dinamika industri rumah tangga di desa dlepih …/dinamika...nama : robert budi laksana nim :...
TRANSCRIPT
DINAMIKA INDUSTRI RUMAH TANGGA di DESA
DLEPIH KECAMATAN TIRTOMOYO KABUPATEN
WONOGIRI TAHUN 1993-2005
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh:
ROBERT BUDI LAKSANA C0505042
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
ii
DINAMIKA INDUSTRI RUMAH TANGGA di DESA DLEPIH
KECAMATAN TIRTOMOYO KABUPATEN WONOGIRI
TAHUN 1993-2005
Disusun oleh
ROBERT BUDI LAKSANA C0505042
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. NIP. 195402231986012001
Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. NIP. 195402231986012001
iii
DINAMIKA INDUSTRI RUMAH TANGGA di DESA DLEPIH
KECAMATAN TIRTOMOYO KABUPATEN WONOGIRI
TAHUN 1993-2005
Disusun oleh
ROBERT BUDI LAKSANA
C0505042
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada Tanggal.............................
Jabatan Nama Tanda Tangan Ketua (.................................) Sekretaris (.................................) Penguji I (.................................) Penguji II (.................................)
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Drs. Sudarno, M.A NIP. 195303141985061001
iv
PERNYATAAN
Nama : Robert Budi Laksana NIM : C0505042
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul “Dinamika
Industri Rumah Tangga di Desa Dlepih Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten
Wonogiri Tahun 1993-2005” adalah betul-betul karya sendiri, bukan dari plagiat
dan tidak dibuat oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi ini
diberi tanda citas (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang
diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, Maret 2010
Yang membuat pernyataan
Robert Budi Laksana
v
MOTTO
Katakanlah, “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku
pun berbuat pula. Kelak kamu akan mengetahui siapakah diantara kita yang akan
memperoleh hasil yang baik dari dunia ini”. Sesungguhnya, orang-orang yang
zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan
(QS. Al An-am: 135)
vi
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
v Ayah dan Bunda tercinta
v Adik tersayang
v Almamater
vii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah
SWT, yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya
kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
dengan judul “Dinamika Industri Rumah Tangga di Desa Dlepih Kecamatan
Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri Tahun 1993-2005 ”.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik
moral, material maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat
berjalan dengan baik dan selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada:
1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra dan Seni Rupa, serta selaku pembimbing skripsi yang memberikan
banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun dalam proses
penulisan skripsi ini.
3. Drs. Sudarmono, SU dan Waskito Widi W, SS, selaku dosen pembimbing
proposal atas masukan dan informasinya kepada penulis.
4. M Bagus Sekar Alam, S.S. M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang
telah mendampingi penulis selama menempuh perkuliahan di Jurusan Ilmu
Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
viii
5. Segenap dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu
dan wacana pengetahuan.
6. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret.
7. Terima kasih kepada Bapak Sutarmo Kepala Desa Dlepih yang telah
meluangkan waktunya untuk diwawancarai dan mengizinkan saya untuk
melakukan penelitian di Desa Dlepih.
8. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan
tulus ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.
9. Terima kasih untuk teman-teman angkatan 2005: Lutfhi, Adhi, Andi Nurma,
Andri, Gilang, Yusuf Ari Pratama, Bribda Arif Kurniawan, Ari, Tri Partono,
Illian dan seluruh teman-teman di Jurusan Ilmu Sejarah yang tidak bisa
disebutkan satu per satu.
10. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya penulisan
skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang
bersifat membangun, agar skripsi ini menjadi lebih baik.
Surakarta, Maret 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….. iii
HALAMAN PERNYATAAN ……………………………………………….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………………….. vi
HALAMAN MOTTO ……………………………………………………….. vi
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. ix
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. xii
DARTAR LAMPIRAN…………………………............................................ xiii
DAFTAR GAMBAR…………………………………..................................... xiv
DARTAR ISTILAH…………………………………….................................. xv
ABSTRAK ……………………………………………………………………. xvii
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Perumusan Masalah ...................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 9
E. Kajian Pustaka .............................................................................. 10
F. Metode Penelitian ......................................................................... 14
1. Metode ……………………………………………………… 14
2. Lokasi Penelitian…………………………………………….. 14
3. Teknik Pengumpulan Data ………………………………….. 15
4. Teknik Analisa Data ………………………………………… 17
G. Sistematika Penulisan …………………………………………… 18
BAB II. DESKRIPSI WILAYAH DESA DLEPIH
A. Gambaran Umum Desa Dlepih tahun 1993-2005 19
1. Sejarah Desa Dlepih…………………………………………. 19
2. Kondisi Geografis……………………………………………. 21
3. Kondisi Demografi ………………………………………….. 23
x
a. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Umur dan Jenis
Kelamin……………………………………………………
23
b. Mata Pencaharian…………………………………………. 26
c. Tingkat Pendidikan………………………………………...
B. Potensi Desa Dlepih
1. Sarana Sosial………………………………………………..
2. Sarana Pendidikan…………………………………………..
3. Sarana Transportasi…………………………………………
C. Kondisi Sosial Budaya
1. Pelapisan Sosial Masyarakat………………………………..
2. Sistem Religi………………………………………………..
31
33
33
34
34
37
37
38
BAB III. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN INDUSTRI
RUMAH TANGGA DESA DLEPIH TAHUN 1993-2005
A. Sejarah Berdirinya Industri Rumah Tangga di Desa Dlepih 43
B. Macam-macam Industri Rumah Tangga Yang Ada Di Desa
Dlepih……………………………………………………………
47
1. Kerajinan Batu Mulia……………………………………….
a. Periode Tahun 1993.........................................................
b. Periode Tahun 1998-2005................................................
2. Kerajinnan Batik Tirtomoyo………………………………..
3. Kerajinan Pembuatan Genteng……………………………..
4. Kerajinan Pembuatan Batu Bata…………………………….
47
48
48
51
55
59
C. Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh dan Berkembangnya
Industri Rumah Tangga di Desa Dlepih tahun 1993-2005
62
1. Sumber Daya Alam……………………………………………
2. Sumber Daya Manusia………………………………………...
3. Peranan Pemerintah………………………………...................
a. Ketrampilan Usaha...........................................................
b. Permodalan.......................................................................
62
64
64
64
65
xi
BAB IV. KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA
DLEPIH DENGAN ADANYA INDUSTRI RUMAH TANGGA
A. Perilaku Ekonomi Pengrajin…………………………………….. 69
1. Semangat Ekonomi Pengrajin…………………………………
2. Peran Pengrajin Terhadap Kemajuan Usaha.............................
71
73
B. Pengaruh Industri Rumah Tangga Terhadap Kehidupan Sosial
Desa Dlepih.……………………………………………………..
76
1. Stratifikasi Dalam Masyarakat Desa Dlepih………………….
2. Pola Hubungan Sosial………………………………………..
79
82
C. Pengaruh Industri Rumah Tangga Terhadap Kemajuan
Pembangunan Desa……………………………………………...
86
1. Menciptakan Lapangan Kerja..................................................
2. Peningkatan Taraf Hidup........................................................
3. Pembangunan Sarana Dan Prasarana Desa..............................
86
87
89
BAB V. KESIMPULAN .................................................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 94
LAMPIRAN ...................................................................................................... 97
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jumlah penduduk Desa Dlepih menurut tingkat umur dan
jenis kelamin
25
Tabel 2. Komposisi penduduk menurut jenis mata pencaharian di
Desa dlepih
27
Tabel 3. Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan Desa
Dlepih
32
Tabel 4. Jumlah sarana yang ada di Desa Dlepih 34
Tabel 5. Jumlah sarana jalan yang ada di Desa Dlepih 35
Tabel 6. Jumlah sarana trsnsportasi dan komunikasi yang ada di
Desa Dlepih
36
Tabel 7. Pemeluk agama Desa Dlepih 39
Tabel 8. Jumlah pengusaha dan pekerja kerajinan batu mulia di
Desa Dlepih
49
Tabel 9. Jenis pekerjaan dan upah tiap proses pembuatan batik
Desa Dlepih
54
Tabel 10. Jumlah unit usaha kerajinan genteng dan pekerja yang
terserap
57
Tabel 11. Jumlah unit usaha kerajinan batu bata dan pekerja yang
terserap di Desa Dlepih
61
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitiaan ............................................................ 97
Lampiran 2 Peta Desa Dlepih……………………………………………100
Lampiran 3 Data- Data informan ............................................................ 101
Lampiran 4 Foto ...................................................................................... 103
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kegiatan pembuatan batu mulia masyarakat Desa Dlepih .... 47
Gambar 2 Kegiatan pembuatan batik masyarakat Desa Dlepih……….. 51
Gambar 3 Kegiatan pembuatan genteng masyarakat Desa Dlepih……. 55
Gambar 4 Kegiatan pembuatan batu bata masyarakat Desa Dlepih…... 59
xv
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
1. Istilah
Asosiasi prelogik : cara berpikir sebelum adanya logika.
Agami Jawi : Agama Orang Jawa.
Agama Islam Santri : Agama Islam yang ajaranya sesuai dengan tuntunan
Islam.
Abangan : golongan orang Islam yang dalam ibadahnya masih
memegang adat Jawa.
Bathi sitik penting
entuk sedulur : untung sedikit asalkan mendapatkan persaudaraan.
Folklore : cerita rakyat.
Gawe kebecikan : melakukan kebaikan.
Historis : sejarah
Hermenutik : ilmu atau keahlian yang menginterprestasikan karya
sastra atau bahasa dalam arti yang lebih luas
seperti maksudnya.
Heuristik : proses pengumpulan bahan atau sumber sejarah.
Historiografi : menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam
bentuk kisah sejarah
Interpretasi : menafsirkan keterangan yang saling berhubungan
dengan fakta-fakta yang diperoleh kemudian
dirangkaikan.
Intelektual : orang yang berilmu.
Laden : melayani.
Legenda : cerita suatu tempat.
Mitos : cerita tentang hal-hal mistik.
Non verbal folklore : folklore bukan lisan.
Nrimo : menerima apa adanya.
Pepesthen : takdir.
Priyayi : golongan atas bangsawan.
Partly verbal folklore : folklore sebagian lisan.
Sinoman : perkumpulan tradisional pemuda desa.
xvi
Santri : golongan orang Islam yang menjalankan sesuai
dengan ajaran nya.
Tepo seliro : tenggang rasa.
Utang budi : hutang budi
Verbal folklore : folklore sebagian lisan.
2. Singkatan
BRI : Bank Rakyat Indonesia.
BPR : Bank Perkreditan Rakyat
KCK : Kridit Candak Kulak.
KIK : Kredit Industri Kecil.
xvii
ABSTRAK
Robert Budi Laksana. C0505042. 2010. Dinamika Industri Rumah Tangga Masyarakat Desa Dlepih Tahun 1993-2005. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui gambaran mengenai;1) Sejarah berdirinya industri rumah tangga di Desa Dlepih; 2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya industri rumah tangga di Desa Dlepih Tahun 1933-2005; 3) Pengaruh industri rumah tangga terhadap kehidupan masyarakat terutama dalam segi sosial dan ekonominya.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi heuristik yaitu pengumpulan data baik yang tertulis maupun lisan, kritik sumber yaitu menyeleksi data yang telah diperoleh, interprestasi terhadap data yang telah melalui uji kritik dan historiografi yang dituangkan dalam bentuk yang berupa penulisan bersifat deskriptif kualitatif. Pengumpulan data, penulis menggunakan studi dokumen, observasi, wawancara, dan studi pustaka. Studi dokumen sebagai bukti untuk suatu pengujian, studi wawancara dan observasi untuk memperkaya data-data yang telah diperoleh dari dokumen dan wawancara.
Dari hasil analisis dapat diketahui mengenai aktivitas industri rumah tangga yang ada di Desa Dlepih. Sejarah berdirinya industri rumah tangga adalah semakin sempit dan tidak produktifnya lahan pertaniaan yang dimiliki penduduk dan sektor pertaniaan yang sudah tidak dapat diandalkan sepenuhnya yang berdampak pada penurunan pendapatan petani. Menghadapi permasalahan tersebut sebagian penduduk mencari pekerjan diluar sektor pertanian, seperti bekerja pada industri rumah tangga seperti membatik, kerajinan batu mulia, pembuatan genteng dan batu bata. Perkembangan industri rumah tangga telah berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Perubahan dapat diihat dari segi pendapatan ekonomi masyarakat yang semakin bertambah baik dan segi sosial adanya perubahan status sosial, hubungan sosial serta perubahan nilai sosial budaya. Beberapa aspek kehidupan masyarakat mengalami perubahan, namun dalam keseharian tidak mengalami perubahan yang mencolok. Masyarakat tetap menyadari sebagai bagian dari warga desa yang menjunjung tinggi kerukunan dan kebersamaan.
xviii
ABSTRACT Robert Budi Laksana. C0505042. 2010. Dinamika Industri Rumah Tangga Masyarakat Desa Dlepih Tahun 1993-2005. Thesis: History Department, Faculty of Letters and Fine Arts, Sebelas Maret University.
The purpose of the research is to figure out; 1) the history of home industry establishment of Dlepih village; 2) the factors which affect home industry development of Dlepih village in 1993-2005; 3) the influence of home industry towards social and economic life of the society.
The research applied history method which includes several points. The first point is the collecting of both written and oral data (heuristic). The second point is the selection of the gained data (source criticism). The last two points are the interpretation towards the data which have been critically tested and historiography which is embodied in descriptive qualitative writing. The data is collected by employing document study, observation and interview. The document study is evidence of a testing, while both observation and interview are to enrich the data gained from the document.
The results of the analysis show the activity of Dlepih village home industry. The establishment of the home industry is in consequence of the narrower and less productive of the farmland which affects the villager’s income. In facing the problems, some of the villagers shift their occupation from agricultural sector into batik, precious stone craft, roof-tile and brick manufacturing. The development of home industry has influenced the social and economic life of the society. The changes can be seen from the increasing economic income of the society and the social status, relationship and social cultural values. Yet, the society realizes that they are a part of the villagers who highly adore the concord and togetherness.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak pasca kemerdekaan Indonesia telah mengalami kemajuan
diberbagai bidang kehidupan. Selain itu dengan semakin majunya kebudayaan
yang berkembang diberbagai negara juga mempengaruhi masuknya pengaruh
budaya asing dengan kebudayaan asli Indonesia. Masyarakat pedesaan telah
menerima pengaruh dari luar, namun masih tetap mempertahankan warisan
budaya dari nenek moyang berupa tradisi maupun kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku. Kehidupan masyarakat tidak lepas dari kehidupan sosial maupun latar
xix
belakang kebudayaan. Setiap masyarakat melakukan kegiatan secara berulang-
ulang yang akhirnya dijadikan sebagai tradisi. Tradisi merupakan induk
kebudayaan yang berakar urat di dalam masyarakat.
Kebudayaan bersifat dinamis, kebudayaan akan berkembang selama
masyarakat pendukungnya masih mempertahankan. Perkembangan kebudayaan
itu sendiri dapat disebabkan baik oleh faktor-faktor internal maupun oleh faktor
eksternal. Faktor internal seperti pergantian generasi dan pertambahan penduduk,
mengembangkan adanya perbedaan orientasi kepentingan, ide atau gagasan.
Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi kebudayaan seperti adanya kontak-
kontak budaya dari luar, menimbulkan rangsangan ke arah pembaharuan.
Pengaruh dari luar itu berlangsung baik secara damai maupun jalan peperangan.1
Perkembangan wujud atau hasil dari kebudayaan itu sendiri tidak
tunggal, tetapi beraneka ragam coraknya tergantung dari lingkungan alam sosial,
dan sejarahnya.2 Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan tersendiri yang berbeda
antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lainnya. Demikian pula
suku bangsa Jawa, kebudayaannya terikat oleh kesatuan budaya Jawa dan
memiliki kebudayaannya sendiri.3
Keterbukaan masyarakat Jawa memungkinkan adanya kontak serta
masuknya pengaruh kebudayaan dari luar, hal ini didukung oleh letak geografis
pulau Jawa yang strategis. Tidak semua pengaruh kebudayaan dari luar dapat
melunturkan kebudayaan asli masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dapat menyerap
1 Koentjaraningrat, 1983, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Jembatan. hal. 3. 2 Harsojo, 1977, Pengantar Antropologi, Bandung : Bina Cipta. hal. 19. 3 Budiono Herususatoto, 1964, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : PT. Hanindita. hal.
11.
xx
dan mengolah secara aktif pengaruh budaya asing yang masuk. Kebudayaan asli
Jawa masih tetap dapat berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat
Jawa.
Cara berpikir masyarakat Jawa pada umumnya berdasarkan pola pikir
mistis religius di dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup. Pola pikir
mistis religius ini merupakan pola pikir oleh peninggalan dari kepercayaan
animisme. Menurut Koentjaraningrat, pola pikir mistis religius masyarakat Jawa
berdasarkan pada asas-asas pemikiran asosiasi prelogik, yaitu cara berpikir
sebelum adanya logika yang berkembang dalam ilmu pengetahuan di Eropa
Barat4. Orang yang sejak kanak-kanak mendapat pendidikan animisme dan
percaya akan adanya pepesthen (takdir) besar kemungkinannya akan berpikir
segala kejadian historis dalam kehidupan dikembalikan pada kehendak dewa,
Tuhan, atau roh halus bukan pemikiran yang rasional. Tuhan atau Dewa telah
memberikan tanda-tanda alam sebelumnya. Bencana alam, banjir, gunung
meletus, gerhana, bintang kemukus dan lain sebagainya memberikan tanda-tanda
akan terjadinya sesuatu yang baik atau buruk bagi kehidupan manusia. Perilaku
dan pola pikir mistis relegius diturunkan dari generasi ke generasi, dan
selanjutnya menjadi suatu tradisi yang dikukuhkan dengan cerita-cerita folklor.
Folklor merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan
suatu masyarakat. Menurut James Danandjaja, folklor secara defenitif adalah
sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-
temurun, di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dan dalam versi
yang berbeda, baik bentuk lisan maupun dalam bentuk contoh yang disertai
4 Ibid, hal. 411
xxi
dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.5 Seperti halnya pada masyarakat
Desa Dlepih, walaupun telah menerima pengaruh dari luar, tetapi mereka masih
tetap mempertahankan warisan budaya yang diwariskan dari nenek moyangnya,
dan pengaruh mitos juga masih terasa kuat terutama dalam kehidupan sehari-hari.
Di Desa Dlepih terdapat sebuah tempat yang mempunyai nilai mitos dan folklor
yang sangat kuat yaitu Petilasan Panembahan Senopati. Petilasan ini disebut juga
Khayangan oleh masyarakat sekitar masih dijaga dan dilestarikan dengan baik.
Hal ini dikarenakan nilai mitos yang terdapat di Khayangan adalah peninggalan
Panembahan Senopati merupakan cikal bakal pendiri Mataram Islam Surakarta.
Di samping folklor berbentuk cerita mitologis di atas, masyarakat setempat
juga memiliki folklor dalam bentuk yang lain. Bentuk folklor tersebut diantaranya
adalah norma-norma, adat-istiadat, larangan-larangan. Tradisi-tradisi tersebut
tidak terlepas dari cerita-cerita mitologis yang melatar belakanginya. Folklor-
folklor yang berbentuk mitos, tradisi, norma-norma dan sebagainya kemudian
diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Folklor menjadi
pedoman mengatasi masalah-masalah yang sering muncul di kehidupan
masyarakat. Lebih lanjut menurut Van Peursen, mitos merupakan cerita yang
dapat memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Folklor
juga dapat memberikan suatu legitimasi. Menurut William R. Bascom folklor
memiliki fungsi, sebagai alat pengesah pranata-pranata dan lembaga kebudayaan,
sebagai alat pendidikan, dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-
norma dalam masyarakat dipatuhi6.
5 James Danadjaja, 1984, Folklor Indonesia, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. hal. 2. 6Tashadi, 1982,Folklore Daerah Istemewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta
:Dinas Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jendral Sejarah dan Nilai Lokal.
xxii
Masyarakat Desa Dlepih dikenal sebagai masyarakat pekerja keras. Hal ini
dilihat dari berbagai macam kegiatan penduduk dalam bermata pencaharian
beraneka ragam dan dilakukan oleh semua warga, baik laki-laki maupun
perempuan. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Desa Dlepih adalah
petani, namun selain itu memiliki pekerjaan sambilan berupa industri rumah
tangga yang bernilai ekonomis diantaranya: kerajinan batu mulia, membatik,
industri pembuatan batu bata dan pembuatan genting
Berdirinya industri kecil di pedesaan secara tidak langsung akan
mempengaruhi kehidupan masyarakat yang mengakibatkan terjadi perubahan.
Perubahan tersebut terjadi pada aspek-aspek struktur sosial, etos kerja, dimensi
kesenjangan serta beragam sosial ekonominya. Adanya industri kecil rumah
tangga mendorong terjadinya pola kehidupan masyarakat dalam usaha
meningkatkan taraf hidupnya. Hal ini terjadi karena pengaruh industri yang
berkembang dengan pesat, dibutuhkan seorang pengusaha yang cukup dan mampu
menyalurkan hasil produksi. Industri kecil merupakan salah satu usaha produktif
di sektor non pertanian baik sebagai mata pencaharian utama maupun sebagai
usaha sampingan yang diminati oleh masyarakat pedesaan untuk menabah
penghasilan. Dalam tulisannya yang berjudul ”Sejarah Kerajinan di Indonesia”,
Soeri Soeroto mengatakan industri kecil dan kerajinan rakyat sebenarnya timbul
atas dorongan naluri manusia untuk memiliki alat serta barang yang diperlukan
dalam melangsungkan, memperjuangkan hidup dan penghidupannya.7 Adanya
naluri inilah masyarakat pedesaan berusaha meningkatkan taraf hidupnya
7 Soeri Soeroto, 1980, Modernisasi dan Dinamika Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia,
hal.69.
xxiii
sehingga dapat mencukupi kebutuhan keluarga dengan bekerja sebagai pengrajin
maupun buruh industri kecil dan kerajinan rakyat.
Industri kecil di pedesaan selain mampu meningkatkan ekonomi masyarakat
dan membawa perubahan desa. Perubahan sosial di masyarakat dalam arti luas
diartikan sebagai perubahan dalam arti positif maupun negatif yaitu suatu
perubahan yang menuju pada kemajuan dan sebaliknya perubahan yang
mengalami kemunduran.8 Adapun besar kecilnya pengaruh perubahan tersebut
tergantung dari besar kecilnya pengaruh yang masuk ke desa, serta sikap
masyarakat terhadap hadirnya pengaruh tersebut.9 Terjadinya pergeseran mata
pencaharian dari sektor pertaniaan, yaitu dari petani sampai pengrajin selain
membawa pengaruh dalam bidang ekonomi, akan terjadi pula perubahan diluar
bidang ekonomi. Perubahan tersebut tidak bisa dihindarkan karena setiap
terjadinya perubahan dalam suatu lembaga kemasyarakatan mengakibatkan
perubahan dalam lembaga kemasyarakatan lainya.10
Pada awalnya masyarakat desa menganggap bekerja diluar sektor
pertaniaan (pengrajin) hanyalah sebagai pekerjaan sampingan yang terpaksa
dilakukan karena keadaan yang memaksa, misalnya kegagalan panen, kemarau
panjang atau untuk mengisi waktu luang. Pada saat ini dijumpai fenomena yang
menarik yaitu pekerjaan sampingan justru menjadi mata pencaharian pokok
setelah hasilnya dirasakan lebih menguntungkan dari bertani. Pekerjaan diluar
8 Fachri Ali, ‘Pengusaha Industri Kecil dan Perubahan Sosial Desa’. Dalam Berita
Industri, Bulletin resmi Departemen Perindustrian. No.3 Juni 1982, hal. 18-28. 9 Astrid S. Susanto, 1981, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Bina
Cipta,hal.151. 10 Selo Sumarjan dan Soeleman Soemardi, 1973, Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta :
FE-UI. hal.486-487.
xxiv
sektor pertaniaan tersebut menuntut masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
situasi dan kondisi yang ada, menyangkut situasi dan kondisi lingkungan kerja.11
Pergeseran dari sektor pertanian ke non pertaniaan terutama sektor
informal pertanda adanya sifat kelenturan masyarakat dalam menyesuaikan diri
dengan struktur sosial yang baru. Industri kecil dan kerajinan rakyat yang
kebanyakan tumbuh dan berkembang di wilayah pedesaan menjadi bagian yang
penting bagi masyarakat setempat sebagai mata pencaharian hidup. Keberadaan
industri dan kerajinan rakyat, khususnya bagi petani dan buruh tani amat
membantu untuk mencukupi kekurangan pendapatan keluarga.12 Kondisi seperti
ini sudah menjadi pemandangan yang umum terjadi pada masyarakat pedesaan
yang memiliki industri kecil ataupun kerajinan rakyat setempat. Demikian pula
yang terjadi di Desa Dlepih Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri dengan
berbagai macam industri rumahtangga seperti : kerajinan batu mulia, pembuatan
batu bata, membatik dan pembuatan genting yang ada di desa itu. Dalam
penulisan skripsi dengan judul: Dinamika Industri Rumah Tangga Masyarakat
Desa Dlepih Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri Tahun 1993-2005.
Dipilih tahun 1993 merupakan awal munculnya berbagai macam industri rumah
tangga masyarakat desa Dlepih, seperti: kerajinan batu mulia, pembuatan batu
bata, membatik dan pembuatan genteng. Sebagai dampak dari pembangunan dan
renovasi obyek wisata Khayangan oleh pemerintah Kabupaten Wonogiri. Industri
rumah tangga berkembang hingga tahun 2005 sampai sekarang, dimana jumlah
11 Gatut Murnianto, Sistem Ekonomi Tradisional sebagai Wujud Tanggapan Masyarakat
Terhadap Lingkungan DIY Yogyakarata( Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982), hal.5.
12 M. Hussein Sawit,” Kerajinan Rakyat dan Masa Depanya DAS Cimanuk,” Prisma,
No.3 Maret 1979, hal.17.
xxv
pengusahanya semakin meningkat. Adanya krisis ekonomi yang melanda
Indonesia pada tahun 1998 tidak berpengaruh terhadap industri rumah tangga di
Desa Dlepih. Desa Dlepih juga memiliki potensi kekayaan alam yang besar yaitu
adanya kandungan mineral batu mulia. Kekayaan batu mulia dimanfatkan dengan
adanya pertambangan secara tradisional oleh warga sekitar. Namun potensi alam
tersebut kurang mendapat perhatian dari masyarakat, dapat dikatakan belum
optimal digunakan untuk mengangkat kesejahteraan desa dan martabat penduduk
Desa Dlepih.
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan menjadi bahan kajian dalam penulisan
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah berdirinya industri rumah tangga di Desa Dlepih?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya industri rumah tangga di Desa Dlepih tahun 1993-
2005?
xxvi
3. Bagaimana pengaruh industri rumah tangga terhadap kehidupan sosial
dan ekonomi masyarakat Desa Dlepih Kecamatan Tirtomoyo
Kabupaten Wonogiri?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya industri rumah tangga di Desa
Dlepih.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya industri rumah tangga di Desa Dlepih tahun 1993-2005.
3. Untuk mengetahui pengaruh industri rumah tangga terhadap kehidupan
sosial dan ekonomi masyarakat Desa Dlepih Kecamatan Tirtomoyo
Kabupaten Wonogiri.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam upaya mengembangkan
ilmu sejarah, khususnya bidang historiografi sejarah Indonesia.
2. Hasil penelitian dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi
Pemerintah Desa maupun Pemerintah Daerah dalam melaksanakan
xxvii
pembangunan ekonomi pedesaan, sehingga pembangunan yang
dilaksanakan dapat mencapai sasaran.
E. Kajian Pustaka
Kepustakaan merupakan bahan-bahan yang dapat dijadikan acuan dan
berhubungan dengan pokok permasalahan yang ditulis. Adapun buku-buku yang
dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah: Buku yang berjudul Abangan, Santri,
Priayi Dalam Masyarakat Jawa (1989) karangan Clifford Geert. Berisi mengenai
hubungan antara sruktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan
pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol dan bagaimana para anggota
masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara
mengorganisasian dengan simbol-simbol tertentu. Perbedaan yang nampak
diantara struktur- struktur sosial yang ada dalam masyarakat hanyalah bersifat
komplementer. Keberadaan folklor dalam hal ini terutama mitos, melegitimasi
sistem religi didalam masyarakat. Kepercayaan terhadap folklor dalam bentuk
sesaji, upacara ritual, slametan, perilaku religius tertentu ditempat-tempat yang
sakral, dan praktek magis yang ditunjukan bagi tokoh-tokoh yang dikeramatkan
dalam cerita-cerita folklor dengan satu tujuan tertentu. Tujuan seseorang atau
sekelompok orang mengadakan slametan adalah memohon agar tidak terjadi
sesuatu yang mengganggu atau membuat resah masyarakat pendukungnya, yang
membuat mereka menjadi miskin dan resah. Jadi orang Jawa mengadakan
slametan menghendaki agar terbebas dan mendapatkan ketenangan tanpa ada
gangguan dari pengaruh supranatural.
xxviii
Buku yang berjudul Folklor Indonesia (1984) karangan James Danandjaja
yang isinya menjelaskan mengenai pengertian folklore yang berasal dari dua kata
dasar yaitu folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri
pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-
kelompok lainnya. Namun yang lebih penting lagi adalah mereka sudah memiliki
suatu tradisi, yakni kebudayaan yang diwarisi secara turun-temurun. Sedangkan
lore adalah tradisi folk yang telah diwariskan secara turun menurun secara lisan
maupun melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat. Dalam buku ini dijelaskan bentuk- bentuk folklor menurut
tipenya antara lain adalah folklor lisan (verbal folklore), folklor sebagian lisan
(partly verbal folklore), folklor bukan lisan (non verbal folklore), buku ini
memberikan referensi bentuk-bentuk folklor secara rinci.
Buku yang berjudul Kebudayaan Jawa (1984) karangan Koentjaraningrat,
menjelaskan bahwa asas pola pikir asosiasi prelogik tersebut adalah cara berpikir
yang berasal dari cara pikir sebelum adanya logika seperti yang berkembang di
Eropa Barat. Seseorang yang sejak kanak-kanak sudah dengan pendidikan
animisme dan kepercayaan tentang adanya papesthen ( kepastian garis kehidupan
manusia), besar kemungkinan berfikir bahwa segala kejadian dalam kehidupan ini
akan dikembalikan kepada kehendak Dewa, Tuhan, atau Danyang bukan pada
pemikiran yang rasional. Tuhan, Dewa, atau Danyang akan memberikan tanda-
tanda alam sebelumnya terhadap kejadian yang akan terjadi dan dapat
mempengaruhi kehidupan manusia, seperti misalnya gunung meletus, gerhana,
lintang kemukus dan sebagainya, memberikan tanda atau peringatan akan
xxix
terjadinya suatu yang buruk atau baik. Bermanfaat untuk menjelaskan pola pikir
masyarakat yang berpola pikir asosiasi prelogik pada masyarakat Jawa.
Buku yang berjudul Mitos Menurut Pemikiran Mirchae Eliade (1981),
karangan Hary Susanto, yang didalamnya menjelaskan bahwa mitos muncul
bukan hanya hasil dari suatu pemikiran intelektual dan bukan hanya dari hasil
logika, tetapi lebih merupakan sebagai orientasi spiritual dan mental untuk
berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Buku ini penting memberikan penjelasan
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya mitos pada masyarakat
Jawa.
Dalam buku Irsan Ashary Saleh, yang berjudul Industri Kecil Sebuah
Tinjauan dan Perbandingan, (1986), menguraikan tentang berbagai permasalahan
tentang industri kecil, termasuk industri kerajinan rumah tangga di Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara lain kawasan Asia Tenggara. Permasalahan
industri kecil dan industri rumah tangga ini pada umumnya adalah masalah tenaga
kerja, modal, pemasaran dan kelangsungan hidup industri tersebut.
Mubyarto dalam bukunya yang berjudul Politik Pertanian dan
Pengembangan Pedesaan, (1987) mendefinisikan industri kecil diusahakan untuk
menambah pendapatan keluarga. Lebih lanjut buku tersebut menjelaskan tujuan
kebijakan untuk memajukan industri kecil bukanlah semata-mata peningkatan out
put atau nilai tambah sektor industri, tetapi lebih-lebih membantu menciptakan
lapangan pekerjaan sekaligus berarti bukan meningkatkan pendapatan bagi
penduduk kelompok miskin di pedesaan.
Dalam tesis Weber,’ Agama, Etos Kerja dan Perkembangan
Ekonomi”,(Editor : Taufik Abdullah, 1986), yang pada dasarnya memuat
xxx
hubungan antara agama dengan semangat kerja atau perilaku ekonomi. Weber
menjelaskan antara doktrin agama dan dorongan keharusan material akan terjadi
suatu pertemuan. Dengan demikian kesadaran agama mempunyai potensi untuk
mengadakan perubahan struktur menyangkut sosial ekonomis. Demikian halnya
dengan perkembangan industri rumah tangga di Desa Dlepih.
Buku yang berjudul Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra.
Karangan Ateeuw ( 1988), disisi lain folklor merupakan bentuk dari karya sastra
lisan tradisional dari kelompok masyarakat, maka untuk menginterpretasikan
makna atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu dikaji secara
hermenutis. Dari pendekan hermenutis akan diperoleh suatu makna dan nilai-nilai
dari suatu folklor. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa Hermenutik adalah
ilmu atau keahlian menginterpretasikan karya sastra dan ungkapan bahasa dalam
arti yang lebih luas. Dalam praktek interpretasi sastra lingkaran hermenutik
dipecahkan secara dialetik, bertetangga, dan bersifat spiral. Dari pendekatan
hermenutik ini akan diperoleh suatu interpretasi makna yang total dan bagian-
bagian yang optimal.
F. Metode Penelitian
Memahami peristiwa-peristiwa masa lampau sebagai fakta sejarah yang
masih memerlukan tahapan proses, maka dibutuhkan metode dan pendekatan agar
menjadi bangunan sejarah yang utuh. Penelitian sejarah dalam studi ini
menggunakan pandangan sejarah kritis yang didasarkan kepada metode historis.
xxxi
Metode historis merupakan metode kegiatan mengumpulkan, menguji, dan
menganalisa secara rekaman dan peninggalan masa lampau,kemudian diadakan
rekonstruksi dari data yang diperoleh sehingga menghasilkan historiografi
(penulisan sejarah).13
Dalam penelitian mengenai dinamika industri rumah tangga di Desa
Dlepih digunakan metode Historis atau metode sejarah. Pendekatan historis
adalah sekumpulan prinsip atau aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk
memberi bantuan secara efektif dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi
sejarah, menilai secara kritis, dan kemudian menyajikan suatu sintesa hasil dalam
bentuk tertulis.14
Metode historis ini terdiri dari 4 tahap yang saling berkaitan antara yang
satu dengan yang lainnya. Tahap pertama Heuristik adalah suatu proses mencari
dan menemukan sumber-sumber atau data-data baik dokumen hasil wawancara
maupun buku-buku. Dokumen yang terkumpul seperti Arsip Monografi Desa
Dlepih Tahun 1993-2005, Arsip Jumlah Unit Usaha Kerajinan Desa Dlepih, Arsip
Mangkunegaran no. J 32 yaitu tentang Sejarah Patilasan Wono Kahyangan Dlepih
Tirtomoyo, Arsip Mangkunegaran no. B 432, Arsip Mangkunegaran no. B 914
terkait tentang Batik Wonogiren dan Sejarahnya, Arsip Mangkunegaran no. B 843
adalah menyinggung tentang masalah batik Mangkunegaran. Wawancara
dilakukan terhadap informan, antara lain dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih,
Karimun dan Mbah. Hadi selaku sesepuh desa Dlepih, serta para perajin Desa
Dlepih antara lain dengan Hartono, Purwandi, Sadinem, Siswanto,
13 Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah, edisi terjemahan Nugroho Notosusanto,
Jakarta: UI Press. hal 32. 14 Nugroho Natasusanto. 1979. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Suatu
Perjalanan, Jakarta: Yayasan Indayu. hal 11.
xxxii
Sakiyo,Sukarni, Marto, Wahyono, Saimin. Adapun buku, koran, majalah tersebut
diperoleh dari Perpustakaan Reksopustoko, Perpustakaan Universitas Sebelas
Maret, Perpustakaan Sastra dan Seni Rupa dan Perpustakaan Jurusan Ilmu
Sejarah. Selain studi pustaka juga untuk melengkapi data-data yang tidak bisa
ditemukan pada sumber primer.
Tahap kedua adalah Kritik Sumber, yaitu usaha pencarian keaslian data
yang diperoleh melalui kritik intern maupun ekstern15. Kritik intern dilakukan
untuk mencari keaslian isi sumber, sedang kritik ekstern dilakukan untuk mencari
keabsahan tentang keaslian sumber atau otentitas.
Tahap ketiga adalah Interpretasi. Usaha ini merupakan penafsiran terhadap
fakta-fakta yang diperoleh dari data-data yang telah diseleksi dan telah dilakukan
kritik sumber. Peran ini memegang peran penting bagi terjalinnya fakta-fakta
menjadi kisah sejarah yang integral. Penelitian dengan judul Dinamika Industri
Rumah Tangga di Desa Dlepih Kecamatan Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri tahun
1993-2005 ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan secara
tepat keadaan individu atau kelompok, untuk menentukan frekuensi adanya
hubungan tertentu antara gejala dan gejala yang lain dalam masyarakat.16
Selanjutnya pengolahan data yang ditempuh dalam penulisan skripsi ini adalah
dengan metode komparatif, yaitu membandingkan antara hasil informasi dari
wawancara dengan data hasil observasi. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan
teori-teori yang ada dalam literatur untuk memperoleh kesimpulan.
15 Dudung Abdulrahman.1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
hal 45. 16 Ibid, hal. 45.
xxxiii
Untuk analisa terhadap data-data dilakukan secara deskriptif kualitatif,
karena data-data yang dikumpulkan pada dasarnya adalah data-data kualitatif.
Analisa dilakukan setelah data-data yang terkumpul, kemudian diinterpretasikan,
ditafsirkan, dan dianalisis dengan mencari hubungan sebab akibat dari suatu
fenomena sosial pada cakupan waktu dan tempat tertentu.17
Tahap keempat adalah Historiografi. Historiografi merupakan penulisan
sejarah dengan merangkai fakta-fakta menjadi kisah sejarah. Historiografi
merupakan klimaks dari sebuah metode sejarah. Dari sini pemahaman dan
interpretasi dari fakta-fakta sejarah ditulis dalam bentuk kisah sejarah yang
menarik dan masuk akal. Dalam memnyajikan hasil penelitian berupa penyusunan
fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut
teknik penulisan sejarah.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini dilakukan dengan sistematika penulisan
sebagai berikut:
17 Nasution. 1982. Metode Reserch Penelitian Ilmiah. Bandung: Jemaars. hal 10.
xxxiv
Bab I, adalah bab pendahuluan yang didalamnya berisi latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, kajian
pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, bab ini berisi tentang diskripsi wilayah Desa Dlepih terbagi
menjadi dua sub bab, yaitu kondisi geografis, demografis dan sarana desa.
Bab III, memaparkan sejarah munculnya industri rumah tangga dan faktor-
faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya industri rumah tangga di
Desa Dlepih tahun 1993-2005.
Bab IV, memaparkan pengaruh industri rumah tangga terhadap kehidupan
ekonomi dan sosial masyarakat di Desa Dlepih.
Bab V, merupakan bagian penutup dari tulisan ini yang berisi kesimpulan.
BAB II
DESKRIPSI WILAYAH DESA DLEPIH
A. Gambaran Umum Desa Dlepih tahun 1993-2005
1. Sejarah Desa Dlepih
Munculnya desa-desa di pulau Jawa termasuk khususnya Desa Dlepih,
sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Sampai sekarang belum ada
penulisan sejarah yang mengungkap secara jelas kelahiran desa-desa tersebut.
Sebuah dongeng atau cerita rakyat biasanya dibuat untuk mengesahkan nama
suatu tempat atau kota. Maksud cerita rakyat atau sering disebut “folklor” adalah
karya budaya yang berwujud sastra lisan yang diwariskan dari generasi kegenerasi
xxxv
berikutnya, baik disampaikan dalam cerita lisan maupun dengan contoh-contoh
yang disertai dengan gerakan isyarat atau alat bantu mengingat18.
Kesinambungan cerita rakyat dari suatu generasi ke generasi berikutnya
sampai sekarang tetap berlangsung, dengan demikian isi dalam cerita sesuai
dengan pembawaan cerita. Perbedaan mengenai asal usul nama sebuah desa dari
generasi terdahulu dengan generasi sekarang itu adalah hal yang wajar. Generasi
sekarang lebih menceritakan hal-hal yang bersifat logis, sedangkan generasi
pendahulu lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat gaib dan mistik.
Walaupun demikian jalan cerita atau alurnya masih tetap di pertahankan.
Desa Dlepih merupakan sebuah desa di Kecamatan Tirtomoyo,
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Di desa Dlepih terdapat bukit yang bermata
air yang disebut Pasiraman Kahyangan. Menurut legenda merupakan pertemuan
Panembahan Senapati, Raja Mataram I dengan Ratu Penguasa Laut Selatan (Ratu
Kidul). Nama Desa Dlepih berasal dari kata “del” (dari bahasa Jawa kandel) yang
berarti tebal dan “pih”(dalam bahasa Jawa plipih) yang artinya lapisan. Arti kata
tersebut diperoleh karena telah ditemukan batu akik yang berbentuk plipih, tebal
dan ukurannya besar, yang dalam bahasa Jawa “Kandel ing Plipih” kemudian
dikenal dengan nama “Delpih” dan masyarakat lebih sering menyebut “Dlepih”.19
2. Kondisi Geografis Desa Dlepih
Desa Dlepih merupakan salah satu desa yang berada diantara sekian
desa-desa yang berada di Kecamatan Tirtomoyo, ± 35 km sebelah Tenggara dari
Kabupaten Wonogiri. Dilihat dari kondisi alamnya, merupakan daerah
pegunungan yang panas, kanan kirinya pegunungan tandus tetapi tidak
18 James Danandjaja, 1984, Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Graffiti Pres.hal.2.
19 Wawancara dengan Karimun sesepuh Desa Dlepih,Tgl. 29 Mei 2009.
xxxvi
kekurangan air. Desa Dlepih terdapat sumber mata air yang melimpah dan tidak
pernah mengalami kekeringan.
Batas wilayah Desa Dlepih meliputi, sebelah Utara berbatasan dengan
Desa Wiroko, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Karang Tengah,
sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Tirtomoyo, dan sebelah Timur
berbatasan dengan Desa Sukoharjo. Luas Wilayah Desa Dlepih 758,2310 Ha,
dengan kondisi wilayah yang dikelilingi barisan perbukitan yang seolah
membatasi dengan desa lain. Desa Dlepih merupakan wilayah yang mempunyai
perbukitan, bukit yang ada mempunyai nama seperti Bukit Kunir yang terletak di
sebelah Tenggara desa, Bukit Jaran yang berada di sebelah kirinya, Bukit Banteng
berada disebelah kirinya lagi serta Bukit Wijil berada di tengah dan samping
kirinya terdapat Bukit Lirik, walaupun masyarakat Dlepih lebih suka
menyebutnya gunung. 20
Di Desa Dlepih terdapat hutan yang luas dan kondisi alam yang masih
berupa perbukitan. Luas hutannya sekitar 1/3 dari luas wilayah Desa Dlepih
(224,5000 Ha). Di wilayah Desa Dlepih terdapat sungai yang besar dan panjang.
Sungai ini bermata air dari hutan Khayangan dengan arus sungai yang deras. Pada
musim kemarau air tetap mengalir di sungai ini. Sungai ini mengalir melewati
kawasan Khayangan dan menjadi daya tarik bagi para pengunjung.
Wilayah Dlepih juga terdapat goa yang merupakan goa peninggalan
penjajah Jepang. Goa ini merupakan lorong-lorong yang dibuat oleh Jepang
sebagai jalan untuk melarikan diri atau bersembunyi, selain itu di dalam goa
terkandung mineral dan menghasilkan berbagai macam batuan alam.
20 Sumber Monografi Desa Dlepih Tahun 2005.
xxxvii
3. Keadaan Demografis Desa Dlepih
a. Jumlah Penduduk
Penduduk adalah salah satu potensi bagi suatu daerah, akan tetapi
menjadi masalah jika penanganannya tidak tepat. Secara teoritis jumlah penduduk
yang besar merupakan keuntungan bagi pembangunan. Adanya pasar dalam
negara yang besar meningkatkan pembangunan sektor produksi dan distribusi
merata “economic scale’ yang lebih efisien.21
Indonesia adalah negara berkembang, permasalahan kependudukan
merupakan masalah yang sulit untuk ditangani. Persebaran penduduk,
pengangguran, tingkat pendidikan yang rendah, dan masalah kekurangan gizi
adalah masalah kependudukan yang dialami Indonesia.
Kependudukan di Indonesia mempunyai ciri pokok yaitu, jumlah yang
besar, pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, penyebaran tidak merata dan
sifat-sifat ekonomi yang mencerminkan keterbelakangan. Diantara pokok yang
telah disebutkan, paling berada dalam level posisi mengkhawatirkan adalah
keterbelakangan sosial ekonomi, disamping itu penyebaran penduduk yang tidak
merata berdampak signifikan bagi permasalahan kependudukan.
Berdasarkan monografi yang ada di Desa Dlepih sampai bulan Juni
2005, penduduk secara keseluruhan mencapai 3711 jiwa, yang terdiri dari 730
kepala keluarga. Dengan perincian laki-laki berjumlah 1936 jiwa dan perempuan
berjumlah 1775 jiwa. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat umur dan jenis
kelamin di Desa Dlepih dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 dapat dilihat
pada tabel berikut:
21 M. Sadli, Proyek Jangka Panjang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, dalam PRISMA
No.2 Februari 1982. hal. 7.
xxxviii
Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa Dlepih Menurut Tingkat Umur dan Jenis
Kelamin.
Jumlah (Orang) 1993 1999 2005
No.
Umur Laki-
laki Perempu-
an Laki-laki Perempu-
an Laki-laki Perempu-
an 1 0-4 tahun 224 238 206 207 156 120 2 5-9 tahun 190 198 172 187 188 120 3 10-14
tahun 197 223 197 219 141 103
4 15- 19 tahun
181 257 239 238 236 236
5 20-24 tahun
194 225 238 195 242 285
6 25-29 tahun
264 268 274 263 272 266
7 30-39 tahun
234 202 248 208 329 183
8 40-49 tahun
200 222 204 221 213 232
9 50-59 tahun
196 234 183 222 225 215
Jumlah 1880 2067 1961 1960 1936 1775 Total 3947 3921 3711
Sumber: Monografi Desa Dlepih Tahun 1993 – 2005.
Dari tabel jumlah penduduk Desa Dlepih menurut tingkat umur dan jenis
kelamin, pada tahun 2005 populasi jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki
mengalami peningkatan. Jumlah penduduk tersebut mengalami perubahan dengan
adanya kelahiran dan kematian yang terjadi setiap waktu mempengaruhi jumlah
penduduk, termasuk mutasi penduduk.
b. Mata Pencaharian
xxxix
Sumber mata pencaharian utama masyarakat Desa Dlepih tidak terbatas
sektor pertanian. Melaikan dari sektor non pertanian banyak memberikan
pendapatan tambahan bagi penduduk. Selain bertani penduduk melakukan
pekerjaan sampingan lain. Dapat dilihat dari tabel jenis mata pencaharian
penduduk Desa Dlepih di bawah ini:
Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di Desa Dlepih.
Jumlah No Jenis Mata Pencahariaan 1993 1999 2005
1 Petani sendiri 283 283 328 2 Buruh tani 206 206 206 3 Nelayan - - - 4 Pengusaha besar - - 5 5 Pengusaha kecil 4 4 30 6 Buruh Bangunan 7 10 100 7 Buruh industri 100 100 65 8 Pedagang 5 5 24 9 Pengangkutan 21 21 16 10 Pegawai Negeri 24 24 15 11 ABRI - - 2 12 Lain-lain 1609 1608 1628
Sumber : Monografi Desa Dlepih Tahun 1993- 2005.
Dari tabel dapat dilihat dan dikemukakan dalam bidang mata
pencaharian, masyarakat paling dominan adalah bidang pertanian, partisipasi dan
aktivitas kaum laki-laki lebih tinggi dibandingkan kaum perempuan. Bidang
pertanian menjadi mata pencahariaan pokok sebagian masyarakat, karena
penduduk tidak memiliki lahan pertanian. Penduduk yang bekerja sebagai petani
buruh atau buruh tani, dengan aturan-aturan tertentu yang disepakati antara
pemilik tanah dan pekerja.
Bidang non pertaniaan, yang ditekuni sebagian penduduk adalah bidang
industri rumah tangga. Industri rumah tangga ditekuni oleh penduduk wanita.
Berbagai jenis pekerjaan penduduk Desa Dlepih, antara lain petani sendiri, buruh
xl
tani, karyawan baik instansi pemerintahan maupun swasta, wiraswasta,
pertukangan dan pensiunan.
Industri rumah tangga ditekuni oleh para wanita menunjukan wanita
mulai mampu berperan aktif dalam kegiatan ekonomi keluarga. Wanita pedesaan
pada umumnya aktif mendampingi suami mencari nafkah. Kehidupan sehari-hari
wanita mempunyai peran ganda. Sebagai ibu rumah tangga dan pendamping
suami untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga. Wanita mempunyai tugas
dan fungsi yang berat. Penduduk wanita bekerja dalam artian luas, bekerja
berhubungan dengan proses produksi yang menghasilkan nilai ekonomi dan
bekerja berhubungan dengan masalah sosial rumah tangga.
Penduduk Desa Dlepih merupakan tipe masyarakat pekerja keras dan
tidak kenal menganggur. Penduduk mempunyai pekerjaan sambilan selain bertani
yaitu industri rumah tangga. Industri rumah tangga Desa Dlepih tergolong industri
kecil, industri tersebut antara lain: industri kerajinan batu mulia, batik, batu bata
dan pembuatan genteng. Industri rumah tangga yang ada membuat penduduk
dapat mengisi waktu senggang bekerja di rumah. Hasil dari industri kerajinan
rumah tangga sebagian besar dipasarkan keluar daerah Dlepih. Kegiatan home
industri ini akan menambah penghasilan penduduk mencukupi kebutuhan hidup
selain hasil dari pertanian.
Penduduk Desa Dlepih mata pencahariaan terbesar sebagai petani dan
perajin. Ada pekerjaan utama dan pekerjaan sekunder dalam kehidupan
masyarakat pedesaan yang agraris22. Petani pada umunya mengerjakan pekerjaan
berhubungan dengan pertaniaan, dalam masyarakat pedesaan terdapat juga
22 Koentjaraningrat 1981, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.hal.194.
xli
pekerjaan yang tidak merupakan jenis pekerjaan pertanian. Petani melakukan
keduanya, masing-masing sebagai pekerjaan utama dan sekunder. Di Jawa banyak
desa yang sebagian besar penduduk bukan petani tetapi menyebut diri ”petani”
bila mereka diwawancarai. Bagi seorang peneliti memang sangat sukar untuk
menentukan perbedaan antara petani dan non-petani.
Petani yang memiliki sebidang lahan pertanian juga memiliki warung
yang dijaga oleh istrinya, misalnya. Pada awal musim tanam, penghasilan dari
warung kadang lebih besar, bisa lebih kecil dari hasil pertaniaan. Di desa pada
umumnya pegawai pamong desa, para pegawai, dan kaum wiraswasta memiliki
sebidang tanah. Penduduk menyewakan tanah dengan berbagai macam cara, ada
juga yang mengerjakan tanah mereka sendiri.23
Penelitian di Desa Dlepih, mengenai mata pencaharian penduduk, dalam
beberapa segi terjadi hal seperti tersebut, yaitu sulit membedakan antara pekerjaan
utama dengan pekerjaan sekunder penduduk. Pengamatan langsung yang tidak
hanya mengandalkan wawancara, diketahui kecendrungan mata pencaharian mana
yang penduduk kerjakan lebih dominan sebagai petani dan seorang wiraswasta.
Penduduk Desa Dlepih yang bermata pencaharian sebagai buruh tani
maupun pemilik tanah, mengangap diri meraka sebagai petani. Masyarakat yang
bermata pencaharian sebagai wiraswasta yang mempunyai tanah pertanian
menyebut pedagang dan petani. Intensitas keuntungan yang diperoleh dan
anggapan seseorang terhadap suatu jenis pekerjaan mempengaruhi penduduk
menyebut atau memilih jenis pekerjaan. Tradisi dan upacara slametan yang
23 Wawancara dengan Sunarno pengusaha genteng. tgl. 29 Mei 2009.
xlii
dilakukan masyarakat seperti tradisi kumunal atau individu, tidak terlepas dari
mata pencahariaan penduduk yang tergantung pada bidang pertanian.
c. Tingkat Pendidikan Masyarakat
Pendidikan merupakan modal dasar kehidupan manusia. Pendidikan
merupakan wahana untuk mengembangkan kecerdasan dan meningkatkan kualitas
manusia. Pendidikan diperlukan dalam pembangunan sekarang ini, terutama
pembangunan wilayah pedesaan.
Berdasarkan dari monografi Desa Dlepih dari tahun 1993 sampai 2005
diketahui bahwa jumlah penduduk yang tergolong dalam jenjang pendidikan dapat
dilihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Desa Tahun 1993 -
2005.
Jumlah No Tingkat Pendidikan 1993 1999 2005
1 Tamat akademi/ PT 2 4 9 2 Tamat SLTA 80 85 200 3 Tamat SLTP 148 157 360 4 Tamatan SD 1255 1241 1247 5 Tidak tamat SD 300 300 300 6 Belum tamat SD 210 213 219 7 Tidak sekolah 1343 1314 1064
Sumber: Monografi Desa Dlepih Tahun 1993 - 2005.
Seperti yang terlihat dalam tabel, pada umumnya tingkat pendidikan
masyarakat Desa Dlepih kurang baik karena keterbatasan biaya banyak penduduk
hanya tamat sekolah dasar. Usia sekolah penduduk dimulai pada umur lima tahun.
Penduduk yang tidak sekolah dikarenakan kondisi ekonomi yang rendah.
xliii
Penduduk yang memiliki latar belakang pendidikan rendah hanya mampu
mengelola tanah pertanian dan bekerja pada sektor informal saja.24
B. Potensi Desa Dlepih
Desa Dlepih mempunyai potensi yang mungkin juga dimiliki daerah
lain, memang potensi ini dibangun sebagai sarana dan prasarana guna membantu
kelancaran kegiatan penduduk. Sarana dan prasarana dibangun berdasarkan
kebutuhan penduduk. Potensi di Desa Dlepih meliputi sarana sosial, sarana
pendidikan, sarana perekonomian, dan sarana perhubungan komunikasi.
1. Sarana Sosial.
Sarana sosial desa dibangun guna memperlancar kegiatan sosial yang
dilakukan masyarakat Desa Dlepih. Berupa kantor desa, balai desa, tempat ibadah,
sarana olah raga serta balai pengobatan. Balai desa merupakan tempat kegiatan
warga dan pemerintah desa. Semua kegiatan yang berkaitan dengan pemerintahan
desa dilaksanakan di kantor desa. Balai desa merupakan tempat pertemuan, yaitu
pertemuan pemerintah desa dengan warga masyarakat misalnya membahas
tentang penyuluhan-penyuluhan dan rapat-rapat desa. Di Desa Dlepih pertemuan
di balai desa dilakukan setiap hari Rabu minggu pertama setiap bulannya yang
disebut “Rebon”.25
Sarana sosial yang kedua adalah sarana peribadatan. Jumlah sarana
peribadatan di Desa Dlepih terdiri 12 masjid dan 5 langgar yang tersebar
diseluruh wilayah desa tidak ada gereja dan tempat peribadatan lain.
2. Sarana Pendidikan.
24 Wawancara dengan M. Hartono perajin batu mulia Desa Dlepih Tgl.29 Mei 2009. 25 Wawancara dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih Tgl. 29 Mei 2009.
xliv
Kualitas pendidikan adalah salah satu cara untuk mengatasi masalah
kependudukan. Penduduk yang termasuk usia sekolah cukup besar, membuat
pemerintah dan masyarakat mendirikan tempat pendidikan. Sarana pendidikan di
Desa Dlepih pada rahun 1993 sampai 2005 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4. Jumlah Sarana Yang Ada di Desa Dlepih.
Jumlah No. Jenis Sekolah 1993 1999 2005
1. TK 3 3 3 2. SD 4 4 4 3. SMP - - - 4. SMA - - -
Sumber : Monografi Desa Dlepih Tahun 1993-2005.
Dari tabel diketahui bahwa sarana pendidikan di Desa Dlepih dari tahun
1993 sampai 2005 terdiri dari 3 unit sekolah taman kanak-kanak dan 4 unit
sekolah dasar yang tersebar di wilayah Desa Dlepih.
3. Sarana Perhubungan dan Komunikasi.
Mobilitas merupakan satu kriteria yang menunjukan apakah seseorang atau
sekelompok masyarakat tertentu dikatakan masyarakatnya maju atau tidak,
dinamis atau statis dapat dilihat dari mobilitasnya. Perpindahan seseorang atau
sekelompok orang pergi kedaerah lain dalam jangka waktu tertentu demi
kepentingan tertentu disebut mobilitas penduduk. Mobilitas dipengaruhi berbagai
faktor misalnya; sarana jalan, alat transportasi dan komunikasi. Semakin maju
sarana yang ada semakin mudah dan cepat orang melakukan mobilitas. Sarana
perhubungan yang mendukung mobilitas penduduk Desa Dlepih antara lain adalah
sarana jalan. Prasarana jalan yang terdapat di Desa Dlepih pada Tahun 1993
sampai 2005 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Jumlah Sarana Jalan Desa Dlepih.
xlv
Jumlah No. Jenis Sarana Jalan
1993 1999 2005 1 Jalan Propinsi - - - 2 Jalan Lintas Kabupaten - - - 3 Jalan Desa 8 Km 8 Km 8 Km 4 Jalan Dusun 8,5 Km 8,5 Km 10 Km 5 Jembatan 2 buah 2 buah 2 buah
Sumber : Monografi Desa Dlepih Tahun 1993-2005.
Berdasarkan tabel dapat dilihat keadaan sarana jalan yang ada di Desa
Dlepih sudah memadai guna menunjang kelancaran dan mobilitas penduduk.
Mulai adanya kesadaran untuk meningkatkan sarana jalan agar lebih baik dari
yang belum beraspal menjadi beraspal dan jalan dusun sudah dibuat jalan beton
cor. Kemajuan ini dipengaruhi juga pembangunan obyek wisata Kahyangan yang
berada di Desa Dlepih pada tahun 1993 oleh Pemerintah Kabupaten Wonogiri.
Sarana perhubungan berupa sarana transpotasi dan komunikasi sangat
mendukung mobilitas penduduk. Kemajuan dan perkembangan jaman terlebih
adanya era Globalisasi, komunikasi semakin canggih, berbagai kemudahan untuk
mendapatkan informasi komunikasi yang ditawarkan mendorong masyarakat
untuk memanfaatkan teknologi. Begitu pula masyarakat Desa Dlepih mereka juga
memanfaatkan kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi dan transportasi.
Sarana transportasi yang dimiliki masyarakat Desa Dlepih pada tahun 1993
sampai dengan 2005 dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 6. Jumlah Sarana Transportasi dan Komunikasi Desa Dlepih.
Jumlah No. Jenis Sarana Komunikasi dan Transportasi
1993 1999 2005
1 Radio/TV 40/20 170/30 170/475 2 Sepeda/Sepeda Motor 43/10 35/30 35/45 3 Mobil dinas/ Pribadi -/1 -/5 -/5
xlvi
4 Mobil Taksi / Oplet -/5 -/6 -/17 5 Bus/Truk -/- -/1 -/3 6 Gerobak Dorong/Hewan 6/- 4/- 4/- 7 Becak - - -
Sumber : Monografi Desa Dlepih Tahun 1993-2005.
Berdasarkan tabel di atas masyarakat Desa Dlepih dari tahun 1993
sampai 2005 sudah mempunyai kesadaran yang cukup tinggi dalam melakukan
mobilitas dan juga memanfaatkan sarana informasi dan komunikasi yang
berkembang. Penduduk desa semakin meningkatkan pemanfaatan sarana
informasi dan komunikasi. Peningkatan pemanfaatan sarana informasi dan
komunikasi ini membawa dampak bagi kemajuan pembangunan Desa Dlepih.
C. Kondisi Sosial Budaya.
Keberadaan industri rumah tangga Desa Dlepih tidak terlepas dari latar
belakang sosio-kultural yang pada akhirnya akan memberikan warna tersendiri
bagi industri rumah tangga. Kebudayaan manusia tidak terlepas dari unsur-unsur
budaya itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat ada 7 sistem budaya pada
xlvii
masyarakat yaitu; “ bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, sistem
kemasyarakatan, sistem teknologi, pengetahuan dan religi.
Berbagai macam unsur budaya tersebut tidak seluruhnya akan
dibicarakan disini tapi hanya beberapa unsur yang mempunyai kaitan dengan
industri kerajinan rumah tangga Desa Dlepih. Antara lain sistem pelapisan
masyarakat dan sistem religi.
1. Sistem Pelapisan Masyarakat
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain. Antara manusia satu dengan yang lain saling membutuhkan
dalam hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup
sendiri, tetapi berada disuatu lingkungan sosial yang berlainan satu dengan yang
lain. Lingkungan sosial merupakan salah satu tempat hubungan individu maupun
kelompok dengan pola organisasi dalam masyarakat dimana lingkungan sosial
tersebut merupakan bagian dari system kemasyarakatan.
Sebagai anggota masyarakat, kehidupan manusia mempunyai struktur
sosial beraneka ragam, baik yang sederhana maupun yang kompleks, seperti
adanya pelapisan sosial dan stratifikasi sosial. Pelapiasan sosial terjadi karena ada
perbedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat, sehingga
mewujudkan adanya kelas atas dan kelas bawah. Terjadinya pelapisan sosial
karena terdapat suatu yang dihargai dalam kehidupan masyarakat dan mempunyai
nilai yang tinggi. Sesuatu dianggap bernilai tinggi berupa benda-benda yang
mempunyai nilai ekonomis, ilmu pengetahuan, kekuasaan, keturunan dari
keluarga terhormat, kesalehan dalam agama, dan lain sebagainya26.
26 Soerjono Soekanto, 1982, Kamus Sosiologi, Jakarta: CV. Rajawali, hal. 203.
xlviii
2. Sistem Religi.
Penduduk Desa Dlepih mayoritas masyarakatnya beragama Islam,
terdapat pula pemeluk agama lain seperti Kristen dan Katholik. Perjalanan
aktivitas keagamaan terjadi toleransi antara pemeluk agama satu dengan pemeluk
agama lain.
Tabel 7. Pemeluk Agama Penduduk desa Dlepih tahun 1993,1999, 2005.
Jumlah No Agama
1993 1999 2005 1 Islam 3965 3915 3700 2 Katholik 3 3 3 3 Kristen 8 8 8 4 Hindu - - - 5 Budha - - -
Sumber: Monografi Desa Dlepih Bulan Januari 2003.
Dari tabel dapat diketahui mayoritas penduduk Desa Dlepih memeluk
agama Islam. Desa Dlepih terdapat dua belas masjid dan lima langgar yang
tersebar di dukuh-dukuh. Masyarakat Desa Dlepih kebanyakan beragama Islam.
Kenyataan sehari-hari pelaksanaan kegiatan keagamaan sering dihubungkan
dengan kepercayaan asli masyarakat Jawa yaitu animisme dan dinamisme.
Penduduk mayoritas beragama Islam, namun tidak semua penduduk menjalankan
ajaran agama Islam sesuai yang tercantum dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadist
Nabi. Banyak penduduk yang tidak melaksanakan rukun Islam secara serius.
Misalnya tidak sembahyang lima waktu, tidak melaksanakan sholat Jum’at, dan
seringkali melanggar pantangan dalam ajaran Islam. Ada juga yang tidak
berkeinginan pergi menunaikan ibadah haji dan umroh, meskipun dari segi materi
mampu. Akan tetapi taat berpuasa pada bulan ramadhan, juga melakukan zakat
fitrah, dan pelaksanaan Sholat Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
xlix
Yakin adanya Allah, dan seperti halnya orang muslim pada umumnya, percaya
bahwa Muhamad adalah nabi. Menyadari bahwa orang yang baik jalan hidupnya
akan naik surga, dan orang banyak dosa akan masuk dalam neraka. Juga
mengetahui akan kitab suci Al Qur’an yang berisi kata-kata Allah dan setiap
orang pernah mengucapkan kalimat Al Fatihah waktu dikhitan. Selain beberapa
persamaan dengan orang Islam pada daerah lain, penduduk Desa Dlepih dari
golongan ini juga yakin pada konsep-konsep keagamaan lain, percaya pada
makhluk-makhluk gaib, serta kekuatan sakti, dan melakukan berbagai ritus
upacara keagamaan yang tidak ada hubungan dengan ajaran agama Islam.
Penduduk yang menganut paham ini adalah beragama Islam yang tidak banyak
menghiraukan agama, sebab sebenarnya agama yang dianut adalah varian dari
agama Islam Jawa, yaitu ‘’Agami Jawi’’. Mendeskripsi agama Islam orang Jawa,
harus membedakan antara dua buah manifestasi dari agama Islam Jawa yang
cukup banyak berbeda, yaitu “ Agami Jawi” dan Agama Islam Santri. Sebutan
yang pertama berarti “ Agama orang Jawa”, sedangkan yang kedua berarti “
Agama Islam” yang dianut orang santri27.
Kaitanya dengan peribadatan, penganut” Agami Jawi” mengalami suatu
perjalanan mistik yang sering digambarkan melalui empat tahap, mulai dari luar
terus kedalam. Tergantung pada siapa yang mengatakan, keempat tahap itu
disebut dengan berbagai istilah namun artinya sama. Adapun keempat tahap
tersebut yaitu, tahap serengat, tahap tarekat, tahap hakekat, dan tahap makrifat28.
Tahap mistik yang paling rendah, yaitu tahap serengat yaitu menghormati dan
27 Kontjaraningrat,1981, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka. Hal. 312. 28 Niels Mulder, 1984, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta :
PT.Gramedia. hal. 24
l
hidup sesuai dengan hukum-hukum agama. Tahap tarekat adalah tahap kesadaran
tentang hakekat tingkah laku pada tahap pertama harus diinsyafi lebih dalam dan
ditingkatkan. Tahap ketiga adalah tahap hakekat, tahap menghadapi kebenaran
dikembangkan secara penuh kesadaran akan hakekat doa dan pelayanan kepada
Tuhan. Tahap terakhir dan tertinggi adalah makrifat, yaitu tahap ketika manusia
mencapai ”jumbuhing kawula gusti”, dimana jiwa seseorang terpadu dengan jiwa
semesta dan tindakan seseorang semata-mata menjadi “ laku”, kehidupan
seseorang menjadi doa terus menerus kepada Tuhan.
Gejala-gejala berkembangnya “ Agami Jawi” dalam kehidupan
masyarakat Desa Dlepih dilihat pada kepercayaan masyarakat akan adanya
makhluk-makhluk halus pada Jumat Kliwon dan upacara sedekah bumi pada
tanggal 1 Suro banyak ditemui sesaji-sesaji berupa bunga setaman dan makanan
yang diletakan di kompleks punden desa seperti Khayangan. Disamping itu
ditemui adanya pembakaran dupa atau kemenyan di perempatan-perempatan jalan
yang dianggap angker dan keramat oleh warga setempat. Beberapa warga
masyarakat Desa Dlepih melakukan pemberian sesaji kepada pusaka-pusaka
warisan keluarga dan leluhurya, yang dianggap mempunyai kekuatan gaib, seperti
pusaka keris dimana sesaji tersebut berupa rangkaian atau untaian bunga melati
dan bunga kantil yang diletakan pada pusaka tersebut, dengan harapan kekuatan
sakti atau gaib yang ada dalam pusaka tersebut akan membawa kebaikan
keluarga29 .
Masyarakat mempercayai adanya kekuatan-kekuatan di luar dirinya yang
mampu mempengaruhi kehidupan manusia. Kepercayaan-kepercayaan semacam
29 Wawancara dengan Karimun sesepuh Desa Dlepih Tgl. 29 Mei 2009.
li
ini merupakan tradisi yang diwariskan secara turun temurun dan merupakan ciri
dari suatu masyarakat agraris terangkum kedalam agama Islam Jawa atau
Kejawen yang bersifat sinkretis.
BAB III
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN INDUSTRI RUMAH
TANGGA DI DESA DLEPIH TAHUN 1993-2005
A. Sejarah Berdirinya Industri Rumah Tangga.
Sejarah munculnya kerajinan di Desa Dlepih, pada umumnya dimulai
dengan usaha yang bersifat mencoba-coba untuk sekedar memenuhi kebutuhan
rumah tangga sendiri dan lingkungan. Lalu muncullah pesanan dari tetangga dan
lingkungan tempat tinggal masyarakat sampai meluas kepada permintaan yang
terus berkembang setelah mendapat pengakuan atas kemampuan dari pihak lain.
Kepercayaan dan pengakuan inilah kemudiaan menjadi peneguh bagi diri perajin.
Di wilayah Desa Dlepih posisi pekerjaan sebagai perajin tersebut mulanya
masih sebagai pekerjaan sambilan selain menjadi petani, karena masih sedikit
jumlah pesanan atau daya jual. Setelah pesanan meningkat dan penghasilan
pendapatan lebih baik dari pada pekerjaan pertanian, maka penduduk
mempertimbangkan mata pencaharian pengrajin sebagai pekerjaan utama. Proses
penyebaran keahlian tersebut berlangsung secara tradisional, yaitu dengan cara
magang kepada pendahulu yang dianggap ahli. Akibat meluasnya tingkat
permintaan barang produksi kerajinan, maka minat orang untuk memasuki
pekerjaan ini semakin meningkat dan proses magangpun sangat diperlukan bagi
lii
masyarakat Desa Dlepih. Magang menjadi proses yang sangat diperlukan bagi
masyarakat karena itu merupakan masa transisi dari yang semula masih bertani
kemudian sepenuhnya bekerja sebagai perajin.30
Dari pengamatan di Desa Dlepih didapatkan informasi bahwa beberapa
motivasi dan alasan penduduk berpindah profesi dari petani menjadi perajin
industri kecil. Motivasi dan alasan tersebut menjadi faktor pendorong petani
menjadi pengrajin, meliputi unsur :
1. Pemenuhan kebutuhan hidup.
Kebanyakan dari penduduk yang sekarang sebagai perajin atau buruh
sebenarnya yang mendorong dan melatar belakangi pindah kerja ke industri kecil
adalah akibat penghasilan dari sektor pertanian kurang sehingga tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarga. Dari pengalaman bekerja
sebagai petani, penghasilan yang didapat lebih rendah dibandingkan dengan
bekerja pada sektor industri kecil paling tidak selalu mempunyai uang, meskipun
dikatakan pas-pasan.
Sebagai gambaran adalah buruh yang bekerja pada pembuatan genteng di
Desa Dlepih, dalam sehari dengan sistem kerja harian mendapatkan uang rata-rata
Rp.18.000,00. Lain halnya dengan bekerja sebagai buruh pertanian ( pemacul,
pembajak sawah atau jenis lainnya seperti mengetam, ndaut, tanam padi dan lain-
lain), hanya mendapat upah Rp.8.000,00 per harinya.31 Dari gambaran tersebut
30 Wawancara dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009. 31 Wawancara dengan Didik perajin genteng Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.
liii
dapat diketahui bahwa menjadi buruh pembuatan genteng mendapat penghasilan
lebih besar dari pada menjadi buruh tani.32
2. Terbatasnya lahan pertanian.
Masyarakat Desa Dlepih merasakan tanah-tanah yang dimiliki atau di
desa tidak cukup lagi untuk memenui kebutuhan hidup, sehingga pekerjaan
disektor pertanian sangat terbatas. Bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan
akan perumahan menyebabkan tanah pertaniaan di Desa Dlepih semakin sempit.
Dengan demikian pekerjaan dibidang industri kecil kerajinan menjadi alternatif
selain sektor pertanian karena tidak memerlukan lokasi yang luas.
Salah satu kasus yang menyebabkan masyarakat desa Dlepih berpindah
profesi menjadi perajin karena keterbatasan lahan pertanian yang dimiliki antara
lain: Wahyono, seorang perajin batu bata yang sekarang lebih senang disebut
sebagai perajin batu bata dari pada petani. Beliau menjadi perajin pembuatan batu
bata pada tahun 1998 yang disebabkan karena hasil dari sawah yang dimilikinya
tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya.
Ditambah lagi menyekolahkan anak di SMK Farmasi di Wonogiri. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut beliau mulai menekuni usaha pembuatan batu bata
disamping bertani. Kebutuhan masyarakat akan batu bata sebagai bahan baku
pembuatan rumah sangat tinggi, membuat usaha pembuatan batu bata menjadi
menjanjikan hasilnya dari pada bertani. Banyaknya pesanan membuat pendapatan
dari pembuatan batu bata lebih besar dibandingkan dengan bertani di sawah.33
3. Ajakan orang lain atau coba-coba.
32 Ibid
33 Wawancara dengan Wahyono pengrajin batu bata Desa Dlepih, tgl 28 Mei 2009.
liv
Sebagian dari masyarakat yang bekerja di bidang industri kecil karena
coba-coba dari pengalaman melihat orang lain sukses. Pekerjaan sebagai buruh
industri kecil atau sebagai perajin tidak pernah dipelajari secara khusus oleh
sebagian penduduk Desa Dlepih. Umumnya mencoba-coba dan magang industri,
serta melihat orang lain sukses yang kemudian meniru. Sebagai contoh misalnya:
meluasnya industri genteng di Desa Dlepih. Mulanya hanya seorang saja yang
mencoba usaha pembuatan genteng tersebut yaitu Satiyo, beliau memulai
usahanya pada tahun 1998. Sebelum menjadi perajin genteng beliau seorang
buruh di Jakarta karena krisis beliau pulang ke Desa Dlepih dan mulai membuat
genteng walau dalam sekala kecil. Cara pembuatan genteng didapatkan dari
teman kerja asal Bekonang yang terlebih dahulu mengetahui cara pembuatan
genteng . Lama-kelamaan usaha pembuatan genteng tersebut berkembang dengan
pesat karena banyak pesanan. Kini hampir 40% penduduk Desa Dlepih menjadi
pengrajin pembuatan genteng. Bagi orang desa ini nampak contoh keberhasilan
seseorang telah menjadi”guru” bagi orang lain.34
B. Macam-Macam Industri Rumah Tangga Yang Ada Di Desa Dlepih.
34 Wawancara dengan Sulidjo mantan Kepala Desa Dlepih, tgl 29 Mei 2009.
lv
Di Desa Dlepih terdapat berbagai macam industri rumah tangga. Hal
tersebut terjadi karena penduduk setempat tidak terfokus pada satu jenis industri
saja, hal tersebut disesuaikan dengan minat dan keahlian yang dimiliki. Di Desa
Dlepih terdapat lebih dari satu industri rumah tangga. Jenis industri rumah tangga
Desa Dlepih antara lain sebagai berikut:
1. Kerajinan Batu Mulia.
Gambar 1. Kegiatan Pembuatan Kerajinan Batu Mulia Masyarakat Desa Dlepih.
a. Sejarah berdirinya kerajinan Batu Mulia.
Keberadaan industri kerajinan batu mulia di Desa Dlepih tidak terlepas
dari adanya foklor desa tersebut. Nama Desa Dlepih berasal dari kata “del” (dari
bahasa Jawa kandel) yang berarti tebal dan “pih”(dalam bahasa Jawa plipih) yang
artinya lapisan. Kata-kata tersebut diperoleh karena telah banyak ditemukan batu
akik yang berbentuk plipih, tebal dan ukurannya besar, dalam bahasa Jawa
“Kandel ing Plipih”. Di wilayah desa tersebut banyak ditemukan jenis-jenis batu
mulia. Perkembangan industri kerajinan batu mulia ini tidak spontan tumbuh dan
berkembang sampai saat ini. Tetapi dalam proses pertumbuhanya melalui tahap-
tahap tertentu untuk menjadikan sebuah industri kerajinan batu mulia bertahan
lvi
sampai sekarang dan menjadi mata pencaharian bagi sebagian penduduk.
Dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup disamping semakin maju
tingkat pendidikan dan bakat seni dari ketrampilan yang penduduk miliki untuk
mengukir jenis-jenis bebatuan mulia seperti : batu fosil, batu agote, batu
cornelian, batu kristal amatize, batu opsidion, dan batu jesper yang ada disekitar
pegunungan desa, menjadikan adanya industri kerajinan batu mulia.35
b. Perkembangan kerajinan Batu Mulia.
1. Periode pertama tahun 1993
Pada periode ini menjadi awal mula usaha kerajinan batu mulia di Desa
Dlepih. Keberadaan obyek wisata Kahyangan dimanfaatkan sebagian penduduk
untuk mulai menekuni usaha kerajinan batu mulia, sebagai cindra mata khas
Kahyangan. Dengan memanfaatkan potensi bahan baku pertambangan batu mulia
yang melimpah di wilayah pegunungan desa. Kegiatan kerajinan batu mulia ini
hanya sebagai pekerjaan sampingan saja diluar pekerjaan pokok sebagai petani.
Pelopor usaha kerajinan batu mulia di Desa Dlepih adalah Karimun. Beliau
membuat kerajinan batu mulia dengan bakat seni yang beliau miliki dan
pengalaman kerja pada waktu bekerja di sentral kerajinan batu mulia daerah
Pacitan pada tahun 1970-an. Kemudian kembali ke Desa Dlepih pada tahun 1993
pasca pembangunan obyek wisata Khayangan dengan tujuan mengembangkan
usaha kerajinan batu mulia. Peralatan yang digunakan walau sederhana mampu
merubah berbagai jenis batu mulia yang ada disekitar wilayah desa menjadi
sebuah karya seni dengan nilai jual tinggi. Untuk pemasaran hasil kerajinan batu
mulia beliau menjual disekitar obyek wisata Kahyangan.
35 Wawancara dengan M. Hartono pengrajin batu mulia Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.
lvii
Perkembangan kerajinan batu mulia pada tahun 1993 ini tidak berkembang
dengan baik karena minimnya tenaga trampil sehingga mutu dan hasil produksi
kurang baik. Untuk mengembangkan usaha kerajinan tersebut maka Karimun
merekrut tenaga dari penduduk desa untuk diajari cara membuat kerajinan dari
batu mulia. Pada tahun- tahun berikutnya sudah ada penduduk desa yang trampil
membuat berbagai macam kerajinan dari batu mulia tersebut namun hanya sedikit
jumlahnya. Usaha kerajinan ini kurang begitu diminati oleh penduduk Desa
karena proses produksinya memiliki tingkat kesulitan sangat tinggi. Jumlah
pengusaha dan pekerja pada sektor kerajinan batu mulia di Desa Dlepih dapat
dilihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel 8. Jumlah pengusaha dan pekerja kerajinan batu mulia di Desa Dlepih.
No. Tahun Jumlah usaha batu mulia Jumlah pekerja batu mulia 1 1993 3 unit usaha 7 orang 2 1998 2unit usaha 2 orang
Sumber: Monografi desa Dlepih tahun 1993-2005.
Dari tabel dapat dilihat kurang begitu tertariknya masyarakat terhadap
industri kerajinan batu mulia. Dikarena dalam usaha ini membutuhkan
ketrampilan dan jiwa seni. Keberadaan kerajinan batu mulia menambah jenis mata
pencaharian masyarakat Desa Dlepih, dan menambah penghasilan yang
mencukupi kebutuhan sebagian masyarakat.36
Hasil karya kerajinan batu mulia yang dihasilkan perajin batu mulia Desa
Dlepih sangat diminati oleh pengunjung obyek wisata Kahyangan sebagai
cinderamata khas Kahyangan karena bentuk dan warna batu sangat bagus. Hasil
karya tersebut antara lain berupa : berbagai macam souvenir dari batu mulia,
36 Wawancara dengan Karimun tgl. 29 Mei 2009.
lviii
hiasan rumah seperti ornamen-ornamen dari berbagai jenis batu mulia untuk
hiasan ruang tamu, cincin akik dan lain sebagainya.
2. Periode kedua tahun 1998-2005.
Pada periode ini industri kerajinan batu mulia mengalami goncangan
dengan adanya krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1998, sehingga menurunkan
daya beli masyarakat dan pengunjung obyek wisata Kahyangan. Pesanan dari
pengunjung obyek wisata Kahyanganpun sangat kurang, tidak seramai sebelum
terjadinya krisis. Kondisi ini mempengaruhi kondisi perekonomian perajin batu
mulia. Besarnya produk barang kerajinan yang dihasilkan, tidak diimbangi dengan
pemasaran maka terjadi penumpukan barang. Alasan inilah yang menyebabkan
kemunduran kerajinan batu mulia Desa Dlepih. Namun ada perajin yang bertahan
karena sudah ada jiwa kewirausahaan dalam diri pengrajin tersebut.
Hartono yang memulai usahanya pada awal tahun 1998 pada usaha
kerajinan batu mulia. Dengan bermodalkan ketrampilan dan modal minim Rp.
150.000,00 digunakan untuk membeli alat berupa mesin grenda dan amplas.
Beliau menjadi satu-satunya perajin batu mulia di Desa Dlepih yang bertahan
sampai sekarang dengan omset perbulan ratusan juta rupiah. Keuletan dan
kesabaran menjadikannya sekarang seorang pengusaha kerajinan batu mulia di
Desa Dlepih yang sukses. Usaha kerajinan batu mulia ini sukses dan memiliki
showroom serta sanggar penjualan sendiri di wilayah obyek wisata Kahyangan
bernama” Sanggar Ngudiroso”, yang menjual berbagai macam kerajinan batu
mulia.
c. Pemasaran
lix
Untuk pemasaran produk batu mulia ini tidak hanya mengandalkan
pemasaran di wilayah obyek wisata Kahyangan namun di luar daerah Wonogiri
antara lain ; Jakarta, Yogyakarta dan Bali. Pembuatan kerajinan dengan model dan
motif yang baru menjadikan hasil kerajinan batu mulia menjadi laku di pasaran.
Pada tahun 2002 penghasilan perajin batu mulia meningkat sampai ratusan persen
yang disebabkan mulai stabilnya perekonomian Indonesia yang berdampak pada
peningkatan daya beli konsumen, dengan banyaknya pesanan.37
2. Kerajinan Batik Tirtomoyo.
37 Ibid.
lx
Gambar 2. Kegiatan Pembuatan Batik Masyarakat Desa Dlepih
a. Sejarah berdirinya kerajinan Batik Tirtomoyo.
Mengenai perkembangan kisah asal mula kerajinan batik di Desa Dlepih,
tidak terlepas dari sejarah batik Tirtomoyo. Asal usul batik Tirtomoyo bermula
dari seorang bernama Martodiharjo sebagai tukang medel dan mbabar yang
bertempat tinggal di Gading Solo, pada waktu itu statusnya sudah duda. Menikah
dengan seorang janda dari Bekonang yang bernama Wignyodiharjo. Ibu
Wignyodiharjo dulu pekerjaan sebagai pembatik dan pedagang batik. Pada tahun
1911 kedua pasangan ini mengadu nasib untuk membuka tukang medel dan
mbabar di Desa Tirtomoyo, usahanya menjadi maju.38 Kemajuaan ini karena hasil
tenun gendong yang dihasilkan oleh Desa Tirtomoyo diberi warna dan diwedelkan
kepada Martodiharjo. Atas inisiatif Ibu. Wignyodiharjo, beliau membatik dan
berjualan batik. Langkah selanjutnya ialah mengumpulkan wanita-wanita di Desa
Tirtomoyo dan sekitarnya mulai berkembang usaha batik. Demikianlah di
Tirtomoyo sampai sekarang masih tumbuh industri batik.
Yang menjadi ciri-ciri batik Tirtomoyo terutama dapat dilihat dari
beberapa hal yaitu :
1. Umumnya batik tulis kasaran dan sedang.
2. Ngangrengan dan terusan berbeda, istilah lainya adalah batik jeblosan.
38 Wiranto,1989.’ Pengusaha Industri Kerajinan Batik Bekonang dan Tirtomoyo Tahun 1967- 1977’.Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret, hal. 22-23
lxi
3. Keluwesan motif agak kaku, karena menggunakan alat batik (canting)
yang berlubang besar.
4. Babaran terlalu tua, yaitu warna biru wadel terlalu kehitam-hitaman dan
warna coklat soganya terlalu tua. Sehingga pedagang batik di Surakarta
yang tahu betul seluk- beluk pembatikan memberi nama seloroh batik
Tirtomoyo dengan babaran bebas.
5. Motip yang disenangi adalah Sidoluhur, Sidomukti, Sidomulyo, Ngreni,
Srikaton, Kokosrono, Cuwuri, Merak Ngigel.39
Adapun sejak tahun 1963 muncul istilah batik Wonogiren dan dengan
cepat menjadi model favorit dikalangan masyarakat penggemar batik. Yang
menciptakan batik Wonogiren yang pertama kali bukanlah pengusaha batik dari
Tirtomoyo, akan tetapi pengusaha batik dari Surakarta. Babaran batik Wonogiren
lekas terkenal karena dipakai oleh Ibu Tien Soeharto istri Presiden Republik
Indonesia ke dua.
Menurut anggapan para pengusaha batik Tirtomoyo dan Solo, batik
Wonogiren sebelumnya merupakan babaran yang dianggap rusak. Mengapa
dianggap rusak karena warnanya terlalu pucat dan warnanya pecah-pecah. Seperti
motif batik dapat dilahirkan dengan mengambil pelataran yang berwarna gelap
atau berwarna terang yang pertama disebut latar hitam dan kedua disebut latar
putih. Pelataran yang baik adalah warna rata dan tidak pecah- pecah. Anggapan
batik wonogiren adalah babaran yang rusak dibantah oleh RA. Praptini
Partaningrat. Beliau adalah anak dari Bupati Wonogiri dan teman kecil dari Ibu
Tien Soeharto anak dari Wedono Wonogiri.
39 Ibid.
lxii
Menurut RA. Praptini Partaningrat pelataran yang kuning pucat adalah
resep batik yang sudah digunakan oleh ibunya sejak jaman Belanda ketika
menjadi istri Bupati Wonogiri. Pelataran pecah-pecah itu sebenarnya tidak
disengaja, yang ternyata digemari dan menjadi mode. Pada saat ini pengertian
istilah batik Tirtomoyo dan Wonogiren itu dicampuradukan oleh penggemar batik
yang mengerti asal-usul kain batik produksi daerah kecamatan Tirtomoyo
dikatakan pula batik Wonogiren. Untuk membedakan babaran batik yang
dihasilkan perusahaan batik Ibu RA. Praptini Partaningrat, dengan babaran batik
Tirtomoyo maka babaran sekarang dinamakan babaran ’Kanjengan’. Babaran
’Kanjengan’ ini khusus dipergunakan untuk membabar batik hasil karya Kerabat
Mangkunegaran.40
b. Perkembangan Batik Tirtomoyo di Desa Dlepih
Penduduk Desa Dlepih mulai bergerak dalam usaha kerajinan batik pada
tahun 1920-an. Penduduk wanita bekerja sebagai buruh batik tulis Tirtomoyo
karena batik Tirtomoyo mengalami masa kejayaan. Penduduk wanita mengerjakan
pesanan batik dari pengusaha batik dari Tirtomoyo dan Solo dengan sistem
borongan. Menjadi buruh batik dirasakan oleh ibu-ibu rumah tangga di Desa
Dlepih sangat besar pengaruh untuk mendapatkan hasil tambahan untuk
membantu perekonomian keluarga.
Perkembangan industri kerajinan batik Tirtomoyo di Desa Dlepih
mengalami kemunduran pada tahun 1950-an, disebabkan masalah bahan baku
pemasaran pada masa pendudukan Jepang.41 Berhasilnya pemasaran menentukan
40 Bambang Purwanto, ‘Meski Cacat, Batik Wonogiren Laris di Pasaran” .Harian Suara
Merdeka tgl. 1 Juli 1993, hal 21. 41 Ibid.
lxiii
kelangsungan hidup perusahaan. Perusahaan akan menghentikan produksinya bila
tidak dapat memasarkan barang yang diproduksinya. Bila pemasaran berhenti
akan mengakibatkan penumpukan barang hasil produksi dari perusahaan atau
produsen. Sehingga para pengusaha batik menghentikan produksinya untuk
menekan kerugian. Pentingnya pemasaran ini berlaku pula pada industri batik di
Tirtomoyo pada khususnya. Berdampak pada pengurangan karyawan untuk
menekan kerugian. Di Desa Dlepih sendiri pada tahun 1990-an sampai sekarang
tinggal ada 4 unit usaha atau perajin batik yang masih beroperasi. 42
c. Proses produksi
Ada lima tahap proses pembuatan batik tulis Tirtomoyo di Desa Dlepih,
upah yang diberikan dalam setiap proses berbeda-beda. Adapun proses
pengerjaannya dan upah yang diberikan dalam industri batik di Desa Dlepih dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 9. Jenis pekerjaan dan upah tiap proses pembuatan batik Desa Dlepih.
No. Jenis Pekerjaan Upah Tiap Proses 1 Pola pada kain Rp.15.000,00 2 Ngengrengi Rp.35.000,00 3 Nerusi Rp.35.000,00 4 Nyaut/ nyecek Rp.35.000,00 5 Nembok Rp.30.000,00
Sumber : Daftar upah pekerja pada salah satu industri kecil batik di Desa Dlepih
dan wawancara dengan Sandinem perajin batik, tgl.29 Mei 2009.
42 Wawancara dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih, tgl. 29 Mei 2009.
lxiv
Dari tabel dapat dilihat besar kecilnya pendapatan yang dihasilkan oleh
pengrajin batik Desa Dlepih. Produksi batik tulis membutuhkan waktu kurang
lebih dua minggu. Setiap tahapan dikerjakan secara bergantian menurut keahlian
yang dimiliki masing-masing pengrajin. Besar kecil pendapatan yang diperoleh
tergantung pesanan batik dari bos batik di Tirtoyo dan Solo. Semakin banyak
pesanan maka semakin banyak upah yang didapatkan oleh perajin43 Adanya
kerajinan batik menambah adanya dinamika industri rumah tangga pedesaan di
Desa Dlepih.
d. Pemasaran Batik
Perkembangan industri kerajinan batik Tirtomoyo di Desa Dlepih
mengalami kemunduran, kemunduran ini disebabkan masalah pemasaran. Karena
berhasil dan tidak pemasaran menentukan kelangsungan hidup perusahaan.
Perusahaan akan menghentikan produksi apabila tidak bisa memasarkan barang
yang diproduksi. Pemasaran berhenti mengakibatkan penumpukan barang hasil
produksi dari perusahaan atau produsen. Pengusaha batik menghentikan
produksinya untuk menekan kerugian apabila pemasaran tidak berjalan dengan
baik. Pentingnya pemasaran ini berlaku pada industri batik di Tirtomoyo pada
khususnya. Berdampak pada pengurangan karyawan dan pesanan batik untuk
menekan kerugian.44
3. Kerajinan Pembutan Genteng.
43 Wawancara dengan Sadinem perajin batik Desa Dlepih. tgl.29 Mei 2009.
44 Ibid.
lxv
Gambar 3. Kegiatan Pembuatan Genteng Masyarakat Desa Dlepih
a. Sejarah kerajinan genteng Wiroko.
Awal berdirinya industri pembuatan genteng Desa Dlepih tidak secara
spontan tumbuh dan berkembang sampai saat ini. Tetapi dalam proses
pertumbuhan melalui tahap-tahap tertentu untuk menjadikan industri kecil
pembuatan genteng ini menjadi maju serta menjadi lapangan pekerjaan bagi
masyarakat desa setempat. Sumber daya alam yang ada menjadi faktor
pendukung tumbuh dan berkembangnya industri genteng. Pelopor usaha industri
kecil genteng adalah Satiyo, beliau tinggal di Desa Wiroko yang kemudian usaha
produksi genteng tersebut diberi nama genteng ”Wiroko”. Beliau memulai usaha
pembuatan genteng pada tahun 1998. Sebelumnya hanya menjadi buruh di
Jakarta namun karena krisis ekonomi tahun 1998 kembali ke desa dengan
membawa cetakan genteng dan mulai mendirikan usaha pembuatan genteng walau
hanya dalam skala kecil. Adapun cara-cara pembutan genteng tersebut didapat
dari temannya yang berasal dari Bekonang yang lebih dulu mengawali usaha
pembuatan genteng secara tradisional.45 Pada awal usaha Satiyo belum
mengetahui tanah tegal di wilayah desanya dapat digunakan untuk membuat
genteng. Jadi waktu itu usahan tersebut bersifat coba-coba dan akhirnya berhasil
sampai sekarang.
b. Proses produksi
45 Wawancara dengan Sunarno pengusaha genteng. tgl. 29 Mei 2009.
lxvi
Untuk proses produksi pembuatan genteng ini hanya menggunakan
peralatan yang sederhana. Bangunan tobong kecil dan peralatan sederhana seperti
besut, cangkul merupakan alat yang digunakan dalam proses pembuatan genteng’
Wiroko”. Tobong merupakan bangunan untuk tempat pembakaran genteng. Bahan
baku genteng adalah tanah liat yang terdapat di wilayah Desa Dlepih. Adapun
alat-alat yang digunakan dalam pembuatan genteng antara lain ;
1. Alat pres , alat ini digunakan untuk mencetak genteng supaya padat.
2. Cetakan kayu, alat ini dipakai untuk mencetak genteng. Terbuat dari kayu
jati dengan bentuk seperti belahan gedebok pisang.
3. Besut, alat ini digunakan untuk menghaluskan permukaan genteng agar
menjadi halus, terbuat dari potongan kulit bambu.
4. Cangkul, alat ini digunakan untuk menghancurkan tanah yang masih
terbentuk bongkahan sekaligus untuk menghilangkan kerikil atau batu
yang masih terdapat didalam tanah.
5. Tobong, alat ini dipergunakan untuk membakar genteng yang sudah di
jemur. Terbuat dari tumpukan batu bata dengan lobang di atasnya.
Peralatan di atas adalah sarana yang digunakan dalam pembuatan genteng
tradisional atau yang lebih terkenal disebut dengan nama ’genteng Wiroko’. Ciri-
ciri genteng Wiroko yaitu gentengnya yang tebal, keras dan tidak mudah pecah
sehingga diminati konsumen dari berbagai daerah.46
Pembuatan genteng tersebut membutuhkan waktu yang lama karena
menggunakan tenaga manusia. Proses produksi genteng biasanya dilakukan
selama 10 hari sampai menjadi genteng yang siap jual. Setiap sekali produksi
46 Wawancara dengan Saimin perajin genteng Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.
lxvii
(pembakaran) sebanyak 6000 biji dengan akumulasi nilai jual setiap 1000 biji
genteng seharga Rp.450.000,00. Sifat usaha tersebut pada dasarnya adalah usaha
sambilan dan dikerjakan oleh anggota keluarga dan tetangga satu desa. Satiyo
mengajarkan cara pembutan genteng pada masyarakat Desa Dlepih dan Wiroko
dengan tujuan untuk mengembangkan usaha pembuatan genteng. Dengan cepat
penduduk desa yang menekuni industri genteng tersebut dirasakan hasilnya sangat
menjanjikan dan proses pembuatannya sangat mudah.
c. Perkembangan kerajinan genteng Wiroko.
Seiring dengan kebutuhan masyarakat akan produk genteng sebagai bahan
baku perumahan yang meningkat, menyebabkan usaha kerajinan pembuatan
genteng tersebut maju. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan jumlah
pengusaha genteng di Desa Dlepih. Jumlah pengusaha genteng Desa Dlepih dari
tahun 1998 sampai dengan 2005 dapat dilihat dari tabel dibawah ini:
Tabel 10. Jumlah unit usaha kerajinan genteng dan pekerja yang terserap.
No. Tahun Jumlah unit usaha Jumlah pekerja (orang) 1 1998 10 30 2 2002 35 105 3 2005 200 600
Sumber: Monografi Desa Dlepih Tahun 1998-2005.
Dari tabel dapat dilihat perkembangan industri genteng Desa Dlepih
mengalami peningkatan. Dari sekitar 10 pengusaha pada tahun 1998 menjadi 200
pengusaha perajin genteng pada tahun 2005. Perkembangan usaha tersebut bahkan
lxviii
telah merubah sifat yang semula merupakan pekerjaan sambilan menjadikan salah
satu mata pencaharian pokok bagi penduduk Desa Dlepih selain bertani.47
Semakin tinggi tingkat permintaan terhadap genteng maka semakin
banyak genteng yang harus dihasilkan. Seiring dengan itu tuntutan terhadap
penambahan tenaga kerja semakin dibutuhkan untuk meningkatkan produksifitas
kerajinan genteng. Penduduk Desa Dlepih yang bekerja sebagai buruh tani
sekarang lebih tertarik menjadi buruh pembuatan genteng. Masyarakat
menganggap menjadi buruh pembuatan genteng lebih cepat mendapatkan hasil
dibanding menjadi buruh tani.
d. Pemasaran.
Untuk pemasaran hasil produksi genteng ini dipasarkan ke daerah
Wonogiri, Pacitan dan Yogyakarta. Banyaknya pesanan dari wilayah Yogyakarta
pada tahun 2005 membuat kewalahan para pengrajin genteng di Desa Dlepih.
Untuk mengatasi masalah tersebut para pengusaha genteng meningkatkan
produksinya dengan menambah jumlah tenaga kerja untuk memenuhi pesanan.
Setiap pengusaha genteng biasanya memiliki 3-5 orang karyawan, dengan sistem
upah harian. Setiap hari karyawan tersebut di gaji Rp.18.000,00, makan dua kali
setiap harinya.48 Keberadaan industri genteng ini menambah mata pencaharian
untuk mencukupi kehidupan perekonomian masyarakat setempat dalam
meningkatkan pendapatan keluarga.
4. Industri Pembuatan Batu Bata.
47 Wawancara dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009. 48 Wawancara dengan Saimin pengusaha genteng tgl.29 Mei 2009.
lxix
Gambar 4. Kegiatan Pembuatan Batu Bata Masyarakat Desa Dlepih.
a. Sejarah berdirinya kerajinan batu bata Karakan.
Berdirinya industri kerajinan pembuatan batu bata di Desa Dlepih tidak
terlepas dari jiwa kewiraswastaan yang melekat pada diri penduduk desa. Selain
industri kerajinan batu mulia, batik, genteng di Desa Dlepih juga terdapat industri
pembuatan batu bata yang terkenal mutunya bagus yang dikenal dengan
nama”bata karakan”. Mengapa dinamakan batu bata karakan karena di produksi di
Dusun Karakan. Dusun karakan masuk administrasi Desa Dlepih. Ciri-ciri batu
bata Karakan adalah batu batanya yang tebal, berwarna merah dan tidak mudah
patah.49
Industri pembuatan batu bata Desa Dlepih mulanya dilakukan oleh
Siswanto yang bekerja sebagai seorang petani yang memulai usaha pada tahun
1998. Sebagai seorang petani beliau memiliki waktu luang diantara masa tanam
dan panen. Waktu luang yang tersedia dimanfaatkan beliau untuk mencoba
membuat batu bata secara tradisional. Perkembangan usaha pembuatan batu bata
di Desa Dlepih mengalami perkembangan yang pesat.
b. Proses Produksi
Produksi batu bata karakan ini mudah dan menggunakan alat sederhana.
Alat yang digunakan dalam produksi batu bata tidak berbeda dengan yang
49 Wawancara Wahyono perajin batu bata Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.
lxx
digunakan dalam industri genteng. Hanya saja yang membedakan pada citakanya.
Adapun alat-alat yang digunakan antara lain:
1. Cetakan kayu, alat ini dipakai untuk mencetak batu bata. Terbuat dari
kayu jati dengan bentuk seperti persegi panjang.
2. Cangkul, Alat ini digunakan untuk menghancurkan tanah yang masih
terbentuk bongkahan sekaligus untuk menghilangkan kerikil atau batu
yang masih terdapat didalam tanah.
3. Tobong, Alat ini dipergunakan untuk membakar batu bata yang sudah di
jemur. Terbuat dari tumpukan batu bata dengan lobang diatas. Untuk
pembakaran digunakan merang sebagai bahan pembakaran batu bata.50
Peralatan di atas merupakan sarana yang digunakan dalam pembuatan batu
bata. Proses pembutan batu bata tersebut membutuhkan waktu yang lama karena
menggunakan tenaga manusia. Proses pembuatan batu bata itu sendiri dari proses
awal hingga menjadi batu bata yang matang memerlukan waktu 10 hari.
Pembakaran batu bata di tobong terdiri dari 6000 biji batu bata sekali pembakaran.
c. Perkembangan industri batu bata Karakan.
Dari tahun ke tahun industri kerajinan batu bata ini mengalami
peningkatan dan perkembangan. Sebagian penduduk tertarik untuk belajar dari
Siswanto cara pembuatan batu bata, dan mulai mendirikan usaha pembuatan batu
bata tersebut. Dikarenakan cara dan proses pembuatan yang mudah, menjadikan
banyak penduduk Desa Dlepih menekuni usaha pembuatan batu bata. Jumlah
pengusaha batu bata di Desa Dlepih dari tahun 1998 sampai dengan 2005 dapat
dilihat dari tabel dibawah ini:
50 Wawancara dengan Siswanto perajin batu bata Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.
lxxi
Tabel 11. Jumlah unit usaha batu bata dan pekerja yang terserap Desa Dlepih.
No. Tahun jumlah unit usaha Jumlah pekerja (orang) 1 1998 3 9 2 2002 4 12 3 2005 10 30
Sumber: Monografi Desa Dlepih Tahun 1998-2005.
Dari tabel dapat diketahui pertumbuhan jumlah perajin dan buruh batu
bata Desa Dlepih yang pada awal berdiri pada tahun 1998 hanya 3 unit usaha
berkembang menjadi 10 unit pada tahun 2005. Perubahan mata pencaharian ini
secara tidak langsung merubah peran wanita di Desa Dlepih. Kedudukan wanita
yang sebelumnya sebagai ibu rumah tangga yang mengelola hasil dan merawat
anak, kini memiliki peran ganda yaitu bekerja sebagai perajin pembuat batu bata
guna menambah pendapatan ekonomi keluarga.51
d. Pemasaran
Untuk pemasaran batu bata Karakan ini tidaklah terlalu sulit karena
kebutuhan manusia akan tempat tinggal sangat tinggi dan kebutuhan akan bahan
bakunya yang salah satunya adalah batu bata. Wilayah pemasaran hasil industri
batu bata ini adalah wilayah Kabupaten Wonogiri saja. Seperti di Kecamatan
Tirtomoyo, Kecamatan Batuwarno, Kecamatan Baturetno dan Kecamatan
Ngadirojo. Harga jual batu bata setiap seribu batu bata dijual dengan harga Rp.
300.000,00. Sekali produksi batu bata sebanyak 6000 batu bata sehingga harga
jualnya dalam satu produksi sebesar Rp.2.400.000,00. Menjadikan masyarakat
tertarik dengan usaha pembuatan batu bata karakan ini.
51 Wawancara dengan Mulyanti perajin batu bata Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.
lxxii
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh dan Berkembangnya
Industri Rumah Tangga Tahun 1993-2005.
Industri rumah tangga Desa Dlepih ini pada mulanya merupakan pekerjaan
sambilan di luar sektor pertanian. Dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya disamping semakin majunya tingkat pendidikan dan ketrampilan yang
dimiliki bernilai ekonomis industri rumah tangga Desa Dlepih berkembang.
Sumber daya alam yang melimpah terdapat di Desa Dlepih, bila tidak
dimanfaatkan akan menjadi barang rongsokan yang tidak ada gunanya. Faktor-
faktor yang mempengaruhi perkembangan industri rumah tangga di Desa Dlepih
antara lain:
1. Sumber Daya Alam.
Desa Dlepih merupakan salah satu desa yang ada di Wonogiri. Potensi
Desa Dlepih yang begitu beragam, dari kekayaan alam berupa mineral di bawah
perbukitan Dlepih sampai suasana hutan Kahyangan. Masyarakat Desa Dlepih
hidup bermata pencaharian sebagai petani ladang. Hidup dari bertanam umbi-
umbian, padi dan tanaman tropis lainnya. Kedatangan Kolonial merubah
kehidupan masyarakat penelitian mulai dilakukan oleh orang-orang kulit putih
kemudian diadakan pengeboran bukit-bukit yang berada di Desa Dlepih.
Pemerintah Belanda mulai menggali daerah ini pada abad ke XX, diakhir
penetrasi di Hindia Belanda.52
Penggalian tambang daerah ini mengalami kemajuan pesat setelah Belanda
pergi dan digantikan oleh orang-orang Jepang. Romusha yang dijalankan oleh
penjajah Jepang bisa dikatakan berbeda bila dibandingkan dengan romusha di
52 Wawancara dengan Saimo sesepuh Desa Dlepih, tgl 29 Mei 2009.
lxxiii
daerah yang lain. Pekerjaan yang dijalankan oleh romusha di Desa Dlepih adalah
sebagai penambang barang tambang berupa “batu krepu”. Masyarakat hanya
bertugas menggali bahan-bahan mineral yang kemudian proses pembuatan dan
penggosokkan dilakukan oleh orang Jepang sendiri.53
Pada masa kerja paksa Jepang (Romusha), masyarakat Desa Dlepih di
Area tambang ini bekerja menggali bahan mentah yaitu timah, tembaga, kuningan,
dan emas. Untuk proses olahannya menjadi bahan jadi atau siap pakai,
keseluruhannya dilakukan oleh orang Jepang. Untuk penggalian emas atau logam
mulia ini dikerjakan langsung oleh orang-orang Jepang. Sampai sekarang masih
sulit diidentifikasi secara tepat lokasi pertambangan emas tersebut. Bagi informan
sebagai saksi peristiwa meyakini bahwa Jepang sengaja menyembunyikan
tambang emas tersebut.
Salah satu yang mengetahui tentang tambang bekas peninggalan Jepang
tersebut adalah Pak Atmo. Pada masa kecil, beliau adalah bocah yang menjadi
kesayangan bagi tentara Jepang. Tiap pagi Pak Atmo selalu membantu untuk
menyiapkan alat-alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan
tersebut.54
2. Sumber Daya Manusia.
Masyarakat Desa Dlepih dikenal sebagai masyarakat pekerja keras. Dilihat
dari berbagai macam kegiatan penduduk dalam bermata pencaharian yang
beraneka ragam dan dilakukan oleh semua warga, baik laki-laki maupun
perempuan. Hal ini didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki
pengetahuan dan wawasan yang luas untuk memanfaatkan potensi untuk
53 Wawancara dengan Karimun sesepuh Desa Dlepih, tgl 29 Mei 2009.
54 Wawancara dengan Atmo sesepuh Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.
lxxiv
mencukupi kebutuhan hidup. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat adalah
petani, namun selain itu juga memiliki pekerjaan sambilan berupa industri rumah
tangga. Pasca pembangunan obyek wisata Khayangan pada tahun 1993,
masyarakat Desa Dlepih mulai memanfaatkan potensi desa dengan mendirikan
berbagai macam bentuk usaha yang sifatnya industri rumah tangga seperti
kerajinan batu mulia, kerajinan batik, kerajinan batu bata, dan kerajinan genteng.
Adanya industri rumah tangga di Desa Dlepih menunjukan bahwa masyarakat
memiliki etos kerja yang tinggi.55
3. Peranan Pemerintah.
Upaya pengembangan industri kecil rumah tangga yang ada di Desa
Dlepih tidak hanya melibatkan masyarakat tetapi juga pemerintah memiliki
peranan yang penting dalam pengembangan industri kecil. Dalam hal ini
pemerintah memberikan pembinaan atau bantuan seperti :
a. Ketrampilan usaha
Perbaikan sumber daya manusia merupakan salah satu yang tidak dapat
dipisahkan dari upaya peningkatan kualitas produk suatu industri, baik bagi
pengusaha atau pekerja. Pemerintah memberikan penyuluhan-penyuluhan bagi
para pengusaha dan pekerja industri kecil rumah tangga di Desa Dlepih.
Penyuluhan ini dilaksanakan setahun sekali pada bulan April hari Rabu bulan
pertama oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koprasi (disperindagkop)
Kabupaten Wonogiri di balai desa. Penyuluhan ini bertujuan untuk meningkatkan
ketrampilan para pengusaha ataupun pekerja dapat meningkatkan kualitas hasil
produksi. Disperindagkop memberikan penyuluhan-penyuluhan misalnya tentang
55 Wawancara dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih tgl. 29 Mei 2009.
lxxv
cara mendapatkan mutu produksi yang bagus dan cara pemasaran yang baik.
Adanya penyuluhan terhadap industri rumah tangga di Desa Dlepih semakin
mengembangkan serta bersaing dengan industri rumah tangga daerah lain. Selain
itu Desperindag, juga berperan dalam pemberian fasilitas misalnya memberikan
jalan bagi para pengusaha agar mendapatkan kemudahan - kemudahan dalam
mendapatkan pinjaman modal dari Bank. Peran Disperindag ini baru terbatas pada
pemberian fasilitas karena terbatasnya biaya. Pihak Disperindag selalu
menyarankan para pengusaha industri yang ada di Desa Dlepih tersebut untuk
mengikuti pameran-pameran agar hasil produksi bisa dikenal oleh orang banyak
misalnya pada pameran pembangunan setiap hari kemerdekaan di pendopo
Kabupaten Wonogiri.56
b. Permodalan.
Pemerintah memberikan bantuan pinjaman modal melalui bank yang telah
ditunjuk oleh pemerintah sebesar Rp.15.000.000,00 kepada industri rumah tangga
di wilayah Wonogiri pada tahun 1999. Bank yang berperan dalam memberikan
bantuan pinjaman kepada pengusaha industri kecil yaitu Bank Rakyat Indonesia
(BRI) Wonogiri. Progam bantuan kredit yang diberikan adalah kredit Candak
Kulak (KCK) dan Kredit Investasi Kecil (KIK) sebagai pengganti progam
sebelumnya bernama Permodalan Kredit Lunak (PPKL) pada tahun 1970an.
Pinjaman kredit ini disalurkan oleh pihak BRI melalui cabang-cabang yang ada di
Kecamatan.
Bantuan kredit yang diberikan oleh BRI ini tidak dimanfaatkan oleh semua
pengusaha Desa Dlepih dengan alasan bahwa meminjam di bank harus
56 Wawancara dengan Sutarmo Kepala Desa Dlepih tgl 29 Mei 2009.
lxxvi
menggunakan jaminan. Pengusaha yang berani berspekulasi dan mempunyai
wawasan luas serta pandai memperoleh peluang tetapi tidak mempunyai modal
kuat, yang berani mengajukan pinjaman modal ke bank. Purwandi misalnya,
beliau mengambil pinjaman modal dari bank sebesar Rp. 15.000.000,00 untuk
mengembangkan usaha industri genteng yang dimiliki karena usaha pembuatan
genteng ini memiliki prospek yang cukup bagus namun beliau kurang memiliki
cukup modal untuk mengembangkan usahanya tersebut.
Pada tahun 2005 permintaan akan produk genteng dari pembeli wilayah
Yogyakarta tinggi tetapi Purwandi tidak dapat memenuhi seluruh permintaan
karena keterbatasan modal yang ada. Dengan tambahan modal tersebut Purwandi
mulai membenahi usahanya dengan menambah peralatan produksi dan bahan
baku pembuatan genteng. Bertujuan untuk menambah kapasitas produksi hingga
memenuhi seluruh permintaan dan mendapatkan keuntungan. Sampai sekarang,
industri pembuatan genteng miliknya semakin meningkat dan berkembang.57
4. Keberadaan Obyek Wisata Khayangan.
Faktor pendukung pertumbuhan industri rumah tangga Desa Dlepih
lainnya adalah terdapat sebuah tempat obyek wisata Kahyangan yang mempunyai
nilai mitos dan folklor yang sangat kuat yaitu Petilasan Panembahan Senopati.
Petilasan ini oleh masyarakat sekitar masih dijaga dan dilestarikan dengan baik.
Dikarenakan nilai mitos yang terdapat di Khayangan merupakan peninggalan
Panembahan Senopati raja pertama kerajaan Mataram Islam.58
Cerita mitos tersebut menjadi daya tarik obyek wisata Kahyangan di Desa
Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri. Untuk menambah daya tarik
57 Wawancara dengan Purwandi pengusaha genteng Desa Dlepih, Tgl.29 Mei 2009. 58 Wawancara dengan Karimun sesepuh Desa Dlepih tgl. 29 Mei 2009
lxxvii
wisatawan maka pada tahun 1993 pemerintah Kabupaten Wonogiri dengan
dibiayai dari pengusaha penambangan minyak yang sudah meninggal dunia
bernama Alm. Budastuti melakukan renovasi dan pembangunan obyek wisata
Kahyangan. Pembangunan obyek wisata Kahyangan tahun 1993 sangat
berpengaruh bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Dlepih. Manfaat
dari pembangunan obyek wisata Kahyangan antara lain adalah dibangunnya
sarana dan prasarana sosial seperti sarana jalan aspal, mulai masuknya jaringan
listrik yang membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Pengunjung obyek wisata Kahyanganpun semakin banyak pasca
dibangunnya obyek wisata Khayangan tersebut dikarenakan para wisatawan
mudah menjangkau lokasi. Penduduk Desa mulai mendirikan warung-warung di
sekitar obyek wisata Kahyangan dan menjual hasil kerajinan industri rumah
tangga. Industri rumah tangga tersebut merupakan salah satu usaha produktif di
sektor non pertanian baik sebagai mata pencaharian utama maupun sebagai usaha
sampingan yang diminati oleh masyarakat untuk menabah penghasilan keluarga.
BAB IV
DAMPAK KEBERADAAN INDUSTRI RUMAH TANGGA DALAM
PENINGKATAN KEHIDUPAN SOSIAL DAN EKONOMI
A. Perilaku Ekonomi Pengrajin.
Sektor kerajinan rumah tangga bagi masyarakat agraris sangat penting bagi
kehidupan masyarakat tersebut. Timbul suatu keinginan untuk menjadikan sektor
industri kerajinan menjadi mata pencaharian.59 Semakin berkembang usaha
59 Hendrawan Supratikno, “Pengembangan Industri Kecil di Indonesia,dalam Prisma
Tahun 1994,hal 24.
lxxviii
kerajinan pedesaan, diharapkan dapat mampu melahirkan hasil ganda bagi
masyarakat desa.
Berdirinya industri rumah tangga di Desa Dlepih akan mewarnai
kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Perlu dicermati disi adalah peran
industri rumah tangga dalam rangka menegakan pendapatan ekonomi keluarga.
Sebagian penduduk desa bekerja sebagai perajin dan pemilik usaha industri
rumah tangga, baik dilakukan sebagai pekerjaan pokok atau sebagai pekerjaan
sampingan. Hal ini terdorong atas kesadaran untuk mendapat penghasilan
tambahan keluarga.60
Masyarakat desa yang memiliki jiwa kewirausahaan merupakan faktor
utama dalam perkembangan perekonomian masyarakat pedesaan, seperti halnya
industri rumah tangga (kerajinan batu mulia, pembuatan batu bata, pembuatan
genteng dan membatik) di Desa Dlepih. Seorang wiraswasta harus memiliki syarat
dasar yaitu” kreativitas” atau disebut dengan kemampuan mencipta, dan kedua
adalah keberanian menyajikan. Orang yang memiliki kreativitas belum tentu
memiliki keberanian menyajikan (bakat terpendam). Hakekat kewiraswastaan
adalah terletak pada kreativitas.61 Pelaksanaan usaha kerajinan rumah tangga
seperti halnya industri rumah tangga dengan cara tradisional, tidak akan maju,
sehingga pengelolaan nampak statis dan tidak banyak mengalami perkembangan.
Seperti pada penerimaan pesanan yang banyak untuk memenuhi pesanan tersebut
dilakukan dengan membagi dengan para perajin lain. Keadaan tersebut
menunjukan bahwa tingkat pengembangan usaha masih rendah dan sifatnya cepat
60 Wawancara dengan Siswanto perajin batu bata tgl. 29 Mei 2009. 61 Soehardi Sigit, Mengembangkan Kewiraswastaan,Yogyakarta: Gajah Mada University
Press,1980. hal 3.
lxxix
puas terhadap usaha yang dijalankan. Sikap yang demikian tidak lepas dari sifat
orang Jawa, yaitu sikap nrima yang digunakan dalam mengelola usaha.62 Masih
kuatnya sikap nrima ini dipengaruhi beberapa faktor seperti ; usia, tingkat
pendidikan formal, dan pengalaman yang cukup lama dalam mengelola usaha.
Pengalaman tersebut semakin lama memperkuat keyakinan perajin untuk tetap
bertahan pada pola kerja dan usaha yang masih tradisional, karena bagaimanapun
apa yang telah mereka capai dalam usaha itulah yang menjadi bagian.
Sikap nrima merupakan suatu kondisi menerima apa yang telah mereka
dapatkan dari usaha seseorang. Sikap ini tidak dapat diterapkan untuk sebuah
usaha seperti halnya industri rumah tangga di Desa Dlepih, sebab dalam industri
ini dituntut dapat menghasilkan inovasi baru dalam kerajinan. Sikap nrima sangat
mempengaruhi perkembangan industri rumah tangga. Dapat dilihat pada tahun
1995an industri rumah tangga ini terlihat berjalan ditempat tidak mengalami
kemajuan dari segi pengelolaan dan hasil produksi. Bertambahnya pengalaman
dan pengetahuan perajin, membuat sikap nrima yang dimiliki oleh perajin sudah
mulai ditinggalkan, mereka menganggap bahwa usaha kerajinan merupakan usaha
yang kompetitif dan membutuhkan pengelolaan yang baik. Keinginan untuk maju
dan mendapatkan untung yang besar adalah motivasi tersendiri bagi perajin.
1. Semangat Ekonomi Perajin
Perkembangan industri rumah tangga di Indonesia pada akhir-akhir ini
terbayang suatu usaha yang mampu melahirkan hasil ganda bagi masyarakat
pedesaan, yakni pertumbuhan ekonomi yang mantap dan terbuka dengan ide-ide
atau wawasan modernisasi yang masuk sehingga mempengaruhi pola pikir
62 Budiono Herusatata, Simbolisme Budaya Jawa. 1984. hal.80.
lxxx
masyarakat pedesaan. Semangat optimis usaha penduduk desa timbul sebagai
akibat adanya sikap kewiraswastaan yang dimiliki oleh para perajin.
Semangat ekonomi perajin merupakan dorongan untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih baik, etos kerja pengrajin sangat mempengaruhi
perkembangan industri rumah tangga di Desa Dlepih. Etos adalah sikap terhadap
diri sendiri dan dunia luar yang direfleksikan dalam kehidupan. Etos merupakan
hal yang abstrak dalam diri manusia atau watak kebudayaan milik masyarakat.63
Kerja adalah perbuatan manusia yang ditunjukan pada orang lain sebagai balas
jasanya diberikan upah. Kerja merupakan produksi yang berpangkal pada
manusia, sehingga manusia merupakan peran penting terhadap proses produksi.
Dari pengertian etos kerja dapat diartikan semangat kerja yang menjadi ciri khas
keyakinan seseorang atau kelompok dalam melakukan kegiatan kerja mendapat
semangat sehingga mendorong seseorang atau kelompok orang untuk melakukan
pekerjaan.
Keberhasilan yang telah dicapai oleh industri rumah tangga, diyakini
merupakan hasil kerja keras dan usaha untuk lebih maju yang selama ini
dilakukan. Keuletan dan kerja keras, merupakan tanggung jawab langsung kepada
Tuhan. Jadi kesadaran beragama mempunyai fungsi sebagai pendorong
menyangkut kegiatan sosial ekonomi.64 Sikap seorang wirausahawan yang maju
akan semakin banyak modal yang dimanfaatkan untuk menemukan bentuk
barang-barang baru, menemukan cara kerja yang efisien berorganisasi dan
menatalaksana suatu usaha. Sikap kewirausahaan merupakan faktor utama
63 Taufik Abdulah, Agama Etos Kerja dan Perkembangan Dunia Ekonomi, Jakarta :
LP3ES 1982, hal 2. 64 Ibid, hal 14.
lxxxi
perkembangan perekonomian masyarakat pedesaan yang dapat mendorong usaha-
usaha yang dijalankan oleh seorang wirausahawan.
Para perajin Desa Dlepih saat ini dibagi menjadi dua golongan perajin
yaitu golongan yang didasarkan keturunan dan golongan perajin mandiri, secara
singkat akan diuraikan sebagai berikut: golongan pertama adalah golongan perajin
turunan seperti perajin batik. Usaha kerajinan batik turun temurun diwariskan
keahlian dan usaha yang dijalankan pendahulunya. Segi karya yang dihasilkan
golongan ini cenderung mempertahankan cara-cara produksi yang kuno.
Golongan yang kedua adalah golongan perajin yang muncul dari golongan pekerja
atau buruh. Upah mereka yang mereka terima ditabung sebagian, hingga
terkumpul sebagai modal usaha. Modal hasil tabungan yang telah terkumpul,
ditambah pengalaman dan pengtahuan tentang kerajinan, mulai teknik produksi
sampai soal pemasaran, serta keinginan untuk memperoleh pendapatan besar dari
pada bekerja sebagai buruh, membuat perajin berusaha untuk mendirikan
perusahaan sendiri. Karya ini lebih modern dan berproduksi dalam jumlah yang
besar. Industri rumah tangga tersebut seperti: pembuatan batu bata, pembuatan
genting dan kerajinan batu mulia.
2. Peran Perajin Terhadap Kemajuan Usaha.
Bertahannya industri rumah tangga di Desa Dlepih sampai sekarang,
sangat tergantung pada sikap kewiraswastaan yang dimiliki oleh para perajin
dalam menjalankan usaha. Sikap kewiraswastaan mendorong perkembangan
usaha yang dijalankan dalam industri rumah tangga, selanjutnya dapat mendorong
perkembangan perekonomian masyarakat desa. Di Desa Dlepih sektor industri
rumah tangga hanyalah sebagai usaha yang menjadi pekerjaan sampingan saja,
lxxxii
memang ada yang menjadikan usaha industri rumah tangga ini sebagai mata
pecaharian utama mereka, tetapi hanya sebagian kecil saja. Sebagian besar hanya
sebagai usaha tambahan dan sebagai kebudayaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Perajin menggunakan berbagai macam cara untuk mengembangkan usaha
menjadi lebih besar, hal ini terlihat dari sikap mereka yang selalu ingin
memperbesar modal usaha dengan cara meminjam dari lembaga Perkreditan
Rakyat seperti BPR (Bank Perkreditan Rakyat), dari Bank Rakyat Indonesia yang
dirasa dalam prosesnya sangat mudah.65
B. Pengaruh Industri Rumah Tangga Terhadap Kehidupan Sosial Desa
Dlepih.
Berdirinya industri rumah tangga Desa Dlepih mempunyai pengaruh
perubahan sosial masyarakat. Adanya berbagai macam industri rumah tangga
tersebut menyebabkan terbukanya struktur desa, karena telah terjadi proses
transformasi nilai-nilai dalam masyarakat yang menyebabkan terjadi perubahan
sosial. Perubahan sosial adalah segala perubahan lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi nilai-nilai, sikap
dan pola perilaku di antara kelompok dalam masyarakat.66
Segi nilai kemasyarakatan Desa Dlepih lambat laun meninggalkan nilai
tradisi yang mereka anggap sudah tidak dapat diterapkan dalam perkembangan
industri rumah tangga seperti mengejar keuntungan untuk memperoleh kehidupan
ekonomi yang lebih baik. Seperti semboyan yang mereka anut sebelumnya
yaitu”bathi sithek asal entuk sedulur”yang berarti untung sedikit asal
65 Wawancara dengan Hartono perajin batu mulia Desa Dlepih tgl, 29 Mei 2009. 66 Selo Soemarjdan dan Soelaeman Soemarji, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta ;
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964. hal. 407.
lxxxiii
mendapatkan persaudaraan. Tentu saja hal ini dalam etika bisnis tidak
menguntungkan.
Perilaku dan sikap pengrajin dalam kehidupan sosial terlihat sangat
dinamis, tetap saling menghormati satu dengan yang lain. Sikap nrima yang
identik dengan masyarakat Jawa, sudah tidak terlihat disebabkan usaha ini sangat
kompetitif dan membutuhkan keseriusan. Nrima berarti menerima segala apa yang
mendatangi kita, tanpa protes dan pemberontakan. Nrima adalah sikap Jawa yang
paling sering dikritik karena disalah-pahami sebagai kesediaan untuk menerima
secara apatis. Sebenarnya nrima itu pola hidup yang positif. Nrima berarti bahwa
orang dalam keadaan kecewa dan kesulitan pun bereaksi dengan rasional tidak
ambruk. Nrima menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakan
tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Sikap nrima memberi daya tahan
untuk juga malapetaka kehilangan sengsaranya. Tetap bergembira dalam
penderitaan dan prihatin dalam kegembiraan. Suatu ungkapan khas Jawa yang
berbunyi: ” Hidup itu tidak mudah, disebut mudah ya mudah, disebut sulit ya
sulit’.67
Setelah mempelajari uraian tentang lapangan kerja yang ditekuni oleh para perajin
sebelum mereka mengenal industri rumah tangga dan sesudahnya terdapat
perubahan yang terjadi pada masyarakat setempat. Perubahan itu dapat diamati
dari segi tingkah laku, sistem budaya, dan stratifikasi sosial. Pada aspek perilaku
masyarakat terlihat adanya perubahan pola kerja diantara perajin. Perubahan itu
terjadi diantaranya pada perajin genteng dan batubata. Sedangkan perajin batik
dan batu mulia tergantung pesanan atau adanya order. Perajin harus mengadakan
67 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa, Jakarta ;PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. hal. 143.
lxxxiv
perjalanan keluar desa yang sebenarnya jarang sekali dilakukan sebelum adanya
industri rumah tangga tersebut. Hal tersebut cenderung memperluas jaringan-
jaringan hubungan sosial yang baru. Seperti yang dituturkan Sunarno, bahwa
sering kali harus pulang pergi mengantarkan pesanan genteng ke Yogyakarta dan
sekitar wilayah Kabupaten Wonogiri.68
Pola kerja buruh harian yang teratur, terutama apabila banyaknya pesanan.
Setiap hari mereka mulai kerja jam 08.00 WIB hingga 16.00 WIB. Pola jam kerja
ini tidak mereka alami sewaktu mereka menjadi petani atau buruh bangunan.
Buruh perajin yang semula bekerja menurut pola masing-masing setelah bekerja
pada unit industri rumah tangga harus mengikuti pola kerja yang sudah diatur
terhadap perjanjian dengan majikan. Hal itu tentu saja bukan merupakan hal yang
mudah atau menyenangkan bagi orang-orang yang sebelumnya tidak pernah
bekerja dengan sistem kerja tersebut.
Pola kerja yang baru sebenarnya bukan merupakan masalah yang besar
bagi perajin, karena hubungan dengan pemberi kerja atau dengan pengusaha
biasanya adalah kerabat atau tetangga satu desa yang masih mengandung
kekerabatan. Selain itu majikan juga memperhatikan hak-hak yang dimiliki
pekerjanya. Menurut Didik, seorang pekerja pada sektor kerajinan pembuatan
genteng, sebagai buruh gaji yang ditrima Rp.18.000,00 ditambah makan dua kali
setiap harinya. Hal inilah yang membuat Didik tertarik menjadi buruh pembuatan
genteng.69
Pada tingkat budaya terjadi perubahan yang berupa penambahan
pengetahuan. Pengetahuan perajin telah bertambah dengan berbagai keahlian
68 Wawancara dengan Sunarno perajin genteng Desa Dlepih. tgl. 29 Mei 2009. 69 Wawancara dengan Didik pekerja pembuatan genteng Desa Dlepih. Tgl. 29 Mei 2009.
lxxxv
maupun ketrampilan baru baik formal maupun informal, yang berupa proses
pengembangan produksi unit-unit industri rumah tangga. Perajin sangat
menjujung tinggi nilai-nilai kreativitas dan ketelitian sehingga menghasilkan mutu
barang yang bagus.
Masyarakat senantiasa mempunyai penilaian dan penghargaan tertentu
terhadap gejala-gejala kehidupan, sehingga siapa yang memenuhi kriteria tersebut
dianggap menduduki strata yang tinggi, apabila dibandingkan dengan kedudukan
yang lainya. Apapun yang menjadi landasan atau prinsip stratifikasi sosial, gejala
itu didasarkan atas penghargaan atau penilaian yang berlaku di dalam masyarakat
yang bersangkutan. Stratifikasi sosial adalah suatu jenis diferensiasi sosial yang
terkait dengan adanya jenjang yang bertingkat. Jenjang yang bertingkat itu
menghasilkan strata tertentu dan dalam strata itu warga masyarakat dimasukkan,
sehingga ada kedudukan yang rendah dan ada kedudukan yang tinggi.70
1. Stratifikasi Dalam Masyarakat
Kedudukan seseorang dan perbedaan derajat dalam masyarakat tidaklah
tampak tajam. Bagaimanapun bentuk suatu masyarakat sekalipun sederhana akan
terdapat kelas-kelas yang tinggi dan kelas-kelas lebih rendah.71 Strafikasi yang
terdapat pada masyarakat pedesaan di Jawa pada umumnya meliputi kelas-kelas
sebagai berikut, dipuncak struktur sosial adalah Kepala Desa, pegawai-pegawai
daerah, guru, tokoh politik dan tokoh agama, atau semuanya dapat disebut dengan
70 Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, Jakarta :
CV. Rajawali, 1984. hal. 247 71 Soeleman B. Taneko, Sruktur dan Perubahan Suatu Pengantar Sosiologi
Pembangunan, Jakarta: CV. Rajawali, 1990. hal 95.
lxxxvi
” Priyayi”. Kemudian di bawahnya para petani pemilik sawah, buruh tani,
pedagang dan pengrajin, sebagai lapisan masyarakat biasa.72
Berdasarkan stratifikasi sosial yang disebutkan ternyata petani dengan
berbagai macam tingkatannya serta pengrajin tidak menempati urutan posisi yang
tinggi. Disebabkan karena masyarakat desa pada umumnya nilai yang lebih tinggi
diberikan kepada kecakapan kerja yang kurang yang bersifat intelek. Kalangan
”intelektual” desa senantiasa mendapatkan posisi tersendiri bagi warganya,
misalnya seorang guru adalah figur yang dipandang paling cocok untuk
menempatkan diri sebagai pemimpin, karena dapat mendidik dan memberi contoh
perbuatan yang baik, sehingga seorang guru sangat dihargai. Kehidupan sehari-
hari seorang guru akan dipanggil sebagai Pak Guru atau Bu Guru dan bukan
dipanggil dengan nama dirinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa jabatan guru
sangat diperhatikan, dihargai serta dihormati.
Adanya usaha kerajinan industri rumah tangga menciptakan kelas baru
yang menciptakan posisi tertentu. Berkembangnya kerajinan industri rumah
tangga telah mengakibatkan perubahan ekonomi pedesaan yang diikuti dengan
perubahan masyarakat, sehingga melahirkan sistem baru dalam bentuk kelompok
masyarakat, yakni dengan munculnya kelompok wiraswasta desa yang baru dan
berhasil dibidangnya. Kemunculan kelompok masyarakat tersebut berpengaruh
juga terhadap stratifikasi masyarakat. Apabila sebelumnya stratifikasi sosial
didasarkan atas kecakapan kerja, sekarang berubah menjadi kekuatan modal,
sehingga seorang perajin yang cukup berhasil akan menempati lapisan tertentu
yang lebih tinggi. Keberhasilan itu dapat diamati dari harta kekayaan yang
72 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1982. hal 134.
lxxxvii
dimiliki berupa benda-benda materi dan buruh yang dipekerjakan dalam unit
usahanya. Disamping kekuasaan ekonomis, uang juga membawa keuntungan-
keuntungan sosial lainnya. Penduduk yang memiliki kekayaan materi besar (yang
mencakup uang) dianggap menduduki posisi tinggi. Pemilikan uang tidak hanya
merupakan tolak ukur kekuasaan ekonomis, tetapi juga perlambang penguasaan
atau keterampilan.
2. Pola Hubungan Sosial
Berkembangnya pola masyarakat perajin industri rumah tangga dapat
mengakibatkan startifiklasi sosial yang terbuka. Pada sistem tersebut terdapat
peluang untuk berkembang. Pada dasarnya suatu kelas orang-orang yang
mempunyai peluang-peluang hidup yang sama dipandang dari sudut ekonomis.73
Peluang tersebut dimaksudkan sebagai kondisi hidup, pengalaman hidup dan
kesempatan untuk mendapatkan barang dan jasa, termasuk kemampuan untuk
membeli rumah, tanah dan sebagainya.
Dari uraian sebelumnya tampak bahwa terdapat beberapa aspek
mengalami perubahan, akan tetapi penyebutan secara keseluruhan dengan tepat
aspek-aspek tersebut ternyata cukup sulit. Penyebab utama adalah terletak pada
cakupan lingkup masyarakat yang memang cukup abstrak. Masyarakat adalah
kehidupan bersama manusia lain yang mempunyai banyak segi. Perubahan
masyarakat dengan demikian merupakan perubahan terhadap aspek dari pergaulan
kehidupan bersama manusia lain yang mempunyai banyak dimensi.
73 Soejono Soekanto, Op.Cit. hal 252.
lxxxviii
Bagi masyarakat meskipun terjadi beberapa aspek yang mengalami
perubahan sebagai warga desa perajin industri rumah tangga tetap menghargai dan
menjunjung tinggi adat istiadat setempat dengan menunjukkan suatu kehidupan
yang senantiasa berusaha membina kerukunan dengan semua warga desa. Rukun
menurut konsep warga desa pada dasarnya adalah menjaga stabilitas masyarakat.
Bagi masyarakat rukun bermaksud mengendalikan emosi sosial agar tercapai
kesatuan masyarakat. Kerukunan masyarakat selalu diciptakan dan dipertahankan
terus-menerus, selanjutnya rukun merupakan pranata sosial yang menyeluruh dan
segala sesuatu yang mengganggu kerukunan serta suasana ketidakselarasan dalam
masyarakat harus dicegah. Rukun bagi masyarakat desa merupakan tindakan
konkrit untuk menciptakan ketentraman warga. Tercermin dalam semboyan
’rukun agawe sentosa, kerah agawe bubrah’ dengan demikian kerukunan
merupakan akar dari persatuan.
Perwujudan sikap rukun dalam masyarakat desa tampak dalam aktifitas
gotong-royong. Jiwa dan semangat gotong-royong diartikan sebagai peranan rela
sesama warga masyarakat, siap mengandung pengertian terhadap kebutuhan
sesama warga masyarakat. Pada dasarnya gotong-royong merupakan manifestasi
solidaritas sosial, yang didasarkan kepada moralitas rasa bersatu dan
kebersamaan. Masyarakat desa terikat satu sama lain berdasarkan relasi sosial
lewat ikatan keluarga, dekatnya letak geografis, serta sering kali terdapat pula
ikatan iman kepercayaan.
Aktifitas gotong royong masyarakat perajin industri rumah tangga Desa
Dlepih antara lain tampak pada kegiatan rewang, istilah rewang berarti bantuan
kepada wara yang mempunyai hajatan atau sedang dilanda musibah kesusahan.
lxxxix
Kemudian rewang ini kebanyakan dilakukan oleh perempuan warga sekitar.
Untuk laki-laki sering disebut dengan sambatan yang mempunyai arti sama
dengan rewang yaitu bantuan. Tradisi rewang dan sambatan tersebut sudah
melekat pada masyarakat desa meskipun para pengrajin sibuk tetapi mereka tetap
meluangkan waktu setelah jam kerja untuk memberikan bantuan. Tambahan
tenaga bantuan dalam sambatan itu tidak disewa, melainkan yang diminta adalah
pertolongan pekerjaan. Kompensasinya bukan dari hasil pekerjaan, bukan upah
tetapi bantuan. Aktifitas sambatan masyarakat misalnya mendirikan rumah,
memperbaiki kandang ternak, memperbaiki jalan dan lain sebagainya.74 Aktifitas
atau kegiatan tolong menolong itu biasanya antara tetangga yang tinggal
berdekatan. Tradisi sambatan tersebut, tuan rumah menyediakan makanan,
minuman dan rokok, tetapi tidak memberi upah khusus untuk tukang dibayar atas
jasa yang telah diberikan.
Bentuk-bentuk gotong-royong yang lain tampak pada penyelenggaraan
pesta-pesta atau perayaan (khitanan, sepasaran, dan perkawinan), layatan (upacara
kematian), slametan dan sebagainya. Untuk pemuda termasuk para perajin
industri rumah tangga pada umumnya termasuk ke dalam perkumpulan
tradisional yang dikenal dengan nama sinoman. Anggota sinoman tersebut
bertugas membantu laden yang berarti melayani tamu-tamu undangan pada suatu
pesta, serta menacari pinjaman peralatan yang diperlukan misalnya piring, gelas
baki, kursi, meja, dan lain-lain. Dengan kata lain tugas pemuda desa adalah
membantu segala sesuatu yang diperlukan dari persiapan penyelenggaraan pesta
sampai selesai.
74 Wawancara dengan Wahyono perajin batu bata Desa Dlepih, tgl. 29 Mei 2009.
xc
Jiwa dan semangat gotong royong masyarakat perajin industri rumah
tangga masih tampak dalam aspek kehidupan yang senantiasa diliputi bentuk
tolong menolong. Partisipasi penuh dari masyarakat desa masih tetap ada dengan
ikut serta mengambil bagian dalam kegiatan tanpa memandang kekayaan, status
maupun pendidikan. Hal tersebut disebabkan karena masih kuatnya sosial yang
menciptakan hubungan individu-individu secara sosial ekonomi. Moralitas
tersebut mepunyai dampak jauh lebih luas jangkauannya dari pada situasi
pertukaran sosial itu sendiri, dan tanpa terkecuali membentuk dasar hubungan
sosial. Atas dasar tersebut suatu pertukaran sosial dalam suatu masyarakat desa
tidak hanya dibatasi pada pertukaran sosial yang langsung bahwa pemberi
mengharapkan akan mendapatkan sesuatu pada gilirannya nanti dari penerima.
Ada suatu keyakinan bahwa penerima akan berbuat seperti apa yang telah
dilakukan oleh pemberi. Pemberi mempunyai harapan bahwa pada suatu hari nanti
apa yang diberikan akan diterima kembali, jika bukan dia sendiri maka oleh
keluarganya. Hal ini sungguh relevan dengan apa yang disebut ”Utang Budi”
(Hutang Budi), gawe kebecikan (melakukan kebaikan), tetapi tepa selira
(tenggang rasa).
C. Pengaruh Kerajinan Industri Rumah Tangga Terhadap Kemajuan
Pembangunan Desa.
xci
Adanya kerajinan industri rumah tangga menyebabkan kondisi masyarakat
dan lingkungan desa menjadi lebih baik dari sebelumnya, meskipun ada dampak
negatif yang timbul berupa limbah industri, akan tetapi hal tersebut dapat diatasi.
Adapun peranan pengusaha kerajinan industri rumah tangga terhadap
pembangunan masyarakat desa bisa dilihat dari beberapa segi yaitu:
1. Penciptaan Lapangan Kerja
Sebelum adanya industri rumah tangga masyarakat bekerja sebagai
seorang petani, baik itu sebagai buruh tani atau penggarap dan sebagian bekerja
sebagai pengrajin lainnya. Perkembangan jaman dan menipisnya lahan pertanian
baik yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan
perumahan serta kualitas tanah yang menurun mengakibatkan pekerjaan sebagai
petani dianggap kurang menjanjikan. Keinginan untuk mendapatkan kehidupan
lebih baik mendorong warga untuk meninggalkan pekerjaan sebagai petani dan
memilih sebagai pengrajin rumah tangga yang dalam perkembangannya
menunjukkan hasil yang bagus. 75
Secara umum keberadaan kerajinan industri rumah tangga dilihat dari
sumbangannya terhadap kemajuan desa tampak menguntungkan, usaha ini secara
langsung atau tidak langsung membawa perubahan yang cukup berarti bagi
kehidupan masyarakat. Perubahan tampak adalah terbentuknya lapangan kerja
yang baru. Menurut Zainab lapangan kerja adalah semua kegiatan yang
mengahasilkan uang sebagai penopang ekonomi rumah tangga.76
75 Wawancara dengan Sukarni perajin batik Desa Dlepih tgl.29 Mei 2009. 76 Zainab Bakir dan Cris Manning, Angkatan Kerja di Indo9nesia Partisipasi Kesempatan
dan Pengangguran, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hal 29.
xcii
Hampir setiap rumah tangga di pedesaan Jawa hidup atas dasar pembagian
pekerjaan yang sangat lentur diantara rumah tangganya. Pendapatan dari setiap
rumah tangga berasal dari berbagai sumber yang selalu berubah sesuai dengan
kesempatannya terhadap musim atau terhadap pasar tenaga dari waktu luang
setiap harinya. Setiap individu yang bekerja, dalam keluarga petani selalu terlibat
pekerjaan. Masalah ketenagakerjaan pedesaan sering kali menemui kesulitan
karena kerumitannya. Pada umumnya para pekerja tersebut melakukan jenis
pekerjaan lebih dari satu, sehingga tidak dapat dipisahkan dengan tegas.77
2. Peningkatan Taraf Hidup
Industri kerajinan rumah tangga membawa pengaruh yang cukup besar
bagi perkembangan perekonomian khususnya bagi para pengusaha industri.
Dampak perkembangan ekonomi yang semakin baik dapat dilihat dalam
kehidupan sehari-hari dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan baik yang bersifat
primer maupun sekunder.
Pemenuhan kebutuhan hidup yang bersifat primer atau pokok seperti
sandang pangan dan papan serta pendidikan bagi anak-anak dirasakan mengalami
peningkatan. Mengandalkan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan sebagai
pengusaha industri rumah tangga umumnya telah dapat mencukupi kebutuhan
primer. Peningkatan pemenuhan kebutuhan dengan memiliki perusahaan
kerajianan industri rumah tangga, penghasilan yang diperoleh dapat
menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi.
Di samping memenuhi kebutuhan primer, para pengrajin dapat memenuhi
kebutuhan sekunder. Keadaan ini dapat dilihat pada masing-masing rumah
77 Peter Hegaul, Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1992) hal 43.
xciii
pengusaha terdapat berbagi barang perlengkapan rumah tangga yang mewah dan
bagus. Para pengusaha yang sukses untuk mempelancar usaha dengan
menggunakan alat transporatsi roda empat. Sarana dan prasarana transportasi
digunakan untuk mengangkat hasil kerajinan yang diantar ke konsumen.
Pengusaha yang belum memiliki kendaraan biasanya menyewa dari orang lain
untuk mempelancar pengiriman.78 Kesuksesan yang berhasil diraih oleh para
perajin industri rumah tangga tersebut tidak dapat dipisahkan dengan kegairahan
dan semangat kerja pengrajin. Perajin menganggap bahwa keuletan usaha atau
kerja keras merupakan cerminan dari seorang yang taat menjalankan agama. Hal
ini seperti yang diajarkan dalam etika Islam, yang menyatakan bahwa usaha ulet
dan kerja keras merupakan tanggung jawab kepada Tuhan.79
3. Pembangunan Sarana dan Prasarana Desa
Keberadaan industri kerajinan rumah tangga mempunyai dampak pada
pembangunan desa dengan semakin berkembang industri rumah tangga ini.
Peningkatan ekonomi yang semakin baik membawa perubahan terhadap
pembangunan desa yang berwujud fisik yaitu sarana dan prasarana desa.
Pengusaha industri kerajinan rumah tangga mempunyai peranan yang cukup besar
dalam sumbangan dana untuk pembangunan sarana dan prasarana desa seperti
pembangunan gapura Desa Dlepih, pembangunan masjid, perbaikan pos ronda,
pengecoran jalan desa,dan pembutan lapangan bola volly.
Pembangunan sarana dan prasarana desa yang semakin baik, sebagaimana
masyarakat telah merasakan manfaat dari hasil industri rumah tangga tersebut.
78 Wawancara dengan Hadi pengusaha genteng Desa Dlepih, tgl 29 Mei 2009. 79 Tufik Abdullah (editor). Agama, Etos Kerja dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta:
LP3ES, 1988) hal. 144-150.
xciv
Keberadaan industri kerajinan rumah tangga telah memberikan dampak yang
positif yaitu dapat menunjang pembangunan desa. Kemajuan desa memberikan
harapan yang cerah untuk menjadikan desa yang maju dalam pembangunan dan
kesejahteraan warga.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Industri rumah tangga di Desa Dlepih pada mulanya adalah hanya sebagai
pekerjaan sambilan saja berupa keahlian atau ketrampilan yang dimiliki sebagian
masyarakat. Industri ini dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan manusia yang
meningkatkan nilai guna dari bahan atau barang dengan menggerakan teknologi,
ketrampilan, modal, sumber-sumber kekayaan alam dan mesin.
Kondisi tanah pertanian yang semakin sempit dan pertambahan jumlah
penduduk desa, mengakibatkan sektor pertanian tidak dapat lagi mencukupi
kebutuhan hidup bagi masyarakat. Menghadapi permasalahan tersebut, sebagian
penduduk mencari pekerjan diluar sektor pertanian, menjadi perajin industri kecil.
Keyakinan terhadap penekunan perajin sebagai bidang keahlian atau profesi
membuktikan kemampuan bidang tersebut menjadi tumpuan dan harapan hidup
sebagian masyarakat desa.
Industri rumah tangga di Desa Dlepih mengalami perubahan pasca
pembangunan dan renovasi obyek wisata Kahyangan pada tahun 1993. Dengan
adanya pembangunan tersebut berdampak pada keterbukaan hubungan masyarakat
dengan para wisatawan dan pola pikir masyarakat akan hal-hal yang bersifat baru.
xcv
Maka dengan demikian dapat mengembangkan dan mengenalkan produktifitas
mutu hasil kerajinan yang ada kepada dunia luar. Produk kerajinan industri rumah
tangga Desa Dlepih terbukti diminati oleh pasar, baik pasar lokal maupun luar.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Astrid S. Susanto. 1981. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bina Cipta,
Bandung.
Bahrein T. Sagihan. 1987. Sosiologi Pedesaan Suatu Pengantar. Grafindo Persada, Jakarta.
Budiono Herusatoto. 1964. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. PT. Harindita,
Yogyakarta.
Didik J. Rachbini. 1994. Ekonomi Informal Perkotaan: Gejala Industri Gelombang Kedua; LP3ES.
Suseno Franz Magnis. 2001. Etika Jawa. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. UI Press, Jakarta.
Harsojo. 1977. Pengantar Antropologi. Bina Cipta, Bandung.
James Danandjaja. 1984. Foklor Indonesia. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka, Jakarta.
_____________. 1983. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jembatan, Jakarta.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana, Jakarta.
Mohtar Mas’oed. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta:LP3ES.
Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. PT.
Gramedia, Jakarta. Nugroho Notosusanto. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Yayasan
Indayu, Jakarta.
xcvi
Redfield, Robert. 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Rajawali, Jakarta.
Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi. Sejarah. Gramedia, Jakarta.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardji. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi.
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Solihin Salam. 1963. Sektor Wali Songo. Menara, Kudus.
Soeri Soeroto. 1980. Modernisasi dan Dinamika Pembangunan. PT. Gramedia,
Jakarta.
Radjiman. 1993. Masyarakat Kejawen Dasar dan Proses Pembentukannya. Krida,Surakarta.
Soerjono Soekanto. 1982. Kamus Sosiologi. CV. Rajawali, Jakarta.
_______________. 1984. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. CV. Rajawali, Jakarta.
_______________. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar . CV. Rajawali, Jakarta.
Taufik Abdullah. 1988. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. LP3ES,
Jakarta.
Zainab Bakir dan Cris Manning. 1984. Angkatan Kerja di Indonesia Partisipasi Kesempatan dan Pengangguran. CV. Rajawali, Jakarta.
B. ARTIKEL DAN SURAT KABAR
Priyambudi Sulistiyanto. Politik, Reformasi Ekonomi dan Demokrasisasi. Prisma. No.5. Th. XXVI. 1997.
Hendrawan Supratikno. Pengembangan Industri Kecil di Indonesia. Prisma. No. 9
Tahun 1994. Hussein M. Sawit. Kerajinan Rakyat dan Masa Depannya DAS Cimanuk. Prisma
. No. 3 Maret 1979. Bambang Purwanto, Meski Cacat, Batik Wonogiren Laris di Pasaran .Harian
Suara Merdeka tgl. 1 Juli 1993.