dewan redaksi daftar isi -...

108
MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PANCASILA Jl. Borobudur No.7 Jakarta Pusat 10320 Telp. (021) 3919013 http://www.univpancasila.ac.id/ Dewan Redaksi DEWAN REDAKSI Prof. Mardjono Reksodiputro, SH., MA (Ketua) Prof. Ade Saptomo, SH., M.Si Dr. Adnan Hamid, SH., MH., MM Diani Kesuma, SH, MH Redaktur Pelaksana Agus Surono, S.Sos Sekretaris Redaksi Rizky Prasetia, S.Sos ADMINISTRASI Keuangan: Dariah Informasi Teknologi (IT): Rommy Apriyanto, S.kom Distribusi: Dewi Kartika, SE, Herman DAFTAR ISI DUKUNGAN HUKUM PADA IKLIM USAHA (Catatan Kecil pada Upaya Melawan KKN) Mardjono Reksodiputro ............................ 5 PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA YANG PERLU DISELARASKAN DENGAN KAIDAH INTERNASIONAL Frans Hendra Winarta ............................... 11 PERANAN ARBITER, KUASA HUKUM, PENGADILAN, DAN PEMERINTAH DALAM MENERAPKAN PRINSIP ORIENTASI BISNIS YANG BERKELANJUTAN Ricco Akbar ................................................ 37 WAWANCARA: BERHARAP PADA POROS MARITIM M. Husseyn Umar ...................................... 51 PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN DALAM PENYELENGGARAAN TATA KELOLA HUTAN DAN MORATORIUM KEHUTANAN Bambang Prabowo Soedarso .................... 55 DAMPAK PENAMBANGAN TIMAH ILEGAL YANG MERUSAK EKOSISTEM DI BANGKA BELITUNG Indra Ibrahim............................................. 77 PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DAPAT DIGUGAT DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Diani Kesuma ............................................. 91 BIODATA PENULIS ................................... 101 Volume 1, Nomor 1, Juni 2015 ISSN : 2460-4798

Upload: phamtuyen

Post on 16-Jun-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MAGISTER ILMU HUKUMSEKOLAH PASCASARJANAUNIVERSITAS PANCASILA

Jl. Borobudur No.7 Jakarta Pusat 10320Telp. (021) 3919013

http://www.univpancasila.ac.id/

Dewan Redaksi

DEWAN REDAKSIProf. Mardjono Reksodiputro, SH., MA

(Ketua)Prof. Ade Saptomo, SH., M.Si

Dr. Adnan Hamid, SH., MH., MMDiani Kesuma, SH, MH

Redaktur PelaksanaAgus Surono, S.Sos

Sekretaris RedaksiRizky Prasetia, S.Sos

ADMINISTRASIKeuangan:

DariahInformasi Teknologi (IT): Rommy Apriyanto, S.kom

Distribusi: Dewi Kartika, SE, Herman

DAFTAR ISI

DUKUNGAN HUKUM PADA IKLIM USAHA(Catatan Kecil pada Upaya Melawan KKN)Mardjono Reksodiputro ............................ 5

PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA YANG PERLU DISELARASKAN DENGAN KAIDAH INTERNASIONALFrans Hendra Winarta ............................... 11

PERANAN ARBITER, KUASA HUKUM, PENGADILAN, DAN PEMERINTAH DALAM MENERAPKAN PRINSIP ORIENTASI BISNIS YANG BERKELANJUTANRicco Akbar. ............................................... 37

WAWANCARA: BERHARAP PADA POROS MARITIMM. Husseyn Umar ...................................... 51

PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN DALAM PENYELENGGARAAN TATA KELOLA HUTAN DAN MORATORIUM KEHUTANANBambang Prabowo Soedarso .................... 55

DAMPAK PENAMBANGAN TIMAH ILEGAL YANG MERUSAK EKOSISTEM DI BANGKA BELITUNGIndra Ibrahim ............................................. 77

PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DAPAT DIGUGAT DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARADiani Kesuma ............................................. 91

BIODATA PENULIS ................................... 101

Volume 1, Nomor 1, Juni 2015 ISSN : 2460-4798

Dari Redaksi

Mengawali terbitnya Jurnal Selisik edisi pertama ini, redaksi menyapa para pembaca dengan ragam gagasan di bidang hukum dan bisnis. Hal ini tidak lepas dari core Jurnal Selisik yang menempatkan

pelbagai persoalan hukum dan bisnis sebagai entitas keilmuan dan praktik yang bisa berdiri sendiri, tetapi dalam banyak hal juga saling terkait.

Dalam dua ranah (Hukum dan Bisnis), Jurnal Selisik dimaksudkan untuk menyemaikan pemikiran, hasil kajian dan penelitian untuk didesiminasikan kepada masyarakat. Harapannya apa yang disampaikan oleh Jurnal Selisik dapat memberikan kontribusi pada perkembangan keilmuan dan bermanfaat untuk para pemangku kepentingan.

Penerbitan Jurnal Selisik dimaksudkan untuk mendorong produktifitas serta kontribusi penelitian dan pengembangan pemikiran dalam ranah Hukum dan Bisnis Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pancasila. Disamping itu Jurnal Selisik terbuka untuk masyarakat umum dari pelbagai kalangan yang memiliki perhatian yang sama.

Sementara terkait penamaan Jurnal dengan nama “SELISIK” memiliki makna sebagai berikut: dengan mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam jaringan), makna Selisik: Selisik/se-li-sik/, menyelisik/me-nye-li-sik/menyingkap-nyingkap untuk mencari (keterangan dan lain sebagainya); mengusut dengan teliti; menyelidiki (bukti/perkara). Penyelisikan/pe-nye-li-sik-an/proses, cara, perbuatan menyelisik. Dari penjelasan KBBI tersebut, maka Jurnal Selisik diharapkan mampu menyingkap dengan teliti pelbagai persoalan keilmuan dan praktik Hukum dan Bisnis dalam kacamata ilmiah dan metodologis. Dan pada waktu bersamaan dapat memberikan pencerahan atas perbagai fenomena Hukum dan Bisnis secara umum.

Pada edisi perdana, redaksi Jurnal Selisik menyapa pembaca dengan tema: Dinamika Hukum Pada Dunia Usaha. Tema ini diangkat dengan melihat, bahwa kepastian hukum sangat dibutuhkan dalam menunjang kinerja dunia usaha. Para investor atau pemilik modal sangat membutuhkan kenyamanan dalam menanamkan investasi atau menjalankan usahanya. Dalam sudut pandang yang

demikian, maka kepastian hukum dalam berusaha menjadi pegangan untuk meyakinkan dan mendapatkan kepercayaan investor, baik nasional maupun internasional. Selain tentu saja birokrasi yang baik dan transparan.

Dalam edisi ini, Jurnal selisik menyampaikan beberapa sub-tema, antara lain mengenai; iklim investasi, persoalan arbitrase dan tata kelola sumber alam (SDA). Sub-sub tema tersebut disampaikan dengan melihat konteks tema yang relevan dengan visi pembangunan nasional pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla serta kondisi hukum dan bisnis sekarang ini.

Mengenai iklim investasi, Presiden Joko Widodo dalam pelbagai kesem-patan sejak awal mengemban amanat sudah menyampaikan pentingnya kehadiran investasi bagi bangsa ini untuk membantu kelancaran proses-proses pembangunan yang sudah direncanakan. Keterbatasan APBN dalam membiayai agenda pembangunan menjadi salah satu sebab bahwa investasi nasional maupun internasional menjadi diperlukan.

Hal menarik lainnya dari sisi investasi adalah upaya pemerintah untuk membangun poros maritim. Hal demikian dapat dimaknai sebagai bentuk kemauan pemerintah untuk membuka ruang dan tempat berinvestasi. Dengan kekayaan laut yang luar biasa dan pulau-pulau yang saling terhubung akan menjadi salah satu investasi strategis dan prospektif bagi investor nasional maupun luar negeri.

Sementara dari sisi arbitrase dengan mengutip artikel Frans Hendra Winarta dalam Jurnal Selisik edisi perdana ini, bahwa setiap transaksi bisnis internasional, para pelaku usaha akan dihadapkan pada benturan latar belakang yang berbeda dari setiap negara, seperti perbedaan sistem hukum, kebiasaan dan budaya. Perbedaan tersebut sering kali mengakibatkan timbulnya suatu sengketa yang tidak dapat dihindari. Untuk menjawab atas tuntutan tersebut, selain litigasi di dalam pengadilan (court litigation) yang konvensional sekarang dikenal alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) berupa arbitrase perdagangan (commercial arbitration) (“arbitrase”).

UU Arbitrase dihadapkan pada tantangan untuk dapat memfasilitasi tuntutan dari para pelaku usaha, yaitu suatu sebagai suatu metode penyelesaian sengketa yang dapat diandalkan. Untuk mengakomodir kebutuhan tersebut UU Arbitrase perlu untuk dilakukan amandemen, yang mencakup memberikan kewenangan kepada arbiter untuk menentukan sendiri yurisdiksi yang dimilikinya.

DARI REDAKSI

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Selain dari itu UU Arbitrase pun perlu untuk diselaraskan dengan peraturan dari institusi-institusi arbitrase internasional, seperti peraturan mengenai arbiter darurat atau emergency arbitrator provision yang dapat memberi solusi cepat dalam keadaan darurat. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan UU Arbitrase Nasional dan perubahan sikap terhadap arbitrase sangat diperlukan.

Sementara terkait dengan tata kelola sumber daya alam dapat ditelusuri dari begitu banyaknya hutan yang rusak karena illegal logging. Dimana hal tersebut berimplikasi pada rusaknya ekosistem secara menyeluruh yang mengakibatkan banjir dan longsor. Dalam ranah pertambangan banyak praktik penambangan yang berujung pada kerusakan lingkungan dan menjauhkan distribusi ekonomi bagi warga sekitar pertambangan. Kasus penambangan Timah di Bangka Belitung yang ramai diperbincangkan menjadi contoh nyata, bagaimana kekayaan alam negeri ini belum dikelola dengan baik dan benar.

Dalam edisi ini terdapat 6 arikel dan 1 rubrik wawancara. Ke-enam artikel tersebut ditulis antara lain oleh Prof. Mardjono ReksodiputroSH., MA, Ketua Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Pancasila; Prof. Frans Hendra Winarta, SH., MH, Staf pengajar di Fakultas Hukum Pelita Harapan; Dr. H. Ricco Akbar, SH., MH, Advokat & Mediator Penyelesaian Sengketa Bisnis; Dr. R. Bambang Prabowo Soedarso, SH., M.E.S, Staf Pengajar Mata Kuliah Hukum Lingkungan di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Pancasila; Indra Ibrahim, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila; Diani Kesuma, Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Pancasila sekaligus menjadi pengajar PKPA untuk calon Advokad; dan wawancara dengan M. Husseyn Umar, Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Selamat membacaJuni 2015

5

DUKUNGAN HUKUM PADA IKLIM USAHA(Catatan Kecil pada Upaya Melawan KKN)1

Mardjono Reksodiputro

Abstrak

Sudah sejak sebelum Era Reformasi kritik terhadap

“penegakan-hukum” (law enforcement) dilancarkan oleh

berbagai pihak. Menarik bahwa dalam suasana memajukan

kelautan/kemaritiman ini, isyu penegakan-hukum yang lemah

timbul lagi. Ujung dari kritik terhadap kegagalan kita memerangi

“mafia perikanan” di Indonesia adalah (seperti-biasa) mencari

“kambing-hitam” pada nelayan-asing. Semboyan yang

diluncurkan adalah: “hukum mereka yang berat, perkuat kapal patroli AL dan

Polisi-Air dengan senjata berat, tembak dan tenggelamkan para “pencuri-ikan”/

pelanggar kedaulatan laut kita”. Ini di-amini oleh para politisi-pengusaha dan

pejabat-pejabat tinggi kita. Emosi-tinggi dari pejabat-pejabat itu, nantinya tidak

dapat dijalankan, dan akan sangat merugikan citra pemerintahan yang baru ini.

Pandangan bahwa hukuman berat akan mengurangi/menanggulangi kejahatan

korupsi juga tidak pernah terbukti, yang harus diperbaiki adalah sumber

masalahnya. Misalnya sistem-ekonomi yang memungkinkan korupsi melalui

ekonomi rente (ekonomi via perantara dan komisi) serta KKN birokrasi.

Kata Kunci: Reformasi, law enforcement, ekonomi rente, birokrasi

Kita baru saja mengalami pergantian Pimpinan Nasional, dengan masa kerja lima tahun ke depan 2014-2019). Program Presiden Joko Widodo dan WaPresnya Jusuf Kala adalah menciptakan iklim usaha di Indonesia

yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dalam

1 Tulisan ini pernah dimuat di Newsletter Desain Hukum Newsletter Komisi Hukum Nasional Vol. 14, No. 10 N0v-Des 2014

1

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

pidatonya di forum APEC (Asia-Pacific Economic Council) Presiden kita mengajak para pemimpin Negara peserta APEC untuk mau berinvestasi di Indonesia. Antara lain ditawarkannya investasi di bidang infrastruktur, terutama di sektor kemaritiman. Apa peranan hukum di sini ?

Kepastian Hukum Bagi Investor, maka kecuali tentunya untung yang dicari dari investasi yang

dimasukkannya dalam ekonomi Indonesia, yang diperhitungkannya juga adalah rasa aman dan kemampuan prediksi (predictability) atau memperhitungkan situasi yang akan datang. Beberapa kebijakan yang lalu dari Pemerintah SBY telah menggoyahkan rasa aman dan kepastian hukum ini, khususnya ketidaktegasan dan kelambatan dalam menjalankan UU Minerba. Memperjuangkan perubahan dalam kontrak pertambangan, yang dianggap memberatkan rakyat, tentu baik, namun secara hukum belum tentu benar. Artinya adalah, tentu politik-nasionalisme akan didukung rakyat, namun dari segi hukum dapat dianggap sebagai tindakan tidak terpuji, karena telah “menyalahi janji”2.

Bagaimana menghindarinya? Untuk perjanjian yang telah dibuat dan berjalan adalah dengan negosiasi dan mencari win-win solution dalam konflik yang terjadi. Tetapi untuk masa yang akan datang Pemerintah haruslah lebih berhati-hati akan kemungkinan “jebakan hukum” yang dapat terjadi. Untuk itu, maka perlu dimintakan bantuan sarjana-sarjana hukum yang menguasai dengan baik (mumpuni) bidang ekonomi yang akan diperjanjikan, dan tentunya dihindari investor berupa “petualang” yang biasanya menawarkan komisi pada pejabat kita (gratifikasi untuk mau menerima klausul-klausul yang 5-10 tahun kemudian dapat merugikan ekonomi kita).3 Inilah “jebakan-hukum” yang sengaja atau tidak-sengaja, sering mau saja (atau terpaksa ?) diterima oleh pejabat Indonesia yang mewakili negara.

2 Ingat asas hukum perdata Indonesia “Suatu perjanjian (hanya) dapat dibatalkan, bilamana dibuat dengan paksaan, kekeliruan atau penipuan – dan (hanya) batal demi hukum apabila melanggar suatu bentuk-wajib perjanjian”

3 Mengikuti “iklim politik sesaat”, maka beberapa pejabat kita (a.l. mantan Menteri, WaPres dan Presiden kita Dr. Habibie), berteriak bahwa perjanjian-perjanjian dengan perusahaan asing menyebabkan adanya “kolonialisme-modern”. Mengapa sekian tahun berkuasa beliau tidak bertindak? Adakah sebenarnya pejabat-pejabat Indonesia mendapat keuntungan-pribadi untuk “tutup-mata” selama berkuasa ?

Menjamah LautPertemuan APEC di Beijing dengan utusan dari 22 negara telah dimanfaatkan

oleh Presiden kita untuk menawarkan peluang investasi di bidang infrastruktur maritim. Dalam cita-cita untuk menjadikan laut Nusantara kita ini jadi “poros maritim”4, maka antara lain ditawarkan investasi pembangunan pelabuhan. Memang sudah cukup terlambat kita menyadari potensi kelautan kita, dalam istilah Jokowi berupa kesalahan “memunggungi laut” dan sekarang harus dibalikkan menjadi “mejamah laut” !

Untuk menjamah laut ini, kita butuh infrastruktur berupa pelabuhan-pelabuhan dan juga kapal-kapal berbendera nasional untuk menghubungi pelabuhan-pelabuhan itu menjadi semacam “jalan-tol laut”. Untuk itu diperlukan modal yang besar (yang tidak dapat atau tidak berani digelontorkan pemodal-nasional) dan yang diharapkan didatangkan dari luar Indonesia. Janganlah dilupakan bahwa “pemilik-modal” ini tidak akan berani membawa modal ke Indonesia, bilamana tidak ada jaminan hukum yang adil bilamana pada suatu waktu ada “sengketa” antara mereka dengan pemerintah yang berkuasa. Katakanlah “infrastruktur hukum” juga harus “dibenahi”, melihat pada apa yang terjadi akhir-akhir ini dengan banyaknya pejabat birokrat dan pengadilan yang tersangkut korupsi. Apa yang ditakutkan ?

Yang ditakutkan adalah kita terperangkap dalam “jebakan hukum” syarat-syarat yang harus kita penuhi untuk mendapat modal-besar yang kita butuhkan. Kembali lagi, kita harus awas, jangan sampai seperti dalam hal Minerba, setelah berpuluh-puluh tahun investor beroperasi, baru kita meyadari perlunya mereka mendirikan “smelter”, yang tidak diminta dalam perjanjian mereka. Teknorat ekonomi (seperti Emil Salim) dan teknologi (seperti Habibie) ternyata juga tidak sampai jauh pikirannya, untuk memprediksi keperluan bangsa Indonesia sepuluh-duapuluh tahun ke depan. Apa yang investor akan syaratkan untuk menanam modal dalam pelabuhan, galangan kapal dan kapal-kapal besar ? Periksa dengan cermat perjanjian-perjanjian yang disodorkan !

Memang untuk kepentingan pembangunan nasional, kita butuh pemodal asing, tetapi apakah modal mereka dapat kita usahakan agar pro-rakyat Indonesia? Menurut saya, hal ini banyak tergantung pada kemampuan-negosiasi pihak Indonesia oleh pejabat-pejabat yang punya visi jauh ke depan dan tidak

4 Maritim dan Kelautan adalah istilah yang sering kita pergunakan akhir-akhir ini, namun haruslah dipahami bahwa “maritim” adalah kata-sifat dan “kelautan” adalah kata-benda.

Mardjono Reksodiputro - DUKUNGAN HUKUM PADA IKLIM USAHA

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

koruptif5.

Masalah Pasar-Bebas dan Investasi Pemodal-AsingKeinginan memakmurkan rakyat Indonesia dengan meningkatkan per-

tumbuhan ekonomi menjadi di kisaran 7% oleh pemerintahan JW-JK dengan iming-iming pula bahwa Indonesia berpotensi jadi “kekuatan-dunia” memang beralasan. Sumber daya alam (SDA) serta sumber daya manusia (SDM) yang besar merupakan modal utama kita. Kedua sumber daya ini harus dimanfaatkan dengan sungguh-sunguh, melalui kebijakan yang memang pro-rakyat. Namun perlu disadari, bahwa kebijakan pro-rakyat tidak sama dengan apa yang sekarang didengungkan oleh para politisi-pengusaha, yaitu “mengubah ekonomi pasar-bebas” dan “mengubah ekonomi menarik modal asing”.

Pasar-bebas, menurut saya, tidak pernah menjadi dasar dan tujuan ekonomi pembangunan di Indonesia. Pasar-bebas hanyalah “alat” untuk membangun “potensi swasta-domestik”, karena “model ini” akan menumbuhkan kemampuan-saing Indonesia melawan produk-impor (asing). Tanpa melampaui tahap pasar-bebas sebagai “alat” pemicu kreativitas dan kewiraswastaan pengusaha Indonesia, maka mereka akan sekedar jadi “jago-kandang sendiri”. Begitu pula dengan masalah “anti-asing” yang dijadikan “kambing-hitam” para pengusaha-politisi untuk (sebenarnya) menutupi kelemahan mereka sendiri. Indonesia tidak akan dapat maju-pesat, tanpa penambahan modal untuk membangun ekonomi Indonesia. Kalau diharapkan dari dalam negeri, maka sumbernya adalah pajak dan modal pengusaha domestik-lokal. Yang terlihat (samar-samar) adalah “pengemplangan-pajak” oleh pengusaha nasional kita dan “diparkirnya-keuntungan” pengusaha nasional itu di luar negeri !

Rencana mencapai pertumbuhan ekonomi 7% dan cita-cita menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia, tidak akan dapat dicapai bila infrastruktur hukum kita tidak dibenahi, dan untuk itu pemerintah harus juga lebih memperhatikan SDM hukum kita yang (menurut saya) kurang mumpuni (menguasai keahlian dengan baik) mendampingi ekonom dan teknolog pemerintahan baru JW-JK6.

5 Pertanyaan serupa sebenarnya dapat juga dipertanyakan kepada “pemodal-domestik” (lawan dari pemodal-asing). Dilihat dari kemewahan kehidupan mereka dan besarnya keuntungan dari perusahaan pemodal-domestik, seharusnya mereka juga dapat membantu membangun, namun buktinya mereka lebih suka menempatkan modalnya di luar negeri ?! Apakah karena mereka merasa tidak adanya keamanan jaminan-hukum atau untuk menghindari pajak di Indonesia ? Mungkin dua-duanya !

6 Ingat pada tahun 2015 ini kita mulai memasuki Era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), yang akan

Penegakkan HukumSudah sejak sebelum Era Reformasi kritik terhadap “penegakan-hukum”

(law enforcement) dilancarkan oleh berbagai pihak. Menarik bahwa dalam suasana memajukan kelautan/kemaritiman ini, isyu penegakan-hukum yang lemah timbul lagi. Ujung dari kritik terhadap kegagalan kita memerangi “mafia perikanan” di Indonesia adalah (seperti-biasa) mencari “kambing-hitam” pada nelayan-asing. Semboyan yang diluncurkan adalah: “hukum mereka yang berat, perkuat kapal patroli AL dan Polisi-Air dengan senjata berat, tembak dan tenggelamkan para “pencuri-ikan”/pelanggar kedaulatan laut kita”. Ini di-amini oleh para politisi-pengusaha dan pejabat-pejabat tinggi kita. Emosi-tinggi dari pejabat-pejabat itu, nantinya tidak dapat dijalankan, dan akan sangat merugikan citra pemerintahan yang baru ini7.

Menurut saya, karena ucapan-ucapan emosional ini, maka bergembira-rialah para politisi/pengusaha/pejabat kita, yang terlibat dalam “mafia perikanan”�, karena berhasil untuk mengalihkan perhatian dari diri-mereka yang sebenarnya merupakan sumber-utama “pencurian-ikan dan perusakan ekologi-laut”. Penyakit kronis Indonesia adalah KKN, yaitu “persekongkolan-jahat” antara para “pemegang-kuasa Ekonomi” dengan para “pemegang-kuasa Politik”. Pemegang-kuasa Ekonomi ini kebanyakan adalah pengusaha-pengusaha nasional/domestik (yang mungkin juga ber-“joint venture” dengan pengusaha-asing). Sedangkan para pemegang-kuasa Politik adalah birokrasi kita di Pusat dan Daerah (termasuk Anggota Korps Hakim, Kejaksaan, TNI dan POLRI). Tidak (mau) mengakui “penyakit” yang diderita bangsa kita, akan menimbulkan kekecewaan dalam upaya menanggulangi permasalahan penegakkan hukum di wilayah laut Indonesia.Penutup

Adanya “kecurangan” dalam transaksi-ekonomi haruslah ditanggapi secara wajar, dan tidak emosional. Sebab yang sesungguhnya dari suatu gejala yang

punya akibat secara bertahap membuat ASEAN menjadi borderless, dan disini akan bersaing lawyer asing dengan pejabat biro hukum dan penasihat hukum kementerian/pemerintah (pusat dan daerah) yang banyak kurang-mumpuni.

7 Pandangan bahwa hukuman–berat akan mengurangi/menanggulangi kejahatan korupsi juga tidak pernah terbukti–yang harus diperbaiki adalah sumber masalahnya. Misalnya sistem-ekonomi yang memungkinkan korupsi melalui ekonomi-rente (ekonomi via perantara dan komisi) serta KKN birokrasi.

� Pemerintah kita harus mau dan mampu membongkar “otak” kapal-kapal illegal dan jaringan “uang dan kuasa” yang menyediakan fasilitas dan mempermudah operasi kapal-kapal ikan illegal tersebut!

Mardjono Reksodiputro - DUKUNGAN HUKUM PADA IKLIM USAHA

10

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

tidak kita sukai, harus dicari dahulu agar tidak terjadi kebijakan yang lebih parah, seperti sikap emosional terhadap korupsi, menyebabkan birokrasi melambat karena para birokrat takut bila kebijakannya “dicap sebagai korupsi”! Menembak untuk menenggelamkan kapal dari para “pencuri ikan”, mungkin dapat dilakukan satu-dua kali, mungkin juga hanya untuk perahu-perahu nelayan asing yang relatif kecil, tetapi pada suatu waktu cara penegakkan di luar hukum ini akan memberi respons yang tidak diinginkan, apalagi kalau yang ditenggelamkan adalah “kapal-besar” perusahaan asing, yang akan melibatkan persoalan diplomatik dan sengketa hukum internasional.

11

PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA YANG PERLU DISELARASKAN DENGAN KAIDAH INTERNASIONAL1

Frans Hendra Winarta

Abstrak

Pada saat ini arbitrase telah berkembang menjadi salah satu

metode penyelesaian sengketa yang diminati oleh para pelaku

usaha. Hal ini dikarenakan karakteristik dari arbitrase, yaitu

putusan yang final dan mempunyai kekuatan hukum tetap,

fleksibel dan kerahasiaan telah menjadi suatu solusi yang tepat

untuk menyelesaikan sengketa perdagangan. Profesi sebagai

arbiter bukan merupakan suatu jenjang karier layaknya hakim

karier pada pengadilan negeri. Arbiter merupakan hakim partikelir yang berasal

dari sektor-sektor swasta, seperti firma hukum (law firm), firma teknik, akuntan

publik dan perusahaan. Pada hakekatnya setiap pihak yang bersengketa

menginginkan kepentingannya diutamakan. Sering kali untuk mencapai hal

tersebut para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan atas suatu prosedur

dalam arbitrase. Dalam hal ini, peranan arbiter yang baik dan berpengalaman

menjadi sangat penting. Seorang arbiter yang baik harus dapat memberikan

kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menyampaikan perkara mereka

dihadapan majelis dan memberikan arahan (direction) yang tegas dan sesuai

dengan peraturan dari arbitrase yang dipilih oleh para pihak.

Kata Kunci: arbitrase, law firm, direction

Saat ini perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia telah mencipta-kan iklim investasi dan usaha yang baik, dimana banyak pelaku usaha dari berbagai benua seperti Amerika, Australia, Eropa dan Asia merasa

nyaman untuk berinvestasi dan berbisnis di Indonesia. Jelas, perkembangan 1 Artikel ini penah disampaikan dalam Pidato upacara pada pengukuhan sebagai Professor pada

Fakuktas Hukum Universitas Pelita Harapan Karawaci pada tanggal 29 April 2015.

2

1�

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

tersebut telah meningkatkan transaksi bisnis internasional yang melibatkan pelaku usaha domestik dan pelaku usaha asing.

Perlu menjadi catatan bahwa dalam setiap transaksi bisnis internasional, para pelaku usaha akan dihadapkan pada benturan latar belakang yang berbeda dari setiap negara, seperti perbedaan sistem hukum, kebiasaan dan budaya. Perbedaan tersebut sering kali mengakibatkan timbulnya suatu sengketa yang tidak dapat dihindari, walaupun hal tersebut tidak diharapkan oleh setiap pelaku usaha. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan adanya suatu metode alternatif penyelesaian sengketa yang dapat memberikan solusi, yaitu suatu putusan (award) yang adil, efektif dan dapat diterima oleh para pelaku usaha. Terlebih apabila putusan tersebut dapat menjaga dan memelihara hubungan baik yang telah terjalin lama antara para pelaku usaha.

Untuk menjawab atas tuntutan tersebut, selain litigasi di dalam pengadilan (court litigation) yang konvensional sekarang dikenal alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) berupa arbitrase perdagangan (commercial arbitration) (“arbitrase”). Pada saat ini arbitrase telah berkembang menjadi salah satu metode penyelesaian sengketa yang diminati oleh para pelaku usaha. Hal ini dikarenakan karakteristik dari arbitrase, yaitu putusan yang final dan mempunyai kekuatan hukum tetap, fleksibel dan kerahasiaan telah menjadi suatu solusi yang tepat untuk menyelesaikan sengketa perdagangan. Karakteristik tersebut akan saya uraikan satu-persatu sebagai berikut:

Pertama, putusan arbitrase adalah suatu putusan yang bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (final and binding decision).2 Ini berarti bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali, sebagaimana pada putusan pengadilan negeri. Hal ini memberikan keuntungan bagi para pelaku usaha yang bersengketa, karena mereka akan mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap tanpa harus menjalani proses yang panjang (time consuming).

Terlebih, Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”) mengatur bahwa arbiter harus menyelesaikan perkara dalam kurun waktu paling lama 1�0 (seratus delapan puluh) hari sejak majelis arbitrase terbentuk,3 dan putusan arbitrase harus

2 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 60; [“UU Arbitrase”]: “Putusan arbitrase bersifat final mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”

3 UU Arbitrase, Supra note 1, pasal 4�: “Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.”

1�

diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.4

Kedua, flexibilitas dari proses arbitrase. Pada dasarnya proses beracara di arbitrase tunduk pada suatu prinsip yang dikenal sebagai prinsip kebebasan para pihak (party autonomy). Berdasarkan prinsip ini para pihak dapat dengan bebasnya menentukan prosedur acara arbitrase yang mereka kehendaki, antara lain, kesepakatan mengenai tempat sidang, bagaimana proses pemeriksaan saksi atau bahasa yang digunakan dalam proses pemeriksaan. Selain itu, para pihak pun dapat menentukan hukum yang berlaku.

Ketiga, kerahasiaan. Sidang arbitrase selalu dilakukan dalam ruang tertutup (close door session), ini berarti sidang arbitrase tidak diperuntukan untuk umum, melainkan hanya bagi para pihak yang bersengketa saja atau kuasanya. Sehingga proses arbitrase tidak boleh diliput oleh media (wartawan) dan tidak dapat disiarkan kepada masyarakat. Dalam setiap persidangan arbitrase, Arbiter akan memastikan bahwa setiap orang yang hadir adalah pihak atau kuasanya.

Arbitrase dapat diartikan sebagai cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.5 Sengketa tersebut diselesaikan oleh hakim partikelir yang disebut dengan arbiter.6 Dalam arbitrase, para pihak diberikan kewenangan penuh untuk menunjuk arbiternya sendiri. Arbiter yang ditunjuk dapat berupa arbiter tunggal maupun berupa majelis yang terdiri dari 3 (tiga) orang arbiter. Oleh karena itu dalam setiap perkara arbitrase, para pihak dapat memilih arbiternya berdasarkan integritas, pengetahuan, keahlian dan reputasinya. Hal ini berbeda dengan litigasi di pengadilan, dimana hakim tidak dapat dipilih oleh para pihak yang berperkara.

Profesi sebagai arbiter bukan merupakan suatu jenjang karier layaknya hakim karier pada pengadilan negeri. Arbiter merupakan hakim partikelir yang berasal dari sektor-sektor swasta, seperti firma hukum (law firm), firma teknik, akuntan publik dan perusahaan. Hal ini mengakibatkan arbiter memiliki 2 (dua) potensi masalah yang mungkin timbul.

4 UU Arbitrase, Supra note 1, pasal 57: “Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.”

5 UU Arbitrase, Supra note 1, pasal 1(1): “Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”

6 Sudargo Gautama, Undang Undang Arbitrase Baru 1999, Cet 1, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999, hal. �. [“Sudargo Gautama”]

Frans Hendra Winarta - PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA

1�

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Pertama, arbiter yang berasal dari sektor swasta pasti mempunyai keterlibatan pekerjaan dengan banyak pihak dari berbagai kalangan, termasuk para pelaku usaha, seperti pernah menjadi penasihat hukum atau konsultan dari pihak yang sekarang bersengketa. Keterlibatan tersebut akan mengakibatkan adanya potensi benturan kepentingan (conflict of interests) dengan para pihak atau salah satu pihak. Adanya benturan kepentingan dengan salah satu pihak mengakibatkan adanya keraguan atas ketidakberpihakan (impartial) dan kemandirian (independent) arbiter dalam menjalakan tugasnya.

UU Arbitrase menyediakan mekanisme hukum untuk mengajukan perlawanan (challenge) terhadap arbiter yang diduga akan melaksanakan tugasnya dengan memihak salah satu pihak atau tidak mandiri dalam mengambil keputusan, yaitu dengan mengajukan tuntutan hak ingkar. Pasal 22 UU Arbitrase mengatur bahwa hak ingkar dapat dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak.7

Kedua, perlu menjadi catatan bahwa hak ingkar yang diajukan kepada seorang arbiter atau calon arbiter dapat menghambat proses penyelesaian sengketa itu sendiri atau menjadi sebuah upaya untuk menggagalkan arbitrase (recuse or derail arbitration). Hal ini sering digunakan oleh salah satu pihak yang tidak terbiasa atau tidak percaya kepada arbitrase untuk menghambat proses arbitrase itu sendiri. Terlebih lagi, dasar yang diberikan UU Arbitrase untuk mengajukan gugatan hak ingkar terlalu luas dan tidak ada penjelasannya.

Sangat disayangkan bahwa hambatan tersebut sering dilakukan oleh kuasa hukum para pihak, yang saya sebut dengan trouble maker lawyer. Hal ini disebabkan oleh ketidakpahaman dan ketidakpercayaan mereka terhadap arbitrase, dan terutama mereka lebih merasa nyaman dengan proses litigasi konvensional. Michael Hwang mengelompokan advokat (counsel) yang sering melakukan perlawanan terhadap arbitrase ke dalam 4 (empat) kelompok, yaitu kelompok teroris; kelompok arbitrase atheis (arbitration atheists); kelompok skeptik; dan kelompok orang baru (neophytes), yang dapat dikutip sebagai berikut:

“There are four classes of resisters, who are for the most part respondents: (a) terrorists or arbitration guerillas;

7 UU Arbitrase, Supra note 1, pasal 22(2): “Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.”

15

(b) conscientious objectors or arbitration atheists; (c) skeptics or arbitration agnostics; and (d) neophytes or arbitration wannabes”8

Yang dimaksud dengan kelompok teroris adalah counsel yang selalu berupaya untuk menunda dan menggagalkan proses arbitrase. Pertama, mereka akan mengajukan keberatan atas yurisdiksi yang dimiliki oleh majelis untuk membawa perkara ke pengadilan negeri dan mereka akan mengajukan gugatan baru di pengadilan negeri, untuk mencari pembenaran bahwa pengadilan negeri lah yang mempunyai yurisdiksi atas perkara tersebut. Setelah mereka gagal pada tahap yurisdiksi tidak ada pilihan bagi kelompok teroris ini selain mengikuti proses arbitrase, namun, upaya mereka tidak berhenti disini. Dalam proses pemeriksaan, kelompok ini selalu mencari kesalahan arbiter yang sedang menjalankan tugasnya untuk dijadikan dasar pengajuan hak ingkar, yang mana hal ini bertujuan untuk menghambat dan menunda proses arbitrase. Setelah yurisdiksi dan hak ingkar gagal, kelompok teroris akan menunggu putusan dari majelis, apabila putusan dari majelis merugikan mereka, mereka akan mengajukan gugatan pembatalan dengan dasar bahwa majelis arbitrase (tribunal) tidak mempunyai wewenang atas perkara tersebut dan arbiter telah bertindak tidak adil sehingga putusannya merugikan hak mereka.9

Kemudian yang dimaksud dengan kelompok atheis adalah advokat setempat (local counsel) yang tidak ingin mengikuti proses arbitrase tertentu, dalam hal ini arbitrase yang melibatkan advokat asing (foreign counsel) atau arbiter asing. Hal ini disebabkan karena minimnya pengalaman mereka di arbitrase internasional, selain itu mereka beranggapan bahwa pengadilan memberikan hasil yang lebih baik bagi mereka.10

Selanjutnya kelompok skeptik, mereka adalah advokat (counsel) yang merasa tidak nyaman dengan arbitrase. Kelompok ini selalu menyarankan kepada klien yang mereka miliki untuk menghindari penggunaan klausula arbitrase pada suatu perjanjian, karena pengadilan lebih baik dari arbitrase.11

� Michael Hwang S.C., Selected Essay on International Arbitration, Singapore: Academy Publishing, 2013, hal.21. [“Michael Hwang”]

9 Michael Hwang, Supra note 7, hal.26.10 Michael Hwang, Supra note 7, hal.27.11 Michael Hwang, Supra note 7, hal.31.

Frans Hendra Winarta - PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA

1�

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Yang terakhir adalah kelompok orang baru (neophytes or arbitration wannabe), mereka adalah advokat (counsel) yang selalu menunjukan sikap arogan dan menganggap bahwa mereka telah mengerti arbitrase, yang mana sebenarnya mereka masih membutuhkan banyak bimbingan. Pada dasarnya kelompok ini tidak mempunyai niat untuk menghambat atau menunda proses arbitrase, namun pada faktanya tindakan mereka secara tidak langsung dapat menghambat proses arbitrase. Kelompok ini mencoba untuk memberikan tekanan kepada pihak lawannya dan memberikan kesan bahwa majelis arbitrase mendukung mereka, yang mana hal tersebut dapat mengakibatkan salah satu pihak merasakan adanya ketidakadilan. Pada saat salah satu pihak merasa tidak adil maka pihak tersebut dapat mengajukan hak ingkar kepada majelis arbitrase, yang mana hal ini akan menghambat proses arbitrase.12

Untuk menghindari trouble maker lawyer mengajukan tuntutan ingkar untuk menghambat proses arbitrase, hal pertama yang harus diperhatikan oleh para calon arbiter adalah memastikan tidak adanya benturan kepentingan (conflict of interests) dengan para pihak. Beberapa peraturan dan prosedur dari badan arbitrase baik nasional maupun internasional telah mengatur bahwa sejak awal pencalonan, arbiter harus mengungkapkan (disclosure) fakta terkait dengan tidak adanya benturan kepentingan atau tidak adanya keadaan yang dapat menimbulkan keraguan bahwa arbiter tersebut akan melakukan tugasnya secara berpihak dan tidak mandiri.13

Ketidakberpihakan (Impartial) dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana arbiter tidak akan memihak kepada salah satu pihak dalam perkara berdasarkan suatu dorongan dari dalam dirinya,14 sedangkan kemandirian (independent) dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana arbiter bebas dari pengaruh pihak lain dalam mengambil keputusan.15 Berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa ketidakberpihakan (impartial) mengacu pada perilaku internal dari seorang arbiter sedangkan kemandirian (independent) merupakan 12 Michael Hwang, Supra note 7, hal.31.13 Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia, pasal

7: [“Peraturan BANI”]”Seorang calon arbiter, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditunjuk, harus menyampaikan kepada BANI riwayat hidup/pekerjaannya dan suatu pernyataan tertulis tentang kesediaan bertindak sebagai arbiter. Apabila diperlukan, arbiter yang ditunjuk harus menerangkan setiap keadaan yang mungkin dapat menjadikan dirinya diragukan sehubungan dengan netralitas atau kemandiriannya.”

14 Black’s Law Dictionary15 David D. Caron, The UNCITRAL Arbitration Rules: A Commentary, Cet. 1, Oxford: Oxford University

Press, 2006, hal. 242. [“David D. Caron”]

1�

hubungan external arbiter dengan pihak ketiga. Hal ini sesuai dengan pendapat dari ahli David D. Caron yang menyatakan sebagai berikut:

“Impartiality thus refers to the arbitrator’s internal disposition, while independence refers to external control over the arbitrator. Impartiality is a state of mind and thus somewhat elusive, while independence involves some relationship and is thus more a question of fact.”16

Namun, hingga saat ini tidak ada ketentuan dalam peraturan arbitrase, UU Arbitrase atau UNCITRAL Model Law yang mengatur secara rinci mengenai keadaan seperti apa yang dapat meragukan ketidakberpihakan dan kemandirian dari seorang arbiter dalam menjalankan tugasnya, atau keadaan-keadaan yang dianggap sebagai benturan kepentingan.

Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, pada 22 Mei 2004, Internasional Bar Association (“IBA”) telah mengeluarkan IBA Guidelines on Conflict of Interest in International Arbitration (“IBA Guidelines”) yang memberikan panduan kepada arbiter, para pihak dan badan arbitrase dalam menentukan fakta apa saja yang dapat dikategorikan sebagai benturan kepentingan atau fakta yang dapat menimbulkan keraguan atas ketidakberpihakan dan kemandirian arbiter. IBA Guidelines mengenal adanya tiga kategori fakta yaitu Red List, Orange List dan Green List.

Red List berisi penguraian fakta-fakta yang dianggap dapat menimbulkan keraguan atas ketidakberpihakan dan kemandirian arbiter dari sudut pandang orang ketiga. Red List dibagi menjadi dua bagian yaitu Non-Waivable Red List dan Waivable Red List. Non-Waivable Red List, merupakan fakta-fakta yang diambil dari prinsip dasar yaitu arbiter tidak dapat mengadili atas perkaranya sendiri (no-one should be a judge in his own cause or nemo judex in causa sua). Seseorang yang menjadi arbiter pada perkaranya sendiri akan menjadikannya menjadi bias dan memihak. Hal ini dikarenakan, arbiter tersebut mempunyai kepentingan pribadi yang menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest). Hakikatnya prinsip tersebut digunakan untuk menjamin penegakan hukum dalam arbitrase. Berkaitan dengan nemo judex in causa sua, John V. Orth mengungkapkan:

16 David D. Caron, Supra note 14, hal. 215.

Frans Hendra Winarta - PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA

1�

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

“Judging requires a degree of impartiality, and a judge with a stake in the outcome of a case would necessarily be too involved to be Impartial. “Il n’est pas permis au plus équitable homme du monde d’être juge en sa cause” (the fairnest man in the world is not allowed to be a judge in his own cause)”17

Kemudian, pengungkapan fakta-fakta yang jatuh pada Non-Waivable Red List tidak mengakibatkan hilangnya benturan kepentingan. Misalnya, seorang arbiter mewakili salah satu pihak atau arbiter merupakan direktur atau komisaris dari salah satu pihak pada perkara arbitrase tersebut. Sedangkan Waivable Red List, masih memberikan kesempatan kepada arbiter untuk melanjutkan tugasnya sebagai arbiter, dengan catatan bahwa keadaan tersebut harus disetujui oleh para pihak. Misalnya, calon arbiter pernah terlibat dalam perkara arbitrase tersebut atau arbiter merupakan saudara dekat dari salah satu pihak pada perkara arbitrase tersebut.

Orange List berisi penguraian fakta-fakta yang dianggap dapat menimbulkan keraguan atas ketidakberpihakan dan kemandirian arbiter dari sudut pandang para pihak. Orange List mencerminkan keadaan dimana arbiter mempunyai kewajiban untuk mengungkapkan fakta tersebut. Para pihak dianggap menyetujui fakta yang telah diungkapkan oleh calon arbiter apabila para pihak tidak memberikan tanggapan atas fakta yang diungkapkan. Contoh dari fakta yang harus diungkapkan dalam Orange List adalah fakta bahwa dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir arbiter pernah bertindak sebagai perwakilan dari salah satu pihak pada perkara arbitrase tersebut atau dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir calon arbiter pernah mewakili pihak ketiga sebagai advokat (counsel) untuk melawan salah satu dari pihak yang sedang berperkara.

Green List berisi penguraian fakta yang tidak dianggap sebagai benturan kepentingan, seperti pernah memberikan pendapat hukum terhadap salah satu pihak atau kantor hukum dari arbiter bekerja pernah mewakili salah satu pihak untuk melawan pihak lainnya pada permasalahan yang berbeda.

Selain permasalahan berkaitan dengan benturan kepentingan, para arbiter juga sering dihadapkan terhadap terbatasnya ketersediaan waktu untuk menjalan-kan proses arbitrase. Seorang arbiter sebaiknya hanya menerima penunjukan arbiter terhadap suatu proses arbitrase jika dirinya yakin bahwa ia

17 John V. Orth, Due Process of Law, United State: University Press of Kansas, 2003, hal. 15

1�

memiliki waktu yang cukup untuk menjalankan tugasnya dengan baik, seperti mempelajari perkara, melakukan diskusi dengan anggota majelis (internal disccussion) dan merancang putusan. Dengan kata lain, seorang arbiter harus mempertimbangkan perhitungan waktu yang realistis dalam menerima penunjukan. Terkait penolakan penunjukan tersebut, calon arbiter tidak perlu khawatir mendapatkan reputasi buruk. Dirinya dapat menjelaskan secara profesional alasan penolakan dan menunjukkan bahwa dirinya akan memiliki waktu untuk kasus selanjutnya.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, berdasarkan sifatnya terbagi menjadi dua, yaitu arbitrase yang bersifat sementara (ad-hoc) dan arbitrase yang dikelola berdasarkan badan arbitrase, seperti International Chamber of Commerce (“ICC”), Singapore International Arbitration Centre (“SIAC”), Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”), Hong Kong International Arbitration Centre (“HKIAC”), Kuala Lumpur Regional Centre for Arbitration (“KLRCA”) dan seterusnya.

Arbitrase ad-hoc merupakan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang dilaksanakan tanpa adanya pengelolaan dari sebuah badan arbitrase. Berkaitan dengan arbitrase ad-hoc, Gary B. Born mengungkapkan:

“Ad hoc arbitrations are not conducted under the auspices or supervision of an arbitral institution. Instead, parties simply agree to arbitrate, without designating any institution to administer their arbitration. Ad hoc arbitration agreements will often choose an arbitrator (or arbitrators) who is (or are) to resolve the dispute without institutional supervision or assistance. The parties will sometimes also select a pre-existing set of procedural rules designed to govern ad hoc arbitrations.”1�

Pada dasarnya para pihak dapat merancang sendiri peraturan dan prosedur yang berlaku dalam arbitrase ad-hoc atau menggunakan peraturan dan prosedur yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase ad-hoc seperti United Nations Commission of International Trade Law Arbitration Rules (“UNCITRAL Rules”) atau UU Arbitrase. Berkaitan dengan peraturan yang biasa digunakan dalam arbitrase ad-hoc, Gatot Soemartono mengungkapkan:

1� Gary B. Born, International Arbitration Cases And Materials, Cet.1, Netherlands: Kluwer Law International BV, 2011, hal. 66.

Frans Hendra Winarta - PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA

�0

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

“Sebuah arbitrase ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan berarbitrase, misalnya UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan APS atau Arbitrase UNCITRAL (UNCITRAL Arbitration Rules)”19

Dalam setiap pilihan arbitrase pasti ada keuntungan dan kerugian. Dalam arbitrase ad-hoc, para pihak mempunyai keuntungan dengan tidak membayar biaya arbitrase melalui badan arbitrase, melainkan para pihak dapat langsung membayar biaya arbitrase kepada arbiter yang mereka tunjuk. Selain itu, arbitrase ad-hoc lebih fleksibel karena para pihak dapat merancang sendiri prosedur acara yang mereka kehendaki. Oleh karena itu, arbitrase ad-hoc cocok digunakan pada arbitrase yang melibatkan suatu negara sebagai pihak, dimana para pihak dapat menentukan prosedur arbitrase tanpa terikat oleh suatu peraturan dari suatu badan arbitrase. Sedangkan keuntungan penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase adalah adanya pengelolaan dan pengawasan dari sebuah badan arbitrase, misalnya badan arbitrase akan memastikan bahwa arbiter akan ditunjuk tepat pada waktunya dan proses arbitrase berjalan sesuai dengan peraturan dan prosedur dari badan arbitrase tersebut. Dari sudut pandang arbiter, arbitrase yang dikelola oleh badan arbitrase akan memberikan banyak keuntungan, seperti arbiter tidak harus berurusan dengan uang secara langsung dengan para pihak dan nama besar dari badan arbitrase membuat pihak yang kalah akan cenderung menghormati putusan tersebut.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasari pada suatu perjanjian arbitrase.20 Tanpa adanya perjanjian arbitrase maka para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Kecuali, setelah timbulnya sengketa para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui badan arbitrase atau arbitrase ad-hoc melalui akta kompromis (acta compromise).

Perjanjian arbitrase adalah suatu perjanjian dimana para pihak telah menca-pai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. UU Arbitrase mengatur bahwa perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis.21 Hal 19 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Cet.1, Jakarta: PT Gramedia, 2006, hal. 27.20 UU Arbitrase, Supra note 1, pasal 9(2):

“Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.”

21 UU Arbitrase, Supra note 1, pasal 1(3):“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”

�1

ini juga sesuai dengan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards Arbitration (“New York Convention”).22 Terkait dengan definisi dari perjanjian arbitrase tersebut, H. Priyatna Abdurrasyid menyebutkan:

“Perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa kelanjutan arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.”23

Namun, tidak ada pengaturan lebih lanjut atas ketentuan tersebut. Pada tempat lain, Negara Inggris melalui Bagian 5(2)b Arbitration Act 1979 telah mengatur bahwa suatu perjanjian dapat dikategorikan sebagai perjanjian tertulis apabila memang dibuat secara tertulis atau dapat dibuktikan secara tertulis. Berikut kutipan dari ketentuan tersebut:

“There is an agreement in writing: (a) if the agreement is made in writing (whether or not it is signed by

the parties);(b) if the agreement is made by exchange of communications in

writing; or (c) if the agreement is evidenced in writing.”

Perjanjian arbitrase yang sah mengakibatkan para pihak tidak dapat mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan negeri. Ini berarti bahwa para pihak telah memberikan kewenangan kepada arbiter untuk memeriksa dan memutus perkara.24 Namun, perlu menjadi catatan bahwa perjanjian 22 Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York, 10 June

195�), art. II(2): “an agreement in writing under which the parties undertake to submit to arbitration all or any differences which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relationship, whether contractual or not, concerning a subject matter capable of settlement by arbitration.”

23 H. Priyatna Abdurrasyid, Sengketa Suatu Pengantar Arbitrase & Alternatif Penyelesaian, Cet.1, Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2002, hal. �2. [“H. Priyatna Abdurrasyid”]

24 UU Arbitrase, Supra note 1, pasal 4 jo. pasal 11: Pasal 4 UU Arbitrase:

“Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.”

Pasal 11 UU Arbitrase:“(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan

penyele-saian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan

Frans Hendra Winarta - PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

arbitrase yang tidak sah mengakibatkan arbiter tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara. Oleh karena itu, penyusunan perjanjian arbitrase harus dilakukan dengan benar sesuai dengan peraturan dan prosedur yang dipilih oleh para pihak.

Layaknya suatu perjanjian, perjanjian arbitrase pun harus memenuhi 4 (empat) syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (“BW”) secara kumulatif, yaitu syarat kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal.25 Hukum perdata Indonesia membedakan 4 (empat) syarat tersebut menjadi 2 (dua) bagian. Syarat pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan, disebut sebagai syarat subyektif, sedangkan untuk syarat kedua, yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat obyektif. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (van rechtswege nietig). Berkaitan dengan hal ini Prof. Subekti mengungkapkan:

“Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Dalam hal syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya: Dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.Dalam hal suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.”26

Syarat Sah Perjanjian ArbitraseSyarat pertama yaitu kesepakatan, yang dimaksud dengan kesepakatan

(consensus) dalam perjanjian arbitrase adalah persetujuan antara para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian pokok melalui

Negeri.(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian

sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.”

25 Burgerlijk Wetboek, pasal 1320 [“BW”]:“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.”

26 Prof. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Cet.1, Jakarta: PT Intermasa, 1979, hal 20.

��

arbitrase, dan persetujuan tersebut harus dituangkan dalam perjanjian tertulis. Oleh karena itu, adanya suatu perjanjian arbitrase merupakan suatu bukti yang tidak dapat dipungkiri para pihak bahwa telah terjadi kesepakatan (consensus) di antara mereka.

Syarat kedua yaitu kecakapan (authorized), Pasal 1329 BW mengatur bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Pasal 1330 BW mengenal tiga kelompok orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat persetujuan, yaitu (i) orang yang belum dewasa, yaitu orang belum genap mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum menikah; (ii) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-orang yang selalu dalam keadaan sakit otak, gelap mata dan boros; dan (iii) perempuan yang dilarang oleh undang-undang untuk membuat persetujuan.27

Berkaitan dengan perempuan yang dilarang oleh undang-undang, Pasal 10� BW jo. 110 BW mengatur bahwa seorang istri tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa izin dari suami.2� Namun, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963 (“SEMA No. 3/1963”), Mahkamah Agung menganggap bahwa Pasal 10� BW dan 110 BW tidak berlaku, sehingga seorang istri berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.29 Dalam hal perjanjian arbitrase dibuat oleh badan hukum, maka badan

27 BW, supra note 19, pasal 1330: “Tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

1. Orang yang belum dewasa;2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada

umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.”

2� BW, supra note 19, pasal 10� jo. Pasal 110:Pasal 108 BW:“Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu sekali pun, namun tidak boleh lah ia menghibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta atau dengan izin tertulis dari suaminya.”Pasal 110 BW:“Seorang istri, biar ia kawin diluar per-satuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia menghadap di muka hakim tanpa bantuan suaminya”

29 Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963:“Sebagai konsekwensi dari gagasan ini, maka Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi antara lain Pasal-pasal berikut dari Burgerlijk Wetboek:

1. Pasal-pasal 108 dan 110 B.W. tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum

Frans Hendra Winarta - PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

hukum tersebut harus diwakili pihak yang berhak untuk menutup perjanjian. Pasal 9� Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) menyatakan bahwa direksi lah yang berhak mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.30

Syarat ketiga yaitu hal tertentu, obyek dalam perjanjian arbitrase adalah penyelesaian sengketa itu sendiri, dimana para pihak telah menentukan suatu metode penyelesaian sengketa (dispute resolution) yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa mereka baik melalui badan arbitrase maupun arbitrase ad-hoc.

Syarat sah perjanjian yang terakhir adalah suatu sebab yang halal (legal cause), ini berarti bahwa kesepakatan yang tercapai antara para pihak tidak dapat mengabaikan undang-undang. Pasal 5 UU Arbitrase secara tegas menyatakan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan (commercial dispute) yang dapat diadakan perdamaian.31 Oleh karena itu penyelesaian sengketa diluar dari sengketa di bidang perdagangan akan mengakibatkan unsur suatu sebab yang halal tidak terpenuhi.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa apabila suatu perjanjian arbitrase telah memenuhi keempat syarat yang diatur dalam pasal 1320 BW, maka perjanjian arbitrase tersebut sah dan sudah seharusnya berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya (pacta sunt servanda). Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 133�(1) BW, yang menyatakan:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya…”

Ketentuan yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya sesuai dengan asas hukum pacta sunt servanda, sebagaimana yang dinyatakan oleh Prof Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., yang mengungkapkan:

dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua warga negara Indonesia.”

30 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pasal 9�:“Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.”

31 UU Arbitrase, supra note 1, pasal 5: “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”

�5

”Para pihak harus melaksanakan apa yang telah mereka sepakati, sehingga perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang. Ini berarti bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian. Asas kekuatan mengikat ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan dikenal sebagai pacta sunt servanda.”32

Setelah kita memahami arbitrase sebagi metode alternatif penyelesaian sengketa dan alasan kenapa arbitrase diminati oleh para pelaku usaha baik domestik maupun asing, menjadi pertanyaan apakah UU Arbitrase di Indonesia sudah sesuai dengan kebutuhan para pelaku usaha?

Selanjutnya perkenankan saya menjawab pertanyaan ini dengan mengkaji penerapan prinsip arbitrase internasional yang berlaku pada UU Arbitrase di Indonesia.

Harmonisasi undang-undang arbitrase di dunia terus berkembang hingga akhirnya pada tahun 19�5, muncul sebuah acuan undang-undang arbitrase bagi negara-negara yang belum mempunyai undang-undang arbitrase, yang secara tidak langsung bertujuan untuk menyeragamkan undang-undang arbitrase di dunia. Acuan tersebut adalah UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration (“UNCITRAL Model Law”). Sejak Model Law ditetapkan, banyak negara yang menggunakan UNCITRAL Model Law sebagai hukum domestik dari negara tersebut atau biasa yang disebut dengan Negara Model Law (Model Law Countries).

Meskipun UNCITRAL Model Law mempunyai pengaruh kuat terhadap undang-undang arbitrase di berbagai negara, tidak semua negara telah mengadopsi UNCITRAL Model Law. Perlu diketahui bahwa Indonesia bukan merupakan Negara Model Law atau biasa disebut dengan non-model law countries. Namun demikian, UU Arbitrase di Indonesia dibuat dengan mengacu kepada prinsip-prinsip arbitrase yang terdapat pada UNCITRAL Model Law.

Dalam kesempatan ini perlu diuraikan prinsip-prinsip yang berlaku pada arbitrase internasional, diawali dengan prinsip yang menjadi dasar dari arbitrase, yaitu prinsip party autonomy. Berbeda dengan litigasi konvensional dalam beracara di arbitrase melekat prinsip party autonomy (kebebasan pihak), dimana para pihak dapat dengan bebasnya menentukan prosedur acara yang mereka kehendaki, namun kebebasan tersebut tetap tunduk pada peraturan

32 Prof Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2002, hal 112.

Frans Hendra Winarta - PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

memaksa dari UU Arbitrase dan peraturan dari institusi arbitrase yang dipilih oleh para pihak. Beberapa ahli arbitrase memberikan pengertian dari party autonomy yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Redfern & Hunter mengungkapkan:“Party autonomy is the guiding principle in determining the procedure to be followed in an international commercial arbitration. It is a principle that has been endorsed not only in national laws, but by international arbitral institutions and organisations. The legislative history of the Model Law shows that the principle was adopted without opposition...”33

Abdulhay Sayed. mengungkapkan:“Freedom of the parties to construct their contractual relationship in the way they see fit.”34

Prinsip party autonomy merupakan prinsip dasar dan sangat penting dalam arbitrase, Gary B. Born menyatakan bahwa “One of the most fundamental characteristic of international commercial arbitration is the parties’ freedom to agree upon the arbitral procedure”.35 Kebebasan yang diberikan kepada para pihak tersebut membuat arbitrase menjadi suatu metode penyelesaian sengketa yang fleksibel dan dapat mengakomodasi kepentingan para pihak. Namun, seperti halnya dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, prinsip party autonomy sering dijadikan dasar bagi para pihak untuk menghambat proses arbitrase itu sendiri.

Pasal 31(1) UU Arbitrase mengatur secara tegas bahwa para pihak bebas menentukan proses acara arbitrase yang mereka kehendaki, dengan catatan bahwa kesepakatan mereka tidak bertentangan dengan UU Arbitrase itu sendiri. Berikut adalah kutipan dari pasal tersebut:

“Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.”

33 Redfern and Hunter, with Blackaby and Partasides, Law and Practice of International Commercial Arbitration, Cet. 4, London: Sweet & Maxwell, 2004, hal. 315.

34 Abdulhay Sayed, Corruption in International Trade and Commercial Arbitration, Netherland: Kluwer Law International, 2004, hal. 159. [“Abdulhay Sayed”]

35 Gary B. Born, International Commercial Arbitration Vol. II, Cet. 1, New York: Wolters Kluwer Legal, 2009, hal. 174�.

��

Dari kata-kata dari Pasal 31(1) UU Arbitrase tersebut, terlihat jelas bahwa pasal tersebut merupakan manifestasi dari prinsip party autonomy. Selain dari ketentuan pasal tersebut, prinsip party autonomy pun tercermin dari beberapa pasal dalam UU Arbitrase, antara lain: (i) Pasal 2� UU Arbitrase terkait dengan kebebasan untuk memilih bahasa;36 (ii) Pasal 14 (1) UU Arbitrase terkait dengan kebebasan untuk memilih arbiter;37 (iii) Pasal 56 UU Arbitrase terkait dengan kebebasan untuk memilih hukum yang berlaku (choice of law);3� (iv) Pasal 4� (2) UU Arbitrase terkait dengan kebebasan untuk menetapkan jangka waktu arbitrase;39 dan Pasal 37 (1) UU Arbitrase terkait dengan kebebasan untuk memilih tempat dimana proses arbitrase diselenggarakan.40

Prinsip party autonomy dibagi menjadi 4 (empat) tahap. Tahap pertama, yaitu tahap perancangan perjanjian arbitrase, para pihak bebas menentukan proses arbitrase yang dikehendaki melalui kesepakatan dan tanpa adanya campur tangan dari pihak ketiga. Para pihak dapat menentukan tempat dari arbitrase diselenggarakan, hukum yang berlaku, bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase dan jumlah arbiter.

Pada tahap pertama, party autonomy dapat disebut sebagai “self arrange-ment of legal relations by individuals according to their respective will”41 (pengaturan hubungan hukum oleh individu-individu sendiri sesuai dengan kehendak masing-masing). Sehingga segalanya tergantung kepada kehendak para pihak untuk merancang perjanjian arbitrase dengan bebas tanpa kontrol dari manapun.

36 UU Arbitrase, supra note 1, pasal 2�:“Bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan.”

37 UU Arbitrase, supra note 1, pasal 14(1):“Dalam hal para pihak telah bersepakat bahwa sengketa yang timbul akan diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal.”

3� UU Arbitrase, supra note 1, pasal 56(2):“Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.”

39 UU Arbitrase, supra note 1, pasal 4�(2):“Dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan sesuai ketentuan Pasal 33, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang.”

40 UU Arbitrase, supra note 1, pasal 37(1):“Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak.”

41 Abdulhay Sayed, supra note 2�, hal. 159.

Frans Hendra Winarta - PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Tahap selanjutnya adalah tahap kedua, dimulainya tahap ini ditandai dengan diajukannya permohonan arbitrase, namun majelis belum terbentuk. Peraturan arbitrase yang dipilih para pihak mulai berlaku pada saat permohonan arbitrase diajukan ke badan arbitrase. Yang mana permohonan arbitrase tersebut mengakibatkan kebebasan para pihak dibatasi oleh peraturan arbitrase tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Jay E. Grenig dan Rocco M. Scanza yang menyatakan:

“Unless agreed otherwise, the arbitration rules in effect when the parties’ dispute is submitted to arbitration control the proceeding. When parties make AAA rules applicable in their arbitration agreement, the rules in effect when the demand for arbitration is received by AAA apply.”42

Dengan berlakunya peraturan arbitrase, para pihak tetap memiliki kebebasan untuk menentukan prosedur acara, seperti berapa lama waktu yang dikehendaki untuk menyelesaikan sengketa dan kapan akan diadakan sidang. Namun, para pihak tidak dapat membuat kesepakatan yang bertentangan dengan peraturan yang dipilihnya atau menghilangkan suatu ketentuan yang memaksa (compelling provision) dari peraturan tersebut. Sebagai contoh, Pasal 33 Peraturan ICC (“ICC Rules”) mengatur secara tegas bahwa sebelum putusan akhir ditandatangani oleh majelis, majelis mempunyai kewajiban untuk menyerahkan rancangan putusan kepada ICC Court untuk diperiksa (scrutinized). Ketentuan Pasal 33 ICC Rules merupakan suatu kententuan yang bersifat memaksa (compelling provision), dimana kesepakatan tidak dapat menghilangkan atau melanggar pasal tersebut. Pemeriksaan (scrutiny) yang dilakukan oleh ICC Court adalah salah satu cara dari ICC untuk mengelola suatu perkara arbitrase. Oleh karena itu, para pihak tidak dapat menghilangkan fungsi pemeriksaan (scrutiny) yang dilakukan oleh ICC Court. hal ini sesuai dengan pendapat dari Thomas H. Webster dan Michael W. Bühler mengungkapkan:

“..is not to accept modifications to its Rules that would eliminate or significantly alter the provisions relating to matters such as the following: - The establishment of the terms of Reference;

42 Jay E. Grenig dan Rocco M. Scanza, Case Preparation and Presentation: A guide for Arbitration Advocates and Arbitrators, New York: American Arbitration Association, 2013, hal. 4.

��

- The fixing of arbitrators fees by the ICC Court;- The scrutiny and approval of draft Awards by the ICC Court.”43

Berikutnya, pada tahap ketiga, majelis telah terbentuk dan mengakibatkan kebebasan para pihak dibatas oleh kewenangan yang dimiliki oleh majelis. Majelis sebagai pimpinan sidang arbitrase mempunyai wewenang untuk memberikan arahan apabila para pihak tidak dapat mencapai suatu kesepakatan atas suatu prosedur. Berkaitan dengan party autonomy tahap ketiga, Thomas H. Webster dan Michael W. Bühler mengungkapkan:

“During the third stage, party autonomy generally prevail but the Tribunal tends to direct the proceeding because the parties are either unable to agree on the procedure or because they simply prefer to let the Tribunal direct the proceeding”44

Pada hakekatnya setiap pihak yang bersengketa menginginkan kepen-tingannya diutamakan. Sering kali untuk mencapai hal tersebut para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan atas suatu prosedur dalam arbitrase. Dalam hal ini, peranan arbiter yang baik dan berpengalaman menjadi sangat penting. Seorang arbiter yang baik harus dapat memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menyampaikan perkara mereka dihadapan majelis dan memberikan arahan (direction) yang tegas dan sesuai dengan peraturan dari arbitrase yang dipilih oleh para pihak.

Apabila arbiter tidak dapat bertindak dengan baik dan tegas, maka prinsip party autonomy dapat disalahgunakan oleh salah satu pihak untuk menghambat proses arbitrase itu sendiri. Misalnya, dalam suatu perkara arbitrase ad-hoc berdasarkan peraturan UNCITRAL (“UNCITRAL Rules”), dimana berdasarkan peraturan tersebut tidak diatur mengenai batas waktu proses pemeriksaan perkara arbitrase. Pihak-pihak yang tidak percaya dengan arbitrase sering menunda persidangan dengan memberikan berbagai macam alasan untuk menolak usulan tanggal persidangan. Dalam hal ini arbiter harus dapat mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak. Namun perlu menjadi catatan bahwa apabila arbiter telah memberi kesempatan yang sama kepada

43 Thomas H. Webster dan Michael W. Bühler, Handbook of ICC Arbitration, Cet.1 London: Sweet & Maxwell, 2014, hal 30.

44 Thomas H. Webster dan Michael W. Bühler, Handbook of ICC Arbitration, Cet.1 London: Sweet & Maxwell, 2008 hal. 1vii.

Frans Hendra Winarta - PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA

�0

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

para pihak dan tetap tidak dapat dicapai kesepakatan, arbiter harus dapat memberikan arahan (direction) yang tegas agar proses arbitrase tetap dapat berjalan.

Tahap yang terakhir adalah tahap keempat, dimana pada tahap ini para pihak mendapatkan kembali kebebasan yang dimilikinya, karena majelis telah menjalankan tugasnya yaitu memberikan putusan arbitrase.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa UU Arbitrase di Indonesia telah mengadopsi prinsip utama dari arbitrase yaitu party autonomy dan UU Arbitrase telah sejalan dengan kaidah hukum arbitrase internasional.

Prinsip arbitrase berikutnya, yaitu Prinsip Pemisahan atau Separability Principle. Dahulu, klausula arbitrase yang ada di dalam suatu perjanjian pokok dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan perjanjian pokok. Oleh karena itu, batalnya suatu perjanjian pokok akan diikuti dengan batalnya klausula arbitrase. Sejak saat itu kewenangan dari majelis arbitrase untuk memeriksa perkara sering dihalangi oleh perjanjian pokok yang telah batal atau berakhir.

Dewasa ini, kaidah hukum arbitrase internasional mengenal suatu prinsip yang dikenal dengan prinsip pemisahan (separability principle), yang pada intinya menyatakan bahwa suatu klausula arbitrase berdiri sendiri dan memiliki nyawa yang terpisah dengan perjanjian pokok.45 Oleh karena itu, berdasarkan separability principle, batalnya suatu perjanjian pokok tidak mempengaruhi keabsahan dari suatu klausula arbitrase. Berkaitan dengan klausula arbitrase yang berdiri sendiri tersebut, Margaret L. Moses, mengungkapkan:

“Even though the arbitration clause is most often contained within the contract between the parties, under most law and rules it is nonetheless considered a separate agreement. It thus may continue to be valid, even if the main agreement – that is, the contract where the arbitration agreement is found – may be potentially invalid.”46

Klausula arbitrase tidak dapat disamakan dengan klausula lain di dalam perjanjian pokok. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase merupakan suatu kesepakatan yang telah dicapai para pihak untuk menyelesaikan permasalahan mereka melalui forum arbitrase, dan perjanjian arbitrase menghilangkan hak para pihak untuk 45 H. Priyatna Abdurrasyid, supra note 17, hal. �5.46 Margaret L. Moses, The Principles and Practice of International Commercial Arbitration, New York:

Cambridge University Press, 200�, hal. 1�. [“Margaret L. Moses”]

�1

menyelesaikan permasalahan melalui pengadilan negeri (no jurisdiction of the court).

UU Arbitrase di Indonesia telah menganut separability principle, yang mana hal tersebut telah dituangkan dalam Pasal 10 UU Arbitrase, yang menyatakan bahwa perjanjian arbitrase tidak akan menjadi batal dengan berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.47 Hal ini menandakan bahwa UU Arbitrase di Indonesia telah mengadopsi separability principle, dan memberikan kepastian hukum bahwa perjanjian arbitrase tetap sah walaupun perjanjian pokoknya batal atau berakhir.

Setelah pembahasan mengenai party autonomy principle dan separability principle, perkenankan saya untuk menguraikan prinsip arbitrase yang berikutnya yaitu Kompetenz-Kompetenz. Kompetenz-Kompetenz berasal dari bahasa Jerman yang berarti kewenangan (competence). Kompetenz-Kompetenz dapat diartikan sebagai prinsip yang memberikan kewenangan kepada majelis untuk menentukan kompetensinya sendiri. Oleh karena itu, keberatan dari salah satu pihak atas yurisdiksi dari majelis diajukan kepada majelis dan majelis sendiri lah yang menentukan.4� Terkait dengan Kompetenz-Kompetenz Gary B. Born mengungkapkan:

“The competence-competence doctrine provides, in general terms, that international arbitral tribunals have the power to consider and to decide disputes concerning their own jurisdiction. The doctrine is closely related to the allocation of competence to consider and decide jurisdictional disputes between arbitral tribunals and national courts.”49

47 UU Arbitrase, supra note 1, pasal 10:“Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini :

a. meninggalnya salah satu pihak;b. bangkrutnya salah satu pihak;c. novasi;d. insolvensi salah satu pihak;e. pewarisan;f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan

pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atauh. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.”

4� Margaret L. Moses, supra note 40, hal. ��: “The arbitrators are competent to determine their own competence, that is, they are empowered to decide their own jurisdiction to hear and determine the dispute before them.”

49 Gary B. Born, International Commercial Arbitration Vol. I, New York: Kluwer Law International, 2010, hal. �53.

Frans Hendra Winarta - PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Dalam menggunakan kewenangan yang diberikan oleh prinsip Kompetenz-Kompetenz, majelis dapat menentukan yurisdiksinya sendiri berdasarkan keabsa-han dari perjanjian arbitrase. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya apabila hukum yang mengatur adalah hukum Indonesia, maka penilaian keabsahan dari perjanjian arbitrase harus tunduk pada Pasal 1320 BW.

Walaupun UU Arbitrase di Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa pengadilan negeri tidak berwenang dan tidak boleh campur tangan atas sengketa para pihak yang telah terikat dalam suatu perjanjian arbitrase,50 namun, UU Arbitrase tidak mengatur secara khusus mengenai kewenangan yang dimiliki oleh majelis untuk menentukan yurisdiksinya sendiri. Dalam hal ini UNCITRAL Model Law telah selangkah lebih maju dari UU Arbitrase dengan mengatur prinsip Kompetenz-Kompetenz ini secara khusus. Pasal 16(1) UNCITRAL Model Law, secara tegas menyatakan sebagai berikut:

“The arbitral tribunal may rule on its own jurisdiction, including any objections with respect to the existence or validity of the arbitration agreement. For that purpose, an arbitration clause which forms part of a contract shall be treated as an agreement independent of the other terms of the contract. A decision by the arbitral tribunal that the contract is null and void shall not entail ipso jure the invalidity of the arbitration clause”.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa UU Arbitrase tidak mengatur secara tegas mengenai kewenangan majelis untuk menentukan yurisdiksinya sendiri. Namun, pada praktiknya para arbiter yang melaksanakan tugasnya berdasarkan Peraturan dan Prosedur BANI (“BANI Rules”) dapat melakukan hal tersebut. Hal ini dikarenakan, BANI Rules telah mengadopsi prinsip Kompetenz-Kompetenz yang dapat dilihat dalam Pasal 1�(1) BANI Rules yang menyatakan sebagai berikut:

50 UU Arbitrase, supra note 1, pasal 3 jo. pasal 11(2).Pasal 3 UU Arbitrase:“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”Pasal 11(2) UU Arbitrase:“Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak campur tangan di dalam suatu peneyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini”

��

“Majelis berhak menyatakan keberatan atas pernyataan bahwa ia tidak berwenang, termasuk keberatan yang berhubungan dengan adanya atau keabsahan perjanjian arbitrase jika terdapat alasan untuk itu.”

Tidak diaturnya prinsip kompetenz-kompetenz pada UU Arbitrase mengakibatkan banyak pihak dapat mengajukan keberatan atas kompetensi dari majelis ke pengadilan. Hal tersebut akan menghambat proses pemeriksaan arbitrase itu sendiri, walaupun para pihak sebenarnya mengetahui bahwa berdasarkan peraturan dari institusi arbitrase, seperti ICC Rules,51 BANI Rules52 atau SIAC Rules53 majelis arbitrase adalah pihak yang berwenang untuk menentukan yurisdiksinya sendiri.

Berdasarkan apa yang telah saya sampaikan, dapat disimpulkan bahwa UU Arbitrase dihadapkan pada tantangan untuk dapat memfasilitasi tuntutan dari para pelaku usaha, yaitu suatu sebagai suatu metode penyelesaian sengketa yang dapat diandalkan. Untuk mengakomodir kebutuhan tersebut UU Arbitrase perlu untuk dilakukan amandemen, yang mencakup memberikan kewenangan kepada arbiter untuk menentukan sendiri yurisdiksi yang dimilikinya. Selain dari pada itu UU Arbitrase pun perlu untuk diselaraskan dengan peraturan dari institusi-institusi arbitrase internasional, seperti peraturan mengenai arbiter darurat atau emergency arbitrator provision yang dapat memberi solusi cepat dalam keadaan darurat.

51 International Chamber of Commerce, Rules of Arbitration, 1 January 199�, art. 6(3):“If any party against which a claim has been made does not submit an Answer, or raises one or more pleas concerning the existence, validity or scope of the arbitration agreement or concerning whether all of the claims made in the arbitration may be determined together in a single arbitration, the arbitration shall proceed and any question of jurisdiction or of whether the claims may be determined together in that arbitration shall be decided directly by the arbitral tribunal, unless the Secretary General refers the matter to the Court for its decision pursuant to Article 6(4).”

52 Peraturan BANI, supra note �, pasal 1�(1) [“Peraturan BANI”]:“Majelis berhak menyatakan keberatan atas pernyataan bahwa ia tidak berwenang, termasuk keberatan yang berhubungan dengan adanya atau keabsahan perjanjian arbitrase jika terdapat alasan untuk itu.”

53 Singapore International Arbitration Centre, Arbitration Rules of the Singapore International Arbitration Centre, 3rd edition, 1 July 2007, art. 25(2):“The Tribunal shall have the power to rule on its own jurisdiction, including any objections with respect to the existence, termination or validity of the arbitration agreement. For that purpose, an arbitration agreement which forms part of a contract shall be treated as an agreement independent of the other terms of the contract. A decision by the Tribunal that the contract is null and void shall not entail ipso jure the invalidity of the arbitration agreement.”

Frans Hendra Winarta - PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Proses arbitrase darurat (emergency arbitration) adalah suatu mekanisme untuk mengakomodir kepentingan pihak yang membutuhkan keputusan yang sangat mendesak dan tidak dapat menunggu majelis arbitrase (tribunal) terbentuk. Suatu badan arbitrase akan menunjuk seorang arbiter darurat atas adanya permohonan arbitrase darurat dan arbiter darurat tersebut harus memberikan putusan sela dalam kurun waktu 15 (lima belas) hari sejak permohonan diterima oleh arbiter darurat tersebut. Dengan cara ini, kepentingan yang mendesak dari pihak tersebut dapat dilindungi. Kekhawatiran bahwa nantinya putusan arbitrase hanya akan menjadi sia-sia, dapat dihindari dengan adanya proses arbitrase darurat ini. Esensi proses arbitrase darurat itu adalah melindungi kepentingan yang mendesak sehingga kalau sampai itu tertunda sama saja artinya dengan ketidakadilan. Seperti ada adagium yang terkenal dalam hukum, yaitu: “justice delayed is justice denied”.

ICC Rules mengatur bahwa putusan yang diberikan oleh arbiter darurat adalah dalam bentuk perintah (order). Hal ini menimbulkan potensi masalah dalam hal pelaksanaan order tersebut karena UU Arbitrase tidak mengakui order sebagai putusan yang final dan mengikat (final and binding). Terlebih apabila order tersebut diberikan oleh arbiter darurat di luar wilayah hukum Indonesia. Akibatnya, pelaksanaan dari order tersebut akan mengalami hambatan.

Pada dasarnya setiap pihak tidak menginginkan adanya sengketa, namun terkadang tidak dapat dihindari bahwa perbedaan sistem hukum, kebiasaan dan budaya dari para pelaku usaha sering kali menimbulkan suatu sengketa bisnis. Oleh karena itu, UU Arbitrase Nasional kita, sebagai undang-undang yang mengatur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa perlu untuk disesuaikan dengan prinsip-prinsip arbitrase internasional, hal ini untuk menjamin kepastian hukum di Indonesia dan memenuhi tuntutan dunia bisnis yang dinamis. Selain itu, apabila Indonesia mampu menjadi negara yang lebih bersahabat terhadap arbitrase (arbitration friendly) akan mendorong iklim investasi yang kondusif di Indonesia, hal ini dikarenakan, pada saat ini arbitrase telah menjadi pilihan utama bagi para pelaku usaha baik asing maupun domestik untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan UU Arbitrase Nasional dan perubahan sikap terhadap arbitrase sangat diperlukan. Apabila kita mengabaikan hal tersebut maka kita tidak dapat memenuhi tuntutan para pelaku usaha di kemudian hari, untuk menutup pidato guru besar

�5

ini perkenankan saya untuk mengutip kata-kata dari John F. Kennedy yang mengungkapkan:

“Change is the law of life. And those who look only to the past or present are certain to miss the future.”

DAFTAR PUSTAKAPeraturan Perundang-Undangan Reglement of de RechtsvorderingKitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian SengketaUndang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Arbitration Act 1979

Peraturan ArbitraseIBA Guidelines on Conflict of Interest in International ArbitrationPeraturan dan Prosedur Badan Arbitrase Nasional IndonesiaHong Kong International Arbitration Centre RulesInternational Chamber of Commerce Rules Singapore International Arbitration Centre Rules UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 19�5UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 2006United Nations Commission of International Trade Law Arbitration Rules 1976United Nations Commission of International Trade Law Arbitration Rules 2010

BukuAbdurrasyid, H. Priyatna, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa Suatu

Pengantar, Jakarta: PT Fikahati Aneska – BANI, 2002.

Born, Gary B. International Arbitration Cases And Materials, Cet.1, Netherlands: Kluwer Law International BV, 2011.

Born, Gary B. International Commercial Arbitration Vol. II, Cet. 1, New York: Wolters Kluwer Legal, New York, 2010.

Born, Gary B. International Commercial Arbitration Vol. I, Cet. 1, New York: Wolters Kluwer Legal, New York, 2009.

Frans Hendra Winarta - PRINSIP PROSES DAN PRAKTIK ARBITRASE DI INDONESIA

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Caron, David D. The UNCITRAL Arbitration Rules: A Commentary, Cet 1, Oxford: Oxford University Press, Oxford, 2006.

Gautama, Sudargo. Undang Undang Arbitrase Baru 1999, Cet 1, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999.

Grenig, Jay E dan Scanza, Rocco M. Case Preparation and Presentation: A guide for Arbitration Advocates and Arbitrators, New York: American Arbitration Association, 2013.

Hwang, Michael. Selected Essay on International Arbitration, Singapore: Academy Publishing, 2013.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2002.Orth, John V., Due Process of Law, United State: University Press of Kansas,

2003.Redfern and Hunter, with Blackaby and Partasides, Law and Practice of

International Commercial Arbitration, Cet. 4, London: Sweet & Maxwell, 2004.

Sayed, Abdulhay. Corruption in International Trade and Commercial Arbitration, Netherland: Kluwer Law International, 2004.

Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Cet.1, Jakarta: PT Gramedia, 2006.

Webster, Thomas H. dan Bühler, Michael W. Handbook of ICC Arbitration, Cet.1 London: Sweet & Maxwell, 2014.

Webster, Thomas H. dan Bühler, Michael W. Handbook of ICC Arbitration, Cet.1 London: Sweet & Maxwell, London, 2008.

��

PERANAN ARBITER, KUASA HUKUM, PENGADILAN DAN PEMERINTAH DALAM MENERAPKAN PRINSIP ORIENTASI BISNIS YANG BERKELANJUTAN

Ricco Akbar

AbstractThe Role of Arbiter, Attorney, Court and Government in Implementing a

Sustainable Business (orientation)

Dispute resolution through arbitration instituted in Indonesia

created the role of arbiter, attorney, Court and Government

as an integrated whole to achieve a completion of a business

dispute. Arbitration Act regulates the requirements for

anyone who wants to act as arbiter. Head of Clan, relatives or

fellow merchants most likely be the arbitrator. However, non-

formal requirements need to be met, among others are the

expertise to simplify the dispute, focusing on the voluntary agreement on the

implementation of the arbitration decision. Attorney who masters the peaceful

settlement of business disputes will avoid confrontational legal arguments, and

does not have litigator mind-set who requested verdict based on an sich civil law

material, but peace based prioritize deliberation. The role of court in Indonesian

arbitration law institutions is “two sides of a coin”, because any arbitration

award still requires a court of competent jurisdiction, namely, among others to

execute the arbitration decision. The active role of government, especially the

Ministry of Justice, Ministry of Trade and the Indonesian Chamber of Commerce

and Industry (KADIN), in order to actualize the “pressure by the business

community” is highly needed, given the orientation and conduct of business

dispute resolution in Indonesia today mostly refers to the individualistic nature

of the Western law capitalist system. To establish the necessary formal civil law

that can accomodate the Indonesian business community dynamics, the system

of customary law cannot walk alone asboth the western legal system and the

legal system of Islam are also an integrated part of the business community.

3

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

In the era of Chief of Justice Professor Bagir Manan, Article 130 HIR / 154 RBg

more empowered with issuing Perma No. 1 Year 2008 on Mediation Procedure

of the Court, even though the western legal system is still in effect on litigation

Indonesian legal institutions.

AbstrakPenyelesaian sengketa melalui arbitrase terlembaga di Indonesia menciptakan peranan Arbiter, Kuasa Hukum, Pengadilan serta Pemerintah sebagai kesatuan yang terintegrasi bagi tercapainya suatu penyelesain sengketa bisnis. Undang-undang Arbitrase mengatur persyaratan bagi siapapun yang ingin berperan sebagai arbiter.Ketua adat, kerabat atau sesama saudagar berpeluang dieksposisikan menjadi arbiter. Namun, persyaratan non formal perlu dipenuhi, antara lain keahlian menyederhanakan sengketa, fokus terhadap tercapainya kesepakatan suka rela pada pelaksanaan putusan arbitrase. Kuasa hukum yang menguasai penyelesaian sengketa bisnis secara damaiakan menghindari argumentasi hukum yang bersifat konfrontatif, tidak ber mind set litigasi layaknya litigator yang meminta putusan hakim berdasarkan hukum perdata materil an sich, tetapi berbasis perdamaian mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Peranan pengadilan merupakan “dua sisi mata uang” dalam lembaga hukum arbitrase Indonesia, karena suatu putusan arbitrase masih memerlukan pengadilan yang berwenang, yakni antara lain melakukan eksekusi putusan arbitrase. Peranan pemerintah khususnya Departemen Hukum dan HAM, Departemen Perdagangan serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), dalam rangka mewujudkan “pressure by business community” sudah sangat mendesak, mengingat orientasi dan perilaku penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia sekarang ini merujuk pada sifat individualistis kapitalistik sistem hukum barat. Untuk membentuk hukum perdata formal yang dibutuhkan dan sesuai dengan dinamika masyarakat bisnis Indonesia, maka sistem hukum adat tidak dapat berjalan sendirian, karena sistem hukum barat dan sistem hukum Islam juga merupakan bagian dari kehidupan masyarakat bisnis Indonesia. Pada era Hakim Agung Profesor Bagir Manan, Pasal 130 HIR / 154 RBg lebih diberdayakan dengan menerbitkan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, walaupun sistem hukum barat masih tetap berlaku pada lembaga hukum litigasi Indonesia.

Kata Kunci: Undang-Undang Arbitrase, Lembaga hukum arbitrase Indonesia, pressure by business community

��

Ricco Akbar - PERANAN ARBITER, KUASA HUKUM, PENGADILAN, DAN PEMERINTAH

1. Peran Arbiter

Untuk menjadi seorang arbiter di Indonesia, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:1

- Cakap melakukan tindakan hukum, artinya orang tersebut sudah dewasa menurut undang-undang, tidak buta huruf, tidak di bawah pengampuan atau perwalian serta sehat jiwanya ;

- Usia tidak kurang dari 35 tahun ;- Tidak berhubungan keluarga dengan salah satu pihak sampai dengan

hubungan darah derajat kedua ;- Tidak mempunyai kepentingan apapun terhadap putusan arbitrase ;- Berpengalaman di bidangnya secaraaktif minimal selama 15 tahun;- Tidak menjabat sebagai Hakim, Jaksa, Panitera dan pejabat peradilan

lainnya, supaya terjamin adanya objektifitas dalam pemeriksaan dan pemberian putusan arbitrase. Terhadap persyaratan untuk menjadi arbiter tersebut diatas, maka

pemikiran pengutamaan pemberdayaan terhadap potensi para tetua adat dan cendikiawan adat, yang oleh karena hukum adat itu sendiri mereka berfungsi sebagai perangkat masyarakat adat dan menjadi subjek dari sarana penyelesaian sengketa di pedesaan di Indonesia, merupakan pemikiran yang pelaksanaannya sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Menurut Penulis, para tetua adat yang biasa menyelesaikan sengketa bisnis pada lembaga Karapatan Adat Nagari di Sumatera Barat misalnya, sudah sepatutnya dieksposisikan sebagai arbiter-arbiter berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999.

Di ranah Minang sudah banyak para petinggi adat sekarang ini yang berpendidikan strata 1 dari lulusan-lulusan Universitas Negeri dan Swasta yang ke-mudian mendedikasikan dirinya menjadi bagian dari Karapatan Adat Nagari. Nancy Tanner yang mengadakan penulisan antropologis di Sumatera Barat pada tahun 1963 sampai 1966 menyatakan bahwa kebanyakan perselisihan di Minangkabau diselesaikan di luar pengadilan oleh pihak-pihak yang bersangkutan atau bantuan tak resmi dari seorang sahabat, kerabat ataupun kepala kampung.2 Semua perselisihan dapat diselesaikan oleh sejumlah persidangan yang bukan bertipe pengadilan, seperti umpamanya diadakan disurau (Musala), sekolah

1 Pasal 12 Undang-undang No. 30 Tahun 1999.2 Dalam: H. Suardi Mahyuddin, Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi

Mahkamah Agung, Penerbit PT. Candi Cipta Paramuda, 2009, hlm. 222.

�0

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

dan kadangkala diadakan di kedai kopi.3 Perkara-perkara yang diselesaikan di luar persidangan pengadilan meliputi

perkara-perkara besar tentang masalah manusia menurut cara Minangkabau, misalnya perkara mengenai tanah pusaka, mengenai pewarisan gelar kerabat matrilinial, tentang gadai, kewarisan janda karena perceraian dan lain sebagainya.4 Sementara itu hasil penulisan Keebet von Benda Beckman pada medio 70’ (1974-1975) diketahui bahwa masyarakat Sumatera Barat sudah mengenal “mafia peradilan”.Keebet menyatakan bahwa masyarakat Sumatera Barat tidak begitu mengenal cara kerja pengadilan.5 Mereka mengeluhkan bahwa para hakim cenderung berpihak pada penawaran tertinggi, dan oleh karena itu mereka percaya bahwa berperkara di pengadilan seperti layaknya bermain judi. Sehingga, sarana penyelesaian perkara melalui pengadilan digunakan apabila mereka merasa lebih diuntungkan daripada di peradilan nagari (peradilan yang diadakan oleh Karapatan Adat Nagari).6

Dari perolehan fakta lapangan tersebut, maka selain seseorang ahli dibidang tertentu yang mampu menjadi juru damai yang memutus, keberadaan tetua adat ataupun setiap individu yang mempunyai kewenangan struktural di dalam masyarakat hukum adat tetapi ia mampu dan mempunyai pengaruh terhadap dilaksanakannya putusan arbitrase secara sukarela, berdasarkan prinsip orientasi bisnis yang berkelanjutan sesuai dengan persyaratan menurut undang-undang arbitrase, maka orang tersebut perlu mendapatkan tempat tersendiri di dalam masyarakat bisnis sebagai subjek hukum yang dipercaya mampu untuk menyelesaikan suatu sengketa bisnis, selaku arbiter.

Di Indonesia, syarat formal untuk menjadi arbiter tidaklah menjamin bahwa arbiter yang bersangkutan dapat dipercaya oleh para pihak dalam menangani sengketa bisnis. Seorang arbiter tidak hanya dituntut untuk memenuhi syarat menurut Pasal 12 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, akan tetapi arbiter harus pula memenuhi syarat-syarat non formal sebagai berikut :1. Mempunyai kharisma dihadapan para pihak karena mempunyai reputasi

tidak tercela ;

3 Dalam : H. Suardi Mahyuddin, Loc.cit.4 Dalam : H. Suardi Mahyuddin, Op.cit. hlm. 2235 Keebet von Benda-Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Peradilan Nagari dan Pengadilan

Negeri di Minangkabau, alih bahasa: Dr. Indira Simbolon, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 124

6 Keebet von Benda Beckman, Loc.cit.

�1

2. Dipercaya oleh para pihak yang bersengketa karena arbiter yang bersangkutan mempunyai tingkat kesabaran dan pengetahuan (know how) yang tinggi ;

3. Menguasai dan memahami secara detail sengketa para pihak ;4. Menguasai dan memahami karakter para pihak ;5. Mampu menjaga netralitas ;6. Sejak dimulainya pemeriksaan sengketa hingga putusan arbitrase, arbiter

mampu secara aktif melakukan pemeriksaan secara damai (amicable compositeur), menciptakan dan menjaga suasana kompromistis, kooperatif dan tidak konfrontatif, sebagai penerapan asas rukun;

7. Mampu menafikkan pola pikir para pihak yang condong kepada kaidah hukum perdata materil sistem hukum barat an sich ;

�. Mampu menyederhanakan sengketa dan fokus terhadap tercapainya kesepakatan sukarela dalam pelaksanaan amar putusan arbitrase.Peranan arbiter akan lebih objektif apabila arbiter bukan seorang mantan

hakim. Hal ini sangat penting untuk dikemukakan, karena arbiter yang berlatar belakang mantan hakim akan sulit terlepas dari pola pikir (mind set) layaknya seorang hakim yang memeriksa perkara perdata dengan suasana konfrontatif dan pemeriksaan serta putusannya hanya menerapkan kaidah hukum perdata materil belaka. Selain itu, suasana ruangan sidang sebaiknya tidak seperti di pengadilan yang kaku membentuk huruf “U” mengakibatkan atmosfir konfrontatif. Suasana sidang arbitrase yang ideal adalah dengan menggunakan meja bulat dengan posisi duduk para pihak berselang seling dengan majelis arbiter yang memeriksa sengketanya. Suasana sidang tersebut menggambarkan musyawarah untuk mufakat yang dilakukan semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa bersifat kooperatif, yaitu penyelesaian sengketa bisnis yang berorientasi kepada bisnis yang berkelanjutan.Meja bulat mewakili suasana kesetaraan dimuka hukum “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” yang dikenal di dalam kehidupan masyarakat adat Indonesia dalam menyelesaikan suatu sengketa.

Penegakan prinsip orientasi bisnis yang berkelanjutan tidak hanya di pundak para arbiter saja, tetapi para kuasa hukumpun bertanggung jawab juga terhadap tercipta dan tercapainya suatu penyelesaian sengketa bisnis secara damai dalam suasana batin kerukunan berbisnis.

Ricco Akbar - PERANAN ARBITER, KUASA HUKUM, PENGADILAN, DAN PEMERINTAH

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

2. Peran Kuasa HukumBagi sebagian kuasa hukum yang hanya menguasai penyelesaian perkara

melalui litigasi (Barrister Advocate)7 tentu akan memberikan nasihat kepada kliennya bahwa penyelesaian perkara melalui pengadilan adalah jalan terbaik. Akan tetapi, bagi kuasa hukum yang menguasai penyelenggaraan penyelesaian sengketa bisnis secara cepat dan memahami putusan yang berorientasi pada bisnis yang berkelanjutan (sustainable business oriented), maka kuasa hukum tersebut akan memberikan nasihat kepada kliennya bahwa sarana penyelesaian sengketa bisnis lebih tepat diselesaikan melalui arbitrase terlembaga.

Seorang kuasa hukum yang menguasai penyelesaian sengketa bisnis secara damai tentu akan menghindari argumentasi hukum yang bersifat konfrontatif. Apabila di dalam klausula penyelesaian sengketa telah diatur bahwa arbitrase yang memutus sengketa adalah berdasarkan kaidah hukum perdata materil, maka langkah yang paling tepat yang harus diambil oleh seorang kuasa hukum adalah menerapkan Pasal 133� ayat (3) KUHPer, Pasal 1339 KUHPer, serta Pasal 1347 KUHPer,� dan secara simultan melakukan upaya-upaya pendekatan yang bertujuan menutup “jurang” perbedaan pendapat para pihak. Misalnya saja mengadakan negosiasi langsung walaupun sidang arbitrase sedang berproses. Negosiasi langsung tersebut tidak lain adalah musyawarah untuk mufakat yang dengan sendirinya bermaksud agar apapun putusannya nanti, baik didasarkan atas kesepakatan perdamaian para pihak, ataupun berbadasarkan putusan arbiter, para pihak akan melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.

Langkah ini mirip dengan kesepakatan para pihak dimuka Komisi Chotei, di Jepang.9 Di Indonesia penerapan kesepakatan sebagaimana Chotei dimasukkan di dalam Perma No. 1 Tahun 200� tentang Mediasi. Walaupun kesepakatan Chotei tidak berkaitan dengan pengadilan, namun kesepakatan Chotei mempunyai 7 Ari Yusuf Amir, SH., MH., Strategi Bisnis Jasa Advokat, Penerbit NAVILA IDEA, Yogyakarta, 2008, hlm. 17,

menyatakan : Di negeri Belanda seorang lawyer yang telah resmi menjalankan profesinya mendapat gelar meester in de rechten (Mr). Di Amerika Serikat yang terjun ke dunia pengacaraan disebut bar. Lain lagi di Inggris. Di negeri King Arthur ini dikenal dua istilah, barrister dan solicitor. Barrister dikenal dengan jubah dan wig-nya yang berwarna perak. Mereka merupakan ahli hukum yang mempunyai hak bicara di ruang pengadilan. Sedangkan solicitor merupakan ahli hukum yang menangani perkara-perkara khusus non litigasi. Bila masalah mereka tak terselesaikan maka mereka akan menyerahkannya pada barrister untuk diproses di pengadilan.

� Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Penerbit FH UII PRESS, Yogyakarta, 2007,hlm. 191-182.

9 Yoshiro Kusano, Wakai, Penerbit Grafindo Khasanah Ilmu, Jakarta, 2008, hlm. 10, menyatakan antara lain : Chotei adalah kesepakatan antara para pihak, dalam perkara Chotei tertentu yang berisi penyelesaian sengketa dimuka Komisi Chotei.”

��

kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, dan secara administratif berita acara Chotei dibuat oleh panitera serta distempel oleh hakim.10

Terjadinya kesepakatan para pihak tidak melalui pengadilan, melainkan melalui Komisi Chotei. Kesepakatan para pihak yang terjadi dimuka hakim disebut Wakai, yaitu kesepakatan para pihak yang bersengketa dalam gugatan tertentu yang berisi penyelesaian sengketa dimuka hakim yang menangani kasus litigasinya.11 Selanjutnya Yoshiro Kusano yang mantan hakim Pengadilan Tinggi Hiroshima tersebut menyatakan bahwa Indonesia dapat memetik pelajaran dari penerapan jalan damai di Jepang, baik dengan mengembangkan court-connected mediation maupun melalui alternatif dispute resolution lainnya.12 Bukan saja karena di Indonesia kini sudah ada perangkat hukumnya, namun juga secara budaya masyarakat Indonesia memiliki budaya musyawarah.13

3. Peran Hakim Pengadilan Mediasi di pengadilan di Indonesia adalah atas perintah hakim, yang

beracaranya tidak termasuk bagian dari pemeriksaan perkara di pengadilan.Jika klausula para pihak menetapkan bahwa putusan arbitrase adalah

berdasarkan ex aequo et bono, maka hal ini bermakna bahwa kuasa hukum dengan iktikad baik wajib melaksanakan penyelesaian sengketa secara :1. Kooperatif-kompromistik, yaitu kuasa hukum sepakat bekerja sama

menyelesaikan sengketa bisnis dengan jalan damai ;2. Non konfrontatif, yaitu tidak bersifat litigious14 ;3. Proporsional, yakni menggerakan “lingkup sengketa” yang ada kearah

“zero dispute”;4. Aktif mendorong para pihak kearah persamaan kesepemahaman, dan

sebaliknya menafikan dalil-dalil yang bersifat argumentatif ;5. Terbuka, yakni dalam hubungan menjalankan kewenangan antara pemberi

kuasa dengan kuasa hukum sebagai penerima kuasa, dan antara kuasa hukum dengan pihak yang bersengketa. Umpamanya saja tentang fakta keadaan cash flow perusahaan yang harus disampaikan oleh kuasa hukum

10 Yoshiro Kusano, Loc.cit.11 Yoshiro Kusano, Loc.cit.12 Yoshiro Kusano, Op. cit., hlm. 11.13 Yoshiro Kusano, Loc.cit.14 William P. Statsky, West’s, Legal Thesaurus / Dictionary, A Resource for the Writer and the Computer

Researcher, Op.cit., hlm.463.

Ricco Akbar - PERANAN ARBITER, KUASA HUKUM, PENGADILAN, DAN PEMERINTAH

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

dalam sengketa ingkar janji ;6. Berinisiatif memberikan dan membahas usulan-usulan alternatif yang

dianggap paling menguntungkan ;Atas dasar paradigma penyelesaian sengketa tersebut diatas, pemohon

dan termohon secara tidak langsung menafikan permohonan putusan sela/ provisionil (interim measure/ interim injunction) seperti sita jaminan (conservatoir beslag) atau sita barang bergerak milik pemohon (revindicatoir beslag) terhadap objek sengketa.15

Lembaga hukum gugat balik (reclaim), tindakan sementara (interim measure), teguran (sommeren), permohonan pelaksanaan putusan arbitrase (eksekusi) serta upaya hukum banding maupun pembatalan putusan arbitrase adalah bagian dari sarana penyelesaian sengketa yang bersifat konfrontatif. Para pencari keadilan dan Barrister dapat berasumsi bahwa menyelesaikan suatu sengketa bisnis melalui arbitrase dirasakan tidak berbeda dengan berpekara di pengadilan negeri apabila dasar pola pikir mereka masih berparadigma pada sistem hukum barat yang individualistis kapitalistik. Dengan perkataan lain, ketika para pihak mengadakan perjanjian arbitrase, mereka memasukkan aturan pemeriksaan dan putusan arbitrase berdasarkan kaidah hukum perdata materil an sich. Maka secara tidak langsung para pihak telah menafikan hubungan bisnis yang berkelanjutan (refuse to sustainable business relationship). Artinya, keinginan yang hendak dicapai para pihak berdasarkan sistem hukum barat tersebut semata-mata hanya menyelamatkan kapital dan keuntungan bisnis jangka pendek, dan sengketanya diputus dalam waktu singkat.

Para pihak pada konteks ini tidak bertujuan menjaga kerukunan dalam bisnis melalui upaya musyawarah untuk mufakat. Pilihan penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase yang berdasarkan kaidah hukum perdata materil sebagaimana dilakukan oleh hakim di peradilan berakibat tidak menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa. Sebab, selain hanya mencari kemenangan secara cepat, masing-masing pihak sudah mempersiapkan diri dengan langkah hukum selanjutnya setelah sengketa diputus oleh (majelis) arbiter, sehingga hubungan bisnis kedua belah pihak sudah tidak dapat diselamatkan. Paling tidak, salah 15 Retowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,

Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1997,hlm.10�, dalam konteks litigasi menyatakan antara lain ��hlm.10�, dalam konteks litigasi menyatakan antara lain �� “…bahwa untuk dapat diletakkan sita revindicatoir itu adalah (a) Harus berupa barang bergerak; (b) Barang bergerak tersebut adalah merupakan barang milik penggugat yang berada di tangan tergugat; (c) Permintaannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri; (d) Permintaan mana dapat diajukan secara lisan atau tertulis; (e) Barang tersebut harus diterangkan dengan seksama, terperinci.

�5

satu pihak dipastikan tidak akan melanjutkan hubungan hukum bisnis kembali, bahkan memutuskan hubungan silturahmi antar pribadi manusia. Maka, pemilihan kuasa hukum menjadi sangat penting bagi para pencari keadilan, apalagi dalam kondisi carut marutnya penegakan hukum di Indonesia, seorang pelaku bisnis harus jeli dalam memilih kuasa hukum, khususnya solicitor yang akan menangani sengketa bisnis.

Peranan pengadilan merupakan “dua sisi mata uang” dalam lembaga hukum arbitrase Indonesia, karena suatu putusan arbitrase masih memerlukan pengadilan yang berwenang, yakni antara lain melakukan pelaksanaan putusan (eksekusi) putusan arbitrase, berwenang memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase, menerima pendaftaran putusan arbitrase, ataupun peranan Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama dalam hal kesepakatan pemilihan arbiter oleh para pihak.

Kejelian ketua pengadilan dalam hal masuknya pendaftaran putusan arbitrase sangatlah dibutuhkan dalam rangka mengantisipasi putusan-putusan arbitrase dimasa yang akan datang, supaya tidak terulang lagi kesalahan pendaftaran putusan arbitrase.16 Pengadilan yang melayani permohonan pendaftaran putusan arbitrase wajib hukumnya untuk pro aktif meneliti apakah permohoan pendaftaran dari arbiter atau kuasanya tersebut sudah memenuhi peraturan perundang-undangan arbitrase ataukah belum, dalam hal ini apakah pendaftaran sudah memenuhi antara lain Pasal 1 butir 4 Undang-undang No. 30 Tahun 1999.17 Sehingga apabila permohonan pendaftaran putusan arbitrase tidak memenuhi persyaratan hukum formal tersebut karena terjadi kesalahan pendaftaran di pengadilan negeri yang tidak berwenang untuk didaftarkannya putusan arbitrase, maka ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan wajib menolak permohonan pendaftaran termaksud, tetapi sekaligus merujukannya kepada pengadilan yang berwenang untuk menerima pendaftaran putusan arbitrase tersebut.

Kewenangan mengadili absolut arbitrase telah secara imperatif diatur di dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-undang No. 30 Tahun 1999. Sudah banyak yuris-prudensi tetap Mahkamah Agung yang mendahului kedua pasal tersebut pada saat masih berlakunya Rv, sehingga sekalipun suatu gugatan perdata yang

16 Vide permohonan PT. Sanggar Mustika Indah atas pendaftaran putusan arbitrase BANI No.5/X-10/ARB/ BANI/ 99 tanggal 27 Oktober 1999, Op.cit., hlm198-202.

17 Pasal 1 butir � Undang-undang No. 30 Tahun 1999, menyatakan �� Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon.

Ricco Akbar - PERANAN ARBITER, KUASA HUKUM, PENGADILAN, DAN PEMERINTAH

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

diajukan kemuka pengadilan didasarkan atas dalil suatu perbuatan melawan hukum tetapi para pihak menyebutkan dan mengakui adanya klausula arbitrase dalam perjanjian pada konteks perkara termaksud, maka baik hakim yang memeriksa perkaranya di Peradilan Umum ataupun hakim Peradilan Agama yang memeriksa perkara bisnis syariah wajib menolak gugatan perdata yang seperti ini karena kewenangan mutlak arbitrase (absolute competentie voor arbitrage).1�

Di sisi lain, terhadap para pihak yang memasukkan klausula arbitrase berdasarkan pemeriksaan kaidah hukum perdata materil di dalam perjanjian bisnis dapat menggunakan putusan arbitrase sebagai dalil yang sah menurut hukum, dan bukti putusan arbitrase tersebut wajib diterima oleh hakim Pengadilan Niaga. Artinya, putusan arbitrase sudah diterima sebagai sarana atau bukti dari suatu permohonan pailit yang membuktikan adanya hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, di pengadilan Niaga.

Akulturasi sistem hukum dalam lembaga hukum arbitrase yang merupakan ius contituendum di bidang arbitrase, yaitu lembaga hukum arbitrase Indonesia yang menerapkan prinsip orientasi bisnis yang berkelanjutan. Dasar pemikiran dari prinsip ini adalah diterapkannya sanksi sosial masyarakat bisnis, yaitu pemberian sanksi tidak tertulis kepada pihak yang dikenakan hukuman oleh putusan arbitrase tetapi ia tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela. Secara preventif sanksi ini mencegah pelaku bisnis yang berniat tidak melaksanakan putusan arbitrase atau melaksanakan putusan arbitrase setelah adanya eksekusi. Bagi masyarakat bisnis, pelaksanaan perjanjian merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar, dan sebaliknya pelaku bisnis yang berikitikad buruk akan tersingkirkan dengan sendirinya jika nama baiknya jatuh karena sudah tidak dapat dipercaya.

Tekanan (pressure) tidak langsung yang bersifat universal, yaitu tuntutan kesusilaan dan keadilan akan dirasakan oleh pelaku bisnis tersebut, sehingga putusan arbitrase dilaksanakan secara sukarela. Kredibilitas dari pihak yang bersangkutan akan diuji disini, apakah sebagai subjek hukum ia masih dapat berkiprah di dunia bisnis, ataukah akan ditinggalkan oleh partner bisnisnya.

Oleh karena itulah, maka peranan pemerintah khususnya Departemen Hukum dan HAM, Departemen Perdagangan serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), dalam rangka mewujudkan “pressure by business 1� Vide putusan Mahkamah Agung RI No. 1155 K/Pdt/1997 tanggal 26 Juni 2000Varia Peradilan, Majalah

Hukum Tahun XVI No.191, Ibid.

��

community” tersebut sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi, mengingat orientasi dan perilaku penyelesaian sengketa bisnis (orientation and behaviour of business dispute settlement) di Indonesia merujuk kepada sifat individualistis kepitalistik sistem hukum barat. Peranan pemerintah termaksud adalah melakukan langkah-langkah konkrit, antara lain mengadakan bank data yang mencatat “track record” pelaku bisnis yang dihukum melaksanakan kewajiban putusan arbitrase.

“Track record” tersebut memuat juga “daftar hitam (black list)” para pelaku bisnis yang termasuk sebagai pihak yang tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela.Bank data ini dapat diakses melalui dunia maya (internet), berisi tentang putusan-putusan arbitrase dan pelaksanaanya serta direkam pula oleh pengadilan sebagai putusan-putusan arbitrase. Sehingga pelaksanaan suatu putusan arbitrase akan menjadi tolok ukur dari masyarakat bisnis atau pihak ketiga, apakah pelaku bisnis yang dihukum melaksanakan putusan arbitrase tersebut, dapat dipercaya (bona fides) ataukah tidak.

C. Musyawarah Untuk Mufakat Sebagai Prinsip Pemeriksaan Sengketa Bisnis Arbitrase Indonesia. Prinsip ex aequo et bono yang diterapkan pada suatu putusan penyelesaian

sengketa bisnis melalui arbitrase adalah prinsip hukum yang bersifat universal. Prinsip hukum yang sering dimasukkan ke dalam perjanjian tersebut telah menjadi prinsip utama dalam penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia karena didalamnya memiliki unsur asas kepatutan dan asas keadilan yang telah ada sejak masyarakat kawasan Nusantara mengadakan perdagangan antar pulau, antar kawasan dan antar benua (ASEAN lex mercatoria).

Dalam rangka pembangunan hukum perdata formal Indonesia kemasa yang akan datang, kiranya dapat dipahami pendapat dari Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan bahwa Indonesia perlu memelihara dan mengembangkan asas-asas dan konsep–konsep hukum yang secara umum dianut umat manusia atau asas hukum yang universal yang berasal dari hukum Romawi.19Beliau memberikan pula contoh negara-negara yang tidak dijajah tetapi menggunakan hukum perdata Eropa Kontinental.20 Namun demikian, menurut hemat Penulis, 19 Mochtar Op.cit.hlm. 183-184 20 Mocktar Loc.cit.: Bangsa Turki di Timur Tengah yang punya sejarah gemilang dan negara di Asia Timur

yang tidak pernah dijajah seperti Thailand dan jepang tidak segan-segan melakukan modernisasi hukum perdata mereka dengan menjadikan terjemahan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Swiss dan jerman menjadi kitab undang-undang hukum perdata mereka. Sebagian besar negara di dunia,

Ricco Akbar - PERANAN ARBITER, KUASA HUKUM, PENGADILAN, DAN PEMERINTAH

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

dalam konteks pengembangan hukum perdata formal atau hukum penyelesaian sengketa perdata Indonesia, khususnya di bidang pembangunan lembaga hukum arbitrase, sebagian besar sistem hukum barat sudah tidak dapat diterapkan di Indonesia karena tidak cocok dengan kehidupan kemasyarakatan orang Indonesia yang bersifat gotong royong menjaga kerukunan kehidupan dalam kesehariannya. Sifat manusia Indonesia yang kompromistis dalam menyelesaikan sengketa, seperti pepatah orang Minangkabau “bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat”21 sangat bertolak belakang dengan hukum perdata formal sistem hukum barat yang bersifat konfrontatif memecah belah, individualistis kapitalistik, dan berpotensi memutus tali silaturahmi antar manusia. Herlin Budiono menyatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki perasaan dan pola pikir tentang hukum yang berbeda dari bangsa-bangsa lain.22 Penerimaan argumen ini membawa kita pada langkah berikutnya, yakni memilih hukum adat sebagai landasan asas untuk mengembangkan tertib hukum nasional khas Indonesia.23

Pernyataan Herlin Budiono tersebut diatas tentu dimaksudkan agar hukum adat menjadi panglima dalam pembangunan hukum Indonesia. Namun menurut hemat Penulis, pola pikir ideal Herlin Budiono itu dirasakan belum mewakili pemikiran terhadap desakan pelaksanaan terwujudnya akulturasi sistem hukum, yaitu proses percampuran sistem hukum antara sistem hukum adat dengan sistem hukum barat dan sistem hukum Islam. Dalam konteks arbitrase Indonesia, penyelesaian sengketa bisnis tidak dapat dipisahkan dengan musyawarah untuk mufakat, kecuali para pihak menentukan lain.

Untuk membentuk hukum perdata formal yang dibutuhkan dan sesuai dengan dinamika masyarakat bisnis Indonesia, maka sistem hukum adat tidak dapat berjalan sendirian, karena sistem hukum barat dan sistem hukum Islam juga merupakan bagian dari kehidupan masyarakat bisnis Indonesia.

Pola pikir penyelesaian sengketa bisnis yang berasal dari sistem hukum barat Belanda dan sudah diterapkan sejak abad ke 19, hingga hari ini masih berlaku positif di Peradilan Umum dan Peradilan Agama melalui HIR dan RBg. Begitu juga dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

kitab undang-undang hukum pidananya didasarkan atas contoh-contoh, atau model Kitab Undang-undang Hukum Pidana negara di dunia barat.

21 Vide Hilman Hadikusuma, Op.cit., hlm. 60-71.22 Herlin Budiono, Op.cit.hlm. 236.23 Herlin Budiono, Loc..cit.

��

Penyelesaian Sengketa yang mengatur posisi para pihak secara konfrontatif. Lembaga hukum gugat balik (rekonventie) adalah contoh bagaimana pembuat undang-undang memasukkan pola pikir penyelesaian sengketa bisnis sistem hukum barat yang bersifat konfrontatif.

Dalam rangka perubahan lembaga hukum arbitrase Indonesia ke arah arbitrase nasional Indonesia, maka Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa No. 30 Tahun 1999 yang nyata-nyata berbasiskan sistem hukum barat sudah saatnya dikembalikan kepada khitahnya yaitu undang-undang arbitrase yang merujuk kepada prinsip orientasi bisnis yang berkelanjutan, yakni arbitrase yang berkiblat pada prinsip penyelesaian sengketa yang menganut sistem musyawarah untuk mufakat. Artinya, baik para pihak yang bersengketa, para kuasa hukum maupun (majelis) arbiter yang memeriksa dan memutus sengketa dan seluruh pihak yang terkait dengan putusan arbitrase termasuk pengadilan negeri wajib berpihak dan menerapkan kerukunan para pihak serta menjaga kerukunan komunitas bisnis, secara damai (amicable compositeur), iktikad baik, bekerja sama (co-oporative), dan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum umum yang bersifat universal tetapi tidak melanggar hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht).

Pendapat mantan ketua Mahkamah Agung RI Bagir Manan yang menempat-kan unsur keadilan (rechtvaarderheid) lebih utama dari unsur keabsahan hukum (rechtmatigheid) dan keabsahan undang-undang (wetmatigheid) menandakan bahwa beliau sangat concern terhadap penyelesaian sengketa yang diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat, yaitu membuat para pihak melaksanakan putusan secara sukarela.24 Pada era beliaulah dengan gencar gagasan terhadap Pasal 130 HIR / 154 RBg lebih diberdayakan semaksimal mungkin dengan menerbitkan Perma No. 1 Tahun 200� Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, walaupun sistem hukum barat masih tetap berlaku pada lembaga hukum litigasi Indonesia.

DAFTAR PUSTAKABUKU-BUKU :Amir, Ari Yusuf, Strategi Bisnis Jasa Advokat. Penerbit NAVILA IDEA, Yogyakarta,

200�.

24 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu Pengantar, Op.cit., hlm. ii-iii.

Ricco Akbar - PERANAN ARBITER, KUASA HUKUM, PENGADILAN, DAN PEMERINTAH

50

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Budiono, Herlien. ASAS KESEIMBANGAN bagi HUKUM PERJANJIAN INDONESIA. Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Hadikusuma, H. Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2003.

Mahyuddin, H. Suardi. Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Penerbit PT. Candi Cipta Paramuda, 2009.

Benda-Beckmann, Keebet von. Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau, alih bahasa: Dr. Indira Simbolon, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta, 2000.

Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan , Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2002.

Abdurrasyid, H. Priyatna. Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu Pengantar Penerbit PT. Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), 2002.

Sutantio, Retowulan dan Oeripkartawinata, Iskandar. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1997.

Khairandy, Ridwan. Pengantar Hukum Perdata Internasional, Penerbit FH UII PRESS, Yogyakarta, 2007.

Statsky,William P. West’s, Legal Thesaurus / Dictionary, A Resource for the Writer and the Computer Researcher, West Publishing, 19�5.

Kusano, Yoshiro. Wakai, Penerbit Grafindo Khasanah Ilmu, Jakarta, 2008.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :Undang – Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

51

Wawancara M. Hussein UmarBERHARAP PADA POROS MARITIM

Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan pertamanya sebagai Presiden Indonesia periode 2014-2019 di Gedung MPR/DPR, 20 Oktober 2014

menyampaikan bahwa: “Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal

bernama Republik Indonesia.”Apa yang disampaikan presiden Joko Widodo dalam pidatonya tersebut

semakin mempertegas tentang begitu penting dan berartinya tata kelola kemaritiman secara menyeluruh. Dengan luas wilayah lautan yang mencapai 2/3 dari total luas wilayah Indonesia, jumlah pulau yang lebih dari 17.000 ribu, kekayaan laut yang luar biasa, ditambah fungsi kelautan sebagai bagian integral dari sistem pertahanan negara menjadikan sektor maritim semacam elan kedaulatan negara.

Supaya Poros Maritim tidak berada pada ruang dan wilayah wacana saja, tetapi dapat diwujudkan secara nyata dengan program dan capaian yang terukur, maka dibutuhkan upaya serius dari pemerintahan Jokowi dan JK beserta jajarannya untuk mewujudkannya.

Dalam aktualitas dan konteks memaknai pentingnya Poros Maritim, Jurnal Selisik Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Pancasila melakukan wawancara bersama M. Husseyn Umar, mantan Direktur Utama Perusahaan Sewa Guna Perkapalan PT. PANN dan mantan Direktur Utama Perusahaan Pelayaran Nasional PT. PELNI. Wawancara diharapkan mampu membuka pemahaman dan pemaknaan mengenai apa yang disebut dengan Poros Maritim.

4

5�

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

S : Pemerintahan Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla meletakkan kemaritiman sebagai poros penting dalam visi dan agenda kebijakannya. Pandangan Bapak Terkait poros maritim?

HU : Saya kira apabila pemerintahan sekarang mengutamakan negara Indonesia pada pengembangan sektor-sektor maritim itu sangat tepat. Apalagi mengingat kondisi geografis Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang demikian besar dengan posisi geografisnya begitu strategis diantara dua benua besar, yakni Asia dan Australia, pulau yang begitu banyak dan laut yang besar. Potensi kelautan yang kita miliki demikian banyak, seperti transportasi antar pulau dan kekayaan laut berupa nabati dan hewati. Hal itu harus dibangun sekaligus dan memerlukan pola pembangunan yang komprehensif.

S : Masalah krusial kemaritiman salah satunya, bagaimana kedaulatan laut bisa dijaga, Pendapat bapak tentang hal ini?

HU : Kalau mengenai kedaulatan laut, angkatan laut harus lebih up-date dalam armadanya, persenjataannya, sumber daya manusia. Selain itu aspek penegakan hukum dan keselamatan perlu ditingkatkan. Di sisi yang lain pantai-pantai kita harus memiliki tanda-tanda keamanan yang benar, seperti menara-menara laut yang harus berfungsi. Jangan sampai menara laut tidak hidup, sehingga kalau ada kapal-kapal yang lewat tidak tahu sebetulnya kapal dari mana. Pelabuhan-pelabuhan kita juga harus dijaga, jangan sampai ada kapal yang kandas. Juga yang penting untuk dibangun yaitu galangan-galangan kapal. Karena untuk replacement/penggantian armada kita harus punya galangan sendiri.

S : Bagaimana penyedian infrastruktur yang mendukung poros maritim?

HU : Pulau di Indonesia itu tersebar kesana-kemari, begitu banyak aliran orang dan aliran barang tidak begitu lancar. Hal demikian karena tidak selalu tersedianya alat transportasi laut, terutama untuk daerah-daerah yang terpencil yang membuat kapal-kapal jarang kesana. Kadang-kadang ada berbagai handicap kapalnya datang, seperti kapalnya rusak, barang yang mau diangkat belum tersedia, kalau toh ada yang diangkut terlalu murah biayanya, sementara biaya kapalnya mahal, kemudian truknya kurang atau truknya ada halangan di jalan, atau ada masalah dengan bea cukai. Hal inilah yang membikin kesulitan.

5�

Jadi masih banyak hal-hal yang harus ditangani dan dipikirkan.Yang terpenting adalah bagaimana jalur-jalur laut yang pokok/utama itu ada. Itu yang pada zaman dulu disebut sebagai reguler liner service, yakni adanya jasa transportasi laut reguler, teratur,tetap dan selalu ada.

S : Keseriusan pemerintah mempersiapkan sektor maritim ditunjukkan dengan membangun apa yang oleh Presiden Jokowi disebut sebagai Tol Laut. Pendapat Bapak tentang Tol Laut?

HU : Menurut saya, kata tol laut itu kurang tepat, karena tol itu semacam pajak, seperti kalau kita lihat dan melewati jalan tol yang membayar di gerbang tol. Jadi tol laut bukan seperti tol jalan raya. Yang dimaksud dengan tol laut itu adalah adanya hubungan transportasi laut yang tepat dan teratur dari satu tempat ke tempat lain di Indonesia. Jadi kalau orang ingin bepergian atau melakukan pengangkutan melalui laut dari satu tempat ke tempat lain selalu tersedia armada lautnya, sebagaimana yang sudah dilakukan kereta api. Kereta Api sudah bagus, dimana jadual kereta api sudah jelas mengenai jam-jam keberangkatannya.

S : Kendala yang dihadapi untuk merintis transportasi laut yang tepat dan teratur untuk membantu mewujudkan poros maritim?

HU : Masalah utama adalah persoalan ketersedian dana. Kalau mengandalkan pada anggaran negara itu tidak mungkin. Jadi harus membuka iklim investasi, baik itu modal dari swasta maupun itu modal dari luar. Untuk memperlancar hal tersebut perlu dipersiapkan pengaturan-pengaturan yang cukup menarik, seperti perijinan jangan terlalu birokratis dan dimungkinkan adanya keringanan-keringanan bea atau pajak bagi para investor.

S : Harapan bapak sendiri terhadap visi kemaritiman ini? HU : Kalau pemerintah menganggap penting sektor martim ini supaya

betul-betul dilaksanakan, beri prioritas. Sekarang apakah rencana-rencana pemerintah yang di sampaikan pemerintah ini juga ditunjang oleh oleh DPR. Kita belum mendengar. Suara DPR kurang terdengar mengenai soal-soal maritim yang ditonjolkan oleh pemerintah.

WAWANCARA

5�

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

S : Untuk mewujudkan visi kemaritiman? HU : Tentu dengan planning yang jelas, Kalau dulu kan ada Repelita

(Rencana Pembangunan Lima Tahun), sementara hal demikian sekarang tidak ada, sehingga masyarakat tidak ada gambaran terkait dengan apa yang dilakukan oleh masing-masing sektor. Jadi koordinasi dalam planning sangat diperlukan. Tanpa semacam koordianasi planning masyarakat tidak bisa mengikutinya. Kemudian tahap-tahapnya harus detil dan terukur, seperti apa yang mau dikerjakan, sumber dananya dari mana, kalau dari APBN bagaimana, kalau dari luar negeri bagaimana, apa syarat-syaratnya yang harus dibuat supaya luar negeri ini tertarik terhadap sektor kemaritiman ini.

S : Bagaimana dengan keberadaan Koordinator Kementerian Bidang Kemaritiman?

HU : Saya kira koordinasi itu diperlukan. Tetapi yang saya lihat sekarang diantara kementerian masih jalan sendiri-sendiri. Kementerian Perhubungan masih jalan sendiri, Kementerian Kelautan dan Perikanan masih jalan sendiri. Masing-masing masih bertindak menuruti sektornya masing-masing. Memang tidak mudah, karena sektor maritim ini sangat luas sekali, baik itu sektor maritim yang horisontal, vertikal dan belum lagi masalah-masalah dengan negara-negara yang berdekatan dengan kita, seperti masalah diplomasi maritim mengenai batas laut dimana kita masih punya gesekan-gesekan dengan negara-negara disekitar kita.

55

PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN DALAM PENYELENGGARAAN TATA KELOLA HUTAN DAN MORATORIUM KEHUTANAN

Bambang Prabowo Soedarso

Abstract

This article will discuss whether forestry governance had

reflected environmental justice. Beside that, as such this

article, environmental justice will also role to verify whether

moratorium policy is a part of forestry governance which is

based on environmental justice. Because implemen-tation of

forestry governance is often collide with environmental justice

elements which are consist of environmental sustainability,

participative and reflecting social justice. The absence of environmental justice

conception will culminatedeforestation and will be embryo of degradation

environment quality.

Keywords: forestry governance, environmental justice

Abstrak

Tulisan ini akan menjelaskan apakah tata kelola dalam penyelenggaraan

kehutanan sudah merefleksikan keadilan lingkungan. Selain itu keadilan

lingkungan sebagaimana dalam tulisan ini juga akan berperan untuk menguji

apakah kebijakan moratorium hutan merupakan bagian dari tata kelola kehutanan

yang beralaskan keadilan lingkungan. Sebab dalam perkembangannya, sering

kali penyelenggaraan kehutanan tidak sesuai dengan unsur-unsur keadilan

lingkungan yang setidak-tidaknya terdiri atas environmental sustainability

(keberlanjutan lingkungan hidup) dan partisipasif dan mencerminkan social

justice. Ketiadaan konsepsi keadilan lingkungan akan berujung pada deforestasi

dan menjadi cikal bakal degradasi kualitas lingkungan hidup.

Kata kunci : Tata Kelola Hutan dan Keadilan Lingkungan

5

5�

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

A. Pendahuluan

Indonesia merupakan suatu negara yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah ruah khususnya di sektor kehutanan. Bahkan Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara yang mempunyai kawasan hutan

tropis terluas di dunia setelah Negara Zaire dan Negara Brazilia. Berdasarkan data luas kawasan hutan Indonesia yang dibagi dalam beberapa kategori berdasarkan fungsinya yaitu kawasan konservasi, kawasan lindung, kawasan produksi terbatas, kawasan produksi, kawasan produksi yang dapat dikonversi mencapai total luas kawasan sebesar 130,61 juta ha.

Berdasarkan luas kawasan hutan yang dimiliki Indonesia yang mencapai 130,61 juta ha ini, maka setidaknya Indonesia dapat memaksimalkan keberadaan hutan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan dan kemakmuran rakyat. Hal mengingat terdapat beberapa manfaat daripada eksistensi hutan diantaranya adalah:1. Mencegah erosi dan tanah longsor. Akar-akar pohon berfungsi sebagai

pengikat butiran-butiran tanah. Dengan ada hutan, air hujan tidak langsung jatuh ke permukaan tanah tetapi jatuh ke permukaan daun atau terserap masuk ke dalam tanah.

2. Menyipan, mengatur, dan menjaga persediaan dan keseimbangan air di musim hujan dan musim kemarau.

3. Menyuburkan tanah, karena daun-daun yang gugur akan terurai menjadi tanah humus.

4. Sebagai sumber ekonomi. Hutan dapat dimanfaatkan hasilnya sebagai bahan mentah atau bahan baku untuk industri atau bahan bangunan. Sebagai contoh, rotan, karet, getah perca yang dimanfaatkan untuk industri kerajinan dan bahan bangunan.

5. Sebagai sumber plasma nutfah keanekaragaman ekosistem di hutan memungkinkan untuk berkembangnya keanekaragaman hayati genetika.

6. Mengurangi polusi untuk pencemaran udara. Tumbuhan mampu menyerap kar-bon dioksida dan menghasilkan oksigen yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Mengacu pada manfaat eksistensi hutan sebagaimana disebut diatas, maka

hutan mempunyai fungsi ekologis atau fungsi lingkungan yang mengandung pengertian bahwa menjaga atau memelihara hubungan timbal balik antara manusia, makhluk hidup lainnya baik flora dan fauna maupun lingkungan abiotik

5�

dalam menciptakan suatu tatanan ekosistem yang serasi, selaras, seimbang yang tujuan akhirnya sebagai daya dukung aktivitas kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi hutan dan fungsi ekologisnya men-jadi bagian penyangga daya dukung lingkungandari aktifitas kehidupan manusia di bumi. Namun tidak dapat dipungkuri pula bahwa semakin lama kondisi hutan semakin mengalami degradasi dan deforestasi khususnya hutan-hutan di kawasan negara berkembang termasuk di Indonesia. 1 Degradasi dan deforestasi hutan belakangan ini tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan atas pertumbuhan populasi penduduk, angka kemiskinan yang semakin meningkat, pembangunan ekonomi yang tidak berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta disorientasi terhadap tata kelola hutan. Sebagaimana data deforestasi hutan yang diteliti oleh Maryland University menunjukkan bahwa,

The study finds that Indonesia lost more than 6 million hectares of natural forest between 2000 and 2012. Worryingly, forest loss is trending upwards in thecountry despite hundreds of millions of dollars being spent by donors and the government on programs to cut deforestation. Deforestation was highest in 2012, the last year of the study. 2

Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan, khususnya terhadap kerusakan hutan primer selalu mengalami peningkatan tiap tahun. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Belinda Margono justru memperlihatakan kerusakan lingkungan pada sektor hutan semakin parah dan mencapai pada level �40 ribu ha di tahun 2012. Kondisi ini sangat ironis, mengingat deforestasi justru terjadi ketika Pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium. Adapun data grafik tingkat kerusakan hutan mulai tahun 2000-2012 sebagai berikut:1 Istilah Deforestasi mengandung pengertian bahwa terjadinya perubahan lahan yang semula

berhutan menjadi lahan tanpa tegakan pohon. Sedangkan istilah degradasi hutan adalah berkurangnya kemampuan hutan dalam menyediakan jasa ekosistem dan produksi hutan karena adanya pengaruh-pengaruh negatif pada struktur hutan. Kedua istilah ini, baik deforestasi dan degradasi hutan merupakan keadaan yang saling berhubungan. Sebab deforestasi hutan mempengaruhi terjadinya kondisi degradasi hutan, sebaliknya degradasi hutan adalah wujud telah terjadinya deforestasi hutan.

2 Mongabay, “Despite Moratorium, Indonesian Now Has World’s Highest Deforestation Rat, ”http��//news. mongabay. com/201�/0629-indonesia-highest-deforestation-rate. html, diunduh pada tanggal 24 Desember 2014.

Bambang Prabowo Soedarso - PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN ...

5�

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Mengacu pada grafik diatas maka terdapat dua perbedaan data yang diterbitkan oleh kementerian kehutanan dengan data penelitian yang dihasilkan oleh Maryland University. Deforestasi hutan berdasarkan tahun 2001-2012 secara massif terjadi dalam dua periode, yaitu pada tahun 2009 dan 2012. Pada tahun 2009 tingkat kerusakan hutan secara keseluruhan mencapai hampir 2 juta ha, sedangkat pada 2012 total deforestasi hutan mencapai pada level 2 juta ha. Angka ini justru menunjukkan bahwa tidak ada korelasi kebijakan moratorium hutan dengan upaya penekanan angka deforestasi hutan primer tiap tahunnya.

Selain itu ditinjau dari skala wilayah suatu penelitian yang dihimpun Mariland University yang dipimpin oleh Prof Hansen sebagaimana dilansir Mongabay menunjukkan sebagai berikut:

Berdasarkan data tersebut, maka sesungguhnya tingkat deforestasi pada umumnya cenderung terjadi pada wilayah yang terdapat kandungan mineral dan batubara ataupun wilayah yang co-cok untuk dialihfungsikan ke sektor perkebunan sawit. Oleh karenanya, perkembangan deforestasi hutan primer berdasarkan grafik diatas menunjukan dan membuktikan

bahwa Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan menempati posisi teratas. Dalam tataran praksis, kondisi ini cenderung disebabkan oleh adanya pemberian izin-izin pertambangan di kawasan hutan primer maupun alih fungsi lahan kawasan

5�

hutan untuk perkebunan serta perubahan kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi.

Sebagai contoh deforestasi hutan akibat alih fungsi hutan primer menjadi perkebunan sawit dapat dilihat dari gambar berikut ini:

Gambar ini diambil di salah satu kawasan hutan primer di Provinsi Riau

Selain karena problematika responsibilitas dari tata kelola kehutanan, defores-tasi hutan tidak dapat dipisahkan dengan faktor ketidakseimbangan antara popula-tion growth dengan economic growth. Akibatnya, terjadi kesenjangan ekonomi, angka kemiskinan semakin meningkat, dan efek yang paling subtansi adalah meningkatnya kebutuhan atas sumber daya alam seiring dengan tingkat pertumbuhan populasi penduduk. Kondisi ini sangat mempengaruhi sikap pemerintah sebagai pengambil kebijakan tata kelola hutan yang cenderung hanya eksploratif dan eksploitatif terha-dap eksistensi hutan. Akibatnya hutan yang difungsikan dan digunakan hanya berbasis pada economic oriented, sedangkan ecological oriented tidak lagi menjadi basis utama dalam tata kelola hutan sesuai fungsi dan kegunaan dalam konteks lingkungan hidup secara holistik. Kecendereungan terhadap dynamics of forest development (dinamika pembangunan hutan) justru menjadikan forestry governance jauh dari fungsi hutan sebagai konservasi maupun fungsi lindung daripada eksistensi hutan.

Pada aspek hukum, berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang dibentuk pasca reformasitidak menunjukkan implementasi holistik dan komprehensif khususnya dalam penyelenggaraan hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, berkeadilan dan berkelanjutan. Padahal jika ditelisik lebih dalam UU No. 4 Tahun 1999 sudah memberikan garis-garis pokok yang dapat

Bambang Prabowo Soedarso - PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN ...

�0

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

dijadikan acuan dalam pengharmonisasian tata kelola hutan untuk tujuan lindung, konservasi dengan tujuan produksi. Bahkan didalam Pasal 10 UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutan memuat bagian khusus mengenai pengurusan hutan yang terdiri dari perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian, pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan hutan sampai dengan kegiatan pengawasan.

Fakta lain yang menunjukkan ketidakjelasan prinsip tata kelola hutan atau tidak sesuainya law in the book dengan law in action sebagaimana pengaturan dalam UU No. 41 tahun 1999 adalah hilangnya jutaan hektare lahan hutan setiap tahun. Sebagaimana data yang dilansir oleh REDD bahwa Indonesia kehilangan 1. 1� juta hektar hutan setiap tahunnya. Angka deforestasi tersebut sungguh sangat fantastis dan mengacam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya yang hidupnya saling ketergantungan pada keberadaan hutan.

Fakta-fakta sebagaimana telah diuraikan merupakan referensi yang cukup untuk mengasumsikan bahwa keberadaan dan efektifitas dari UU No. 41 Tahun 1999 sangat amat lemah. Kelemahan UU Kehutanan sebagaimana dimaksud tidak hanya dalam aspek materiil, melainkan juga dalam aspek implementasi yang dinilai dari eksistensi Peraturan Pemerintahnya sebagai aturan yang menjabarkan norma-norma di dalam UU Kehutanan secara spesifik. Walaupun sesungguhnya berbicara efektifitas hukum khususnya nafas dan gerak dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan juga tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum yang ada. Sebagaimana Friedman bahwa sistem hukum itu terdiri dari (subtance) subtansi, structure (struktur) danculture(kultur). 3

Berbicara subtansi hukum adalah berkaitan dengan segala instrument hukum yang berlaku baik peraturan perundang-undangan yang tertulis maupun yang tidak tertulis (hukum adat) terkait kehutanan. Struktur hukum berkaitan dengan aparatur negara atau pemerintah yang terkait dengan pengambil kebijakan pengelolaan hutan serta aparatur negara atau pemerintah yang melakukan proses penegakan hukum terkait penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi dalam pengelolaan hutan. Dan kultur hukum adalah opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, cara berpikir, cara bertindak, baik dari penegak hukum, warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan problem kehutanan.

3 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, (New York: WW Norton, 199�), hlm. 19-22.

�1

Sebagaimana sempat disinggung diawal bahwa isu permasalahan pokok kehutanan akhir-akhir ini adalah terkait dengan prinsip tata kelola kehutanan (forestry governance principle) semakin keluar dari jalur tujuan untuk sebesar-besar kemak-muran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Tindakan-tindakan menyimpang baik yang dilakukan oleh Pemerintah selaku pengambil kebijakan maupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam penguasaan kehutanan cenderung melanggar penyelenggaraan perencanaan kehutanan maupun pengelolaan hutan. Transaksional dalam proses perizinan terhadap penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan ekonomi privat dibuktikan dengan semakin banyaknya wilayah hutan produksi dibandingkan eksistensi hutan konservasi dan hutan lindung. Bahkan kawasan hutan lindung dialihfungsikan untuk izin-izin usaha perkebunan-perkebunan baru ataupun dengan dalih membuka lahan untuk kegiatan pertanian dalam sebuahtransaksi gelap yang merupakan buah dari virus gratifikasi, suap kepada pemangku kebijakan.

Pada tataran praksis konflik keputusan-keputuasan yang lahir dari motivasi suap, gratifikasi merupakan asal-muasal sengketa hutan. Sebagai contoh kasus kehutanan yang fenomenal adalah tanah longsor yang terjadi di mandalawangi, Garut yang menewaskan beberapa penduduk sekitar serta rusaknya rumah penduduk di sekitar hutan. Kasus tersebut dapat dijadikan refleksi bahwa hutan lindung mempunyai fungsi utama sebagai pelindung aktifitas manusia dan komponen-komponen lingkungan hidup lainnya. Sebab output dari penyimpang tersebut berakibat pada kerusakan hutan serta menimbulkan kerugian pada masyarakat. Kerusakan hutan dan kerugian yang dialami masyarakat disebabkan oleh kegiatan pengabaian terhadap inventarisasi, pengukuhan kawasan, penatagunaan kawasan, pembentukan wilayah pengelolaan kehutanan. Misalnya kawasan hutan untuk konservasi dan lindung dijadikan kawasan hutan produksi dan kegiatan pertambangan. Dengan perkataan lain kasus-kasus faktual menunjukkan bahwa kebijakan perencanaan hutan berorientasi pada profit oriented. Hal ini didasarkan pada tindakan Pemerintah yang acap kali tidak mempertimbangkan kegiatan-kegiatan inventarisasi kawasan hutan sehingga terjadi carut marut pengukuhan kawasan hutan dan penatagunaan kawasan hutan dan pembentukan wilayah pengelolaan hutan. Akibatnya, terjadi disparitas kepentingan economic development (pembangunan ekonomi) dengan conservation (konservasi) dalam pengelolaan hutan tidak berjalan

Bambang Prabowo Soedarso - PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

harmonis. Pada kondisi disharmonisasi pengelolaan hutan baik antara kepentingan

pembangunan ekonomi melawan kepentingan konservasi, Pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 yang kemudian diperpanjang legalitasnya dengan PP No. 6 Tahun 2013 tentang penundaan izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut atau lebih dikenal dengan kebijakan moratorium kehutanan. Terdapat tiga materi pokok dalam kebijakan moratorium hutan dalam Inpres No. 6 Tahun 2013 yaitu:1. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan

kewenangan masing-masing untuk mendukung penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan lahat gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksu terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam peta indikatif penundaan izin baru yang menjadi lampiran Instruksi Presiden;

2. Penundaan izin baru dikecualikan kepada pemohon yang mendapatkan persetujuan prinsip menteri kehutanan, pelaksanaan pembangunan yang bersifat vital, yaitu geothermal, minyak dan gas bumi, lahan untuk padi dan tebu, perpanjangan izin yang sudah ada, restorasi ekosistem;

3. Instruksi kepada aparatur pemerintahan atau institusi terkait sesuai dengan fungsi, tugas dan kewajibannya dalam upaya penyempurnaa tata kelola hutan. Berdasarkan Inpres No. 6 Tahun 2013 tersebut menuai anggapan positif

dari berbagai elemen masyarakat bahwa Inpres tersebut merupakan wujud dari sistematisasi tata kelola kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, berkelanjutan dan berkeadilan sebagaimana tujuan dari pengelolaan kekayaan hutan. Akan tetapi muncul suatu problematika besar serta menjadi pertanyaan besar apakah sistem pengelolaan hutan sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tidak memenuhi standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan, berkeadilan dan berwawasan lingkungan.

Pada aspek lain hadirnya Inpres moratorium juga membuka peluang terjadinya inkonsistensi dalam penundaan izin-izin baru dalam penguasaan hutan. Letak dari inkonsistensi tersebut adalah adanya suatu syarat pengecualian yaitu persetujuan prinsip dari kementerian kehutanan yang dapat memberikan

��

izin-izin baru dalam pengelolaan hutan. Kondisi ini jelas membawa ekses pada ketidakjelasan maksud dari Inpres moratorium yang menginginkan penundaan izin-izin baru atas penguasaan hutan sebagai bentuk resolusi tata kelola hutan yang futuristik.

Dalam perkembangannya Inpres No. 10 Tahun 2011 diperpanjang keberlakuan-nya dengan diterbitkannya Inpres No. 6 Tahun 2013 tentang Moratorium Hutan. Namun problematika mengenai sejauh mana interpretasi dari persetujuan prinsip dari kementerian kehutanan yang mendapatkan pengecualian untuk menerbitkan izin-izin baru pengelolaan hutan masih menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan. Ketidakjelasan parameter yang mendasari tindakan persetujuan prinsip kementerian kehutanan untuk menerbitkan izin baru pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan membuka peluang penyimpangan tata kelola hutan secara terselubung.

B. Landasan Filosofis dan Politik Hukum Penyelenggaraan KehutananSecara historis sistem tata kelola hutan sudah terpikirkan oleh para pendiri

bangsa yang sadar akan potensi kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia. Salah satu bukti pemikiran pendiri bangsa atas landasan filosofis tata kelola hutan adalah komitmen tujuan yang terintegrasi dalam alinea ke-4 pembukaan UUD NRI 1945 yang menyatakan:

untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melin-dungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Dalam konteks pengelolaan hutan, visi melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dapat juga dimaknai dengan menempatkan hak sekaligus kewajiban negara dalam mengelola sektor kehutanan dan berbagai keanekaragaman hayati yang ada didalamnya. Hal ini bertujuan untuk kelangsungan hidup manusia, sedangkan visi kesejahteraan dalam konteks pengelolaan hutan adalah bagaimana pengelolaan hutan dapat bermanfaat untuk menciptakan rakyat yang sejahtera secara universal tanpa terkecuali.

Visi kesejahteraan umum mempunyai nilai filosofis keadilan yang menempat-kan pola-pola pengelolaan hutan berkelanjutan, berwawasan lingkungan, berkeadilan dengan selalu mempertimbangkan kebutuhan generasi kini dan

Bambang Prabowo Soedarso - PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

generasi yang akan datang. Selain itu kesejahteraan umum juga mengandung pengertian bahwa tidak hanya berkeadilan sosial, melainkan berkeadilan secara ekonomi, serta berkeadilan hukum dalam setiap nafas dan gerak suatu tata kelola kehutanan.

Visi bernegara untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum sudah dituangkan ke dalam batang tubuh UUD NRI 1945 yakni Pasal 2� H ayat (1), Pasal 33 ayat (3) dan (4). Ketentuan ini tidak hanya menjadi landasan konstitusional dalam pengelolaan hutan di Indonesia, melainkan sekaligus menjadi landasan politik hukum dalam penyusunan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengelolaan hutan berdasar atas Pancasila dan UUD NRI 1945.

Dalam konteks pengelolaan kehutanan Indonesia, pada prinsipnya Indonesia mempunyai kerangka acuan yang sudah diatur dalam sebuah UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, selanjutnya disebut UU Kehutanan. Sebagaimana asas pengelolaan hutan yang dianut dalam UU Kehutanan memuat asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Asas inilah mengantarkan pada tujuan penyelenggaraan kehutanan yang diharapkan mencapai target sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Munculnya asas-asas dan tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, berkeadilan dan berkelanjutan merupakan manifestasi dari pengakuan atas eksistensi hutan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai sebuah anugerah Tuhan maka eksistensi hutan mempunyai nilai manfaat yang luar biasa dalam tata kehidupan manusia dan makhluk hidup dan komponen-komponen lingkungan hidup lainnya. Dan oleh karenanya sudah menjadi keharusan bagi seluruh umat manusia berpikir secara ecosentric4untuk mengurus, mengatur, menjaga dalam pemanfaatannya agar tetap terpelihara kelestariannya. Sebab ketidakseimbangan, ketidakselarasan penyelenggaraan hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan mengabaikan aspek-aspek pelestarian untuk keberlajutannya, partisipasi atau kebersamaan, dan keadilan sosialakan menjadi masalah besar bagi kehidupan 4 Asumsi dasar dari pandangan ekosentrisme bahwa all life is interdependent and that human beings

are parts of wider whole. Etika lingkungan ekosentrisme merupakan etika lingkungan yang tidak hanya memusatkan cara pandang pada sesuatu yang mempunyai kehidupan (biosentrisme) melainkan memandang secara keseluruhan sebagai centrum dalam sebuah komunitas ekologis baik yang hidup maupun segala sesuatu yang tidak hidup. Lihat John Alder dan Davin Wilkinson, Environmental Law and Ethic, (Macmillan: Houndmills, Basingstoke, Hampshire, 1999), hlm. 62.

�5

manusia. Atau dengan perkataan lain manusia akan menjadi korban dari keganasan hutan yang tidak diperlakukan secara adil oleh manusia serta akan berujung pada konflik-konflik horizontal atas penguasaan kawasan hutan, serta memunculkan kesenjangan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan hutan.

C. Tata Kelola Hutan Dalam Perspektif UU KehutananSecara global prinsip tata kelola hutan sudah mencapai tingkat konsesus ber-

sama oleh masyarakat internasional. Ketentuan ini terdapat di dalam lampiran annex III dari konferensi Rio tentang asas atau prinsip-prinsip yang dilahirkan dalamkonsensus global mengenai pengelolaan, konservasi dan pembangunan berkelanjutan terhadap semua jenis hutan. Berdasarkan konsensus global terkait pengelolaan kehutanan ini maka Indonesia mencoba untuk mengadopsi beberapa prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang diterjemahkan dalam sebuah kebijakan peraturan perundang-undangan tentang kehutanan.

Sebagaimana report of the United Nations Conferences on Environment and Development terkait managemen, konservasi dan terhadap pembangunan keberlanjutan semua jenis hutan di dunia, serta mengacu pada beberapa deklarasi yang dilahirkan dalam Stockholm conferences tahun 1972 menyatakan bahwa,

“State have, in accordance with the charter of the United Nations and the priciples of international laws, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies and have the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other states or of areas beyond the limits of national jurisdiction.”

Berdasarkan ketentuan prinsip atau asas tersebut, maka negara mempunyai kedaulatan atas segala sumber daya alam yang termasuk hutan di dalamnya untuk dimanfaatkan secara maksimal dengan beberapa persyaratan di dalamnya. Salah satu syarat utamanya adalah negara bertanggungjawab untuk menggaransi segala aktivitas atas manajemen hutan sebagaimana hukum nasional yang ada tidak mengakibatkan kerugian terhadap negara lain. Kerugian sebagaimana dimaksud adalah tidak menyebabkan negara tetangga menjadi negara yang rentan terhadap dampak kerusakan lingkungan sebagai

Bambang Prabowo Soedarso - PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

akibat tata kelola hutan secara nasional. Selain daripada itu garis-garis besar haluan tata kelola hutan yang dihasilkan

dalam Rio Conference juga patut diperhatikan terkait dengan prinsip 6 C yang menyatakan,

Decisions taken on the management, conservation, and sustainable development of forest resource should benefit, to the extend practicable, from a comprehensive assessment of economic and non-economic values of forest good and services and of the environmental const and benefits.

Ketentuan sebagaimana dimaksut diatas dipertegas kembali dengan prinsip � B yang menyatakan bahwa,

Effort to maintain and increase forest cover and forest productivity should be undertaken in ecologically, economically, and socially sound ways through the rehabilitation, reforestation, afforestation and forest conservation, as appropriate.

Berdasarkan kedua prinsip tersebut maka pedoman dalam pengelolaan kehutanan wajib hukumnya memperhatikan biaya dan manfaat dari suatu hasil pengelolaan hutan juga harus melakukan pendekatan ekologis dan sosiologis dalam rangka kegiatan-kegiatan yang sifatnya konservasi.

Oleh sebab itu, ketentuan pedoman kesepahaman perlakuan terhadap hutan secara global sebagaimana dihasilkan dalam konferensi Rio 1992 inilah wajib hukum-nya apabila sesuai dengan dimensi sosio dan budaya Indonesia untuk diterjemahkan dalam UU Nasioanal terkait kehutanan. Wujud implementasi itu Nampak dalam sistem tata kelola hutan dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutananan. Sebagaimana UU Kehutanan menyebutkan bahwa pengurusan hutan Indonesia terdiri dari beberapa tahapan yaitu: 1. perencanaan kehutanan;2. pengelolaan hutan;3. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan

kehutanan;4. pengawasan.

Pada Pasal 11 ayat (2) UU Kehutan menyebutkan bahwa konsep perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipasif,

��

terpadu, serta memperhatikan kekhasan daerah. Perencanaan kehutanan merupakan suatu kegiatan dasar dan fundamental yang menjadi dasar pengelolaan kehutanan yang didalamnya meliputi aktifitas inventarisasi hutan5, pengukuhan kawasan hutan6, penatagunaan kawasan hutan7, pembentukan wilayah kehutanan dan penyusunan rencana kehutanan�. Dengan perkataan lain bahwa kegiatan perencanaan kehutanan merupakan langkah-langkah fundamental. Sebab dalam kegiatan perencanaan hutan ditujukan untuk menetapkan suatu kawasan hutan, akan difungsikan sebagai area kawasan hutan yang bagaimana, untuk tata guna lahan yang bagaimana dari area hutan berdasarkan geografisnya. Disamping itu juga forestry plan juga berpikir tentang apakah kawasan hutandijadikan sebagai hutan lindung, konservasi9, hutan produksi dan ataukah penggabungan dari ketiga fungsi hutan tersebut dikelola dari satu kawasan atau area hutan.

Berdasarkan kegiatan perencanaan tersebut, upaya pengurusan hutan ditindaklanjuti dengan kegiatan tata kelola hutan. Sebagaimana metode yang dianut dalam UU Kehutanan, pengelolaan hutan itu merupakan suatu kegiatan tentang:1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,2. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,3. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan4. perlindungan hutan dan konservasi alam.

Berdasarkan ketentuan ini, maka setidaknya dapat diketahui bahwa

5 Inventarisasi hutan adalah kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya alam, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. lihat Indonesia (1), Undang-Undang Kehutanan, UU No. 41 Tahun 1999,LN No. 167 Tahun 1999, TLN No. 3���, Ps. 13 ayat (1).

6 Pengukuhan kawasan hutan merupakan tindak lanjut dari kegiatan inventarisasi hutan yang meliputi penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan dengan senantiasa memperhatikan konsep tata ruang wilayah. Ibid, Ps. 15.

7 Penatagunaan kawasan hutan merupakan tindak lanjut dari proses pengukuhan kawasan hutan yang meliputi aktifitas penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Ibid, Ps. 16.

� Pembentukan wilayah kehutanan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliransungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Ibid, Ps. 17.

9 Sebagaimana dikemukakan Odum bahwa tujuan konservasi adalah, “ to insure the preservation of a quality environment that consider esthetic and recreational as well as product needs and to insure a continuous yield of useful plants, animals, and materials by establishing a balanced cycle of harvest and renewal. Lihat Eugene P. Odum, Fundamental Of Ecology, Ed. 3, (London:W. B Saunders Company), hlm. 40�.

Bambang Prabowo Soedarso - PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

prinsip pengelolaan hutan merupakan upaya penetapan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan, baik untuk hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi dengan mempertimbangan prinsip atau asas manfaat, lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dalam penyelenggaraan kehutanan.

Jika dikomulasikan antara asas-asas penyelenggaraan kehutanan dengan konsep pengelolaan kehutanan berdasarkan UU Kehutanan, maka setidaknya konsep pengelolaan kehutanan itu diarahkan pada konsep tata kelola (governance10). Governance itu terdiri dari tiga aspek yaitu:1. The form of political regime;2. The process by which authority is exercised in the management of a

country’s economic and social resources for development;and3. The capacity of governments to design, formulate, and implement policies

and discharge functions. 11

Berdasarkan ketiga aspek tersebut maka governance dapat dikatakan sebagai bentuk rezim politik, mengingat tata kelola dalam pemerintahan dilakukan oleh rezim politik yang berkuasa, dan atas dasar legalitas dan legitimasi kekuasaan politik digunakan untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk kepentingan pembangunan. Hal ini merupakan konsekuensi dari aspek ketiga yaitu atas dasar wewenang pemerintah dalam merancang, memformulasikan serta mengimplementasikan fungsinya dalam penyediaan public good and service to society.

Berkaitan dengan konsep governance, maka dalam perkembangannya dikenal juga konsep good governance. Artinya adalah bagaimana konsep tata kelola itu menjadi goodatau menjadi suatu tata kelola pemerintahan yang baik dalam merancang, memformulasikan dan mengimplementasikan fungsi eksistensi pemerintahan dalam pengeloaan sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan dan penyediaan public good and service 10 Menurut world bank definisi governance adalah the manner in which power is exercised in the

management of a country’s economic and social resources for delevelopment society. Dengan perkataan lain bahwa cara dimana kekuasaan negara digunakan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan sosial untuk pembangunan masyarakat adalah termasuk term of governance. World Bank, Governance: The World Bank’s Experience, Cet ke-2, (Washington:World Bank,1996). Hlm. xiv. Sedangkan menurut Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengartikan governance adalah proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public good and service. Lihat Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, akuntabilitas dan good governance, (Jakarta: LAN,2000), hlm. 1.

11 World Bank, op. cit. , hlm. xiv.

��

kepada masyarakat. Oleh sebab itu prinsip tata kelola atau konsepsi dalam tata kelola yang baik (good governance) dalam kehutanan juga meliputi elemen-elemen dari good governance principle. Sebab pengelolaan hutan merupakan bagian dari penyelenggaran fungsi pemerintah dalam penyedian dan pengelolaan publicgoods dalam upaya meningkatkan taraf sumber daya sosial dan ekonomi masyarakat untuk misi pembangunan yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan.

Sebagaimana konsepsi UNDP tentang good governance sebagaimana dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) terdiri dari beberapa unsur yaitu dalam perwujudannya yaitu, partisipasi (participation), penegakan hukum (rule of law), transparansi (transparency), daya tanggap (responsiveness), (concensus orientation), keadilan (equity), efektifitas dan efisiensi (Effectiveness and Efficiency), akuntabilitas (accountability), visi strategis (Strategic Vision).12 Berdasarkan unsur-unsur good governance, jika dikorelasikan dengan sistem tata kelola hutan yang baik maka setidaknya metodologi dalam tahapan-tahapan pengurusan hutan yang meliputi, perencanaan kehutanan, dan pengelolaan kehutanan harus merefleksikan sembilan unsur yang ada dalam good governance principle.

Pada tata penyelenggaraan kehutanan, nampaknya prinsip good governance dijadikan asas pokok dalam penyelenggaraan kehutanan dari sudut pandang materiil UU Kehutanan. Hal ini dapat ditelusuri dalam landasan asas penyelengaraan kehutanan dalam UU Kehutan yang meliputi keterbukaan, partisipasif, keadilan, visi strategis, efektif dan efisien, akuntabilitas dan penegakan hukum. Oleh sebab itu sejatinya, berdasarkan garis besar konsep tata kelola kehutanan dianggap cukup mengakomodir semangat politik hukum tata kelola hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD NRI 1945. Walaupun tidak dapat dipungkiri bersama bahwa terdapat beberapa kelemahan yang ada dalam UU Kehutanan dalam hal peran dan tanggung jawab pemerintah dalam pengawasan dan penindakan terhadap penyimpangan tata kelola hutan yang tidak sesuai dengan asas penyelenggaraan kehutanan. Dengan kata lain tidak ada singkronisasi antara proses pengambilan keputusan atas tata kelola kehutanan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan adalah bukan karena tidak adanya state of mind terhadap good forestry principle dalam UU Kehutanan, melainkan 12 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah,

(Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 5.

Bambang Prabowo Soedarso - PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN ...

�0

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

karena pengabaian dan penyimpangan serta pengawasan yang sangat amat lemah.

D. Kebijakan Moratorium Hutan dan Tata Kelola HutanKebijakan moratorium hutan pada tahun 2011 dengan diterbitkannya Inpres

No. 10 Tahun 2011yang kemudian diperbaharui dengan Inpres No. 6 Tahun 2013 dalam rangka penyempurnaan tata kelola hutan primer dan lahan gambut dapat ditarik dua isu yang menarik dibahas. Pertama apakah kebijakan dalam Inpres No. 6 Tahun 2013 bagian dari prinsip tata kelola hutan dan ataukah Inpres No. 6 Tahun 2013 bertentangan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehutanan.

Dari sudut pandang penyelenggaraan kehutanan yang meliputi perencanaan dan pengelolaan hutan berdasar UU Kehutanan maka pada hakikatnya konsep tata kelola hutan yang dianut dalam kebijakan moratorium berbeda dengan konsep tata kelola hutan yang baik. Atau dengan kata lain keberadaan Inpres No. 6 Tahun 2013 semakin menunjukkan bahwa Pemerintah tidak mempunyai road map penyelenggaraan tata kelola hutan yang bermuatan visi strategis dalam arti tata kelola hutan jangka panjang.

Dikatakan jauh dari konsep tata kelola hutan yang baik dikarenakan materi muatan di Inpres No. 6 tahun 2013 tidak mengusung asas dalam good governance khususnya mengenai element transparansi dan partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan tata kelola hutan. Sebab Inpres No. 10 tahun 2011 justru mengeliminir peran serta masyarakat dalam tata kelola hutan khususnya yang berkaitan dengan keberadaan hutan adat yang dikelola oleh masyarakat adat. Hal ini pun senada dengan lingkup hukum agraria yang juga merupakan induk dari hukum kehutanan. Sebagaimana penjelasan Pasal 5 UUPA bahwa hukum agraria harus disesuaikan dengan kesadaran hukum mayoritas masyarakat. Pada tataran de facto menyebutkan bahwa masyarakat mayoritas sebagaimana dimaksud tunduk pada sistem hukum adat. Oleh sebab itu hukum agraria juga didasarkan pada sistem hukum adat yang berlaku. Begitu pula dengan hukum kehutanan yang sebenarnya juga berkaitan dengan masalah agraria dalam pengelolaan, peruntukan dan pemanfaatannya. Secara de facto keberadaan hutan adat sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat rakyat banyak, dan oleh karena itu sistem pengelolaan hutan adat harus tunduk pada sistem hukum adat yang berlaku pula tanpa mengurai aspek-aspek kepentingan nasional dalam tataran implementasinya.

�1

Pada aspek peran serta masyarakat dengan adanya kebijakan moratorium dalam materi muatan Inpres No. 10 Tahun 2011 maka akan bertendensi mengeliminir hak masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6� ayat (2) UU Kehutanan terkait dengan Hak memanfaatkan hutan dan hasil hutan; mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; danmelakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.

Dikatakan sebagai mengeliminir hak masyarakat adat itu adalah berdasar-kan kausalitas yang muncul dari adanya parameter pengecualian atas klausula persetujuan prinsip dari kementerian kehutanan untuk mengeluarkan izin-izin baru penggunaan kawasan hutan. Dengan perkataan lain jika ada persetujan prinsip dari kementerian kehutanan maka moratorium terhadap izin-izin penggunaan kawasan hutan primer dan lahan gambut dapat didispensasi. Pertanyaannya adalah bagaimana kriteria yang layak menjadi pertimbangan untuk mendapatkan persetujuan prinsip untuk diberikan izin. Apakah ketidakjelasan dari suatu bentuk ketetapan akan menghasilkan ketidakpastian bahkan ketidak-adilan dari masyarakat selaku warga negara secara umum dan masyarakat sekitar atau masyarakat hukum adat yang berhak untuk mengetahui rencana peruntukan, pemanfaatan, informasi tentang hutan. Di lain pihak ketidak-terbukaan juga menghalangi masyarakat untuk memberi informasi, saran, dan pertimbangan dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan yang baik khususnya dalam penetapan peta indikatif penundaan izin baru penggunaan kawasan hutan sebagai tujuan utama dari peraturan kebijaksanaan dalam Inpres No. 6 Tahun 2013.

Sebagaimana diuraikan diawal dalam prinsip penyelenggaraan kehutanan dan sistem tata kelola hutan dalam perspektif UU kehutanan, maka sejatinya Inpres No. 6 Tahun 2013 merupakan kebijaksanaan yang mubadzir. Artinya adalah bahwa prinsipnya dalam penyelenggaraan kehutanan dan tata kelola hutan sudah diatur sedemikian untuk memberikan manfaat secara ekologis maupun ekonomis. Namun letak utama problematika dari administrator negara adalah dalam tindakan-tindakan nyata, kausal dan final dalam upaya menjabarkan legal policy yang terkandung dalam UU kehutan dalam bentuk Pseudo wetgeving atau normo jabaran khusunya mengenai manejerial tata kelola hutan dalam rangka mengelola public good and public service.

Bambang Prabowo Soedarso - PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

E. Ketidaksinkronan Inpres No. 6 tahun 2013 terhadap UU KehutananPada ruang lingkup hukum administrasi negara dikenal beberapa asas-asas

penting dalam menetapkan suatu keputusan yaitu asas yuridiktas, legalitas dan dis-kresi atau freis ermessen. Dikatakan asas yuridiktas adalah suatu keputusan pemerintah ataupun administratif tidak boleh melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad) dan dikatakan pula harus mengandung asas legalitas bahwa keputusan harus diambil berdasarkan suatu ketentuan Undang-Undang. Sedangkan Diskresi adalah sebagai bentuk pengecualian dari pemerintah untuk bertindak bebas menurut pendapatnya sendiri sebagai akibat dari tidak ada aturan atau ketidakjelasan aturan sebagai dasar legalitas dalam permasalahan yang hendak diputuskan.

Apabila dilakukan analisa normatif terhadap kedudukan Inpres dengan UU Kehutanan maka ditemukan beberapa hal ketidaksinkronan diantara keduanya. Padahal didalam keputusan administrasi negara setidaknya nilai legalitas dan yuridiktas dari suatu keputusan yang dihasilkan harus menyertainya. Hal ini menjadi lain jika Inpres No. 6 Tahun 2013 dimaknai sebagai bagian dari Diskresi Pemerintah. Namun sekalipun jika kedudukan Inpres No. 6 Tahun 2013 adalah produk diskresi maka wajib juga diuji apakah mencerminkan doelmatigheid (kepentingan umum).

Ketidaksinkronan antara Inpres No. 6 Tahun 2013 dengan tujuannya melaku-kan pemetaan ulang terhadap peta indikatif penundaan izin-izin baru pemanfaa-tan kehutanan adalah suatu bukti pemerintah tidak menjalankan langkah-langkah pengurusan kehutanan sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan. Langkah-langkah yang tidak dijalankan dalam UU Kehutanan adalah perencanaan hutan dan pengelolaan hutan yang mana tujuan utamanya adalah pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan serta perlindungan hutan dan konservasi alam.

Dengan demikian, jika orientasi Inpres adalah pembentukan peta indikatif penundaan izin-izin baru, maka dengan kata lain Pemerintah tidak pernah membuat perencanaan hutan yang menghasilkan peta keseimbangan terhadap pengelolaan kehutanan. Hal ini khususnya dalam kaitannya dengan pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan berdasarkan letak geografisnya dalam upaya menentukan fungsinya.

��

F. PenutupTata kelola hutan dalam perspektif UU Kehutanan masih jauh dari

konsepsi keadilan lingkungan (environmental justice), sekalipun secar tekstual menempatkan asas-asas pengelolaan hutan berdasar keterbukaan, partisipasif, keadilan, visi strategis, efektif dan efisien, akuntabilitas dan penegakan hukum. Sebab jika diuji dengan menggunakan parameter konsepsi keadilan lingkungan yang setidaknya terdiri atas environmental sustainability, partisipatif dan social Justice13 maka materi UU Kehutanan masih belum merefleksikan asas-asas tersebut dalam bentuk norma UU Kehutanan. Salah satu bentuk penyimpangan terhadap konsepsi keadilan lingkungan dalam UU kehutanan adalah terbukanya peluang untuk merubah fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU Kehutanan. Dengan perkataan lain, sewaktu-waktu kawasan hutan lindung, kawasan hutan konservasi yang berperan untuk sebagai penyangga kehidupan dan mendorong tumbuh kembang keanekaragaman hayati dapat mengalami kepunahan fungsi ketika kawasan tersebut dikonversikan untuk hutan produksi atau bahkan untuk perkebunan sebagaimana yang telah terjadi di Pulan Sumatera dan Pulau Kalimantan. Atas dasar hal inilah maka pada hakikatnya tata kelola hutan dalam perspektif UU Kehutanan masih bersandar pada optimalisasi fungsi hutan untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, tetapi tidak dimanfaatkan untuk mengoptimalisasikan fungsi hutan untuk kepentingan ekologis demi terciptanya environmental sustainability untuk generasi yang akan datang. Bukti konkretnya adalah terbukanya peluang untuk penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3� UU Kehutanan. Artinya bahwa aspek kepentingan perlindungan lingkungan hidup sebagai penyangga kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup di sekitar hutan masih tereduksi oleh aspek kepentingan ekonomi yang tidak secara langsung dirasakan oleh masyarakat adat di sekitar kawasan hutan.

Pada aspek partisipasi masyarakat, tata kelola hutan sebagaimana UU Kehutanan masih belum menempatkan masyarakat sebagai subyek hukum yang seharusnya turut serta dalam penyusunan rencana peruntukan, penggunaan dan persediaan kawasan hutan. Sebab dalam realitasnya saran dan usulan masyarakat disekitar hutan hanya bersifat pertimbangan, dan bukan bersifat rekomendasi yang wajib diikuti oleh pengambil kebijakan. Sehingga konflik 13 Andrew Dobson, Justice and The Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and

Dimensions of Social Justice, (United States: Oxford University, 1998), hlm. 17-19.

Bambang Prabowo Soedarso - PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

antara Pemerintah dengan masyarakat, maupun masyarakat sekitar hutan dengan pemegang izin usaha pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan.

Selain itu, dalam level pengawasan dan penindakan terhadap kasus kerusakan hutan, peran Pemerintah sangat amat terbatas. Bahkan dalam hal materi pengawasan dan penindakan penyimpangan tata kelola hutan yang tidak sesuai dengan asas-asas pengelolaan kehutanan. Hal ini disebabkan atas posisi Pemerintah yang ditempatkan secara pasif dalam setiap sengketa atau kasus kerusakan hutan.

Pada aspek lain, Kebijakan moratorium hutan adalah perwujudan atas ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan tata kelola hutan yang berasaskan keterbukaan, partisipasif, keadilan, visi strategis, efektif dan efisien, akuntabilitas dan environmental sustainability. Sebab Inpres No. 6 Tahun 2013 dengan tujuannya melakukan pemetaan ulang terhadap peta indikatif penundaan izin-izin baru pemanfaatan kehutanan adalah suatu bukti pemerintah tidak menjalankan langkah-langkah pengurusan kehutanan sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan. Langkah-langkah yang tidak dijalankan dalam UU Kehutanan adalah perencanaan hutan dan pengelolaan hutan yang mana tujuan utamanya adalah pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan serta perlindungan hutan dan konservasi alam.

Dengan demikian, jika orientasi Inpres adalah pembentukan peta indikatif penundaan izin-izin baru, maka dengan kata lain Pemerintah tidak pernah membuat perencanaan hutan yang menghasilkan peta keseimbangan terhadap pengelolaan kehutanan. Hal ini khususnya dalam kaitannya dengan pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan berdasarkan letak geografisnya dalam upaya menentukan fungsinya.

DAFTAR PUSTAKABukuAlder, John dan David Wilkinson. Enviromental Law and Ethic. Macmillan:

Hampshire, 1999. Dobson, Andrew. Justice and The Environment : Conceptions of Environmental

Sustainability and Dimensions of Social Justice. United States: Oxford University. 199�.

�5

Friedman,Lawrence M. American Law An Introduction. New York: WW Norton. 199�.

Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. akuntabilitas dan good governance. Jakarta: LAN. 2000.

Odum,Eugene P. Fundamental Of Ecology. London:W. B Saunders Company. Sedarmayanti. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka

Otonomi Daerah. Bandung: Mandar Maju. 2003. World Bank. Governance: The World Bank’s Experience, Cet ke-2. Washington:

World Bank. 1996.

Peraturan Perundang-UndanganIndonesia. Undang-Undang tentang Kehutanan. UU No. 41 Tahun 1999. LN No.

Tahun 1999, TLN No. 3���. The Rio Declaration ON Environment and Development, 1992.

InternetMongabay, “Despite Moratorium, Indonesian Now Has World’s Highest

Deforestation Rat,” http://news. mongabay. com/2014/0629-indonesia-highest-deforestation-rate. html, diunduh pada tanggal 24 Desember 2014.

Bambang Prabowo Soedarso - PERSPEKTIF KEADILAN LINGKUNGAN ...

��

DAMPAK PENAMBANGAN TIMAH ILEGAL YANG MERUSAK EKOSISTEM

DI BANGKA BELITUNG

Indra Ibrahim

Abstrak

Keberadaan mineral biji timah di Bangka Belitung merupakan

karunia dari Tuhan YME bagi masyarakat di daerah itu dalam sisi

ekonomi yang memberikan kesempatan untuk mendapatkan

penghidupan dari kegiatan penambangan baik secara langsung

maupun tidak langsung. Pada sisi yang lain keberadaan

timah yang tidak dikelola dan diatur dengan baik oleh aparat

pemerintah daerah, disertai dengan tidak adanya kesadaran

untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup oleh segenap stake holder di

daerah ini telah membawa kehancuran lingkungan hidup dan ekosistem di

Bangka Belitung.Pemerintah daerah harus tegas untuk mengimplementasikan

semua aturan tentang penambangan timah, baik berupa peraturan perundang-

undangan nasional maupun dalam bentuk peraturan daerah. Dengan demikian

pelaksanaan kegiatan eksploitasi timah dapat dikendalikan dengan baik,

kegiatan reklamasi dan kegiatan pascatambang dapat berjalan sesuai aturan.

Orientasi penjagaan dan pemeliharaan serta pemulihan kondisi lingkungan

hidup harus merupakan fokus utama pemerintah daerah dalam pengelolaan

pertambangan di daerah ini.

Kata Kunci: stake holder, Pemerintah daerah, penambangan timah, reklamasi

PENDAHULUANSekilas Bangka Belitung

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (disingkat Babel) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terdiri dari dua pulau utama, yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil, seperti P. Lepar, P. Pongok,

P. Mendanau dan P. Selat Nasik, total pulau yang telah bernama berjumlah 470

6

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

buah dan yang berpenghuni hanya 50 pulau 1.Terletak pada koordinat 1º 50’ - 3º 10’ LS dan 105º - 10�º BT, propinsi ini

mempunyai total area seluas �1.725.14 km2 (7,229.�2 mil²) dengan luas daratan 16.424.14 km2(6,341.40 mil²) dan perairan seluas 65.301 km2 (25,213 mil²) dengan panjang garis pantai sekitar 1.200 km 2.

Jumlah penduduk di propinsi Bangka Belitung sekitar 1.230. 000 jiwa. Suku-suku yang mendiami Bangka Belitung terdiri atas: suku Melayu yang merupakan suku terbesar di propinsi ini, kemudian diikuti oleh suku Tionghoa, Jawa, Bugis, Madura dan lain-lainnya.

Bangka Belitung semula merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Selatan yang dimekarkan menjadi propinsi pada tahun 2000 berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Propinsi Bangka Belitung. Terdapat 6 Kabupaten di Bangka Belitung, yaitu Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur dan satu Kotamadya Pangkal Pinang. Di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung terdapat 36 Kecamatan dan sebanyak 326 Kelurahan/Desa.

Sejarah Pertambangan Timah Pada masa kolonial Belanda terdapat tiga perusahaan pertambangan

Timah yaitu: Bangka Tin Winning Bedrijft (BTW), Gemeenschaappelijke Mijnbouw Maatschaappij Biliton (GMB) dan Singkep Tin Exploitatie Maatschaappij (SITEM)3. Kolonial Belanda mendatangkan pekerja tambang sebagai kuli kontrak dari daratan China, mereka ini kemudian menjadi cikal bakal suku Tionghoa yang secara turun temurun berdomisili di Bangka Belitung.

Antara tahun 1953 sampai dengan tahun 195� ketiga perusahaan tersebut dinasionalisasi menjadi perusahaan negara, yaitu: BTW menjadi PN Tambang Timah Bangka, GMB menjadi PN Tambang Timah Belitung dan SITEM menjadi PN Tambang Timah Singkep. Pada tahun 196� ketiga perusahaan negara itu di lebur menjadi satu perusahaan PT Tambang Timah, yang selanjutnya dirubah menjadi PT Tambang Timah (Persero)4.1 Wikipedia Indonesia, Kepulauan Bangka Belitung, <http��//id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Bangka_

Belitung>, diakses pada 2Juni 20152 Ibid3 Sekilas PT Timah, �Sekilas PT Timah, �http��//www.timah.com/v2/ina/tentang-kami/8�10052012110526/sekilas-pt-ti-

mah/>, diakses pada 27 Mei 20154 ibid

��

Saat penambangan timah dikuasai oleh PT. Tambang Timah, penduduk asli Bangka Belitung umumnya menempati posisi pekerja rendahan di perusahaan, posisi-posisi menengah-atas dipegang oleh orang luar daerah.

Timbul kesenjangan sosial antara penduduk asli dan karyawan rendahan disatu pihak dan para staff serta petinggi PT. Tambang Timah dipihak lain. Kesenjangan itu terletak pada fasilitas dan perlakuan istimewa dari perusahaan dalam hal: layanan kesehatan, hiburan, olahraga, pendidikan dan lain-lain. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial yang membekas lama dihati penduduk lokal.

Maraknya tambang rakyat diseluruh wilayah Bangka Belitung, bukan karena semata-mata faktor ekonomi saja tetapi lebih jauh karena letupan ketidakpuasan atas pengerukan hasil kandungan bumi mereka oleh “orang lain”,. Sementara mereka hanya menjadi penonton yang baik karena apabila mencoba untuk ikut menggali timah pada masa monopoli PT. Tambang Timah, maka pintu penjara sudah menanti mereka.

Dikenal dua jenis Proses penambangan timah, yaitu penambangan darat dan penambangan dilaut. Penambangan darat dilakukan dengan cara menggali tanah dengan menggunakan pompa semprot, pasir beserta biji timah dialirkan melalui peralatan yang disebut sakan, biji timah yang mempunyai berat jenis lebih besar dari pada pasir akan terendapkan dan terpisah dari pasir. Penambangan dilaut dilakukan dengan cara menyedot biji timah dari dasar laut dengan menggunakan kapal keruk, kapal isap atau T.I apung sederhana (yang biasanya digunakan oleh rakyat.)

Pada mulanya, penambangan timah hanya dilakukan di daratan Bangka Belitung. Namun semakin sulitnya mendapatkan lokasi yang kaya timah di daratan, hasil penambangan di darat yang terus merosot, dan biaya operasional yang semakin melambung membuat masyarakat dan perusahaan penambang timah mengalihkan prioritas penambangan ke laut 5.

Banyaknya para penambang yang beralih dari penambangan darat ke penambangan laut mengakibatkan T.I apung yang dioperasikan oleh rakyat dan kapal isap yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan timah swasta semakin bertambah banyak bertebaran di seluruh laut Bangka Belitung.

5 Denil Mildan, Potret Buram di Balik Kemilau Timah,http��//denimildan.blogspot.com/2011/0�/potret-buram-di-balik-kemilau-timah_25.html, diakses pada � Juni 2015

Indra Ibrahim - DAMPAK PENAMBANGAN TIMAH ILEGAL ...

�0

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Penambangan Timah Inkonvensional Pada tahun 1999, Eko Maulana Ali Bupati Bangka dengan mendasarkan

pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis.

Dengan pertimbangan bahwa krisis ekonomi yang mendera saat itu membuat terpuruknya kehidupan rakyat, memberikan izin aktivitas penambangan skala kecil bagi masyarakat. Tetapi kemudian yang berkembang ternyata praktik penambangannya menjadi liar tak terkendali. Dari puluhan ribu unit tambang rakyat yang berizin diperkirakan hanya sekitar 30 persen .

Melihat hasil penambangan timah yang menggiurkan ini, maka berbondong-bondong warga masyarakat ikut serta membuka tambang timah, yang dikenal sebagai tambang inkonvensional (T.I). Penduduk pedesaan yang semula bermata pencaharian sebagai petani atau nelayan beralih menjadi penambang timah. Sehingga lebih dari 50% penduduk desa-desa diseluruh wilayah Bangka Belitung menggantungkan hidupnya pada T.I.

PEMBAHASANKerusakan Lingkungan

Pemulihan kembali lahan atau yang dikenal dengan sebutan reklamasi oleh PT. Timah terhadap lahan bekas penambangannya tidak berjalan sebagaimana mestinya dan kelangsungannya tersendat-sendat. Apalagi kemudian kegiatan T.I dilakukan rakyat dibekas lahan tambang PT Tambang Timah yang memang masih menyisakan deposit biji timah dimana kondisi tanah sudah terbuka memudahkan mereka beraktifitas. Akibatnya lahan yang sudah direklamasi oleh PT Tambang Timah, meskipun tidak sempurna rusak kembali dan kondisinya menjadi lebih parah.

Saat memulai kegiatan T.I, para penambang membuka hutan, baik berupa hutan asli atau hutan hasil reklamasi PT. Tambang Timah, maka terjadilah perusakan hutan. Pada waktu melakukan kegiatan penambangan yang menggunakan air untuk penyemprotan, kemudian air bercampur lumpur ini mengalir ke sungai-sungai, maka tercemarlah air sungai yang semula bersih dan jernih menjadi keruh bercampur lumpur. Aliran air sungai yang bermuara ke laut ini membawa sedimen lumpur ke laut mengganggu kesimbangan ekosistem di laut dan merusak keindahan pantai yang semula berpasir putih berubah menjadi abu-abu kehitaman dan kotor.

�1

Salah satu ekosistem di pantai-pantai adalah hutan mangrove atau hutan bakau. mangrove merupakan ekosistem penyangga di pantai yang terdapat di daerah pasang surut. Keberadaan hutan mangrove yang sehat diperlukan oleh biota laut untuk dapat berkembang biak sehingga akan menentukan banyak tidaknya ikan atau hasil laut lainnya yang dapat ditangkap nelayan. Disamping itu hutan bakau berguna untuk menangkal abrasi pantai akibat gempuran ombak.

Aktivitas tambang bijih timah ilegal di hulu sungai juga memicu pendangka-lan dilaut seperti yang terjadi di pelabuhan perahu nelayan di Desa Kurau, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung. Pendangkalan cukup parah yang terjadi di alur pelabuhan perahu nelayan di muara sungai Kurau dikeluhkan para nelayan yang kesulitan menambatkan perahu mereka. Sedimentasi muara sungai itu memang cukup parah dan bahkan ketinggian air hanya 20 cm pada saat air laut dalam kondisi normal6.

Penambangan laut yang menggunakan kapal keruk atau kapal isap dengan jarak sekian mil dari bibir pantai juga sangat potensial merusak ekosistem laut. Berton-ton pasir yang dikeruk atau disedot dari dasar laut, setelah dilakukan pemisahan antara biji timah dan pasir atau lumpur, maka limbah yang ada ini langsung dibuang begitu saja kelaut mengakibatkan sedimen menutup terumbu karang dan menyebabkan rusak dan matinya terumbu karang

Rusaknya terumbu karang berakibat pada berkurangnya sumber daya ikan di wilayah perairan Bangka Belitung, karena terumbu karang merupakan tempat hidup dan berkembangbiak ikan-ikan. Ikan yang semakin berkurang membuat banyak nelayan kehilangan mata pencaharian. Kemiskinan pun semakin meningkat7.

Asas-asas Hukum LingkunganBeberapa asas lingkungan hidup yang dapat diterapkan untuk melindungi

dan memulihkan kelestarian lingkungan di Bangka Belitung dari perusakan akibat ekploitasi pertambangan timah illegal antara lain:

Teori Instrumen Ekonomi Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di Bangka Belitung tersebut diatas

terjadi akibat eksploitasi secara berlebihan sumber daya alam tanpa disertai 6 http��//babel.antaranews.com/berita/22755/tambang-timah-picu-pendangkalan-pelabuhan-perahu-

nelayan7 Deny Mildan, Op.cit

Indra Ibrahim - DAMPAK PENAMBANGAN TIMAH ILEGAL ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

upaya pemeliharaan dan koservasi lingkungan hidup, sehingga terjadilah pencemaran atas tanah, sungai, pantai dan laut.

Salah satu cara yang dapat dimanfaatkan guna menanggulangi persoalan ini adalah dengan penerapan instrument ekonomi dalam kegiatan eksploitasi biji timah. Disatu sisi instrument ekonomi dalam jangka pendek memang akan menambah biaya produksi yang membebani penambang timah, tapi disisi lain dalam jangka panjang akan memberi dampak positif berupa kelestarian lingkungan hidup karena adanya perilaku bisnis para penambang timah yang mengutamakan konservasi lingkungan hidup.

Pemanfaatan instrument ekonomi tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara� :

Pertama, mendorong konsumen agar tidak menghamburkan penggunaan sumberdaya alam.

Kedua, melakukan retribusi limbah/emisi sehingga pelaku bisnis/usaha akan sulit menghindar dari konsekuensi tanggungjawabnya untuk berperan aktif menjaga kelestarian lingkungan hidup. Ketiga, melakukan deposit-refund. Keempat, mewajibkan suatu kegiatan usaha untuk menyerahkan dana kinerja lingkungan sebagai penjamin bahwa pelaku kegiatan/usaha akan melakukan reklamasi/konservasi lingkungan hidup.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup yang bertujuan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (4), dan Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ruang lingkup instrumen ekonomi lingkungan hidup meliputi: perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan hidup dan insentif dan/atau disinsentif9

Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. Instrumen ini bertujuan untuk mengintegrasikan nilai ekonomi lingkungan hidup ke dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional dan kegiatan ekonomi, memastikan

� I Gede Selamet Prayitna, <http��//www.balipost.co.id/balipostcetak/200�/6/�/o�.html> , diakses 4 Juni 2015

9 Kementerian Negara Lingkungan Hidup, RPP Instrumen Ekonomi Lingkungan �http��//www.menlh.go.id/konsultasi-publik-penyelesaian-rancangan-peraturan-pemerintah-tentang-instrumen-ekonomi-lingkungan />, diakses 10 Juni 2015

��

tersedianya dana bagi upaya pemulihan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan mengubah pola pikir dan perilaku pemangku kepentingan untuk memperhitungkan nilai ekonomi lingkungan hidup ke dalam pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan 10.

Instrumen ekonomi ini merupakan pelengkap dari instrumen-instrumen yang sudah ada sebelumnya seperti instrumen AMDAL, baku mutu lingkungan, dan lain sebagainya. Berbeda dengan instrumen-instrumen yang ada sebelumnya yang bersifat command and control, instrument ekonomi lingkungan mengandalkan kepada signal pasar untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Salah satu instrumen yang diperkenalkan dalam UU 32/2009 adalah Pem-bayaran jasa lingkungan (PJL) atau Payment of Environmental Services (PES). Dasar teori ekonomi dari PJL secara konseptual sebenarnya sederhana yaitu “beneficiary pays” atau penerima manfaat membayar. PJL pada dasarnya merupakan skema yang bertujuan untuk merestorasi dan melindungi ketersediaan barang dan jasa lingkungan yang berkelanjutan. Skema PJL merupakan mekanisme yang membuat penyediaan jasa lingkungan menjadi lebih cost efisien dalam jangka waktu yang lama. Jenis jasa lingkungan dalam skema PJL diantaranya adalah proteksi dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS), konservasi biodiversitas (biodiversity conservation), restorasi lanskap (landscape restoration). serta keindahan alam (scenic beauty)11.

Prevention Principle: Prinsip yang menekankan bahwa perlu adanya langkah-langkah secara scientific untuk memastikan bahwa suatu kegiatan pengelolaan terhadap lingkungan hidup atau sumber daya alam tidak berdampak pada kerusakan lingkungan dan merugikan orang lain12.

Dengan penerapan prinsip ini, maka pemerintah daerah Bangka Belitung seharusnya dari sejak awal sudah melakukan studi yang bersifat scientific seberapa jauh kegiatan penambangan biji timah akan merusak lingkungan hidup. Kemudian menyiapkan rambu-rambu peraturan agar eksploitasi tidak dilakukan secara berlebihan dan menetapkan aturan tentang pelaksanaan reklamasi area bekas tambang. Dalam pelaksanaannya diterapkan law enforcement

10 Ibid11 Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Media Briefing Pembayaran Jasa Lingkungan, � http��//www.

menlh.go.id/media-briefing-pembayaran-jasa-lingkungan/>, diakses 10 Juni 201512 Bambang Prabowo Sudarso, Prevention Principle, Materi Kuliah Hukum Lingkungan, Program Magister

Ilmu Hukum, Universitas Pancasila Jakarta , 2015

Indra Ibrahim - DAMPAK PENAMBANGAN TIMAH ILEGAL ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

yang tegas atas segala penyimpangan yang terjadi. Misalnya ditetapkan area mana yang boleh dilakukan penambangan. Dalam pelaksanaan penambangan ditegaskan tidak boleh merusak lingkungan hutan. Air yang digunakan dalam proses penambangan tidak boleh mencemari aliran sungai dengan campuran lumpurnya, boleh dibuang ke sungai apabila sudah dipastikan tidak mencemari sungai yang nantinya akan berlanjut ke pantai dan laut.

Untuk penambangan laut di tetapkan daerah penambangan yang tidak akan merusak area penangkapan ikan atau terumbu karang. Perlu ditegaskan bahwa penambang dengan kapal keruk, kapal isap atau T.I apung harus menjamin bahwa limbah pasir dan lumpur sisa penambangan tidak menjadi sedimen yang menutup terumbu karang atau merusak lingkungan hidup biota laut. Memang pelaksanaan prinsip ini akan menimbulkan biaya, baik bagi pemerintah yang melakukan pengawasan maupun bagi pengusaha tambang. Tapi pemeliharan kelestarian lingkungan hidup merupakan amanat dari peraturan perundang-undangan yang tidak boleh tidak tetap harus dijalankan sebagaimana mestinya. Bagi pengusaha skala sedang dan besar akan terbebani tambahan cost yang dapat mengakibatkan kenaikan harga jual atau bisa menurunkan tingkat keuntungan. Bagi penambang rakyat yang notabene tidak bermodal memang akan menjadi masalah besar, tapi sebenarnya dapat disiasati dengan mengelompokkan mereka menjadi suatu usaha bersama atau koperasi, sehingga beban biaya tidak ditanggung secara individu yang pastinya akan sangat berat.

Polluter Pays Principle: Prinsip yang digunakan untuk mengalokasikan biaya pencegahan polusi atau pencemaran dan pengendalian terhadap upaya mendorong langkah-langkah rasional dalam pemanfaatan sumber daya alam yang terbatas13 .

Pencemar lingkungan harus menanggung biaya terhadap langkah-langkah pengendalian kualitas lingkungan hidup dan biaya tersebut harus tercermin dalam biaya barang dan jasa dalam setiap aktifitas produksi dan/atau konsumsi yang menimbulkan pencemaran lingkungan.

Untuk menerapkan prinsip ini pemerintah daerah cq. Dinas ESDM di Bangka Belitung harus menetapkan dengan tegas satuan nominal biaya reklamasi lahan yang harus dibayar oleh para penambang timah untuk suatu satuan luas areal penambangan, baik didarat maupun dilaut. Pelaksanaan penambangan dipan-tau dengan baik, dan dana yang terkumpul memang benar-benar dialokasikan

13 Ibid

�5

untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang menjadi pulih kembali atau dapat juga para penambang mengalokasi dana dengan besaran tertentu yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan reklamasi pemulihan lingkungan di bekas lahan tambang timah mereka. Kegiatan ini dipantau secara melekat oleh pemerintah daerah.

Sustainable Development (Inter and Intrageneration Equity Principle): Prinsip Keadilan antar Generasi: setiap generasi memiliki hak untuk menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi buruk akibat perbuatan generasi sebelumnya atau generasi kini mempunyai kewajiban untuk mewariskan kondisi bumi dan sumber daya alam sebagaimana yang mereka peroleh dan nikmati.

Prinsip Keadilan Dalam Satu Generasi: bahwa keadilan di dalam suatu generasi umat manusia dan beban dari permasalahan lingkungan harus dipikul bersama oleh masyarakat dalam satu generasi14.

Pada dasarnya penerapan prinsip ini mengharuskan para penambang timah untuk bertanggungjawab, bahwa kegiatan penambangan yang mereka lakukan tidak boleh meninggalkan kerusakan lingkungan yang akan menimbulkan ketidak adilan bagi warga masyarakat lain dalam generasi yang sama sekarang ini. Misalnya tidak direklamasinya lubang bekas galian timah yang menganga terisi air akan menjadi sarang nyamuk, yang membuat meluasnya penyebaran penyakit malaria diseluruh daerah Bangka Belitung dan menempatkan daerah ini pada urutan yang tinggi dalam data penderita penyakit malaria.

Pada sisi lain lingkungan yang diekstrak para penambang untuk diambil sumber daya alam berupa biji timah ini adalah titipan anak cucu yang merupakan generasi berikutnya. Para penambang tidak boleh mewariskan kondisi lingkungan hidup yang rusak dan porak poranda kepada generasi berikut ini. Sehingga dalam kegiatan eksploitasi tambang harus dipastikan bahwa kelestarian lingkungan hidup tetap terjaga

Undang-Undang MinerbaUndang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur banyak hal yang bila dijalankan dengan konsekuen dan konsisten, maka proses produksi eksploitasi mineral akan dapat memenuhi hajat masyarakat dalam sisi ekonomi dan pada sisi lain akan dapat menjaga kelangsungan kelestarian lingkungan hidup yang memberi

14 Ibid

Indra Ibrahim - DAMPAK PENAMBANGAN TIMAH ILEGAL ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

kenyamanan dan keamanan bidup bagi masayarakat sekarang dan masyarakat generasi berikutnya.

Terkait dengan penambangan timah di Bangka Belitung, ada beberapa ketentuan dari peraturan perundang-undangan tersebut yang perlu diketengahkan untuk dapat menghentikan berlangsung-lanjutnya perusakan terhadap lingkungan dan pada saat yang sama bagaimana langkah pemulihan kerusakan yang sudah terlanjur terjadi.

Pasal 1 UU 4/2009, undang-undang ini sudah mengamanatkan bagaimana penjagaan kelestarian lingkungan hidup harus dilakukan, ayat 25 menyatakan: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dengan berpegangan pada ketentuan ini, maka jelas bahwa pemerintah daerah Bangka Belitung dari sejak awal seharusnya sudah membuat kebijakan terkait penambangan timah yang mendasarkan pada kajian dampak lingkungan secara komprehensif. Dengan demikian, maka penetapan daerah lahan tambang, cara penambangan dan pengelolaan lahan pasca penambangan ditetapkan dengan memberi perhatian penuh pada faktor pelestarian lingkungan hidup.

Selanjutnya ayat 26 pada Pasal 1 ini berbunyi sebagai berikut: Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Bila ketentuan ini dijalankan dengan baik oleh para penambang dan dipantau pelaksanaannya dengan tegas oleh aparat pemerintah daerah, maka kegiatan reklamasi dilakukan pada setiap tahapan kegiatan eksploitasi tidak ada lagi kesempatan terjadinya kerusakan lingkungan. Sehingga kualitas lingkungan dan ekosistem akan terjaga dengan baik.

Masih pada Pasal 1, dalam ayat 27 ditetapkan sebagai berikut: Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Kembali dapat kita lihat bahwa law-nya sudah tersedia dengan baik, tinggal bagaimana law enforcement dilaksanakan dengan konsekuen dilapangan.

��

Memang kalau ditelaah lebih jauh, sebagian dari kerusakan lingkungan yang terjadi sebagian besar disebabkan penambangan oleh warga masyarakat setempat yang dikenal dengan sebutan tambang inkonvensional (T.I yang diplesetkan sebagai tambang ilegal) yang berlangsung secara sporadis dan tersebar diseluruh penjuru daerah dan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Masyarakat yang tingkat kehidupan ekonominya serba terbatas memang melihat, bahwa ekploitasi biji timah ini merupakan kesempatan untuk dapat bertahan hidup. Pada Pasal 1 ayat 2� UU 4/2009 telah mengakomodir hal ini, yakni, memberi kesempatan kepada masyarakat, baik secara individu maupun secara kolektif dalam hal pengusahaan T.I warga masyarakat seharusnya dihimpun secara kolektif dalam bentuk koperasi atau suatu paguyuban ekonomi. Sehingga proses perijinan dapat dengan baik diberikan. Penentuan lahan tambang disesuaikan rencana tata ruang daerah dan pelaksanaan eksploitasi serta kegiatan reklamasi dan pascatambang dapat dipantau sesuai aturan oleh aparat yang berwenang.

Hal-hal tersebut diatas yang pada dasarnya dapat diterapkan dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup dan lebih jauh memulihkan kerusakan yang sudah terlanjur terjadi. Kita dapatkan dengan hanya mengupas ”kulitnya” saja dari peraturan perundang-undangan yang tersedia. Kalau kita dalami lagi amanat undang-undang ini dan diterapkan sebagimana mestinya di lapangan, maka terpenuhilah tanggung jawab kita untuk bersikap adil bagi masyarakat dalam satu generasi sekarang ini dalam hal kelestarian lingkungan hidup dan ekosistem serta dapat mewariskan kondisi bumi dan sumber daya alam yang baik bagi generasi sesudah kita nanti, sebagaimana inti dari pada Inter and Intrageneration Equity Principle.

KESIMPULAN1. Keberadaan mineral biji timah di Bangka Belitung merupakan karunia

dari Tuhan YME bagi masyarakat didaerah itu dalam sisi ekonomi yang memberikan kesempatan untuk mendapatkan penghidupan dari kegiatan penambangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada sisi yang lain keberadaan timah yang tidak dikelola dan diatur dengan baik oleh aparat pemerintah daerah, disertai dengan tidak adanya kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup oleh segenap stake holder di daerah ini telah membawa kehancuran lingkungan hidup dan ekosistem di Bangka Belitung.

Indra Ibrahim - DAMPAK PENAMBANGAN TIMAH ILEGAL ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

2. PT. Tambang Timah yang telah mengeksploitasi biji timah di daerah ini selama puluhan tahun nampaknya tidak melakukan reklamasi atau pemulihan kondisi bekas lahan tambangnya dengan baik atau juga mungkin reklamasi yang telah dilakukan oleh PT. Tambang Timah tidak dijaga dengan baik, kemudian dirusak kembali oleh warga masyarakat yang melakukan penambangan ilegal dilahan bekas tambang PT. Tambang Timah tersebut yang kemudian tentu saja tidak direklamasi dan ditinggalkan dalam kondisi porak poranda.

3. Kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi di daratan yang hutannya hancur, lubang galian menganga terisi air yang oleh penduduk lokal disebut kolong (danau kecil) yang menjadi sarang berkembang biaknya nyamuk malaria diseluruh wilayah Bangka Belitung. Tetapi juga dipantai yang menyebabkan rusaknya keindahan pantai yang semula berpasir putih bersih dan berair jernih menjadi kotor dan air lautnya menjadi keruh oleh kandungan lumpur limbah tambang yang terbawa sungai kelaut. Hutan bakau (mangrove) mati dan juga terumbu karang hancur oleh sedimen lumpur limbah penambangan timah didarat yang terbawa ke laut atau juga limbah dari penambangan timah dilaut yang menggunakan kapal keruk, kapal isap dan T.I apung.

4. Pemerintah daerah harus tegas untuk mengimplementasikan semua aturan tentang penambangan timah, baik berupa peraturan perundang-undangan nasional maupun dalam bentuk peraturan daerah. Dengan demikian pelaksanaan kegiatan eksploitasi timah dapat dikendalikan dengan baik, kegiatan reklamasi dan kegiatan pascatambang dapat berjalan sesuai aturan. Orientasi penjagaan dan pemeliharaan serta pemulihan kondisi lingkungan hidup harus merupakan fokus utama pemerintah daerah dalam pengelolaan pertambangan didaerah ini. Prinsip-prinsip lingkungan hidup dalam kegiatan pertambangan seperti: teori instrumen ekonomi , prevention principle, polluter pays principle dan sustainable development principle harus diterapkan oleh pemerintah daerah.

5. Penegakan hukum harus dijalankan dengan tegas terhadap semua pihak yang melakukan pelanggaran dengan tidak memandang apakah yang bersangkutan adalah perusahaan tambang besar atau rakyat kecil, pejabat atau aparat pemerintah sendiri.

6. Terkait penambangan oleh warga masyarakat, seyogyanya mereka dike-lompokkan menjadi satuan unit produksi dalam bentuk seperti koperasi

��

atau bentuk lainnya. Kemudian diberi ijin yang tidak sulit untuk mereka urus, dibina dan diawasi pelaksanaan kegiatan eksploitasi dan reklamasinya, atau dengan kata lain mereka diakomodir untuk bisa ikut serta dalam mencari penghidupan melalui usaha tambang timah sesuai amanat dari undang undang. Lebih baik lagi bila mereka dimitrakan dengan PT.Tambang Timah dengan melakukan penambangan dilahan perusahaan secara legal, sehingga pengawasan kegiatan mereka dapat dilakukan secara berlapis oleh PT. Tambang Timah dan pemerintah daerah.

7. Pemulihan lingkungan hidup yang sudah terlanjur rusak mutlak harus dilakukan, cost yang tinggi memang akan menjadi beban berat, tapi ini suatu keharusan agar kita dapat mewariskan kondisi lingkungan hidup dan ekosistem yang baik dan tidak porak poranda kepada generasi anak cucu kita nanti.

DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Penambangan Rakyat Harus Diakomodir UU, <http://babel.antaranews.

com/berita/22397/pengamat-penambangan-rakyat-harus-diakomodir-uu>Ahmadi, Tertibkan Tambang Ilegal Satpol PP Babel Bentuk Timsus, <http://www.

harianterbit.com/hanterekonomi/read/2015/03/06/21434/21/21/Tertibkan-Tambang-Ilegal-Satpol-Babel-Bentuk-Timsus>

Prabowo, Aji Gusti. Polres Basel Hentikan Penambangan Timah Ilegal di Pinggir Jalan, <http://bangka.tribunnews.com/2015/02/24/polres-basel-hentikan-penambangan-timah-ilegal-di-pinggir-jalan>

Babel Antara News, Tambang Timah Picu Pendangkalan Pelabuhan Perahu Nelayan, <http://babel.antaranews.com/berita/22755/tambang-timah-picu-pendangkalan-pelabuhan-perahu-nelayan>

Babel Antara News, Pemkab Bangka Tindak Penambang Timah Ilegal, <(http://babel.antaranews.com/print/543/pemkab-bangka-tindak-penambang-timah-ilegal)>,

Babel Antara News, Polda Babel Gandeng TNI Tertibkan Tambang Ilegal, <(http://babel.antaranews.com/berita/22�17/polda-babel-gandeng-tni-tertibkan-tambang-ilegal)>

Sudarso, Bambang Prabowo. Prevention Principle, Materi Kuliah Hukum Lingkungan, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Pancasila Jakarta, 2015

Indra Ibrahim - DAMPAK PENAMBANGAN TIMAH ILEGAL ...

�0

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Mildan, Denil. Potret Buram di Balik Kemilau Timah, http://denimildan.blogspot.com/2011/04/potret-buram-di-balik-kemilau-timah_25.html

Prayitna, I Gede Selamet. <http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004 /6/4 /o4. html>

Kementerian Negara Lingkungan Hidup, RPP Instrumen Ekonomi Lingkungan <http://www.menlh.go.id/konsultasi-publik-penyelesaian-rancangan-peraturan-pemerintah-tentang-instrumen-ekonomi-lingkungan/>

Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Media Briefing Pembayaran Jasa Lingkungan, <http://www.menlh.go.id/media-briefing-pembayaran-jasa-lingkungan/>

Maranda, Servio, Nasional Tempo, Polda Bangka Belitung Tahan Dua Pengusaha Timah,<http://nasional.tempo.co/read/news/2014/09/17/05�607679/Polda-Bangka-Belitung-Tahan-Dua-Pengusaha-Timah>

PT. Timah, Sekilas PT Timah, <http://www.timah.com/v2/ina/tentang-kami/�410052012110526/sekilas-pt-timah/>

Wikipedia Indonesia, Kepulauan Bangka Belitung, <http://id.wikipedia.org /wiki/Kepulauan_Bangka_Belitung

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Penambangan Mineral dan Batubara

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Perubahan atas Peratuan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

�1

PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)DAPAT DIGUGAT DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Diani Kesuma

Abstrak

PPAT dapat menjadi Tergugat di Pengadilan Tata Usaha

Negara. PPAT dapat dikatagorikan sebagai Badan/Pejabat Tata

Usaha Negara, karena tugas PPAT membantu Kepala Kantor

Pertanahan dalam melaksanakan tugas dibidang Pendaftaran

Tanah, khususnya dalam melayani masyarakat dalam kegiatan

pemeliharaan data pendaftaran tanah merupakan kegiatan

Tata Usaha Negara, dan PPAT diangkat oleh Pemerintah

sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah. PPAT yang tidak menjawab

suatu permohonan yang diajukan kepadanya, maka PPAT tersebut dapat digugat

ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan alasan tidak melaksanakan kewajiban

sebagai Badan Pejabat Tata Usaha Negara yaitu tidak menjawab permohonan

yang diajukan kepadanya sehingga dapat dianggap telah mengeluarkan

Keputusan yang berisi penolakan, dan menimbulkan kerugian bagi seseorang.

Kata Kunci: Pengadilan Tata Usaha Negara, PPAT, Pejabat Tata Usaha Negara

PENDAHULUANPengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Tidak semua orang dapat beracara di Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini dikarenakan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 menentukan secara limitatif siapa saja yang dapat dijadikan Penggugat

dan Tergugat dalam sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun yang dapat dijadikan Penggugat adalah orang/individu atau badan hukum perdata yang mengalami kerugian atas dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara. Sedangkan Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara

7

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya dan Keputusan tersebut menimbulkan kerugian bagi Penggugat.

Begitu pula tidak semua Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan dapat dijadikan Tergugat. Oleh sebab itu perlu dibahas pengertian dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu sendiri. Dalam kosa kata bahasa Indonesia Pejabat adalah pegawai pemerintah yang memegang jabatan (unsur pimpinan) atau orang yang memegang suatu jabatan.1 Pejabat yang menduduki suatu jabatan selalu berganti-ganti, sedangkan jabatan terus menerus. Artinya Pejabat bisa diganti oleh siapapun, sedangkan jabatan akan tetap ada selama diperlukan dalam struktur pemerintah atau organisasi.

Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara disini secara sepintas terkesan adalah orang yang menduduki jabatan Tata Usaha Negara tersebut, padahal yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara bukanlah orangnya melainkan jabatannya. Misalkan seorang Gubernur atau walikota yang sudah pensiun tidak dapat digugat secara pribadi di Pengadilan Tata Usaha Negara karena keputusan yang dikeluarkannya pada waktu mereka masih aktif. Apabila terjadi hal seperti itu, maka yang digugat adalah Gubernur atau Walikota yang baru karena yang digugat itu adalah jabatannya, bukan pejabat atau orangnya.

Dalam Undang-Undang No 5 Tahun 19�6 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga memberikan pengertian atau istilah dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Akan tetapi tidak ada aturan hukum yang menentukan nama jabatan yang dapat dikualifikasi sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

PEMBAHASAN

Di dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 UU no 5 Tahun 19�6 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa yang dimaksud dengan urusan pemerintahan ialah kegiatan yang bersifat eksekutif, dan yang dimaksud dengan pemerintah adalah keseluruhan kegiatan yang menjadi tugas dan dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bukan pembuatan peraturan dan mengadili.2

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, Jakarta: Balai Pustaka, 200�, Hlm. 3922 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku I. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 2004 Hlm. 6�

��

Sedangkan menurut Philipus M Hadjon bahwa pemerintahan dapat dilihat 2 (dua) sudut, yaitu: a. Pemerintahan dalam arti fungsi, yakni kegiatan yang mencakup aktivitas

pemerintah; b. Pemerintahan dalam arti organisasi, yaitu kumpulan dari kesatuan-kesatuan

pemerintahan.Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara merupakan unsur pokok dan

terbesar dari penguasa diantara sekian banyaknya penyelenggaraan urusan pemerintahan. Yang disebut penguasa terutama yang berada dan berasal dari lingkungan eksekutif di pusat maupun di daerah, sejak dari Presiden sampai Kelurahan.3

Struktur pemerintahan di Indonesia, ada Pemerintah Pusat dan Pemerin-tah Daerah. Pasal 1angka 1 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yang disebut Pemerintahan Pusat yaitu:

Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia, yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah, yaitu Pemerinta-han Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Pada tingkat Pemerintah Pusat, Presiden menjalankan kekuasaan dalam bidang Pemerintahan (eksekutif). Untuk menjalankan kekuasaan tersebut Presiden dapat membentuk Badan atau instansi dengan kewenangan tertentu, seperti tersebut dalam :a. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 Tentang

Kedudukan, Tugas, Fungsi,Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia;

b. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi dan Tugas eselon I Kementrian Negara Republik Indonesia;

c. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Perubahan Kelima atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 Tentang

3 Adjie Habib, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai pejabat Publik, Cetakan kedua.Bandung: PT Refika Aditama, 2009. hlm. 21

Diani Kesuma - PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DAPAT DIGUGAT ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja LembagaPemerintah Non departemen;

d. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Perubahan Keenam atas Keputusan Presiden Nomor 110 Tentang Unit Organisasi dan Tugas eselon I Lembaga Pemerintah Non departemen;Begitu pula menurut Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

Ten-tang Pemerintah Daerah bahwa urusan pemerintah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas Otonomi dan tugas pembantuan, maka daerah propinsi dan kabupaten atau kota dapat menentukan badan atau instansi dengan kewenangan tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah daerah setempat sebagai Perangkat Daerah yang dalam tata cara atau prosedur persyaratan kriteria pembentukan suatu organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam peraturan daerah yang mengacu pedoman yang ditetapkan pemerintah.

Sebutan Pejabat Tata Usaha Negara tidak hanya ditujukan kepada mereka yang secara struktural memangku suatu jabatan Tata Usaha Negara tapi juga dapat ditujukan kepada siapa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan urusan pemerintahan, sehingga segala keputusan yang dikeluarkan yang memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, jika merugikan pihak-pihak tertentu, keputusan tersebut dapat dijadikan objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Selain itu pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak hanya pihak Pemerintah yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, karena apabila dihubungkan dengan rumusan dari Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 19�6, Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjadi sangat luas. Setiap badan, organisasi atau perorangan yang mendapat limpahan wewenang untuk menyelenggarakan “urusan Pemerintahan” dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara atas keputusan-keputusannya seperti BUMN, Telkom,PLN, POS, Garuda dan sebagainya dapat pula digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.4 Dan tidak menutup kemungkinan Pihak Swasta yang berdasarkan suatu Peraturan Perundang-Undangan tertentu diberi wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan di bidang Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan.

4 Siahaan, Lintong O. Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia: Studi tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001, Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2005, Hlm. 69.

�5

Untuk menentukan Badan atau Pejabat TUN yang dapat menjadi Tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara harus pula memperhatikan jenis dari wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan Surat Keputusan (Pelimpahan Wewenang ), yang terbagi 3 (tiga):a. Atribusi adalah wewenang yang langsung ditentukan oleh Undang- Undang

kepada Badan Pejabat Tata Usaha Negara. Misalkan: Undang-Undang Pokok Agraria jo PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

pendaftaran tanah menentukan bahwa pendaftaran tanah diselenggara-kan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan;

b. Mandat adalah wewenang yang diberikan kepada Mandataris (penerima Mandat) dari Mandans (pemberi Mandat) melaksanakan wewenang untuk dan atas nama Mandans.

Dalam hal ini tidak ada pengalihan wewenang dari Mandans kepada Mandataris. Tetap tanggung jawab ada ditangan Mandans (Pemberi Mandat).

Misalkan: Camat memberikan Mandat Kepada Lurah untuk mengeluarkan KTP seseorang. Apabila seorang Pemegang KTP tersebut merasa dirugikan, maka yang dapat digugat adalah Camat, karena tanggung jawab tetap berada di tangan Camat, mengingat Lurah mengeluarkan KTP atas nama Camat;

c. Delegasi adalah wewenang yang diberikan dengan adanya penyerahan wewenang dari pemberi delegasi kepada penerima delegasi. Penerima delegasi telah diberikan tanggung jawab untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara untuk atas nama penerima delegasi itu sendiri.Petunjuk Mahkamah Agung kepada Ketua PT. TUN dan Ketua P. TUN

mengenai pelimpahan wewenang diantaranya adalah sebagai berikut ; a. Jika wewenang yang diberikan kepada Badan atau Pejabat TUN adalah

Atribusi atau delegasi, maka yang menjadi TERGUGAT adalah Badan atau Pejabat TUN yang memperoleh wewenang tersebut untuk mengeluarkan Keputusan TUN yang disengketakan;

b. Jika wewenang yang diberikan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Mandat, maka yang menjadi TERGUGAT adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang memberikan wewenang kepada Badan Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.

Diani Kesuma - PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DAPAT DIGUGAT ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Objek yang dapat digugat dalam kasus Tata Usaha NegaraDi dalam proses pemeriksaan persidangan di Pengadilan selalu ada

pihak-pihak yang berpekara atau bersengketa yaitu pihak Penggugat (yang mengajukan gugatan) dan Tergugat (pihak yang digugat), dan ada masalah yang dipersengketakan atau yang dijadikan objek sengketa dalam gugatan Tata Usaha Negara. Selain Para pihak (subjek) yang bersengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara ditentukan oleh Undang-Undang sebagaimana telah dijelaskan diatas, begitu pula yang dapat dijadikan objek sengketa/objek gugatan ditentukan oleh Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan tata usaha negara terbagi 2 (dua) yang tertulis diatur didalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No 51 Tahun 2009 dan keputusan yang bersifat fiktif negatif diatur di dalam pasal 3 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Laica Marzuki menganjurkan agar para Hakim mencermati Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi objek sengketa apakah dikeluarkan oleh Pejabat di daerah sebagai penerima delegasi atau sebagai pelaksana mandat (mandataris) ? begitu pula Bagir Manan berpendapat harus dibedakan pengertian pemerintahan, administrasi negara dan peraturan kebijakan. Yang dapat dijadikan Objek sengketa adalah Keputusan yang berisi penetapan, sedangkan keputusan yang berisi peraturan kebijakan tidak dapat dijadikan objek sengketa. Banyak para sarjana mengartikan istilah beschikking sebagai keputusan. Sjachran Basah mengatakan beschikking adalah keputusan tertulis dari administrasi negara yang mempunyai akibat hukum, sedangkan W.F.Prins mengartikan beschikking adalah suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa, Ridwan HR mengatakan unsur yang terdapat dalam beschikking yaitu pernyataan kehendak sepihak, dikeluarkan oleh organ pemerintahan, didasarkan kepada kewenangan hukum publik, ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa konkrit dan individual, dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang administrasi.5

Keputusan atau beschikking yang dapat dijadikan objek gugatan Tata Usaha Negara harus memenuhi Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No 51 Tahun 2009 adalah suatu Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan

5 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 148

��

Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku,yang bersifat Konkret, Individual dan Final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.6 Tidak hanya Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 sebagaimana telah dijelaskan diatas yang dapat dijadikan objek sengketa dalam Tata Usaha Negara, karena mengingat tujuan didirikannya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. (Pemerintah selaku pelaksana kekuasaan bidang Eksekutif) antara lain :a. Agar Badan Pejabat TUN tidak bertindak sewenang-wenang melakukan

perbuatan yang dapat merugikan warga Negara.b. Agar Badan Pejabat TUN benar-benar melaksanakan tugas dan kewajiban

yang diberikan oleh Undang-Undang kepadanya.c. Agar Badan Pejabat TUN dalam mengeluarkan produk berupa Surat

Keputusan sesuai dengan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).Oleh karenanya apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak

melaksana-kan tugas dan kewajibannya (melayani masyarakat) dengan baik, maka Badan/Pejabat Tata Usaha Negara itu dapat digugat walaupun Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu tidak mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, Hal ini didasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 19�6 atau biasa disebut Keputusan yang bersifat Fiktif Negatif. Adapun Keputusan Tata Usaha Negara yang berupa FIKTIF NEGATIF apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak melaksanakan kewajiban mengeluarkan Keputusan atau tidak menjawab suatu permohonanan Seseorang atau Badan Hukum Perdata, sehingga Badan Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah lalai melaksanakan kewajibannya atau dapat dikatakan dengan sikap diamnya dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan menimbulkan kerugian bagi seseorang disamakan dengan mengeluarkan Keputusan TUN yang berisi Penolakan.

Perlu diketahui pula bahwa ada beberapa keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat dijadikan objek sengketa atau objek gugatan yang dapat diperiksa dan diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara, hal ini sering disebut sebagai pengecualian terhadap Objek Sengketa Tata Usaha Negara yang diatur

6 Ibid.Hlm. 149

Diani Kesuma - PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DAPAT DIGUGAT ...

��

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

dalam Pasal 2 Undang- Undang No 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan ada pula Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat dijadikan objek sengketa atau objek gugatan Tata Usaha Negara yang memenuhi Pasal 49 Undang-Undang No 5 Tahun 19�6.

Menurut Pasal 2 Undang-Undang No 9 thn 2004 yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini adalah sebagai berikut: a. Keputusan TUN yang merupakan Perbuatan Hukum Perdatab. Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umumc. Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan d. Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang-

undangan bersifat pidanae. Keputusan TUN yang dikeluarkan hasil Badan Peradilanf. Keputusan TUN mengenai Tata Usaha TNIg. Keputusan Panitia Pemilihan Hasil Pemilu

Apakah PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) merupakan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara? Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Diuraikan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan (BPN), yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, dalam hal ini Kepala Kantor di bantu oleh PPAT dan pejabat lain untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Khususnya mengenai tugas pokok PPAT diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah, yaitu PP Nomor 37 Tahun 199�. PP tersebut menyebutkan PPAT bertuga pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum. Secara fungsional jabatan PPAT termasuk dalam kategori Pejabat Tata Usaha Negara, yaitu ketika menjalankan urusan pemerintahan berupa rangkaian yang merupakan satu kesatuan dari proses pendaftaran tanah. Kegiatan PPAT dalam rangka membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan tugas dibidang Pendaftaran Tanah, khususnya dalam melayani masyarakat dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah merupakan kegiatan Tata Usaha Negara, dan PPAT diangkat oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah.

��

Apakah Produk Hukum PPAT dapat menjadi Objek gugatan Tata Usaha Negara? Produk hukum PPAT yang salah satunya berupa akta jual beli bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara karena memenuhi pasal 2 Undang-Undang No 9 Tahun 2004 (pengecualian yang tidak dapat menjadi Objek seng-keta Tata Usaha Negara),Karena Akta yang merupakan produk PPAT tersebut berisi suatu Perbuatan Hukum Perdata. Selain itu akta tidak dapat dijadikan objek sengketa Tata Usaha Negara hal ini dikarenakan sifatnya merupakan produk hukum privat (karena bersifat bilateral (tidak sepihak), kontraktual karena kesepakatan), dan tidak memenuhi Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 yang merupakan syarat untuk dapat menjadi objek sengketa Tata Usaha Negara.

Sebagaimana pendapat Indroharto Keputusan ada yang berbentuk privat dan yang berbentuk Publik. Apabila suatu produk berbentuk privat maka apabila ada seseorang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, untuk Produk yang bersifat Publik baru dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dari hasil riset studi wawancara dengan salah satu Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta ternyata belum ada kasus yang diperiksa dan diputus atau yurisprudensi mengenai gugatan terhadap penolakan PPAT dalam membuat akta. Namun menurut Hakim PTUN bahwa apabila Pejabat PPAT menolak suatu pemohonan dari seseorang atau tidak menjawab permohonan yang diajukan kepadanya maka Pejabat PPAT tersebut bisa digugat dengan kata lain PPAT dapat menjadi Tergugat dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara.7

Untuk dapat digugatnya Pejabat PPAT tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memenuhi persyaratan adanya tanda terima permohonan disertai tang-gal penerimaan yang dikeluarkan oleh Kantor Pejabat PPAT. Hal ini digunakan untuk menghitung tenggang waktu ditentukan padal 3 ayat 3 Undang-Undang no 5 Tahun 19�6 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sikap diamnya dari PPAT yang tidak menjawab suatu permohonan yang diajukan kepadanya, maka PPAT tersebut dapat Digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan alasan tidak melaksanakan kewajiban sebagai Badan Pejabat Tata Usaha Negara yaitu tidak menjawab permohonan yang diajukan kepadanya, maka menurut Pasal 3 UU no 5 Tahun 19�6 Pejabat PPAT dapat dikatakan telah

7 Meutia Febri dan Diani Kesuma, Produk Hukum dari Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Sengketa Di Pengadilan Tata Usaha Negara (Penelitian), Jakarta, Lembaga Penelitian Fakuktas Hukum Universitas Pancasila, 2014

Diani Kesuma - PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DAPAT DIGUGAT ...

100

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

mengeluarkan Keputusan yang bersifat penolakan, dan menimbulkan kerugian bagi seseorang. Pejabat PPAT tersebut dapat digugat dengan menggunakan Keputusan yang bersifat Fiktif Negatif.

PENUTUPPPAT dapat menjadi Tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, PPAT dapat

dikatagorikan sebagai Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, karena tugas PPAT mem-bantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan tugas dibidang Pendaftaran Tanah, khususnya dalam melayani masyarakat dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah merupakan kegiatan Tata Usaha Negara, dan PPAT diangkat oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah.

PPAT yang tidak menjawab suatu permohonan yang diajukan kepadanya, maka PPAT tersebut dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan alasan tidak melaksanakan kewajiban sebagai Badan Pejabat Tata Usaha Negara yaitu tidak menjawab permohonan yang diajukan kepadanya sehingga dapat dianggap telah mengeluarkan Keputusan yang berisi penolakan, dan menimbulkan kerugian bagi seseorang. Maka menurut Pasal 3 UU no 5 Tahun 19�6 Pejabat PPAT tersebut dapat digugat dengan menggunakan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Fiktif Negatif. Sedangkan Produk hukum PPAT berupa akta bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara karena berisi suatu Perbuatan Hukum Perdata yang memenuhi pasal 2 Undang-Undang No 9 Tahun 2004 (pengecualian yang tidak dapat menjadi Objek sengketa Tata Usaha Negara), Selain itu akta tidak dapat dijadikan objek sengketa Tata Usaha Negara hal ini dikarenakan sifatnya merupakan produk hukum privat (karena bersifat bilateral (tidak sepihak), kontraktual karena kesepakatan), dan tidak memenuhi Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 yang merupakan syarat untuk dapat menjadi objek sengketa Tata Usaha Negara.

DAFTAR PUSTAKAAdjie, Habib. Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai pejabat

Publik, Cetakan kedua. Bandung: PT Refika Aditama, 2009.Febri, Meutia dan Kesuma Diani, Produk Hukum dari Pejabat pembuat Akta

Tanah (PPAT) Dalam Sengketa Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Lembaga Penelitian Fakuktas Hukum Universitas Pancasila, 2014.

101

Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2004.

Siahaan, Lintong O. Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia: Studi tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001, Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2005.

HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, Jakarta: Balai Pustaka, 200�.

10�

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

BIODATA PENULIS

Mardjono Reksodiputro: Lahir di Blitar Jawa Timur, 13 Maret 1937, memperoleh gelar Guru Besar dari Universitas Indonesia tahun 1992, Master of Art (M.A) diselesaikan di Universitas of Pennsylvania dengan pendalaman Ilmu Kriminologi. Sarjana Hukum (S.H) diperoleh di Universitas Indonesia tahun 1961. Departemen Kriminologi FISIP UI secara khusus memberikan penghargaan dengan mengabadikan namanya untuk sebuah nama gedung di kampus Universitas Indonesia Salemba atas dedikasi, pengabdian dan kontibusi pemikirannya dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana, dimana gedung tersebut diresmikan pada tahun 2009. Dalam khasanah akademik beberapa posisi strategis pernah diembannya, antara lain: Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1996-2006); Sekretaris dan kemudian menjadi Ketua Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990-2002); Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (19�4-1990). Sejak tahun 2001-2014 aktif sebagai komisioner sekaligus sebagai Sekretaris Komisi Hukum Nasional (KHN). Saat ini sampai tahun 201� dipercaya sebagai Ketua Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Beberapa karya yang sudah dubukukan antara lain: Menyelaraskan Pembaruan Hukum, Penerbit Komisi Hukum Nasional, Desember 2009; Perenungan Reformasi Hukum, Penerbit Komisi Hukum Nasional, November 2013. Di luar aktifitas akademik menjalani aktifitas sebagai Teman Serikat pada Kantor Konsultan Hukum Ali Budiardjo Nugroho Reksodiputro.

Frans Hendra Winarta: Lahir di Bandung, 17 September 1943. Pada tahun 2015 dikukuh-kan sebagai Guru Besar di Universitas Pelita Harapan. Tahun 2007 menyelesaikan Program Doktor di Universitas Padjajaran. Memperoleh Master tahun 199� di bidang Hukum Pidana dari Universitas Indonesia. Gelar Sarjana Hukum diperoleh dari Universitas Katolik Parhyangan Bandung tahun 1970. Profesi utamanya adalah sebagai Advokat pada Frans Winarta & Partners. Selain itu juga aktif mengajar di Universitas Pelita harapan dan Universitas Pancasila. Sejak tahun 2001-2014 dipercaya menjadi anggota Komisi Hukum Nasional (KHN). Dalam organisasi, baik nasional dan internasional tercatat aktif sebagai anggota Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN). Pada periode 1990-2003 menjabat sebagai Ketua Hubungan Internasional IKADIN selama 3 periode.

10�

Dalam Lingkup Internasional menjadi anggota dari Internastional Bar Association (IBA) di London sejak tahun 19�5, Pernah menjadi perwakilan Negara Indonesia (Indonesia Country Representative) IBA, anggota Penasehat (Board of Council) IBA. Dan Dewan Penasehat HRI (Human Rights Institute) yang didirikan oleh IBA.

Bambang Prabowo Soedarso: Lahir, di Purwokerto, 20 Juli 1945. Menyelesaikan Doktoral Ilmu Hukum di Universitas Indonesia Tahun 2003. Master of Environmental Study dari Dalhousy University, Halifax Canada pada Tahun 19��. Sarjana Hukum diselesaikannya di Universitas Indonesia pada Tahun 1976. Dalam bidang akademisi aktifitasnya dapat dijumpai di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Pancasila dengan spesifikasi Mata Kuliah Hukum Lingkungan. Selain itu juga mengajar Mata Kuliah yang sama di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Jayabaya. Dalam karier pemerintahan pernah memberikan pengabdian sebagai Sekretaris BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup) tahun 199�.

Ricco Akbar: Lahir di Jakarta, 29 Januari 1959, Menyelesaikan doktornya di bidang Ilmu hukum dan Bisnis Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran. Magister Hukum diselesaikan di Universitas Pelita Harapan tahun 2004 dengan konsentrasi pada bidang Hukum Bisnis. Sarjana Hukum diperoleh pada Fakultas Hukum Jurusan Perdataan Universitas Padjajaran Bandung. Profesi utamanya adalah sebagai sebagai advokat dan mediator penyelesaian sengketa bisnis ini. Beberapa pendidikan non formal pernah pernah ditempuhnya, antara lain: di International Business Law & Practices KADIN/ICC, Arah Kebijakan Hukum E-Commerce di UI, Aspek Legal pada Era Bisnis Global di UPH, Pemahaman dan Pemberdayaan HaKi, Sinkronisasi Pembangunan Hukum. Aktifitas lainnya adalah pernah aktif di Pengurus DPC Ikadin Jakarta Selatan, Pengurus DPC PERADI Jakarta Selatan dan sampai sekarang sebagai anggota Dewan Kehormatan Daerah PERADI DKI Jakarta. Pengalaman lainnya: Associate Tasrif & Tasrif Law Office, Advokat & Mediator Ricco Akbar, Sekarang bekerja di Partner pada Yunadi & Associates.

M. Husseyn Umar: Saat ini mengemban amanat sebagai Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Wakil Ketua Forum Diskusi Perhubungan Laut

BIODATA PENULIS

10�

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

dan Penasehat Indonesian National Shipowners Association (INSA). Meupakan Alumni Universitas Indonesia. Pernah mengepalai Bagian Hukum dari Kementerian Pelayaran/Perhubungan Laut dan kemudian menjadi Direktur Urusan Perusahaan Maritim Negara. Pernah menjabat sebagai Direktur Utama Perusahaan Sewa Guna Perkapalan PT.PANN dan setelah itu menjadi Direktur Utama Perusahaan Pelayaran Nasional PT.PELNI. Kemudian diangkat menjadi Atase Perhubungan dan Maritim pada Kedutaan Besar RI di Den Haag (Negeri Belanda). Ditunjuk sebagai Sectoral Support Adviser di bidang Pelayaran, Pelabuhan, Transportasi Multimodal dan Legislasi Maritim pada Sekretariat Badan Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) di Jenewa. Selain itu juga aktif dalam keanggotaan Profesional, seperti, PERADI (Persatuan Advokat Indonesia), AKHI (Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia), IPBA (Inter-Pacific Bar Association).

Diani Kesuma: Lahir di Jakarta, 15 Mei 1962 memperoleh Magister Hukum tahun 2002 dari Universitas Indonesia. Gelar Sarjana Hukum didapatkannya dari Universitas Pancasila tahun 19�6. Sekarang aktif mengajar di Fakuktas Hukum Universitas Pancasila dan Universitas Katolik Atmajaya Jakarta. Sebelumnya pernah pula mengajar di Universitas Tarumanegara, Universitas Attahiriyah. Kegiatan mengajar lainnya adalah mengajar PKPA untuk calon Advokad. Sejak tahun 19�9 aktif menjadi Advokad sebagai anggota Ikadin dan Peradi. Sekarang dipercaya sebagai Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila.

Indra Ibrahim: Lahir di Muntok Bangka, 10 Oktober 1953, Sekarang sedang menempuh Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila, menyelesaikan gelar sarjana di dua kampus yang berbeda, yakni di Institut Teknologi Tekstil Bandung dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Saat ini bekerja di Counsellor at Law- ABMS Law Office, Certified Legal Auditor. Pengalaman Kerja yang pernah dilaluinya antara lain, Direktur Utama PT. Aceh Samudratex- Lhok Seumawe Aceh. General Manager HRD PT. Argo Pantes Jakarta, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jakarta. Pernah menjadi Hakim Ketenagakerjaan P4 Pusat. Pengalaman Organisasi, Ketua Umum DPP Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), Wakil Sekretaris Jenderal DPP Apindo, Ketua Bidang Hubungan Industrial Kadin Indonesia, Ketua Bidang UKM BPN Asosiasi Pertekstilan Indonesia.

105

PEDOMAN PENULISANJURNAL SELISIK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA

Jurnal Selisik merupakan media yang diterbitkan oleh Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila. Secara khusus Jurnal Selisik dimaksudkan untuk menyemaikan pelbagai pemikiran, kajian dan hasil-hasil penelitian diantara bidang Hukum dan Bisnis. Persoalan Hukum dan Bisnis menjadi tema sentral dari Jurnal Selisik, terutama mengenai hubungan hukum dan bisnis dengan ragam cabangnya. Sementara secara umum Jurnal Selisik juga memfasilitasi beragam persoalan hukum lainnya, seperti persoalan ketatanegaraan, konstitusi dan disiplin ilmu hukum lainnya. Jurnal Selisik ditujukan kepada pelbagai pemangku kepentingan, antara lain akademisi, praktisi, penyelenggara negara, LSM dan lain sebagainya yang memiliki perhatian yang sama dengan Jurnal Selisik.

Berikut tata cara penulisan dan pengiriman naskah Jurnal Selisik:1. Naskah yang dikirim merupakan karya ilmiah asli (original) dan tidak mengandung unsur

plagiarisme2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman, kertas ukuran A4, jenis

huruf Times New Roman dengan font 12, spasi 1,5. Menggunakan bahasa baku, baik dan benar.

3. Sistematika penulisan artikel Hasil Penelitian mencakup: Judul artikel, Nama Penulis, Lembaga Penulis, Alamat Lembaga Penulis, Alamat Email Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan (berisi, latar belakang masalah, permasalahan, dan metode penelitian), Pembahasan (berisi, hasil penelitian, analisis dan sub-sub bahasan), Kesimpulan (berisi simpulan dan saran, Daftar Pustaka, dan terakhir Curriculum Vitae penulis.

4. Untuk sistematika artikel Kajian Konseptual terdiri: Judul Artikel, Nama Penulis, Lembaga Penulis, Alamat Lembaga Penulis, Alamat Email Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Pembahasan (analisis dan sub-sub bahasan), Kesimpulan (berisi simpulan dan saran), dan Daftar Pustaka.

5. Judul dibuat dengan spesifik, lugas, tidak lebih dari 12 kata dan menggambarkan isi artikel secara menyeluruh.

6. Abstrak ditulis secara gamblang, utuh, dan lengkap yang menggambarkan substansi isi keseluruhan artikel dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, masing-masing satu paragraf.

7. Kata kunci (key word) yang dipilih harus mencerminkan konsep yang dikandung artikel sejumlah 3-5 istilah.

�. Cara pengacuan dan pengutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes) Kutipan Buku: Nama penulis, judul buku, tempat penerbitan: nama penerbit, tahun terbitan,

halaman kutipan Contoh:

Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, Jakarta, Komisi Hukum Nasional (KHN), 2014, h. �7

Tom Campbell, Separation of Power in Practice, California, Stanford University Press, 2004, h. 90

Kutipan Jurnal: Nama penulis, “judul artikel” nama jurnal, volume, nomor, bulan dan tahun, halaman kutipan.

Contoh: Dadang Sutiadi, “Mengenal Sebuah Model Pencegahan Kejahatan”, Jurnal Kriminologi

Indonesia, volume 3, Nomor I, Juni 2003, h. 60.

10�

SELISIK - Volume 1, Nomor 1, Juni �015

Neal Milner, “The Right to Refuse Treatment: Four Case Studies of Legal Mobilization”, The Journal of the Law and Society Association, Volume 21, Issue 3, April 19�7, h. 4�0

Kutipan makalah/paper/orasi ilmiah: Nama penulis, “judul makalah”, nama forum kegiatan,

tempat kegiatan, tanggal kegiatan, halaman kutipan. Contoh:

Frans Hendra Winarta, “ Prinsip Proses Dan Praktik Arbitrase di Indonesia Yang Perlu Diseleraskan Dengan Kaidah Internasional”, Naskah Pidato Pengukuhan Guru besar Fakultas Hukum Universitas Pelita harapan Karawaci, Universitas Pelita Harapan, 29 April 2015, h. 20

Simon Butt, “Indonesia’s Anti-Corruption Courts: Are They as Bad as Most People Say and Are They Getting Better?”, Papers presented as a CILIS Seminar at the Melbourne Law School, the University of Melbourne, 17 July 2013, h. 19

Kutipan Internet/media online: Nama Penulis, “Judul tulisan”, alamat portal (website/online), tanggal diakses/unduh

Contoh:Adnan Topan Husodo, ”Demokratisasi dan Korupsi Parpol”, http://nasional.kompas.com/

read/2015/01/09/14000091/Demokratisasi.dan.Korupsi.Parpol, di unduh 20 Juni 2015Simon Butt, “Indonesia’s Anti-Corruption Courts: Are They as Bad as Most People Say

and Are They Getting Better?”, https://www.law.unimelb.edu.au/files/dmfile/CILISPolicyPaper3-Dick_Butt_finalforweb2.pdf, diunduh 20 Juni 2015.

9. Daftar pustaka memuat daftar buku, jurnal, makalah/paper/orasi ilmia, baik cetak maupun online yang dikutip dalam naskah, disusun secara alfabetis (a-to z) dengan susunan: Nama Penulis (mendahulukan nama keluarga/marga) tahun, judul, tempat penerbitan: penerbit, dst.

Contoh:Adnan Topan Husodo, 2015, Demokratisasi dan Korupsi Parpol, Jakarta. Koran KompasButt, Simon, 2013, “Indonesia’s Anti-Corruption Courts: Are They as Bad as Most People

Say and Are They Getting Better?”, https://www.law.unimelb.edu.au/files/dmfile/CILISPolicyPaper3-Dick_Butt_finalforweb2.pdf, diunduh 20 Juni 2015

Campbell, Tom, 2004, Separation of Power in Practice, California, California, Stanford University Press

Dadang Sutiadi, 2003, Mengenal Sebuah Model Pencegahan Kejahatan, Jurnal Kriminologi Indonesia, volume 3, Nomor I, Juni, h. 57-66.

Frans Hendra Winarta, 2015 “Prinsip Proses Dan Praktik Arbitrase di Indonesia Yang Perlu Diseleraskan Dengan Kaidah Internasional”, Naskah Pidato Pengukuhan Guru besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Karawaci, Universitas Pelita Harapan, 29 April

Mardjono Reksodiputro, 2014, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, Jakarta, Komisi hukum Nasional (KHN)

Milner, Neal, 19�7 “The Right to Refuse Treatment: Four Case Studies of Legal Mobilization”, The Journal of the Law and Society Association, Volume 21, Issue 3, April h. 447-4�5

10. Naskah diketik dalam bentu file document (doc) dikirim melalui email: [email protected] atau [email protected] atau melalui pos kepada: Redaksi Jurnal Selisik Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila, Jl. Borobudur no. 07 Jakarta 10320 Telp (021) 3919013 Fak. (021) 31922267.

11. Redaksi menyeleksi dan mengedit naskah yang masuk tanpa mengubah substansi.

Jurnal Selisik merupakan media yang diterbitkan oleh Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila. Dengan ragam gagasan di bidang hukum dan bisnis yang menjadi semacam core Jurnal Selisik, maka Jurnal Selisik bermaksud menjadi informasi mengenai persoalan-persoalan Hukum yang bertalian dengan Bisnis, maupun kajian hukum dan bisnis yang memiliki disiplin dan cabangnya masing-masing Jurnal Selisik juga diharapkan dapat menyemaikan pemikiran-pemikiran kritis, segar dan menjadi alternatif yang mendorong semangat keilmuwan dengan paradigma kemajuan dan kebaruan. Jurnal Selisik di proyeksikan menjadi kanalisasi dari hasil-hasil penelitian dan gagasan

orisinil dalam bidang hukum dan bisnis

2015 Program Magister Ilmu Hukum Terbit dua kali setahun

ISSN Universitas Pancasila Harga: Rp ................................

FORM BERLANGGANAN

Kepada Yth.Sekretariat Redaksi Jurnal SelisikJl. Borobudur N0. 7 Jakarta 10320 Telp (021) 391913, Fax (021) 31922267Email: [email protected]; [email protected]

Saya ingin berlangganan Jurnal Selisike edisi No ......................... Tahun .............Harga Jurnal Selisik untuk 1 edisi Rp................................................................(Harga belum termasuk ongkos kirim)Akan saya transfer ke Rekening Jurnal selisik

Nama pelanggan : .............................................................................................Umur : ........................ Pekerjaan : .............................................................................................Alamat pengiriman : ............................................................................................. .............................................................................................Kota/Propinsi : ............................................................ Kode Pos ...............Telp. : .............................................................. Fax. : ..............................................................E-mail : ..............................................................