file · web viewadapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan...

27
A. PENDAHULUAN Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al- Qur’an. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qur’an. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur’an itu sendiri. Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al- Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian terhadap al- Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al- Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani

Upload: lamdiep

Post on 04-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

A. PENDAHULUAN

Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an.

Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung

dalam al-Qur’an. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan

sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qur’an.

Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari

ajaran al-Qur’an itu sendiri.

Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya

sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara

khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan

penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa

khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang

merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.

Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya

kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar

bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101

Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah

memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadith.

Page 2: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

B. SEJARAH PENULISAN DAN KODIFIKASI HADITS

Kodifikasi hadits secara resmi di sinonimkan dengan tadwin al hadits,

tentunya akan berbeda dengan penulis hadits atau kitabah al hadits. Secara

etimologi kata kofifikasi berasal dari kata codification yang berarti penyusunan

menurut aturan atau sistem tertentu. Atau dari kata tadwin dapat berarti

perekaman (recording), penulisan (writting down), pembukuan (booking),

pendaftaran (listing, registration). Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti

pendokomentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka

kata tadwin tidak semata-mata berarti penulisan, namun ia mencakup

penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.

Adapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu

kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat,

baik langkah yang ditempuh tersebut diakui atau tidak oleh masyarakat itu sendiri.

Jadi yang dimaksud kofikasi hadits adalah pembukuan atau pendokumentasian

hadits nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut aturan dan

sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat.

Adapun perbedaan antara kodifikasi hadits secara resmi dan penulisan hadits

adalah:

a. Kodifikasi hadits secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga

administratif yang diakui oleh masyarakat, sedang penulisan hadits

dilakukan oleh perorangan.

b. Kegiatan kodifikasi hadits tidak hanya menulis, tetapi juga

mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasikan.

c. Kodifikasi hadits atau tadwin hadits secara umum yang melibatkan

segala perangkat yang dianggap kompeten terhadapnya, sedang

penulisan hadits dilakukan oleh orang-orang tertentu.

Page 3: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

1. TRADISI MENULIS PRA DAN AWAL ISLAM

Dalam hal ini bahwa melestarikan Sunnah Nabi merupakan suatu

kewajiban dalam agama islam. Dan cara pelestarian itu adalah dengan

kekuatan ingatan (hafalan) dan tulisan. Apabila kita hendak mengetahui sejauh

mana peranan tulisan dalam melestarikan sunnah, maka kita perlu mengetahui

lebih dulu kegiatan tulis menulis di jazirah arab, terutama apabila kita lihat

bahwa ilmu tulis menulis itu hampir dapat dikatakan tidak ada sehingga umat

islam saat itu mendapat sebutan sebagai ummat yang ummi (buta huruf).1

Seandainya sudah ada suatu pembahasan atau penelitian yang

mendetail tentang masa itu, maka mungkin bahasan tentang masalah ini tidak

diperlukan lagi. Tetapi para sarjana kurang berminat untuk meniliti hal-hal

yang terjadi pada masa itu. Memang ada, seperti Dr. Ahmad Syalabi yang

menyinggung masalah dalam bukunya “Traikh al-Islamiyah”,2 tetapi masalah

yang dibahasnya adalah yang paling lemah dalam kitabnya secara

keseluruhan, sehingga tidak mungkin hal itu dijadikan rujukan.

TRADISI MENULIS PRA ISLAM

a. Kegiatan Tulis Menulis Pada Masa Jahiliyah (pra islam)

Pada masa jahiliyah bangsa Arab sudah mengetahui peranan tulis

menulis. Mereka menganggap bahwa tulis menulis adalah salah satu unsur

kesempurnaan seseorang. Ibnu Saad mengatakan, “Bangsa Arab Jahiliyah

dan permulaan islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang

dapat menulis, berenang, melempar tombak dan memanah”.3 Dan

meskipun ada beberapa jenis yang tidak mereka sukai, namun pekerjaan

mengajar mendapat perhatian khusus, bahkan para bangsawan juga

melakukannya. Sampai Ibnu Habib al-Baghdadi sempat menulis nama-

1. Shahih al-Bukhari, al-Shaum, 13. 2. Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, 22-36, Dar al-Kasysyaf, Beirut, 19453. Ibnu Saad, iii/2 :91

Page 4: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

nama bangsawan dan cendikiawan yang melakukan hal itupada masa

jahiliyah dan permulaan islam.1

Jadi pada masa jahiliyah bangsa Arab sudah mengetahui peranan

tulis menulis. Hanya saja mereka tidak dapat menggunakannya

sebagaimana mestinya. Hal ini karena kehidupan mereka sehari-hari

memang belum memerlukan hal itu. Namun begitu banyak sumber yang

menyebutkan bahwa masa sebelum datangnya agama islam di jazirah Arab

sudah terdapat kegiatan pendidikan.

b. Sekolah-sekolah di Jazirah Arab Pada Masa Jahiliyah

Pada masa jahiliyah banyak terdapat tempat-tempat yang dipakai

untuk mengajar meskidalam bentuk yang sederhana. Di Makkah,2 Taif,3

Madinah,4 Anbar,5 Hirah,6 dan Dumat al-Jandal,7 telah diadakan majelis-

majelis pendidikan. Dikabilah Bani Huzail terdapat majelis dimana anak-

anak lelaki dan perempuan belajar membaca dan menulis.8

c. Mencatat Syair pada Masa Jahiliyah

Tampaknya masa jahiliyah tidak kosong dari kegiatan tulis

menulis. Para kabilah sering menulis syair-syair milik para tokohnya.9

Bahkan tidak sekedar mencatat syair, tetapi masalah-mtiarasalah yang

berkaitan dengan cerita perang, kehidupan sehari-hari, kata-kata mutiara

1. Al-Muhabbar, 475 - 4772 .Nahsir al-Din al-Asad, Mashadir al-Syi’r al-Jahil, 52. Al-Qasd wa al-Umam, Li Ibn Abd

al-Badr, 22-233. Futuh al-Buldan, 5794. Futuh al-Buldan, 5835. Uyun al-Akhbar, i:43. Al-Qasd wa al-Umam, 226. Futuh al-Buldan, 579. Al-Qasd wa al-Umam, 227. Al-Muhabbar, 4758. Uyun al-Akhbar, iv:103. Majma’ al-Amtsal, li al-Maidani, ii : 479 .Lihat: Mashadir al-Syi’r al-Jahili, 107-133, dimana ada 20 bukti dari berbagai syair yang

menunjukkan berbagi syair yang menunjukkan bahwa syair sudah ditulis pada masa jahiliyah. Lihat pula : Krenkov, The Use of Writting for the Preservation of Ancient Arabic Poetry, A Volume of Or. St. Presented to E.G. Browne, pp. 26-68.

Page 5: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

para pujangga, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kabilah itu

selalu ditulisnya.1

TRADISI MENULIS AWAL ISLAM

a. Makkah al-Mukarramah

Ketika Islam datang, di kalangan suku Quraisy terdapat 17 orang

yang dapat menulis.2 Tetapi jumlah ini tidak dapat dijadikan patokan,

apalagi mengingat letak Makkah yang sangat strategis untuk perdangan

disamping sebagai pusat kegiatan agama. Di segi lain, nama-nama yang

disebut Baladzuri tidakn mencakup orang-orang Makkah yang dikenal

dapat menulis seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Abdullah bin Amr bin al-Ash,

Sufyan bin Harb, dan lain-lain. Kalau hal itu hanya dimaksudkan sebagai

bukti bahwa orang-orang Makkah sedikit yang mengetahui tulis menulis,

maka daftar yang ditulis al-Baladzuri itu dapat diterima.

Ada kenyataan lain yang perlu diperhatikan, yaitu adanya sejumlah

wanita yang mengetahui tulis menulis, seperti Ummul Mu’minin Hafsah,

Ummu Kalsum binti ‘Uqbah, al-Syifa binti Abdullah al-Quraisyiah,

‘Aisyah binti Saad, dan Karimah binti al-Miqdad. Sedang Ummu

Mu’minin ‘Aisyah dan Ummu Salamah hanya dapat membaca, dan secara

umum tidak dapat menulis.3

b. Madinah al-Munawwarah

Al-Waqidi menuturkan, dikalangan orang-orang Aus dan Khazraj

sedikit sekali yang dapat menulis Arab. Sejumlah orang-orang yahudi juga

pernah mengajar menulis Arab. Dan pada masa-masa awal, anak-anak di

1. Mashadir al-Syi’r al-Jahili, 1652 .Futuh al-Buldan, 660-661. Al-‘Iqd al-Farid, iv:157. Mukhtalaf al-Hadis, Li Ibn

Qutaibah, 287. Ibn Saad, iii/1:77 Bandingkan dengan tulisan Lammens P.H. dalam bukunya : La Mecquea a la veille de L’Heqire, pp. 103-145.

3. Futuh al-Buldan, 661-662

Page 6: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

Madinah juga belajar menulis.1 Menurut al-Waqidi, jumlah mereka yang

dapat menulis itu tidak lebih dari 11 orang.2 Dan seperti halnya di Makkah,

jumlah penduduk Madinah yang mengetahui tulis menulis relatif sedikit.

Namun demikian, catatan tentang sedikitnya orang-orang yang mengetahui

tulis menulis itu tidak dapat dijadikan barometer yang pasti tentang

kegiatan pendidikan di Jazirah Arab pada saat itu.

Tatkala Allah bermaksud menyempurnakan nikmatNya dialam

raya ini, ia mengutus Muhammad SAW yang ummi itu sebagai Rasul.

Begitu pula orang-orang pertama kali mendapat perintah Allah itu juga

ummi. Tetapi risalah Islam tidak mungkin membiarkan seperti itu, sebab

Islam menghendaki agar ummatnya melepaskan diri dari kebodohan.

Karena ketidaktahuan tulis menulis termasuk hal yang

menghalangi masalah itu, maka perintah Allah yang pertama kali

diturunkan adalah untuk membaca.

��ك ورب قرأ سان م ن علق . إ ن ذ ى خلق . خلق اإل ك ال رب م الس ب "قرأ إسان ما لم يعلم ن . علم اإل القلم م ب ذ ى عل رم ، ال االك

Artinya: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,

dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah. Yang mengajar manusia

dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang

tidak diketahuinya.

Ayat-ayat pertama yang dibebankan kepada Rasulullah SAW ini

mengisyaratkan apa yang akan terjadi tentang ilmu pengetahuan dalam

Islam. Oleh sebab itu kita melihat orang-orang Islam pada periode Makkah

mempelajari al-Qur’an. Padahal jumlah mereka juga sangat sedikit,

disamping mereka juga dalam ketakutan terhadap musuh-musuhnya

1. Futuh al-Buldan, 6632. Futuh al-Buldan, 663-664

Page 7: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

karena sering disiksa. Sebagai bukti yang paling tepat adalah kisah

Abdullah bin Mas’ud,1 dan masuk Islamnya Umar bin Khattab.2

Setelah kaum Muslimin hjrah ke Madinah, da’wah Islam

menemukan titik-titik cerah dimana orang-orang Anshar memeluk Islam.

Keadaan pendidikan juga mengalami perubahan sebab orang-orang Anshar

yang hidup sebagai bangsa ummi sejak semula tidak menghendaki diam

dalam kebodohan. Dari sinilah lembaran baru dalam pendidikan dimulai.

Pada waktu Nabi masih tinggal di Makkah, orang Anshar seperti

Rafi’ bin Malik juga pernah menghadap Nabi untuk belajar al-Qur’an,3

dan sesudah kembali ke Madinah ia mengajarkannya di sana. Bahkan tidak

cuma itu, mereka meminta agar Nabi mengirimkan guru-guru untuk

mengajarkan agama dan al-Qur’an kepada mereka.4 Nabi pun

mengirimkan Mush’ab bin ‘Umair.5

Begitulah, Nabi sangat menaruh perhatian terhadap masalh

pendidikan sejak beliau masih diperangi musuh di Makkah.6 Dan sesudah

hijrah Nabi lebih leluasa mengembangkan ilmu. Dan sejak itu pula beliau

menggariskan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam pendidikan yang tidak

ada bandingnya sampai sekarang. Inilah sekedar contoh dari teori-teori

kabijaksanaan pendidikan dalam Islam. Dan pengaruhnya kita rasakan

sekarang.

1. Ibnu Saad, iii/i:1072. Sirah Ibn Hisyahm, i:342-2463. Al-Taratib al-Idariyah, i : 444. Ibn Saad, iii:113. Al-Watsaiq al-Siasiyah, 345. Ibn Saad, iii:118. Tarikh al-Fasawi, iii:1936 .Ibn Saad, iii/1:107. Menurut Ibn Saad, Ibn Mas’ud adalah orang yang pertama kali

mengajarkan al-Qur’an di Makkah. Ini berarti di Makkah sudah ada usaha-usaha pendidikan al-Quran.

Page 8: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

2. PENULISAN HADITS PADA MASA RASULULLAH DAN

SAHABAT

a. Penulisan Hadits Pada Masa Rasulullah

Rasul hidup ditengah-tengah masyarakat sahabtanya. Mereka dapat

bertemu dan bergaul langsung dengan beliau secara bebas. Tidak ada

ketentuan protocol yang menghalangi mereka bertemu dan bergaul

langsung dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka

langsung masuk langsung ke rumah Nabi, ketika beliau tidak ada di

rumahdan berbicara dengan para istri tanpa hijab. Nabi SAW. Bergaul

dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan

di dalam hadhar.1

Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur

kata beliau menjadi sasaran perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik

mereka jadikan pedoman hidup. Karena kesungguhan untuk meneladani

beliau, para sahabat yang rumahnya jauh dari mesjid, silih berganti

mendatangi majelis-majelis Nabi. Umar bin Khattab, menurut riwayat al-

Bukhari menerangkan:

كنت أن��ا وج��ار لي من األنص��ار في أمي��ة بن يزي��د وهي من عوالى المدين��ة و كن��ا نتن��اوب ال��نزول على عه�د رس��ول الل��ه ص.م ينزل يوما فإذا أنزلت جئته بخبر ذالك اليوم من ال��وحي و غيره، وإذا نزل فعل مثل ذالك. فنزل صاحبى األنصاري يوم نوبته فضرب بابي ش��ديدا فق��ال: أثم ه��و؟ فف��زعت فخ��رجت�ق رس�ول الل�ه نس�ائه. إليه فقال: لقد ح�دث أم�ر عظيم: طل قلت: ق��د كنت أظن أن ذال��ك ك��ائن حتى إذا ص��ليت الص��بح، شددت على ثي��ابي ثم ن��زلت ف��دخلت على حفص��ه. يع��نى أم المؤم��نين بنت��ه. ف��إذا هي تبكى فقلت: أطلقكن رس��ول الل��ه

1. Hadir atau tidak dalam keadaan bepergian-ed

Page 9: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

: ألدرى. ثم دخلت على النبي ص.م، فقلت و أن��ا ص.م؟ قالت.قائم: أطلقت نساءك؟ قال: ال، فقلت ألله اكبر

“Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dan golongan Anshar

bertempat di kampung Umayyah bin Yazid, sebuah kampung yang jauh

dari kota Madinah. Kami berganti-ganti datang kepada Rasul. Kalau

hari ini aku yang turun, esok tetanggaku yang pergi. Kalau aku yang

turun, aku beritakan kepada tetanggaku apa yang aku dapati dari

Rasulullah. Kalau dia yang pergi, demikian juga. Pada suatu hari, pada

hari gilirannya, sahabatku pergi. Sekembalinya, dia mengetuk pintu

rumahku dengan keras serta berkata, ” adakah Umar di dalam?” aku

terkejut lalu keluar mendapatinya. Ia menerangkan bahwa telah terjadi

satu keadaan penting. Rasul telah mentalaq istri-istrinya. Aku berkata,

“memang sudah kuduga terjadi peristiwa ini.” Sesudah saya shalat

subuh, saya pun berkemas lalu pergi. Sesampai di kota, saya masuk ke

rumah Hafsah. Saya dapati dia sedang menangis. Maka saya bertanya:

“apakah engkau telah ditolak oleh Rasul?” Hafshah menjawab: “saya

tidak tahu.” Sejurus kemudian saya masuk kebilik Nabi, sambil berdiri

saya berkata, “apakah anda telah mentalaq istri-istri anda?” Nabi

menjawab: “tidak.” Ketika itu saya pun mengucapkan “Allahu Akbar.”1

Riwayat ini menerangkan, bahwa para sahabat sangat

memperhatikan gerak-gerik Nabi dan sangat merasa perlu untuk

mengetahui segala apa yang disabdakan. Mereka meyakini, bahwa mereka

diperintahkan mengikuti dan mentaati Nabi. Kabilah-kabilah yang tinggal

jauh dari kota Madinah selalu mengutus salah seorang anggotanya pergi

mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama. Sepulang

mereka ke kampungnya, mereka segera mengajarkan kepada kawan-

kawannya sekampung. Sebagian sahabat sengaja dari tempat-tempat yang

jauh mendatangi Nabi hanya untuk menanyakan sesuatu hukum syar’i.

Semua sahabat pada umumnya menrima Hadits dari Nabi Saw.

Namun, dalam hal ini, para sahabat tidak sederajat dalam mengetahui 1. Fath al-Bari 1: 150

Page 10: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

keadaan Rasul. Ada yang tinggal di kota, di dusun, dan ada pula yang

sering bepergian, ada yang terus-menurus beribadat, tinggal di masjid

tidak bekerja. Nabi pun tidak selalu mengadakan ceramah terbuka.

Kadang-kadang saja beliau melakukan yang demikian. Ceramah terbuka

diberikan beliau hanya tiap-tiap hari jum’at, hari raya dan waktu-waktu

yang tidak ditentukan, jika keadaan menghendaki.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibn Mas’ud:

كان النبي ص.م يتخولنا بالموعظة في األيام، كراهة السأمة علينا.

“Nabi Saw. Selalu mencari waktu-waktu yang baik untuk

memberikan pelajaran supaya kami tidak bosan.”

Para sahabat dalam menerima hadits Nabi, berpegang pada

kekuatan hafalan, yakni menerimanya dengan jalan hafalan bukan dengan

dengan jalan menulis. Sahabat-sahabat Rasul yang bisa menulis sedikit

sekali. Mereka mendengar dengan sangat hati-hati apa yang Nabi

sabdakan. Lalu tergambarlah lafal atau makna itu dalam dzihm (benak)

mereka. Mereka melihat apa yang Nabi kerjakan. Mereka mendengar pula

dari orang yang mendengarnya sendiri dari Rasul. Karena tidak semua

sahabat pada setiap waktu dapat menghadiri majelis Nabi, maka mereka

menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain secara hafalan

pula. Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadits yang di

dengarnya dari Nabi.

Dibalik larangan Rasulullah untuk tidak menulis haditsnya,

ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan

melakukan penulisan terhadap hadits dan memiliki catatan-catatannya,

ialah:

a. Abdullah ibn Amr al-‘Ash. Hadits-hadits yang terhimpun

dalam catatannya sekitar seribu hadits, yang menurut

Page 11: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

pengakuannya diterima langsung dari Rasul Saw ketika mereka

berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya.1

b. Jabir ibn Abdillah ibn Amr al-Anshari (78 H). Ia memiliki

catatan hadits dari Rasul tentang manasik haji. Hadits-

haditsnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini

dikenal dengan Sahifah Jabir.

c. Abu Hurairah al-Dausi (59 H). Ia memiliki catatan hadits yang

dikenal dengan al-Sahifah al-Sahihah. Hasilnya karyanya ini

diwariskan kepada anaknya bernama Hammam.

d. Abu Syah (Umar ibn Sa’ad al-Anmari) seorang penduduk

Yaman. Ia meminta kepada Rasul dicatakan hadits yang

disampaikannya ketika pidato pada peristiwa Fathu Makkah.

Disamping nama-nama diatas, masih banyak lagi nama-nama

sahabat lainnya, yang juga mengaku memiliki catatan hadits dan

dibenarkan Rasul Saw. Seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin

Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud.2

b. Penulisan Hadits Pada Masa Sahabat

Periode kedua perkembanagn hadits adalah masa sahabat,

khususnya masa Khulafa’ al-Rasyidin yang berlangsung sekitar tahun 11

H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan sahabat besar.

Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada

pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadits belum

begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh

karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang

menunjukkan adanya pembatasan periwayatan ( al-tasabbut wa al-iqlal

min al-riwayah ).

1 .Ajjaj al-Khathib, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) cet. Ke-6,, hlm 349. Lihat juga Muhammad Musthafa al-A’zhami, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi; Tarikh Tadwinihi, (Riyadh: Jamiah Riyadh, t.t), hlm. 121-124

2 .Muhammad Musthafa al-‘Azami, op. Cit., hlm. 129-130. Lihat juga ‘Ajjaj al-Khatib, 1981, op. Cit., hlm. 348-360

Page 12: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada

memilahara dan menyebarkan al-Qur’an. Ini terlihat sebagaimana al-

Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar bin Khattab.

Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Utsman bin Affan, sehingga

melahirkan Mushaf Utsmani. Satu disimpan di Madinah yang dinamai

Mushaf al-Imam, dan yang empat lagi masing-masing disimpan di

Makkah, Bashrah, Syria, dan Kuffah. Sikap memusatkan perhatian

terhadap al-Qur’an tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian

terhadap hadits.

Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan

sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang

padahal mereka sadari bahwa hadits merupakan sumber Tasyri’ setelah al-

Qur’an, yang harus terjaga dari kekeliruan sebagaimana al-Qur’an. Oleh

karenanya, para sahabat khususnya Khulafa’ al-Rasyidin dan sahabat

lainnya seperti Al-Zubair, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha

memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.1

3. KODIFIKASI HADITS SECARA RESMI

Sudah dapat dipahami bahwa dalam abad pertama Hijriah, muali

dari zaman Rasul, masa Khulafa’ al-Rasyidin dan sebagian besar zaman

Amawiyah ( Bani Umayyah) yakni hingga akhir abad pertama Hijriah,

hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi

meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya.

Dikala kendali khalifah dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz yang

dinobatkan pada tahun 99 H seorang khalifah dari dinasti Amawiyah yang

terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai Khalifah

Rasyidin yang kelima, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits.

Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadits dalam 1. Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, op. Cit., hlm: 92-93

Page 13: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir

apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan dalam buku-buku hadits

dari para perawinya, mungkinlah hadits-hadits itu akan lenyap dari

permukaan bumi.

Untuk menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah

meminta kepada gubernur Madinah, Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amer

ibn Hazmin (120 H)1 yang menjadi guru Ma’mar, Al-Laits, Al-Auza’y,

Malik, Ibn Ishaq, dan Ibn Abi Dzi’bin supaya membukukan hadits Rasul

yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, Amrah binti Abdir

Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn ‘Ades, seorang ahli fiqih, murid Aisyah

ra. (20 H = 642 M – 98 H = 716 M atau 106 H = 724 M), dan hadits-hadits

yang ada pada al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr al-Shiddiq (107 H =

725 M), seorang pemuka tabi’ydan salah seorang fuqaha Madinah yang

tujuh.2

Di samping itu Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur

ke serata wilayah yang dibawah kekuasaannya supaya berusaha

membukukan hadits yang ada pada ulama yang diam di wilayah mereka

masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas

kemauan khalifah itu, ialah: Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn

Ubaidillah ibn Syihab az Zuhry, seorang tabi’y yang ahli dalam urusan

fiqih dan hadits.3

Beliau guru Malik, al-Auza’y, Ma’mar, al-Laits, Ibn Ishaq, Ibn Abi

Dzibin. Inilah ulama besar yang mula-mula membukukan hadits atas

anjuran khalifah.

1 .Abu Bakar ibn Hasan belajar pada Az Zaijad ‘Abbad ibn Tamim, Amer ibn Sulaiman Az Zaraqy dan makciknya ‘Amrah dan dari khalifah putri Anas ibn Malik

2 .Fuqaha yang tujuh ialah: al-Qasim, ‘Urwah ibn Zubair, Abu Bakar ibn Abdir Rahman, Sa’id ibn Musaiyab, Abdillah ibn Abdullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud, Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit, Sulaiman ibn Yassar. (al-Ghani VIII:88)

3 .Az Zuhry menerima hadits dari ibn Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Muhammad ibn al-Rabi’, Sa’id ibn Musaiyab dan Abu Umamah ibn Sahel

Page 14: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

Kitab hadits yang ditulis oleh Ibn Hazm yang merupakan kitab

hadits yang pertama yang ditulis atas perintah Kepala Negara tidak sampai

kepada kita, tidak terpelihara semestinya. Dan kitab itu tidak membukukan

seluruh hadits yang ada di Madinah. Membukukan seluruh hadits yang ada

di Madinah itu, dilakukan oleh Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihab

Az Zuhry. Yang memang terkenal sebagai seorang Ulama besar dari

ulama-ulama hadits di masanya.

Kemudian dari itu berlomba-lombalah para ulama besar

membukukan hadits atas anjuran Abu Abbas As Saffah dan anak-anaknya

dari khalifah-khalifah Abbasiyah. Akan tetapi tidak dapat diketahui lagi,

yang mula-mula yang membukukan hadits sesudah Az Zuhry itu, karena

ulama-ulama tersebut yang datang sesudah Az Zuhry seluruhnya semasa.

Para pengumpul hadits yang tercatat sejarah adalah:

a. Di kota Makkah, Ibn Juraid (80 H = 669 M – 150 H = 767 M).

b. Di kota Madinah, Ibn Ishaq (… H = … M - … H = 768 M). Atau Ibn

Abi Dzi’bin. Atau Malik Ibn Annas (93 H = 703 M – 179 H = 798 M).

c. Di kota Bashrah, al-Rabi’ ibn Shabih (… H = … M – 160 H = 777 M).

Atau Hammad ibn Salamah ( 176 H ). Atau Sa’id ibn Abi Arubah (156

H = 773 M).

d. Di Kufah, Sufyan Ats Saury ( 161 H ).

e. Di Syam, al-Auza’y ( 156 H ).

f. Di Wasith, Husyaim al-Wasithy ( 104 H = 772 M – 188 H = 804 M ).

g. Di Yaman, Ma’mar al-Azdy ( 95 H = 753 M – 153 M = 770 H ).

h. Di Rei, Jarir al-Dlabby ( 110 H = 728 M – 188 H = 804 M ).

i. Di Khurasan, Ibn Mubarak ( 118 H = 735 M – 181 H = 797 M ).

j. Di Mesir, al-Laits ibn Sa’ad ( 175 H ).

Semua ulama besar yang membukukan hadits ini, terdiri dari ahli-

ahli abad yang kedua Hijriyah. Kita menyayangkan kitab Az Zuhry dan

Ibn Juraid itu tidak diketahui di mana sekarang ini.

Page 15: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

Kitab yang paling tua yang ada di tangan ummat Islam dewasa ini,

ialah Al-Muwaththa’ susunan Imam Malik r.a. yang disuruh susun oleh

khalifah Al-Manshur di ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H ( 143

H ). Kitab-kitab hadits yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam

abad kedua ini, banyak. Akan tetapi yang terkenal dalam kalangan ahli

hadits, ialah:

a. Al-Muwaththa’, susunan Imam Malik (95 H – 179 H).

b. Al-Maghazy wal-Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H).

c. Al-Jami’, susunan Abdur Razzaq As San’any (211 H).

d. Al-Mushannaf, susunan Syu’bah ibn Hajjaj (160 H).

e. Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn ‘Uyainah (198 H).

f. Al-Mushannaf, susunan al-laits ibn Sa’ad (175 H).

g. Al-Mushannaf, susunan al-Auza’y (150 H).

h. Al-Mushannaf, susunan al-Humaidy (219 H).1

i. Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad ibn Waqid al-Aslamy

(130 H – 207 H).

j. Al-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).

k. Al-Musnad, susunan Zaid ibn Ali.

l. Al-Musnad, susunan al-Imam Asy Syafi’y (204 H).

m. Mukhtaliful-Hadits, susunan al-Imam Asy Syafi’y.

1 .Perbedaan Musnad dengan Mushannaf, ialah musnad disusun haditsnya menurut nama perawi pertama, sedangkan mushannaf disusun menurut bab fiqih. Begitu juga sunan dan shihah.

Page 16: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

C. KESIMPULAN

Rencana untuk mengumpulkan hadits hadits nabi pertama dimulai

oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun dengan berbagai pertimbangan

rencana tersebut batal dilaksanakan. Alasan utamanya adalah karena waktu

itu masih berlangsung pengumpulan al Qur’an.

Sedangkan kodifikasi secara resmi dilakukan pada masa

pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Umar

memerintahkan kepada para gubernur untuk mengumpulkan  dan

melakukan pembukuan terhadap hadith.

Ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara lain:

Khalifah Umar bin Abdul Aziz.(memerintah mulai tahun 99-101 H).

Abdul Malik bin Abdul Aziz (-150 H) di Makkah. Malik bin Anas (93-179

H) dan Muhammad bin Ishaq (-151 H) di Madinah. Muhammad bin

Abdurrahman bin Dzi’ib (80-158 H) di Makkah. Rabi’ bin Sabih (-160 H),

Sa’id bin ‘Arubah (-156 H) dan Hammad ibn Salamah (-167 H) di Basrah.

Sufyan al-Tsauri (97-161 H) di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan

Ma’mar ibn Rashid  (95-153 H)  di Yaman. Abdurrahman bin ‘Amr al-

Auza’i (88-157 H) di Sham.Abdullah ibn al-Mubarak (118-181 H)  di

Khurasan. Hashim ibnu Bushair (104-183 H) di Wasit. Jarir ibn Abdul

Hamid (110-188 H)  di Rayy. Abdullah ibn Wahb (125-197 H)  di Mesir.

Page 17: file · Web viewAdapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, baik langkah yang

DAFTAR PUSTAKA

Azami, Muhammad Mustafa, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, ( Pejaten

Barat: 2000 ).

Al-Khatib, M. ‘Ajaj, Ushul al-Hadits, ( Beirut, Libanon: Dar al-Fike, 1998 ).

Fathurrahman, Ikhtisar Musthalah Al-Hadits, ( Bandung: Al-Maarif, 1991).

Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008 ).

Shiddieqy, Ash-, T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2005 ).

Shiddieqy, Ash-, T.M. Hasbi, Ilmu Musthalah Al-Hadits, ( Padang, 1940 ).