulillahirabbil‟alamin, wasshalatu wassalamu „ala ashrafil anbiyaai wal
mursalin, wa‟ala alihi wa ash-habihi ajma‟in, amma ba‟d.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhingga
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kemudian tak lupa
shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad
SAW, semoga kita semua mendapatkan syafa‟at dan pertolongannya di yaumil qiyamah
nanti.
Skripsi dengan judul “Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di
Wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010” ini disusun sebagai salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada
program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, motivasi dan semangat
dari banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini penulis ingin
menyampaikan ungkapan dan rasa terima kasih yang tak terhingga ini kepada:
1. Ibu dan Bapak tercinta yang selalu memberikan segala dukungan, doa dan
perhatian kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Kemudian
terima kasih juga untuk keluargaku yaitu kakakku Imam Punarko, S.Pd dan kedua
adikku Fika Punarsari dan Ardi Punarditio atas Doanya.
2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat dan juga
sebagai dosen pembimbing 2 yang dengan sabar membimbing dan membantu
penulis selama penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat selesai.
4. Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes selaku pembimbing 1, terima kasih atas
arahan dan bimbingan yang diberikan sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
ix
5. Para dosen program studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah membimbing serta memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.
6. Bapak Ahmad Gozali selaku bagian akademik, terima kasih atas bantuannya dalam
pembuatan surat-surat untuk penelitian ini.
7. Para Staf Balitbangkes Kementerian Kesehatan, terima kasih atas kepercayaannya
dalam memberikan data Riskesdas 2010 sehingga penulis dapat menyusun skripsi
ini.
8. Kakakku Yunci Perdani Putri, SKM dan Devy Hilpiani, S.Far yang telah menjadi
inspirasiku dalam mengerjakan laporan ini dan terima kasih untuk semangat dan
motivasi yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat terbaikku sejak SMA (Devi, Aulia, dan Dona) terima kasih telah
menjadikan penulis lebih mengerti arti sebuah persahabatan dan persaudaraan.
10. Sahabat-sahabat seperjuanganku Irda Septiani, Ayu Dwi Lestari, Titah Wulandari,
Avianing Kemala Ulfa dan Riska Ferdian yang selalu memberikan semangat,
motivasi spiritual, serta kebersamaannya kepada penulis sehingga penulis terus
bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman STOOPELTH 2008, kakak-kakak, serta adik-adik kelasku yang
selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.
12. Teman-teman PASIFIK (Paduan Suara FKIK) yang telah memberikan semangat baru
dengan senandung irama musik.
13. Semua pihak yang telah membantu penulis untuk selalu semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya, penulis sangat mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua yang membacanya, di samping itu penulis menyadari bahwa penulisan laporan
ini masih kurang dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan
masukannya demi perbaikan di masa yang akan datang.
ته كا بر و هلل ا ورحمة عليكن م لسال ا و
Jakarta, Januari 2013
Ayu Punarsih
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ i
ABSTRAK .......................................................................................................... ii
ABTRACK ........................................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv
PANITIA SIDANG ............................................................................................. v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vi
LEMBAR PERSEMBAHAN ............................................................................. vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 7
1.3 Pertanyaan Penelitian ...................................................................... 9
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum ....................................................................... 10
1.4.2 Tujuan Khusus ...................................................................... 10
1.5 Manfaat
1.5.1 Bagi Instansi Kesehatan Terkait .......................................... 11
1.5.2 Bagi Peneliti ........................................................................ 12
1.6 Ruang Lingkup ................................................................................ 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asupan Energi dan Protein ............................................................ 13
2.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Asupan Energi Dan
Protein Pada Balita ......................................................................... 16
xi
2.2.1 Umur Ibu ............................................................................ 19
2.2.2 Umur Balita ........................................................................ 22
2.2.3 Status bekerja Ibu ................................................................ 24
2.2.4 Pengetahuan Gizi Ibu .......................................................... 28
2.2.5 Pendidikan Ibu ..................................................................... 29
2.2.6 Ketersediaan Pangan ........................................................... 35
2.2.7 Besar Keluarga ................................................................... 35
2.2.8 Pendapatan Keluarga .......................................................... 39
2.2.9 Pola Asuh Gizi Balita .......................................................... 40
2.2.10 Penyakit Infeksi ................................................................... 41
2.3 Kerangka Teori ............................................................................... 43
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep ............................................................................ 44
3.2 Definisi Operasional ....................................................................... 46
3.3 Hipotesis .......................................................................................... 48
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis dan Desain Penelitian ............................................................. 49
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 49
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ...................................................... 49
4.4 Instrumen Penelitian ....................................................................... 52
4.5 Pengolahan Data ............................................................................. 57
4.6 Analisis Data ................................................................................... 58
BAB V HASIL
5.1 Gambaran Wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat ............ 60
5.2 Analisis Univariat ........................................................................... 61
5.3 Hubungan antara umur ibu balita dengan asupan energi dan
protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat............. 67
5.4 Hubungan antara umur balita dengan asupan energi dan protein
pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat ......................... 69
xii
5.6 Hubungan antara pendidikan ibu dengan asupan energi dan
protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat............. 70
5.7 Hubungan antara status bekerja ibu dengan asupan energi dan
protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat ............ 71
5.8 Hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan asupan energi
dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat ...... 72
5.9 Hubungan antara jumlah keluarga dengan asupan energi dan
protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat............. 73
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................. 75
6.2 Gambaran asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia
Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010 ............................... 76
6.3 Gambaran Umur Ibu balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat
menurut data riskesdas 2010 .......................................................... 80
6.4 Gambaran Umur balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat
menurut data riskesdas 2010 .......................................................... 84
6.5 Gambaran Pendidikan Ibu di wilayah Indonesia Timur dan Barat
menurut data riskesdas 2010 .......................................................... 87
6.6 Gambaran Status Bekerja Ibu di wilayah Indonesia Timur dan
Barat menurut data riskesdas 2010 ................................................. 91
6.7 Gambaran Tingkat Ekonomi Keluarga di wilayah Indonesia
Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010 ............................... 97
6.8 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga di wilayah Indonesia Timur
dan Barat menurut data riskesdas 2010 .......................................... 100
BAB VII PENUTUP
A Simpulan ........................................................................................ 105
B Saran .............................................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
2.1 Angka Kecukupan Gizi rata-rata yang dianjurkan ...................................... 15
4.1 Daftar variabel dan kuisioner dalam riskesdas 2010 .................................... 52
4.2 Kode Variabel Pekerjaan dalam Riskesdas 2010 ......................................... 54
4.3 Kode Variabel Pendidikan dalam Riskesdas 2010 ....................................... 55
5.1 Distribusi friekuensi umur ibu balita di wilayah Indonesia Timur dan
Barat tahun 2010 ........................................................................................... 62
5.2 Distribusi frekuensi umur balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat
tahun 2010 .................................................................................................... 63
5.3 Rata-rata umur ibu balita dengan asupan energi dan protein pada balita di
wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ........................................... 68
5.4 Rata-rata umur balita dengan asupan energi dan protein pada balita di
wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ........................................... 69
5.5 Distribusi pendidikan ibu dengan asupan energi an protein pada balita di
wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ........................................... 70
5.6 Distribusi status bekerja ibu dengan asupan energi dan protein pada balita
di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ...................................... 71
5.7 Distribusi Tingkat ekonomi keluarga dengan asupan energi dan protein
pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 .................... 72
5.8 Distribusi jumlah keluarga dengan asupan energi dan protein pada balita
di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 ...................................... 73
DAFTAR GRAFIK
5.1 Distribusi frekuensi asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia
Timur dan Barat tahun 2010 ......................................................................... 61
5.2 Distribusi frekuensi pendidikan ibu di wilayah Indonesia Timur dan Barat
tahun 2010 .................................................................................................... 64
5.3 Distribusi frekuensi status bekerja ibu di wilayah Indonesia Timur dan
Barat tahun 2010 ........................................................................................... 65
xiv
5.4 Distribusi frekuensi tingkat ekonomi keluarga di wilayah Indonesia Timur
dan Barat tahun 2010 .................................................................................... 66
5.5 Distribusi frekuensi jumlah keluarga di wilayah Indonesia Timur dan
Barat Tahun 2010 ......................................................................................... 67
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
2.1 Faktor penyebab timbulnya masalah gizi ..................................................... 17
2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan ................................ 18
2.3 Model Konsumsi Makanan ........................................................................... 19
2.4 Kerangka Teori Penelitian ............................................................................ 43
3.1 Kerangka Konsep Penelitian ........................................................................ 45
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuisioner Riskesdas 2010
Lampiran 2 Output Stata Indonesia Timur dan Indonesia Barat
DAFTAR SINGKATAN
KEP = Kurang Energi Protein
GAKY = Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
KVA = Kurang Vitamin A
AKG = Angka Kecukupan Gizi
GBHN = Garis Besar Haluan Negara
MDGs = Millenium Development Goals
SDM = Sumber Daya Manusia
TPAK = Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
KB = Keluarga Berencana
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah gizi di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya masih
didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Besi, Gangguan
Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah
obesitas terutama dikota-kota besar. Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah
satu masalah gizi utama di Indonesia. Keadaan ini banyak diderita oleh kelompok
balita yang merupakan generasi penerus bangsa (Supariasa, 2002).
Menurut Sediaoetama (2008), mengemukakan bahwa balita merupakan
kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi. Balita juga
merupakan kelompok yang menunjukan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga
memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya.
Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan sumber daya manusia dan
sekaligus dalam rangka pengentasan kemiskinan adalah dengan meningkatkan gizi
anak terutama gizi balita (BPS, 2002). Pemenuhan gizi balita salah satunya
dipengaruhi oleh asupan energi dan protein yang dapat mempengaruhi
perkembangan berat badan dan tinggi badan balita.
Kejadian rawan pangan menjadi masalah sangat sensitif bagi Indonesia.,
sehingga untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi nasional sebagai salah satu
pilar ketahanan nasional dan wilayah maka pada Konferensi Dewan Ketahanan
Pangan Tahun 2006, para Gubernur selaku Ketua DKP Provinsi seluruh
Indonesia telah mencanangkan beberapa kesepakatan yang salah satunya adalah
2
menyusun rencana nasional menuju Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015
(DKP, 2009).
Makronutrien (zat gizi makro) yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak
merupakan zat gizi yang sangat dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang anak.
Selanjutnya berdasarkan fungsinya ketiga zat gizi makro tersebut dibagi menjadi
dua yaitu sebagai sumber energi dan protein. Energi dibutuhkan untuk
pertumbuhan, metabolisme, utilisasi bahan makanan dan aktivitas. Sedangkan
protein dibutuhkan untuk menyediakan asam amino bagi sintesa protein sel,
hormone maupun enzim untuk mengatur metabolisme. Disamping itu protein juga
dapat bertindak sebagai sumber energi tubuh (Pudjiaji, 2005).
Menurut Almatsier (2004), kekurangan pangan dalam waktu lama akan
berakibat buruk terhadap kesehatan karena pangan merupakan salah satu kebutuhan
pokok yang dibutuhkan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber
energi dan zat-zat gizi. Dampak kurang energi protein merupakan bahaya pada
periode umur balita. Pada anak-anak, Kurang Energi Protein (KEP) dapat
menghambat pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi dan
mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. Menurut Seroeder (2001), anak balita
dengan gizi kurang mempunyai resiko menurunnya perkembangan motorik,
rendahnya fungsi kognitif serta kapasitas penampilan dan pada akhirnya gizi kurang
memberi efek negatif tingginya risiko terhadap kematian.
Hasil penelitian di 11 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin pada tahun
2004 terhadap balita usia 6-59 bulan, diperoleh hasil anak dengan stunted
berdasarkan indeks TB/U, diantaranya adalah Benin 28%, Ethiopia 47%, Malawi
3
47%, Mali 35%, Rawanda 40%, Zimbabwe 31%, Cambodia 36%, Nepal 44%,
Colombia 16%, Haiti 20% dan Peru 22%, sedangkan anak dengan status gizi wasted
berdasarkan indeks BB/TB, diantaranya adalah Benin 16%, Ethiopia 18%,
Malawmi 9%, Mali 18%, Rwanda 10%, Zimbabwe 9%, Cambodia 19%, Nepal
18%, Colombia 1%, Haiti 8%, dan Peru 1 % (Arimond dan Ruel, 2004 dalam
Nuraeni, 2008).
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (BPS, 2002, 2003 dan 2005)
diketahui bahwa persentase balita yang bergizi baik/normal sebesar 71,88% pada
tahun 2002 dan 69,59% pada tahun 2003 dan mengalami penurunan menjadi
68,48% pada tahun 2005, sedangkan balita yang bergizi kurang/buruk atau dikenal
dengan istilah Kurang Energi Protein (KEP) sebesar 25,82% pada tahun 2002 dan
mengalami peningkatan pada tahun 2003 menjadi 28,17% dan pada tahun 2005
menjadi 28,04%.
Sejak tahun 1993 di Indonesia sudah diperkenalkan pembagian wilayah
menjadi dua kawasan pembangunan, yaitu wilayah Indonesia Timur dan wilayah
Indonesia Barat. Wilayah Indonesia Timur terdiri dari 12 propinsi yaitu Sulawesi
Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara,
Papua dan Papua Barat. Sedangkan wilayah Indonesia Barat terdiri dari 21 Propinsi
yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Riau, Bengkulu, NAD, Jambi, Lampung,
Banten, Jawa tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jakarta, Bali,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat,
Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Sumatera Barat (GBHN, 1993).
4
Menurut BPS (2010), salah satu ciri perbedaan wilayah Indonesia Timur dan
Indonesia Barat adalah persebaran penduduk yang tidak merata, yaitu pada wilayah
Indonesia Timur yang luas geografisnya 60% dihuni oleh 15% penduduk,
sedangkan pada wilayah Indonesia Barat yang luas geografisnya 40% dihuni oleh
84% penduduk. Jika dilihat dari data diatas maka dapat disimpulkan bahwa wilayah
Indonesia Barat lebih padat penduduknya dibandingkan dengan wilayah Indonesia
Timur.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 (Depkes, 2008), diketahui
persentase balita gizi kurang di wilayah Indonesia timur lebih besar dibanding
dengan wilayah Indonesia Barat, hal ini dapat dilihat dari prevalensi tertinggi gizi
kurang di Indonesia timur sebesar 24,2 % di propinsi Nusa Tenggara Timur dan
prevalensi gizi kurang terendah sebesar 11,5% di propinsi Sulawesi Utara.
Sedangkan prevalensi gizi kurang tertinggi di Indonesia Barat sebesar 18,2% di
Kalimantan Selatan dan prevalensi terendah gizi kurang sebesar 8,5% di DI
Yogyakarta. Sehingga dapat disimpulkan bahwa prevalensi gizi kurang di wilayah
Indonesia timur masih diatas prevalensi nasional gizi kurang yaitu 18,4%.
Menurut data riskesdas 2010 di wilayah Indonesia timur dan barat di dapatkan
prevalensi balita yang tingkat konsumsi energi dibawah kebutuhan minimal kurang
dari 70% AKG sebesar 31,28 % di wilayah Indonesia Timur dan 23,87 % di
wilayah Indonesia Barat. Sedangkan tingkat konsumsi protein balita dibawah
kebutuhan minimal kurang dari 80% AKG yaitu sebesar 25,87 % balita di wilayah
Indonesia Timur dan 15,38 % balita di wilayah Indonesia Barat. Jika dilihat dari
prevalensi tersebut maka tingkat konsumsi energi dan protein dibawah kebutuhan
5
minimal di wilayah Indonesia Timur sudah melebihi angka rata-rata prevalensi
nasional balita yang tingkat konsumsi energi dan protein dibawah kebutuhan
minimal di seluruh Indonesia yaitu sebesar 24,7% untuk energi dan 18,4% untuk
protein. Hal ini berarti bahwa sebagian besar anak balita di wilayah Indonesia
Timur memiliki risiko mengalami malnutrisi lebih besar dari wilayah Indonesia
Barat.
Kurangnya konsumsi protein dan energi pada Balita juga dipengaruhi oleh
faktor kemiskinan. Menurut data BPS (2010), didapatkan prevalensi penduduk
miskin di wilayah Indonesia Timur sebesar 20,50%, sedangkan prevalensi
penduduk miskin di wilayah Indonesia Barat sebesar 10,97%.
Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia (BPS, 2008),
didapatkan persentase laki-laki dan perempuan yang tidak menempuh pendidikan di
wilayah Indonesia timur sebesar 7,2 % laki-laki dan sebesar 12,1 % wanita.
Sedangkan persentase laki-laki dan wanita yang tidak menempuh pendidikan di
wilayah Indonesia Barat sebesar 4,9 % laki-laki dan sebesar 10,2 % wanita. Jika
dilihat dari jumlah persentase tertinggi di wilayah Indonesia Timur dan Barat, maka
wilayah Indonesia Timur masih tertinggal dalam hal pendidikan baik laki-laki
maupun wanita.
Berdasarkan data BPS (2008), didapatkan persentase balita yang mengalami
keluhan kesehatan seperti diare yaitu sebesar 7,25 % di wilayah Indonesia Timur
dan 5,39% di wilayah Indonesia Barat. Maka dapat disimpulkan bahwa balita yang
mengalami keluhan kesehatan lebih besar prevalensinya di wilayah Indonesia
Timur dibanding dengan Indonesia Barat.
6
Berdasarkan hasil survey pertanian tanaman pangan (BPS,2008), didapatkan
data luas panen padi tahun 2008 di wilayah Indonesia Timur sebesar 1.959.953 Ha,
sedangkan luas panen padi tahun 2008 di wilayah Indonesia Barat sebesar
10.425.289 Ha. Sedangkan hasil produksi padi tahun 2008 di wilayah Indonesia
Timur sebesar 8.861.943 ton, dan hasil produksi padi tahun 2008 di wilayah
Indonesia Barat sebesar 51.015.576 ton. Dari hasil survey tersebut dapat
disimpulkan bahwa produksi padi yang merupakan salah satu sumber energi di
wilayah Indonesia Barat lebih besar dibanding dengan wilayah Indonesia Timur.
Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi konsumsi energi dan protein pada anak balita diantaranya umur ibu,
suku ibu, status bekerja ibu, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, besar keluarga
dan pendapatan keluarga. Selain faktor-faktor tersebut, terdapat faktor lain seperti
faktor kebudayaan yang dapat mempengaruhi konsumsi energi dan protein pada
anak (Nasekhah, 2011). Berdasarkan Kusin dan Kardjati (1985) mengungkapkan
bahwa keterbatasan tersedianya pangan dan kebiasaan, seperti pantangan makanan
mempengaruhi mutu dan jumlah makanan yang diberikan pada anak.
Dalam penelitian Nasekhah (2011), menemukan adanya hubungan bermakna
antara status bekerja ibu, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu,besar keluarga, dan
pendapatan keluarga dengan Konsumsi energi dan Protein pada Batita di Kelurahan
Serua pada tahun 2010. Sedangkan dalam penelitian Hermansyah (2010), terdapat
hubungan bermakna antara pola asuh gizi balita, tingkat pendidikan ibu balita, dan
pendapatan keluarga dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada balita di
wilayah kerja puskesmas kelurahan kelapa dua Jakarta Barat.
7
Menurut Prof. Firmanzah (2012), Indonesia masih menghadapi persoalan
kesenjangan kesejahteraan. Salah satunya adalah kesenjangan kesejahteraan spasial
yaitu antara kawasan Barat dan Timur Indonesia. Kontribusi pembangunan dan
konsentrasi industri yang masih berpusat di pulau Sumatera-Jawa-Bali ditambah
dengan tingginya persentase masyarakat miskin di kawasan Timur Indonesia. Selain
itu masih terbatasnya akses ke sejumlah fasilitas publik bagi masyarakat Timur
Indonesia seperti kesehatan, pendidikan, listrik, jalan dan faktor produksi lain
semakin memperbesar kesenjangan kesejahteraan.
Berdasarkan hal di atas diduga bahwa determinan Asupan energi dan protein
berbeda antara Indonesia Timur dan Barat. Sehingga perlu diadakan penelitian
mengenai “Determinan Asupan Energi dan Protein Balita Pada Wilayah
Indonesia Timur Dan Barat Tahun 2010”. Sehingga diharapkan dengan adanya
penelitian ini dapat melihat perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi asupan
energi dan protein di wilayah Indonesia Timur dan Barat dan dapat dilakukan
tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah asupan makanan balita di wilayah
Indonesia Timur dan Barat.
1.2. Rumusan Masalah
Konsumsi energi dan protein merupakan salah satu faktor penyebab gizi kurang
pada balita. Angka Kecukupan Gizi nasional 2004 untuk konsumsi energi balita
adalah sebesar 70% AKG dan Angka Kecukupan Gizi nasional 2004 untuk
konsumsi protein balita sebesar 80% AKG.
Menurut data riskesdas 2010 di wilayah Indonesia timur dan barat didapatkan
prevalensi balita yang tingkat konsumsi energi dibawah kebutuhan minimal kurang
8
dari 70% AKG sebesar 31,28 % di wilayah Indonesia Timur dan 23,87 % di
wilayah Indonesia Barat. Sedangkan tingkat konsumsi protein balita dibawah
kebutuhan minimal kurang dari 80% AKG yaitu sebesar 25,87 % balita di wilayah
Indonesia Timur dan 15,38 % balita di wilayah Indonesia Barat. Jika dilihat dari
prevalensi tersebut maka tingkat konsumsi energi dan protein dibawah kebutuhan
minimal di wilayah Indonesia Timur sudah melebihi angka rata-rata prevalensi
nasional balita yang tingkat konsumsi energi dan protein dibawah kebutuhan
minimal di seluruh Indonesia yaitu sebesar 24,7% untuk energi dan 18,4% untuk
protein. Hal ini berarti bahwa sebagian besar anak balita di wilayah Indonesia
Timur memiliki risiko mengalami malnutrisi lebih besar dari wilayah Indonesia
Barat.
Berdasarkan latar belakang diatas didapatkan bahwa determinan asupan energi
dan protein pada balita yaitu umur balita, pendidikan ibu, jumlah keluarga, status
bekerja ibu, status ekonomi, dan umur ibu. Maka disinyalir determinan asupan
energi dan protein balita berbeda antara wilayah Indonesia timur dan Indonesia
Barat, sehingga perlu diadakan penelitian yang membuktikan adanya perbedaan
determinan asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat.
Sehubungan dengan masalah di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai “Determinan Asupan energi dan protein Balita Pada
Wilayah Indonesia Timur Dan Barat Tahun 2010 (Berdasarkan Analisis Data
Sekunder RISKESDAS 2010)”. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan
masukan kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan disaat membuat
9
kebijakan kesehatan yang terkait dengan asupan makanan pada balita di masing-
masing bagian wilayah Indonesia Timur dan Barat.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1.3.1 Bagaimana gambaran asupan energi dan protein pada balita, umur ibu balita,
umur balita, pendidikan ibu, status bekerja ibu, tingkat ekonomi keluarga
dan jumlah keluarga di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data
riskesdas 2010?
1.3.2 Apakah ada hubungan antara umur ibu balita terhadap asupan energi dan
protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data
riskesdas 2010?
1.3.3 Apakah ada hubungan antara umur balita terhadap Asupan energi dan
protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data
riskesdas 2010?
1.3.4 Apakah ada hubungan antara pendidikan ibu terhadap asupan energi dan
protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data
riskesdas 2010?
1.3.5 Apakah ada hubungan antara status bekerja ibu terhadap asupan energi dan
protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data
riskesdas 2010?
1.3.6 Apakah ada hubungan antara tingkat ekonomi keluarga terhadap asupan
energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat
menurut data riskesdas 2010?
10
1.3.7 Apakah ada hubungan antara jumlah keluarga terhadap asupan energi dan
protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data
riskesdas 2010?
1.4. Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di
Wilayah Indonesia Timur Dan Barat Tahun 2010 (berdasarkan analisis data
sekunder riskesdas 2010).
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1 Diketahuinya gambaran asupan energi dan protein pada balita,
umur ibu balita, umur balita, pendidikan ibu, status bekerja ibu,
tingkat ekonomi keluarga, dan jumlah keluarga di wilayah
Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010.
1.4.2.2 Diketahuinya hubungan antara umur ibu balita terhadap asupan
energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan
Barat menurut data riskesdas 2010.
1.4.2.3 Diketahuinya hubungan antara umur balita terhadap Asupan energi
dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat
menurut data riskesdas 2010.
1.4.2.4 Diketahuinya hubungan antara pendidikan ibu terhadap asupan
energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan
Barat menurut data riskesdas 2010.
11
1.4.2.5 Diketahuinya hubungan antara status bekerja ibu terhadap asupan
energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan
Barat menurut data riskesdas 2010.
1.4.2.6 Diketahuinya hubungan antara tingkat ekonomi keluarga terhadap
asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur
dan Barat menurut data riskesdas 2010.
1.4.2.7 Diketahuinya hubungan antara jumlah keluarga terhadap asupan
energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan
Barat menurut data riskesdas 2010.
1.5. Manfaat
1.5.1 Bagi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan
informasi bagi Kementerian Kesehatan dalam menentukan perencanaan
kebijakan dan program penaggulangan gizi agar lebih merata ke setiap
bagian wilayah Indonesia timur dan barat, khususnya dalam mewujudkan
Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015.
1.5.2 Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat dipergunakan untuk pengembangan ilmu dan
sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti
selanjutnya yang berhubungan dengan faktor apa saja yang berhubungan
dengan Asupan Makanan pada balita.
12
1.6. Ruang Lingkup
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif menggunakan analisis
data sekunder riskesdas dengan membandingkan “Determinan Asupan Energi
dan Protein Pada Balita Di Wilayah Indonesia Timur Dan Barat Tahun 2010”.
Penelitian ini dilakukan pada Balita usia 12- 47 bulan. Variabel yang diteliti adalah
umur ibu balita, umur balita, pendidikan ibu, status bekerja ibu, tingkat ekonomi
keluarga dan jumlah anggota keluarga dengan asupan energi dan protein. Data
penelitian ini merupakan analisis data sekunder riskesdas 2010 di wilayah Indonesia
timur dan barat. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Jurusan Kesehatan Masyarakat Peminatan Gizi Semester 8 pada bulan Mei
– Desember 2012.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asupan Energi dan Protein
Makanan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan terutama untuk
pertumbuhan. Tanpa asupan makanan dan nutrisi yang cukup, suatu organisme
tidak bisa tumbuh dan berkembang secara normal (Robert, 1999 dalam Lupiana,
2010).
Makronutrien atau yang disebut sebagai zat gizi makro yang terdiri dari
karbohidrat, protein dan lemak adalah jenis zat gizi yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan anak. Energi diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, utilisasi
bahan makanan, dan aktivitas. Kebutuhan energi di suplai terutama oleh karbohidrat
dan lemak. Walaupun protein dalam diet dapat memberikan energi untuk keperluan
tersebut, fungsi utamanya yaitu untuk menyediakan asam amino bagi sintesa protein
sel, dan hormone maupun enzim untuk mengatur metabolisme (Pudjiadi, 2005).
Tingkat kesehatan biasanya dipengaruhi oleh asupan makanan yang masuk ke
dalam tubuh seseorang, jika asupan gizi yang masuk dalam komposisi yang baik
maka gizi seseorang juga akan baik. Namun jika yang terjadi adalah yang
sebaliknya maka tubuh akan kekurangan zat gizi atau biasa disebut malnutrition.
Masalah tersebut disebabkan oleh kekurangan atau ketidakseimbangan antara energi
dan protein yang masuk dalam tubuh (Notoatmodjo, 1996).
Kebutuhan nutrient tertinggi per kg berat badan dalam sikulus daur kehidupan
adalah pada masa bayi dimana kecepatan tertinggi dalam pertumbuhan dan
metabolism terjadi pada masa ini (Kusharisupeni, 2007). Seorang anak yang sehat
14
dan normal akan tumbuh sesuai dengan potensi genetic yang dimilikinya. Akan
tetapi asupan zat gizi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan akan mempengaruhi
pertumbuhan anak. Kekurangan asupan makanan akan dimanifestasikan dalam
bentuk pertumbuhan yang menyimpang dari standar (khomsan,2004).
Asupan makanan terkait dengan ketersediaan pangan namun tidak berarti jika
tersedia pangan kemudian akan secara pasti setiap orang akan tercukupi konsumsi
makanan yang dikonsumsinya. Apabila anak balita asupan makanannya tidak cukup
maka daya tahan tubuhnya akan menurun sehingga akan mengalami kurang gizi dan
mudah terserang penyakit infeksi, maka anak akan kehilangan nafsu makan
sehingga intake makanan menjadi kurang. Dua hal inilah yang menjadi penyebab
gizi kurang. Selama masa pertumbuhan anak balita memerlukan asupan energi dan
protein. Protein diperlukan oleh anak balita untuk pemeliharaan jaringan, perubahan
komposisi tubuh dan pertumbuhan jaringan baru (Robberts,et,al. 2000 dalam
nuraeni, 2008). Menurut Arisman (2004), jika asupan protein kurang pada balita
maka dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan jaringan dan organ, berat badan dan
tinggi badan, serta lingkar kepala. Dan menurut Unicef (1998), anak yang tidak
cukup menerima asupan makan maka daya tahan tubuh (imunitas) melemah,
sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya gizi kurang.
Balita dikatakan kekurangan asupan zat gizi (energi dan protein) apabila
tingkat konsumsi energi ≤ 70% AKG dan protein ≤ 80% AKG (Depkes, 2005).
Kecukupan energi dan protein untuk balita perorang perhari menurut kelompok
umur dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.
15
Tabel 2.1
Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata Yang Dianjurkan(Per Orang Per Hari)
Golongan umur Energi (Kkal) Protein (gr)
12-47 bulan 1000 25
48-60 bulan 1550 39
Sumber : Depkes RI, 2005
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein yang berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan,
pengaturan suhu, kegiatan fisik. Setiap orang membutuhkan energi untuk
mempertahankan hidup guna menunjang proses pertumbuhan dan melakukan
aktivitas harian. Energi yang masuk melalui makanan harus seimbang dengan
kebutuhannya, bila hal tersebut tidak tercapai akan terjadi pergeseran keseimbangan
kearah negative atau positif. Keadaan berat badan seseorang dapat digunakan
sebagai satu petunjuk apakah seseorang dalam keadaan seimbang, kelebihan atau
kekurangan energi (Sayogo, 2006).
Sedangkan protein merupakan bagian dari semua sel-sel hidup, seperlima dari
berat tubuh orang dewasa merupakan protein (Yuniastuti, 2008). Protein sebagai
pembentuk energi, angka energi yang diperoleh akan tergantung dari macam jumlah
bahan makanan nabati dan hewani yang dikonsumsi manusia setiap harinya. Protein
dalam tubuh berfungsi untuk menyediakan energi apabila kebutuhan energi tidak
tercukupi dari konsumsi karbohidrat dan lemak (Martaliza, 2010). Energi yang
diperlukan tubuh hendaknya 10-15% didapat dari protein. Bahan makanan hewani
merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutu seperti: telur,
16
susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber nabati adalah kacang kedelai dan
hasilnya, seperti tempe, tahu, serta kacang-kacangan lain (Almatsier, 2002).
Menurut Depkes RI (2002), kekurangan energi dan protein pada masa anak-
anak akan berdampak secara langsung terhadap gangguan pertumbuhan,
perkembangan dan produktifitas. Proses pertumbuhan yang terganggu tersebut
akibat dari penggunaan protein tubuh sebagai sumber energi bukan pada fungsi
sebagai sumber zat pembangun.
Menurut Sediaoetama (1996). Konsumsi energi dan protein lebih banyak
ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan
mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam
bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam
suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas
dan kuantitas harus dapat terpenuhi.
Berdasarkan hasil Penelitian Riyadi,dkk (2011) di wilayah Nusa Tenggara
Timur, pada pembuatan makanan untuk anak-anak, ibu cenderung memberikan nasi
jagung (tanpa lauk pauk). Hal ini akan menyebabkan anak-anak kekurangan
konsumsi protein dengan mutu baik karena konsumsi protein hanya bertumpu pada
protein nabati beras yang kekurangan asam amino lysine.
2.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Asupan Energi dan Protein pada
Balita.
Menurut Call dan Levinson (1871) dalam Supariasa (2001), Faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya masalah gizi adalah sebagai berikut;
17
Gambar 2.1
Faktor Penyebab Timbulnya Masalah Gizi
Sumber: Call dan Levinson (1871) dalam Supariasa (2001)
Sedangkan menurut Apriadji (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi
makanan yaitu terdapat faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak
langsung yaitu pendapatan keluarga, harga bahan makanan, tingkat pengelolaan
sumber daya lahan dan pekarangan. Sedangkan faktor langsung yaitu daya beli
keluarga, latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi,
dan jumlah anggota keluarga. Faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada gambar 2.2.
Zat gizi dalam makanan
Ada tidaknya program
pemberian makanan di
luar keluarga
Daya beli keluarga
Pemeliharaan kesehatan
Kebiasaan makan
Lingkungan fisik dan
sosial
Konsumsi
makanan
Kesehatan
Status
gizi
18
Gambar 2.2
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Makanan
Sumber : Apriadji, 1986
Menurut Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989), ada 3 faktor yang
mempengaruhi konsumsi makanan yaitu karakteristik individu, karakteristik
makanan dan karakteristik lingkungan. ketiga faktor tersebut akan mempengaruhi
preferensi seseorang terhadap makanan yang akhirnya akan mempengaruhi
konsumsi makanan. Ketiga faktor tersebut dapat digambarkan dalam suatu model
seperti pada gambar 2.3.
Pendapatan keluarga
Harga bahan makanan
Tingkat pengelolaan sumber
daya lahan dan pekarangan
Daya beli
keluarga
Latar belakang
sosial budaya
Tingkat pendidikan
dan pengetahuan gizi
Jumlah anggota
keluarga
Konsumsi Makanan
19
Gambar 2.3
Model Konsumsi Makanan
Sumber: Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989)
2.2.1 Umur Ibu
Usia produktif ibu dalam masa reproduksi berperan dalam membantu
pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Usia produktif ibu berkisar 20-35
tahun, penelitian Farida (2002) mengungkapkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara umur ibu dengan status gizi balita.
Penelitian Karyadi (2008), menemukan ibu yang berusia antara 20- 35
tahun lebih banyak anak balitanya dengan status gizi baik dibanding ibu-ibu
yang lebih muda atau lebih tua dari 20-30 tahun.
Menurut Sediaoetama (2006), menyatakan bahwa usia berpengaruh
terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat
Konsumsi makanan
Preferensi Makanan
Karakteristik Individu Karakteristik Makanan Karakteristik Lingkungan
- Umur
- Jenis kelamin
- Pendidikan
- Pendapatan
- Pengetahuan gizi
- Keterampilan memasak
- kesehatan
- Rasa
- Rupa
- Tekstur
- Harga
- Tipe makanan
- Bentuk
- Bumbu
- Kombinasi makanan
- Musim
- Pekerjaan
- Mobiitas
- Perpindahan penduduk
- Jumlah keluarga
- Tingkatan sosial pada
masyarakat
20
diperoleh melalui pengalaman sehari-hari diluar faktor pendidikannya.
Sebagaimana nilai budaya, pembelanjaan dan konsumsi makanan telah
tergantikan dengan modernisasi. Dapat diasumsikan bahwa kemampuan
pemilihan makanan ibu rumah tangga muda akan berbeda dengan
kemampuan pemilihan makanan pada ibu rumah tangga yang telah berumur
lebih tua dan pola pembelian makanan ibu rumah tangga muda cenderung
lebih terpengaruh kepada orang tuanya. Umur ibu berpengaruh pada tipe
pemilihan konsumsi makanan di rumah dan juga pengeluaran makanannya
(Sanjur, 1982) dalam Suhardjo (1989).
Selanjutnya Hurlock (1999) dalam Ningsih (2008) menyatakan bahwa
faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih
memperhatikan kepentingannya sendiri dari pada kepentingan anaknya.
Kondisi yang demikian akan menyebabkan kuantitas dan kualitas
pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur
cenderung akan menerima peranannya dengan sepenuh hati. Hal sebaliknya
dinyatakan oleh Sunyoto (1991) dalam Arinta (2010) bahwa seseorang yang
sudah berumur maka penerimaan terhadap hal baru akan semakin rendah.
Hal ini karena orang yang termasuk dalam golongan tua memiliki
kecenderungan selalu bertahan dengan nilai-nilai lama sehingga
diperkirakan sulit menerima hal-hal yang sifatnya baru.
Penelitian Shantica (1993) di Ponorogo menyebutkan bahwa sebesar
42,6% responden masih dipengaruhi oleh orang tua atau mertuanya dalam
21
memberikan makanan pada balitanya. Kebiasaan yang turun menurun ini
seringkali kurang sesuai dengan anjuran makanan sehat bagi balita.
Penelitian Susenas (1986) dalam Alibbirwin (2001) menunjukkan ada
hubungan antara umur ibu dengan status gizi balita. Pada hasil tersebut
terlihat bahwa balita yang ibunya berumur 20-35 tahun memiliki status gizi
yang baik. Status gizi balita salah satunya dipengaruhi oleh konsumsi
makanan yang adekuat. Kusin dan Kardjati (1985) menyatakan bahwa salah
satu hal yang berhubungan dengan penyimpangan pertumbuhan dan kurang
gizi pada anak adalah kurang cukupnya konsumsi makanan yang diterima
oleh anak.
Berdasarkan penelitian Sanjur (1982) dalam Suhardjo (1989).
menunjukkan hubungan yang nyata antara umur ibu dengan konsumsi
energi dan protein pada anak. Sedangkan dalam penelitian Handayani,
didapatkan hasil bahwa semakin tua umur ibu balita maka proporsi balita
yang mengalami gizi kurang semakin kecil. Dan menurut Sampoerno dan
Azwar (1987), seorang wanita muda akan cenderung mengalami kesulitan
dalam merawat anak atau balitanya dikarenakan kurang pengalaman dalam
hal merawat atau mengasuh anak dan dalam memberikan asupan makanan
yang baik untuk balita sehingga dapat menyebabkan anak atau balita
menderita KEP. Sebaliknya menurut Soeprono (1982) dalam Mahliawati
(2010), seorang wanita yang sudah berumur memiliki kemunduran fungsi
fisiologis dan reproduksi secara umum. Sehingga akan sulit dalam
22
mengasuh anak dan dalam memberikan asupan makanan yang baik bagi
anak.
2.2.2 Umur Balita
Umur ialah masa hidup responden dalam tahun dengan pembulatan
kebawah atau umur pada ulang tahun terakhir (Depkes, 2008). Masalah gizi
dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi pada suatu
kelompok umur tertentu akan mempengaruhi status gizi pada periode siklus
kehidupan berikutnya (intergenerational impact) (Azwar, 2004 dalam Rizki,
2011). Salah satu faktor utama yang mempengaruhi asupan makanan adalah
karakteristik individu yaitu umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, lama
bekerja, pendidikan dan pengetahuan gizi (Suhardjo, 1989).
Umur merupakan faktor gizi internal yang menentukan kebutuhan gizi,
sehingga umur berkaitan erat dengan status gizi balita (Apriadji, 1986).
Hasil beberapa penelitian menemukan bahwa pada umur dibawah 6 bulan
kebanyakan bayi masih dalam keadaan status gizi baik, sedangkan pada
golongan umur setelah 6 bulan jumlah bayi yang berstatus gizi baik
menurun sampai 50% (Soekirman, 2000). Prevalensi KEP ditemukan pada
usia balita, kebutuhan gizi pada usia tersebut meningkat sedangkan ASI
sudah tidak mencukupi, disamping makanan sapihan tidak diberikan dalam
jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya diare karena kontaminasi
pada makanan yang diberikan (Abunain, 1979 dalam Mulyanawati, 2002).
Setelah anak umur satu tahun, pertumbuhannya berjalan sangat pesat
dibanding pertumbuhan pada umur dewasa. Namun demikian, dalam daur
23
kehidupan masa antara umur satu tahun hingga remaja pertumbuhan
fisiknya tidak terlalu cepat. Dalam masa ini, kebutuhan anak balita akan zat
gizi harus tetap diperhatikan. Anak balita sangat membutuhkan asupan
protein dan energi yang adekuat untuk proses pertumbuhan dan
perkembangan (King, et al., 1972 dalam Anggraini, 2012). Pada umur balita
sangat rentan mengalami masalah gizi terutama umur 2 tahun, karena
asupan energi dan protein pada masa ini cukup sedikit. Dalam umur ini
terjadi peningkatan berat badan yang lambat bahkan penurunan berat badan
pada beberapa anak (Jelliffe, 1969 dalam Supariasa, 2002).
Hasil penelitian Kunanto (1992), menunjukkan bahwa ada hubungan
antara umur balita dengan status gizi. Hal ini berkaitan dengan menurunnya
perhatian orang tua anak tersebut, yang mungkin disebabkan oleh adanya
anak yang lebih muda (Adik) atau kesibukan orangtua anak tersebut.
Sedangkan hasil penelitian Sari, dkk (2003), didapatkan bahwa balita usia
25 bulan sampai 36 bulan lebih banyak mengalami gizi kurang di banding
dengan usia dibawah 24 bulan.
Faktor umur banyak terkait dengan masalah pertumbuhan dan aktivitas
anak. Periode pertumbuhan yang sangat cepat terjadi pada bayi dan awal
balita. Pada usia 6-12 bulan percepatan pertumbuhan yang sangat cepat
terjadi pada bayi dan awal balita. Pada usia 6-12 bulan percepatan
pertumbuhan berat badan rata-rata 0,4 kg/bulan dan 13-23 bulan
percepatannya 0,2 kg/bulan (Jahari,2004).
24
Semakin tua usia anak maka semakin baik status gizinya pada kelompok
yang diberi ASI. KEP tertinggi juga ditemukan pada kelompok anak usia 1
tahun yang mulai di sapih (Suhardjo, 1989). Menurut Notoatmodjo (2003),
anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan penyakit,
dikarenakan beberapa anggapan bahwa balita baru berada dalam masa
transisi dari makanan bayi ke makanan orang dewasa, biasanya balita juga
sudah mempunyai adik atau ibu yang sudah bekerja penuh sehingga
perhatian ibu sudah berkurang. Selain itu anak balita belum dapat mengurus
dirinya sendiri, termasuk dalam pemilihan makanan.
Menurut Ruslina (2000) yang menyatakan pada anak umur 0-12 bulan
tidak terjadi KEP karena pada umur tersebut pemberian ASI saja sudah
dapat mencukupi seluruh kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan, kemudian
setelah usia 6 bulan sampai 12 bulan ASI dapat memenuhi kebutuhan bayi
sebanyak 60-70%, karena itu pada usia 6-12 bulan bayi sudah perlu
diberikan makanan pendamping ASI, dengan demikian terdapat
kecenderungan bahwa semakin tinggi umur balita maka semakin besar
peluang untuk mengalami kurang asupan energi dan protein.
2.2.3 Status Bekerja Ibu
Menurut Djaeni (2000), pekerjaan adalah mata pencaharian apa yang
dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan
nafkah. Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa
16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat,
istirahat, tidur, dan lain-lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat
25
bekerja dengan baik selama 40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam
seminggu, sesuai dengan pasal 12 ayat 1 Undang-undang tenaga kerja No.
14 Tahun 1986.
Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum
wanita yang bekerja terutama di sector swasta. Di satu sisi hal ini
berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain
berdampak negative terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian
terhadap pemberian makan pada anak yang kurang dapat menyebabkan anak
menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap
tumbuh kembang anak dan perkembangan otak mereka. Beban kerja yang
berat pada ibu yang melakukan peran ganda dan beragam akan dapat
mempengaruhi status kesehatan ibu dan status gizi balitanya (Mulyati, 1990
dalam Hermansyah, 2010).
Pada dasarnya hal ini dapat dikurangi dengan merubah pembagian kerja
dalam rumah tangga. Anak balita merupakan kelompok umur yang paling
sering menderita kekurangan energi dan protein (KEP). Beberapa kondisi
yang merugikan dalam penyediaan makan bagi kebutuhan balita, anak balita
masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke orang dewasa, jadi balita
masih perlu beradaptasi. Anak balita belum dapat mengurus diri sendiri
dengan baik dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang
dibutuhkan dalam makanannya (Djaeni, 2000).
Dalam hal mengasuh anak, ibu adalah orang yang paling banyak terlibat
sehingga pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan anak. Faktor
26
peranan wanita atau ibu rumah tangga sangat erat kaitannya dengan status
gizi anak, Karena meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat mengurangi
waktu untuk pemeliharaan anak (Mutmainah, 1996). Ibu yang bekerja
diluar rumah mempunyai kecenderungan menyerahkan pemberian makanan
untuk balitanya dengan orang lain, misalnya kepada orang tua, pembantu
atau titip dengan tetangga, sehingga pemberian asupan makanan balita tidak
dapat dipantau dengan baik. Kemampuan dalam memberikan asupan gizi
balita merupakan sesuatu yang ditampilkan ibu dalam upaya memenuhi
kecukupan gizi balita. Penyediaan makanan bagi keluarga pada umumnya
merupakan tugas seorang ibu (Sediaoetama, 2004). Ibu mempunyai peranan
yang penting dalam memberikan asupan gizi pada balitanya. Kecukupan
gizi sangat diperlukan untuk pertumbuhan otak terutama pada masa balita,
sehingga ibu diharapkan memiliki kemampuan yang baik dalam
memberikan asupan gizi untuk balita (Depkes RI, 2000).
Kunanto (1992) dalam Hatril (2001) menjelaskan bahwa mata
pencaharian yang relative tetap meskipun rendah jumlahnya akan
memberikan jaminan sosial keluarga yang relative lebih aman dibandingkan
dengan pekerjaan yang tidak tetap. Selanjutnya dengan penghasilan yang
memadai akan memudahkan dalam mengelola pengeluaran untuk pangan
yang beranekaragam dan sesuai dengan menurut kebutuhan keluarga.
Anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita
kekurangan energi dan protein (KEP). Beberapa kondisi yang merugikan
dalam penyediaan makan bagi kebutuhan balita, anak balita masih dalam
27
periode transisi dari makanan bayi ke orang dewasa, jadi balita masih perlu
beradaptasi. Anak balita belum dapat mengurus diri sendiri dengan baik dan
belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang dibutuhkan dalam
makanannya (Djaeni, 2000).
Dampak dari pekerjaan ibu menurut beberapa studi mengemukakan
bahwa selain berkontribusi terhadap pendapatan keluarga, status pekerjaan
ibu berdampak pada keadaan gizi dan kesehatan keluarga yaitu ditunjukkan
dengan adanya perubahan dalam praktek konsumsi makanan keluarga
(Sanjur, 1982) dalam Suhardjo (1989). Dampak ini akan jelas terlihat pada
anak-anak kecil yang berada dalam suatu keluarga dengan status pekerjaan
ibu. Ibu yang bekerja di luar rumah, maka akan menyerahkan segala
perawatan balitanya kepada orang yang mengasuhnya (keluarga, tempat
penitipan anak) termasuk juga mengenai pola makanan sehari-harinya.
Mereka merupakan orang yang penting pada saat ibu bekerja di luar rumah.
Pengganti orang ini belum tentu mengerti dan mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang kebutuhan gizi yang diperlukan untuk anak balita
sehingga akan mempengaruhi status gizi anak balita tersebut (Bumi, 2005).
Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan keluarga,
dengan adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga, maka keluarga
tersebut relatif terjamin pendapatannya setiap bulan. Jika keluarga tidak
memiliki pekerjaan tetap, maka pendapatan keluarga setiap bulannya juga
tidak dapat dipastikan. Buruh merupakan kelompok pekerjaan dengan
pendapatan terbatas (Khomsan,et al 2009).
28
Beeby (1982) dalam Hatril (2001) mengemukakan bahwa pekerjaan
ditentukan oleh pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan terdapat
kecenderungn untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan
berpenghasilan tetap. Status bekerja ibu merupakan karakteristik ekonomi
yang berhubungan dengan pendapatan. Ibu meninggalkan rumah untuk
bekerja memiliki masalah yang berkaitan dengan siapa yang memberikan
pelayanan di rumah termasuk siapa yang mengasuh balita. Soekirman, dkk
(2000) menyatakan bahwa meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat
mengurangi waktu untuk tugas merawat anak dan memberikan asupan
makanan yang sesuai kebutuhan. Dalam mengasuh anak, ibu adalah orang
yang paling banyak terlibat sehingga pengaruhnya sangat besar bagi
perkembangan balita. Peran sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga
sangat erat kaitannya dengan status gizi anak. Menurut Harahap (1992)
dalam Handayani (2012), mengemukakan bahwa salah satu dampak
negative yang ditimbulkan sebagai akibat bekerjanya ibu di luar rumah
adalah ketelantaran balita, sebab anak balita bergantung pada pengasuhnya.
2.2.4 Pengetahuan Gizi Ibu
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi sesudah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan
merupakan faktor yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang. Berdasarkan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng (Notoatmodjo, 2007).
29
Pengukuran pengetahuan dilakukan dengan cara wawancara terstruktur
dengan kuisioner. Aspek-aspek dalam pengetahuan gizi yaitu; a) pangan dan
gizi (pengertian, jenis, fungsi, sumber, akibat kekurangan), b) pangan gizi
bayi (ASI, MP-ASI, umur pemberian, jenis), c) pangan/gizi balita, d)
pangan/gizi ibu hamil, e) pertumbuhan anak, f) kesehatan anak, g)
pengetahuan tentang pengasuhan anak. Kategori pengetahuan gizi bisa
dibagi dalam 3 kelompok yaitu baik, sedang, kurang. Cara pengkategorian
dilakukan dengan cut off points dari skor yang sudah dijadikan persen, yaitu
baik dengan skor >80% jawaban benar, sedang dengan skor 60-80%
jawaban benar, dan kurang dengan skor < 60% jawaban benar
(Khomsan,2004).
Hasil penelitian Syahbudin (2002) di puskesmas Munjul Kecamatan
Majalengka mengatakan bahwa meskipun pengetahuan ibu bukan
merupakan faktor penyebab langsung terjadinya gizi kurang namun terbukti
bahwa pengetahuan ibu tentang gizi ada hubungan bermakna dengan
terjadinya gizi kurang pada balita. Hasil penelitian Mulyaningsih (2007) di
Kecamatan Cilincing Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa terdapat
kecenderungan proporsi ibu yang mempunyai pengetahuan kurang memiliki
anak gizi kurang lebih tinggi yaitu 36,1% dibanding ibu yang memiliki
pengetahuan baik (28,6%).
2.2.5 Pendidikan Ibu
Pendidikan merupakan suatu proses penyampaian bahan materi
pendidikan kepada sasaran pendidikan guna perubahan tingkah laku. Hasil
30
pendidikan orang dewasa adalah perubahan kemampuan, penampilan atau
perilakunya. (Notoatmodjo,2007). Menurut Depdiknas (2001), pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan.
Latar belakang pendidikan orang tua baik kepala keluarga maupun istri
merupakan salah satu unsur penting dalam hal ikut menetukan keadaan gizi
anak. Hubungan positif antara tingkat pendidikan orang tua dengan keadaan
gizi telah banyak diungkapkan oleh para peneliti. Pada masyarakat dengan
rata-rata pendidikan rendah, menunjukkan prevalensi gizi kurang yang
tinggi dan sebaliknya pada masyarakat yang tingkat pendidikannya cukup
tinggi prevalensi gizi kurangnya rendah (Abunain, 1998 dalam Soekirman,
2000).
Sedangkan menurut Notoatmodjo (2007), pendidikan adalah suatu proses
penyampaian bahan, materi pendidikan kepada sasaran pendidikan guna
perubahan tingkah laku. Hasil pendidikan orang dewasa adalah perubahan
kemampuan, penampilan atau perilakunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin banyak pengalaman atau
informasi yang diperoleh. Ibu yang berpendidikan rendah biasanya apatis
terhadap hal-hal baru, sehingga merupakan kendala besar untuk
meningkatkan kesehatannya. Pendidikan yang rendah juga berpengaruh
kepada pola konsumsi gizi keluarga sehingga mempengaruhi berat lahir dan
kematian neonatal (Ronoatmodjo,1996 dalam Mahliawati, 2010).
31
Pendidikan bertujuan memberikan pengetahuan kepada keluarga,
khususnya kaum perempuan tentang gizi seimbang, memantau berat badan
balita, pengasuhan balita yang benar, serta mendorong pola hidup sehat
lainnya (Soekirman dalam Siswono, 2007).
Rendahnya pendidikan orangtua khususnya ibu merupakan penyebab
mendasar terpenting yang mempengaruhi tingkat kemampuan individu,
keluarga dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya yang ada untuk
mendapatkan kecukupan bahan makanan serta sejauh mana sarana
pelayanan kesehatan gizi dan sanitasi lingkungan yang tersedia
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya (Depkes RI, 2005).
Pendidikan ibu menjadi dasar yang penting bagi keluarga karena dengan
semakin tinggi pendidikan maka lebih memudahkan untuk beradaptasi
dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi dan mempengaruhi pula
produktivitas dan kesejahteraan keluarga. Pendidikan baik secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi pengetahuan gizi (Surbakti, 1989).
Hal ini terlihat dari pengetahuan ibu tentang memilih bahan makanan yang
bernilai gizi baik dan tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam
pengolahan sangat mempengaruhi status gizi balita (Khumaidi, 1994).
Menurut Hidayat (1989), tingkat pendidikan akan mempengaruhi
konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang
berpendidikan lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan yang
lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Makin tinggi pendidikan orang
tua makin baik status gizi anaknya (Soekirman, 2000).
32
Faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya
seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang meraka peroleh
(Apriadji,1986 dalam Nuraeni, 2008). Setiap kenaikan satu tahun
pendidikan ibu mempunyai efek proteksi memperkecil risiko terjadinya
KEP pada balita sebesar 0,89 kali. Pendidikan ibu merupakan faktor tidak
langsung yang mempengaruhi status gizi (Amos,2000).
Hasil penelitian Mulyaningsih (2007) di Kecamatan Cililin Kabupaten
Bandung bahwa terdapat kecenderungan pada ibu yang berpendidikan
rendah mempunyai anak dengan status gizi kurang lebih tinggi (33,7%)
dibanding dengan ibu yang berpendidikan tinggi dengan anak gizi kurang
(28,6%) dan terdapat kecenderungan positif antara pendidikan ibu dengan
asupan protein. Sedangkan menurut hasil penelitian Riyadi, dkk (2011) di
wilayah Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa pendidikan ibu yang
relative tinggi dapat meningkatkan pengetahuan gizi serta praktek gizi dan
kesehatan, yang secara tidak langsung memperbaiki kebiasaan makan anak,
yang pada akhirnya meningkatkan konsumsi energi dan protein balita.
Semakin tinggi pendidikan ibu diikuti oleh semakin mudahnya akses ibu
untuk memperoleh informasi gizi dan kesehatan, sehingga berhubungan
positif terhadap peningkatan konsumsi energi dan protein balita.
Tingkat pendidikan dan intelegensi ibu yang tinggi dapat bertindak
sebagai faktor protektif yang mengurangi keadaan gizi kurang dalam awal
usia anak-anak terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, kondisi gizi yang
sama cenderung menimbulkan efek yang lebih buruk terhadap
33
perkembangan anak jika ibunya buta huruf atau mempunyai pendidikan
yang rendah (Gibney JM, 2009).
Pada penelitian Fikar (2003) di Padang, menunjukkan terdapat hubungan
yang bermakna antara pendidikan ibu dengan KEP pada anak dimana ibu
yang berpendidikan rendah berisiko KEP pada anaknya 4,07 kali lebih besar
dibanding dengan ibu yang berpendidikan tinggi (p<0,05; 95%CI; 2,262-
7,308).
Pendidikan ibu dapat memperbaiki cara penggunaan sumber daya
keluarga dan memberi dampak positif terhadap taraf gizi keluarga.
Pendidikan ibu akan menentukan pemilihan bahan makanan yang
dikonsumsi. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi lebih sedikit dipengaruhi
oleh praktek-praktek tradisional yang merugikan kualitas dan kuantitas
makanan untuk dikonsumsi keluarga setiap harinya (Schultz et.al, 1984
dalam Ichwanudin,2002).
Selanjutnya rendahnya tingkat pendidikan dapat menyebabkan rendahnya
pemahaman terhadap apa yang dibutuhkan pada pengasuh demi
perkembangan optimal anak (Mutmainah, 1996). Hal ini terlihat dari
pengetahuan ibu tentang memilih bahan makanan yang bernilai gizi baik
dan tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam pengolahan sangat
mempengaruhi status gizi balita (Khumaidi, 1994). Menurut Jus‟at (1992)
dalam Handayani (2012), bahwa tingkat pendidikan ibu sangat berperan
terhadap pola asuh anak, alokasi masukan zat gizi serta utilisasi informasi
lainnya dan sekaligus menggambarkan tingkat ekonomi rumah tangga.
34
Menurut Owor, dkk (2000) dalam (Nasekhah 2010) menemukan bahwa
meskipun tinggi tingkat pendidikan ibu di Nigeria, anak-anak mereka
memiliki kecenderungan menderita kurang energi dan protein. Hal ini
disebabkan karena semakin tinggi pendidikan ibu, kesempatan untuk
meningkatkan status sosial ekonomi juga semakin tinggi, oleh karena itu
mereka memiliki waktu yang terbatas untuk mengasuh anak dan mereka
memilih tempat penitipan anak.
Teori yang diungkapkan Rodriguez (2004), bahwa salah satu faktor yang
menentukan perilaku makan adalah pendidikan. Pendidikan dapat
menentukan mudah tidaknya seseorang menerima nasehat atau pesan-pesan
gizi sehingga dalam memberikan penyuluhan terhadap seseorang rharus
memperhatikan pendidikannya. Menurut Soekidjo (2007), selain itu unsur
pendidikan ibu berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak diantaranya
kebiasaan makan. Sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek
atau pengasuhnya yang juga miskin dan tidak berpendidikan.
Pendidikan ibu menjadi dasar yang penting bagi keluarga karena dengan
semakin tinggi pendidikan maka lebih memudahkan untuk beradaptasi
dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi dan mempengaruhi pula
produktivitas dan kesejahteraan keluarga. Pendidikan baik secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi pengetahuan gizi (Surbakti, 1989).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kandun, dkk (1988) yang
mendapatkan sebesar 95,9% balita tidak naik berat badannya mempunyai
ibu yang berpendidikan SD ke bawah. Kartono,dkk (1993) mendapatkan
35
hasil yang sama dengan penelitian Kandun yaitu tingkat pendidikan ibu
berpengaruh terhadap kenaikan berat badan balita. Semakin tinggi tingkat
pendidikan ibu, cenderung mempunyai balita yang berat badannya naik.
2.2.6 Ketersediaan Pangan
Asupan zat gizi (energi dan protein) dipengaruhi oleh ketersediaan
pangan ditingkat keluarga dan jika tidak cukup dapat dipastikan konsumsi
setiap anggota keluarga tidak terpenuhi (Depkes RI, 2002). Kemampuan
keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar
kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri serta tingkat
pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan (Apriadji, 1986). Sedangkan
menurut Setiyabudi (2007), setiap keluarga diharapkan mampu untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang
cukup baik maupun mutu gizinya.
2.2.7 Besar Keluarga
Urutan kelahiran merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada
pola pertumbuhan anak dan balita dalam satu keluarga. Anak yang terlalu
banyak selain menyulitkan dalam mengurusnya juga kurang bisa
menciptakan suasana tenang didalam rumah. Lingkungan keluarga yang
selalu ribut akan mempengaruhi ketenangan jiwa, dan ini secara langsung
akan menurunkan nafsu makan anggota keluarga lain yang terlalu peka
terhadap suasana yang kurang mengenakan, dan jika pendapatan keluarga
hanya pas-pasan sedangkan jumlah anggota keluarga banyak maka
pemerataan dan kecukupan makanan didalam keluarga kurang terjamin,
36
maka keluarga ini bisa disebut keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya
hampir tidak pernah tercukupi dengan demikian penyakitpun terus
mengintai (Apriadji, 1996). Berg (1986) dalam Reno (2008), menunjukkan
bahwa rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar memiliki
resiko kelaparan empat kali lebih besar dibanding keluarga yang memiliki
anggota keluarga kecil, dan beresiko pula mengalami gizi kurang sebanyak
lima kali lebih besar dibanding keluarga yang memiliki anggota keluarga
kecil. Jumlah anggota keluarga yang besar akan mempengaruhi distribusi
makanan terhadap anggota keluarga, terutama pada anggota keluarga miskin
yang terbatas kemampuannya dalam penyediaan makanan, sehingga akan
beresiko terhadap gizi kurang.
Sedangkan menurut Amos (2000), menyatakan bahwa ada hubungan
antara jumlah anak dengan status gizi. Semakin banyak jumlah anak maka
semakin besar risiko menderita kurang energi protein (KEP). Menurut
Suhendri (2009), jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan
social ekonominya cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan
kasih sayang yang diterima oleh anak. Lebih-lebih jika jarak anak terlalu
dekat.
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata
pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka
yang sangat miskin, akan lebih mudah memahami kebutuhan makanannya
jika yang harus diberi makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia
untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk mencegah gangguan
37
gizi pada keluarga yang besar tersebut. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu
keluarga miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh
anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh
oleh kekurangan pangan. Tahun –tahun awal masa kanak-kanak yang
biasanya meliputi 1-6 tahun, adalah yang paling rawan. Kurang energi
protein berat akan sedikit dijumpai bila jumlah anggota keluarga lebih kecil
(Suhardjo, 2003).
Jumlah anak yang dimiliki keluarga akan mempengaruhi pola asuh yang
diterapkan orangtua. Semakin banyak jumlah anak dalam keluarga, maka
ada kecenderungan bahwa orangtua tidak begitu menerapkan pola
pengasuhan secara maksimal pada anak karena perhatian dan waktunya
terbagi antara anak yang satu dengan anak yang lainnya (Sofia, 2009 dalam
Suparyanto, 2010).
Jumlah anggota keluarga dan banyaknya balita dalam keluarga akan
berpengaruh terhadap tingkat konsumsi makanan yaitu jumlah dan distribusi
makanan dalam rumah tangga. Dengan jumlah anggota keluarga yang besar
dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan menyebabkan
anak balita dalam keluarga tersebut menderita kurang energi dan protein.
(Berg, Alan, 1973 dalam Syahbudin, 2002).
Menurut Jalal dan Soekirman (1990), bahwa terdapat hubungan antara
asupan gizi balita dengan pendapatan keluarga berdasarkan perbedaan
jumlah anggota keluarga. Semakin tinggi pendapatan dan semakin rendah
jumlah anggota keluarga maka semakin baik jumlah asupan makanan yang
38
diterima balita. Menurut Berg (1986), kemungkinan kelaparan pada rumah
tangga yang mempunyai anggota banyak empat kali lebih besar
dibandingkan dengan rumah tangga yang mempunyai anggota sedikit,
sedangkan anak-anak yang hidup pada rumah tangga yang mempunyai
anggota banyak mempunyai kemungkinan lima kali lebih besar disbanding
dengan rumah tangga yang mempunyai jumlah anggota keluarga sedikit.
Jumlah anggota keluarga dan jumlah balita dalam keluarga akan
berpengaruh terhadap tingkat konsumsi makanan yaitu jumlah dan distribusi
makanan dalam keluarga. Dengan jumlah anggota keluarga yang besar
dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan menyebabkan
anak balita dalam keluarga tersebut menderita kurang asupan energi dan
protein.
Sayogyo (1986) dalam Hatril (2001) mengemukakan bahwa jumlah
keluarga memiliki kaitan dengan banyaknya individu yang dipenuhi
kebutuhan gizinya. Kualitas dan kuantitas makanan yang bergizi yang harus
disediakan keluarga akan semakin meningkat dan bervariasi dengan
komposisi rumah tangga. Apabila pembagian untuk masing-masing anggota
keluarga tidak baik, maka akan terjadi persaingan dalam konsumsi makanan
sehingga balita akan mudah tersisih dan memperoleh bagian yang kecil dan
tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuhnya untuk tumbuh dan berkembang.
Menurut Mursalin (1993) dalam Nasekhah (2010) menyatakan bahwa
konsumsi pangan dipengaruhi oleh jumlah keluarga. Keluarga dengan
banyak anak dan jarak kehamilan antar anak yang amat dekat akan
39
menimbulkan lebih banyak masalah. Dalam acara makan bersama seringkali
anak-anak yang lebih kecil akan mendapatkan jatah makan yang kurang
mencukupi karena kalah dengan kakanya yang makannya lebih cepat dan
dengan porsi sekali suap yang lebih besar pula. Jika pendapatan keluarga
hanya pas-pasan sedangkan anak banyak maka pemerataan dan kecukupan
makanan didalam keluarga kurang bisa dijamin. Keluarga ini bisa disebut
keluarga rawan gizi, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah
tercukupi (Pudjiadi, 1986).
2.2.8 Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan tentang kuantitas
dan kualitas makanan. Ada hubungan yang erat antara pendapatan yang
meningkat dan gizi yang didorong oleh pengaruh menguntungkan dari
pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga
lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi.
Rendahnya pendapatan orang-orang miskin dan lemahnya daya beli
memungkinkan untuk mengatasi kebiasaan makan dengan cara-cara tertentu
yang menghalangi perbaikan gizi yang efektif terutama untuk anak-anak
mereka (Suhardjo, 1989 dalam Nuraeni 2008). Pendapatan keluarga
merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi keluarga. Makin
rendah pendapatan keluarga, makin besar peluang keluarga tersebut
mempunyai balita yang berstatus gizi kurang. Bayi dan anak-anak balita
adalah kelompok yang sangat sensitive terhadap kualitas konsumsi pangan
keluarga (Tabor,dkk, 2000 dalam Ichawanuddin, 2002).
40
Banyak faktor yang turut berperan dalam menentukan besar kecilnya
pendapatan keluarga. Tingkat pendapatan keluarga turut berpengaruh
terhadap kejadian KEP pada anak balita. Tingkat pendapatan keluarga
secara langsung dapat mempengaruhi konsumsi makan keluarga.
Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli
pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik dan sebaliknya
(Mudanijah, 2004).
Keluarga dengan pendapatan terbatas besar kemungkinan kurang dapat
memenuhi kebutuhan makanannya sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Setidaknya keanekaragaman bahan makanan kurang bisa dijamin, karena
dengan uang yang terbatas itu tidak akan banyak pilihan (Apriadji, 1986
dalam Lupiana, 2010).
2.2.9 Pola Asuh Gizi Balita
Menurut Marian (2000) dalam Prahesti (2001), pola asuh gizi adalah
praktek rumah tangga yang di wujudkan dengan tersedianya pangan dan
perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan balita.
Pola asuh merupakan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk
menyediakan waktu, perhatian, dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh
dan berkembang dengan sebaik-baiknya baik fisik, mental, dan social,
berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya
dengan anak, memberikan makan, merawat kebersihan, dan memberi kasih
sayang. Pola asuh gizi merupakan bagian dari pola asuh anak yaitu praktik
41
di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan
perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan anak. (Zeitlin dalam WNPG VII, 2000).
Sedangkan aspek kunci dalam pola asuh gizi meliputi perawatan dan
perlindungan bagi ibu, praktik menyusui, pemberian makanan pendamping
ASI (MP-ASI), penyiapan makanan, kebersihan diri, dan sanitasi
lingkungan, praktik kesehatan dirumah, dan pola pencarian pelayanan
kesehatan (Zeitlin dalam WNPG VII, 2000).
2.2.10 Penyakit Infeksi
Hubungan antara gizi kurang dan penyakit infeksi sangat kompleks.
Disatu sisi kekebalan tubuh terhadap infeksi akan berkurang apabila anak
menderita gizi kurang. Contohnya adalah anak yang gizi kurang selanjutnya
dapat menderita penyakit pneumonia atau penyakit infeksi lainnya,
sedangkan disisi lain penyakit infeksi sangat mempengaruhi status gizi anak
(waterlow,1992).
Penyakit infeksi dapat menyebabkan kehilangan nafsu makan sehingga
terjadi kekurangan gizi secara langsung. Pada anak umur 12-36 bulan
khususnya mempunyai resiko penyakit infeksi seperti gastroenteritis dan
campak (WHO,2000). Hubungan yang sangat kuat antara malnutrisi dan
kematian anak balita dikarenakan anak menderita gizi kurang disertai
dengan penyakit infeksi. Beberapa penyakit yang menyebabkan terjadinya
malnutrisi adalah penyakit diare, campak, ISPA, malaria,dll
(Schroeder,2001). Menurut Unicef (1998), anak yang mendapat makanan
42
yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya akan
menderita kurang gizi.
Penyakit infeksi dapat memberi dampak terhadap status gizi dan penyakit
infeksi juga dapat diwakili oleh status gizi kurang. Penyebab utama KEP
pada balita bukan hanya karena kurang pangan namun juga disebabkan
penyakit infeksi yang berulang-ulang menimpa anak balita tersebut.
Penyakit infeksi mengganggu metabolism, membuat ketidakseimbangan
hormon dan mengganggu fungsi imunitas (Utomo.B, 1998 dalam Lupiana,
2010).
Infeksi dan malnutrisi merupakan hubungan dua arah. Infeksi
mempengaruhi kurang gizi melalui berkurangnya intake makanan dan
absorbs pada usus halus, meningkatnya katabolisme dan berkurangnya zat
gizi yang diperlukan untuk pembentukan jaringan dan pertumbuhan. Disisi
lain malnutrisi dapat menjadi predisposisi terjadinya infeksi karena
mempunyai dampak negative terhadap perlindungan tubuh melalui kulit dan
membran selaput lendir dan melalui fungsi kekebalan tubuh (Scrimshaw,
Taylor dan Gordon, 1968 dalam Fikar, 2003).
Penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak-anak adalah diare, ISPA,
dan campak. Diare dapat menyebabkan anak tidak nafsu makan sehingga
terjadi kekurangan jumlah makanan dan minuman yang masuk kedalam
tubuhnya, yang dapat berakibat gizi kurang. Anak yang menderita diare
mengalami penurunan cairan serta gangguan keseimbangan zat gizi dan
43
elektrolit. Serangan diare berulang atau diare akut yang berat pada anak gizi
kurang merupakan risiko kematian (Depkes, 1997 dalam Lupiana, 2010).
Anak yang menderita diare berulang dengan masa kesakitan yang lebih
lama akan mempunyai berat badan lebih rendah daripada yang tidak pernah
diare. Diare yang berulang-ulang akan menyebabkan anak menderita KEP
dan keadaan ini bisa berakibat pada tingginya morbiditas dan mortalitas
(Depkes RI, 2001).
2.3 Kerangka Teori
Kerangka teori diperoleh dari berbagai sumber sesuai dengan tinjauan pustaka
seperti yang terlihat pada gambar 2.4:
Gambar 2.4
Kerangka Teori Penelitian
Sumber : Modifikasi Apriadji (1986), Call dan Levinson (1871) dalam Supariasa (2001), Elizabeth dan
Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989).
Umur Balita
KONSUMSI ENERGI
DAN PROTEIN
ketersediaan
pangan
Sosial Budaya
Daya beli
Pengetahuan
gizi
Penyakit infeksi
Pendidikan Ibu
Umur Ibu
Tingkat Ekonomi
Keluarga
Pekerjaan Ibu
Jumlah Keluarga
44
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan pedoman untuk penelitian dan merupakan model
yang menunjukkan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen,
dimana masing-masing variabel tersebut akan dioperasionalkan dan diukur oleh
peneliti. Variabel dependen yang akan diteliti yaitu asupan energi dan protein.
Sedangkan dalam penentuan variabel- variabel independen sebagai faktor yang
mempengaruhi asupan energi dan protein pada balita, peneliti memilih variabel umur
balita, umur ibu balita, status bekerja ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu
dan pendapatan keluarga.
Beberapa variabel lain yang terdapat dalam kerangka teori seperti pengetahuan
gizi ibu, ketersediaaan bahan makanan, sosial budaya, daya beli dan penyakit infeksi
tidak diikut sertakan karena variabel ketersediaan bahan makanan dan daya beli
sudah terwakili oleh variabel pendapatan keluarga. Selain itu pada penelitian
RISKESDAS 2010 ini variabel yang tersedia terbatas.
Kerangka konsep Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah
Indonesia Timur dan Barat dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut ini:
45
Gambar 3.1 kerangka konsep penelitian
Umur ibu balita
Jumlah anggota keluarga
Asupan Energi & Protein pada
Balita
Umur balita
Pendidikan ibu
Tingkat ekonomi keluarga
Status bekerja ibu
46
46
3.2 DEFINISI OPERASIONAL
No. Variabel Definisi Cara
Ukur Alat Ukur
Hasil ukur Skala
1.
Asupan
energi dan
protein
Konsumsi pangan balita yang
mengandung energi dan protein
yang tercatat pada saat recall
24jam oleh petugas
(Depkes, 2011)
Angket
riskesdas
2010
Kuesioner
RKD10 B9
(konsumsi
makan
balita)
0. Kurang (konsumsi
energi <70% AKG dan
protein <80% AKG
2004)
1. Cukup (konsumsi
energi ≥70% AKG dan
protein ≥80% AKG
2004)
(Depkes, 2011)
Ordinal
2. Umur ibu Masa hidup ibu balita dalam
tahun dengan pembulatan
kebawah atau umur pada waktu
ulang tahun terakhir.
(Depkes, 2011)
Angket
riskesdas
2010
Kuesioner
RKD10
B4K7 (ibu) Umur ibu balita dalam
tahun
Rasio
3. Umur
balita
Masa hidup balita dalam bulan
dengan pembulatan kebawah atau
umur pada waktu ulang tahun
terakhir.
(Depkes, 2011)
Angket
riskesdas
2010
Kuesioner
RKD10
B4K7
(balita)
Umur balita dalam bulan
Rasio
47
47
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil ukur Skala
4. pendidikan
ibu
Tingkat pendidikan formal
yang pernah dicapai ibu
balita tersebut.
(Depkes, 2011)
Angket
riskesdas
2010
Kuesioner
RKD10 B4K8
(ibu)
0. Rendah, jika pendidikan ibu
paling tinggi tamat SMP
1. Tinggi, jika pendidikan ibu
tamat SMA atau lebih
(Firdaus, 2003)
Ordinal
5. Tingkat
ekonomi
keluarga
Pengeluaran rumah tangga
yang terdiri dari
pengeluaran pangan dan non
pangan dalam rumah
tangga. (BPS, 2007)
Kuisioner
Susenas 2010
Kuisioner
RKD10 B7.B.
K25
0. Rendah: Kuintil 1 s/d 2
1. Tinggi: Kuintil 3 s/d 5
(BPS, 2007)
Ordinal
6. Jumlah
anggota
keluarga
Banyaknya anggota rumah
tangga yang tinggal dan
hidup bersama dalam satu
rumah
(Depkes, 2011)
Angket
riskesdas
2010
Kuesioner
RKD10 B2K2 0. Besar: ≥ 4 orang
1. Kecil: <4 orang
(BKKBN, 1998 dalam Albugis,
2008)
Ordinal
7. Status
bekerja ibu
Status bekerja atau tidak
bekerja yang dilakukan oleh
ibu balita untuk mendapat
penghasilan saat dilakukan
penelitian riskesdas 2010.
(Depkes 2011)
Angket
riskesdas
2010
Kuisioner
RKD10 B4K9
(ibu)
0. Bekerja (sekolah, swasta, PNS,
TNI, Pedagang, Buruh)
1. Tidak bekerja (termasuk sedang
mencari pekerjaan,
mempersiapkan suatu usaha, atau
sudah mempunyai pekerjaan
tetapi belum mulai bekerja)
(Depkes 2011)
Ordinal
48
3.3 HIPOTESIS
3.3.1. Ada hubungan antara umur ibu balita terhadap asupan energi dan protein
balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010
3.3.2 Ada hubungan antara umur balita terhadap asupan energi dan protein balita
di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010
3.3.3 Ada hubungan antara pendidikan ibu terhadap asupan energi dan protein
balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010
3.3.4 Ada hubungan antara status bekerja ibu terhadap asupan energi dan protein
balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas 2010
3.3.5 Ada hubungan antara tingkat ekonomi keluarga terhadap asupan energi dan
protein balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas
2010
3.3.6 Ada hubungan antara jumlah anggota keluarga terhadap asupan energi dan
protein balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat menurut data riskesdas
2010
49
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi potong
lintang (cross sectional), dimana dilakukan pengukuran variabel dependen dan
independen pada saat yang sama. Studi ini menggunakan data sekunder yaitu dengan
menganalisis data dari penelitian “Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010 di
wilayah Indonesia” yang dilakukan oleh Balitbang Kementerian Kesehatan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dalam data sekunder ini dilakukan di bagian Managemen Data
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan berdasarkan data Riskesdas (Riset
Kesehatan Dasar) 2010 di Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Penelitian ini
dilakukan pada Mei sampai dengan Desember 2012.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita di wilayah Indonesia
Timur dan Wilayah Indonesia Barat tahun 2010 yang berusia 12- 59 bulan
yang berjumlah 2.143.255 jiwa di wilayah Indonesia Timur dan 13.951.896
jiwa di wilayah Indonesia Barat (BPS, 2011).
4.3.2 Kecukupan Data
Sampel untuk Riskesdas 2010 adalah rumah tangga terpilih berdasarkan
listing sensus penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan
BPS dengan two stage sampling, sama dengan metode pengambilan sampel
50
(BS) yang telah dikumpulkan SP 2010. Secara nasional jumlah sampel yang
dipilih untuk kesehatan masyarakat adalah 2800 BS dengan 70.000 rumah
tangga. Dari setiap BS terpilih kemudian 25 (dua puluh lima) rumah tangga
secara acak sederhana (simple random sampling), pemilihan dilakukan oleh
penanggung jawab tehnis kabupaten yang sudah terlatih.
Jumlah data yang tersedia untuk balita usia 12-47 bulan sebanyak 10.539
individu di wilayah Indonesia Barat dan 2.660 individu di wilayah Indonesia
Timur, dan setelah dilakukan proses cleaning data, jumlah data balita tetap
sama.
Untuk kepentingan analisis penelitian, maka perhitungan sampel minimal
disesuaikan dengan rumus uji yang akan digunakan yaitu rumus uji hipotesis
beda dua proporsi (two-tail) (Ariawan,1998) sebagai berikut:
[ Z 1-α/2 √ 2P(1-P ) + Z
1-β √P1(1-P1) + P2(1-P2)]
2
n = X deff
(P1 - P2)2
Keterangan : n = Jumlah sampel penelitian
Z1-α/2 = Derajat kemaknaan, 5%
Z1-β = Kekuatan Uji, 95%
P1 = Proporsi penelitian sebelumnya (balita yang memiliki
asupan energi kurang dan ibu bekerja), Hermansyah (2010)
; P1 = 63,2 % = 0,63
51
P2 = Proporsi perbandingan penelitian sebelumnya (balita
yang memiliki asupan energi kurang dan ibu tidak
bekerja), Hermansyah (2010): P2 = 54,8% = 0,55
P = Rata-rata pada populasi
Berdasarkan rumus diatas, didapatkan jumlah sampel minimal yang
dibutuhkan yaitu 980, dikalikan dengan disain efek (dua) 2, maka jumlah
sampel yang dibutuhkan 1960 orang. Untuk menghindari drop out atau
missing jawaban dari responden maka perlu ditambahkan 10% dari jumlah
sampel yang didapat sehingga jumlah sampel secara keseluruhan sebanyak
2156 orang. Jumlah sampel minimal ini digunakan oleh peneliti untuk menilai
kecukupan dan melihat apakah jumlah sampel tersebut memenuhi syarat
untuk dilakukan uji hipotesis. Adapun jumlah sampel yang dianalisis
berjumlah 10.478 individu untuk wilayah Barat dan 2.636 individu untuk
wilayah Indonesia Timur. Oleh karena itu, dapat disimpulkan jumlah sampel
yang didapatkan sudah memenuhi syarat untuk dilakukan uji hipotesis.
Kemudian dari jumlah sampel tersebut, dilakukan perhitungan kekuatan uji
untuk melihat kemampuan atau mendeteksi adanya perbedaan antara dua
variabel yang diteliti. Setelah dilakukan perhitungan kekuatan uji
menggunakan rumus di atas didapatkan didapatkan hasil Z 1-β adalah 95%.
P = P1+P2
P2
52
4.4 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner riskesdas yang
digunakan untuk mengumpulkan data Determinan asupan energi dan protein di
wilayah Indonesia barat dan timur tahun 2010. Dalam penelitian ini variabel
independen meliputi variabel umur balita, umur ibu, pendidikan ibu, status bekerja
ibu, tingkat ekonomi keluarga, jumlah keluarga. Pengukuran data variabel ini
berdasarkan data riskesdas 2010. Uraian dan tabelnya sebagai berikut:
Tabel 4.1
Daftar variabel dan kuisioner dalam riskesdas 2010
No Variabel Keterangan kuisioner
1. Umur balita Kuisioner rumah tangga (B4K7BLN)
2. Asupan energi dan protein Kuesioner RKD10 B8 (1)
3. Pendidikan ibu Kuesioner RKD10 B4K8 (ibu)
4. Umur ibu Kuisioner RKD07 B4K7THN-IBU
5. Status bekerja ibu Kuisioner RKD10 B4K9 (ibu)
6. Tingkat ekonomi keluarga
Kuisioner RKD10 B7.B. K25
7. Jumlah anggota keluarga
Kuesioner RKD10 B2R2
Sumber : Depkes RI, 2011
Keterangan:
B= Blok K= Kolom H=Kode Kuisioner Anggota Rumah Tangga
4.4.1 Asupan Energi dan Protein
Pada riskesdas 2010, Asupan energi dan protein diperoleh dari recall
24jam sebelum dilakukan wawancara. Asupan energi dan protein dibandingkan
53
dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004. Asupan dikategorikan kurang
jika energi <70% AKG dan protein <80% AKG dan cukup jika energi > 70%
AKG dan protein >80% AKG (WKNPG, 2004).
4.4.2 Umur Balita
Pada Riskesdas 2010, variabel umur balita dihitung dalam bulan yaitu 12-
59 bulan. Maka dalam penelitian ini, umur balita yang diteliti menggunakan
data numeric berdasarkan bulan.
4.4.3 Umur Ibu
Pada Riskesdas 2010, variabel umur ibu dihitung dalam tahun kalender
masehi dengan pembulatan ke bawah atau umur pada waktu ulang tahun yang
terakhir. Seperti berikut ini:
1. Jika umur > 97 tahun dicatat 97 tahun.
2. Jika umur responden 27 tahun 9 bulan, dicatat 27 tahun.
3. Jika responden tidak tahu pasti umurnya meskipun telah dilakukan probing
atau penyelidikan, dicatat 99.
Dalam penelitian ini, variabel umur ibu balita (tahun) diukur berdasarkan
tahun lahir, yaitu pada waktu ulang tahun terakhir.
4.4.4 Status bekerja ibu
Pada Riskesdas 2010, variabel pekerjaan khusus ditanyakan kepada ibu
balita yaitu dengan menanyakan pekerjaan utama responden, yaitu adalah
pekerjaan yang menggunakan waktu terbanyak responden atau pekerjaan yang
memberikan penghasilan terbesar. Setelah itu, jawaban responden diisi sesuai
dengan kode jawaban, yaitu:
54
Tabel 4.2
Kode Variabel Pekerjaan dalam Riskesdas 2010
Kode Keterangan
1. Tidak bekerja, termasuk sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan
suatu usaha, atau sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai
bekerja.
2. Sekolah, yaitu kegiatan bersekolah di sekolah formal baik pada
pendidikan dasar, pendidikan menengah atau pendidikan tinggi yang
di bawah pengawasan Depdiknas, Departemen lain maupun swasta.
3. Mengurus Rumah Tangga, yaitu kegiatan mengurus atau membantu
mengurus rumah tangga tanpa mendapatkan upah/gaji.
4. TNI/Polri, bekerja di pemerintahan sebagai angkatan darat, angkatan
laut, angkatan udara dan kepolisian.
5. Pegawai Negeri Sipil (PNS), bekerja di pemerintahan sebagai
pegawai negeri sipil.
6. Pegawai BUMN yaitu pegawai pemerintah yang non PNS misalnya
pegawai Telkom, PLN, PTKA.
7. Pegawai swasta yaitu pekerja yang bekerja pada perusahaan swasta.
8. Wiraswasta/pedagang, yaitu orang yang melakukan usaha dengan
modal sendiri atau berdagang baik sebagai pedagang besar atau eceran.
9. Pelayanan jasa, orang yang bekerja secara mandiri dan
mendapatkan imbalan atas pekerjaannya. Misalnya jasa transportasi
seperti sopir taksi, ojek.
10. Petani, yaitu pemilik atau pengolah lahan pertanian, perkebunan
yang diolah sendiri atau dibantu oleh buruh tani.
11. Nelayan, orang yang melakukan penangkapan dan atau pengumpulan
hasil laut (misalnya ikan).
12. Buruh, yaitu pekerja yang mendapat upah dalam mengolah
pekerjaan orang lain (buruh tani, buruh bangunan, buruh angkat
angkut, buruh pekerja).
13. Lainnya, apabila tidak termasuk dalam kode 1 s.d 12. Sumber: Depkes, 2010
4.4.5 Pendidikan Ibu
Pada Riskesdas 2010, variabel pendidikan khusus ditanyakan kepada ibu
balita yaitu sampai saat Riskesdas dilakukan. Jawaban responden diisi
sesuai dengan kode jawaban, yaitu:
55
Tabel 4.3
Kode Variabel Pendidikan dalam Riskesdas 2010
Kode Keterangan
1 Tidak pernah sekolah, termasuk di dalamnya adalah yang belum
sekolah karena belum mencapai usia sekolah.
2 Tidak tamat SD, termasuk tidak tamat Madrasah Ibtidaiyah (MI).
3 Tamat SD, termasuk tamat Madrasah Ibtidaiyah/ Paket A dan
tidak tamat SLTP/ MTs.
4 Tamat SLTP, termasuk tamat Madrasah Tsanawiyah (MTs)/ Paket B
dan tidak tamat SLTA/ MA.
5 Tamat SLTA, termasuk tamat Madrasah Aliyah (MA)/ Paket C, D1,
D3, mahasiswa drop-out.
6 Tamat Perguruan Tinggi, termasuk tamat Strata-1, Strata-2 dan
Strata-3.
Sumber: Depkes, 2010
Dalam penelitian ini, variabel pendidikan dikategorikan menjadi
tingkat pendidikan rendah jika tamat sampai SMP, dan tinggi: jika tamat
SMA sampai tingkat lebih tinggi (Firdaus, 2003).
4.4.6 Jumlah anggota Keluarga
Pada Riskesdas 2010 jumlah anggota keluarga dihitung berdasarkan
banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART) yang bertempat tinggal di rumah
tangga (RT) tersebut, baik yang berada di rumah tangga pada waktu
pencacahan maupun sementara tidak ada (termasuk kepala rumah tangga).
ART yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan ART yang bepergian
kurang dari 6 bulan tetapi dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah
tangga 6 bulan atau lebih tidak termasuk sebagai ART. Orang yang telah
tinggal di rumah tangga 6 bulan atau lebih atau yang telah tinggal di rumah
tangga kurang dari 6 bulan tetapi berniat tinggal di rumah tangga tersebut 6
bulan atau lebih termasuk sebagai ART. Pembantu rumah tangga, sopir,
56
tukang kebun yang tinggal dan makan di rumah majikannya dianggap sebagai
ART majikannya.
Pada penelitian ini data variabel jumlah anggota keluarga dikategorikan
menjadi dua yaitu keluarga besar (> 4 orang) dan keluarga kecil (≤ 4 orang)
(BKKBN, 1992 dalam Hidayati, 2004).
4.4.7 Tingkat Ekonomi Keluarga
Pada Riskesdas (2010), Tingkat ekonomi keluarga ditentukan berdasarkan
pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pengeluaran pangan dan non
pangan dalam rumah tangga digolongkan menjadi beberapa tingkatan berupa
5 kuintil yang telah ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik Nasional.
4.4.8 Pembagian Wilayah
Pembagian wilayah pada penelitian ini di bagi menjadi 2 wilayah, yaitu
Wilayah Indonesia Timur dan Wilayah Indonesia Barat. Wilayah Indonesia
Timur terbagi menjadi 12 Propinsi (Sulawesi utara, Sulawesi selatan, sulawesi
tenggara, sulawesi barat, Sulawesi tengah, nusa tenggara barat, nusa tenggara
timur, gorontalo, Maluku, Maluku utara, Papua, Papua Barat) dan Indonesa
Barat terbagi menjadi 21 propinsi (Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Riau,
Bengkulu, NAD, Jambi, Lampung, Banten, Jawa tengah, Jawa Timur, Jawa
Barat, DI Yogyakarta, Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan
Sumatera Barat) (GBHN, 1993).
57
4.5 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan menggunakan program komputerisasi statistik dengan
melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
4.5.1 Pembersihan Data (Data Cleaning)
Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data
yang sudah dimasukkan apakah ada kesalahan atau tidak (Najmah, 2011).
Menurut Harstono (2001), disebutkan bahwa proses cleaning data dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Mengetahui missing data; dideteksi dengan cara membuat distribusi
frekuensi dari setiap variabel yang ada.
b. Mengetahui variasi data; dideteksi dengan mengeluarkan distribusi
frekuensi masing-masing variabel untuk melihat kesesuaian data dengan
kodenya.
c. Mengetahui konsistensi data; dideteksi dengan cara menghubungkan
antara dua variabel yang berkaitan dengan membandingkan distribusi
frekuensinya atau membuat tabel silang.
4.5.2 Transformasi Data/Recode
Setelah dilakukan pembersihan data, maka dilakukan transformasi data
berupa pengkodean ulang/recode terhadap variabel sesuai dengan kebutuhan
penelitian. Hal ini bertujuan untuk mengklasifikasikan data yang diperoleh
sesuai dengan tujuan penelitian.
58
4.6 Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dengan menggunakan computer, yaitu dengan
menggunakan program stata. Adapun analisis data yang digunakan adalah:
a. Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik masing-
masing variabel dependen dan variabel independen. Variabel tersebut adalah
asupan energi dan protein balita, umur balita, umur ibu, pendidikan ibu, status
bekerja ibu, tingkat ekonomi keluarga,dan jumlah keluarga di 2 Kawasan
Wilayah yaitu Wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat.
b. Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
variabel independen (umur balita, umur ibu, pendidikan ibu, status bekerja ibu,
tingkat ekonomi keluarga, dan jumlah keluarga) dengan variabel dependen
(Asupan energi dan protein) di 2 kawasan wilayah yaitu Indonesia Timur dan
Indonesia Barat. Analisis ini menggunakan dua uji, yaitu uji chi square dan T-
Test Independent, dengan Pvalue ≤ 0,05 yang artinya ada hubungan signifikan
secara statistik antara variabel independen dan dependen.
Uji Chi Square untuk menghubungkan variabel kategorik dan kategorik. Variabel
yang termasuk pada uji Chi Square yaitu pendidikan ibu, status bekerja ibu, tingkat
ekonomi keluarga, dan jumlah keluarga yang akan dihubungkan dengan variabel asupan
energi dan protein. Untuk variabel umur balita dan umur ibu dilakukan uji T-Test
Independent terhadap variabel asupan energi dan protein jika data-datanya berdistribusi
59
normal,akan tetapi jika data-datanya tidak berdistribusi normal maka akan dilakukan uji
Mean Withney.
Untuk melihat kekuatan hubungan antara variabel dependen dan independen, maka
dilihat nilai Ods Ratio (OR). Bila nilai OR = 1 artinya tidak ada hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen. Jika nilai OR < 1 artinya variabel
independen merupakan faktor protektif terhadap variabel dependen dan jika nilai OR > 1
artinya variabel independen merupakan faktor risiko terhadap variabel dependen.
60
BAB V
HASIL
5.1 Gambaran Wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki
17.504 pulau besar dan kecil dengan sekitar 6.000 pulau dari jumlah tersebut tidak
berpenghuni. Lima pulau besar di Indonesia adalah Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Berdasarkan GBHN 1993, wilayah Indonesia dibagi menjadi
dua kawasan pembangunan yaitu Wilayah Indonesia Timur yang terdiri dari
Sulawesi, Maluku, Irian/Papua, Nusa tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dan
Wilayah Indonesia Barat yang terdiri dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali.
Pembangunan dikawasan barat Indonesia jauh lebih maju dibandingkan di
kawasan timur Indonesia. Hal ini disebabkan konfigurasi geografis wilayah kawasan
timur Indonesia yang menjadi salah satu faktor pembatas pelaksanaan pembangunan.
Perbedaan kemajuan pembangunan antara Indonesia Timur dan Barat selain terjadi
dalam bidang pembangunan fisik dan ekonomi, juga terjadi dalam pembangunan
kualitas sumber daya manusia yang dapat diketahui dari adanya perbedaan tingkat
pencapaian MDGs. Berdasarkan penelitian Priatmodjo (2011), didapatkan bahwa
pencapaian MDGs dikawasan barat Indonesia lebih baik dibandingkan kawasan timur
Indonesia. Sebagian besar provinsi dikawasan barat Indonesia memiliki pencapaian
MDGs yang tergolong dalam klasifikasi sedang dan tidak ada satupun yang memiliki
pencapaian MDGs rendah. Sedangkan sebagian besar provinsi dikawasan timur
Indonesia memiliki pencapaian MDGs rendah.
61
Penduduk Indonesia dapat dibagi secara garis besar dalam dua kelompok. Di
bagian barat Indonesia penduduknya kebanyakan adalah suku Melayu, sementara di
timur adalah suku papua yang mempunyai akar di kepulauan Melanesia. Banyak
penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari kelompok suku
yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal daerah, misalnya Jawa,
Sunda atau Batak.
5.2 Analisis Univariat
Pada analisis univariat ini ditampilkan distribusi frekuensi dari masing-masing
variabel yang diteliti, baik variabel dependen maupun independen. Selanjutnya hasil
analisis univariat akan dijelaskan pada sub-bab berikut ini:
5.2.1 Gambaran Asupan Energi dan Protein di Wilayah Indonesia Timur dan
Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data asupan
energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat sebagai
berikut:
Grafik 5.1
Distribusi Frekuensi Asupan Energi dan Protein di Wilayah Indonesia
Timur dan Barat Tahun 2010
0%50%
100%
Asupan E&P di Timur
Asupan E&P di Barat
62.86%N=1627
37.50% N=3975
37.14%N=1009
62.50%N= 6503
Kurang
Cukup
62
Berdasarkan grafik 5.1 diketahui jumlah balita dengan asupan energi dan
protein kurang dari kebutuhan minimal di Wilayah Indonesia Timur sebanyak
1627 orang (62.86%), sedangkan jumlah balita dengan asupan energi dan
protein kurang dari kebutuhan minimal di Wilayah Indonesia Barat sebanyak
3975 orang (37.50%). Hal ini dapat disimpulkan bahwa jumlah balita dengan
asupan energi dan protein kurang dari kebutuhan minimal di wilayah Indonesia
Timur lebih tinggi dari wilayah Indonesia Barat.
5.2.2 Gambaran Umur Ibu Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data umur ibu
balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat sebagai berikut:
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Umur Ibu Balita di Wilayah Indonesia Timur
dan Barat Tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui rata-rata umur ibu balita di Wilayah
Indonesia Timur adalah 30,42 tahun, umur minimum ibu balita adalah 12
tahun dan maksimum 50 tahun dan berada pada interval 30.12 sampai 30.71
tahun. Sedangkan rata-rata umur ibu balita di Wilayah Indonesia Barat adalah
30.37 tahun, umur minimum ibu balita adalah 15 tahun dan maksimum 50
tahun dan berada pada interval 30,23 sampai 30,51 tahun. Sehingga dapat di
simpulkan bahwa rata-rata umur ibu balita di wilayah Indonesia barat dan
Umur
ibu
Timur Barat
Mean SD Min-
Max
95% CI
Interval
Mean SD Min-
Max
95% CI
Interval
Tahun 30,42 15.055 12-50 30.12-
30.71
30.37 7.121 15-
50
30.23 -
30.51
63
timur tidak berbeda jauh, namun umur minimum ibu balita di wilayah
Indonesia Timur lebih muda dari wilayah Indonesia Barat.
5.2.3 Gambaran Umur Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data umur balita
di Wilayah Indonesia Timur dan Barat sebagai berikut:
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Umur Balita di Wilayah Indonesia Timur
dan Barat Tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui rata-rata umur balita di Indonesia Timur
adalah 29,58 bulan, umur minimum balita adalah 12 bulan dan maksimum 59
bulan dan berada pada interval 29.18 sampai 29,98 bulan. Sedangkan rata-rata
umur balita di wilayah Indonesia Barat adalah 29,62 bulan, umur minimum
balita adalah 12 bulan dan maksimum 59 bulan dan berada pada interval 29,42
sampai 29,82 bulan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa rata-rata umur balita di
wilayah Indonesia Timur dan Barat tidak berbeda jauh.
5.2.4 Gambaran Pendidikan Ibu di Wilayah Indonesia Timur dan Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data pendidikan
ibu balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat sebagai berikut:
Umur
Balita
Timur Barat
Mean SD Min-
Max
95% CI
Interval
Mean SD Min-
Max
95% CI
Interval
Bulan 29.58 20.390 12-59 29.18-
29.98
29.62 10.24 12-
59
29.42 –
29.82
64
Grafik 5.2
Distribusi Frekuensi Pendidikan Ibu di Wilayah Indonesia Timur dan
Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik 5.2 didapatkan frekuensi ibu yang memiliki pendidikan
rendah di Wilayah Indonesia Timur sebanyak 1762 orang (68,17%), sedangkan
frekuensi ibu yang memiliki pendidikan rendah di Wilayah Indonesia Barat
sebanyak 6633 orang (62,77%). Hal ini dapat disimpulkan bahwa persentase
pendidikan ibu rendah di wilayah Indonesia Timur lebih tinggi dibanding
dengan wilayah Indonesia Barat.
5.2.5 Gambaran Status Bekerja Ibu di Wilayah Indonesia Timur dan Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data status
bekerja ibu balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat sebagai berikut:
0%50%
100%
Pendidikan Ibu di Timur
Pendidikan Ibu di Barat
68.17%N=1762
62.77%N=6633
31.83%874
37.23%N=3845
Rendah
Tinggi
65
Grafik 5.3
Distribusi Frekuensi Status bekerja ibu di Wilayah Indonesia Timur
dan Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik 5.3 didapatkan frekuensi ibu balita yang bekerja di
Wilayah Indonesia Timur sebanyak 1016 orang (38.1%), sedangkan frekuensi
ibu balita yang bekerja di Wilayah Indonesia Barat sebanyak 5554 orang
(52.76%). Hal ini dapat disimpulkan bahwa persentase ibu yang bekerja di
wilayah Indonesia Barat lebih banyak dibanding wilayah Indonesia Timur.
5.2.6 Gambaran Tingkat Ekonomi Keluarga di Wilayah Indonesia Timur dan
Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data tingkat
ekonomi keluarga balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat sebagai
berikut:
0%50%
100%
Status Bekerja Ibu di Timur
Status Bekerja Ibu di Barat
38.10%N=1016
52.72%N=5554
61.90%N=1620
47.24%N=4924
Bekerja
Tidak Bekerja
66
Grafik 5.4
Distribusi Frekuensi Tingkat ekonomi keluarga di Wilayah Indonesia
Timur dan Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik 5.4 diketahui frekuensi balita yang memiliki tingkat
ekonomi keluarga rendah di Wilayah Indonesia Timur sebanyak 1485 keluarga
(58.37%), sedangkan frekuensi balita yang memiliki tingkat ekonomi keluarga
rendah di Wilayah Indonesia Barat sebanyak 4903 orang (47,05%). Hal ini
dapat disimpulkan bahwa persentase balita yang memiliki tingkat ekonomi
keluarga rendah di wilayah Indonesia Timur lebih banyak dibanding wilayah
Indonesia Barat.
5.2.7 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga di Wilayah Indonesia Timur dan
Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data jumlah
keluarga balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat sebagai berikut:
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Tingkat Ekonomi di Timur
Tingkat Ekonomi di Barat
58.37%N=1485
47.05%N=4903
41.63%N=1151
52.95%N=5575
Rendah
Tinggi
67
Grafik 5.5
Distribusi Frekuensi Jumlah Keluarga di Wilayah Indonesia Timur dan
Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik 5.5 diketahui frekuensi balita yang memiliki jumlah
keluarga besar di Wilayah Indonesia Timur sebanyak 1573 balita (60.1%),
sedangkan frekuensi balita yang memiliki jumlah keluarga besar di Wilayah
Indonesia Barat sebanyak 5027 orang (47.8%). Hal ini dapat disimpulkan
bahwa balita yang memiliki jumlah anggota keluarga besar di wilayah
Indonesia Timur lebih banyak dari wilayah Indonesia Barat.
5.3 Hubungan antara umur ibu balita dengan asupan energi dan protein pada
balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat
Hubungan antara umur ibu balita dengan asupan energi dan protein pada balita di
wilayah Indonesia Timur dan Barat dapat dilihat dalam tabel 5.3 berikut:
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Jumlah keluarga di Timur
Jumlah keluarga di Barat
60.10%N=1573
47.80%N=5027
39.90%N=1063
52.20%N=5451
Besar
Kecil
68
Tabel 5.3
Rata-rata Umur Ibu Balita dengan Asupan Energi dan Protein Pada Balita di
Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010 Umur Ibu
Asupan
E&P
TIMUR BARAT
Mean SD 95% CI
Interval
Pvalue N Mean SD 95% CI
Interval
Pvalue N
Kurang 30.35 19.154 29.98 –
30.73
0,183 1627 30.07 11.287 29.84 –
30.29
0,000 3975
Cukup 30.53 23.526 30.07 –
30.99
1009 30.55 8.572 30.38 –
30.71
6503
Berdasarkan tabel 5.3 rata-rata umur ibu balita di wilayah Indonesia Timur yang
memiliki balita dengan tingkat asupan energi dan protein kurang adalah 30, 35 tahun
berada pada interval 29.98 sampai 30,73 tahun dan rata-rata umur ibu balita yang
memiliki balita dengan tingkat konsumsi energi dan protein cukup adalah 30,53 tahun
berada pada interval 30,07 sampai 30,99 tahun. Dari hasil uji statistik didapatkan
nilai Pvalue sebesar 0,183 artinya pada α 5% tidak ada hubungan signifikan antara
umur ibu dengan tingkat konsumsi energi dan protein balita di Wilayah Indonesia
Timur. Sedangkan rata-rata umur ibu balita di wilayah Indonesia Barat yang memiliki
balita dengan tingkat asupan energi dan protein kurang adalah 30,07 tahun berada
pada interval 29.84 sampai 30,29 tahun dan rata-rata umur ibu balita yang memiliki
balita dengan tingkat konsumsi energi dan protein cukup adalah 30,55 tahun berada
pada interval 30,38 sampai 30,71 tahun. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai
Pvalue sebesar 0,000 artinya pada α 5% ada hubungan signifikan antara umur ibu
dengan asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia Barat.
69
5.4 Hubungan antara umur balita dengan Asupan energi dan protein pada balita di
wilayah Indonesia Timur dan Barat
Hubungan antara umur balita dengan asupan energi dan protein dapat dilihat
dalam tabel 5.4 berikut:
Tabel 5.4
Rata-rata Umur Balita dengan Asupan Energi dan Protein Pada Balita di
Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010 Umur
balita
Asupan
E&P
TIMUR BARAT
Mean SD 95% CI
Interval
Pvalue N Mean SD 95% CI
Interval
Pvalue N
Kurang 28.19 10.322 27.65 –
28.72
0,000 1627 26.36 17.194 26.03-
26.70
0,000 3975
Cukup 31.94 9.707 31.34 –
32.55
1009 31.57 12.629 31.33-
31.82
6503
Berdasarkan tabel 5.4 pada wilayah Indonesia Timur rata-rata umur balita dengan
tingkat asupan energi dan protein kurang adalah 28.19 bulan berada pada interval
27,65 sampai 28,72 bulan dan rata-rata umur balita dengan tingkat konsumsi energi
dan protein cukup adalah 31,94 bulan berada pada interval 31,34 sampai 32,55
bulan. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai Pvalue sebesar 0,000 artinya pada α
5% ada hubungan signifikan antara umur balita dengan tingkat konsumsi energi dan
protein. Sedangkan di wilayah Indonesia Barat rata-rata umur balita dengan tingkat
asupan energi dan protein kurang adalah 26,36 bulan berada pada interval 26,03
sampai 26,70 bulan dan rata-rata umur balita dengan tingkat konsumsi energi dan
protein cukup adalah 31,57 bulan berada pada interval 31,33 sampai 31,82 bulan.
Dari hasil uji statistik didapatkan nilai Pvalue sebesar 0,000 artinya pada α 5% ada
hubungan signifikan antara umur balita dengan tingkat konsumsi energi dan protein.
70
5.5 Hubungan antara pendidikan ibu dengan asupan energi dan protein pada balita
di wilayah Indonesia Timur dan Barat
Hubungan antara pendidikan ibu dengan Asupan Energi dan Protein pada Balita di
Wilayah Indonesia Timur dan Barat dapat dilihat dalam tabel 5.5 berikut:
Tabel 5.5
Distribusi pendidikan ibu dengan Asupan Energi dan Protein pada Balita di
Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010
Pendidikan
Ibu
Timur Barat
Asupan Energi dan Protein P
Value
Asupan Energi dan Protein P
value Kurang Cukup Total Kurang Cukup Total
N % N % N % N % N % N %
Rendah 1225 70.24 537 29.76 1762 100 0.000 2894 43.19 3739 56.81 6633 100 0,000
Tinggi 402 47.04 472 52.96 874 100 1081 27.92 2764 72.08 3845 100
Total 1627 62.86 1009 37.14 2636 100 3975 37.5 6503 62.5 10478 100
Berdasarkan tabel 5.5 pada wilayah Indonesia Timur diketahui asupan energi dan
protein kurang pada balita dengan ibu yang berpendidikan rendah sebanyak 1225
orang (70,24%) dan tinggi sebanyak 402 orang (47,04%). Dari hasil uji statistik
didapatkan nilai probabilitasnya sebesar 0,000 artinya pada α 5% ada hubungan
signifikan antara pendidikan ibu dengan asupan energi dan protein balita di wilayah
Indonesia Timur.
Dari hasil analisis didapatkan nilai OR sebesar 2,65 artinya pendidikan ibu rendah
memiliki kecenderungan 2,65 kali untuk balita memiliki asupan energi dan protein
kurang dibanding pendidikan ibu tinggi.
Sedangkan pada wilayah Indonesia Barat diketahui asupan energi dan protein
kurang pada balita dengan ibu yang berpendidikan rendah sebanyak 2919 orang
(43.19%) dan tinggi sebanyak 1082 orang (27.9%). Dari hasil uji statistik didapatkan
nilai probabilitasnya sebesar 0,000 artinya pada α 5% ada hubungan signifikan antara
pendidikan ibu dengan asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia Barat.
71
Dari hasil analisis didapatkan nilai OR sebesar 1,96 artinya pendidikan ibu rendah
memiliki kecenderungan 1,96 kali untuk balita mengalami kurang asupan energi dan
protein dibanding pendidikan ibu tinggi.
5.6 Hubungan antara Status Bekerja Ibu dengan asupan energi dan protein pada
balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat
Hubungan antara Status Bekerja Ibu dengan Asupan Energi dan Protein pada
Balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat dapat dilihat dalam tabel 5.6 berikut:
Tabel 5.6
Distribusi Status Bekerja Ibu dengan Asupan Energi dan Protein pada Balita
di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010
Status
Bekerja
ibu
Timur Barat
Asupan Energi dan Protein P
value
Asupan Energi dan Protein P
Value Kurang Cukup Total Kurang Cukup Total
N % N % N % N % N % N %
Bekerja 614 60.82 402 39.18 1016 100 0.1818 2078 37.04 3476 62.96 5554 100 0,3860
Tdk
bekerja
1013 64.11 607 35.89 1620 100 1897 38.02 3027 61.98 4924 100
Total 1627 62.86 1009 37.14 2636 100 3975 37.5 6503 62.5 10478 100
Berdasarkan tabel 5.6 pada wilayah Indonesia Timur diketahui asupan energi dan
protein kurang pada balita dengan ibu yang bekerja sebanyak 614 orang (60,82%)
dan ibu yang tidak bekerja sebanyak 1013 orang (64.11%). Dari hasil uji statistik
didapatkan nilai probabilitasnya sebesar 0,1818 artinya pada α 5% tidak ada
hubungan signifikan antara status bekerja ibu dengan asupan energi dan protein pada
balita di wilayah Indonesia Timur.
Sedangkan pada wilayah Indonesia Barat diketahui asupan energi dan protein
kurang pada ibu yang bekerja sebanyak 2087 orang (37,04%) dan ibu yang tidak
bekerja sebanyak 1897 orang (38.02%). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai
probabilitasnya sebesar 0,3860 artinya pada α 5% tidak ada hubungan signifikan
72
antara status bekerja ibu dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah
Indonesia Barat.
5.7 Hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan asupan energi dan protein
pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat
Hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan Asupan Energi dan Protein
pada Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat dapat dilihat dalam tabel 5.7
berikut:
Tabel 5.7
Distribusi Tingkat ekonomi keluarga dengan Asupan Energi dan Protein pada
Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010
Tingkat
Ekonomi
Timur Barat
Asupan Energi dan Protein P
value
Asupan Energi dan Protein P
value Kurang Cukup Total Kurang Cukup Total
N % N % N % N % N % N %
Rendah 1076 73.29 409 26.71 1485 100 0.000 2324 46.87 2579 53.13 4903 100 0.000
Tinggi 551 48.17 600 51.77 1151 100 1651 29.17 3924 70.83 5575 100
Total 1627 62.92 1009 37.14 2636 100 3975 37.5 6503 62.5 10478 100
Berdasarkan tabel 5.7 pada wilayah Indonesia Timur diketahui asupan energi dan
protein kurang pada balita dengan tingkat ekonomi rendah sebanyak 1076 orang
(73.29%) dan tingkat ekonomi tinggi sebanyak 551 orang (48.17%). Dari hasil uji
statistik didapatkan nilai probabilitasnya sebesar 0,000 artinya pada α 5% ada
hubungan signifikan antara tingkat ekonomi keluarga dengan asupan energi dan
protein pada balita di wilayah Indonesia Timur.
Dari hasil analisis didapatkan nilai OR sebesar 2,97 artinya tingkat ekonomi
keluarga rendah memiliki kecenderungan 2,97 kali untuk mengalami kurang asupan
energi dan protein pada balita dibanding dengan tingkat ekonomi keluarga tinggi.
Sedangkan pada wilayah Indonesia Barat diketahui asupan energi dan protein
kurang pada balita dengan tingkat ekonomi keluarga rendah sebanyak 2324 orang
73
(46,87%) dan asupan energi dan protein kurang pada balita dengan tingkat ekonomi
keluarga tinggi sebanyak 1651 orang (29,17%). Dari hasil uji statistik didapatkan
nilai probabilitasnya sebesar 0,000 artinya pada α 5% ada hubungan signifikan antara
tingkat ekonomi keluarga dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah
Indonesia Barat.
Dari hasil analisis didapatkan nilai OR sebesar 2,14 artinya tingkat pendidikan
keluarga rendah memiliki kecenderungan 2,14 kali untuk balita mengalami kurang
asupan energi dan protein dibanding tingkat ekonomi keluarga tinggi.
5.8 Hubungan antara jumlah keluarga dengan asupan energi dan protein pada
balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat
Hubungan antara jumlah keluarga dengan asupan energi dan protein pada Balita di
Wilayah Indonesia Timur dan Barat dapat dilihat dalam tabel 5.8 berikut:
Tabel 5.8
Distribusi Jumlah Keluarga dengan Asupan Energi dan Protein pada Balita
di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010
Jumlah
Keluarga
Timur Barat
Asupan Energi dan Protein P
value
Asupan Energi dan Protein P
Value Kurang Cukup Total Kurang Cukup Total
N % N % N % N % N % N %
Besar 1014 65.76 559 34.24 1573 100 0.000 2022 39.85 3005 60.15 5027 100 0.000
Kecil 613 58.49 450 41.51 1063 100 1953 35.35 3498 64.65 5451 100
Total 1627 62.86 1009 37.14 2636 100 3975 37.5 6503 62.5 10478 100
Berdasarkan tabel 5.8, pada wilayah Indonesia Timur diketahui asupan energi dan
protein kurang pada balita dengan jumlah keluarga besar sebanyak 1014 orang
(65,76%) dan asupan energi kurang pada balita dengan jumlah keluarga kecil
sebanyak 613 orang (58,49%). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitasnya
sebesar 0,000 artinya pada α 5% ada hubungan signifikan antara jumlah keluarga
dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesa Timur.
74
Dari hasil analisis didapatkan nilai OR sebesar 1,38 artinya jumlah keluarga besar
memiliki kecenderungan 1,38 kali untuk memiliki balita dengan asupan energi dan
protein kurang dibanding dengan jumlah keluarga kecil.
Sedangkan pada wilayah Indonesia Barat diketahui asupan energi dan protein
kurang pada balita dengan jumlah keluarga besar sebanyak 2022 orang (39,85%) dan
asupan energi dan protein kurang pada balita dengan jumlah keluarga kecil sebanyak
1953 orang (35.35%). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitasnya sebesar
0,000 artinya pada α 5% ada hubungan signifikan antara jumlah keluarga dengan
energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Barat.
Dari hasil analisis didapatkan nilai OR sebesar 1,21 artinya jumlah keluarga besar
memiliki kecenderungan 1,21 kali untuk balita mengalami kurang asupan energi dan
protein dibanding dengan jumlah keluarga kecil.
75
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yang dimiliki yaitu
penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas 2010, dimana penelitian
tersebut tidak di disain secara langsung untuk meneliti masalah gizi namun di disain
secara langsung untuk meneliti masalah kesehatan yang diarahkan untuk
mengevaluasi indikator Millenium Development Goals (MDGs), sehingga variabel
yang digunakan dalam penelitian ini terbatas hanya pada data sekunder tersebut. Hal
ini berarti data tersebut tidak dirancang untuk menjawab pertanyaan penelitian ini.
Sebagai akibatnya, beberapa variabel yang diperlukan dan diduga berhubungan
dengan Asupan Energi dan Protein pada Balita tidak bisa diteliti seperti seperti
pengetahuan gizi ibu, ketersediaaan bahan makanan, pola asuh, sosial budaya, daya
beli dan penyakit infeksi.
Pada penelitian ini menggunakan disain studi cross sectional dimana variabel-
variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel-variabel yang termasuk efek
diobservasi sekaligus pada waktu yang sama, penelitian ini cocok sekali untuk
penelitian survei. Disain ini memiliki kekurangan seperti tidak valid untuk
meramalkan suatu kecenderungan, kesimpulan korelasi faktor risiko dengan faktor
efek paling lemah dan hubungan sebab akibat tidak tergambar dengan jelas. Selain
itu, pengukuran konsumsi pangan 24 jam terakhir, peneliti tidak dapat menjamin
keakuratan data pengukuran konsumsi pangan 24 jam terakhir karena proses
76
pengambilan data dilakukan oleh banyak orang sehingga dikhawatirkan terjadi bias
dalam pengukuran konsumsi pangan.
6.2 Gambaran Asupan Energi dan Protein Balita di Wilayah Indonesia Timur dan
Barat Menurut Data Riskesdas 2010
Selama masa pertumbuhan balita memerlukan asupan energi dan protein.
Protein diperlukan oleh anak balita untuk pemeliharaan jaringan, perubahan
komposisi tubuh dan pertumbuhan jaringan baru (Robbert, et,al. 2000). Menurut
Almatsier (2003), bila konsumsi asupan energi kurang maka akan mengalami
keseimbangan negatif sehingga berat badan kurang dari seharusnya. Bila terjadi
pada bayi dan anak, maka hal ini akan menghambat pertumbuhannya.
Berdasarkan hasil penelitian di Wilayah Indonesia Timur dan Barat didapatkan
hasil bahwa asupan energi dan protein kurang pada balita di wilayah Indonesia
Timur 62,86%, sedangkan wilayah Indonesia Barat 37,14%. Hal ini dikarenakan
wilayah Indonesia Timur memiliki tingkat konsumsi makanan yang mengandung
energi dan protein lebih sedikit, yaitu berdasarkan hasil penelitian Riyadi (2011) di
salah satu wilayah Indonesia Timur yaitu Nusa Tenggara Timur, pada pembuatan
makanan untuk anak-anak, ibu cenderung memberikan nasi jagung (tanpa lauk
pauk). Hal ini akan menyebabkan anak-anak kekurangan konsumsi protein dengan
mutu baik karena konsumsi protein hanya bertumpu pada protein nabati beras yang
kekurangan asam amino lysine.
Berbagai hasil penelitian dari aspek sosial budaya pangan yang pernah
dilakukan di wilayah Indonesia Timur seperti Maluku, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Tenggara, Papua menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah-wilayah
77
tersebut memiliki kebiasaan menggunakan pangan yang spesifik yang disesuaikan
dengan ketersediaan pangan setempat.
Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2006), permasalahan utama kurangnya
asupan energi dan protein adalah ketidakseimbangan antara pola konsumsi pangan
dengan penyediaan produksi/ketersediaan pangan di masyarakat. Produksi berbagai
jenis pangan tidak dapat dihasilkan setiap saat dibutuhkan. Disisi lain, konsumsi
pangan dilakukan oleh semua penduduk dan setiap saat dibutuhkan. Namun tidak
semua wilayah menghasilkan berbagai jenis pangan yang seperti yang dianjurkan
dalam pola konsumsi pangan yang ideal.
Ketidakseimbangan sebaran wilayah produksi dan pola konsumsi tersebut
antara lain menyebabkan belum tercapainya asupan energi dan protein pada balita.
Upaya peningkatan produksi padi akan mengalami kesulitan karena berbagai faktor,
diantaranya: 1). Penurunan luas baku lahan sawah, 2). Penurunan kesuburan lahan,
3). Penurunan kualitas dan luas layanan sistem irigasi, 4) lambannya adopsi
teknologi pertanian, 5). kebijakan insentif yang tidak efektif, 6). Peningkatan jumlah
petani gurem, 7). Masih tingginya kehilangan hasil (Balitbang Pertanian, 2005).
Berikut adalah data sebaran wilayah sentra produksi pangan penting di Indonesia:
78
Tabel 6.1
Sebaran Wilayah Sentra Produksi Pangan Penting di Indonesia
Tahun 2006 No. Komoditas Wilayah Sentra Produksi
1. Padi Wilayah Barat: Jabar+Banten (20,7%), Jatim (17,8%), Jateng
(16,3%), Sumut (6,7%), Sumbar dan Lampung (>3%).
Wilayah Timur : Sulsel (7,1%)
2. Jagung Wilayah Barat: Jatim (36%,), Jateng (17,7%), Lampung (11,6%),
Sumut (6,9%) dan Jabar (>4%).
Wilayah Timur : Sulsel (6,5%), dan NTT (>4%).
3. Kedele Wilayah Barat :Jatim (37,9%), Jateng (20,01%), NAD (7%), Jabar
(5,4%), dan Lampung (2,2%).
Wilayah Timur : Sulsel (4,2%).
4. Kacang
Tanah Wilayah Barat: Jatim (24,4%),Jateng (21,7%), Jabar (14,8%), dan
Sumut (>3%).
Wilayah Timur: Sulsel (6,5%) dan NTB (>3%).
5. Sayuran Wilayah Barat: Jabar (36,6%), Sumut (19,6%), Jateng (15,1%), dan
Sumbar, Bengkulu, Bali (masing-masing >3%)
Wilayah Timur: Sulsel >3%
6. Buah-
buahan Wilayah Barat: Jabar (26,9%), Jatim (21,1%), Jateng (12,6%),
Sumut (5,9%), dan Sumsel, Bangka Belitung, Lampung (>3%).
Wilayah Timur: Sulsel (5,5%), dan NTT (>3%).
7. Minyak
Sawit Wilayah Barat: Sumut (39,9%), Riau (21%), Kalbar (6,1%), NAD
(6,1%) DAN Sumbar (5,4%).
8. Gula tebu Wilayah Barat: Jatim (44,1%), Lampung (33,3%), Jateng (7,5%),
Jabar (4,2%), dan Sumut (3,9%).
9. Daging Wilayah Barat:Jabar (21,1%), Jatim (15,6%), Jateng (12%), Bali
(8,1%), Jakarta (7,7%), dan Sumut (6,3%).
10. Telur Wilayah Barat: Jabar (20,8%), Jatim (15,3%), Jateng (14,2%),
Sumut (15%), dan Sumbar, Sumsel, Lampung (masing-masing
>4%).
Wilayah Timur: Sulses (>4%).
11. Hasil
Perikanan Wilayah Barat: Sumatera (27%), Jawa (25%)
Wilayah Timur: Sulawesi (18%) Sumber : Badan Pusat Statistik (2006)
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa persebaran wilayah sentra produksi
pangan yang terpenting di Indonesia masih terdapat kesenjangan antara wilayah
Indonesia Timur dan Barat. Sehingga wilayah Indonesia Timur mengalami
kekurangan pangan yang dibutuhkan untuk kebutuhan tubuh karena
ketidakseimbangan pola produksi dan pola konsumsi. Terkait fakta tidak
79
seimbangnya pola produksi dan pola konsumsi berbagai jenis pangan, sehingga
menempatkan pentingnya aspek distribusi pangan antar wilayah untuk menjamin
ketersediaan keanekaragaman pangan di semua wilayah di Indonesia sesuai
kebutuhan penduduk setiap saat dengan jumlah, mutu dan tempat yang tepat.
Masalah yang dihadapi dalam distribusi pangan untuk menjamin upaya pemerataan
konsumsi pangan antara lain menyangkut sarana transportasi (jalan, angkutan),
pergudangan, sarana penyimpanan dan teknologi pengolahan untuk memudahkan
distribusi pangan dari wilayah Indonesia Barat ke wilayah Indonesia Timur.
Kondisi tanah di wilayah Indonesia Timur yang secara umum bergunung dan
berbukit-bukit juga sulitnya mendapatkan air bersih atau sumber air menyebabkan
tidak semua wilayah di Indonesia Timur dapat mengembangkan usaha pertanian.
Berdasarkan hasil survey pertanian tanaman pangan dan ubinan (BPS, 2008),
didapatkan hasil bahwa luas panen padi di wilayah Indonesia Timur sebesar
1.959.953 Ha dan luas panen padi di wilayah Indonesia Barat sebesar 10.425.289
Ha. Selain itu, hasil produksi padi di wilayah Indonesia Timur sebesar 8.861.943 ton
sedangkan hasil produksi padi di wilayah Indonesia Timur sebesar 51.015.576 ton
(BPS, 2008). Dari data tersebut terlihat bahwa usaha pertanian di wilayah timur
lebih sedikit dibanding wilayah Indonesia Barat, sehingga menyebabkan
kesenjangan asupan energi dan protein antara wilayah Indonesia Timur dan wilayah
Indonesia Barat.
80
6.3 Gambaran Umur Ibu Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Menurut
Data Riskesdas 2010
Usia produktif ibu dalam masa reproduksi berperan dalam membantu
pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Usia produktif ibu berkisar 20-35 tahun.
Menurut Sediaoetama (2006), menyatakan bahwa usia berpengaruh terhadap
terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat diperoleh melalui
pengalaman sehari-hari diluar faktor pendidikannya. Sebagaimana nilai budaya,
pembelanjaan dan konsumsi makanan telah tergantikan dengan modernisasi. Umur
ibu dapat dijadikan indikator taraf kesehatan balitanya. Semakin tua umur ibu maka
akan semakin berpengalaman dalam merawat dan menangani masalah kesehatan
anaknya.
Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui bahwa rata-rata umur ibu balita di
Wilayah Indonesia Timur adalah 30,42 tahun, umur minimum ibu balita adalah 12
tahun dan maksimum 50 tahun dan berada pada interval 30.12 sampai 30.71 tahun.
Sedangkan rata-rata umur ibu balita di Wilayah Indonesia Barat adalah 30.37 tahun,
umur minimum ibu balita adalah 15 tahun dan maksimum 50 tahun dan berada pada
interval 30,23 sampai 30,51 tahun. Sehingga dapat di simpulkan bahwa rata-rata
umur ibu balita di wilayah Indonesia barat dan timur tidak berbeda jauh, namun
umur minimum ibu balita di wilayah Indonesia Timur lebih muda dari wilayah
Indonesia Barat.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 mengenai ketentuan calon
mempelai disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
81
16 (enam belas) tahun. Dalam penjelasan pasal 7 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 yang
menyatakan “untuk menjaga keselamatan suami istri dan keturunan, perlu ditetapkan
batas-batas umur perkawinan.
Sedangkan menurut Syafi‟I dan Hambali menetapkan bahwa usia balig untuk
anak laki-laki dan perempuan adalah 15 (lima belas) tahun, sedangkan Maliki
menetapkan 17 (tujuh belas) tahun, sementara Hanafi menetapkan usia balig pada
anak laki-laki adalah 18 (delapan belas) tahun dan anak perempuan 17 (tujuh belas)
tahun (Mugniyyah dalam Indah,2008).
Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam menetapkan dasar ketentuan umur
perkawinan lebih menitik beratkan kepada pertimbangan kesehatan. Pada wilayah
Indonesia Timur terlihat bahwa umur ibu balita minimal 12 tahun. Umur yang
terlalu muda dapat menyebabkan kurangnya pola asuh ibu terhadap balita, dan
kurangnya pengetahuan ibu tentang asupan gizi yang baik untuk balita. Selain itu,
melangsungkan perkawinan pada usia muda juga dapat menimbulkan kesulitan-
kesulitan yang berkaitan dengan sosial ekonomi yang akan membawa akibat yang
cukup rumit dalam kehidupan rumah tangga.
Dari hasil uji statistik mean whitney pada wilayah Indonesia Timur didapatkan
bahwa tidak ada hubungan signifikan antara umur ibu dengan tingkat konsumsi
energi dan protein balita di Wilayah Indonesia Timur (Pvalue 0,183). Sedangkan
dari hasil uji statistik mean whitney pada wilayah Indonesia Barat didapatkan bahwa
ada hubungan signifikan antara umur ibu dengan asupan energi dan protein balita di
wilayah Indonesia (Pvalue 0,000).
82
Tidak adanya hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan konsumsi
energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur bisa saja disebabkan
karena banyak hal lain yang ikut berperan dalam pemberian makanan yang
seimbang untuk balita, misalnya ibu yang berumur 20-35 tahun memiliki
pengetahuannya kurang sehingga bisa menyebabkan balita mengalami asupan energi
dan protein kurang. Berdasarkan analisis univariat di wilayah Indonesia Timur
didapatkan hasil bahwa pendidikan ibu rendah sebesar 68,44%. Selain itu
berdasarkan hasil tabulasi silang antara umur ibu dengan pendidikan ibu didapatkan
bahwa pendidikan ibu rendah pada ibu yang berumur 20-35 tahun lebih besar yaitu
73,3%. Pendidikan rendah cenderung memiliki pengetahuan gizi yang kurang.
Dengan pengetahuan gizi yang kurang dapat menyebabkan ibu kurang mampu
menyelenggarakan makanan yang baik dan benar.
Hal ini sesuai dengan hasil studi yang dilakukan Maden dan Yoder (1972) dalam
Sanjur (1982) menemukan adanya hubungan yang negative antara peningkatan
konsumsi protein, Riboflavin, fosfor, vitamin A dan Tiamin dengan semakin
bertambahnya umur ibu. Umur ibu secara signifikan berhubungan positif dengan
konsumsi zat gizi besi.
Ada hubungan antara umur ibu dengan asupan energi dan protein pada balita di
wilayah Indonesia Barat karena umur ibu antara 20-35 tahun memiliki kemampuan
yang sudah cukup dalam mengurus dan merawat balita. Terbentuknya kemampuan
para ibu balita di wilayah Indonesia Barat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari
diluar faktor pendidikannya, seperti informasi yang didapatkan dari media.
83
Sebagaimana nilai budaya di wilayah Indonesia Barat, pembelanjaan dan konsumsi
makanan telah tergantikan dengan modernisasi.
Hal ini sesuai dengan Sanjur (1982), bahwa umur ibu berpengaruh pada tipe
pemilihan konsumsi makanan di rumah dan juga pengeluaran makanannya (Sanjur,
1982). Menurut Astuti (2004) dalam Handayani (2012), menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan balita yang memiliki
kurang energi dan protein, dimana ibu yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun mempunyai peluang 1,17 kali lebih tinggi memiliki anak balita yang
memiliki asupan energi dan protein kurang dibanding dengan ibu yang berumur 20-
35 tahun.
Selanjutnya Hurlock (1999) dalam ningsih (2008) menyatakan bahwa faktor usia
muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan
kepentingannya sendiri dari pada kepentingan anaknya. Kondisi yang demikian akan
menyebabkan kuantitas dan kualitas pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya,
ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima peranannya dengan sepenuh hati.
Hal sebaliknya dinyatakan oleh Sunyoto (1991) dalam Arinta (2010) bahwa
seseorang yang sudah berumur maka penerimaan terhadap hal baru akan semakin
rendah. Hal ini karena orang yang termasuk dalam golongan tua memiliki
kecenderungan selalu bertahan dengan nilai-nilai lama sehingga diperkirakan sulit
menerima hal-hal yang sifatnya baru.
Penelitian Shantica (1993) di Ponorogo menyebutkan bahwa sebesar 42,6%
responden masih dipengaruhi oleh orang tua atau mertuanya dalam memberikan
84
makanan pada balitanya. Kebiasaan yang turun menurun ini seringkali kurang sesuai
dengan anjuran makanan sehat bagi balita.
6.4 Gambaran Umur Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Menurut Data
Riskesdas 2010
Umur ialah masa hidup responden dalam tahun dengan pembulatan kebawah
atau umur pada ulang tahun terakhir (Depkes, 2008). Umur merupakan faktor gizi
internal yang menentukan kebutuhan gizi, sehingga umur berkaitan erat dengan
status gizi balita (Apriadji, 1986).
Berdasarkan hasil analisis univariat, diketahui rata-rata umur balita di Indonesia
Timur adalah 29,58 bulan, umur minimum balita adalah 12 bulan dan maksimum 59
bulan dan berada pada interval 29.18 sampai 29,98 bulan. Sedangkan rata-rata umur
balita di wilayah Indonesia Barat adalah 29,62 bulan, umur minimum balita adalah
12 bulan dan maksimum 59 bulan dan berada pada interval 29,42 sampai 29,82
bulan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa rata-rata umur balita di wilayah Indonesia
Timur dan Barat tidak berbeda jauh.
Umur balita merupakan kelompok yang rentan terhadap gizi. Balita dengan umur
24 bulan ke atas merupakan masa peralihan antara penyusuan dan makanan dewasa
serta masa yang paling kritis karena adanya bahaya ketidakcukupan gizi dan
penyakit infeksi. Maka pada umur 6-59 bulan, penimbangan berat badan balita perlu
dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan upaya pencegahan terjadinya masalah
pertumbuhan dikemudian hari.
Menurut data riskesdas 2010 didapatkan persentase balita yang tidak menimbang
berat badan di wilayah Indonesia Timur sebesar 35,37% dan di wilayah Indonesia
85
Barat sebesar 28,35%. Namun secara keseluruhan penimbangan balita pada
kelompok umur 6-11 bulan, 12-23 bulan, 24-35 bulan, 36-47 bulan dan 48-59 bulan,
menunjukkan ada kecenderungan semakin tinggi umur balita maka semakin tinggi
persentase balita yang tidak pernah ditimbang.
Semakin tingginya persentase balita umur 24 bulan keatas yang tidak ditimbang
berat badannya dapat disebabkan karena fasilitas yang jauh dari jangkauan, sarana
yang belum memadai, hingga kurangnya kesadaran keluarga khususnya ibu balita.
Pada umur balita sangat rentan mengalami masalah gizi terutama umur 2 tahun,
karena asupan energi dan protein pada masa ini cukup sedikit. Dalam umur ini
terjadi peningkatan berat badan yang lambat bahkan penurunan berat badan pada
beberapa anak (Jelliffe, 1969).
Pada penelitian ini, berdasarkan hasil uji mean whitney pada wilayah Indonesia
Timur dan Barat diketahui bahwa secara signifikan ada hubungan antara umur balita
dengan asupan energi dan protein di wilayah Indonesia timur dengan Pvalue 0,000
(α ≤ 5%) dan pada wilayah Indonesia Barat juga didapatkan Pvalue 0,000 (α ≤ 5%).
Pada penelitian ini ada kecenderungan balita yang mengalami asupan energi dan
protein kurang terjadi pada umur balita yang lebih tua. Umur balita yang mengalami
asupan energi dan protein kurang adalah umur 28,23 bulan sebanyak 1644 balita
pada wilayah Indonesia Timur dan umur 26,37 bulan sebanyak 4001 balita pada
wilayah Indonesia Barat.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Kunanto (1992), menunjukkan bahwa ada
hubungan antara umur balita dengan status gizi. Hal ini berkaitan dengan
86
menurunnya perhatian orang tua anak tersebut, yang mungkin disebabkan oleh
adanya anak yang lebih muda (adik) atau kesibukan orangtua anak tersebut.
Faktor umur banyak terkait dengan masalah pertumbuhan dan aktifitas anak.
Periode pertumbuhan yang sangat cepat terjadi pada bayi dan awal balita. Pada usia
6-12 bulan percepatan pertumbuhan yang sangat cepat terjadi pada bayi dan awal
balita. Pada usia 6-12 bulan percepatan pertumbuhan berat badan rata-rata
0,4kg/bulan dan 13-23 bulan percepatannya 0,2 kg/bulan (Jahari,1990).
Adanya hubungan antara umur balita dengan asupan energi dan protein di
wilayah Indonesia Timur bisa saja disebabkan karena ketersediaan pangan di
wilayah Indonesia Timur masih sangat kurang, sehingga balita yang berusia diatas
24 bulan hanya mendapat asupan yang sedikit, selain itu pada umur diatas 24 bulan
balita lebih aktif dan sudah tidak mendapatkan ASI. Sedangkan untuk wilayah
Indonesia Barat, adanya hubungan yang bermakna antara umur balita dengan asupan
energi dan protein karena selain balita yang berusia diatas 24 bulan sudah tidak
mendapatkan ASI, sehingga kebutuhan makan balita hanya didapatkan dari
konsumsi setiap anak dan pada usia ini balita sudah dapat menolak makanan dan
lebih menyukai makanan jajanan yang kandungan gizinya tidak dapat mencukupi
kebutuhan gizi balita.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Kusnadi (2001), bahwa kelompok umur usia
24-59 bulan mempunyai kecenderungan status gizi kurang lebih besar dibanding
dengan kelompok umur 6-23 bulan. Hal ini karena kebutuhan gizi pada usia tersebut
meningkat sedangkan ASI sudah tidak mencukupi, disamping makanan sapihan
87
tidak diberikan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya infeksi kaena
kontaminasi pada makanan yang dimakan (Soekirman,2000).
Semakin tua usia anak maka semakin baik status gizinya pada kelompok yang
diberi ASI. KEP tertinggi juga ditemukan pada kelompok anak usia 1 tahun yang
mulai di sapih (Suhardjo, 1989). Menurut Notoatmodjo (2003), anak balita
merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan penyakit, dikarenakan beberapa
anggapan bahwa balita baru berada dalam masa transisi dari makanan bayi ke
makanan orang dewasa, biasanya balita juga sudah mempunyai adik atau ibu yang
sudah bekerja penuh sehingga perhatian ibu sudah berkurang. Selain itu anak balita
belum dapat mengurus dirinya sendiri, termasuk dalam pemilihan makanan.
Selain itu, hal ini juga dimungkinkan karena dalam daur kehidupan masa antara
umur satu tahun hingga remaja pertumbuhan fisiknya tidak terlalu cepat. Dalam
masa ini, kebutuhan anak balita akan zat gizi harus tetap diperhatikan. Anak balita
sangat membutuhkan asupan protein dan energi yang adekuat untuk proses
pertumbuhan dan perkembangan (King, et al., 1972 dalam Anggraini, 2012). Untuk
itu orang tua berperan penting di dalam memilih makanan yang berkualitas baik
untuk kebutuhan gizi yang seimbang. Pola makan usia balita diatas 24 bulan harus
memenuhi pola makan sehat dan seimbang agar tercukupi seluruh kebutuhan
gizinya. Dengan pola makan yang baik diharapkan balita akan tumbuh dengan baik,
sehat dan menjadi anak yang cerdas.
88
6.5 Gambaran Pendidikan Ibu di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Menurut
Data Riskesdas 2010
Pendidikan merupakan suatu proses penyampaian bahan materi pendidikan
kepada sasaran pendidikan guna perubahan tingkah laku. Hasil pendidikan orang
dewasa adalah perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya. (Notoatmodjo,
2007). Menurut Depdiknas (2001), pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Sedangkan menurut Notoatmodjo (2007), pendidikan adalah suatu proses
penyampaian bahan, materi pendidikan kepada sasaran pendidikan guna perubahan
tingkah laku. Hasil pendidikan orang dewasa adalah perubahan kemampuan,
penampilan atau perilakunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa makin tinggi tingkat
pendidikan, maka makin banyak pengalaman atau informasi yang diperoleh.
Berdasarkan hasil analisis univariat, didapatkan hasil bahwa pendidikan ibu
rendah di wilayah Indonesia Timur sebesar 68,17%, sedangkan pendidikan ibu
rendah di wilayah Indonesia Barat sebesar 62,77%. Dapat disimpulkan bahwa
pendidikan ibu rendah di wilayah Indonesia Timur lebih tinggi dari wilayah
Indonesia Barat.
Hal ini sesuai dengan hasil survei demografi kesehatan Indonesia (BPS, 2008),
didapatkan persentase wanita yang tidak menempuh pendidikan di wilayah
Indonesia timur sebesar 12,1 % wanita. Sedangkan persentase wanita yang tidak
menempuh pendidikan di wilayah Indonesia Barat sebesar 10,2 % wanita. Jika
dilihat dari jumlah persentase tertinggi di wilayah Indonesia Timur dan Barat, maka
89
wilayah Indonesia Timur masih tertinggal dalam hal pendidikan wanita. Hal ini juga
terlihat dari data BPS (2010), Rata-rata angka melek huruf wanita usia 15 tahun
keatas di Wilayah Indonesia Timur sebesar 88,47% sedangkan rata-rata angka melek
huruf wanita usia 15 tahun keatas di wilayah Indonesia Barat sebesar 97,84%.
Berdasarkan Kemdiknas (2010), perkembangan angka putus sekolah pada tahun
2009/2010 di wilayah Indonesia Timur sebesar 2,07% dan di wilayah Indonesia
Barat sebesar 1,75%. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa angka putus sekolah di
wilayah Indonesia Timur lebih tinggi dibanding wilayah Indonesia Barat.
Faktor penyebab rendahnya pendidikan orang tua terutama ibu adalah rendahnya
pengetahuan gizi, karena sangat mempengaruhi tingkat kemampuan individu,
keluarga dan masyarakat dalam mengelola sumber daya yang ada untuk
mendapatkan kecukupan bahan makanan serta sejauh mana sarana pelayanan
kesehatan, gizi dan sanitasi lingkungan yang tersedia dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Rendahnya pengetahuan tentang sanitasi lingkungan yang baik akan
menyebabkan anak menderita penyakit infeksi. Berdasarkan data BPS (2008),
didapatkan persentase balita yang mengalami keluhan kesehatan seperti diare yaitu
sebesar 7,25 % di wilayah Indonesia Timur dan 5,39% di wilayah Indonesia Barat.
Maka dapat disimpulkan bahwa balita yang mengalami keluhan kesehatan lebih
besar prevalensinya di wilayah Indonesia Timur dibanding dengan Indonesia Barat.
Hasil uji chi square pada wilayah Indonesia Timur dan Barat didapatkan hasil
yang sama yaitu ada hubungan signifikan antara pendidikan ibu dengan asupan
energi dan protein balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat (Pvalue 0,000).
90
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nasekhah (2010), bahwa terdapat
hubungan antara pendidikan ibu dengan konsumsi energi dan protein pada batita.
Dan penelitian Triana (2002) yang menjelaskan bahwa pendidikan orang tua
khususnya ibu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi energi
dan protein pada anak balita. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Hadi (2005),
bahwa terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan status gizi balita dengan
Pvalue 0,038.
Ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi mengenai
gizi dan dapat memberikan makanan bergizi yang dapat mencukupi kebutuhan
balitanya seperti energi dan protein. Pada wilayah Indonesia Timur, para ibu balita
lebih banyak yang berpendidikan rendah, dan mempengaruhi terhadap asupan energi
dan protein balita, karena ibu yang berpendidikan rendah hanya mementingkan rasa
kenyang anak-anaknya. Selain itu para ibu bersifat apatis terhadap hal-hal baru
sehingga tidak memperhatikan kandungan gizi para balita. Sedangkan di wilayah
Indonesia Barat, para ibu sudah banyak yang memiliki pendidikan tinggi, sehingga
semakin mudahnya akses ibu untuk memperoleh informasi gizi dan kesehatan. Maka
mempengaruhi asupan energi dan protein anak dengan cara memilih bahan makanan
yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Riyadi, dkk (2011) di wilayah Nusa
Tenggara Timur, menunjukkan bahwa pendidikan ibu yang relatif tinggi dapat
meningkatkan pengetahuan gizi serta praktek gizi dan kesehatan, yang secara tidak
langsung memperbaiki kebiasaan makan anak, yang pada akhirnya meningkatkan
konsumsi energi dan protein balita.
91
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kandun, dkk (1988) yang mendapatkan
sebesar 95,9% balita tidak naik berat badannya mempunyai ibu yang berpendidikan
SD ke bawah. Kartono,dkk (1993) mendapatkan hasil yang sama dengan penelitian
Kandun yaitu tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap kenaikan berat badan
balita. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, cenderung mempunyai balita yang
berat badannya naik.
Pendidikan ibu menjadi dasar yang penting bagi keluarga karena dengan
semakin tinggi pendidikan maka lebih memudahkan untuk beradaptasi dengan
kemajuan pengetahuan dan teknologi dan mempengaruhi pula produktivitas dan
kesejahteraan keluarga. Pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi pengetahuan gizi (Surbakti, 1989). Hal ini terlihat dari pengetahuan
ibu tentang memilih bahan makanan yang bernilai gizi baik dan tentang cara
memperlakukan bahan pangan dalam pengolahan sangat mempengaruhi status gizi
balita (Khumaidi, 1994).
6.6 Gambaran Status Bekerja Ibu di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Menurut
Data Riskesdas 2010
Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan keluarga, dengan
adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga, maka keluarga tersebut relatif terjamin
pendapatannya setiap bulan. Jika keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap, maka
pendapatan keluarga setiap bulannya juga tidak dapat dipastikan. Buruh merupakan
kelompok pekerjaan dengan pendapatan terbatas (Khomsan,et al 2009). Beberapa
alasan mengemukakan mengapa ibu rumah tangga mencari pekerjaan di luar rumah
yaitu karena mereka memiliki keahlian, karena kebutuhan individu, kepercayaan,
92
nilai budaya yang mengharuskan ibu bekerja atau karena tuntutan kebutuhan
keluarga (Sanjur, 1982).
Berdasarkan analisis univariat di dapatkan bahwa wilayah Indonesia Timur
persentase ibu yang bekerja sebesar 38,1%, sedangkan di wilayah Indonesia Barat
persentase ibu yang bekerja sebesar 52,76%. Hal ini dapat dilihat bahwa persentase
ibu yang bekerja di wilayah Indonesia Barat lebih tinggi di banding wilayah
Indonesia Timur.
Banyaknya ibu yang bekerja di wilayah Indonesia Barat bisa saja disebabkan
karena sebagian besar wanita berpendidikan tinggi, sehingga banyak dari mereka
yang tetap ingin bekerja setelah menikah untuk mencukupi kebutuhan hidup
keluarga. Sedangkan pada wilayah Indonesia Timur, para wanita sebagian besar
masih memegang tradisi bahwa para wanita bertugas mengurus segala urusan rumah
tangga sedangkan para pria bertugas untuk mencari nafkah bagi keluarga.
Islam adalah agama yang adil. Allah SWT menciptakan bentuk fisik dan tabiat
wanita berbeda dengan pria. Fitrah kaum wanita adalah tinggal di rumah. Allah
Ta‟aa berfirman:
93
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta‟at kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS.
An Nisa‟: 34)
Pada dasarnya, kewajiban mencari nafkah bagi keluarga merupakan tanggung
jawab kaum lelaki. Syaikh Abdul „Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Islam
menetapkan masing-masing dari suami dan istri memiliki kewajiban yang khusus
agar keduanya menjalankan perannya masing-masing sehingga sempurnalah
bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari
nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya,
memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka, serta tugas-tugas lain
yang sesuai baginya seperti mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah
mereka, dan mengobati mereka serta pekerjaan lain yang khusus bagi kaum wanita.
Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya, berarti ia telah
menyia-nyiakan rumah serta para penghuninya. Hal tersebut dapat menyebabkan
kerusakan dalam keluarga baik secara hakiki maupun maknawi. (Khatharu
Musyarakatil Mar‟ah li Rijal fil Maidanil Amal).
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “Setiap kalian adalah
pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Pemimpin
negara adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang
laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang
94
dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya
serta anak-anaknya dan ia akan ditanya tentang mereka. Seorang budak adalah
pemimpin atas harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari 893 dan Muslim 1829).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al „Utsaimin rahimahullah menjelaskan :
Seorang istri merupakan pemimpin yang menjaga di rumah suaminya dan akan
ditanya tentang penjagaanya. Maka wajib baginya untuk mengurusi rumah dengan
baik, seperti dalam memasak, menyiapkan minum, serta mengatur tempat tidur.
Janganlah ia memasak melebihi dari yang semestinya. Jangan pula ia membuat teh
lebih dari yang dibutuhkan. Ia harus menjadi seorang wanita yang bersikap
pertengahan, tidak bersikap kurang dan tidak berlebih-lebihan, karena sikap
pertengahan adalah separuh dari penghidupan. Tidak boleh melampaui batas dalam
apa yang tidak sepantasnya. Istri juga memiliki tanggung jawab terhadap anak-
anaknya dalam mengurus dan memperbaiki urusan mereka, seperti dalam hal
memakaikan pakaian, melepaskan pakaian yang kotor, merapikan tempat tidur, serta
memerhatikan penutup tubuh mereka di musim dingin. Setiap wanita akan ditanya
tentang semua itu. Dia akan ditanya tentang urusan memasak, dan ia akan ditanya
tentang seluruh apa yang ada di dalam rumahnya.” (Syarh Riyadhis Shalihin II/133-
134 dalam Mianoki, 2012).
Hal ini dapat disimpulkan bahwa kewajiban istri adalah tinggal di rumah dan
mengurus keluarga, jika wanita ingin bekerja untuk menambah tingkat ekonomi
keluarga maka tidak boleh meninggalkan kewajibannya sebagai seorang istri.
95
Ibu yang bekerja diluar rumah mempunyai kecenderungan menyerahkan
pemberian makanan untuk balitanya dengan orang lain, misalnya kepada orang tua,
pembantu atau titip dengan tetangga, sehingga pemberian asupan makanan balita
tidak dapat dipantau dengan baik. Kemampuan dalam memberikan asupan gizi balita
merupakan sesuatu yang ditampilkan ibu dalam upaya memenuhi kecukupan gizi
balita. Penyediaan makanan bagi keluarga pada umumnya merupakan tugas seorang
ibu (Soediatama, 2004). Ibu mempunyai peranan yang penting dalam memberikan
asupan gizi pada balitanya. Kecukupan gizi sangat diperlukan untuk pertumbuhan
otak terutama pada masa balita, sehingga ibu diharapkan memiliki kemampuan yang
baik dalam memberikan asupan gizi untuk balita (Depkes RI, 2000).
Variabel status bekerja ibu merupakan salah satu faktor yang diduga
berhubungan dengan asupan energi dan protein balita di wilayah Indonesia Timur
dan Barat. Berdasarkan hasil uji statistik chi square di wilayah Indonesia Timur dan
Barat diketahui bahwa status bekerja ibu tidak memiliki hubungan bermakna dengan
asupan energi dan protein pada balita yaitu dengan Pvalue sebesar 0,1818 pada
wilayah Indonesia Timur dan Pvalue 0,3860 pada wilayah Indonesia Barat.
Tidak adanya hubungan yang bermakna antara status bekerja ibu dengan asupan
energi dan protein di wilayah Indonesia Timur dapat disebabkan oleh faktor lain
seperti jenis pekerjaan ibu. Jenis pekerjaan ibu yang memiliki waktu bekerja
berbeda, tergantung dari jenis pekerjaannya. Seperti ibu yang bekerja sebagai petani
memiliki waktu bekerja sedikit, sehingga tetap dapat mengurus anak dan ibu tetap
bertugas menyediakan makanan bagi keluarga. Secara statistik ibu yang bekerja
berkontribusi terhadap tingkat ekonomi keluarga. Ibu yang mencari pekerjaan, baik
96
di perumahan atau di luar rumah biasanya untuk mendapatkan penghasilan
tambahan keluarga karena tingkat pendapatan dari keluarga yang dirasa kurang
mencukupi. Beberapa alasan mengemukakan mengapa ibu rumah tangga mencari
pekerjaan di luar rumah yaitu karena mereka memiliki keahlian, karena kebutuhan
individu, kepercayaan, nilai budaya yang mengharuskan ibu bekerja atau karena
tuntutan kebutuhan keluarga (Sanjur, 1982).
Sedangkan tidak ada hubungan yang bermakna antara status bekerja ibu dengan
asupan energi dan protein kurang di wilayah Indonesia Barat dapat disebabkan
karena penghasilan yang memadai akan memudahkan dalam mengelola pengeluaran
untuk pangan yang beraneka ragam dan sesuai dengan kebutuhan keluarga. Selain
itu, ibu yang bekerja di wilayah Indonesia Barat akan menambah pendapatan
keluarga dan ibu lebih banyak menyewa pengasuh bayi atau balita yang profesional,
sehingga kebutuhan akan pangan untuk kebutuhan balita dapat terpenuhi. Pekerjaan
ibu tidak berpengaruh pada pembentukan pola konsumsi makan balita.
Dampak dari pekerjaan ibu menurut beberapa studi mengemukakan bahwa
selain berkontribusi terhadap pendapatan keluarga, status pekerjaan ibu berdampak
pada keadaan gizi dan kesehatan keluarga yaitu ditunjukkan dengan adanya
perubahan dalam praktek konsumsi makanan keluarga (Sanjur, 1982).
Soekirman, dkk (2000) menyatakan bahwa meningkatnya kesempatan kerja
wanita dapat mengurangi waktu untuk tugas merawat anak dan memberikan asupan
makanan yang sesuai kebutuhan. Dalam mengasuh anak, ibu adalah orang yang
paling banyak terlibat sehingga pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan balita.
Peran sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga sangat erat kaitannya dengan status
97
gizi anak. Menurut Harahap (1992) dalam Handayani (2012), mengemukakan bahwa
salah satu dampak negatif yang ditimbulkan sebagai akibat bekerjanya ibu di luar
rumah adalah ketelantaran balita, sebab anak balita bergantung pada pengasuhnya.
6.7 Gambaran Tingkat Ekonomi Keluarga di Wilayah Indonesia Timur dan Barat
Menurut Data Riskesdas 2010
Tingkat ekonomi keluarga adalah kedudukan seseorang atau keluarga di
masyarakat berdasarkan pendapatan perbulan. Tingkat ekonomi keluarga dilihat dari
pendapatan yang disesuaikan dengan harga barang pokok (Kartono, 2006).
Berdasarkan hasil analisis univariat didapatkan bahwa di wilayah Indonesia
Timur yang memiliki tingkat ekonomi keluarga rendah sebesar 58,37%, sedangkan
di wilayah Indonesia Barat yang memiliki tingkat ekonomi keluarga rendah sebesar
47,05%.
Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi ekonomi, yaitu orangtua menyediakan
anggaran khusus untuk anak-anak berupa sandang, pangan, papan dan untuk biaya-
biaya lain. Kondisi ekonomi keluarga di masyarakat dapat menentukan tingkat
pendidikan, kondisi lingkungan tempat tinggal, kesehatan dan lain-lain.
Berdasarkan hasil survey statistik Indonesia 2010, didapatkan persentase
keluarga yang mendapatkan pelayanan kesehatan gratis sebesar 28,33% di wilayah
Indonesia Timur dan 18,59% di wilayah Indonesia Barat. Dapat dilihat baru
pelayanan kesehatan gratis di wilayah Indonesia Timur lebih besar persentasenya
dibanding dengan wilayah Indonesia Barat. Hal ini dilakukan pemerintah karena
wilayah Indonesia Timur memiliki tingkat ekonomi rendah lebih banyak, sehingga
pelayanan kesehatan gratis sangat dibutuhkan.
98
Selain itu, menurut data BPS (2010), didapatkan prevalensi penduduk miskin di
wilayah Indonesia Timur sebesar 20,50%, sedangkan prevalensi penduduk miskin di
wilayah Indonesia Barat sebesar 10,97%. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan
penyebab penduduk miskin di kedua wilayah. Penduduk miskin di wilayah
Indonesia Timur disebabkan kurangnya sumber daya manusia (SDM), tenaga kerja
rendah, dan kurangnya ketersediaan fasilitas publik seperti infrastruktur jalan dan
listrik. tingkat pendidikan. Sedangkan penyebab penduduk miskin di wilayah
Indonesia Barat disebabkan kepadatan penduduk yang tinggi terutama di pulau Jawa
dan Bali dengan tingkat pendidikan penduduk masih rendah.
Salah satu penyebab penduduk miskin di wilayah Indonesia Timur yaitu jumlah
tenaga kerja yang masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil data BPS (2008), tingkat
partisipasi angkatan kerja (TPAK) di wilayah Indonesia terdapat 164,12 juta
penduduk usia kerja, sekitar 60,67% berada pada wilayah Indonesia Barat
khususnya terbanyak di Pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat bahwa tingkat partisipasi
angkatan kerja (TPAK) di wilayah Indonesia Timur masih kurang. Pada wilayah
Indonesia Barat, peranan sektor pertanian, industry, maupun perdagangan dalam
penyerapan tenaga kerja tampak lebih tinggi dibandingkan wilayah Indonesia Timur.
Tingkat sosial ekonomi mempengaruhi kemampuan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi dan mempengaruhi kemampuan keluarga untuk memilih macam
bahan makanan, waktu pemberian serta kebiasaan hidup sehat termasuk sanitasi
lingkungan. Kemiskinan merupakan masalah utama yang mengakibatkan
ketidakmampuan keluarga untuk menyediakan bahan makanan sesuai dengan yang
dibutuhkan. (Martorell dan Habicht dalam Syahbudin, 2002).
99
Pada penelitian ini, berdasarkan hasil uji chi square di wilayah Indonesia Timur
dan Barat didapatkan hasil yang sama yaitu ada hubungan signifikan antara tingkat
ekonomi keluarga dengan asupan energi dan protein pada balita di wilayah
Indonesia Timur dan Barat dengan hasil Pvalue 0,000. Hasil ini sesuai dengan hasil
penelitian Triana (2002) dan Satria,et al (2009), yang menyebutkan bahwa tingkat
ekonomi keluarga akan berdampak pada asupan energi dan protein balita.
Selain itu menurut Haddad, dkk (1996), bahwa tingkat pendapatan keluarga
mempengaruhi ketersediaan pangan rumah tangga. Pendapatan keluarga dapat
meningkatkan penyediaan pangan di rumah tangga dan peningkatan pendapatan
akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam susunan makanan dan
kecenderungan merubah kebiasaan makan .
Berdasarkan teori yang diungkapkan Rodriquez (2004), bahwa salah satu faktor
yang menentukan perilaku makan adalah sosial ekonomi. Pendapatan dan
keterampilan mempengaruhi masyarakat terhadap apa yang mereka beli, walaupun
harga suatu makanan bukanlah indicator nilai gizi terhadap makanan tersebut.
Menurut Judith C (2004) dalam Sa‟adah (2008), status ekonomi mengacu pada
jumlah uang yang seseorang dapat belanjakan. Status ekonomi mempengaruhi
perilaku makan, karena jenis makanan yang dipilih akan tergantung pada berapa
banyak uang yang seseorang miliki. Bahkan status ekonomi tinggi dapat
menentukan makanan apa yang dapat seseorang makan. Begitu juga menurut Daly,
et al (1979) dalam Sa‟adah (2008), bahwa kebiasaan konsumsi makan atau perilaku
makan dipengaruhi oleh faktor pendapatan.
100
Tingkat Ekonomi keluarga yang tinggi akan dapat memenuhi kebutuhan pangan
keluarga yang sesuai dengan gizi seimbang. Pada masyarakat di wilayah Indonesia
Timur, harga bahan-bahan kebutuhan pokok sangatlah mahal, sehingga berpengaruh
terhadap lemahnya daya beli dan tidak tersedianya pangan yang sesuai dengan
kebutuhan. Sedangkan wilayah Indonesia Barat yang sebagian masyarakatnya
memiliki tingkat ekonomi menengah keatas, sehingga dapat membeli pangan dengan
kualitas dan kuantitas yang lebih baik dan lebih beragam.
Hal ini sesuai dengan Moehji (1986), pendapatan keluarga turut menentukan
hidangan dalam lingkungan keluarga itu sehari-hari, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas makanan yang dihidangkan. Tingkat pendapatan keluarga secara langsung
dapat mempengaruhi konsumsi makan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti
memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang
lebih baik dan sebaliknya (Mudanijah, 2004).
Menurut Suhardjo (1996), bahwa sumber pangan keluarga terutama mereka
yang sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang
harus diberi makan sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar
mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi
tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut.
Sedangkan menurut Apriadji (1986), kalau pendapatan hanya pas-pasan sedangkan
anak banyak maka pemerataan dan kecukupan makanan didalam keluarga kurang
bisa dijamin. Keluarga ini bisa disebut keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya
hampir tidak pernah tercukupi dan dengan demikian penyakitpun terus mengintai.
101
6.8 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga di Wilayah Indonesia Timur dan Barat
Menurut Data Riskesdas 2010
Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada
pola pertumbuhan anak dan balita dalam satu keluarga. Anak yang terlalu banyak
selain menyulitkan dalam mengurusnya juga kurang bisa menciptakan suasana
tenang didalam rumah. Lingkungan keluarga yang selalu ribut akan mempengaruhi
ketenangan jiwa, dan ini secara langsung akan menurunkan nafsu makan anggota
keluarga lain yang terlalu peka terhadap suasana yang kurang mengenakan, dan jika
pendapatan keluarga hanya pas-pasan sedangkan jumlah anggota keluarga banyak
maka pemerataan dan kecukupan makanan didalam keluarga kurang terjamin, maka
keluarga ini bisa disebut keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hampir tidak
pernah tercukupi dengan demikian penyakitpun terus mengintai (Apriadji, 1996).
Berdasarkan analisis univariat, didapatkan hasil bahwa jumlah anggota keluarga
besar di wilayah Indonesia Timur sebesar 60,1%, sedangkan jumlah anggota
keluarga besar di wilayah Indonesia Barat sebesar 47,8%. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa jumlah anggota keluarga besar di wilayah Indonesia Timur lebih
besar dari pada wilayah Indonesia Barat.
Hal ini sesuai dengan data BPS 2010, didapatkan bahwa rata-rata anggota
rumah tangga di wilayah Indonesia Timur sebanyak 5,2 orang, sedangkan di wilayah
Indonesia Barat sebanyak 3,9 orang. Dari data tersebut terlihat bahwa di wilayah
Indonesia Timur memiliki rata-rata jumlah keluarga besar dibanding dengan wilayah
Indonesia Barat.
102
Masih banyaknya jumlah keluarga besar di wilayah Indonesia Timur bisa saja
disebabkan karena faktor pasangan yang tidak melakukan KB. Hal ini terlihat dari
tingkat prevalensi pasangan usia subur (PUS) peserta KB diwilayah Indonesia Timur
sebesar 55,35% dan prevalensi PUS peserta KB di wilayah Indonesia Barat sebesar
66,15%. Dari data diatas dapat dilihat bahwa prevalensi PUS peserta KB di wilayah
Indonesia Timur lebih rendah dari wilayah Indonesia Barat. Hal inilah yang
menyebabkan jumlah keluarga besar di wilayah Indonesia Timur masih tinggi
jumlahnya.
Pada penelitian ini, berdasarkan hasil uji chi square di wilayah Indonesia Timur
dan Barat didapatkan hasil yang sama yaitu terdapat hubungan antara jumlah
anggota keluarga dengan asupan energi dan protein pada balita (Pvalue 0,000). Hasil
analisis didapatkan nilai OR untuk wilayah Indonesia Timur yaitu sebesar 1,38
artinya jumlah keluarga besar di wilayah Indonesia Timur memiliki kecenderungan
1,38 kali untuk memiliki balita dengan asupan energi dan protein kurang dibanding
dengan jumlah keluarga kecil. Hasil nilai OR pada wilayah Indonesia Barat sebesar
1,21 artinya jumlah keluarga besar di wilayah Indonesia Barat memiliki
kecenderungan 1,21 kali untuk memiliki balita dengan asupan energi dan protein
kurang dibanding dengan jumlah anggota keluarga kecil.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nasekhah (2010), bahwa pada keluarga
besar anak balita memiliki peluang untuk mengkonsumsi zat gizi energi dan protein
dalam jumlah kurang dibanding dengan keluarga kecil. Selain itu penelitian ini juga
sejalan dengan pendapat Yuliana (2007), yang menyatakan bahwa secara nyata
konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh besar keluarga.
103
Hal ini sesuai dengan penelitian Berg (1986) dalam Reno (2008), menunjukkan
bahwa rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar memiliki resiko
kelaparan empat kali lebih besar dibanding keluarga yang memiliki anggota
keluarga kecil, dan beresiko pula mengalami gizi kurang sebanyak lima kali lebih
besar dibanding keluarga yang memiliki anggota keluarga kecil. Jumlah anggota
keluarga yang besar akan mempengaruhi distribusi makanan terhadap anggota
keluarga, terutama pada anggota keluarga miskin yang terbatas kemampuannya
dalam penyediaan makanan, sehingga akan beresiko terhadap gizi kurang.
Sedangkan menurut Moehji (1992) mengemukakan hasil penelitian yang
diadakan di India yang membuktikan bahwa konsumsi kalori pada anak-anak dari
keluarga yang mempunyai anak lebih dari 3 orang adalah jauh lebih rendah
disbanding dengan konsumsi kalori pada anak-anak dari keluarga yang mempunyai
anaka kurang dari 3 orang.
Jumlah anggota yang besar akan mempengaruhi konsumsi pangan setiap
anggota keluarga. Penyediaan pangan harus mencukupi semua anggota keluarga,
jika tidak dapat mencukupi maka balita yang akan mendapatkan dampak dari
kekurangan pangan. Karena anak yang tertua akan mengambil makanan lebih
banyak dibanding dengan anak yang paling kecil. Selain itu ada kecenderungan
bahwa orangtua tidak akan dapat memperhatikan anak mereka satu persatu, sehingga
pola pengasuhan menjadi kurang baik. Dengan jumlah anggota keluarga yang besar
dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan menyebabkan anak
balita dalam keluarga tersebut menderita kurang asupan energi dan protein.
104
Hal ini sesuai dengan Berg (1973) dalam Syahbudin (2002), bahwa jumlah
anggota keluarga dan banyaknya balita dalam keluarga akan berpengaruh terhadap
tingkat konsumsi makanan yaitu jumlah dan distribusi makanan dalam rumah
tangga. Dengan jumlah anggota keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi
makanan yang tidak merata akan menyebabkan anak balita dalam keluarga tersebut
menderita kurang energi dan protein.
Hal ini juga sesuai dengan Sayogyo (1986) dalam Hatril (2001) mengemukakan
bahwa jumlah keluarga memiliki kaitan dengan banyaknya individu yang dipenuhi
kebutuhan gizinya. Kualitas dan kuantitas makanan yang bergizi yang harus
disediakan keluarga akan semakin meningkat dan bervariasi dengan komposisi
rumah tangga. Apabila pembagian untuk masing-masing anggota keluarga tidak
baik, maka akan terjadi persaingan dalam konsumsi makanan sehingga balita akan
mudah tersisih dan memperoleh bagian yang kecil dan tidak dapat memenuhi
kebutuhan tubuhnya untuk tumbuh dan berkembang.
Menurut Mursalin (1993) dalam Nasekhah (2010) menyatakan bahwa
konsumsi pangan dipengaruhi oleh jumlah keluarga. Keluarga dengan banyak anak
dan jarak kehamilan antar anak yang amat dekat akan menimbulkan lebih banyak
masalah. Dalam acara makan bersama seringkali anak-anak yang lebih kecil akan
mendapatkan jatah makan yang kurang mencukupi karena kalah dengan kakanya
yang makannya lebih cepat dan dengan porsi sekali suap yang lebih besar pula. Jika
pendapatan keluarga hanya pas-pasan sedangkan anak banyak maka pemerataan dan
kecukupan makanan didalam keluarga kurang bisa dijamin. Keluarga ini bisa disebut
keluarga rawan gizi, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah tercukupi
105
(Pudjiadi, 1986). Dengan demikian, disarankan kepada instansi kesehatan,
khususnya puskesmas disetiap wilayah Indonesia Timur untuk meningkatkan
pelayanan Keluarga Berencana (KB) melalui Posyandu. Bagi keluarga disarankan
mengikuti KB untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.
105
BAB VII
PENUTUP
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang asupan energi dan protein
pada balita di wilayah Indonesia Timur dan wilayah Indonesia Barat menurut data
Riskesdas 2010, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Balita dengan asupan energi dan protein kurang di wilayah Indonesia Timur
adalah 62,92% dan 37,52% pada wilayah Indonesia Barat. Asupan yang kurang
di wilayah Indonesia Timur disebabkan karena faktor ketidakseimbangan pola
produksi dan pola konsumsi antara wilayah Indonesia Timur dan Barat.
2. Faktor yang berhubungan dengan asupan energi dan protein pada balita di
wilayah Indonesia Timur dan Barat pada tahun 2010 yaitu umur balita,
pendidikan ibu, tingkat ekonomi, jumlah anggota keluarga, sedangkan umur ibu
hanya berhubungan di wilayah Indonesia Barat. Dan faktor yang tidak
berhubungan di wilayah Indonesia Timur dan Barat pada tahun 2010 yaitu
status bekerja ibu, dan umur ibu yang tidak memiliki hubungan di wilayah
Indonesia Timur.
3. Hasil tabulasi silang antara tingkat pendidikan ibu dengan umur ibu didapatkan
sebaran data pendidikan ibu rendah pada ibu yang berumur 20-35 tahun sebesar
73,3 %. Hal ini menyebabkan umur ibu di wilayah Indonesia Timur tidak
memiliki hubungan dengan asupan energy dan protein balita. Karena dengan
pendidikan rendah menyebabkan pengetahuan gizi ibu juga rendah dalam
menyelenggarakan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi balita.
106
7.2 Saran
A. Bagi Balitbang Kemenkes
1) Agar memberikan rekomendasi terhadap Dinas terkait/ Kementerian
Pertanian dalam hal melakukan upaya pengembangan potensi pangan lokal
di wilayah Indonesia Timur, agar masyarakat setempat dapat menyediakan
pangan secara mandiri dan tidak terlalu mengandalkan distribusi pangan dari
wilayah Indonesia Barat.
2) Agar memberikan rekomendasi terhadap Dinas kesehatan dalam hal
memberikan pengetahuan gizi tentang pangan lokal di wilayah Indonesia
Timur agar dengan pangan yang tersedia dapat mencukupi kebutuhan
asupan gizi balita.
3) Agar memberikan rekomendasi terhadap Dinas kesehatan dalam hal
meningkatkan partisipasi Posyandu agar menambah pengetahuan para ibu
balita dalam hal pentingnya penimbangan berat badan pada umur balita
diatas 24 bulan untuk memantau status gizi balita, mengelola sumberdaya
yang ada untuk mencukupi kebutuhan bahan makanan sesuai dengan
kebutuhan gizi balita.
B. Bagi peneliti Selanjutnya
Agar meneliti variabel-variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini
karena secara teori variabel tersebut berhubungan dengan asupan energi dan
protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat. Seperti variabel daya
beli, ketersediaan pangan, pengetahuan gizi ibu, penyakit infeksi dan Sosial
Budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito, Wiku, 2008. System kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ade. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekurangan energy dan protein
(KEP) pada balita umur 7-36 bulan di Puskesmas Munjul Kecamatan Majalengka
Kabupaten Majalengka tahun 2002. Depok. FKM-UI.
Adrafikar. 2003. Faktor determinan kurang energi dan protein (KEP) anak usia 6 bulan
sampai dengan 3 tahun di kecamatan kuranji kota Padang tahun 2003. Depok:
Tesis. FKM UI.
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia
Alibbirwin. 2001. Karakteristik Keluarga Yang Berhubungan Dengan Status Gizi
Kurang Pada Balita Yang Berkunjung Ke Posyandu Di Desa Bojong Baru
Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor. Skripsi. FKM-UI. Depok
Amos, J. 2000. Hubungan persepsi ibu balita tentang kurang gizi dan PMT-P dengan
status gizi balita pada keluarga miskin di kabupaten padang pariaman propinsi
sumatera barat. Depok: Tesis. IKM-UI.
Anggraini, Cintia. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di
Propinsi Bangka Belitung tahun 2007. FKIK-UIN.
Apriadji, Wied Harry. 1986. Gizi Keluarga. PT. Penebar Swadaya Anggota IKAPI.
Jakarta.
Arinta FR. 2010. Partisipasi ibu dan kader dalam program pemberian makanan
tambahan pemulihan (PMT-P) kaitannya dengan tingkat kepatuhan ibu balita.
Skripsi. Fakultas Pertanian-IPB. Bogor.
Arisman, 2004. Gizi dalam daur kehidupan ”Buku ajar ilmu Gizi”. Jakarta; Penerbit
Buku Kedokteran. EGC.
Badan Pusat Statistik (BPS).2002. Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2002.
Jakarta-Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS), 2002. Laporan Hasil Survei Konsumsi Garam Yodium
Rumah Tangga 2002. Jakarta-Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS).2003. Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2003.
Jakarta-Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2005. Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2005.
Jakarta-Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Survey Demography Kesehatan Indonesia tahun
2007. Jakarta-Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Statistik Indonesia 2008. Jakarta-Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Statistik Indonesia 2010. Jakarta-Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Hasil Olah Cepat Penduduk Indonesia (Menurut
provinsi, kabuoaten/kota dan kecamatan) Sensus Penduduk 2010. Jakarta-
Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Penduduk Indonesia (Hasil survey penduduk antar
sensus 2010). Jakarta-Indonesia.
Badan Ketahanan Pangan, 2006. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Pusat
Pengembangan Konsumsi Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005. Prospek dan Arah Pengembangan
Agribisnis Padi. Departemen Pertanian.
Berg. Alan, Sayogyo. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Rajawali.
Budiarto, Eko. 2001. “Biostatistika:Untuk kedokteran dan kesehatan Masyarakat”.
EGC, Jakarta.
BumI, Cindar. 2005. Pengaruh Ibu yang bekerja terhadap status gizi Anak Balita di
Kelurahan Mangunjiwan Kabupaten Demak. Skripsi. Semarang: Fakultas Ilmu
Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Daryono. 2003. Hubungan antara konsumsi makanan, kebiasaan makan dan faktor-
faktor lain dengan status gizi anak sekolah di SD Islam Al Falah Jambi tahun 2003.
Depok: Tesis. FKM UI.
Depkes RI, 2003. Pedoman pelaksanaan balita gizi buruk secara rawat jalan (untuk
puskesmas). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan makanan.
Depkes RI,2002. Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun. SK.MenKes RI no
920/MenKes/SK/VIII/2002.
Depkes RI. 2005. Pencegahan dan penanggulangan gizi buruk. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI, 2005. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan bagi bangsa
Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI, 2005. Rencana aksi nasional pencegahan dan penaggulangan gizi buruk
2005-2009. Jakarta: Depkes RI.
Depkes, 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Depkes
Depdiknas. 2001. Kamus besar Bahasa Indonesia. Penerbitan dan Percetakan Jakarta.
Djaeni, Ahmad. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Dian Rakyat. Jakarta.
Dewan Ketahanan Pangan (DKP). 2009. Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015.
Kementerian Pertanian RI.
Farida, Ida. 2002. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Waktu Peningkatan Status
Gizi Balita Pada Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Di Kecamatan
Bogor Selatan Tahun 2002. Tesis. IKM UI, Depok
Firdaus, Dewi. 2003. Hubungan Karakteristik Ibu dan Tingkat Konsumsi Gizi dengan
Status Gizi Batita: Skripsi UNDIP. Semarang.
Fikar, Andra. 2003. Faktor Determinan Kurang Energi dan Protein Anak Usia 6 bulan
sampai 3 tahun di Kecamatan Kuranji Padang tahun 2003. Depok; Tesis. IKM-UI.
Firmanzah, Prof. Ph.D. 2012. Ketimpangan Kesejahteraan. Neraca:
http://www.neraca.co.id/2012/04/22/ketimpangan-kesejahteraan/. Diakses tanggal 7
Mei 2012. Pukul 15.10 WIB.
Garis-garis besar haluan Negara (GBHN) 1993-1998. Cetakan I. 1993. Jakarta-
Indonesia.
Gibney JM, et.al. 2008. Public Helath Nutrition. (Andri Hartono; Penerjemah). Jakarta;
EGC.
Ginting, Martinus. 1995. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita
pada empat desa tertinggal dan tidak tertinggal di Kabupaten Pontianak, Propinsi
Kalimantan Barat tahun 1995.Tesis. FKM,UI.
Handayani, Baiq Nining. 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak usia
balita di provinsi Nusa Tenggara Barat (Analisis Data Sekunder). Tesis. UI-
Depok.
Hasanah, Isna Marwati. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita
(12-60 bulan) di wilayah kerja puskesmas klapanunggal kabupaten bogor tahun
2009. FKM-UI
Hatril. 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Asupan Energi dan Protein Pada
Balita dari Keluarga Miskin di Kabupaten Karawang Propinsi Jawa Barat Tahun
1999 (Analisis Data Sekunder). Skripsi UI. Depok.
Hermansyah, 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian KEP anak umur
6- 59 bulan pada keluarga miskin di kota Sawahlunto tahun 2002. Depok: Tesis.
FKM UI.
Hermansyah. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan asupan zat gizi (energi dan
protein) Balita di wilayah kera puskesmas kelurahan kelapa dua Jakarta barat
tahun 2010. Jakarta: Skripsi FKIK UIN.
Ichwanuddin. 2002. Analisis stratifikasi pemodelan risiko BBLR terhadap kejadian KEP
pada anak usia 3-12 bulan di Kecamatan Tanjung Sari Kabupaten Sumedang
Propinsi Jawa Barat 2007. Depok: Tesis. FKM-UI.
Jahari, B. Abas. 2004. Penilaian sttus gizi Berdasarkan Antropometri. Puslitbang Gizi
dan Makanan. Depkes RI.
Kandun, Nyoman dkk. 1988. Memantau dan menilai program gizi pada puskesmas
Kemurang wetan kecamatan tanjung kabupaten brebes jawa tengah. Jakarta:
laporan symposium ilmiah kongres nasional IAKMI.
Kartono, dkk. 1993. Beberapa aspek psiko-sosial pada anak kekurangan energy dan
protein di daerah bogor. Bogor. Puslitbang gizi depkes RI.
Kardjati. (1985). Aspek kesehatan dan gizi anak balita. Jakarta. Obor Indonesia.
Khomsan, Ali. 2004. Pengantar pangan dan gizi. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya.
Khomsan, Ali. 2004. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Khumaidi. 1990. Gizi Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kusharisupeni, 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan (Prinsip-Prinsip Dasar). Dalam:
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta; Raja Grafindo Persada.
Kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (KPP dan PA), 2011. Profil Anak Indonesia 2011: CV.Miftahur Rizky.
Kementrian Riset dan Teknologi, Republik Indonesia, 2010. Jakarta; Kemenristek RI.
Kemdiknas. 2010. Daftar Tabel Data Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Tahun
2009/2010. www.psp.kemdiknas.go.id.
Lupiana, Mindo. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kurang energi dan
protein pada bayi di Propinsi Lampung Tahun 2007 (Analisis Data Riskesdas
2007). Depok: Tesis. FKM-UI.
Mahliawati. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian berat badan lahir
rendah di propinsi Bangka Belitung (analisis data riskesdas 2007). Skripsi. FKIK-
UIN.
Martaliza, Rira Wahdani. 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi
Lebih Pada Polisi Di Kepolisian Resort Kota Bogor Tahun 2010. Skripsi. FKIK-
UIN. Jakarta.
Mianoki, Adika, dr. 2012. Pahala Melimpah Bagi Muslimah yang Tinggal di Rumah.
Artikel. http://muslim.or.id/muslimah/pahala-melimpah-bagi-muslimah-yang-tinggal-di-rumah.html
Moehji. S. 2003. Ilmu Gizi Penanggulangan Gizi Buruk. Papas Sinar Sinanti. Jakarta
Morley, D. 1998. Malnutrition in Children in Health and Disease Developing Countries.
London: Machmilad press. London- England: 297-304.
Mudanijah, Siti. 2004. Pola Konsumsi Pangan. Dalam pengantar pangan dan gizi.
Jakarta: Swadaya.
Mulyaningsih.E. 2007. Hubungan antara asupan energi, protein dan faktor lain dengan
status gizi balita (12-59 bulan) di kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Tahun
2007. Depok: Tesis, FKM-UI.
Mulyanawati, Emi. 2002. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Konsumsi Energi
Dan Protein Serta Status Gizi Pada Keluarga Miskin. Jakarta: Skripsi-FKM UI.
Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 1989. Dasar-dasar pendidikn dan pelatihan. Jakarta: Badan
Penerbit Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar.
Rineka Cipta. Jakarta.
Nasekhah, Liya. Haniatun. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat
konsumsi energi dan protein pada Batita di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat,
Kota Tangerang Selatan tahun 2010. Jakarta: Skripsi FKIK UIN.
Ningsih, Rena. 2008. Analisis Perilaku Sadar Gizi Ibu serta Hubungannya dengan
konsumsi pangan dan Status Gizi Balita di desa Babakan Kecamatan Dramaga
Kabupaten Bogor. Skripsi. Program studi Gizi Masyarakat dan Sumber Daya
Keluarga. Fakultas Pertanian. Bogor.
Nuraeni. 2008. Hubungan antara asupan energi, protein dan faktor lain dengan status
gizi baduta ( 0-23 Bulan ) di wilayah kerja puskesmas Depok Jaya tahun 2008.
Depok: Skripsi. FKM UI.
Orisinal, 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di Sumatera
Barat tahun 2001 (analisis data sekunder). Tesis. FKM UI
Pudjiaji, Solihin. 2005. Ilmu Gizi Klinis pada anak Edisi keempat. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Priatmodjo, Anggit. 2011. Studi Komparasi Tingkat pencapaian Millenium Development
Goals (MDGs) pada berbagai tipologi wilayah di Indonesia. Yogyakarta: Skripsi.
FG-UGM.
Primasari, Tineke. 2008. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi kurang
pada siswa sekolah dasar di 3 kecamatan kabupaten Kampar tahun 2007. Skripsi:
FKM UI.
Pramoedyo, H.,2010. dkk., Penyusunan Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan
di Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa timur; Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya- Malang.
Rizki, Ika Rahmawati. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi kurang
pada remaja madya di Indonesia tahun 2010 (Analisis Data Riskesdas 2010).
Jakarta: Skripsi. FKIK UIN.
Reno,Suci Monalisa. 2008. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita
setelah mendapat PMT Pemulihan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2005 (Analisis
data sekunder “ Pelaksanaan pemberian makanan tambahan bagi balita dan
permasalahannya di DKI Jakarta tahun 2005”). Depok: Skripsi. FKM-UI.
Riyadi, Hadi. Dkk. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Balita
Di Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi
dan Pangan, 2011, 6 (1): 66-73
Rodriguez, J.C. 2004. Nutrition and Well-Being A to Z. Enslikopedia.com
Sa‟adah J. 2008. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku makan dan
hubungan perilaku makan dengan status gizi balita (12-59 bulan) di desa
Cibeuteug Muara Kecamatan Ciseeng Kabupaten Bogor tahun 2008. Skripsi-
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sajogyo. 1978. Pembangunan daerah dan masyarakat NTT dalam sekilas sorotan Kritis
dalam kemiskinan dan pembangunan di propinsi Nusa Tenggara Timur. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Sabri, Lubis dkk. 2006. “Statistik Kesehatan”. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Satria, Anton, et al. 2009. Faktor Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Tingkat
Kecukupan Gizi Dan Hubungannya Dengan Status Gizi Anak Balita Di Daerah
Rawan Pangan Kelurahan Way Gubak, Kecamatan Panjang Kota Bandar
Lampung. Pustaka Ilmiah Universitas Lampung. Kota Bandar Lampung
Sayogo, Savitri. 2006. Gizi Remaja Putri: FK UI. Jakarta
Schroeder. Dirk G. 2001. Malnutrition, Nutrition Health in Developing Countries:
Humana Press, Totowa. http://www.diet.com/g/malnutrition diakses pada tanggal
17 April 2012.
Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2008. Ilmu Gizi Jilid I. Cetakan kedelapan. Jakarta: Dian
Rakyat.
Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1993. Ilmu Gizi Jilid II. Cetakan kedua. Jakarta: Dian
Rakyat.
Soekirman. 2000. Ilmu gizi dan aplikasinya. Jakarta: Departemen pendidikan nasional.
Supariasa,dkk. 2002 Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Suhardjo, 1989. Sosial Budaya Gizi. Bogor: Depdikbud Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.
Suhardjo. 2003. Berbagai cara pendidikan gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Suhendri, Ucu. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi anak dibawah
lima tahun (Balita) di puskesmas sepatan kecamatan sepatan kabupaten tangerang
tahun 2009. Skripsi: FKIK UIN.
Sihotang, Leonita Katarina. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kurang energi protein (KEP) pada anak balita 6-59 bulan di Jakarta Timur Tahun
2005. Tesis: FKM UI.
Sampoerna dan Azwar (1987). Perkawinan dan kehamilan pada usia muda di Indonesia.
Jakarta. Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia.
Sari, Dewi, dkk. 2003. Hubungan Tingkat Konsumsi energy dan Protein terhadap
status gizi balita dengan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Jurnal. Surabaya
Siswono, 2007. Upaya Mengatasi masalah kelaparan dan kurang gizi.
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi.htm
Sukmadewi, sari. 2003. Faktor-Faktor Yag Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Di
Wilayah Puskesmas Bogor Tengah Kota Bogor Tahun 2003. Depok: Skripsi FKM-
UI.
Syahbudin, Ade, M. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kekurangan Energi
Protein (KEP) pada balita umur 7-36 bulan di Puskesmas Munjul Kecamatan
Majalengka Kabupaten Majalengka. Thesis. FKM-UI.
Triana, Neni. 2002. Hubungan Antara Pengetahuan Ibu tentang gizi, Pendidikan ibu,
pendapatan keluarga, dan jumlah anggota keluarga dengan asupan energy dan
protein pada balita. Skripsi. Depok: FKM-UI.
Unicef. 1998. The state of world Children 1998. Oxford: Oxford University Press.
Utomo, B. 1998. Dampak krisis moneter dan kekeringan terhadap status kesehatan dan
gizi anak, dalam seminar Dampak Krisis Moneter dan Bencana terhadap
masyarakat, keluarga, ibu dan anak Indonesia. Kerjasama LIPI dan Unicef.
Waterlow, John. C. 1992. Protein Energi Malnutrition. Britain.
WHO. 2000. The management of Nutrition in Mayor Emergencies. Geneva
Winarno dan Ong. 2007. Otak, Pangan dan Kecerdasan. Bogor: MBrio Biotekindo
Yuliana. 2007. Pengaruh Penyuluhan Gizi dan Stimulasi Psikososial Terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak usia prasekolah. Tesis. Bogor: Sekolah
Pasca Sarjana IPB Bogor
Yuniastuti, Ari. 2008. Gizi dan Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Zeitlin, M. 2000. Peran Pola Asuh Anak. Dalam widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VII. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 2 OUTPUT STATA INDONESIA TIMUR
___ ____ ____ ____ ____ (R)
/__ / ____/ / ____/
___/ / /___/ / /___/ 12.0 Copyright 1985-2011 StataCorp
LP
Statistics/Data Analysis StataCorp
4905 Lakeway Drive
Special Edition College Station, Texas 77845
USA
800-STATA-PC
http://www.stata.com
979-696-4600
979-696-4601 (fax)
Single-user Stata network perpetual license:
Serial number: 93611859953
Licensed to: STATAforAll
STATA
Notes:
1. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. use "C:\Users\Yuppy\Desktop\skripsi 17 Des\rubah\print
sidang\revisi setelah sidang\spss\stata\indo timur.dta", clear
. svyset B1R7 [pweight=WEIND], strata(B1R1) vce(linearized)
singleunit(missing)
pweight: WEIND
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: B1R1
SU 1: B1R7
FPC 1: <zero>
. svydescribe
Survey: Describing stage 1 sampling units
pweight: WEIND
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: B1R1
SU 1: B1R7
FPC 1: <zero>
#Obs per Unit
----------------------------
Stratum #Units #Obs min mean max
-------- -------- -------- -------- -------- --------
52 61 333 1 5.5 13
53 49 390 2 8.0 16
71 38 141 1 3.7 11
72 34 207 2 6.1 14
73 82 452 1 5.5 11
74 30 197 1 6.6 15
75 23 121 2 5.3 8
76 22 141 2 6.4 12
81 22 151 2 6.9 17
82 19 146 3 7.7 17
91 21 157 2 7.5 17
94 31 200 2 6.5 13
-------- -------- -------- -------- -------- --------
12 432 2636 1 6.1 17
ANALISIS UNIVARIAT
. svy:proportion konsumsi_kat status_ekonomi didik_ibu kerja_ibu
jumlah_keluarga
(running proportion on estimation sample)
Survey: Proportion estimation
Number of strata = 12 Number of obs = 2636
Number of PSUs = 432 Population size = 2030448
Design df = 420
_prop_8: kerja_ibu = tidak bekerja
-----------------------------------------------------------------
| Linearized
| Proportion Std. Err. [95% Conf. Interval]
----------------+------------------------------------------------
konsumsi_kat |
kurang | .6285945 .0148838 .5993384 .6578505
cukup | .3714055 .0148838 .3421495 .4006616
----------------+------------------------------------------------
status_ekonomi |
rendah | .5837382 .0173252 .5496832 .6177931
tinggi | .4162618 .0173252 .3822069 .4503168
----------------+------------------------------------------------
didik_ibu |
rendah | .681696 .0156451 .6509436 .7124485
tinggi | .318304 .0156451 .2875515 .3490564
----------------+------------------------------------------------
kerja_ibu |
bekerja | .3810291 .0171376 .347343 .4147152
_prop_8 | .6189709 .0171376 .5852848 .652657
----------------+------------------------------------------------
jumlah_keluarga |
besar | .6010481 .0122684 .576933 .6251633
kecil | .3989519 .0122684 .3748367 .423067
-----------------------------------------------------------------
. svy:mean B4K7THN_IBU B4K7BLN
(running mean on estimation sample)
Survey: Mean estimation
Number of strata = 12 Number of obs = 2636
Number of PSUs = 432 Population size = 2030448
Design df = 420
--------------------------------------------------------------
| Linearized
| Mean Std. Err. [95% Conf. Interval]
-------------+------------------------------------------------
B4K7THN_IBU | 30.42268 .1505541 30.12674 30.71861
B4K7BLN | 29.58673 .2039016 29.18593 29.98752
--------------------------------------------------------------
ANALISIS BIVARIAT
. svy:tabulate status_ekonomi konsumsi_kat, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 12 Number of obs = 2636
Number of PSUs = 432 Population size = 2030447.6
Design df = 420
----------------------------------
| konsumsi energi dan
status | protein
ekonomi | kurang cukup Total
----------+-----------------------
rendah | 73.29 26.71 100
| 1076 409 1485
|
tinggi | 48.23 51.77 100
| 551 600 1151
|
Total | 62.86 37.14 100
| 1627 1009 2636
----------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 172.3670
Design-based F(1, 420) = 113.6731 P = 0.0000
. svy:tabulate didik_ibu konsumsi_kat, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 12 Number of obs =
2636
Number of PSUs = 432 Population size =
2030447.6
Design df =
420
----------------------------------
| konsumsi energi dan
pendidika | protein
n ibu | kurang cukup Total
----------+-----------------------
rendah | 70.24 29.76 100
| 1225 537 1762
|
tinggi | 47.04 52.96 100
| 402 472 874
|
Total | 62.86 37.14 100
| 1627 1009 2636
----------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 131.8524
Design-based F(1, 420) = 85.3530 P = 0.0000
. svy:tabulate kerja_ibu konsumsi_kat, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 12 Number of obs =
2636
Number of PSUs = 432 Population size =
2030447.6
Design df =
420
----------------------------------
| konsumsi energi dan
pekerjaan | protein
ibu | kurang cukup Total
----------+-----------------------
bekerja | 60.82 39.18 100
| 614 402 1016
|
tidak be | 64.11 35.89 100
| 1013 607 1620
|
Total | 62.86 37.14 100
| 1627 1009 2636
----------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 2.8871
Design-based F(1, 420) = 1.7887 P = 0.1818
. svy:tabulate jumlah_keluarga konsumsi_kat, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 12 Number of obs =
2636
Number of PSUs = 432 Population size =
2030447.6
Design df =
420
----------------------------------
jumlah | konsumsi energi dan
anggota | protein
keluarga | kurang cukup Total
----------+-----------------------
besar | 65.76 34.24 100
| 1014 559 1573
|
kecil | 58.49 41.51 100
| 613 450 1063
|
Total | 62.86 37.14 100
| 1627 1009 2636
----------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 14.3050
Design-based F(1, 420) = 11.0813 P = 0.0009
. svy:mean B4K7THN_IBU, over ( konsumsi_kat)
(running mean on estimation sample)
Survey: Mean estimation
Number of strata = 12 Number of obs = 2636
Number of PSUs = 432 Population size = 2030448
Design df = 420
kurang: konsumsi_kat = kurang
cukup: konsumsi_kat = cukup
--------------------------------------------------------------
| Linearized
Over | Mean Std. Err. [95% Conf. Interval]
-------------+------------------------------------------------
B4K7THN_IBU |
kurang | 30.35781 .19154 29.98131 30.73431
cukup | 30.53246 .2352639 30.07002 30.9949
--------------------------------------------------------------
. . svy:mean B4K7BLN, over ( konsumsi_kat)
(running mean on estimation sample)
Survey: Mean estimation
Number of strata = 12 Number of obs = 2636
Number of PSUs = 432 Population size = 2030448
Design df = 420
kurang: konsumsi_kat = kurang
cukup: konsumsi_kat = cukup
--------------------------------------------------------------
| Linearized
Over | Mean Std. Err. [95% Conf. Interval]
-------------+------------------------------------------------
B4K7BLN |
kurang | 28.19068 .2724236 27.6552 28.72617
cukup | 31.94949 .3094883 31.34115 32.55783
--------------------------------------------------------------
OUTPUT ODDS RATIO
. svy:logit konsumsi_kat status_ekonomi, or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 12 Number of obs =
2636
Number of PSUs = 432 Population size =
2030447.6
Design df =
420
F( 1, 420) =
110.45
Prob > F =
0.0000
-------------------------------------------------------------------
-------------
| Linearized
konsumsi_kat | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95%
Conf. Interval]
---------------+---------------------------------------------------
-------------
status_ekonomi | 2.946032 .3028693 10.51 0.000
2.407 3.605777
_cons | .3643842 .0307319 -11.97 0.000
.3087182 .4300875
-------------------------------------------------------------------
-------------
. svy:logit konsumsi_kat didik_ibu, or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 12 Number of obs =
2636
Number of PSUs = 432 Population size =
2030447.6
Design df =
420
F( 1, 420) =
83.03
Prob > F =
0.0000
-------------------------------------------------------------------
-----------
| Linearized
konsumsi_kat | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95%
Conf. Interval]
-------------+-----------------------------------------------------
-----------
didik_ibu | 2.65719 .2849912 9.11 0.000 2.152112
3.280804
_cons | .4236153 .0314557 -11.57 0.000 .3660856
.4901856
-------------------------------------------------------------------
-----------
. . svy:logit konsumsi_kat kerja_ibu, or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 12 Number of obs =
2636
Number of PSUs = 432 Population size =
2030447.6
Design df =
420
F( 1, 420) =
1.79
Prob > F =
0.1819
-------------------------------------------------------------------
-----------
| Linearized
konsumsi_kat | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95%
Conf. Interval]
-------------+-----------------------------------------------------
-----------
kerja_ibu | .8689155 .0913118 -1.34 0.182 .7067547
1.068283
_cons | .6441594 .0548365 -5.17 0.000 .5449068
.7614905
-------------------------------------------------------------------
-----------
. . svy:logit konsumsi_kat jumlah_keluarga, or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 12 Number of obs =
2636
Number of PSUs = 432 Population size =
2030447.6
Design df =
420
F( 1, 420) =
11.05
Prob > F =
0.0010
-------------------------------------------------------------------
--------------
| Linearized
konsumsi_kat | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95%
Conf. Interval]
----------------+--------------------------------------------------
--------------
jumlah_keluarga | 1.362944 .1269409 3.32 0.001
1.134933 1.636763
_cons | .5206957 .0414072 -8.21 0.000
.4453468 .608793
-------------------------------------------------------------------
--------------
LAMPIRAN 2 OUTPUT STATA INDONESIA BARAT
___ ____ ____ ____ ____ (R)
/__ / ____/ / ____/
___/ / /___/ / /___/ 12.0 Copyright 1985-2011 StataCorp
LP
Statistics/Data Analysis StataCorp
4905 Lakeway Drive
Special Edition College Station, Texas 77845
USA
800-STATA-PC
http://www.stata.com
979-696-4600
979-696-4601 (fax)
Single-user Stata network perpetual license:
Serial number: 93611859953
Licensed to: STATAforAll
STATA
Notes:
1. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. use "C:\Users\Yuppy\Desktop\skripsi 17 Des\rubah\print
sidang\revisi setelah sidang\spss\stata\indo barat.dta", clear
. svyset B1R7 [pweight=WEIND], strata(B1R1) vce(linearized)
singleunit(missing)
pweight: WEIND
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: B1R1
SU 1: B1R7
FPC 1: <zero>
. svyset B1R7 [pweight=WEIND], strata(B1R1) vce(linearized)
singleunit(missing)
pweight: WEIND
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: B1R1
SU 1: B1R7
FPC 1: <zero>
. svydescribe
Survey: Describing stage 1 sampling units
pweight: WEIND
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: B1R1
SU 1: B1R7
FPC 1: <zero>
#Obs per Unit
----------------------------
Stratum #Units #Obs min mean max
-------- -------- -------- -------- -------- --------
11 51 301 2 5.9 10
12 126 721 1 5.7 18
13 53 311 1 5.9 13
14 63 405 1 6.4 18
15 38 218 1 5.7 14
16 82 425 1 5.2 13
17 27 135 1 5.0 12
18 81 371 1 4.6 12
19 22 146 1 6.6 14
21 28 168 1 6.0 14
31 104 440 1 4.2 11
32 472 2156 1 4.6 13
33 314 1305 1 4.2 12
34 51 174 1 3.4 8
35 379 1405 1 3.7 13
36 112 639 1 5.7 15
51 47 189 1 4.0 10
61 52 270 1 5.2 12
62 34 199 1 5.9 12
63 50 233 1 4.7 10
64 45 267 1 5.9 17
-------- -------- -------- -------- -------- --------
21 2231 10478 1 4.7 18
ANALISIS UNIVARIAT
. svy:proportion konsumsi_kat status_ekonomi didik_ibu kerja_ibu
jumlah_keluarga
(running proportion on estimation sample)
Survey: Proportion estimation
Number of strata = 21 Number of obs = 10478
Number of PSUs = 2231 Population size = 10200177
Design df = 2210
_prop_8: kerja_ibu = tidak bekerja
-----------------------------------------------------------------
| Linearized
| Proportion Std. Err. [95% Conf. Interval]
----------------+------------------------------------------------
konsumsi_kat |
kurang | .3750192 .0063693 .3625287 .3875097
cukup | .6249808 .0063693 .6124903 .6374713
----------------+------------------------------------------------
status_ekonomi |
rendah | .4705819 .0073722 .4561248 .4850391
tinggi | .5294181 .0073722 .5149609 .5438752
----------------+------------------------------------------------
didik_ibu |
rendah | .6277184 .0073624 .6132805 .6421563
tinggi | .3722816 .0073624 .3578437 .3867195
----------------+------------------------------------------------
kerja_ibu |
bekerja | .5276822 .0070048 .5139456 .5414189
_prop_8 | .4723178 .0070048 .4585811 .4860544
----------------+------------------------------------------------
jumlah_keluarga |
besar | .4780863 .006063 .4661965 .4899762
kecil | .5219137 .006063 .5100238 .5338035
-----------------------------------------------------------------
. svy:mean B4K7THN_IBU B4K7BLN
(running mean on estimation sample)
Survey: Mean estimation
Number of strata = 21 Number of obs = 10478
Number of PSUs = 2231 Population size = 10200177
Design df = 2210
--------------------------------------------------------------
| Linearized
| Mean Std. Err. [95% Conf. Interval]
-------------+------------------------------------------------
B4K7THN_IBU | 30.37083 .0712186 30.23117 30.51049
B4K7BLN | 29.6246 .1024455 29.4237 29.8255
--------------------------------------------------------------
. svy: mean B4K7THN_IBU, over ( konsumsi_kat)
(running mean on estimation sample)
Survey: Mean estimation
Number of strata = 21 Number of obs = 10478
Number of PSUs = 2231 Population size = 10200177
Design df = 2210
kurang: konsumsi_kat = kurang
cukup: konsumsi_kat = cukup
ANALISIS BIVARIAT
--------------------------------------------------------------
| Linearized
Over | Mean Std. Err. [95% Conf. Interval]
-------------+------------------------------------------------
B4K7THN_IBU |
kurang | 30.07045 .1128775 29.84909 30.29181
cukup | 30.55108 .0857282 30.38296 30.71919
--------------------------------------------------------------
. svy:mean B4K7BLN, over ( konsumsi_kat)
(running mean on estimation sample)
Survey: Mean estimation
Number of strata = 21 Number of obs = 10478
Number of PSUs = 2231 Population size = 10200177
Design df = 2210
kurang: konsumsi_kat = kurang
cukup: konsumsi_kat = cukup
--------------------------------------------------------------
| Linearized
Over | Mean Std. Err. [95% Conf. Interval]
-------------+------------------------------------------------
B4K7BLN |
kurang | 26.36732 .1719405 26.03014 26.7045
cukup | 31.57912 .1262951 31.33145 31.82679
--------------------------------------------------------------
. svy:tabulate status_ekonomi konsumsi_kat, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 21 Number of obs =
10478
Number of PSUs = 2231 Population size =
10200177
Design df =
2210
----------------------------------
| konsumsi energi dan
status | protein
ekonomi | kurang cukup Total
----------+-----------------------
rendah | 46.87 53.13 100
| 2324 2579 4903
|
tinggi | 29.17 70.83 100
| 1651 3924 5575
|
Total | 37.5 62.5 100
| 3975 6503 1.0e+04
----------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 348.9499
Design-based F(1, 2210) = 261.9065 P = 0.0000
svy:tabulate didik_ibu konsumsi_kat, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 21 Number of obs =
10478
Number of PSUs = 2231 Population size =
10200177
Design df =
2210
----------------------------------
| konsumsi energi dan
pendidika | protein
n ibu | kurang cukup Total
----------+-----------------------
rendah | 43.19 56.81 100
| 2894 3739 6633
|
tinggi | 27.92 72.08 100
| 1081 2764 3845
|
Total | 37.5 62.5 100
| 3975 6503 1.0e+04
----------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 243.5021
Design-based F(1, 2210) = 183.0974 P = 0.0000
svy:tabulate kerja_ibu konsumsi_kat, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 21 Number of obs =
10478
Number of PSUs = 2231 Population size =
10200177
Design df =
2210
----------------------------------
| konsumsi energi dan
pekerjaan | protein
ibu | kurang cukup Total
----------+-----------------------
bekerja | 37.04 62.96 100
| 2078 3476 5554
|
tidak be | 38.02 61.98 100
| 1897 3027 4924
|
Total | 37.5 62.5 100
| 3975 6503 1.0e+04
----------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.0678
Design-based F(1, 2210) = 0.7519 P = 0.3860
svy:tabulate jumlah_keluarga konsumsi_kat, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 21 Number of obs =
10478
Number of PSUs = 2231 Population size =
10200177
Design df =
2210
----------------------------------
jumlah | konsumsi energi dan
anggota | protein
keluarga | kurang cukup Total
----------+-----------------------
besar | 39.85 60.15 100
| 2022 3005 5027
|
kecil | 35.35 64.65 100
| 1953 3498 5451
|
Total | 37.5 62.5 100
| 3975 6503 1.0e+04
----------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 22.5222
Design-based F(1, 2210) = 19.2797 P = 0.0000
. svy:logit konsumsi_kat status_ekonomi, or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 21 Number of obs = >10478
Number of PSUs = 2231 Population size = > 10200177
Design df => 2210
F( 1, 2210) => 258.20
Prob > F => 0.0000
-------------------------------------------------------------------
-
> ----------
| Linearized
konsumsi_kat | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95%
Conf.
> Interval]
-------------+-----------------------------------------------------
-
> ----------
status_eko~i | 2.142082 .1015517 16.07 0.000 1.951912
> 2.350779
_cons | 1.13343 .039934 3.55 0.000 1.057762
> 1.21451
-------------------------------------------------------------------
-
> ----------
. svy:logit konsumsi_kat didik_ibu, or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 21 Number of obs => 10478
Number of PSUs = 2231 Population size => 10200177
Design df => 2210
F( 1, 2210 = > 180.51
Prob > F = > 0.0000
-------------------------------------------------------------------
-
> ----------
| Linearized
konsumsi_kat | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95%
Conf.
> Interval]
-------------+-----------------------------------------------------
-
> ----------
didik_ibu | 1.962504 .0984829 13.44 0.000 1.778574
> 2.165455
_cons | 1.315589 .0420961 8.57 0.000 1.235574
> 1.400786
-------------------------------------------------------------------
-
OUTPUT ODDS RATIO
. svy:logit konsumsi_kat kerja_ibu, or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 21 Number of obs => 10478
Number of PSUs = 2231 Population size => 10200177
Design df => 2210
F( 1, 2210) => 0.75
Prob > F => 0.3860
-------------------------------------------------------------------
-
> ----------
| Linearized
konsumsi_kat | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95%
Conf.
> Interval]
-------------+-----------------------------------------------------
-
> ----------
kerja_ibu | .9591017 .0461878 -0.87 0.386 .8726711
> 1.054092
_cons | 1.699818 .0564586 15.97 0.000 1.592629
> 1.81422
-------------------------------------------------------------------
-
. svy:logit konsumsi_kat jumlah_keluarga, or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 21 Number of obs = > 10478
Number of PSUs = 2231 Population size= > 10200177
Design df = > 2210
F( 1, 2210 = > 19.26
Prob > F = > 0.0000
-------------------------------------------------------------------
-
> ----------
| Linearized
konsumsi_kat | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95%
Conf.
> Interval]
-------------+-----------------------------------------------------
-
> ----------
jumlah_kel~a | 1.211291 .0529041 4.39 0.000 1.111863
> 1.319611
_cons | 1.509594 .0536556 11.59 0.000 1.407957
> 1.618568
-------------------------------------------------------------------
-