digital teori new media

Upload: david-robert

Post on 14-Jul-2015

47 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

http://mahinaufafa.blogspot.com/2011/10/digital-teori-new-media.html 1 Oktober 2011 DIGITAL TEORI (NEW MEDIA) Tidak ada satupun kerangka teori atau suatu metode yang baku yang dipakai dalam mempelajari New Media (Media baru). pengertian dan pemahaman akan sebuah new med ia sangatlah kompleks dan beragam, sehingga menjadi tidak mungkin atau terlalu n af bila kita menggunakan pendekatan metodologis dan teoritis yang pernah diungkap kan atau dibuat, dan dianggap sebagai sebuah definisi. Memang seperti yang David Bell tunjukkan dalam bab berikut mengatakan bahwa kompleksitas teori yang mengk ategorikan new media bisa saja direfleksikan pada kondisi dalam penggunaan Net s erta penelitian akan Web sekarang ini. Refleksi dari hal ini menunjukkan keterbu kaan akan pengartian maksud dari New Media yang bisa kita ambil dan kita salin d ari berbagai metode dan pendekatan teoritis yang berbeda. Namun, meski kita tida k bisa melihat dan menangkap pengertian akan hal ini secara jelas, hal ini tidak boleh menghalangi kita untuk bisa menempatkan dan mengeksplorasi sebuah pengert ian baru, baik secara teoritis maupun metodologis yang mungkin bisa lebih baik d an mencerminkan media yang ada sekarang ini. Jika kita bisa menghargai apa yang bisa saja menjadi sebuah pendekatan teoritis baru ,akan new media, sangat krusial buat kita untuk bisa menguraikan cara sebua h media untuk cenderung dianalisis dan dijelaskan secara historis. Hal ini dikar enakan daripada hanya sekedar menjadi sebuah kajian sistematis yang menghapus ka jian yang sebelumnya, kajian pendekatan teori yang baru ini tidak bisa dilepaska n dari sebuah proses pengembangan atas reaksi media yang telah dipahami dan menj adi teori sebelumnya. Dalam rangka memperjelas debat mengenai historis ini, saya pertama kali akan mendiskusikan media yang sudah ada sebelumnya namun dalam pem bahasan/konteks yang lebih modern, lalu mulai pada diskusi pada hubungan antara media post-modern, media post-stuctural, sampai dengan sesuatu hal yang disebut dengan new media. Pandangan Modernisasi dan Media Tua(Post Modern Media). Dimulai pada sekitar akhir abad ke Sembilan belas, modernisasi adalah sebuah ist ilah yang kami berikan pada cara masyarakat dalam merespons pada perubahan di ma sa revolusi industri. Dengan berakar pada masa Penerangan di periode abad ke-18, modernisasi cenderung menentang pada pandangan theokratis dan anggapan God-Cent ered (berpusat pada Tuhan) dimana anggapan ini mengatakan bahwa Tuhanlah yang te lah membantu mendefinisikan bagaimana hubungan manusia-masyrakat di masa lampau. Gagasan ini antara lain teori evolusi di dalam biologi, komunisme di dalam poli tik, teori relatifitas dalam bidang fisika, dan pengembangan teori psikoanalis y ang mencoba menjelaskan alam semesta dalam terminologi quasi-scientific atau ilm iah. Dengan cara ini, pandangan modern cenderung menantang dan mengubah dengan c epat pandangan religius dan mistis dari dari dunia pada masa pre industri. Dengan kepercayaan bahwa science tidak bisa dilepaskan dari proses kemajuan, ban yak aspek dari modernisasi yang optimis bahwa proses ini memiliki kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia menjadi lebih baik. Bagaimanapun juga, seperti halny a progress di abad ke dua puluh, efek paling negatif ilmu pengetahuan(science) d an industrialisasi(dalam beberapa hal terjadi pada masa Perang Dunia I, dan Pera ng Dunia II) meningkat tajam sangat jelas dan brutal. Dalam beberapa hal, banyak para pembaharu (modernis) yang juga merasa industrialisasi sebagai musuh dari p emikiran bebas, dan individualitas; dimana menurut mereka, indutrialisasi mencip takan dunia yang dingin, dan tidak memiliki jiwa. Untuk alasan itulah reaksi mod ernisasi atas sebuah modernitas seringkali dirasakan sebagai asa yang berlawanan , di satu sisi dirasakan sebagai sebuah perayaan atas masuknya era teknologi, di sisi lain mengutuk akan hal itu (Hall 1995:17). Dalam keadaan yang bertentangan seperti ini banyak para pembaharu berusaha untuk merefleksikan kekacauan dan penyalah artian tersebut justru sebagai bagian dari

proses modernisasi. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan teknologi dan i lmu pengetahuan, merubah pandangan kita akan masyarakat dan diri kita sendiri. O leh karenanya para seniman dan kaum intelektual mencari jalan baru untuk merefle ksikan dan mengartikulasikan fragmentasi ini menjadi dunia baru yang berani. Kaum penganut Surealisme dengan jelas mendramatisasikan pandangan Freuds sebagai sebua h kekuatan mimpi dan ketidaksadaran, sementara para kaum Futuris menyertai cinta mereka untuk mesin, teknologi, dan kecepatan. Selain itu ada pula sebuah ketert arikan yang selalu disertakan dalam banyak ungkapan artistik ini, seperti schizo phrenia (penyakit jiwa) akan pengalaman modern yang diungkap dalam novel stream o f coonscoisness(arus kesadaran), sementara ada pula lukisan Abstract Expressionis ts yang mengungkapkan kekacauan, anarkisme, idiosyncratic dan nihilistic pemanda ngan dari dunia yang modern. Tersembunyi dalam gerak yang artistic juga merupakan kepercayaan bagi seorang pe mbaharu dalam perannya sebagai seorang seniman, figur romantis yang sering digam barkan dengan seorang pahlawan jenius yang mengucilkan dirinya sendiri dan memil iki kemampuan untuk merevolusi seni dan dunia di sekitar kita, serta mampu meleb ihi keduanya. Hal ini diungkapkan oleh David Harley sebagai perjuangan untuk men ghasikan suatu seni karya yang baik, untuk sekali, dan semua kreasi dimana semua kreasinya bisa menemukan tempatnya sendiri dalam pasar, serta harus merupakan s ebuah usaha individual yang bisa menembus lingkaran kompetisi (Penekanan sesuai dengan aslinya, 1990:2). Dan itu semua adalah sebagian kepercayaan modernisasi d alam kekuatan seni dimana seniman mengubah bentuk dunia itu yang dibelakangnya p enuh dengan kecurigaan dan rasa tidak suka akan jenis kebudayaan sehari-hari yan g sering ditemukan dalam novel, bioskop, televisi, komik, koran, majalah, suratk abar, dsb.. Sebagaimana yang Andreas Huyssen utarakan Pandangan modernisasi hampi r scara konsisten tidak peduli akan permusuhan di antara kultur masyarakat(1986: 238), membantah bahwa hanya seni yang bernilai tinggi saja (khususnya seni tingg i seperti halnya avant garde), yang bisa mendukung peran sosial dan kritik akan estetika. Ini adalah ketegangan diantara dua pandangan yang ekstrim(kebudayaan m asyarakat yang tanpa perimbangan, melawan seni tinggi avant garde) yang mungkin seca ra eksplisit bisa menggambarkan reaksi atas modernisasi terhadap sebuah media pa da pengembangan awal di sepanjang abad ke dua puluh. Banyak sekali contoh yang merefleksikan penghinaan modernisasi atas sebuah media , namun salah satu kelompok intelektual yang paling terkenal dalam mengambil car a berpendirian ideologis ini adalah (The Frankfurt School (Sekolah Frakfurt)). D ikucilkan dari Negara Jerman ke Amerika sepanjang perang dunia ke II, kelompok p enganut paham Marxisme Eropa ini telah dijejali oleh kultur masyarakat Amerika yan g memiliki banyak persamaan akan produk media massanya. Khusunya sekolah ini mer asa bahwa media Amerika adalah sebuah produk industrialisasi yang sudah distanda rdisasi, serta sering pula dihubungkan dengan aspek fordism pada kultur masyarak atnya. Fordism adalah sebuah istilah terminasi untuk menggambarkan kesuksesan He nry Fords dalam industry mobil, terutama sekali peningkatan metode produksi massa lnya dan pengembangan lini perakitan pada tahun 1910. Dia menggunakan teknik pro duksi missal dimana sebuah mobil mungkin saja diproduksi dengan biaya yang lebih murah sehingga bisa dijangkau oleh warga Amerika biasa. Bagaimanapun, karena in i adalah sebuah produksi missal, maka semua model mobil Ford jenis T adalah sama persis. Ketika Ford ditanya akan di cat warna apa mobilnya nanti, Ford dengan s angat baik menjawab Warna apa saja, yang penting Hitam. Untuk seorang ahli teori Marxist dari The Frankfurt School, filosofi ford ini ju ga merupakan sebuah bukti dari segala aspek kebudayaan masyarakat, dimana segala acara tayangan televisi, film, novel, majalah, dsb.. adalah sangat identik satu sama lain. Deskripsi mereka akan Budaya Industri dengan jelas menyatakan ketidak sukaan mereka akan produk industrialisasi dan kemasan formula dari produk mereka (Amerika). Sebagai gantinya dalam menstimulasi pemirsa, produk media massa ini desain untuk menjaga masyarakat dalam tekanan mereka denga menawarkan sebuah ben tuk yang produk homogen dan terstandardisasi. Seperti yang diungkapkan Theodor W . Adorno yang menjelaskan dengan referensi (mencontohkan) pada music yang popule

r: Struktur Standardisasi Tujuan dengan Reaksi yang Baku: Saat kita mendengarkan music yang popular, itu dimanipulasi bukan hanya oleh pro moters/produser dari lagu tersebut, tapi juga oleh music itu sendiri, seperti ol eh nuansa dari musik itu sendiri, ke dalam sebuah mekanisme reaksi, dimana secar a keseluruhan bertentangan dengan gagasan individualitas akan kebebasan, dalam s ebuah masyarakat yang liberal. Beginalah cara sebuah musik dipopulerkan ke pende ngar dengan melepaskan spontanitas mereka dan mempromosikan dengan refleks yang dikondisikan sebelumnya. (Adorno [1941] 1994: 2056, penekanan sesuai dengan aslinya) Beberapa ketertarikan akan isu media ini juga datang untuk dari kebijakan penyia ran. Sebagai contoh, gagasan BBC akan jasa penyiaran publik didasari pada sejuml ah budaya, politis, dan teoritis yang ideal serupa dengan modernisasi. Dalam beb erapa hal (khusus), Direktur Utama BBC, John Reith, berargumentasi bahwa penyiar an sebaiknya digunakan untuk mempertahankan budaya yang tinggi, melawan degradasi kepribadian dan pengaruh dari budaya masyarakat. Ini adalah salah satu alasan me ngapa dia berargumentasi dengan keras, bahwa seharusnya BBC dibiayai penuh oleh perpajakan. Dengan dimikian, bisa menghindari pengaruh besar dari komersialisasi kepribadian oleh media massa Amerika. Walaupun dia memiliki pandangan politik y ang berbeda dengan Marxist seperti yang dianut oleh The Frankfurt Scholl, Reith bersedia berbagi perhatiannya akan pengaruh media massa yang begitu besar sehing ga seakan mengkorupsi audiencenya yang terlalu lemah dan tidak berpendidikan. Ini terkadang mengindikasikan kita, dalam tulisannya yang terkenal, bahwa kita keliha tannya lebih mengedepankan untuk memberikan publik apa yang mereka butuhkan, buk an yang mereka inginkan, tetapi kenyataanya sangat sedikit sekali kita tau apa y ang mereka inginkan, dan lebih sedikit lagi mengetahui apa yang mereka butuhkan ( dikutip oleh Briggs 1961:238). Persepsi/pandangan yang menggambarkan bahwa sebenarnya para audience itu secara umum adalah pasif dan mudah tertipu direfleksikan oleh analisis media dalam peri ode modernisasi, khususnya pada efek dari model atas riset audience yang diadakan. Terkadang model ini juga sering dianggap sebagai model jarum suntik. Model ini mempunyai pendekatan bahwa audience lebih cenderung untuk pasrah dan secara kons tan menerima dirinya untuk disuntik oleh pesan yang disampaikan media, seperti hal nya salah satu bentuk dari jenis obat-obatan narkotika. Riset pendengar inilah y ang dibawa/diusung oleh The Frankkfurt School sebagai sebuah bagian yang dengan jelas mempengaruhi tradisi, dimana isu ini seakan mengesahkan pandangan pesismis yang mengklaim akan adanya indoktrinasi oleh media. Dalam kaitannya dengan anal isa textual (dianggap sebagai pandangan pesimis) The Frankfurt School mempersuas ikan hal yang serupa, dengan mengkritik cara media memecah belah ideology domina n dari the bourgeoisie tersebut. Beberapa tokoh mereka a.l: Adorno(1941-1994) ya ng bekerja pada dunia music popular, Lowenthal (1961) mempelajari pada literatur e popular dan majalah, Lalu Hertogs (1941) yang mempelajari opera sabun di radio , kesemuanya menyatakan hal yang serupa akan adanya standardisasi tentang kultur media massa dan media itu sendiri. Walaupun adanya pandangan pesimis dari The Frankfurt School yang diarahkan ke me dia, masih ada hal dari media yang masih bisa dipuji untuk setidaknya mempelajar i bentuk dari modernisasi media ini secara serius dan layak untuk dijadikan seba gai studi akademik. Pryek ini lalu diteruskan dan dikembangkan oleh pergerakan s truktural yang dimana terus meningkat popular di sepanjang tahun 1950an sampai 1 960an. Sebagian tumbuh dari dari keyakinan akan kekuatan ilmu pengetahuan dan pa ndangan rasionalis, kamu structural berpendapat bahwa manusia itu terbentuk dari struktur sosi-psikologis dan linguistik dimana mereka memiliki control yang sed ikit akan itu. Kepercayaan pada pandangan rasional juga menunjukkan suatu metode bagaimana menyingkap struktur ini dengan menggunakan metode quasi-scientific in vestigasi. Suatu istilah yang dinamakan Semiotics memainkan peran sentral di dal

am usaha ini, dan diaplikasikan untuk segala macam perilaku dalam kultur-textual mulai dari bioskop hingga bidang periklanan, mulai dari hal fotografi, hingga k omik. Berdasarkan pada penelitian Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peir ce dalam bidang linguis, semiotics mengedepankan metode yang jelas dan padu, dim ana segala macam jenis text/tulisan bisa dibaca secara objektif sebagai sebuah s ystem dari sekumpulan tanda. Dengan memecahkan tanda dari sekumpulan ;tanda ini, para pakar semiotics bisa memanipulasi audience mereka secara berangsur-angsur. Seba gaimana yang dikatakan oleh Daniel Chandler, dekonstruksi dan kontes akan kenyata an dari sekumpulan tanda dapat mengungkapkan kenyataan siapa yang lebih diistime wakan, dan siapa yang lebih ditindas. Beberapa studi menunjukkan konstrukso tand a tersebut, dan pemeliharan oleh beberapa kelompok social tertentu, (penekanan da ri text asli, 2004a:15). Roland Barthess([1957] 1973) dengan sangat luar biasa mempengaruhi lewat buku Mit ologisnya dengan sangat baik, menggunakan kemampuan structural dan semiotics unt uk menganalisa semua bentuk kebudayaan dalam pertandingan gulat, mobil citroen, wajah Greta Carbo, dan bubuk sabun. Selain itu, sebagai seorang Marxist, proses menyimpulkan kepribadian akan habit membaca text didapat dari kesukaan Barthes a tas sedikit keraguan dari pandangan structural, ketika mempropgandakan ataupun m empersuasikan sebuah ideology dengan sangat luar biasa. Salah satu dari contoh k arya Barthes yang terkenal adalah karyanya akan analisa sebuah foto yang menjadi sampul majalah Paris Match pada tahun 1955. Dimana dalam sampul majalah tersebu t, ia menunjukkan seorang prajurit kulit hitam yang hormat pada bendera nasional Prancis. Barthes berpendapat bahwa ini adalah media yang memberikan gambaran po sitif akan kekaisaran Prancis dalam era krisis nasional. Jadi selama metode quas i scientific dalam pandangan struktural masih bisa membantu me-legistimasi kebud ayaan masyarakat, dan media setalah era perang dunia, maka audience dalam pandan gannya masih dianggap lemah untuk memberikan respons atas pesan yang tersembunyi dari sebuah media. (Lihat Barthes 1977). Dengan cara ini, maka kita bisa memulai mengidentifikasikan beberapa komponen ut ama dari media dan audience yang telah menjadi bahan penelitian sepanjang perten gahan awal abad ke dua puluh. Khususnya konteks dari modernisasi yang memberikan kita pemahaman teori yang mendalam cara sebuah media mengerti dan mendorong ide ologinya dimana hal ini tidak bisa dilepaskan dari kritik akan teori ini. Jenis dari pendekatan akan teori ini adalah dengan tidak mempercayai media, dengan pen dapat bahwa audience membutuhkan perlindungan dari standardisasi dan pengaruh da ri media tersebut. Hal inilah yang membedakan gagasan teori baru yang mendefinis ikan sebuah Media Baru dan perannya di abad ke 21. Pasca Modernisasi dan Media Baru. Ketika pandangan modernisasi biasanya selalu dihubungkan dengan awal tahap revol usi industry, pasca modernisasi (pertama kali dikenal dengan istilah Arsitektur, lihat Jenks 1984) lebih sering dihubungkan dengan segala perubahan pasca revolu si industri. Ekonomi era pasca - industri (terkadang juga disebut dengan istilah pasca Fordist) adalah saat dimana terjadi transisi ekonomi dari ekonomi berbasi s produksi, menjadi ekonomi berbasis jasa. Masyarakat di tandai dengan naiknya t eknologi informasi, globalisasi pasar uang, pertumbuhan di bidang jasa, munculny a para pekerja kantor, dan kemunduran industry berat (lihat Bell 1976). Oleh kar enanya tidak aneh bila kultur dan politik yang dibangun di masa pasca-industrial isasi berbeda dengan dominasi konteks modernisasi sebelumnya di masa industriali sasi. Perubahan cultural ini sebagian bisa dimengerti sebagai produk yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat konsumen dimana konsumsi dan kesenangan sekarang lebih menentukan ketimbang kerja dan produksi. Ini berarti budaya konsumsi datang dan mendominasi ketimpangan budaya; dimana pasarlah yang menentukan semua bentu k dan kebutuhan hidup kita setiap hari. Dalam dunia post-modernisasi tidak ada sat upun titik acuan diluar barang komoditas dan segala hal tentang teknologi yang t erpisah lalu secara perlahan kemudian menghilang.

Perubahan ini dalam masyarakat pasca industrialisasi dengan jelas telah mempenga ruhi pandangan dari teori kritik yang sekarang mengerti dan paham akan peran yan g sekarang dimainkan oleh media dalam masyarakat pada masa ini. Dalam beberapa h al juga telah terdapat pergeseran dari pandangan pesimis yang pernah mencoba men definisikan pendekatan yang dilakukan oleh para pembaharu seperti yang pernah di lakukan oleh The Frankfurt School. Pergeseran pandangan yang mengkritik ini dita ndai dengan apa yang telah dilakukan oleh Mcluhan. Saat Mcluhan sedang sering me nggembar-gemborkan hal yang menjadi ketertarikan para pembaharu, yaitu ideology mereka yang memengaruhi pendengar yang lemah dan tidak berdaya (lihat, sebagai c ontoh, analisis pertama Mcluhan tentang efek-efek merugikan dari penayangan ikla n The Mechanical Bride: Foklore of Industrial Man(1951)). Penelitian yang dilaku kan oleh Mcluhan ternyata sering bertentangan dengan rasa antusiasme dan kegembi raan yang jarang sekali dipikirkan oeh pembaharu teori kritik. Walaupun gaya tul isannya nampak penuh dengan kebencian akan pesan dalam media elektronik; dengan ungkapannya yang terkenal media adalah pesan, yang sering dimunculkan dalam mimic yang meniru penayangan iklan tersebut, sebenarnya dia secara tidak langsung tela h menggunakan istilah surfing, (mengacu pada cepat, tidak beraturan, dan pergeraka n multi direksional dalam sebuah dokumen).Seperti yang juga telah diungkapkan ol eh Levinson (1999) tentang Digital Mcluhan, dikatakan bahwa untuk mengantisipasi akan kekuatan dari media baru adalah dengan meningkatkan interaktif audiencenya dengan informasi elektronik yang ia terima (pp 65-79). Pergeseran teori akan konsepsi mengenai media dan audiencenya selanjutnya digaun gkan oleh para kaum post-strukturalis. Sementara kamu strukturalis secara umum m erefleksikan kebutuhan kaum modern dengan menyingkap maksud dari pesan yang ters impan dalam sebuah media, kamu post-struktural lebih cenderung untuk mengambil p andangan deterministik yang lebih sedikit tentang kepribadian dari media secara keseluruhan. Terinsipirasi oleh teori yang dikembangkan oleh Louis Althusser(197 1) dan Antonio Gramsci (1971), analisa mengenai media secara berangsur-angsur mu lai menerima teori bahwa ideologi dalam media sebenarnya lebih kompleks dari apa yang dibayangkan pertama kali. Dimana audiences sekarang sudah bisa membalas pe san yang disampaikan oleh media sehingga mereka menjadi apa yang disebut dengan p olysemic yaitu mampu berinteraksi dengan penyampaian pesan bertingkat yang disamp aikan oleh media.(lihat Fiske 1998 62-83). Hal yang a sebuah rkembang di bawah tidak bisa dilepaskan ini bermakna bahwa para kaum modern mendesak bahw media teks bisa dijabarkan menjadi sebuah makna ideology, yang terus be sehingga tidak bisa dipertahankan. Seperti yang Elen Seiter uangkapkan ini:

Kaum post structural memberikan penekanan pembedaan diantara penanda (sign), dan menandai antara satu tanda dengan tanda yang lain, diantara satu konteks dengan konteks selanjutnya, dengan penekanan bahwa makna dari sebuah pesan selalu dipo sisikan pada konteks dan situasi tertentu. Teori dan ideologi psiko-analis dibaw ah pengaruh kaum post struktural, lebih fokus pada gep atau celah, ketidakhadira mn, serta ketidak paduan makna dalam sebuah teks. (Seitter 1962:61) Keadaan / konteks yang tidak dapat dipastikan akan makna dalam sebuah pesan teks , menjadi pusat kajian dari teori post-struktural, merubah semua makna, dimana r iset kontemporer ini bukan hanya bisa dimengerti oleh medianya saja, tapi juga p enerima pesan tersebut sebagai pembaca. Maksudnya, pengaruh teori post struktura l akan analisis media mengatakan bahwa riset penelitian sekarang ini lebih sedik it memberikan penekanan pada bagaimana cara menyandikan sebuah pesan(produser), namun pada bagaimana cara mengartikan pesan tersebut(penerima pesan)(lihat Hall 1973). Pada awalnya teori ini dikenal sebagai Penggunaan dan Kepuasan, sebuah meto de baru dari analisa media, yang mencoba menujukkan bagaimana cara memproduksi s esuatu materi yang kaya, dimana usaha ini ditujukan untuk menunjukkan betapa kom pleksnya memproduksi sebuah pesan teks diantara isi teks itu sendiri dan audienc enya (Lihat Brroker dan Jermyn 2003). Teori ini adalah sebuah langkah yang lebih

maju dari konsep para kaum modernist dan strukturalis akan audience yang awalny a pasif, menjadi partisipann yang aktif dalam memproduksi makna pesan. Seperti yang diuggestikan oleh pesan ini, baik pengusung teori post-modernisasi dan post strukturalisasi sama-sama memandang bahwa pesan itu sendiri tidak dapat diartikan secara keseluruhan. Berdasarkan pada pemahaman kultur strukturalis me ngenai struktur linguis, mereka berpendapat dalam kenyataannya linguis yang ada pada masyarakat hanya sampai pada tingkat bahasa, dan percakapan. Ini berarti da ripada kita menyederhanakan dengan perasaan yang tidak berdosa, apa yang sebenar nya menjadi kenyataan, lewat bahasa sebenarnya kita sudah membangun pandangan ak an diri kita sendiri dan sesuatu yang kita sebut sebagai kenyataan. Jadi daripad a mencari arti yang dalam dari sebuah makna yang sifatnya tidak nyata melalui ba hasa dan percakapan, post strukturalis memilih untuk lebih cenderung pada analis a dan kondisi praktis yang dimana bisa mengkonstruksi sesuatu yang disebut kebena ran (lihat, sebagai contoh, Foucault 1991). Jadi sementara kaum modernis mencari makna dan kebenaran dari kekacauan dan perpecahan dunia modern, kaum post modern is telah menerima keadaan bahwa pencarian akan kebenaran yang hakiki itu adalah sia-sia. Ketidak stabilan akan arti kebenaran ini dihubungka oleh kalim kaum post modernis di akhir abad ke dua puluh, dimana masyarakat sudah menjadi lebih skeptis(tidak mudah percaya) tentang teori-teori utopis seperti teori Pencerahan dan teori Mar xist. Memisahkan dua teori ini hanya sebagai narasi yang agung, teori post modern cenderung untuk mengkategorikan mereka sebagai pandangan akan dunia secara menye luruh, dan tak lain hanya sekedar narasi dan ilmu bahasa semata. Walaupun mungki n saja sukar untuk mengerti teori seperti itu dalam dunia yang sebagian besar ma sih berpegang pada fundamental agama, kepercayaan akan kemungkinan yang utopis d ari modernisasi jelas nampak dikritik keras dan dibantah oleh Dunia Barat yang s inis. Salah satu post modern teori diungkapkan oleh Jean Francois Lyotard: Dalam kultur dan masyarakat di zaman ini- masyarakat post industry dan kebudayaa n post modern -....narasi yang kaya telah kehilangan akan kredibilitasnya tanpa memperdulikan pada penggunaan model gabungan dari narasi tersebut, atau pada jen is narasi sepkulatif,atau mungkin narasi yang berisi semangat emansipasiKapanpun kita mencari pada penyebab dari ini semua maka tentunya kita akan kecewa. (Lyotard 1984: 37-8) Ketidak percayaan ini mengarah pada proyek revolusioner dari modernisasi yang mu ngkin membantu menjelaskan mengapa pada akhirnya sikap daripada kaum post modern lebih melonggarkan sikapnya pada media secara keseluruhan. Sementara media seca ra umum dipisahkan dari modernisasi karena standardisasi, terlalu di formula, se rta dangkal, kaum post modern justru lebih cenderung untuk merayakan hal ini seb agai bentuk penolakan secara implicit terhadap pencarian atas nilai kebenaran se cara mendalam. Beberapa karakteristik bisa dilihat sebagai refleksi dari kenyata an dimana semuanya tampil dalam hal yang berlawanan seperti fakta dan fiksi, nya ta dan tidak nyata, asli dan yang kurang jelas keasliannya dan lain sebagainya. Inilah kenapa apa yang dikerjakan oleh Andy Warhols dipahami sebagai sebuah post modernisasi secara intrinsik. Sebagai contoh, bingung dan kecewa adlah dua hal yang sering menyertai kita ketika mencoba memahami seni dari pada produk media mas sa ini. Tentu saja, beberapa pots modernist kritikus membantah bahwa sangat tidak mungki n bagi kita untuk bisa membedakan antara gambar dari sebuah media, dengan kenyat aan, dimana diantara keduanya telah terjalin suatu hubungan sehingga sangat susa h bagi kita untuk menggambar garis diantara kedua hal tersebut (McRobbie 1994:17 ). Menurut seorang filsafat Baudrillad (1994), dalam masyarakat kontemporer, seb uah simulasi telah bsa mengkopy objek yang real atau sebenarnya. Fenomena Baudri llad ini dikaitkan pada pesanan ketiga akan simulacra yang memproduksi hyperreality. Ini menunjukkan bahwa diantara gambar image dan kenyataannya telah berada pada satu entitas yang sama dan oleh karenanya sangat sulit untuk bisa memisahkan hub ungan di antara keduanya. Sperti yang diutarakan oleh Best dan Kellner kenyataan,

dan sesuatu yang tidak nyata tidak tercampu seperti halnya minyak dan air, mere ka lebih rekat daripada dua cuka yang digabungkan(1997:03). Beberapa orang kriti kus bahkan yakin bahwa perbedaan antara manusia dan mesin (dalam penggunaannya) sudah meulai menghilang. Walaupun gagasan akan kemunculan cybord masih sekedar m enjadi bahan kajian ilmu pengetahuan kritikus Donna Hathaway(1991) sudah menggun akan istilah itu untuk menggambarkan metafora sebagai kekuatan untuk membangun u lang essensi dari perbedaan gender dan identitas manusia di dunia ini. Seperti y ang juga diungkapkan oleh Mark Dery: Interaksi kita (sebagai manusia) dengan dunia kita terus meningkat dengan diteng ahi oleh Teknologi Komputer, dan melalui tiap bit dari digital bit, kita sudah m ulai menjadi sebuah Borg(robot) seperti dalam film StarTrek:The Next Generation. Berubah menjadi bentuk cyborg-hybrid yang merupakan gabungan dari teknologi-den gan biologi melalui interaksi denga mesin pada frekuensi yang tinggi, atau melal ui sebuah interface yang menghubungkan kita dengan teknologi tersebut. (Derry 1994:6) Problematika akan apa yang kita sadari sebagai sesuatu yang riil, tidak bisa kit a lepaskan dari pengaruhnya akan apa yang kita sebut sebagai otentifikasi diri s endiri, sebagai konsep identitas dari era post modern Dalam beberapa hal ada seb uah argument yang menyatakan ada peningkatan interaksi antara audience dan media baru dimana media tersebut mengajak audiencenya untuk bermain di sekitar media tersebut, dan membuat identitas beragam sumber, dan terkadang sangat kontradikti f. Proses ini sering dikaitkan dengan apa yang dikatakan oleh Hartley (1999: 177 -85) sebagai DIY hubungan masyarakat kota, dimana media sekarang memperbolehkan un tuk menciptakan identitas personal kita. Dengan begitu banyaknya komunitas yang kita bisa temukan dalam web, kita bisa memulai dengan begitu udahnya untuk memil ih dan mengambil identitas seperti apa yang kita ingin ambil, dan identitas yang inging kita tolak. Jadi hal ini memfasilitasi kita untuk menentukan bagaimana k ita mendefunusukan diri kita sendiri ketimbang mendefinisikan diri kita dalam ka tegori yang lebih sempit dan terbatas ada jumlah pilihan yang pernah didefinsika n di masa lampau. Ini adalah sebuah keadaan yang kontras dimana biasanya kita ti dak bisa menentukan diri kita sendiri, karena identitas primer kita merupakan wa risan dari orang tua kita. Gagasan yang mengesankan akan identitas ini tentu saja muncul sebagai sebuah kon tras akibat dari adanya konsep masyarakat kota dan identitas yang disebarkan den gan menjabarkan akar istilah dari modernisasi, khususnya konsep seperti jasa pel ayanan Penyiaran. Konsep yang digagas oleh John Reith akan Budaya, dan sifat Britan ia Raya, sebagai contoh, sekarang ini sepertinya bisa dimaafkan mengingat restrik tifnya dalam hal transnasional, multicultural (seperti apa yang Mcluhan (1962) g ambarkan sebagai sebuah desa dunia), dimana banyak sekali orang yang sekarang bert erimakasih atas adanya email, satelit, dan televisi global. Para kritikus postmo dernist mungkin membantah keras anggapan bahwa penyiaran tersebut adalah konsep to tal dimana menurut mereka hal tersebut sangat tidak bisa merefleksikan pemberaga man secara mutlak atas suatu bangsa maupun masyarakatnya (lihat Creeber 2004). F rase penyiaran lokal-yang digunakan untuk mengartikan Media Baru dalam mengalamatk an dan menyebarkan dalam relung audiencenya, mungkin lebih baik dalam membungkus semua peran televisi dan radio dalam dunia multimedia(lihat Curtin 2003). Seperti apa yang kita lihat, peningkatan interaksi antara audience dalam konteks Media Baru ini juga diartikan dalam teori post struktural dimana cenderung untu k memahami audience sebagai partisipan yang aktif dalam menciptakan sebuah makna . Website seperti Youtube, MySpace dan Facebook, muncul untuk merefleksikan pema haman akan hal ini, sebagai kultur partisipan; dimana mereka tidak hanya menciptak an komunitas virtual mereka sendiri namun juga memperbolehkan audience untuk jug a menjadi produser, sama baiknya dengan menjadi penerima pesan dari sebuah media. Te ori fandom sangat penting disini dengan internet yang memperbolehkan fans dalam be rbagai macam kultur untuk menciptakan komunitas virtual yang menambahkan pemaham an original dan bahkan konten dari apa yang mereka sukai (lihat bab 7). Sebagai

contoh, pertumbuhan dari fiksi slash, memperbolehkan audiencenya untuk aktif berpa rtisipasi dalam produksi dengan menciptakan materi ekstra-tekstual tentang tayan gan televisi favorit mereka (lihat Jenkins 2006 b). Akibatnya daripada hanya mem perlihatkan essensi komersial dan menjadi inaktif, dalam dunia pots modern, mere ka bisa mengkonsumsi diri mereka sendiri sebagai hal positif dan berperan sebaga i partisipan yang baik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mackay, Daripada hanya sekedar menjadi pasif, sekunder, di determinasi oleh aktifitas, konsumsi, tampak terlihat meningkat sebagai sebuah aktifitas dengan praktek dari kita sendiri, t empo, signifikan, dan bisa menentukan (1997: 3-4). Beberapa gagasan dengan jelas diutarakan oleh David Gauntlett dengan gagasan Studi Media 2, sebuah teori penjelm aan dari Tim O Reilly yang mempunyai gagasan Web 2, sebuah dunia dimana pengguna nya menggeneralisasi dan mendistribusikan konten mereka sendiri, lebih sering, d engan kebebasan untuk berbagi, menciptakan, menggunakan, dan menggunakan kembali (lihat bagian Introduksi, dan Bab 2). Sesungguhnya, John Reiths cultural dari atas-bawah ataupun mengangkat dalam beberapa hal terlihat redundan (berulang) dalam dunia dimana audience menentukan sendiri pilihan mereka akan media, dan apa yang mereka lakukan dengannya. Hypertextual po tong dan tempel dari Media Baru-yang terlihat mendorong penciptaan sampel dan mixin g ulang memproduksi bukan hanya permasalahan hak cipta tetapi juga dalam konteks yang lebih jauh membingungkan beberapa pemaknaan dari apa yang kita pahami akan sebuah media dan hubungannya dengan audience. Tentu saja gagasan bahwa sebuah o rganisasi media seperti BBC bisa dengan rigid mendikte selera masyarakat sekaran g. Sebagaimana Lev Manovich ugkapkan, kita sekarang ini membutuhkan sebuah teori yang sempurna akan hubungan pencipta untuk menolong kita mengerti hubungan yang terjalin antara media dan audiencenya, salah satu ungkapan yang sesuai dengan t erminasi di atas: Secara sempurna dengan logika dari industry yang telah diperluas dan masyarakat post industri, dimana hampir semua praktek peran menyangkut pemilihan dari sejum lah menu, catalog, ataupun database. Faktanya Media baru, adalah ekspressi dari variable terbaik akan logika identitas dalam struktur masyarakatnya memilih nila i dari anggota atau menu yang disukai. (Manovich 2002:128) Interaktif yang terjadi antara Media Baru dan audiencenya juga telah mendorong m unculnya kritik yang mensugesti bahwa telah terjadi peningkatan dalam hal demokra tisasi dalam kepribadian dari Media Baru dibandingkan dengan yang tua. Jurnalisme Masyarakat Kota (dimana masyarakat menggunakan blog, foto, ataupun footage dari n omor telephone, untuk menciptakan dan mengkomentari berita sekarang ini) adalah satu-satunya contoh sekarang ini di antara banyak hal dari post modernisasi, yan g bisa dipilih untuk diilustrasikan akan peningkatan kemampuan dari sekedar manu sia biasa menjadi manusia yang aktif terlibat dalam setiap proses produksi dari se buah media memindahkan kekuatan jauh dari sang penulis ke tangan audiencenya (bab 7). Memang, untuk teori seperti yang diungkapkan oleh Mark Poster(1997), interne t menyediakan Jeda Ruang Publik Habermaisan sebuah jaringan demokratisasi dunia cy ber untuk mengkomunikasikan informasi dan beberapa poin pandangan yang bisa ditr ansform ke ruang opni public. Sebagaimana voting di internet menjadi lebih bijak , sehingga itu bisa meningkatkan nilai demokrasi kita di masa depan (bab 9). Konteks post modern yang telah saya tulus di outline ini cenderung untuk menempa tkan sebuah Media Baru dalam pandangan primer yang positif, sebagaimana teknolog itu sendiri, sesederhana membuka level yang meningkat dari partisipasi audience , keterhubungan yang kreatif,dan demokrasi. Bagaimanapun, bab-bab lain dalam buk u ini akan dengan jelas menggambarkan banyak dari sejumlah fitur negative dari d unia Media yang Baru, serta tidak sedikit pembagian digital yang baru-baru saja me mungkinkan hanya sebuah fraksi kecil dari planet untuk berpartisipasi dalam buda ya digital yang baru (lihat bab 8). Walaupun di Barat, tidak semua partispan med ia yang baru diciptakan sama. Seperti yang dijelaskan oleh Henry Jenkins, perusa haan dan bahkan individu dalam sebuah perusahaan media masih menggunakan lebih b anyak kekuatan daripada konsumen individu lainnya atau bahkan kumpulan dari kons

umen. Dan beberapa konsumen memiliki kemampuan yang lebih untuk berpartisipasi d alam buadaya yang muncul daripada yang lainnya (2006a : 3). Sama halnya dengan i tu, beberapa kritik yang dimaksudkan kepada dongeng interaktif , membujuk partisip an asli dari media yang baru yang telah dipompa lebih untuk sebuah jangkauan yan g orang-orang saat ini tolak untuk melihat batasnya. Untuk menyatakan sebuah sys tem yang saling mempengaruhi,, Espen AArseth memperingati kita, adalah untuk meng esahkannya dengan sebuah kekuatan magic (1997 : 48). Kritik-kritik juga dibantah bahwa sebuah bidang dari postmodernism dan Media Bar u sedang digilir wargakan dari demokrasi pada menjadi konsumen buta politik, tid ak lebih dapat membedakan antara ilusi simulasi media dan realita tajam dari soc ial kapitalis yang mereka sembunyikan secara mutlak. Banyak kritik yang memperde batkan bahwa bahkan saat ini bidang politik adalah sebuah keberhasilan dari gamb aran di atas bagian penting, sebuah symbol mengerikan dari McLuhan dan lainnya ( 1967) aphorisme yang medium adalah sebuah pesan yang berarti sebiah dunia dimana s esuatu dipresentasikan adalah lebih penting daripada yang sedang dipresentasikan . Dalam lingkup khusus, kritik-kritik ini cenderung untuk membantah bahwa obsesi postmodern dengan gambaran lebih dalam memproduksi sebuah lingkungan buatan ynag da ngkal dimana sedikit diambil secraa serius; yang utamanya camp estetis telah digil ir setiap menjadi hiburan. Neil Postman mengatakan: Televisi kita men-set kita dalam komunikasi yang stabil dengan duni, tetapi itu dikerjakan dengan sebuah permukaan yang air mukanya tampak tersenyum adalah tida k dapat dirubah. Masalahnya tidak hanya televise yang menyajikan kita dengan mas alah tayangan hiburan tetapi juga semua tayangan yang disajikan sebagai hiburan (Postman 1985 : 89) Visi hkayalan Postman dari dunia dimana seluruh informasi dikemas sebagai hibura n adalah mungkin lebih difasilitasi oleh sebuah bentuk Media Baru yang muncul un tuk memberikan kita lebih banyak pilihan, tetapi akhiran pokok dengan membatasi pilihan yang nyata; mengurangi apapun untuk meminta komoditi dan produk konsumen yang sama. Kritik membantah bahwa kekuatan revolusi avant-garde sekaarang telah dikurangi untuk tujuan komersil belaka, bentuk modernisasi radikal, dan estetik digunakan untuk menjual alcohol dan rokok dalam periklanan (seperti yang dikata kan David Harvey sebagai seni bekerja kapitalisme. Dibandingkan kenaikan kemapua n manusia untuk bermain dengan berbagai macam cirri-ciri, kritik-kritik bahkan t elah ditentang yang mengatakan bahwa globalisasi dunia (yang sebagian difasilita si oleh Media Baru) mungkin sebanrnya menurun secara budaya dan ciri nasional se perti kita semua menjadi serupa peningkatannya dan homogeny secara budaya. Prose s ini telah digambarkan secra profokatif yang disebut McDonaldization di antara ma syarakat (lihat Ritzer 2000). Internet juga telah disalahkan karena dianggap telah menyempitkan pilihan dan me ndorong obsesi dengan hal-hal sepele yang tidak bernilai dan tidak penting seper ti kebiasaan aneh dan televisi yang berkualitas rendah (lihat McCracken 2003). L ebih dari itu, komunitas sebenarnya dating menjadi bantahan beberapa kritik yang berhubungan nyata dan komunitas akan diabaikan; kesatuan untuk hubungan seorang manusia dalam suatu warga Negara didasarkan pada kenaikan yang berlebihan (liha t Lister et al. 2003: 180-81). Sementara itu, kehancuran dari privasi dan bidang umum memiliki maksud yang serius dalam kemerdekaan penduduk yang saat ini hanya menjadi pengenalan secara utuh. Baru-baru ini, contohnya, itu telah muncul menj adi sorotan dimana banyak pegawai yang secara sembunyi-sembunyi sedang menggunak an website seperti MySpace untuk mengetahui peruntungannya secara online sebagai seorang pegawai di masa depan (lihat Finder 2006). Sama halnya, ini juga masih berat untuk memahami demokratisme media yang terjadi dalam Negara seperti Cina d imana Google dan Rupert Murdoch kelihatan senang berbisnis dengan penyenoran yan g ketat dari lingkungan nin democrat untuk mendapatkan jalan masuk bagi potensi keuangan sebuah Negara.

Beberapa kritik dari postmodernism juga menentang bahwa ada telah terjadi pengha ncuran antara gambaran dan kenyataan, lalu kita sedang mamasuki sebuah zaman rel ativisme moral dimana terdapat sedikit kritikan atau penghakiman moral dapat dil atih dan dimana para teoretikus bahakan mendiskusikan tentang realita dari Gulf War (lihat Norris 1992; bab 8). Seperti sebuah pemikiran, ini ditentang, memprod uksi suatu bahaya yang tidak dapat dihindari dan medi yang tidak teratur, dimana kekerasan pornografi yang tidak ada habisnya menduduki ruang obrolan yang menyi ksa muda-mudi dan mereka yang tidak bersalah atau situs yang memberikan suara un tuk potik ektremis yang ditekan (lihat Dean 2000). Media baru mungkin terlihat m enawarkan dunia dari gambaran cerahdan komunikasi tanpa batas, tetapi itu juga p enting untuk mengingat siapa dan apa yang dihilangkan dari cakupan postmodern. T eknologi utopianisme menyarankan bahwa Media Baru akan secara otomatis memperbai ki dunia kita agar lebih baik, tetapi kesejahteraan masa depan kita secara jelas terbentang dalam lingkup bagaimana dan apa yang kita lakukan dengan pilihan yan g kita miliki dalam penawaran. Kesimpulan: Apapun poin teoritis dalam pandangan, Anda boleh mengambil Media Baru sebagai pi lihan, ini tentunya sulit untuk menentang bahwa media itu sendiri tidak muncul d i bawah pemikiran berubah di atas akhir 20 atau 30 tahun. Oleh karena itu, kita membutuhkan kerangka teoritis yang baru yang mengizinkan lita untuk memahami dan menilai keduanya, yaitu fitur positif dan negatif dari zaman media sekarang ini . Ini berarti bahwa pemahaman yang kritis di bidang ini, merupakan hal yang pent ing jika kita ingin membuat suatu pendekatan teori yang canggih. Seperti yang sa ya sebutkan di awal sesi ini, ini kan sangat naf untuk menyarankan bahwa pendekat an yang metodologis dan teoritis untuk Media Baru yang bahkan dapat dihentikan d an dipandang sebagai jawaban pasti, tetapi sesi ini secara simple dimaksudkan un tuk menawarkan sebuah kerangka melalui sebuah pendekatan angka yang dapat dikont ekskan dan didekatkan secara lebih hati-hati. Teori Media Baru masih dalam tigkatan yang dini dalam pengembangannya dan masih banyak tugas untuk dilakukan untuk memperpanjang dan memperluas beberapa pendapa t dasar yang dimaksud di sini, dan di buku manapun. Bagaimanapun, saya berharap bahwa apa yang jelas sekarang ini adalah bahwa sejak penggambarannya, media tela h dinalisis dan diperiksa melalui bermacam-macam sekolah, teori-teori, dan metod ologi-metodologi, dengan jumlah yang berlebihan. Saya berharap bahwa dengan peng aturan yang sederhana beberapa dari ini dalam konteks modernist dan postmodern, dapa t dibantu untuk mengklarifikasi banyak perdebatan pokok yang terjadi di dalamny a dan di sekitar bidang ini secara keseluruhan. Meskipun bab lainnya dalam buku ini tidak dimaksudkan secara eksplisit untuk modernism atau postmodernism, bab l ainnya akan secara jelas memberikan wawasan yang lebih banyak untuk beberapa pen genalan gagasan teoritis dasar. Digital teori mungkin belum didisiplinkan dalam ka pasitasnya, tetapi kehadirannya akan dirasakan secara menyeluruh dalam buku ini dan ini menjadi jalan untuk kita memahami Media Baru lebih jauh untuk masa menda tang.