dimensi nyeri
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas beberapa aspek yang terkait dengan
penelitian ini.
1. KONSEP NYERI
1.1 Defenisi nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang telah
atau akan terjadi yang digambarkan dengan kata-kata kerusakan jaringan
(Torrance, 1997). Tamsuri (2007) mendefenisikan nyeri sebagai suatu
keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila
seseorang pernah mengalaminya. Secara umum, nyeri dapat didefinisikan
sebagai suatu rasa yang tidak nyaman baik ringan maupun berat (Priharjo,
1993).
Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan
jaringan yang bersifat subjektif (Potter & Perry, 2005). Nyeri juga
merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri.
Perilaku seseorang akan berubah, apabila seseorang merasakan nyeri.
Misalnya, seseorang yang kakinya terkilir menghindari aktivitas
mengangkat barang yang memberi beban penuh pada kakinya untuk
mencegah cedera lebih lanjut (Muttaqin, 2008).
1.2 Klasifikasi Nyeri
Menurut Brunner & Suddarth (2001), ada dua kategori dari nyeri
secara umum diketahui yaitu nyeri akut dan nyeri kronis.
1.2.1 Nyeri akut
Nyeri akut terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas
yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung dalam waktu
yang singkat (Potter & Perry, 2005). Jika kerusakan tidak lama
terjadi dan tidak ada penyakit sistematik, nyeri akut biasanya
menurun sejalan dengan terjadinya proses penyembuhan; nyeri ini
umumnya terjadi kurang dari enam bulan (Brunner & Suddarth,
2001). Dua tipe sindroma nyeri akut yang utama adalah nyeri
somatis dan nyeri viscera (Rospond, 2008).
a. Nyeri Somatis
Nyeri somatis permukaan/superfisial adalah akibat stimulasi
nosiseptor di dalam kulit atau jaringan subkutan dan mukosa yang
mendasari (Price & Wilson, 2005). Hal ini ditandai dengan adanya
sensasi/rasa berdenyut, panas atau tertusuk, dan mungkin berkaitan
dengan rasa nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara
normal tidak mengakibatkan nyeri (misalnya allodinia), dan
hiperalgesia. Jenis nyeri ini biasanya konstan dan jelas lokasinya
(Rospond, 2008).
Nyeri superfisial biasanya terjadi sebagai respon terhadap
luka terpotong, luka gores dan luka bakar superfisial (Price &
Wilson, 2002). Nyeri somatis dalam diakibatkan oleh jejas pada
struktur dinding tubuh (misalnya, otot rangka/skelet). Nyeri
pascabedah memiliki komponen nyeri somatis dalam karena
trauma dan jejas pada otot rangka (Rospond, 2008).
b. Nyeri viscera
Nyeri viscera disebabkan oleh jejas pada organ dengan saraf
simpatis (Rospond, 2008). Nyeri ini dapat disebabkan oleh distensi
abnormal atau kontraksi pada dinding otot polos, tarikan cepat
kapsul yang menyelimuti suatu organ (misalnya hati), iskemi otot
skelet, iritasi serosa atau mukosa, pembengkakan atau pemelintiran
jaringan yang berlekatan dengan organ-organ ke ruang peritoneal,
dan nekrosis jaringan (Price & Wilson, 2005).
Nyeri viscera seringkali muncul pada awal awitan (onset)
atau pada stadium dini suatu penyakit. Sensasi nyeri yang berasal
dari organ dalam sering dipersepsikan sebagai nyeri yang berasal
dari bagian tubuh yang lebih supersifial/permukaan, biasanya
daerah-daerah yang dipersarafi oleh saraf spinal yang sama; lokasi
nyeri di bagian superfisial atau bagian dalam yang berjauhan
dengan sumber patologi yang sebenarnya biasa disebut sebagai
referred pain (nyeri alih) (Brunner & Suddarth, 2001). Infark
miokard akut dan pankreatitis akut merupakan salah satu contoh
dari nyeri viscera (Rospond, 2008).
1.2.2 Nyeri Kronis
Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermitten yang
menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di
luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat
dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis dapat
tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering
sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan
respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya
(Potter & Perry, 2005).
Nyeri kronis tidak mempunyai tanda-tanda dan gejala
klinis, sehingga patofisiologi yang mendasarinya biasanya tidak
terdeteksi pada pemeriksaan fisik atau radiologis. Nyeri kronis
dapat muncul dari lokasi viscera, jaringan miofasial, atau
penyebab-penyebab neurologis, dan biasanya dibedakan menjadi
nyeri maligna (kanker atau keganasan) dan nyeri non-maligna
(jinak) (Rospond, 2008).
a. Nyeri kanker
Nyeri kronis maligna merupakan kombinasi dari beberapa
komponen nyeri akut, intermiten dan kronis. Nyeri kanker dapat
muncul pada tempat/situs primer kanker sebagai akibat ekspansi
tumor, penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor,
obstruksi maligna, atau infeksi pada ulkus maligna (Rospond,
2008). Nyeri juga dapat muncul pada tempat metastase yang jauh.
Selain itu, terapi kanker dengan tindakan bedah, kemoterapi, dan
radiasi juga dapat menimbulkan mukositis, gastroenteritis, iritasi
kulit, dan nyeri lain yang berakitan (Brunner & Suddarth, 2005).
b. Nyeri non-kanker
Nyeri kronis non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe
utama: nyeri neuropati dan nyeri muskuloskeletal. Nyeri neuropati
dapat bersifat idiopatik atau dapat juga muncul dari lokasi tertentu
atau umum pada jejas saraf. Awitannya dapat terjadi seketika
setelah jejas atau setelah jeda waktu tertentu (Rospond, 2008).
Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain
nyeri yang terus menerus, juga dapat terjadi nyeri yang tumpang
tindih, hilang-muncul (intermitten), nyeri seperti syok, yang
seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam, seperti
tersengat listrik/elektrik, mengejutkan, seperti disobek/robek, atau
kejang Contoh sindroma nyeri neuropati kronis adalah neuralgia
pascaherpes, neuropati diabetik, neuralgia trigeminal, nyeri
pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu rasa nyeri pada bagian tubuh
yang telah diamputasi) (Rospond, 2008).
Nyeri muskuloskeletal muncul dari jaringan otot, tulang,
persendian atau jaringan ikat. Nyeri ini dapat diakibatkan oleh jejas
idiopatik atau iatrogenik. Sindroma nyeri muskuloskeletal kronik
yang umum adalah nyeri yang berkaitan dengan penyakit inflamasi
otot misalnya polimyositis (penyakit jaringan ikat yang ditandai
dengan edema, inflamasi, dan degenerasi otot) dan dermatitis dan
juga nyeri yang berkaitan dengan penyakit persendian misalnya
arthritis (Rospond, 2008).
1.3 Fisiologi nyeri
Berdasarkan mekanismenya, nyeri melibatkan persepsi dan respon
terhadap nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat
proses (Luckmann & Sorensen’s, 1987), yaitu sebagai berikut.
1.3.1 Transduksi (transduction)
Transduksi adalah proses dari stimuli nyeri dikonversi ke
bentuk yang dapat diakses oleh otak (Turk & Flor, 1999 dalam
Harahap, 2007). Proses tranduksi dimulai ketika nosiseptor yaitu
reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi.
Aktivasi reseptor ini merupakan bentuk respon terhadap stimulus
yang datang seperti kerusakan jaringan. Stimuli ini dapat berupa
stimuli fisik (tekanan, suhu (panas), atau kimia (substansi nyeri)
(Muttaqin, 2008).
1.3.2 Transmisi (transmission)
Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang
membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke otak. Proses
transmisi merupakan proses penyaluran impuls sensori menyusul
proses transduksi (Luckmann & Sorensen’s, 1987). Proses
transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf
berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar (Davis,
2003 dalam Harahap, 2007). Saraf aferen akan berakson pada
dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan
melalui sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral
dari thalamus menuju korteks serebal (Muttaqin, 2008).
1.3.3 Modulasi (modulation)
Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam
upaya mengontrol jalur transmisi nosiseptor tersebut (Turk & Flor,
1999 dalam Harahap, 2007). Proses modulasi adalah proses di
mana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen yang
dihasilkan oleh tubuh pada saat nyeri masuk ke kornu posterior
medulla spinalis (Luckmann & Sorensen’s, 1987).
Proses modulasi melibatkan sistem neural yang kompleks.
Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri
ini akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan
impuls nyeri ini ke bagian lain dari sistem saraf seperti bagian
korteks. Selanjutnya impuls ini akan ditransmisikan melalui saraf-
saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor
(Luckmann & Sorensen’s, 1987).
1.3.4 Persepsi (perception)
Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap
nyeri (Potter & Perry, 2005). Proses persepsi ini tidak hanya
berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan
tetapi juga meliputi pengenalan (cognition) dan ingatan (memory)
(Davis, 2003 dalam Harahap, 2007). Oleh karena itu, faktor
psikologis, emosional dan behavioral (perilaku) juga muncul
sebagai respon dalam mempersepsikan pangalaman nyeri tersebut.
Proses ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena
yang multidimensional (Luckmann & Sorensen’s, 1987).
1.4 Teori Nyeri
Ada beberapa teori yang menggambarkan bagaimana nosiseptor
dapat menghasilkan rangsangan nyeri, di antaranya sebagai berikut.
1.4.1 Teori Spesivitas (Specivicity Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Descrates pada abad ke-17
(Luckmann & Soronsen, 1987). Teori ini menjelaskan bahwa nyeri
berjalan dari reseptor-reseptor nyeri yang spesifik melalui jalur
neuroanatomik tertentu ke pusat nyeri di otak dan hubungan antara
stimulus dan respon nyeri yang bersifat langsung dan invariabel.
Prinsip teori ini adalah: (1) reseptor somatosensorik adalah reseptor
yang mengalami spesialisasi untuk berespon secara optimal
terhadap satu atau lebih tipe stimulus tertentu, dan (2) tujuan
perjalanan neuron aferen primer dan ascendens merupakan faktor
kritis dalam membedakan sifat stimulus di perifer (Price & Wilson,
2005).
1.4.2 Teori Pola
Teori ini diperkenalkan pada tahun 1989 oleh Goldscheider.
Teori pola menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai
reseptor sensori yang dirangsang oleh pola tertentu. Nyeri
merupakan akibat stimulus yang menghasilkan pola tertentu dari
impuls saraf. Pada sejumlah kausalgia, nyeri pantom, dan
neuralgia, teori pola ini bertujuan bahwa rangsangan yang kuat
mengakibatkan berkembangnya gaung terus menerus pada spinal
cord sehingga saraf transmisi nyeri bersifat hipersensitif dimana
rangsangan dengan intensitas rendah dapat menghasilkan transmisi
nyeri (Lewis, 1983).
1.4.3 Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control)
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Melzack & Wall
pada tahun 1965. Menurut teori ini, pada cornu dorsalis medulla
spinalis terdapat mekanisme neural, yang berfungsi sebagai
gerbang, yang dapat mengatur rangsang dari saraf perifer ke SSP.
Secara anatomis, gerbang tersebut terletak di substansi gelatinosa
(Luckmann & Sorensen’s, 1987).
Hantaran rangsang saraf dari serabut aferen perifer, ke sel
transmisi medula spinalis, diatur oleh mekanisme “Gate Control”
di cornu dorsalis. Mekanisme ini dipengaruhi oleh jumlah relatif
serabut saraf besar dan serabut kecil. Teori ini mengatakan bahwa
impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya
menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi
menghilangkan nyeri (Melzack, 1973 dalam Potter & Perry, 2005).
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan
serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan.
Lintasan impuls perasaan nyeri terdiri atas serangkaian neuron.
Dari tepi sampai di dalam susunan saraf pusat rangkaian neuron
dibedakan menjadi neuron pertama, kedua, dan ketiga (Luckmann
& Soronsen’s, 1987).
Neuron pertama ialah neuron yang membentuk ganglion
spinal. Neuron tersebut berbentuk pseudounipolar. Jalur perifernya
membentuk alat perasaan (serabut bebas) dan serabut srensorik
perifer. Impuls perasaan nyeri dan suhu disalurkan oleh serabut
sensorik perifer berdiameter halus (golongan A) atau yang tidak
berselubung mielin (golongan C) (Muttaqin, 2008).
Neuron kedua lintasan tersebut dibentuk oleh sel-sel yang
menyusun nukleus proprius kornu dorsalis itu. Jaras ini mulai di
nukleus propius kornu dorsalis, lalu menyilang garis tengah
melalui komisura alba untuk tiba di funikulus ventrolateralis dan
kemudian membelok ke rostral dan menggabungkan diri dengan
serabut spinotalamikus lainnya yang mengakhiri perjalanannya di
nukleus ventro-postero-lateralis (VPL) sisi kolateral (Sidharta,
1985 dalam Muttaqin, 2008).
1.5 Multidimensional nyeri
Nyeri adalah fenomena yang multidimensional. Ahles dan
koleganya (1983 dalam Harahap, 2007) mengkategorikan lima dimensi
nyeri ini mulanya diperuntukkan untuk nyeri pada kasus kanker. Kelima
dimensi ini meliputi dimensi fisiologis, sensori, afektif, kognitif, dan
behaviour (perilaku). McGuire (1987 dalam Harahap, 2007),
menambahkan dimensi sosial-kultural sebagai dimensi tambahan dalam
multidimensional dari fenomena nyeri. Keenam dimensi ini saling
berhubungan, berinteraksi serta dinamis.
1.5.1 Dimensi Fisiologi
Dimensi fisiologi terdiri dari penyebab organik dari nyeri
tersebut seperti kanker yang telah bermetastase ke tulang, obstruksi
lumina, saraf perifer, tekanan kanker membesar, adanya iskemia,
distensi, inflamasi, dan infeksi atau nekrosis jaringan (Baradero dan
kolega, 2007). Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua
karakteristik yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi
dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang
dialami tersebut akut atau kronik sedangkan pola nyeri dapat
diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik,
periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan (Priharjo,
1993).
Sumber nyeri pada kasus kanker sangat luas. Tumor dapat
menimbulkan nyeri somatik, visceral, dan bahkan nyeri neuropatik
dengan kualitas nyeri yang berbeda-beda serta mengenai area
anatomi tubuh yang berbeda juga (Brunner & Suddarth, 2001).
Penanganan kanker juga berkontribusi dalam rangsang nyeri yang
dialami oleh pasien kanker seperti prosedur diagnostik dan standar
modalitas terapi seperti pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Standar terapi ini menimbulkan nyeri akut atau juga nyeri kronik
(Rospond, 2008).
1.5.2 Dimensi afektif
Dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu
terhadap nyeri yang dirasakannya. Menurut McGuire dan Sheilder
(1993 dalam Cleeland, 2009), dimensi afektif dari nyeri identik
dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang
mudah sekali memahami kondisi depresi atau gangguan psikologis
lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat
dibandingkan dengan pasien lainnya (Ruslan, 2008).
1.5.3 Dimensi sosio-kultural
Dimensi sosiokultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari
faktor demografi, adat-istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang
berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi nyeri dan respon
seseorang terhadap nyerinya (IASP, 2002). Kultur atau budaya
memiliki peranan yang kuat untuk menentukan faktor sikap
individu dalam mempersepsikan dan merespon nyerinya.
Sikap individu ini juga berkaitan dengan faktor usia, jenis
kelamin, dan ras. Im dan koleganya (2008) melakukan penelitian
tentang pengalaman nyeri pasien kanker pada orang Afrika-
Amerika. Mereka mengatakan bahwa pengaruh budaya terhadap
peranan wanita kuat dalam budaya orang Afrika-Amerika
cenderung menyebabkan wanita penderita kanker kurang
diperhatikan ketika mengeluh tentang nyeri dan mencari
pertolongan untuk mengatasi nyeri yang dialami. Beberapa
responden merasakan bahwa kanker sebagai suatu noda/cacat dan
mengeluh tentang nyeri yang dialami bukanlah sesuatu hal yang
harus didiskusikan secara terbuka.
1.5.4 Dimensi sensori
Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi
dimana nyeri itu timbul dan bagaimana rasanya (Potter & Perry,
2005). Ahles dan koleganya (1983 dalam Harahap, 2007)
menyatakan bahwa terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi
sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri.
Lokasi nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri bila
ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri itu sendiri dapat
dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi. Kondisi dimana
dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda
mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak
lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit
bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya (McGuire & Sheidler,
1993 dalam Potter & Perry, 2005).
Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh
individu dan seringkali digambarkan dengan kata-kata seperti
ringan, sedang, dan berat. Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan
dengan angka yang menggambarkan skor dari nyeri yang
dirasakan, sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan
bagaimana nyeri itu sebenarnya dirasakan individu. Nyeri yang
dialami klien seringkali tidak dapat dijelaskan (Priharjo, 1993).
1.5.5 Dimensi Kognitif
Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri
yang dirasakan oleh individu terhadap proses pikirnya atau
pandangan individu terhadap dirinya sendiri (Chong, 1999).
Respon pikiran individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat
diasosiasikan dengan kemampuan koping individu menghadapi
nyerinya (Ruslan, 2008).
Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi
kognitif. Pengetahuan tentang nyeri dan penanganannya dapat
mempengaruhi respon seseorang terhadap nyeri. Nyeri itu sendiri
dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berpikir tentang
nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya,
dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya (Chong, 1999).
1.5.6 Dimensi perilaku (behavioral)
Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh
seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami
nyeri yang dapat diobservasi (Wall & Jones, 1991). Tampilan
perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat berupa guarcing,
bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku mengkonsumsi
obat.
Fordyce (1976 dalam Harahap, 2007) mengajukan bahwa
perilaku nyeri dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau dapat
juga direinforce oleh perhatian, dukungan sosial, atau menghindari
kegiatan yang dapat merangsang nyeri (seperti bekerja di kantor,
pekerjaan rumah tangga). Nyeri, jika diikuti oleh faktor
pendukung, maka nyeri akan bertahan lebih lama dari waktu
penyembuhan normalnya.
1.6 Penanganan nyeri
Strategi penatalaksanaan nyeri mencakup baik pendekatan
farmakologis dan nonfarmakologis (Brunner & Suddart, 2001).
Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien
secara individu.
1.6.1 Farmakologis
Beberapa agen farmakologis digunakan untuk menangani
nyeri. Metode yang paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri
adalah analgesik. (Brunner & Suddarth, 2001). Ada tiga jenis
analgesik, yakni: non-narkotik dan obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID), analgesik narkotik atau opiat, dan obat tambahan
(adjuvant) atau koanalgesik (Potter & Perry, 2005).
NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri
ringan dan nyeri sedang, seperti nyeri yang terkait dengan arthritis
rheumatoid, prosedur, pengobatan gigi, dan prosedur bedah minor,
episiotomi, dan masalah pada punggung bagian bawah (Brunner &
Suddarth, 2001). Satu pengecualian, yaitu Ketorolac (Toradol),
merupakan agen analgesik pertama yang dapat diinjeksikan yang
kemanjurannya dapat dibandingkan dengan morphin (Muttaqin,
2008).
Mekanisme kerja NSAID belum diketahui secara pasti,
namun demikian NSAID diyakini bekerja menghambat sintesis
prostaglandin dan menghambat respons selular selama inflamasi.
Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor saraf perifer untuk
mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri. Tidak seperti
opiat, NSAID tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernafasan,
juga tidak mengganggu fungsi berkemih atau defekasi (Muttaqin,
2008).
Analgesik opiat atau narkotik umumnya diresepkan untuk
nyeri yang sedang sampai berat, nyeri pascaoperasi dan nyeri
maligna. Ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk menghasilkan
kombinasi efek yang mendepresi dan menstimulasi. Adjuvan,
seperti sedatif, anticemas, dan relaksan otot meningkatkan
kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain yang terkait dengan
nyeri, seperti depresi dan mual (Brunner & Suddarth, 2001).
1.6.2 Nonfarmakologis
Ada sejumlah terapi nonfarmakologis yang mengurangi
resepsi dan persepsi nyeri dan dapat digunakan pada keadaan
perawatan akut dan perawatan tersier sama seperti di rumah dan
pada keadaan perawatan restorasi. Dengan cara yang sama, terapi-
terapi ini digunakan dalam kombinasi dengan tindakan
farmakologis (Potter & Perry, 2005).
a. Sentuhan terapeutik
Teknik ini dikembangkan oleh Kunz dan Krieger di mana
sentuhan teraupetik ini sebagian berasal dari praktik kuno
“meletakkan tangan” (Mackey, 1995 dalam Potter & Perry, 2005).
Teori ini mengatakan bahwa individu yang sehat mempunyai
keseimbangan energi (ekulibrium) antara tubuh dengan
lingkungan luar. Orang sakit berarti ada ketidakseimbangan
energi, dengan memberikan sentuhan pada klien, diharapkan ada
transfer energi ke klien.
Sentuhan terapeutik meliputi penggunaan tangan untuk
secara sadar melakukan pertukaran energi. Terdapat 4 langkah
dasar untuk melakukan teknik ini, yaitu pemusatan, pengkajian,
terapi, dan evaluasi. Setiap tahap umumnya melaju dengan
langkah berikutnya dan proses secara keseluruhan berlangsung
sekitar 25 menit (Potter & Perry, 2005).
b. Imajinasi terbimbing (guided imagery)
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi
seseorang dalam suatu cara yang dirangsang secara khusus untuk
mencapai efek positif tertentu (Brunner & Suddarth, 2001). Hal
ini dapat dilakukan dengan meminta klien berimajinasi
membayangkan hal-hal yang menyenangkan, tindakan ini
memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi
dari klien. Apabila klien mengalami kegelisahan, tindakan harus
dihentikan. Tindakan ini dilakukan pada saat klien merasa
nyaman dan tidak sedang nyeri akut (Potter & Perry, 2005).
c. Distraksi
Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien
pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi suatu strategi yang
sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang
bertanggung jawab terhadap teknik kognitif efektif lainnya (Arntz
dkk, 1991; Devine dkk, 1990 dalam Brunner & Suddarth, 2001).
Teknik ini efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Sistem
aktivasi retikular menghambat stimulus yang menyakitkan jika
seseorang menerima masukan sensori yang cukup dan berlebihan.
Stimulus yang menyenangkan menyebabkan pelepasan endorphin
(Jihan, 2009).
Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton
sampai menggunakan aktivitas fisik dan mental yang sangat
kompleks. Teknik distraksi lain yang bisa dilakukan antara lain,
distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi
audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (masase, memegang
mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur)
(Potter & Perry, 2005).
d. Stimulasi kutaneus
Penggunaan stimulasi kutaneus yang benar dapat
mengurangi persepsi nyeri dan membantu mengurangi
ketegangan otot. Meek (1993 dalam Potter & Perry, 2005)
mengatakan bahwa sentuhan dan masase merupakan teknik
integrasi sensori yang mempengaruhi aktivitas system saraf
otonom. Apabila individu mempersepsikan sentuhan sebagai
stimulus untuk rileks, kemudian akan muncul respon relaksasi.
Tindakan masase punggung dengan usapan perlahan pada klien
dengan nyeri kanker terbukti menurunkan intensitas nyeri
(Usman, 2005).
Selain itu, stimulasi kutaneus dapat digunakan dengan cara
pemberian kompres dingin, kompres hangat, balsam analgesik
dan stimulasi kontralateral (Muttaqin, 2008). Pemberian kompres
hangat dan dingin lokal bersifat terapeutik. Area pemberian
kompres panas dan dingin bisa menyebabkan respon sistemik dan
respon lokal (Istichomah, 2007).
Kompres panas adalah memberikan rasa hangat pada
daerah tertentu dengan menggunakan cairan atau alat yang
menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukan.
Tindakan ini selain untuk melancarkan sirkulasi darah juga untuk
menghilangkan rasa sakit, merangsang peristaltik usus,
pengeluaran getah radang menjadi lancar, serta memberikan
ketenangan dan kesenangan pada klien. Pemberian kompres
dilakukan pada radang persendian, kekejangan otot, perut
kembung, dan kedinginan (Istichomah, 2007).
Kompres dingin adalah memberi rasa dingin pada daerah
setempat dengan menggunakan kain yang dicelupkan pada air
biasa atau air es sehingga memberi efek rasa dingin pada daerah
tersebut. Tujuan diberikan kompres dingin adalah menghilangkan
rasa nyeri akibat edema atau trauma, mencegah kongesti kepala,
memperlambat denyutan jantung, mempersempit pembuluh darah
dan mengurangi arus darah lokal. Tempat yang diberikan kompres
dingin tergantung lokasinya. Selama pemberian kompres, kulit
klien diperiksa setelah 5 menit pemberian, jika dapat ditoleransi
oleh kulit diberikan selama 20 menit (Potter & Perry, 2005).
2. PENGALAMAN NYERI
2.1 Konsep pengalaman nyeri
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial,
atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut (IASP, 1979
dalam Potter & Perry, 2005). Dari definisi tersebut, jelaslah terlihat
bahwa pengalaman nyeri melibatkan dimensi sensori, emosional dan juga
kognitif.
Pengalaman nyeri merupakan interaksi dari tiga sistem yang
berkaitan dengan stimulasi nosiseptif, yaitu sensori-diskriminatif,
motivasi-afektif, dan kognitif-evaluasi. Ketiga sistem ini berkontribusi
terhadap subjektivitas nyeri dan integralisasi faktor psikologis dalam
pengalaman nyeri (Melzack & Casey, 1968 dalam Cleeland, 2009).
Sistem sensori-diskriminatif di mana transmisi nyeri terjadi antara
thalamus dan korteks sensori. Seorang individu mempersepsikan lokasi,
keparahan, dan karakter nyeri. Faktor-faktor yang dapat menurunkan
tingkat kesadaran (misalnya, analgesik, anastesi, penyakit serebral)
menurunkan persepsi nyeri sementara faktor-faktor yang meningkatkan
kesadaran terhadap stimulus (misalnya, ansietas, gangguan tidur)
meningkatkan persepsi nyeri (Melzack & Casey, 1968 Potter & Pery,
2005).
Interaksi antara pembentukan sistem retikular dan sistem limbik
menghasilkan persepsi nyeri. Pembentukan retikular menghasilkan
respon pertahanan, menyebabkan individu menginterupsi atau
menghindari stimulus nyeri. Sistem limbik mengontrol respon emosi dan
kemampuan yaitu koping nyeri. Inilah yang disebut dengan sistem
motivasi-afektif (Potter & Perry, 2005).
Sementara, sistem kognitif-evaluatif, di mana pusat kortikal yang
lebih tinggi di otak mempengaruhi persepsi. Kebudayaan, pengalaman
dengan nyeri, dan emosi mempengaruhi evaluasi terhadap pengalaman
nyeri. Sistem ini membantu seseorang untuk menginterpretasi intensitas
dan kualitas nyeri sehingga dapat melakukan suatu tindakan (Arif, 2008).
2.2 Fase-fase pengalaman nyeri
Meinhart & McCaffery (1983 dalam Potter & Perry, 2005)
mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri yaitu sebagai berikut.
2.1.1 Fase antisipasi (anticipatory phases)
Fase antisipasi terjadi sebelum mempersepsikan nyeri.
Seorang individu mengetahui nyeri akan terjadi. Fase ini mungkin
bukan merupakan fase yang paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Dalam situasi cedera traumatik atau
dalam prosedur nyeri yang tidak terlihat (Potter & Perry, 2005).
Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang
nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Dengan
instruksi dan dukungan yang adekuat, klien belajar untuk
memahami dan mengontrol ansietas sebelum nyeri terjadi. Pada
situasi klien merasa terlalu takut atau terlalu cemas, maka
antisipasi terhadap nyeri dapat meningkatkan antisipasi terhadap
nyeri dapat meningkatkan persepsi keparahan nyeri (Melzack,
1968 dalam Potter & Perry, 2005).
2.1.2 Fase sensasi (sensation phases)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. Kemunculan
dan kekuatan sensasi nyeri merupakan indikasi dari ekspresi nyeri
dan harus dibedakan dengan toleransi nyeri klien terhadap nyeri.
Toleransi nyeri merupakan kemauan klien untuk menahan lamanya
atau kuatnya nyeri tanpa bantuan nyeri (Reeder & Martin, 1997).
Toleransi bergantung pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini
oleh seseorang (Potter & Perry, 2005).
Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu
orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus
kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah
akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien
dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan
nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap
nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum
nyeri datang (Muttaqin, 2008).
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai cara,
mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Klien
mungkin memilih untuk tidak mengekspresikan nyeri apabila
mereka yakin bahwa ekspresi tersebut akan membuat orang lain
merasa tidak nyaman atau hal itu menjadi tanda bahwa mereka
kehilangan kontrol diri (Potter & Perry, 2005).
2.1.3 Fase akibat (aftermath phase)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada
fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena
nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami
gejala sisa pasca nyeri. Nyeri merupakan suatu krisis. Setelah
mengalami nyeri, klien mungkin memperlihatkan gejala-gejala
fisik, seperti menggigil, mual, muntah, marah, atau depresi.
Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon
akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.
Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk
meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang
(Melzack, 1968; Meinhart & McCaffery, 1983 dalam Potter &
Perry, 2005).
Melzack & Casey (1968 dalam Ceeland, 2009)
menyebutkan bahwa mekanisme neurofisiologi nyeri melibatkan
tiga sistem interaksi sistem sensori-diskriminatif, motivasi-afektif,
dan kognitif-evaluatif. Pendekatan dalam pengukuran nyeri yang
didasarkan pada tiga pola respon yang berbeda terhadap kata yang
digunakan pasien untuk mendeskripsikan nyeri yang mereka alami.
Tetapi dari penelitian yang telah dilakukan, pasien yang
diwawancarai sulit membedakan antara dimensi motivasi-afektif
dan kognitif-evaluatif (Ceeland, 1989; Ceeland, 1990).
Secara umum, peneliti menemukan dua dimensi dalam
melaporkan nyeri paling banyak mengalami perubahan dalam
mendiskripsikan nyeri yang dialami klien. Beecher (1959 dalam
Ceeland, 2009) menyebutnya dimensi “nyeri” dan “reaksi terhadap
nyeri”; Clark dan Yang (1983 dalam Ceeland, 2009) menyebutnya
“sensori-diskriminatif” dan “sikap (behaviour)”. Selanjutnya
Beecher, mereka menyebutnya dimensi “sensori” dan reaksi”
(Ceeland, 1989). Ada beberapa item yang dikembangkan dalam
melaporkan nyeri yang dialami oleh seseorang yang disebut
dimensi “sensori” nyeri (intensitas atau keparahan) dan dimensi
“reaktif” (gangguan dalam melakukan fungsi sehari-hari).
2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri
Banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri karena nyeri
merupakan sesuatu yang kompleks; di antaranya adalah sebagai berikut.
2.3.1 Usia
Salah satu variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak-anak dan lansia adalah usia. Anak-anak kecil
yang belum dapat mengucapkan kata-kata akan mengalami
kesulitan untuk mengungkapkan secara verbal dan
mengekspresikan nyeri kepada orangtua dan petugas kesehatan.
Pada lansia yang mengalami nyeri, perlu dilakukan
pengkajian, diagnosis, dan penatalaksanaan secara agresif. Herr
dan Mobily (1991 dalam Muttaqin, 2008) mencatat bahwa klien
lansia tidak melaporkan nyeri karena klien lansia yakin bahwa
nyeri merupakan sesuatu yang harus mereka terima.
Lansia akan menyangkal bahwa mereka merasakan nyeri
karena mereka takut akan konsekuensi yang tidak diketahui seperti
akan dilakukan tindakan diagnostik. Klien lansia juga seringkali
menggunakan berbagai cara untuk mengalihkan perhatian dari
nyeri karena mereka yakin bahwa memperlihatkan respon terhadap
nyeri merupakan hal yang tidak dapat diterima (Potter & Perry,
2005).
2.3.2 Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam berespon terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan
yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya ada kebudayaan yang
menganggap seorang laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh
menangis, sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis
dalam situasi yang sama seperti pada bangsa Somalia (Arthurs,
2010).
2.3.3 Kebudayaan
Budaya mempengaruhi ekspresi dan persepsi terhadap nyeri
dan apakah individu menceritakan nyeri tersebut kepada orang lain
termasuk ke penyedia pelayanan. Keyakinan dan nilai-nilai budaya
mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka (Potter & Perry, 2005).
Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri
adalah sesuatu yang alamiah. Kebudayaan yang lain cenderung
untuk melatih perilaku tertutup (introvert). Clancy dan McVicar
(1992 dalam Potter & Perry, 2005) menyatakan bahwa sosialisasi
budaya menentukan perilaku psikologis seseorang. Dengan
demikian, hal ini dapat mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiat
endogen dan terjadilah persepsi nyeri.
Duggleby (2003 dalam Yvonne, 2009) dalam penelitiannya
menemukan bahwa budaya orang Hispanik dan Latino yang
menggunakan bahasa Spanyol dapat ditemukan di Amerika
Selatan, Amerika Tengah, dan negara-negara kepulauan seperti
Kuba dan Puerto Riko berbeda termasuk karena memiliki
kebangsaan yang berbeda. Agama sangat mempengaruhi
pengalaman nyeri orang Hispanik. Pengalaman nyeri yang dialami
orang Hispanik cenderung menunjukan sikap tenang karena nyeri
yang timbul dianggap sebagai sesuatu yang harus diterima dan
ditahan.
Nyeri juga dipandang sebagai hukuman bagi yang
berkelakuan buruk dan tidak sopan. Dalam budaya orang Hispanik,
seseorang telah dikodratkan mengalami nyeri dan dia seharusnya
menerimanya untuk membuktikan bahwa dia memiliki kepribadian
yang kuat dan ketabahan dan dia juga tidak terlihat lemah.
Chen, dkk., (2003 dalam Yvonne, 2008) menemukan
bahwa dalam kebudayaan Cina, nyeri merupakan suatu hasil yang
dihalangi Qi. Untuk menghilangkan nyeri, maka penghalangnya
harus dipindahkan dan pasien harus kembali menyeimbangkan
keadaannya dengan lingkungan (alam). Pasien Cina lebih memilih
tidak mengeluh dengan nyeri yang dialami karena akan membantu
mengatur kembali dunia yang sebenarnya, daripada mereka
memandang nyeri sebagai ujian atau pengorbanan yang dibutuhkan
untuk menciptakan kembali keseimbangan dan keharmonisan
dalam hidupnya.
Nyeri dirasakan sebagai sensasi yang sangat kuat yang
berasal dari sebuah penghambat dalam kehidupan sebelumnya atau
orang lain, hewan, dan secara material. Jika pasien adalah seorang
Budha, dia masih merasa tenang karena ketika nyeri muncul hal ini
seperti membawa dirinya ke keadaan yang lebih baik. Bagi pasien
Cina, pengalaman nyeri mungkin memiliki peranan positif dalam
menunjukkan identitas budayanya (Yvonne, 2009).
2.3.4 Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri
mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi
terhadap nyeri. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara
yang berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman,
kehilangan, hukuman, dan tantangan. Derajat dan kualitas nyeri
yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri
(Priharjo, 1993).
2.3.5 Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada
nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan
upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon yang
menurun (Gil, 1990 dalam Potter & Perry, 2005).
2.3.6 Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi
nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Individu
yang sehat secara emosional, biasanya lebih mampu mentoleransi
nyeri sedang hingga berat daripada individu yang memiliki status
emosional yang kurang stabil (Muttaqin, 2008).
2.3.7 Keletihan
Keletihan juga meningkatkan persepsi nyeri. Rasa
kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah
umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka
lama. Persepsi nyeri akan terasa lebih berat lagi, apabila keletihan
disertai dengan kesulitan tidur (Muttaqin, 2008).
2.3.8 Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman
nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan
menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.
Apabila individu sejak lama mengalami serangkaian episode nyeri
tidak pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka
ansietas dan rasa takut dapat muncul (Brunner & Suddarth, 2001).
2.3.9 Gaya koping
Gaya koping mempengaruhi kemampuan individu untuk
mengatasi nyeri. Individu, yang memiliki lokus kendali internal
mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang dapat
mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa,
seperti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Sebaliknya,
individu yang memiliki lokus kendali eksternal, mempersepsikan
faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka. Individu yang
memiliki lokus kendali internal melaporkan mengalami nyeri yang
tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali
eksternal (Schultheis, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).
2.3.10 Dukungan keluarga dan sosial
Kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap
mereka kepada klien juga merupakan faktor yang mempengaruhi
respon nyeri. Ada banyak hal yang mempengaruhi intensitas nyeri
yang dialami oleh penderita kanker, salah satunya pengaruh
dukungan pasangan hidup. Pasangan hidup mengambil peranan
yang besar dalam penguatan pasien akan nyeri yang dialami
(Muttaqin, 2008).
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung
kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap
dirasakan, kehadiran orang yang dicintai akan meminimalkan
kesepian dan ketakutan (Niven, 2000).
2.4 Pengukuran pengalaman nyeri
Pengalaman nyeri diukur dengan menggunakan Brief Pain
Inventory (BPI). Sebuah panel konsensus merekomendasikan bahwa ada
2 bagian yang diukur oleh BPI yaitu intensitas nyeri atau keparahan dan
pengaruh nyeri dalam melakukan fungsi (gangguan) termasuk hasil
pemeriksaan klinis semua nyeri kronis (IMMPACT, Turk dan koleganya,
2003 dalam Cleeland, 2009). Persetujuan umum IMMPACT
mengidentifikasi terkhusus item gangguan (interference) pada BPI,
dengan skala 0-10, salah satu dari dua skala yang direkomendasikan
dalam melakukan pengkajian nyeri terkait dengan gangguan dalam
melakukan fungsi.
BPI mengkaji keparahan (intensitas) nyeri yang dialami oleh
pasien yaitu: nyeri paling buruk, nyeri paling ringan, nyeri sedang (rata-
rata) dan nyeri sekarang. BPI juga mengukur sejauh mana nyeri
mengganggu fungsi dalam melakukan tujuh kegitan sehari-hari termasuk
bagaimana hubungan dengan orang lain, menikmati hidup, suasana hati,
tidur, kemampuan berjalan, aktivitas sehari-hari, dan bekerja. Untuk
menilai intensitas nyeri dan gangguan (interference) terhadap fungsi
sehari-hari adalah dengan menggunakan skala numerik dengan skala 0-
10 (Cleeland, 2009).
BPI juga menanyakan lokasi nyeri, jenis pengobatan atau obat
yang dikonsumsi dan persentasi keyakinan pasien terhadap pengobatan
atau obat yang dikonsumsi bisa mengurangi nyeri yang dialami
(Cleeland, 2009).
3. PENGALAMAN NYERI PADA PASIEN NYERI KRONIS
Pengalaman nyeri kronis merupakan suatu interaksi yang kompleks dan
dinamis dari berbagai faktor termasuk secara biologis, sosial, psikologis,
lingkungan (seperti lingkungan sosial terdekat pasien dan keluarga). Hal ini
menghasilkan hubungan yang non-linear antara nyeri kronis yang disebabkan oleh
kanker dan akibatnya.
Pengalaman nyeri kronis merupakan sebuah sistem yang meliputi
pengukuran nyeri (intensitas atau keparahan nyeri) dan interaksi beberapa proses
yang berhubungan dengan nyeri kronis (depresi, tingkat kecemasan, tidur, dan
stress) (Shipton, 2008). Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa
parah nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif
dan individual (Priharjo, 1993).
Nyeri kronik merupakan penyebab utama ketidakmampuan fisik dan
psikologis baik ketika berhubungan dengan orang lain, menikmati hidup, suasana
hati, tidur, kemampuan berjalan, aktivitas sehari-hari, dan bekerja (Cleeland,
2009). Berikut ini akan dijelaskan pengaruh nyeri kronis terhadap kehidupan
individu dalam melakukan fungsi (tugas) sehari-hari.
2.4.1 Hubungan dengan orang lain
Klien yang mengalami nyeri kronik seringkali mengalami periode
remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi
(keparahan meningkat) (Muttaqin, 2008). Sifat nyeri kronik, yang tidak
dapat diprediksi ini, membuat klien frustasi dan seringkali mengarah pada
depresi psikologis (Disorbio & Bruns, 2005). Flor, dkk. (1993 dalam Potter
& Perry, 2005) melaporkan bahwa klien yang mengalami nyeri kronik
mengungkapkan lebih pernyataan diri negatif terkait nyeri dan memiliki
keyakinan lebih bahwa mereka tidak berdaya daripada klien sehat. Hal ini
dapat mengganggu individu hubungan personal dengan orang lain bahkan
sering terjadi isolasi sosial dari keluarga dan teman-teman (Disorbio &
Bruns, 2005).
2.4.2 Menikmati hidup
Individu yang mengalami nyeri kronis seringkali tidak
memperlihatkan gejala yang berlebihan dan tidak beradaptasi terhadap
nyeri, tetapi tampaknya lebih menderita seiring dengan perjalanan waktu
(Muttaqin, 2008). Nyeri melelahkan dan menuntut energi dari individu
yang mengalaminya. Hal ini juga mempengaruhi kemampuan individu
untuk mempertahankan perawatan dirinya. Pasien yang mengalami nyeri
kronis juga sering mengalami gejala anoreksia dan penurunan berat badan
(Mahon, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).
2.4.3 Sikap (suasana hati)
Faktor-faktor psikologis memainkan peranan yang signifikan
terhadap nyeri kronik dan dalam masa transisi nyeri akut menjadi nyeri
kronik, dan bukti neurosains serta bukti klinis memperlihatkan hubungan
yang erat antara nyeri dan status mood (Ruslan, 2008). Nyeri yang menetap
tersebut mempengaruhi komponen emosional pasien serta seringkali
disertai dengan depresi dan/atau kecemasan, kemarahan dan merasa putus
asa (Muttaqin, 2008).
Kehidupan individu yang mengalami nyeri kronis dapat merupakan
kehidupan yang tragis. Nyeri kronis biasanya lebih kompleks dan lebih sulit
untuk ditangani, diobati atau dikontrol. Klien dengan nyeri kronis harus
menjalani serangkaian pengobatan (misalnya pembedahan) dimana
pengobatan ini seringkali mengakibatkan nyeri yang dialami klien
bertambah buruk (Disorbio & Bruns, 2005).
Individu seringkali berkonsultasi dengan tenaga kesehatan dan
dengan demikian mereka mengumpulkan berbagai obat-obatan dan terapi.
Namun, dengan mengkonsumsi beberapa obat, individu dapat mengalami
efek samping obat yang tidak diharapkan. Klien merasa putus asa dalam
usaha mengatasi nyeri dapat menjadi mangsa perdukunan (misalnya
penggunaan obat gosok khusus, diet, atau peralatan penghilang nyeri).
Alternatif lain adalah penggunaan alkohol (Muttaqin, 2008).
2.4.4 Tidur
Tidur dan istrahat sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien nyeri
kronis. Sekitar 50 % pasien nyeri kronis mengalami gangguan tidur yang
simultan (Shipton, 2008). Setiap penyakit yang mengakibatkan nyeri,
ketidaknyamanan fisik (mis. kesulitan bernafas), atau masalah suasana hati,
seperti kecemasan atau depresi, dapat menyebabkan masalah tidur.
Seseorang dengan perubahan seperti itu mempunyai masalah kesulitan
tertidur atau tetap tertidur. Gangguan tidur yang sering dialami adalah
insomnia (Potter & Perry, 2005).
2.4.5 Kemampuan berjalan
Salah satu pengaruh nyeri kronis yang berat adalah keterbatasan
mobilisasi. Tidak bisa bergerak dengan nyaman karena dibatasi oleh nyeri
secara langsung sehingga tidak leluasa. Hal ini mempengaruhi individu
untuk melakukan aktivitas sederhana seperti berkurang kemampuan untuk
berjalan karena nyeri sangat melelahkan dan menuntut energi yang banyak
(Quek, 2008).
2.4.6 Aktivitas sehari-hari
Nyeri kronis yang terjadi sepanjang waktu yang lama sering
mengakibatkan ketidakmampuan untuk melanjutkan aktivitas sebelum
nyeri terjadi. Ketidakmampuan ini dapat berkisar dari membatasi
keikutsertaan dalam aktivitas fisik sampai tidak mampu memenuhi
kebutuhan pribadi, seperti berpakaian atau makan (Brunner & Suddarth,
2001).
2.4.7 Bekerja
Nyeri yang sifatnya tidak menyenangkan dan mengganggu
kehidupan secara baik secara fisik dan psikologis bisa mengakibatkan
individu kehilangan pekerjaan (Potter & Perry, 2005).