"dilema anggaran pemerintah daerah: antara pembangunan dan tuduhan korupsi"- uns

13
DILEMA ANGGARAN PEMERINTAH DESA : ANTARA PEMBANGUNAN DAN TUDUHAN KORUPSI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah salah satu Negara hukum di dunia yang senantiasa memegang teguh tujuannya. Tujuan tersebut sudah diatur dalam landasan konstitusional NKRI yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagaimana yang kita ketahui salah satu tujuan NKRI adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum, hal itu telah termaktub secara jelas dalam Pembukaan UUD 1945. Kemudian untuk mewujudkan kesejateraan umum sebagaimana yang dimaksud, Indonesia menganut asas desentralisasi dalam menjalankan pemerintahannya. Maka dengan itu Pemerintah Pusat berupaya memberikan keleluasaan kepada Kepala Daerah masing-masing daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah sesuai dengan keadaan daerahnya masing-masing. Hal ini telah tertuang dalam Pasal 18 UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana pembagiannya dimulai dari pemerintahan daerah provinsi hingga ke satuan pemerintahan terkecil yang ada di Indonesia yang disebut dengan Desa. Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh para legislator yang bertindak atas nama wakil rakyat Indonesia agar kesejahteraan bagi setiap individu yang ada di Indonesia dapat tercapai. Salah satu bentuk daripada peraturan tersebut adalah dengan dikeluarkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dimana dalam UU tersebut mengatur mengenai eksistensi Desa sebagai salah satu daripada otonomi daerah terkecil di Indonesia yang mana sangat diperhatkan dalam hal Pembangunan dan kemajuan daerah agar masing-masing daerahnya dapat mencapai kesejahteraan. Pembangunan Desa yang terdapat pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Desa dan kualitas manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, Pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsekuensi dari adanya tujuan Pembangunan Desa ini mengacu pada Pembangunan Kabupaten/Kota.

Upload: alsa-indonesia

Post on 26-Jul-2016

215 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

DILEMA ANGGARAN PEMERINTAH DESA : ANTARA PEMBANGUNAN DAN

TUDUHAN KORUPSI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah salah satu Negara hukum di

dunia yang senantiasa memegang teguh tujuannya. Tujuan tersebut sudah diatur dalam

landasan konstitusional NKRI yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).

Sebagaimana yang kita ketahui salah satu tujuan NKRI adalah untuk mewujudkan

kesejahteraan umum, hal itu telah termaktub secara jelas dalam Pembukaan UUD 1945.

Kemudian untuk mewujudkan kesejateraan umum sebagaimana yang dimaksud,

Indonesia menganut asas desentralisasi dalam menjalankan pemerintahannya. Maka

dengan itu Pemerintah Pusat berupaya memberikan keleluasaan kepada Kepala Daerah

masing-masing daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah sesuai dengan

keadaan daerahnya masing-masing. Hal ini telah tertuang dalam Pasal 18 UUD 1945

tentang Pemerintahan Daerah. Dimana pembagiannya dimulai dari pemerintahan daerah

provinsi hingga ke satuan pemerintahan terkecil yang ada di Indonesia yang disebut

dengan Desa.

Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh para legislator yang bertindak atas nama

wakil rakyat Indonesia agar kesejahteraan bagi setiap individu yang ada di Indonesia

dapat tercapai. Salah satu bentuk daripada peraturan tersebut adalah dengan

dikeluarkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dimana dalam UU tersebut

mengatur mengenai eksistensi Desa sebagai salah satu daripada otonomi daerah terkecil

di Indonesia yang mana sangat diperhatkan dalam hal Pembangunan dan kemajuan

daerah agar masing-masing daerahnya dapat mencapai kesejahteraan.

Pembangunan Desa yang terdapat pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Desa dan kualitas manusia serta

penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar,

Pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal serta

pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsekuensi dari

adanya tujuan Pembangunan Desa ini mengacu pada Pembangunan Kabupaten/Kota.

Pembangunan Desa dilaksanakan pemerintah Desa dan masyarakat Desa dengan

semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa.

Dalam hal ini, masyarakat Desa berhak mendapat informasi dan melakukan pemantauan

mengenai rencana dan pelaksanakan Pembangunan Desa.

Dalam menunjang Pembangunan Desa tersebut, Pasal 72 huruf (b) UU Nomor 6

Tahun 2014 tentang Desa telah mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan keuangan

Desa adalah dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kemudian

dijelaskan pula pada ketentuan Pasal 72 ayat 1 huruf (d) bahwa Alokasi Dana Desa yang

merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota. Terkait

dengan besarnya alokasi dana tersebut paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang

diterima Kabupaten/Kota dalam anggaran pendapatan belanja daerah setelah dikurangi

dana alokasi khusus. Hal tersebut berarti setiap Desa akan menerima kucuran dana

kurang lebih 1 Miliar Rupiah dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, angka

kemiskinan, luas wilayah, serta kesulitan geografi.

Jumlah dana yang digelontorkan sejumlah kurang lebih 1 Miliar tersebut menjadi

problematika dan kekhawatiran bagi banyak pihak. Sebagaimana yang dikatakan

Direktur Eksekutif Populi Center Nico Harjanto bahwa Alokasi Dana Desa sebesar Rp

1,4 Miliar berpotensi disalahgunakan oleh kepala Desa dan jajarannya untuk kepentingan

segelintir orang. Modusnya bisa beragam dengan mengatasnamakan Pembangunan.1 Hal

ini menjadi ironi, Kepala Desa yang seharusnya dapat mengkoordinir perangkat Desanya

untuk memanfaatkan dana alokasi Desa tersebut sebaik mungkin tapi malah

dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya, yang dikhawatirkan hal tersebut dapat

menimbulkan potensi korupsi.

Sepanjang Januari-Agustus 2015, Jaringan Paralegal Indonesia (JPI) mencatat ada

sekitar 65 kasus korupsi berkaitan dengan anggaran daerah dan Desa. Bahkan fakta

menunjukkan banyak pejabat daerah dan Kades berstatus tersangka kasus korupsi

anggaran saat ini. Menurut Direktur JPI, Abdul Hamim Jauzie, kasus-kasus itu tersebar

di sejumlah daerah, seperti di Yogyakarta, Bali, Banten, Kalimantan Timur, Sulawesi

Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Riau.

Kasus penyimpangannya pun beragam. Kata Hamim, seperti di Bali yakni korupsi beras

1 http://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20150214183709-78-32162/atas-nama-Pembangunan-dana-Desa-rentan-

diselewengkan/, diakses pada tanggal 22 Januari 2016 pukul 15.30 WIB

miskin, lalu di Jawa Tengah yakni penyimpangan dana Bansos. Kemudian Banten terkait

kasus penyelewengan dana Desa, dan di Yogyakarta mengenai APB Desa.2

Melalui dana yang digelontorkan oleh pemerintah ini, pemerintah pusat dalam hal ini

tentunya berharap agar kemajuan dari Pembangunan di Desa dapat membawa akibat

yang baik bagi perekonomian negara. Dimana yang kita ketahui bahwa awal daripada

perekonomian suatu negara tumbuh dari daerah yang lebih sempit dahulu kemudian akan

memberikan dampak bagi daerah yang lebih luas diatasnya. Tetapi sebagaimana yang

telah dipaparkan diatas bahwa pemerintah pusat masih mengkhawatirkan akan

pengalokasian dana Desa yang begitu banyaknya, sehingga diperlukan adanya suatu

strategi yang efektif untuk menyelesaikan polemik daripada setiap faktor-faktor yang

dapat menghambat Pembangunan di Desa. Diharapkan dengan optimalnya

pengalokasian dana Desa ini dapat mewujudkan Pembangunan Desa dan kesejahteraan

umum bagi setiap individu yang diharapkan oleh negara.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja faktor yang menyebabkan belum optimalnya Alokasi Dana Desa untuk

Pembangunan Desa ?

2. Bagaimana strategi optimalisasi Alokasi Dana Desa untuk mewujudkan Pembangunan

Desa ?

2 http://m.tribunnews.com/nasional/2015/09/11/januari-agustus-2015-banyak-kasus-korupsi-terkait-anggaran,

diakses pada tanggal 21 Januari 2016 pukul 13.00 WIB

BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor yang Menyebabkan Belum Optimalnya Alokasi Dana Desa untuk Pembangunan

Desa

Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan Alokasi khusus Desa yang dialokasikan oleh

Pemerintah melalui Pemerintah Daerah (Kabupaten). Alokasi Dana Desa adalah dana

yang bersumber dari APBD yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan

keuangan antar Desa untuk mendanai kebutuhan Desa dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan dan pelaksanaan Pembangunan serta pelayanan masyarakat.

Dalam perkembangan otonomi daerah, pemerintah pusat semakin memperhatikan dan

menekankan Pembangunan masyarakat Desa melalui otonomi pemerintahan Desa.

Penyelenggaraan pemerintahan dan Pembangunan Desa harus mampu mengakomodasi

aspirasi masyarakat, mewujudkan peran aktif masyarakat untuk turut serta bertanggung

jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga Desa.3

Untuk mewujudkan Pembangunan Desa, tentu terdapat berbagai hambatan bagi

pemerintah Desa yang merupakan organisasi kekuasaan pertama dan awal serta memiliki

otonomi asli yaitu otonomi yang diperoleh dari dirinya sendiri semenjak ia berdiri. Salah

satunya Pemerintah Desa selalu dijadikan batu loncatan baik secara langsung maupun

tidak langsung untuk kepentingan yang lebih besar sehingga kepentingan Desa dan

masyarakat tidak jarang dikorbankan atau dikesampingkan. Secara nasional hasil-hasil

Pembangunan Desa dan Pembangunan Pedesaan kurang tampak, disebabkan oleh

berbagai macam factor, diantaranya :

1. Program yang dilakukan oleh Desa umumnya bersifat kecil, dalam orientasi ekonomi

contoh hanya untuk warga sekitar saja. Hal ini berhubungan dengan infrastruktur yang

belum memadai seperti jalan atau jembatan, sehingga distribusi barang tidak sampai

ke Desa/Kota lain, sekalipun bisa sampai tapi waktunya lama. Sekalipun bisa ke Desa

lain juga tidak akan diterima karena program setiap program setiap Desa berbeda, bisa

jadi di Desa A ingin swasembada pangan dengan beras di Desa B juga, disini ada

kesamaan keunggulan potensi Desa, dan lagipula tidak ada koordinasi terlebih dahulu

yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah agar permasalahan ini dapat terkoordinir

dengan baik.

3 Iswan Kaputra, Pemberdayaan Masyarakat Era Otonomi Daerah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2013,

hlm. 70.

2. Program Pembangunan yang dilaksanakan sebagian bersifat parsial dan tidak

terintegrasi/saling mendukung, misalnya program peningkatan produksi pertanian dan

kebijakan perdagangan nasional. Program pengembangan atau peningkatan produksi

pertanian tidak akan bisa meningkatkan kesejahteraan petani yang merupakan bagian

terbesar penduduk Desa jika pada saat yang sama impor komoditas pertanian

membanjiri pasar pasar lokal, sehingga harga jual produksi Desa tetap rendah atau

jatuh. Sebenarnya hal ini berkaitan pula dengan euforia otonomi daerah dan

demokratisasi pemilihan kepala daerah, adakalanya membuat visi suatu

Kabupaten/Kota tidak searah dengan visi pemerintah provinsinya. Ketidak-selarasan

ini bisa membuat program Pembangunan Pedesaan yang dilakukan oleh pemerintah

provinsi tidak terintegrasi bahkan mungkin tidak nyambung dengan program yang

dilakukan oleh pemerintah Kabupaten. Situasi seperti itu tentu akan membuat

program-program tersebut tidak memberikan hasil dan manfaat yang maksimal.

3. Karena terbatasnya SDM Desa maka program-program Pembangunan Desa sangat

memerlukan pendampingan dari petugas-petugas pemerintah atau relawan seperti

LSM. Tanpa kegiatan pendampingan (berupa latihan dan bimbingan yang intensif)

maka bukan saja hasilnya tidak maksimal tetapi juga bisa salah sasaran dan

menimbulkan akibat negatif lebih lanjut. Di lapangan tidak jarang ditemukan

kelemahan kegiatan pendampingan dimaksud, misalnya kurang pengetahuan dan

keterampilan tenaga pendamping dan rendahnya perhatian atau komitmen petugas.

Kemudian program-program bantuan dan untuk kegiatan produksi yang salah sasaran,

bukan saja menggagalkan tercapainya tujuan program tetapi juga bisa menimbulkan

ketergantungan masyarakat kepada pemerintah dan perilaku negatif yang lainnya

misalnya berbohong, manipulasi data dll.

4. Sebagai institusi dan aparatur pemerintah yang mengelola Pembangunan Desa dan

Pembangunan Pedesaan masih berorientasi proyek. Yaitu sikap dan perilaku yang

menganggap bahwa suatu program atau proyek sudah dianggap selesai atau terlaksana

jika kegiatan dan anggarannya sudah dilaksanakan dan dibelanjakan, tanpa

memperhatikan sungguh-sungguh hasil dan dampaknya. Para penjabat dan petugas

tersebut kurang peduli apakah program yang dilaksanakan memberikan manfaat dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa atau tidak, baginya yang penting tugas

pekerjaannya sudah dilaksanakan dan anggaran atau dananya sudah terserap habis.4

4 Mashuri Maschab, Politik Pemerintahan Desa Di Indonesia, Polgov UGM, Yogyakarta, 2013, hlm. 122-123.

Selain hal tersebut diatas, ada hambatan lainnya yang dialami Desa dalam melakukan

Pembangunan yang ada di Desa sebagai akibat dikeluarkannya UU Nomor 6 tahun 2014

tentang Desa; Pertama, mengenai masa jabatan kepala Desa bertambah yang awalnya 6

tahun dan dapat menjabat maksimal 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak

secara berturut-turut. Kedua, penghasilan kepala Desa berdasarkan Undang-Undang

Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa bahwa kepala Desa memperoleh gaji dan penghasilan

tetap setiap bulan yang bersumber dari dari dana perimbangan APBN serta kepala Desa

memliki kewenangan kepala Desa mengatur penerimaan yang merupakan pendapatan

Desa. Tentu hal ini menimbulkan potensi korupsi di Desa, menjadi raja-raja kecil dengan

“dalih” melakukan Pembangunan Desa.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan potensi korupsi pengelolaan dan

ADD tahun anggaran 2015. Dari sisi pengawasan itu, KPK menemukan pengelolaan

dana keuangan daerah oleh Inspektorat Daerah yang kurang efektif. Potensi korupsi bisa

terjadi karena dalam pelaksanaan dan pengelolaan dana Desa tidak jelas mengatur

bagaimana cara, mekanisme, dan proses pengaduan masyarakat. Di lapangan, KPK

menemukan ada beberapa regulasi yang tidak lengkap baik itu dari sisi regulasi itu

sendiri, teknis, dan petunjuk teknis pelaksanaannya. Misalnya, pertanggungjawaban

terhadap dana bergulir Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Kemudian, bagaimana mekanisme pengangkatan pendamping dari PNMP di tingkat

lapangan. Dari sisi regulasi, KPK juga menemukan tumpang tindih kewenangan antara

Kemendes dengan Kemendagri. Di antaranya dalam konteks pembinaan dan

pengembangan Desa. Potensi persoalan berikutnya adalah monitoring dan evaluasi

pelaksanaan ini. Selanjutnya, persoalan formula pembagian dana Desa. Mengacu pada

Perpres Nomor 36 tahun 2015 yang ditemukan adanya aspek yang belum baku yang

diatur dalam perpres itu. temuan berikutnya terkait penghasilan tetap bagi perangkat

Desa. Wamenku Mardiasmo sempat menyinggung bahwa ada PP Nomor 43 tahun 2014

berkaitan dengan tanah bengkok atau penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat Desa

yang kini sedang disempurnakan. Masih juga ada potensi dalam tata laksana yang

amburadul5

Hal tersebut diatas menjadikan bahwa dana Desa yang dianggarkan langsung dari

pusat sangat menimbulkan potensi korupsi mengenai dana Desa yang dilakukan oleh

kepala Desa yang memiliki kewenangan dalam mengurus dan mengatur keuangan Desa

5 http://nasional.sindonews.com/read/1012177/149/kpk-temukan-potensi-korupsi-dana-Desa-1434165906,

diakses pada tanggal 20 Januari 2016 pukul 15.00 WIB

yang seharusnya digunakan untuk Pembangunan Desa. Anggaran Dana Desa yang telah

dikeluarkan sejak tahun 2015 telah tersebut telah menimbulkan beberapa kasus korupsi

seperti yang telah disinggung dalam latar belakang diatas. Adapun modus-modus

terjadinya korupsi di tingkat Desa antara lain6:

1. Pengurangan alokasi ADD, misalnya; ADD dijadikan “kue” pegawai Desa untuk

kepentingan pribadi.

2. Pemotongan alokasi Bantuan Langsung Tunai (BLT), misalnya, pemotongan

tersebut karena azas pemerataan, keadilan untuk didistribusikan keluarga miskin

yang tidak terdaftar. Namun yang jamak terjadi bahwa pemotongan BLT lebih

banyak disalahgunakan pengurusnya di tingkat Desa.

3. Pengurangan jatah beras untuk rakyat miskin (raskin), misalnya, pemotongan 1-2

kg per Kepala Keluarga (KK). Apabila dikalkulasikan maka akan menghasilkan

jumlah yang besar yang kemudian hasilnya dimanfaatkan untuk memperkaya diri

sendiri.

4. Penjualan Tanah Kas Desa (Bengkok)

5. Penyewaan Tanah Kas Desa (TKD) yang bukan haknya, misalnya, TKD untuk

perumahan.

6. Pungutan liar suatu program. Padahal program tersebut seharusnya gratis,

misalnya, sertifikasi (pemutihan) tanah, Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda

Penduduk (KTP).

7. Memalsukan proposal bantuan sosial, misalnya, menyelewengkan bantuan sapi.

B. Strategi optimalisasi Alokasi Dana Desa untuk mewujudkan Pembangunan Desa

Strategi optimalisasi ADD untuk mewujudkan Pembangunan Desa sebenarnya cukup

sederhana. Salah satu caranya adalah penerapan Planing, Organizing, Actuating, dan

Controling (POAC) dengan benar agar ADD tersebut dapat tepat sasaran dan berhasil.

Apabila Pemerintah Pusat, PEMDA Provinsi, PEMDA Kabupaten/Kota, Badan

Permusyawaratan Desa (BPDes), Kepala Desa dan masyarakat Desa itu sendiri bekerja

sama dan melakukan pekerjaannya masing-masing sesuai tupoksi yang sudah diatur

dalam ketentuan UU maka tertutup sudah celah korupsi dan ketidak-bermanfaatan dana

yang dikeluarkan untuk Pembangunan Desa. Karena sebenarnya mekanisme

Pembangunan Desa merupakan perpaduan yang serasi antara kegiatan pemerintah dan

6 Fathur Rahman, Korupsi Tingkat Desa, dalam jurnal governance, Vol. 2, Nomor 1, November 2011, hlm. 18.

partisipasi masyarakat itu sendiri. Pada hakekatnya Pembangunan Desa dapat berhasil

karena masyarakat itu sendiri. Sedangkan pemerintah memberikan bimbingan

pengarahan, bantuan pembinaan dan pengawasan. Agar kemampuan masyarakat dapat

ter-upgrade, dalam usaha meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.7

Maka dari itu dalam menerapkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak bisa

dilaksanakan parsial, harus secara menyeluruh dan didasarkan pada konsep yang matang.

Dianggap perlu juga melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel,

transparan, professional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari KKN. KPK telah

mempublikasi hasil kajian mengenai potensi korupsi yang dapat muncul dari ADD.8

Alangkah lebih baiknya agar prinsip tersebut dapat terlaksana dan Pembangunan Desa

bisa tepat guna, ada beberapa aspek yang perlu dievaluasi dan dikerjakan dengan serius,

yaitu : pengawasan, regulasi dan kelembagaan, tata laksana, dan SDM.

1. Aspek Pengawasan

Berdasarkan Pasal 78 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,

Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Salah

satu fungsi BPDes adalah melakukan pengawasan kinerja kepada Kepala Desa sesuai

dengan ketentuan Pasal 55 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di tingkat yang

lebih tinggi, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota berhak mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa (Pasal 112

UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa). Selanjutnya, untuk meminimalisir potensi

korupsi pada aspek pengawasan dapat dilakukan dengan meningkatkan efektivitas

Inspektorat Daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di

Desa, meningkatkan pengelolaan saluran pengaduan masyarakat dengan baik di

semua daerah, serta meningkatkan evaluasi dan pengawasan oleh camat secara jelas.

2. Aspek Regulasi dan Kelembagaan

Dapat dilakukan dengan melengkapi regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan

yang diperlukan dalam pengelolaan Keuangan Desa oleh pemerintah, meminimalisir

potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementrian Desa dan Ditjen Bina

Pemerintahan Desa Kementrian Dalam Negeri, melakukan transparansi atas dasar

pemerataan terhadap formulasi pembagian dana Desa dalam PP Nomor 22 tahun

7 Thomas, 2013, Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Upaya Meningkatkan Pembangunan di Desa

sebawang Kecamatan sesayap Kabupaten tana tidung, eJournal Pemerintahan Integratif, 1 (1): 51-64 hlm 56) 8 http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-persoalan-pengelolaan-dana-Desa,

diakses tanggal 21 Januari 2016 pukul 17.00 WIB

2015, meningkatkan keadilan dalam pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi

Perangkat Desa dari ADD yang diatur dalam PP Nomor 43 tahun 2014, serta efisiensi

penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh Desa terhadap ketentuan regulasi yang

tumpang tindih.

Karena kalau kita lihat persoalan yang cukup mencolok, adalah formula

pembagian dana Desa yang berubah disebabkan dari PP Nomor 60 tahun 2014

menjadi PP Nomor 22 tahun 2015. Pada Pasal 11 PP Nomor 60 tahun 2014 formulasi

penentuan besaran dana Desa per Kabupaten/Kota cukup transparan dengan

mencantumkan bobot pada setiap variable, sementara pada Pasal 11 PP Nomor 22

tahun 2015, formula pembagian dihitung berdasarkan jumlah Desa, dengan bobot

sebesar 90% dan hanya 10% yang dihitung dengan menggunakan formula jumlah

penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis.9

3. Aspek Tata Laksana

Pada aspek tata laksana, terdapat hal yang harus ditingkatkan antara lain,

peningkatan pematuhan oleh perangkat Desa terhadap kerangka waktu siklus

pengelolaan anggaran Desa, penyediaan satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan

acuan bagi Desa dalam menyusun APBDesa, Peningkatan transparansi rencana

penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa, Peningkatan standarisasi dan

meminimalisir manipulasi oleh Desa dalam membuat laporan pertanggungjawaban,

serta APBDesa seharusnya disusun sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan Desa.

4. Aspek Sumber Daya Manusia

Pasal 1 angka 12 UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, menyatakan bahwa

Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan

kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan,

perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan

kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah

dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. Salah satu upaya untuk melakukan

pemberdayaan masyarakat Desa adalah dengan cara melakukan pendampingan Desa.

Pasal 1 angka 14 PERMEN Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan

Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa menyatakan bahwa

pendampingan Desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan

masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi Desa.

9 Ibid.,

Tujuan dari pendampingan Desa ini meliputi: a) meningkatkan kapasitas, efektivitas

dan akuntabilitas pemeritahan Desa dan pembanguan Desa; b) meningkatkan

prakarsa, kesadaran dan partisipasi mayarakat Desa dalam Pembangunan Desa yang

partisipatif; c) meningkatkan sinergi program Pembangunan Desa antarsektor; dan d)

mengoptimalkan aset lokal Desa secara emansipatoris. Pendampingan Desa ini

dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas: a) tenaga pendamping profesional; b)

Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa; dan/atau c) Pihak Ketiga.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Faktor utama dibalik belum optimalnya Alokasi Dana Desa untuk Pembangunan Desa

adalah kemampuan manajerial internal Desa (kepala Desa dan perangkatnya),

terbatasnya SDM, serta kesimpang-siuran Undang-Undang yang dijadikan pedoman

dalam pelaksanaan Alokasi Dana Desa.

Kemampuan menajerial dalam hal ini mencakup tentang luasan proyek yang

dikerjakan oleh Desa yang biasanya hanya dalam skala kecil sehingga dampaknya hanya

terasa di lingkungan Desa tersebut. Selain itu, kurangnya integrasi antara program Desa

dan kebijakan nasional dapat menyebabkan hasil dan manfaat yang diharapkan dari

program Desa tidak maksimal atau bahkan malah menimbulkan kerugian bagi Desa.

Terbatasnya Sumber Daya Manusia di Desa baik dalam hal kualitas dan kuantitas juga

turut mempengaruhi mengapa serapan dari Alokasi Anggaran Desa. Kurangnya kualitas

disini juga menyebabkan cara pandang yang sempit, dimana apabila suatu Desa

mendapat proyek, orientasi yang dimiliki bukan welfare oriented tetapi money oriented.

Sementara itu, faktor lain dari belum optimalnya Alokasi Dana Desa adalah

kesimpang-siuran Undang-Undang yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan Alokasi

Dana Desa. Ada beberapa regulasi yang tidak lengkap baik dari sisi regulasi itu sendiri,

teknis, dan petunjuk teknis pelaksanaannya. Kurangnya transparansi formula pembagian

dana Desa pada PP terbaru yang hanya berpedoman pada perbandingan 90%:10%

menimbulkan dana berlebih pada Desa dengan dusun dan luas wilayah lebih kecil yang

bisa memicu korupsi.

Untuk itu, pengupayaan optimalisasi Alokasi Dana Desa harus dilaksanakan. Salah

satunya dengan penerapan Planning, Organizing, Actuating dan Controlling dengan

benar sehingga hasil yang diinginkan bisa tercapai dan sasaran yang dituju sesuai. Dalam

hal ini, adanya sinergi antara pemerintah Desa dan masyarakat juga bisa memperkecil

kemungkinan dilakukannya korupsi. Karena pada dasarnya kemakmuran Desa dan

keberhasilan dari Alokasi Dana Desa bergantung pada bagaimana pengelolaan yang

dilakukan oleh pemerintah Desa dengan pengawasan dari masyarakat dalam

pelaksanaannya.

B. Saran

Pemerintah pusat diharapkan lebih berani menetapkan poin-poin yang paten tentang

bagaimana pengaturan pembagian Alokasi Dana Desa serta regulasi dalam

pelaksanaannya. Sehingga ketika program ini dilaksanakan di masyarakat hasil yang

diperoleh bisa maksimal dan sesuai sasaran. Karena, apabila regulasi yang digunakan

simpang siur, maka dana yang diterima menjadi tidak pasti dan dapat menimbulkan celah

untuk melakukan korupsi. Dan bila korupsi telah terjadi, dengan adanya kesimpang-

siuran peraturan pembagian Alokasi Dana Desa maka proses penegakan hukumnya bisa

tersendat. Dengan adanya regulasi yang transparan, peluang untuk terjadinya korupsi

bisa ditekan sekecil mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Iswan Kaputra. 2013. Pemberdayaan Masyarakat Era Otonomi Daerah. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Mashuri Maschab. 2013. Politik Pemerintahan Desa Di Indonesia. Polgov UGM:

Yogyakarta.

Fathur Rahman. Korupsi Tingkat Desa. Jurnal Governance, Vol. 2, Nomor 1,

November 2011.

Thomas. Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Upaya Meningkatkan Pembangunan

di Desa Sebawang Kecamatan Sesayap Kabupaten Tana Tidung. eJournal

Pemerintahan Integratif, 1 (1): 51-64. 2013.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Jakarta:

Sekretariat Negara.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang

Pelaksanaan UU Desa. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang

Pengelolaan Keuangan Desa. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Desa Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman

Kewenangan Hak Asal-Usul. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2015 tentang

Pendampingan Desa. Jakarta: Sekretariat Negara.

http://kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-persoalan-

pengelolaan-dana-Desa

http://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20150214183709-78-32162/atas-nama-

Pembangunan-dana-Desa-rentan-diselewengkan/

http://m.tribunnews.com/nasional/2015/09/11/januari-agustus-2015-banyak-kasus-

korupsi-terkait-anggaran

http://nasional.sindonews.com/read/1012177/149/kpk-temukan-potensi-korupsi-dana-

Desa-1434165906