diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar...
TRANSCRIPT
KONTRIBUSI SAYYID UTSMAN DALAM KEHIDUPAN
KEAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM BATAVIA (1862-1914)
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Humaniora (M. Hum)
Disusun oleh:
NURHASANAH
2112022100009
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
PRODI MAGISTER SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
KONSENTRASI SEJARAH ISLAM NUSANTARA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
i
Kata Pengantar
Alhamdulillah, segala puja dan puji saya haturkan kepada Allah SWT, Tuhan
sekalian alam, yang telah memberikan kuasa-Nya untuk menggerakkan jiwa, raga
dan pikiran penulis agar senantiasa tidak melalaikan kewajiban agama, maupun
kewajiban sosial, serta kewajiban akademik. Shawalat serta salam, saya lantunkan
kepada penghulu para Nabi dan Rasul, Muhammad SAW, seorang yang gigih
menyebarkan agama cinta kasih, Islam, hingga sampai ke tanah Nusantara.
Tidak terasa, hampir berbilang tahun tugas akhir (tesis) ini selesai dirampungkan.
Berbagai macam pengalaman senang dan sedih, mudah dan susah sudah saya alami
dalam menyusun tesis ini. Menelisik kebesaran sejarah Jakarta memang amat
mengasyikkan, hingga lupa diri, bahwa masa studi ada batasnya. Inilah yang
kemudian, “memaksa” saya untuk segera memalingkan diri dari pekerjaan yang
lain, mengkhususkan waktu agar kewajiban intelektual ini bisa dipenuhi.
Saran serta kritik selalu saya nantikan, untuk menyempurkan kerja saya. Tidak bisa
dielakkan, dalam menyusun suatu bacaan yang bermutu akan selalu dihinggapi
oleh kesalahan ketikan, analisa serta pengambilan sumber yang kurang tepat. Oleh
sebab itu, setiap masukan yang membangun, akan menjadi bahan pertimbangan
saya, untuk selalu berhati-hati dalam menyajikan tulisan sejarah yang kronologis,
analitis dan representatif.
Dalam lembar ini, saya ingin mengucapkan terima kasih beberapa pihak, antara
lain:
1. Ucapan terimakasih saya tujukan kepada Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil M. Ag, yang telah memberikan
nasehat-nasehat serta kiat-kiat bagaimana bisa menyelesaikan studi
magister dengan baik dan terukur. Beliau adalah pribadi yang begitu
mengesankan. Sosok yang begitu saya hormati. Beliau bisa menempatkan
posisi di mana mesti menjadi penunjuk arah dan kapan saatnya menjadi
kawan diskusi yang baik.
2. Ungkapan terima kasih saya sampaikan pula kepada jajaran pengurus
Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab, terutama
kepada Dr. Abdullah M. Ag sebagai Direktur Program, serta Dr. M. Adib
Misbahul Islam M. Hum serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI
yang telah banyak membantu, membesarkan hati, serta menyemangati saya
untuk segera menyelesaikan tugas akhir.
ii
3. Ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada ayahanda Dr. H. Abdul Chair,
Dr. H. M. Muslih Idris, MA, LC, dan Prof. DR. M. Dien Madjid, mereka
adalah tokoh yang berjasa besar dalam hidup saya dalam membuka mata
mengenal Nusantara, serta mengasihi dan menyayangi saya. Mereka adalah
sosok pemandu jalan saya tatkala berada dalam kegelapan hati dan pikiran,
serta sahabat yang berimbang dalam membahas pelbagai persoalan sejarah.
4. Kalimat terima kasih saya layangkan pula pada sahabat-sahabat
seperjuangan di Magister SKI, utamanya angkatan 2012. Kalian adalah
teman berbagi yang terbaik, tempat segala keluh kesah ketika saya susah,
dan rekan dialog yang membesarkan.
5. Terimakasih kepada saudara dan saudari kandung saya, yang selalu
mendoakan saya. Terima kasih atas masakan lezatnya, dan bermacam
nasehatnya yang memberikan keteduhan, ketentraman serta semangat untuk
menyelesaikan tugas akhir ini.
6. Terimakasih pula kepada ayahanda tersayang almarhum H. Nurhasan, dan
ibunda tercinta, almarhumah Hj. Sawiyah, mereka adalah sosok besar dalam
kesederhanaan. Muara segala kebajikan serta mata air kasih sayang. Tidak
ada yang balasan pantas menandingi jiwa besarnya, dari anak manja ini.
7. Terakhir, terima kasih saya sampaikan pula bagi sejawat, kawan, serta
pihak-pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir
ini.
Tidak ada yang bisa membalas kebaikan serta kebajikan kalian semua, selain kuasa
dan anugerah dari Allah SWT. Semoga kalian semua mendapat kesenangan,
kemudahan dan kelapangan rezeki dalam setiap kesempatan dalam hidup ini.
Harapan saya, semoga tesis ini bisa menjadi bacaan yang baik, menjadi inspirasi
bagi kajian sejarah Islam Jakarta di masa depan.
Wasalam
Jakarta, 17 Desember 2016
Nurhasanah, S. Hum
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nurhasanah, S.Hum
NIM : 2112022100009
Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 20 April 1985
Jurusan : Sejarah Kebudayaan Islam
Fakultas : Adab dan Humaniora
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul “Kontribusi Sayyid
Utsman dalam Kehidupan Keagamaan Islam Masyarakat Batavia (1862-
1914)” adalah benar asli karya saya, kecuali kutipan – kutipan yang disebutkan
sumbernya. Apabila terdapat temuan, kesalahan dan kekeliruan didalamnya,
menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya.
Jakarta, 17 Desember 2016
Yang membuat pernyataan,
Nurhasanah, S. Hum
NIM. 2112022100009
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Nurhasanah
NIM : 2112022100009
Program Studi : Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas : Adab dan Humaniora
Judul Tesis : Kontribusi Sayyid Utsman dalam Kehidupan Keagamaan
Masyarakat Islam Batavia (1862-1914)
Telah berhasil dipertahankan pada sidang munaqosah dan diterima sebagai
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.
Hum), Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam Konsentrasi Islam Nusantara
pada Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Konsentrasi Islam Nusantara
Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Panitia Sidang Munaqosah
Ketua Sidang
Dr. Abdullah, M.Ag
NIP: 19690415 199703 1 004
Sekretaris Sidang
Dr. M. Adib Misbahul Islam, M.Hum
NIP: 19730224 200801 1 009
Penguji I
Prof. Dr. M. Dien Madjid, MA
NIP: 19490706 197109 1 001
Tanggal : 26 Oktober 2016
Penguji II
Dr. Jajang Jahroni, MA
NIP: 196706121994031006
Tanggal : 26 Oktober 2016
Pembimbing I
Dr. H. Abdul Chair
NIP: 195412311983031030
Tanggal : 26 Oktober 2016
Pembimbing II
Dr. H. Muslih Idris, MA. LC
NIP: 195209031986031001
Tanggal : 26 Oktober 2016
v
Pedoman Transliterasi
Huruf Arab Huruf Latin
tidak dilambangkan ا
b ة
t ت
ث
j ج
ح
Kh خ
d د
ذ
r ر
z ز
s س
sy ش
ص
ض
ط ظ
„ ع
g غ
f ف
q ق
k ك
l ل
m م
n ن
w و
h ه
ء
y ي
vi
Vokal Pendek
_____ = a كتت kataba
_____ = i سئل su ila
_____ = u يذهت ya
Vokal Panjang
q قبل = ... ا
qila قيل i = اي
yaq lu = يقول
Diftong
ي ا = kaifa كيف
و ا = aula حول
Sumber : Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri P dan K Nomor 158 tahun 1987-
Nomor: 0543 b/u/1987.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME............................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI................
ABSTRAKSI.................................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN..........................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
i
iii
iv
v
vi
viii
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN......................................................................
A. Latar Belakang.......................................................................
B. Identifikasi Masalah..............................................................
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...........................................
E. Kerangka Teori......................................................................
F. Tinjauan Pustaka...................................................................
G. Metode Penelitian..................................................................
H. Sistematika Penulisan............................................................
DINAMIKA KEHIDUPAN MASYARAKAT ISLAM
BATAVIA..................................................................................
A. Letak Geografis Batavia.......................................................
B. Struktur Sosial Budaya Masyarakat Batavia.........................
C. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Islam Batavia...............
D. Kondisi Pendidikan Maasyarakat Islam Batavia...................
SEJARAH HIDUP SAYYIDUTSMAN DAN KARYA-
KARYANYA..............................................................................
A. Biografi Sayyid Utsman........................................................
1
1
7
8
9
10
11
12
14
16
16
19
26
35
50
50
viii
BAB IV
BAB V
B. Karya-karya Utsman bin Yahya............................................
C. Interaksi Sayyid Utsman dengan Pemerintahan Hindia
Belanda..................................................................................
D. Relasi Sayyid Utsman dengan Ulama dan Masyarakat
Islam Batavia.........................................................................
KONTRIBUSI SAYYID UTSMAN DALAM KEHIDUPAN
KEAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM BATAVIA (1862-
1914)...................................................................................
A. Kontribusi Sayyid Utsman dalam Bidang
Keagamaan.....................................................................
B. Kontribusi Sayyid Utsman dalam Bidang Sosial-
Budaya..............................................................................
C. Kontribusi Sayyid Utsman dalam Bidang
Pendidikan....................................................................
D. Kontribusi Sayyid Utsman dalam Bidang
Dakwah..........................................................................
PENUTUP.............................................................................
A. Kesimpulan............................................................................
B. Saran .....................................................................................
57
65
67
71
71
77
79
80
81
81
82
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah merupakan kejadian dan peristiwa yang benar-
benar terjadi. Dalam pengertian yang lebih komprehensif suatu
kejadian sejarah selalu dikaitkan dengan siapa pelaku
peristiwa tersebut, di mana, kapan, dan bagaimana serta
mengapa peristiwa itu terjadi.20
Sejarah Islam adalah peristiwa
yang berkaitan dengan agama Islam, baik ditinjau dari aspek
sejarah proses pertumbuhan, perkembangan dan
penyebarannya, tokoh-tokoh yang melakukan pengembangan
dan penyebaran agama Islam, termasuk sejarah kemajuan dan
kemunduran yang dicapai umat Islam dalam berbagai bidang.
Membincang sejarah Islam di Batavia, merupakan hal
yang masih dipenuhi dengan teka teki, di mana masih banyak
sejarah yang belum diungkapkan kebenarannya. Penulisan
sejarah di negeri ini memang mengalami telat waktu.
Penduduk negerinya sangat jarang yang berminat
mendokumentasikan sejarahnya sendiri sehingga tidak ada
jaminan kevalidan sebuah sejarah. Justru yang banyak menulis
sejarah negeri ini adalah sarjana-sarjana Barat yang dengan
kemungkinan besar banyak diselewengkan sesuai misi mereka.
Salah satunya adalah menghilangkan jejak peran para ulama
yang kontribusinya sangat mempengaruhi perkembangan
Islam di Batavia yang sekarang kita kenal dengan nama
Jakarta sampai masa kini.
Kehadiran dan penyebaran Islam di Batavia dapat
dibuktikan berdasarkan data arkeologis dan sumber-sumber
babad, hikayat, legenda, serta berita-berita asing.21
Kehadiran
Islam baik para pedagang maupun mubalig muslim telah ada
di kota-kota pesisir, yang saat itu sudah berfungsi sebagai
pelabuhan-pelabuhan di bawah kekuasaan kerajaan Hindu.
20 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan oleh Nugroho
Notosusanto dari Understanding History: a Primer of Hustorical Method,
(Jakarta: UI Press, 1986) hlm. 32 21
Buku-buku hasil karya Uka Candrasasmitha.
2
Tekanan penguasa Belanda memunculkan kebencian pada
sebagian besar masyarakat Islam di Batavia, timbul sikap
permusuhan yang diperlihatkan dengan cara-cara kekerasan
yaitu dalam bentuk pemberontakan. Semangat Islam pada saat
itu semakin menggelora, agama menjadi label penting dalam
perlawanan masyarakat Islam terhadap Belanda. Kekuatan
perlawanan yang muncul terpusat dari golongan penganut
tarekat, dan lembaga pesantren yang berada di luar Batavia,
saat melakukan pemberontakan mereka memakai jubah putih,
mereka terinspirasi dengan perang Sabil yang mereka anggap
sebagai jalan berjihad.22
Melihat masyarakat Islam Batavia yang menjunjung tinggi
agama, pemerintah Hindia Belanda membiarkan masyarakat
Islam Batavia menunaikan ibadah haji. Awalnya pemerintah
Belanda menganggap bahwa kegiatan haji merupakan ibadah
yang tidak membahayakan bagi kelangsungan pemerintahan
Hindia Belanda. Namun setelah dibukanya Terusan Suez pada
tahun 1869, terjadi peningkatan jumlah jamaah haji, yang
kepulangannya ke tanah air disertai dengan pengaruh Pan
Islamisme, yakni paham yang bertujuan ingin memerdekakan
diri dari penjajahan. Melihat hal demikian, pemerintah Hindia
Belanda khawatir dan curiga akan munculnya suatu gerakan
penyatuan umat Islam yang bertujuan mendirikan kekhalifahan
baru.
Pemerintah mengamati bahwa pemberontakan-
pemberontakan melawan kolonial sebagian besar berasal dari
masyarakat yang telah menunaikan ibadah haji. Pemerintah
mulai menyikapi Islam dengan menganggap bahwa musuh
kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam
sebagai doktrin politik.23
Pemerintah kemudian membatasi
bahkan mempersulit keberangkatan calon jamaah haji, namun
masyarakat yang mengakui kedaulatan Belanda sebagai
22
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia: Nusantara di Abad ke-18 dan ke-19. Jilid IV (Jakarta:
Balai Pustaka, 1992) 23
Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda (terj). ( Jakarta:
Bhratara, 1973) hlm. 45
3
pemerintahannya yang sah, akan diberikan izin berhaji, namun
kepergian mereka disertai dengan pengawasan konsulat Belanda
di Jeddah. Tidak Cuma sampai di situ, pemerintah juga
mengawasi setiap gerakan masyarakat Islam di Batavia dalam
berbagai aspek, terutama di bidang pendidikan. Pemerintah
berusaha sekuat tenaga memarginalkan hukum Islam, dan
mengedepankan hukum adat (adat recht) dalam rangka
melepaskan masyarakat dari hukum Islam, dan membiarkannya
tenggelam dengan kebiasaan lama yang dipengaruhi ajaran-
ajaran Hindu dan animisme.
Dibukanya Terusan Suez juga mempengaruhi struktur
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Batavia, yang awal
abad ke-18 belum banyak mengalami percampuran dengan
jenis-jenis suku dan budaya, baik dari etnis yang ada di
Nusantara maupun dari etnis asing lainnya. Namun lambat laun
keadaan Batavia berubah pada akhir abad ke-18 setelah
kehadiran para pedagang Arab yang kebanyakan berasal dari
Hadramaut. Awalnya mereka berdagang, lalu berasimilasi dan
menikahi wanita-wanita pribumi, kemudian mereka beranak
pinak, dan membentuk perkampungan yang dipenuhi oleh
peranakan Arab. Salah satunya adalah Pekojan yang menjadi
saksi bisu perkembangan Islam hingga sekarang.
Pekojan merupakan salah satu pemukiman yang memiliki
pengaruh dalam penyebaran Islam di Batavia, terdapat
pemukiman orang-orang Arab yang dipandang sangat penting,
mereka berdagang di siang hari dan mengajar agama di malam
hari. Mereka juga membangun masjid-masjid yang sampai
sekarang berdiri kokoh, salah satunya adalah masjid An-Nawier
yang dibangun pada tahun 1760. Berdasarkan status sosial,
komunitas Arab ini menduduki kelas di atas pribumi. Terlebih
lagi para kalangan Sayyid24
dari Hadramaut yang memiliki
prestige cukup tinggi, mereka lebih dihormati karena ilmu
agamanya, dibanding ulama pribumi.
24
Dalam hal ini Sayyid merupakan sebuah panggilan untuk seorang
laki-laki yang berasal dari keturunan cucu Rasul, yakni Husein bin Abi Thalib.
M. Hasyim Assegaf. Derita Putri-putri Nabi, Studi Historis Kafaah (Bandung:
Rosdakarya, 2000) Cet. I, hlm. 203.
4
Sekitar tahun 1746, seorang ulama Arab bernama Husein
bin Abu Bakar Alaydrus (dikenal dengan Habib Husein Kramat
Luar Batang), hadir di Batavia saat usianya menginjak 20 tahun.
Kehadirannya tidak disukai oleh pemerintah Hindia Belanda
yang segera mengusirnya. Kemudian Haji Abdul Kadir selaku
penduduk Batavia menolong dan menampung untuk
menyembunyikan Habib Husein di rumahnya. Habib Husein
menjalankan dakwahnya kepada masyarakat setempat (kini
sekitar Pasar Ikan), sekaligus sebagai guru bagi Haji Abdul
Kadir. Mengetahui hal tersebut pemerintah mengejar dan
menciduk Habib Husein serta para pengikutnya, mereka
dipenjara, agar aktifitas dakwah dihentikan. Ini merupakan
bagian kecil dari ketidaksukaan pemerintah Hindia Belanda
terhadap kalangan ulama, bahkan ada pula yang diasingkan ke
daerah lain. Keberadaan mereka dianggap membawa masyarakat
kepada sifat fanatik terhadap agama, sehingga akan muncul
gerakan-gerakan untuk mendirikan Negara Islam, yang
membahayakan keberlangsungan kolonialisme.
Penekanan-penekanan pemerintah terhadap kalangan ulama
mengalami perubahan besar ketika Sayyid Utsman (seorang
keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib) menebarkan sayap
dakwahnya di Batavia. Beliau lahir di Pekojan pada 1822,
setelah menuntut ilmu ke Negara-negara di Timur Tengah, dan
kembali ke Batavia untuk mengamalkan ilmunya kepada
‘/masyarakat secara tatap muka di majelis-majelis taklim,
langgar, dan masjid. Kelihaiannya dalam menghadapi kondisi
sosio-keagamaan masyarakat, beliau jawab dengan menulis
kitab-kitab yang berkaitan dengan permasalahan tentang
syari'at Islam, lalu dicetak dengan mesin litografi pribadinya.25
Menurut pengamatannya Islam menjadi agama mayoritas di
Batavia, namun kehidupan keagamaan masyarakat saat itu masih
dipenuhi dengan unsur-unsur non-Islam seperti takhayul dan
mistik, masih adanya kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan
magis, dan pola-pola adat kebiasaan lama masyarakat yang
dipengaruhi oleh agama Hindu dan animisme. Hal demikian
25
Abdul Aziz, Peranan Islam Dalam Pembentukan ……… hlm. 60.
5
dapat dibuktikan, dengan adanya pelaksanaan upacara sesajen,
penggunaan alat-alat yang dianggap kramat (seperti keris, dan
jimat), pengucapan jampe atau mantra, pemujaan makam tokoh-
tokoh kramat seperti para wali, mempercayai hikayat atau cerita-
cerita Hindu seperti Sri Rama, meletakkan bayi di bawah kolong
balai-balai guna menghindari gangguan setan, melakukan
pengobatan tradisional dengan kekuatan magis, melakukan
perhitungan hari dan waktu yang baik, dalam menentukan usaha
bisnis, pernikahan, ataupun suatu perjalanan.26
Penilaiannya tehadap para penghulu dan qhadi khususnya
di peradilan agama di Batavia saat itu sangat memprihatinkan,
para hakim agama dan penghulu memiliki pengetahuan
tentang kitab-kitab hukum Islam yang masih sangat terbatas,
mereka diangkat dengan surat keputusan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, dan menerima gaji dalam bentuk gulden.27
Keadaan ini mengakibatkan munculnya ketidakmesraan
hubungan antara qhadi dengan masyarakat Islam serta qhadi
dengan ulama-ulama lainnya. Ketidakmesraan ini diakibatkan
oleh ketidaksetujuan atas kerjasama yang dilakukan oleh umat
Islam dengan pemerintah yang kafir.
Strategi dakwahnya menjadikan beliau aktif dalam
administrasi kolonial Batavia, dengan jabatan sebagai
Penasehat Kehormatan (Honorair Adviseur) pada kantor
urusan Pribumi dan warga Arab (Kantor Voor Inlandsche
Zaken). Beliau diangkat menjadi mufti,28
oleh pemerintah
Hindia Belanda untuk periode 1899-1914. Di sana beliau
bertugas mencarikan data-data dalam membantu Snouck
Hurgronje dalam meneliti kehidupan umat Islam di Batavia.
Bantuan tersebut mengundang kesalahpahaman sebagian besar
26
Sayyid Utsman, Manhaj al-Istiqamah fi al-Din bi al-Salamah,
(Batavia: Thahiriyah, tt) hlm. 28-30. 27
Snouck Hurgronje, Petunjuk Sayyid Utsman, dalam Kumpulan
Karangan, Jilid VIII. hlm. 36 28
Mufti merupakan salah satu jabatan dalam struktur sebuah
landraad (pengadilan negeri) yang terdapat pada setiap afdeeling. Pada masa
Hindia Belanda mufti ditunjuk dan digaji oleh pemerintah kolonial. Zulkifli,
Muhammad Al-Bakri, Fatwa dan Mufti: Hukum, Etika dan Sejarah. (Negeri
Sembilan: Universiti Sains Islamic Malaysia, 2008) hlm. 5.
6
ulama dan masyarakat Islam Batavia atas hubungan Sayyid
Utsman dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Tanpa pandang bulu, Sayyid Utsman menerapkan agama
sesuai dengan syariat, terhadap umat Islam berbagai etnis dan
suku. Hal itu terbukti ketika beliau pernah meminta kepada
Pemerintah Belanda untuk mengembalikan seorang
berkebangsaan Arab, yang datang ke Batavia. Orang tersebut
berpakaian sufi dan mengaku mampu meramal nasib dan
jodoh dengan memberikan mantra atau jampe kepada
masyarakat Batavia.29
Beliau pun menilai bahwa orang
tersebut adalah sesat yang merusak syariat Islam, dan akhirnya
orang tersebut dikembalikan ke negera asalnya.
Ada beberapa fatwa Sayyid Utsman yang diamati oleh
sebagian ulama pada masa itu, yang dianggap sebagai upaya
untuk mencari perhatian kepada pemerintahan yang kafir. Di
antaranya fatwa pelarangan menganut tarekat bagi masyarakat
yang awam, fatwa pengecaman perbuatan jihad dan perang
sabil, khususnya mengenai huru-hara melawan Belanda.30
Hal
demikian juga memunculkan pertentangan dan perdebatan di
kalangan cendikiawan sampai hari ini. Perjalanan dakwahnya
mendapat kelancaran dari pemerintah Hindia Belanda,
sehingga muncul anggapan bahwa Sayyid Utsman adalah kaki
tangan Belanda.
Sejarah terus terukir mengikuti arus globalisasi dan
beragam budaya masyarakat pada zamannya, sehingga gejala-
gejala sosial, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi dalam
masyarakat dapat diungkapkan dan ditumpahkan dalam suatu
historiografi. Sejarah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
sosial dan budaya masyarakat. Melalui sejarah kita dapat
mengetahui pandangan suatu masyarakat.
Penelitian ini merupakan alternatif untuk mengkaji sejarah
lokal dari segi aspek budaya tanpa melupakan aspek sosialnya.
Selanjutnya tesis ini dimaksudkan untuk mengungkapkan
29
Abdullah bin Utsman Yahya, Suluh Zaman, hlm. 9
30 Sayyid `Utsman bin `Aqil bin Yahya al-`Alawi, Arti Thariqat
dengan Pendek Bicaranya (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1889) hlm. 9.
7
masalah-masalah kebudayaan masyarakat yang melahirkan
perbedaan pandangan di kalangan masyarakat itu sendiri. Hal
inilah yang mendorong semangat peneliti untuk menjadikan
masalah tersebut sebagai objek kajian ini, serta berusaha
mengetahui nilai-nilai kehidupan yang terkandung
didalamnya.
Penulisan tesis ini akan mengkaji kontribusi Sayyid Utsman
yang mampu menghadapi dan menjawab segudang masalah
yang terjadi dalam dinamika kehidupan masyarakat Batavia,
dalam bidang sosial budaya dan pendidikan. Sosok Sayyid
Utsman pernah dibahas dalam karya-karya para peneliti
terdahulu, namun pembahasan-pembahasannya lebih
mengedepankan aspek politik. Para peneliti kurang menyoroti
kehidupan Sayyid Utsman pada aspek keagamaan, sosial
budaya, dan pendidikan. Atas dasar alasan-alasan tersebut
dalam penelitian tesis ini penulis akan mengangkat judul
KONTRIBUSI SAYYID UTSMAN DALAM KEHIDUPAN
KEAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM BATAVIA 1862-
1914.
B. Identifikasi Masalah
Berdasakan dari uraian yang terdapat dalam latar
belakang masalah, terlihat banyak permasalahan yang perlu
dikaji. Di antaranya mengenai keberadaan tarekat dan
perkembangannya di tengah masyarakat dalam
mempertahankan Islam untuk melawan pemerintah Hindia
Belanda. Kemudian pasang surut peraturan kolonial dalam
memandang dan memperlakukan masyarakat Islam baik
pribumi maupun peranakan Arab, khusunya kalangan
mubaligh Arab. Dinamika para jamaah haji yang menetap di
Mekah yang membentuk komunitas keilmuan dan juga politik
dalam pembaharuan Islam di tanah air. Ketidakmesraan
hubungan antara kalangan ulama dan masyarakat Islam
dengan para mubaligh, qhadi, serta mufti yang diangkat dan
digaji oleh pemerintah Hindia Belanda dalam peradilan agama.
Para pejabat agama tersebut kurang dihormati karena
bekerjasama dengan pemerintah kafir, sementara kalangan
ulama pribumi yang anti kolonial memandang sinis dan
8
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Begitu juga dengan hubungan Sayyid Utsman dengan
Pemerintah Hindia Belanda, bukan pencekalan yang beliau
dapat, melainkan kelancaran perjalanan dakwahnya, yang
mendapat izin dari pemerintah. Kemulusan dakwah ini
mengundang pertanyaan dari sebagian besar kalangan ulama
dan masyaarakat Islam Batavia, yang menganggapnya sebagai
kaki tangan Belanda.
Dengan pemaparan permasalahan yang ada, namun tidak
semua permasalahan akan dibahas oleh penulis, hal-hal yang
penulis utamakan yakni menggali lebih dalam tentang
kontribusi Sayyid Utsman dalam kehidupan keagamaan
masyarakat Islam Batavia, baik dalam aspek sosial, budaya,
pendidikan, serta dakwah. Penulis akan mengkaji lebih dalam
tentang pemikiran dan relasi Sayyid Utsman terhadap kondisi
sosio-keagamaan masyarakat Islam Batavia. Hal-hal yang
wajib dikaji lebih lanjut adalah mengenai interaksi Sayyid
Utsman dengan Pemerintah Hindia Belanda, sehingga dakwah
yang dijalankan mendapat kelancara, dan masyarakat Batavia
mendapat manfaat dari kelancaran dakwah tersebut.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah
diuraikan memiliki wilayah pembahasan yang meluas, maka
penulis perlu melakukan pembatasan-pembatasan guna
menfokuskan pembahasan. Hal pertama yang diperhatikan
adalah batas waktu tema yang diteliti, yakni hanya berkutat
pada rentang tahun 1862 masa Sayyid Utsman mengibarkan
dakwahnya, hingga akhir hayatnya di tahun 1914. Mengenai
tempat, peneliti memilih Batavia sebagai pembahasannya. Mengingat pada masa tersebut merupakan zaman
penjajahan Belanda, peneliti akan menyinggung beberapa
bentuk interaksi antara Sayyid Utsman dengan pihak Belanda.
Peneliti ingin mengungkapkan pengaruh baik dan buruk yang
diakibatkan oleh keberadaan penjajah di Batavia, terhadap
kehidupan keagamaan masyarakat. Dalam hal ini kehidupan
keagamaan yang penulis maksud adalah hal-hal yang
berhubungan dengan aspek sosial budaya, dan pendidikan. Di
9
masa itu terjadi perubahan sosio-kultural yang sangat
fundamental dalam masyarakat Batavia. Adapun permasalahan pokok yang akan diulas dalam
penulisan tesis ini adalah:
1. Siapakah sosok Sayyid Utsman, dan bagaimana sejarah
perjalanan hidupnya?
2. Bagaimana pemikiran Sayyud Utsman terhadap kondisi
sosio-keagamaan masyarakat Islam Batavia yang
terkandung dalam karya-karya tulisnya?
3. Bagaimana hubungan Sayyid Utsman terhadap dengan
masyarakat Islam Batavia dan ulama-ulama Batavia
lainnya?
4. Bagimana hubungan Sayyid Utsman dengan pemerintah
Belanda, dalam hal ini Snouck Hurgronje?
5. Bagimana kontribusi Sayyid Utsman terhadap kehidupan
keagamaan masyarakat Islam Batavia?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian tesis ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji lebih mendalam mengenai biografi Sayyid
Utsman, dan sejarah perjalanan hidupnya.
2. Menggali lebih mendalam tentang pemikiran Sayyid
Utsman terhadap kondisi sosio-keagamaan masyarakatnya
Islam Batavia yang terkandung dalam karya-karya tulisnya.
3. Mengkaji lebih mendalam tentang relasi Sayyid Utsman
dengan masyarakat Islam Batavia dan ulama-ulama lainnya.
4. Melacak lebih mendalam mengenai hubungan Sayyid
Utsman dengan pemerintah Hindia Belanda, dalam hal ini
Snouck Hurgronje .
5. Mengkaji lebih mendalam tentang kontribusi Sayyid
Utsman terhadap kehidupan keagamaan masyarakat Islam
Batavia.
Sedangkan kegunaan tesis ini adalah:
1. Menambah khazanah pengetahuan bagi para mahasiswa,
penulis, dan peneliti, tentang sejarah Islam Nusantara yang
berkaitan dengan Sayyid Utsman.
2. Menjadi inspirasi bagi para mahasiswa, penulis, dan
10
peneliti Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang tertarik mengembangkan wacana
kesejarahan tentang Sayyid Utsman.
3. Menjadi bahan penelitian lanjutan bagi para mahasiswa,
penulis, dan peneliti tentang Sayyid Utsman di berbagai
institusi, baik negeri maupun swasta.
E. Kerangka Teori
Tesis ini mengulas tentang ulama Betawi dan
kontribusinya terhadap perkembangan Islam pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Tesis ini memperkuat teori
Azyumardi Azra yang mengungkapkan adanya keterkaitan
intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Timur
Tengah dan melakukan pembaharuan di tanah air. Tesis ini
menggunakan pendekatan sosial-intelektual historis untuk
menggali fenomena sejarah dengan metode deskriptif-
interpretatif analitis Penelitian tesis yang diangkat ini amat dekat kaitannya
dengan peran-peran antar subjek, maka tepat kiranya jika
menggunakan pendekatan ilmu sosial dalam analisanya.
Pendekatan ini menyinggung bagaimana kontribusi Sayyid
Utsman dalam membentuk kehidupan masyarakat Batavia
sesuai dengan nilai-nilai Islam berdasarkan Alqur’an dan
Hadits. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya,
bahwa pada masa Sayyid Utsman, telah terjadi penyimpangan-
penyimpang yang dilakukan oleh masyarakat Islam Batavia. Baik ulama maupun masyarakat memiliki keterkaitan
yang dapat dibahas melalui suatu pendekatan sosiologis, yakni
menggunakan konsep interaksi sosial. Interaksi sosial adalah
hubungan-hubungan sosial dinamis yang terkait pada relasi
antar perseorangan, individu dengan kelompok, kelompok satu
dengan kelompok lainnya. Interaksi sosial sendiri adalah kunci
bagi keberlangsungan aktivitas dalam kehidupan sosial. Secara
sederhana, interaksi sosial bisa terjadi apabila dua orang saling
bertemu, menegur, memperkenalkan diri, bahkan saling
11
mempengaruhi.31
Pendekatan dengan penekanan interaksi
sosial dipandang baik guna mengungkap lebih jauh hal ihwal
komunikasi yang terjalin antara Sayyid Utsman sebagai ulama
dengan masyarakat Islam Batavia, dan kalangan ulama
lainnya, serta interaksi Sayyid Utsman dengan pemerintah
Hindia Belanda.
F. Tinjauan Pustaka
Penulis mendapat beberapa kajian tentang Sayyid Utsman
sebagai ulama Batavia pada akhir abad ke-19, yang ditulis oleh
penulis-penulis handal. Tidak banyak upaya yang dilakukan
untuk mengkaji secara kritis tetang sumber-sumber pemikiran
Sayyid Utsman, dan khususnya tentang bagaimana gagasan-
gagasan dan pemikiran Sayyid Utsman yang mempengaruhi
perjalanan historis Islam di Batavia. Kurangnya perhatian dari
para peneliti masa kini, untuk melakukan upaya pengkajian
terhadap sejarah sosial-intelektual, karena kebanyakan
perhatian mereka dicurahkan hanya untuk menyoroti persoalan
sejarah politik Islam. Sosok ulama Sayyid Utsman pernah ditulis sejarah
hidupnya oleh beberapa tokoh intelektual hebat, diantaranya;
Azyumardi Azra dalam Islam Nusantara. Azra membincang
tentang sosok Sayyid Utsman sebagai ulama penting di
Batavia yang anti bid’ah. Namun Azra menilai bahwa hingga
saat ini masih ada hal yang belum terjawab tentang Sayyid
Utsman, yakni mengenai motif fatwa-fatwa kontroversialnya.
Oleh karena itu, Azra mengharapkan harus diadakan penelitian
yang benar-benar lengkap mengenai Sayyid Utsman.32
Kemudian dalam karya yang berjudul Politik Belanda
terhadap Islam dan Keturunan Arab, Mr. Hamid Algadri
membicarakan asimilasi keturunan Arab yang dihalang-
halangi oleh pemerintah Hindia Belanda. Selain itu ada juga
pembahasan mengenai Sayyid Utsman, namun dalam
31 Yusron Razak, Sosiologi Pengantar (Ciputat: Laboratorium
Sosiologi Agama, 2008) hlm. 57. 32
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal
(Jakarta: Prenada Media, 2002) hlm. 164.
12
pembahasan yang dipaparkan Algadri kurang mengedepankan
aspek sosial, karya Algadri tersebut lebih mencondongkan
pembahasan pada aspek politik .33
Dalam riset Prof. Lodewijk Willem Cristian van den Berg,
diungkapkan bahwa keturunan Arab di Nusantara dapat cepat
membaur dengan masyarakat pribumi. Namun riset tersebut
hanya mengulas komunitas keturunan Arab di Nusantara
secara global, pembahasannya kurang memadai. Berg tidak
memaparkan keberadaan Sayyid Utsman dalam kehidupan
keagamaan masyarakat Islam Batavia.34
Begitu juga dalam karya yang berjudul Beberapa Aspek
Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, karangan Karel A.
Steenbrink,35
yang mengungkapkan bahwa Sayid Usman
adalah seorang pembaharu.36
Namun penulis menilai bahwa
pembahasan Steenbrink kurang memadai, kajiannya tidak
mengungkapkan tentang kontribusi Sayyid Utsman dalam
kehidupan keagamaan masyarakat Islam Batavia.
G. Metode Penelitian
Sebagai kajian historis maka metode penelitian yang
digunakan adalah metode sejarah. Dengan metode ini peneliti
melakukan pelacakan terhadap asal mula kehadiran dan
perkembangan Islam di Batavia. Hal ini dipandang penting,
sebagai upaya untuk melakukan penelitian terhadap
perkembangan yang terjadi di masyarakat Batavia. Metode sejarah meliputi empat tahap yakni: heuristik,
kritik, interpretasi, dan historiografi. Heuristik adalah tahap
33
Hamid Algadri, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan
Arab (Jakarta: Sinar Harapan, 1984). hlm. 137 34
L. W. C. Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara
(Jakarta: INIS, 1989) hlm. 95. 35
Nama lengkapnya Karel A. Steenbrink, lahir di Breda, Belanda
pada 16 Januari 1942. seorang Professor Emeritus Intercultural theology di
Universitas Utrecht dan sudah banyak menulis buku tentang sejarah Islam di
Indonesia. 36
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia
Abad Ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hlm. 31
13
mengumpulkan sumber sejarah secara sistematis dan effektif
dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah. Tahap kritik adalah
menilai sumber-sumber yang diperoleh secara kritis. Tahap
interpretasi adalah pemberian tafsir atau makna pada sumber
yang telah dikritik agar dapat ditemukan keterkaitan antara
sumber yang satu dan lainnya. Tahap historiografi adalah tahap
penulisan sejarah yakni menyajikan suatu gambaran yang utuh
tentang pokok permasalahan yang dikaji.
Desain penelitian yang dikembangkan adalah bentuk
eksploratif, artinya suatu penelusuran sumber-sumber arsip
dan kepustakaan yang memungkinkan ditemukannya data-data
historis baik yang bersifat primer, sekunder, maupun tersier.37
Dalam sumber primer, peneliti mempergunakan sekitar 2
manuskrip dan 45 kitab yang merupakan hasil karya Sayyid
Utsman, penulis juga menggunakan 3 manuskrip kumpulan
dari surat-surat dan karangan-karangan Snouck Hurgronje,
serta beberapa naskah koleksi Arsip Nasional Republik
Indonesia yang berkaitan dengan kajian tesis ini. Sementara
sumber sekunder yang digunakan penulis adalah karya-karya
para ilmuwan yang telah dicetak baik dari dalam maupun luar
negeri. Sedangkan sumber tersier yang penulis gunakan
berasal dari ensiklopedia dan beberapa buku teks.
Melalui pendekatan multidimensional maka pemahaman
terhadap sumber-sumber tersebut akan menggunakan berbagai
konsep ilmu sosial, khususnya antropologi dan sosiologi.
37
Sumber primer adalah bukti-bukti tertulis tangan pertama mengenai
sejarah yang dibuat satu zaman dengan waktu peristiwa yang terjadi, ditulis
oleh orang yang ada atau hadir pada peristiwa tersebut. Contohnya adalah
catatan harian, korespondensi, dan surat kabar. Jenis ini dapat pula mencakup
peninggalan atau naskah yang dibuat setelah kejadian oleh orang yang ada
pada peristiwa tersebut. Sementara sumber sekunder adalah istilah yang
digunakan dalam historiografi untuk merujuk pada karya-karya sejarah yang
ditulis berdasarkan pada sumber-sumber primer dan biasanya dengan merujuk
pula pada sumber-sumber sekunder lainnya. Sedangkan sumber tersier
adalah kompilasi berdasarkan sumber primer dan sekunder. Jenis ini sering
ditujukan untuk menampilkan informasi yang diketahui dengan cara nyaman
tanpa klaim mengenai orisinalitasnya. Contoh umum adalah ensiklopedia dan
buku teks. Allan, J. Lietman, and Vallerie French. Historians and The Living
Past (Illionist: Haarlan Davidson, 1978). hlm. 38
14
Kerangka analisis yang dikembangkan sesuai dengan
pendekatan multidimensional, dengan demikian konsep-
konsep ilmu sosial akan banyak dilibatkan di dalamnya.
Berangkat dari pemikiran Weber bahwa perubahan yang
terjadi dalam berbagai aspek keagamaan berasal dari para
pemimpin agamanya,38
maka perkembangan masyarakat
sangat ditentukan oleh kharisma, otoritas dan status sosial
seorang ulama sebagai pemimpin kehidupan beragama.
H. Sistematika Penulisan
Penyajian tesis ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama
merupakan bab pendahuluan, sebagaimana yang telah
diuraikan di bab satu yang memaparkan beberapa pembahasan
pokok mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan. Penelitian kemudian disajikan dalam empat bab
berikutnya. Penjelasan bab per bab ditampilkan sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Bab dua
mengetengahkan pokok tinjauan terkait dengan Dinamika
Kehidupan Masyarakat Islam Batavia 1862-1914.
Permasalahan yang dibahas dalam bab ini terkait uraian
tentang letak geografis Batavia dan Sejarah Pemerintahan
Batavia, Struktur Sosial Budaya Masyarakat Batavia,
Kehidupan Keagamaan Masyarakat Islam Batavia, dan
Kondisi Pendidikan Masyarakat Islam Batavia. Selanjutnya, pembahasan pada bab tiga, Sejarah Hidup
Dan Pemikiran Sayyid Utsman dalam Karya-Karyanya. Di
dalamnya membahas tentang sejarah hidup, pemikiran serta
karya-karya Sayyid Utsman. Kemudian akan dibahas pula
mengenai interaksi Sayyid Utsman dengan pemerintah Hindia
Belanda, dan relasi Sayyid Utsman dengan ulama-ulama dan
Masyarakat Islam Batavia.
38
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu
Analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. terjemahan Soeheba
Kramadibrata (Jakarta: UI Press, 1985) hlm. 14.
15
Kemudian, bab empat akan dijelaskan tentang Kontribusi
Sayyid Utsman dalam Kehidupan Masyarakat Islam di Batavia
1862-1914, dalam Bidang Keagamaan, Bidang Sosial Budaya,
Bidang Pendidikan dan dalam Bidang Dakwah.
Pada bagian terakhir, bab lima akan dibahas kesimpulan
kontribusi Sayyid Utsman terhadap kehidupan sosio-
keagamaan masyarakat Islam di Batavia dalam bidang
Keagamaan, Sosial Budaya, Pendidikan dan Dakwah. Bagian
ini dapat menarik benang merah dari paparan pada bab-bab
sebelumnya menjadi satu rumusan yang dipahami. Bab ini
sekaligus menjadi bab penutup.
16
BAB II
DINAMIKA KEHIDUPAN
MASYARAKAT ISLAM BATAVIA
Dalam bab ini pembahasan yang akan dikaji mengenai letak
geografis Batavia pada tahun 1862-1914. Pembahasan
selanjutnya mengenai kondisi kehidupan keagamaan masyarakat
Islam Batavia yang masih dipenuhi dengan praktik-praktik tradisi
Hindu dan paganimisme, serta struktur sosial masyarakat Batavia
yang terbagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan agama, ras,
etnis, dan suku bangsa. Selanjutnya akan dikaji pula kondisi
pendidikan Islam masyarakat Islam Batavia sebelum maupun
sesudah kehadiran Sayyid Utsman, yang telah menumbuhkan
majelis-majelis taklim, sehingga melahirkan kader-kader dakwah
untuk generasi di masa berikutnya. Pemaparan tentang dinamika
masyarakat Islam Batavia akan penulis sajikan berdasarkan
beberapa bidang, di antaranya bidang politik, bidang sosial-
budaya, bidang keagamaan, dan bidang pendidikan.
A. Letak Geografis Batavia
Batavia merupakan nama sebuah kota yang sebelumnya
bernama Sunda kelapa yang pernah menjadi pelabuhan
sebagai basis kekuatan bagi Kesultanan Jayakarta pada
rentang waktu 1527. Letak Batavia saat itu merupakan daerah
yang sekarang kita kenal dengan nama Pasar Ikan dan Kota
Tua yang terdapat di Jakarta Utara. Di mana kedua tempat
tersebut menjadi pusat perdagangan terbesar di Nusantara.20
20
Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1998), hlm. 2.
17
Para utusan Belanda datang membawa misi-misi tertentu,
mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi
(Zending).
Kemudian Pemerintah Batavia saat itu memindahkan pusat
pemerintahan dari yang awalnya terletak di kawasan Kota Tua
dan Pasar Ikan, beralih ke daerah Menteng (dulu,
Weltevreden) tepat pada tahun 1809. Pemindahan pusat
pemerintahan ini dilatarbelakangi karena daerah Kota Tua
telah menjadi sarang penyakit malaria dan kolera.32
Ada pun
batas-batas Menteng, pada tahun 1862 adalah sebagai berikut: Sebelah Barat : Sungai Ciliwung
Sebelah Timur : Gunung Sahari- Pasar Senen (Grote
Zuideweg)
Sebelah Selatan : Kramat Raya sampai Prapatan
Sebelah Utara : Jalan Pos (Postweg) dan Jalan Dr. Sutomo
(Schoolweg)
Pemindahan pusat pemerintahan Batavia berada di sekitar
Lapangan Banteng (dulu Lapangan Singa), di seberangnya
dibangun sebuah istana yang megah untuk Gubernur Jenderal,
kemudian digunakan sebagai tempat penerima tamu penting
(kini berfungsi sebagai gedung Departemen Keuangan), dan
beberapa asrama dan mess militer di sekitar Lapangan
Banteng juga dibangun oleh Daendels sebagai pusat
pertahanan militer. Pembaharuan tersebut menjadikan kota ini
menjadi Batavia Baru (Nieuw Batavia) yang meluas ke
berbagai penjuru.
32
Alwi Shihab, Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe. hlm
50-51. Lihat juga A. R. T. Kemasang , The Dutch Role in the 1740 Chinese
Pogroms in Java, hlm. 3-26. Bisa juga ditelusuri dalam Leonard Blusse,
Batavia 1619-1740: The Rise and Fall of a Chinese Colonial City, hlm. 159-
178. Adanya pembantaian kurang lebih 10.000 orang Cina tewas, setelah
diserang oleh pasukan tentara Belanda. Mayat-mayat yang berserakan dengan
penuh darah membawa dampak buruk bagi kebersihan dan kesehatan
masyarakat daerah Pasar Ikan dan Kota Tua, di mana saat itu daerah tersebut
menjadi sarang penyakit malaria dan kolera.
18
Pemerintahan ini mengalami perubahan setelah kehadiran
seorang ilmuwan Belanda Snouck Hurgronje 33
yang
memohon izin untuk mengadakan penelitian terhadap
studinya yang dianggap memberi keuntungan terhadap
pemerintah Hindia Belanda. Melalui lembaga Batavia untuk
Seni dan Ilmu Pengetahuan (Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen, yang telah didirikan oleh
Raffles), mendukung rencana Snouck tersebut.
Setelah mendarat di Batavia pada tanggal 11 Mei 1889,
Snouck bekerja sebagai pegawai pemerintah, dan dengan
mudah menjalin keakraban dengan pribumi Batavia, termasuk
ulama. Melihat kepintaran Snouck dalam mendekati
penduduk jajahan, Gubernur Jenderal Cornelis Pijnacker
Hordijk mengabulkan permohonan penelitian itu, dan
menunjuk beberapa orang untuk menjadi asisten Snouck,
salah satunya adalah Sayyid Utsman, ulama peranakan Arab
yang tinggal di Batavia. Snouck menduduki jabatan resmi sebagai penasihat resmi
bidang bahasa Timur dan hukum Islam (Kantoor Adviseur
voor Oostersche Talen en Mohammedaans Rechts). Pada 20
Juni 1889 Snouck menulis nasihat berjudul “Bedevaart en
Pelgrims” yang mengusulkan pada konsul Belanda di Jeddah
agar membatasi dan jangan mempermudah kepergian
penduduk Hindia Belanda ke Makkah. Snouck menyadari bahwa imigran Arab merupakan tokoh
yang berperan dalam kebangkitan perlawanan bangsa
Indonesia. Maka pada 22 Desember 1902 Snouck menentang
kebijakan “eijken en passentelsel” yang melonggarkan
masuknya imigran Arab dan mencabut pemisahan pemukiman
orang Arab di Nusantara. Snouck mengatakan:
“Adanya orang Hadramaut di negeri ini dipandang dari
sudut politik selalu merugikan dan menjadi suatu
bahaya. Jika batas yang sekarang berlaku bagi mereka
33
Snouck hurgronje seorang orientalis Belanda yang lahir di Tholen,
Oosterhout pada 8 Februari 1857 dan meninggal di Leiden pada 26 Juni 1936
pada umur 79 tahun.
19
mengenai tempat tinggal dan kebebasan bepergian
dicabut, dan pulau Jawa terbuka bagi mereka, maka
jumlah mereka akan menjadi puluhan ribu dan tidak
mungkin lagi mengawasi mereka.” 34
B. Struktur Sosial Budaya Masyarakat Batavia Membincang masyarakat Batavia yang terdiri atas
berbagai bangsa, ras, etnis, suku, dan agama. Semua itu
merupakan hal penentu dalam struktur kehidupan sosial,
penempatan pekerjaan, alokasi tempat tinggal, dan berbagai
peluang bisnis lainnya.
Kehidupan masyarakat Batavia mendapat perlakuan yang
kurang menyenangkan dari Pemerintah Hindia Belanda kala
itu, yakni mengkotak-kotakan etnis-etnis berdasarkan tempat
tinggal di Batavia, seperti Kampung Pecinan untuk etnis Cina,
Pekojan untuk peranakan Arab, dan lain sebagainya. Dalam
lingkup pemukiman ini, pemerintah mengangkat seorang
kepala kampung, yang akan bertanggungjawab atas apa yang
dilakukan warganya. Mereka diwajibkan mematuhi aturan-
aturan yang telah dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda,
mulai dari pembayaran pajak, pemakaian busana, penampilan
fisik, menjaga perdamaian dengan etnis lain, dan harus
meminta izin kepada pemerintah jika meninggalkan kampung
untuk bepergian dalam beberapa waktu ke daerah lain. Mereka
yang meinggalkan kampung harus membekali diri dengan
passen stelsel (surat izin jalan, yang didapat dari pemerintah
Belanda, dengan sejumlah persyaratan).35
Berdasarkan Aturan Pemerintah (Regeering Reglement)
yang disingkat RR nomor 75, pemerintah Hindia Belanda
menggolongkan masyarakat yang berada di bawah
kekuasaannya menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok pertama terdiri dari orang-orang Eropa
34
Hamid Algadri, C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap
Islam dan Keturunan Arab (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) hlm. 85 35
Mona, Lohanda, Growing Paints, the Chinese and the Dutch in
Colonial Java 1890-1942 (Jakarta: Yayasan Loka Cipta Karya, 2002) hlm. 27.
20
(Europeanen) meliputi bangsa Belanda, Portugis, Inggris,
Perancis, Jerman, baik warga yang aktif maupun non-aktif
dalam pemerintahan. Dalam Ketetapan Umum Perundang-
undangan (Algemeene Bepaling van Wetgeving) tahun 1894,
pemerintah menetapkan bahwa kedudukan pribumi yang
beragama Kristen, disamakan dengan orang-orang Eropa
menduduki kelas teratas.36
2. Kelompok kedua terdiri dari orang-orang dari Timur Asing
(Vreem de Oasterlingen) meliputi orang-orang China,
Jepang, Arab, Persia, India, Srilanka, Bangladesh, dan
Filipina. Orang-orang dalam kelompok ini dikenal dengan
sebutan Moor, biasanya orang-orang India mencari nafkah
sebagai pedagang tekstil dan barang-barang yang
didatangkan dari Bombay.37
Orang-orang Arab sangat
bergantung pada pembelian lada di Banten, mereka
bertanggung jawab untuk menyediakan rempah-rempah dari
Asia ke negara-negara di Timur Tengah.
3. Kelompok ketiga merupakan kaum pribumi yang beragama
Islam (Inheemsen, atau lebih populer dengan sebutan
Indische). Meliputi, orang-orang yang berasal dari Jawa,
Sumatra, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Sunda, Bali, dan
budak-budak belian yang didatangkan oleh Belanda dari
berbagai daerah dan negara.38
Perkawinan-perkawinan yang
terjadi antar suku dan antar bangsa tersebut menjadi cikal
bakal orang Betawi di kemudian hari. Penggolongan
36
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia ……… hlm. 9. 37
Tawalinuddin Harris, Kota dan Masyarakat Jakarta: Dari Kota
Tradisional ke Kota Kolonial Abad XVI-XVIII. 38
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta:
Dian Rakyat, 1977) hlm. 182-183. Bisa ditelusuri dalam Lihat juga B. Ter
Haar, Adat Law in Indonesia (Jakarta: Bhratara, 1962) hlm. 151. Suku Betawi
sebenarnya terhitung pendatang baru, yang lahir dari perpaduan berbagai
kelompok etnis. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab
MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar tahun 1815-1893. Perkiraan
ini diperkuat oleh sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial
Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan
berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk
Batavia tahun 1615 hingga 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan
etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
21
kelompok-kelompok ini memberi tekanan kepada pribumi
Islam yang setiap gerak-geriknya mendapat pengawasan
pemerintah. Dalam kelompok pribumi itu, pemerintah
masih membedakan lagi ke dalam beberapa tingkatan,
yaitu:
a. Tingkat pribumi pertama, meliputi orang-orang yang
berasal dari keturunan kerajaan-kerajaan yang setia
kepada Belanda. Mereka diangkat dan diamanahi
jabatan-jabatan dalam pemerintahan di tingkat
kabupaten, tingkatan pribumi ini disebut Priyayi.39
Ciri
khas mereka berjalan sambil berjongkok dengan kedua
telapak tangan terkatup ketika melewati orang Eropa
seperti menghormati seorang ningrat Jawa. Bahkan,
priyayi yang bekerja sebagai pegawai kolonial meski
telah mengecap pendidikan Barat pun harus duduk di
lantai ketika memberikan laporan pada pegawai Belanda
muda.
b. Sementara tingkat pribumi kedua meliputi orang-orang
yang taat beragama Islam, kalangan ini dikenal dengan
Santri, gerak-gerik mereka selalu diawasi dan dicurigai
oleh pemerintah yang khawatir akan adanya pergerakan
mendirikan negara Islam.
c. Tingkatan pribumi terakhir disebut kaum Abangan, yang
merupakan keturunan dari kerajaan Majapahit yang
tunduk di bawah kerajaan Islam, mereka anti dan kontra
terhadap pemerintahan Belanda. Kaum Abangan ini
dicurigai akan merebut pemerintah dari Belanda, dan
menghidupkan lagi kerajaan Majapahit.40
39
Alfian, Islamic Modernism Indonesian Politics: The
Muhammadiyah Movement During The Dutch Colonial Period 1912-1942
(University of Wisconsin, Microfilms, 1969) hlm. 228. Dapat juga telusuri D.
M. G. Koch, Menuju Kemerdekaan Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Sampai 1942, terj. Abdoel Moeis (Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1951) hlm.
8-9. 40
Deliar, Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942
(Jakarta: LP3ES, 1980) hlm. 28-34. Telusuri juga Chr. L. M. Penders,
Indonesia Selected Documents on Colonialism and Nationalism 1830-1942
(Queensland: Queensland University Press, 1977) hlm. 31-33`
22
Selain itu pemerintah juga menerapkan aturan ketat
mengenai cara berpakaian masyarakat Batavia yang beraneka
ragam bangsa dan suku bangsa, di antaranya, pemerintah
memperbolehkan pribumi Kristiani memakai pakaian bergaya
Eropa. Bagi bangsa-bangsa Timur, diwajibkan memakai
pakaian berdasarkan budayanya masing-masing, sedangkan
pribumi Islam dianjurkan memakai pakaian sesuai adat daerah
asalnya. Kebaya dan kain sarung menjadi pakaian khas bagi
perempuan Batavia, dan sementara baju koko dan celana
panjang merupakan pakaian khas bagi pria Batavia.
Berdasarkan peraturan tersebut pemerintah akan memberi
sanksi kepada siapa saja yang meniru-niru atau meminjam
pakaian yang tidak sesuai dengan budaya dan bangsanya
sendiri.41
Masyarakat Batavia dikonsentrasikan pada
perkampungan-perkampungan yang namanya diambil
berdasarkan suku komunitas yang menempatinya, seperti
Pecinan tempat tinggal bagi masyarakat Cina, Kampung
Melayu bagi masyarakat yang berasal dari wilayah Melayu,
Kampung Ambon tempat tinggal masyarakat yang berasal dari
Ambon, Kampung Bali untuk masyarakat yang berasal dari
Bali, Kampung Bandan, Kampung Pekojan dan lain
sebagainya.
Beraneka ragam suku dan bangsa yang memiliki banyak
budaya, pastinya memiliki beraneka ragam bahasa. Bahasa-
bahasa daerah yang mereka miliki agak sukar diterapkan
dalam pergaulan di masyarakat Batavia, sehingga mereka
memilih bahasa Melayu sebagai alat komunikasi. Meskipun
jumlah masyarakat Jawa mendominasi kota Batavia, namun
masyarakat menganggap bahasa Melayu lebih mudah
diucapkan daripada bahasa Jawa dan Sunda,42
Hal ini
41
Kees van Dijk, Sarung, Jubah dan Celana: Penampilan Sebagai
Sarana Pembedaan dan Diskriminasi, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.),
hlm. 66. 42
Muhammad Zafar Iqbal, Islam di Jakarta Studi Sejarah Islam dan
Budaya Betawi. Tesis Ph.D, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana IAIN Syahid,
2002) hlm. 141.
23
menyebabkan bahasa Betawi lebih bercorak Melayu. Di
samping itu keberadaan masyarakat Arab pun memberi
pengaruh terhadap bahasa Betawi hingga masa kini, terbukti
pada beberapa kosakata di antaranya ane, yang berasal dari
bahasa Arab ana, artinya saya, ente dari kata anta berarti
kamu, fulus dari kata fhulus berarti uang, masjid dari kata
masajid, kitab dari kata kitaabun, dan kosakata-kosakata
lainnya. Begitu juga dengan pengaruh bahasa yang dibawa
oleh orang Cina, pasti pembaca pernah mendengar kata pe-goh
yang berasal dari bahasa Cina yang berarti seratur lima puluh,
go-pe yang berarti lima ratus, dan masih banyak kosa kata
lainnya.
Pada akhir tahun 1869 Terusan Suez dibuka, ini
menguntungkan bagi perkembangan jaringan perhubungan dan
komunikasi antar benua Eropa dan Asia. Adanya beberapa
perkembangan teknologi, seperti penemuan kapal uap yang
manfaatnya sangat berperan bagi masyarakat Batavia dalam
menunaikan ibadah haji, sebelumnya mereka berangkat
menggunakan kapal laut yang menghabiskan waktu dalam
perjalanan berbulan-bulan lamanya. Pada tahun 1881 telah
dibangun jaringan kereta api Batavia–Buitenzorg (kini Bogor),
Kota–Tanjung Priok, dengan menggunakan tenaga uap,
kemudian diganti dengan tenaga listrik pada tahun 1897.
Kemajuan masyarakat Batavia terlihat pada tahun 1890,
dengan adanya penggunaan alat-alat teknologi seperti mesin
cetak litografi, percetakan foto, fonograf, kotak musik, dan
pengiriman suara, naskah, dan gambar melalui mesin cetak.
Sehingga terbit buku-buku yang mengandung cerita-cerita
tentang jagoan Betawi yang populer seperti Si Pitung, Si
Jampang Jago Betawi, Nyai Dasima, Tuan Tanah Kedaung,
Macan Kemayoran, dan Si Ayub dari Teluk Naga, sudah
dikenal melalui lenong, bahkan sudah dilayarlebarkan. Bahkan
kisah tragis Sara Specx bersama sang kekasih telah menjadi
cerita rakyat di Betawi secara turun-temurun. Kisah tersebut
diangkat ke dalam sebuah roman oleh Tio Ie Soei, seorang
sastrawan Melayu Tionghoa. Judulnya, Sara Specx: Satoe
Kedjadian jang betoel di Betawi di Djaman Pamerentahannja
Jan Pieterszoon Coen dalam tahun 1629 (Hiboerankoe,
24
1926, dengan nama Tjoa Pit Bak). Selain itu mereka juga
sudah mulai mengenal berita harian Bintang Betawi. 43
Dalam penerbitan suatu karangan atau karya ilmiah,
pemerintah memberlakukan proses uji sensor terhadap semua
kalangan masyarakat Batavia, termasuk mengawasi isi dan
dampak karya ilmiah tersebut bagi kepentingan pemerintahan.
Hal itu terbukti dengan adanya pelarangan penerbitan Oud en
Nieuw Oost-Indien, karya Valentyn.44
Pencabutan hak terbit
Bataviasche Nouvelles,45
yang pernah beredar selama 16
bulan. Penentangan atas karya-karya ini diakibatkan oleh
ketidaksukaan pemerintah. Peredaran karya-karya tersebut
dianggap berbahaya bagi keberlangsungan kolonial Belanda,
dikhawatiran saingan-saingan VOC akan mendapat
keuntungan dari berita-berita tersebut.
Pada tahun 1899 pemerintah Hindia Belanda
menyuguhkan kepada masyarakat Batavia, pertunjukan musik,
festival populer, pesta anak-anak, kembang api, parade
militer, prosesi, dan tarian-tarian. Bahkan diadakan juga
sebuah resepsi di kediaman Gubernur Jenderal Carel Herman
Aart van der Wijck, yang mengundang sebagian penduduk
priyayi untuk berpartisipasi dalam acara tersebut.
Kegelamoran masyarakat elit Batavia tergambar pada tahun
43
Matthew Isaac, Cohen, Komedie Stamboel:Popular Theater in
Colonial Indonesia, 1891-1903. (Ohio University press, 2006) hlm. 7. 44
Nama lengkapnya Francois Valentine, seorang pendeta yang
berkelana ke Hindia Belanda, dan pernah menerjemahkan Alkitab ke dalam
bahasa Melayu. Dalam karyanya, ia menggambarkan flora-fauna, menjelaskan perkembangan, serta mengkritik
tingkah laku kehidupan para pejabat VOC atas penduduk jajahannya mengenai
politik, perang dan kontrak dagang. 45
Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnemente atau sering
disingkat sebagai Bataviasche Nouvelles adalah surat kabar modern pertama
yang terbit di Batavia pada 7 Agustus 1744, berbahasa Belanda, yang
bermaksud memuat kabar dalam negeri, berita kapal, serta kritik tentang pola
hidup pejabat VOC. Tahun 1776-1809 dapat terbit lagi dengan nama yang
berbeda, Het Vendu Nieuwus (Berita Lelang), tetapi surat kabar ini tidak
memuat keterangan dalam negeri, dan disensor sangat ketat. Izin penerbitan
diberikan kepada L. Dominicus, seorang juru cetak di Batavia, karena
diperlukan publikasi tentang pelelangan yang pernah diadakan VOC.
25
1903 yang telah mengimport mobil dari negara-negara Eropa
dan Amerika, diperkirakan jumlah mobil mencapai tiga juta
unit sedangkan sepeda motor 5,5 juta unit.46
Keberadaan mobil
begitu cepat bertambah dan membuat Batavia menjadi sangat
ramai.
Nusantara yang sekarang menjadi bangsa Indonesia,
sumber daya alamnya dikeruk terus menerus oleh penjajah
Belanda. Sehingga keuntungan mengalir terus ke negeri
Belanda, sementara rakyat Indonesia tetap miskin. Keadaan ini
sangat menggelisahkan kaum Importir Belanda yang
membawa barang hasil industri dari Eropa ke Indonesia.
Importir Belanda tidak dapat menjual barangnya karena daya
beli masyarakat sangat rendah, sedangkan industri di negeri
Belanda sedang pesat. Mereka menginginkan agar Indonesia
yang banyak penduduknya itu menjadi pasar bagi industri
Belanda. Sedangkan para eksportir mendapat laba besar
dengan membawa barang mentah dari Indonesia. Untuk
memenuhi kaum importir tidak ada jalan lain yang harus
segera ditempuh selain memperbaiki dan membuat ekonomi
rakyat Indonesia yang sudah rusak.
Selain itu pada tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van
Devender berjudul “Hutang Kehormatan” dalam majalah De
Gids. Di situ ia mengemukakan bahwa keuntungan yang
diperoleh oleh Indonesia selama ini hendaknya dibayar
kembali dari perbendaharaan Negara. Peristiwa itu dapat
dipandang sebagai ekspresi ide yang baru kemudian dikenal
dengan politik etika. Van Devender menganjurkan program ini
untuk memajukan kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki
irigasi agar memprodusi pertanian, menganjurkan transmigrasi
dan perbaikan dalam bidang pendidikan. Ia juga
mengembangkan pengajaran bahasa Belanda secara kultural
yang lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi bangsanya.
46
JJ. de Vries, Batavia Sudah Dijejali Mobil dalam Batavia Digital
(Batavia: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 1925)
26
Faktor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik
etika ini ialah kebangkitan Nasional dengan berdirinya Budi
Utomo pada tahun 1908, berdirinya Sarikat Islam sebagai
partai politik pertama di Indonesia yang didasarkan atas
organisai Barat didirikan tahun 1919, adanya Volksraad tahun
1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk
menyatakan pendapatnya terhadap pemerintah Hindia Belanda.
C. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Islam Batavia Pada tahun 1642 pemerintahan Hindia Belanda
mengumpulkan peraturan yang akan diberlakukan kepada
masyarakat Islam Batavia. Kumpulan peraturan tersebut
dikenal dengan nama Statuta Batavia atau Statuten van
Batavia.47
Kemudian pemerintah Hindia Belanda mengamati
bahwa jauh sebelum kedatangan Bangsa Eropa, Islam telah
mendapat tempat di hati masyarakat Batavia. Masyarakat
masa itu sudah menerima Islam dalam berbagai dimensi
kehidupan, baik pidana maupun perdata. Pemerintah Hindia
Belanda menyadari bahwa kondisi di daerah jajahannya telah
terlebih dahulu mengadopsi hukum Islam (Mohammedan
Recht) dan hukum pidana adat (Adat Recht) dalam
menyelesaikan suatu permasalahan dalam berbagai bidang.48
Melihat hal demikian, timbul keinginan VOC untuk
menandingi dan mengganti secara paksa dengan hukum
Belanda yang telah dibuat oleh VOC. Namun hal tersebut
mengalami perbenturan, karena terdapat perbedaan
pemahaman dalam hukum-hukum tersebut. Salah satunya
pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran yakni,
“Suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah
dianggap sebagai kejahatan,” namun menurut VOC
perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu
47
Bernard, Hubertus Maria Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia.
hlm. 504 48
Bustanul Arifin, Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999) hlm. 33.
27
dipidana dengan hukuman yang setimpal.49
Bentuk campur
tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah pemaksaan
pemberlakuan hukum Belanda yang harus digunakan para
hakim pribumi kepada pelaku kejahatan, seperti dipenjara cap
bakar, dirantai, diasingkan ke suatu daerah, dan dihukum
pancung yang disaksikan masyarakat.
Pada mulanya pemerintah Hindia Belanda tidak
mempunyai keberanian untuk ikut campur dalam kehidupan
masyarakat Islam berada di bawah jajahannya, hal itu
disebabkan kurangnya pengetahuan pemerintah terhadap
agama Islam, belum adanya keahlian berbahasa Arab yang
memadai sehingga menimbulkan ketakutan adanya
pemberontakan orang-orang Islam fanatik, namun di lain sisi
Belanda juga optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan
segera menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi
Belanda. Selain ketakutan yang dialami, Belanda juga belum
mengetahui sistem sosial kehidupan agama Islam yang
berlangsung di Batavia waktu itu, keengganan mencampuri
masalah Islam ini terdapat di Undang-undang pemerintah
Hindia Belanda yang berbunyi:
“Setiap warga negara bebas menganut pendapat
agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat
dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum
hukum agama”, akibatnya pada tahun 1865 pemerintah
Belanda tidak sudi memberikan bantuan bagi
pembangunan suatu masjid.”50
Berdasarkan data-data yang penulis dapat, sejak tahun
1862 hingga tahun 1914 menggambarkan bahwa Islam
merupakan agama mayoritas di Batavia, disusul Kristen,
49
Pemerintah Hindia Belanda berusaha mengganti Hukum Islam dan
hukum Pidana Adat (terutama yang tak sejalan dengan tujuan misi-misi
pemerintah Hindia Belanda). Namun peraturan-peraturan yang diterapkan oleh
pemerintah VOC seringkali berubah-ubah sesuai dengan kepentingan
pemerintah VOC yang seringkali merugikan rakyat. Hardy Haldi. Sejarah
Hukum Pidana di Indonesia (Sebuah artikel). 50
Pasal tersebut terdapat dalam undang-undang Hindia Belanda di
ayat 119 RR
28
Budha, Hindu dan lain-lain. Pada masa itu bisa dikatakan
bahwa etnis Betawi serta pribumi yang berasal dari Jawa,
Sumatra, Sulawesi dan daerah lainnya, kebanyakan menganut
agama Islam. Khusus bagi etnis Betawi, keluar dari agama
Islam adalah suatu perbuatan tercela dan hina. Sedangkan
agama Kristen pada umumnya berasal dari keturunan atau
peranakan bangsa Eropa, seperti Belanda, Portugis, Inggris,
Jerman, dan bangsa lainnya. Untuk penganut agama Budha,
merupakan masyarakat dari keturunan etnis China. Begitu juga
dengan agama Hindu yang merupakan sisa-sisa keturunan dari
masyarakat Hindu Pajajaran, yang pada masa Kesultanan
Jayakarta tunduk sebagai penduduk Zimmy, serta orang-orang
pendatang dari India.51
Dalam aspek peribadatan, pemerintah
Hindia Belanda-Inggris memberikan kelonggaran dalam hal
praktik adat istiadat, tradisi, ritual dan kekerabatan di dalam
lingkup masyarakat Batavia, namun ketetapan pemerintah
Hindia Belanda seringkali tidak konsisten, terkadang banyak
peraturan yang telah dibuat namun tidak dijalani bahkan
dilanggar pula.
Pada era kekuasaan Raffles, hukum yang berlaku di Batavia
adalah hukum Islam dan Deandles yang menginspirasi Van den
Berg untuk melahirkan teori pengakuan pemerintah kolonial
terhadap berlakunya hukum Islam bagi masyarakat setempat.52
Van Der Berg, merumuskan pandangan tentang hukum Islam
(Mohammadansche Recht) yang berlaku bagi masyarakat
Islam, walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan.
Pandangan itu didukung oleh laporan-laporan Winter Solomon
Keyzer (1823-1868) dan diperkuat oleh data-data Carel
Frederik Winter (1799-1859), yang menyatakan bahwa hukum
Islam adalah hukum yang sebenar-benarnya berlaku bagi
masyarakat Islam saat itu. Dalam teorinya Berg menyatakan
bahwa:
“Bagi orang Islam yang berlaku penuh adalah hukum
Islam sebab dia telah memeluk Islam walaupun dalam
51
Badan Pusat Statistik. Agama Masyarakat Batavia Tahun 1862. 52
A. Rahmat Rosyadi, M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam di
Indonesia dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2006), hlm. 75
29
pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan-
penyimpangan. Ketaatan mereka masih terbatas pada
shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji, sedangkan
ajaran Islam lainnya masih kurang diperhatikan
misalnya ajaran Islam tentang ekonomi dan
perbankan Islam. 53
Menurut Berg, karakteristik dari teori ini adalah: hukum
Islam dapat berlaku bagi pemeluknya, dan masyarakat Islam
harus mentaatinya, hukum Islam berlaku secara umum, baik
dalam bidang ekonomi, hukum pidana maupun hukum
perdata. Berg tidak segan-segan membuat pengakuan terhadap
kewenangan badan-badan peradilan agama untuk menjalankan
yurisdiksi hukumnya berdasarkan hukum Islam berdasarkan
staatsblaad 1882 No.152. Ia juga aktif melakukan pengkajian
dan pengumpulan beberapa bahan tertulis tentang asas-asas
hukum Islam (Mohammedaansche Recht, 1882) menurut
madzhab Syafi’i dan Hanafi, kajian tentang hukum keluarga
dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892) dan
menerjemahkan beberapa kitab fiqh berbahasa Arab seperti
Fath al-Qarib dan Minhaaj ath-Thalibin ke dalam bahasa
Prancis. Dengan karya-karya itu Berg mengupayakan agar
hukum Islam dijalankan oleh hakim-hakim dari Belanda
dengan bantuan penghulu atau qadhi-qadhi Islam. 54
Van Leur mencatat bahwa keberadaan hukum Islam lebih
banyak diperbincangkan pada masa pemerintahan Hindia
Belanda, yang termarjinalkan akibat dari pola politik kolonial
Belanda serta rekayasa ilmiah kaum intelektualnya. Hal itu
terbukti ketika teori receptio in complex ini menjadi acuan
dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan
53
Said Agil Husein Al-Munawwar, Islam dalam Pluralitas
Masyarakat Indonesia (Jakarta: Kaifa, 2004) hlm. 176. Sebelumnya teori ini
juga disebutkan oleh H.A.R. Gibb, Sajuti Thalib, Receptio A Contratrio,
Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam. (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm.
5. Secara fakta teori Berg lebih rinci dibandingkan teori yang dikemukakan
H.A.R. Gibb, sebab prakteknya hingga sekarang umat Islam Batavia masih
banyak yang belum taat dalam menjalankan ajaran Islam. 54
Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung: Pustaka
Setia, 2011) hlm. 81.
30
dikeluarkannya peraturan sebagai berikut:
”Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
pribumi atau dengan mereka yang dipersamakan dengan
mereka, maka mereka tunduk kepada hakim agama atau
kepala masyarakat mereka menurut undang-undang
agama (godsdienstige wetten) atau ketentuan-ketentuan
lama mereka”. 55
Begitu juga dengan permasalahan hukum, awalnya
pemerintah Belanda tidak ingin mencampuri organisasi
pengadilan Agama. Tetapi pada tahun 1882 dikeluarkan
penetapan Raja Belanda yang dimuat dalam Staatsblad 1882
nomor 152. Disebutkan bahwa di tempat-tempat di mana telah
dibentuk pengadilan pribumi (landraad) maka di sana
dibentuk pengadilan agama (raad). Ini merupakan bentuk
keikutcampuran pemerintah Hindia Belanda dalam urusan
hukum agama Islam.
Melihat umat Islam yang semakin besar jumlahnya,
pemerintah Hindia Belanda mencari jalan keluar untuk
mengimbangi dakwah para mubaligh, dengan mengeluarkan
receptie theorie, yang disusun oleh Snouck dan dipertajam
oleh van Vollenhoven. Teori baru tersebut telah memutar
balikan fakta, pasalnya teori itu menganggap hukum Islam
hanya berlaku ketika diterima oleh hukum adat, sehingga umat
Islam belum tentu tunduk pada hukum Islam tersebut.56
Kemudian terjadi perubahan politik hukum, pemerintah
Hindia Belanda merasa perlu memperlakukan hukum Barat
(Belanda) untuk semua penduduk jajahan, termasuk untuk
golongan pribumi, yang terkenal dengan teori unifikasi
hukum. Karena kebijakan ini dianggap Snouck kurang
strategis untuk menghentikan pemberlakuan hukum Islam,
maka unifikasi ini digagalkan olehnya.
55
Peraturan itu ditegaskan dalam RR tahun 1855, Staatblad 1855
Nomor 2. Bahkan dalam ayat 2 pasal 75 RR Bustanul Arifin, Dimensi Hukum
Islam dalam Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) hlm. 33. 56
Erman, Rajagukguk, Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme, makalah
pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati.
Bandung ke-37, 2 April 2005.
31
Kemudian langkah yang diambil bukan memaksakan
hukum Belanda, tetapi yang utama adalah membentuk opini
serta mempengaruhi dan mengacaukan fikiran masyarakat
terlebih dahulu dengan melahirkan teori receptie yang sengaja
dihembuskan untuk mengacaukan sistem hukum yang telah
ditaati masyarakat ketika itu, yakni hukum Islam. Tujuan
utama mereka agar antara adat, hukum Islam, dan hukum
Belanda terjadi perbenturan. Jika pergumulan terjadi, maka
hukum Belanda yang telah didukung oleh kekuatan politik dan
sarjana hukum lulusan Belanda yang loyal terhadap produk
hukum Belanda menjadi menguat. Sementara hukum Islam
dengan sendirinya akan lemah. Usaha ini ternyata efektif dan
berhasil, sehingga sampai sekarang pun hukum Islam berada
dalam ketidakberuntungan di tanah air ini.
Setelah dibukanya Terusan Suez, yang memudahkan
komunikasi dalam berbagai bidang secara internasional, dalam
bidang pendidikan para siswa pribumi mampu menuntut ilmu ke
beberapa negara di Timur Tengah, begitu juga masyarakat Islam
yang berniat menunaikan ibadah haji, namun kepergian mereka
telah menimbulkan pengaruh Pan Islamisme yang cukup kuat
dari Turki, terutama dari para siswa pribumi dan jamaah haji
yang bermukim di tanah suci, sebagian mereka pulang ke
tanah air membawa kefanatikan dalam beragama.57
Hal demikian menimbulkan kekhawatiran bagi kolonialis
Belanda pada tanah jajahannya, kemudian mereka mencari
segala cara untuk menghentikan pengaruh Pan Islamisme yang
akan merugikan pemerintah Belanda. Christian Snouck
Hurgronje mengeluarkan kebijakan Islam Policy yang pada
intinya hukum Islam harus dijauhkan dari masyarakat Nusantara
khususnya Batavia, bagi Hurgronje Pan Islamisme adalah
tindakan yang berbahaya tapi sia-sia.58
Menurut Hurgronje lebih baik mencari jalan lain yang
57 Istilah Pan Islamisme sendiri diciptakan oleh Sultan Abdul Hamid
II untuk melawan kekuasaan barat. Anthony Reid, The Contest of North
Sumatra, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1969, hlm. 3, 65, 66 dan
109. 58
Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje jilid IX,
(Jakarta: INIS, 1994) hlm. 102
32
lebih halus dari pada memaksakan hukum Belanda. Karena
politik seperti ini semakin membangun kebencian pribumi dan
dinilai kurang efektif. Mengamati umat Islam di Batavia yang
jumlahnya besar, serta segala permasalahan keagamaan yang
sering terjadi, pemerintah mengangkat seorang mufti, ahli fiqh.
Mufti bertugas di Landraad, yang merupakan cikal bakal
Departemen Agama yang kita kenal sekarang. Tugas mufti
mengurusi peribadatan, pernikahan, perceraian dan hukum
waris, serta permasalahan keagamaan masyarakat.
Hurgronje merumuskan dan mengkategorikan
permasalahan Islam menjadi tiga bagian yaitu; bidang agama
murni (ibadah), bidang sosial kemasyarakatan dan bidang
politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi
landasan dari doktrin konsep Splitsingstheori.59
Pemerintah Hindia Belanda mengadakan program
pendidikan yang bercorak Barat dan pemanfaatan kebudayaan
Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan
negeri dan budaya Eropa. Dengan demikian hilanglah
kekuatan cita-cita Pan Islamisme dan akan mempermudah
penyebaran agama Kristen. Dalam bidang politik haruslah
ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan
membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islamisme,
penumpasan itu jika perlu dilakukan dengan kekerasan dan
kekuatan senjata. Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah
kolonial harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan
perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik
pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh orang-
orang Belanda.
Dalam bidang agama, menunaikan ibadah dengan secara
murni, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan maka
pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat
Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus
memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama
Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta
59
Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut,
oleh Snouck diusahakan agar umat Islam pribumi berangsur-angsur
memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik.
33
memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji.
Sedangkan di bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah
kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan
membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada
adat tersebut yang telah dipilih sesuai dengan tujuan
mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Hurgronje
menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam,
terutama dalam hukum dan peraturan.
Di Batavia sudah berdiri masjid-masjid, namun pada masa
itu belum ada tempat khusus untuk jamaah wanita. Selain
masjid, sudah berdiri pula beberapa langgar, tempat sholat
yang ukurannya lebih kecil dari masjid. Wanita Islam lebih
sering masuk ke sebuah langgar daripada masuk ke masjid.
Pada umumnya masjid dikunjungi oleh jamaah pria yang
sholat lima waktu, sholat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha.
Sedangkan wanita sholat dan mengaji di langgar dengan
jamaah wanita lainnya, apabila di sebuah langgar ada jamaah
pria, maka wanita dilarang bercampur dengan pria dalam satu
langgar tersebut, dengan alasan dikhawatirkan pria dan wanita
tersebut saling memandang dan menimbulkan dosa besar.60
Kekhawatiran ini membuat mufti Batavia menyarankan wanita
untuk shalat di rumah masing-masing.61
Terlebih lagi wanita
dilarang masuk masjid dan langgar dalam keadaan haid serta
nifas, tidak diperbolehkan shalat, puasa, membaca, menyentuh
dan membawa al-Qur’an, thawaf saat berhaji, dan berjimak.
Selain itu masjid juga merupakan tempat yang biasa
digunakan dalam setiap tanggal 27 Rajab, yang dikenal dengan
Isra Mi’raj. Dalam perayaan ini masyarakat berduyun-duyun
memasuki masjid untuk mendengarkan ceramah yang
disampaikan oleh ulama tentang Isra Mi’raj. Kegiatan tersebut
biasa terjadi di masjid Pekojan, dipimpin oleh ulama-ulama
keturunan Arab. Selain di masjid, terdapat pula kelompok-
60
Sayyid Utsman, bin Abdullah bin Aqil bin Yahya bin Al-Alawi,
Jam’al-Fawaid mimma Yataallaqu bi salat al-Jum’ah wal Masajid (Batavia:
cetakan baru, 1926) hlm. 82. 61
Sayyid Utsman, bin Abdullah bin Aqil bin Yahya bin Al-Alawi,
Perhiasan Bagus bagi Anak-anak Perempuan (Batavia: cetakan baru, 1927)
hlm. 12.
34
kelompok kecil yang berkumpul di rumah-rumah, dan langgar
untuk memperingati peringatan Mi’raj yang besar-besaran.
Peringatan Mi’raj ini dijadikan sebagai hari yang luar biasa,
satu hari sebelumnya sebagian besar masyarakat Islam Batavia
menghentikan aktifitas sehari-harinya, para pedagang menutup
toko-toko dan tempat-tempat bisnis lainnya. Mereka
menyibukkan diri mengundang teman-temannya, untuk
berzikir bersama dan membaca saduran cerita Mi’raj, kitab al-
Zahr al-Basim. Dalam kitab tersebut, ada tata cara yang
tertulis dalam permulaan kitab, di antaranya: para jamaah tidak
diperbolehkan duduk di atas kursi, mereka diperkenankan
duduk di lantai, jamaah tidak diperbolehkan merokok, dengan
alasan malaikat membenci asap tembakau, mereka disarankan
untuk membakar kemenyan yang berbau harum seperti dupa.62
Membincang wanita Islam di Batavia, penulis akan
membahas perilaku wanita dalam kehidupan keagamaan.
Dalam perayaan Isra’Mi’raj wanita diperbolehkan untuk
mendengarkan ceramah di masjid, namun tidak diperbolehkan
masuk ke tempat pria, mereka harus terpisah. Hal demikian
merupakan satu bukti adanya pemisahan antara jamaah wanita
dan pria, yang mendapat pengaruh dari bangsa Arab. Dalam
mempelajari agama, mereka lebih menyukai guru sesama
wanita, sayangnya saat mengaji kebanyakan mereka tidak
memakai penutup kepala yang biasa disebut kudungan.
Berdasarkan data pengadilan agama Batavia, sekitar tahun
1900-an terdaftar beberapa wanita Arab dan pribumi yang
mengadukan tuntutan perceraian terhadap suami mereka.
Kepada penghulu setempat, mereka mengaku telah keluar dari
agama Islam (murtad), alasan ini merupakan cara pintas
mereka untuk mengakhiri pernikahan. Menghadapi kasus
demikian, para penghulu Batavia tidak bisa menentukan
keputusan terhadap tuntutan perceraian tersebut, karena
mereka belum dapat menemukan jalan keluarnya. Ini
membuktian bahwa pada masa itu para penghulu di Batavia
belum memiliki imu pengetahuan yang cukup.
62
Sayyid Utsman, bin Abdullah bin Aqil bin Yahya bin Al-Alawi, al-
Zahr al-Basim fi atwar Abi l-Qasim (Batavia: cetakan baru, 1924) hlm. 2-8.
35
Namun di balik kecintaan masyarakat terhadap agama,
penulis akan menggambarkan bahwa masih ada masyarakat
saat itu yang hidup dengan unsur-unsur non-Islam seperti
mistik, kekuatan-kekuatan magis, dan pola-pola adat kebiasaan
lama yang diserap. Yang pada akhirnya unsur-unsur tersebut
memperlemah keagamaan masyarakat Batavia.63
Kehidupan masyarakat Islam Batavia sejak kecil dididik untuk
menghormati tiga kalangan elit masyarakat, di antaranya
1. Tokoh keturunan cucu Rasul, yang dikenal dengan sebutan
Sayyid atau habib. Mereka dihormati karena dianggap
mulia dan kuat beribadah.64
2. Guru agama, dalam hal ini guru yang mengajarkan
membaca Al-Qur’an (guru mengaji). Dalam kalangan ini,
masyarakat masih terdapat tingkatan-tingkatan berdasarkan
apa yang diajarkan guru tersebut. Semakin tinggi ilmu
pengetahuan yang diberikan, maka semakin tinggi pula
rasa hormat masyarakat terhadap guru tersebut. Sebagai
contoh, guru yang mengajar kitab Kuning dipandang lebih
terhormat bila dibandingkan dengan guru yang hanya
mengajar baca tulis Al-Qur’an.65
3. Tuan haji. Kalangan ini cukup dihormati oleh masyarakat
Islam, karena harta yang dimilikinya, tidak sedikit
kalangan ini mengamalkan hartanya untuk membangun
masjid atau langgar untuk kebutuhan masyarakat Islam.
D. Kondisi Pendidikan Masyarakat Islam Batavia
Sebelum mendeskripsikan kondisi masyarakat Islam
Batavia, penulis akan membahas pendidikan yang pernah
beroperasi pada masa Sayyid Utsman semasih hidup. Karena
Sayyid Utsman hidup pada masa Pemerintah Hindia Belanda,
penulis juga akan menyinggung lembaga-lembaga pendidikan
yang pernah beroperasi.
63
Anwarudin Harapan, sejarah, sastra dan Budaya Betawi (Jakarta,
APPM, 2006) hlm. 7 64 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta, Logos, 2002)
h. 38 65
Abdul Aziz, Peranan Islam…, hlm. 22
36
Pada zaman pemerintah Belanda menyediakan sekolah
yang beraneka ragam bagi pribumi untuk memenuhi
kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Pendidikan bagi
pribumi awalnya terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi
kemudian berkembang secara vertikal sehingga masyarakat
pribumi yang sudah lulus dari pendidikan menengah dapat
mencapai pendidikan tinggi, sekalipun melalui jalan yang sulit.
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat
dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa
VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa
pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa
VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang,
kondisi pendidikan di Nusantara dapat dikatakan tidak lepas
dari maksud dan kepentingan komersial.
Bangsa Belanda yang dimotori oleh VOC datang ke
Indonesia bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang.
Mereka dimotifasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan
yang sebesar-besarnya, sekalipun harus mengarungi laut yang
berbahaya sejauh ribuan kilometer dalam kapal layar kecil
untuk mengambil rempah-rempah dari Indonesia. Namun para
pedagang itu merasa perlu memiliki tempat yang permanen di
daratan dari pada berdagang dari kapal yang berlabuh di laut.
Kantor dagang itu mereka perkuat dengan senjata, yang
kemudian menjadi benteng yang akhirnya menjadi landasan
untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor
dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik
dan teritorial. Setelah peperangan kolonial yang banyak
akhirnya Indonesia jatuh di bawah pemerintahan Belanda.
Namun penguasaan daerah jajahan ini baru selesai pada
permulaan abad ke 20.
Metode kolonialisasi VOC sangat sederhana. Mereka
mempertahankan raja-raja lokal Indonesia yang berkuasa dan
tetap menjalankan pemerintahan. Tetapi VOC memberlakukan
monopoli hak berdagang dan eksploitasi sumber-sumber alam
terhadap raja-raja beserta rakyatnya. Adat istiadat dan
kebudayaan asli setempat dibiarkan tanpa perubahan
aristokrasi tradisional digunakan oleh Belanda untuk
memerintah negeri ini dengan cara efisien dan murah. Karena
37
VOC tidak mencampuri kehidupan orang Indonesia secara
langsung, maka sangat sedikit VOC perbuat untuk pendidikan
bangsa. Kecuali usaha menyebarkan agama Kristen di
beberapa pulau di bagian timur, itu merupakan kegiatan
pendidikan pertama yang dilakukan VOC.
Pada permulaan abad ke 16 hampir seabad sebelum
kedatangan Belanda, pedagang Portugis menetap di bagian
timur Indonesia tempat rempah-rempah itu di hasilkan.
Biasanya mereka didampingi oleh misionaris yang
memasukkan penduduk kedalam agama katolik. Salah satu
misionaris yang paling berhasil diantara mereka adalah Ordo
Jesuit di bawah pimpinan Feranciscus Xaverius. Xaverius
memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk
penyebaran agama. Seminari dibuka di Ternate, kemudian di
solor dan pendidikan agama yang lebih tinggi dapat diperoleh
di Goa, India, pusat kekuasaan portugis saat itu. Bahasa
portugis hampir sama populernya dengan bahasa Melayu,
kedudukan yang tak kunjung di capai oleh bahasa Belanda
dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan Portugis
melemah akibat peperangan dengan raja-raja Nusantara, dan
akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605.
Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/ komisaris
jendral harus memulai system pendidikan dari dasarnya,
karena pendidikan zaman VOC berakhir dengan kegagalan
total. Pemerintahan baru yang diresapi oleh ide-ide liberal
aliran aufklarung atau Enlightenment menaruh kepercayaan
akan pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan
ekonomi dan sosial. Pada tahun 1808 Deandels seorang
Gubernur Belanda mendapat perintah Raja Lodewijk untuk
meringankan nasib rakyat jelata dan orang-orang pribumi,
serta menghentikan perdagangan budak. Usaha Deandels
tersebut tidak berhasil, bahkan menambah penderitaan rakyat,
karena ia mengadakan dan mewajibkan kerja paksa (rodi).
Di bidang pendidikan Deandels memerintahkan kepada
Bupati-bupati di Pulau Jawa agar mendirikan sekolah atasa
usaha biaya sendiri untuk mendidik anak-anak mematuhi adat
dan kebiasaan sendiri. Kemudian Deandels mendirikan
sekolah Bidan di Batavia. Kemudian Pada masa Pemerintahan
38
Inggris (1811-1816) tidak membawa perubahan dalam masalah
pendidikan walaupun Sir Stamford Raffles seorang ahli negara
yang cemerlang. Ia lebih memperhatikan perkembanagan ilmu
pengetahuan, sedangkan pengajaran rakyat dibiarkan sama
sekali, karyanya terkenal dengan judul History of Java.
Setelah ambruknya VOC tahun 1816 pemerintah
Belanda menggantikan kedudukan VOC. Statuta Hindia
Belanda tahun 1801 dengan terang-terangan menyatakan
bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang
sebesar-besarnya kepada perdagangan dan kepada kekayaan
negeri Belanda. Pada tahun 1842 Markus, menteri jajahan,
memberikan perintah agar Gubernur Jendral berusaha dengan
segenap tenaga agar memperbesar keuntungan bagi negerinya.
Walaupun setiap Gubernur Jenderal pada penobatannya
berjanji dengan khidmat bahwa ia akan memajukan
kesejahteraan Hindia Belanda dengan segenap tenaga. Prinsip
yang masih dipertahankan pada tahun 1854 ialah bahwa
Hindia Belanda sebagai “negeri yang direbut harus terus
memberi keuntungan kepada negeri belanda sebagai tujuan
pendidikan itu. Sekolah pertama bagi anak Belanda dibuka di
Batavia pada tahun 1817. Prinsip yang dijadikan pegangan
tercantum di Statuta 1818 bahwa sekolah-sekolah harus dibuka
di setiap tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda dan
diizinkan oleh keadaan.
Gubernur Jendral Van der Capellen (1819-1823)
menganjurkan pendidikan rakyat dan pada tahun 1820 kembali
regen-regen diinstruksikan untuk menyediakan sekolah bagi
penduduk untuk mengajar anak-anak membaca dan menulis
serta mengenal budi pekerti yang baik. Anjuran Gubernur
Jendral itu tidak berhasil untuk mengembangkan pendidikan
oleh regen yang aktif.
Tahun 1826 bidang pendidikan dan pengajaran
terganggu oleh adanyan usaha-usaha penghematan. Sekolah-
sekolah yang ada hanya diperuntukkan bagi pribumi yang
memeluk agama Nasrani. Alasannya adalah karena adanya
kesulitan keuangan yang berat yang dihadapi pemerintah
Hindia Belanda sebagai akibat perang Diponegoro (1825-
39
1830) yang mahal dan menelan banyak korban serta
peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839).
Kesulitan keuangan ini menyebabkan raja Belanda
meninggalkan prinsip-prinsip liberal dan menerima rencana
yang dianjurkan Van den Bosch,66
untuk memanfaatkan
pekerjaan budak menjadi dasar eksploitasi kolonial. Ia
membawa ide penggunaan kerja paksa (rodi) sebagai cara
yang ampuh untuk memperoleh cara usaha maksimal, yang
kemudian terkenal dengan cultuur stelsel atau tanam paksa
yang memaksa penduduk pribumi untuk menghasilkan
tanaman yang diperlukan di pasaran Eropa.
Van den Bosch mengerti, bahwa untuk memperbaiki
stesel pembangunan ekonomi bagi pemerintah Hindia Belanda
dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang banyak. Setelah tahun
1848 dikeluarkan peraturan-peraturan pemerintah akan
tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan pribumi.
Terbongkarnya penyalahgunaan system tanam paksa
merupakan faktor dalam perbahan pandangan. Peraturan
pemerintah tahun 1854 menginstruksikan Gubernur Jenderal
untuk mendirikan sekolah dalam tiap kabupaten bagi
pendidikan pribumi. Peraturan tahun 1863 mewajibkan
Gubernur Jenderal untuk mengusahakan terciptanya situasi
yang memungkinkan penduduk pribumi menikmati pendidikan
secara merata.
Sistem tanam paksa dihapuskan tahun 1870 dan
digantikan dengan undang-undang Agraria 1870. Pada tahun
itu di Nusantara timbul masa baru dengan adanya undang-
undang Agraria dari De Waal, yang memberi kebebasan pada
pengusaha-pengusaha pertanian partikelir. Usaha-usaha
perekonomian semakin maju, masyarakat lebih banyak lagi
membutuhkan pegawai. Sekolah-sekolah yang ada dianggap
belum cukup memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya maka
usaha mencetak calon-calon pegawai makin dipergiat lagi.
Kini tugas departemen adalah memelihara sekolah-sekolah
yang ada dengan lebih baik dan mempergiat usaha-usaha
perluasan sekolah-sekolah baru. Pada tahun 1893 muncul
66
mantan Gubernur di Guyana, jajahan Belanda di Amerika selatan.
40
perbedaan dalam pengajaran penduduk pribumi, hal ini
disebabkan:67
1. Hasil sekolah-sekolah pribumi kurang memuaskan
pemerintah kolonial. Hal ini terutama sekali disebabkan
karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat.
2. Di kalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada
rakyat jelata. Mereka menyadari bahwa yang harus
mendapat pengajaran itu bukan hanya lapisan atas saja.
3. Adanya kenyataan bahwa masyarakat pribumi sangat
membutuhkan pendidikan baik lapisan atas maupun
lapisan bawah.
Untuk mengatur dasar-dasar baru bagi pengajaran
pribumi, dikeluarkanlah Indisch Staatsblad 1893 nomor 125
yang membagi sekolah bumi putra menjadi dua bagian:
a. Sekolah-sekolah kelas I untuk anak-anak priyai dan kaum
terkemuka.
b. Sekolah-sekolah kelas II untuk rakyat jelata.
Perbedaan sekolah kelas I dan kelas II antara lain:
Kelas I Tujuannya memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah,
perdagangan dan perusahaan. Lama bersekolah 5 tahun. Mata
pelajaran yang diberikan membaca, menulis, berhitung, ilmu
bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar, dan ilmu ukur.
Tenaga pendidik berasal dari lulusan Kweekschool. Bahasa
pengantar yang digunakan Bahasa Daerah/Melayu
Kelas II Tujuannya memenuhi kebutuhan pengajaran di kalangan
rakyat umum. Lama bersekolah 3 tahun
Mata pelajaran yang diberikan hanya membaca, menulis dan
berhitung. Tenaga pendidik berasal dari kalangan yang sudah
mampu membaca menulis dan berhitung, bukan dari lulusan
sekolah tinggi. Sehingga untuk menjadi guru di kelas II, lebih
67
Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (Bandung: Prosfect,
2007), hlm. 36
41
mudah dan besar peluangnya. Bahasa pengantar yang
digunakan Bahasa Daerah/Melayu
Kemudian pada tahun 1914 sekolah kelas I diubah mejadi
HIS (Hollands Inlandse School) dengan bahasa pengantar
bahasa Belanda. Sedangkan sekolah kelas II tetap
menggunakan Bahasa Daerah/Melayu, namun namanya
berubah menjadi sekolah Vervolg (sekolah sambungan) dan
merupakan sekolah lanjutan dari sekolah desa yang mulai
didirikan sejak tahun 1907.
Sejak dilaksanakannya politik etika tampak sekali
kemajuan dalam pendidikan dengan diperbanyaknya Sekolah
Rendah, sekolah yang berorientasi Barat untuk orang Cina dan
pribumi didirikan. Demikian juga pendidikan dikembangkan
secara vertical dengan didirikannya MULO dan AMS yang
terbuka bagi pribumi untuk melanjutkan ke tingkat universitas.
Dalam rangka memperbaiki pengajaran rendah bagi kaum
pribumi, maka pada tahun 1907 diambil dua tindakan penting
yaitu:
1. Memberi corak dan sifat kebelandaan-belandaan pada
sekolah kelas I, misalnya:
a. Bahasa Belanda dijadikan mata pelajaran sejak kelas 3
b. Di kelas 6 bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar
c. Lama belajar menjadi 7 tahun
d. Tahun 1914 dijadikan KIS dan menjadi bagian
pengajaran rendah barat
e. Murid-muridnya berasal dari anak-anak bangsawan dan
terkemuka
2. Mendirikan Sekolah Desa
Maksud pemerintah untuk memperhatikan kepentingan
rakyat Indonesia tidak tercapai, karena sekolah-sekolah
bumi putra kelas II merupakan lembaga yang mahal dan
memerlukan anggaran yang besar. Maka atas perintah
Gubernur Jendral Van Heutsz tahun 1907 didirikan sekolah-
sekolah desa. Bangunannya didirikan oleh desa dan guru-
gurunya juga diangkat oleh desa pula, jadi bukan pegawai
negeri. Jadi susunan pengajaran bagi anak-anak Indonesia
untuk sekolah rendah ada tiga, yaitu:
a. Sekolah Desa, bagi anak-anak biasa
42
b. Sekolah kelas II, yang kemudian diubah menjadi Sekolah
Vervolg
c. Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS
bagi anak-anak bangsawan dan aristocrat
Sistem sekolah pada zaman pemerintahan Hindia Belanda Secara umum sistem pendidikan khususnya system
persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut
keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut
golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.
1. Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah
dasar mempergunakan system pokok yaitu:
a. Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
b. Sekolah Rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school),
yaitu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa atau
anak-anak turunan Timur asing atau Bumi putra dari tokoh-
tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818.
c. Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school),
suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan tmur asing,
khususnya keturunan Cina. Pertama didirikan pada tahun 1908
lama sekolah tujuh tahun.
d. Sekolah Bumi Putra Belanda HIS (Hollands Inlandse school),
yaitu sekolah rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli.
Pada umumnya disediakan untuk anak-anak golongan
bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri.
Lamanya sekolah tujuh tahun dan pertama didirikan pada
tahun 1914.
e. Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah, di
antaranya
1. Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini
disediakan untuk golonagan bumi putra. Lamaya sekolah
tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892.
2. Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak
golongan pribumi. Lamanya sekolah tiga tahun yang
pertama kali didirikan pada tahun 1907.
3. Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun
merupakn kelanjutan dari sekolah desa, juga diperuntukan
43
bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali
didirikan pada tahun 1914.
4. Sekolah Peralihan (Schakelschool)
Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga
tahun) kesekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa
Belanda. Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan
bagi anak-anak golongan bumi putra. Disamping sekolah
dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk
orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada
tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan
bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut
sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula
didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872, tetapi
kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS.
2. Pendidikan lanjutan (Pendidikan Menengah)
a. MULO (Meer Uit gebreid lager school)
MULO adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang
berbahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga
sampai empat tahun. Yang pertama didirikan pada tahun
1914 dan diperuntukan bagi golongan pribumi dan Timur
Asing. Sejak zaman Jepang hingga sampai sekarang
bernama SMP. Sebenarnya sejak tahun 1903 telah didirikan
kursus MULO untuk anak-anak Belanda, lamanya dua
tahun.
b. AMS (Algemene Middelbare School)
Merupakan sekolah menengah umum kelanjutan dari
MULO, berbahasa Belanda dan diperuntukan golongan
pribumi dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan
yang petama didirikan tahun 1915. AMS ini terdiri dari dua
jurusan (afdeling), yaitu Jurusan A (yang memperlajari
pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (yang
memperlajari pengetahuan alam) pada zaman Jepang
disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak kemerdekaan
disebut SMA.
c. HBS (Hoobere Burger School)
Disebut juga sekolah warga Negara tinggi, HBS adalah
sekolah menengah kelanjutan dari ELS yang disediakan
untuk golongan Eropa, bangsawan golongan pribumi yang
44
berasal dari tokoh-tokoh terkemuka. Bahasa pengantarnya
adalah bahasa Belanda dan berorientasi ke Eropa Barat,
khususnya Negara Belanda. Lama sekolahnya tiga tahun
dan lima tahun. Didirikan pada tahun 1860
3. Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )
Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah Belanda
banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan.
Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah sebagai berikut:
a. Sekolah pertukangan (Amachts leergang)
Yaitu sekolah berbahasa daerah dan menerima sekolah
lulusan pribumi kelas III (lima tahun) atau sekolah
lanjutan (vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan
untuk mendidik tukang-tukang, didirikan pada tahun
1881
b. Sekolah pertukangan (Ambachtsschool)
Adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar
Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima
lulusan HIS, HCS atau schakel. Bertujuan untuk
mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara lain
montir mobil, mesin, listrik, kayu dan pembuat batu
c. Sekolah teknik (Technish Onderwijs)
Adalah kelanjutan dari Ambachtsschool, berbahasa
Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah tersebut
bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Indonesia
untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik
menengah dibawah insinyur.
d. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs).
Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan
Eropa yang berkembang dengan pesat.
e. Pendidikan pertanian (Landbouw Onderwijs)
Pada tahun 1903 didirikan sekolah pertanian yang
menerima lulusan sekolah dasar yang berbahasa
pengantar Belanda. Pada tahun 1911 mulai didirikan
sekolah pertanian (cultuurschool) yang terdiri dari dua
jurusan, pertanian dan kehutanan. Lama belajaranya
sekitar 3-4 tahun, dan bertujuan untuk menghasilkan
pengawas-pengawas pertanian dan kehutanan. Pada
tahun 1911 didirikan pula sekolah pertanian menengah
45
atas (Middelbare Landbouwschool) yang menerima
lulusan MULO atau HBS yang lamanya belajar 3 tahun.
f. Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes
Vakonderwijs).
Pendidikan ini merupakan kejuruan yang termuda.
Kemudian sekolah yang sejenis yang didirikan oleh
swasta dinamakan Sekolah Rumah Tangga
(Huishoudschool). Lama belajarnya tiga tahun.
g. Pendidikan keguruan (Kweekschool).
Lembaga keguruan ini adalah lembaga yang tertua dan
sudah ada sejak permulaan abad ke-19. Pada abad ke-20
terdapat tiga macam pendidikan guru, yaitu:
1. Normalschool, sekolah guru dengan masa
pendidikan empat tahun dan menerima lulusan
sekolah dasar lima tahun, berbahasa pengantar
bahasa dearah.
2. Kweekschool, sekolah guru empat tahun yang
menerima lulusan berbahasa belanda.
3. Hollandschool, Indlandschool kweekschool, sekolah
guru 6 tahun berbahasa pengantar Belada dan
bertujuan menghasilkan guru HIS-HCS.
4. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)
Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:
a. Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School)
Sekolah Tehnik Tinggi ini yang disingkat THS
didirikan atas usaha yayasan pada tahun 1920 di
Bandung. THS adalah sekolah Tinggi yang
pertama di Indonesia, lama belajarnya lima tahun.
Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB.
b. Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge
school)
RHS didirikan pada tahun 1924 di Batavia. Lama
belajarnya 5 tahun, yang tamat dari AMS dapat
diterima di RHS. Tamatan ini dijadikan jaksa atau
hakim pada pengadilan.
c. Pendidiakn tinggi kedokteran.
Lembaga ini di Indonesia di mulai dari sekolah
dasar lima tahun. Bahasa pengantarnya bahasa
46
Melayu. Pada tahun 1902 sekolah dokter Jawa
diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding
Voor Indische Artsen) yang menerima lulusan
ELS, dan berbahasa pengantar Belanda. Lama
belajarnya 7 tahun. Kemudian syarat
penerimaannya ditingkatkan menjadi lulusan
MULO. Pada tahun 1913 disamping STOVIA di
Batavia didirikan sekolah tinggi kedokteran
(Geneeskundige Hogeschool) Yang lama
belajaranya 6 tahun dan menerima lulusan AMS
dan HBS.
Hingga awal abad ke-20 sebagian besar masyarakat
pribumi Batavia dapat dikatakan masih buta aksara Latin.
Sementara kalangan priyayi yang bersekolah di lembaga
pemerintah Belanda dapat menulis dan membaca, baik dalam
bahasa Latin maupun bahasa Belanda. Namun bagi kalangan
Santri dan Abangan di Batavia, beberapa dari mereka mampu
membaca bahasa Arab, yang mereka pelajari di majelis-majelis
taklim, ada juga yang enggan bepergian, lalu mereka
memanggil guru untuk mengajar di rumah.
Sistem pendidikan majelis taklim dan madrasah yang ada
di tengah masyarakat Batavia hanya menyediakan barisan
ulama dan pejuang tangguh yang siap berjuang dan bertempur
di medan dakwah, namun hal tersebut tidak cukup banyak
menyediakan para politisi dan diplomat.
Masyarakat Batavia mengembangkan hukum Islam
melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di sekolah-
sekolah. Pendidikan agama berpusat pada pendidikan
membaca huruf Arab, dengan tujuan mampu membaca al-
Qur’an. Kemudian setelah mahir, mereka mempelajari Nahwu
dan Saraf.68
Sistem pengajarannya masih tradisional, pelajaran
disampaikan secara text book, terjemahan secara perkata,
68
Clifford, Geertz, Islam yang Saya Amati di Maroko dan Indonesia,
terj. Hasan Basri (Jakarta: Yayasan Ilmu Ilmu Sosial, 1982) hlm. 8152. C. A.
O. Van Nieuwenhuijze, Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia (The
Hague and Bandung: W. Van Hoeve LTD, 1958) hlm. 42-43. Telusuri juga
Deliar Noor, Gerakan ......... hlm. 52-53
47
berdasarkan ucapan dan hafalan guru. Dalam penyampaian
sebuah ilmu, tidak ada penelitian secara mendalam untuk
mengkritisi kebenaran dalam suatu ajaran. Apa yang
disampaikan oleh guru, selalu dipatuhi murid-muridnya.69
Ilmu agama yang diajarkan di antaranya ilmu Tafsir, Hadits,
Fiqh, dan Kalam.70
Setiap murid tidak diperkenankan mengkritisi dan
menggali hukum untuk menyelesaikan permasalahan-
permasalahan baru, mereka dilarang menafsirkan al-Qur’an
terkecuali menyampaikan tafsir-tafsir yang terpakai, mereka
hanya diperbolehkan mencari persoalan-persoalan dalam kitab
fiqh yang bermazhab Syafii. Umat Islam pada masa itu
meyakini bahwa ijtihad tidak dibenarkan, bagi mereka
keterangan-keterangan tentang nabi dan sahabat telah
termaktub dalam kitab-kitab tafsir, hadits, dan fiqh. Hal
demikian melahirkan paham bahwa pintu ijtihad telah
tertutup.71
Para murid dipersiapkan untuk menjadi guru atau
ustadz agar dapat mengembangkan ilmu ke tempat tinggalnya,
ada juga yang dipersiapkan untuk menjadi qhadi.
Sekitar tahun 1906 pendidikan tradisional tersebut
mengalami perubahan, adanya penambahan mata pelajaran
umum di sekolah-sekolah Islam. Sistem pendidikan diubah
dari sistem halaqah menjadi berkelas-kelas sesuai dengan
kurikulum seimbang antara materi agama dan umum.72
Vlekke melaporkan bahwa sejak tahun 1900-an
pemerintah Hindia Belanda mulai memperluas pengetahuan
69
Robert, Herndon Fife, The Revolt of Martin Luther (New York:
Columbia University Press, 1957) hlm. 20. 70
Aboebakar, Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Sinar Pujangga, 1952) hlm.
284. Telusuri juga Chr. L. M. Penders, Indonesia Selected Documents on
Colonialism and Nationalism 1830-1942 (Queensland: Queensland University
Press, 1977) hlm. 252-253. 71
Harun, Nasution, Pembaruan Dalam Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975) hlm. 78-81. Telusuri juga Snouck, Hurgronje, Mekka: in the
Latter Part of the 19th century: Daily Life, Customs and Learning of the
Moslems of the East-Indian-Archipelago, trans. J. H. Monahan. (Leiden: Brill,
1931) hlm. 268-284. 72
Ahmad Syafii, Maarif, Studi Tentang Percaturan dalam
Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985) hlm. 65
48
pribumi dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk
mencerdaskan pribumi.73
Usaha ini merupakan salah satu
tujuan politik etis74
yang disuguhkan kepada penduduk
jajahannya dalam bidang pendidikan. Namun penulis menilai
usaha pendirian sekolah itu bermodus menandingi atau
menyaingi beberapa sekolah atau lembaga Islam, modus
tersebut bertujuan untuk mengimbangi dakwah yang dilakukan
oleh kalangan ulama, pemerintah menganggap semakin besar
pengetahuan agama, maka seorang muslim akan memiliki sifat
fanatik pada agamanya, dan berusaha mendirikan Negara
Islam, yang membahayakan keberlanjutan kolonialisme
Belanda.
Sekolah-sekolah Islam pada masa itu dikategorikan
sebagai sekolah liar. Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan-peraturan yang membatasi dan
mematikan sekolah-sekolah tersebut. Pemerintah
mengeluarkan peraturan kepada guru ngaji, mewajibkan dan
menuntut badan hukum bagi pengurus-pengurus yang
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Saat itu
pemerintah merasa berkepentingan untuk mengawasi
madrasah, majelis taklim, serta lembaga-lembaga Islam
lainnya. Peraturan tersebut dikenal dengan nama ordonansi
guru ngaji yang dibuat pada tahun 1905, yang menyebutkan
bahwa izin tertulis untuk mengajar harus diberlakukan kepada
lembaga-lembaga Islam, daftar mata pelajaran dan peserta
didik harus diketahui, serta metode pengawasan pemerintah
juga harus dibuat.75
Ordonansi tersebut dimaksudkan untuk
membatasi gerakan pendidik agama dan secara umum
dimaksudkan untuk menghambat kemajuan Islam.76
Penulis
menilai bahwa pemerintah kolonial bersikeras, melalui
73
Bernard, Hubertus Maria Vlekke, Nusantara ……… hlm. 386. 74
Pembayaran hutang budi atau ganti rugi atas eksploitasi yang telah
dilakukan pemerintah Hindia Belanda. 75
Syamsul Kurniawan, Pendidikan di Mata Soekarno: Modernisasi
Pendidikan Islam dalam Pemikiran Soekarno (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Group, 2009) hlm. 21. 76
H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000) hlm.169-170.
49
berbagai kebijakannya menolak peranan Islam dalam
kehidupan publik. Akibat kebijakan diskriminatif tersebut,
pendidikan Islam menghadapi kesulitan-kesulitan dan bahkan
terisolasi dari arus modernisasi.
Lembaga-lembaga pendidikan di Hindia Belanda pada
waktu itu termasuk dalam pengurusan Onderwijis en
Eeredienst (sekarang menjadi Departemen Pendidikan
Nasional) yang tiap kabupaten ditunjuk satu orang untuk
bertanggung jawab. Pemerintah menyediakan Hollands
Indische School (HIS), sekolah khusus para qadhi, penghulu
atau hakim dididik di sana, setelah tamat mereka yang lulus
dengan baik diangkat menjadi naib pada tiap onderdistrik
(kecamatan). Nantinya tugas mereka hanya membuat
pencatatan pernikahan, perceraian, dan perujukan. Pada
tingkat desa, pemerintah menunjuk mudin, orang yang
bertindak sebagai pengantara dari masyarakat Batavia yang
akan melakukan pernikahan, perceraian, dan perujukan.77
Mudin bertanggung jawab mengurus, memandikan,
mengafani, menshalati, dan menguburkan jenazah secara
Islam, mudin juga bertugas sebagai imam shalat di masjid-
masjid di tingkat pedesaan.
77
B. Ter Haar, Adat Law in Indonesia, ......... hlm. 78-80
84
BAB III
SEJARAH HIDUP SAYYID UTSMAN
DAN KARYA-KARYANYA
Pembahasan yang akan penulis sajikan dalam bab ini mengenai keberadaan
Sayyid Utsman, sebagai ulama yang berdakwah melalui lisan kepada masyarakat
Islam dengan berceramah di masjid, langgar, dan majelis taklim di Batavia.
Kemudian Sayyid Ustman juga menyampaikan dakwah melalui tulisan-tulisan
yang beliau tempelkan di dinding masjid dan diajarkan kepada masyarakat Islam
Batavia. Di dalam tulisan tersebut kita dapat mengetahui pemikiran-pemikiran
beliau dalam bidang keagamaan dan sosial budaya. Kemudian akan dikaji pula
interaksi Sayyid Utsman dengan pemerintah Hindia Belanda, yang telah menjalin
kerjasama dalam bidang keagamaan, kemudian diangkat sebagai mufti. Selain itu
akan dibahas pula relasi Sayyid Utsman dengan Masyarakat Batavia dan kalangan
ulama lainnya, baik pribumi maupun Arab. Banyak kalangan masyarakat yang
sangat menghomati dan berkeinginan menuntut ilmu kepada Sayyid Utsman,
namun tidak sedikit pula masyarakat dan kalangan ulama yang mengecam dan
mencibir atas fatwa-fatwa beliau yang dianggap memihak pemerintahan kafir.
A. Biografi Sayyid Utsman Sayyid Utsman lahir dari keluarga yang mencintai ilmu dan agama,
merupakan salah satu keturunan Nabi Muhammad saw85
dari pihak Fatimah
Azzahra86
yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka memiliki putra
bernama Hussein87
yang anak cucunya tersebar ke beberapa kawasan, mulai
dari jazirah Arab berkembang ke Asia Selatan, India, lalu tersebar pula ke Asia
Tenggara, seperti Aceh, Surabaya, dan Batavia tepatnya di Pekojan. Pada awal
abad ke-19 pernah hadir seorang ulama bernama Sayyid Abdullah, yang
kemudian hari mempersunting Syeikah Aminah, putri dari seorang ulama
Mesir Syaikh Abdurrahman bin Ahmad Al-Misri.88
Dari pernikahan tersebut
lahir Sayyid Utsman, yang kemudian menjadi ulama terpenting di Batavia pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
85
Muhammad bin Abdullah, lahir di Mekkah 20 April 570 dan wafat di Madinah, 8 Juni
632 M. di usia 62 tahun. 86
Fatimah putri Nabi Muhammad yang ke empat, lahir di Makkah pada hari Jum'at 20
Jumadi al-Tsani. Mendapat gelar Az-Zahra (wajah yg berseri-seri), wafat di usia 27 tahun, sekitar
bulan Desember 632 M. 87
Hussein bin Ali, putra kedua Fatimah binti Muhammad saw. lahir 3 Sya’ban 4 H /8
Januari 626, dan terbunuh sebagai syahid pada pertempuran Karbala 10 Muharram 61 H / 10
Oktober 680. 88
Syaikh Abdurrahman disebut-sebut sebagai salah satu dari empat murid yang belajar di
Mekah. Ketiga kawannya yang pulang bersamanya ke Nusantara adalah Syaikh Abdush Shamad
Al-Falimbani, Syaikh Arsyad Banjar, dan Syaikh Abdul Wahhab Bugis.
85
Sayyid Abdullah memiliki kakek yang bernama Sayyid Umar, lahir di
Hadramaut tepatnya di Desa Qarah Asy Syaikh. Sayyid Umar kemudian hijrah
dan wafat di kota Madinah. Ayah Sayyid Abdullah yang bernama Sayyid Agil,
merupakan seorang yang cukup terhormat di Mekah, berkedudukan sebagai
pemimpin kaum Sayyid dan digelari Sayyid Syaikh As-Sadah yang
disandangnya selama 50 tahun. Ketokohan Sayyid Agil membuat sejumlah
individu keluarga Bin Yahya atau keturunannya, dinisbahkan nama belakang
”Bin Agil”. 89
Sayyid Utsman bernama lengkap Utsman bin Abdullah bin Agil bin Umar
bin Yahya al-Alawi al-Husseini, lahir di Batavia tepatnya kampung Pekojan
pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H (2 Desember 1822 M). Sekitar tiga tahun
setelah kelahiran Sayyid Utsman, Sayyid Abdullah bertolak ke Mekah.90
Perjalanan jauh tersebut menunjukkan tradisi atau kebiasaan bangsa Arab
untuk berziarah ke berbagai tempat, berkelana ke berbagai negeri untuk
menyiarkan agama Islam. Kemudian Sayyid Utsman dirawat dan tumbuh dalam asuhan kakeknya
Syaikh Abdurrahman, yang mendidiknya dengan berbagai ilmu secara tidak
formal. Ilmu-ilmu yang diberikan di antaranya dasar-dasar ilmu agama,
membaca Al-Qur’an, akhlaq, ilmu tauhid, fiqh, tasawuf, nahwu, sharaf, tafsir,
hadits, dan ilmu falak. Selain berguru kepada kakeknya, Sayyid Utsman
dikabarkan sempat berguru pula kepada Syeikh Salim bin Sumair.91
Berikut ini
merupakan garis keturunan Sayyid Utsman:
89
Sayyid Utsman, “Aqd al-Jumaan fii Adaab Tilaawat al-Qur’an, (Batavia: Percetakan
Sayyid Utsman, t.t), hlm. 116. 90
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984) hlm.135. 91
Nama lengkapanya Syaikh Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Abdullah bin Sumair Al-
Hadhromi Asy-Syafi’i, dilahirkan di desa Dzi Ashbuh, desa dikawasan Hadhramaut, Yaman.
Pengarang kitab Safinah al-Najaah yang wafat di Batavia pada tahun 1271 H (1855 M).
86
Silsilah Nasab Sayyid Utsman (1822-1914 M)92
92
Sumber diambil dari kitab Az-Zahrul Bhasim fi Athwar Abil Qasim dan wawancara
dengan Bapak Muhammad bin Salim bin Athos selaku pengelola Rabithah Alawiyah bagian nasab,
pada tanggal 28 May 2014 pukul 11.15.
Khadijah (565-570 / 619-623 M) Muhammad Saw (570-632 M)
Ali bin Abi Thalib (599-661 M) Fatimah Azzahra (w.11 H / 606-632 M)
Hussain (4-61 H / 626-680 M) Hasan (Lahir 3 H / 625-669 M)
Ali, Abu Muhammad Zainal Abidin (658-713 M)
Muhammad Al-Baqir (676-743 M)
Ja’far Shadiq (702-765 M)
Ali Al-Uraidhi (wafat 112 H) Muhammad Ad Dibaj
Ali
Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah (840-864 M)
Muhammad al-Naqib (wafat 334 H)
Isa Ar-Rumi (214-298 H)
Ahmad Al-Muhajir (820-924 M)
Abdullah/Ubaidillah (wafat 383 H)
Alwi Al Awwal (820-924 M)
Muhammad Sahibus Saumiah
Alwi Atsani
Ali Khali Qasam (523-529 H)
Muhammad Shahib Mirbath (wafat + 1161 M)
Ali
Muhammad Faqih Muqaddam
Alwi Alghoyyur
Ali
Muhammad Mawla al-Dawilah
Alwi
Ali
Hasan
Yahya
Ahmad (wafat 986 H)
Agil
Abdurrahman
Syaich
Umar (Wafat 1212)
Agil (Wafat 1242)
Abdullah (1209-1286 H)
Utsman ( 1248-1332 H / 1622-1914 M)
Sultan Perlak I, Aceh
Yusuf Al Mukhrowi
Abdul Wahhab
Muhammad Akbar Al Ansari
Abdul Muhyi Al Khoyri
Syekh Muhammad Al-Alsiy
Syekh Khaliqul Idrus
Muhammad Yunus
Abdul Qadir / Pati Unus Pangeran Sabrang Lor (w. 1521 M)
87
Saat Sayyid Utsman berusia 18 tahun, Syaikh Abdurrahman wafat pada
tahun 1848. Di usia muda itu beliau memutuskan untuk bertolak ke Mekah
untuk menunaikan ibadah haji. Setelah berhaji, beliau menuntut ilmu agama
selama 7 tahun kepada mufti Mekah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan93
yang
menganut mazhab Syafii.94
Pada tahun 1848 Sayyid Utsman meneruskan
perjalanan ke Hadramaut untuk melepas rindu kepada ayahnya serta
mempererat tali persaudaraan dengan keluarga besarnya (dari pihak ayah),95
lalu berkunjung ke beberapa makam para wali, dan memperdalam ilmu
Tasawuf kepada Sayyid Abdullah bin Husein Bin Thahir.96
Kemudian Sayyid Utsman menuju Madinah berguru kepada Syekh
Muhammad bin Al-‘Azab,97
Sayyid Umar bin Abdullah al-Jufri,98
Sayyid
Alwi,99
dan Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahar100
selama beberapa bulan.
Sayyid Utsman bertemu dan bergaul dengan para pelajar dan ulama
Nusantara,101
yang saat itu Arab Saudi berada di bawah jajahan Kerajaan
Inggris. Semangat yang besar dalam menjalin tali persaudaraan, membawa Sayyid
Utsman ke distrik Dimyath Mesir, untuk menemui sanak keluarga (dari pihak
ibu), dan bermukim selama delapan bulan untuk mengenyam berbagai disiplin
93
Sayyid Zaini lahir pada 1817 dan wafat pada 1886 M, seorang ulama besar di Mekkah
yang bergelar Bahrul Akmal (lautan kesempurnaan) karena keluasan ilmu yang dimilikinya
sebagai Pembela paham Ahlus Sunnah wal jama’ah dari serangan Paham Wahabi. 94
Syafi’i adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau
yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i, lahir di Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H / 767 M,
dan wafat di Fusthat, Mesir 204H / 819M. Dasar-dasar Mazhab Syafi'i adalah berpegang pada Al-
Qur’an, Sunnah/hadits, Ijma, dan Qiyas. Lihat Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi'i: Biografi
dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan
Ahmad Rivai Uthman (Jakarta: Lentera, 2005). Christian Snouck Hurgronje, Orientalist (Leiden:
Leiden University Library, 2007) hlm. 26. 95
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984) hlm. 135. 96
Sayyid Abdullah lahir di Tarim, Yaman Selatan pada tahun 1191 H. Menimba ilmu dari
ulama-ulama besar di Hadhramaut dan ulama-ulama besar dari Makkah dan Madinah. Seorang
ulama ahli tasawuf paling besar pada masanya. Wafat pada tahun 1272 H di usia 81 tahun. Karya-
karya (kitab) yang cukup fenomenal, antara lain Diwan (kumpulan syair), al-Washiah an-Nafi’ah
fi Kalimat Jami’ah, Dzikru al-Mu’minin bima Ba’atsa bihi Sayyidil Mursalin (berisi tentang
ajakan untuk mengerjakan amal salih), Silmu at-Taufiq (tentang fiqih), Miftahul I’rab (tentang
ilmu nahwu) dan Majmu’. 97
Nama lengkapnya Syekh Muhammad bin Muhammad bin Al-‘Azab Pengarang kitab
Maulid Al 'Azab. 98
Sayyid Umar bin Abdullah al-Jufri, guru besar tasawuf. 99
Nama lengkapnya Sayyid Alwi bin Saggaf Al-Jufri, guru besar tasawuf. 100
Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahar lahir di kota Kholi’ Rasyid (Houthoh) tahun 1191
H. Seorang guru besar tasawuf, wafat di Dzi Isbah pada 23 Dzul Qa’dah 1273 H. 101
Sayyid Utsman. Ilmu Kemestian di Perihal Kematian (tk, tc, tt). Pernah juga
dialihbahasakan ke dalam bahasa Sunda oleh Ali Zainal Abidin, anak dari Sayyid Hasan bin
Utsman Yahya dalam bahasa Sunda, Ilmu Kawajiban dina Perihal Kamautan.
88
ilmu dari beberapa ulama ternama di negeri itu. Dari sana beliau mendapat
rekomendasi seorang guru besar, rekomendasi untuk mempersunting
Syarifah102
Khadijah. Tak lama kemudian, beliau mengunjungi Tunis, dan menjadi tamu
kehormatan seorang menteri Kerajaan Tunis. Di sana beliau berguru kepada
Syekh Muhammad bin Abdul Jawad dan Syekh Ahmad bin Manshur, dan
berguru dengan mufti Pasya selama lima bulan di distrik Qabis, kira-kira 5 mil
perjalanan dari ibukota Tunisia. Beliau rajin menjalin tali silaturahmi dengan
komunitas ulama di sana, khususnya dengan Mufti Tunis. Dari Tunis beliau bertolak ke Aljazair dan singgah di kota Fes untuk
menelisik ilmu-ilmu eksoterik baik zahir maupun batin. Lalu beliau beralih ke
Maroko, untuk memperdalam ilmu syari’at dan hakikat. Saat itu negara-negara
Afrika Utara yang Sayyid Utsman singgahi tersebut sedang berada di bawah
jajahan Perancis. Perancis, dan negara-negara Eropa lainnya sedang dalam
masa kuat dan memperlihatkan diri sebagai negara-negara penjajah. Sayyid
Utsman menyaksikan berbagai macam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh
umat Islam atas nama pan-Islamisme dan kelompok tarekat terutama
Qadiriyah103
dan Sanusiyah104
, yang memakai ideologi jihad dan istilah perang
Sabil.105
Umat Islam seringkali berada di pihak yang kalah dengan berjatuhan
korban jiwa baik anak-anak maupun dewasa. Kenyataan ini memperlihatkan
bahwa kekuatan umat Islam tidak akan mampu menandingi senjata yang
diproduksi oleh negara-negara penjajah tersebut, dan perlawanan-perlawanan
itu hanya akan membahayakan nyawa umat Islam.
Kemudian Sayyid Utsman menyeberangi Turki dan menetap selama tiga
bulan di Istambul, untuk bertemu dengan mufti, dan berguru pada Syaikh al-
Islam selama tiga bulan, dan menyampaikan surat dari Pasya Madinah kepada
salah satu menteri Sultan Turki. Kemudian Sayyid Utsman menuju Masjid al-
102
Syarifah adalah gelar kehormatan yang diberikan kepadaanak perempuan yang
merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau, Hasan dan Husain putra
Fatimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Pernikahan ini ditujukan untuk menjaga dan
meneruskan nasab atau darah keturunan Rasul. 103
Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir
Jaelani Al Baghdadi, berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan
umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat Qodiriyah ini
dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai
suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi
tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani
sendiri, "Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai
syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya." 104
Tarekat Sanusiyah yang dipelopori oleh Syekh Muhammad Sanusi al Mahdi, yang
lahir pada 12 Rabiul Awal 1202 H / 22 Desember 1787 M di al-Wasitah, Mustaghanim, Algeria.
Syekh Sanusi bermazhab Maliki, menekankan untuk senantiasa berjihad fi Sabilillah menentang
penjajah, melakukan perang Sabil dan sebagainya. Tarekat ini terpengaruh dengan al-Imam Ahmad
bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan Abu Hamid al-Ghazali. Syekh Sanusi wafat pada bulan Safar
tahun 1276H/1859M di al-Jaghbub, Libya. 105
Sayyid Utsman, Buku Kecil Buat Mengetahuikan Arti Tarekat dengan Pendek
Bicaranya, (Batavia, Percetakan Sayyid Utsman, 1889) hlm. 6.
89
Aqsa, Palestina untuk berguru kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jaziri, dan
melanjutkan perjalanan ke Suriah, Persia dan berakhir ke Hadramaut, beliau
pamit kepada keluarga untuk kembali ke tanah kelahirannya.106
Perjalanan
Sayyid Utsman dari negara ke negara lainnya menunjukkan ketidakpuasan
akan ilmu yang telah didapat, beliau dahaga akan ilmu, dan perjalanan tersebut
membuahkan pemahaman ilmu agama dan pengalaman serta pengetahuan atas
keadaan di berbagai negara Islam di Timur Tengah yang sangat luas. Sehingga
setelah pulang ke Batavia, Sayyid Utsman sudah terlebih dahulu mengerti
informasi dan perkembangan yang terjadi di Asia, Afrika dan Eropa. Beberapa
peneliti terdahulu menilai bahwa Sayyid Utsman memiliki gaya berbusana
perlente. Hal itu dilatarbelakangi atas kepandaian beliau menggauli masyarakat
dengan berbagai budaya dan suku bangsa di beberapa negara. Pada tahun 1862 M, setelah menetap beberapa bulan di Hadramaut beliau
transit di Singapura dan kembali ke Batavia, saat itu usia beliau menginjak
empat puluh tahun. Untuk mengetahui secara seksama, penulis menampilkan
peta perjalanan Sayyid Utsman menuntut ilmu, sebagai berikut:
106
Abdullah bin Utsman, Suluh Zaman (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, t.t) hlm. 5-
7.
90
Peta Perjalanan Sayyid Utsman Menuntut Ilmu (1822-1914)
Sayyid Utsman
(1822-1914 M)
Syaikh Abdurrahman Al-Misri Kakek (dari Ibu)
Batavia Masa Belajar 1825-1840
Syaikh Salim bin Sumair Batavia
Sayyid Zaini Dahlan Mufti Mazhab Syafii
Mekah 1840-1848
Syaikh Ahmad Dimyathi
Mekah 1840-1848
Sayyid Abdullah (Ayah Sayyid Utsman)
Mekah 1840-1848
Sayyid Muhammad bin Husein Al-Habsyi
Mekah 1840-1848
Syd.Abdullah
Syihabuddin Hadramaut 1848-1856
Syd. Alwi b Sagaf AlJufri Hadramaut 1848-1856
Syd. Hasan b
Shaleh AlBahr Hadramaut 1848-1856
Syd Muhsin b As-Saqaf Hadramaut 1848-1856
Syd. Alwi b Zein Habsyi Hadramaut 1848-1856
Syd. Ahmad
Junaid Hadramaut 1848-1856
Syd. Abdullah
Husein b Taher Hadramaut 1848-1856
Syaikh. Muhammad
Al-‘Azab Madinah 1856
Sayyid Umar b
Abdullah Al-Jufri Madinah 1856
Beberapa Ulama di Mesir 1857
Syekh Muhammad
bin Abdul Jawad Tunis 1858
Syekh Ahmad bin
Manshur Tunis 1858
Mufti Pasya Tunis 1858
Beberapa ulama Fes, Maroko 1859
Syekhul Islam Istambul 1860 Selama 3 bulan
Syekh Abdul Qadir Al-Jaziri
Palestina 1861
Menetap di Hadramaut
Beberapa bulan
Kembali ke Batavia
1862
91
Setiba di tanah air, beliau segera mengunjungi makam kakek dan ibunya di
Petamburan, serta makam Sayyid Hasyim (kakak sulungnya) di Surabaya.
Kemudian beliau beserta istri dan anak-anaknya pindah dan menetap ke Jati
Petamburan, Tanah Abang. Selama lima puluh dua tahun Sayyid Utsman berdakwah, dikabarkan beliau
sakit selama beberapa hari dan kemudian meninggal. Sebelumnya beliau
menitip pesan kepada keluarganya agar tidak dibuatkan kubah di pemakaman,
bahkan beliau menolak apabila diadakan haul untuk memperingati kematian
beliau.
Sayyid Utsman meninggalkan seorang istri dan 13 (tigabelas) anak, di
antaranya:
6 (enam) orang anak laku-laki, yakni: 1. Alwi bin Utsman, memiliki 10 orang anak
2. Aqil, memiliki 6 orang anak
3. Yahya, memiliki 12 orang anak
4. Abdullah, memiliki 4 orang anak
5. Hasan, memiliki 13 orang anak
6. Hamid, memiliki 8 orang anak
Sementara anak perempuan sebanyak 7 (tujuh) orang, yakni:
1. Fatimah, memiliki 1 orang anak
2. Roqiyah, memiliki 1 orang anak
3. Sayidah, memiliki 5 orang anak
4. Khodijah, memiliki 5 orang anak
5. Ummu Hany, memiliki 6 orang anak
6. Alwiyah, tidak memiliki anak
7. Nur, tidak memiliki anak.
Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya pada masa Gubernur DKI
Jakarta Ali Sadikin, pemerintah daerah melakukan penataan tata ruang kota
dengan mengadakan pembongkaran dan pemindahan pemakaman di
Petamburan. Terjadi keanehan dalam penggalian makam Sayyid Utsman yang
posisinya bersebelahan dengan Syekh Abdurrahman Al-Misri, setelah
penggalian tanah sedalam lebih dari enam meter, para penggali makam tidak
menemukan tubuh jenazah beserta kain kafan. Kemudian pihak keluarga
memutuskan untuk memindahkan tanah yang sudah digali tersebut ke
pemakaman yang beralamat ke Jalan Mesjid Abidin Pondok Bambu, Jakarta
Timur.
B. Pemikiran Sayyid Utsman dan Karya-karyanya Ada beberapa sejarawan yang berbeda pendapat dalam pelaporan jumlah
karya Sayyid Utsman. Di antaranya, Steenbrink mengungkapkan bahwa Sayyid
Utsman menulis lebih dari 50 karya,107
sementara Ricklefs108
dan Henri
107
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984) hlm. 135.
92
Chambert Loir109
yang melaporkan bahwa ada lebih dari 100 karya Sayyid
Utsman. Di balik perbedaan pendapat tersebut, penulis bersependapat dengan
Prof. Dr. Dien Madjid M. A.110
yang mengatakan bahwa selama hidup Sayyid
Utsman telah menulis sebanyak 144 karya, baik yang tipis berkisar 20 puluh
halaman maupun yang tebal. Penulisan karya-karya tersebut dilatarbelakangi
oleh kondisi sosial keagamaan masyarakat Islam nusantara, yang kemudian
beliau terapkan dengan mengeluarkan fatwa-fatwa di Batavia. Di dalamnya
mengandung pemikiran-pemikiran Sayyid Utsman dalam menjawab
permasalahan atau perdebatan yang terjadi di masyarakat. Metode penulisan
Sayyid Utsman, di antaranya menulis dengan huruf Arab, ada juga yang
menggunakan bahasa Arab, dan sebagian besar berbahasa Melayu, cara
penyampaiannya mudah dipahami. Terdapat ciri khas pada cover setelah
tulisan judul, beliau selalu menuliskan identitas penulis, seperti berikut ini:
Karangan hamba yang dhaif (lemah) Utsman bin Abdullah bin Aqil bin
Yahya bin Alawi Al Huseini Gofarallah li Walidayni Amin.
Sementara di bagian akhir, beliau menyebutkan tempat dan waktu penulisan,
namun ada pula beberapa karya yang tidak dicantumkan keterangan tersebut.
Seperti pada contoh di bawah ini:
Telah diselesaikan kitab ini di Betawi pada akhir bulan Syawal 1310
Di bawah ini merupakan karya-karya Sayyid Utsman, yang telah penulis
peta-petakan sesuai bidangnya. Pemetaan ini bertujuan untuk mempermudah
pembahasan mengenai kontribusi Sayyid Utsman yang akan dibahas pada bab
empat. Pemetaan karya-karya tersebut di antaranya:
Karya-karya dalam bidang Keagamaan 1. Jawazu Ta'addudil Jum'atain, ditulis tahun 1286 H/1869 M. Kitab yang
berisi pedoman pendirian shalat Jum’at.
2. Tahrir Aqwa ‘Adillah. Dikarang pada tahun 1872 M, yang ditulis sebagai
pedoman untuk menetapkan arah kiblat.
3. Kitab Haji dan Umrah. Ditulis pada tahun 1873, sebagai pedoman tata
cara menunaikan ibadah haji dan umrah untuk bekal para calon jamaah
haji dan umrah.
4. Jam’ul Fawaid Mimma Yata allaqu bi Shodaqati Al-Jum’ati wa Al-
Masajid. Ditulis di pada akhir bulan Syawal 1310 H, terdiri dari 83
108
Nama lengkapnya Prof. Merle Calvin Ricklefs, Ph.D. Sejarawan kontemporer
Australia periode 1600-an hingga 1900-an. Lahir pada 1943, objek utama penelitiannya adalah
mengenai sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan pengaruhnya pada kerajaan-kerajaan lain di
Nusantara. Ia banyak mengungkap aspek pergulatan masyarakat Jawa dalam menghadapi
perubahan budaya pada masa 1600 hingga kini akibat masuknya pengaruh kebudayaan Islam dan
Barat. 109
Henri Chambert-Loir adalah peneliti sejarah asal Perancis, sejak 1971 ia telah
menerjemahkan enam karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Prancis, di antaranya Perjalanan
Penganten karya Ajip Rosidi dan Para Priyayi karya Umar Kayam. 110
Putra Aceh yang lahir pada , kini menjadi Guru Besar pada Fakultas Adab dan
Humaniora di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
93
halaman. Kitab ini membahas keutamaan segala hal mengenai hari Jum’at,
mulai dari membaca surat Al-Kahfi, hukum, syarat dan sah shalat Jum’at,
rukun, dan syarat khutbah, serta syarat jamaah shalat Jum’at. Selain itu
dibahas pula mengenai masjid, mulai dari pahala mendirikan, syarat
mewaqafkan, dan menentukan kiblat.
5. Aslahul Halal bi Talibi Al-Halal. Terdiri dari 24 halaman, di dalamnya
tidak ada keterangan tempat dan waktu kitab ini ditulis. Kandungan kitab
ini mengenai keutamaan mencari kekayaan dengan pekerjaan seperti
menjahit, menanam pohon, dan pekerjaan lainnya yang mendapat pahala.
Sayyid Utsman menilai bahwa mencari kekayaan dengan cara meminta-
meminta kepada manusia bukanlah pekerjaan yang terpuji, haram dan dosa
hukumnya.111
6. Al Qawaninu Syar’iyah lil Mahkamah wal Iftaiyah. Ada juga yang
menyebutnya Al-Qawanin asy-Syar'iyah li Ahli al-Majalis al-Hukmiyah
wa al-Iftaiyah. Kitab ini dikarang pada tahun 1881 M/1317 H, yang
dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan agama khususnya ilmu fiqh,
di kalangan para penghulu saat itu. Kitab ini berisi lengkap menerangkan
soal-soal pernikahan, perceraian (thalak) dan menyambung pernikahan
kembali (rujuk) yang sangat berguna bagi Mahkamah-mahkamah
Syar’iyah yang menganut madzhab Syafi’i di Batavia.112
Alasan ditulisnya
kitab ini karena belum ada ulama-ulama Melayu terdahulu, yang mengkaji
pembahasan dalam perkara-perkara tersebut, sehingga kitab ini laris
terjual, dan harus dicetak ulang dengan mesin litografi ukuran kecil milik
pribadi Sayid Utsman.
7. Tawdhihu Al-Adillati ‘ala Syuruthi Syuhudi al-Ahillali. Latar belakang
ditulisnya kitab ini adalah karena pada tahun 1882 umat Islam di Batavia
terbagi dua dalam menentukan awal puasa Ramadhan. Sebagian
masyarakat mulai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian
lainnya mulai puasa pada hari Senin. Kitab ini membahas dan memberikan
jalan keluar, mengenai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Islam
Batavia mengenai hari pertama bulan Ramadhan, menentukan hari raya
umat Islam.
8. An-Nasihah al-Aniqah li al-Mutalabbisin bi al-Thariqah (Nasihat yang
Elok kepada Orang-Orang yang Masuk Tarekat), dikarang pada tahun
1886 M.113 Kitab ini, dilatarbelakangi dengan maraknya penganutan tarekat
yang dilakukan oleh masyarakat Islam di luar Batavia, di antaranya
Banten, Cilegon, Padang, dan beberapa daerah lainnya di Nusantara.
Menurut Sayyid Utsman, masyarakat Islam Nusantara agaknya belum siap
untuk menganut tarekat, hal ini dikarenakan seorang yang hendak
111
Sayyid Utsman. Aslahul Halal bi Talibi Al-Halal (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman)
hlm. 20 112
Sayyid Utsman. Al-Qawanin asy-Syar'iyah (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm.
69-87. 113
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, An-Nasihah al-Aniqah li al-
Mutalabbisin bi al-Thariqah (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1886) hlm. 11-12
94
bertarekat hendaknya menguasai tiga cabang ilmu Islam yakni ilmu
tauhid, fiqh, dan ilmu sifat hati (tasawuf) secara murni.
9. An-Nasihatu Al-Mardhiyyatu fi Ar-Raddi ‘ala al-Wasiyat al-
Manamiyah.114
Ditulisnya kitab ini dilatarbelakangi oleh peredaran surat
wasiat yang diterima oleh masyarakat Islam yang berisi tentang seseorang
yang mengaku bermimpi berjumpa dengan Rasul, dan mendapat saran
untuk melakukan amal-amal perbuatan agar mendapat keberkahan bahkan
menolak atau menghindari bencana (setelah membaca surat wasiat
tersebut). Di dalamnya, terdapat berita-berita tentang datangnya hari
kiamat. Dalam menghadapi permasalahan tersebut Sayyid Utsman menulis
kitab ini untuk menyelamatkan masyarakat untuk tidak mempercayai
berita-berita bohong dari surat wasiat tersebut. Kitab ini menegakkan
syariat dan menghimbau kepada masyarakat untuk selalu meggunakan
akal sehat dalam menerima surat wasiat tersebut.
10. Manhaj al-Istiqamah fi ad-Dini bi as-Salamah.115
Ketika menyelesaikan
kitab ini pada 5 Zulkaedah 1307 H/1890 M, Sayyid Utsman sudah
diangkat mejadi mufti Batavia, beliau berusaha menjembatani umat Islam
dengan pemerintah. Kandungan kitab ini mengenai keberadaan masyarakat
Islam yang berada di bawah penjajahan Belanda. Di dalamnya yang dapat
penulis simpulkan adalah:
a. Sayyid Utsman memandang bahwa keberadaan masyarakat Islam di
bawah penjajahan kaum kafir merupakan keburukan yang tak
terelakkan. Namun meskipun begitu, beliau menolak perlawanan
masyarakat Islam terhadap penjajah, dan beliau tidak akan melakukan
suatu keputusan yang berlawanan dengan syariah Islam, meskipun
dibujuk rayu oleh pemerintah sekalipun. Di dalamnya berisi kritik
terhadap pemberontakan petani Banten yang terjadi pada tahun 1888.
b. Sayyid Utsman dalam kitabnya memeri saran kepada masyarakat Islam
agar tetap menjalankan ibadah dan menghomati peratuan-peraturan
pemerintah Hindia Beanda, selama tidak melanggar syariat Islam. Ini
merupakan etika atau sikap masyarakat Islam yang diharapkan Sayyid
Utsman dalam menghadapi penjajahan. Jika semua dilaksanakan maka
masyarakat Islam akan hidup berdampingan saling menghomati
dengan kaum kafir.
Penulis menyimpulkan bahwa kitab Manhajul Istiqomah merupakan karya
Sayyid Utsman yang bertujuan untuk menyatakan kebenaran agama Islam,
menyampaikan kebajikan kepada saudara seagama Islam, dan
menyelamatkan umat Islam baik dunia maupun akhirat.
114
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya. An-Nasihatu Al-Mardhiyyatu fi Ar-
Raddi ‘ala al-Wasiyat al-Manamiyah (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1891), dan Sayyid
Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya. Al-I’lan bi al-nasihah al-Matlubah (Batavia: Percetakan
Sayyid Utsman, 1903) 115
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Manhaj al-Istiqamah fi ad-Dini bi
as-Salamah. (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 15.
95
11. Mazil al-Auham wa at-Taraddud fi Amri Shalah al-Jumu'ah Ta'addud,
ditulis tahun 1312 H.
12. Taftih al-Maqallatain wa Tabyin al-Mufsidin al-Makhba-ataini fi ar-
Risalah al-Ma'mati bi Shulhi al-Juma'ataini, ditulis tahun 1313 H.
13. Perhiasan Bagus. Sayyid Utsman menulis kitab ini dikhususkan untuk
anak perempuan agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang salah.
14. Risalah Sifat Duapuluh,116
merupakan sebuah kitab Usuluddin yang
mengandung ilmu Tauhid, berbahasa Melayu tulisan huruf Arab yang
mudah dipahami oleh masyarakat Batavia. Pemikiran Sayyid Utsman
dalam karya tersebut adalah, sebagai umat Islam yang baik, seharusnya
sebelum melakukan ibadah, wajib mengenal siapa tuhan (Allah) Yang
akan disembahnya beserta sifat-sifatNya. Dalam pengenalan tehadap Allah
ini mengalami perbedaan di kalangan ulama, ada yang mengatakan
pengenalan harus diajarkan secara rinci, dengan taklid yang disertai dalil,
dan adapula yang menganggap bahwa pengenalan tidak boleh diajarkan
secara rinci, dan lain sebagainya. Hal demikian melatarbelakangi Sayyid
Utsman untuk menulis karya ini, dengan tidak mencantumkan referensi
sumber buku-buku beserta para pengarangnya. Menurut beliau masyarakat
Islam Batavia merupakan masyarakat awam, maka dalam mengajarkan
pengenalan terhadap Allah tidak boleh secara rinci dan meskipun disertai
dengan dalil secara global namun pengajarannya tidak boleh berlebihan,
karena akan menimbulkan kebingungan, perselisihan dan perdebatan antar
masyarakat, yang membawa masyarakat kepada perbuatan dosa. Untuk
memperkuat pendapat tersebut Sayyid Utsman menyimpulkan, bahwa
diantara dosa besar adalah membawa masyarakat Batavia yang awam dan
tidak terbiasa dengan ilmu pemikiran tentang zat Allah dan sifat-Nya, serta
persoalan-persoalan yang belum sampai kepada akal masyarakat Batavia.
Ini adalah suatu kesesatan, karena nanti masyarakat Batavia akan menjadi
ragu dengan ilmu tersebut dalam masalah pokok agama. Bahkan mungkin
masyarakat akan menghayalkan Allah yang mustahil bagi-Nya.
Masyarakat akan menjadi kafir dan melakukan bid’ah, dan akan senang
dengan akal yang sedikit. Oleh karena itu pengajaran harus disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat, Sayyid Utsman membatasinya dengan hal-
hal yang memang wajib diketahui, seperti mengenal sifat-sifat Allah dan
RasulNya.117
Untuk memantapkan dan menguatkan iman dengan cara
membaca Al-Qur’an, mempelajari tafsir serta maknanya, dan melakukan
kewajiban-kewajiban beragama lainnya.118
Di antaranya memahami rukun
116
Sayyid Utsman. Risalah Sifat Duapuluh. (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm.
16. 117
Sayyid Utsman, Risalah Dua Ilmu, (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 17. 118
Sayyid Utsman, Saun al-Din ‘an Nazaghat al-Mudillin (Batavia: tanpa penerbit, 1312
H) hlm. 18.
96
dan wajib shalat, puasa, zakat, berhaji, dan hal-hal yang berkaitan dengan
hukum halal dan haram suatu perbuatan.119
15. Samth asy-Syuzur wa al-Jawahir fi Hilli Takhshish an-Nuzur li as-Sadah.
16. Kitab al-Faraidh. Kitab ini berisi tentang pernikahan dan warisan
17. Saguna Sakaya. Pembahasan kitab ini sama dengan Kitab Faraidh.
18. Hadits Keluarga.
19. Maslakul Akhyar (Kumpulan Do’a).
20. Iqazhuniyan fimaa yat ‘alqu bilahillah was Shiyam. Kitab ini dikarang
pada tahun , yang dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan ulama
dalam menentukan waktu sholat, bulan Ramadhan, dan waktu-waktu lain
yang dijadikan waktu ibadah dalam kalangan para penghulu saat itu. Oleh
karena itu Sayyid Utsman mengarang kitab ini khusus untuk menerangkan
persoalan rnasuk bulan Ramadhan, Hilal dan puasa.
21. Al-Zharul Basim fi Athwar Abil Qasim. Kitab ini ditulis dengan bahasa
Melayu dan dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan agama, tentang
kisah suri tauladan Nabi Muhammad Saw. Dalam kitab ini, Sayyid Utsman
menerangkan kisah Maulud dan Mi’raj Nabi Muharnmad Saw. Kitab ini
selalu dibaca oleh mayarakat Batavia di setiap peringatan Mi’raj 27
Rajab.120
Di dalam terdapat peraturan-peraturan atau tata tertib yang ditulis
Sayyid Utsman dalam permulaan kitab untuk menghormati Nabi
Muhammad Saw. Masyarakat Batavia pun mentaati tata tertib tersebut,
yang berbunyi:
Dalam memperingati hari Mi’raj para jamaah tidak diperkenankan
duduk di atas kursi, melainkan duduk di lantai, tidak diperboleh
merokok, dengan alasan malaikat membenci asap tembakau,
mereka diperkenankan membakar kemenyan yang berbau harum
seperti dupa. Sedangkan bagi jamaah wanita diperbolehkan
mendengarkan ceramah Mi’raj di tempat yang terpisah dari tempat
pria, dan tidak diperbolehkan masuk ke tempat pria.121
22. I’anatut Mustarsyidin, Kitab ini dikarang pada tahun , yang
dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan agama, khususnya ilmu
fikih, di kalangan para penghulu saat itu. Berbahasa Arab, yaitu kitab
untuk penolak fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah dan Muhamrnad Abduh.
23. Terjemah Rukun Islam atau Terjemah Hukum Islam.
24. Sa'adah al-Anam
25. Tamyiz al-Haq.
Menurut pemikiran Sayyid Utsman di kitab tersebut, bahwa kolonialisasi
di Indonesia merupakan hal yang buruk bagi masyarakat Islam, namun
sepanjang kolonialisasi tersebut tidak menghalangi masyarakat Islam
119
Sayyid Utsman, Adab al-Insan (Batavia: al-Maktabah al-Thahiriyah, tanpa tahun) hlm.
12. 120
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, al-Zahr al-Basim fi atwar Abi l-
Qasim. (Batavia: Cetakan Baru, 1924) hlm. 8. 121
Ibid hlm. 2-4.
97
untuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, tidak perlu
melakukan perlawanan dengan mengatasnamakan jihad di jalan Allah.
Hidup di bawah penjajahan ini memang menyedihkan, namun ini lebih
baik daripada melakukan perlawanan
26. Perihal Hukum Azan.
27. Irsyad al-Anam. Merupakan kitab fiqh yang ditulis dalam bahasa Melayu
huruf Arab yang mudah dipahami oleh masyarakat. Sayyid Utsman
menyajikan pedoman pelaksanaan ibadah bagi masyarakat Islam secara
sederhana dan praktis. Sayyid Utsman menulis kitab ini sebagai pedoman
untuk mengatur tentang shalat, puasa, dan zakat.
28. Taftih al-'Uyun.
29. Miftah as-Sa'adah.
30. Tafsir Surah Kahfi.
31. As-Silsalah an-Nabawiyah.
32. Qamus Tiga Bahasa.
33. Qamus Kecil.
34. Hukum Gambar Mekah dan Madinah, Penerbitan peta buminya, yang
memuat sebuah peta besar dari tanah airnya, Hadramaut. Maksud utama
penerbitan itu ialah memperluas pengertian yang lebih baik tentang
keanehan, adat istiadat dan pekerjaan penduduk Arab Selatan, yang telah
mengirimkan kelebihan penduduknya ke negeri-negeri Islam lainnya sejak
berabad-abad lampau.
35. Atlas Arabi.
36. Hikam ar-Rahman.
37. Hadits Empat Puluh.
38. Bab al-Minan. Kandungan kitabnya sebagai berikut:
Segala puji bagi Tuhan seru sekalian alam, dan shalawat dan
sejahtera atas nabi Muhammad SAW dan keluarganya dan sahabatnya.
waba'du, kemudian daripada itu maka rukun Islam lima perkara : pertama
mengucap dua kalimat syahadat, kedua sembahyang lima waktu, ketiga
memberi zakat jka ada hartanya, ke empat puasa bulan Ramadhan, ke lima
pergi haji jika mampu pergi. Adapun artinya Islam ialah menerima segala
perintah Allah SWT dan menjauhkan segala larangan-Nya. Adapun yang
dikata orang-orang Islam itulah yang mengucap dua kalimat syahadat, dan
sembahyang puasa.
Adapun artinya iman yaitu percaya, dan rukun - rukunnya enam
perkara : pertama percaya pada Allah SWT bahwa Allah SWT Tuhan
yang mejadikan sekalian alam, kedua percaya kepada malaikat bahwa
mereka itu hamba Allah SWT yang mulia yang amat menuruti perintah
Allah SWT, ketiga percaya kepada sekalian kitab yang turun dari langit
kepada sekalian rasul, ke empat percaya pada sekalian rasul, kelima
percaya pada hari kiamat daripada sirat dan timbangan amal, dan surga,
dan neraka, dan syafaat nabi Muhammad SAW, ke enam percaya kepada
taqdir tuhan Allah SWT atas tiap - tiap sesuatu yang jadi atau yang tidak
jadi
98
39. Toudjouh Faidah. Dalam kitab ini Sayyid Utsman menyampaikan penting
shalat berjamaah.
40. Khulasah al-Qaul al-Sadid fil Man ihdats Ta’addud al-Jum’at fi al-Masjid
al-Jadid. Dalam kitab ini Sayyid Utsman memaparkan bahwa menurut
mazhab Syafii, dalam satu jama’ah hanya boleh diadakan salat Jumat di
satu tempat saja. Bilamana peraturan ini dilanggar, maka kedua salat
Jum’at yang diadakan itu menjadi tidak sah.
41. Risalah Dua Ilmu,122
beliau membagi Ulama menjadi 2 macam yaitu
Ulama Dunia dan Ulama Akhirat. Ulama dunia itu tidak Ikhlas,
materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh,
sedangkan Ulama akhirat adalah orang yang ikhlas, tawadhu, yang
berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa-apa, lillahi ta’ala,
hanya mencari Ridho Allah semata.
42. Soal Jawab Agama.
43. Khutbah Nikah.
44. Al-Qu’an Wa Al-Dua.
45. Ringkasan seni membaca Al-Qur’an.
46. Atlas Arabi.
47. Ringkasan Seni Menentukan Waktu Sah Untuk Shalat.
48. Ilmu kalam.
49. Hukum Perkawinan.
50. Ringkasan Undang-Undang Saudara Susu.
51. Buku Pelajaran Bahasa dan Ukuran Buku. Vvew2
52. Cempaka Mulia. Berisi perihal penyelenggaraan jenazah
53. Kitab Al-Manasik dan Ilmu Falak.
54. Dan masih banyak kitab lainnya.
Karya-karya dalam bidang Sosial Budaya:
1. Adabul Insan.
2. Khawariq Al-Adat.
3. Ringkasan Ilmu Adat Istiadat.
4. Al-Silisilah Al-Nabawiyah.
5. Membahas Al-Qur’an dan Kesalahan Dalam Berdo’a.
6. Ringkasan Unsur-unsur Do’a.
7. Ringkasan Tata Bahasa Arab.
8. Mukhtashar al-Qamus.
9. Salam al-Muslimin.
10. Thariqussalamah minal Khusran wan Nadamah, berbentuk sya’ir dalam
bahasa Arab menolak Muhammad Abduh dan Jamaluddin al Afghani.
11. Ringkasan Hukum Pengunduran Diri Istri Secara Sah.
C. Interaksi Sayyid Utsman dengan Pemerintahan Hindia Belanda
122
Sayyid Utsman, Risalah Dua Ilmu, hlm. 17.
99
Setelah menuntut ilmu di berbagai Negara di timur Tengah Sayyid Utsman
kembali ke Batavia dengan ilmunya yang mapan disertai pengalaman yang
luas, namun beliau tetap menghidupkan diri dan keluarganya dengan
berdagang. Di sela-sela berdagang, Sayyid Utsman mengisi waktu untuk
ceramah di masjid Pekojan dan masjid Petamburan, mulai sekitar tahun 1862-
1883 beliau menebarkan sayap dakwah secara lisan.
Kemudian Sayyid Utsman mendapat tawaran mengajar dari mufti Batavia
Syaikh Abdul Ghani Bima,123
yang telah lanjut usia. Sayyid Utsman menerima
tawaran tersebut, dan mengajar ilmu agama dengan mengkaji kitab-kitab salaf
setelah shalat Jum’at hingga waktu asar di masjid Pekojan. Sementara di
masjid Petamburan beliau mengadakan pengajian majelis taklim di hari Rabu.
Melihat kondisi keagamaan masyarakat Islam Batavia, sekitar akhir tahun
1884 Sayyid Utman mulai menumpahkan pemikirannya ke dalam tulisan yang
berisi tentang jawaban-jawaban dari permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat. Tulisan-tulisan yang beliau tuangkan di antaranya mengenai etika
Islam (akidah dan akhlak), doa-doa, nasihat-nasihat yang sumbernya diambil
dari hadits-hadits, dan hukum Islam (fiqh). Tulisan-tulisan tangan tersebut
beliau tempel di dinding masjid (seperti layaknya majalah dinding), yang
sengaja dipampang untuk dibaca oleh masyarakat Islam Batavia. Bila beliau
telah menyelesaikan tulisan lain, maka tulisan yang telah ditempel diganti
dengan tulisan yang baru.124
Di masa-masa itulah Sayyid Utsman mulai
menyampaikan dakwah melalui tulisan.
Selain berdakwah melalui tulisan, Sayyid Utsman juga telah
menyampaikan ilmu kesenian berupa gambar atau lukisan, di antaranya
gambar Peta Hadramaut, Atlas Arabi, yang mengandung informasi letak-letak
lokasi daerah tersebut, ini sangat bermanfaat bagi persiapan keberangkatan
calon jamaah haji. Ketajaman hafalan beliau mengenai keturunan-keturunan
Alawiyyin, dituangkannya dengan merangkai susunan gambar pohon.
Sekitar tahun 1881 an Sayyid Utsman sudah mulai berinteraksi dengan van
den Berg yang mengunjungi percetakan litografi, dan mencari keterangan
mengenai umat Islam yang termaktub dalam kitab-kitab beliau. Kemudian
Sayyid Utsman membantu Berg dengan memberikan data-data mengenai umat
Islam pada umumnya, bantuan tersebut bisa dikatakan sebagai kerjasama yang
tidak mengikat. Kerjasama ini menunjukkan bahwa Sayyid Utsman adalah
seorang peranakan Arab yang memiliki sifat terbuka kepada siapa saja (baik
penganut Islam maupun non Islam), sepanjang tidak bertentangan dengan
syariat agama.
Pada tahun 1889 Sayyid Utsman menjalin hubungan dengan Snouck
Hurgronje setelah menerima tawaran dalam memberikan bantuan informasi
tentang kehidupan umat Islam Nusantara, khususnya di Batavia untuk
memenuhi penelitian Snouck. Hubungan ini lambat laun menjadi persahabatan,
di mana Snouck merasa adanya sikap keterbukaan dari seorang peranakan Arab
123
Nama lengkapnya Syeikh Abdul Ghani Al-Bimawi Bin Subuh Bin Isma'il Bin Abdul
Karim Al-Bagdadi, lahir di paruh terakhir abad ke-18 kira-kira tahun 1780 di Bima. 124
Azyumardi Azra, Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2002) hlm. 143-144.
100
yang sudi bekerjasama dengan pihak pemerintah Hindia Belanda. Sekitar tiga
tahun berikutnya pemerintah menilai sikap keterbukaan dan luasnya ilmu
pengetahuan yang dimiliki Sayyid Utsman, mengangkat beliau sebagai Mufti
Batavia pada tahun 1891.
Karya tulis Sayyid Utsman semakin subur setelah memiliki percetakan
mesin litografi. Setiap karya yang telah diselesaikan, beliau harus terlebih
dahulu menyerahkannya kepada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian setelah
diperiksa oleh pemerintah, karya tersebut dizinkan untuk dicetak dan
disebarluaskan kepada masyarakat Islam.
Ada beberapa nasehat yang disampaikan oleh Sayyid Utsman kepada
Snouck, di antaranya:
1. Mengadakan pengangkatan penghulu dan hakim agama yang memiliki
ilmu pengetahuan Islam yang baik. Hal ini penting, mengingat kondisi
peradilan agama yang menjadi penentu dalam membuat keputusan suatu
perkara yang terjadi di masyarakat.
2. Memberikan sanksi kepada masyarakat yang menukar suku atau bangsa
orang lain, yang tidak sesuai dengan budaya dan bangsanya. Sanksi ini
diberikan kepada orang yang memakai pakaian yang tidak sesuai dengan
budaya dan bangsanya. Misalnya, orang pribumi memakai pakaian orang
Eropa, atau bangsa lain.
3. Menyarankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mewajibkan calon
jamaah haji agar memiliki tiket pulang, demi terhindar dari hutang. Hal ini
dilatarbelakangi dengan kasus-kasus yang menyulitkan jamaah haji,
misalnya kehabisan uang untuk membeli tiket pulang ke tanah air.
Menghadapi permasalahan tersebut, jamaah haji yang tidak memiliki tiket
pulang sering hidup bergelantungan di tanah suci, untuk mengumpulkan
ongkos pulang ke tanah air, mereka berjualan dan meminta-minta. Bahkan
ada pula yang dijadikan buruh perkebunan di Singapura oleh pemilik
maskapai, yang menganggap bahwa tenaga jamaah haji yang bekerja di
perkebunannya, sebagai ganti rugi untuk memenuhi ongkos pulang ke
tanah air.
4. Memberantas surat wasiat yang beredar di kalangan masyarakat, mengenai
hal-hal yang di luar akal sehat. Surat wasiat tersebut dibawa oleh jamaah-
jamaah haji yang menyebarkan ke masyarakat umum. Pemerintah Hindia
Belanda pun dibuat ketar-ketir atas surat wasiat tersebut, dan memberi
dukungan kepada Sayyid Utsman yang menentang surat wasiat tersebut.
D. Relasi Sayyid Utsman dengan Ulama dan Masyarakat Islam Batavia Dalam bab dua, telah penulis jelaskan bahwa kedudukan sosial imigran
Arab beserta keturunan-keturunannya di Batavia mendapat tingkat yang lebih
tinggi daripada kaum pribumi. Sekian banyak imigran asing yang tinggal di
Batavia dengan berbagai tujuan, imigran Arab terutama kalangan ulama
mendapat kedudukan istimewa di mata masyarakat Islam Batavia. Di mata
masyarakat Islam mereka tidak dianggap sebagai kaum penjajah, melainkan
101
mereka dianggap sebagai sultan kaum pribumi125
yang menunjukkan arah
kebenaran melalui ilmu pengetahuan agamanya. Begitu juga dengan
keberadaan Sayyid Utsman, di mata masyarakat Islam Batavia dipandang
sebagai ulama yang tinggi ilmunya. Banyak yang berkeinginan menuntut ilmu
kepada beliau, namun tidak sedikit pula yang memandang beliau sebagai
mata-mata Belanda sehingga keinginan menuntut ilmu tersebut sirna.
Sepeninggal Abdurrahman Al-Misri, ketika Sayyid Utsman beranjak
remaja sudah mulai aktif mengurus masjid Pekojan. Ketika itu datang seorang
pemuda yang melaksanakan shalat di masjid Pekojan. Pemuda itu bernama
Syekh Nawawi Al-Bantani126
yang menyatakan bahwa tempat sholat imam
sebagai penunjuk arah kiblat masjid tersebut salah, dan harus segera
dibetulkan. Mendengar hal tersebut Sayyid Utsman tidak terima, dan tetap
mempertahankan pendapat bahwa posisi kiblat tersebut sudah benar dan tidak
perlu dirubah. Sementara Nawawi berusaha memperkuat pendapatnya, atas izin
dan karamah127
nur basyariyyah128
yang diberikan oleh Allah, Syekh Nawawi
mampu menggambar Ka’bah dengan jarinya dan menunjukkannya kepada
Sayyid Utsman. Mengetahui karamah tersebut Sayyid Utsman merasa takjub,
dan akhirnya dengan penuh hormat Sayyid Utsman segera mengikuti nasehat
Syekh Nawawi merubah tempat sholat imam masjid Pekojan dengan
menggeser ke kanan.129
Hingga kini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan
akan terlihat tempat sholat imam dipindah atau digeser, tidak sesuai dengan
tempat sholat imam yang sebelumnya. Menurut penulis, dari kasus di atas
menunjukkan bahwa seorang Sayyid merupakan manusia biasa yang tidak
luput dari kesalahan. Dan Sayyid Utsman seorang ulama yang menghargai dan
menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengan pendiriannya.
Pendiriannya yang kuat mampu diredam atas dasar kebenaran cahaya Islam.
Sayyid Utsman merupakan ulama yang selalu menjaga komunikasi dengan
para ulama lainnya, baik dalam negeri maupun luar negeri. Komunikasi
tersebut biasanya mengenai permasalahan keagamaan yang dihadapinya.
Apabila menemukan suatu masalah dalam memutuskan sesuatu, Sayyid
125
Hamid, Algadri, C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan
Arab (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) hlm. 31 126
Nama lengkapnya Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi, lebih
dikenal dengan Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, lahir di Tanara, Serang pada 1813.
Seorang ulama yang memiliki lebih dari 115 kitab yang meliputi bidang fiqh, tauhid, tasawuf,
tafsir, dan hadis. Meninggal di Mekah pada 1897. 127
Karamah adalah hal/perkara atau suatu kejadian yang luar biasa di luar nalar dan
kemampuan manusia awam yang terjadi pada diri seorang wali Allah. 128
Sifat-sifat kemanusiaan yang baik seperti jiwa pemaaf, mau menolong, jujur,
mengikuti aturan. Bila semua terpenuhi maka akan muncul perbuatan-perbuatan mulia. Dengan
karamah tersebut Ka’bah akan terlihat di manapun Syekh Nawawi berada. 129
Nama asli Masjid Pekojan ini adalah Masjid Jami' Annawier yang dididirkan tahun
1760 M / 1180H, dibangun di atas lahan yang disumbangan oleh Syarifah Fatimah. Kemudian
masjid ini diperluas oleh Sayyid Abdullah Bin Hussein Alaydrus. Masjid tua ini kini masuk dalam
daftar bangunan bersejarah yang dilindungi dengan pengesahan berupa SK. Mendikbud R.I. No.
0128/M/1988.
102
Utsman tidak segan-segan meminta pendapat kepada beberapa mufti di negara-
negara Timur Tengah. Komunikasi tersebut ditempuh dengan cara surat
menyurat untuk pembenaran dan memperkuat karya yang mengandung
pemikiran beliau, yang kemudian dijadikan sebagai fatwa-fatwa. Setelah fatwa-
fatwa Sayyid Utsman diperkuat dan disetujui serta didukung oleh mufti-mufti
yang mumpuni di Timur Tengah, maka beliau dengan percaya diri
mengeluarkan fatwa-fatwa tersebut. Yusuf an-Nabhani mufti Beirut,130
Syekh
Hussain al-Jisr di Syiria131
adalah ulama-ulama Timur Tengah yang dikabarkan
pernah dimintai pendapatnya oleh Sayyid Utsman.
Ketika menghadapi masyarakat Islam nusantara yang mulai
terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran Syekh Muhammad Abduh,132
dan
Sayyid Rasyid Ridha133
yang dibawa oleh pelajar-pelajar yang menuntut ilmu
di Mesir dan beberapa Negara Timur Tengah lainnya, Sayyid Utsman
menentang pemikiran-pemikiran kedua ulama pembaharu tersebut.
Penentangan ini mendapat dukungan dari Yusuf an-Nabhani134
mufti Beirut.
Dikabarkan bahwa keluasan ilmu dan pengalaman Sayyid Utsman
membuat masyarakat Batavia sangat menyegani beliau. Saat itu kaum pribumi
belum banyak yang berkecimpung sebagai ulama, di era tersebut ulama di
Batavia bisa dihitung sekitar belasan orang, mereka berasal dari kalangan Arab
(dalam hal ini para Sayyid atau Habib). Sementara kaum pribumi hanya
berusaha menuntut ilmu dari ulama-ulama tersebut, dan berusaha menjaga
silaturahmi dalam rangka menghormati ulama-ulama Arab di Batavia.
130
Nama lengkapnya Syekh Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin
Ismail bin Yusuf An Nabhani dilahirkan pada 1909 di daerah Ijzim. Ia adalah seorang qadi
(hakim), penyair, sastrawan, dan seorang ulama terkemuka di daerah Turki Utsmani 131
Syaikh Hussain Al Jisr, ulama yang mendirikan Sekolah Islam Nasional (Al Madrasah
Al Wataniyyah Al Islamiyyah) di Tripoli. Ia percaya bahwa kemajuan hanya akan mencapai
bangsa Muslim saat percaya dikombinasikan pendidikan agama dengan ilmu-ilmu modern 132
Syekh Muhammad Abduh lahir di Manhallat Nash, sebuah dusun di dekat sungai Nil,
propinsi Gharbiyyah Mesir pada tahun 1849 M. Ide yang di sebarkan yaitu mengobarkan semangat
ummat Islam untuk bangkit melawan kekuasaan Barat. Arbiyah Lubis. Pemikiran Muhammadiyah
dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hlm. 116. 133
Nama lengkapnya Muhammad Rasyid Ridha ibn Ali Rida ibn Muhammad
Syamsuddin ibn Baharuddin ibn Munla Ali Khalifah al-Baghdadi., yang dikenal dengan Sayyid
Rasyid Ridha. Lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun, desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh
dari kota Tripoli (Suria). Ia adalah seorang keturunan Nabi, sekaligus murid terdekat Syekh
Muhammad Abduh, yang melanjutkan pemikiran-pemikiran gurunya dengan melahirkan karya-
karya yang menentang pemerintahan absolut kerajaan Utsmani dan menentang politik Inggris dan
Perancis. Wafat pada tahun 1935. Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran
Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1994) hlm. 280. 134
Syeikh Yusuf bertentangan dengan pemikiran Muhammad Abduh dalam metode tafsir.
Muhammad Abduh menyerukan perlunya penakwilan nas atau ayat Alqur’an agar tafsir merujuk
pada tuntutan situasi dan waktu. Ia juga bertentangan dengan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad
Abduh dan murid-muridnya yang sering menyerukan reformasi agama. Menurut dia, tuntutan
reformasi itu meniru Protestan, dalam Islam tidak ada reformasi agama (seperti dalam pemahaman
Protestan).
103
Sayyid Utsman sangat disegani oleh ulama-ulama di Batavia karena
keluasan ilmu yang dimiliki setiap menjelang bulan Ramadhan beliau
mengumpulkan para ulama-ulama baik ulama-ulama Batavia maupun diluar
Batavia. Bertempat di Masjid keramat Luar batang di makam Waliyullah Habib
Husein bin abu bakar al Idrus. Forum silahturahim para ulama yang di gagas
oleh Sayyid Usman bin Yahya tersebut hingga saat ini masih tetap di lestarikan,
maka setiap akhir kamis di bulan Syaban para ulama dan masyarakat dari
berbagai daerah datang berkunjung keluar Batang. Kunjungan tersebut
dilaksanakan untuk bersilahturahim menyambut bulan Ramadhan dan
mengambil Tabaruk dari Shohibul makam dengan suguhan hidangan khas nasi
kebulinya. Karena biasanya para ulama selama bulan Ramadhan jarang keluar
rumah, mereka fokus beribadah di rumah.
71
BAB IV
KONTRIBUSI SAYYID UTSMAN DALAM KEHIDUPAN KEAGAMAAN
MASYARAKAT ISLAM BATAVIA 1862-1914
Membincang kontribusi Sayyid Utsman, terlihat jelas dalam karya-karya
beliau yang telah penulis jabarkan sesuai dengan bidangnya pada bab tiga dalam
tesis ini. Sementara dalam bab empat ini, penulis akan membahas tentang
kontribusi Sayyid Utsman dalam kehidupan masyarakat Islam Batavia, di mana
penulis mempetakan kontribusi Sayyid Utsman ke dalam empat bidang.
Kontribusi yang pertama adalah di bidang kegamaan, dalam kontribusinya Sayyid
Utsman sangat keras dalam memberantas tradisi dan praktik-praktik yang tidak
sesuai dengan syariat Islam (bid’ah). Kemudian kontribusi yang kedua adalah di
bidang sosial budaya, Sayyid Utsman telah memberikan peraturan atau tata tertib
dalam berpakaian sesuai dengan suku, budaya, dan bangsa. Kemudian dalam
bidang pendidikan, kontribusi Sayyid Utsman yang memulai penyampaian ilmu-
ilmu agama melalui majelis-majelis taklim, yang hingga kini tumbuh subur dan
menjamur. Yang terakhir adalah kontribusi dalam bidang dakwah, keluasan ilmu
yang dimiliki Sayyid Utsman mendorong masyarakat Islam Batavia untuk berguru
atau menuntut ilmu kepada beliau. Sifat terbuka Sayyid Utsman dalam
memberikan ilmu kepada masyarakat Islam Batavia, telah melahirkan ulama-
ulama yang hingga kini menyambung estafet dakwah.
A. Kontribusi Sayyid Utsman di Bidang Keagamaan
Kontribusi Sayyid Utsman di bidang keagamaan dapat ditunjukkan dalam
beberapa karya beliau yang membahas permasalahan keagamaan, di antaranya
yang berkaitan dengan ketuhanan (tauhid). Di bidang keagamaan ini, Sayyid
Utsman dengan gigih berani mengembangkan Islam di tanah Batavia yang
berdasarkan syariat. Perjuangan Sayyid Utsman dalam bidang keagamaan
tertumpu ke arah pemartabatan syariah dan pengembangan mazhab Syafii,
serta penentangan terhadap khufarat dan hukum adat yang meyalahi syariat
Islam.
Di tengah-tengah masyarakat yang memiliki multi kultural, Sayyid
Utsman memandang bahwa masyarakat Islam Batavia masih ada saja yang
mempercayai cerita-cerita Hindu seperti Sri Rama dan jin Padjajaran. Oleh
karena itu perlu adanya pemahaman untuk memurnikan akidah masyarakat
Islam dari percampuran kepercayaan yang bukan Islam yang bisa
mengakibatkan syirik. Menurut Sayyid Utsman, cerita-cerita di atas
merupakan hikayat bohong yang berasal dari tradisi Hindu dan kepercayaan
72
animisme Jawa.135
Oleh karena itu sebagai ulama yang ingin menyelamatkan
masyarakat Islam terhadap akidah yang tidak benar, Sayyid Utsman menulis
beberapa kitab untuk disuguhkan kepada masyarakat Islam yang berisi tentang
ajaran ketuhanan atau tauhid.
Sayyid Utsman sangat memahami tingkat kemampuan masyarakat Islam
Batavia dalam mencerna ilmu pengetahuan agama. Sebagai panduan praktis,
Sayyid Utsman menulis Risalah Sifat Duapuluh, sebagai bacaan yang mudah
dicerna untuk memahami tuhan yang disembah.136
Menurut Sayyid Utsman
masyarakat Islam Batavia adalah kumpulan orang-orang yang awam, maka
dalam mengajarkan pengenalan terhadap Allah sebaiknya tidak secara rinci
dan meskipun disertai dengan dalil secara global namun pengajarannya
sebaiknya tidak perlu berlebihan, karena akan menimbulkan kebingungan,
perselisihan dan perdebatan, yang membawa masyarakat kepada perbuatan
dosa. Untuk memperkuat pendapat tersebut Sayyid Utsman menyimpulkan,
bahwa di antara dosa besar adalah membawa masyarakat Batavia yang awam
dan tidak terbiasa dengan ilmu pemikiran tentang zat Allah dan sifat-Nya,
serta persoalan-persoalan yang belum sampai kepada akal masyarakat Batavia.
Di mana mereka terlahir di daerah koloni Hindia Belanda yang sebelumnya
pernah dikuasai oleh kerajaan Hindu Padjajaran.
Meskipun kerajaan Hindu Padjajaran telah ditaklukkan oleh kerajaan
Islam Demak pada tahun 1527, namun tidak mampu merubah kebiasaan sosial
dan budaya masyarakat Batavia dalam memaknai ibadah dalam kehidupan
beragama Islam. Sebagian besar masyarakat Batavia yang telah memeluk
agama Islam masih belum bisa melepaskan tradisi dan kebiasaan yang
dilakukan oleh orang tua mereka sebelumnya. Kebiasaan atau tradisi orang tua
sebelumnya seperti menyuguhkan sesajen untuk roh kepercayaan nenek
moyang mereka, menentukan hari baik untuk melakukan pembangunan
rumah, melakukan perjalanan jauh, melaksanakan pernikahan, dan tradisi-
tradisi lainnya.
Dalam pelaksanaan acara pernikahan, masyarakat Islam masih belum
melepaskan tradisi yang mengharuskan pengantin untuk menjalani ritual-ritual
adat seperti disabet, ditendang, dilempari butiran beras, disawer dengan uang
koin dan lain sebagainya. Tradisi ritual tersebut berlaku bagi pengantin yang
melangkahi saudara kandungnya yang lebih tua. Sayyid Utsman sangat
menentang masyarakat Islam yang masih mempercayai dukun yang mengaku
mampu meramal nasib seseorang. Dukun melarang seorang calon ayah
memotong-memotong binatang saat istrinya sedang mengandung janin
(hamil). Dukun menganjurkan bagi keluarga yang sedang hamil untuk
membuat rujak sebagai sesajen untuk roh nenek moyang. Selain itu ada juga
masyarakat Islam yang terbiasa mengubah redaksi dua kalimat syahadat,
dengan ucapan “Asyhadu Alla ila ha Illallah wa Asyahadu Anna Muhammad
135
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Manhajul Istiqomah fi ad-Dini bi
as-Salamah. (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1890 M) hlm. 15
136 Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Risalah Sifat Dua Puluh (Batavia:
Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 16.
73
Sabilullah.“ Bacaan ini dianjurkan oleh dukun kepada calon ibu yang akan
melahirkan. Setelah anak tersebut lahir ke dunia, dukun menganjurkan anak
tersebut diletakkan di kolong bale. Dan masih banyak lagi tradisi-tradisi yang
dilakukan masyarakat Islam Batavia yang dianjurkan oleh dukun.137
Menurut Sayyid Utsman, tradisi dan kebiasaan ritual yang dilakukan
masyarakat Islam tersebut tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Oleh
karena itu dalam karyanya yang berjudul Manhajul Istiqomah, Sayyid Utsman
menegaskan bahwa semua hari adalah baik, dalam pernikahan dianjurkan hari
Jum’at di bulan Syawal. Mengenai pengantin yang melangkahi saudara
tuanya, tidak perlu melakukan ritual yang berakibat mubazir dengan
membuang bahan pokok makanan dan uang. Sebaiknya ritual tersebut
dihilangkan dan diganti dengan doa. Begitu juga dengan seorang calon ayah,
diperbolehkan memotong binatang dengan syarat membaca bismillah sebelum
memotongnya. Sementara calon ibu yang sedang akan melahirkan dilarang
mengubah redaksi dua kalimat syahadat. Menurut Sayyid Utsman perubahan
redaksi tersebut merupakan bid’ah keji, ini perbuatan yang sangat durhaka,
pelakunya bisa dikatakan kafir. Sayyid Utsman menyarankan agar calon ibu
membaca doa Karbi.138
Dan mengenai anak yang baru lahir ke dunia tidak
perlu diletakkan di bawah kolong-kolong balai, melainkan anak bayi tersebut
wajib dibacakan adzan ke telinga kanan dan dibacakan iqamah ke telinga kiri
bayi tersebut, dengan tujuan agar terhindar dari bisikan-bisikan dan gangguan
syetan.
Mengenai peribadatan, Sayyid Utsman memiliki kontribusi yang sangat
mempengaruhi masyarakat Islam Batavia, yakni mengutamakan sholat
berjamaah yang mana pahalanya jauh lebih besar daripada sholat seorang
diri.139
Hal tersebut terlihat pada masjid atau mushola di Batavia yang selalu
dibanjiri oleh masyarakat Islam. Begitu juga dengan karya yang berjudul
Jam’ul Fawaid, yang membahas tentang sholat Jum’at dan keutamaan masjid
mulai dari pahala mendirikan, syarat mewaqafkan, dan menentukan kiblat.140
Pada tahun 1882 masyarakat Islam di Batavia terbagi dua golongan dalam
menentukan awal puasa Ramadhan. Sebagian masyarakat mulai puasa
Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian lainnya mulai puasa pada hari
Senin. Mengetahui kondisi demikian, Sayyid Utsman menulis Tawdhihu Al-
Adillati ‘ala Syuruthi Syuhudi al-Ahillali. Kitab ini membahas, dan
memberikan jalan keluar, mengenai perbedaan pendapat di kalangan
masyarakat Islam Batavia mengenai hari pertama bulan Ramadhan,
menentukan hari raya umat Islam. Sayyid Utsman juga telah merancang
137
Tradisi-tradisi bid’ah yang dilakukan masyarakat Islam Batavia tersebut dapat
ditelusuri dalam karya, Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Manhajul Istiqomah fi
ad-Dini bi as-Salamah. (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1890 M) hlm. 29. 138
Doa Karbi adalah doa yang dianjurkan dibaca saat mengalami kesulitan. Doa ini
terdapat dalam karya. Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Maslakul Akhyar
(Batavia: Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 26. 139
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Toudjouh Faidah. (Semarang:
Maktabah al-Munawar, tt), hlm. 8. 140
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Jam’ul Fawaid. (Batavia:
Percetakan Sayyid Utsman) hlm. 6.
74
almenak atau kalender untuk menentukan jadwal bulan Ramadhan, hari raya
Idul fitri, Idul Adha, dan hari-hari Islam lainnya.
Bagi calon jamaah haji yang akan berangkat ke Mekkah pada masa
pemerintahan Hindia Belanda, sangat mendapat kemudahan dalam tata cara
tentang syarat-syarat sholat Qasar, sholat jamak, aturan menghadap kiblat, doa
masuk tanah haram, doa melihat ka’bah, doa masuk masjidil haram, rukun
haji, doa dan sunah thowaf, doa meminum air zamzam, doa sa’i, doa melewati
lorong Mina, doa wukuf di Arofah, dan doa-doa lainnya yang berkaitan
dengan haji dan umrah.141
Kemudahan tersebut didapat karena para calon
jamaah sudah mampu membaca buku kecil yang berjudul Manasik Haji,
dimasukkan di saku baju. Buku kecil tersebut merupakan karya Sayyid
Utsman yang sengaja ditulis khusus untuk para calon jamaah yang pada masa
itu belum ada pelatihan-pelatihan manasik haji yang resmi di bawah
Pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu, Sayyid Utsman juga menggambar
peta Hadramaut yang digunakan Pemerintah Hindia Belanda sebagai peta
Arab yang disebarluaskan kepada calon jamaah haji yang dikhawatirkan
tersesat di tanah Arab.
Lebih dari itu, Sayyid Utsman juga telah berkontribusi sebagai ulama
pertama yang mencetuskan peraturan bahwa para calon jamaah haji wajib
memiliki karcis berangkat ke tanah Arab beserta kembali ke tanah air.
Peraturan ini diberlakukan demi kebaikan dan kelancaran para calon jamaah
haji agar tidak terlibat hutang dan mengalami kesulitan dalam keuangan untuk
biaya hidup saat berhaji hingga kepulangan mereka ke tanah air. Analisa yang
dimiliki Sayyid Utsman didapatnya dari fakta yang telah terjadi di tahun-tahun
sebelumnya, banyak terjadi jamaah haji yang tidak bisa kembali ke tanah air
dikarenakan tidak memiliki karcis kepulangan. Sebagian mereka terpaksa
berdagang di Negara Arab untuk mengumpulkan biaya pulang ke tanah air,
sebagian jamaah haji yang lainnya terpaksa membuat perjanjian hutang
kepada pihak agen atau perusahaan kapal laut Singapura yang bersedia
membawa mereka kembali ke tanah air dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan. Salah satu syarat yang harus dilakukan jamaah haji tersebut adalah
bekerja tanpa mendapat upah di perkebunan milik perusahaan tersebut selama
beberapa tahun sampai hutang mereka lunas, hal ini sangat membebani
jamaah haji. Mengetahui analisa Sayyid Utsman sebagai penasehat kantor
agama pada masa itu, Pemerintah Hindia Belanda segera memberlakukan
peraturan memiliki karcis berangkat dan karcis kembali, dan memberi sanksi
bagi yang melanggarnya.
Di abad 19 setelah peraturan tersebut diberlakukan, para ulama pribumi
yang telah melaksanakan haji dan kembali ke tanah air, kebanyakan dari
mereka membawa ajaran yang berusaha untuk melepaskan diri dari
pemerintahan non-Islam dalam hal ini disebut dengan ajaran Pan Islamisme.
Di mana ajaran tersebut semakin berkembang setelah kembalinya para pelajar
pribumi yang menuntut ilmu di Mesir dan jazirah Arab lainnya, mereka
141
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Manasik Haji, (Jakarta: Medan
Jaya) hlm. 1-48.
75
terinspirasi dengan Jamaluddin Alafgani dan Muhammad Abduh yang
menyerukan perlawanan terhadap kaum colonial atas nama jihad di jalan
Allah. Menghadapi kondisi demikian, Sayyid Utsman sebagai mufti Batavia
mengeluarkan fatwa yang menolak pemikiran-pemikiran kedua tokoh.
Penolakan tersebut bukan semata-mata posisi Sayyid Utsman sebagai
mufti yang diangkat Pemerintah Hindia Belanda, melainkan ini kebaikan
untuk keberlajutan kehidupan masyarakat Islam di bawah kolonialisasi yang
sedang terjadi. Menurut pemikiran Sayyid Utsman kolonialisasi merupakan
hal yang buruk bagi masyarakat Islam, namun sepanjang kolonialisasi tersebut
tidak menghalangi masyarakat Islam untuk melakukan ibadah sesuai dengan
ajaran agamanya, tidak perlu melakukan perlawanan dengan
mengatasnamakan jihad di jalan Allah. Hidup di bawah penjajahan ini
memang menyedihkan, namun ini lebih baik daripada melakukan perlawanan
karena keberadaan masyarakat Islam saat itu tidak memiliki kekuatan yang
cukup dalam menghadapi kaum kolonial yang kekuatannya dilengkapi dengan
berbagai macam senjata dan meriam. Menurut Sayyid Utsman perlawanan
masyarakat Islam tersebut tidak dapat disebut sebagai jihad, apabila
perlawanan terhadap kaum kolonial tersebut dibiarkan, tidak menutup
kemungkinan masyarakat Islam akan banyak berjatuhan korban jiwa. Pada
akhirnya tidak ada lagi masyarakat Islam di tanah Batavia, ini sangat
merugikan masyarakat Islam.
Kepulangan para jamaah haji ke tanah air tidak hanya membawa
pemikiran-pemikiran yang telah diuraikan di atas, sekitar tahun 1884-1885
sebagian masyarakat yang telah menunaikan haji, dan telah kembali ke tanah
air ada yang membawa lembaran surat wasiat. Secara tidak sadar surat
tersebut diedarkan untuk mengecohkan pemikiran masyarakat Islam Batavia.
Surat wasiat itu berisi tentang seseorang yang mengaku bermimpi berjumpa
dengan Rasul, dan mendapat saran untuk melakukan amal-amal perbuatan
tertentu, yang wajib dilaksanakan agar mendapat keberkahan dan tertolak atau
terhindar dari suatu bencana. Di dalamnya, terdapat berita-berita tentang
datangnya hari kiamat, dan peristiwa-peristiwa yang jauh dari alam fikiran
masyarakat Islam Batavia. Dalam menghadapi edaran surat wasiat tersebut
Sayyid Utsman menulis kitab An-Nasihatu Al-Mardhiyyatu fi Ar-Raddi ‘ala
al-Wasiyat al-Manamiyah, dan Al-I’lan bi al-Nasihah al-Matlubah 142
untuk
menyelamatkan masyarakat agar tidak mempercayai berita-berita bohong dari
surat wasiat tersebut. Kitab ini menegakkan syariat dan menghimbau kepada
masyarakat untuk selalu menggunakan akal sehat dalam menerima surat
wasiat tersebut.
Sebagai mufti, Sayyid Utsman sungguh telah menjadi jembatan antara
Pemerintah Hindia Belanda dan masyarakat Islam. Beliau mampu memahami
kebutuhan masyarakat Islam terhadap ilmu pengetahuan agama, di mana pada
masa itu ulama nusantara kebanyakan menganut ajaran tarekat yang diikuti
142
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya. An-Nasihatu Al-Mardhiyyatu fi Ar-
Raddi ‘ala al-Wasiyat al-Manamiyah (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1891), dan Sayyid
Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya. Al-I’lan bi al-nasihah al-Matlubah (Batavia:
Percetakan Sayyid Utsman, 1903)
76
oleh masyarakat Islam lain di luar tanah Batavia. Mengetahui hal itu, Sayyid
Utsman menulis kitab yang berjudul An-Nasihah al-Aniqah li al-Mutalabbisin
bi al-Thariqah (Nasihat yang Elok kepada Orang-Orang yang Masuk
Tarekat).143
Menurut Sayyid Utsman, masyarakat Islam Nusantara agaknya
belum siap untuk menganut tarekat, hal ini dikarenakan seorang yang hendak
bertarekat hendaknya menguasai tiga cabang ilmu Islam yakni ilmu tauhid,
fiqh, dan ilmu sifat hati (tasawuf) secara murni. Sementara pengetahuan
agama masyarakat Islam Batavia mengenai hal-hal terkecil saja masih belum
dapat dipahami dengan baik dan benar. Apalagi jika masyarakat harus
menelan mentah-mentah mengenai tiga cabang ilmu Islam tersebut.
Sayyid Utsman tidak semata-mata menolak keberadaan tarekat itu sendiri,
melainkan menolak tingkah laku yang dilakukan para ulama yang
mengajarkan ibadah sesuai tarekat yang dianutnya. Kebanyakan dari tingkah
laku atau praktek ibadah yang diajarakan mengandung unsur bid’ah dan
menyalahi aturan syariat agama Islam. Berkat nasihat yang ditulis tersebut,
Sayyid Utsman telah berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat Islam
Batavia yang tidak menganut ajaran tarekat. Masyarakat Islam Batavia sedikit
demi sedikit mampu meninggalkan tradisi bid’ah, terutama setelah
mendengarkan ceramah-ceramah yang mempelajari karya Manhajul
Istiqomah. Karena tujuan Sayyid Utsman menulis Manhajul Istiqomah adalah
menyatakan kebenaran dalam beragama, menyampaikan kebajikan kepada
saudara seagama Islam, dan menyelamatkan umat Islam baik dunia maupun
akhirat. Hal demikian terbukti hingga kini belum ada penemuan tentang
keberadaan tarekat di Batavia.
Sayyid Utsman juga memiliki kontribusi perihal mengenai kematian, di
mana beliau telah menulis karya yang berjudul Ilmu Kemestian di Perihal
Kematian, yang berisi tentang tata cara mengurus jenazah mulai dari
memandikan, mengkafankan, menyolatkan, menguburkan, hingga
melaksanakan wasiat yang telah diberikan oleh jenazah tersebut kepada
keluarga yang ditinggalkannya. Hal ini sangat bermanfaat bagi amil-amil yang
bertugas sebagai penyelenggara pengurusan jenazah yang telah ditunjuk oleh
pemerintah setempat. Karena pada masa itu, belum dapat ditemukan
pelatihan-pelatihan resmi yang dikhususkan para amil, sehingga para amil di
Batavia masih sangat membutuhkan ilmu dan pengetahuan yang berkaitan
dengan tugas mereka.144
Melalui karya Ilmu Kemestian di Perihal Kematian
yang dicetak dan disebarkan kepada halayak umum, maka para amil dapat
mempelajarinya sendiri.
Sayyid Utsman menitikberatkan status bangsa dan berfikiran terbuka
untuk bekerjasama dengan kaum non-Islam, dalam hal ini Pemerintah Hindia
Belanda. Pelibatan diri dalam bekerjasama dengan pemerintahan Hindia
Belanda ini merupakan strategi Sayyid Utsman sebagai cara untuk tetap
143
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya. An-Nasihah al-Aniqah li al-
Mutalabbisin bi al-Thariqah (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1886) hlm. 11-12 144
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Ilmu Kemestian di Perihal
Kematian (Surabaya: tt), hlm. 1-16.
77
menghidupkan dakwah yang disampaikan kepada masyarakat Islam Batavia
yang masih membutuhkan ilmu-ilmu agama.
Melalui kerjasama tersebut Sayyid Utsman telah memiliki izin khusus dari
Pemerintah Hindia Belanda, di mana setiap tulisan atau karya beliau yang
berisi tentang keagamaan dapat dicetak dan disebarluaskan untuk menjadi
bacaan bagi masyarakat Islam Batavia saat itu. Padahal pada masa itu, tulisan
atau karya seseorang baik pribumi, bangsa Timur maupun bangsa Eropa
sekalipun, harus melewati pengawasan dari pihak Pemerintah Hindia Belanda.
Apabila tulisan atau karya tersebut lulus uji dari pengawasan pemerintah
Hindia Belanda, maka tulisan atau karya tersebut dapat dicetak. Dan
Pemerintah Hindia Belanda tidak segan-segan memberi sanksi atau hukuman
kepada setiap orang yang mencetak tulisan atau karya dan menyebarkannya
tanpa izin khusus dari pemerintah.
Dalam kondisi sulit tersebut Sayyid Utsman mampu memposisikan dirinya
sebagai ulama yang mampu berdakwah dalam masa penjajahan sekalipun,
meskipun ada cibiran-cibiran yang diarahkan kepada beliau, dikarenakan
bekerjasama dengan kaum kafir. Meskipun begitu, Sayyid Utsman tetap
melanjutkan tulisan atau karya yang menjadi rujukan bagi pihak-pihak yang
bekerja dalam bidang keagamaan. Di antaranya tulisan Sayyid Utsman yang
berjudul al-Qawanin al-Syar’iyyah li Ahli al-Majalis al-Hukmiyyah wa al-
Iftaiyyah, di dalamnya terdapat istilah-istilah tentang perkawinan dan
perceraian yang ditulis dalam bahasa Melayu. Karya tersebut sangat
bermanfaat bagi pegawai-pegawai pengadilan agama saat itu, di mana saat itu
karya sejenis tersebut masih sangat jarang ditemukan.
B. Kontribusi Sayyid Utsman di Bidang Sosial Budaya
Kontribusi Sayyid Utsman di bidang sosial budaya, tidak lepas dari ajaran
agama yang mempengaruhi tatanan etika dalam pergaulan masyarakat Batavia
yang terdiri atas berbagai bangsa, suku, agama, dan ras. Semua itu merupakan
hal penentu dalam struktur kehidupan sosial, penempatan pekerjaan, dan
penempatan tempat tinggal. Sayyid Utsman ikut terlibat dalam peraturan yang
mewajibkan seluruh masyarakat Batavia agar memakai pakaian sesuai dengan
bangsa, suku, agama, dan rasnya masing-masing.145
Sebagai penasehat kantor
agama, Sayyid Utsman menyampaikan peraturan ini kepada Pemerintah
Hindia Belanda yang bertujuan untuk mempermudah pengenalan atau
identitas kebangsaan suatu penduduk, dan Pemerintah akan memberi sanksi
kepada masyarakat yang melanggar peraturan tersebut. Bagi masyarakat
pribumi pakaiannya adalah baju kebaya dan stangen, sementara pakaian untuk
masyarakat Arab adalah gamis, jubah, kopiah atau sorban, sedangkan pakaian
masyarakat yang berkebangsaan Eropa adalah jas dan topi. Dan bagi seorang
yang memakai pakaian yang tidak sesuai dengan budaya dan bangsanya
merupakan seorang yang telah menukar identitas kebangsaannya sendiri.
145
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Ini Buku Kecil Buat Menyatakan
Pertengahan Hukum Adat Negeri Yang Bersamaan pada Pertengahan Hukum Agama Islam atas
Orang yang Menukarkan Pakaian Bangsanya dengan Memakai Pakaian Lain
Bangsanya.(Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1904) hlm. 6
78
Peraturan yang digagas oleh Sayyid Utsman ini tidak semata-mata untuk
membantu Pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi masyarakat
jajahannya, melainkan peraturan ini diajukan dengan tujuan agar masyarakat
Batavia menjaga perilaku, etika, norma adat dan ketertiban hidup sesuai
dengan bangsa dan budayanya. Hingga kini peraturan tersebut menjadi
kebanggaan bagi masyarakat yang berbangsa dan berbudaya, baik di Batavia
maupun di daerah-daerah nusantara lainnya yang memiliki berbagai macam
budaya. Menurut penulis memakai pakaian sesuai dengan bangsa dan budaya
sendiri merupakan wujud dari cinta tanah air, cinta terhadap tanah air sendiri
merupakan bagian dari iman.
Mengenai kontribusi Sayyid Utsman dalam kehidupan sosial budaya, tidak
terlepas dari hubungan antar masyarakat. Masyarakat Islam Batavia hidup
bersosialisasi dengan bermacam-macam cara, melalui berdagang,
Karya Sayyid Utsman yang berjudul Irsyadul Anam telah memberi
pelajaran mengenai hal terkecil dalam kehidupan beragama yang baik, di
antaranya mendahulukan kaki kiri ketika memasuki toilet dan mendahulukan
kaki kanan ketika keluar dari toilet.146
Selain itu ada juga karya Sayyid
Utsman yang ditulis khusus anak perempuan, kitab itu berjudul Perhiasan
bagus untuk Anak Perempuan. Di dalamnya berisi tentang peraturan-peraturan
khusus anak perempuan. Begitu juga dengan Kitab semacam Tanya Jawab
permasalahan, ada karya Sayyid Utsman pada bab Sauwutun Sunduq yang
tidak memperbolehkan merekam suara nyanyian ke dalam piringan hitam.
Dalam karya Sayyid Utsman yang berjudul al-Zahr al-Basim fi Atwar Abi
al-Qasim, kita berbahasa Melayu yang di dalamnya terdapat peraturan-
peraturan memperingati hari Isra Mi’raj untuk memuliakan Nabi Muhammad.
Di antaranya jamaah diperintahkan duduk di lantai, tidak diperkenankan
duduk di atas kursi, jamaah tidak diperkenankan merokok, dengan alasan
malaikat membenci asap tembakau. Pembagian ruang untuk mendengarkan
ceramah Isra’ Mi’raj harus dipisah antara jamaah pria dan jamaah wanita.147
Pada awalnya masyarakat Batavia masih sangat jarang memeriahkan atau
memperingati Isra’ Mi’raj, dikarenakan tingkat perekonomian masyarakat
Islam Batavia saat itu masih rendah. Hanya masyarakat dari kalangan-
kalangan tertentu yang mampu memperingatinya. Setiap memperingatinya
masyarakat Islam Batavia selalu membaca karya Sayyid Utsman tersebut,
yang mengundang antusias masyarakat untuk memuliakan Rasul. Tujuh tahun
setelah wafatnya Sayyid Utsman Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
kebijakan meliburkan lembaga pendidikan dalam memperingati hari raya Isra’
Mi’raj yang jatuh pada tanggal 27 Rajab.148
146
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, Irsyadul Anam (Jakarta: Sayyid Ali
al-Idrus, tt), hlm. 4 147
Sayyid Utsman bin Abdullah, bin Aqil bin Yahya, al-Zahr al-Basim fi Atwar Abi al-
Qasim. (Batavia: Cetakan Baru, 1924), hlm. 8 148
Staatsblaad 1922 No. 810, Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 28
Desember 1922, No. 2.
79
C. Kontribusi Sayyid Utsman di Bidang Pendidikan
Kehadiran Sayyid Utsman di tanah Batavia menumbuhkan majelis-majelis
taklim di kehidupan masyarakat Islam Batavia yang harus akan ilmu-ilmu
agama. Di mana cara penyampaian dalam pengajaran agama melalui ceramah-
ceramah di majelis taklim sangat disukai oleh masyarakat Islam Batavia pada
umumnya. Masyarakat Islam Batavia tidak perlu bermalam atau menginap
berhari-hari atau bertahun-bertahun di majelis taklim, seperti para santri yang
menuntut ilmu di pesantren di tanah Jawa. Karena jarak antara majelis taklim
dan rumah-rumah masyarakat Islam Batavia biasanya tidak terlalu jauh.
Masyarakat Islam Batavia hanya butuh waktu satu atau dua jam untuk
mendengarkan ceramah kegamaan di majelis taklim, setelah itu mereka dapat
kembali ke rumah masing-masing dan beraktivitas sesuai pekerjaannya.
Mengenai pendidikan Islam di Batavia, kita patut berterima kasih kepada
Sayyid Utsman yang telah memberi nasihat kepada Pemerintahan Hindia
Belanda agar tidak ikut mencampuri urusan kehidupan beragama, termasuk
tidak melarang masyarakat Islam untuk mengikuti pendidikan Islam yang
dikembangkan di majelis-majelis taklim di Batavia. Padahal banyak ulama di
daerah lain di luar Batavia yang menyebarkan pendidikan agama Islam selalu
diawasi dan dicurigai oleh Pemerintah Hindia Belanda, hal ini mengakibatkan
masyarakat Islam mengikuti pendidikan agama Islam secara sembunyi-
sembunyi, begitu juga dengan ulama yang mengajarkannya terkadang
ditangkap dan diasingkan ke dalam penjara yang jauh dari daerah asalnya.
Kondisi demikian terjadi karena disebabkan ajaran yang diberikan ulama
tersebut mengandung unsur-unsur politik, yakni adanya ajaran yang berusaha
untuk mengadakan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda.
Berbeda dengan metode pengajaran yang dilakukan Sayyid Utsman,
pendidikan yang diberikan kepada masyarakat Islam Batavia sama sekali tidak
menyentuh unsur-unsur politik. Pendidikan yang diberikan Sayyid Utsman
murni ajaran agama yang disertai dengan etika atau norma adat yang harus
dipatuhi dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Sehingga dengan
ceramah terbuka Sayyid Utsman mampu menyebarluaskan pendidikan ilmu
agama di majelis-majelis taklim Batavia, dan masyarakat Islam mampu
menikmati pendidikan agama Islam secara terang-terangan.
Hingga kini majelis-majelis taklim tumbuh subur dan menjamur di
Batavia, ini sangat membantu masyarakat Islam Batavia yang awalnya buta
huruf Arab kini mampu membaca dan menulis khususnya bahasa Arab
Melayu. Masyarakat Islam juga patut berterima kasih kepadaSayyid Utsman
yang telah mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk
tidak mencampuri urusan perkara agama termasuk di bidang pendidikan, yang
mana Batavia telah berdiri beberapa lembaga pendidikan Islam. Meskipun saat
itu lembaga pendidikan Islam tersebut mendapat pengawasan ketat terhadap
isi kurikulum materi yang diajarkan, namun hal itu hanya sebatas pengawasan
saja tidak ada campur aduk Pemerintah Hindia Belanda. Bahkan pemerintah
juga memberi gaji kepada guru-guru yang mengajar di lembaga pendidikan
80
Islam di Batavia, hingga kini lembaga pendidikan Islam tumbuh subur di
Batavia.
Selain itu kontribusi Sayyid Utsman juga terlihat dalam karya tulisnya
yang membahas keutamaan mendirikan masjid, sehingga pemerintah Hindia
Belanda sudi membantu pembangunan masjid atau merenovasi masjid yang
ada di Batavia. Masjid di Batavia selain menjadi tempat sholat bagi
masyarakat Islam juga dapat digunakan sebagai tempat menimba ilmu, di
mana setiap setelah sholat Jum’at para ulama mensyiarkan ilmu pengetahuan
agama kepada masyarakat yang masih sangat membutuhkan ilmu agama.
D. Kontribusi Sayyid Utsman di Bidang Dakwah
Pada bab tiga sebelumnya, penulis telah menggambarkan jaringan dakwah
Sayyid Utsman yang telah melahirkan ulama-ulama yang hingga kini beranak
cucu dan menebarkan estafet dakwah di tanah Batavia. Sebagian catatan
sejarah mengungkapkan bahwa tidak banyak ulama Batavia yang menuntut
ilmu kepada Sayyid Utsman, hal demikian dilatarbelakangi oleh posisi Sayyid
Utsman sebagai penasehat Pemerintahan Hindia Belanda. Bagi kalangan
masyarakat Islam pribumi Batavia memiliki penilaian tersendiri dalam
memandang seorang ulama yang bekerja sama dengan Pemerintahan Hindia
Belanda. Walaupun ilmu seorang ulama luas dan posisinya hanya sebagai
penghulu, masyarakat Islam Batavia tidak akan memandangnya secara
hormat.149
Masyarakat Islam Batavia memandang sinis ulama yang bekerja
sama dengan Pemerintahan Hindia Belanda, mereka menganggap bahwa
ulama tersebut bermuka dua. Ini merupakan bukti kefanatikan masyarakat
Islam Batavia pada masa itu, yang secara tidak sadar telah menikmati jirih
payah Sayyid Utsman dalam mengembangkan dakwah melalui karya-karya
tulis Sayyid Utsman.
Menurut catatan yang penulis dapat, meskipun banyak yang memandang
sinis terhadap Sayyid Utsman namun pada masa itu kebanyakan masyarakat
sangat membutuhkan ilmu keagamaan, terutama menuntut ilmu agama kepada
Sayyid Utsman yang luas ilmunya. Ada beberapa catatan terdahulu
mengungkapkan bahwa beberapa ulama yang pernah menuntut ilmu kepada
Sayyid Utsman secara langsung ada tiga orang, di antaranya Sayyid Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi (Sayyid Kwitang), Mutjaba bin Muhammad (seorang
penghulu dari Jatinegara), H. Mughni dari Kuningan (Rasuna Said).
Meskipun murid yang diketahui hanya tiga ulama di atas, namun ilmu
Sayyid Utsman telah mengalir deras secara tidak langsung kepada K. H.
Muhammad Manshur (Guru Mansur dari jembatan Lima), K. H Abdul Madjid
(Guru Madjid dari Pekojan), K. H. Ahmad Khalid (Guru Khalid dari
Gondangdia), K. H. Mahmud Romli (Guru Mahmud dari Menteng Dalam), K.
H. Ahmad Marzuki (dari Klender). Selain itu terdapat catatan juga bahwa K.
H. Thohir (ulama yang mendirikan majelis taklim Atthahiriyyah) pernah
berguru kepada Sayyid Utsman.
149
Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, hlm. 61
81
Penulis berkesempatan mengunjungi beberapa tokoh yang berkaitan
keberlangsungan dakwah Sayyid Utsman. Di Jakarta hingga sekarang, masih
ada beberapa majelis takim yang melanjutkan estafet dakwah Sayyid Utsman,
salah satunya Ustad Nurhadi. 150
Ustad Nurhadi melanjutkan penyampaian
dakwah di majelis taklim yang telah dibangun oleh leluhurnya H.
Abdurrahman.151
Penulis berkesempatan mengunjungi Majelis taklim yang
bernama Irsyadul Anam, nama tersebut diambil dari salah satu kitab Sayyid
Utsman. Majelis tersebut berlokasi di daerah Tebet Jakarta Selatan, yang tidak
jauh dari kediaman Ustad Nurhadi.
Di samping majelis taklim Irsyadul Anam terdapat sebuah masjid, yang
mengambil metode penyampaian suara adzannya berdasarkan nasihat atau
pembelajaran Islam dari Sayyid Utsman.152
Ketika penulis berkunjung ke
masjid tersebut, penulis menemukan beberapa perbedaan dengan masjid-
masjid lainnya di Jakarta. Perbedaan pertama, muadzin dari masjid tersebut
tidak menggunakan alat pengeras suara ketika mengumandangkan adzan
Zhuhur. Perbedaan kedua, tempat sholat wanita dipisahkan oleh tembok,
sehingga suara imam yang membaca takbiratul ihram atau bacaan sholat
lainnya sama sekali tidak bisa terdengar dengan jelas. Hal tersebut merupakan
metode-metode yang disampaikan dalam nasihat-nasihat Sayyid Utsman.
Selain itu penulis juga berkesempatan melihat koleksi-koleksi kitab Sayyid
Utsman yang dimiliki oleh Ustad Nurhadi. Penulis mendapat pencerahan atas
permasalahan tentang pelarangan merekam suara wanita ke dalam piringan
hitam. Permasalahan itu terjawab dalam kitab yang berjudul Jawab Soal
Masalah di bab Sawtun Sunduq, karya Sayyid Utsman. Pelarangan merekam
suara di piringan hitam ini dilatarbelakangi atas ketidaksesuaian dengan
budaya masyarakat Islam. Karena suara wanita adalah aurat yang tidak boleh
diumbar atau dipertunjukkan ke halayak ramai.
150
Ustad Nurhadi adalah generasi keempat dari H. Abdurrahman, seorang ulama di
Jakarta. Untuk mengetahui lebih lengkap tentang nasabnya, penulis sajikan sebagai berikut: Ustad
Nurhadi bin Abdurrahim bin H. Ma’ruf bin H. Abdurrahman bin Muhammad Jauhar. 151
H. Abdurrahman, wafat di Batavia pada tahun 1933. Merupakan seorang ulama dari
kampung Petunduan, yang pernah menuntut ilmu kepada Sayyid Utsman secara langsung. Ilmu-
ilmu yang didapatnya telah diturunkan kepada anak cucunya yang hingga kini dakwahnya masih
berjalan. 152
Hasil wawancara dengan Ustad Nurhadi di Tebet Jakarta Selatan, pada 2014, pukul
11.15.
115
BAB V
PENUTUP
Bab penutup ini merupakan bab terakhir yang akan memberikan kesimpulan
dari penulisan bab satu hingga bab empat dalam tesis ini. Di bab ini akan
disimpulkan tentang kontribusi Sayyid Utsman dalam kehidupan Masyarakat
Islam Batavia pada tahun 1862 hingga akhir hayatnya pada tahun 1914.
Kontribusi tersebut telah penulis petakan berdasarkan beberapa bidang, yakni
bidang kegamaan, bidang sosial budaya, bidang pendidikan dan bidang dakwah.
A. Kesimpulan
Sayyid Utsman adalah sosok ulama dari keturunan Hadramaut yang lahir
pada 17 Rabiul Awal 1238 H (1822 M), dan tumbuh besar di Batavia. Saat
usia Sayyid Utsman 2 tahun, ayahnya Sayyid Abdullah kembali ke
Hadramaut. Kemudian Sayyid Utsman berguru kepada kakeknya dari pihak
ibu, Syaikh Abdurrahman al-Mishri. Setelah kakeknya meninggal, Sayyid
Utsman menyusul ayahnya dan mengunjungi pihak keluarga ayahnya ke
Hadramaut dan menjelajahi beberapa Negara Arab, Persia dan Negara
lainnya. Di sana Sayyid Utsman menuntut ilmu kepada berbagai ulama-
ulama, dan mengunjungi pemimpin-pemimpin Negara Islam. Sayyid Utsman
memiliki hubungan yang baik dalam pergaulan dengan ulama-ulama luar
negeri, hingga kepulangannya di nusantara beliau masih berkirim surat
kepada ulama-ulama atau pemimpin negera yang pernah ia sambangi.
Penyampaian Sayyid Utsman dalam mengedepankan nilai-nilai Islam,
kemanusiaan, etika, sopan santun, yang semua itu disampaikan melalui media
cetak sebagai wadah untuk menyampaikan pemikirannya, dan Sayyid Utsman
juga aktif dalam menyiarkan cahaya Islam melalui cara lisan dengan
berceramah di masjid-masjid dan beberapa majelis taklim di Batavia.
Kontribusi Sayyid Utsman terhadap kehidupan masyarakat Batavia 1862
hingga 1914 di antaranya adalah:
a. Kontribusi Sayyid Utsman di bidang Keagamaan
Sebagai ulama Sayyid Utsman telah memberikan pemahaman yang
baik serta melindungi keyakinan masyarakat Islam Batavia dari
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan beragama.
Setiap karya yang ditulis oleh Sayyid Utsman merupakan usaha untuk
menyatakan kebenaran dalam beragama, menyampaikan kebajikan kepada
saudara seagama Islam, dan menyelamatkan umat Islam baik dunia
maupun akhirat. Sayyid Utsman juga telah berhasil membuat Pemerintah
Hindia Belanda untuk tidak ikut mencampuri urusan tentang kehidupan
beragama di negeri jajahannya, serta tidak melarang masyarakat Islam
untuk menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
116
Kitab-kitab Sayyid Utsman bertujuan mengenalkan kesucian Allah.
Sayyid Utsman tidak mentolerir sedikitpun pengajaran ilmu kalam yang
melebihi dari pembahasan ulama-ulama salaf. Sayyid Utsman juga
menganggap haram pengajaran akidah yang terlalu detail, apalagi jika
dilakukan oleh jamaah yang tidak memiliki dasar pengetahuan agama
yang memadai
b. Kontribusi Sayyid Utsman di bidang Sosial Budaya
Masyarakat Islam yang hidup di bawah Pemerintahan Hindia
Belanda, di mana gerak gerik kehidupan seseorang selalu diawasi. Setiap
orang dibedakan sesuai dengan kelas-kelas tertentu yang berdasarkan
etnis, suku, bangsa, agama dan pekerjaan. Kontribusi yang telah diberikan
Sayyid Utsman adalah memberi saran kepada pemerintah Hindia Belanda
agar memberlakukan peraturan atau Undang-undang yang bertujuan untuk
menciptakan ketertiban masyarakat dalam kehidupan berbangsa. Di mana
setiap masyarakat diharuskan berpakaian sesuai dengan bangsa dan
budayanya masing-masing. Ini merupakan usaha untuk menjaga perilaku
dan norma adat untuk menghormati budaya dan bangsa sendiri. Menurut
penulis ini merupakan strategi Sayyid Utsman dalam menjunjung
kecintaan terhadap tanah air bagi masyarakat yang berbangsa dan
berbudaya.
c. Kontribusi Sayyid Utsman di bidang Pendidikan
Mengenai pendidikan Islam di Batavia, kita patut berterima kasih
kepada Sayyid Utsman yang telah memberi nasihat kepada Pemerintahan
Hindia Belanda agar tidak ikut mencampuri urusan kehidupan beragama,
termasuk tidak melarang masyarakat Islam untuk mengikuti pendidikan
Islam yang dikembangkan di majelis-majelis taklim di Batavia. Padahal
banyak ulama di luar Batavia yang menyebarkan pendidikan agama Islam
selalu diawasi dan dicurigai oleh Pemerintah Hindia Belanda, hal ini
mengakibatkan masyarakat Islam mengikuti pendidikan agama Islam
secara sembunyi-sembunyi, begitu juga dengan ulama yang
mengajarkannya terkadang ditangkap dan diasingkan ke dalam penjara,
bahkan ada juga yang diasingkan ke tempat yang jauh dari daerah asalnya.
Kondisi demikian terjadi karena disebabkan ajaran yang diberikan ulama
tersebut mengandung unsur-unsur politik, yakni adanya ajaran yang
berusaha untuk mengadakan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia
Belanda.
Metode pengajaran yang dilakukan Sayyid Utsman diberikan kepada
masyarakat Islam Batavia sama sekali tidak menyentuh unsur-unsur
politik. Pendidikan yang diberikan Sayyid Utsman murni ajaran agama
yang disertai dengan etika atau norma adat yang harus dipatuhi dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat. Sehingga dengan ceramah terbuka
Sayyid Utsman mampu menyebarluaskan pendidikan ilmu agama di
majelis-majelis taklim Batavia, dan masyarakat Islam mampu menikmati
pendidikan agama Islam secara terang-terangan.
117
Hingga kini majelis-majelis taklim tumbuh subur dan menjamur di
Batavia, ini sangat membantu masyarakat Islam Batavia yang awalnya
buta huruf Arab kini mampu membaca dan menulis khususnya bahasa
Arab Melayu.
d. Kontribusi Sayyid Utsman di bidang Dakwah
Menurut catatan yang penulis dapat, meskipun banyak yang
memandang sinis terhadap Sayyid Utsman namun pada masa itu
kebanyakan masyarakat Islam Batavia sangat membutuhkan ilmu
keagamaan, terutama menuntut ilmu agama kepada Sayyid Utsman yang
luas ilmunya. Ada beberapa catatan terdahulu mengungkapkan bahwa
beberapa ulama yang pernah menuntut ilmu kepada Sayyid Utsman secara
langsung ada tiga orang, di antaranya Sayyid Ali bin Abdurrahman al-
Habsyi (Sayyid Kwitang), Mutjaba bin Muhammad (seorang penghulu
dari Jatinegara), H. Mughni dari Kuningan.
Meskipun murid yang diketahui hanya tiga ulama di atas, namun ilmu
Sayyid Utsman telah mengalir deras secara tidak langsung kepada K. H.
Muhammad Manshur (Guru Mansur dari jembatan Lima), K. H Abdul
Madjid (Guru Madjid dari Pekojan), K. H. Ahmad Khalid (Guru Khalid
dari Gondangdia), K. H. Mahmud Romli (Guru Mahmud dari Menteng
Dalam), K. H. Ahmad Marzuki (dari Klender). Selain itu terdapat catatan
juga bahwa K. H. Thohir (ulama yang mendirikan majelis taklim
Atthahiriyyah) pernah berguru kepada Sayyid Utsman.
Penulis berkesempatan mengunjungi beberapa tokoh yang berkaitan
keberangsungan dakwah Sayyid Utsman. Di Jakarta hingga sekarang,
masih ada beberapa majelis taklim yang melanjutkan estafet dakwah
Sayyid Utsman, salah satunya Ustad Nurhadi. Ustad Nurhadi merupakan
cucu dari seorang ulama yang bernama H. Ma’ruf bin H. Abdurrahman.
Ustad Nurhadi melanjutkan estafet dakwah dengan mempertahankan
majelis yang bernama Irsyadul Anam, yang mana nama tersebut
merupakan judul salah satu kitab Sayyid Utsman.
B. Saran
Terdapat dua saran yang bisa penulis sampaikan, yaitu:Pertama,
saran yang bisa diketengahkan adalah agar kajian kesejarahan ulama di
Indonesia khususnya Jakarta hendaknya terus dikembangkan. Kumpulan
memori masa lalu sejatinya merupakan cerminan agar munculnya para ulama
di negeri ini memiliki sejarah yang panjang.
Kedua, sebagai wujud aksiologis dari suatu pembahasan kesejarahan,
kajian Sayyid Utsman ini dapat dijadikan referensi bagi pemerintah maupun
umum untuk mengambil hikmah dari peristiwa masa lalu. Sejarah sejatinya
memiliki dimensi sangat luas, mencakup masa lalu, masa kini, masa
mendatang. Untuk itu kajian-kajian yang bertujuan sebagai penyelesaian
masalah sudah selayaknya diberi ruang untuk member asupan gagasan bagi
suatu kebijakan Negara atau setidaknya sikap untuk merespon suatu keadaan.