dinamika industri rumah tangga di desa dlepih …/dinamika...nama : robert budi laksana nim :...

97
DINAMIKA INDUSTRI RUMAH TANGGA di DESA DLEPIH KECAMATAN TIRTOMOYO KABUPATEN WONOGIRI TAHUN 1993-2005 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Disusun oleh: ROBERT BUDI LAKSANA C0505042 FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: duongque

Post on 10-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DINAMIKA INDUSTRI RUMAH TANGGA di DESA

DLEPIH KECAMATAN TIRTOMOYO KABUPATEN

WONOGIRI TAHUN 1993-2005

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh:

ROBERT BUDI LAKSANA C0505042

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010

ii

DINAMIKA INDUSTRI RUMAH TANGGA di DESA DLEPIH

KECAMATAN TIRTOMOYO KABUPATEN WONOGIRI

TAHUN 1993-2005

Disusun oleh

ROBERT BUDI LAKSANA C0505042

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing

Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. NIP. 195402231986012001

Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. NIP. 195402231986012001

iii

DINAMIKA INDUSTRI RUMAH TANGGA di DESA DLEPIH

KECAMATAN TIRTOMOYO KABUPATEN WONOGIRI

TAHUN 1993-2005

Disusun oleh

ROBERT BUDI LAKSANA

C0505042

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Pada Tanggal.............................

Jabatan Nama Tanda Tangan Ketua (.................................) Sekretaris (.................................) Penguji I (.................................) Penguji II (.................................)

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Drs. Sudarno, M.A NIP. 195303141985061001

iv

PERNYATAAN

Nama : Robert Budi Laksana NIM : C0505042

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul “Dinamika

Industri Rumah Tangga di Desa Dlepih Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten

Wonogiri Tahun 1993-2005” adalah betul-betul karya sendiri, bukan dari plagiat

dan tidak dibuat oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi ini

diberi tanda citas (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang

diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Maret 2010

Yang membuat pernyataan

Robert Budi Laksana

v

MOTTO

Katakanlah, “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku

pun berbuat pula. Kelak kamu akan mengetahui siapakah diantara kita yang akan

memperoleh hasil yang baik dari dunia ini”. Sesungguhnya, orang-orang yang

zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan

(QS. Al An-am: 135)

vi

PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

v Ayah dan Bunda tercinta

v Adik tersayang

v Almamater

vii

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah

SWT, yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya

kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

dengan judul “Dinamika Industri Rumah Tangga di Desa Dlepih Kecamatan

Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri Tahun 1993-2005 ”.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik

moral, material maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat

berjalan dengan baik dan selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada:

1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas

Sastra dan Seni Rupa, serta selaku pembimbing skripsi yang memberikan

banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun dalam proses

penulisan skripsi ini.

3. Drs. Sudarmono, SU dan Waskito Widi W, SS, selaku dosen pembimbing

proposal atas masukan dan informasinya kepada penulis.

4. M Bagus Sekar Alam, S.S. M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang

telah mendampingi penulis selama menempuh perkuliahan di Jurusan Ilmu

Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

viii

5. Segenap dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni

Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu

dan wacana pengetahuan.

6. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas

Sebelas Maret.

7. Terima kasih kepada Bapak Sutarmo Kepala Desa Dlepih yang telah

meluangkan waktunya untuk diwawancarai dan mengizinkan saya untuk

melakukan penelitian di Desa Dlepih.

8. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan

tulus ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.

9. Terima kasih untuk teman-teman angkatan 2005: Lutfhi, Adhi, Andi Nurma,

Andri, Gilang, Yusuf Ari Pratama, Bribda Arif Kurniawan, Ari, Tri Partono,

Illian dan seluruh teman-teman di Jurusan Ilmu Sejarah yang tidak bisa

disebutkan satu per satu.

10. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya penulisan

skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang

bersifat membangun, agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Surakarta, Maret 2010

Penulis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i

HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….. iii

HALAMAN PERNYATAAN ……………………………………………….. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………………….. vi

HALAMAN MOTTO ……………………………………………………….. vi

KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. vii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………. ix

DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. xii

DARTAR LAMPIRAN…………………………............................................ xiii

DAFTAR GAMBAR…………………………………..................................... xiv

DARTAR ISTILAH…………………………………….................................. xv

ABSTRAK ……………………………………………………………………. xvii

BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Perumusan Masalah ...................................................................... 8

C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 9

D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 9

E. Kajian Pustaka .............................................................................. 10

F. Metode Penelitian ......................................................................... 14

1. Metode ……………………………………………………… 14

2. Lokasi Penelitian…………………………………………….. 14

3. Teknik Pengumpulan Data ………………………………….. 15

4. Teknik Analisa Data ………………………………………… 17

G. Sistematika Penulisan …………………………………………… 18

BAB II. DESKRIPSI WILAYAH DESA DLEPIH

A. Gambaran Umum Desa Dlepih tahun 1993-2005 19

1. Sejarah Desa Dlepih…………………………………………. 19

2. Kondisi Geografis……………………………………………. 21

3. Kondisi Demografi ………………………………………….. 23

x

a. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Umur dan Jenis

Kelamin……………………………………………………

23

b. Mata Pencaharian…………………………………………. 26

c. Tingkat Pendidikan………………………………………...

B. Potensi Desa Dlepih

1. Sarana Sosial………………………………………………..

2. Sarana Pendidikan…………………………………………..

3. Sarana Transportasi…………………………………………

C. Kondisi Sosial Budaya

1. Pelapisan Sosial Masyarakat………………………………..

2. Sistem Religi………………………………………………..

31

33

33

34

34

37

37

38

BAB III. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN INDUSTRI

RUMAH TANGGA DESA DLEPIH TAHUN 1993-2005

A. Sejarah Berdirinya Industri Rumah Tangga di Desa Dlepih 43

B. Macam-macam Industri Rumah Tangga Yang Ada Di Desa

Dlepih……………………………………………………………

47

1. Kerajinan Batu Mulia……………………………………….

a. Periode Tahun 1993.........................................................

b. Periode Tahun 1998-2005................................................

2. Kerajinnan Batik Tirtomoyo………………………………..

3. Kerajinan Pembuatan Genteng……………………………..

4. Kerajinan Pembuatan Batu Bata…………………………….

47

48

48

51

55

59

C. Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh dan Berkembangnya

Industri Rumah Tangga di Desa Dlepih tahun 1993-2005

62

1. Sumber Daya Alam……………………………………………

2. Sumber Daya Manusia………………………………………...

3. Peranan Pemerintah………………………………...................

a. Ketrampilan Usaha...........................................................

b. Permodalan.......................................................................

62

64

64

64

65

xi

BAB IV. KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA

DLEPIH DENGAN ADANYA INDUSTRI RUMAH TANGGA

A. Perilaku Ekonomi Pengrajin…………………………………….. 69

1. Semangat Ekonomi Pengrajin…………………………………

2. Peran Pengrajin Terhadap Kemajuan Usaha.............................

71

73

B. Pengaruh Industri Rumah Tangga Terhadap Kehidupan Sosial

Desa Dlepih.……………………………………………………..

76

1. Stratifikasi Dalam Masyarakat Desa Dlepih………………….

2. Pola Hubungan Sosial………………………………………..

79

82

C. Pengaruh Industri Rumah Tangga Terhadap Kemajuan

Pembangunan Desa……………………………………………...

86

1. Menciptakan Lapangan Kerja..................................................

2. Peningkatan Taraf Hidup........................................................

3. Pembangunan Sarana Dan Prasarana Desa..............................

86

87

89

BAB V. KESIMPULAN .................................................................................. 90

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 94

LAMPIRAN ...................................................................................................... 97

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jumlah penduduk Desa Dlepih menurut tingkat umur dan

jenis kelamin

25

Tabel 2. Komposisi penduduk menurut jenis mata pencaharian di

Desa dlepih

27

Tabel 3. Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan Desa

Dlepih

32

Tabel 4. Jumlah sarana yang ada di Desa Dlepih 34

Tabel 5. Jumlah sarana jalan yang ada di Desa Dlepih 35

Tabel 6. Jumlah sarana trsnsportasi dan komunikasi yang ada di

Desa Dlepih

36

Tabel 7. Pemeluk agama Desa Dlepih 39

Tabel 8. Jumlah pengusaha dan pekerja kerajinan batu mulia di

Desa Dlepih

49

Tabel 9. Jenis pekerjaan dan upah tiap proses pembuatan batik

Desa Dlepih

54

Tabel 10. Jumlah unit usaha kerajinan genteng dan pekerja yang

terserap

57

Tabel 11. Jumlah unit usaha kerajinan batu bata dan pekerja yang

terserap di Desa Dlepih

61

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat Ijin Penelitiaan ............................................................ 97

Lampiran 2 Peta Desa Dlepih……………………………………………100

Lampiran 3 Data- Data informan ............................................................ 101

Lampiran 4 Foto ...................................................................................... 103

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Kegiatan pembuatan batu mulia masyarakat Desa Dlepih .... 47

Gambar 2 Kegiatan pembuatan batik masyarakat Desa Dlepih……….. 51

Gambar 3 Kegiatan pembuatan genteng masyarakat Desa Dlepih……. 55

Gambar 4 Kegiatan pembuatan batu bata masyarakat Desa Dlepih…... 59

xv

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

1. Istilah

Asosiasi prelogik : cara berpikir sebelum adanya logika.

Agami Jawi : Agama Orang Jawa.

Agama Islam Santri : Agama Islam yang ajaranya sesuai dengan tuntunan

Islam.

Abangan : golongan orang Islam yang dalam ibadahnya masih

memegang adat Jawa.

Bathi sitik penting

entuk sedulur : untung sedikit asalkan mendapatkan persaudaraan.

Folklore : cerita rakyat.

Gawe kebecikan : melakukan kebaikan.

Historis : sejarah

Hermenutik : ilmu atau keahlian yang menginterprestasikan karya

sastra atau bahasa dalam arti yang lebih luas

seperti maksudnya.

Heuristik : proses pengumpulan bahan atau sumber sejarah.

Historiografi : menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam

bentuk kisah sejarah

Interpretasi : menafsirkan keterangan yang saling berhubungan

dengan fakta-fakta yang diperoleh kemudian

dirangkaikan.

Intelektual : orang yang berilmu.

Laden : melayani.

Legenda : cerita suatu tempat.

Mitos : cerita tentang hal-hal mistik.

Non verbal folklore : folklore bukan lisan.

Nrimo : menerima apa adanya.

Pepesthen : takdir.

Priyayi : golongan atas bangsawan.

Partly verbal folklore : folklore sebagian lisan.

Sinoman : perkumpulan tradisional pemuda desa.

xvi

Santri : golongan orang Islam yang menjalankan sesuai

dengan ajaran nya.

Tepo seliro : tenggang rasa.

Utang budi : hutang budi

Verbal folklore : folklore sebagian lisan.

2. Singkatan

BRI : Bank Rakyat Indonesia.

BPR : Bank Perkreditan Rakyat

KCK : Kridit Candak Kulak.

KIK : Kredit Industri Kecil.

xvii

ABSTRAK

Robert Budi Laksana. C0505042. 2010. Dinamika Industri Rumah Tangga Masyarakat Desa Dlepih Tahun 1993-2005. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui gambaran mengenai;1) Sejarah berdirinya industri rumah tangga di Desa Dlepih; 2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya industri rumah tangga di Desa Dlepih Tahun 1933-2005; 3) Pengaruh industri rumah tangga terhadap kehidupan masyarakat terutama dalam segi sosial dan ekonominya.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi heuristik yaitu pengumpulan data baik yang tertulis maupun lisan, kritik sumber yaitu menyeleksi data yang telah diperoleh, interprestasi terhadap data yang telah melalui uji kritik dan historiografi yang dituangkan dalam bentuk yang berupa penulisan bersifat deskriptif kualitatif. Pengumpulan data, penulis menggunakan studi dokumen, observasi, wawancara, dan studi pustaka. Studi dokumen sebagai bukti untuk suatu pengujian, studi wawancara dan observasi untuk memperkaya data-data yang telah diperoleh dari dokumen dan wawancara.

Dari hasil analisis dapat diketahui mengenai aktivitas industri rumah tangga yang ada di Desa Dlepih. Sejarah berdirinya industri rumah tangga adalah semakin sempit dan tidak produktifnya lahan pertaniaan yang dimiliki penduduk dan sektor pertaniaan yang sudah tidak dapat diandalkan sepenuhnya yang berdampak pada penurunan pendapatan petani. Menghadapi permasalahan tersebut sebagian penduduk mencari pekerjan diluar sektor pertanian, seperti bekerja pada industri rumah tangga seperti membatik, kerajinan batu mulia, pembuatan genteng dan batu bata. Perkembangan industri rumah tangga telah berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Perubahan dapat diihat dari segi pendapatan ekonomi masyarakat yang semakin bertambah baik dan segi sosial adanya perubahan status sosial, hubungan sosial serta perubahan nilai sosial budaya. Beberapa aspek kehidupan masyarakat mengalami perubahan, namun dalam keseharian tidak mengalami perubahan yang mencolok. Masyarakat tetap menyadari sebagai bagian dari warga desa yang menjunjung tinggi kerukunan dan kebersamaan.

xviii

ABSTRACT Robert Budi Laksana. C0505042. 2010. Dinamika Industri Rumah Tangga Masyarakat Desa Dlepih Tahun 1993-2005. Thesis: History Department, Faculty of Letters and Fine Arts, Sebelas Maret University.

The purpose of the research is to figure out; 1) the history of home industry establishment of Dlepih village; 2) the factors which affect home industry development of Dlepih village in 1993-2005; 3) the influence of home industry towards social and economic life of the society.

The research applied history method which includes several points. The first point is the collecting of both written and oral data (heuristic). The second point is the selection of the gained data (source criticism). The last two points are the interpretation towards the data which have been critically tested and historiography which is embodied in descriptive qualitative writing. The data is collected by employing document study, observation and interview. The document study is evidence of a testing, while both observation and interview are to enrich the data gained from the document.

The results of the analysis show the activity of Dlepih village home industry. The establishment of the home industry is in consequence of the narrower and less productive of the farmland which affects the villager’s income. In facing the problems, some of the villagers shift their occupation from agricultural sector into batik, precious stone craft, roof-tile and brick manufacturing. The development of home industry has influenced the social and economic life of the society. The changes can be seen from the increasing economic income of the society and the social status, relationship and social cultural values. Yet, the society realizes that they are a part of the villagers who highly adore the concord and togetherness.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak pasca kemerdekaan Indonesia telah mengalami kemajuan

diberbagai bidang kehidupan. Selain itu dengan semakin majunya kebudayaan

yang berkembang diberbagai negara juga mempengaruhi masuknya pengaruh

budaya asing dengan kebudayaan asli Indonesia. Masyarakat pedesaan telah

menerima pengaruh dari luar, namun masih tetap mempertahankan warisan

budaya dari nenek moyang berupa tradisi maupun kebiasaan-kebiasaan yang

berlaku. Kehidupan masyarakat tidak lepas dari kehidupan sosial maupun latar

xix

belakang kebudayaan. Setiap masyarakat melakukan kegiatan secara berulang-

ulang yang akhirnya dijadikan sebagai tradisi. Tradisi merupakan induk

kebudayaan yang berakar urat di dalam masyarakat.

Kebudayaan bersifat dinamis, kebudayaan akan berkembang selama

masyarakat pendukungnya masih mempertahankan. Perkembangan kebudayaan

itu sendiri dapat disebabkan baik oleh faktor-faktor internal maupun oleh faktor

eksternal. Faktor internal seperti pergantian generasi dan pertambahan penduduk,

mengembangkan adanya perbedaan orientasi kepentingan, ide atau gagasan.

Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi kebudayaan seperti adanya kontak-

kontak budaya dari luar, menimbulkan rangsangan ke arah pembaharuan.

Pengaruh dari luar itu berlangsung baik secara damai maupun jalan peperangan.1

Perkembangan wujud atau hasil dari kebudayaan itu sendiri tidak

tunggal, tetapi beraneka ragam coraknya tergantung dari lingkungan alam sosial,

dan sejarahnya.2 Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan tersendiri yang berbeda

antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lainnya. Demikian pula

suku bangsa Jawa, kebudayaannya terikat oleh kesatuan budaya Jawa dan

memiliki kebudayaannya sendiri.3

Keterbukaan masyarakat Jawa memungkinkan adanya kontak serta

masuknya pengaruh kebudayaan dari luar, hal ini didukung oleh letak geografis

pulau Jawa yang strategis. Tidak semua pengaruh kebudayaan dari luar dapat

melunturkan kebudayaan asli masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dapat menyerap

1 Koentjaraningrat, 1983, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Jembatan. hal. 3. 2 Harsojo, 1977, Pengantar Antropologi, Bandung : Bina Cipta. hal. 19. 3 Budiono Herususatoto, 1964, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : PT. Hanindita. hal.

11.

xx

dan mengolah secara aktif pengaruh budaya asing yang masuk. Kebudayaan asli

Jawa masih tetap dapat berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat

Jawa.

Cara berpikir masyarakat Jawa pada umumnya berdasarkan pola pikir

mistis religius di dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup. Pola pikir

mistis religius ini merupakan pola pikir oleh peninggalan dari kepercayaan

animisme. Menurut Koentjaraningrat, pola pikir mistis religius masyarakat Jawa

berdasarkan pada asas-asas pemikiran asosiasi prelogik, yaitu cara berpikir

sebelum adanya logika yang berkembang dalam ilmu pengetahuan di Eropa

Barat4. Orang yang sejak kanak-kanak mendapat pendidikan animisme dan

percaya akan adanya pepesthen (takdir) besar kemungkinannya akan berpikir

segala kejadian historis dalam kehidupan dikembalikan pada kehendak dewa,

Tuhan, atau roh halus bukan pemikiran yang rasional. Tuhan atau Dewa telah

memberikan tanda-tanda alam sebelumnya. Bencana alam, banjir, gunung

meletus, gerhana, bintang kemukus dan lain sebagainya memberikan tanda-tanda

akan terjadinya sesuatu yang baik atau buruk bagi kehidupan manusia. Perilaku

dan pola pikir mistis relegius diturunkan dari generasi ke generasi, dan

selanjutnya menjadi suatu tradisi yang dikukuhkan dengan cerita-cerita folklor.

Folklor merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan

suatu masyarakat. Menurut James Danandjaja, folklor secara defenitif adalah

sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-

temurun, di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dan dalam versi

yang berbeda, baik bentuk lisan maupun dalam bentuk contoh yang disertai

4 Ibid, hal. 411

xxi

dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.5 Seperti halnya pada masyarakat

Desa Dlepih, walaupun telah menerima pengaruh dari luar, tetapi mereka masih

tetap mempertahankan warisan budaya yang diwariskan dari nenek moyangnya,

dan pengaruh mitos juga masih terasa kuat terutama dalam kehidupan sehari-hari.

Di Desa Dlepih terdapat sebuah tempat yang mempunyai nilai mitos dan folklor

yang sangat kuat yaitu Petilasan Panembahan Senopati. Petilasan ini disebut juga

Khayangan oleh masyarakat sekitar masih dijaga dan dilestarikan dengan baik.

Hal ini dikarenakan nilai mitos yang terdapat di Khayangan adalah peninggalan

Panembahan Senopati merupakan cikal bakal pendiri Mataram Islam Surakarta.

Di samping folklor berbentuk cerita mitologis di atas, masyarakat setempat

juga memiliki folklor dalam bentuk yang lain. Bentuk folklor tersebut diantaranya

adalah norma-norma, adat-istiadat, larangan-larangan. Tradisi-tradisi tersebut

tidak terlepas dari cerita-cerita mitologis yang melatar belakanginya. Folklor-

folklor yang berbentuk mitos, tradisi, norma-norma dan sebagainya kemudian

diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Folklor menjadi

pedoman mengatasi masalah-masalah yang sering muncul di kehidupan

masyarakat. Lebih lanjut menurut Van Peursen, mitos merupakan cerita yang

dapat memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Folklor

juga dapat memberikan suatu legitimasi. Menurut William R. Bascom folklor

memiliki fungsi, sebagai alat pengesah pranata-pranata dan lembaga kebudayaan,

sebagai alat pendidikan, dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-

norma dalam masyarakat dipatuhi6.

5 James Danadjaja, 1984, Folklor Indonesia, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. hal. 2. 6Tashadi, 1982,Folklore Daerah Istemewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta

:Dinas Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jendral Sejarah dan Nilai Lokal.

xxii

Masyarakat Desa Dlepih dikenal sebagai masyarakat pekerja keras. Hal ini

dilihat dari berbagai macam kegiatan penduduk dalam bermata pencaharian

beraneka ragam dan dilakukan oleh semua warga, baik laki-laki maupun

perempuan. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Desa Dlepih adalah

petani, namun selain itu memiliki pekerjaan sambilan berupa industri rumah

tangga yang bernilai ekonomis diantaranya: kerajinan batu mulia, membatik,

industri pembuatan batu bata dan pembuatan genting

Berdirinya industri kecil di pedesaan secara tidak langsung akan

mempengaruhi kehidupan masyarakat yang mengakibatkan terjadi perubahan.

Perubahan tersebut terjadi pada aspek-aspek struktur sosial, etos kerja, dimensi

kesenjangan serta beragam sosial ekonominya. Adanya industri kecil rumah

tangga mendorong terjadinya pola kehidupan masyarakat dalam usaha

meningkatkan taraf hidupnya. Hal ini terjadi karena pengaruh industri yang

berkembang dengan pesat, dibutuhkan seorang pengusaha yang cukup dan mampu

menyalurkan hasil produksi. Industri kecil merupakan salah satu usaha produktif

di sektor non pertanian baik sebagai mata pencaharian utama maupun sebagai

usaha sampingan yang diminati oleh masyarakat pedesaan untuk menabah

penghasilan. Dalam tulisannya yang berjudul ”Sejarah Kerajinan di Indonesia”,

Soeri Soeroto mengatakan industri kecil dan kerajinan rakyat sebenarnya timbul

atas dorongan naluri manusia untuk memiliki alat serta barang yang diperlukan

dalam melangsungkan, memperjuangkan hidup dan penghidupannya.7 Adanya

naluri inilah masyarakat pedesaan berusaha meningkatkan taraf hidupnya

7 Soeri Soeroto, 1980, Modernisasi dan Dinamika Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia,

hal.69.

xxiii

sehingga dapat mencukupi kebutuhan keluarga dengan bekerja sebagai pengrajin

maupun buruh industri kecil dan kerajinan rakyat.

Industri kecil di pedesaan selain mampu meningkatkan ekonomi masyarakat

dan membawa perubahan desa. Perubahan sosial di masyarakat dalam arti luas

diartikan sebagai perubahan dalam arti positif maupun negatif yaitu suatu

perubahan yang menuju pada kemajuan dan sebaliknya perubahan yang

mengalami kemunduran.8 Adapun besar kecilnya pengaruh perubahan tersebut

tergantung dari besar kecilnya pengaruh yang masuk ke desa, serta sikap

masyarakat terhadap hadirnya pengaruh tersebut.9 Terjadinya pergeseran mata

pencaharian dari sektor pertaniaan, yaitu dari petani sampai pengrajin selain

membawa pengaruh dalam bidang ekonomi, akan terjadi pula perubahan diluar

bidang ekonomi. Perubahan tersebut tidak bisa dihindarkan karena setiap

terjadinya perubahan dalam suatu lembaga kemasyarakatan mengakibatkan

perubahan dalam lembaga kemasyarakatan lainya.10

Pada awalnya masyarakat desa menganggap bekerja diluar sektor

pertaniaan (pengrajin) hanyalah sebagai pekerjaan sampingan yang terpaksa

dilakukan karena keadaan yang memaksa, misalnya kegagalan panen, kemarau

panjang atau untuk mengisi waktu luang. Pada saat ini dijumpai fenomena yang

menarik yaitu pekerjaan sampingan justru menjadi mata pencaharian pokok

setelah hasilnya dirasakan lebih menguntungkan dari bertani. Pekerjaan diluar

8 Fachri Ali, ‘Pengusaha Industri Kecil dan Perubahan Sosial Desa’. Dalam Berita

Industri, Bulletin resmi Departemen Perindustrian. No.3 Juni 1982, hal. 18-28. 9 Astrid S. Susanto, 1981, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Bina

Cipta,hal.151. 10 Selo Sumarjan dan Soeleman Soemardi, 1973, Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta :

FE-UI. hal.486-487.

xxiv

sektor pertaniaan tersebut menuntut masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan

situasi dan kondisi yang ada, menyangkut situasi dan kondisi lingkungan kerja.11

Pergeseran dari sektor pertanian ke non pertaniaan terutama sektor

informal pertanda adanya sifat kelenturan masyarakat dalam menyesuaikan diri

dengan struktur sosial yang baru. Industri kecil dan kerajinan rakyat yang

kebanyakan tumbuh dan berkembang di wilayah pedesaan menjadi bagian yang

penting bagi masyarakat setempat sebagai mata pencaharian hidup. Keberadaan

industri dan kerajinan rakyat, khususnya bagi petani dan buruh tani amat

membantu untuk mencukupi kekurangan pendapatan keluarga.12 Kondisi seperti

ini sudah menjadi pemandangan yang umum terjadi pada masyarakat pedesaan

yang memiliki industri kecil ataupun kerajinan rakyat setempat. Demikian pula

yang terjadi di Desa Dlepih Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri dengan

berbagai macam industri rumahtangga seperti : kerajinan batu mulia, pembuatan

batu bata, membatik dan pembuatan genting yang ada di desa itu. Dalam

penulisan skripsi dengan judul: Dinamika Industri Rumah Tangga Masyarakat

Desa Dlepih Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri Tahun 1993-2005.

Dipilih tahun 1993 merupakan awal munculnya berbagai macam industri rumah

tangga masyarakat desa Dlepih, seperti: kerajinan batu mulia, pembuatan batu

bata, membatik dan pembuatan genteng. Sebagai dampak dari pembangunan dan

renovasi obyek wisata Khayangan oleh pemerintah Kabupaten Wonogiri. Industri

rumah tangga berkembang hingga tahun 2005 sampai sekarang, dimana jumlah

11 Gatut Murnianto, Sistem Ekonomi Tradisional sebagai Wujud Tanggapan Masyarakat

Terhadap Lingkungan DIY Yogyakarata( Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982), hal.5.

12 M. Hussein Sawit,” Kerajinan Rakyat dan Masa Depanya DAS Cimanuk,” Prisma,

No.3 Maret 1979, hal.17.

xxv

pengusahanya semakin meningkat. Adanya krisis ekonomi yang melanda

Indonesia pada tahun 1998 tidak berpengaruh terhadap industri rumah tangga di

Desa Dlepih. Desa Dlepih juga memiliki potensi kekayaan alam yang besar yaitu

adanya kandungan mineral batu mulia. Kekayaan batu mulia dimanfatkan dengan

adanya pertambangan secara tradisional oleh warga sekitar. Namun potensi alam

tersebut kurang mendapat perhatian dari masyarakat, dapat dikatakan belum

optimal digunakan untuk mengangkat kesejahteraan desa dan martabat penduduk

Desa Dlepih.

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan menjadi bahan kajian dalam penulisan

ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah berdirinya industri rumah tangga di Desa Dlepih?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tumbuh dan

berkembangnya industri rumah tangga di Desa Dlepih tahun 1993-

2005?

xxvi

3. Bagaimana pengaruh industri rumah tangga terhadap kehidupan sosial

dan ekonomi masyarakat Desa Dlepih Kecamatan Tirtomoyo

Kabupaten Wonogiri?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka penelitian ini

bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya industri rumah tangga di Desa

Dlepih.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tumbuh dan

berkembangnya industri rumah tangga di Desa Dlepih tahun 1993-2005.

3. Untuk mengetahui pengaruh industri rumah tangga terhadap kehidupan

sosial dan ekonomi masyarakat Desa Dlepih Kecamatan Tirtomoyo

Kabupaten Wonogiri.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam upaya mengembangkan

ilmu sejarah, khususnya bidang historiografi sejarah Indonesia.

2. Hasil penelitian dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi

Pemerintah Desa maupun Pemerintah Daerah dalam melaksanakan

xxvii

pembangunan ekonomi pedesaan, sehingga pembangunan yang

dilaksanakan dapat mencapai sasaran.

E. Kajian Pustaka

Kepustakaan merupakan bahan-bahan yang dapat dijadikan acuan dan

berhubungan dengan pokok permasalahan yang ditulis. Adapun buku-buku yang

dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah: Buku yang berjudul Abangan, Santri,

Priayi Dalam Masyarakat Jawa (1989) karangan Clifford Geert. Berisi mengenai

hubungan antara sruktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan

pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol dan bagaimana para anggota

masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara

mengorganisasian dengan simbol-simbol tertentu. Perbedaan yang nampak

diantara struktur- struktur sosial yang ada dalam masyarakat hanyalah bersifat

komplementer. Keberadaan folklor dalam hal ini terutama mitos, melegitimasi

sistem religi didalam masyarakat. Kepercayaan terhadap folklor dalam bentuk

sesaji, upacara ritual, slametan, perilaku religius tertentu ditempat-tempat yang

sakral, dan praktek magis yang ditunjukan bagi tokoh-tokoh yang dikeramatkan

dalam cerita-cerita folklor dengan satu tujuan tertentu. Tujuan seseorang atau

sekelompok orang mengadakan slametan adalah memohon agar tidak terjadi

sesuatu yang mengganggu atau membuat resah masyarakat pendukungnya, yang

membuat mereka menjadi miskin dan resah. Jadi orang Jawa mengadakan

slametan menghendaki agar terbebas dan mendapatkan ketenangan tanpa ada

gangguan dari pengaruh supranatural.

xxviii

Buku yang berjudul Folklor Indonesia (1984) karangan James Danandjaja

yang isinya menjelaskan mengenai pengertian folklore yang berasal dari dua kata

dasar yaitu folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri

pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-

kelompok lainnya. Namun yang lebih penting lagi adalah mereka sudah memiliki

suatu tradisi, yakni kebudayaan yang diwarisi secara turun-temurun. Sedangkan

lore adalah tradisi folk yang telah diwariskan secara turun menurun secara lisan

maupun melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat

pembantu pengingat. Dalam buku ini dijelaskan bentuk- bentuk folklor menurut

tipenya antara lain adalah folklor lisan (verbal folklore), folklor sebagian lisan

(partly verbal folklore), folklor bukan lisan (non verbal folklore), buku ini

memberikan referensi bentuk-bentuk folklor secara rinci.

Buku yang berjudul Kebudayaan Jawa (1984) karangan Koentjaraningrat,

menjelaskan bahwa asas pola pikir asosiasi prelogik tersebut adalah cara berpikir

yang berasal dari cara pikir sebelum adanya logika seperti yang berkembang di

Eropa Barat. Seseorang yang sejak kanak-kanak sudah dengan pendidikan

animisme dan kepercayaan tentang adanya papesthen ( kepastian garis kehidupan

manusia), besar kemungkinan berfikir bahwa segala kejadian dalam kehidupan ini

akan dikembalikan kepada kehendak Dewa, Tuhan, atau Danyang bukan pada

pemikiran yang rasional. Tuhan, Dewa, atau Danyang akan memberikan tanda-

tanda alam sebelumnya terhadap kejadian yang akan terjadi dan dapat

mempengaruhi kehidupan manusia, seperti misalnya gunung meletus, gerhana,

lintang kemukus dan sebagainya, memberikan tanda atau peringatan akan

xxix

terjadinya suatu yang buruk atau baik. Bermanfaat untuk menjelaskan pola pikir

masyarakat yang berpola pikir asosiasi prelogik pada masyarakat Jawa.

Buku yang berjudul Mitos Menurut Pemikiran Mirchae Eliade (1981),

karangan Hary Susanto, yang didalamnya menjelaskan bahwa mitos muncul

bukan hanya hasil dari suatu pemikiran intelektual dan bukan hanya dari hasil

logika, tetapi lebih merupakan sebagai orientasi spiritual dan mental untuk

berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Buku ini penting memberikan penjelasan

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya mitos pada masyarakat

Jawa.

Dalam buku Irsan Ashary Saleh, yang berjudul Industri Kecil Sebuah

Tinjauan dan Perbandingan, (1986), menguraikan tentang berbagai permasalahan

tentang industri kecil, termasuk industri kerajinan rumah tangga di Indonesia

dibandingkan dengan negara-negara lain kawasan Asia Tenggara. Permasalahan

industri kecil dan industri rumah tangga ini pada umumnya adalah masalah tenaga

kerja, modal, pemasaran dan kelangsungan hidup industri tersebut.

Mubyarto dalam bukunya yang berjudul Politik Pertanian dan

Pengembangan Pedesaan, (1987) mendefinisikan industri kecil diusahakan untuk

menambah pendapatan keluarga. Lebih lanjut buku tersebut menjelaskan tujuan

kebijakan untuk memajukan industri kecil bukanlah semata-mata peningkatan out

put atau nilai tambah sektor industri, tetapi lebih-lebih membantu menciptakan

lapangan pekerjaan sekaligus berarti bukan meningkatkan pendapatan bagi

penduduk kelompok miskin di pedesaan.

Dalam tesis Weber,’ Agama, Etos Kerja dan Perkembangan

Ekonomi”,(Editor : Taufik Abdullah, 1986), yang pada dasarnya memuat

xxx

hubungan antara agama dengan semangat kerja atau perilaku ekonomi. Weber

menjelaskan antara doktrin agama dan dorongan keharusan material akan terjadi

suatu pertemuan. Dengan demikian kesadaran agama mempunyai potensi untuk

mengadakan perubahan struktur menyangkut sosial ekonomis. Demikian halnya

dengan perkembangan industri rumah tangga di Desa Dlepih.

Buku yang berjudul Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra.

Karangan Ateeuw ( 1988), disisi lain folklor merupakan bentuk dari karya sastra

lisan tradisional dari kelompok masyarakat, maka untuk menginterpretasikan

makna atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu dikaji secara

hermenutis. Dari pendekan hermenutis akan diperoleh suatu makna dan nilai-nilai

dari suatu folklor. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa Hermenutik adalah

ilmu atau keahlian menginterpretasikan karya sastra dan ungkapan bahasa dalam

arti yang lebih luas. Dalam praktek interpretasi sastra lingkaran hermenutik

dipecahkan secara dialetik, bertetangga, dan bersifat spiral. Dari pendekatan

hermenutik ini akan diperoleh suatu interpretasi makna yang total dan bagian-

bagian yang optimal.

F. Metode Penelitian

Memahami peristiwa-peristiwa masa lampau sebagai fakta sejarah yang

masih memerlukan tahapan proses, maka dibutuhkan metode dan pendekatan agar

menjadi bangunan sejarah yang utuh. Penelitian sejarah dalam studi ini

menggunakan pandangan sejarah kritis yang didasarkan kepada metode historis.

xxxi

Metode historis merupakan metode kegiatan mengumpulkan, menguji, dan

menganalisa secara rekaman dan peninggalan masa lampau,kemudian diadakan

rekonstruksi dari data yang diperoleh sehingga menghasilkan historiografi

(penulisan sejarah).13

Dalam penelitian mengenai dinamika industri rumah tangga di Desa

Dlepih digunakan metode Historis atau metode sejarah. Pendekatan historis

adalah sekumpulan prinsip atau aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk

memberi bantuan secara efektif dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi

sejarah, menilai secara kritis, dan kemudian menyajikan suatu sintesa hasil dalam

bentuk tertulis.14

Metode historis ini terdiri dari 4 tahap yang saling berkaitan antara yang

satu dengan yang lainnya. Tahap pertama Heuristik adalah suatu proses mencari

dan menemukan sumber-sumber atau data-data baik dokumen hasil wawancara

maupun buku-buku. Dokumen yang terkumpul seperti Arsip Monografi Desa

Dlepih Tahun 1993-2005, Arsip Jumlah Unit Usaha Kerajinan Desa Dlepih, Arsip

Mangkunegaran no. J 32 yaitu tentang Sejarah Patilasan Wono Kahyangan Dlepih

Tirtomoyo, Arsip Mangkunegaran no. B 432, Arsip Mangkunegaran no. B 914

terkait tentang Batik Wonogiren dan Sejarahnya, Arsip Mangkunegaran no. B 843

adalah menyinggung tentang masalah batik Mangkunegaran. Wawancara

dilakukan terhadap informan, antara lain dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih,

Karimun dan Mbah. Hadi selaku sesepuh desa Dlepih, serta para perajin Desa

Dlepih antara lain dengan Hartono, Purwandi, Sadinem, Siswanto,

13 Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah, edisi terjemahan Nugroho Notosusanto,

Jakarta: UI Press. hal 32. 14 Nugroho Natasusanto. 1979. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Suatu

Perjalanan, Jakarta: Yayasan Indayu. hal 11.

xxxii

Sakiyo,Sukarni, Marto, Wahyono, Saimin. Adapun buku, koran, majalah tersebut

diperoleh dari Perpustakaan Reksopustoko, Perpustakaan Universitas Sebelas

Maret, Perpustakaan Sastra dan Seni Rupa dan Perpustakaan Jurusan Ilmu

Sejarah. Selain studi pustaka juga untuk melengkapi data-data yang tidak bisa

ditemukan pada sumber primer.

Tahap kedua adalah Kritik Sumber, yaitu usaha pencarian keaslian data

yang diperoleh melalui kritik intern maupun ekstern15. Kritik intern dilakukan

untuk mencari keaslian isi sumber, sedang kritik ekstern dilakukan untuk mencari

keabsahan tentang keaslian sumber atau otentitas.

Tahap ketiga adalah Interpretasi. Usaha ini merupakan penafsiran terhadap

fakta-fakta yang diperoleh dari data-data yang telah diseleksi dan telah dilakukan

kritik sumber. Peran ini memegang peran penting bagi terjalinnya fakta-fakta

menjadi kisah sejarah yang integral. Penelitian dengan judul Dinamika Industri

Rumah Tangga di Desa Dlepih Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri tahun

1993-2005 ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan secara

tepat keadaan individu atau kelompok, untuk menentukan frekuensi adanya

hubungan tertentu antara gejala dan gejala yang lain dalam masyarakat.16

Selanjutnya pengolahan data yang ditempuh dalam penulisan skripsi ini adalah

dengan metode komparatif, yaitu membandingkan antara hasil informasi dari

wawancara dengan data hasil observasi. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan

teori-teori yang ada dalam literatur untuk memperoleh kesimpulan.

15 Dudung Abdulrahman.1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

hal 45. 16 Ibid, hal. 45.

xxxiii

Untuk analisa terhadap data-data dilakukan secara deskriptif kualitatif,

karena data-data yang dikumpulkan pada dasarnya adalah data-data kualitatif.

Analisa dilakukan setelah data-data yang terkumpul, kemudian diinterpretasikan,

ditafsirkan, dan dianalisis dengan mencari hubungan sebab akibat dari suatu

fenomena sosial pada cakupan waktu dan tempat tertentu.17

Tahap keempat adalah Historiografi. Historiografi merupakan penulisan

sejarah dengan merangkai fakta-fakta menjadi kisah sejarah. Historiografi

merupakan klimaks dari sebuah metode sejarah. Dari sini pemahaman dan

interpretasi dari fakta-fakta sejarah ditulis dalam bentuk kisah sejarah yang

menarik dan masuk akal. Dalam memnyajikan hasil penelitian berupa penyusunan

fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut

teknik penulisan sejarah.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini dilakukan dengan sistematika penulisan

sebagai berikut:

17 Nasution. 1982. Metode Reserch Penelitian Ilmiah. Bandung: Jemaars. hal 10.

xxxiv

Bab I, adalah bab pendahuluan yang didalamnya berisi latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, kajian

pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II, bab ini berisi tentang diskripsi wilayah Desa Dlepih terbagi

menjadi dua sub bab, yaitu kondisi geografis, demografis dan sarana desa.

Bab III, memaparkan sejarah munculnya industri rumah tangga dan faktor-

faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya industri rumah tangga di

Desa Dlepih tahun 1993-2005.

Bab IV, memaparkan pengaruh industri rumah tangga terhadap kehidupan

ekonomi dan sosial masyarakat di Desa Dlepih.

Bab V, merupakan bagian penutup dari tulisan ini yang berisi kesimpulan.

BAB II

DESKRIPSI WILAYAH DESA DLEPIH

A. Gambaran Umum Desa Dlepih tahun 1993-2005

1. Sejarah Desa Dlepih

Munculnya desa-desa di pulau Jawa termasuk khususnya Desa Dlepih,

sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Sampai sekarang belum ada

penulisan sejarah yang mengungkap secara jelas kelahiran desa-desa tersebut.

Sebuah dongeng atau cerita rakyat biasanya dibuat untuk mengesahkan nama

suatu tempat atau kota. Maksud cerita rakyat atau sering disebut “folklor” adalah

karya budaya yang berwujud sastra lisan yang diwariskan dari generasi kegenerasi

xxxv

berikutnya, baik disampaikan dalam cerita lisan maupun dengan contoh-contoh

yang disertai dengan gerakan isyarat atau alat bantu mengingat18.

Kesinambungan cerita rakyat dari suatu generasi ke generasi berikutnya

sampai sekarang tetap berlangsung, dengan demikian isi dalam cerita sesuai

dengan pembawaan cerita. Perbedaan mengenai asal usul nama sebuah desa dari

generasi terdahulu dengan generasi sekarang itu adalah hal yang wajar. Generasi

sekarang lebih menceritakan hal-hal yang bersifat logis, sedangkan generasi

pendahulu lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat gaib dan mistik.

Walaupun demikian jalan cerita atau alurnya masih tetap di pertahankan.

Desa Dlepih merupakan sebuah desa di Kecamatan Tirtomoyo,

Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Di desa Dlepih terdapat bukit yang bermata

air yang disebut Pasiraman Kahyangan. Menurut legenda merupakan pertemuan

Panembahan Senapati, Raja Mataram I dengan Ratu Penguasa Laut Selatan (Ratu

Kidul). Nama Desa Dlepih berasal dari kata “del” (dari bahasa Jawa kandel) yang

berarti tebal dan “pih”(dalam bahasa Jawa plipih) yang artinya lapisan. Arti kata

tersebut diperoleh karena telah ditemukan batu akik yang berbentuk plipih, tebal

dan ukurannya besar, yang dalam bahasa Jawa “Kandel ing Plipih” kemudian

dikenal dengan nama “Delpih” dan masyarakat lebih sering menyebut “Dlepih”.19

2. Kondisi Geografis Desa Dlepih

Desa Dlepih merupakan salah satu desa yang berada diantara sekian

desa-desa yang berada di Kecamatan Tirtomoyo, ± 35 km sebelah Tenggara dari

Kabupaten Wonogiri. Dilihat dari kondisi alamnya, merupakan daerah

pegunungan yang panas, kanan kirinya pegunungan tandus tetapi tidak

18 James Danandjaja, 1984, Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Graffiti Pres.hal.2.

19 Wawancara dengan Karimun sesepuh Desa Dlepih,Tgl. 29 Mei 2009.

xxxvi

kekurangan air. Desa Dlepih terdapat sumber mata air yang melimpah dan tidak

pernah mengalami kekeringan.

Batas wilayah Desa Dlepih meliputi, sebelah Utara berbatasan dengan

Desa Wiroko, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Karang Tengah,

sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Tirtomoyo, dan sebelah Timur

berbatasan dengan Desa Sukoharjo. Luas Wilayah Desa Dlepih 758,2310 Ha,

dengan kondisi wilayah yang dikelilingi barisan perbukitan yang seolah

membatasi dengan desa lain. Desa Dlepih merupakan wilayah yang mempunyai

perbukitan, bukit yang ada mempunyai nama seperti Bukit Kunir yang terletak di

sebelah Tenggara desa, Bukit Jaran yang berada di sebelah kirinya, Bukit Banteng

berada disebelah kirinya lagi serta Bukit Wijil berada di tengah dan samping

kirinya terdapat Bukit Lirik, walaupun masyarakat Dlepih lebih suka

menyebutnya gunung. 20

Di Desa Dlepih terdapat hutan yang luas dan kondisi alam yang masih

berupa perbukitan. Luas hutannya sekitar 1/3 dari luas wilayah Desa Dlepih

(224,5000 Ha). Di wilayah Desa Dlepih terdapat sungai yang besar dan panjang.

Sungai ini bermata air dari hutan Khayangan dengan arus sungai yang deras. Pada

musim kemarau air tetap mengalir di sungai ini. Sungai ini mengalir melewati

kawasan Khayangan dan menjadi daya tarik bagi para pengunjung.

Wilayah Dlepih juga terdapat goa yang merupakan goa peninggalan

penjajah Jepang. Goa ini merupakan lorong-lorong yang dibuat oleh Jepang

sebagai jalan untuk melarikan diri atau bersembunyi, selain itu di dalam goa

terkandung mineral dan menghasilkan berbagai macam batuan alam.

20 Sumber Monografi Desa Dlepih Tahun 2005.

xxxvii

3. Keadaan Demografis Desa Dlepih

a. Jumlah Penduduk

Penduduk adalah salah satu potensi bagi suatu daerah, akan tetapi

menjadi masalah jika penanganannya tidak tepat. Secara teoritis jumlah penduduk

yang besar merupakan keuntungan bagi pembangunan. Adanya pasar dalam

negara yang besar meningkatkan pembangunan sektor produksi dan distribusi

merata “economic scale’ yang lebih efisien.21

Indonesia adalah negara berkembang, permasalahan kependudukan

merupakan masalah yang sulit untuk ditangani. Persebaran penduduk,

pengangguran, tingkat pendidikan yang rendah, dan masalah kekurangan gizi

adalah masalah kependudukan yang dialami Indonesia.

Kependudukan di Indonesia mempunyai ciri pokok yaitu, jumlah yang

besar, pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, penyebaran tidak merata dan

sifat-sifat ekonomi yang mencerminkan keterbelakangan. Diantara pokok yang

telah disebutkan, paling berada dalam level posisi mengkhawatirkan adalah

keterbelakangan sosial ekonomi, disamping itu penyebaran penduduk yang tidak

merata berdampak signifikan bagi permasalahan kependudukan.

Berdasarkan monografi yang ada di Desa Dlepih sampai bulan Juni

2005, penduduk secara keseluruhan mencapai 3711 jiwa, yang terdiri dari 730

kepala keluarga. Dengan perincian laki-laki berjumlah 1936 jiwa dan perempuan

berjumlah 1775 jiwa. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat umur dan jenis

kelamin di Desa Dlepih dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 dapat dilihat

pada tabel berikut:

21 M. Sadli, Proyek Jangka Panjang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, dalam PRISMA

No.2 Februari 1982. hal. 7.

xxxviii

Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa Dlepih Menurut Tingkat Umur dan Jenis

Kelamin.

Jumlah (Orang) 1993 1999 2005

No.

Umur Laki-

laki Perempu-

an Laki-laki Perempu-

an Laki-laki Perempu-

an 1 0-4 tahun 224 238 206 207 156 120 2 5-9 tahun 190 198 172 187 188 120 3 10-14

tahun 197 223 197 219 141 103

4 15- 19 tahun

181 257 239 238 236 236

5 20-24 tahun

194 225 238 195 242 285

6 25-29 tahun

264 268 274 263 272 266

7 30-39 tahun

234 202 248 208 329 183

8 40-49 tahun

200 222 204 221 213 232

9 50-59 tahun

196 234 183 222 225 215

Jumlah 1880 2067 1961 1960 1936 1775 Total 3947 3921 3711

Sumber: Monografi Desa Dlepih Tahun 1993 – 2005.

Dari tabel jumlah penduduk Desa Dlepih menurut tingkat umur dan jenis

kelamin, pada tahun 2005 populasi jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki

mengalami peningkatan. Jumlah penduduk tersebut mengalami perubahan dengan

adanya kelahiran dan kematian yang terjadi setiap waktu mempengaruhi jumlah

penduduk, termasuk mutasi penduduk.

b. Mata Pencaharian

xxxix

Sumber mata pencaharian utama masyarakat Desa Dlepih tidak terbatas

sektor pertanian. Melaikan dari sektor non pertanian banyak memberikan

pendapatan tambahan bagi penduduk. Selain bertani penduduk melakukan

pekerjaan sampingan lain. Dapat dilihat dari tabel jenis mata pencaharian

penduduk Desa Dlepih di bawah ini:

Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di Desa Dlepih.

Jumlah No Jenis Mata Pencahariaan 1993 1999 2005

1 Petani sendiri 283 283 328 2 Buruh tani 206 206 206 3 Nelayan - - - 4 Pengusaha besar - - 5 5 Pengusaha kecil 4 4 30 6 Buruh Bangunan 7 10 100 7 Buruh industri 100 100 65 8 Pedagang 5 5 24 9 Pengangkutan 21 21 16 10 Pegawai Negeri 24 24 15 11 ABRI - - 2 12 Lain-lain 1609 1608 1628

Sumber : Monografi Desa Dlepih Tahun 1993- 2005.

Dari tabel dapat dilihat dan dikemukakan dalam bidang mata

pencaharian, masyarakat paling dominan adalah bidang pertanian, partisipasi dan

aktivitas kaum laki-laki lebih tinggi dibandingkan kaum perempuan. Bidang

pertanian menjadi mata pencahariaan pokok sebagian masyarakat, karena

penduduk tidak memiliki lahan pertanian. Penduduk yang bekerja sebagai petani

buruh atau buruh tani, dengan aturan-aturan tertentu yang disepakati antara

pemilik tanah dan pekerja.

Bidang non pertaniaan, yang ditekuni sebagian penduduk adalah bidang

industri rumah tangga. Industri rumah tangga ditekuni oleh penduduk wanita.

Berbagai jenis pekerjaan penduduk Desa Dlepih, antara lain petani sendiri, buruh

xl

tani, karyawan baik instansi pemerintahan maupun swasta, wiraswasta,

pertukangan dan pensiunan.

Industri rumah tangga ditekuni oleh para wanita menunjukan wanita

mulai mampu berperan aktif dalam kegiatan ekonomi keluarga. Wanita pedesaan

pada umumnya aktif mendampingi suami mencari nafkah. Kehidupan sehari-hari

wanita mempunyai peran ganda. Sebagai ibu rumah tangga dan pendamping

suami untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga. Wanita mempunyai tugas

dan fungsi yang berat. Penduduk wanita bekerja dalam artian luas, bekerja

berhubungan dengan proses produksi yang menghasilkan nilai ekonomi dan

bekerja berhubungan dengan masalah sosial rumah tangga.

Penduduk Desa Dlepih merupakan tipe masyarakat pekerja keras dan

tidak kenal menganggur. Penduduk mempunyai pekerjaan sambilan selain bertani

yaitu industri rumah tangga. Industri rumah tangga Desa Dlepih tergolong industri

kecil, industri tersebut antara lain: industri kerajinan batu mulia, batik, batu bata

dan pembuatan genteng. Industri rumah tangga yang ada membuat penduduk

dapat mengisi waktu senggang bekerja di rumah. Hasil dari industri kerajinan

rumah tangga sebagian besar dipasarkan keluar daerah Dlepih. Kegiatan home

industri ini akan menambah penghasilan penduduk mencukupi kebutuhan hidup

selain hasil dari pertanian.

Penduduk Desa Dlepih mata pencahariaan terbesar sebagai petani dan

perajin. Ada pekerjaan utama dan pekerjaan sekunder dalam kehidupan

masyarakat pedesaan yang agraris22. Petani pada umunya mengerjakan pekerjaan

berhubungan dengan pertaniaan, dalam masyarakat pedesaan terdapat juga

22 Koentjaraningrat 1981, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.hal.194.

xli

pekerjaan yang tidak merupakan jenis pekerjaan pertanian. Petani melakukan

keduanya, masing-masing sebagai pekerjaan utama dan sekunder. Di Jawa banyak

desa yang sebagian besar penduduk bukan petani tetapi menyebut diri ”petani”

bila mereka diwawancarai. Bagi seorang peneliti memang sangat sukar untuk

menentukan perbedaan antara petani dan non-petani.

Petani yang memiliki sebidang lahan pertanian juga memiliki warung

yang dijaga oleh istrinya, misalnya. Pada awal musim tanam, penghasilan dari

warung kadang lebih besar, bisa lebih kecil dari hasil pertaniaan. Di desa pada

umumnya pegawai pamong desa, para pegawai, dan kaum wiraswasta memiliki

sebidang tanah. Penduduk menyewakan tanah dengan berbagai macam cara, ada

juga yang mengerjakan tanah mereka sendiri.23

Penelitian di Desa Dlepih, mengenai mata pencaharian penduduk, dalam

beberapa segi terjadi hal seperti tersebut, yaitu sulit membedakan antara pekerjaan

utama dengan pekerjaan sekunder penduduk. Pengamatan langsung yang tidak

hanya mengandalkan wawancara, diketahui kecendrungan mata pencaharian mana

yang penduduk kerjakan lebih dominan sebagai petani dan seorang wiraswasta.

Penduduk Desa Dlepih yang bermata pencaharian sebagai buruh tani

maupun pemilik tanah, mengangap diri meraka sebagai petani. Masyarakat yang

bermata pencaharian sebagai wiraswasta yang mempunyai tanah pertanian

menyebut pedagang dan petani. Intensitas keuntungan yang diperoleh dan

anggapan seseorang terhadap suatu jenis pekerjaan mempengaruhi penduduk

menyebut atau memilih jenis pekerjaan. Tradisi dan upacara slametan yang

23 Wawancara dengan Sunarno pengusaha genteng. tgl. 29 Mei 2009.

xlii

dilakukan masyarakat seperti tradisi kumunal atau individu, tidak terlepas dari

mata pencahariaan penduduk yang tergantung pada bidang pertanian.

c. Tingkat Pendidikan Masyarakat

Pendidikan merupakan modal dasar kehidupan manusia. Pendidikan

merupakan wahana untuk mengembangkan kecerdasan dan meningkatkan kualitas

manusia. Pendidikan diperlukan dalam pembangunan sekarang ini, terutama

pembangunan wilayah pedesaan.

Berdasarkan dari monografi Desa Dlepih dari tahun 1993 sampai 2005

diketahui bahwa jumlah penduduk yang tergolong dalam jenjang pendidikan dapat

dilihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Desa Tahun 1993 -

2005.

Jumlah No Tingkat Pendidikan 1993 1999 2005

1 Tamat akademi/ PT 2 4 9 2 Tamat SLTA 80 85 200 3 Tamat SLTP 148 157 360 4 Tamatan SD 1255 1241 1247 5 Tidak tamat SD 300 300 300 6 Belum tamat SD 210 213 219 7 Tidak sekolah 1343 1314 1064

Sumber: Monografi Desa Dlepih Tahun 1993 - 2005.

Seperti yang terlihat dalam tabel, pada umumnya tingkat pendidikan

masyarakat Desa Dlepih kurang baik karena keterbatasan biaya banyak penduduk

hanya tamat sekolah dasar. Usia sekolah penduduk dimulai pada umur lima tahun.

Penduduk yang tidak sekolah dikarenakan kondisi ekonomi yang rendah.

xliii

Penduduk yang memiliki latar belakang pendidikan rendah hanya mampu

mengelola tanah pertanian dan bekerja pada sektor informal saja.24

B. Potensi Desa Dlepih

Desa Dlepih mempunyai potensi yang mungkin juga dimiliki daerah

lain, memang potensi ini dibangun sebagai sarana dan prasarana guna membantu

kelancaran kegiatan penduduk. Sarana dan prasarana dibangun berdasarkan

kebutuhan penduduk. Potensi di Desa Dlepih meliputi sarana sosial, sarana

pendidikan, sarana perekonomian, dan sarana perhubungan komunikasi.

1. Sarana Sosial.

Sarana sosial desa dibangun guna memperlancar kegiatan sosial yang

dilakukan masyarakat Desa Dlepih. Berupa kantor desa, balai desa, tempat ibadah,

sarana olah raga serta balai pengobatan. Balai desa merupakan tempat kegiatan

warga dan pemerintah desa. Semua kegiatan yang berkaitan dengan pemerintahan

desa dilaksanakan di kantor desa. Balai desa merupakan tempat pertemuan, yaitu

pertemuan pemerintah desa dengan warga masyarakat misalnya membahas

tentang penyuluhan-penyuluhan dan rapat-rapat desa. Di Desa Dlepih pertemuan

di balai desa dilakukan setiap hari Rabu minggu pertama setiap bulannya yang

disebut “Rebon”.25

Sarana sosial yang kedua adalah sarana peribadatan. Jumlah sarana

peribadatan di Desa Dlepih terdiri 12 masjid dan 5 langgar yang tersebar

diseluruh wilayah desa tidak ada gereja dan tempat peribadatan lain.

2. Sarana Pendidikan.

24 Wawancara dengan M. Hartono perajin batu mulia Desa Dlepih Tgl.29 Mei 2009. 25 Wawancara dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih Tgl. 29 Mei 2009.

xliv

Kualitas pendidikan adalah salah satu cara untuk mengatasi masalah

kependudukan. Penduduk yang termasuk usia sekolah cukup besar, membuat

pemerintah dan masyarakat mendirikan tempat pendidikan. Sarana pendidikan di

Desa Dlepih pada rahun 1993 sampai 2005 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4. Jumlah Sarana Yang Ada di Desa Dlepih.

Jumlah No. Jenis Sekolah 1993 1999 2005

1. TK 3 3 3 2. SD 4 4 4 3. SMP - - - 4. SMA - - -

Sumber : Monografi Desa Dlepih Tahun 1993-2005.

Dari tabel diketahui bahwa sarana pendidikan di Desa Dlepih dari tahun

1993 sampai 2005 terdiri dari 3 unit sekolah taman kanak-kanak dan 4 unit

sekolah dasar yang tersebar di wilayah Desa Dlepih.

3. Sarana Perhubungan dan Komunikasi.

Mobilitas merupakan satu kriteria yang menunjukan apakah seseorang atau

sekelompok masyarakat tertentu dikatakan masyarakatnya maju atau tidak,

dinamis atau statis dapat dilihat dari mobilitasnya. Perpindahan seseorang atau

sekelompok orang pergi kedaerah lain dalam jangka waktu tertentu demi

kepentingan tertentu disebut mobilitas penduduk. Mobilitas dipengaruhi berbagai

faktor misalnya; sarana jalan, alat transportasi dan komunikasi. Semakin maju

sarana yang ada semakin mudah dan cepat orang melakukan mobilitas. Sarana

perhubungan yang mendukung mobilitas penduduk Desa Dlepih antara lain adalah

sarana jalan. Prasarana jalan yang terdapat di Desa Dlepih pada Tahun 1993

sampai 2005 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5. Jumlah Sarana Jalan Desa Dlepih.

xlv

Jumlah No. Jenis Sarana Jalan

1993 1999 2005 1 Jalan Propinsi - - - 2 Jalan Lintas Kabupaten - - - 3 Jalan Desa 8 Km 8 Km 8 Km 4 Jalan Dusun 8,5 Km 8,5 Km 10 Km 5 Jembatan 2 buah 2 buah 2 buah

Sumber : Monografi Desa Dlepih Tahun 1993-2005.

Berdasarkan tabel dapat dilihat keadaan sarana jalan yang ada di Desa

Dlepih sudah memadai guna menunjang kelancaran dan mobilitas penduduk.

Mulai adanya kesadaran untuk meningkatkan sarana jalan agar lebih baik dari

yang belum beraspal menjadi beraspal dan jalan dusun sudah dibuat jalan beton

cor. Kemajuan ini dipengaruhi juga pembangunan obyek wisata Kahyangan yang

berada di Desa Dlepih pada tahun 1993 oleh Pemerintah Kabupaten Wonogiri.

Sarana perhubungan berupa sarana transpotasi dan komunikasi sangat

mendukung mobilitas penduduk. Kemajuan dan perkembangan jaman terlebih

adanya era Globalisasi, komunikasi semakin canggih, berbagai kemudahan untuk

mendapatkan informasi komunikasi yang ditawarkan mendorong masyarakat

untuk memanfaatkan teknologi. Begitu pula masyarakat Desa Dlepih mereka juga

memanfaatkan kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi dan transportasi.

Sarana transportasi yang dimiliki masyarakat Desa Dlepih pada tahun 1993

sampai dengan 2005 dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 6. Jumlah Sarana Transportasi dan Komunikasi Desa Dlepih.

Jumlah No. Jenis Sarana Komunikasi dan Transportasi

1993 1999 2005

1 Radio/TV 40/20 170/30 170/475 2 Sepeda/Sepeda Motor 43/10 35/30 35/45 3 Mobil dinas/ Pribadi -/1 -/5 -/5

xlvi

4 Mobil Taksi / Oplet -/5 -/6 -/17 5 Bus/Truk -/- -/1 -/3 6 Gerobak Dorong/Hewan 6/- 4/- 4/- 7 Becak - - -

Sumber : Monografi Desa Dlepih Tahun 1993-2005.

Berdasarkan tabel di atas masyarakat Desa Dlepih dari tahun 1993

sampai 2005 sudah mempunyai kesadaran yang cukup tinggi dalam melakukan

mobilitas dan juga memanfaatkan sarana informasi dan komunikasi yang

berkembang. Penduduk desa semakin meningkatkan pemanfaatan sarana

informasi dan komunikasi. Peningkatan pemanfaatan sarana informasi dan

komunikasi ini membawa dampak bagi kemajuan pembangunan Desa Dlepih.

C. Kondisi Sosial Budaya.

Keberadaan industri rumah tangga Desa Dlepih tidak terlepas dari latar

belakang sosio-kultural yang pada akhirnya akan memberikan warna tersendiri

bagi industri rumah tangga. Kebudayaan manusia tidak terlepas dari unsur-unsur

budaya itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat ada 7 sistem budaya pada

xlvii

masyarakat yaitu; “ bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, sistem

kemasyarakatan, sistem teknologi, pengetahuan dan religi.

Berbagai macam unsur budaya tersebut tidak seluruhnya akan

dibicarakan disini tapi hanya beberapa unsur yang mempunyai kaitan dengan

industri kerajinan rumah tangga Desa Dlepih. Antara lain sistem pelapisan

masyarakat dan sistem religi.

1. Sistem Pelapisan Masyarakat

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa

bantuan orang lain. Antara manusia satu dengan yang lain saling membutuhkan

dalam hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup

sendiri, tetapi berada disuatu lingkungan sosial yang berlainan satu dengan yang

lain. Lingkungan sosial merupakan salah satu tempat hubungan individu maupun

kelompok dengan pola organisasi dalam masyarakat dimana lingkungan sosial

tersebut merupakan bagian dari system kemasyarakatan.

Sebagai anggota masyarakat, kehidupan manusia mempunyai struktur

sosial beraneka ragam, baik yang sederhana maupun yang kompleks, seperti

adanya pelapisan sosial dan stratifikasi sosial. Pelapiasan sosial terjadi karena ada

perbedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat, sehingga

mewujudkan adanya kelas atas dan kelas bawah. Terjadinya pelapisan sosial

karena terdapat suatu yang dihargai dalam kehidupan masyarakat dan mempunyai

nilai yang tinggi. Sesuatu dianggap bernilai tinggi berupa benda-benda yang

mempunyai nilai ekonomis, ilmu pengetahuan, kekuasaan, keturunan dari

keluarga terhormat, kesalehan dalam agama, dan lain sebagainya26.

26 Soerjono Soekanto, 1982, Kamus Sosiologi, Jakarta: CV. Rajawali, hal. 203.

xlviii

2. Sistem Religi.

Penduduk Desa Dlepih mayoritas masyarakatnya beragama Islam,

terdapat pula pemeluk agama lain seperti Kristen dan Katholik. Perjalanan

aktivitas keagamaan terjadi toleransi antara pemeluk agama satu dengan pemeluk

agama lain.

Tabel 7. Pemeluk Agama Penduduk desa Dlepih tahun 1993,1999, 2005.

Jumlah No Agama

1993 1999 2005 1 Islam 3965 3915 3700 2 Katholik 3 3 3 3 Kristen 8 8 8 4 Hindu - - - 5 Budha - - -

Sumber: Monografi Desa Dlepih Bulan Januari 2003.

Dari tabel dapat diketahui mayoritas penduduk Desa Dlepih memeluk

agama Islam. Desa Dlepih terdapat dua belas masjid dan lima langgar yang

tersebar di dukuh-dukuh. Masyarakat Desa Dlepih kebanyakan beragama Islam.

Kenyataan sehari-hari pelaksanaan kegiatan keagamaan sering dihubungkan

dengan kepercayaan asli masyarakat Jawa yaitu animisme dan dinamisme.

Penduduk mayoritas beragama Islam, namun tidak semua penduduk menjalankan

ajaran agama Islam sesuai yang tercantum dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadist

Nabi. Banyak penduduk yang tidak melaksanakan rukun Islam secara serius.

Misalnya tidak sembahyang lima waktu, tidak melaksanakan sholat Jum’at, dan

seringkali melanggar pantangan dalam ajaran Islam. Ada juga yang tidak

berkeinginan pergi menunaikan ibadah haji dan umroh, meskipun dari segi materi

mampu. Akan tetapi taat berpuasa pada bulan ramadhan, juga melakukan zakat

fitrah, dan pelaksanaan Sholat Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.

xlix

Yakin adanya Allah, dan seperti halnya orang muslim pada umumnya, percaya

bahwa Muhamad adalah nabi. Menyadari bahwa orang yang baik jalan hidupnya

akan naik surga, dan orang banyak dosa akan masuk dalam neraka. Juga

mengetahui akan kitab suci Al Qur’an yang berisi kata-kata Allah dan setiap

orang pernah mengucapkan kalimat Al Fatihah waktu dikhitan. Selain beberapa

persamaan dengan orang Islam pada daerah lain, penduduk Desa Dlepih dari

golongan ini juga yakin pada konsep-konsep keagamaan lain, percaya pada

makhluk-makhluk gaib, serta kekuatan sakti, dan melakukan berbagai ritus

upacara keagamaan yang tidak ada hubungan dengan ajaran agama Islam.

Penduduk yang menganut paham ini adalah beragama Islam yang tidak banyak

menghiraukan agama, sebab sebenarnya agama yang dianut adalah varian dari

agama Islam Jawa, yaitu ‘’Agami Jawi’’. Mendeskripsi agama Islam orang Jawa,

harus membedakan antara dua buah manifestasi dari agama Islam Jawa yang

cukup banyak berbeda, yaitu “ Agami Jawi” dan Agama Islam Santri. Sebutan

yang pertama berarti “ Agama orang Jawa”, sedangkan yang kedua berarti “

Agama Islam” yang dianut orang santri27.

Kaitanya dengan peribadatan, penganut” Agami Jawi” mengalami suatu

perjalanan mistik yang sering digambarkan melalui empat tahap, mulai dari luar

terus kedalam. Tergantung pada siapa yang mengatakan, keempat tahap itu

disebut dengan berbagai istilah namun artinya sama. Adapun keempat tahap

tersebut yaitu, tahap serengat, tahap tarekat, tahap hakekat, dan tahap makrifat28.

Tahap mistik yang paling rendah, yaitu tahap serengat yaitu menghormati dan

27 Kontjaraningrat,1981, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka. Hal. 312. 28 Niels Mulder, 1984, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta :

PT.Gramedia. hal. 24

l

hidup sesuai dengan hukum-hukum agama. Tahap tarekat adalah tahap kesadaran

tentang hakekat tingkah laku pada tahap pertama harus diinsyafi lebih dalam dan

ditingkatkan. Tahap ketiga adalah tahap hakekat, tahap menghadapi kebenaran

dikembangkan secara penuh kesadaran akan hakekat doa dan pelayanan kepada

Tuhan. Tahap terakhir dan tertinggi adalah makrifat, yaitu tahap ketika manusia

mencapai ”jumbuhing kawula gusti”, dimana jiwa seseorang terpadu dengan jiwa

semesta dan tindakan seseorang semata-mata menjadi “ laku”, kehidupan

seseorang menjadi doa terus menerus kepada Tuhan.

Gejala-gejala berkembangnya “ Agami Jawi” dalam kehidupan

masyarakat Desa Dlepih dilihat pada kepercayaan masyarakat akan adanya

makhluk-makhluk halus pada Jumat Kliwon dan upacara sedekah bumi pada

tanggal 1 Suro banyak ditemui sesaji-sesaji berupa bunga setaman dan makanan

yang diletakan di kompleks punden desa seperti Khayangan. Disamping itu

ditemui adanya pembakaran dupa atau kemenyan di perempatan-perempatan jalan

yang dianggap angker dan keramat oleh warga setempat. Beberapa warga

masyarakat Desa Dlepih melakukan pemberian sesaji kepada pusaka-pusaka

warisan keluarga dan leluhurya, yang dianggap mempunyai kekuatan gaib, seperti

pusaka keris dimana sesaji tersebut berupa rangkaian atau untaian bunga melati

dan bunga kantil yang diletakan pada pusaka tersebut, dengan harapan kekuatan

sakti atau gaib yang ada dalam pusaka tersebut akan membawa kebaikan

keluarga29 .

Masyarakat mempercayai adanya kekuatan-kekuatan di luar dirinya yang

mampu mempengaruhi kehidupan manusia. Kepercayaan-kepercayaan semacam

29 Wawancara dengan Karimun sesepuh Desa Dlepih Tgl. 29 Mei 2009.

li

ini merupakan tradisi yang diwariskan secara turun temurun dan merupakan ciri

dari suatu masyarakat agraris terangkum kedalam agama Islam Jawa atau

Kejawen yang bersifat sinkretis.

BAB III

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN INDUSTRI RUMAH

TANGGA DI DESA DLEPIH TAHUN 1993-2005

A. Sejarah Berdirinya Industri Rumah Tangga.

Sejarah munculnya kerajinan di Desa Dlepih, pada umumnya dimulai

dengan usaha yang bersifat mencoba-coba untuk sekedar memenuhi kebutuhan

rumah tangga sendiri dan lingkungan. Lalu muncullah pesanan dari tetangga dan

lingkungan tempat tinggal masyarakat sampai meluas kepada permintaan yang

terus berkembang setelah mendapat pengakuan atas kemampuan dari pihak lain.

Kepercayaan dan pengakuan inilah kemudiaan menjadi peneguh bagi diri perajin.

Di wilayah Desa Dlepih posisi pekerjaan sebagai perajin tersebut mulanya

masih sebagai pekerjaan sambilan selain menjadi petani, karena masih sedikit

jumlah pesanan atau daya jual. Setelah pesanan meningkat dan penghasilan

pendapatan lebih baik dari pada pekerjaan pertanian, maka penduduk

mempertimbangkan mata pencaharian pengrajin sebagai pekerjaan utama. Proses

penyebaran keahlian tersebut berlangsung secara tradisional, yaitu dengan cara

magang kepada pendahulu yang dianggap ahli. Akibat meluasnya tingkat

permintaan barang produksi kerajinan, maka minat orang untuk memasuki

pekerjaan ini semakin meningkat dan proses magangpun sangat diperlukan bagi

lii

masyarakat Desa Dlepih. Magang menjadi proses yang sangat diperlukan bagi

masyarakat karena itu merupakan masa transisi dari yang semula masih bertani

kemudian sepenuhnya bekerja sebagai perajin.30

Dari pengamatan di Desa Dlepih didapatkan informasi bahwa beberapa

motivasi dan alasan penduduk berpindah profesi dari petani menjadi perajin

industri kecil. Motivasi dan alasan tersebut menjadi faktor pendorong petani

menjadi pengrajin, meliputi unsur :

1. Pemenuhan kebutuhan hidup.

Kebanyakan dari penduduk yang sekarang sebagai perajin atau buruh

sebenarnya yang mendorong dan melatar belakangi pindah kerja ke industri kecil

adalah akibat penghasilan dari sektor pertanian kurang sehingga tidak mencukupi

untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarga. Dari pengalaman bekerja

sebagai petani, penghasilan yang didapat lebih rendah dibandingkan dengan

bekerja pada sektor industri kecil paling tidak selalu mempunyai uang, meskipun

dikatakan pas-pasan.

Sebagai gambaran adalah buruh yang bekerja pada pembuatan genteng di

Desa Dlepih, dalam sehari dengan sistem kerja harian mendapatkan uang rata-rata

Rp.18.000,00. Lain halnya dengan bekerja sebagai buruh pertanian ( pemacul,

pembajak sawah atau jenis lainnya seperti mengetam, ndaut, tanam padi dan lain-

lain), hanya mendapat upah Rp.8.000,00 per harinya.31 Dari gambaran tersebut

30 Wawancara dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009. 31 Wawancara dengan Didik perajin genteng Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.

liii

dapat diketahui bahwa menjadi buruh pembuatan genteng mendapat penghasilan

lebih besar dari pada menjadi buruh tani.32

2. Terbatasnya lahan pertanian.

Masyarakat Desa Dlepih merasakan tanah-tanah yang dimiliki atau di

desa tidak cukup lagi untuk memenui kebutuhan hidup, sehingga pekerjaan

disektor pertanian sangat terbatas. Bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan

akan perumahan menyebabkan tanah pertaniaan di Desa Dlepih semakin sempit.

Dengan demikian pekerjaan dibidang industri kecil kerajinan menjadi alternatif

selain sektor pertanian karena tidak memerlukan lokasi yang luas.

Salah satu kasus yang menyebabkan masyarakat desa Dlepih berpindah

profesi menjadi perajin karena keterbatasan lahan pertanian yang dimiliki antara

lain: Wahyono, seorang perajin batu bata yang sekarang lebih senang disebut

sebagai perajin batu bata dari pada petani. Beliau menjadi perajin pembuatan batu

bata pada tahun 1998 yang disebabkan karena hasil dari sawah yang dimilikinya

tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya.

Ditambah lagi menyekolahkan anak di SMK Farmasi di Wonogiri. Untuk

memenuhi kebutuhan tersebut beliau mulai menekuni usaha pembuatan batu bata

disamping bertani. Kebutuhan masyarakat akan batu bata sebagai bahan baku

pembuatan rumah sangat tinggi, membuat usaha pembuatan batu bata menjadi

menjanjikan hasilnya dari pada bertani. Banyaknya pesanan membuat pendapatan

dari pembuatan batu bata lebih besar dibandingkan dengan bertani di sawah.33

3. Ajakan orang lain atau coba-coba.

32 Ibid

33 Wawancara dengan Wahyono pengrajin batu bata Desa Dlepih, tgl 28 Mei 2009.

liv

Sebagian dari masyarakat yang bekerja di bidang industri kecil karena

coba-coba dari pengalaman melihat orang lain sukses. Pekerjaan sebagai buruh

industri kecil atau sebagai perajin tidak pernah dipelajari secara khusus oleh

sebagian penduduk Desa Dlepih. Umumnya mencoba-coba dan magang industri,

serta melihat orang lain sukses yang kemudian meniru. Sebagai contoh misalnya:

meluasnya industri genteng di Desa Dlepih. Mulanya hanya seorang saja yang

mencoba usaha pembuatan genteng tersebut yaitu Satiyo, beliau memulai

usahanya pada tahun 1998. Sebelum menjadi perajin genteng beliau seorang

buruh di Jakarta karena krisis beliau pulang ke Desa Dlepih dan mulai membuat

genteng walau dalam sekala kecil. Cara pembuatan genteng didapatkan dari

teman kerja asal Bekonang yang terlebih dahulu mengetahui cara pembuatan

genteng . Lama-kelamaan usaha pembuatan genteng tersebut berkembang dengan

pesat karena banyak pesanan. Kini hampir 40% penduduk Desa Dlepih menjadi

pengrajin pembuatan genteng. Bagi orang desa ini nampak contoh keberhasilan

seseorang telah menjadi”guru” bagi orang lain.34

B. Macam-Macam Industri Rumah Tangga Yang Ada Di Desa Dlepih.

34 Wawancara dengan Sulidjo mantan Kepala Desa Dlepih, tgl 29 Mei 2009.

lv

Di Desa Dlepih terdapat berbagai macam industri rumah tangga. Hal

tersebut terjadi karena penduduk setempat tidak terfokus pada satu jenis industri

saja, hal tersebut disesuaikan dengan minat dan keahlian yang dimiliki. Di Desa

Dlepih terdapat lebih dari satu industri rumah tangga. Jenis industri rumah tangga

Desa Dlepih antara lain sebagai berikut:

1. Kerajinan Batu Mulia.

Gambar 1. Kegiatan Pembuatan Kerajinan Batu Mulia Masyarakat Desa Dlepih.

a. Sejarah berdirinya kerajinan Batu Mulia.

Keberadaan industri kerajinan batu mulia di Desa Dlepih tidak terlepas

dari adanya foklor desa tersebut. Nama Desa Dlepih berasal dari kata “del” (dari

bahasa Jawa kandel) yang berarti tebal dan “pih”(dalam bahasa Jawa plipih) yang

artinya lapisan. Kata-kata tersebut diperoleh karena telah banyak ditemukan batu

akik yang berbentuk plipih, tebal dan ukurannya besar, dalam bahasa Jawa

“Kandel ing Plipih”. Di wilayah desa tersebut banyak ditemukan jenis-jenis batu

mulia. Perkembangan industri kerajinan batu mulia ini tidak spontan tumbuh dan

berkembang sampai saat ini. Tetapi dalam proses pertumbuhanya melalui tahap-

tahap tertentu untuk menjadikan sebuah industri kerajinan batu mulia bertahan

lvi

sampai sekarang dan menjadi mata pencaharian bagi sebagian penduduk.

Dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup disamping semakin maju

tingkat pendidikan dan bakat seni dari ketrampilan yang penduduk miliki untuk

mengukir jenis-jenis bebatuan mulia seperti : batu fosil, batu agote, batu

cornelian, batu kristal amatize, batu opsidion, dan batu jesper yang ada disekitar

pegunungan desa, menjadikan adanya industri kerajinan batu mulia.35

b. Perkembangan kerajinan Batu Mulia.

1. Periode pertama tahun 1993

Pada periode ini menjadi awal mula usaha kerajinan batu mulia di Desa

Dlepih. Keberadaan obyek wisata Kahyangan dimanfaatkan sebagian penduduk

untuk mulai menekuni usaha kerajinan batu mulia, sebagai cindra mata khas

Kahyangan. Dengan memanfaatkan potensi bahan baku pertambangan batu mulia

yang melimpah di wilayah pegunungan desa. Kegiatan kerajinan batu mulia ini

hanya sebagai pekerjaan sampingan saja diluar pekerjaan pokok sebagai petani.

Pelopor usaha kerajinan batu mulia di Desa Dlepih adalah Karimun. Beliau

membuat kerajinan batu mulia dengan bakat seni yang beliau miliki dan

pengalaman kerja pada waktu bekerja di sentral kerajinan batu mulia daerah

Pacitan pada tahun 1970-an. Kemudian kembali ke Desa Dlepih pada tahun 1993

pasca pembangunan obyek wisata Khayangan dengan tujuan mengembangkan

usaha kerajinan batu mulia. Peralatan yang digunakan walau sederhana mampu

merubah berbagai jenis batu mulia yang ada disekitar wilayah desa menjadi

sebuah karya seni dengan nilai jual tinggi. Untuk pemasaran hasil kerajinan batu

mulia beliau menjual disekitar obyek wisata Kahyangan.

35 Wawancara dengan M. Hartono pengrajin batu mulia Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.

lvii

Perkembangan kerajinan batu mulia pada tahun 1993 ini tidak berkembang

dengan baik karena minimnya tenaga trampil sehingga mutu dan hasil produksi

kurang baik. Untuk mengembangkan usaha kerajinan tersebut maka Karimun

merekrut tenaga dari penduduk desa untuk diajari cara membuat kerajinan dari

batu mulia. Pada tahun- tahun berikutnya sudah ada penduduk desa yang trampil

membuat berbagai macam kerajinan dari batu mulia tersebut namun hanya sedikit

jumlahnya. Usaha kerajinan ini kurang begitu diminati oleh penduduk Desa

karena proses produksinya memiliki tingkat kesulitan sangat tinggi. Jumlah

pengusaha dan pekerja pada sektor kerajinan batu mulia di Desa Dlepih dapat

dilihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel 8. Jumlah pengusaha dan pekerja kerajinan batu mulia di Desa Dlepih.

No. Tahun Jumlah usaha batu mulia Jumlah pekerja batu mulia 1 1993 3 unit usaha 7 orang 2 1998 2unit usaha 2 orang

Sumber: Monografi desa Dlepih tahun 1993-2005.

Dari tabel dapat dilihat kurang begitu tertariknya masyarakat terhadap

industri kerajinan batu mulia. Dikarena dalam usaha ini membutuhkan

ketrampilan dan jiwa seni. Keberadaan kerajinan batu mulia menambah jenis mata

pencaharian masyarakat Desa Dlepih, dan menambah penghasilan yang

mencukupi kebutuhan sebagian masyarakat.36

Hasil karya kerajinan batu mulia yang dihasilkan perajin batu mulia Desa

Dlepih sangat diminati oleh pengunjung obyek wisata Kahyangan sebagai

cinderamata khas Kahyangan karena bentuk dan warna batu sangat bagus. Hasil

karya tersebut antara lain berupa : berbagai macam souvenir dari batu mulia,

36 Wawancara dengan Karimun tgl. 29 Mei 2009.

lviii

hiasan rumah seperti ornamen-ornamen dari berbagai jenis batu mulia untuk

hiasan ruang tamu, cincin akik dan lain sebagainya.

2. Periode kedua tahun 1998-2005.

Pada periode ini industri kerajinan batu mulia mengalami goncangan

dengan adanya krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1998, sehingga menurunkan

daya beli masyarakat dan pengunjung obyek wisata Kahyangan. Pesanan dari

pengunjung obyek wisata Kahyanganpun sangat kurang, tidak seramai sebelum

terjadinya krisis. Kondisi ini mempengaruhi kondisi perekonomian perajin batu

mulia. Besarnya produk barang kerajinan yang dihasilkan, tidak diimbangi dengan

pemasaran maka terjadi penumpukan barang. Alasan inilah yang menyebabkan

kemunduran kerajinan batu mulia Desa Dlepih. Namun ada perajin yang bertahan

karena sudah ada jiwa kewirausahaan dalam diri pengrajin tersebut.

Hartono yang memulai usahanya pada awal tahun 1998 pada usaha

kerajinan batu mulia. Dengan bermodalkan ketrampilan dan modal minim Rp.

150.000,00 digunakan untuk membeli alat berupa mesin grenda dan amplas.

Beliau menjadi satu-satunya perajin batu mulia di Desa Dlepih yang bertahan

sampai sekarang dengan omset perbulan ratusan juta rupiah. Keuletan dan

kesabaran menjadikannya sekarang seorang pengusaha kerajinan batu mulia di

Desa Dlepih yang sukses. Usaha kerajinan batu mulia ini sukses dan memiliki

showroom serta sanggar penjualan sendiri di wilayah obyek wisata Kahyangan

bernama” Sanggar Ngudiroso”, yang menjual berbagai macam kerajinan batu

mulia.

c. Pemasaran

lix

Untuk pemasaran produk batu mulia ini tidak hanya mengandalkan

pemasaran di wilayah obyek wisata Kahyangan namun di luar daerah Wonogiri

antara lain ; Jakarta, Yogyakarta dan Bali. Pembuatan kerajinan dengan model dan

motif yang baru menjadikan hasil kerajinan batu mulia menjadi laku di pasaran.

Pada tahun 2002 penghasilan perajin batu mulia meningkat sampai ratusan persen

yang disebabkan mulai stabilnya perekonomian Indonesia yang berdampak pada

peningkatan daya beli konsumen, dengan banyaknya pesanan.37

2. Kerajinan Batik Tirtomoyo.

37 Ibid.

lx

Gambar 2. Kegiatan Pembuatan Batik Masyarakat Desa Dlepih

a. Sejarah berdirinya kerajinan Batik Tirtomoyo.

Mengenai perkembangan kisah asal mula kerajinan batik di Desa Dlepih,

tidak terlepas dari sejarah batik Tirtomoyo. Asal usul batik Tirtomoyo bermula

dari seorang bernama Martodiharjo sebagai tukang medel dan mbabar yang

bertempat tinggal di Gading Solo, pada waktu itu statusnya sudah duda. Menikah

dengan seorang janda dari Bekonang yang bernama Wignyodiharjo. Ibu

Wignyodiharjo dulu pekerjaan sebagai pembatik dan pedagang batik. Pada tahun

1911 kedua pasangan ini mengadu nasib untuk membuka tukang medel dan

mbabar di Desa Tirtomoyo, usahanya menjadi maju.38 Kemajuaan ini karena hasil

tenun gendong yang dihasilkan oleh Desa Tirtomoyo diberi warna dan diwedelkan

kepada Martodiharjo. Atas inisiatif Ibu. Wignyodiharjo, beliau membatik dan

berjualan batik. Langkah selanjutnya ialah mengumpulkan wanita-wanita di Desa

Tirtomoyo dan sekitarnya mulai berkembang usaha batik. Demikianlah di

Tirtomoyo sampai sekarang masih tumbuh industri batik.

Yang menjadi ciri-ciri batik Tirtomoyo terutama dapat dilihat dari

beberapa hal yaitu :

1. Umumnya batik tulis kasaran dan sedang.

2. Ngangrengan dan terusan berbeda, istilah lainya adalah batik jeblosan.

38 Wiranto,1989.’ Pengusaha Industri Kerajinan Batik Bekonang dan Tirtomoyo Tahun 1967- 1977’.Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret, hal. 22-23

lxi

3. Keluwesan motif agak kaku, karena menggunakan alat batik (canting)

yang berlubang besar.

4. Babaran terlalu tua, yaitu warna biru wadel terlalu kehitam-hitaman dan

warna coklat soganya terlalu tua. Sehingga pedagang batik di Surakarta

yang tahu betul seluk- beluk pembatikan memberi nama seloroh batik

Tirtomoyo dengan babaran bebas.

5. Motip yang disenangi adalah Sidoluhur, Sidomukti, Sidomulyo, Ngreni,

Srikaton, Kokosrono, Cuwuri, Merak Ngigel.39

Adapun sejak tahun 1963 muncul istilah batik Wonogiren dan dengan

cepat menjadi model favorit dikalangan masyarakat penggemar batik. Yang

menciptakan batik Wonogiren yang pertama kali bukanlah pengusaha batik dari

Tirtomoyo, akan tetapi pengusaha batik dari Surakarta. Babaran batik Wonogiren

lekas terkenal karena dipakai oleh Ibu Tien Soeharto istri Presiden Republik

Indonesia ke dua.

Menurut anggapan para pengusaha batik Tirtomoyo dan Solo, batik

Wonogiren sebelumnya merupakan babaran yang dianggap rusak. Mengapa

dianggap rusak karena warnanya terlalu pucat dan warnanya pecah-pecah. Seperti

motif batik dapat dilahirkan dengan mengambil pelataran yang berwarna gelap

atau berwarna terang yang pertama disebut latar hitam dan kedua disebut latar

putih. Pelataran yang baik adalah warna rata dan tidak pecah- pecah. Anggapan

batik wonogiren adalah babaran yang rusak dibantah oleh RA. Praptini

Partaningrat. Beliau adalah anak dari Bupati Wonogiri dan teman kecil dari Ibu

Tien Soeharto anak dari Wedono Wonogiri.

39 Ibid.

lxii

Menurut RA. Praptini Partaningrat pelataran yang kuning pucat adalah

resep batik yang sudah digunakan oleh ibunya sejak jaman Belanda ketika

menjadi istri Bupati Wonogiri. Pelataran pecah-pecah itu sebenarnya tidak

disengaja, yang ternyata digemari dan menjadi mode. Pada saat ini pengertian

istilah batik Tirtomoyo dan Wonogiren itu dicampuradukan oleh penggemar batik

yang mengerti asal-usul kain batik produksi daerah kecamatan Tirtomoyo

dikatakan pula batik Wonogiren. Untuk membedakan babaran batik yang

dihasilkan perusahaan batik Ibu RA. Praptini Partaningrat, dengan babaran batik

Tirtomoyo maka babaran sekarang dinamakan babaran ’Kanjengan’. Babaran

’Kanjengan’ ini khusus dipergunakan untuk membabar batik hasil karya Kerabat

Mangkunegaran.40

b. Perkembangan Batik Tirtomoyo di Desa Dlepih

Penduduk Desa Dlepih mulai bergerak dalam usaha kerajinan batik pada

tahun 1920-an. Penduduk wanita bekerja sebagai buruh batik tulis Tirtomoyo

karena batik Tirtomoyo mengalami masa kejayaan. Penduduk wanita mengerjakan

pesanan batik dari pengusaha batik dari Tirtomoyo dan Solo dengan sistem

borongan. Menjadi buruh batik dirasakan oleh ibu-ibu rumah tangga di Desa

Dlepih sangat besar pengaruh untuk mendapatkan hasil tambahan untuk

membantu perekonomian keluarga.

Perkembangan industri kerajinan batik Tirtomoyo di Desa Dlepih

mengalami kemunduran pada tahun 1950-an, disebabkan masalah bahan baku

pemasaran pada masa pendudukan Jepang.41 Berhasilnya pemasaran menentukan

40 Bambang Purwanto, ‘Meski Cacat, Batik Wonogiren Laris di Pasaran” .Harian Suara

Merdeka tgl. 1 Juli 1993, hal 21. 41 Ibid.

lxiii

kelangsungan hidup perusahaan. Perusahaan akan menghentikan produksinya bila

tidak dapat memasarkan barang yang diproduksinya. Bila pemasaran berhenti

akan mengakibatkan penumpukan barang hasil produksi dari perusahaan atau

produsen. Sehingga para pengusaha batik menghentikan produksinya untuk

menekan kerugian. Pentingnya pemasaran ini berlaku pula pada industri batik di

Tirtomoyo pada khususnya. Berdampak pada pengurangan karyawan untuk

menekan kerugian. Di Desa Dlepih sendiri pada tahun 1990-an sampai sekarang

tinggal ada 4 unit usaha atau perajin batik yang masih beroperasi. 42

c. Proses produksi

Ada lima tahap proses pembuatan batik tulis Tirtomoyo di Desa Dlepih,

upah yang diberikan dalam setiap proses berbeda-beda. Adapun proses

pengerjaannya dan upah yang diberikan dalam industri batik di Desa Dlepih dapat

dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 9. Jenis pekerjaan dan upah tiap proses pembuatan batik Desa Dlepih.

No. Jenis Pekerjaan Upah Tiap Proses 1 Pola pada kain Rp.15.000,00 2 Ngengrengi Rp.35.000,00 3 Nerusi Rp.35.000,00 4 Nyaut/ nyecek Rp.35.000,00 5 Nembok Rp.30.000,00

Sumber : Daftar upah pekerja pada salah satu industri kecil batik di Desa Dlepih

dan wawancara dengan Sandinem perajin batik, tgl.29 Mei 2009.

42 Wawancara dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih, tgl. 29 Mei 2009.

lxiv

Dari tabel dapat dilihat besar kecilnya pendapatan yang dihasilkan oleh

pengrajin batik Desa Dlepih. Produksi batik tulis membutuhkan waktu kurang

lebih dua minggu. Setiap tahapan dikerjakan secara bergantian menurut keahlian

yang dimiliki masing-masing pengrajin. Besar kecil pendapatan yang diperoleh

tergantung pesanan batik dari bos batik di Tirtoyo dan Solo. Semakin banyak

pesanan maka semakin banyak upah yang didapatkan oleh perajin43 Adanya

kerajinan batik menambah adanya dinamika industri rumah tangga pedesaan di

Desa Dlepih.

d. Pemasaran Batik

Perkembangan industri kerajinan batik Tirtomoyo di Desa Dlepih

mengalami kemunduran, kemunduran ini disebabkan masalah pemasaran. Karena

berhasil dan tidak pemasaran menentukan kelangsungan hidup perusahaan.

Perusahaan akan menghentikan produksi apabila tidak bisa memasarkan barang

yang diproduksi. Pemasaran berhenti mengakibatkan penumpukan barang hasil

produksi dari perusahaan atau produsen. Pengusaha batik menghentikan

produksinya untuk menekan kerugian apabila pemasaran tidak berjalan dengan

baik. Pentingnya pemasaran ini berlaku pada industri batik di Tirtomoyo pada

khususnya. Berdampak pada pengurangan karyawan dan pesanan batik untuk

menekan kerugian.44

3. Kerajinan Pembutan Genteng.

43 Wawancara dengan Sadinem perajin batik Desa Dlepih. tgl.29 Mei 2009.

44 Ibid.

lxv

Gambar 3. Kegiatan Pembuatan Genteng Masyarakat Desa Dlepih

a. Sejarah kerajinan genteng Wiroko.

Awal berdirinya industri pembuatan genteng Desa Dlepih tidak secara

spontan tumbuh dan berkembang sampai saat ini. Tetapi dalam proses

pertumbuhan melalui tahap-tahap tertentu untuk menjadikan industri kecil

pembuatan genteng ini menjadi maju serta menjadi lapangan pekerjaan bagi

masyarakat desa setempat. Sumber daya alam yang ada menjadi faktor

pendukung tumbuh dan berkembangnya industri genteng. Pelopor usaha industri

kecil genteng adalah Satiyo, beliau tinggal di Desa Wiroko yang kemudian usaha

produksi genteng tersebut diberi nama genteng ”Wiroko”. Beliau memulai usaha

pembuatan genteng pada tahun 1998. Sebelumnya hanya menjadi buruh di

Jakarta namun karena krisis ekonomi tahun 1998 kembali ke desa dengan

membawa cetakan genteng dan mulai mendirikan usaha pembuatan genteng walau

hanya dalam skala kecil. Adapun cara-cara pembutan genteng tersebut didapat

dari temannya yang berasal dari Bekonang yang lebih dulu mengawali usaha

pembuatan genteng secara tradisional.45 Pada awal usaha Satiyo belum

mengetahui tanah tegal di wilayah desanya dapat digunakan untuk membuat

genteng. Jadi waktu itu usahan tersebut bersifat coba-coba dan akhirnya berhasil

sampai sekarang.

b. Proses produksi

45 Wawancara dengan Sunarno pengusaha genteng. tgl. 29 Mei 2009.

lxvi

Untuk proses produksi pembuatan genteng ini hanya menggunakan

peralatan yang sederhana. Bangunan tobong kecil dan peralatan sederhana seperti

besut, cangkul merupakan alat yang digunakan dalam proses pembuatan genteng’

Wiroko”. Tobong merupakan bangunan untuk tempat pembakaran genteng. Bahan

baku genteng adalah tanah liat yang terdapat di wilayah Desa Dlepih. Adapun

alat-alat yang digunakan dalam pembuatan genteng antara lain ;

1. Alat pres , alat ini digunakan untuk mencetak genteng supaya padat.

2. Cetakan kayu, alat ini dipakai untuk mencetak genteng. Terbuat dari kayu

jati dengan bentuk seperti belahan gedebok pisang.

3. Besut, alat ini digunakan untuk menghaluskan permukaan genteng agar

menjadi halus, terbuat dari potongan kulit bambu.

4. Cangkul, alat ini digunakan untuk menghancurkan tanah yang masih

terbentuk bongkahan sekaligus untuk menghilangkan kerikil atau batu

yang masih terdapat didalam tanah.

5. Tobong, alat ini dipergunakan untuk membakar genteng yang sudah di

jemur. Terbuat dari tumpukan batu bata dengan lobang di atasnya.

Peralatan di atas adalah sarana yang digunakan dalam pembuatan genteng

tradisional atau yang lebih terkenal disebut dengan nama ’genteng Wiroko’. Ciri-

ciri genteng Wiroko yaitu gentengnya yang tebal, keras dan tidak mudah pecah

sehingga diminati konsumen dari berbagai daerah.46

Pembuatan genteng tersebut membutuhkan waktu yang lama karena

menggunakan tenaga manusia. Proses produksi genteng biasanya dilakukan

selama 10 hari sampai menjadi genteng yang siap jual. Setiap sekali produksi

46 Wawancara dengan Saimin perajin genteng Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.

lxvii

(pembakaran) sebanyak 6000 biji dengan akumulasi nilai jual setiap 1000 biji

genteng seharga Rp.450.000,00. Sifat usaha tersebut pada dasarnya adalah usaha

sambilan dan dikerjakan oleh anggota keluarga dan tetangga satu desa. Satiyo

mengajarkan cara pembutan genteng pada masyarakat Desa Dlepih dan Wiroko

dengan tujuan untuk mengembangkan usaha pembuatan genteng. Dengan cepat

penduduk desa yang menekuni industri genteng tersebut dirasakan hasilnya sangat

menjanjikan dan proses pembuatannya sangat mudah.

c. Perkembangan kerajinan genteng Wiroko.

Seiring dengan kebutuhan masyarakat akan produk genteng sebagai bahan

baku perumahan yang meningkat, menyebabkan usaha kerajinan pembuatan

genteng tersebut maju. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan jumlah

pengusaha genteng di Desa Dlepih. Jumlah pengusaha genteng Desa Dlepih dari

tahun 1998 sampai dengan 2005 dapat dilihat dari tabel dibawah ini:

Tabel 10. Jumlah unit usaha kerajinan genteng dan pekerja yang terserap.

No. Tahun Jumlah unit usaha Jumlah pekerja (orang) 1 1998 10 30 2 2002 35 105 3 2005 200 600

Sumber: Monografi Desa Dlepih Tahun 1998-2005.

Dari tabel dapat dilihat perkembangan industri genteng Desa Dlepih

mengalami peningkatan. Dari sekitar 10 pengusaha pada tahun 1998 menjadi 200

pengusaha perajin genteng pada tahun 2005. Perkembangan usaha tersebut bahkan

lxviii

telah merubah sifat yang semula merupakan pekerjaan sambilan menjadikan salah

satu mata pencaharian pokok bagi penduduk Desa Dlepih selain bertani.47

Semakin tinggi tingkat permintaan terhadap genteng maka semakin

banyak genteng yang harus dihasilkan. Seiring dengan itu tuntutan terhadap

penambahan tenaga kerja semakin dibutuhkan untuk meningkatkan produksifitas

kerajinan genteng. Penduduk Desa Dlepih yang bekerja sebagai buruh tani

sekarang lebih tertarik menjadi buruh pembuatan genteng. Masyarakat

menganggap menjadi buruh pembuatan genteng lebih cepat mendapatkan hasil

dibanding menjadi buruh tani.

d. Pemasaran.

Untuk pemasaran hasil produksi genteng ini dipasarkan ke daerah

Wonogiri, Pacitan dan Yogyakarta. Banyaknya pesanan dari wilayah Yogyakarta

pada tahun 2005 membuat kewalahan para pengrajin genteng di Desa Dlepih.

Untuk mengatasi masalah tersebut para pengusaha genteng meningkatkan

produksinya dengan menambah jumlah tenaga kerja untuk memenuhi pesanan.

Setiap pengusaha genteng biasanya memiliki 3-5 orang karyawan, dengan sistem

upah harian. Setiap hari karyawan tersebut di gaji Rp.18.000,00, makan dua kali

setiap harinya.48 Keberadaan industri genteng ini menambah mata pencaharian

untuk mencukupi kehidupan perekonomian masyarakat setempat dalam

meningkatkan pendapatan keluarga.

4. Industri Pembuatan Batu Bata.

47 Wawancara dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009. 48 Wawancara dengan Saimin pengusaha genteng tgl.29 Mei 2009.

lxix

Gambar 4. Kegiatan Pembuatan Batu Bata Masyarakat Desa Dlepih.

a. Sejarah berdirinya kerajinan batu bata Karakan.

Berdirinya industri kerajinan pembuatan batu bata di Desa Dlepih tidak

terlepas dari jiwa kewiraswastaan yang melekat pada diri penduduk desa. Selain

industri kerajinan batu mulia, batik, genteng di Desa Dlepih juga terdapat industri

pembuatan batu bata yang terkenal mutunya bagus yang dikenal dengan

nama”bata karakan”. Mengapa dinamakan batu bata karakan karena di produksi di

Dusun Karakan. Dusun karakan masuk administrasi Desa Dlepih. Ciri-ciri batu

bata Karakan adalah batu batanya yang tebal, berwarna merah dan tidak mudah

patah.49

Industri pembuatan batu bata Desa Dlepih mulanya dilakukan oleh

Siswanto yang bekerja sebagai seorang petani yang memulai usaha pada tahun

1998. Sebagai seorang petani beliau memiliki waktu luang diantara masa tanam

dan panen. Waktu luang yang tersedia dimanfaatkan beliau untuk mencoba

membuat batu bata secara tradisional. Perkembangan usaha pembuatan batu bata

di Desa Dlepih mengalami perkembangan yang pesat.

b. Proses Produksi

Produksi batu bata karakan ini mudah dan menggunakan alat sederhana.

Alat yang digunakan dalam produksi batu bata tidak berbeda dengan yang

49 Wawancara Wahyono perajin batu bata Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.

lxx

digunakan dalam industri genteng. Hanya saja yang membedakan pada citakanya.

Adapun alat-alat yang digunakan antara lain:

1. Cetakan kayu, alat ini dipakai untuk mencetak batu bata. Terbuat dari

kayu jati dengan bentuk seperti persegi panjang.

2. Cangkul, Alat ini digunakan untuk menghancurkan tanah yang masih

terbentuk bongkahan sekaligus untuk menghilangkan kerikil atau batu

yang masih terdapat didalam tanah.

3. Tobong, Alat ini dipergunakan untuk membakar batu bata yang sudah di

jemur. Terbuat dari tumpukan batu bata dengan lobang diatas. Untuk

pembakaran digunakan merang sebagai bahan pembakaran batu bata.50

Peralatan di atas merupakan sarana yang digunakan dalam pembuatan batu

bata. Proses pembutan batu bata tersebut membutuhkan waktu yang lama karena

menggunakan tenaga manusia. Proses pembuatan batu bata itu sendiri dari proses

awal hingga menjadi batu bata yang matang memerlukan waktu 10 hari.

Pembakaran batu bata di tobong terdiri dari 6000 biji batu bata sekali pembakaran.

c. Perkembangan industri batu bata Karakan.

Dari tahun ke tahun industri kerajinan batu bata ini mengalami

peningkatan dan perkembangan. Sebagian penduduk tertarik untuk belajar dari

Siswanto cara pembuatan batu bata, dan mulai mendirikan usaha pembuatan batu

bata tersebut. Dikarenakan cara dan proses pembuatan yang mudah, menjadikan

banyak penduduk Desa Dlepih menekuni usaha pembuatan batu bata. Jumlah

pengusaha batu bata di Desa Dlepih dari tahun 1998 sampai dengan 2005 dapat

dilihat dari tabel dibawah ini:

50 Wawancara dengan Siswanto perajin batu bata Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.

lxxi

Tabel 11. Jumlah unit usaha batu bata dan pekerja yang terserap Desa Dlepih.

No. Tahun jumlah unit usaha Jumlah pekerja (orang) 1 1998 3 9 2 2002 4 12 3 2005 10 30

Sumber: Monografi Desa Dlepih Tahun 1998-2005.

Dari tabel dapat diketahui pertumbuhan jumlah perajin dan buruh batu

bata Desa Dlepih yang pada awal berdiri pada tahun 1998 hanya 3 unit usaha

berkembang menjadi 10 unit pada tahun 2005. Perubahan mata pencaharian ini

secara tidak langsung merubah peran wanita di Desa Dlepih. Kedudukan wanita

yang sebelumnya sebagai ibu rumah tangga yang mengelola hasil dan merawat

anak, kini memiliki peran ganda yaitu bekerja sebagai perajin pembuat batu bata

guna menambah pendapatan ekonomi keluarga.51

d. Pemasaran

Untuk pemasaran batu bata Karakan ini tidaklah terlalu sulit karena

kebutuhan manusia akan tempat tinggal sangat tinggi dan kebutuhan akan bahan

bakunya yang salah satunya adalah batu bata. Wilayah pemasaran hasil industri

batu bata ini adalah wilayah Kabupaten Wonogiri saja. Seperti di Kecamatan

Tirtomoyo, Kecamatan Batuwarno, Kecamatan Baturetno dan Kecamatan

Ngadirojo. Harga jual batu bata setiap seribu batu bata dijual dengan harga Rp.

300.000,00. Sekali produksi batu bata sebanyak 6000 batu bata sehingga harga

jualnya dalam satu produksi sebesar Rp.2.400.000,00. Menjadikan masyarakat

tertarik dengan usaha pembuatan batu bata karakan ini.

51 Wawancara dengan Mulyanti perajin batu bata Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.

lxxii

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh dan Berkembangnya

Industri Rumah Tangga Tahun 1993-2005.

Industri rumah tangga Desa Dlepih ini pada mulanya merupakan pekerjaan

sambilan di luar sektor pertanian. Dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya disamping semakin majunya tingkat pendidikan dan ketrampilan yang

dimiliki bernilai ekonomis industri rumah tangga Desa Dlepih berkembang.

Sumber daya alam yang melimpah terdapat di Desa Dlepih, bila tidak

dimanfaatkan akan menjadi barang rongsokan yang tidak ada gunanya. Faktor-

faktor yang mempengaruhi perkembangan industri rumah tangga di Desa Dlepih

antara lain:

1. Sumber Daya Alam.

Desa Dlepih merupakan salah satu desa yang ada di Wonogiri. Potensi

Desa Dlepih yang begitu beragam, dari kekayaan alam berupa mineral di bawah

perbukitan Dlepih sampai suasana hutan Kahyangan. Masyarakat Desa Dlepih

hidup bermata pencaharian sebagai petani ladang. Hidup dari bertanam umbi-

umbian, padi dan tanaman tropis lainnya. Kedatangan Kolonial merubah

kehidupan masyarakat penelitian mulai dilakukan oleh orang-orang kulit putih

kemudian diadakan pengeboran bukit-bukit yang berada di Desa Dlepih.

Pemerintah Belanda mulai menggali daerah ini pada abad ke XX, diakhir

penetrasi di Hindia Belanda.52

Penggalian tambang daerah ini mengalami kemajuan pesat setelah Belanda

pergi dan digantikan oleh orang-orang Jepang. Romusha yang dijalankan oleh

penjajah Jepang bisa dikatakan berbeda bila dibandingkan dengan romusha di

52 Wawancara dengan Saimo sesepuh Desa Dlepih, tgl 29 Mei 2009.

lxxiii

daerah yang lain. Pekerjaan yang dijalankan oleh romusha di Desa Dlepih adalah

sebagai penambang barang tambang berupa “batu krepu”. Masyarakat hanya

bertugas menggali bahan-bahan mineral yang kemudian proses pembuatan dan

penggosokkan dilakukan oleh orang Jepang sendiri.53

Pada masa kerja paksa Jepang (Romusha), masyarakat Desa Dlepih di

Area tambang ini bekerja menggali bahan mentah yaitu timah, tembaga, kuningan,

dan emas. Untuk proses olahannya menjadi bahan jadi atau siap pakai,

keseluruhannya dilakukan oleh orang Jepang. Untuk penggalian emas atau logam

mulia ini dikerjakan langsung oleh orang-orang Jepang. Sampai sekarang masih

sulit diidentifikasi secara tepat lokasi pertambangan emas tersebut. Bagi informan

sebagai saksi peristiwa meyakini bahwa Jepang sengaja menyembunyikan

tambang emas tersebut.

Salah satu yang mengetahui tentang tambang bekas peninggalan Jepang

tersebut adalah Pak Atmo. Pada masa kecil, beliau adalah bocah yang menjadi

kesayangan bagi tentara Jepang. Tiap pagi Pak Atmo selalu membantu untuk

menyiapkan alat-alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan

tersebut.54

2. Sumber Daya Manusia.

Masyarakat Desa Dlepih dikenal sebagai masyarakat pekerja keras. Dilihat

dari berbagai macam kegiatan penduduk dalam bermata pencaharian yang

beraneka ragam dan dilakukan oleh semua warga, baik laki-laki maupun

perempuan. Hal ini didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki

pengetahuan dan wawasan yang luas untuk memanfaatkan potensi untuk

53 Wawancara dengan Karimun sesepuh Desa Dlepih, tgl 29 Mei 2009.

54 Wawancara dengan Atmo sesepuh Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.

lxxiv

mencukupi kebutuhan hidup. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat adalah

petani, namun selain itu juga memiliki pekerjaan sambilan berupa industri rumah

tangga. Pasca pembangunan obyek wisata Khayangan pada tahun 1993,

masyarakat Desa Dlepih mulai memanfaatkan potensi desa dengan mendirikan

berbagai macam bentuk usaha yang sifatnya industri rumah tangga seperti

kerajinan batu mulia, kerajinan batik, kerajinan batu bata, dan kerajinan genteng.

Adanya industri rumah tangga di Desa Dlepih menunjukan bahwa masyarakat

memiliki etos kerja yang tinggi.55

3. Peranan Pemerintah.

Upaya pengembangan industri kecil rumah tangga yang ada di Desa

Dlepih tidak hanya melibatkan masyarakat tetapi juga pemerintah memiliki

peranan yang penting dalam pengembangan industri kecil. Dalam hal ini

pemerintah memberikan pembinaan atau bantuan seperti :

a. Ketrampilan usaha

Perbaikan sumber daya manusia merupakan salah satu yang tidak dapat

dipisahkan dari upaya peningkatan kualitas produk suatu industri, baik bagi

pengusaha atau pekerja. Pemerintah memberikan penyuluhan-penyuluhan bagi

para pengusaha dan pekerja industri kecil rumah tangga di Desa Dlepih.

Penyuluhan ini dilaksanakan setahun sekali pada bulan April hari Rabu bulan

pertama oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koprasi (disperindagkop)

Kabupaten Wonogiri di balai desa. Penyuluhan ini bertujuan untuk meningkatkan

ketrampilan para pengusaha ataupun pekerja dapat meningkatkan kualitas hasil

produksi. Disperindagkop memberikan penyuluhan-penyuluhan misalnya tentang

55 Wawancara dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih tgl. 29 Mei 2009.

lxxv

cara mendapatkan mutu produksi yang bagus dan cara pemasaran yang baik.

Adanya penyuluhan terhadap industri rumah tangga di Desa Dlepih semakin

mengembangkan serta bersaing dengan industri rumah tangga daerah lain. Selain

itu Desperindag, juga berperan dalam pemberian fasilitas misalnya memberikan

jalan bagi para pengusaha agar mendapatkan kemudahan - kemudahan dalam

mendapatkan pinjaman modal dari Bank. Peran Disperindag ini baru terbatas pada

pemberian fasilitas karena terbatasnya biaya. Pihak Disperindag selalu

menyarankan para pengusaha industri yang ada di Desa Dlepih tersebut untuk

mengikuti pameran-pameran agar hasil produksi bisa dikenal oleh orang banyak

misalnya pada pameran pembangunan setiap hari kemerdekaan di pendopo

Kabupaten Wonogiri.56

b. Permodalan.

Pemerintah memberikan bantuan pinjaman modal melalui bank yang telah

ditunjuk oleh pemerintah sebesar Rp.15.000.000,00 kepada industri rumah tangga

di wilayah Wonogiri pada tahun 1999. Bank yang berperan dalam memberikan

bantuan pinjaman kepada pengusaha industri kecil yaitu Bank Rakyat Indonesia

(BRI) Wonogiri. Progam bantuan kredit yang diberikan adalah kredit Candak

Kulak (KCK) dan Kredit Investasi Kecil (KIK) sebagai pengganti progam

sebelumnya bernama Permodalan Kredit Lunak (PPKL) pada tahun 1970an.

Pinjaman kredit ini disalurkan oleh pihak BRI melalui cabang-cabang yang ada di

Kecamatan.

Bantuan kredit yang diberikan oleh BRI ini tidak dimanfaatkan oleh semua

pengusaha Desa Dlepih dengan alasan bahwa meminjam di bank harus

56 Wawancara dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.

lxxvi

menggunakan jaminan. Pengusaha yang berani berspekulasi dan mempunyai

wawasan luas serta pandai memperoleh peluang tetapi tidak mempunyai modal

kuat, yang berani mengajukan pinjaman modal ke bank. Purwandi misalnya,

beliau mengambil pinjaman modal dari bank sebesar Rp. 15.000.000,00 untuk

mengembangkan usaha industri genteng yang dimiliki karena usaha pembuatan

genteng ini memiliki prospek yang cukup bagus namun beliau kurang memiliki

cukup modal untuk mengembangkan usahanya tersebut.

Pada tahun 2005 permintaan akan produk genteng dari pembeli wilayah

Yogyakarta tinggi tetapi Purwandi tidak dapat memenuhi seluruh permintaan

karena keterbatasan modal yang ada. Dengan tambahan modal tersebut Purwandi

mulai membenahi usahanya dengan menambah peralatan produksi dan bahan

baku pembuatan genteng. Bertujuan untuk menambah kapasitas produksi hingga

memenuhi seluruh permintaan dan mendapatkan keuntungan. Sampai sekarang,

industri pembuatan genteng miliknya semakin meningkat dan berkembang.57

4. Keberadaan Obyek Wisata Khayangan.

Faktor pendukung pertumbuhan industri rumah tangga Desa Dlepih

lainnya adalah terdapat sebuah tempat obyek wisata Kahyangan yang mempunyai

nilai mitos dan folklor yang sangat kuat yaitu Petilasan Panembahan Senopati.

Petilasan ini oleh masyarakat sekitar masih dijaga dan dilestarikan dengan baik.

Dikarenakan nilai mitos yang terdapat di Khayangan merupakan peninggalan

Panembahan Senopati raja pertama kerajaan Mataram Islam.58

Cerita mitos tersebut menjadi daya tarik obyek wisata Kahyangan di Desa

Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri. Untuk menambah daya tarik

57 Wawancara dengan Purwandi pengusaha genteng Desa Dlepih, Tgl.29 Mei 2009. 58 Wawancara dengan Karimun sesepuh Desa Dlepih tgl. 29 Mei 2009

lxxvii

wisatawan maka pada tahun 1993 pemerintah Kabupaten Wonogiri dengan

dibiayai dari pengusaha penambangan minyak yang sudah meninggal dunia

bernama Alm. Budastuti melakukan renovasi dan pembangunan obyek wisata

Kahyangan. Pembangunan obyek wisata Kahyangan tahun 1993 sangat

berpengaruh bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Dlepih. Manfaat

dari pembangunan obyek wisata Kahyangan antara lain adalah dibangunnya

sarana dan prasarana sosial seperti sarana jalan aspal, mulai masuknya jaringan

listrik yang membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Pengunjung obyek wisata Kahyanganpun semakin banyak pasca

dibangunnya obyek wisata Khayangan tersebut dikarenakan para wisatawan

mudah menjangkau lokasi. Penduduk Desa mulai mendirikan warung-warung di

sekitar obyek wisata Kahyangan dan menjual hasil kerajinan industri rumah

tangga. Industri rumah tangga tersebut merupakan salah satu usaha produktif di

sektor non pertanian baik sebagai mata pencaharian utama maupun sebagai usaha

sampingan yang diminati oleh masyarakat untuk menabah penghasilan keluarga.

BAB IV

DAMPAK KEBERADAAN INDUSTRI RUMAH TANGGA DALAM

PENINGKATAN KEHIDUPAN SOSIAL DAN EKONOMI

A. Perilaku Ekonomi Pengrajin.

Sektor kerajinan rumah tangga bagi masyarakat agraris sangat penting bagi

kehidupan masyarakat tersebut. Timbul suatu keinginan untuk menjadikan sektor

industri kerajinan menjadi mata pencaharian.59 Semakin berkembang usaha

59 Hendrawan Supratikno, “Pengembangan Industri Kecil di Indonesia,dalam Prisma

Tahun 1994,hal 24.

lxxviii

kerajinan pedesaan, diharapkan dapat mampu melahirkan hasil ganda bagi

masyarakat desa.

Berdirinya industri rumah tangga di Desa Dlepih akan mewarnai

kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Perlu dicermati disi adalah peran

industri rumah tangga dalam rangka menegakan pendapatan ekonomi keluarga.

Sebagian penduduk desa bekerja sebagai perajin dan pemilik usaha industri

rumah tangga, baik dilakukan sebagai pekerjaan pokok atau sebagai pekerjaan

sampingan. Hal ini terdorong atas kesadaran untuk mendapat penghasilan

tambahan keluarga.60

Masyarakat desa yang memiliki jiwa kewirausahaan merupakan faktor

utama dalam perkembangan perekonomian masyarakat pedesaan, seperti halnya

industri rumah tangga (kerajinan batu mulia, pembuatan batu bata, pembuatan

genteng dan membatik) di Desa Dlepih. Seorang wiraswasta harus memiliki syarat

dasar yaitu” kreativitas” atau disebut dengan kemampuan mencipta, dan kedua

adalah keberanian menyajikan. Orang yang memiliki kreativitas belum tentu

memiliki keberanian menyajikan (bakat terpendam). Hakekat kewiraswastaan

adalah terletak pada kreativitas.61 Pelaksanaan usaha kerajinan rumah tangga

seperti halnya industri rumah tangga dengan cara tradisional, tidak akan maju,

sehingga pengelolaan nampak statis dan tidak banyak mengalami perkembangan.

Seperti pada penerimaan pesanan yang banyak untuk memenuhi pesanan tersebut

dilakukan dengan membagi dengan para perajin lain. Keadaan tersebut

menunjukan bahwa tingkat pengembangan usaha masih rendah dan sifatnya cepat

60 Wawancara dengan Siswanto perajin batu bata tgl. 29 Mei 2009. 61 Soehardi Sigit, Mengembangkan Kewiraswastaan,Yogyakarta: Gajah Mada University

Press,1980. hal 3.

lxxix

puas terhadap usaha yang dijalankan. Sikap yang demikian tidak lepas dari sifat

orang Jawa, yaitu sikap nrima yang digunakan dalam mengelola usaha.62 Masih

kuatnya sikap nrima ini dipengaruhi beberapa faktor seperti ; usia, tingkat

pendidikan formal, dan pengalaman yang cukup lama dalam mengelola usaha.

Pengalaman tersebut semakin lama memperkuat keyakinan perajin untuk tetap

bertahan pada pola kerja dan usaha yang masih tradisional, karena bagaimanapun

apa yang telah mereka capai dalam usaha itulah yang menjadi bagian.

Sikap nrima merupakan suatu kondisi menerima apa yang telah mereka

dapatkan dari usaha seseorang. Sikap ini tidak dapat diterapkan untuk sebuah

usaha seperti halnya industri rumah tangga di Desa Dlepih, sebab dalam industri

ini dituntut dapat menghasilkan inovasi baru dalam kerajinan. Sikap nrima sangat

mempengaruhi perkembangan industri rumah tangga. Dapat dilihat pada tahun

1995an industri rumah tangga ini terlihat berjalan ditempat tidak mengalami

kemajuan dari segi pengelolaan dan hasil produksi. Bertambahnya pengalaman

dan pengetahuan perajin, membuat sikap nrima yang dimiliki oleh perajin sudah

mulai ditinggalkan, mereka menganggap bahwa usaha kerajinan merupakan usaha

yang kompetitif dan membutuhkan pengelolaan yang baik. Keinginan untuk maju

dan mendapatkan untung yang besar adalah motivasi tersendiri bagi perajin.

1. Semangat Ekonomi Perajin

Perkembangan industri rumah tangga di Indonesia pada akhir-akhir ini

terbayang suatu usaha yang mampu melahirkan hasil ganda bagi masyarakat

pedesaan, yakni pertumbuhan ekonomi yang mantap dan terbuka dengan ide-ide

atau wawasan modernisasi yang masuk sehingga mempengaruhi pola pikir

62 Budiono Herusatata, Simbolisme Budaya Jawa. 1984. hal.80.

lxxx

masyarakat pedesaan. Semangat optimis usaha penduduk desa timbul sebagai

akibat adanya sikap kewiraswastaan yang dimiliki oleh para perajin.

Semangat ekonomi perajin merupakan dorongan untuk mendapatkan

kehidupan yang lebih baik, etos kerja pengrajin sangat mempengaruhi

perkembangan industri rumah tangga di Desa Dlepih. Etos adalah sikap terhadap

diri sendiri dan dunia luar yang direfleksikan dalam kehidupan. Etos merupakan

hal yang abstrak dalam diri manusia atau watak kebudayaan milik masyarakat.63

Kerja adalah perbuatan manusia yang ditunjukan pada orang lain sebagai balas

jasanya diberikan upah. Kerja merupakan produksi yang berpangkal pada

manusia, sehingga manusia merupakan peran penting terhadap proses produksi.

Dari pengertian etos kerja dapat diartikan semangat kerja yang menjadi ciri khas

keyakinan seseorang atau kelompok dalam melakukan kegiatan kerja mendapat

semangat sehingga mendorong seseorang atau kelompok orang untuk melakukan

pekerjaan.

Keberhasilan yang telah dicapai oleh industri rumah tangga, diyakini

merupakan hasil kerja keras dan usaha untuk lebih maju yang selama ini

dilakukan. Keuletan dan kerja keras, merupakan tanggung jawab langsung kepada

Tuhan. Jadi kesadaran beragama mempunyai fungsi sebagai pendorong

menyangkut kegiatan sosial ekonomi.64 Sikap seorang wirausahawan yang maju

akan semakin banyak modal yang dimanfaatkan untuk menemukan bentuk

barang-barang baru, menemukan cara kerja yang efisien berorganisasi dan

menatalaksana suatu usaha. Sikap kewirausahaan merupakan faktor utama

63 Taufik Abdulah, Agama Etos Kerja dan Perkembangan Dunia Ekonomi, Jakarta :

LP3ES 1982, hal 2. 64 Ibid, hal 14.

lxxxi

perkembangan perekonomian masyarakat pedesaan yang dapat mendorong usaha-

usaha yang dijalankan oleh seorang wirausahawan.

Para perajin Desa Dlepih saat ini dibagi menjadi dua golongan perajin

yaitu golongan yang didasarkan keturunan dan golongan perajin mandiri, secara

singkat akan diuraikan sebagai berikut: golongan pertama adalah golongan perajin

turunan seperti perajin batik. Usaha kerajinan batik turun temurun diwariskan

keahlian dan usaha yang dijalankan pendahulunya. Segi karya yang dihasilkan

golongan ini cenderung mempertahankan cara-cara produksi yang kuno.

Golongan yang kedua adalah golongan perajin yang muncul dari golongan pekerja

atau buruh. Upah mereka yang mereka terima ditabung sebagian, hingga

terkumpul sebagai modal usaha. Modal hasil tabungan yang telah terkumpul,

ditambah pengalaman dan pengtahuan tentang kerajinan, mulai teknik produksi

sampai soal pemasaran, serta keinginan untuk memperoleh pendapatan besar dari

pada bekerja sebagai buruh, membuat perajin berusaha untuk mendirikan

perusahaan sendiri. Karya ini lebih modern dan berproduksi dalam jumlah yang

besar. Industri rumah tangga tersebut seperti: pembuatan batu bata, pembuatan

genting dan kerajinan batu mulia.

2. Peran Perajin Terhadap Kemajuan Usaha.

Bertahannya industri rumah tangga di Desa Dlepih sampai sekarang,

sangat tergantung pada sikap kewiraswastaan yang dimiliki oleh para perajin

dalam menjalankan usaha. Sikap kewiraswastaan mendorong perkembangan

usaha yang dijalankan dalam industri rumah tangga, selanjutnya dapat mendorong

perkembangan perekonomian masyarakat desa. Di Desa Dlepih sektor industri

rumah tangga hanyalah sebagai usaha yang menjadi pekerjaan sampingan saja,

lxxxii

memang ada yang menjadikan usaha industri rumah tangga ini sebagai mata

pecaharian utama mereka, tetapi hanya sebagian kecil saja. Sebagian besar hanya

sebagai usaha tambahan dan sebagai kebudayaan yang tidak dapat ditinggalkan.

Perajin menggunakan berbagai macam cara untuk mengembangkan usaha

menjadi lebih besar, hal ini terlihat dari sikap mereka yang selalu ingin

memperbesar modal usaha dengan cara meminjam dari lembaga Perkreditan

Rakyat seperti BPR (Bank Perkreditan Rakyat), dari Bank Rakyat Indonesia yang

dirasa dalam prosesnya sangat mudah.65

B. Pengaruh Industri Rumah Tangga Terhadap Kehidupan Sosial Desa

Dlepih.

Berdirinya industri rumah tangga Desa Dlepih mempunyai pengaruh

perubahan sosial masyarakat. Adanya berbagai macam industri rumah tangga

tersebut menyebabkan terbukanya struktur desa, karena telah terjadi proses

transformasi nilai-nilai dalam masyarakat yang menyebabkan terjadi perubahan

sosial. Perubahan sosial adalah segala perubahan lembaga-lembaga

kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi nilai-nilai, sikap

dan pola perilaku di antara kelompok dalam masyarakat.66

Segi nilai kemasyarakatan Desa Dlepih lambat laun meninggalkan nilai

tradisi yang mereka anggap sudah tidak dapat diterapkan dalam perkembangan

industri rumah tangga seperti mengejar keuntungan untuk memperoleh kehidupan

ekonomi yang lebih baik. Seperti semboyan yang mereka anut sebelumnya

yaitu”bathi sithek asal entuk sedulur”yang berarti untung sedikit asal

65 Wawancara dengan Hartono perajin batu mulia Desa Dlepih tgl, 29 Mei 2009. 66 Selo Soemarjdan dan Soelaeman Soemarji, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta ;

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964. hal. 407.

lxxxiii

mendapatkan persaudaraan. Tentu saja hal ini dalam etika bisnis tidak

menguntungkan.

Perilaku dan sikap pengrajin dalam kehidupan sosial terlihat sangat

dinamis, tetap saling menghormati satu dengan yang lain. Sikap nrima yang

identik dengan masyarakat Jawa, sudah tidak terlihat disebabkan usaha ini sangat

kompetitif dan membutuhkan keseriusan. Nrima berarti menerima segala apa yang

mendatangi kita, tanpa protes dan pemberontakan. Nrima adalah sikap Jawa yang

paling sering dikritik karena disalah-pahami sebagai kesediaan untuk menerima

secara apatis. Sebenarnya nrima itu pola hidup yang positif. Nrima berarti bahwa

orang dalam keadaan kecewa dan kesulitan pun bereaksi dengan rasional tidak

ambruk. Nrima menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakan

tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Sikap nrima memberi daya tahan

untuk juga malapetaka kehilangan sengsaranya. Tetap bergembira dalam

penderitaan dan prihatin dalam kegembiraan. Suatu ungkapan khas Jawa yang

berbunyi: ” Hidup itu tidak mudah, disebut mudah ya mudah, disebut sulit ya

sulit’.67

Setelah mempelajari uraian tentang lapangan kerja yang ditekuni oleh para perajin

sebelum mereka mengenal industri rumah tangga dan sesudahnya terdapat

perubahan yang terjadi pada masyarakat setempat. Perubahan itu dapat diamati

dari segi tingkah laku, sistem budaya, dan stratifikasi sosial. Pada aspek perilaku

masyarakat terlihat adanya perubahan pola kerja diantara perajin. Perubahan itu

terjadi diantaranya pada perajin genteng dan batubata. Sedangkan perajin batik

dan batu mulia tergantung pesanan atau adanya order. Perajin harus mengadakan

67 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa, Jakarta ;PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. hal. 143.

lxxxiv

perjalanan keluar desa yang sebenarnya jarang sekali dilakukan sebelum adanya

industri rumah tangga tersebut. Hal tersebut cenderung memperluas jaringan-

jaringan hubungan sosial yang baru. Seperti yang dituturkan Sunarno, bahwa

sering kali harus pulang pergi mengantarkan pesanan genteng ke Yogyakarta dan

sekitar wilayah Kabupaten Wonogiri.68

Pola kerja buruh harian yang teratur, terutama apabila banyaknya pesanan.

Setiap hari mereka mulai kerja jam 08.00 WIB hingga 16.00 WIB. Pola jam kerja

ini tidak mereka alami sewaktu mereka menjadi petani atau buruh bangunan.

Buruh perajin yang semula bekerja menurut pola masing-masing setelah bekerja

pada unit industri rumah tangga harus mengikuti pola kerja yang sudah diatur

terhadap perjanjian dengan majikan. Hal itu tentu saja bukan merupakan hal yang

mudah atau menyenangkan bagi orang-orang yang sebelumnya tidak pernah

bekerja dengan sistem kerja tersebut.

Pola kerja yang baru sebenarnya bukan merupakan masalah yang besar

bagi perajin, karena hubungan dengan pemberi kerja atau dengan pengusaha

biasanya adalah kerabat atau tetangga satu desa yang masih mengandung

kekerabatan. Selain itu majikan juga memperhatikan hak-hak yang dimiliki

pekerjanya. Menurut Didik, seorang pekerja pada sektor kerajinan pembuatan

genteng, sebagai buruh gaji yang ditrima Rp.18.000,00 ditambah makan dua kali

setiap harinya. Hal inilah yang membuat Didik tertarik menjadi buruh pembuatan

genteng.69

Pada tingkat budaya terjadi perubahan yang berupa penambahan

pengetahuan. Pengetahuan perajin telah bertambah dengan berbagai keahlian

68 Wawancara dengan Sunarno perajin genteng Desa Dlepih. tgl. 29 Mei 2009. 69 Wawancara dengan Didik pekerja pembuatan genteng Desa Dlepih. Tgl. 29 Mei 2009.

lxxxv

maupun ketrampilan baru baik formal maupun informal, yang berupa proses

pengembangan produksi unit-unit industri rumah tangga. Perajin sangat

menjujung tinggi nilai-nilai kreativitas dan ketelitian sehingga menghasilkan mutu

barang yang bagus.

Masyarakat senantiasa mempunyai penilaian dan penghargaan tertentu

terhadap gejala-gejala kehidupan, sehingga siapa yang memenuhi kriteria tersebut

dianggap menduduki strata yang tinggi, apabila dibandingkan dengan kedudukan

yang lainya. Apapun yang menjadi landasan atau prinsip stratifikasi sosial, gejala

itu didasarkan atas penghargaan atau penilaian yang berlaku di dalam masyarakat

yang bersangkutan. Stratifikasi sosial adalah suatu jenis diferensiasi sosial yang

terkait dengan adanya jenjang yang bertingkat. Jenjang yang bertingkat itu

menghasilkan strata tertentu dan dalam strata itu warga masyarakat dimasukkan,

sehingga ada kedudukan yang rendah dan ada kedudukan yang tinggi.70

1. Stratifikasi Dalam Masyarakat

Kedudukan seseorang dan perbedaan derajat dalam masyarakat tidaklah

tampak tajam. Bagaimanapun bentuk suatu masyarakat sekalipun sederhana akan

terdapat kelas-kelas yang tinggi dan kelas-kelas lebih rendah.71 Strafikasi yang

terdapat pada masyarakat pedesaan di Jawa pada umumnya meliputi kelas-kelas

sebagai berikut, dipuncak struktur sosial adalah Kepala Desa, pegawai-pegawai

daerah, guru, tokoh politik dan tokoh agama, atau semuanya dapat disebut dengan

70 Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, Jakarta :

CV. Rajawali, 1984. hal. 247 71 Soeleman B. Taneko, Sruktur dan Perubahan Suatu Pengantar Sosiologi

Pembangunan, Jakarta: CV. Rajawali, 1990. hal 95.

lxxxvi

” Priyayi”. Kemudian di bawahnya para petani pemilik sawah, buruh tani,

pedagang dan pengrajin, sebagai lapisan masyarakat biasa.72

Berdasarkan stratifikasi sosial yang disebutkan ternyata petani dengan

berbagai macam tingkatannya serta pengrajin tidak menempati urutan posisi yang

tinggi. Disebabkan karena masyarakat desa pada umumnya nilai yang lebih tinggi

diberikan kepada kecakapan kerja yang kurang yang bersifat intelek. Kalangan

”intelektual” desa senantiasa mendapatkan posisi tersendiri bagi warganya,

misalnya seorang guru adalah figur yang dipandang paling cocok untuk

menempatkan diri sebagai pemimpin, karena dapat mendidik dan memberi contoh

perbuatan yang baik, sehingga seorang guru sangat dihargai. Kehidupan sehari-

hari seorang guru akan dipanggil sebagai Pak Guru atau Bu Guru dan bukan

dipanggil dengan nama dirinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa jabatan guru

sangat diperhatikan, dihargai serta dihormati.

Adanya usaha kerajinan industri rumah tangga menciptakan kelas baru

yang menciptakan posisi tertentu. Berkembangnya kerajinan industri rumah

tangga telah mengakibatkan perubahan ekonomi pedesaan yang diikuti dengan

perubahan masyarakat, sehingga melahirkan sistem baru dalam bentuk kelompok

masyarakat, yakni dengan munculnya kelompok wiraswasta desa yang baru dan

berhasil dibidangnya. Kemunculan kelompok masyarakat tersebut berpengaruh

juga terhadap stratifikasi masyarakat. Apabila sebelumnya stratifikasi sosial

didasarkan atas kecakapan kerja, sekarang berubah menjadi kekuatan modal,

sehingga seorang perajin yang cukup berhasil akan menempati lapisan tertentu

yang lebih tinggi. Keberhasilan itu dapat diamati dari harta kekayaan yang

72 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1982. hal 134.

lxxxvii

dimiliki berupa benda-benda materi dan buruh yang dipekerjakan dalam unit

usahanya. Disamping kekuasaan ekonomis, uang juga membawa keuntungan-

keuntungan sosial lainnya. Penduduk yang memiliki kekayaan materi besar (yang

mencakup uang) dianggap menduduki posisi tinggi. Pemilikan uang tidak hanya

merupakan tolak ukur kekuasaan ekonomis, tetapi juga perlambang penguasaan

atau keterampilan.

2. Pola Hubungan Sosial

Berkembangnya pola masyarakat perajin industri rumah tangga dapat

mengakibatkan startifiklasi sosial yang terbuka. Pada sistem tersebut terdapat

peluang untuk berkembang. Pada dasarnya suatu kelas orang-orang yang

mempunyai peluang-peluang hidup yang sama dipandang dari sudut ekonomis.73

Peluang tersebut dimaksudkan sebagai kondisi hidup, pengalaman hidup dan

kesempatan untuk mendapatkan barang dan jasa, termasuk kemampuan untuk

membeli rumah, tanah dan sebagainya.

Dari uraian sebelumnya tampak bahwa terdapat beberapa aspek

mengalami perubahan, akan tetapi penyebutan secara keseluruhan dengan tepat

aspek-aspek tersebut ternyata cukup sulit. Penyebab utama adalah terletak pada

cakupan lingkup masyarakat yang memang cukup abstrak. Masyarakat adalah

kehidupan bersama manusia lain yang mempunyai banyak segi. Perubahan

masyarakat dengan demikian merupakan perubahan terhadap aspek dari pergaulan

kehidupan bersama manusia lain yang mempunyai banyak dimensi.

73 Soejono Soekanto, Op.Cit. hal 252.

lxxxviii

Bagi masyarakat meskipun terjadi beberapa aspek yang mengalami

perubahan sebagai warga desa perajin industri rumah tangga tetap menghargai dan

menjunjung tinggi adat istiadat setempat dengan menunjukkan suatu kehidupan

yang senantiasa berusaha membina kerukunan dengan semua warga desa. Rukun

menurut konsep warga desa pada dasarnya adalah menjaga stabilitas masyarakat.

Bagi masyarakat rukun bermaksud mengendalikan emosi sosial agar tercapai

kesatuan masyarakat. Kerukunan masyarakat selalu diciptakan dan dipertahankan

terus-menerus, selanjutnya rukun merupakan pranata sosial yang menyeluruh dan

segala sesuatu yang mengganggu kerukunan serta suasana ketidakselarasan dalam

masyarakat harus dicegah. Rukun bagi masyarakat desa merupakan tindakan

konkrit untuk menciptakan ketentraman warga. Tercermin dalam semboyan

’rukun agawe sentosa, kerah agawe bubrah’ dengan demikian kerukunan

merupakan akar dari persatuan.

Perwujudan sikap rukun dalam masyarakat desa tampak dalam aktifitas

gotong-royong. Jiwa dan semangat gotong-royong diartikan sebagai peranan rela

sesama warga masyarakat, siap mengandung pengertian terhadap kebutuhan

sesama warga masyarakat. Pada dasarnya gotong-royong merupakan manifestasi

solidaritas sosial, yang didasarkan kepada moralitas rasa bersatu dan

kebersamaan. Masyarakat desa terikat satu sama lain berdasarkan relasi sosial

lewat ikatan keluarga, dekatnya letak geografis, serta sering kali terdapat pula

ikatan iman kepercayaan.

Aktifitas gotong royong masyarakat perajin industri rumah tangga Desa

Dlepih antara lain tampak pada kegiatan rewang, istilah rewang berarti bantuan

kepada wara yang mempunyai hajatan atau sedang dilanda musibah kesusahan.

lxxxix

Kemudian rewang ini kebanyakan dilakukan oleh perempuan warga sekitar.

Untuk laki-laki sering disebut dengan sambatan yang mempunyai arti sama

dengan rewang yaitu bantuan. Tradisi rewang dan sambatan tersebut sudah

melekat pada masyarakat desa meskipun para pengrajin sibuk tetapi mereka tetap

meluangkan waktu setelah jam kerja untuk memberikan bantuan. Tambahan

tenaga bantuan dalam sambatan itu tidak disewa, melainkan yang diminta adalah

pertolongan pekerjaan. Kompensasinya bukan dari hasil pekerjaan, bukan upah

tetapi bantuan. Aktifitas sambatan masyarakat misalnya mendirikan rumah,

memperbaiki kandang ternak, memperbaiki jalan dan lain sebagainya.74 Aktifitas

atau kegiatan tolong menolong itu biasanya antara tetangga yang tinggal

berdekatan. Tradisi sambatan tersebut, tuan rumah menyediakan makanan,

minuman dan rokok, tetapi tidak memberi upah khusus untuk tukang dibayar atas

jasa yang telah diberikan.

Bentuk-bentuk gotong-royong yang lain tampak pada penyelenggaraan

pesta-pesta atau perayaan (khitanan, sepasaran, dan perkawinan), layatan (upacara

kematian), slametan dan sebagainya. Untuk pemuda termasuk para perajin

industri rumah tangga pada umumnya termasuk ke dalam perkumpulan

tradisional yang dikenal dengan nama sinoman. Anggota sinoman tersebut

bertugas membantu laden yang berarti melayani tamu-tamu undangan pada suatu

pesta, serta menacari pinjaman peralatan yang diperlukan misalnya piring, gelas

baki, kursi, meja, dan lain-lain. Dengan kata lain tugas pemuda desa adalah

membantu segala sesuatu yang diperlukan dari persiapan penyelenggaraan pesta

sampai selesai.

74 Wawancara dengan Wahyono perajin batu bata Desa Dlepih, tgl. 29 Mei 2009.

xc

Jiwa dan semangat gotong royong masyarakat perajin industri rumah

tangga masih tampak dalam aspek kehidupan yang senantiasa diliputi bentuk

tolong menolong. Partisipasi penuh dari masyarakat desa masih tetap ada dengan

ikut serta mengambil bagian dalam kegiatan tanpa memandang kekayaan, status

maupun pendidikan. Hal tersebut disebabkan karena masih kuatnya sosial yang

menciptakan hubungan individu-individu secara sosial ekonomi. Moralitas

tersebut mepunyai dampak jauh lebih luas jangkauannya dari pada situasi

pertukaran sosial itu sendiri, dan tanpa terkecuali membentuk dasar hubungan

sosial. Atas dasar tersebut suatu pertukaran sosial dalam suatu masyarakat desa

tidak hanya dibatasi pada pertukaran sosial yang langsung bahwa pemberi

mengharapkan akan mendapatkan sesuatu pada gilirannya nanti dari penerima.

Ada suatu keyakinan bahwa penerima akan berbuat seperti apa yang telah

dilakukan oleh pemberi. Pemberi mempunyai harapan bahwa pada suatu hari nanti

apa yang diberikan akan diterima kembali, jika bukan dia sendiri maka oleh

keluarganya. Hal ini sungguh relevan dengan apa yang disebut ”Utang Budi”

(Hutang Budi), gawe kebecikan (melakukan kebaikan), tetapi tepa selira

(tenggang rasa).

C. Pengaruh Kerajinan Industri Rumah Tangga Terhadap Kemajuan

Pembangunan Desa.

xci

Adanya kerajinan industri rumah tangga menyebabkan kondisi masyarakat

dan lingkungan desa menjadi lebih baik dari sebelumnya, meskipun ada dampak

negatif yang timbul berupa limbah industri, akan tetapi hal tersebut dapat diatasi.

Adapun peranan pengusaha kerajinan industri rumah tangga terhadap

pembangunan masyarakat desa bisa dilihat dari beberapa segi yaitu:

1. Penciptaan Lapangan Kerja

Sebelum adanya industri rumah tangga masyarakat bekerja sebagai

seorang petani, baik itu sebagai buruh tani atau penggarap dan sebagian bekerja

sebagai pengrajin lainnya. Perkembangan jaman dan menipisnya lahan pertanian

baik yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan

perumahan serta kualitas tanah yang menurun mengakibatkan pekerjaan sebagai

petani dianggap kurang menjanjikan. Keinginan untuk mendapatkan kehidupan

lebih baik mendorong warga untuk meninggalkan pekerjaan sebagai petani dan

memilih sebagai pengrajin rumah tangga yang dalam perkembangannya

menunjukkan hasil yang bagus. 75

Secara umum keberadaan kerajinan industri rumah tangga dilihat dari

sumbangannya terhadap kemajuan desa tampak menguntungkan, usaha ini secara

langsung atau tidak langsung membawa perubahan yang cukup berarti bagi

kehidupan masyarakat. Perubahan tampak adalah terbentuknya lapangan kerja

yang baru. Menurut Zainab lapangan kerja adalah semua kegiatan yang

mengahasilkan uang sebagai penopang ekonomi rumah tangga.76

75 Wawancara dengan Sukarni perajin batik Desa Dlepih tgl.29 Mei 2009. 76 Zainab Bakir dan Cris Manning, Angkatan Kerja di Indo9nesia Partisipasi Kesempatan

dan Pengangguran, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hal 29.

xcii

Hampir setiap rumah tangga di pedesaan Jawa hidup atas dasar pembagian

pekerjaan yang sangat lentur diantara rumah tangganya. Pendapatan dari setiap

rumah tangga berasal dari berbagai sumber yang selalu berubah sesuai dengan

kesempatannya terhadap musim atau terhadap pasar tenaga dari waktu luang

setiap harinya. Setiap individu yang bekerja, dalam keluarga petani selalu terlibat

pekerjaan. Masalah ketenagakerjaan pedesaan sering kali menemui kesulitan

karena kerumitannya. Pada umumnya para pekerja tersebut melakukan jenis

pekerjaan lebih dari satu, sehingga tidak dapat dipisahkan dengan tegas.77

2. Peningkatan Taraf Hidup

Industri kerajinan rumah tangga membawa pengaruh yang cukup besar

bagi perkembangan perekonomian khususnya bagi para pengusaha industri.

Dampak perkembangan ekonomi yang semakin baik dapat dilihat dalam

kehidupan sehari-hari dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan baik yang bersifat

primer maupun sekunder.

Pemenuhan kebutuhan hidup yang bersifat primer atau pokok seperti

sandang pangan dan papan serta pendidikan bagi anak-anak dirasakan mengalami

peningkatan. Mengandalkan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan sebagai

pengusaha industri rumah tangga umumnya telah dapat mencukupi kebutuhan

primer. Peningkatan pemenuhan kebutuhan dengan memiliki perusahaan

kerajianan industri rumah tangga, penghasilan yang diperoleh dapat

menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi.

Di samping memenuhi kebutuhan primer, para pengrajin dapat memenuhi

kebutuhan sekunder. Keadaan ini dapat dilihat pada masing-masing rumah

77 Peter Hegaul, Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat, (Jakarta:

Rajawali Pers, 1992) hal 43.

xciii

pengusaha terdapat berbagi barang perlengkapan rumah tangga yang mewah dan

bagus. Para pengusaha yang sukses untuk mempelancar usaha dengan

menggunakan alat transporatsi roda empat. Sarana dan prasarana transportasi

digunakan untuk mengangkat hasil kerajinan yang diantar ke konsumen.

Pengusaha yang belum memiliki kendaraan biasanya menyewa dari orang lain

untuk mempelancar pengiriman.78 Kesuksesan yang berhasil diraih oleh para

perajin industri rumah tangga tersebut tidak dapat dipisahkan dengan kegairahan

dan semangat kerja pengrajin. Perajin menganggap bahwa keuletan usaha atau

kerja keras merupakan cerminan dari seorang yang taat menjalankan agama. Hal

ini seperti yang diajarkan dalam etika Islam, yang menyatakan bahwa usaha ulet

dan kerja keras merupakan tanggung jawab kepada Tuhan.79

3. Pembangunan Sarana dan Prasarana Desa

Keberadaan industri kerajinan rumah tangga mempunyai dampak pada

pembangunan desa dengan semakin berkembang industri rumah tangga ini.

Peningkatan ekonomi yang semakin baik membawa perubahan terhadap

pembangunan desa yang berwujud fisik yaitu sarana dan prasarana desa.

Pengusaha industri kerajinan rumah tangga mempunyai peranan yang cukup besar

dalam sumbangan dana untuk pembangunan sarana dan prasarana desa seperti

pembangunan gapura Desa Dlepih, pembangunan masjid, perbaikan pos ronda,

pengecoran jalan desa,dan pembutan lapangan bola volly.

Pembangunan sarana dan prasarana desa yang semakin baik, sebagaimana

masyarakat telah merasakan manfaat dari hasil industri rumah tangga tersebut.

78 Wawancara dengan Hadi pengusaha genteng Desa Dlepih, tgl 29 Mei 2009. 79 Tufik Abdullah (editor). Agama, Etos Kerja dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta:

LP3ES, 1988) hal. 144-150.

xciv

Keberadaan industri kerajinan rumah tangga telah memberikan dampak yang

positif yaitu dapat menunjang pembangunan desa. Kemajuan desa memberikan

harapan yang cerah untuk menjadikan desa yang maju dalam pembangunan dan

kesejahteraan warga.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Industri rumah tangga di Desa Dlepih pada mulanya adalah hanya sebagai

pekerjaan sambilan saja berupa keahlian atau ketrampilan yang dimiliki sebagian

masyarakat. Industri ini dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan manusia yang

meningkatkan nilai guna dari bahan atau barang dengan menggerakan teknologi,

ketrampilan, modal, sumber-sumber kekayaan alam dan mesin.

Kondisi tanah pertanian yang semakin sempit dan pertambahan jumlah

penduduk desa, mengakibatkan sektor pertanian tidak dapat lagi mencukupi

kebutuhan hidup bagi masyarakat. Menghadapi permasalahan tersebut, sebagian

penduduk mencari pekerjan diluar sektor pertanian, menjadi perajin industri kecil.

Keyakinan terhadap penekunan perajin sebagai bidang keahlian atau profesi

membuktikan kemampuan bidang tersebut menjadi tumpuan dan harapan hidup

sebagian masyarakat desa.

Industri rumah tangga di Desa Dlepih mengalami perubahan pasca

pembangunan dan renovasi obyek wisata Kahyangan pada tahun 1993. Dengan

adanya pembangunan tersebut berdampak pada keterbukaan hubungan masyarakat

dengan para wisatawan dan pola pikir masyarakat akan hal-hal yang bersifat baru.

xcv

Maka dengan demikian dapat mengembangkan dan mengenalkan produktifitas

mutu hasil kerajinan yang ada kepada dunia luar. Produk kerajinan industri rumah

tangga Desa Dlepih terbukti diminati oleh pasar, baik pasar lokal maupun luar.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Astrid S. Susanto. 1981. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bina Cipta,

Bandung.

Bahrein T. Sagihan. 1987. Sosiologi Pedesaan Suatu Pengantar. Grafindo Persada, Jakarta.

Budiono Herusatoto. 1964. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. PT. Harindita,

Yogyakarta.

Didik J. Rachbini. 1994. Ekonomi Informal Perkotaan: Gejala Industri Gelombang Kedua; LP3ES.

Suseno Franz Magnis. 2001. Etika Jawa. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. UI Press, Jakarta.

Harsojo. 1977. Pengantar Antropologi. Bina Cipta, Bandung.

James Danandjaja. 1984. Foklor Indonesia. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka, Jakarta.

_____________. 1983. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jembatan, Jakarta.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana, Jakarta.

Mohtar Mas’oed. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta:LP3ES.

Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. PT.

Gramedia, Jakarta. Nugroho Notosusanto. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Yayasan

Indayu, Jakarta.

xcvi

Redfield, Robert. 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Rajawali, Jakarta.

Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi. Sejarah. Gramedia, Jakarta.

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardji. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi.

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Solihin Salam. 1963. Sektor Wali Songo. Menara, Kudus.

Soeri Soeroto. 1980. Modernisasi dan Dinamika Pembangunan. PT. Gramedia,

Jakarta.

Radjiman. 1993. Masyarakat Kejawen Dasar dan Proses Pembentukannya. Krida,Surakarta.

Soerjono Soekanto. 1982. Kamus Sosiologi. CV. Rajawali, Jakarta.

_______________. 1984. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. CV. Rajawali, Jakarta.

_______________. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar . CV. Rajawali, Jakarta.

Taufik Abdullah. 1988. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. LP3ES,

Jakarta.

Zainab Bakir dan Cris Manning. 1984. Angkatan Kerja di Indonesia Partisipasi Kesempatan dan Pengangguran. CV. Rajawali, Jakarta.

B. ARTIKEL DAN SURAT KABAR

Priyambudi Sulistiyanto. Politik, Reformasi Ekonomi dan Demokrasisasi. Prisma. No.5. Th. XXVI. 1997.

Hendrawan Supratikno. Pengembangan Industri Kecil di Indonesia. Prisma. No. 9

Tahun 1994. Hussein M. Sawit. Kerajinan Rakyat dan Masa Depannya DAS Cimanuk. Prisma

. No. 3 Maret 1979. Bambang Purwanto, Meski Cacat, Batik Wonogiren Laris di Pasaran .Harian

Suara Merdeka tgl. 1 Juli 1993.

xcvii