dongeng dan kekuasaan atas perempuan

8
DONGENG DAN KEKUASAAN ATAS PEREMPUAN Oleh: Audifax Dongeng akrab dengan kehidupan kita. Ketika kanak-kanak, kita kerap mengonsumsi berbagai dongeng. Anggapan sebagai cerita isapan jempol, membuat orang tidak menyadari kekuatan ( baca: power, kekuasaan) yang ada dalam dongeng. Terlepas dari ketidaknyataannya, dongeng sebenarnya menanamkan banyak hal, mulai dari benar-salah, pantas-tidak pantas, baik-buruk dan sebagainya. Nilai yang ditanamkan melalui dongeng saat kita masih kanak-kanak, sangat mungkin terbawa hingga dewasa. Nilai ini kemudian menjadi dasar bagi peran kita dalam masyarakat. Jika anda mengenal dongeng-dongeng: Snow White, Sleeping Beauty, Cinderella, maka anda akan menemukan simbolisasi perempuan yang tergantung pada laki-laki untuk menemukan kebahagiaannya. Snow White mati setelah memakan apel beracun dan dia bisa hidup kembali setelah mendapat kecupan dari Sang Pangeran. Begitu pula, Sleeping Beauty yang hanya bisa terlepas dari kutukan tertidur setelah mendapat ciuman dari seorang Pangeran. Banyak dongeng menempatkan perempuan sebagai sosok yang tergantung pada laki-laki. Dalam dominasi laki-laki ini, yang sebetulnya terjadi ialah kekuasaan. Menurut Pierre Bourdieu, kekuasaan bekerja melalui penguasaan modal simbolik atau modal kekuasaan yang tak kasat mata. Pada kondisi ini, kaum perempuan bahkan tidak melihat atau merasakan bahwa dongeng adalah salah satu bentuk penguasaan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar. Bahwa perempuan hanya pasif menerima nasib atau ditentukan oleh laki-laki sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Dongeng adalah manifestasi dari mite. Sementara mite sendiri adalah entitas yang keluar dari alam ketaksadaran kolektif manusia (shared unconscious realm). Carl Gustav Jung menjelaskan

Upload: achmad-hidayat

Post on 06-Jun-2015

1.283 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Jika anda mengenal dongeng-dongeng: Snow White, Sleeping Beauty, Cinderella, maka anda akan menemukan simbolisasi perempuan yang tergantung pada laki-laki untuk menemukan kebahagiaannya. Snow White mati setelah memakan apel beracun dan dia bisa hidup kembali

TRANSCRIPT

Page 1: dongeng dan kekuasaan atas perempuan

DONGENG DAN KEKUASAAN ATAS PEREMPUAN

Oleh:Audifax

 

Dongeng akrab dengan kehidupan kita. Ketika kanak-kanak, kita kerap mengonsumsi berbagai dongeng. Anggapan sebagai cerita isapan jempol, membuat orang tidak menyadari kekuatan ( baca: power, kekuasaan) yang ada dalam dongeng. Terlepas dari ketidaknyataannya, dongeng sebenarnya menanamkan banyak hal, mulai dari benar-salah, pantas-tidak pantas, baik-buruk dan sebagainya. Nilai yang ditanamkan melalui dongeng saat kita masih kanak-kanak, sangat mungkin terbawa hingga dewasa. Nilai ini kemudian menjadi dasar bagi peran kita dalam masyarakat.

Jika anda mengenal dongeng-dongeng: Snow White, Sleeping Beauty, Cinderella, maka anda akan menemukan simbolisasi perempuan yang tergantung pada laki-laki untuk menemukan kebahagiaannya. Snow White mati setelah memakan apel beracun dan dia bisa hidup kembali setelah mendapat kecupan dari Sang Pangeran. Begitu pula, Sleeping Beauty yang hanya bisa terlepas dari kutukan tertidur setelah mendapat ciuman dari seorang Pangeran. Banyak dongeng menempatkan perempuan sebagai sosok yang tergantung pada laki-laki.

Dalam dominasi laki-laki ini, yang sebetulnya terjadi ialah kekuasaan. Menurut Pierre Bourdieu, kekuasaan bekerja melalui penguasaan modal simbolik atau modal kekuasaan yang tak kasat mata. Pada kondisi ini, kaum perempuan bahkan tidak melihat atau merasakan bahwa dongeng adalah salah satu bentuk penguasaan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar. Bahwa perempuan hanya pasif menerima nasib atau ditentukan oleh laki-laki sebagai sesuatu yang sudah semestinya.

Dongeng adalah manifestasi dari mite. Sementara mite sendiri adalah entitas yang keluar dari alam ketaksadaran kolektif manusia (shared unconscious realm). Carl Gustav Jung menjelaskan bahwa mite terbentuk dari arketipe-arketipe yang ada pada tataran bawah sadar kolektif. Ini sebabnya tema-tema dongeng yang sama bisa bermunculan di berbagai tempat dan masa yang berbeda. Kita dapat menemui tema putri diselamatkan pangeran, kurcaci, orang tua bijaksana, dan sejumlah tema lainnya, muncul secara berulang di berbagai tempat dan sepanjang rentang masa. Mite-mite ini selain muncul dalam dongeng juga berperan membentuk religi dan agama.

Mite yang manifes sebagai dongeng, menempatkan sosok Tuhan pada jenis kelamin laki-laki. Dalam agama tidak perlu dipertanyakan lagi; kita dapat melihat beberapa agama mengonstruksikan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki dan ini diterima sebagai kebenaran karena telah dilabel sebagai Wahyu, Takdir dan sebagainya. Mite yang manifes dalam dongeng, agama, dan lain sebagainya, kemudian berubah menjadi sebuah konsepsi tentang hubungan

Page 2: dongeng dan kekuasaan atas perempuan

laki-laki dan perempuan yang tidak menguntungkan perempuan dan mempunyai implikasi pada terbentuknya struktur kekuasaan.

Layaknya mite yang manifes dalam dongeng, kekuasaanpun bersifat absurd, tak terdefinisikan. Ia tak berbentuk namun muncul di mana-mana. Menurut Michel Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau hasil dari persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bias; juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan bukan institusi, bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan ada di mana-mana; tapi bukan berarti mencakup semua; kekuasaan lebih merupakan sesuatu yang datang dari mana-mana. Begitu merasuknya kekuasaan dalam kehidupan, sehingga banyak manusia tak bisa lagi merasakannya. Manusia mati dalam rantai kekuasaan yang beroperasi dalam tanda. Orang atau institusi yang menguasai dan mampu memanipulasi tanda akan mampu menguasai orang lain.

Konsepsi yang muncul dari dongeng memberi kontribusi bagi proses yang mengkristalisasi pemahaman mengenai laki-laki dan perempuan yang kemudian diterima sebagai sesuatu yang alamiah dalam suatu budaya. Yang alamiah, yang sudah semestinya itu, menjadi mitos yang didukung oleh wacana yang dikuasai oleh laki-laki. Mitos itu diterima dan didukung oleh struktur sosio-budaya dan pengorganisasian masyarakat. Pada titik ini, kita memperoleh cermatan bahwa peran perempuan dan laki-laki yang didapat seorang anak melalui dongeng dan terbawa hingga dewasa, adalah sebagian dari fakta sejarah, yang memungkinkan untuk dirubah, sejauh kemampuan kita mengolah dan menafsirkan kembali nilai dalam dongeng itu. Peran-peran dalam masyarakat yang didominasi oleh laki-laki sebenarnya lebih karena dikondisikan oleh konteks budaya tertentu dan bukan sudah semestinya demikian. Maka membongkar ketidakadilan gender berarti menafsirkan kembali peran pada tatanan yang telah ada.

Dongeng memiliki peran menentukan dalam mendefinisikan pengorganisasian masyarakat dan pembagian peran gender. Ini karena dongeng diperkenalkan pada kita sejak kanak-kanak, sejak kita belum mengerti peran sebagai laki-laki dan perempuan. Pemahaman bahwa perempuan adalah sosok pasif yang menunggu datangnya sang Pangeran secara tidak sadar juga terinternalisasi dalam pemikiran kita. Ini bisa kita temui di kemudian hari pada peristiwa seorang isteri yang mengatakan bahwa suaminya setuju bahwa dia meneruskan kariernya. Seakan-akan bagi perempuan, menekuni profesinya itu menjadi mungkin karena belas kasih sang suami. Mengapa justru tidak mengandaikan yang sebaliknya bahwa melalui profesinya itu perempuan mencapai pemenuhan diri. Lelaki itu bisa menjadi suaminya karena menerimanya seperti apa adanya dan eksistensi karir si istri turut memberi kontribusi pada eksistensi suami. Dari pembalikkan wacana seperti itu menjadi jelas bahwa perjuangan untuk kesetaraan perempuan yang selama ini berkutat pada pemenuhan hak-hak perempuan, perlakuan yang adil, justru memperkuat wacana dominasi peran laki-laki atas perempuan. Perjuangan untuk kesetaraan gender semestinya lebih

Page 3: dongeng dan kekuasaan atas perempuan

ditekankan pada dekonstruksi sistem peran itu sendiri, terutama konstruksi simbolis mengenai laki-laki yang ada dalam masyarakat, selanjutnya masalah hak dan keadilan dengan sendirinya akan ikut terdekonstruksi.

Foucault mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan dipahami bukan dalam keterpusatan pada satu titik atau satu sumber otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan. ‘Hubungan’ dan ‘perbedaan dalam hubungan’ menjadi salah satu faktor penting munculnya kekuasaan. Orang kerap menerima dan menempatkan berbeda antara diri dan orang lain sehingga memungkinkan munculnya dominasi atau kekuasaan. Ketika perempuan menginternalisasi simbol putri cantik yang menunggu pertolongan sang pangeran dalam dirinya, maka seketika itulah kekuasaan laki-laki atas dirinya berlangsung. Secara tidak sadar, perempuan seperti ini telah memposisikan dirinya berbeda dengan laki-laki dalam hal kemampuan.

Konstruksi simbolis yang melahirkan kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam dongeng, bekerja dalam mekanisme hegemoni Gramscian, melalui dongeng terjadi penaklukan moral intelektual sehingga yang tertindas memberi pengakuan secara sukarela terhadap simbol-simbol yang menindasnya. Jadi sebetulnya logika dominasi ini bisa berjalan karena prinsip simbolis yang diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis yang berasal dari dongeng itu kemudian menderivat pada mitos, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak, dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri ketubuhan.

Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Dongeng

Hak adalah sisi lain dari kewajiban, maka pemenuhan hak menuntut syarat-syarat. Melalui dongeng, anak tertanam pemahaman mengenai hak dan kewajiban. Laki-laki adalah pangeran penolong bagi putri cantik. Laki-laki bertugas menyelamatkan, dan perempuan (sebagai pihak yang diselamatkan) wajib membaktikan diri atau membalas budi si penyelamat. Kriterium ini ditentukan oleh standar laki-laki, karena menguntungkan pihak laki-laki, di satu sisi dia dipuja sebagai ‘pahlawan’, di sisi lain dia mendapat ‘hadiah’ seorang putri cantik. Kesadaran akan hak-kewajiban seperti ini menjebak perempuan pada pengakuan atas standar yang menguntungkan laki-laki. Dalam derivasinya simbolisme ini muncul pada ungkapan-ungkapan seperti: “siapakah yang harus maju berperang kalau negara ini diserang?”; siapa yang harus menyelamatkan rumah tangga?” “siapa bertanggungjawab bila keluarga tidak bisa memenuhi kebutuhannya?”; “siapakah yang wajib melakukan ronda malam menjaga keamanan kampung?” Ungkapan-ungkapan tersebut memberi legitimasi atas privilese yang diterima laki-laki. Jadi kalau perempuan menginginkan berada pada kondisi selamat (save), ia lebih dulu harus memenuhi syarat-syarat seperti yang dilakukan laki-laki, sang penyelamat (savior). Syarat-syarat itu sebetulnya dibuat sesuai dengan fisiologi dan kepentingan laki-laki, kemudian dilembagakan

Page 4: dongeng dan kekuasaan atas perempuan

dalam institusi-institusi sosial melalui pendasaran ideologis dan simbolis yang wajar sehingga diterima oleh masyarakat.

Orang tidak menyadari, karena dominasi wacana oleh laki-laki, perempuan tersingkir melalui proses yang legitim. Seakan-akan karena kelemahan dan kesalahan perempuan marjinalisasi itu terjadi. Proses manipulatifnya terletak pada tradisi dan kebiasaan yang melegitimasi laki-laki untuk mendefinisikan peran, kerja, jasa, norma.

Tanpa disadari, dongeng membentuk struktur nilai kehidupan yang mengondisikan dan memarjinalkan kaum perempuan. Dongeng bisa mewujudkan diri, karena dia diterima dengan sukarela, menginternalisasi karena diartikan, dan bahkan menguasai dunia karena menimbulkan imajinasi yang menyenangkan (baik bagi pihak yang menguasai maupun dikuasai). Perempuan pun banyak yang terinspirasi oleh dongeng dan memimpikan datangnya pangeran tampan penolong yang mempersunting dirinya. Simbol-simbol yang manifes dalam dongeng menjadi mediasi antara ketaksadaran dan kesadaran, sehingga memungkinkan nilai-nilai yang ada dalam dongeng memiliki kekuasaan atas dunia. Dengan demikian, dongeng sudah menjadi inisiasi kemunculan wacana.

Deposisi Peran dalam Dongeng

Tentu saja kita tak harus menyikapi dongeng secara neurotis. Ada banyak nilai-nilai lain yang ada pada dongeng, misalnya Cinta, kesetiaan, pengorbanan, dan lain-lain; namun, hal terpenting adalah bagaimana mengurai, memahami, dan menjelaskan secara tepat dan proporsional pada anak-anak. Saya justru menawarkan untuk mendeposisi peran dalam dongeng, posisi yang sebelumnya diperankan laki-laki dirubah menjadi diperankan perempuan. Jika anda menceritakan Sleeping Beauty pada anak perempuan, mungkin anda dapat merubahnya menjadi Sleeping Handsome yang menggambarkan pangeran menunggu datangnya kecupan dari putri yang membangunkannya dari kutukan.

Tawaran ini lebih pada upaya menjaga agar ketika mempersoalkan kekuasaan, kita tidak terjebak dalam pemikiran baik-buruk sebuah kekuasaan. Kekuasaan tetaplah kekuasaan, tidak ada baik-buruk di dalamnya. Kekuasaan sebenarnya adalah suatu mekanisme yang bekerja. Dalam banyak sisi, mekanisme ini justru menggerakan kehidupan secara produktif. Kekuasaan bisa jadi justru dapat menghasilkan hal-hal yang baru dan memegang peranan penting dalam realitas.

Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan bukan merupakan sesuatu yang menindas, melarang atau membatasi; sebaliknya, justru merupakan kekuatan produktif di mana setiap orang ikut ambil bagian sehingga kekuasaan itu menghasilkan realitas. Dalam pandangan Foucault, efek kekuasaan tidak dipahami secara negatif sebagai kekuatan yang menafikkan, menindas, menolak, menyensor, menutupi, atau menyembunyikan. Kekuasaan justru menghasilkan sesuatu yang riil, berbagai bidang obyek dan ritus kebenaran. Individu dan pengetahuan melanjutkan produksi itu. Permasalahan pentingnya

Page 5: dongeng dan kekuasaan atas perempuan

adalah bagaimana orang dapat melihat secara lebih kritis beroperasinya kekuasaan, ketimbang mempersoalkan sebagai benar salah.

Untuk keluar dari penindasan dan ketidakadilan yang diakibatkan oleh wacana laki-laki, cara yang mungkin ialah melakukan penelusuran sumber wacana itu dan melakukan penafsiran kembali. Dalam kaitan dengan dongeng, ini berarti menafsir ulang pemikiran-pemikiran yang muncul dalam dongeng. Penafsiran ulang yang bagaimana? Penafsiran itu pertama-tama harus memperhitungkan unsur temporalitas wacana yang muncul dari dongeng tersebut atau menyejarahnya pemahaman yang mendasari dongeng itu; kedua, melihat secara kritis tawaran nilai dalam dongeng; ketiga mengadakan deposisi peran laki-laki dan perempuan.

Pendobrakan mesti dilakukan dengan sikap kritis terhadap kemungkinan menyejarahnya pemahaman tertentu yang munculnya dari dongeng. Pemahaman sama halnya dengan kebahasaan, dalam arti orang baru bisa dikatakan memahami ketika dia mampu merumuskan di dalam bahasa. Semua pemahaman bersifat prasangka; artinya ketika seseorang memahami suatu situasi, ia tak pernah dengan kesadaran kosong tetapi sudah membawa kategori-kategori yang sifatnya pra-pemahaman. Tidak ada pemahaman yang murni terhadap sejarah tanpa kaitan dengan masa kini, artinya masa lalu juga beroperasi di masa kini. Masa kini bisa dipahami hanya melalui cara melihat, maksud dan pra-pemahaman yang diwarisi dari masa lampau. Dongeng adalah bagian dari masa lampau yang mengomunikasikan sesuatu layaknya bahasa. Melalui bahasa dan bertitik-tolak dari prasangka tertentu, pemikiran-pemikiran dalam dongeng dapat diaktualisasikan dalam kondisi sejarah atau konteks tertentu pula. Maka, menghadapi wacana yang dianggap menindas perempuan, orang bisa bertanya tentang dimensi kesejarahannya. Tugas hermeneutika dalam perjuangan perempuan adalah menjelaskan momen-momen menyejarah manakah dari dongeng yang membawa pada bias gender. Kategori peran perempuan bisa ditafsirkan kembali agar sosok lemah yang perlu diselamatkan tidak lagi diidentikkan dengan perempuan.

Penafsiran ulang dongeng dimaksudkan sebagai dekonstruksi atas prasangka-prasangka dan ilusi-ilusi yang menjadi bagian dari wacana laki-laki. Dalam realitanya, wacana laki-laki ini menyebar tidak hanya dalam dongeng namun juga dalam pemikiran filsafat, teologi, produk-produk hukum, norma-norma moral atau agama, dsb., semua itu memuat prasangka-prasangka yang sarat nilai-nilai kelakian dan mempertahankan status quo dominasi laki-laki. Ilusi bahwa superioritas nyata laki-laki cukup untuk memberikan pembenaran atas segala tindakannya - membuat hukum dan memberlakukannya - harus ditafsirkan ulang. Dimulai dengan deposisi peran gender dalam dongeng, selanjutnya dalam skala lebih luas, perempuan diajak untuk membongkar motivasi-motivasi yang disadari dan yang terselubung, serta kepentingan-kepentingan laki-laki yang melekat pada wacana politik, filosofis, teologis, dsb. Dengan menafsirkan kembali peran perempuan dalam dongeng, kita dapat membiasakan perempuan sejak kanak-kanak untuk membongkar salah satu sumber kekuasaan simbolis. Wacana baru dan cara melihat baru yang peduli akan nasib perempuan harus dibangun

Page 6: dongeng dan kekuasaan atas perempuan

melalui hal-hal kecil yang kelihatannya remeh seperti dongeng.  Melalui hal sederhana ini,  perempuan bisa mulai belajar menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri.

Bagaimana cermatan anda?

Peneliti; Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA) - Surabaya

www.mail-archive.com/[email protected]/