"dilema anggaran pemerintah daerah: antara pembangunan dan tuduhan korupsi"- uns
DESCRIPTION
ÂTRANSCRIPT
DILEMA ANGGARAN PEMERINTAH DESA : ANTARA PEMBANGUNAN DAN
TUDUHAN KORUPSI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah salah satu Negara hukum di
dunia yang senantiasa memegang teguh tujuannya. Tujuan tersebut sudah diatur dalam
landasan konstitusional NKRI yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Sebagaimana yang kita ketahui salah satu tujuan NKRI adalah untuk mewujudkan
kesejahteraan umum, hal itu telah termaktub secara jelas dalam Pembukaan UUD 1945.
Kemudian untuk mewujudkan kesejateraan umum sebagaimana yang dimaksud,
Indonesia menganut asas desentralisasi dalam menjalankan pemerintahannya. Maka
dengan itu Pemerintah Pusat berupaya memberikan keleluasaan kepada Kepala Daerah
masing-masing daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah sesuai dengan
keadaan daerahnya masing-masing. Hal ini telah tertuang dalam Pasal 18 UUD 1945
tentang Pemerintahan Daerah. Dimana pembagiannya dimulai dari pemerintahan daerah
provinsi hingga ke satuan pemerintahan terkecil yang ada di Indonesia yang disebut
dengan Desa.
Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh para legislator yang bertindak atas nama
wakil rakyat Indonesia agar kesejahteraan bagi setiap individu yang ada di Indonesia
dapat tercapai. Salah satu bentuk daripada peraturan tersebut adalah dengan
dikeluarkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dimana dalam UU tersebut
mengatur mengenai eksistensi Desa sebagai salah satu daripada otonomi daerah terkecil
di Indonesia yang mana sangat diperhatkan dalam hal Pembangunan dan kemajuan
daerah agar masing-masing daerahnya dapat mencapai kesejahteraan.
Pembangunan Desa yang terdapat pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Desa dan kualitas manusia serta
penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar,
Pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal serta
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsekuensi dari
adanya tujuan Pembangunan Desa ini mengacu pada Pembangunan Kabupaten/Kota.
Pembangunan Desa dilaksanakan pemerintah Desa dan masyarakat Desa dengan
semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa.
Dalam hal ini, masyarakat Desa berhak mendapat informasi dan melakukan pemantauan
mengenai rencana dan pelaksanakan Pembangunan Desa.
Dalam menunjang Pembangunan Desa tersebut, Pasal 72 huruf (b) UU Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa telah mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan keuangan
Desa adalah dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kemudian
dijelaskan pula pada ketentuan Pasal 72 ayat 1 huruf (d) bahwa Alokasi Dana Desa yang
merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota. Terkait
dengan besarnya alokasi dana tersebut paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang
diterima Kabupaten/Kota dalam anggaran pendapatan belanja daerah setelah dikurangi
dana alokasi khusus. Hal tersebut berarti setiap Desa akan menerima kucuran dana
kurang lebih 1 Miliar Rupiah dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, angka
kemiskinan, luas wilayah, serta kesulitan geografi.
Jumlah dana yang digelontorkan sejumlah kurang lebih 1 Miliar tersebut menjadi
problematika dan kekhawatiran bagi banyak pihak. Sebagaimana yang dikatakan
Direktur Eksekutif Populi Center Nico Harjanto bahwa Alokasi Dana Desa sebesar Rp
1,4 Miliar berpotensi disalahgunakan oleh kepala Desa dan jajarannya untuk kepentingan
segelintir orang. Modusnya bisa beragam dengan mengatasnamakan Pembangunan.1 Hal
ini menjadi ironi, Kepala Desa yang seharusnya dapat mengkoordinir perangkat Desanya
untuk memanfaatkan dana alokasi Desa tersebut sebaik mungkin tapi malah
dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya, yang dikhawatirkan hal tersebut dapat
menimbulkan potensi korupsi.
Sepanjang Januari-Agustus 2015, Jaringan Paralegal Indonesia (JPI) mencatat ada
sekitar 65 kasus korupsi berkaitan dengan anggaran daerah dan Desa. Bahkan fakta
menunjukkan banyak pejabat daerah dan Kades berstatus tersangka kasus korupsi
anggaran saat ini. Menurut Direktur JPI, Abdul Hamim Jauzie, kasus-kasus itu tersebar
di sejumlah daerah, seperti di Yogyakarta, Bali, Banten, Kalimantan Timur, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Riau.
Kasus penyimpangannya pun beragam. Kata Hamim, seperti di Bali yakni korupsi beras
1 http://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20150214183709-78-32162/atas-nama-Pembangunan-dana-Desa-rentan-
diselewengkan/, diakses pada tanggal 22 Januari 2016 pukul 15.30 WIB
miskin, lalu di Jawa Tengah yakni penyimpangan dana Bansos. Kemudian Banten terkait
kasus penyelewengan dana Desa, dan di Yogyakarta mengenai APB Desa.2
Melalui dana yang digelontorkan oleh pemerintah ini, pemerintah pusat dalam hal ini
tentunya berharap agar kemajuan dari Pembangunan di Desa dapat membawa akibat
yang baik bagi perekonomian negara. Dimana yang kita ketahui bahwa awal daripada
perekonomian suatu negara tumbuh dari daerah yang lebih sempit dahulu kemudian akan
memberikan dampak bagi daerah yang lebih luas diatasnya. Tetapi sebagaimana yang
telah dipaparkan diatas bahwa pemerintah pusat masih mengkhawatirkan akan
pengalokasian dana Desa yang begitu banyaknya, sehingga diperlukan adanya suatu
strategi yang efektif untuk menyelesaikan polemik daripada setiap faktor-faktor yang
dapat menghambat Pembangunan di Desa. Diharapkan dengan optimalnya
pengalokasian dana Desa ini dapat mewujudkan Pembangunan Desa dan kesejahteraan
umum bagi setiap individu yang diharapkan oleh negara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor yang menyebabkan belum optimalnya Alokasi Dana Desa untuk
Pembangunan Desa ?
2. Bagaimana strategi optimalisasi Alokasi Dana Desa untuk mewujudkan Pembangunan
Desa ?
2 http://m.tribunnews.com/nasional/2015/09/11/januari-agustus-2015-banyak-kasus-korupsi-terkait-anggaran,
diakses pada tanggal 21 Januari 2016 pukul 13.00 WIB
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor yang Menyebabkan Belum Optimalnya Alokasi Dana Desa untuk Pembangunan
Desa
Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan Alokasi khusus Desa yang dialokasikan oleh
Pemerintah melalui Pemerintah Daerah (Kabupaten). Alokasi Dana Desa adalah dana
yang bersumber dari APBD yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan antar Desa untuk mendanai kebutuhan Desa dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan dan pelaksanaan Pembangunan serta pelayanan masyarakat.
Dalam perkembangan otonomi daerah, pemerintah pusat semakin memperhatikan dan
menekankan Pembangunan masyarakat Desa melalui otonomi pemerintahan Desa.
Penyelenggaraan pemerintahan dan Pembangunan Desa harus mampu mengakomodasi
aspirasi masyarakat, mewujudkan peran aktif masyarakat untuk turut serta bertanggung
jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga Desa.3
Untuk mewujudkan Pembangunan Desa, tentu terdapat berbagai hambatan bagi
pemerintah Desa yang merupakan organisasi kekuasaan pertama dan awal serta memiliki
otonomi asli yaitu otonomi yang diperoleh dari dirinya sendiri semenjak ia berdiri. Salah
satunya Pemerintah Desa selalu dijadikan batu loncatan baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk kepentingan yang lebih besar sehingga kepentingan Desa dan
masyarakat tidak jarang dikorbankan atau dikesampingkan. Secara nasional hasil-hasil
Pembangunan Desa dan Pembangunan Pedesaan kurang tampak, disebabkan oleh
berbagai macam factor, diantaranya :
1. Program yang dilakukan oleh Desa umumnya bersifat kecil, dalam orientasi ekonomi
contoh hanya untuk warga sekitar saja. Hal ini berhubungan dengan infrastruktur yang
belum memadai seperti jalan atau jembatan, sehingga distribusi barang tidak sampai
ke Desa/Kota lain, sekalipun bisa sampai tapi waktunya lama. Sekalipun bisa ke Desa
lain juga tidak akan diterima karena program setiap program setiap Desa berbeda, bisa
jadi di Desa A ingin swasembada pangan dengan beras di Desa B juga, disini ada
kesamaan keunggulan potensi Desa, dan lagipula tidak ada koordinasi terlebih dahulu
yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah agar permasalahan ini dapat terkoordinir
dengan baik.
3 Iswan Kaputra, Pemberdayaan Masyarakat Era Otonomi Daerah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2013,
hlm. 70.
2. Program Pembangunan yang dilaksanakan sebagian bersifat parsial dan tidak
terintegrasi/saling mendukung, misalnya program peningkatan produksi pertanian dan
kebijakan perdagangan nasional. Program pengembangan atau peningkatan produksi
pertanian tidak akan bisa meningkatkan kesejahteraan petani yang merupakan bagian
terbesar penduduk Desa jika pada saat yang sama impor komoditas pertanian
membanjiri pasar pasar lokal, sehingga harga jual produksi Desa tetap rendah atau
jatuh. Sebenarnya hal ini berkaitan pula dengan euforia otonomi daerah dan
demokratisasi pemilihan kepala daerah, adakalanya membuat visi suatu
Kabupaten/Kota tidak searah dengan visi pemerintah provinsinya. Ketidak-selarasan
ini bisa membuat program Pembangunan Pedesaan yang dilakukan oleh pemerintah
provinsi tidak terintegrasi bahkan mungkin tidak nyambung dengan program yang
dilakukan oleh pemerintah Kabupaten. Situasi seperti itu tentu akan membuat
program-program tersebut tidak memberikan hasil dan manfaat yang maksimal.
3. Karena terbatasnya SDM Desa maka program-program Pembangunan Desa sangat
memerlukan pendampingan dari petugas-petugas pemerintah atau relawan seperti
LSM. Tanpa kegiatan pendampingan (berupa latihan dan bimbingan yang intensif)
maka bukan saja hasilnya tidak maksimal tetapi juga bisa salah sasaran dan
menimbulkan akibat negatif lebih lanjut. Di lapangan tidak jarang ditemukan
kelemahan kegiatan pendampingan dimaksud, misalnya kurang pengetahuan dan
keterampilan tenaga pendamping dan rendahnya perhatian atau komitmen petugas.
Kemudian program-program bantuan dan untuk kegiatan produksi yang salah sasaran,
bukan saja menggagalkan tercapainya tujuan program tetapi juga bisa menimbulkan
ketergantungan masyarakat kepada pemerintah dan perilaku negatif yang lainnya
misalnya berbohong, manipulasi data dll.
4. Sebagai institusi dan aparatur pemerintah yang mengelola Pembangunan Desa dan
Pembangunan Pedesaan masih berorientasi proyek. Yaitu sikap dan perilaku yang
menganggap bahwa suatu program atau proyek sudah dianggap selesai atau terlaksana
jika kegiatan dan anggarannya sudah dilaksanakan dan dibelanjakan, tanpa
memperhatikan sungguh-sungguh hasil dan dampaknya. Para penjabat dan petugas
tersebut kurang peduli apakah program yang dilaksanakan memberikan manfaat dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa atau tidak, baginya yang penting tugas
pekerjaannya sudah dilaksanakan dan anggaran atau dananya sudah terserap habis.4
4 Mashuri Maschab, Politik Pemerintahan Desa Di Indonesia, Polgov UGM, Yogyakarta, 2013, hlm. 122-123.
Selain hal tersebut diatas, ada hambatan lainnya yang dialami Desa dalam melakukan
Pembangunan yang ada di Desa sebagai akibat dikeluarkannya UU Nomor 6 tahun 2014
tentang Desa; Pertama, mengenai masa jabatan kepala Desa bertambah yang awalnya 6
tahun dan dapat menjabat maksimal 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak
secara berturut-turut. Kedua, penghasilan kepala Desa berdasarkan Undang-Undang
Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa bahwa kepala Desa memperoleh gaji dan penghasilan
tetap setiap bulan yang bersumber dari dari dana perimbangan APBN serta kepala Desa
memliki kewenangan kepala Desa mengatur penerimaan yang merupakan pendapatan
Desa. Tentu hal ini menimbulkan potensi korupsi di Desa, menjadi raja-raja kecil dengan
“dalih” melakukan Pembangunan Desa.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan potensi korupsi pengelolaan dan
ADD tahun anggaran 2015. Dari sisi pengawasan itu, KPK menemukan pengelolaan
dana keuangan daerah oleh Inspektorat Daerah yang kurang efektif. Potensi korupsi bisa
terjadi karena dalam pelaksanaan dan pengelolaan dana Desa tidak jelas mengatur
bagaimana cara, mekanisme, dan proses pengaduan masyarakat. Di lapangan, KPK
menemukan ada beberapa regulasi yang tidak lengkap baik itu dari sisi regulasi itu
sendiri, teknis, dan petunjuk teknis pelaksanaannya. Misalnya, pertanggungjawaban
terhadap dana bergulir Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Kemudian, bagaimana mekanisme pengangkatan pendamping dari PNMP di tingkat
lapangan. Dari sisi regulasi, KPK juga menemukan tumpang tindih kewenangan antara
Kemendes dengan Kemendagri. Di antaranya dalam konteks pembinaan dan
pengembangan Desa. Potensi persoalan berikutnya adalah monitoring dan evaluasi
pelaksanaan ini. Selanjutnya, persoalan formula pembagian dana Desa. Mengacu pada
Perpres Nomor 36 tahun 2015 yang ditemukan adanya aspek yang belum baku yang
diatur dalam perpres itu. temuan berikutnya terkait penghasilan tetap bagi perangkat
Desa. Wamenku Mardiasmo sempat menyinggung bahwa ada PP Nomor 43 tahun 2014
berkaitan dengan tanah bengkok atau penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat Desa
yang kini sedang disempurnakan. Masih juga ada potensi dalam tata laksana yang
amburadul5
Hal tersebut diatas menjadikan bahwa dana Desa yang dianggarkan langsung dari
pusat sangat menimbulkan potensi korupsi mengenai dana Desa yang dilakukan oleh
kepala Desa yang memiliki kewenangan dalam mengurus dan mengatur keuangan Desa
5 http://nasional.sindonews.com/read/1012177/149/kpk-temukan-potensi-korupsi-dana-Desa-1434165906,
diakses pada tanggal 20 Januari 2016 pukul 15.00 WIB
yang seharusnya digunakan untuk Pembangunan Desa. Anggaran Dana Desa yang telah
dikeluarkan sejak tahun 2015 telah tersebut telah menimbulkan beberapa kasus korupsi
seperti yang telah disinggung dalam latar belakang diatas. Adapun modus-modus
terjadinya korupsi di tingkat Desa antara lain6:
1. Pengurangan alokasi ADD, misalnya; ADD dijadikan “kue” pegawai Desa untuk
kepentingan pribadi.
2. Pemotongan alokasi Bantuan Langsung Tunai (BLT), misalnya, pemotongan
tersebut karena azas pemerataan, keadilan untuk didistribusikan keluarga miskin
yang tidak terdaftar. Namun yang jamak terjadi bahwa pemotongan BLT lebih
banyak disalahgunakan pengurusnya di tingkat Desa.
3. Pengurangan jatah beras untuk rakyat miskin (raskin), misalnya, pemotongan 1-2
kg per Kepala Keluarga (KK). Apabila dikalkulasikan maka akan menghasilkan
jumlah yang besar yang kemudian hasilnya dimanfaatkan untuk memperkaya diri
sendiri.
4. Penjualan Tanah Kas Desa (Bengkok)
5. Penyewaan Tanah Kas Desa (TKD) yang bukan haknya, misalnya, TKD untuk
perumahan.
6. Pungutan liar suatu program. Padahal program tersebut seharusnya gratis,
misalnya, sertifikasi (pemutihan) tanah, Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda
Penduduk (KTP).
7. Memalsukan proposal bantuan sosial, misalnya, menyelewengkan bantuan sapi.
B. Strategi optimalisasi Alokasi Dana Desa untuk mewujudkan Pembangunan Desa
Strategi optimalisasi ADD untuk mewujudkan Pembangunan Desa sebenarnya cukup
sederhana. Salah satu caranya adalah penerapan Planing, Organizing, Actuating, dan
Controling (POAC) dengan benar agar ADD tersebut dapat tepat sasaran dan berhasil.
Apabila Pemerintah Pusat, PEMDA Provinsi, PEMDA Kabupaten/Kota, Badan
Permusyawaratan Desa (BPDes), Kepala Desa dan masyarakat Desa itu sendiri bekerja
sama dan melakukan pekerjaannya masing-masing sesuai tupoksi yang sudah diatur
dalam ketentuan UU maka tertutup sudah celah korupsi dan ketidak-bermanfaatan dana
yang dikeluarkan untuk Pembangunan Desa. Karena sebenarnya mekanisme
Pembangunan Desa merupakan perpaduan yang serasi antara kegiatan pemerintah dan
6 Fathur Rahman, Korupsi Tingkat Desa, dalam jurnal governance, Vol. 2, Nomor 1, November 2011, hlm. 18.
partisipasi masyarakat itu sendiri. Pada hakekatnya Pembangunan Desa dapat berhasil
karena masyarakat itu sendiri. Sedangkan pemerintah memberikan bimbingan
pengarahan, bantuan pembinaan dan pengawasan. Agar kemampuan masyarakat dapat
ter-upgrade, dalam usaha meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.7
Maka dari itu dalam menerapkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak bisa
dilaksanakan parsial, harus secara menyeluruh dan didasarkan pada konsep yang matang.
Dianggap perlu juga melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel,
transparan, professional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari KKN. KPK telah
mempublikasi hasil kajian mengenai potensi korupsi yang dapat muncul dari ADD.8
Alangkah lebih baiknya agar prinsip tersebut dapat terlaksana dan Pembangunan Desa
bisa tepat guna, ada beberapa aspek yang perlu dievaluasi dan dikerjakan dengan serius,
yaitu : pengawasan, regulasi dan kelembagaan, tata laksana, dan SDM.
1. Aspek Pengawasan
Berdasarkan Pasal 78 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Salah
satu fungsi BPDes adalah melakukan pengawasan kinerja kepada Kepala Desa sesuai
dengan ketentuan Pasal 55 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di tingkat yang
lebih tinggi, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota berhak mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa (Pasal 112
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa). Selanjutnya, untuk meminimalisir potensi
korupsi pada aspek pengawasan dapat dilakukan dengan meningkatkan efektivitas
Inspektorat Daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di
Desa, meningkatkan pengelolaan saluran pengaduan masyarakat dengan baik di
semua daerah, serta meningkatkan evaluasi dan pengawasan oleh camat secara jelas.
2. Aspek Regulasi dan Kelembagaan
Dapat dilakukan dengan melengkapi regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan
yang diperlukan dalam pengelolaan Keuangan Desa oleh pemerintah, meminimalisir
potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementrian Desa dan Ditjen Bina
Pemerintahan Desa Kementrian Dalam Negeri, melakukan transparansi atas dasar
pemerataan terhadap formulasi pembagian dana Desa dalam PP Nomor 22 tahun
7 Thomas, 2013, Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Upaya Meningkatkan Pembangunan di Desa
sebawang Kecamatan sesayap Kabupaten tana tidung, eJournal Pemerintahan Integratif, 1 (1): 51-64 hlm 56) 8 http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-persoalan-pengelolaan-dana-Desa,
diakses tanggal 21 Januari 2016 pukul 17.00 WIB
2015, meningkatkan keadilan dalam pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi
Perangkat Desa dari ADD yang diatur dalam PP Nomor 43 tahun 2014, serta efisiensi
penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh Desa terhadap ketentuan regulasi yang
tumpang tindih.
Karena kalau kita lihat persoalan yang cukup mencolok, adalah formula
pembagian dana Desa yang berubah disebabkan dari PP Nomor 60 tahun 2014
menjadi PP Nomor 22 tahun 2015. Pada Pasal 11 PP Nomor 60 tahun 2014 formulasi
penentuan besaran dana Desa per Kabupaten/Kota cukup transparan dengan
mencantumkan bobot pada setiap variable, sementara pada Pasal 11 PP Nomor 22
tahun 2015, formula pembagian dihitung berdasarkan jumlah Desa, dengan bobot
sebesar 90% dan hanya 10% yang dihitung dengan menggunakan formula jumlah
penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis.9
3. Aspek Tata Laksana
Pada aspek tata laksana, terdapat hal yang harus ditingkatkan antara lain,
peningkatan pematuhan oleh perangkat Desa terhadap kerangka waktu siklus
pengelolaan anggaran Desa, penyediaan satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan
acuan bagi Desa dalam menyusun APBDesa, Peningkatan transparansi rencana
penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa, Peningkatan standarisasi dan
meminimalisir manipulasi oleh Desa dalam membuat laporan pertanggungjawaban,
serta APBDesa seharusnya disusun sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan Desa.
4. Aspek Sumber Daya Manusia
Pasal 1 angka 12 UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, menyatakan bahwa
Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan
kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan,
perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan
kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah
dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. Salah satu upaya untuk melakukan
pemberdayaan masyarakat Desa adalah dengan cara melakukan pendampingan Desa.
Pasal 1 angka 14 PERMEN Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan
Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa menyatakan bahwa
pendampingan Desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan
masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi Desa.
9 Ibid.,
Tujuan dari pendampingan Desa ini meliputi: a) meningkatkan kapasitas, efektivitas
dan akuntabilitas pemeritahan Desa dan pembanguan Desa; b) meningkatkan
prakarsa, kesadaran dan partisipasi mayarakat Desa dalam Pembangunan Desa yang
partisipatif; c) meningkatkan sinergi program Pembangunan Desa antarsektor; dan d)
mengoptimalkan aset lokal Desa secara emansipatoris. Pendampingan Desa ini
dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas: a) tenaga pendamping profesional; b)
Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa; dan/atau c) Pihak Ketiga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Faktor utama dibalik belum optimalnya Alokasi Dana Desa untuk Pembangunan Desa
adalah kemampuan manajerial internal Desa (kepala Desa dan perangkatnya),
terbatasnya SDM, serta kesimpang-siuran Undang-Undang yang dijadikan pedoman
dalam pelaksanaan Alokasi Dana Desa.
Kemampuan menajerial dalam hal ini mencakup tentang luasan proyek yang
dikerjakan oleh Desa yang biasanya hanya dalam skala kecil sehingga dampaknya hanya
terasa di lingkungan Desa tersebut. Selain itu, kurangnya integrasi antara program Desa
dan kebijakan nasional dapat menyebabkan hasil dan manfaat yang diharapkan dari
program Desa tidak maksimal atau bahkan malah menimbulkan kerugian bagi Desa.
Terbatasnya Sumber Daya Manusia di Desa baik dalam hal kualitas dan kuantitas juga
turut mempengaruhi mengapa serapan dari Alokasi Anggaran Desa. Kurangnya kualitas
disini juga menyebabkan cara pandang yang sempit, dimana apabila suatu Desa
mendapat proyek, orientasi yang dimiliki bukan welfare oriented tetapi money oriented.
Sementara itu, faktor lain dari belum optimalnya Alokasi Dana Desa adalah
kesimpang-siuran Undang-Undang yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan Alokasi
Dana Desa. Ada beberapa regulasi yang tidak lengkap baik dari sisi regulasi itu sendiri,
teknis, dan petunjuk teknis pelaksanaannya. Kurangnya transparansi formula pembagian
dana Desa pada PP terbaru yang hanya berpedoman pada perbandingan 90%:10%
menimbulkan dana berlebih pada Desa dengan dusun dan luas wilayah lebih kecil yang
bisa memicu korupsi.
Untuk itu, pengupayaan optimalisasi Alokasi Dana Desa harus dilaksanakan. Salah
satunya dengan penerapan Planning, Organizing, Actuating dan Controlling dengan
benar sehingga hasil yang diinginkan bisa tercapai dan sasaran yang dituju sesuai. Dalam
hal ini, adanya sinergi antara pemerintah Desa dan masyarakat juga bisa memperkecil
kemungkinan dilakukannya korupsi. Karena pada dasarnya kemakmuran Desa dan
keberhasilan dari Alokasi Dana Desa bergantung pada bagaimana pengelolaan yang
dilakukan oleh pemerintah Desa dengan pengawasan dari masyarakat dalam
pelaksanaannya.
B. Saran
Pemerintah pusat diharapkan lebih berani menetapkan poin-poin yang paten tentang
bagaimana pengaturan pembagian Alokasi Dana Desa serta regulasi dalam
pelaksanaannya. Sehingga ketika program ini dilaksanakan di masyarakat hasil yang
diperoleh bisa maksimal dan sesuai sasaran. Karena, apabila regulasi yang digunakan
simpang siur, maka dana yang diterima menjadi tidak pasti dan dapat menimbulkan celah
untuk melakukan korupsi. Dan bila korupsi telah terjadi, dengan adanya kesimpang-
siuran peraturan pembagian Alokasi Dana Desa maka proses penegakan hukumnya bisa
tersendat. Dengan adanya regulasi yang transparan, peluang untuk terjadinya korupsi
bisa ditekan sekecil mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Iswan Kaputra. 2013. Pemberdayaan Masyarakat Era Otonomi Daerah. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Mashuri Maschab. 2013. Politik Pemerintahan Desa Di Indonesia. Polgov UGM:
Yogyakarta.
Fathur Rahman. Korupsi Tingkat Desa. Jurnal Governance, Vol. 2, Nomor 1,
November 2011.
Thomas. Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Upaya Meningkatkan Pembangunan
di Desa Sebawang Kecamatan Sesayap Kabupaten Tana Tidung. eJournal
Pemerintahan Integratif, 1 (1): 51-64. 2013.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaan UU Desa. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Desa Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman
Kewenangan Hak Asal-Usul. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Pendampingan Desa. Jakarta: Sekretariat Negara.
http://kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-persoalan-
pengelolaan-dana-Desa
http://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20150214183709-78-32162/atas-nama-
Pembangunan-dana-Desa-rentan-diselewengkan/
http://m.tribunnews.com/nasional/2015/09/11/januari-agustus-2015-banyak-kasus-
korupsi-terkait-anggaran
http://nasional.sindonews.com/read/1012177/149/kpk-temukan-potensi-korupsi-dana-
Desa-1434165906