distress mitokondria

33
1 BAB I PENDAHULUAN Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi Human immunodeficiency virus (HIV). AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi virus HIV. 1,2,3 Secara global, pada akhir tahun 2011 sekitar 34 juta orang hidup dengan HIV. Diperkirakan 0,8% orang dewasa usia 15-49 tahun di seluruh dunia hidup dengan HIV meskipun angka ini bervariasi di setiap negara. Sub-Sahara Afrika adalah wilayah dengan prevalensi tertinggi dengan hampir 1 dari setiap 20 orang dewasa (4,9%) yang hidup dengan HIV dan merupakan 69% dari kasus HIV di seluruh dunia. 4 Di Indonesia kasus HIV & AIDS sejak pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987 hingga akhir Desember 2012 mencapai 98.390 kasus HIV dan 45.499 kasus AIDS. Di Sumatera Selatan, jumlah kasus HIV/AIDS sejak pertama kali ditemukan tahun 1995 hingga 2012 sebanyak 1199/322 kasus, dengan prevalensi 18 per 100.000 penduduk. 5 Infeksi HIV merupakan infeksi sistemik berat yang akan mendorong pada keadaan hipermetabolik. Kondisi ini akan menyebabkan gangguan stres oksidatif pada mitokondria dengan target kerusakan DNA mitokondria (mtDNA). Seperti diketahui, mitokondria memiliki dua peran dalam kehidupan sel yaitu fungsi fosforilasi oksidatif untuk menghasilkan energi dalam bentuk adenosine triphosphate (ATP) dengan produk samping yang potensial berbahaya yaitu reactive oxygen species (ROS) dan peran pada apoptosis. 6-9 Berbagai protein genom HIV juga dapat meningkatkan permeabilitas membran luar mitokondria sehingga menyebabkan terlepasnya berbagai molekul pro apoptosis yang berakhir pada kematian sel. 10,11 Sejak diperkenalkannya antiretroviral terapi (ART), harapan hidup pasien terinfeksi HIV meningkat dengan pesat. Namun, penggunaan kronis obat antiretroviral juga menyebabkan komplikasi jangka panjang dari terapi ini. Toksisitas

Upload: emys99

Post on 05-Nov-2015

52 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Toksisitas mitokondria pada infeksi hiv-aids

TRANSCRIPT

  • 1BAB I

    PENDAHULUAN

    Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

    yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi Human

    immunodeficiency virus (HIV). AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi virus

    HIV.1,2,3

    Secara global, pada akhir tahun 2011 sekitar 34 juta orang hidup dengan HIV.

    Diperkirakan 0,8% orang dewasa usia 15-49 tahun di seluruh dunia hidup dengan

    HIV meskipun angka ini bervariasi di setiap negara. Sub-Sahara Afrika adalah

    wilayah dengan prevalensi tertinggi dengan hampir 1 dari setiap 20 orang dewasa

    (4,9%) yang hidup dengan HIV dan merupakan 69% dari kasus HIV di seluruh

    dunia.4 Di Indonesia kasus HIV & AIDS sejak pertama kali ditemukan di Bali pada

    tahun 1987 hingga akhir Desember 2012 mencapai 98.390 kasus HIV dan 45.499

    kasus AIDS. Di Sumatera Selatan, jumlah kasus HIV/AIDS sejak pertama kali

    ditemukan tahun 1995 hingga 2012 sebanyak 1199/322 kasus, dengan prevalensi 18

    per 100.000 penduduk.5

    Infeksi HIV merupakan infeksi sistemik berat yang akan mendorong pada

    keadaan hipermetabolik. Kondisi ini akan menyebabkan gangguan stres oksidatif

    pada mitokondria dengan target kerusakan DNA mitokondria (mtDNA). Seperti

    diketahui, mitokondria memiliki dua peran dalam kehidupan sel yaitu fungsi

    fosforilasi oksidatif untuk menghasilkan energi dalam bentuk adenosine triphosphate

    (ATP) dengan produk samping yang potensial berbahaya yaitu reactive oxygen

    species (ROS) dan peran pada apoptosis.6-9 Berbagai protein genom HIV juga dapat

    meningkatkan permeabilitas membran luar mitokondria sehingga menyebabkan

    terlepasnya berbagai molekul pro apoptosis yang berakhir pada kematian sel.10,11

    Sejak diperkenalkannya antiretroviral terapi (ART), harapan hidup pasien

    terinfeksi HIV meningkat dengan pesat. Namun, penggunaan kronis obat

    antiretroviral juga menyebabkan komplikasi jangka panjang dari terapi ini. Toksisitas

  • 2mitokondria diakui sebagai efek samping utama dari pengobatan dengan nucleoside

    reverse transcriptase inhibitor (NRTI). NRTI merupakan terapi lini pertama dan

    sentral dalam terapi antiretroviral. Obat ini sangat efektif dalam menghambat

    replikasi HIV karena memiliki afinitas tinggi untuk enzim reverse transcriptase virus

    (polimerase DNA virus). Namun, NRTI juga dapat mengikat DNA polimerase

    manusia lainnya yaitu DNA polimerase , yang secara eksklusif bertanggung jawab

    untuk replikasi mtDNA. Toksisitas mitokondria ini menyebabkan miopati, neuropati

    perifer dan steatosis hati dengan asidosis laktat yang dapat mengancam jiwa.7,8

    Tinjauan pustaka ini akan membahas tentang toksisitas mitokondria akibat

    infeksi virus HIV maupun akibat penggunaan antiretroviral golongan NRTI. Semoga

    dapat menambah pengetahuan kita bersama.

  • 3BAB II

    HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS/

    ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME ( HIV/AIDS )

    2.1 Definisi

    AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh

    menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh HIV yang menimbulkan infeksi

    oportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi neurologis.1,8

    2.2 Struktur

    HIV merupakan suatu virus RNA bentuk sferis dengan diameter 1000

    angstrom yang termasuk dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus

    Lentivirus dengan berat molekul 9,7 kb (gambar 1).1-3,8

    Gambar 1. Struktur HIV12

    Molekul RNA dikelilingi oleh suatu kapsid berlapis dua dan suatu membran

    selubung yang mengandung protein. Komponen membran luar tersusun dari dua lapis

  • 4lipid dan terdapat glikoprotein spesifik yang terdiri atas gp120 yang mampu

    berinteraksi dengan reseptor CD4 serta koreseptor CXCR4 dan CCR5 yang terdapat

    pada sel target dan gp41 yang mendorong terjadinya fusi membran HIV dengan

    membran sel target. Glikoprotein tersebut mempunyai peranan penting dalam proses

    infeksi karena mempunyai afinitas yang besar dengan reseptor CD4 dan koreseptor

    CXCR4 dan CCR5 sel target. Bagian inti HIV tersusun dari rangkaian protein matriks

    p17, rangkaian nukleokapsid dari protein p24, protein inti terdiri atas genom RNA

    dan enzim reverse transcriptase yang dapat mengubah RNA menjadi DNA pada

    proses replikasi.2,3,8

    Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983 dan

    HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Epidemi

    HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan HIV-2 tidak terlalu

    luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang

    mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.2,3,8,13

    Gambar 2. Struktur genom HIV2,3

  • 5Genom HIV terdiri dari 2 RNA yang identik. Gen dari genom HIV ini

    berfungsi mengkode 9 protein yang esensial untuk replikasi HIV (gambar 2), yaitu :8

    1. Gag, mengkode struktur protein inti nukleokapsid

    2. Pol, mengkode enzim reverse transcriptase, protease, integrase dan

    ribonuklease

    3. Env, mengkode protein selubung virus

    4. Tat, mengkode aktivator transkripsi kuat

    5. Rev, mengkode regulator ekspresi gen struktural

    6. Nef, berfungsi sebagai promoter intrinsik pengendali apoptosis, juga

    diperlukan untuk patogenesis in vivo

    7. Vif, mengkode peningkatan infektivitas virus bebas

    8. Vpu, mengkode agar pembentukan tunas virus dan pengolahan selubung virus

    lebih efisien

    9. Vpr, mengkode aktivator transkripsi dan replikasi

    2.3 Epidemiologi

    Retrovirus sebagai penyebab AIDS dikemukakan oleh Barre-Sinoussi dkk di

    institut Pasteur pada tahun 1983, sedangkan HIV-2 pertama dilaporkan di Senegal

    Afrika Barat pada tahun 1985.8 Pada tahun 2012, 186 negara melaporkan adanya

    infeksi HIV/AIDS dari berbagai penjuru dunia.4

    Menurut UNAIDS, secara global, 34 juta orang hidup dengan HIV di akhir

    tahun 2011. Lebih dari 35 juta telah meninggal sejak awal epidemi. Diperkirakan

    0,8% orang dewasa usia 15-49 tahun di seluruh dunia hidup dengan HIV, meskipun

    angka ini bervariasi antar daerah dan negara. Sub-Sahara Afrika tetap terkena dampak

    paling parah, hampir 1 dari setiap 20 orang dewasa (4,9%) hidup dengan HIV dan

    angka ini merupakan 69% dari orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia.

    Setelah sub-Sahara Afrika, daerah yang paling terpengaruh adalah Karibia, Eropa

    Timur dan Asia Tengah, dimana 1,0% dari orang dewasa hidup dengan HIV pada

    tahun 2011.4 Di Indonesia kasus HIV & AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada

  • 6tahun 1987. Hingga akhir Desember 2012 tercatat 98.390 kasus HIV dan 45.499

    kasus AIDS. Di Sumatera Selatan, jumlah kasus HIV/AIDS sejak tahun 1995 sampai

    2012 adalah 1199/322 kasus, dengan prevalensi 18 per 100.000 penduduk.5

    2.4 Patogenesis

    HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara

    vertikal, horizontal dan transeksual. Begitu HIV masuk ke dalam tubuh manusia, 4-11

    hari setelah paparan virus ini dapat dideteksi dalam darah.8 Perjalanan infeksi HIV

    dapat dilihat pada gambar 3.

    Gambar 3. Perjalanan infeksi HIV8

    HIV mempunyai tropisme pada berbagai sel target. Terdapat berbagai sel

    target infeksi HIV terutama sel-sel yang mampu mengekspresi reseptor CD4.8,13-17

    Pada awal kejadian infeksi, interaksi antara gp120 virus dengan reseptor CD4

    akan mendorong terjadinya ikatan lebih lanjut dengan reseptor kemokin yang

    bertindak sebagai koreseptor spesifik CXCR4 atau X4 dan CCR5 atau R5 yang juga

    terdapat pada membran sel target. Spesifik karena masing-masing sel target

    mempunyai koreseptor khusus, misalnya HIV yang T-cell-tropic strains mengikat

    pada koreseptor CXCR4 (lymphocytotropic) sedangkan macrophag-tropic strains

    mengikat pada koreseptor CCR5 (monocytotropic). Oleh karena itu, CCR5 dan

    CXCR4 ikut menentukan nasib sel target. Kinerja CCR5 maupun CXCR4 dipandu

    gen pemegang kendali yang menentukan kerentanan terhadap infeksi HIV. Mutasi

    gen pengkode CCR5 dapat merupakan protektor atau resisten terhadap infeksi HIV,

    Infeksi primer Infeksi pada jaringan limfoid Viremia HIV respon imun spesifik

    Sitokin(IL1, IL6, TNF1)Aktivasi imunReplikasi HIVDestruksisistem imun

  • 7maka pada individu yang homozigot cenderung resisten terhadap infeksi, sedangkan

    yang heterozigot lebih rentan terhadap infeksi HIV.8,13-17

    Interaksi beruntun antara gp120 virus dengan reseptor CD4 dan koreseptor

    CXCR4 serta CCR5 sel target tersebut tidak begitu saja memuluskan proses

    internalisasi HIV ke dalam sel target, karena masih diperlukan peran gp41 yang

    terdapat pada selubung virus. Glikoprotein 41 pada selubung virus berperan penting

    dalam proses peleburan atau fusi membran virus dengan membran sel target, karena

    gp41 berpengaruh terhadap penyatuan kedua membran. Berikutnya seluruh

    komponen inti HIV masuk dan mengalami proses internalisasi yang ditandai dengan

    masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma.8,13-17

    Begitu internalisasi berlangsung akan disusul oleh proses transkripsi genom

    ssRNA ke double stranded DNA melalui virion RNA-dependent DNA polymerase,

    dengan bantuan enzim reverse transcriptase. DNA yang terbentuk dipolimerisasi

    menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polimerase.8,13-17

    Dari sitoplasma kemudian berintegrasi ke dalam inti sel target dengan

    menyelip ke dalam DNA sel target dengan bantuan enzim integrase terbentuk

    provirus. Transkriptase mRNA virus dari DNA proviral oleh polimerase RNA akan

    diterjemahkan kedalam urutan asam amino yang sesuai melalui proses translasi ke

    berbagai protein.8,13-17

    Prekursor protein virus diintegrasikan ke dalam membran plasma dan

    kemudian dimodifikasi secara proteolitik. Tat, menstimulasi replikasi virus. Rev-

    dependent messenger RNA menghasilkan sambungan untaian tunggal RNA (mRNA)

    melalui efek molekuler signal chaperone dari Rev yang menyampaikan pesan dari

    inti ke sitoplasma. Di dalam sitoplasma pesan tersebut diterjemahkan melalui proses

    translasi ke struktur protein, seperti Gag, Pol dan Env pada akhir replikasi. Aktivitas

    poliprotein Gag dan Pol ditentukan oleh protease yang dikode virus, sedangkan

    terjadinya lekukan poliprotein Env dikendalikan oleh protease seluler. Poliprotein

    Gag mengendalikan formasi protein utama inti (p24), protein matriks (p17) dan

    beberapa protein dengan ukuran yang lebih kecil. Protein Pol mengendalikan enzim

  • 8reverse transcriptase, integrase dan protease. Untuk maturasi virion yang imatur

    didukung poliprotein dari sitoplasma sehingga menjadi virion matur yang infeksius,

    melakukan budding pada sel membran. Siklus ini diakhiri dengan pengikatan dan

    pelepasan virus baru yang matang dan siap menginfeksi sel target lain. Dalam satu

    hari replikasi HIV dapat menghasilkan virus baru yang jumlahnya mencapai sekitar

    1-100 miliar virus.8,13-17 Secara ringkas, siklus hidup HIV di dalam sel host dapat

    dilihat pada gambar 4.

    Gambar 4. Siklus hidup HIV dalam sel host18

  • 92.5 Respon imun terhadap HIV

    Ketika HIV masuk ke dalam tubuh akan dihadapi oleh sistem imun non

    spesifik dan sistem imun spesifik. Sel dendritik (SD) merupakan sel sistem imun non

    spesifik pertama yang terinfeksi pada mukosa. ssRNA dari HIV mengaktifkan SD

    dan monosit melalui Toll-like receptor (TLR) 7 dan 8 sehingga mensekresi IFN-

    alpha, IL-6, TNF-alpha, and IL-1. Sel ini kemudian bermigrasi ke jaringan limfoid

    dan memungkinkan HIV menginfeksi sel CD4. Selama infeksi primer, jumlah dan

    fungsi SD mulai menurun. Komplemen akan berusaha memusnahkan virus melalui

    opsonisasi.8,13-17

    Gambar 5. Jumlah CD4, beban virus dan perjalanan infeksi HIV2,3

    Sel yang terpapar juga akan dimusnahkan oleh sel natural killer (NK) melalui

    sitolisis langsung maupun dengan bantuan antibody dependent cell cytotoxicity

    (ADCC). Infeksi yang tidak diobati progresif dikaitkan dengan perubahan ekspresi

    gen, hilangnya fungsi dan peningkatan apoptosis sel NK.8,13-17

    Selama infeksi akut, replikasi virus terjadi sangat cepat, menghasilkan kadar

    virus tertinggi selama infeksi. Dalam minggu-minggu pertama infeksi terjadi deplesi

  • 10

    masif sel T dalam mukosa usus. Hal ini diikuti dengan hilangnya sel CD4 dalam

    darah perifer secara progresif yang merupakan ciri khas penyakit ini (gambar 5).

    Sebelum terjadi penurunan jumlah, terjadi abnormalitas fungsi sel CD4 seperti

    berkurangnya respon proliferasi, penurunan produksi IL-2, penurunan ekspresi IL-2

    reseptor (CD 25) dan molekul kostimulator CD 28. Mekanisme disfungsi ini belum

    diketahui dengan jelas, diduga adanya induksi anergi sel T akibat tingginya kadar

    antigen, apoptosis yang diinduksi antigen, gangguan presentasi antigen maupun

    variasi sekuensial virus pada epitop CD4. 8,13-17

    Gambar 6. Respon imun terhadap HIV8

    Berbagai riset terakhir menunjukkan peran sel CD8 dalam infeksi HIV.

    Peran sel CD8 adalah melisis sel yang terinfeksi virus dengan mengeluarkan perforin.

    Telah diketahui bahwa masa hidup CD8 spesifik HIV lebih pendek dibandingkan

    CD8 spesifik virus lainnya. Hal ini mungkin dikaitkan dengan meningkatnya

    apoptosis selama infeksi HIV.19

    Respon antibodi pada HIV dapat muncul dalam satu bulan setelah infeksi

    awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi dalam 6 bulan setelah pajanan.

    Namun, antibodi HIV tidak menetralisasi HIV atau menimbulkan perlindungan

  • 11

    terhadap infeksi lebih lanjut. Ditemukan antibodi netralisasi terhadap gp120 dan

    gp41. Deteksi antibodi digunakan sebagai dasar uji HIV misalnya ELISA. Di dalam

    darah dijumpai imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi

    seiring menurunnya titer IgM, titer IgG tetap tinggi sepanjang infeksi.8,13-17

    Salah satu paradoks infeksi HIV adalah virus ini memicu respon imun yang

    luas namun tidak sepenuhnya melindungi tubuh dari replikasi virus yang sedang

    berlangsung. Disfungsi imun ini mungkin karena HIV menginfeksi sel-sel sistem

    imun itu sendiri, seperti sel-sel CD4, makrofag dan sel dendritik. Infeksi kronis

    menyebabkan aktivasi umum sistem kekebalan tubuh, yang menghasilkan

    peningkatan ekspresi sitokin pro inflamasi (TNF , IL-6, IL1), redistribusi

    subpopulasi limfosit, peningkatan turn over sel, disfungsi seluler dan apoptosis.8,13-17

    2.6 Diagnosis

    Menurut WHO, manifestasi klinis penderita HIV/AIDS dewasa dibagi

    menjadi empat stadium, seperti terlihat pada tabel 1. Diagnosis ditegakkan

    berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium. Untuk menentukan

    adanya infeksi HIV sebelum menjadi AIDS tidak mudah karena individu yang

    terpapar masih asimptomatis, yang secara klinis tentunya tidak mudah dikenali.

    Meskipun demikian perlu dipahami adanya berbagai faktor resiko. Ada 2 kelompok

    risiko terinfeksi HIV yaitu risiko tinggi dan risiko rendah. Termasuk kelompok risiko

    tinggi adalah homoseksual, laki-laki dengan biseksual, heteroseksual dengan

    berganti-ganti pasangan, pengguna narkoba intravena dengan jarum suntik yang

    dipakai bergantian, bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV dan tidak mendapat

    terapi antiretroviral, resipien donor darah maupun komponen darah tanpa tes

    penapisan terhadap HIV. Termasuk kelompok risiko rendah adalah petugas kesehatan

    termasuk dokter, dokter gigi, perawat dan petugas laboratorium.8,13-17

  • 12

    Tabel 1. Manifestasi klinis penderita HIV/AIDS dewasa20

    Stadium Gambaran KlinisInfeksi primer Asimptomatik

    Sindrom retroviral akutStadium klinis I Asimptomatik

    Limfadenopati generalisataStadium klinis II Berat badan menurun < 10%

    ISPA berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, and faringitis)Herpes zooster dalam 5 tahun terakhirLuka di sekitar bibir (angular cheilitis)Ulkus mulut berulangDermatitis seboroikRuam kulit yang gatal (papular pruritic eruptions)Infeksi jamur kuku

    Stadium klinisIII

    Berat badan menurun > 10%Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulanDemam yang berkepanjangan lebih dari 1 bulanKandidiasis orofaringealOral hairy leukoplakiaTB paru dalam tahun terakhirInfeksi bakterial yang berat (pneumonia, piomiositis dll)Ulserasi nekrotikan akut stomatitis, gingivitis atau periodontitisAnemia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya (Hb

  • 13

    Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium

    mulai dari uji penapisan dengan penentuan adanya antibodi anti-HIV misalnya

    dengan ELISA yang kemudian dilanjutkan dengan uji kepastian dengan pemeriksaan

    yang lebih spesifik yaitu uji Western blot. Uji Western blot lebih spesifik karena

    mampu mendeteksi komponen-komponen yang terkandung pada HIV antara lain gp

    120, gp41, p17, p18, p24, p31, p36. Di Indonesia mengingat uji Western blot belum

    merata dilakukan secara rutin, maka dianjurkan pemeriksaan laboratorium dengan

    tiga metode yang berbeda. Dikatakan terinfeksi HIV apabila ketiga pemeriksaan

    laboratorium dari metode yang berbeda-beda tersebut semuanya menunjukkan hasil

    reaktif. Tes diagnostik HIV terlihat pada tabel 2.8,13-17

    Tabel 2. Tes diagnostik untuk infeksi HIV8

    SkriningEnzyme-linked immunoassay (EIA, ELISA) untuk HIV-1, HIV-2, atau keduanyaAglutinasi latek untuk HIV-1

    KonfirmasiWestern blot (WB) untuk HIV-1 dan HIV-2Indirect immunofluorescence antibody assay (IFA) untuk HIV-1Radioimmunoprecipitation antibody assay (RIPA) untuk HIV-1

    Lain-lainELISA untuk HIV-1 p24 antigenPolymerase chain reaction (PCR) untuk HIV-1

    2.7 Penatalaksanaan

    Strategi penatalaksanaan dan pengendalian progresivitas HIV ke AIDS

    dilakukan melalui :8

    1. Terapi antiretroviral (ART)

    2. Terapi infeksi oportunistik serta malignansi

    3. Dukungan nutrisi berbasis makronutrien dan mikronutrien

    4. Konseling terhadap penderita maupun keluarganya

    5. Membudayakan pola hidup sehat

  • 14

    2.7.1 Terapi antiretroviral

    Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4

    (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis HIV. Rekomendasi memulai ARV pada

    penderita dewasa dapat dilihat pada tabel 3.

    Tabel 3. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa21

    Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 RekomendasiODHA dewasa Stadium klinis 1 dan 2 > 350 sel/mm3 Belum mulai terapi.

    Monitor gejala klinisdan jumlah sel CD4setiap 6-12 bulan

    < 350 sel/mm3 Mulai terapiStadium klinis 3 dan 4 Berapapun jumlah sel

    CD4Mulai terapi

    Pasien dengan ko-infeksi TB

    Apapun stadium klinis Berapapun jumlah selCD4

    Mulai terapi

    Pasien dengan ko-infeksi Hepatitis BKronik aktif

    Apapun stadium klinis Berapapun jumlah selCD4

    Mulai terapi

    Wanita Hamil Apapun stadium klinis Berapapun jumlah selCD4

    Mulai terapi

    Tujuan terapi antiretroviral :8,21

    - Menurunkan angka kesakitan akibat HIV dan menurunkan kematian akibat

    AIDS

    - Memperbaiki kualitas hidup, skor Karnofsky mendekati 100

    - Mempertahankan dan mengembalikan status imun ke fungsi normal, dengan

    CD4 diatas 500

    - Menekan replikasi virus serendah mungkin sehingga kadar kalam plasma < 50

    kopi/ml

    Obat-obat antiretroviral yang tersedia saat ini dapat dilihat pada tabel 4. Setiap

    golongan antiretroviral tersebut bekerja pada siklus hidup tertentu virus HIV (gambar

    7).

  • 15

    Tabel 4. Klasifikasi ARV22

    Klasifikasi Nama Obat (singkatan)Nucleoside and nucleotidereverse transcriptase inhibitor(NRTI)

    Abacavir (ABC)Didanosine (ddI)Emtricitabine (FTC)Lamivudine (3TC)Stavudine (d4T)Tenofovir (TDF)Zalcitabine (ddC)Zidovudine (ZDV, AZT)

    Non-nucleoside reversetranscriptase inhibitor (NNRTI)

    Delavirdine (DLV)Efavirenz (EFV)Nevirapine (NVP)Rilpivirine (RPV)

    Protease inhibitor (PI) Amprenavir (APV)Atazanavir (ATV)Darunavir (DRV)Fosamprenavir (FPV)Indinavir (IDV)Lopinavir/ritonavir (LPV/r)Nelfinavir (NFV)Ritonavir (RTV)Saquinavir (SQV)Tipranavir (TPV)

    Fusion inhibitor Enfuvirtide (T-20)Integrase inhibitor Raltegravir (RAL)CCR5 antagonist Maraviroc (MVC)Fixed dose combination Zidovudine + Lamivudine

    Zidovudine + Lamivudine + AbacavirLamivudine + AbacavirEmtricitabine + TenofovirEmtricitabine + Tenofovir + Efavirenz

    Terapi sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi tiga obat dan dipantausecara ketat untuk mengevaluasi kemajuan terapi, munculnya efek samping sertakemungkinan timbulnya resistensi. Rejimen pengobatan terdiri dari base danbackbone. Yang digunakan sebagai base adalah baik NNRTI atau PI. Backbone

  • 16

    biasanya terdiri dari dua NRTI. Panduan untuk terapi lini pertama di Indonesiaadalah dua golongan NRTI dan satu golongan NNRTI.21

    Gambar 7. Siklus hidup HIV dan intervensi antiretroviral23

  • 17

    BAB III

    TOKSISITAS MITOKONDRIA PADA INFEKSI HIV/AIDS

    3.1 Mitokondria

    3.1.1 Struktur mitokondria

    Mitokondria merupakan organel berupa kantung yang diselaputi oleh dua

    membran, yaitu membran luar (outer membrane) dan membran dalam (inner

    membrane). Mitokondria memiliki dua kompartemen yaitu matriks dan ruang antar

    membran. Membran luar permeabel terhadap ion atau molekul kecil sedangkan

    membran dalam bersifat impermeabel. Pada membran dalam terdapat kompleks

    protein rantai respirasi, ATP sintase dan transporter membran. Ruang matriks

    mengandung enzim, ribosom, DNA mitokondria, dimana sebagian besar reaksi

    metabolisme berlangsung (Gambar 8).24-26

    Gambar 8. Struktur Mitokondria26

  • 18

    Membran dalam dan matriks mitokondria terkait erat dengan aktivitas utama

    mitokondria yang terlibat dalam siklus asam trikarboksilat (siklus TCA), oksidasi

    asam lemak dan pembentukan energi. Proporsi kandungan protein pada membran

    dalam (sekitar 21% dari total protein mitokondria). Berdasarkan fungsinya protein

    membran dalam dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu (1) protein yang telibat

    dalam reaksi oksidasi pada proses respirasi, (2) protein enzim ATP sintase yang

    berfungsi membentuk ATP pada matriks mitokondria dan (3) protein transpor yang

    mengatur lalu lintas metabolit keluar masuk matriks mitokondria melewati membran

    dalam.24,25

    Membran dalam memiliki struktur molekul, melipat kedalam ke bagian

    matriks mitokondria, dikenal sebagai krista. Struktur molekul-molekul ini sangat

    membantu dalam meningkatkan luas permukaan membran dalam sehingga

    meningkatkan kemampuannya dalam memproduksi ATP. Pada sel hati misalnya,

    proporsi membran dalam mitokondria mencapai sepertiga dari total membran sel.

    Jumlah krista juga bervariasi tergantung jenis sel. Jumlah krista mitokondria sel otot

    jantung misalnya mencapai tiga kali jumlah krista mitokondria sel hati. Hal ini diduga

    terkait dengan tingginya kebutuhan ATP pada sel otot jantung. Struktur krista yang

    melekuk ke bagian matriks juga membantu mempercepat komponen matriks

    mencapai membran dalam.24,25

    Sebagian besar (sekitar 67%) protein mitokondria dijumpai pada bagian

    matriks. Pada matriks terdapat campuran ratusan jenis enzim dengan konsentrasi

    sangat tinggi. Enzim-enzim ini dibutuhkan untuk proses oksidasi piruvat, oksidasi

    asam lemak dan menjalankan siklus asam trikarboksilat. Matriks mitokondria juga

    mengandung sejumlah salinan identik DNA genom mitokondria. Selain itu, pada

    matriks juga terdapat ribosom mitokondria, tRNA dan berbagai jenis enzim yang

    diperlukan untuk ekspresi gen mitokondria.24,25

    Mitochondrial permeability transition pore (MPTP) merupakan kompleks

    multiprotein yang mampu membentuk porus atau lubang yang non selektif pada

    membran dalam mitokondria. Pada keadaan fisiologis, membran dalam mitokondria

  • 19

    impermeabel terhadap metabolit maupun ion-ion. Tetapi pada keadaan stres MPTP

    akan membuka. Apabila porus ini membuka maka akan menimbulkan kegoncangan

    homeostasis di dalam sel maupun di membran dalam mitokondria yang berakibat

    kerusakan sel yang reversibel maupun yang ireversibel.25-27

    Jumlah mitokondria di dalam sel bervariasi dari beberapa hingga ribuan dalam

    satu sel tergantung dari jumlah kebutuhan sel akan energi. Sel dengan kebutuhan

    energi yang besar mengandung banyak mitokondria.25

    3.1.2 Fungsi mitokondria

    Fungsi utama mitokondria adalah memproduksi energi kimia dalam bentuk

    ATP. Energi yang dihasilkan ini digunakan sel untuk homeostasis, regulasi,

    pembelahan, motilitas dan apoptosis. Secara garis besar, reaksi pembentukan ATP

    yang berlangsung di mitokondria dibagi menjadi tiga tahap :24,25

    1. Reaksi oksidasi piruvat (asam lemak) menjadi CO2. Reaksi ini terkait dengan

    reduksi NAD+ dan FAD menjadi NADH dan FADH2. Reaksi-reaksi ini

    berlangsung di ruang matriks mitokondria.

    2. Transfer elektron dari NADH dan FADH2 ke O2. Rentetan reaksi ini

    berlangsung pada membran dalam dan terkait dengan pembentukan proton

    motive force atau gradien elektokimia lintas membran dalam mitokondria.

    3. Pemanfaatan energi yang tersimpan dalam bentuk gradien elektrokimia untuk

    memproduksi ATP. Reaksi ini dikatalis oleh kompleks enzim F0-F1 ATP

    sintase yang berlokasi pada membran dalam.

    Mitokondria bertanggungjawab terhadap berbagai rantai reaksi metabolisme

    intermedia penting seperti siklus krebs, siklus urea dan biosintesis asam lemak

    (gambar 9).

    3.1.2.1 Rantai respirasi

    Rantai respirasi tersusun atas empat kompleks enzim multipeptida : kompleks

    I (NADH-ubikuinon reduktase); kompleks II (suksinat-ubikuinon reduktase);

  • 20

    kompleks III (ubikuinol-sitokrom c oksidoreduktase) dan kompleks IV (sitokrom

    oksidase) dan dua karier elektron yang bebas bergerak: ubikuionon dan sitokrom c.

    Bersama dengan kompleks kelima yaitu ATP sintase (kompleks V) mereka menyusun

    sistem fosforilasi oksidatif. Semua kompleks ini berada pada membran dalam dan

    mereka bisa dicapai oleh substrat baik yang berada pada membran maupun yang

    berada pada matriks.24,25

    Gambar 9. Reaksi metabolik pada mitokondria27

    3.1.3 Genom mitokondria

    Selain genom yang terletak di inti, manusia memiliki DNA di luar inti yang

    terdapat dalam mitokondria (gambar 10). DNA mitokondria (mtDNA) berbentuk

    lingkaran heliks tertutup yang terdapat di dalam matrik, urutan nukleotidanya telah

    diketahui secara lengkap dan dapat diakses melalui GenBank Accesion: M63933.

  • 21

    MtDNA mempunyai 2 untai yaitu untai Heavy (H) yang kaya dengan guanin dan

    untai Light (L) yang kaya dengan sitosin. MtDNA merupakan DNA yang padat gen

    dan hampir tidak mempunyai intron, berukuran sebesar 16.569 pasang basa (bp) yang

    membentuk 37 gen. Untai H menyandi 13 polipeptida untuk protein kompleks rantai

    respirasi, 22 tRNA dan 2 rRNA (12S dan 16S) yang berfungsi dalam proses sintesis

    protein mitokondria. Ketiga belas polipeptida meliputi tujuh subunit (ND1, 2, 3, 4,

    4L, 5 dan 6) dari kompleks I rantai respirasi, satu subunit (apositokrom b) dari

    kompleks III, tiga sub unit (CO I, II, III) dari kompleks IV dan dua sub unit (ATP ase

    6 dan ATP ase 8) dari kompleks V.28,29

    Gambar 10. Genom mitokondria manusia26

    DNA mitokondria diwariskan secara maternal dan memiliki sifat unik yaitu

    laju mutasinya yang sangat tinggi sekitar 10-17 kali DNA inti. Hal ini dikarenakan

    mtDNA tidak memiliki mekanisme reparasi yang efisien, tidak memiliki protein

    histon dan terletak berdekatan dengan membran dalam mitokondria tempat

    berlangsungnya reaksi fosforilasi oksidatif yang menghasilkan radikal bebas sebagai

    produk samping. DNA polimerase yang dimiliki oleh mitokondria adalah DNA

    polimerase yang tidak mempunyai aktivitas proofreading (suatu proses perbaikan

  • 22

    dan pengakuratan dalam replikasi DNA). Tidak adanya aktivitas ini menyebabkan

    mtDNA tidak memiliki sistem perbaikan yang dapat menghilangkan kesalahan

    replikasi. Replikasi mtDNA yang tidak akurat ini akan menyebabkan mutasi mudah

    terjadi.28,29

    3.2 Peran mitokondria pada apoptosis

    Mitokondria bukan saja penting bagi kehidupan sel yaitu sebagai penghasil

    energi, tetapi juga penting bagi kematian sel itu sendiri. Mitokondria turut

    menentukan apakah sebuah sel sudah saatnya memasuki proses kematian baik secara

    nekrosis maupun melalui apoptosis. Dalam memicu apoptosis mitokondria

    melepaskan sitokrom C. Selain itu, mitokondria juga diketahui berperan dalam

    homeostasis ion kalsium.24-29

    Apoptosis atau kematian sel terprogram adalah serangkaian proses yang

    sangat terkoordinasi dan terkontrol ketat dimana terjadi pengikatan ligan kepada

    reseptor (kematian) spesifik atau aksi sitotoksik yang menyebabkan aktivasi beberapa

    protease dan enzim-enzim hidrolitik lain, sehingga terjadi proteolisis, fragmentasi

    DNA, dan kondensasi kromatin. Apoptosis dapat dimulai baik melalui jalur ekstrinsik

    maupun intrinsik tergantung pada stimulusnya (gambar 11). Sinyal ekstrinsik

    (sitokin TNF , fas ligan, glukokortikoid) berikatan dengan reseptor mereka dan

    memicu pensinyalan intraselular yang menyebabkan aktivasi caspase-8. Jalur TNF

    dan fas ligan dapat menimbulkan apoptosis maupun kelangsungan hidup sel

    bergantung kepada jalur pensinyalan intraselular apa yang mereka induksi dan

    keseimbangan berkaitan dengan aktivasi faktor nuklear-kB.9,29

    Pada jalur apotosis intrinsik sinyal proapoptosis (seperti famili protein pro-

    apoptosis Bcl-2, Bax dan Bak) bertranslokasi ke mitokondria, menyebabkan

    peningkatan permeabilitas membran mitokondria. Hal ini akan menyediakan rute

    bagi pelepasan Endo G dan Smac/DIABLO (second mitochondria-derived activator

    of caspase/ direct IAP binding protein with a low pI) ke dalam sitosol. Setelah

    berada dalam sitosol, sitokrom c membantu formasi apoptosom, suatu platform

  • 23

    molekuler untuk aktivasi caspase-9. Apoptosom juga termasuk apoptosis protease

    activating factor 1 (APAF-1) dan ATP/ d ATP. Pada gilirannya, caspase-9 yang aktif

    mengkatalisasi aktivasi proteolitik dari efektor caspase. Hal ini berlanjut kepada

    ekspresi dari dua fenotip kunci apoptosis, yaitu paparan fosfatidilserin (PS) pada

    permukaan luar dari membran plasma dan fragmentasi serta degradasi DNA. Studi

    terbaru menunjukkan bahwa caspase 3 mungkin juga berperan untuk

    melipatgandakan sinyal kematian awal dengan membantu meningkatkan pelepasan

    sitokrom c lebih lanjut dari mitokondria. Smac/DIABLO memicu apoptosis secara

    tidak langsung dengan berikatan dan mengantagonis anggota dari inhibitor apoptosis

    protein (IAP). Di sisi lain, AIF dan Endo G bertranslokasi dari sitosol ke

    kompartemen nuklear, menyebabkan suatu fragmentasi DNA dan kondensasi

    kromatin.9,29

    Mekanisme tentang bagaimana protein ruang intermembran dilepaskan dari

    mitokondria masih kontroversial. Secara umum, ada dua mekanisme telah dijelaskan,

    terjadinya salah satu mekanisme mungkin bergantung pada sifat stimulus apoptosis.

    Pada mekanisme pertama, MPTP terbuka di sisi membran dalam, menyebabkan air

    pada molekul-molekul berukuran sampai 1,5 kDa melewatinya. Pembukaan MPTP

    menghasilkan suatu keseimbangan ion-ion yang melewati membran dalam

    mitokondria dengan hilangnya potensial transmembran mitokondria () dan

    pembengkakan matriks karena masuknya air. Masuknya air ini akan menyebabkan

    pembengkakan yang cukup untuk merobek membran luar. Bagian membran

    mitokondria yang pecah akan mengeluarkan molekul proapoptotik termasuk sitokrom

    c, Smac/Diablo, apoptotic induced factor (AIF) yang mempercepat kematian sel

    melalui jalur caspase. MPTP yang terbuka akan menyebabkan terhentinya sintesis

    ATP disertai meningkatnya penggunaan ATP untuk mengembalikan gradien proton.

    Pada keadaan ini MPTP merubah fungsi mitokondria dari produsen ATP menjadi

    pengguna ATP, sehingga sel kekurangan ATP dan akhirnya mati. Terbukanya MPTP

    dipengaruhi oleh kalsium, status redoks, voltase dan pH. Pada keadaan fisiologis,

  • 24

    kalsium dan status redoks merupakan faktor yang penting untuk pembukaan

    MPTP.9,29

    Mekanisme kedua dimediasi oleh anggota famili Bcl-2 yang bekerja langsung

    pada membran luar mitokondria. Pada proses ini oligomerisasi dari anggota famili

    pro-opoptotik Bcl-2 Bax dan Bak memainkan peran esensial dalam permeabilisasi

    membran luar mitokondria. Translokasi Bax/Bak ke mitokondria menyebabkan

    pembentukan ROS dan oksidasi kardiolipin (CL) di dalam mitokondria. Pada sel

    yang mengalami double knock out Bax/Bak, produksi ROS dan oksidasi CL-nya

    berkurang. Sel-sel ini, bukan sel yang hanya kekurangan salah satu dari protein ini,

    diketahui menjadi lebih resisten terhadap berbagai stimulus apoptosis termasuk

    oksidan yang beroperasi melalui jalur mitokondria. Terlepas dari mekanismenya,

    permeabilisasi membran luar mitokondria dianggap sebagai titik ireversibel pada

    apoptosis karena pelepasan dari aktivator caspase seperti sitokrom c.9,29

    Gambar 11. Jalur ekstrinsik dan intrinsik apoptosis29

  • 25

    Mitokondria tampaknya terlibat pada jalur apoptosis intrinsik dan ekstrinsik.

    Jalur apoptosis intrinsik adalah jalur yang dependen mitokondria, sel-sel menjalani

    kematian terprogram via jalur ekstrinsik dapat diklasifikasikan sebagai tipe I atau II

    tergantung apakah mitokondria terlibat atau tidak. Pada sel-sel tipe I, eksekusi

    apoptosis terjadi tanpa peran signifikan dari mitokondria. Kematian sel macam ini

    mungkin berperan penting bagi remodeling jaringan developmental. Pada sel-sel tipe

    II, mitokondria terlibat dalam eksekusi apoptosis sebagai lingkaran (loop) kedua.

    Pada beberapa sistem yang dimediasi reseptor kematian membran, aktivasi caspase-8

    oleh stimulus eksternal (seperti TNF- dan Fas ligan) melibatkan pensinyalan yang

    dependen-mitokondria dan menghasilkan pembelahan famili protein proapoptosis

    Bcl-2, yaitu Bid menjadi t-Bid. Translokasi dari T-Bid ke mitokondria dipercaya

    sebagai salah satu sinyal yang memicu rangkaian kejadian di mitokondria selama

    apoptosis.9,29

    3.3 Toksisitas mitokondria akibat infeksi HIV

    Toksisitas mitokondria adalah kerusakan yang menyebabkan berkurangnya

    jumlah mitokondria. Bila jumlah mitokondria dalam sel terlalu sedikit, sel tersebut

    dapat berhenti bekerja sebagaimana mestinya.7

    Infeksi HIV merupakan infeksi sistemik berat, berpengaruh luas terhadap

    imunitas dan mendorong tubuh pada kondisi hipermetabolik. Kondisi ini menuntut

    penyediaan energi dalam jumlah berlebih. Untuk itu tubuh akan memacu

    mitokondria untuk menyediakan ATP dalam jumlah besar guna memenuhi tuntutan

    tubuh tersebut. Beban mitokondria akan semakin berat dengan hadirnya

    mikroorganisme selain HIV sebagai penyebab infeksi oportunistik. ATP harus

    semakin banyak lagi yang disediakan. Produk samping ATP adalah terbentuknya

    reactive oxygen species (ROS), meskipun semula hanya 1-2% dari produk ATP tetapi

    akibat akumulasi lama-kelamaan kadarnya semakin meningkat. Peningkatan kadar

    ROS tersebut bukan semata akibat peningkatan produksi saja tetapi juga akibat

  • 26

    menurunnya kemampuan eliminasi oleh scavenger enzyme (Superoxide dismutase

    [SOD], katalase, Gluthation peroxidase [Gpx]) dari hepatosit. Dampak hiperaktivitas

    mitokondria tersebut dapat menyebabkan mitokondria jatuh ke kondisi exhausted.7-

    9,29

    Beberapa tahun terakhir banyak penelitian dilakukan untuk melihat efek

    komponen protein HIV terhadap fungsi mitokondria. Terdapat hasil penelitian yang

    menyatakan HIV dapat mengganggu fungsi kompleks I dari rantai respirasi

    sementara kemampuan HIV untuk menurunkan jumlah mtDNA masih dalam

    perdebatan.7,9

    Gambar 12. Mekanisme toksisitas mitokondria pada sel29

    Beberapa penulis melaporkan deplesi mtDNA pada pasien HIV yang belum

    pernah mendapat ARV dibandingkan dengan kontrol, setidaknya di peripheral

    blood mononuclear cell (PBMC), menunjukkan bahwa penurunan mtDNA dapat

    terjadi pada pasien ARV naive dan mendahului penggunaan NRTI dan bahwa produk

    HIV atau sitokin yang dilepaskan sebagai respon terhadap infeksi HIV (TNF )

    mungkin membuat mitokondria lebih rentan terhadap NRTI (gambar 12).7,9,30

  • 27

    Gambar 13. Mekanisme molekuler stres oksidatif yang diinduksi HIV31

    Sejumlah besar penelitian selama dua dekade terakhir telah menunjukkan

    bahwa selama infeksi HIV, apoptosis adalah salah satu mekanisme utama deplesi

    CD4. Dalam menanggapi berbagai rangsangan berbeda, baik CD4 + dan CD8 + dari

    pasien HIV menunjukkan kerentanan yang tinggi, gangguan potensial membran

    mitokondria (m) dan selanjutnya apoptosis. Kecenderungan seperti ini juga dapat

    diamati pada fase awal infeksi (pada pasien dengan infeksi akut) dimana kemampuan

    HIV untuk mengubah m dan menginduksi apoptosis pada sel darah perifer

    memainkan peran penting dalam fenomena ini. Analisis intensif menunjukkan

    aktivitas proapoptotik protein genom HIV nef, vpr dan tat (gambar 13). Protein nef

    virus HIV juga dapat mengganggu mekanisme proteksi mitokondria alamiah

    (telomerase dan mitofagi).7,9,30-34 Secara garis besar peranan infeksi HIV pada

    mitokondria terlihat pada gambar 14.

  • 28

    Gambar 14. HIV, mitokondria dan mtDNA35

    3.4 Toksisitas mitokondria akibat antiretroviral terapi : peran NRTI

    Dengan menghambat DNA mitokondria (mtDNA) enzim polimerase-gamma,

    NRTI dapat menyebabkan deplesi mtDNA, mengakibatkan disfungsi organel dan

    penurunan fosforilasi oksidatif. mtDNA mengkode 13 polipeptida mitokondria yang

    terlibat dalam rantai pernapasan yang penting untuk OXPHOS. Gangguan OXPHOS

    menyebabkan hilangnya energi (penurunan ATP) dan peningkatan kebocoran

    elektron dari rantai transpor elektron, yang meningkatkan produksi ROS. ROS, pada

    gilirannya, menyebabkan kerusakan protein, lipid, dan mtDNA, yang mengarah ke

    kaskade kerusakan oksidatif lebih lanjut dan peroksidasi lipid. mtDNA rentan

    terhadap mutasi karena tidak memiliki intron atau histon.7,36-39

  • 29

    Gambar 15. Mekanisme toksisitas mitokondria akibat NRTI36

    Ekspresi toksisitas mitokondria mungkin tidak terjadi sampai ambang biologis

    spesifik disfungsi mitokondria telah tercapai. Timbulnya toksisitas mitokondria dapat

    bervariasi tergantung pada jenis sel individu karena jumlah salinan mtDNA

    bervariasi, serta ketergantungan pada produksi energi seluler. Mekanisme toksisitas

    mitokondria akibat NRTI terlihat pada gambar 15. Apabila DNA polimerase

    dihambat NRTI, maka seluruh protein mtDNA yang dikodekannya akan menghilang

    pada generasi baru mitokondria sehingga sel yang baru hanya mengandung nDNA.

    Gejala klinis toksisitas mitokondria akibat berbagai NRTI terlihat pada tabel 5.7,36-39

    Standar emas untuk diagnosis efek toksik nukleosida terkait mitokondria

    adalah biopsi otot dalam kasus miopati, atau biopsi hati dalam kasus dugaan asidosis

    laktat dengan steatosis. Apabila terdapat tanda hiperlaktatemia atau asidosis laktat,

    pemeriksaan kadar laktat serum diperlukan untuk diagnosis.7,36-39

  • 30

    Tabel 5. Manifestasi klinis toksisitas mitokondria akibat NRTI36

    Gejala klinis NRTI

    Polineuropati d4T, ddI, ddCMiopati AZTKardiomiopati AZT, d4TSteatosis hepatik, asidosis laktat AZT, ddI, d4TPankreatitis ddIPansitopenia AZTDisfungsi tubular proksimal (TDF)Lipodistrofi d4T, AZT

    3.5 Antioksidan pada infeksi HIV

    Radikal bebas yang terbentuk selama berlangsungnya infeksi secara endogen

    dapat diredam oleh berbagai enzim dalam tubuh antara lain katalase, superoksid

    dismutase (SOD), dan glutation (GSH). Enzim SOD di mitokondria mengandung

    mangan (Mn), sedangkan dalam sitosol bekerjanya enzim SOD memerlukan bantuan

    tembaga (Cu), seng (Zn) dan selenium (Se). Dengan demikian untuk pengendalian

    radikal bebas selama infeksi, diperlukan bantuan mineral Mn, Cu, Zn dan Se yang

    dapat membantu kinerja antioksidan endogen. Karena ke empat mineral tersebut

    mendukung kinerja mitokondria dan sitosol, dengan demikian mereka juga berperan

    sebagai anti apoptosis yang memotong proses apoptosis melalui mitochondrial

    mediated pathway. Suplement tersebut juga dilengkapi dengan komponen beta-

    karoten, vitamin C, dan vitamin E yang secara luas diketahui sebagai antioksidan

    eksogen. Dengan berbagai keunggulan yang terkandung, maka suplemen tersebut

    mempunyai potensi untuk proteksi terhadap mitokondria.8,40

    Berbagai studi sedang dikembangkan untuk mempelajari berbagai senyawa

    kimia yang dapat bertindak sebagai antioksidan dan mengembalikan keseimbangan

    oksidatif pada pasien terinfeksi HIV. Senyawa kimia tersebut diantaranya adalah

    tricyclodecan-9-il-xanthogenate (D609), penghambat fosfatidilkolin khusus

    fosfolipase C, yang menunjukkan sifat serupa GSH. D609 juga memiliki kapasitas

  • 31

    untuk menghambat produksi TNF- yang diinduksi tat. Senyawa lain yang dapat

    meningkatkan tingkat GSH adalah N-asetil-L-sistein (NAC), yang merangsang

    produksi sistein (prekursor GSH).40 Berbagai analog NAC, termasuk N-(N-asetil-L-

    cysteinyl)-S-acetylcysteamine, telah terbukti untuk meningkatkan tingkat GSH dan

    menampilkan aktivitas anti-HIV.40

    Banyak senyawa lain menggunakan sistem yang berbeda untuk mencegah

    stres oksidatif, yaitu GPI 1046, memantine, Mn(III) tetrakis (4-benzoic acid)

    porphyrin chloride (MnTBAP), epigallocatechin gallate, curcumin dan selegiline.40

    3.6 Pengobatan toksisitas mitokondria akibat NRTI

    Pengobatan untuk toksisitas mitokondria akibat NRTI akan tergantung pada

    organ target yang terlibat. Pertimbangan cermat profil resistansi HIV perlu dievaluasi

    setiap kali mengubah obat antiretroviral.36-39

    Pasien terinfeksi HIV yang menunjukkan gejala miopati saat mengkonsumsi

    AZT harus beralih ke analog nukleosida alternatif. Selain penghentian obat,

    suplemen karnitin juga dapat dipertimbangkan, meskipun tidak ada uji coba

    pengobatan mendukung pendekatan ini. 36-39

    Dalam kasus lipoatrofi, peningkatan bertahap lemak subkutan diamati dalam

    beberapa penelitian ketika d4T beralih ke baik ZDV, abacavir atau tenofovir. Dalam

    penelitian selanjutnya, beralih dari AZT terhadap abacavir atau tenofovir

    memperlihatkan perbaikan moderat. Beberapa peneliti telah mengusulkan

    menggunakan rejimen analog nukleosida-sparing untuk memperbaiki lipoatrofi.

    Dalam sebuah penelitian kecil pada 67 pasien yang memakai dua analog nukleosida

    plus lopinavir/ritonavir, setengah dialihkan ke nevirapine plus lopinavir/ritonavir

    kombinasi dengan follow up dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA) scan, subset

    dari pasien dari masing-masing kelompok juga dievaluasi untuk perubahan dalam

    rasio DNA mitokondria dan DNA inti. Walaupun pasien yang beralih rejimen

    mengalami perbaikan dalam parameter mitokondria mereka, tidak ada perbedaan

    signifikan antara kelompok dalam DEXA scan pada minggu ke 48 dari follow up.36-39

  • 32

    Pasien yang mengalami neuropati perifer saat menggunakan ddI dan/atau d4T

    mungkin memiliki perbaikan gejala dengan perubahan ke obat lain dari kelas yang

    sama yang memiliki toksisitas kurang (misalnya lamivudine, emtricitabine, tenofovir,

    abacavir). Sebuah percobaan koenzim Q untuk mengembalikan kapasitas oksidatif

    pada pasien terinfeksi HIV yang memakai ART menyebabkan peningkatan nyeri

    neuropatik pada pasien dengan neuropati perifer. 36-39

    Pada hiperlaktatemia bergejala atau asidosis laktat, direkomendasikan bahwa

    semua obat HIV harus dihentikan segera. Pasien dengan asidosis laktat atau

    meningkatnya kadar hiperlaktatemia harus dipantau secara ketat di rumah sakit.

    Setelah resolusi dari tanda-tanda dan gejala asidosis laktat, disarankan untuk

    menggunakan NRTI dengan profil toksisitas yang lebih rendah (misalnya lamivudine,

    emtricitabine, tenofovir atau abacavir). Pasien juga dapat diobati dengan dua protease

    inhibitor, sebuah reverse transcriptase inhibitor nonnucleoside dan/atau inhibitor

    integrase. Tidak disarankan penggunaan kembali ddI atau d4T pada pasien dengan

    riwayat asidosis laktat yang berat, bahkan jika pilihan pengobatan terbatas, karena

    risiko asidosis laktat berulang. Pada pasien yang dirawat dengan asidosis laktat yang

    berat, disarankan penggunaan obat yang mendukung fungsi mitokondria (misalnya

    riboflavin, L-karnitin atau tiamin). 36-39

  • 33

    BAB IV

    RINGKASAN

    Infeksi HIV merupakan infeksi sistemik berat yang akan mendorong pada

    keadaan hipermetabolik. Selama infeksi HIV dan pengobatannya, berbagai

    mekanisme molekuler dan seluler dipicu untuk melindungi tubuh dari replikasi virus

    yang sedang berlangsung. Sistem imun secara aktif melawan infeksi, dan dalam

    kondisi infeksi virus, harus memusnahkan sel yang terinfeksi. Sejumlah besar

    mekanisme kekebalan tubuh dipicu, termasuk produksi sitokin proinflamasi, salah

    satunya TNF , yang mempunyai target utama mitokondria dan memiliki kemampuan

    meningkatkan produksi ROS.

    Pada sel-sel tubuh lain yang tidak terinfeksi (contohnya adiposit dan

    hepatosit), fungsi mitokondria dapat terganggu baik oleh produk virus maupun

    berbagai obat antiretroviral golongan NRTI. Selain itu, berbagai molekul yang

    diproduksi sistem imun dapat mempengaruhi mitokondria dengan cara yang berbeda.

    Sebagai hasil akhir, sejumlah besar sel yang tidak terinfeksi pada berbagai jaringan

    dan organ juga ikut terkena dampak infeksi HIV dan pengobatannya dan mengalami

    kerusakan yang irreversible atau bahkan kematian. Manifestasi klinik toksisitas

    mitokondria diantaranya miopati, neuropati, lipoatrofi dan asidosis laktat.