dieta arbaranny koeswara 2010
TRANSCRIPT
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
1/84
PEM(Tapirus
KONS
DELANindicus D
TAM
DIE
ERVASI
IN
SPASIAesmarestN NASI
TA ARB
DSUMBEFAKUL
STITUT
KESES1819) DINAL KE
RANNY
PARTEDAYA HAS KEHERTAN
2010
AIAN HESORT
RINCI S
KOESW
ENTAN D
UTANAAN BO
BITATBATANBLAT
RA
N EKO OR
APIRSULITI
ISATA
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
2/84
PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR(Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI
TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT
DIETA ARBARANNY KOESWARA
SkripsiSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMENKONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANANINSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
3/84
RINGKASAN
Dieta Arbaranny Koeswara. E34050831. “Pemodelan Spasial Kesesuaian HabitatTapir ( Tapirus indicus Desmarest 1819) di Resort Batang Suliti-Taman NasionalKerinci Seblat”. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan HARYANTO R.
PUTRO.
Taman Nasional Kerinci-Seblat (TNKS) merupakan salah satu habitat tapir ( Tapirusindicus ) yang populasinya di alam saat ini terus menurun akibat konversi hutan. Status
populasi tapir telah masuk kategori genting ( Endangered ) dalam IUCN Red List danterdaftar dalam Appendix I CITES. Ditjen PHKA telah membuat strategi dan rencana aksikonservasi tapir untuk menjamin keberlanjutan populasi tapir dan habitatnya. Untuk itudiperlukan berbagai data yang mendukung aksi konservasi tapir tersebut. Beberapadiantaranya berupa data dan informasi spasial mengenai sebaran dan kesesuaian habitat tapiryang dapat diperoleh dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan
penginderaan jauh (PJ). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui model dan luaskesesuaian habitat tapir di Resort Batang Suliti TNKS.
Pengambilan data dilakukan di Resort Batang Suliti-TNKS selama tiga bulan (Juli-September 2009). Model kesesuaian habitat tapir dibangun dengan menganalisis enamkomponen habitat yaitu ketinggian tempat, kemiringan lereng, jarak dengan sungai, jarakdengan jalan, jarak dengan tepi hutan, dan nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Enam komponen habitat dianalisis dengan menggunakan SIG dan PJ untukmenghasilkan peta tematik masing-masing komponen habitat ( layer ). Hasil temuan lapang
berupa 71 titik temuan jejak tapir diidentifikasi terhadap masing-masing layer. Hasilidentifikasi tersebut kemudian dianalisis dengan Principle Component Analysis (PCA)untuk mendapatkan bobot masing-masing komponen habitat sehingga diperoleh modelkesesuaian habitat tapir. Peta kesesuaian habitat tapir diperoleh dari hasil tumpang tindih(overlay ) komponen habitat terhadap model yang telah dibangun dan divalidasi denganmenggunakan sebaran tapir yang ditemukan pada saat survei lokasi penelitian.
Hasil PCA menghasilkan tiga komponen utama dengan nilai vektor ciri 2,015;1,233 dan 1,127 dengan nilai keragaman kumulatif yang dapat dijelaskan sebesar 72,924%.Model kesesuaian habitat tapir yang diperoleh yaitu Y = (1,233 x Faktor Ketinggian) +(2,015 x Faktor Kemiringan Lereng) + (1,233 x Faktor Jarak dengan Sungai) + (2,015 xFaktor Jarak dengan Jalan) + (2,015 x Faktor Jarak dengan Tepi Hutan) + (1,127 x Faktornilai NDVI). Peta kesesuaian habitat tapir dibagi menjadi tiga kelas kesesuaian yaitu kelaskesesuaian rendah (1.979,73 ha/7,28%), kelas kesesuaian sedang (15.638,76 ha/57,54%),dan kelas kesesuaian tinggi (9.563,85 ha/35,18%). Validasi untuk tingkat kesesuaian rendahadalah 0%, tingkat kesesuaian sedang adalah 57,14%, dan tingkat kesesuaian tinggi adalah42,86%. Model kesesuaian habitat tapir dapat diterima dengan validasi 100% pada kelas
kesesuaian sedang dan tinggi.
Kata kunci : Tapir ( Tapirus indicus ), kesesuaian habitat, pemodelan spasial, TNKS.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
4/84
SUMMARY
Dieta Arbaranny Koeswara. E34050831. “Spatial Modeling of Tapir ( Tapirus indicusDesmarest 1819) Habitat Suitability in Resort Batang Suliti-Kerinci Seblat NationalPark”. Under supervision of LILIK BUDI PRASETYO and HARYANTO R. PUTRO.
Kerinci Seblat National Park (KSNP) is one of the habitats for tapir ( Tapirusindicus ) which recently the natural population of these species is declining due to the forestconversion activity. Tapir population status has been categorized as Endangered Speciesrefers to the IUCN Red List and listed as Appendix I of CITES. Ditjen PHKA-Ministry ofForestry has made the strategy and conservation action plan to ensure the sustainability oftapir populations and its habitats. Variety of data are required in order to support the tapirconservation action. Some of important data that needed were consisted of spatial data andinformation about the tapir distribution and habitat suitability which can be obtained byusing Geographic Information System (GIS) and Remote Sensing (RS). The purpose of thisresearch is to identify the model and the area of tapir habitat suitability in the Resort BatangSuliti KSNP.
Data were collected in the Resort Batang Suliti-KSNP in three months (July-September 2009). Tapir habitat suitability model was built by analyzed six components ofthe habitat such as elevation, slope, distance to rivers, distance to roads, distance to forestedge, and a value of Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Six habitatcomponents were analyzed using GIS and RS to produce thematic maps of each habitatcomponent (layer). The 71 points of tapir traces that found in the field were identified toeach layer of habitat components. Then, the results were analyzed by using PrincipleComponent Analysis (PCA) to get the weight of each habitat component, so that the modelof tapir habitat suitability can be developed. The tapir habitat suitability map is derived fromthe result of overlaying the habitat components and the model, and it was validated by usingthe distribution data of tapirs which found when the survey activity was conducted in theresearch sites.
The results of PCA produced three principal components with total initialeigenvalues 2.015, 1.233 and 1.127 with the value of cumulative diversity can be explainedis 72.924%. Tapir habitat suitability model was obtained is Y = (1.233 X Elevation factor) +(2.015 x Slope factor) + (1.233 x Distance to river factor) + (2.015 x Distance to roadfactor) + (2.015 x Distance to forest edge factor) + (1.127 x NDVI values factor). Tapirhabitat suitability map is divided into three suitability classes: low suitability class (1,979.73ha/7.28%), medium suitability class (15,638.76 ha/57.54%), and high suitability class(9,563.85 ha/35.18%The validation for the low suitability class is 0%, the mediumsuitability class is 57.14%, and the high suitability class is 42.86%. Tapir habitat suitabilitymodel can be accepted with 100% validation in medium and high suitability class.
Keywords : Tapir ( Tapirus indicus ), habitat suitability, spatial modeling, KSNP.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
5/84
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pemodelan Spasial
Kesesuaian Habitat Tapir ( Tapirus indicus Desmarest 1819) di Resort Batang Suliti-
Taman Nasional Kerinci Seblat ” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan
bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi
ini.
Bogor, Maret 2010
Dieta Arbaranny Koeswara
NRP E34050831
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
6/84
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Tapir ( Tapirus
indicus Desmarest 1819) di Resort Batang Suliti-Taman
Nasional Kerinci Seblat
Nama Mahasiswa : Dieta Arbaranny Koeswara
NIM : E34050831
Menyetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Ir. Haryanto R. Putro, MS
NIP. 19620316 198803 1 002 NIP. 19600928 198503 1 004
Mengetahui,
Ketua Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan IPB
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS
NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus :
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
7/84
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang
diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi
yang berjudul “Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Tapir ( Tapirus indicus
Desmarest 1819) di Resort Batang Suliti-Taman Nasional Kerinci Seblat”
merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Juli-September 2009 dan
ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,
M.Sc dan Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bantuan, arahan dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Fauna and Flora International-
Durrell Institute Conservation and Ecology University of Kent (FFI-DICE) atas
kerjasama yang diberikan dan telah memfasilitasi penelitian ini. Selain itu penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada pihak Balai Taman Nasional Kerinci Seblat
(BTNKS) atas ijin dan kerjasama yang diberikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun
penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak dan dapat
memberikan tambahan informasi yang berguna bagi konsevasi tapir.
Bogor, Maret 2010
Penulis
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
8/84
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahi robbil’aalamiin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas
rahmat dan hidayah yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih pada
berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam proses penelitian dan penulisan
skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan
kepada :
1. Bapak (Alm) Tatang Z. Koeswara dan Ibu Nurseha selaku orangtua serta
Mandarini K., Erry E.R.I.K., Hielda A.K, dan Novfrinka D.P.K. selaku kakak
dan adik atas kasih sayang, doa, serta dukungan moral dan materi yang diberikan
kepada penulis.2. Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan dan saran
dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS selaku dosen penguji dari Departemen
Manajemen Hutan, Bapak Ir. Bintang Charles Simangunsong, MS, P.hd selaku
dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan, dan Bapak Dr. Ir Cahyo Wibowo,
M.Sc.F.Trop selaku dosen penguji dari Departemen Silvikultur atas saran yang
diberikan bagi penyempurnaan skripsi ini.4. Fauna and Flora International-Durrell Institute Conservation and Ecology
University of Kent (FFI-DICE) atas bantuan dana, sarana, dan prasarana yang
diberikan selama penelitian.
5. Balai Taman Nasional Kerinci Seblat atas bantuan dan ijin yang diberikan
selama penelitian.
6. Yoan Dinata, S.si, M.Sc selaku Manajer program, Agung Nugroho, S.si selaku
Manajer lapang dan seluruh tim Monitoring Harimau Sumatera-Kerinci Seblat
(MHS-KS) atas bantuan, kerjasama, dan pengalaman yang tak terlupakan selama
di lapangan.
7. Dr. Wilson Novarino dan Elva Gemita atas informasinya tentang tapir serta atas
saran dan bantuan yang diberikan.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
9/84
iii
8. Maryati Marbun, S.Hut., Karlina F. Kartika, S.Hut., dan Khohirul Hidayah, S.Si
atas kebersamaan, bantuan, dan saran yang diberikan selama penulis berada di
lokasi penelitian.
9. Chandra I. Wijaya, S.Hut. dan Bilaluddin Khalil, S.Hut., atas bantuan dan
informasinya mengenai ArcGis. 10. Teman-teman di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial atas
pertukaran ilmu, kerjasama, dan bantuan yang diberikan.
11. Keluarga besar KSHE “Tarsius” 42 atas bantuan, kebersamaan, keceriaan dan
kekeluargaan yang telah terjalin, khususnya kepada Harri Purnomo, S.Hut atas
bantuan serta dukungan semangat yang diberikan.
12. Keluarga besar Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM)-HIMAKOVA atas
pengalaman yang telah diberikan.
13. Sahabat-sahabatku di “Wisma Cantik”, Annisa, Try, Resna, Mila, Dina, Dewi,
dan Esti atas kebersamaannya selama +4 tahun dan atas bantuan serta dukungan
semangat yang diberikan.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
10/84
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1987
sebagai anak ke-empat dari lima bersaudara dari pasangan
Bapak (Alm) Tatang Z. Koeswara dan Ibu Nurseha. Penulis
menyelesaikan pendidikan formal di SDN 21 Menteng Atas-
Jakarta Selatan (1993), SLTPN 15 Jakarta (1999), dan SMAN 3
Jakarta (2005). Selepas lulus SMA, pada tahun yang sama
penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis mulai aktif belajar di Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB pada tahun
2006.
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan
Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
(HIMAKOVA) sebagai anggota dari Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM)-
HIMAKOVA, staf dari Biro Kesekretariatan pada tahun 2006-2007 dan staf dari
Biro Kewirausahaan pada tahun 2007-2008.
Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain:
Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA)-HIMAKOVA di
Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2007, Studi Konservasi Lingkungan(SURILI)-HIMAKOVA di TN. Bantimurung-Bulusaraung pada tahun 2007, Praktek
Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di KPH Indramayu dan TN. Gunung Ciremai
pada tahun 2007, RAFFLESIA-HIMAKOVA di CA. Gunung Simpang-Tilu pada
tahun 2008, Praktek Umum Konservasi Ek-Situ (PUKES) di Taman Burung-
Museum Serangga TMII dan Taman Sringganis-Bogor pada tahun 2008 serta
Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di TN. Ujung Kulon pada tahun 2009.
Dalam usaha memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Pemodelan
Spasial Kesesuaian Habitat Tapir ( Tapirus indicus Desmarest 1819) di Resort
Batang Suliti-Taman Nasional Kerinci Seblat” di bawah bimbingan Dr. Ir. Lilik
Budi Prasetyo, M.Sc dan Ir. Haryanto R. Putro, MS.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
11/84
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... v DAFTAR TABEL .................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... x
I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Tujuan ........................................................................................................... 2
1.3. Manfaat ......................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
2.1. Bioekologi Tapir........................................................................................... 3
2.1.1. Taksonomi ............................................................................................. 3
2.1.2. Morfologi .............................................................................................. 4
2.1.3. Perilaku ................................................................................................. 5
2.1.4. Habitat dan Penyebaran Tapir ............................................................... 5
2.2. Habitat Satwaliar .......................................................................................... 6
2.3. Sistem Informasi Geografis .......................................................................... 7
2.3.1. Konsep Dasar dan Definisi ................................................................... 7
2.3.2. Aplikasi SIG .......................................................................................... 8 2.4. Pengindraan Jauh .......................................................................................... 9
2.4.1. Definisi .................................................................................................. 9
2.4.2. Citra Landsat ....................................................................................... 10
2.5. Global Positioning System ......................................................................... 11
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ...................................................... 12
3.1. Sejarah Kawasan ........................................................................................ 12
3.2. Letak dan Luas ........................................................................................... 12
3.3. Kondisi Fisik Kawasan ............................................................................... 13
3.3.1. Tanah ................................................................................................... 13 3.3.2. Topografi ............................................................................................. 13
3.3.3. Iklim .................................................................................................... 13
3.3.4. Hidrologi ............................................................................................. 14
3.3.5. Tipe Ekosistem .................................................................................... 14
3.3.6. Aksesibilitas ........................................................................................ 14
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
12/84
vi
3.4. Kondisi Biologi .......................................................................................... 15
3.4.1. Flora .................................................................................................... 15
3.4.2. Fauna ................................................................................................... 15
IV. METODE PENELITIAN ................................................................................... 16
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 16
4.2. Alat dan Bahan ........................................................................................... 17
4.3. Tahapan Penelitian ..................................................................................... 17
4.4. Data yang Dikumpulkan ............................................................................. 18
4.5. Metode Pengumpulan Data ........................................................................ 20
4.5.1. Inventarisasi Tumbuhan ...................................................................... 20
4.5.2. Metode Transek................................................................................... 20
4.5.3. Pembangunan Data Spasial ................................................................. 21
4.6. Analisis Data .............................................................................................. 24
4.6.1. Analisis Vegetasi................................................................................. 24 4.6.2. Analisis Regresi Sederhana ................................................................. 25
4.6.3. Analisis Spasial ................................................................................... 26
4.6.4. Analisis Komponen Utama ( Principle Component Analysis ) ............. 27
4.6.5. Analisis Deskriptif .............................................................................. 28
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 29
5.1. Analisis Vegetasi ........................................................................................ 29
5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai ............................................... 29
5.1.2. Kondisi Habitat Tiap Transek ............................................................. 32
5.2. Komponen dalam Pemodelan Kesesuaian Habitat Tapir ........................... 34
5.2.1. Ketinggian Tempat .............................................................................. 34
5.2.2. Kemiringan Lereng ............................................................................. 35
5.2.3. Jarak dengan Sungai............................................................................ 38
5.2.4. Jarak dengan Jalan .............................................................................. 39
5.2.5. Jarak dengan Tepi Hutan ..................................................................... 42
5.2.6. Nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) ..................... 44
5.3. Model Kesesuaian Habitat .......................................................................... 47
5.4.
Peta Kesesuaian Habitat Tapir ................................................................... 50
5.5. Validasi Model ........................................................................................... 53
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 55
6.1. Kesimpulan ................................................................................................. 55
6.1. Saran ........................................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 57
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
13/84
vii
LAMPIRAN .............................................................................................................. 60
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
14/84
viii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
Tabel 1 Aplikasi prinsip dan saluran spektral Thematic Mapper .......................... 10
Tabel 2 Indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan daerah aliran sungai ..... 31
Tabel 3 Indeks keanekaragaman, indeks kekayaan, dan indeks kemerataantiap transek ................................................................................................ 32
Tabel 4 Indeks kesamaan jenis vegetasi tiap transek ............................................. 32
Tabel 5 Luas tiap kelas ketinggian ......................................................................... 34
Tabel 6 Luas tiap kelas kemiringan lereng ............................................................ 35
Tabel 7 Luas tiap kelas jarak dengan sungai.......................................................... 38
Tabel 8 Luas tiap kelas jarak dengan jalan ............................................................ 39
Tabel 9 Luas tiap kelas jarak dengan tepi hutan .................................................... 44
Tabel 10 Luas tiap kelas nilai NDVI ....................................................................... 47
Tabel 11 Total keragaman yang dijelaskan.............................................................. 47
Tabel 12 Vektor ciri PCA ........................................................................................ 49
Tabel 13 Bobot masing-masing variabel ................................................................. 49
Tabel 14 Skor tiap variabel ...................................................................................... 50
Tabel 15 Skor dan luas tiap kelas kesesuaian habitat .............................................. 51
Tabel 16 Validasi tiap kelas kesesuaian habitat tapir .............................................. 53
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
15/84
ix
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
Gambar 1 Morfologi Tapir ( Tapirus indicus ). .......................................................... 3
Gambar 2 Peta sebaran tapir ( Tapirus indicus ) di Asia Tenggara ............................ 6
Gambar 3 Uraian subsistem SIG. .............................................................................. 7
Gambar 4 Peta lokasi penelitian. ............................................................................ 16
Gambar 5 Bagan alir tahapan penelitian. ................................................................ 19
Gambar 6 Bentuk petak contoh analisis vegetasi. .................................................. 20
Gambar 7 Bentuk perjumpaan tidak langsung tapir ............................................... 21
Gambar 8 Proses pembuatan ketinggian tempat dan peta kemiringan lereng. ....... 21
Gambar 9 Proses pembuatan peta ........................................................................... 22
Gambar 10 Proses pembuatan peta jarak dengan tepi hutan. .................................... 23
Gambar 11 Proses pembuatan peta NDVI. ............................................................... 23
Gambar 12 Kondisi hulu sungai Plangai. ................................................................. 29
Gambar 13 Diagram jumlah jenis vegetasi. .............................................................. 30
Gambar 14 Dendrogram kesamaan jenis vegetasi antar jalur. .................................. 33
Gambar 15 Peta ketinggian. ...................................................................................... 36
Gambar 16 Peta kemiringan lereng. .......................................................................... 37
Gambar 17 Peta jarak dengan sungai. ....................................................................... 40 Gambar 18 Peta jarak dengan jalan........................................................................... 41
Gambar 19 Peta tutupan lahan. ................................................................................. 43
Gambar 20 Peta jarak dengan tepi hutan. ................................................................. 45
Gambar 21 Diagram pencar nilai yang diamati antara kerapatan vegetasi dannilai NDVI. ............................................................................................. 46
Gambar 22 Peta Nilai NDVI. .................................................................................... 48
Gambar 23 Peta kesesuaian habitat tapir. ................................................................. 52
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
16/84
x
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
Lampiran 1 Daftar Jenis Vegetasi. ............................................................................ 61
Lampiran 2 Rekapitulasi Data Analisis Vegetasi Daerah Aliran Sungai. ................. 63
Lampiran 3 Data identifikasi sebaran titik temuan tapir di lokasi penelitianterhadap 6 komponen habitat, ............................................................... 67
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
17/84
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan salah satu kawasan
hutan alam yang tersisa di Pulau Sumatera yang wilayahnya meliputi 4 provinsi
yaitu, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Jambi, Provinsi Bengkulu, dan Provinsi
Sumatera Selatan. Kawasan TNKS dengan luas total wilayah 1.389.509,867 Ha
menyimpan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi serta bermanfaat secara
ekologi, ekonomi, dan sosial bagi masyarakat sekitarnya. Terdapat berbagai jenis
satwaliar yang dilindungi di Indonesia yang menjadikan TNKS sebagai rumah
mereka, diantaranya adalah badak sumatera ( Dicerorhinus sumatrensis ), gajah
sumatera ( Elephas maximus sumatrensis ), harimau sumatera ( Panthera tigrissumatrae ) dan tapir ( Tapirus indicus ).
Tapir sebagai salah satu jenis mamalia yang terancam populasinya saat ini
tidak hanya terdapat di Pulau Sumatera namun juga tersebar di Semenanjung
Malaysia, Burma (Myanmar) dan Thailand. Saat ini status tapir telah dilindungi
oleh pemerintah melalui PP No. 7 Tahun 1990 dan termasuk jenis satwa yang
genting ( endangered ) dalam IUCN Red List ( The International Union for
Conservation of Nature ) serta telah terdaftar dengan status Appendix I dalam
CITES ( Convention International of Trade Endangered Spesies of Wild Faunaand Flora ). Tapir tidak termasuk jenis satwa yang diburu oleh manusia. Hal ini
dikarenakan kepercayaan masyarakat sekitar (bagi muslim) yang mengharamkan
mengkonsumsi daging tapir. Keterancaman populasi tapir akibat perbuatan
manusia lebih disebabkan oleh konversi fungsi hutan sehingga menurunkan luas
habitat alami dan wilayah jelajah tapir.
Hingga saat ini kegiatan konservasi tapir di Indonesia masih sangat minim
sedangkan populasinya di alam terus menurun. Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) selaku lembaga pemerintah yang
berwenang untuk melindungi satwa terancam seperti tapir saat ini telah membuat
strategi dan rencana aksi konservasi tapir untuk menjamin keberlanjutan populasi
tapir dan habitatnya. Untuk itu diperlukan berbagai data yang mendukung aksi
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
18/84
2
konservasi tapir tersebut. Salah satunya adalah informasi spasial agar dapat
diperoleh informasi wilayah yang sesuai untuk habitat tapir.
Saat ini telah banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung
upaya konservasi keanekaragaman hayati, beberapa diantaranya adalah Sistem
Informasi Geografis (SIG), Penginderaan jauh, dan Global Positioning System(GPS). Dari gabungan ketiga teknologi ini, dapat diperoleh informasi mengenai
model tingkat kesesuaian habitat serta pemetaan distribusi tapir. Informasi ini
diharapkan dapat dijadikan data dasar dalam pengelolaan satwaliar dalam
mendukung konservasi in-situ di TNKS.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui model dan luas
kesesuaian habitat tapir di Resort Batang Suliti TNKS dengan menggunakan
aplikasi SIG dan penginderaan jauh.
1.3. Manfaat
Dari hasil penelitian ini diperoleh data spasial habitat tapir di TNKS yang
digambarkan dalam bentuk peta sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan penerapan kebijakan bagi
pengelola kawasan TNKS karena data analisis spasial tidak hanya menampilkaninformasi mengenai kondisi habitat pada waktu tertentu tetapi juga dapat
digunakan untuk evaluasi terhadap perubahan yang terjadi berdasarkan faktor
ekologi dan sosial.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
19/84
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bioekologi Tapir
2.1.1. Taksonomi
Terdapat 4 spesies tapir di dunia, yaitu Tapirus terestis, T. pinchaque, T.
bairdii, dan T. indicus. Dari empat spesies tersebut hanya satu spesies yang dapat
dijumpai di Indonesia, yaitu Tapirus indicus seperti dapat dilihat pada Gambar 1 .
(a) (b) Gambar 1 Morfologi Tapir ( Tapirus indicus ). Ket: (a) Tapir yang tertangkap oleh
perangkap kamera FFI-KSP; (b) Gambar Tapir dewasa dan anak(Nash 2009).
Seorang ahli zoology Perancis yang bernama A.G. Desmarest merupakan
orang pertama yang memberikan nama ilmiah Tapirus indicus pada tahun 1819(Prothero dan Schoch 2002). Klasifikasi taksonomi tapir ( Tapirus indicus ) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Perisodactyla
Famili : TapiridaeGenus : Tapirus
Spesies : Tapirus indicus
Di Indonesia tapir dikenal dengan beberapa nama daerah yang berasal dari
Sumatera seperti babi alu, cipan, gindol, marba, rason, saladang, seladang, sipan,
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
20/84
4
tanu, dan tenuk. Sebutan lain tapir dari suku melayu yaitu kuda arau, kuda ayer,
dan kuda rimbu (Maryanto et al. 2007). Selain itu hingga saat ini tapir juga
dikenal dengan beberapa nama sinonim seperti Malayan Tapir, Malay Tapir, dan
Asian Tapir.
2.1.2. Morfologi
Diantara 4 spesies tapir di dunia, Tapirus indicus memiliki tubuh paling
besar dengan tinggi mencapai 1,8 m dan bobot tubuh seberat 350 kg (Williams
2009). Tapir cukup mudah dikenali berdasarkan pola warna pada tubuhnya. Tapir
dewasa pada bagian depan tubuh (kepala dan leher) dan bagian kakinya berwarna
hitam sedangkan pada bagian belakang tubuh (panggul dan punggung) berwarna
putih (Ditjen PHKA Inpress ). Namun hingga saat ini telah terdapat dua catatan
yang menunjukan adanya tapir dengan warna hitam pada seluruh tubuhnya.
Belum diketahui secara pasti perbedaan warna ini merupakan bagian dari
subspesies tapir atau hanya variasi warna dari tapir (Azlan 2002).
Ditjen PHKA (Inpress) juga menjelaskan bahwa tapir yang baru lahir
berwarna cokelat gelap kemerahan dengan garis bintik berwarna kuning dan putih
seperti anak babi hutan. Setelah berumur 2 atau 3 bulan pola warnanya akan
berubah hingga mencapai tingkatan warna yang sama seperti individu dewasa
setelah beumur 5 atau 6 bulan. Tapir dewasa mempunyai panjang tubuh hingga
225 cm. Ciri khas yang lain dari tapir adalah hidung dan bibir atas yang
memanjang membentuk belalai pendek. Saat berjalan, hidung (belalai)-nya selalu
didekatkan ke tanah. Dalam menjalani kehidupannya tapir lebih mengandalkan
indera penciuman dan pendengarannya. Tapir termasuk dalam ordo Perisodactyla
yang artinya termasuk satwa berkuku ganjil. Kaki depan tapir mempunyai 4 jari
sedangkan kaki belakangnya hanya 3 jari. Jejak kaki depan tapir dewasa
mempunyai panjang antara 155–220 mm dan lebar antara 139-240 mm.
Sedangkan jejak kaki belakang tapir dewasa mempunyai panjang 127-220 mmdan lebar antara 113-180 mm. Bentuk tubuh yang membulat dengan kaki depan
yang lebih pendek, memungkinkan tapir untuk berlari cepat diantara semak. Tapir
juga mempunyai kemampuan berenang dan menyelam di air dalam waktu yang
cukup lama.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
21/84
5
2.1.3. Perilaku
Tapir merupakan jenis satwa yang agak penakut, terutama terhadap
manusia, sehingga hidupnya sangat bersembunyi. Tapir termasuk jenis satwa
soliter artinya hidup sendiri di hutan, terkecuali bagi induk dan anaknya atau
jantan dengan betina pada musim kawin. Musim kawin tapir berkisar antara bulan
April hingga Juni (Ditjen PHKA Inpress ).
Rakhmat (1999) menyatakan bahwa dalam melakukan aktivitas makan,
tapir aktif pada malam hari sehingga tapir tergolong satwa nokturnal. Jalan yang
ditempuh tapir tidak selalu sama. Dalam melakukan gerak berpindah, tapir
cenderung berjalan lurus dalam jalan utamanya. Namun apabila dalam
perjalananya tapir menemukan tumbuhan pakannya maka aktivitas gerak
berpindah akan diselingi dengan aktivitas makan. Hal ini ditandai dengan jejak
tapir yang berpola melintang (zig zag), karena dalam melakukan aktivitas makan
spesies ini tidak akan tinggal diam melainkan terus bergerak dalam pola zig zag.
Aktivitas makan tapir dilakukan pada lokasi tertentu yang memiliki potensi pakan
tapir yang cukup tinggi dan tapir akan kembali ke lokasi pakan dengan periode 90
hingga 100 hari. Tapir lebih memilih pakan dari tumbuhan pada tingkat semai
dan pancang, beberapa spesies tumbuhan yang menjadi pakan tapir diantaranya
adalah Artocarpus kemando, Donnax cannaeformis, dan Macrophanax
dispermum. Sedangkan Novarino (2000) diacu dalam Ditjen PHKA (Inpress)
menyebutkan beberapa jenis tumbuhan yang dimakan oleh tapir adalah
Symplocos cochichinensis, Aporosa benthamiana, Clidemia hirta, dan Uncharia
sclerophyla.
2.1.4. Habitat dan Penyebaran Tapir
Habitat tapir adalah hutan primer dan sekunder yang berdekatan dengan
perairan, baik dalam bentuk sungai maupun rawa yang ada di dataran rendah
hingga dataran tinggi 2500 mdpl. Tapir lebih menyukai tempat yang relatifterbuka dan dekat dengan perairan dikarenakan pada tempat tersebut tapir lebih
mudah bergerak dan memperoleh pakan yang disukainya. Tapir juga memerlukan
beberapa tempat tertentu seperti kubangan, sungai yang mengalir tenang dan
daerah rawa untuk mandi dan berendam. Untuk tempat bernaung dari teriknya
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
22/84
6
matahari, tapir menyukai hutan yang teduh (Rakhmat 1999). Menurut Ditjen
PHKA ( Inpress ), luas daerah jelajah tapir mencapai 12,75km 2 dan tapir
terkadang melakukan perjalanan yang lebih jauh untuk memenuhi kebutuhannya
akan ketersediaan pakan dan unsur mikro (garam mineral).
Di Asia Tenggara, sebaran tapir meliputi Burma (Myanmar) bagianselatan, Thailand bagian selatan, Semenanjung Malaysia, dan Indonesia seperti
yang ditunjukan pada Gambar 2. Menurut Ditjen PHKA (Inpress) terdapat bukti-
bukti paleontologis yang menunjukan sebaran tapir meliputi pulau Jawa dan
Sumatera, namun saat ini di Indonesia, tapir hanya dapat dijumpai di pulau
Sumatera dari bagian selatan Danau Toba hingga Lampung.
Gambar 2 Peta sebaran tapir ( Tapirus indicus ) di Asia Tenggara (Pedraza 2009).
2.2. Habitat SatwaliarOdum (1993) mendeskripsikan habitat sebagai tempat hidup suatu
organisme yang mencakup faktor biotik dan faktor fisik lainnya. Menurut
Alikodra (1990), habitat merupakan tempat berkembang biak dan berlindung bagi
satwa liar yang terdiri dari komponen-komponen pendukung seperti air, pakan,
suhu dan sebagainya. Habitat suatu jenis satwa liar mengandung suatu sistem
yang terbentuk dari interaksi antar komponen abiotik dan biotik, dimana
komponen biotik terdiri terdiri dari vegetasi, fauna, manusia, dan
mikroorganisme; dan komponen abiotik dari air, tanah, udara, iklim, ketinggian.
Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk
mendukung kehidupannya. Oleh karena itu, habitat suatu jenis satwa liar belum
tentu sesuai untuk jenis lain.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
23/84
7
2.3. Sistem Informasi Geografis
2.3.1. Konsep Dasar dan Definisi
Menurut Prahasta (2001) sistem yang menangani masalah informasi yang
bereferensi geografis dalam berbagai cara dan bentuk, secara umum disebut
sistem informasi geografis. Masalah informasi tersebut mencakup tiga hal, yaitu:
1. Pengorganisasian data dan informasi.
2. Penempatan informasi pada lokasi tertentu.
3. Melakukan komputasi, memberikan ilustrasi keterhubungan antara satu
dengan lainnya, serta analisa spasial lainnya.
Prahasta juga menyebutkan bahwa dalam beberapa literatur, SIG dinilai
sebagai hasil penggabungan dua sistem, yaitu antara sistem komputer untuk
bidang Kartografi (CAC) atau sistem komputer untuk bidang perancangan (CAD)
dengan teknologi basisdata (database).
Berdasarkan definisi mengenai SIG yang telah disebutkan di atas,
Prahasta menguraikan SIG dalam beberapa subsistem yaitu data input, data
output, data management, serta Data Manipulation and Analysis. Uraian
mengenai jenis masukan, proses, dan jenis keluaran dari subsistem SIG dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Uraian subsistem SIG (Prahasta 2001).
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
24/84
8
2.3.2. Aplikasi SIG
Penggunaan SIG untuk kehutanan tropis di negara-negara berkembang
belum cukup lama dimulai dan bervariasi di setiap negara dalam hal tujuan,
aplikasi, skala operasional, kesinambungan, dan pembiayaan (Puntodewo et al.
2003). Hingga saat ini aplikasi SIG telah cukup banyak digunakan oleh para
peneliti termasuk didalamnya para peneliti dari bidang kehutanan, contohnya
untuk memonitoring pergerakan satwa dan membuat model kesesuaian habitat
flora dan fauna.
Muntasib (2002) melakukan penelitian dengan menggunakan SIG untuk
menemukan pola penggunaan ruang habitat badak jawa berdasarkan komponen
fisik, biologi, dan sosial dengan menggunakan pemodelan/analisis spasial di
Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Pemodelan tersebut dibangun
berdasarkan hasil survey lapangan sehingga didapatkan data-data titik untuk
setiap komponen dan peta dasar AMS ( American Map Service ) skala 1:50.000
tahun 1961, peta rupa bumi skala 1:50.000 tahun 1993/1994 serta peta batas-batas
TNUK sehingga didapatkan peta-peta topografi dan tematik. Dalam penelitiannya
dilakukan survey lapangan dengan 21 transek di Semenanjung Ujung Kulon
untuk mendapatkan data vegetasi, sensus badak dan banteng, distribusi kubangan
serta lokasi ditemukannya badak dan banteng. Analisis dilakukan secara spasial
dengan menggunakan metode tumpang tindih ( overlay ), pengkelasan ( class ),
pembobotan ( weighting ), dan pengharkatan ( scoring ) untuk memperolah
klasifikasi kesesuaian habitat badak. Hasil analisa yang berupa klasifikasi
kesesuaian habitat badak kemudian divalidasi dengan distribusi badak yang
didapatkan dengan metode sensus. Hasilnya diperoleh bahwa pola penggunaan
ruang habitat badak jawa terutama ditentukan oleh ketersediaan pakan badak
jawa, ketinggian tempat, tersedianya kubangan, kelerengan, penutupan vegetasi,
satwa lain (terutama banteng), dan ada/tidaknya gangguan manusia. Dimana
ruang habiat yang sangat sesuai adalah di daerah Cibandawoh, sebagian Cikeusik,
Citadahan, dan Cibunar dengan luas 1.277,44 Ha (+ 37,35%-37,4%). Sedangkan
ruang habitat yang sesuai adalah di dareah sebagian Cibandawoh, Cikeusik,
Citadahan, Cibunar, Ciujungkulon, Karang Ranjang, Kalejetan, Cikabeumbeum,
Cigenter, Citelang, Jamang, Nyiur, Nyawaan dengan luas 18.857,07 Ha
(+58,54%-61,44%). Dengan demikian hasil validasi pemodelan untuk daerah
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
25/84
9
sesuai dan sangat sesuai adalah sebesar 95,9%-98,84%. Dalam penelitian ini
disarankan untuk mendapatkan model penggunaan ruang habitat badak jawa
dapat lebih dipertajam bila validasi dari distribusi badak dapat diketahui secara
periodik (sensus rutin).
Penelitian lainnya dalam aplikasi SIG dilakukan oleh Dewi (2005) dengantujuan menganalisis spasial tingkat kesesuaian habitat owa jawa ( Hylobates
moloch ), menduga kesesuaian habitat owa jawa, dan menduga luasan wilayah
yang sesuai untuk pelestarian owa jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak (TNGHS). Penyusunan analisis spasial tingkat kesesuaian habitat owa jawa
dimulai dengan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer yang
dikumpulkan merupakan data spasial berupa peta kawasan TNGHS tahun 1992,
citra landsat TM path 122 row 65 yang terekam pada 12 Mei 2001, peta rupa
bumi skala 1:25.000 tahun 1999/2000, dan data lapangan meliputi lokasi sebaran
kelompok-kelompok owa jawa di TNGHS. Data sekunder yang dikumpulkan
meliputi data survey lapangan untuk verifikasi jenis penutupan training area dan
data-data vegetasi; literatur untuk mendukung data lapangan dan analisis data.
Komponen lingkungan yang digunakan dititikberatkan pada faktor fisik yang
menentukan kualitas habitat oawa jawa, yaitu tipe penutupan lahan, topografi,
ketersediaan air, dan tekanan manusia. Hasil survey lapang mengenai distribusi
owa jawa digunakan sebagai dasar dalam penentuan bobot setiap variabel melalui
analisis komponen utama (PCA). Berdasarkan hasil analisis PCA dan didukung
oleh literatur, dibangunlah suatu model kesesuaian habitat bagi owa jawa. Hasil
penelitian menunjukan bahwa habitat owa jawa di TNGHS diklasifikasikan
dalam tiga tingkat kesesuian habitat. Habitat dengan tingkat kesesuaian rendah
(skor 0-13,786) seluas 846,27 ha, habitat dengan tingkat kesesuaian sedang (skor
13,786-18,016) seluas 12.311 ha, dan habitat dengan tingkat kesesuaian tinggi
(skor >18,016) seluas 24.624,2 ha.
2.4. Pengindraan Jauh
2.4.1. Definisi
Lillesand dan Kiefer (1990) mendefinisi pengindraan jauh sebagai ilmu
dan seni untuk memperoleh informasi mengenai suatu obyek, daerah atau
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
26/84
10
fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa
adanya kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji.
Penginderaan jauh memberikan kemampuan kepada manusia untuk melihat
sesuatu yang tidak tampak mata.
Definisi lain mengenai pengindraan jauh juga diuraikan oleh Lo (1996),dimana pengindraan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan
informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa adanya
sentuhan fisik. Teknik ini akan menghasilkan bentuk citra yang selanjutnya perlu
diproses dan diinterpretasi untuk menghasilkan data yang bermanfaat misalnya
dalam aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, perencanaan,
dan lainnya.
2.4.2. Citra Landsat
Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa satelit Landsat yang
digunakan sebagai satelit pengindraan jauh merupakan hasil perubahan nama
program ERTS ( Earth Resources Technology Satellite/ Satelit Teknologi
Sumberdaya Bumi) menjadi program Landsat secara resmi pada tanggal 22
Januari 1975. Landsat banyak digunakan sebagai alat pemetaan planimetrik di
beberapa daerah tertentu di dunia.
Lo (1996) menjelaskan bahwa terdapat sensor pada satelit Landsat yang
berfungsi sebagai sistem pencitraan, diantaranya adalah kamera return beam
vidicon (RBV), multispectral scanner (MSS), dan Thematic Mapper (TM). TM
merupakan suatu sensor optik penyiaman yang beroperasi pada saluran tampak,
inframerah, dan saluran spektral yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Aplikasi prinsip dan saluran spektral Thematic Mapper
Saluran( Band )
PanjangGelombang (µm) Potensi Pemanfaatan
1 0,45 – 0,52 Dirancang untuk penetrasi badan air, sehingga bermanfaatuntuk pemetaan perairan pantai. Berguna juga untukmembedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaunlebar dan konifer.
2 0,52 – 0,69 Dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau salurantampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan,
3 0,63 – 0,69 Saluran absorpsi klorofil yang penting untuk diskriminasivegetasi.
4 0,76 – 0,90 Bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan untukdilineasi badan air.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
27/84
11
Saluran( Band )
PanjangGelombang (µm) Potensi Pemanfaatan
5 1,55 – 1,75 Menunjukan kandungan kelembapan vegetasi dan kelembapantanah. Juga bermanfaat untuk membedakan salju dan awan.
6 10,40 – 12,50 Saluran inframerah termal yang penggunaannya untuk analisis pemetaan vegetasi, diskriminasi kelembapan tanah, dan pemetaan termal.
7 2,08 – 2,35 Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakantipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.Sumber : Lo (1995)
2.5. Global Positioning System
Global Positioning System (Sistem Pencari Posisi Global) atau yang biasa
disingkat GPS merupakan suatu jaringan satelit yang memancarkan sinyal radio
dengan frekuensi yang sangat rendah secara terus menerus (Puntodewo et al.
2003). Satelit GPS bekerja pada referensi waktu yang sangat teliti dan akan
memancarkan data untuk menunjukan lokasi dan waktu pada saat itu. Sinyal
radio tersebut akan diterima oleh alat penerima GPS secara pasif dengan syarat
tak ada halangan apapun di langit (pandangan terbuka).
Data GPS merupakan salah satu bentuk sumber data spasial SIG.
Puntodewo et al. (2003) menyebutkan bahwa teknologi GPS meberikan
terobosan yang sangat penting dalam menyediakan data untuk SIG karena
keakuratan data yang diberikan oleh data GPS sangat tinggi. Data GPS biasanya
dipresentasikan dalam bentuk vektor.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
28/84
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Sejarah Kawasan
Pertama kali TNKS diusulkan menjadi taman nasional pada tanggal 4
Oktober 1982 melalui Ketetapan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982
dengan luas 1.484.650 Ha bertepatan dengan Kongres Taman Nasional Sedunia
di Bali. Pengesahan TNKS menjadi taman nasional dilakukan 4 tahun kemudian
melalui Ketetapan Menteri Kehutanan, SK. N0. 192/Kpts-II/1996 dengan luas
1.368.000 Ha. Wilayah hutan TNKS tersebut merupakan gabungan dari berbagai
kelompok hutan seperti hutan Lindung, Suaka Alam, dan Suaka Marga Satwa
yang tersebar di 4 wilayah provinsi yaitu Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan
Sumatera Selatan. Setelah dilakukannya penataan batas, berdasarkan SuratKeputusan Menteri Kehutanan No. 901/Kpts-II/1999 luas TNKS berubah menjadi
1.375.349,867 hektar, dan pada tahun 2004 dengan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No.420/Menhut-II/2004 yang memasukan sebagian kawasan hutan
Produksi Tetap kelompok hutan Sipurak Hook yang terletak di Kabupaten
Merangin Provinsi Jambi seluas 14.160 ha ke dalam kawasan TNKS. Sehingga
luasan TNKS sampai dengan sekarang adalah 1.389.509,867 ha (BBTNKS 2009).
Wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat meliputi 11 wilayah kabupaten, yaitu
Kabupaten Kerinci, Merangin, Bungo Tebo, Pesisir Selatan, Solok, SolokSelatan, Sawah Lunto, Sijunjung, Rejang Lebong, Bengkulu Utara, dan Musi
Rawas (Ditjen PHKA 2007).
Kelompok hutan di TNKS tersebut mempunyai peran penting dalam
hidrologis bagi wilayah disekitarnya karena memiliki cukup banyak Daerah
Aliran Sungai (DAS). Selain itu TNKS memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi dan perlu diperhatikan kelestariannya. Hal demikianlah yang menjadi salah
satu alasan utama agar kawasan hutan tersebut disatukan dan diresmikan menjadi
TNKS (Dephut 2009).
3.2. Letak dan Luas
Secara geografi TNKS terletak pada 100°31'-102°44' Bujur Timur dan
1°17’-3°36’ Lintang Selatan. Luas seluruh TNKS saat ini sebesar 1.389.509,867
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
29/84
13
ha yang terbagi dalam 4 wilayah propinsi, yaitu Jambi, Sumatera Barat,
Bengkulu, dan Sumatera Selatan (Ditjen PHKA 2007). Lokasi wilayah penelitian
yaitu di Resort Batang Suliti yang terletak di Kabupaten Solok Selatan, provinsi
Sumatera Barat.
3.3. Kondisi Fisik Kawasan
3.3.1. Tanah
Berdasarkan proses pembentukan tanah dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, maka jenis tanah yang mendominasi di kawasan TNKS
adalah Latosol, Podsolik, Andosol, Alluvial, Komplek (Podsolik, Latosol dan
Litosol) dan Kompleks (Latosol dan Litosol) (Ditjen PHKA 2007). Tanah latosol
umumnya terdapat pada dataran rendah, teksturnya halus, gembur, dengan tingkat
kesuburan yang sedang. Jenis tanah Podsolik merupakan jenis tanah yang masam,
bergumpal, dan tingkat kesuburannya rendah hingga sangat rendah. Jenis tanah
Andosol merupakan jenis tanah yang gembur, remah, kandungan bahan
organiknya tinggi sehingga tingkat kesuburannya tinggi. Sebagian besar lahan di
kawasan TNKS memiliki tanah yang relatif kurang subur dan rawan erosi
(Dephut 2007).
3.3.2. TopografiTopografi TNKS pada umumnya bergelombang, berlereng curam dan
tajam dengan ketinggian antara 200 sampai dengan 3.805 meter dpl. Pada daerah
enclave di Kabupaten Kerinci topografinya relatif lebih datar dengan ketinggian
800 meter dpl (Dephut 2009). Kondisi topografi di Resort Batang Suliti
bergelombang karena merupakan bagian dari bukit barisan dengan ketinggian
antara 545 sampai 2.011 meter dpl dan kelerengan yang curam.
3.3.3. Iklim
Kawasan TNKS termasuk dalam tipe iklim A menurut Schmit dan
Ferguson terkecuali pada lembah Sungai Penuh-Kerinci yang bertipe iklim B.
Curah hujan di kawasan TNKS secara umum cukup tinggi dan merata dengan
rata-rata curah hujan tahunan berkisar 3000 mm/tahun. Musim hujan berlangsung
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
30/84
14
antara bulan September hingga Februari dengan puncak musim hujan pada bulan
Desember. Musim kemarau berlangsung antara bulan April hingga Agustus. Suhu
udara rata-rata bervariasi tergantung ketinggiannya, yaitu 28°C di dataran rendah,
20°C di Lembah Kerinci, dan 9°C di puncak Gunung Kerinci. Kelembapan udara
di kawasan TNKS cukup tinggi berkisar antara 80%-100% (Dephut 2009).
3.3.4. Hidrologi
TNKS mempunyai peranan hidrologi yang tinggi bagi wilayah sekitarnya
karena TNKS terdiri dari berbagai kelompok hutan yang menjadi Daerah Aliran
Sungai (DAS) utama seperti DAS Batanghari, DAS Musi dan DAS wilayah
Pesisir bagian barat. DAS tersebut mempunyai peraranan penting dalam
memenuhi kebutuhan akan air bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah
tersebut (DephutT 2009).
Terdapat beberapa DAS yang berukuran lebar di kawasan ini, antara lain
Air Ipuh, Air Seblat, Air Ikan, Air Retak, Air Teramang, dan Air Berau. Sungai-
sungai yang berukuran besar di kawasan ini antara lain Air Seblat Merah,
Tembulun Air Rami, Air Madu, Air Lupu, Air Ipuh Ilau, Air Bantal, dan Ipuh
Panjang (Rudiansyah 2007).
3.3.5.
Tipe EkosistemTNKS memiliki perwakilan ekosistem hutan yang beranekaragam dari
ekosistem hutan hujan dataran rendah hingga ekosistem sub alpin. Selain itu
terdapat juga beberapa ekosistem yang khas di TNKS yaitu ekosistem rawa
gambut, ekosistem rawa air tawar, dan ekosistem danau (Dephut 2009).
3.3.6. Aksesibilitas
Untuk mencapai TNKS dengan menggunakan pesawat udara maka dapat
melalui tiga kota yang memiliki bandara udara yaitu Padang, Jambi dan
Bengkulu. Untuk mencapai kantor TNKS di Sungai Penuh dari Jambi dapat
ditempuh dengan kendaraan umum (bus) selama +10 jam dengan jarak +500 km.
Sedangkan jika melalui Padang ke Sungai Penuh dapat di tempuh selama +7 jam
melalui Tapan dengan bus. Dapat juga melalui jalur darat lainnya dari Bengkulu
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
31/84
15
melalui Tapan ke Sungai Penuh dengan jarak tempuh + 420 km menggunakan bus
(Dephut 2009).
3.4. Kondisi Biologi
3.4.1. Flora
TNKS memiliki keanekaragaman flora yang tinggi. Diperkirakan tidak
kurang dari 4000 jenis flora dari 63 famili terdapat di kawasan ini, yang
didominasi oleh famili Dipterocarpaceae, Legumnimoceae, Lauraceae,
Myrtaceae, Mommacaceae, Moraceae, Anacardiaceae, Myristicaceae,
Euphorbiaceae, dan Meliaceae. Pada ketinggian 500–2000 m dpl, vegetasinya
didominasi oleh famili Fagaceae, Erycaceae, dan semak-semak sub alpin dari
jenis Vaccinium dan Rhododendron (Dephut 2009).
Terdapat beberapa jenis vegetasi khas di TNKS, yaitu Histiopteris insica
(tumbuhan berpembuluh tertinggi) berada di dinding kawah Gunung Kerinci,
berbagai jenis Nepenthes sp , Pinus mercusii strain Kerinci , Kayu pacat
( Harpullia arborea ), Bunga Raflesia ( Rafflesia arnoldi ), dan Agathis sp (Dephut
2009).
3.4.2. Fauna
Tercatat 42 jenis mamalia dari 19 famili, diantaranya badak sumatera
( Dicerorhinus sumatrensis ), gajah sumatera ( Elephas maximus sumatranus ),
macan dahan ( Neofelis diardi ), harimau sumatera ( Panthera tigris sumatrae ),
kucing emas ( Felis termminnckii ), tapir ( Tapirus indicus ), kambing hutan
(Capricornis sumatraensis ); 6 jenis mamalia primata yaitu : siamang
(Sympalagus syndactylus ), ungko ( Hylobates agilis ), wau-wau hitam ( Hylobates
lar ), simpai ( Presbytis melalobates ), beruk ( Macaca nemestrina ) dan monyet
ekor panjang ( Macaca fascicularis ). Untuk jenis reptilia tercatat terdapat 10 jenis
sedangkan dari jenis amfibi tercatat 6 jenis, salah satunya katak bertanduk
( Mesophyrs nasuta ). Di samping itu juga tercatat 306 jenis burung dari 49 famili,
diantaranya 8 jenis burung endemik seperti tiong sumatera (Cochoa becari),
puyuh gonggong (Arborophila rubirostris), celepuk ( Otus stresemanni ), burung
abang pipi/sempidan sumatera ( Laphora inornata ) (DEPHUT 2009).
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
32/84
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di
Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi
Sumatera Barat untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan data. Pengolahan
dan analisis data dilaksanakan di Laboratorium Pemodelan Spasial dan Analisis
Lingkungan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Peta lokasi penelitian untuk kegiatan
pengambilan dan pengamatan data dapat dilihat pada Gambar 4.
Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yaitu pada bulan Juli-Desember
2009. Kegiatan pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada 3 bulan pertama dan 3 bulan selanjutnya digunakan untuk kegiatan pengolahan dan
analisis data.
Gambar 4 Peta lokasi penelitian.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
33/84
17
4.2. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan
data tapir yaitu:
1. Global Positioning System (GPS)
2. Pita meter
3. Kompas
4. Alat tulis
5. Tallysheet
6. Kamera digital.
Untuk kegiatan pengolahan dan analisis data, alat dan bahan yang
dibutuhkan yaitu:
1. Satu paket Sistem Informasi Geografis (SIG)
2. Perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1
3. Perangkat lunak ArcGIS 9.3
4. Perangkat lunak Microsoft Excell 2007
5. Perangkat lunak SPSS 15.0
6. Peta tata batas kawasan TNKS
7. Peta rupa bumi Indonesia
8. Citra landsat TM path 127 row 61.
4.3. Tahapan Penelitian
Pemodelan spasial kesesuaian habitat tapir merupakan proses peninjauan
dan penilaian kebutuhan hidup ( life requesites ) tapir terhadap faktor-faktor
penentu kualitas habitat tapir yang diketahui berdasarkan literatur, yaitu meliputi
biomassa vegetasi (berkaitan dengan nilai indeks vegetasi) (Rakhmat 1999),
ketersedian air (jarak dari sungai) (Rakhmat 1999), topografi (kemiringan lereng
dan ketinggian) (Novarino et al. 2005; Holden et al. 2003) dan tekanan manusia
(jarak dengan jalan dan jarak dengan tepi hutan) (Rakhmat 1999). Penyusunan pemodelan spasial ini dimulai dengan pengumpulan data primer dan sekunder,
yang meliputi data survey di lapangan, data peta digital, dan studi literatur.
Data peta digital merupakan data masukan ( data input ) yang diperoleh
dari analisis peta dan survey lapangan. Proses analisis peta akan menghasilkan 6
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
34/84
18
peta tematik ( layer ) yang digunakan untuk pemodelan, yaitu peta ketinggian, peta
kemiringan lereng, peta jarak dengan sungai, peta jarak dengan jalan, peta jarak
dengan tepi hutan, dan peta nilai NDVI ( Normalized Difference Vegetation
Index). Data survey lapangan diperoleh dengan metode jalur ( transect ) akan
menghasilkan data titik-titik sebaran tapir dan analisis vegetasi akanmenghasilkan data mengenai karakteristik habitat. Data titik sebaran tapir
kemudian diidentifikasi ( Summarize zone ) komponennya terhadap tiap layer dan
dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama ( Principle
Component Analysis/ PCA) untuk mendapatkan nilai bobot untuk masing-masing
layer . Selanjutnya semua layer di tumpang tindih sesuai dengan bobotnya
masing-masing sehingga diperoleh model berupa peta kesesuaian habitat tapir.
Hasil model berupa peta kesesuaian habitat tapir kemudian diuji (validasi)
kembali dengan mereferensi kembali areal lokasi penelitian. Secara umum
tahapan penelitian dapat dilihat pada bagan alir tahapan penelitian (Gambar 5).
4.4. Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer
yang dikumpulkan merupakan data utama yang diperlukan untuk penelitian,
meliputi data survey lapangan dan data spasial yaitu:
1. Karakteristik habitat, meliputi kerapatan individu vegetasi
2. Titik sebaran (distribusi) tapir yang diperoleh dengan mengambil titik pada
GPS
3. Peta ketinggian
4. Peta kemiringan lereng
5. Peta jarak dengan sungai
6. Peta jarak dengan jalan
7. Peta jarak dengan tepi hutan
8.
Peta nilai NDVI.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
35/84
Gambar 5 Bagan alir tahapan penelitian.
Analisis Peta
Citra LandsatPeta Rupa BumiPeta Topografi
Peta KemiringanLereng
PetaKetinggian
Peta Jarakdengan Sungai
Summarize Zones
AKU/PCA
Bobot
Tumpang Tindih ( Overlay )a.Fk1 + b.Fk2 + c.Fk3 + d.Fk4 + e.Fk5 + f.Fk6
Peta Keses
Habitat T
Validas
Akurasi M
Tidak
Peta Jarakdengan Jalan
Peta Jarak denganTepi Hutan
Peta PenutupanLahan
Peta Nilai NDVI
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
36/84
20
Data sekunder berupa studi literatur untuk mendukung data lapangan dan
analisis data.
4.5.
Metode Pengumpulan Data4.5.1. Inventarisasi Tumbuhan
Inventarisasi tumbuhan dilakukan untuk mengetahui kondisi vegetasi
habitat tapir pada daerah riparian. Data tersebut diperoleh dengan cara melakukan
analisis vegetasi menggunakan metode jalur berpetak, dimana petak berukuran
20m x 20m untuk pohon, petak berukuran 10m x 10m untuk tiang, petak
berukuran 5m x 5m untuk pancang, petak berukuran 1m x 1m untuk semai
(Gambar 6). Transek yang digunakan sepanjang 2 km dengan arah tegak lurus dari
sungai Plangai.
Gambar 6 Bentuk petak contoh analisis vegetasi.
4.5.2. Metode Transek
Metode ini dilakukan untuk mengetahui distribusi (secara spasial) tapir
dengan menggunakan alat bantu GPS. Akan dilakukan pencatatan pada setiap titik
perjumpaan tapir secara langsung atau tidak langsung berupa tapak dan kotoran(Gambar 7).
10m
10m
2 Km
5 m
2 m
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
37/84
21
Gambar 7 Bentuk perjumpaan tidak langsung tapir. Ket: (a) Tapak tapir; (b)Kotoran tapir.
4.5.3. Pembangunan Data Spasial
Pembangunan data spasial dilakukan dengan mengolah dan menyimpan
data yang diperoleh ke dalam bentuk peta-peta tematik ( layer ), yaitu peta
ketinggian, peta kemiringan lereng, peta jarak dengan sungai, peta jarak dengan
jalan, peta jarak dengan tepi hutan, dan peta nilai NDVI.
Peta kemiringan lereng dan ketinggian tempat dibuat dari data kontur
(vektor) yang dianalisis dengan menggunakan Erdas Imagine 9.1 . Proses
pembuatannya disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Proses pembuatan ketinggian tempat dan peta kemiringan lereng.
Data Vektor Kontur
Surface (Erdas Imagine 9.1)
Digital Elevetion Model
Peta Ketinggian Slope
Peta Kemiringan Lereng
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
38/84
22
Peta jarak dengan sungai dan peta jarak dengan jalan dibuat dari data
jaringan sungai dan data jaringan jalan yang dianalisis dengan menggunakan
ArcGis 9.3 dan Erdas Imagine 9.1 . Proses pembuatannya disajikan pada Gambar
9.
(a) (b)
Gambar 9 Proses pembuatan peta. Ket: (a) peta jarak dengan sungai dan (b) peta jarak dengan jalan.
Peta jarak dengan tepi hutan dibuat dari peta penutupan lahan yang
dianalisis dengan menggunakan ArcGis 9.3 dan Erdas Imagine 9.1 . Peta
penutupan lahan dibuat dengan melakukan pengolahan data citra landsat TM path
127 row 61 dengan menggunakan Erdas Imagine 9.1 . Proses pembuatan peta jarak dengan tepi hutan disajikan pada Gambar 10.
Peta Jalan
Peta Jarak dengan Jalan
Straight Line
ArcGis 9.3
Reclassify
Peta Sungai
Straight Line
ArcGis 9.3
Reclassify
Peta Jarak dengan Sungai
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
39/84
23
Gambar 10 Proses pembuatan peta jarak dengan tepi hutan.
Peta nilai NDVI ( Normalized Difference Vegetation Index) dibuat
berdasarkan citra Landsat TM path 127 row 61 dan dianalisis dengan
menggunakan Erdas imagine 9.1. Proses pembuatan peta nilai NDVI disajikan
pada Gambar 11.
Gambar 11 Proses pembuatan peta NDVI.
Citra Landsat TM
Model Marker(Erdas Imagine 9.1)
Peta NDVI
Koreksi geometrik
Citra Landsat TM
Koreksi geometrik
Klasifikasi Terbimbing(supervised classification )
Validasi
Peta Penutupan Lahan
Straight line(ArcGis 9.3)
Reclassify(ArcGis 9.3)
Peta Jarak denganTepi Hutan
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
40/84
24
4.6. Analisis Data
4.6.1. Analisis Vegetasi
Hasil inventarisasi vegetasi kemudian dihitung nilai kerapatan jenis dan
frekuensi jenisnya dengan menggunakan rumus berikut:Kerapatan jenis
K =Jumlah individu
Luas petak contoh KR =
Kerapatan suatu jenis
Kerapatan seluruh jenis x 100%
Keterangan: K = Kerapatan
KR = Kerapatan Relatif
Frekuensi Jenis F =
Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh plot FR =
Frekuensi suatu jenis
Frekuensi seluruh jenis x 100%
Keterangan: F = Frekuensi
FR = Frekuensi Relatif
Keanekaragaman jenis vegetasi ditentukan dengan menggunakan Indeks
Keanekaragaman Shannon-Wiener dengan rumus:
H’ = - ∑ pi ln pi
Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman jenis
Pi = Proporsi nilai penting
Ln = Logaritma natural
Proporsi kelimpahan jenis vegetasi dihitung dengan menggunakan indeks
kemerataan ( Index of Evennes ) yaitu :
E = H’/ln S
Keterangan : S = Jumlah jenisLn = Logaritma natural
Kekayaan jenis vegetasi dihitung dengan menggunakan indeks kekayaan
jenis Margalef, yaitu :
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
41/84
25
Keterangan: D Mg = Indeks kekayaan Margalef
S = Jumlah jenis
N = Jumlah total individu
Ln = Logaritma natural
Untuk melihat kesamaan komunitas jenis vegetasi antar lokasi penelitian,
indeks yang digunakan adalah indeks kesamaan jenis Jaccard, yaitu
IS =a
a + b + c
Keterangan: IS = Indeks kesamaan jenis Jaccard
a = Jumlah jenis yang terdapat di lokasi 1 dan 2
b = Jumlah jenis yang hanya terdapat di lokasi 1
c = Jumlah jenis yang hanya terdapat di lokasi 2
Untuk melihat tingkat kesamaannya, digunakan dendogram dari komunitas
vegetasi antar lokasi. Penggunaan dendrogram ini akan mempermudah dalam
melihat hubungan antar lokasi.
4.6.2. Analisis Regresi Sederhana
Analisis regresi sederhana dilakukan untuk melihat hubungan antara nilai
NDVI dengan kerapatan total vegetasi pada titik ditemukannya temuan tapir
sepanjang jalur transek vegetasi. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
software SPSS 15.0 untuk mendapatkan model persamaan regresi sebagai berikut:
Y = a + bX
Keterangan : Y = NDVI
a = Konstanta regresi
b = Koefisien
X = Kerapatan total vegetasi
DMg = S-1/ln (N)
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
42/84
26
Selang kepercayaan untuk persamaan ini ditetapkan sebesar 95%. Model
persamaan tersebut kemudian di uji regresi untuk melihat signifikasi model yang
telah dibuat dilihat dari nilai probabilitasnya. Model dapat diterima jika nilai
probabilitasnya < 0,05.
4.6.3. Analisis Spasial
Dengan menggunakan SIG titik sebaran (distribusi) tapir dianalisis faktor-
faktor spasialnya seperti ketinggian, kemiringan lereng, jarak sungai, jarak dari
jalan, jarak dengan tepi hutan, dan nilai NDVI untuk mendapatkan bobot. Analisis
spasial dilakukan dengan metode pembobotan ( weighting ), pengkelasan ( class ),
pengharkatan ( scoring ), dan tumpang tindih ( overlay ). Penetapan bobot, kelas,
dan score diurutkan berdasarkan nilai kepentingan untuk kriteria kesesuaianhabitat bagi tapir. Terdapat tiga penilaian bobot dengan nilai tertinggi menunjukan
faktor habitat yang sangat berpengaruh, nilai tengah menunjukan faktor habitat
yang berpengaruh, dan nilai terendah menunjukan faktor habitat yang kurang
berpengaruh. Model matematika yang digunakan yaitu:
a. Nilai skor klasifikasi kesesuaian habitat tapir
Skor ∑ Wi FKi
Keterangan : Skor = Nilai dalam penetapan klasifikasi kesesuaian habitat
Wi = Bobot untuk setiap parameter
Fki = Faktor kelas dalam parameter
b. Nilai selang skor klasifikasi kesesuaian habitat tapir
SelangSmaks Smin
K
Keterangan : Selang = nilai dalam penetapan selang klasifikasi kesesuaian
habitat
Smaks = Nilai skor tertinggiSmin = Nilai skor terendah
K = Banyaknya klasifikasi kesesuaian habitat
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
43/84
27
c. Nilai kelas kesesuaian habitat tapir
KKH n = S min + Selang
dan/atau
KKH n = KKH n-1 + Selang
Keterangan : KKH n = Nilai Kelas Kesesuaian Habitat ke-n
KKH n-1 = Nilai Kelas Kesesuaian Habitat sebelumnya
Selang = Nilai dalam penetapan selang klasifikasi
kesesuaian habitat
Smin = Nilai skor terendah
d. Nilai validasi klasifikasi kesesuaian habitat tapir
Validasi model dilakukan untuk mengetahui nilai akurasi kelas kesesuaianhabitat tapir dengan menggunakan titik perjumpaan tapir yang diperoleh dari hasil
survei lokasi yang dilakukan oleh Tim Monitoring Harimau Sumatera (MHS)
Fauna and Flora International-Kerinci Seblat Programme (FFI-KSP) . Validasi
dilakukan dengan membandingkan jumlah seluruh titik perjumpaan tapir yang
terdapat di tiap kelas kesesuaian habitat dengan jumlah seluruh titik perjumpaan
tapir yang digunakan untuk validasi.
Validasin
N x 100%
Keterangan : n = jumlah titik perjumpaan tapir pada satu kelas
kesesuaian
N = jumlah titik perjumpaan tapir
4.6.4. Analisis Komponen Utama ( Principle Component Analysis )
Penggunaan Principle Component Analysis (PCA) dibantu dengan
menggunakan software SPSS 15.0. PCA dilakukan untuk mengetahui faktor yang
paling berpengaruh terhadap sebaran tapir berdasarkan titik distribusi tapir yang
ditemukan (langsung dan tidak langsung) dengan masing-masing layer
(ketinggian, kemiringan lereng , jarak dari sungai, jarak dari jalan, jarak dari tepi
hutan dan nilai NDVI). Dari hasil tersebut selanjutnya dapat ditentukan bobot dari
masing-masing faktor yang mempengaruhi kesesuaian habitat tapir.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
44/84
28
4.6.5. Analisis Deskriptif
Hasil yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif dalam
bentuk tabel, grafik, dan gambar. Gambar yang disajikan diantaranya berupa peta
tematik masing-masing faktor spasial serta peta kesesuaian habitat tapir. Untukmemperkuat hasil dan analisis data akan digunakan literatur.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
45/84
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Vegetasi
5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai
Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak
lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan total panjang transek sepanjang 2 km.
Pemilihan Hulu Sungai Plangai sebagai lokasi transek didasarkan pada banyaknya
jejak tapir yang ditemukan di sekitar sungai dibandingkan dengan sungai lainnya
seperti Sungai Lengayang. Hulu sungai Plangai yang menjadi lokasi pengamatan
merupakan sumber air tetap yang dapat digunakan tapir karena sungai tersebut
mengalir sepanjang tahun tanpa dipengaruhi musim. Pengaruh musim terhadap
hulu sungai Plangai yaitu pada jumlah debit air. Aliran air hulu sungai Plangai
pada tiga lokasi pengamatan mengalir tenang (tidak deras) dengan kedalaman
sungai berkisar 10-50cm seperti terlihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Kondisi hulu sungai Plangai.
Hasil analisis vegetasi ditemukan sebanyak 50 jenis vegetasi (Lampiran 1)
baik berupa semai, pancang, tiang, maupun pohon yang mana pada masing-
masing tingkat vegetasi tersebut memiliki jumlah jenis yang berbeda seperti
terlihat pada Gambar 13.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
46/84
Rak
agi tapir b
struktur ve
enunjukan
Syzigium s
81,75 ind/h
ada tingka
aling ting
itemukan d Tapi
semai dan
akan tapir
sungai. Ber
emiliki ke
enis ini jug
ada tingka
erapatan sanyak dite
Kea
eanekaraga
seluruh ting
0
10
20
30
40
50
60
Ga
mat (1999)
rupa rimbu
getasi yan
pada daer
.) memilik
dan lebih
t tiang, jen
i dengan
engan nilaitermasuk
pancang se
menyukai
dasarkan h
rapatan pali
a yang pali
pancang je
besar 904 iukan deng
ekaragama
man Shan
at vegetasi
21
Semai
bar 13 Dia
menyataka
nan pohon
lebih ra
h pinggira
i kerapatan
banyak dit
s Jambu-ja
nilai kerap
frekuensi se jenis satwa
agai paka
daerah yan
sil analisis
ng tinggi d
g banyak d
nis Plangeh
nd/ha dan jn nilai frek
jenis
n-Wiener,
di lokasi p
37
Pancang
ram jumla
bahwa te
ang berdau
at dan b
sungai (ri
paling ting
emukan de
mbu ( Syzig
tan sebesa
besar 0,51.browser da
. Dalam k
dekat den
vegetasi p
ngan nilai
itemukan d
memiliki k
enis Jambu-uensi sebes
vegetasi
dimana nil
nelitian ber
28
Tiang
jenis veget
uhan ( ther
lebar dan
eragam. H
arian), jeni
i dengan
gan nilai f
um sp .) ju
r 104 ind/
n menyukai
emudahan
an peraira
ada tingkat
erapatan se
ngan nilai
rapatan pal
jambu ( Syzr 0,63.
itunjukan
ai indeks
ada pada ki
32
Pohon
asi.
al cover )
semak belu
sil analisi
s pohon Ja
ilai kerapat
ekuensi se
a memiliki
a dan leb
vegetasi p
ergerak da
seperti da
semai, jen
besar 4850
rekuensi se
ing tinggi d
gium sp.) y
oleh nil
eanekaraga
saran angka
50
Total
30
ang cocok
ar dengan
s vegetasi
bu-jambu
an sebesar
esar 0,56.
kerapatan
ih banyak
da tingkat
n mencari
erah aliran
is Plangeh
ind/ha dan
besar 0,50.
engan nilai
ang paling
i indeks
man pada
1,93–2,27
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
47/84
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
48/84
32
5.1.2. Kondisi Habitat Tiap Transek
Pengambilan data vegetasi dilakukan pada tiga lokasi yang berbeda
dengan panjang masing-masing transek adalah 700 meter untuk Jalur 1, 600 meter
untuk Jalur 2, dan 700 meter untuk Jalur 3. Masing-masing transek memiliki nilaiindeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks kekayaan jenis yang
berbeda seperti dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Indeks keanekaragaman, indeks kekayaan, dan indeks kemerataan tiaptransek
No Transek TingkatIndeks
Keanekaragaman(H’)
IndeksKekayaan
(DMg )
IndeksKemerataan
(E)
JumlahTemuan
PerjumpaanTapir
BentukTemuan
PerjumpaanTapir
1. Jalur 1
Semai 1,44 2,08 0,58
3 Kotoran (2)Tapak (1)Pancang 1,51 1,91 0,61Tiang 1,51 2,06 0,63
Pohon 1,42 2,06 0,54
2. Jalur 2
Semai 1,45 2,48 0,55
2 Tapak (2)Pancang 1,47 3,56 0,52
Tiang 1,66 2,54 0,65
Pohon 1,78 2,83 0,61
3. Jalur 3
Semai 1,88 2,59 0,71
4 Kotoran (2)Tapak(2)
Pancang 2,47 4,90 0,75
Tiang 2,54 4,97 0,80
Pohon 2,44 4,71 0,73
Indeks kesamaan jenis vegetasi dan dendogram menunjukan seberapa
kesamaan antar komunitas vegetasi antar transek (Tabel 4 dan Gambar 14).
Tabel 4 Indeks kesamaan jenis vegetasi tiap transek
Transek 1 Transek 2 Transek 3Transek 1 1 0,46 0,38Transek 2 1 0,38Transek 3 1
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
49/84
33
Gambar 14 Dendrogram kesamaan jenis vegetasi antar jalur.
Transek 1 dan transek 2 memiliki nilai indeks kesamaan tertinggi sebesar
0,46 artinya kedua transek tersebut memiliki kesamaan komunitas jenis vegetasi
tertinggi dibandingkan terhadap transek 3. Hal ini dapat terjadi karena jarak antar
transek 1 dan transek 2 cukup dekat yaitu hanya berkisar antara 100 meter hingga
200 meter memotong hulu sungai Plangai dengan arah yang berlawanan.
Meskipun demikian, perbedaan nilai indeks kesamaan vegetasi tidak bernilai
cukup besar karena kondisi habitat ketiga transek tersebut sama yaitu mewakili
satu tipe habitat hutan hujan pegunungan bawah yang belum terganggu. Dilihat
dari nilai indeks keanekaragaman, indeks kekayaan, dan indeks kemerataan dari
transek 1 hingga transek 3 menunjukan peningkatan nilai indeks. Begitu juga
dengan penemuan tapir secara tidak langsung berupa tapak dan kotoran
menunjukan penambahan tingkat pertemuan yaitu 3 temuan pada transek 1 , 2temuan pada transek 2, dan 4 temuan pada transek 3.
Pada seluruh jalur, jarak antara tepi sungai dan punggungan gunung cukup
dekat sehingga pada jarak 100 hingga 300 meter dari tepi sungai pada seluruh
transek telah ditemukan jalur satwa pada punggungan gunung. Jalur satwa
tersebut diindikasi sebagai jalur satwa aktif terlihat dari bukaan jalur akibat
pergerakan/perpindahan satwa. Jalur tersebut cukup lurus mengikuti punggungan
gunung dan memiliki kelerengan curam pada kiri kanannya. Tapir termasuk satwa
yang menggunakan jalur tesebut karena ditemukan tapak dan kotoran tapir pada jalur-jalur satwa tersebut. Menurut Rakhmat (1999), dalam melakukan gerak
berpindah, tapir cenderung berjalan lurus dalam jalan utamanya namun apabila
dalam perjalananya tapir menemukan tumbuhan pakannya maka aktivitas gerak
berpindah akan diselingi dengan aktivitas makan.
0,30,40,5
Jalur 1
Jalur 2
Jalur 3
0,380,46
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
50/84
34
Berbeda dengan jalur pada punggungan gunung, pada jarak 100 hingga
300 meter dari tepi sungai tidak ditemukan jalur satwa yang tetap. Tumbuhan
bawah dan semai juga terlihat lebih rapat. Mekipun demikian tetap ditemukan
temuan tapak dan kotoran tapir dan satwa lainnya dengan pola yang tidak
beraturan. Jenis pohon yang tumbuh pada daerah ini juga lebih beragam
dibandingkan dengan daerah punggungan gunung yang cenderung lebih
mengelompok dan didominasi pada jenis tertentu saja.
5.2. Komponen dalam Pemodelan Kesesuaian Habitat Tapir
5.2.1. Ketinggian Tempat
Tapir ditemukan diberbagai ketinggian pada semua habitat dari dataran
rendah yaitu pada hutan payau dengan ketinggian 50 m dpl hingga hutan dataran
tinggi dengan ketinggian 2.400 m dpl (Holden et al. 2003). Santiapillai dan
Ramono (1990) mengatakan bahwa tapir dapat ditemukan pada berbagai tipe
hutan Sumatera seperti hutan rawa, hutan dataran rendah, hutan perbukitan, dan
hutan pegunungan bawah.
Hasil analisis peta diketahui lokasi penelitian berada pada ketinggian 545–
2.011 m dpl. Oleh karena itu berdasarkan ketinggian tempat, lokasi penelitian
dibedakan menjadi tiga tipe hutan yaitu tipe hutan dataran rendah dan perbukitan
(lowland and hill forest ) dengan ketinggian 0-600 m dpl, hutan pegunungan
bawah ( sub-montana forest ) dengan ketinggian 600-1.500 m dpl dan hutan
pegunungan ( montana forest ) dengan ketinggian >1.500 m dpl. Luas masing-
masing tipe hutan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Luas tiap kelas ketinggian
No Kelas Ketinggian (m pdl) Tipe Hutan Luas (Ha)
1 0 - 600 Dataran rendah dan perbukitan 41,582 600 – 1.500 Pegunungan bawah 20.918,43
3 >1.500 Pegunungan 6.222,33
Hasil identifikasi 71 jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian
terhadap ketinggian tempat, tapir lebih banyak ditemukan pada hutan pegunungan
bawah (35 jejak) dan hutan pegunungan (36 jejak). Hal ini dikarenakan lokasi
penelitian lebih didominasi oleh kedua tipe hutan tersebut dibandingkan dengan
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
51/84
35
hutan dataran rendah dan hutan perbukitan. Kondisi hutan dataran rendah dan
perbukitan pada lokasi penelitian umumnya telah banyak berubah fungsi menjadi
lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman manusia. Peta ketinggian pada
lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 15.
5.2.2. Kemiringan Lereng
Jaya (2002) mendefinisikan kemiringan lereng atau slope merupakan
ukuran kemiringan dari suatu permukaan yang dapat dinyatakan dalam derajat
atau persen. Menurut Novarino et al. (2005), tapir lebih menyukai daerah yang
datar dan basah dibandingkan dengan daerah yang kering dan memiliki topografi
dan kemiringan yang curam.
Pengelompokan kelas kemiringan lereng didasarkan pada tabel kriteria penetapan hutan lindung menurut SK Menteri Pertanian No.
837/Kpts/Um/II/1980. Luas masing-masing kelas kemiringan lereng dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6 Luas tiap kelas kemiringan lereng
No Kemiringan Lereng (%)Kategori Kelas Kemiringan
Lereng Luas (Ha)
1 0 - 8 Datar 458,192 8 – 15 Landai 1.501,473 15 – 25 Agak Curam 4.692,064 25 – 40 Curam 10.571,475 >40 Sangat Curam 9.958,95
Hasil identifikasi jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian terhadap
kemiringan lereng, tapir lebih banyak ditemukan pada daerah yang agak curam
(19 jejak). Temuan tapir juga banyak ditemukan pada daerah curam (17 jejak),
sangat curam (17 jejak), dan landai (15 jejak). Temuan jejak tapir sangat sedikit
ditemukan pada kelerengan datar (3 jejak) karena pada lokasi penelitian sangat
sedikit daerah yang kemiringan lerengnya datar.
Peta kemiringan lereng pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar
16.
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
52/84
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
53/84
-
8/18/2019 Dieta Arbaranny Koeswara 2010
54/84
38
5.2.3. Jarak dengan Sungai
TNKS mempunyai peran hidrologi yang penting dalam menyediakan air
untuk wilayah sekitarnya karena TNKS cukup banyak dialiri oleh sungai-sungai
besar. Terdapat beberapa sungai besar yang mengalir pada lokasi penelitian,diantaranya Sungai Lengayang, Sungai Plangai dan Sungai Belantik. Sungai-
sungai besar di daerah ini lebih kenal dengan sebutan “batang” sehingga
sebutannya menjadi Batang Lengayang, Batang Plangai, dan Batang Belantik.
Selain dialiri oleh sungai besar, lokasi penelitian juga banyak dialiri oleh anak-
anak sungai (sungai kecil) yang mengalir sepanjang tahun.
Air merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup. Alikodra (1990)
menyebutkan salah satu faktor pembatas yang sangat penting bagi kehiudpan
satwaliar adalah air. Berdasarkan penelitian Rakhmat (1999) tapir lebih seringmenggunakan air sungai untuk keperluan sebagai air minum dan mandi meskipun
kebutuhan akan air juga didapat oleh tapir dari vegetasi pakannya terutama dari
pucuk daun dan ranting muda. Dari segi ketergantungan terhadap air, tapir
dikategorikan sebagai binatang water dependent species , artinya binatang yang
memerlukan air untuk penghancuran makannya dan memerlukan air setiap hari
untuk berkubang/mandi
Pada penelitian kali ini, pembagian kelas jarak dengan sungai dibagi
menjadi 5 kelas dengan jarak antar kelas sebesar 250 m. Luas masing-masingkelas jarak dengan sungai dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Luas tiap kelas jarak dengan sungai
No Jarak dengan Sungai (m) Luas (Ha)
1 0 - 250 19.168,742 250 – 500 6.899,943 500 – 750 971,734 750 – 1.000 129,425 >1.000 12,51
Hasil identifikasi 71 jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian
terhadap jarak dengan sungai, hampir seluruh jejak (68 jejak) berada di jarak 0–
500 m dari sungai yaitu 31 jejak pada jarak 0-250 m dan 37 jejak pada jarak 250-
500 m. Hanya 1 jejak yang ber