diskursus maqashid al

Upload: abu-setyono-aufa

Post on 15-Jul-2015

193 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DISKURSUS MAQASHID AL-SYARIAH DALAM PERSPEKTIF IBNU TAIMIYA Prolog

Elastisitas, moderat, dan kesesuaian Islam dengan fitrah manusia adalah bentuk konkrit kebenaran Islam sebagai sebuah aturan universal yang bisa dipakai kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja. Syariat Islam tidak akan pernah basi sepanjang waktu dan tidak akan usam sepanjang masa. Islam adalah ajaran yang sumbernya dari Tuhan, shalih likulli zaman wa makan, karena memang sifat dan tabiat ajaran Islam yang relevan dan realistis sepanjang sejarah peradaban dunia, mulai dibukanya lembaran awal kehidupan, sampai pada episode akhir dari perjalanan panjang kehidupan ini.

Semua hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan, yang terekam dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Tuhan menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut. Oleh para ulama hal tersebut mereka istilakan dengan Maqashid al-syariah (Objektivitas Syariah).

Ketika kita berbicara tentang Maqashid, secara otomatis pikiran kita akan tertuju kepada seorang alSyatibi. Bahkan kurang pas kalau kita melupakan peran beliau sebagai pengembang dasar-dasar teori tersebut. Namun sebenarnya beliau bukanlah orang pertama yang berbicara tentang Maqashid, juga dia bukanlah satu-satunya penarik gerbong Maqashid sekaligus peletak embrionya, sebab pada abad ke tiga hijriyyah telah muncul peletak pertama terma al-Maqashid bernama Abu Abdillah Muhammad bin ali yang popular dengan panggilan al-Turmudzi al- Hakim. Dalam buah penanya as-Shalat wamaqashiduha, al-Hajj wa asraruhu, al-furuq, dan al-ubudiyya, ia mencoba menguak tujuan ritus-ritus keagamaan dengan polesan logistik. Bahkan beberapa tahun sebelum keberadaanya, para ulama sudah mempelajari dan memunculkan ide ini, meskipun pembelajaran tersebut masih dalam kapasitas kecil.

Pada sekitar tahun 478 H. misalnya Imam al-Haramain dalam kitabnya al-Burhan membagi Maqashid syariah ke dalam tiga hal, yaitu: ad-Daruriyyat , al-Haajiyyat, dan at-Tahsiniyyat. Beliau juga dianggap sebagai orang pertama yang membagi ad-Daruriyyat ke dalam lima hal: hifdz ad-din, hifdz an-nafs, hifdz al-aql, hifdz an-nasl, hifdz al-mal.

Sepeninggal Imam al-Haramain, muncul tokoh Maqashid lain, seperti Izzuddin bin Abd as-Salam pengarang kitab qawaidu al-ahkam fi masalihal-anam. Dalam kitab itu beliau menegaskan bahwa

Maqashid al-syari'ah bermuara pada pencapaian kemaslahatan dan menolak mafasid (dar'u mafasid wa jalbu al-masalih ).

Juga yang tidak kalah menarik untuk ditelusuri bahwa Imam Ibnu Taimiyah juga termasuk orang yang mengokohkan pondasi teori Maqashid dan memberi porsi banyak dalam memperkaya khasanah metodologi dan epistemologi Maqashid tersebut.

Inspirasi inilah yang kemudian mengilhami penulis merasa perlu untuk mengkaji dan menelaah teoriteori Maqashid yang dikonstruksi oleh Imam Ibnu taimiyah, dan sampai dimana teori-teori tersebut bisa berkembang dan diterima oleh kalangan ulama Ushul dan Fuqaha.

Biografi Imam Ibnu Taimiyah

Syekh Ibnu Taimiyyah adalah salah seorang ulama yang sangat populer, sehingga tidak mengherankan jika ulama-ulama sesudahnya banyak menerjemahkan biografi, prestasi, dan keberhasilan yang beliau peroleh. karena itu banyak buku-buku yang memaparkan perjalanan hidupnya, baik yang berbentuk artikel maupun yang berbentuk buku biografi. Seperti kharismatik beliau dalam pandangan para ulama, ide-ide dan pemikiran beliau yang cukup populer. Dalam makalah ini penulis akan menyebutkan sedikit tentang selayang pandang kehidupan beliau.

Ibnu Taimiyah. Nama lengkapnya adalah Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibnu Abdullah Ibnu Taimiyyah al-Harrani. Lahir di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabiu al-awwal tahun 661H. Beliau tinggal di kota ini selama enam tahun kemudian berhijrah bersama orang tua dan keluarganya ke Damaskus pada tahun 667 H. untuk menghadiri kezaliman al-Tatar.

Syekh Islam banyak di kenal dalam berbagai bidang ilmu, bahkan ulama yang tidak seide dengan beliau pun sangat mengenalnya. Hal tersebut dapat kita lihat dalam berbagai macam karangan-karangan monumental beliau, baik dalam bidang ilmu maupun bidang seni Islam, sehingga biografi dan perjalanan hidup beliau banyak di sentuh dan diketahui oleh para ulama.

Ibnu Taimiyyah pernah di penjara di Damaskus. Dalam sirat an-Nubala di ceritakan bahwa, beliau dipenjara karena fatwanya tentang ziarah Kubur. Di tempat inilah beliau mengakhiri hidupnya, yaitu pada hari senin tahun 728 H, pada usianya yang kira-kira mencapai 68 tahun.

Guru dan Murid Imam Ibnu Taimiyyah

Dari kalangan guru-guru beliau, Ibnu katsir menjelaskan, selain berguru pada ayah dan kakeknya, beliau juga berguru pada ulama-ulama yang datang luar kota. Dari pernyataan tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa Imam Ibnu Taimiyyah banyak berguru pada ulama-ulama besar diantaranya: Zainuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Abdu ad-Dayim al-Maqdisy (wafat tahun 667 H), Abd. Rahman bin Muhamad al-Maqdisy (wafat 682 H), Syaraf ad-Din Abu al-Abbas al-Maqdisy (wafat tahun 694 H), alMunjy bin Usman at-Tanukhy (wafat tahun 694 H).

Adapun dari kalangan murid-murid beliau, disini dapat disebutkan seperti: al-Hafidz Jamaluddin Abu alHajjaj al-Massyi (wafat tahun 742 H), Muhamad bin Ahmad bin Abdu al-Hadi al-Maqdisy (wafat tahun 744 H), Ibnu qayyim al-jauziyah, al-Hafidz Syamsuddin Atsahaby (wafat tahun 748 H), al-Qady Abu alAbbas al-Maqdisy (wafat 771 H). Karya-karya Imam Ibnu Taimiyah

Salah satu cara untuk mengetahui standar keilmuan seseorang dapat dilihat dari karya-karya yang dihasilkan. Sebab karya tersebut secara langsung menunjukkan kapaisitas keilmuan penulis. Melalui buku penulis melontarkan gagasan dan Ilmuanya, begitu juga dengan Imam Ibnu Taimiya kita dapat mengetahui standar keilmuan beliau dari produk-produk karya ilmiyah yang telah dia lahirkan. Diantara karya-karyanya adalah: Karangan yang diterbitkan (dicetak) diantaranya, Majmu al-Fatawa 35 adalah karangan beliau yang paling monumental, sebuah kitab yang mengupas masalah fiqh, akidah, tauhid ,dll. Dar'u taa'rud al-aqli wan-naqli

Kitab ini merupakan salah satu bukti bahwa Imam Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang ahli dalam bidanya. al-Manhaj as-sunah an-nabawiyah fi naqdy al-kalam syi'ah wa al-qadariyah kitab al-Manhaj ini merupakan salah satu bukti bahwa Ibnu Taimiyah seorang ahli hadits yang mana membahas problematika-problematika hadits. Tafsir a'yatu asykalats ala' katsirin min al-ulam. Dalam kitab ini beliau menjelaskan tentang eksistensi al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai sumber-sumber syariat.

Imam Ibnu Taimiyah dan Teori Maqashid al-Syariah

Berijtihad tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, atau sekedar merangkai bambu untuk membuat sangkar burung bagi pengrajin sangkar. Namun, disana ada syarat-syarat Ijtihad, baik berhubungan dengan materi atau pelaku ijtihad, maupun objek atau sasaran ijtihad. Syarat-syarat ini harus dipenuhi oleh seorang mujtahid yang akan melakukan aktivitas ijtihad. Sehigga, hukum yang dia telorkan dianggap sebagai produk yang dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt.

Secara global, syarat seorang mujtahid ada dua, yaitu menguasai lisan al-Arab -bahasa Arab beserta ilmu-ilmunya- dan menguasai wacana syari'at serta tujuan-tujuan disyari'atkan sebuah hukum (perintah dan larangan) yang sangat santer disebut sebagai Maqashid al-Syariah.

Pada periode generasi pertama, yaitu generasi para sahabat dan tabi in, dua syarat di atas seakan tidak dibutuhkan. Hal tersebut karena mereka adalah bangsa Arab yang masih memiliki karakteristik kearaban yang kuat dan belum berbaur dengan orang bangsa ajam (orang selain Arab;red). Sehingga, mudah bagi mereka untuk memahami sumber sumber tasyri' notabene berbasa Arab. Begitu juga dengan syarat kedua, kerap mereka tidak butuhkan sebab interaksi mereka dengan Rasul memugkinkan mereka untuk megetahui sebab-sebab dan latar belakang di turunkannya wahyu. Di samping karena kesucian hati yang turut membantu untuk mengetahui maksud-maksud disyariatkannya sebuah hukum.

Akan tetapi, setelah periode ini berakhir, datang periode berikutya yaitu periode yang sudah megalami sedikit dekadensi dan pergeseran, terutama berkaitan dengan kedua syarat ijtihad di atas. Saat ini para ulama sudah banyak berpetualang ke berbagai daerah, sehingga banyak berbaur dengan kalangan non Arab. Dari peradaban ini, sedikit banyak telah menpengaruhi watak kearaban tersebut, di samping karena eksistensi mereka yang jauh dari pada masa turunnya wahyu.

Oleh karena itu pada satu sisi, dibutuhkan kaedah-kaedah yang berkenaan dengan bahasa Arab dan pada sisi lain juga dibutuhkan yang berkenaan dengan Maqashid al-Syariah. Mengenai kaedah pertama, para ulama sudah mengkodifikasinya dalam bentuk ilmu ushul al-lugah, yang kemudian merupakan objek pembahasaan usul fiqh.

Kalau para ulama mempelajari kaidah-kaidah bahasa secara seksama, lain halnya dengan kaedah-kaedah Maqashid al-Syariah. Sebab, kaidah-kaedah ini masih belum mendapatkan porsi yang pas dalam pembelajaran dan objek perhatian mereka. Mereka hanya memberikan porsi secuil yang mereka

letakkan dalam bab analogi (qiyas), padahal kaedah-kaedah tersebut merupakan salah satu syarat ijtihad.

Demikian pula usul fiqh, ia telah kehilangan salah satu objek bahasan penting. Sampai kemudian Imam Ibnu Taimiyah pada abad ke-enam hijriyah datang untuk menutupi kekurangan yang ada, dan memperkaya bangunan kajian hukum Islam dalam teori-teori Maqashid al-Syariah.

Di bawah ini, penulis akan bercerita tentang tokoh legendaries ini, sehubungan dengan teori Maqashidnya yang merupakan inti pembahasan pada makalah ini.

A. Definisi Maqashid al-Syariah Versi Ibnu Taimiyah

1. Definisi Maqashid menurut etimologi: Sebelum mengetahui lebih lanjut definisi Maqashid menurut etimologi sebaiknya dilakukan istiqra tentang tata cara penggunaanya ke dalam bahasa Arab, dan mengetahui asal-usul kalimat tersebut, serta melihat sejauh mana kolerasinya dengan makna syara .

Maqashid berasal dari fii'l tsulasi ( ), kalimat ini seringkali dipergunakan dengan makna yang berbeda. Sebagaimana yang disebutkan pada mu'jam bahasa (lisan al-Arab): al- I'timad wa al- I'tisham Dalam kamus misbah la-munir di katakan, :

Adil dan moderat, atau tidak berpihak pada satu sisi, sebagai mana firman Allah Istiqamu al-Tariq, sebagaimana firman tuhan al-Qurbu, sebagaimana firman Tuhan dalam al-Qur'an, al-Kasr (mematahkan) sebagaimana kalau dikatakana( )

Setelah melakukan istiqra tentang bagaimana penggunaan mufradat ini dalam bahasa Arab, maka jelaslah bahwa makna asli Maqashid adalah makna yang pertama yaitu

2. Definisi menurut terminologi. Mengenai Maqashid secara terminologi, para ulama Ushul sudah memberikan beberapa definisi. Penulis hanya akan mengutarakan definisi Imam Ibnu Taimiyah mengingat jumlah ulama Ushul yang sangat besar sehingga tidak memungkinkan untuk dicover dalam tulisan ini.

Adapun persoalan yang dianggap penting untuk dipertegas disini adalah mengetahui terma-terma Ibnu Taimiyah yang sering dia gunakan dalam konteks maqashid, dimana dengan mengetahui terma-terma tersebut, kita bisa menangkap makna-makna daripada Maqashid yang dibangun oleh Ibnu Taimiyah. Selanjutnya dari terma tersebut nanti, akan membawa kita untuk mengenal teori-teori Maqashid versi Imam mujtahid Ibnu Taimiyah. Adapun dari terma-terma tersebut adalah:

1. Pada perbuatan Allah terdapat tujuan yang dicintai dan balasan yang agung. 2. Al-Hikma merupakan hasil daripada tujuan Allah dan maksud perbuatan tersebut. 3. Barangsiapa yang menginkari bahwa dalam syar'iat mencakup mashlahat dan Maqashid terhadap manusia di dunia dan di akhirat, maka hal tersebut menunjukkan kesalahan yang jelas. Hal tersebut diketahui melalui al- darurat.

Barangkat dari statment tersebut maka penulis akan mengabstraksikan pandangan-pandangan Maqashid Ibnu Taimiyah dalam beberapa point sebagai berikut: 1. Bahwa Imam Ibnu Taimiyah menggunakan kalimat al-awaqib, al-gayat, al-manaf'i, al-Maqashid, alhukm, al-masaleh, al-mahasin dengan pengertian yang sama. 2. Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Allah memiliki tujuan dan maksud yang sama pada penciptaan dan perintahnya. 3. Sesungunya ketika tujuan yang diinginkan oleh Allah secara syar'i tercapai, maka hal itu memastikan terealisasinya ubudiyyah kepadanya.

Setelah membaca terma Maqashid kemudian mengetahui pemahaman Maqashid versi Ibnu Taimiyah, maka selanjutnya kita melangkah kepada pengertian syari'at, dimana penulis akan menelusuri apakah Ibnu Taimiyah sepakat dengan ulama-ulama Ushul tentang definisi syariah, ataukah ada perbedaan mendasar dalam pengertian tersebut, yang nantinya akan berimplikasi pada produksi hukum yang berbeda.

b. Definisi Syariah Versi Ibnu Taimiyah

Dalam mendefinisikan syr'iat, Imam Ibnu Taimiyah memiliki definisi yang lebih umum dibandingkan ulama-ulama Ushul dan fuqa'ha yang lain. Akan tetapi ada sebagian ulama yang memiliki definisi yang sama dengan Imam Ibnu Taimiyah seperti halnya Abu Bakr al-A'jiri, beliau mendefinisikan syar'it sebagai segala sesuatu yang disyariatkan oleh Allah yang mencakup akidah wal-ahkam hukum- dengan dalil bahwa kalimat adalah sebagaimana firman Allah: ( Dan kalimat ( berarti ) :( sebagaimana firman Allah: ) )

Ibnu Taimiyah juga mengkritik ulama-ulama yang mengatakan bahwa syariah hanya terfokus pada hukum saja, tidak ada kaitannya dengan problem-problem akidah. Beliau mengatakan "pada realitasnya syar'iat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad meliputi kemaslahatan dunia dan ahkirat, dan syari'at adalah apa-apa yang tercantum dalam al-kitab dan al-sunnah, dan semua yang direalisasikan oleh salaf yang berkaitan dengan akidah, al-ushul, al-ibadat, politik, peradilan, pemerintahan.

Demikianlah definisi dan pemahaman sederhana al-Maqashid dan al-syariah yang bisa dilihat dalam cara berpikir Imam Ibnu Taimiyah.

C. Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap al-Dharuriyat al-Khamsa

Jika konsep Maqashid adalah akumulasi ide-ide Ushuliyyah sepanjang sejarah, maka para ulama yang datang belakangan tidak lain hanyalah mengadopsi akumulasi ide-ide tersebut. Salah satu contoh yang bisa kita ambil adalah Imam al-Ghazali, dimana konsep Ushuliyyah yang ia bangun tak lain hanyalah merupakan representasi dan resistematisasi dari konsep-konsep yang telah dikonstruksi oleh gurunya alJuwaeni.

Dalam konsep Maqashidnya, Imam Syatibi membagi mashlahat menjadi tiga bagian: pertama, adDharuriyyat yaitu hal-hal yang mesti ada dalam mencapai maslahat dunia dan agama, yang terkenal dengan ad-dharuriyyat al-khamsa -hifdsu ad-din, hifdsu an-nafs, hifdz al-aql, hifds al-nasl dan hifds almal-. Kedua, al-hujiyyat yaitu hal-hal yang diperlukan dalam mewujudkan suatu mashlahat dengan

menghadirkan kemudahan dan menghilangkan kesulitan dan kesukaran. Seperti, berbuka puasa bagi orang yang sakit, dan disyari'atkanya menjama shalat bagi seorang musafir. Dan yang ketiga adalah attahsiniyyat yang berarti hal-hal yang sesuai dengan adab, dan kebiasaan yang jauh dari perilaku buruk yang bertentangan dengan akal sehat dan etika manusia. Seperti menutup aurat dan berlebih-lebihan dalam segala hal. Tiga hal tersebut merupakan interpretasi dari maksud dan tujuan Maqashid al-syariah yang terkandung dalam teks hukum guna mewujudkan kemaslahatan ummat manusia.

Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berbeda dengan Syatibi dia menambahkan bahwa konsep ad-daruyyat bukan hanya terfokus pada lima pembahasan saja -al-kulliyah al-khams- yang merupakan trend kajian Ushuliyah klasik. Meski dianggap penting oleh Ibnu Taimiyyah, namun secara substansial konsep tersebut sudah tidak lagi memadai untuk mengawal perkembangan dinamika ijtihad kontemporer. Untuk itu Imam Ibnu Taimiyyah menambahkan nilai-nilai universal lainnya seperti: fitra, kebebasan, toleransi, egalitarisme, dan hak asasi manusia.

Konsep Imam Ibnu Taimiyyah tersebut kemudian diamini oleh beberapa ulama pada masa sekarang ini. Diantaranya adalah Syekh al-Gazali dan Ahmad al-Khumalisi. Mereka termasuk para ulama yang mengikuti jejak Ibnu Taimiyah dengan mengaktualisasikan konsep-konsep yang disusung oleh beliau.

Untuk memperkuat konsep yang dimiliki oleh Imam Ibnu Taimiyah selanjutnya kita kembali bisa melihat bahwa mayoritas ulama usul membagi mashlahat ke dalam dua sisi, maslahat duniawi dan maslahat ukhrawi, dimana mashlahat duniawi hanyalah terfokus pada ad-daruriyyat yang lima tadi. Dari sinilah, Imam Ibnu Taimiyah kemudian mengkritisi ulama-ulama ushul tentang pengkrucutan terasebut. Dan mengatakan "mayoritas ulama Ushul tidak memperhatikan secara seksama tentang al-ma'rifa yang disukai oleh Allah dan Rasulnya. Atau dengan kata lain bahwa mayoritas ulama tidak memperhatikan maslahat sebuah hukum kecuali hanya pada amsalih al-mal wa al-badan. adapun mashlahat implisit dalam qalbu dan nafsu seperti apa-apa yang bermanfaat bagi manusia berkat buah keimanan yang tinggi, serta kerugian-kerugian yang disebabkan oleh kekhilafan dan nafsu ammarah sebagaimana dalam firman Allah,

.(

28(

Tidak mendapat perhatian yang tinggi oleh ulama Ushul.

Sebelum menganalisa nalar intelektual Imam Ibnu Taimiyah dalam kajian Maqashid, hendaknya ada pendahuluan terlebih dahulu, supaya kita bisa menkolaborasikan antara Imam Ibnu Taimiyah dengan ulama yang lain dan kemudian kita dapat menarik kesimpulan dan memberikan fonis yang sesuai atas nalar intlektul tersebut.

Dalam sejarah Maqashid kita temukan bahwa ulama ushul membagi atau mengklasifikasi Maqashid dalam dua sisi yaitu: Maqashid al-dunyawi wa Maqashid al-ukhrawi. Yang mereka maksudkan dengan Maqashid ukhrawi adalah mensucikan jiwa dari hal-hal yang keji, seperti latihan pembersian jiwa dan mensuciaan moral, yang bisa membantu untuk mencapai keselematan dan kebahagiaan akhirat. Maqashid ukhrawi juga terkadang berhubungan dengan masalahmasalah dunia seperti wajibnya kaffarah dengan harta, dimana pahala orang bayar kaffarah sampai kepada orang yang membayar kaffarah tersebut.

Menurut al-Juwaeni -ulama Ushul- ibadah tersebut tidak berkaitan dengan Maqashid dan tidak pula berkaitan dengan ad-daruriyyat atau al-hajiyyat dan at-tahsiniyyat dan juga tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan daf'iyyah atau memberikan manfaat.

Dari pernyataan tersebut diatas bisa disimpulkan bahwa Imam Ibnu Taimiyah berbeda dengan kebanyakan ulama ushul yang menganggap bahwa syariah diturunkan untuk kemashlahatan manusia di dunia dan di akhirat, dimana maslahat tersebut kembali kepada manusia, tidak kembali kepada Allah. Dan menurut Imam ar-Rasi dalam kitabnya al-mahsul konsep maslahat tersebut adalah konsep yang sudah disepakati oleh para ulama ushul.

Sisi perbedaan antara Imam Ibnu Taimiyyah dengan ulama ushul bisa kita lihat pada kitab as-sahih dimana ia mengatakan "ulama salaf menggap bahwa ma'rifatullah dan mencintainya termasuk dalam bentuk maqshid lizatih, karena Allah berhak untuk disembah, dan Allah mencintai hambanya yang menuruti perintanya dan memurkai hambanya yang melaksanakan laranganya. Juga Allah menyukai hambanya yang selalu bertaubat dan benci kepada kekafiran. Semua hal tersebut mengandung hikmah yang agung dan Maqashid yang mulia.

Keberanian Ibnu Taimiyah untuk berbeda dengan para ulama ushul memang cukup beralasan. Sebagai ulama yang dianggap kontraversial, beliau berbeda dengan ulama ushul atas berbagai alasan yang bisa disebutkan sebagai berikut; Pertama, mayoritas ulama ushul terpengaruh oleh para filsuf dan ulama kalam dalam hal metodologi istimbat hukum. Sehingga mereka ulama Ushul- menganggap bahwa

Maqashid syariah hanyalah berkisar pada kemaslahan hidup manusia . Kedua, teori Maqashid mayoritas ulama ushul terbatas pada anggapan bahwa kemaslahatan hanya kembali kepada umat manusia. Ketiga, kebanyakan ulama ushul beranggapan bahwa tidak ada illat dalam ibadah akan tetapi hanya sekedar attahakkum.

D. Tujuan dan Alasan Munculnya Maqashid al-Difai versi Ibnu Taimiyyah.

Tujuan pokok dari langkah inovatif Imam Ibnu Taimiyyah, seperti yang dia kemukakan dalam karangannya adalah, agar Maqashid mempunyai kedigjayaan dalam meminilisir khilafiyah, dan menjadi nilai universal yang menjadi pijakan hukum dalam skala lintas terotorial-geografis. Adapun Maqashid aldifaiyyah, diantaranya: a. Mukhalafa al-musyrikin Hal tersebut bisa kita lihat karangan Ibnu Taimiyyah iq'tida' al-shirata al-musthakim b. Mukhalafah al-syayatin Imam Ibnu Taimiyyah juga menganggap bahwa hal ini sebagai Maqashid al-syariah. Sebagaimana sabda Rasulullah

c. Mengajak untuk berjihad di jalan Allah. Beliau melihat bahwa mengajak ke jalan Allah dan Rasulnya adalah suatu kewajiban bagi tiap-tiap muslim. Dan wajib membunuh orang yang meninggalkan syri'at Allah.

Kalau kita memperhatikan secara seksama Maqashid tersebut, maka dapat dideteksi bahwa Maqashid tersebut kembali kepada hifdz ad-din. Wa allahu wa'lam

E. Pilar Maqashid versi Imam Ibnu Taimiyah

Menajamkan dan mengfungsikan rasio merupakan sarana terciptanya kesinambungan antara wahyu dan realita. Akan tetapi disini tidak dikenal yang namanya mendewakan rasio dan menjadikannya sebagai satu-satunya sumber kebenaran, melainkan rasio harus tetap berpegang teguh pada intisari teks. Dalam mengkaji dan membahas subtansi sebuah hukum kita dituntut untuk mengetahui hikmah

dan illat serta sebab adanya sebuah teks syariat. Oleh sebab itu Imam Ibnu Taimiyyah menjadikan pembahasan illat dan al-masaleh serta al-mafsadah sebagai rpilar dari Maqashid as-syariah.

Melihat realita yang terus berkembang, maka kita dituntut untuk memahami hukum syariat secara realities dan fleksibel. Hal tersebut kemudian menjadikan syari'at sebagai jembatan yang mengantarkan manusia menuju pintu kemaslahatan dan kebahagiaan, bukan ancaman yang membelenggu, apalagi mempersulit gerak-gerik manusia.

Kalau melihat karangan-karangan Imam Ibnu Taimiyah maka kita akan menemukan peran akal sangat terbatas untuk mengetahui apakah ini maslahah atau mafsadah. Dalam hal ini ulama tentunya berbeda pendapat dalam menyikapi hal tersebut. Diantaranya as-Syatibi yang menawarkan metode penggalian Maqashid yang diandaikan dapat mengsingkronkan antara suara teks dengan maknanya, sekaligus dapat menjembatani silang pendapat antara aliran literalistik dengan subtansialistik. Metode tersebut adalah dengan memahami teks yang bermuatan perintah atau larangan secara eksplisit, melihat perintah dan larangan, mengetahui maksud Tuhan yang eksplisit-elementer maqshudal-asli sekaligus yang implisitsubsider maqshud al-tab'i dan istiqra'

Nah, pola pencarian spirit teks versi Syatibi ini secara gamblang menunjukkan bahwa peran syatibi lebih tepat disebut sebagai upaya pengukuhan bayan, bukan transformasi usul fiqhi dari teoritis ke nalar argumentatif. Sebab Syatibi sendiri secara tegas mengatakan "tidak ada peran nalar dalam Maqashid syariah", dan rasionalisme semata hanya memberikan secuil pedoman kehidupan. Hal ini disebabkan karena Syatibi berpegang teguh pada madzhab al-asyaira' ketika menegaskan

"

"

Tetapi, bagi Izzuddin bin Abdussalam, adalah keliru jika nalar tidak di jadikan piranti guna menentukan kemaslahatan. Untuk itu dia menilai bahwa konklusi-konklusi rasio dari beberapa objek penelitian, adat kebiasaan dan asumsi-asumsi yang dianggap valid punya peran besar memilah dan memilih kemaslahatan dan kerusakan duniawi. Pun tanpa menafikan jika kemaslahatan dan kerusakan ukhrawianya dapat diketahui melalui suara wahyu divine revelation.

Peran nalar semakin mendapat porsi luas di tangan Najmuddin at-Thufi. Inti teorinya adalah memberikan supremasi terhadap kemaslahatan dan menolak dikotomi antara kemaslahatan legal dan

illegal, karena menurutnya, tujuan syar'iat adalah kemaslahatan yang senantiasa harus digapai, baik didukung oleh teks-teks ilahiyyah maupun tidak.

Adapun ketika Ibnu Taimiyah menganggap bahwa nalar juga memberikan supremasi hukum yang berdiri sendiri, sebagaimana halnya as-Syara , maka ketika itu beliau mengadakan pengecualian yaitu pada batasan yang terentu dari mashlahat, diamana akal tidak mengetahui balasan ukhrawi dari pahala dan siksaan. Adapun yang memiliki otoritas untuk mengetahui semua itu tidak lain adalah teks syariat.

Nalar juga tidak berperan untuk membedakan mana yang haq dan mana yang bathil, atau al-masaleh wal-mafsadah. Akan tetapi nalar hanya bisa membedakan antara yang bermanfaat dan tidak bermanfaat pada hal-hal yang bebentuk hissiyyah. Adapun pada persoalan-persoalan yang berbentuk perbuatan, dimana perbuatan tersebut memberikan manfaat atau mudarat bagi yang melakukannya, sesunggunya akal tidak dapat mengetahui secara detail dan pasti, dan tidak ada yang bisa memberikan petujuk yang pasti kecuali dengan ar-risalah as-samawiyyah.

Konklusi:

Maqashid syariah yang dibangun oleh Ibnu Taimiyyah adalah segala bentuk hukum syariah yang disyari'atkan oleh Allah baik yang berkaitan dengan aqidah maupun yang berkaitan dengan al-ahkam Ad-dharuriyyat, al-hajiyyat, dan at-tahsiniyyat merupakan interpretasi hikmah, maksud, dan tujuan dari syariat yang di tetapkan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Dan kemudian melahirkan undang-undang hidup yang universal yang dielaborasi dari teks-teks syariat. Menjunjung tinggi Maqashid memerlukan pisau analisis yang tajam, sebab syari'at bukanlah ajaran yang terbelakang juga tidak kontekstual atau kehilangan ruh sucinya, akan tetapi dalam perjalanannya syariat akan terus sejalan kebutuhan ummat manusia dan senantiasa mampu mampu menjawab segala tantangan zaman. Pembahasan illat, maslahat dan mafasid merupakan pilar dari pada Maqashid. Nalar merupakan salah pedoman yang dijadikan mediator guna menentukan maslahat.

Referensi.

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Al-Qur'an Al-Karim Ibnu Mandzur, Lisan Al-Arab. DR. Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badawy, Maqashid Al-Syariah Inda Ibni Taimiyah. Imam Ibnu Katsir, Bidaayah Wan-Nihayah. Al-Imam As-Dsahabi, Siratun-Nubalaa. Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, Majmu' Fatawa Imam al-Syatibi, Al-Muwafaqat. Imam al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari. Imam Al-Gazali, Al-Mustashfaa. Ibnu Abd As-Salam, Qawaid Al-Ahkam.

Teori Maqashid Asy-Syariah Posted by Majelis Penulis at 20:04 on Minggu, 08 Januari 2012

Membahas tentang tujuan hukum Islam maka tidak bisa lepas dari teori dan konsep tentang maqasid alsyariah dalam Islam. Teori ini telah berkembang sejak awal turunnya wahyu, dalam arti tujuan dan maksud dari adanya syariah (agama Islam) telah menyatu dengan berbagai aturan yang ada di dalam wahyu tersebut, baik wahyu tersebut dalam bentuk Al-Qur an maupun Al-Hadits. 1. Pengertian

Secara etimologi, term Maqashid Asy-Syariah berasal dua kata yaitu kata maqashid dan al-syariah. Kata maqashid adalah kata yang berasal dari kata kerja dalam bentuk fii'l tsulasi yaitu kata , kalimat ini seringkali dipergunakan dengan makna yang berbeda. Di antara makna tersebut adalah : al- I'timad wa al- I'tisham Adil dan moderat, atau tidak berpihak pada satu sisi, sebagai mana firman Allah ta ala Istiqamu al-Tariq, sebagaimana firman Allah ta ala al-Qurbu, sebagaimana firmanNya al-Kasr (mematahkan) sebagaimana kalau dikatakan

Dari beberapa makna tersebut pengertian secara etimologi dalam pembahasan ini adalah pengertian pertama yaitu (kesengajaan atau tujuan). Sedang term syariah secara bahasa bermakna tempat keluarnya air, tempat yang dituju oleh manusia untuk mendapatkan air. Dengan kata lain juga bermakna almawaadli' allatiy yunhadaru ila al-maa' (tempat-tempat yang darinya dikucurkan air). Sedangkan kata alsyir'ah menurut bahasa Arab artinya adalah masyra'at al-maa' (sumber air), yakni maurid al-syaaribah allatiy yasyra'uhaa al-naas, fa yasyrabuuna minhaa wa yastaquuna (sumber air minum yang dibuka oleh manusia, kemudian mereka minum dari tempat itu, dan menghilangkan dahaga).[1] Al-Raaziy di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan bahwa Lafadz al-Syari'ah bermakna masyra'at al-maa' (maurid al-syaaribah: sumber air)[2]. Mahmud Syaltut mendefinisikan al Syarii'ah dengan aturan-aturan (system) yang Allah telah syariatkan, atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut, agar manusia mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara kemanusiaannya (non Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan kehidupan".[3] Pengertian ini tentu lebih ke arah pengertian secara istilah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah syari ah adalah Hukum agama yang diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara yang bertalian dengan agama Islam, palu-memalu, hakekat balasmembalas perbuatan baik (jahat) dibalas dengan baik (jahat) .[4] Dalam literature Inggris digunakan istilah Islamic Law atau Canon law of Islam ; yaitu keseluruhan dari perintah-perintah Tuhan. tiap-tiap perintah Tuhan dinamakan hukum, jama nya ahkaam. Oleh karena itu, syari at tidak dapat disamakan dengan hukum dalam dunia modern ini. Dalam al-Qur an kata syariah digunakan dalam arti agama sebagai jalan lurus yang ditetapkan Allah untuk diikuti oleh manusia agar memperoleh keselamatan . Beberapa ahli tafsir al-Qur an klasik seperti Mujahid (104 H/722 M) menafsirkan kata-kata al-syari ah dan al-syir ah sebagai agama (al-din). Namun di lain pihak terdapat pula pendapat yang membedakan syari ah dengan al-din (agama). Syari ah merujuk kepada aspek aspek hukum dari agama, sementara al-din merupakan aspek aqidah dari agama. Qatadah (118 H/736 M), ahli tafsir lainnya, dilaporkan dalam konteks penafsiran al-Maidah (5): 48 menyatakan bahwa agama (yang dibawa oleh semua Nabi) itu satu, tetapi syari ah-nya berbeda. Maksudnya adalah inti ajaran agama semua Nabi yaitu ajaran tauhid adalah sama. Yang berbeda adalah ketentuan-ketentuan hukum dalam masing-masing agama Nabi tersebut. Sejalan dengan Qatadah adalah Abu Hanifah (150 H/820 M) yang membedakan antara syari ah dan din di mana syari ah merupakan kewajiban agama yang harus dijalankan, sedangkan al din adalah pokok-pokok keimanan seperti kepercayaan kepada Allah kepada hari kiamat dan lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya kata syari ah kadang-kadang digunakan untuk merujuk kepada aspek hukum dari agama Islam dan kadang dipakai juga untuk menyebut aspek hukum dan agama itu sekaligus. Al-Asy ari (324 H/935 M) teolog terkenal secara tegas memaknai syari ah untuk merujuk pada aspek hukum dari agama Islam. Ia menyatakan bahwa masalah kasus cabang agama, seperti kewarisan, hukum halal dan halal, masalah pidana dan talak harus dikembalikan kepada syari ah yang dasarnya

adalah dalil-dalil sam i (revelasional), sedangkan masalah pokok agama dikembalikan kepada sejumlah prinsip yang didasarkan kepada dalil akal, pengalaman intuisi. Janganlah dicampuradukkan antara masalah akidah yang didasarkan kepada dalil rasional ( aqliyyah) dengan masalah cabang agama yang didasarkan kepada dalil revelasional (sam i). Pengertian yang diberikan al-Asy ari terhadap syari ah masih tetap dipakai hingga sekarang seperti dapat dilihat penggunanan frase fakultas syari ah , bank syari ah dan judul beberapa buku, serta sejumlah peraturan perundangan muslim. Berbeda dengan Asy ari, Syatibi (790 H/1388 M) mengartikan syari ah sebagai keseluruhan ketentuan agama yang mengatur tingkah laku, ucapan dan kepercayaan manusia . Pengertian ini menggambarkan syari ah dalam arti luas yang meliputi aspek hukum dan aspek doktrinal. Dari apa yang dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa terminologi syari ah dipakai dalam dua pengertian, yaitu : dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, syariah dimaksudkan keseluruhan norma agama Islam yang meliputi baik aspek doktrinal maupun aspek praktis. Dalam arti sempit syari ah merujuk pada aspek praktis dari ajaran Islam yaitu, bagian yang terdiri dari norma yang mengatur tingkah laku konkret manusia seperti ibadah, nikah, jual beli, perkara di pengadilan, penyelenggaraan negara dan lainnya. Apabila istilah hukum Islam hendak digunakan untuk menerjemahkan istilah syari ah , maka syariah yang dimaksud syari ah adalah dalam arti sempit. Maka pengertian syariat dalam term maqasid syariah adalah peraturan/hukum-hukum agama yang diwahyukan kepada nabi besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam, yaitu berupa kitab suci AlQur an, sunnah/hadist nabi yang diperbuat atau disabdakan dan yang ditakrirkan oleh beliau. Dari pemahaman kebahasaan mengenai istilah maqashid dan syariah maka dapat disimpulkan bahwa maqasid al Syariah adalah maksud dan tujuan dari syariah atau hukum Islam. Menurut 'Allal al Fasiy, maqashid al Syarih adalah : Tujuan yang dikehendaki Syara' dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh Syari' (Allah) pada setiap hukum Adapun inti dari maqashid al Syarih adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau dengan kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara. Abdullah Daraz dalam komentarnya terhadap pandangan al Syatibi menyatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemashlahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, taklif (pembebanan hukum) harus mengacu kepada terwujudnya tujuan hukum itu. Imam al Ghazali ketika membahas tentang maqashid menyinggung; wa maqshudu al syar i min al khalqi khamsatun wa hiya an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa aqlahum wa naslahum wa malahum , tujuan Allah Ta ala dalam syariatnya bagi makhluk adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka. Apa yang disampaikan al Ghazali ini memang tidak sejelas apa yang disampaikan ulama-ulama ketika ilmu maqashid syariah sudah mulai berjalan ke arah menjadi disiplin ilmu yang independen. Dalam kitabnya Maqashid al Syariah al Islamiyah, Ibnu Asyur menyatakan bahwa maqashid syariah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang dicatatkan/diperlihatkan oleh Allah Ta ala dalam semua

atau sebagian besar syariatNya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syariah atau tujuan umumnya. Dan al Raisuni menyatakan bahwa maqashid syariah adalah tujuan-tujuan yang diletakkan oleh syariah untuk diwujudkan demi kemaslahatan hamba. 2. Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah

Seperti halnya tabiat perkembangan ilmu-ilmu lain yang melewati beberapa fase mulai dari pembentukan hingga mencapai kematangannya, ilmu Maqashid Syariah pun tidak lepas dari sunnah ini. Ia tidak lahir secara tiba-tiba di dunia dan menjadi sebuah ilmu seperti saat ini, tetapi ia juga melewati fase-fase seperti di atas. Untuk lebih memudahkan dalam melihat fase perkembangan ini, maka ada dua fase dalam perkembangan ini: fase pra kodifikasi, dan fase kodifikasi. a) Fase Pra Kodifikasi Maqashid syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Qur an diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin , bahwa Allah Ta ala menurunkan syariatNya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya. Oleh karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan wahyu terputus, sementara persoalan hidup terus berkembang, dan masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi menuntut penyelesaian hukum, maka para sahabat mencoba mencari sandarannya pada ayat-ayat al Qur an maupun hadits. Jika mereka tidak menemukan nash yang sesuai dengan masalah tadi pada al Qur an maupun hadits, maka mereka akan berijtihad mencari hikmah-hikmah dan alasan dibalik ayat maupun hadits yang menerangkan tentang suatu hukum, jika mereka menemukannya maka mereka akan menggunakan alasan dan hikmah tersebut untuk menghukumi persolan baru tadi. Pada umumnya, para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam menghukumi suatu persoalan baru yang muncul, karena mereka sehari-hari telah bergaul dengan Rasulullah saw. Mereka mengetahui peristiwaperistiwa yang menjadi sebab diturunkannya sebuah ayat, mereka melihat bagaimana Nabi. menjalankan sesuatu atau meninggalkannya dalam situasi dan kondisi yang berlainan. Mereka mengerti alasan kenapa Nabi saw. lebih mengutamakan sesuatu dari pada yang lain dan seterusnya, yang hal ini semua pada akhirnya mengkristal dan melekat dalam diri mereka hingga kemudian membentuk rasa dan mempertajam intuisi serta cara berpikir mereka seuai dengan maqashid syariah. Di antara peristiwa-peristiwa baru yang muncul ketika masa sahabat dan tidak terjadi pada saat Nabi saw masih hidup antara lain; sebuah kisah tentang sahabat Umar ra. yang mendengar bahwa sahabat Hudzaifah telah menikah dengan seorang perempuan Yahudi, kemudian sahabat Umar ra meminta sahabat Hudzaifah untuk menceraikannya. Karena sahabat Hudzaifah mengetahui bahwa pernikahan dengan ahli kitab diperbolehkan, maka iapun bertanya kepada sahabat Umar ra, a haramun hiya? (apakah perempuan itu haram bagi saya?). Sahabat Umar ra. kemudian menjawab: tidak. Tapi saya kuatir ketika sahabat-sahabat lain melihat kamu menikahi perempuan Yahudi tersebut, mereka akan mengikutimu, karena pada umumya perempuan-perempuan Yahudi lebih cantik parasnya, maka hal ini

bisa menjadi fitnah bagi perempuan-perempuan muslim, serta menyebabkan munculnya free sex dan pergaulan bebas dalam masyarakat karena banyaknya perempuan muslim yang tidak laku. Contoh lain; kesepakatan para sahabat untuk melarang Abu Bakar ra bekerja dan berdagang untuk mencari nafkah bagi keluarganya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Mereka bersepakat untuk mencukupi kebutuhan hidup Khalifah serta keluarganya dari uang negara, demi kemaslahatan rakyat sehingga ia tidak sibuk memikirkan urusannya sendiri dan menterlantarkan kepentingan rakyatnya. Contoh lain lagi, suatu waktu, Umar ra menjumpai orang yang menjual dagangannya di pasar dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga umum. Maka ia kemudian mengancam orang tersebut dengan mengatakan; terserah kamu mau memilih, apakah barang daganganmu kamu naikkan seperti harga umum di pasar ini, atau kamu pergi membawa barang daganganmu dari pasar ini . Hal ini dilakukan Umar ra karena untuk menjaga stabilitas harga dan kemaslahatan umum. Dan masih banyak lagi contoh lain seperti pembukuan al Qur an, pembuatan mata uang dan sebagainya, yang mencerminkan kelekatan para sahabat dengan maqashid syariah. Begitu pula ketika masa tabi in, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh gurugurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya. Misalnya tentang masalah tas ir (penetapan harga untuk menjadi patokan umum) ketika harga kebutuhan-kebutuhan naik. Rasulullah saw. sendiri enggan menetapkan harga meskipun waktu itu harga-harga naik, dengan memberi isyarat bahwa tas ir mengandung unsur tidak rela dan pemaksaan terhadap orang untuk menjual harganya. Namun, Sa id bin al Musayyab, Rabi ah bin Abdul Rahman dan lain-lain mengeluarkan fatwa boleh tas ir dengan alasan kemaslahatan umum, serta menjelaskan alasan keengganan Rasul untuk tas ir adalah tidak adanya tuntutan yang mendesak waktu itu, karena naiknya harga-harga di masa Nabi lebih dipicu oleh perubahan kondisi alam, yaitu kemarau panjang yang terjadi waktu itu. Sementara pada masa tabi in, kenaikan harga dipicu oleh merebaknya penimbunan barang, kerakusan para pedagang, serta melemahnya kecenderungan beragama, sehingga hal ini menuntut penetapan harga umum untuk menjaga keseimbangan dan menghindari praktek penimbunan. Masih banyak contoh yang lain yang dilakukan oleh para tabiin. Sayangnya, pemahaman yang dimiliki para tabi in dalam menggunakan maqashid syariah tidak dibarengi dengan kesadaran mereka untuk membukukan ilmu ini sehingga menjadi khazanah umat berikutnya agar mudah dipelajari. 3. Fase Kodifikasi

Menurut al Raisuni; barangkali orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah al Hakim al Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya al Shalatu wa Maqasiduha. Tapi jika kita menelusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid syari ah, maka kita akan menemukannya jauh sebelum al Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwattha nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan maqashid pada masa sahabat.

Kemudian setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi i (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat populer al Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai ta lil ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah seperti hifzhu al nafs dan hifzhu al mal, yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid. Setelah Imam Syafi i, muncul al Hakim al Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad al Qaffal al Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu al Syariah, yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan diterima oleh manusia. Kemudian datang setelahnya al Syaikh al Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu al Syarai wa al Ahkam, yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang ta lilu al ahkam dari ulama-ulama Syiah, dan al Amiri (w. 381H) dalam kitabnya al I lam bi Manaqibi al Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dlaruriyyat al Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid syariah. Setelah itu datang Imam Haramain (w. 478H) dalam kitabnya al Burhan yang menyinggung tentang dlaruriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Ghazali (w. 505H) yang membahas beberapa metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqashid syariah dari dua sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al adam ( menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya). Kemudian imam al Razi (w. 606H), lalu imam al Amidi (w. 631H), dan Izzuddin bin Abd al Salam (w. 660H), kemudian al Qarafi (w. 684H), al Thufi (w. 716H), Ibnu al Taimiyyah (w. 728H), Ibnu al Qayyim al Jauziyyah (w. 751H), baru setelah itu disusul oleh imam al Syatibi. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ilmu maqashid syariah, imam Syatibi melanjutkan apa yang telah dibahas oleh ulamaulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh imam Syatibi bisa menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya al Muwafaqat dimana ia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari empat juz isi kitabnya. Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara urut dan sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga lebih mudah untuk dipelajari. Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan imam Syatibi dalam ilmu maqashid syariah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk membahas maqashid syariah ini lebih jauh, hingga Ibnu Asyur (w. 1393H) pada akhirnya mempromosikan maqashid syariah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

[1] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, hal. 175 [2] Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, hal. 161 [3] Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 12

[4] Kamus Besar bahasa Indonesia,