diskriminasi harga bbm

4
Di skriminasi Harga BBM Kurtubi*) *) Pengamat perminyakan, anggota United States Association for Energy Economics dan American Economic Association BEBERAPA minggu terakhir, di beberapa tempat, para pemilik kendaraan bermesin diesel dan nelayan mengeluh kekurangan solar. Banyak SPBU yang memasang plakat "Minyak Solar Habis", sehingga para pembeli merasa kecele. Di beberapa SPBU terlihat minyak solar diborong dengan menggunakan drum yang diangkut becak atau dialirkan dalam "drum" yang berada di sekitar tangki di kolong kendaraan. Sementara itu, secara luas diberitakan bahwa banyak kalangan industri, termasuk industri papan atas, yang biasanya membeli solar langsung dengan menebus DO dari Pertamina kini mengurangi secara drastis, bahkan menyetop sama sekali, pembelian solarnya dari Pertamina. Sementara selama ini pemasoknya Pertamina, kini beralih pada para "enterpreneurs" dadakan yang dengan jeli telah memanfaatkan kesempatan usaha yang diciptakan oleh pemerintah sendiri. Mengapa hal ini sampai terjadi? Jawabnya, dalam rangka memaksimalkan profit, perusahaan antara lain selalu berusaha meminimalkan biaya input, termasuk memilih pemasok yang mampu memberikan harga barang input yang paling rendah. Logika bisnis yang amat sederhana inilah yang saat ini diterapkan oleh berbagai kalangan industri dan pelayaran untuk tidak menebus DO BBM dari Pertamina. Pasalnya, perbedaan harga solar eks SPBU dengan harga solar yang harus dibayar oleh kalangan industri dan pelayaran dari Pertamina sangatlah besar. Kebijakan diskriminasi harga BBM yang diterapkan oleh pemerintah sekarang ini telah menimbulkan berbagai ekses negatif. Sebenarnya, secara teori, kebijakan diskriminasi harga dapat dipakai sebagai alat guna mengatur distribusi pembebanan biaya yang lebih adil kalau strata/kelompok konsumennya well- defined. Artinya, kelompok konsumen sasaran bisa secara tegas didefinisikan dan bisa dilokalisasi dalam tataran aplikasinya. Sebagai contoh, penerapan kebijakan diskriminasi harga untuk listrik oleh PLN. Kebijakan ini dimungkinkan berjalan tanpa ada ekses negatif karena sifat dari komoditi listrik yang dapat melokalisasi kelompok konsumen sasaran berdasarkan kriteria daya terpasang. Dengan demikian, kelompok konsumen dengan daya lebih

Upload: devy-kwayanti

Post on 26-Dec-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

diskriminasi harga bbm

TRANSCRIPT

Page 1: Diskriminasi Harga BBM

Di skriminasi Harga BBM

Kurtubi*) *) Pengamat perminyakan, anggota United States Association for Energy Economics dan American Economic Association BEBERAPA minggu terakhir, di beberapa tempat, para pemilik kendaraan bermesin diesel dan nelayan mengeluh kekurangan solar. Banyak SPBU yang memasang plakat "Minyak Solar Habis", sehingga para pembeli merasa kecele. Di beberapa SPBU terlihat minyak solar diborong dengan menggunakan drum yang diangkut becak atau dialirkan dalam "drum" yang berada di sekitar tangki di kolong kendaraan. Sementara itu, secara luas diberitakan bahwa banyak kalangan industri, termasuk industri papan atas, yang biasanya membeli solar langsung dengan menebus DO dari Pertamina kini mengurangi secara drastis, bahkan menyetop sama sekali, pembelian solarnya dari Pertamina. Sementara selama ini pemasoknya Pertamina, kini beralih pada para "enterpreneurs" dadakan yang dengan jeli telah memanfaatkan kesempatan usaha yang diciptakan oleh pemerintah sendiri. Mengapa hal ini sampai terjadi? Jawabnya, dalam rangka memaksimalkan profit, perusahaan antara lain selalu berusaha meminimalkan biaya input, termasuk memilih pemasok yang mampu memberikan harga barang input yang paling rendah. Logika bisnis yang amat sederhana inilah yang saat ini diterapkan oleh berbagai kalangan industri dan pelayaran untuk tidak menebus DO BBM dari Pertamina. Pasalnya, perbedaan harga solar eks SPBU dengan harga solar yang harus dibayar oleh kalangan industri dan pelayaran dari Pertamina sangatlah besar. Kebijakan diskriminasi harga BBM yang diterapkan oleh pemerintah sekarang ini telah menimbulkan berbagai ekses negatif. Sebenarnya, secara teori, kebijakan diskriminasi harga dapat dipakai sebagai alat guna mengatur distribusi pembebanan biaya yang lebih adil kalau strata/kelompok konsumennya well-defined. Artinya, kelompok konsumen sasaran bisa secara tegas didefinisikan dan bisa dilokalisasi dalam tataran aplikasinya. Sebagai contoh, penerapan kebijakan diskriminasi harga untuk listrik oleh PLN. Kebijakan ini dimungkinkan berjalan tanpa ada ekses negatif karena sifat dari komoditi listrik yang dapat melokalisasi kelompok konsumen sasaran berdasarkan kriteria daya terpasang. Dengan demikian, kelompok konsumen dengan daya lebih tinggi dapat "dipaksa" membayar tarif lebih mahal dari kelompok di bawahnya. Kebijakan ini sangat efektif untuk distribusi pembebanan biaya yang lebih adil. Lain halnya dengan konsumen BBM, karena sifat fisik dan media distribusi komoditi BBM berbeda dengan listrik. Nyaris mustahil mengontrol dan melokalisasi secara tegas, baik secara fisik maupun administratif, kelompok konsumen sasaran minyak solar untuk tidak menerima pasokan selain dari Pertamina. Selain upaya ini merupakan pekerjaan sia-sia karena bertabrakan dengan ciri alamiah bisnis untuk selalu mencari biaya input yang paling murah, juga wilayah cakupan kontrol tidak memungkinkan mengingat lokasi industri dan pelayaran tersebar di seluruh Indonesia. Kalau hendak dipaksakan, cost of control-nya menjadi sangat mahal. Dengan demikian, sekalipun tujuannya sangat baik, kebijakan diskriminasi harga untuk BBM akan sulit dipertahankan dalam jangka panjang sebagaimana halnya diskriminasi harga pada komoditi listrik. Lalu, bagaimanakah seharusnya kebijakan harga BBM kita? Karena komoditi BBM mempunyai keterkaitan yang erat dengan komoditi energi lainnya, baik sebagai barang substitusi ataupun komplementer, kebijakan harga BBM tidak bisa dilepaskan dari kebijakan harga komoditi energi lainnya. Harga jual bensin akan mempengaruhi penggunaan bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi. Harga jual solar akan mempengaruhi pemakaian gas alam, panas bumi, dan batu bara untuk tenaga listrik. Harga jual minyak tanah akan mempengaruhi pemakaian LPG, briket

Page 2: Diskriminasi Harga BBM

batu bara, dan kayu bakar untuk memasak dan industri, dan sebagainya. Padahal, cadangan minyak yang ada di perut bumi Indonesia relatif kecil dan kalau tidak ditemukan cadangan baru, akan habis sekitar 10 tahun lagi. Keadaan menjadi lebih kritis mengingat laju pemakaian BBM sangat tinggi, sehingga dalam beberapa tahun ini Indonesia pasti akan menjadi negara pengimpor minyak neto (net oil importer). Keadaan ini seyogianya menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan harga BBM nasional. Kini, yang dibutuhkan bukan kebijakan harga BBM yang bersifat parsial dan berjangka pendek, melainkan suatu kebijakan harga yang berwawasan jangka panjang, komprehensif, rasional, dan realistis dalam kerangka kebijakan energi nasional (national energy policy). Konkretnya, perlu ada sasaran dan periodisasi kebijakan harga BBM jangka panjang. Sasarannya tidak hanya sekadar menghapus subsidi yang tahun ini diperkirakan akan mencapai jumlah sekitar Rp 66 triliun, tapi harus dikaitkan dengan pengembangan energi nonminyak, sifat minyak yang non-renewable dan menghasilkan polusi kalau dikonsumsi. Untuk itu, penerapan pajak BBM (pajak bensin/solar) merupakan tujuan jangka panjang yang harus dinyatakan secara tegas di dalam blue print kebijakan harga BBM jangka panjang. Instrumen pajak BBM ini dapat merupakan alat bagi pemerintah untuk mengatur alokasi sumber daya yang paling optimal. Tentu pencapaian sasaran tersebut tidak bisa terjadi dalam seketika, mengingat situasi ekonomi dan sosial masyarakat yang masih lemah. Adalah bijaksana kalau pada tahap pertama, periodisasi kebijakan harga BBM ditujukan untuk menghapus subsidi (zero subsidy) yang dilakukan secara bertahap, maksimal, sampai saat Indonesia menjadi negara net oil importer (sekitar tahun 2003). Kemudian, pada tahap berikutnya, apabila kondisi ekonomi dan sosial sudah kondusif, barulah mulai diterapkan pajak BBM setelah harga jual sama dengan harga eceran berdasarkan harga pasar internasional sebelum kena pajak (untaxed retail pump price).

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/05/21/KL/mbm.20010521.KL79400.id.html

Page 3: Diskriminasi Harga BBM