diabetes mellitus tipe 1 new
DESCRIPTION
FarmakologiTRANSCRIPT
DIABETES MELLITUS TIPE 1
A. GEJALA
Diabetes tipe 1 lebih jarang dijumpai dibanding diabetes tipe 2, ditandai oleh
defisiensi insulin yang berat. Penyakit ini sering mengenai individu berusia kurang dari 30
tahun, insiden puncak terjadi saat pubertas. Meskipun destruksi autoimun sel β tidak terjadi
secara akut, gejala klinisnya muncul mendadak. Pasien mengalami poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan serta peningkatan mencolok kadar glukosa serum
dalam beberapa hari atau minggu. Badan keton juga meningkat akibat ketiadaan insulin,
yang menyebabkan asidosis berat yang dapat mengancam nyawa (ketoasidosis diabetes).
Oleh karena itu, pasien dengan DM tipe 1 memerlukan terapi dengan insulin (McPhee,
2010).
B. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-
sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada pula yang
disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus,
Herpes, dan lain sebagainya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Salah satu teori yang menjelaskan etiologi DM tipe 1 adalah kerusakan sel-sel beta
pankreas akibat faktor infeksi dan lingkungan yang menjadi penyebab sistem imun yang
berhubungan dengan genetik. Selanjutnya berkembang menjadi respon imun yang melawan
sel beta pankreas yang sudah menyatu dengan protein virus. Bagaimana pun juga, autoimun
perlu dipertimbangkan sebagai faktor utama pada patofisiologi DM tipe 1.
Ada beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain
ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi
terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). ICCA merupakan autoantibodi utama yang
ditemukan pada penderita DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans
saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
1
Gambar 1. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 1(http://1.bp.blogspot.com/dsTq6aLCSXg/T2PF6mYIRaI/AAAAAAAAAAo/t61uHHmISX4/
s640/Pathogenesis.jpg)
Pada pancreas terdapat pulau Langerhans, di mana di dalamnya terdapat beberapa tipe
sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi
glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Pada DM tipe 1
umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi
autoimun (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Patogenesis diabetes mellitus tipe 1 berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
sel Treg dan sel Teff ( effector T-cells) (Bluestone, Herold, and Eisenbarth, 2010). Pada
pasien non-diabetes, immature dendritic cells (IDC) mengaktifkan pengaturan T-limfosit
(Treg), di mana menginduksi toleransi sentral sehingga tidak ada kematian sel- β. Sementara
pada penderita diabetes mellitus tipe 1, terjadi ketidakseimbangan sel Treg dan sel Teff ( sel
2
T CD4+ efektor) sehingga mengakibatkan proses apoptosis sel β terjadi (Csorba, Lyon, and
Hollenberg, 2010).
Pada pasien diabetes mellitus tipe 1, DCs bind melepaskan antigen sel β dari pulau
Langerhans dan mengekspresikan MHC (Major Histocompatibility complex)/molekul
Human leukocyte antigen (HLA) kelas 1. Molekul MHC berikatan dengan sel T CD8+
sehingga mengakibatkan terjadi pelepasan sitokin sitotoksik (IFN-gamma dan granzyme).
Di dalam pancreas setelah menerima rangsangan dari luar, sel pada islet Langerhans
melepaskan antigen sel β. Antigen tersebut akan ditangkap oleh sel iDCs (immature
dendritic cells) dan dimigrasikan ke dalam kelenjar getah bening. Selama bermigrasi iDCs
ini menjadi mature dan diekspresikan dengan molekul MHC kelas II. Antigen ini akan
dikenali oleh sel T CD4+, yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel T efektor CD4+ yang
bersifat autoreaktif (Summers, Marleau, Stephens, Mahon, and Singh, 2004). Kemudian
terjadi pengekspresian adhesi molekul dan reseptor chemokine, lalu bermigrasi. CD95L
sebagai mediator ‘killing’ akan memediasi terjadinya apoptosis pada sel β.
Di jalur lain, sel T CD4+ efektor (sel Teff) yang diaktifkan akan melepaskan sitokin
pro-inflamasi, seperti IL-2, IL-12, IFN-γ dan TNF-α, yang kemudian akan terjadi respon
inflamasi (insulitis). Sel- β pankreas mengalami apoptosis yang juga diperantarai oleh IL-1
dan tumor necrosis factor (TNF) cytokines (Roncarolo and Battaglia, 2007).
C. PENATALAKSANAAN
1. Tujuan Terapi
Untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam kisaran normal, dipertahankan dalam
kondisi <100 mg/dL (kondisi puasa), 140 mg/dL (setelah makan) dan 70-150 mg/dL
(kondisi glukosa darah sewaktu). Mengontrol kadar glukosa bagi pasien penyakit diabetes
tipe 1 berguna untuk mencegah atau menunda komplikasi diabetes jangka panjang.
(GroupHealth, 2013).
3
Tabel 3. Kadar Glukosa Ideal
waktu Target
Sebelum makan 70-120 mg/dL
2 jam setelah makan 160 mg/dL
tidur 70-120 mg/dL
3 a.m 70-120 mg/dL
Untuk mengurangi kemungkinan resiko penyakit komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular. Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1.
Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c)
menyebabkan dinding pembuluh darah semakin lemah dan menyebabkan penyumbatan
pada pembuluh darah kecil, seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan
amputasi. Neuropati diabetik berkaitan dengan hiperglikemia dan hal tersebut terjadi karena
meningkatnya absorpsi glukosa oleh sel-sel Schwann. Beberapa manifestasi klinis yang
berhubungan dengan neuropati antara lain nyeri terbakar, dan rasa baal terutama pada
ekstremitas tubuh, kelemahan otot, dan timbulnya parestesi pada rongga mulut. Retina dan
mikrosirkulasi glomerulus ginjal adalah organ yang paling terpengaruh. Retinopati diabetik
merupakan penemuan umum pada pasien diabetes tipe 1 dan kurang terlihat pada pasien
diabetes tipe 2. Nefropati diabetes adalah penyebab utama pasien diabetes tipe 1 akibat
gagal ginjal. Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM
adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung
koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke. Pencegahan komplikasi makrovaskuler
sangat penting dilakukan, maka penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidup
termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet gizi seimbang, olahraga teratur, tidak
merokok, dan mengurangi stress (Tridjaja dkk., 2009).
Upaya untuk mengurangi resiko penyakit jantung sangat penting bagi penderita
diabetes melitus. Pada tabel di bawah adalah salah satu faktor resiko penyakit jantung dan
penurunan resiko penyakit jantung.
Tabel 2. Salah satu faktor risiko jantung dan tujuan penurunan risiko jantung
Faktor risiko Tujuan
Tekanan darah Dibawah 140/80 mmHg
Kolestrol LDL Dibawah 100 mg/dL
Hemoglobin A1c (HbA1c) Dibawah 7%
IFG 80-120 mmhg
Apabila HbA1c < 7% sangat ideal. Sedangkan pada pasien usia lanjut HbA1c 7%-
9% sangat wajar
(GroupHealth, 2013).
Untuk mengurangi kematian, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
4
2. Terapi Non-Farmakologi
Diet dan aktifitas fisik
Harus menjaga asupan makanan, makan makanan yang bernutrisi, menyeimbangkan
asupan makanan dengan aktifitas fisik, setidaknya sehari melakukan aktifitas fisik selama
30 menit dalam sehari. Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksaan
diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang, dalam
hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi yang baik sebagai berikut:
Karbohidrat : 60 – 70 %
Protein : 10 – 15 %
Lemak : 20 – 25 %
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan
kegiatan fisik yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat
badan ideal. Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan.
Masukan kolesterol tetap diperlukan namun jangan melebihi 300 mg perhari. Sumber lemak
diupayakan yang berasal dari nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh
daripada asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam
(terutama daging dada), tahu dan tempe.Masukan serat sangat penting bagi penderita
diabetes, diusahakan paling tidak 25 g perhari. Di samping akan menolong menghambat
penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat
membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM. Pada pasien DM tipe 1
perhatian utama pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk mencapai
dan memelihara berat badan yang sehat .penurunan berat badan telah dibuktikan dapat
mengurangi resitensi insulin dan memperbaiki respon sel beta terhadap stimulus glukosa
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Saat ini terdapat dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur
jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah
raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya
bagi kesehatan. Misalnya dengan olah raga jalan kaki, bersepeda, jogging, lari dan renang
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
5
Pengelolaan berat badan
Kondisi resiko penyakit serius seperti : tekanan darah tinggi, penyakit jantung,
arthritis, dan stroke serta diabetes melitus dapat meningkatkan indeks massa tubuh (BMI)
sebesar 25 bahkan melebihi 25. Obesitas memiliki BMI 25-29,9, bahkan bisa melebihi 30.
(BMI = berat badan dalam kilogram dibagi dengan tinggi dalam meter kuadrat [kg / m2].).
obesitas dapat di hentikan dengan cara diet yang teratur yang makan-makanan yang berserat
serta bernutrisi tinggi (GroupHealth, 2013).
Perawatan kaki
Untuk pasien berisiko sangat tinggi atau peningkatan risiko ulkus kaki, dianjurkan
perawatan kaki sehari-hari, Pasien yang beresiko ulkus kaki akan mengalami amputasi, atau
cacat (GroupHealth, 2013).
3. Terapi Farmakologi
Pilihan obat : Insulin eksogen.
Definisi
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon glukosa.
Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai,
rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin
mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme, efek
kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel.
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM Tipe I,
sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat
memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat
insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat
berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi
insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi
hipoglikemik oral.
Penggolongan Insulin
Jenis-jenis insulin :
a. Berdasarkan bahan
1. Insulin manusia
2. Insulin dari binatang (sapi,babi) (Sutedjo, 2010).
6
b. Berdasarkan lama kerjanya
1. Rapid-acting: insulin lispro, insulin aspart, and insulin glulisine
2. Short-acting: regular (soluble) insulin
3. Intermediate-acting: NPH (isophane) insulin
4. Long-acting: insulin glargine and insulin detemir (Rushakoff, 2009).
Tabel 1. Jenis Insulin Berdasarkan Lama Kerjanya dan Farmakokinetiknya
Insulin
Preparation
Onset of
Action
(h)
Peak action
(h)
Effective
duration of
action (h)
Maximum
duration
(h)
Short-acting
Insulin lispro
(Humalog)¼ - ½ ½- 1 ¼ 3-4 4-6
Insulin aspart
(NovoLog)¼ - ½ ½ -1 ¼ 3-4 4-6
Insulin
glulisine
(Apidra)
¼ - ½ ½ -1 ¼ 3-4 4-6
Regular
(soluble)½ - 1 2-3 3-6 6-8
Intermediate-acting
NPH
(isophane)2-4 6-10 10-16 14-18
Long-acting analogue
Insulin
glargine
(Lantus)
3-4 8-16 18-20 20-24
Insulin detemir
(Levemir)3-4
6-8 (though
relatively
flat)
14up to 20 to
24
(Rushakoff, 2009).
Pemberian jenis insulin
7
Tahap awal : insulin dengan kerja sedang, kemudian ditambahkan insulin dengan
kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan.
Tahap pengobatan : insulin dengan kerja panjang. Namun, apabila kadar glukosa basal
(glukosa sewaktu) tidak sesuai normal, maka perlu ditambahkan
insulin dengan kerja cepat.
Pemberian insulin secara intensif
Pemberian insulin secara intensif biasanya menggunakan insulin basal kerja
panjang (long acting) Insulin kerja panjang (long acting). Insulin ini tidak ada puncak
kerjanya (peakless), seperti glargine. Insulin basal adalah insulin yang dibutuhkan untuk
mengontrol gula darah pada saat tidak masuknya asupan makanan dan insulin bolus
(bekerja cepat) seperti lispro. Insulin bolus adalah insulin yang di perlukan untuk
membuang energi yang di hasilkan oleh makanan dari aliran darah ke jaringan untuk
menggantikan penyiapan energi (GroupHealth, 2013).
Perhatian yang perlu di lakukan pada pasien yang menggunakan insulin antara lain :
Mengidentifikasi pola pemantauan gula darah sebelum sarapan (puasa), sebelum
makan siang, sebelum makan malam, dan sebelum tidur
Membatasi jumlah karbohidrat
Memantau kadar glukosa darah
Menyesuaikan jumlah insulin
Dosis insulin lebih besar dari 50 unit harus dipecah menjadi dua suntikan
terpisah, diberikan dalam lokasi yang berbeda.
Perhatikan pola makan,olah raga dan terapi insulin.
(GroupHealth, 2013).
Tabel 2. Macam-macam Insulin dan Aturan Penggunaannya
8
(Rismayanthi, C., 2008).
Regimen Dosis
a. Dosis terapi insulin awal pada anak-anak :
1. Anak-anak dengan hiperglikemia sedang tanpa ketonuria atau asidosis diawali dengan
dosis tunggal insulin kerja sedang per hari secara subkutan sebanyak 0,3-0,5 unit/kg.
2. Anak-anak dengan hiperglikemia dan ketonuria tetapi tanpa asidosis atau dehidrasi
dapat diberikan dosis awal insulin kerja sedang sebanyak 0,5-0,7 unit/kg dan
diberikan secara subkutan sebanyak 0,1unit/kg secara teratur dalam interval 4-6 jam.
b. Dosis terapi insulin pada dewasa
Insulin reguler adalah insulin short-acting dan umumnya disuntikkan secara
subkutan 2-5 kali sehari dalam waktu 30-60 menit sebelum makan. Dosis insulin harus
disesuaikan secara individual untuk mencapai / mempertahankan tingkat glukosa darah
target yang ditentukan oleh berbagai faktor termasuk berat badan, lemak tubuh, aktivitas
fisik, sensitivitas insulin, kadar glukosa darah, dan glukosa darah sasaran.
9
Regimen konvensional : Dosis total insulin setiap hari diberikan sebagai campuran
dari insulin rapid / short-acting dan insulin intermediate-acting dalam 1-2 suntikan.
Suntikan dua kali sehari lebih disukai untuk kontrol glikemik yang lebih baik. Dengan
rejimen 2-injeksi, umumnya dua pertiga dari dosis harian diberikan sebelum sarapan dan
sepertiga diberikan sebelum makan malam.
Regimen Intensif : Dosis total harian diberikan 3 atau lebih suntikan atau infus
subkutan secara terus-menerus untuk menutupi basal dan kebutuhan insulin bolus pre-
meal. Persyaratan basal adalah sekitar 30-50% dari dosis total, diberikan sebagai insulin
intermediate atau long-acting (NPH, zinc, extended zinc, lispro-protamine, glargine) 1-2
kali sehari. Bolus Meal sekitar 50-70% dari dosis total, diberikan sebagai rapid / short-
acting insulin (regular, aspart, lispro) 2-5 kali sehari sebelum makan. Regimen umum
meliputi suntikan rapid/short acting insulin sebelum makan bersama dengan suntikan
insulin intermediate atau long-acting di pagi hari dan / atau malam. Penyesuaian dosis
dibuat untuk mencapai kadar glukosa darah target dan didasarkan pada pengukuran
glukosa darah sering, diet dan tingkat latihan
(http://www.drugs.com/dosage/insulin-regular.htm)
Jumlah kebutuhan insulin harian:
Dosis awal: 0,5-0,8 unit / kg / hari subkutan
Fase Honeymoon (fase remisi) : 0,2-0,5 unit / kg / hari subkutan
Terapi dosis terbagi: 0,5-1,2 unit / kg / hari subkutan
Resistensi insulin: 0,7-2,5 unit / kg / hari subkutan
(http://www.drugs.com/dosage/insulin-regular.html)
Cara Penggunaan
Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya dikemas dalam
bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan subkutan (di bawah kulit).
Lokasi penyuntikan yang disarankan ditunjukan pada gambar 2 di bawah ini.
10
Gambar 1. Lokasi penyuntikan insulin yang disarankan
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal. Penyerapan paling cepat terjadi di
daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan bokong. Bila disuntikkan
secara intramuskular dalam, maka penyerapan akan terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya
menjadi lebih singkat. Kegiatan fisik yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan
mempercepat waktu mula kerja (onset) dan juga mempersingkat masa kerja (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam bentuk pompa
(insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan menyemprotkan larutan insulin ke
dalam kulit. Sediaan insulin untuk disuntikkan atau ditransfusikan langsung ke dalam vena
juga tersedia untuk penggunaan di klinik. Penelitian untuk menemukan bentuk baru sediaan
insulin yang lebih mudah diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan. Diharapkan suatu
saat nanti dapat ditemukan sediaan insulin per oral atau per nasal (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2005).
Efek Samping Obat
Efek samping dari insulin yang dapat terjadi berupa :
11
a. Hipoglikemia biasanya terjadi karena over dose atau tidak/terlalu lambat makan sesudah
injeksi. Juga karena kerja fisik terlalu berat atau interaksi dengan obat-obat yang
diminum bersamaan. Hipoglikemik ternyata lebih sering terjadi pada insulin human.
Mungkin karena gejala adrenergik,seperti rasa lapar dan berkeringat,kurang nyata
dirasakan berhubung regulasi gula darah yang lebih baik. Semakin baik regulasi gula
darah,semakin kecil risiko akan keadaan hipoglikemik serius
b. Reaksi alergi di kulit tempat injeksi adakalanya terjadi dan kebanyakan ditimbulkan oleh
zat-zat tambahan (protamin, seng, zat-zat pengawet, kotoran). Alergi untuk insulin jarang
terjadi dan umumya bersifat lokal (eksantema, gatal dan pengerasandi tempat injeksi
antara lain karena iritasi kulit,teknik injeksi kurang tepat atau infeksi kuman).Reaksi
imunogen sistemis jarang sekali terjadi pada insulin babi dan berupa antara lain
urticaria,mual,muntah dan anafylaxia.
c. Lipodystrofia, yakni terganggunya pertumbuhan lemak subkutan di tempat injeksi,jarang
terjadi dan bersifat ringan. Misalnya atrofia (penyusutan) dan hipertrofia
(berlebihan),yang hampir selalu disebabkan oleh kurang sering mengganti lokasi injeksi.
d. Resistensi insulin terdapat bila kebutuhan insulin melebihi 200 IU/hari. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh pembentukan antibodies yang mengikat sebagian insulin.
Resistensi terutama dapat timbul pada pasien dengan overweight,mungkin akibat
berkurangnya reseptor insulin atau penurunan kepekaannya.
e. Gangguan akomodasi mata dapat terjadi akibat terlalu cepatnya penurunan gula
darah,yang dapat menimbulkan terganggunya keseimbangan osmotis antara lensa dan
cairan mata (Tjay, 2007).
Interaksi Obat
Tidak ada interaksi obat yang signifikan dengan insulin injeksi, meskipun obat lain
disadari dapat mempengaruhi kontrol glukosa. Detemir tidak memperlihatkan interaksi
mengikat albumin, karena hanya menempati persentase kecil dari situs ikatan albumin.
Tabel berikut berisi obat yang umum diketahui dapat mempengaruhi kadar glukosa darah.
(Dipiro, 2009).
12
(Dipiro, 2009).
Insulin dan antidiabetika oral mudah sekali dipengaruhi efeknya oleh obat-obat lain
yang diberikan bersamaan,dengan akibat yang tidak nyaman dan berbahaya bagi pasien.
Obat-obat yang paling sering menimbulkan interaksi terbagi dalam efek yang
ditimbulkannya, yaitu :
a. Efek potensiasi,sering kali dengan penggeseran ikatan-proteinnya yang tinggi :
analgetika : salisilat,fenilbutazon
antibiotika : kloramfenikol,tetrasiklin,sulfonamida,INH
lain-lain : alkohol,antikoagulansia,klofibrat,probenesid
Semua obat ini dapat meningkatkan kadar insulin darah dan mengakibatkan
hipoglikemia, kerapkali dengan mendadak seperti alkohol,terlebih-lebih pada waktu perut
kosong (Tjay, 2007).
b. Efek memperlemah.
Sejumlah obat menghambat sekresi insulin,sehingga meningkatkan kadar gula darah
dan dengan demikian memperlemah kerja insulin dan antidiabetika oral. Yang terkenal
adalah : diuretika tiazida dan furosemida, hormon-hormon kortikoida, tiroksin,
estrogen(pil anti hamil), adrenalin dan glukagon. Semua obat ini pada dasarnya dapat
menimbulkan kenaikan gula darah yang tidak diinginkan (hiperglikemia)
(Tjay, 2007).
Pilihan farmakologis yang tidak direkomendasikan
- Amylinomimetics-pramlintide (Symlin)
13
- Detemir Insulin analog-insulin (Levemir) (PA untuk anak-anak)
(GroupHealth, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
14
Bluestone J.A, Herold K, Eisenbarth G., 2010, Genetics, pathogenesis and clinical interventions in type 1 diabetes, J.Nature., 464(7293):1293-300.
Csorba T.R, Lyon A.W, Hollenberg M.D., 2010, Autoimmunity and the pathogenesis of type 1 diabetes, Crit ReV Clin Lab Sci., 47(2):51-71.
Dipiro, J.T., et al., 2009, Pharmacotherapy Principles Practise, Seventh edition, Mc-Graw Hill.Inc, USA, pp. 1218-1219.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005, Pharmaceutical care untuk penyakit Diabetes Mellitus, Departemen Kesehatan RI : Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan http://binfar.kemkes.go.id/v2/wp-content/uploads/2014/02/PCDM.pdf , diakses tanggal 27 agustus 2014.
GroupHealth, 2013, Type 1 Diabetes Treatment Guideline, https://www.ghc.org/all-sites/guidelines/diabetes1.pdf, diakses pada tanggal 27 agustus 2014.
http://1.bp.blogspot.com/dsTq6aLCSXg/T2PF6mYIRaI/AAAAAAAAAAo/t61uHHmISX4/s640/Pathogenesis.jpg diakses tanggal 30 Agustus 2014.
http://www.drugs.com/dosage/insulin-regular.html, diakses tanggal 1 September 2014.McPhee, S.J., dan Ganong, W.F., 2010, Patofisiologi Penyakit, Edisi 5, EGC, Jakarta, hal. 556. Rismayanthi, C., 2008, Terapi Insulin Sebagai Alternatif Pengobatan Bagi Penderita
Diabetes,http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Cerika%20Rismayanthi,%20S.Or./TERAPI%20INSULIN%20SEBAGAI%20ALTERNATIF%20PENGOBATAN.pdf, diakses tanggal 1 September 2014.
Roncarolo M.G, Battaglia M, 2007, Regulatory T-cell immunotherapy for tolerance to self antigens and alloantigens in humans, J.Immunology., 7(8):585-98.
Rushakoff, R., 2009, The Management of Type 1 Diabetes, http://diabetesmanager.pbworks.com/w/page/17680318/The%20Management%20of%20Type%201%20Diabetes, diakses pada 28 Agustus 2014.
Summers K.L, Annette A.M, Stephens T.A, Mahon J.L, Singh B., 2004, Dendritic cells and Immune regulation in the pathogenesis and prevention of Type 1 diabetes. Can. J. Diabetes., 28: 20-29.
Sutedjo, A.Y., 2010, 5 Strategi Penderita Diabetes Melitus Berusia Panjang, Penerbit Kanisius,Yogyakarta, hal. 77.
Tjay, T.H., 2007, Obat-Obat Penting, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 750-752.Tridjaja, Bambang, dr SpA(K), MM (Paed), dkk., 2009, Konsensus Nasional Pengelolaan
Diabetes Mellitus Tipe 1, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, hal. 10-22.
15