file · web viewadapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan...
TRANSCRIPT
A. PENDAHULUAN
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an.
Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung
dalam al-Qur’an. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan
sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qur’an.
Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari
ajaran al-Qur’an itu sendiri.
Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya
sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara
khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan
penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa
khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang
merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.
Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya
kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar
bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101
Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah
memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadith.
B. SEJARAH PENULISAN DAN KODIFIKASI HADITS
Kodifikasi hadits secara resmi di sinonimkan dengan tadwin al hadits,
tentunya akan berbeda dengan penulis hadits atau kitabah al hadits. Secara
etimologi kata kofifikasi berasal dari kata codification yang berarti penyusunan
menurut aturan atau sistem tertentu. Atau dari kata tadwin dapat berarti
perekaman (recording), penulisan (writting down), pembukuan (booking),
pendaftaran (listing, registration). Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti
pendokomentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka
kata tadwin tidak semata-mata berarti penulisan, namun ia mencakup
penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.
Adapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu
kegiatan yang dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat,
baik langkah yang ditempuh tersebut diakui atau tidak oleh masyarakat itu sendiri.
Jadi yang dimaksud kofikasi hadits adalah pembukuan atau pendokumentasian
hadits nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut aturan dan
sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat.
Adapun perbedaan antara kodifikasi hadits secara resmi dan penulisan hadits
adalah:
a. Kodifikasi hadits secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga
administratif yang diakui oleh masyarakat, sedang penulisan hadits
dilakukan oleh perorangan.
b. Kegiatan kodifikasi hadits tidak hanya menulis, tetapi juga
mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasikan.
c. Kodifikasi hadits atau tadwin hadits secara umum yang melibatkan
segala perangkat yang dianggap kompeten terhadapnya, sedang
penulisan hadits dilakukan oleh orang-orang tertentu.
1. TRADISI MENULIS PRA DAN AWAL ISLAM
Dalam hal ini bahwa melestarikan Sunnah Nabi merupakan suatu
kewajiban dalam agama islam. Dan cara pelestarian itu adalah dengan
kekuatan ingatan (hafalan) dan tulisan. Apabila kita hendak mengetahui sejauh
mana peranan tulisan dalam melestarikan sunnah, maka kita perlu mengetahui
lebih dulu kegiatan tulis menulis di jazirah arab, terutama apabila kita lihat
bahwa ilmu tulis menulis itu hampir dapat dikatakan tidak ada sehingga umat
islam saat itu mendapat sebutan sebagai ummat yang ummi (buta huruf).1
Seandainya sudah ada suatu pembahasan atau penelitian yang
mendetail tentang masa itu, maka mungkin bahasan tentang masalah ini tidak
diperlukan lagi. Tetapi para sarjana kurang berminat untuk meniliti hal-hal
yang terjadi pada masa itu. Memang ada, seperti Dr. Ahmad Syalabi yang
menyinggung masalah dalam bukunya “Traikh al-Islamiyah”,2 tetapi masalah
yang dibahasnya adalah yang paling lemah dalam kitabnya secara
keseluruhan, sehingga tidak mungkin hal itu dijadikan rujukan.
TRADISI MENULIS PRA ISLAM
a. Kegiatan Tulis Menulis Pada Masa Jahiliyah (pra islam)
Pada masa jahiliyah bangsa Arab sudah mengetahui peranan tulis
menulis. Mereka menganggap bahwa tulis menulis adalah salah satu unsur
kesempurnaan seseorang. Ibnu Saad mengatakan, “Bangsa Arab Jahiliyah
dan permulaan islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang
dapat menulis, berenang, melempar tombak dan memanah”.3 Dan
meskipun ada beberapa jenis yang tidak mereka sukai, namun pekerjaan
mengajar mendapat perhatian khusus, bahkan para bangsawan juga
melakukannya. Sampai Ibnu Habib al-Baghdadi sempat menulis nama-
1. Shahih al-Bukhari, al-Shaum, 13. 2. Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, 22-36, Dar al-Kasysyaf, Beirut, 19453. Ibnu Saad, iii/2 :91
nama bangsawan dan cendikiawan yang melakukan hal itupada masa
jahiliyah dan permulaan islam.1
Jadi pada masa jahiliyah bangsa Arab sudah mengetahui peranan
tulis menulis. Hanya saja mereka tidak dapat menggunakannya
sebagaimana mestinya. Hal ini karena kehidupan mereka sehari-hari
memang belum memerlukan hal itu. Namun begitu banyak sumber yang
menyebutkan bahwa masa sebelum datangnya agama islam di jazirah Arab
sudah terdapat kegiatan pendidikan.
b. Sekolah-sekolah di Jazirah Arab Pada Masa Jahiliyah
Pada masa jahiliyah banyak terdapat tempat-tempat yang dipakai
untuk mengajar meskidalam bentuk yang sederhana. Di Makkah,2 Taif,3
Madinah,4 Anbar,5 Hirah,6 dan Dumat al-Jandal,7 telah diadakan majelis-
majelis pendidikan. Dikabilah Bani Huzail terdapat majelis dimana anak-
anak lelaki dan perempuan belajar membaca dan menulis.8
c. Mencatat Syair pada Masa Jahiliyah
Tampaknya masa jahiliyah tidak kosong dari kegiatan tulis
menulis. Para kabilah sering menulis syair-syair milik para tokohnya.9
Bahkan tidak sekedar mencatat syair, tetapi masalah-mtiarasalah yang
berkaitan dengan cerita perang, kehidupan sehari-hari, kata-kata mutiara
1. Al-Muhabbar, 475 - 4772 .Nahsir al-Din al-Asad, Mashadir al-Syi’r al-Jahil, 52. Al-Qasd wa al-Umam, Li Ibn Abd
al-Badr, 22-233. Futuh al-Buldan, 5794. Futuh al-Buldan, 5835. Uyun al-Akhbar, i:43. Al-Qasd wa al-Umam, 226. Futuh al-Buldan, 579. Al-Qasd wa al-Umam, 227. Al-Muhabbar, 4758. Uyun al-Akhbar, iv:103. Majma’ al-Amtsal, li al-Maidani, ii : 479 .Lihat: Mashadir al-Syi’r al-Jahili, 107-133, dimana ada 20 bukti dari berbagai syair yang
menunjukkan berbagi syair yang menunjukkan bahwa syair sudah ditulis pada masa jahiliyah. Lihat pula : Krenkov, The Use of Writting for the Preservation of Ancient Arabic Poetry, A Volume of Or. St. Presented to E.G. Browne, pp. 26-68.
para pujangga, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kabilah itu
selalu ditulisnya.1
TRADISI MENULIS AWAL ISLAM
a. Makkah al-Mukarramah
Ketika Islam datang, di kalangan suku Quraisy terdapat 17 orang
yang dapat menulis.2 Tetapi jumlah ini tidak dapat dijadikan patokan,
apalagi mengingat letak Makkah yang sangat strategis untuk perdangan
disamping sebagai pusat kegiatan agama. Di segi lain, nama-nama yang
disebut Baladzuri tidakn mencakup orang-orang Makkah yang dikenal
dapat menulis seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Abdullah bin Amr bin al-Ash,
Sufyan bin Harb, dan lain-lain. Kalau hal itu hanya dimaksudkan sebagai
bukti bahwa orang-orang Makkah sedikit yang mengetahui tulis menulis,
maka daftar yang ditulis al-Baladzuri itu dapat diterima.
Ada kenyataan lain yang perlu diperhatikan, yaitu adanya sejumlah
wanita yang mengetahui tulis menulis, seperti Ummul Mu’minin Hafsah,
Ummu Kalsum binti ‘Uqbah, al-Syifa binti Abdullah al-Quraisyiah,
‘Aisyah binti Saad, dan Karimah binti al-Miqdad. Sedang Ummu
Mu’minin ‘Aisyah dan Ummu Salamah hanya dapat membaca, dan secara
umum tidak dapat menulis.3
b. Madinah al-Munawwarah
Al-Waqidi menuturkan, dikalangan orang-orang Aus dan Khazraj
sedikit sekali yang dapat menulis Arab. Sejumlah orang-orang yahudi juga
pernah mengajar menulis Arab. Dan pada masa-masa awal, anak-anak di
1. Mashadir al-Syi’r al-Jahili, 1652 .Futuh al-Buldan, 660-661. Al-‘Iqd al-Farid, iv:157. Mukhtalaf al-Hadis, Li Ibn
Qutaibah, 287. Ibn Saad, iii/1:77 Bandingkan dengan tulisan Lammens P.H. dalam bukunya : La Mecquea a la veille de L’Heqire, pp. 103-145.
3. Futuh al-Buldan, 661-662
Madinah juga belajar menulis.1 Menurut al-Waqidi, jumlah mereka yang
dapat menulis itu tidak lebih dari 11 orang.2 Dan seperti halnya di Makkah,
jumlah penduduk Madinah yang mengetahui tulis menulis relatif sedikit.
Namun demikian, catatan tentang sedikitnya orang-orang yang mengetahui
tulis menulis itu tidak dapat dijadikan barometer yang pasti tentang
kegiatan pendidikan di Jazirah Arab pada saat itu.
Tatkala Allah bermaksud menyempurnakan nikmatNya dialam
raya ini, ia mengutus Muhammad SAW yang ummi itu sebagai Rasul.
Begitu pula orang-orang pertama kali mendapat perintah Allah itu juga
ummi. Tetapi risalah Islam tidak mungkin membiarkan seperti itu, sebab
Islam menghendaki agar ummatnya melepaskan diri dari kebodohan.
Karena ketidaktahuan tulis menulis termasuk hal yang
menghalangi masalah itu, maka perintah Allah yang pertama kali
diturunkan adalah untuk membaca.
��ك ورب قرأ سان م ن علق . إ ن ذ ى خلق . خلق اإل ك ال رب م الس ب "قرأ إسان ما لم يعلم ن . علم اإل القلم م ب ذ ى عل رم ، ال االك
Artinya: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah. Yang mengajar manusia
dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang
tidak diketahuinya.
Ayat-ayat pertama yang dibebankan kepada Rasulullah SAW ini
mengisyaratkan apa yang akan terjadi tentang ilmu pengetahuan dalam
Islam. Oleh sebab itu kita melihat orang-orang Islam pada periode Makkah
mempelajari al-Qur’an. Padahal jumlah mereka juga sangat sedikit,
disamping mereka juga dalam ketakutan terhadap musuh-musuhnya
1. Futuh al-Buldan, 6632. Futuh al-Buldan, 663-664
karena sering disiksa. Sebagai bukti yang paling tepat adalah kisah
Abdullah bin Mas’ud,1 dan masuk Islamnya Umar bin Khattab.2
Setelah kaum Muslimin hjrah ke Madinah, da’wah Islam
menemukan titik-titik cerah dimana orang-orang Anshar memeluk Islam.
Keadaan pendidikan juga mengalami perubahan sebab orang-orang Anshar
yang hidup sebagai bangsa ummi sejak semula tidak menghendaki diam
dalam kebodohan. Dari sinilah lembaran baru dalam pendidikan dimulai.
Pada waktu Nabi masih tinggal di Makkah, orang Anshar seperti
Rafi’ bin Malik juga pernah menghadap Nabi untuk belajar al-Qur’an,3
dan sesudah kembali ke Madinah ia mengajarkannya di sana. Bahkan tidak
cuma itu, mereka meminta agar Nabi mengirimkan guru-guru untuk
mengajarkan agama dan al-Qur’an kepada mereka.4 Nabi pun
mengirimkan Mush’ab bin ‘Umair.5
Begitulah, Nabi sangat menaruh perhatian terhadap masalh
pendidikan sejak beliau masih diperangi musuh di Makkah.6 Dan sesudah
hijrah Nabi lebih leluasa mengembangkan ilmu. Dan sejak itu pula beliau
menggariskan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam pendidikan yang tidak
ada bandingnya sampai sekarang. Inilah sekedar contoh dari teori-teori
kabijaksanaan pendidikan dalam Islam. Dan pengaruhnya kita rasakan
sekarang.
1. Ibnu Saad, iii/i:1072. Sirah Ibn Hisyahm, i:342-2463. Al-Taratib al-Idariyah, i : 444. Ibn Saad, iii:113. Al-Watsaiq al-Siasiyah, 345. Ibn Saad, iii:118. Tarikh al-Fasawi, iii:1936 .Ibn Saad, iii/1:107. Menurut Ibn Saad, Ibn Mas’ud adalah orang yang pertama kali
mengajarkan al-Qur’an di Makkah. Ini berarti di Makkah sudah ada usaha-usaha pendidikan al-Quran.
2. PENULISAN HADITS PADA MASA RASULULLAH DAN
SAHABAT
a. Penulisan Hadits Pada Masa Rasulullah
Rasul hidup ditengah-tengah masyarakat sahabtanya. Mereka dapat
bertemu dan bergaul langsung dengan beliau secara bebas. Tidak ada
ketentuan protocol yang menghalangi mereka bertemu dan bergaul
langsung dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka
langsung masuk langsung ke rumah Nabi, ketika beliau tidak ada di
rumahdan berbicara dengan para istri tanpa hijab. Nabi SAW. Bergaul
dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan
di dalam hadhar.1
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga seluruh ucapan dan tutur
kata beliau menjadi sasaran perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik
mereka jadikan pedoman hidup. Karena kesungguhan untuk meneladani
beliau, para sahabat yang rumahnya jauh dari mesjid, silih berganti
mendatangi majelis-majelis Nabi. Umar bin Khattab, menurut riwayat al-
Bukhari menerangkan:
كنت أن��ا وج��ار لي من األنص��ار في أمي��ة بن يزي��د وهي من عوالى المدين��ة و كن��ا نتن��اوب ال��نزول على عه�د رس��ول الل��ه ص.م ينزل يوما فإذا أنزلت جئته بخبر ذالك اليوم من ال��وحي و غيره، وإذا نزل فعل مثل ذالك. فنزل صاحبى األنصاري يوم نوبته فضرب بابي ش��ديدا فق��ال: أثم ه��و؟ فف��زعت فخ��رجت�ق رس�ول الل�ه نس�ائه. إليه فقال: لقد ح�دث أم�ر عظيم: طل قلت: ق��د كنت أظن أن ذال��ك ك��ائن حتى إذا ص��ليت الص��بح، شددت على ثي��ابي ثم ن��زلت ف��دخلت على حفص��ه. يع��نى أم المؤم��نين بنت��ه. ف��إذا هي تبكى فقلت: أطلقكن رس��ول الل��ه
1. Hadir atau tidak dalam keadaan bepergian-ed
: ألدرى. ثم دخلت على النبي ص.م، فقلت و أن��ا ص.م؟ قالت.قائم: أطلقت نساءك؟ قال: ال، فقلت ألله اكبر
“Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dan golongan Anshar
bertempat di kampung Umayyah bin Yazid, sebuah kampung yang jauh
dari kota Madinah. Kami berganti-ganti datang kepada Rasul. Kalau
hari ini aku yang turun, esok tetanggaku yang pergi. Kalau aku yang
turun, aku beritakan kepada tetanggaku apa yang aku dapati dari
Rasulullah. Kalau dia yang pergi, demikian juga. Pada suatu hari, pada
hari gilirannya, sahabatku pergi. Sekembalinya, dia mengetuk pintu
rumahku dengan keras serta berkata, ” adakah Umar di dalam?” aku
terkejut lalu keluar mendapatinya. Ia menerangkan bahwa telah terjadi
satu keadaan penting. Rasul telah mentalaq istri-istrinya. Aku berkata,
“memang sudah kuduga terjadi peristiwa ini.” Sesudah saya shalat
subuh, saya pun berkemas lalu pergi. Sesampai di kota, saya masuk ke
rumah Hafsah. Saya dapati dia sedang menangis. Maka saya bertanya:
“apakah engkau telah ditolak oleh Rasul?” Hafshah menjawab: “saya
tidak tahu.” Sejurus kemudian saya masuk kebilik Nabi, sambil berdiri
saya berkata, “apakah anda telah mentalaq istri-istri anda?” Nabi
menjawab: “tidak.” Ketika itu saya pun mengucapkan “Allahu Akbar.”1
Riwayat ini menerangkan, bahwa para sahabat sangat
memperhatikan gerak-gerik Nabi dan sangat merasa perlu untuk
mengetahui segala apa yang disabdakan. Mereka meyakini, bahwa mereka
diperintahkan mengikuti dan mentaati Nabi. Kabilah-kabilah yang tinggal
jauh dari kota Madinah selalu mengutus salah seorang anggotanya pergi
mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama. Sepulang
mereka ke kampungnya, mereka segera mengajarkan kepada kawan-
kawannya sekampung. Sebagian sahabat sengaja dari tempat-tempat yang
jauh mendatangi Nabi hanya untuk menanyakan sesuatu hukum syar’i.
Semua sahabat pada umumnya menrima Hadits dari Nabi Saw.
Namun, dalam hal ini, para sahabat tidak sederajat dalam mengetahui 1. Fath al-Bari 1: 150
keadaan Rasul. Ada yang tinggal di kota, di dusun, dan ada pula yang
sering bepergian, ada yang terus-menurus beribadat, tinggal di masjid
tidak bekerja. Nabi pun tidak selalu mengadakan ceramah terbuka.
Kadang-kadang saja beliau melakukan yang demikian. Ceramah terbuka
diberikan beliau hanya tiap-tiap hari jum’at, hari raya dan waktu-waktu
yang tidak ditentukan, jika keadaan menghendaki.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibn Mas’ud:
كان النبي ص.م يتخولنا بالموعظة في األيام، كراهة السأمة علينا.
“Nabi Saw. Selalu mencari waktu-waktu yang baik untuk
memberikan pelajaran supaya kami tidak bosan.”
Para sahabat dalam menerima hadits Nabi, berpegang pada
kekuatan hafalan, yakni menerimanya dengan jalan hafalan bukan dengan
dengan jalan menulis. Sahabat-sahabat Rasul yang bisa menulis sedikit
sekali. Mereka mendengar dengan sangat hati-hati apa yang Nabi
sabdakan. Lalu tergambarlah lafal atau makna itu dalam dzihm (benak)
mereka. Mereka melihat apa yang Nabi kerjakan. Mereka mendengar pula
dari orang yang mendengarnya sendiri dari Rasul. Karena tidak semua
sahabat pada setiap waktu dapat menghadiri majelis Nabi, maka mereka
menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain secara hafalan
pula. Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadits yang di
dengarnya dari Nabi.
Dibalik larangan Rasulullah untuk tidak menulis haditsnya,
ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan
melakukan penulisan terhadap hadits dan memiliki catatan-catatannya,
ialah:
a. Abdullah ibn Amr al-‘Ash. Hadits-hadits yang terhimpun
dalam catatannya sekitar seribu hadits, yang menurut
pengakuannya diterima langsung dari Rasul Saw ketika mereka
berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya.1
b. Jabir ibn Abdillah ibn Amr al-Anshari (78 H). Ia memiliki
catatan hadits dari Rasul tentang manasik haji. Hadits-
haditsnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini
dikenal dengan Sahifah Jabir.
c. Abu Hurairah al-Dausi (59 H). Ia memiliki catatan hadits yang
dikenal dengan al-Sahifah al-Sahihah. Hasilnya karyanya ini
diwariskan kepada anaknya bernama Hammam.
d. Abu Syah (Umar ibn Sa’ad al-Anmari) seorang penduduk
Yaman. Ia meminta kepada Rasul dicatakan hadits yang
disampaikannya ketika pidato pada peristiwa Fathu Makkah.
Disamping nama-nama diatas, masih banyak lagi nama-nama
sahabat lainnya, yang juga mengaku memiliki catatan hadits dan
dibenarkan Rasul Saw. Seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin
Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud.2
b. Penulisan Hadits Pada Masa Sahabat
Periode kedua perkembanagn hadits adalah masa sahabat,
khususnya masa Khulafa’ al-Rasyidin yang berlangsung sekitar tahun 11
H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadits belum
begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh
karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang
menunjukkan adanya pembatasan periwayatan ( al-tasabbut wa al-iqlal
min al-riwayah ).
1 .Ajjaj al-Khathib, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) cet. Ke-6,, hlm 349. Lihat juga Muhammad Musthafa al-A’zhami, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi; Tarikh Tadwinihi, (Riyadh: Jamiah Riyadh, t.t), hlm. 121-124
2 .Muhammad Musthafa al-‘Azami, op. Cit., hlm. 129-130. Lihat juga ‘Ajjaj al-Khatib, 1981, op. Cit., hlm. 348-360
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada
memilahara dan menyebarkan al-Qur’an. Ini terlihat sebagaimana al-
Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar bin Khattab.
Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Utsman bin Affan, sehingga
melahirkan Mushaf Utsmani. Satu disimpan di Madinah yang dinamai
Mushaf al-Imam, dan yang empat lagi masing-masing disimpan di
Makkah, Bashrah, Syria, dan Kuffah. Sikap memusatkan perhatian
terhadap al-Qur’an tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian
terhadap hadits.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan
sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang
padahal mereka sadari bahwa hadits merupakan sumber Tasyri’ setelah al-
Qur’an, yang harus terjaga dari kekeliruan sebagaimana al-Qur’an. Oleh
karenanya, para sahabat khususnya Khulafa’ al-Rasyidin dan sahabat
lainnya seperti Al-Zubair, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha
memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.1
3. KODIFIKASI HADITS SECARA RESMI
Sudah dapat dipahami bahwa dalam abad pertama Hijriah, muali
dari zaman Rasul, masa Khulafa’ al-Rasyidin dan sebagian besar zaman
Amawiyah ( Bani Umayyah) yakni hingga akhir abad pertama Hijriah,
hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi
meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya.
Dikala kendali khalifah dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz yang
dinobatkan pada tahun 99 H seorang khalifah dari dinasti Amawiyah yang
terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai Khalifah
Rasyidin yang kelima, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits.
Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadits dalam 1. Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, op. Cit., hlm: 92-93
kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir
apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan dalam buku-buku hadits
dari para perawinya, mungkinlah hadits-hadits itu akan lenyap dari
permukaan bumi.
Untuk menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah
meminta kepada gubernur Madinah, Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amer
ibn Hazmin (120 H)1 yang menjadi guru Ma’mar, Al-Laits, Al-Auza’y,
Malik, Ibn Ishaq, dan Ibn Abi Dzi’bin supaya membukukan hadits Rasul
yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, Amrah binti Abdir
Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn ‘Ades, seorang ahli fiqih, murid Aisyah
ra. (20 H = 642 M – 98 H = 716 M atau 106 H = 724 M), dan hadits-hadits
yang ada pada al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr al-Shiddiq (107 H =
725 M), seorang pemuka tabi’ydan salah seorang fuqaha Madinah yang
tujuh.2
Di samping itu Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur
ke serata wilayah yang dibawah kekuasaannya supaya berusaha
membukukan hadits yang ada pada ulama yang diam di wilayah mereka
masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas
kemauan khalifah itu, ialah: Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn
Ubaidillah ibn Syihab az Zuhry, seorang tabi’y yang ahli dalam urusan
fiqih dan hadits.3
Beliau guru Malik, al-Auza’y, Ma’mar, al-Laits, Ibn Ishaq, Ibn Abi
Dzibin. Inilah ulama besar yang mula-mula membukukan hadits atas
anjuran khalifah.
1 .Abu Bakar ibn Hasan belajar pada Az Zaijad ‘Abbad ibn Tamim, Amer ibn Sulaiman Az Zaraqy dan makciknya ‘Amrah dan dari khalifah putri Anas ibn Malik
2 .Fuqaha yang tujuh ialah: al-Qasim, ‘Urwah ibn Zubair, Abu Bakar ibn Abdir Rahman, Sa’id ibn Musaiyab, Abdillah ibn Abdullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud, Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit, Sulaiman ibn Yassar. (al-Ghani VIII:88)
3 .Az Zuhry menerima hadits dari ibn Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Muhammad ibn al-Rabi’, Sa’id ibn Musaiyab dan Abu Umamah ibn Sahel
Kitab hadits yang ditulis oleh Ibn Hazm yang merupakan kitab
hadits yang pertama yang ditulis atas perintah Kepala Negara tidak sampai
kepada kita, tidak terpelihara semestinya. Dan kitab itu tidak membukukan
seluruh hadits yang ada di Madinah. Membukukan seluruh hadits yang ada
di Madinah itu, dilakukan oleh Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihab
Az Zuhry. Yang memang terkenal sebagai seorang Ulama besar dari
ulama-ulama hadits di masanya.
Kemudian dari itu berlomba-lombalah para ulama besar
membukukan hadits atas anjuran Abu Abbas As Saffah dan anak-anaknya
dari khalifah-khalifah Abbasiyah. Akan tetapi tidak dapat diketahui lagi,
yang mula-mula yang membukukan hadits sesudah Az Zuhry itu, karena
ulama-ulama tersebut yang datang sesudah Az Zuhry seluruhnya semasa.
Para pengumpul hadits yang tercatat sejarah adalah:
a. Di kota Makkah, Ibn Juraid (80 H = 669 M – 150 H = 767 M).
b. Di kota Madinah, Ibn Ishaq (… H = … M - … H = 768 M). Atau Ibn
Abi Dzi’bin. Atau Malik Ibn Annas (93 H = 703 M – 179 H = 798 M).
c. Di kota Bashrah, al-Rabi’ ibn Shabih (… H = … M – 160 H = 777 M).
Atau Hammad ibn Salamah ( 176 H ). Atau Sa’id ibn Abi Arubah (156
H = 773 M).
d. Di Kufah, Sufyan Ats Saury ( 161 H ).
e. Di Syam, al-Auza’y ( 156 H ).
f. Di Wasith, Husyaim al-Wasithy ( 104 H = 772 M – 188 H = 804 M ).
g. Di Yaman, Ma’mar al-Azdy ( 95 H = 753 M – 153 M = 770 H ).
h. Di Rei, Jarir al-Dlabby ( 110 H = 728 M – 188 H = 804 M ).
i. Di Khurasan, Ibn Mubarak ( 118 H = 735 M – 181 H = 797 M ).
j. Di Mesir, al-Laits ibn Sa’ad ( 175 H ).
Semua ulama besar yang membukukan hadits ini, terdiri dari ahli-
ahli abad yang kedua Hijriyah. Kita menyayangkan kitab Az Zuhry dan
Ibn Juraid itu tidak diketahui di mana sekarang ini.
Kitab yang paling tua yang ada di tangan ummat Islam dewasa ini,
ialah Al-Muwaththa’ susunan Imam Malik r.a. yang disuruh susun oleh
khalifah Al-Manshur di ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H ( 143
H ). Kitab-kitab hadits yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam
abad kedua ini, banyak. Akan tetapi yang terkenal dalam kalangan ahli
hadits, ialah:
a. Al-Muwaththa’, susunan Imam Malik (95 H – 179 H).
b. Al-Maghazy wal-Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H).
c. Al-Jami’, susunan Abdur Razzaq As San’any (211 H).
d. Al-Mushannaf, susunan Syu’bah ibn Hajjaj (160 H).
e. Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn ‘Uyainah (198 H).
f. Al-Mushannaf, susunan al-laits ibn Sa’ad (175 H).
g. Al-Mushannaf, susunan al-Auza’y (150 H).
h. Al-Mushannaf, susunan al-Humaidy (219 H).1
i. Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad ibn Waqid al-Aslamy
(130 H – 207 H).
j. Al-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
k. Al-Musnad, susunan Zaid ibn Ali.
l. Al-Musnad, susunan al-Imam Asy Syafi’y (204 H).
m. Mukhtaliful-Hadits, susunan al-Imam Asy Syafi’y.
1 .Perbedaan Musnad dengan Mushannaf, ialah musnad disusun haditsnya menurut nama perawi pertama, sedangkan mushannaf disusun menurut bab fiqih. Begitu juga sunan dan shihah.
C. KESIMPULAN
Rencana untuk mengumpulkan hadits hadits nabi pertama dimulai
oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun dengan berbagai pertimbangan
rencana tersebut batal dilaksanakan. Alasan utamanya adalah karena waktu
itu masih berlangsung pengumpulan al Qur’an.
Sedangkan kodifikasi secara resmi dilakukan pada masa
pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Umar
memerintahkan kepada para gubernur untuk mengumpulkan dan
melakukan pembukuan terhadap hadith.
Ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara lain:
Khalifah Umar bin Abdul Aziz.(memerintah mulai tahun 99-101 H).
Abdul Malik bin Abdul Aziz (-150 H) di Makkah. Malik bin Anas (93-179
H) dan Muhammad bin Ishaq (-151 H) di Madinah. Muhammad bin
Abdurrahman bin Dzi’ib (80-158 H) di Makkah. Rabi’ bin Sabih (-160 H),
Sa’id bin ‘Arubah (-156 H) dan Hammad ibn Salamah (-167 H) di Basrah.
Sufyan al-Tsauri (97-161 H) di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan
Ma’mar ibn Rashid (95-153 H) di Yaman. Abdurrahman bin ‘Amr al-
Auza’i (88-157 H) di Sham.Abdullah ibn al-Mubarak (118-181 H) di
Khurasan. Hashim ibnu Bushair (104-183 H) di Wasit. Jarir ibn Abdul
Hamid (110-188 H) di Rayy. Abdullah ibn Wahb (125-197 H) di Mesir.
DAFTAR PUSTAKA
Azami, Muhammad Mustafa, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, ( Pejaten
Barat: 2000 ).
Al-Khatib, M. ‘Ajaj, Ushul al-Hadits, ( Beirut, Libanon: Dar al-Fike, 1998 ).
Fathurrahman, Ikhtisar Musthalah Al-Hadits, ( Bandung: Al-Maarif, 1991).
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008 ).
Shiddieqy, Ash-, T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2005 ).
Shiddieqy, Ash-, T.M. Hasbi, Ilmu Musthalah Al-Hadits, ( Padang, 1940 ).