dounload makalah p naso

Upload: bu-koes

Post on 18-Jul-2015

149 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Dounload Makalah P Nasor Istilah pembaharuan sudah menjadi kosa-kata yang populer sekali dalam perdebatan dan perbincangan umat Islam, terutama setelah memasuki abad ke-20. Istilah pembaharuan bisa disepadankan dengan istilah reformdalam bahasa Inggris. Istilah itu, dalam kamus Websters New World College Dictionary, didefinisikan sebagai to make better by removing faults and defects. Gerakan reformasi sudah kita kenal dalam berbagai sejarah agama dunia, terutama Yahudi dan Kristen. Para penggerak reformasi (reformers) dalam dua agama itu melakukan sejumlah reformasi persis, antara lain, karena mereka melihat beberapa kecenderungan yang salah atau kurang tepat dalam praktek keagamaan yang ada. Reformasi adalah upaya untuk menyingkirkan sejumlah cacatatau kekurangan dalam tradisi agama tertentu yang muncul sebagai akibat dari suatu penyimpangan. Istilah reformasi ini kemudian masuk ke dalam kosa-kata umat Islam, terutama melalui padanannya yang terkenal, yaitu islah. Istilah islah memang tepat menggambarkan pengertian yang termuat dalam istilah reform tersebut. Tetapi, kalau kita tengok sejarah intelektual Islam sendiri, ada istilah lain yang sudah lama dipakai untuk menggambarkan pengertian yang termuat dalam istilah reform itu, yakni tajdid. Istilah yang terakhir inilah yang kemudian sering kita pakai dalam konteks perdebatan di Indonesia, melalui padanan katanya, yaitu pembaharuan. Meskipun tak ada perbedaan yang mendasar antara istilah reform dan tajdid, namun ada sedikit pengertian subtil serta nuansa halus yang sedikit membedakan antara keduanya. Dalam istilah reform terkandung suatu konotasi bahwa keadaan yang ada sudah rusakatau cacat (defective) sehingga harus diperbaiki kembali. Dalam istilah tajdid, tidak kita temui pengertian semacam itu. Istilah tajdid lebih lunak ketimbang istilah reform, sebab tak memuat klaim bahwa the establishment that be, atau kemapanan yang ada dalam bentuk status quo (al-wadal-qaim), tidaklah seluruhnya cacat atau bahkan rusak sama sekali. Tajdid hanya menyarankan bahwa umat perlu memperbaharui keadaan yang ada. Tetapi, baik gerakan reform atau tajdid umumnya berujung pada seruan yang sama, yaitu kembali kepada sumber aslidalam agama bersangkutan. Dalam Kristen, gerakan reform, sebagaimana kita lihat dalam gagasan Martin Luther, menyerukan untuk kembali kepada Alkitab, sumber asli bagi keberagamaan orang-orang Kristen. Kaum Christian reformers dikenal melalui istilah yang mereka populerkan, sola scriptura, paham bahwa keselamatan hanya bisa dicapai melalui Kitab Suci saja, tidak melalui jalan-jalan yang lain yang sifatnya extra scriptural, di luar Kitab Suci.

Metodologi Salah satu isu yang sering diangkat ke permukaan sebagai kritik atas kaum progresif berkenaan dengab aspek metodologi. Kaum pengkritik gerakan ini biasanya mengatakan bahwa gerakan kaum progresif-liberal tidak memiliki metodologi yang utuh dan kokoh. Dengan kata lain, gerakan ini miskin usul fikih. Anggapan semacam ini sebetulnya sama sekali tidak tepat. Sejumlah pemikir Muslim progresif sejak Muhammad Abduh (saya menggolongkan tokoh ini ke dalam kelompok progresif ketimbang regresif; berbeda dengan Rashid Rida yang lebih dekat kepada gerak regresif), hingga ke pemikir modern seperti Fazlur Rahman, Mohamed Arkoun, Muhammd Abid el-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdullahi Ahmed An Naim, Abdul Karim Soroush, Khaled Abou El Fadl, hingga ke intelektual Muslim yang ada di Indonesia sendiri seperti Ibrahim Hosein, Munawir Sjadzali, Nurcholish Madjid, dan Abdurrahman Wahid mereka semuanya telah merumuskan sejumlah dasar dan metodologi untuk memahami Islam secara progresif.

Contoh yang terbaik adalah Fazlur Rahman yang telah merumuskan hermeneutika gerak ganda, yaitu gerak mundur dan gerak maju ke depan. Mungkin ada baiknya kita melakukan semacam stock opname: melihat kembali sejumlah metodologi pembaharuan yang sudah pernah dikemukakan oleh sejumlah pembaharu Muslim sejak abad yang lampau. Saya akan mencoba meringkaskannya di bawah ini: 1. Historisitas: bahwa teks-teks agama muncul dalam konteks kesejarahan tertentu. Oleh karena itu, dalam memahami ajaran agama, telaah terhadap konteks sejarah menjadi niscaya agar pemahaman kita tergadap ajaran tersebut tepat. Historisitas biasanya berkenaan dengan konteks masa lampau. Akan tetapi, pemahaman agama tidak saja harus memperhatikan konteks masa lampau saja. Pemahaman terhadap konteks sekarang juga niscaya. Ini digambarkan dalam metode kedua berikut ini; 2. Kontekstualitas: metode ini hendak mengaitkan agama dengan semangat zaman sekarang. Pemikiran ini, dengan cara yang berbeda-beda, telah dikemukakan oleh banyak pemikir Muslim progresif-liberal di belahan dunia manapun. Di Indonesia, Munawir Sjadzali dikenal sebagai salah satu pemikir Muslim yang gigih mengenalkan prinsip ini. Tercakup dalam metode ini adalah gagasan pribumisasi yang pernah dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Seorang pemikir NU yang lain, Masdar Farid Masudi, pernah melontarkan gagasan rekontekstualisasi dalam lingkup yang lebih terbatas, yaitu rekontekstualisasi Kitab Kuning. 3. Diferensiasi: Yang maksud dengan metode ini adalah pemisahan atau pembedaan. Teks dan ajaran agama tidak bisa dipandang secara organik sebagai keutuhan yang tanpa mengandung diferensiasi di dalamnya. Abdul Karim Soroush, pemikir Muslim progresif dari Iran, adalah salah satu intelektual yang dikenal dengan pembedaan yang ia buat antara, misalnya, agama dan pemahaman agama (Nasr Hamid Abud Zaid memakai istilah lain, tetapi intinya serupa: antara al-din dan al-khithab al-dini), antara aspek yang esensial dan aksidental dalam agama, antara penafsiran yang minimalis dan maksimalis, antara nilai-nilai agama dengan ideologi yang memakai agama sebagai bungkus. Dalam pemikiran usul fikih klasik, diferensiasi semacam ini sudah dikenal, misalnya antara apa yang disebut dengan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Kelemahan mendasar diferensiasi klasik ini adalah bahwa ia hanya semata-mata bertumpu pada diferensiasi tekstual. Dua kategori itu hanya berkaitan dengan apakah suatu ayat jelas atau kabur maknanya. Ini terkait dengan konstruksi epistemologis usul fikih klasik yang hampir seluruhnya bertumpu pada pendekatan tekstual. Apa yang disebut dengan ijtihad pun, pada akhirnya, kembali kepada penalaran yang lebih banyak bertumpu pada teks, seperti metode qiyas (analogy) yang nyaris hanya membuat analogi antara kasus baru dengan ketentuan hukum yang sudah ada dalam teks. Belakangan, di kalangan ulama NU dikembangkan metode baru yang menyerupai qiyas yang disebut ilhaq al-masail bi nadhairiha, menyamakan kasus baru dengan ketentuan hukum yang sudah ada dalam teks yang diproduksi oleh para ulama mazhab. Metode ini, lagi-lagi, sifatnya juga sangat tekstual. 4. Substansialisme: dalam metode ini, dikembangkan gagasan bahwa tekanan dalam memahami agama harus diletakkan pada substansi agama, bukan pada aspekaspeknya yang bersifat eksternal. Gagasan ini dikumandangkan oleh Nurcholish Madjid atau Cak Nur. Secara tak langsung, gagasan ini sudah terkandung dalam gagasan sebelumnya tentang diferensiasi. Salah satu manifestasi dari prinsip substansialisme ini adalah gagasan tentang perlunya memisahkan ajaran-ajaran Islam yang bersifat universal dengan konteks lokal Arab yang bersifat partikular. Sementara

itu, gagasan untuk mengangkat kembali ide tentang maqashid al-shariah (tujuantujuan pokok agama) juga merupakan manifestasi dari pendekatan substansialistik ini. 5. Nasionalisme: metodologi pemikiran Islam yang dikembangkan oleh para pembaharu Muslim pada umumnya membawa semangat yang kurang lebih sama di mana-mana, yaitu pentingnya konteks negara nasional untuk dipertimbangkan dalam memahami ajaran agama. Islam dan negara nasional tidak boleh dipertentangkan. Begitu juga doktrin agama tidak bisa diperlawankan dengan ideologi negara. Gus Dur, saya kira, merupakan salah satu pemikir Muslim yang paling penting sejauh ini dalam membela gagasan tentang komplementaritas antara ideoloi negara dan doktrin Islam. Pemikiran almarhum Kiai Ahmad Siddiq yang memberikan pendasaran terhadap penerimaan Pancasila sebagai dasar negara juga bisa dimasukkan dalam arus ini. 6. Konstitusionalisme: gagasan ini menekankan pentingnya memahami ajaran Islam dalam kerangka kesepakatan politik sebagaimana tertuang dalam konstitusi sebuah negara nasional. Karena negara nasional bergerak juga dalam konteks rezim hukum internasional yang mengenal sejumlah konvensi tertentu, seperti ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights), maka prinsip ini juga mengandaikan bahwa pemahaman ajaran agama tidak boleh mengabaikan sejumlah kerangka dan konvensi hukum internasional. Prinsip ini hendak memahami agama bukan sebagai pulau terisoliryang sama sekali tak memperhatikan perkembanganperkembangan yang terjadi di luar dirinya. Salah satu pemikir Muslim yang dikenal gigih mengenalkan prinsip ini adalah Abdullahi Ahmed An Naim, terutama dalam bukunya Toward an Islamic Reformations: Civil Liberties, Human Rights and International Law (1996). 7. Ekumenisme: yang saya maksud di sini adalah gagasan tentang kemungkinan untuk mencari titik temu antara agama-agama, tanpa mengabaikan perbedaan yang ada di antara mereka. Ekumenisme berasal dari istilah Yunani oikoumene yang artinya adalah tanah yang didiami, yang kemudian masuk dalam nomenklatur intelektual Islam klasik melalui istilah al-aradi al-mamurah. Melalui gagasan ini, dimulailah sejumlah usaha untuk mengadakan dialog antar-agama. Semua pemeluk agama, dalam gagasan ini, dipandang sebagai mendiami bumi yang sama, dan karena itu memikul tanggung-jawab dan menuju kepada tujuan yang sama: membangun bumi yang berkeadilan dan beradab. Tujuan yang sama ini, oleh sejumlah intelektual Muslim, disebut sebagai kalimah sawa (diambil dari ayat 3:64), istilah yang dipopulerkan oleh Nurcholish Madjid.8. Ekualitas: salah satu prinsip yang mendasari metodologi berpikir kaum Muslim progresif adalah ide tentang kesetaraan (musawah). Salah satu manifestasi penting dari ide ini adalah gagasan tentang kesetaraan jender. Kritik yang sering dilancarkan oleh kaum Muslim progresif terhadap pemikiran keagamaan yang salafistik adalah adanya kecenderungan patriarkis yang kuat di sana. Suara kaum perempuan tidak mendapatkan tempat yang penting dalam konstruksi pemikiran Islam seperti ini. Metode ini mencoba menawarkan suatu perspektif pemahaman keagamaan yang lebih sensitif terhadap kepentingan kaum perempuan. Kita mengenal banyak sekali pemikir Muslim, baik perempuan atau laki-laki, yang mengumandangkan prinsip ini: Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Leila Ahmed, Nawal Saadawi, Qasim Amin, atau pemikir Muslimah dari Indonesia sendiri seperti Musdah Mulia, Lieas Marcoes-Natsir, Nasaruddin Umar, dll.

Agenda ke Depan

Apakah agenda pembaharuan ke depan? Ini bukanlah pertanyaan yang mudah dijawab. Saya akan mencoba untuk menyampaikan sejumlah pemikiran awal mengenai masalah ini. Saya membagi lingkup agenda pembaharuan Islam di masa depan ke dalam tiga wilayah:

1. Wilayah metodologi: justifikasi dan landasan intelektual untuk pembaharuan Islam adalah pekerjaan yang, menurut saya, tidak akan pernah mengenal akhir. Ini adalah kegiatan yang harus terus-menerus dikerjakan. Apa yang sudah dicapai oleh pembaharu sebelumnya haruslah diteruskan, dikembangkan dan disempurnakan oleh pembaharu pada periode berikutnya. Pembaharuan adalah suatu pekerjaan kumulatif, persis seperti kegiatan ilmiah pada umumnya. Bebeapa tantangan penting yang harus dijawab dalam wilayah metodologi ini, inter alia, adalah: Kontekstualisasi: kalau kita telaah empat sumber penalaran hukum dalam tradisi Sunni, yaitu Quran, sunnah, ijmadan qiyas, keseluruhannya terlalu berpusat pada teks. Secara metodologis, pembaharuan Islam ke depan harus terus-menerus memantapkan cara berpikir yang sifatnya dialektis: teks dan konteks diletakkan secara setara dalam interaksi timbal balik. Kontekstualisasi merupakan tantangan yang besar ke depan. Konteks harus diberikan perhatian yang lebih besar di masa-masa mendatang. Integritas doktrinal dan sosial umat Islam bukan semata-mata ditentukan oleh ketaatan dan loyalitas pada teks, tetapi juga pada kecermatan dalam menelaah konteks saat ini. Keterbukaan metodologis: yang saya maksud di sini adalah kemauan untuk membuka diri pada sejumlah perkembangan baru dalam metode-metode penelaahan yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu lain di luar ilmu agama. Sekarang ini, perkembangan metode penelaahan teks ataupun penafsiran atas gejala sosial sangat cepat sekali, entah dalam bidang humanities (ilmu-ilmu kemanusiaan) atau ilmu-ilmu sosial. Apa yang disebut dengan kegiatan penafsiran atau eksegesis tidak bisa mengabaikan perkembangan ini. Sikap insularisme metodologis (menutup diri terhadap metode yang datang dari luar) jelas sangat tidak sehat. Meskipun demikian, metode-metode penelaahan yang datang dari luar haruslah diserap dengan sikap yang hati-hati dengan tetap memperhatikan konteks internal dalam tradisi Islam sendiri. 2. Wilayah sosial-politik: dalam wilayah ini, tantangan pokok pembaharuan Islam adalah memperkuat usaha-usaha lebih luas yang sudah berkembang dalam masyarakat untuk memantapkan demokrasi di Indonesia dalam kerangka negara nasional yang berdasarkan pada Pancasila. Pembaharuan Islam mempunyai tugas pokok untuk memberikan landasan simbolik dan kultural yang lebih kuat dan kokoh pada proses demokratisasi ini. Para pembaharu sudah seharusnya memberikan pembelaan intelektualterhadap serangan atas negara nasional, terutama yang datang dari kalangan kaum fundamentalis agama. Pemahaman bahwa negara kita adalah negara Pancasila yang seharusnya netral terhadap perbedaan doktrin dan paham yang ada dalam agama tertentu, harus diberikan secara konsisten pada publik. Hingga saat ini, masih banyak umat Islam yang belum bisa melihat hubungan yang tapat antara ajaran agama, hukum nasional, dan peran pemerintah sebagai the enforcer of law, penegak hukum. Usaha menegakkan pemerintah yang bersih (good governance) dengan, antara lain, memerangi korupsi, juga harus menjadi perhatian penting bagi kaum pembaharu Islam. Masalah keadilan sosial juga harus mendapatkan perhatian yang

besar. Kritik atas proses pembangunan ekonomi yang membawa ekses peminggiran terhadap kelompok-kelompok marjinal harus dilakukan. Kaum pembaharu harus terus membawa semangat profetik yang inheren dalam semua agama: yaitu kritik atas kekuasaan yang telah melembaga yang kerapkali menimbulkan proses peminggiran sosial. 3. Wilayah budaya: isu terbesar yang dihadapi oleh kaum pembaharu di wilayah ini adalah pluralisme nilai dalam masyarakat dan bagaimana peran yang tepat bagi negara di tengah-tengah keragaman ini. Di tengah-tengah maraknya konservatisme sosial di masyarakat saat ini, muncul kehendak untuk memaksakan suatu tatanan normatif tertentu yang bersumber dari tradisi agama tertentu pula melalui instrumen negara. Kecenderungan ini bisa kita lihat melalui maraknya perda-perda syariat yang marak akhir-akhir ini. Dalam pandangan saya, visi sosial yang layak kita kembangkan adalah masyarakat etis tetapi sekaligus terbuka (the open and ethical society). Kerangka normatif yang berasal dari tradisi nilai yang berkembang dalam masyarakat jelas tetap harus menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat luas. Tetapi norma etis dalam masyarakat plural seperti masyarakat kita tidak bisa, bahkan mustahil, untuk diseragamkan. Oleh karena itu, harus ada kesediaan pada masyarakat untuk membuka diri pada keragaman normatif semacam ini. Inilah kira-kira gambaran tentang tantangan pembaharuan Islam ke depan. Perlu ditekankan kembali bahwa pembaharuan bukanlah one-stop project, proyek yang berhenti di satu terminal, tetapi proyek kumulatif yang tiada berkesudahan. Tujuan akhir adalah masyarakat etis yang terbuka: etis dalam pengertian berlandaskan pada norma yang hidup dalam masyarakat, dan terbuka dalam pengertian memberikan perlindungan pada hak-hak dasar semua gololongan, temasuk golongan minoritas, juga golongan yang hendak melakukan pembacaan ulang atas norma yang ada.[] Metodologi berasal dari bahasa Yunani metodos, kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu metha yang berarti melalui atau melewati dan hodos yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Metodologi adalah ilmu-ilmu/cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang sedang dikaji. Ilmu terdiri atas lima prinsip: 1. 2. 3. 4. keteraturan (orde) sebab-musabab (determinisme) kesederhanaan (parsimoni) pengalaman yang dapat diamati (empirisme)

Dengan prinsip-prinsip yang demikian maka ada banyak jalan untuk menemukan kebenaran. Metodologi adalah tata cara yang menentukan proses penelusuran apa yang akan digunakan. Metodologi penelitian adalah tata cara yang lebih terperinci mengenai tahap-tahap melakukan sebuah penelitian.

http://www.artikata.com/arti-359144-pembaruan.html Definisi 'pembaruan

1. proses, cara, perbuatan membarui: sudah banyak dibahas mengenai - cara berpikir masyarakat; source: kbbi3 2. Antr proses mengembangkan kebudayaan, terutama dl lapangan teknologi dan ekonomi;DEFINISI ARTI PENGERTIAN PEMBARUAN adalah n proses, cara, perbuatan membarui; hasil

pekerjaan membarui: kita perlu memperhatikan segi baik dan buruknya ~ dalam kurikulum yang sedang berlaku Pengertian Pembahuruan Hukum Isalam Pembahuruan hukum Islam terdiri dari dua kata,yaitu pembahuruan yang berarti modernisasi,atau suatu upaya yang dilakukan untuk mengadakan atau menciptakan suatu yang baru;dan hukum Islam, yakni kumpulan atau koleksi daya upaya para fukaha dalm bentuk hasil pemikiran untuk menerapkan syariat berdasarkan kebutuhan masyarakat.dalam hal ini hukum Islam sama dengan fiqh,bukan syariat. 2.2 Historis Perkembangan Hukum Islam Sebelum penulis membahas pembaharuan hukum Islam di Indosesia,perlu diketahui historitas pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dari masa kemasa. masa,yaitu; ? Pada Masa Rasulullah (610M 632M) Dengan diturunkanya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW mulailah tarikh tasyri Islami. Sumber tasyri Islami adalah wahyu (Kitabullah dan Sunnah Rasul). Ayat tasyri datang secara berangsur-angsur dan bertahap (tadrij).tadrij ini berhubungan dengan adat-adat bangsa Arab meninggalkan adat-adat yang lama dengan hukum yang baru/hukum Islam.dan dijadikan prinsip-prinsip umum. ? Pada masa Khulafaur Rasyidin (632M 662M) 1) Abu Bakar Ash-Shiddiiq Pada masa ini disebut masa penetepan tiang-tiang (daaaim).dengan memerangi orangorang yang murtad mutanabbi dan pembangkang penyerahan zakat. Di masa ini pula dikumpulkan Al-Quran pada satu mushaf. 2) Umar Ibn Khatab Pada masa ini telah bisa menyusun administrasi pemerintahan menetapkan pajak.kharaj atas tanah subur yang dimiliki oleh orang non muslim,menetapkan peradilan,perkantoran,dan kalender penanggalan. Umar dikenal sebagai imamul-mujtahidin. Di masanya beliau berijtihad.antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak ada illat untuk memotongnya dan tidak memberi zakat kepada al-muallafatu quluubuhum,karena tidak ada illah untuk memberinya. 3) Utsman Ibn Affan Pada zamanya telah diperintahkan Zaid Ibn Tsabit dan Abdullah Ibn Zubair. Saiid Ibn Al-Ash dan Abdurrahman Bin Harits untuk mengumpulkan Al-Quran dengan qiraah (dialek) yang satu dengan mushaf satu macam pula pada tahun 30 H./650M. 4) Ali bin Abi Thalib Dengan wafatnya Sayyidina Ali, berakhirlah masa Khulafaur-Rasyidin dalam perkembangan tasyri Islam.

Pada masa ini sumber tasyri Islam adalah Al-Quran dan Sunnah Rasul yang disebut dengan nash atau naql,apabila ada masalah yang tidak jelas dalam nash,para sahabat pada zaman Khulafaur-Rasyidin,memakai ijtihad dengan berpegang kepada maquul an-nash dan mengeluarkan illah atau hikmah yang dimaksud dari nash itu,kemudian menerapkan pada semua masalah yang sesuai dengan illahnya dengan illah pada yang dinash untuk mendapatkan hukum yang dicari,yang disebut dengan al-qiyaas,jika hukum yang dicari tidak ada nashnya,maka para sahabat bermusyawarah,yang disebut dengan al-ijmaa. Para Ulama menyebutkan bahwa dari praktek khulafaur-Rasyidin itu terdapat perluasan dasar tasyri Islam disamping Al-Quran dan As-Sunnah terdapat juga Al-Qiyaas dan Al-Ijmaa. ? Masa Khilafah Amawiyah Pada masa ini adalah masa pembentukan fiqh Islami yaitu ilmu furu syariah dan hukumhukumnya yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsili.para fuqaha meletakkan peraturan dasar yang diambil dari Al-Quran,As-Sunnah dari Ijma dan Qiyas.pada garis besarnya mereka terbagi ke dalam dua aliran,yaitu aliran Hijaz yang berpegang kepada nas-nas assunnah/ahli hadis,dan aliran Irak yang telah dipengaruhi kebudayaan masyarakat yang baru,sehingga para fukaha-nya cendrung menggunakan qiyas/ar-rayi. Dan masa ini juga telah dimulai penafsiran al-quran dan pengumpulan hadits,mempelajari dan mendalaminya,menjaga kepalsuan dari pengaruh politik,pengaruh gololongan,atau sebabsebab yang lain. ? Masa Keemasan Abbasiyah Pada masa ini syariat dipelajari secara khusus dengan ilmu khusus yaitu ushulul-fiqh dan dikarang kitab-kitab dalam hal furu fiqh. Dan pada masa ini fuqaha sunni terbagi tiga golongan,yaitu fuqaha sunni ahli Rayi tokohnya abu hanifah di iraq,dan fuqaha sunni ahli hadits tokohnya malik ibnu anas di hijaz,dan golongan yang bertentangan dari kedua golongan tersebut yaitu aliran asy-syafii Kemudian muncullah madzhab-madzhab sunni.yang besa dan masih hidup: hanafi, maliki, syafii, dan hanbali. Dari segi sumber tasyri selain nash (Al-Quran dan Sunna) telah bertambah dalil aqli,yaitu ijma dan qiyas,dan dalil-dalil istihsan dari Abi Hanifah dan mashlahatul-mursalah. Masa Kemerosotan lmu fiqh berhenti sedikit demi sedikit,bahkan mereka melakukan ijtihad filmadzhab,sehingga khalifah-khalifah hanya menjadi pendukung madzhab yang adaturki mendukung madzhab hanafi,ayyubi mendukung syafiI,fathimi mendukung madzhab ismaili.Para hakim menjadi engikut madzhab yang dianut oleh Negara yang tidak berijtihad sendiri. Pada permulaan abad ke empat hijrah,fuqaha sunni menetapkan tertutupnya pintu ijtihad,sehingga berkembanglah bidah dan khurafat dan hanya taqlid yang berkembang. ? Masa kebangkitan Pada masa ini Ahmad Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang bermadzhab kepada Hanbali memerangi bidah dan khurafat, dan menganjurkan memahami syariat dengan memakai pikiran, penalaran dan akal sehat, dan mengatakan pintu ijtihad itu terus berlaku sampai hari kiamat, dan memerangi taqlid buta. ? Perkembangan Fiqh Pada Masa Mujtahihidin Akhir abad pertama muncul mujtahid-mujtahid dalam furu. Yang termasyhur serta urutanya

sebagai berikut: 1. Madzhab Aby Hanifah Dikalangan sunni madzhab ini banyak memperkenalkan rayu.dan dalam berijtihad selain menggunakan Al-Quran,Hadits,Ijma dan Qiyas juga menggunakan dalil Al-istihsan sebagai dalil yang khusus.madzhab ini menjadi madzhab resmi pemerintahan Utsmaniyah pada zaman Abbasiyah 2. Madzhab Maliki Madzhab ini berimam pada malik ibn anas dan terkenal sebagai madrasah ahlulhadits.pegangan dalam beristinbath selain Al-Quran,Hadits,Ijma dan Qiyas juga menggunakan Al-Maslahatul Mursalah,qaul shahabi dan adat yang diikuti di Madinah 3. Madzhab Asy-Syafii Dalam beristinbath hukumnya juga menggunakan Al-Quran,Hadits,Ijma dan Qiyas,tetapi menolak dalil Al-istihsan dari Aby Hanifa dan Al-Maslahatul Mursalah dari imam Maliki.karena madzhab ini merupkaqn pertengahan dari Aby Hanifah dan Imam Maliki. 4. Madzhab Ahmad Ibn Hanbal Madzhab ini merupakan madzhab yang terakhir dikalangan sunni.gurnnya adalah imam Syafii,tetapi memiliki madzhab sendiri dan lebih banyak bergerak pada aqidah untuk membersihkan ummat dari khurafat,takhayul,bidah.dan dikenal dengan semboyan kembali kepada Al-Quran dan Hadits mengikuti paham salaf. 5. Madzhab Syiah Madzhab ini timbul karena problem politik,mereka tidak mengakui Khulafaur-Rasyidin kecuali sayyidina ali,Abbasiyah,dan Amawiyah,karena mereka memiliki statemen khalifah itu hanya keturunan Nabi (Ahl Al-bait). Madzhab ini terbagi menjadi dua bagian diantaranya: 1) Syiah Imamiyyah Itsna Asyariyah Deasar fiqhnya adalah al-quran dan hadits yang sanadnya dari Ahlu Bait dan ijmanya dari imam yang mashum,kemudian dengan dalil aqal yang bukan qiyas yang disebut dengan madzhab Jafari. 2) Syiah Zaidiyayah Madzhab ini mengakui kekholifahan Khulafaur-Rasyidin,sehingga diidentifikasi dengan madzhab sunni. Syiah ismailiyyah Atau juga disebut madzhab Batiniyah,karena mereka menganggap kalau Al-Quran maknaNya yang batin. 6. Madzhab-madzhab lainya a) Madzhab Al-Auzai b) Madzhab Dzahiri Tokoh pendirinya adalah Dawud Ibn Ali (wafat 270 H/883 M).Madzhab ini berpegang kepada zhahir ana al-quran dan hadits.mereka tidak menerima ijma selain ijmanya sahabat,dan tidak menerima qiyas selain qiyas nash. c) Kadzhab Al-Thabari ? Perkembangan Fiqh Pada Masa Utsmani Pemerintah Utsmani lahir pada abad ke-14 di Anatoli (Turki) dan berlangsung 4 abad dan menganut madzhab hanafi secara resmi untuk fatwa dan keadilan setelah beberapa tahun.

Ada beberapa halangan untuk mengodifikasikan hukum,antara lain: I. Sumber Tasyri Islami Mereka khawatir dalam berijtihad mengalami kekeliruan,karena sumber tasyri adalah hal yang suci. Kemerdekaan Berijtihad Berijtihad merupakan hak asasi bagi yang berhak.Apabila hasil ijtihad telah dikodifikasikan,maka tidak menerima ijtihad orang lain,padahal dalam hal masalah baru harus ber-ijtihad lagi, III. Kemerdekaan Aqidah Islam tidak ada paksaan untuk beragama,jadi apabila fiqh telah dikodifikasikan,berarti membatasi kemerdekaan aqidah bagi yang lain. Jadi dalam melakukan kodifikasi ditempuh secara bertahap, antara lain: a. Menetapkan Yang Resmi Bagi Negara Pada awalnya untuk menetapkan madzhab yang resmi sangat sulit, karena dikewatirkan terjadi pertentang pendapat.tetapi karena adanya kebutuhan-kebutuhan yang mendesak,maka sultan salim yang memerintah pada saat itu menetapkan madzhab hanafi sebagai madzhab resmi Negara dalam hal peradilan dan fatwa. b. Menyusun Pendapat Satu Madzhab Setalah mempersatukan madzhab diseluruh wilayahnya,maka disusunlah hukum perdata utsmani yang dikenal dengan majallatul-ahkam al-adliyah,selain semua rakyat untuk menaatinya,hakim juga harus mengikuti perintah sultan dan tidak boleh menerima hasil mujtahid yang lainya. c. Membuat Kompilasi Madzhab Lain Pemerintah juga mengambil pendapat dari madzhab yang lain yang sesuai demi kemaslahatan ummat. d. Mengambil PerUndang-Undangan Modern Hukum perdata,hukum perdagangan,hukum pidana yang baru yang lebih modren dititik beratkan harus berdasarkan syariat Islamiya. ? Masuknya Campur Tangan Asing Ke Dalam Undang-Undang Asing Yang sangat krusial campur tangan asing pada abad ke-19 ketika pemerintahan utsmani sudah melemah,khususnya pada pemerintahan abdul-aziz (1861M 1876M),ketika Negara jatuh ke dalam hutang luar negeri karena pemborosan keroyalan dan juga karena berpikirnya tidak berdasarkan kesatuan agama tetapi Peraturan Dan PerUndang-Undangan Kerajaan Utsmani Beberapa Undang-Undang pemerintah Utsmani yang dipengaruhi campur tangan asing,diantaranya adalah: 1. Undang-Undang perdagangan 2. Undang-Undang pertahanan 3. Undang-Undang hukum pidana 4. Undang-Undang perdagangan laut 5. Undang-Undang hukum acara 2.3 Islam Datang Ke Indonesia

a. Pengertian

Dalam bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam disebut tajdd, secara harfiah tajdd berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid. Dalam pengertian itu, sejak awal sejarahnya, Islam sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah.[2] Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini (Islam) pada permulaan setiap abad orang-orang yang akan memperbaiki memperbaharui- agamanya (HR. Abu Daud). Meskipun demikian, istilah ini baru terkenal dan populer pada awal abad ke-18. tepatnya setelah munculnya gaung pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam, menyusul kontak politik dan intelektual dengan Barat. Pada waktu itu, baik secvara politis maupun secara intelektual, Islam telah mengalami kemunduran, sedangkan Barat dianggap telah maju dan modern. Kondisi sosiologis seperti itu menyebabkan kaum elit muslim merasa perlu uintuk melakukan pembaharuan. Sejajar dengan artinya, ruang lingkup tajdid meliputi wilayah yang sangat luas, bahkan boleh dikatakan hampir meliputi seluruh bidang kehidupan agama. Dalam sejarah, tajdid mengambil bentuk pemikiran dan gerakan. Secara umum tajdid merupakan bentuk reaksi kaum muslim menghadapi sejumlah tantangan, baik yang bersifat internal naupun eksternal yang berkaitan dengan doktrin dan masalah-masalah sosial umat Islam. Dari kata tajdid ini selanjutnya muncul istilah-istilah lain yang pada dasarnya lebih merupakan bentuk tajdid. Diantaranya adalah reformasi, purifikasi, modernisme dan sebagainya. Istilah yang bergam itu mengindikasikan bahwa hal itu terdapat variasi entah pada aspek metodologi, doktrin maupun solusi, dalam gerakan tajdid yang muncul di dunia Islam. Kata Arab untuk reformasi, menunjukkan gerakan reformasi di dunia Islam pada tiga abad terakhir. Dalam konteks Islam modern, kata islah terutama merujuk pada upaya. Dalam kamus dan al-Quran, kata ini juga bermakna rekonsiliasi, artinya lawan penyimpangan,[3] dan kebangkitan. Kebangkitan mempunyai makna yang lebih kuat tentang penguatan imensi spritual dari iman dan prakteknya.[4] Secara geneologis, gerakan pembaharuan Islam dapat ditelusuri akarnya pada doktrin Islam itu sendiri. Akan tetapi, ia mendapatkan momentum ketika Islam berhadapan dengan modernitas pada abad ke-19. pergumulan antara Islam dan modernitas yang berlangsung sejak Islam sebagai kekuatan politik mulai merosot pada abad ke-18 merupakan agenda yang menyita banyak energi dikalangan intelektual muslim. Kaitan agama dengan modernitas memang merupakan masalah yang pelik, lebih pelik dibanding dengan masalah-masalah dalam kehidupan lain. Hal ini karena agama doktrin yang bersifat absolut, kekal, tidak dapat diubah, dan mutlak benar;. Sementara pada saat yang sama perubahan dan perkembangan merupakan sifat dasar dan tuntutan modernitas atau lebih tepatnya lagi ilmu pengerahuan dan teknologi.[5] Para pembaharu tidak hanya melihat Islam historis sudah tidak lagi sejalan dengan doktrin dasar Islam , tetapi juga tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Islam datang dengan prinsip dan nilai yan menghargai kemajuan. Kaum muslim tidak hanya dituntut taat beribadah, tetapi juga memiliki kemampuan di bidang ilmu pengetahuan. Tidak heran jika pada masa-masa formatifnya, kaum muslim dengan penuh gairah menyerap peradaban yang berkembangan disekelilingnya. Semangat seperti ini semakin lama kian menyusut akibat berbagai faktor perkembangan di dunia Islam itu sendiri, khususnya faktor merosotnya politik Islam. Dari

kondisi inilah, para pembaharu ingin membengun cita ideal Islam yang tidak hanya maju, tetapi juga modern. Dalam kaitannya dengan itulah, Harun Nasution,[6] mendefinisikan pembaharuan Islam sebagai pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh pengetahuan dan teknologi modern. Dengan pengertian itu tampaknya Nasution mengidentik pembaharuan Islam dengan modernitas Islam. Kata modern berasal dari kata latin modo, yang berarti masa kini atau mutakhir [7]. Dari pengertian modern demikian definisi yang dikemukakan Nasution juga mengandung arti Islam harus mampu menjawab tantangan yang diakibatkan oleh perkembangan zaman. Gerakan pembaharuan Islam memang pertama kali muncul pada abad modern. Meskipun demikian, sebelum masa modern ini keinginan untuk melakukan pembaharuan sebenarnya bukan sama sekali tidak ada. Di Arab Saudi keinginan itu dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792) gerakan yang sejarah Islam dikenal dengan Wahabiyah ini, dilatarbelakangi oleh faktor interen kaum muslim, yaitu faham tauhid kaum awam yang pada waktu itu telah rusak oleh syirik dan bidah. Berkat bantuan oleh seorang kepala suku, Muhammad Ibn Suud (w.1765), gerakan ini memetik sukses gemilang. Kelak ibn Suud mendirikan kerajaan dengan menjadikan wahabi sebagai mazhab resmi negara. Selain pemurnian, Abd Wahab juga melontarkan pendapat tentang terbukanya pintu ijtihad dan boleh dilakukan oleh siapa saja asal bersandar kepada al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Bagai bola salju, pendapat ini terus bergulir kewilayah Islam lainnya, bahkan terus berkembang dan berkumandang hingga hari ini. Gerakan wahhabi ini selanjutnya disusul oleh gerakan-gerakan lain di afrika. Gerakan di Afrika ini pada umumnya bersifat sufistik. Meski demikian, bukan berarti sama sekali tanpa implikasi politik. Gerakan-gerakan ini bahkan berhasil mendirikan negara-negara Islam. Di antara para pemimpinnya yang terkenal adalah Usman bin Fonjo (1754-1817) di Negeria, Muhammad Ali al-Sanusi (1787) di Libya, dan muhammad Ahmas bin Abdullah (1843-1885) di Sudan, gerakannya dikenal; dengan sebutan Mahdiyah. Gerakan-gerakan pra modern telah mewariskan kepada Islam modern suatu interpretasi ideologis terhadap Islam dan metode-metode gerakan serta organisasi. Kalau gerakan pramodern ini dipicu oleh masalah-masalah intern umat Islam, maka pada tahap berikutnya gerakan pembaharuan Islam lebih di dorong oleh sejumlah faktor eksternal. Antara lain, ancaman politik dari Barat atas Islam, religiokultural, dan kolonialisme. Tanggapan para tokoh pembaharu di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terhadap dampak Barat terhadap masyarakat muslim terwujud dalam usaha yang sungguh-sunguh untuk menginterpretasi Islam dalam menghadapi perubahan kehidupan. Mereka menekankan sikap dinamis, luwes, dan adabtatif yang menjadi ciri kemajuan Islam pada zaman klasik (6501250). Yang terutama mendapat tekanan khusus mereka adalah bidang hukum, pendidikan, sains. Selain itu mereka juga menekankan pembaharuan internal melalui reinterpretasi (ijtihad) dan adabtasi secara selektif (Islamisasi) ide-ide dan teknologi Barat. Dari sinilah kemudian dikenal konsep-konsep Barat seperti demokrasi, hak asasi, nasionalisme, dan sebagainya. Pembaharuan dalam Islam pada hakekatnya merupakan usaha kritik diri dari perjuangan untuk menegaskan bahwa Islam selalu relevan menghadapi situasi-situasi baru yang dihadapi oleh masyarakat Islam.

b. Bentuk PembaharuanGerakan pembaharuan Islam telah melewati sejarah panjang. Secara historis, perkembangan pembaharuan Islam paling sedikit telah melewati empat tahap.[8] Keempatnya menyajikan model gerakan yang berbeda. Meski demikian, antara satu dengan lainnya dapat dikatakan sebuah keberlangsungan (continuity) daripada pergeseran dan perubahan yang terputus-putus. Hal ini karena gerakan pembaharuan Islam muncul bersamaan dengan fase-fase kemoderenan yang telah cukup lama melanda dunia, yaitu sejak pencerahan pada abad ke-18 dan terus berekspansi hingga sekarang. Tahap-tahap gerakan pembaharuan Islam itu, dapat dideskripsikan sebagai berikut:[9] pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish). Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan saksama untuk melakukan transormasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam. Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan gerakan adalah kembali kepada al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Reorientasi semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran jika seruan untuk membuka embali pintu ijtihad yang selama ini diasumsikan tertutup diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaharu. Ciri lain gerakan ini, adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat bergairah. Wahhabiyah berangkali merupakan contoh yang paling refresentatif untuk menggambarkan model gerakan ini dalam realitas. Model kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik. Di sini pembaharuan Islam termanifestasikan dalam pembaharuan lembaga-lembaga pendidikan. Pilihan ini tampaknya didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan baru. Pendidikan juga merupakan media untuk mencetak generasi baru yang berwawasan luas dan rasional dalam memahami agama sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Model gerakan ini muncul bersamaan dengan penyebaran kolonialisme dan imperialisme Barat yang melanda hampir seluruh dunia Islam. Implikasinya, kaum pembaharu pada tahap ini mempergunakan ide-ide Barat sebagai ukuran kemajuan. Meskipun demikian, bukan berarti pembaru mengabaikan sumber-sumber Islam dalam bentuk seruan yang makin senter untuk kembali kepada al-Quran dan Sunnah Nabi. Pada tahap ini juga populer ungkapan yang mengatakan bahwa Barat maju karena mengambil kekayaan yang dipancarkan oleh al-Quran, sedangkan kaum muslim mundur karena meniggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam hubungan ini, model gerakan melancarkan reformasi sosial melalui pendidikan, mempersoalkan kembali peran wanita dalam masyarakat, dan melakukan pembaharuan politik melalui bentuk pemerintahan konstitusional dan perwakilan. Jelas pada tahap kedua ini, terjadi kombinasi-kombinasi yang coba dibuat

antara tradisi Islam dengan corak lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita dan sebagainya. Meski kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil, terutama oleh hambatan kolonialisme dan imprealisme yang tidak sepenuhnya menghendaki kebebasan gerakan pembaharuan. Mereka ingin mempertahankan status quo masyarakat Islam pada masa itu agar tetap dengan mudah dapat dikendalikan. Tahap ketiga, gerakan pembaharuan Islam disebut revivalisme pascamodernis (posmodernist revivalist), atau disebut juga neorevivalist (new revivalist). Pada tahap itu kombinasikombinasi tertentu antara Islam dan Barat masih dicobakan. Bahkan ide-ide Barat, terutama di bidang sosial politik, sistem politik, maupun ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah Islam. Gerakan gerakan sosial dan politik yang merupakan aksentusi utama dari tahap ini mulai dilansir dalam bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah dan universitas yang dianggap sebagai lembaga pendidikan modern untuk dibedakan dengan madrasah yang tradisional- juga dikembangkan. Kaum terpelajar yang mencoba mengikuti pendidikan universitas Barat juga mulai bermunculan. Tak heran jika dalam tahap ini, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran sekularistik yang agaknya akan merupakan benih bagi munculnya tahap berikutnya. Sejalan dengan itu, pada tahap ini muncul pandangan dikalangan muslim, bahwa Islam di samping merupakan agama yang bersifat total, juga mengandung wawasan-wawasan, nilainilai dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit meliputi semua bidang kehidupan. Tampaknya, pandangan ini merupakan respons terhadap kuatnya arus pemBaratan di kalangan kaum muslim. Tak heran jika salah satu corak tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi yang berlebihan terhadap Islam dan ajaran-ajarannya. Dalam ketiga tahap itulah muncul gerakan tahap keempat yang disebut neomodernisme. Tahap ini sebenarnya masih dalam proses pencarian bentuknya. Meskipun demikian, Fazlur Rahman sebagai pengibar bendera neomodernisme menegaskan bahwa gerakan ini dilancarkan berdasarkan krtik terhadap gerakan-gerakan terdahulu. Menurut Fazlur Rahman, gerakan-gerakan terdahulu hanya mengatasi tantangan Barat secara ad hoc. Karena mengambil begitu saja istilah Barat dan kemudian mengemasnya dengan simbol-simbol Islam tanpa disertai sikap kritis terhadap Barat dan warisan Islam. Dengan sikap kritis, baik terhadap Barat maupun warisan Islam sendiri, maka kaum muslim akan menemukan soludi bagi masa depannya. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986), jilid V John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (terj.), Bandung: Penerbit Mizan, 2001, jilid 2, cet. I, Harun Nasution dan Azyumarni azra, Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor, 1996), David B.Guralnik, Websters New World Dictionary of the American Language, New York: Warners Book, 1987

Fazlur Rahman, Islam; An Overview. Dalam Elliade Mercia (ed.), The Encyclopedia of Religion, New York: Macurian Publising Hause, 1987 [1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h. 31 [2]Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986), jilid V, h. 42 [3]John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (terj.), (Bandung: Penerbit Mizan, 2001) jilid 2, cet. I, h.345. Reformasi dalam konteks Islam harus dibedakan dengan reformisme dalam Kristen. Kaum reformis Islam tidak mengklaim bahwa Islam itu sendiri perlu diperbarui, tetapi berbagai salah paham dan salah tafsir telah mendistorsi sebagian makna sejati dari nash-nash sehingga memunculkan sejumlah praktek keliru. Dengan demikian, reformisme Islam merupakan gerakan yang bertujuan mengembalikan Islam ke pesan aslinya, dengan tekanan teologis pada kesamaan. [4]Ibid.,seruang kebangkitan dan pembaharuan muncul dari dikenalinya gejala keterbelakangan dan stagnasi pemikir agama pada masyarakat muslim pada abad 19. [5]Harun Nasution dan Azyumarni azra, Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor, 1996), h. 1 [6]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 11-12 [7]David B.Guralnik, Websters New World Dictionary of the American Language, (New York: Warners Book, 1987), h. 387 [8]Fazlur Rahman, Islam; An Overview. Dalam Elliade Mercia (ed.), The Encyclopedia of Religion, (New York: Macurian Publising Hause, 1987), h. 18 PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu agama dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Amin Abdullah mengatakan bahwa teologi, sebagai mana kita ketahiu tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Menurut pengamat Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis, mesianis, dan tradisionalis. Ke empat prototipe pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak

mudah disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai keyakinan teologi yang sering kali sulit untuk didamaikan. Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan lainnya sebagai salah. Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologis semata-mata tidak dapt memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Berkenaan dengan hal diatas, saat ini muncullah apa yang disebut dengan istilah teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya atau penghayatan agamanya, suatu penafsiran atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini, yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub : teks dan situasi : masa lampau dan masa kini. B. PENDEKATAN FILOSOFIS Secara harfiah kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat berarti pula mencari hakikat sesuatu, berusaha menurutkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurut filsafat adalah berfikir secara mendalam, sitemik radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikma atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asa dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah. C. PENDEKATAN HISTORIS Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.1[1] Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dal peristiwa tersebut.

Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agam, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-quran ia sampai pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al-Quran itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan. Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kta mendapati banyak sekali istilah AlQuran yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu Al-Quran, atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas istilah itu kemudian dintegrasikan ke dalam pandangan dunia Al-Quran, dan dengan demikian, lalu menjadi konsep-konsep yang otentik. Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, Malaikat, Akhirat, Maruf, munkar dan sebagainya adalah termasuk yang abstrak. Sedangkan konsep tentang fuqara, masakin, termasuk yang konkret. Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep, Al-Quran bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian yang kedua yang berisi kisah dan perumpamaan Al-Quran ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah.2[2] Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami Al-

Quran secara benar misalnya, yang bersangkutan harus memahami sejarah turunnya AlQuran atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya Al-Quran yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat Al-Quran. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya. Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis. PENDEKATAN ANTROPOLOGI Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui ini pendekatan agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. a. Antropologi Sebagai Bidang Ilmu Humaniora Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi gartisipasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan nilai, analisa yang tenang (tidak memihak) menggunakan metode komgeratifi.3[3] Tugas utama antropologi, studi tentang manusia adalah untuk memungkinkan kita memahami diri kita dengan memahami kebudayaan lain. Antropologi menyadarkan kita tentang kesatuan manusia secara esensil, dan karenanya membuat kita saling menghargai antara satu dengan yang lainnya.4[4] Sedangkan Humaniora atau Humaniteis adalah bidang-bidang studi yang berusaha menafsirkan makna kehidupan manusia dan berusaha menambah martabat kepada penghidupan dan eksitensis manusia menurut Elwood mendefinisikan Humaniora sebagai seperangkat dari perilaku moral manusia terhadap sesamanya, beliau juga mengisyaratkan

pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan amung (unique) dalam ekosistem, namun sekaligus juga amat tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri bahkan merupakan bagian bidang-bidang yang termasuk humaniora meliputi agama, filsafat, sejarah, bahasa, sastra, dan lain-lain. Manfaat pendidikan humaniora adalah memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai segi manusiawi.5[5] Jadi antara antropologi dan humaniora hubungannya sangat erat yang kesemuanya memberikan sumbangan kepada antropologi sebagai kajian umum mengenai manusia. Bagi para humanis bahan antropologis juga sangat penting. Dalam deskripsi biasa mengenai kebudayaan primitif, ahli etnografi tradisional biasanya merekam sebagai macam mite dan folktale, menguraikan artifak, musik dan bentuk-bentuk karya seni, barangkali juga menjadi subjek analisa bagi para humanis dengan menggunakan alat-alat konseptual mereka sendiri.6[6] b. Ilmu-ilmu Bagian Dari Antropologi Di universitas-universitas Amerika, antropologi telah mencapai suatu perkembangan yang paling luas ruang lingkupnya dan batas lapangan perhatiannya yang luas itu menyebabkan adanya paling sedikit lima masalah penelitian khusus: 1. Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (evolusinya) secara biologis. 2. Masalah sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia, dipandang dari sudut ciri-ciri tumbuhnya. 3. Masalah sejarah asal, perkembangan dan persebaran aneka warna bahasa yang diucapkan manusia diseluruh dunia. 4. Masalah perkembangan persebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia di seluruh dunia. 5. Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar diseluruh bumi masa kini. c. Signifikasi Antropologi Sebagai Pendekatan Studi Islam Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat

suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Powam Rahardjo, lebih mengutamakan langsung bahkan sifatnya partisipatif.7[7] E. PENDEKATAN SOSIOLOGI Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Dari dua definisi terlihat sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Jalaluddin Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut: 1. Pertama, dalam Al-Quran atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahman, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial). 2. Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.

3. Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat seorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat. 4. Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. 5. Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah. Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini dapat dimengerti karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosila. Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan diatas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.8[8] Maksud pendekatan ilmu sosial ini adalah implementasi ajaran Islam oleh manusia dalam kehidupannya. Pendekatan ini mencoba memahami keagamaan seseorang pada suatu masyarakat. Fenomena-fenomena keislaman yang bersifat lahir diteliti dengan menggunakan ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi dan lain sebagainya. Pendekatan sosial ini seperti apa perilaku keagamaan seseorang didalam masyarakat apakah perilakunya singkron dengan ajaran agamanya atau tidak. Pendekatan ilmu sosial ini digunakan untuk memahami keberagamaan seseorang dalam suatu masyarakat.9[9] BAB III PENUTUP Dalam studi Islam dikenal adanya beberapa metode yang dipergunakan dalam memahami Islam. Penguasaan dan ketepatan pemilihan metode tidak dapat dianggap sepele. Karena penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang dapat mengembangkan

ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak meguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Oleh karenanya disadari bahwa kemampuan dalam menguasai materi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat dikembangkan. Diantara metode studi Islam yang pernah ada dalam sejarah, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama, metode komparasi yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya. Dengan cara yang demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang objektif dan utuh. Kedua metode sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam yang memandukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, abyektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normative. Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang nampak dalam kenyataan histories, empiris, dan sosiologis. Sedangkan metode teologis normative digunakan untuk memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normative ini seseorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama-agama yang mutlak benar. Hal ini didasarkan karena agama berasal dari Tuhan, dan apa yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agama pun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagai norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.10[10] Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dipandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan baru yang harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang digunakan dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikolohis, histories, kebudayaan, dan pendekatan filosofis. Adapun pendekatan yang dimaksud disini (bukan dalam konteks penelitian), adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahman mendasarkan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka

paradigmanya. Karena itu tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian filosofi, atau penelitian legalistik. DAFTAR PUSTAKA Taufik Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm.105. Dr. Akbar S. Ahmad, Kearah Antropologi Islam, Jakarta: Media Dawah, hlm. 129. Ir. Drs. M. Munandar Sulaeman, MS, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993, hlm. 152154. Bets F. Hoselitz, ed, Panduan Dasar Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1988, hlm.87. Prof. Dr. H. Abuddin Noto, MA., Metodologi Studi Islam, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 35. Taufik Abdullah dan Rush Karim, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed), Metodologi Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990), cet. II, hlm.92. 11[1] Taufik Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm.105. 12[2] Dr. H. Abuddin Nata, MA. Metodologi.., Op, Cit., hlm.48. 13[3] Dr. Akbar S. Ahmad, Kearah Antropologi Islam, Jakarta: Media Dawah, hlm. 129. 14[4] Ibid, hlm. 12. 15[5] Ir. Drs. M. Munandar Sulaeman, MS, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993, hlm. 152-154. 16[6] Bets F. Hoselitz, ed, Panduan Dasar Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1988, hlm.87.

17[7] Prof. Dr. H. Abuddin Noto, MA., Metodologi Studi Islam, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 35. 18[8] Abuddin Noto, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 40. 19[9] Taufik Abdullah dan Rush Karim, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. 20[10] Dr. H. Abuddin Nata, MA. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.112-113.

Alquran merupakan salah satu dari sejumlah kecil kitab suci yang telah memberikan pengaruh yang begitu luas dan mendalam dalam jiwa dan tindakan manusia. Bagi kaum muslimin Alquran bukan saja sebagai kitab suci (scripture) melainkan juga petunjuk (al-hud) yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka dalam memainkan peran sebagai khalifatullah di muka bumi. Ibarat katalog sebuah produk barang, Alquran adalah guide bagi pengelola alam ini sehingga dapat berfungsi dengan baik. Maka baik buruknya pengelolaan dan pendayagunaan alam sangat tergantung kepada tinggi rendahnya intensitas komitmen manusia terhadap petunjuk Alquran. Berdasarkan asumsi di atas, maka keterbelakangan yang dialami umat Islam beberapa abad lamanya dapat dikatakan karena kurang efektifnya cara yang ditempuh ke arah pencapaian petunjuk Alquran.

Sepanjang sejarah Islam Alquran berperan pada posisi sentral dalam perkembangan peradaban. Nasr Abu Zeid menyebutnya sebagai peradaban nash. Artinya peradaban yang mengakar pada nash. Yaitu melalui interaksi manusia dengan teks dan interaksi manusia dengan realita. Agaknya inilah yang mendorong para reformis islam di abad modern untuk merekonstruksi pemahaman Alquran.

Bukan suatu kebetulan, gerakan pembaruan keagamaan yang terjadi di Barat dan Timur pada awal abad modern memiliki kesamaan bentuk, yaitu berangkat dari kesadaraan akan pentingnya rekonstruksi pemahaman teks-teks keagamaan. Kemajuan yang dicapai Barat pascagerakan renaissance tidak lepas dari metode pemahaman teks kitab suci yang diperkenalkan oleh filosof Jerman, Schleirmacher. Melalui pendekatan hermeneutik yang menekankan unsur kebahasaan, penafsiran teks keagamaan tidak hanya didominasi oleh kalangan agamawan. Di dunia islam hal yang sama dilakukan oleh M. Abduh. Tafsirnya boleh dibilang merupakan embrio pembaruan kajian Alquran.

Pembaruan keagamaan adalah suatu keniscayaan jika dilihat dari tiga hal; pertama, karakter pikiran manusia yang selalu menginginkan perubahan sebagai hasil dari proses akumulasi ilmu pengetahuan dari masa ke masa; kedua, karakteristik ajaran Islam sebagai penutup semua agama (Q.,s. Al-Anbiy; 40) dan bersifat universal (Q.,s. Saba: 28), elastis dan akomodatif terhadap segala perkembangan tanpa harus kehilangan jati diri (antara tsabt dan murnah), dan ; ketiga, kemajuan pesat di bidang industri, teknologi dan informasi yang dimotori oleh dunia Barat dan menuntut apresiasi umat Islam sebagai bagian dari masyarakat dunia. (lihat, M. Iqbal, Tajdd al-Tafkr al-Dniy fi al-Islm, edisi Arab, hal. 3, 13, 21).

1

Di setiap perubahan dalam suatu komunitas masyarakat selalu terdapat dua kubu; pertama, konservatif yang ingin mempertahankan tradisi dan warisan masa lampau, dan kedua, pembaru yang menginginkan perubahan. Hal serupa terjadi dalam dunia Islam. Gesekan yang terjadi antara Barat (dengan produk kemajuan peradaban modern) dan Timur menimbulkan dualisme dalam bersikap di kalangan umat Islam; memilih pemikiran modern yang dibawa peradaban Barat atau berpegang teguh dengan tradisi keislaman warisan nenek moyang. Pilihan pertama meski memungkinkan beradaptasi dengan dunia baru, tetapi akan membunuh orisinalitas kepribadian dan jati diri Muslim, sebaliknya pilihan kedua, meski dapat menjaga identitas diri tetapi akan memutus urat nadi umat Islam yang menghubungkannya dengan dunia luar. (Zaki Najib Mahmud, Tajdd al-Fikr al-Arabiy, hal.9).

Dualisme sikap di atas setidaknya melahirkan dua aliran dalam pemikiran Islam modern; pertama, kubu konservatif (jumud) yang umumnya bercirikan; 1) skripturalis, berpegang kepada zahir teksteks keagamaan tanpa melihat substansinya; 2) apriori terhadap segala bentuk pemahaman

kegamaan baru dan menganggapnya sebagai ancaman bagi agama itu sendiri; 3) berlebihan dalam mengagungkan produk pemikiran generasi awal Islam dengan dalih hadis Nabi Saw. yang menyatakan generasi mereka adalah yang terbaik; dan 4) apriori terhadap segala bentuk pemikiran dari luar dengan anggapan Islam adalah kata akhir, yang lain dari pada yang lain. Sikap ini boleh jadi karena pembaruan menuntut perangkat yang tidak mudah sementara kemampuan yang dimiliki tidak memungkinkan untuk itu, atau boleh jadi karena memang ketenangan yang selama ini dirasakan tidak ingin diusik orang. Ide yang diusungnya adalah tradisi (turts) dan orisinalitas (ashlah). Kedua, kelompok pembaru yang ingin merubah tatanan kehidupan dan pemikiran umat agar sejalan dengan tuntutan zaman (mu`sharah).

Pertentangan tidak hanya terjadi antara kedua kubu tersebut, tetapi dalam perkembangan selanjutnya pembaruan yang diusung oleh kubu kedua menimbulkan sejumlah permasalahan, sebab dalam kenyataannya hanya mengusung moderinisasi, westernisasi dan sekularisasi model Barat, baik secara terang-terangan atau malu-malu yang akan menghilangkan jati diri keislaman. Lihat misalnya Thaha Husein yang mengatakan, jalan menuju pembaruan hanya satu yaitu mencontoh model Eropa. (Mustaqbal al-Tsaqfah fi Mishr, hal. 1/45). Tak ayal jika sikap ini kemudian menuai badai kritik. Muhammad Emarah, seorang pemikir Muslim Mesir, menyebut aliran tersebut sebagai westernisasi dan modernisme Barat (al-Taghrb wa al-Hadtsah al-Gharbiyyah), sebab yang terjadi bukan pembaruan pemahaman keagamaan, tetapi pembaruan agama itu sendiri. Inilah agaknya kekhawatiran beberapa kalangan seperti disampaikan Haidar Bagir dalam kritikannya terhadap Jaringan Islam Liberal sebagai suatu konspirasi manipulatif untuk menggerus Islam justru dengan meng-abuse sebutan Islam itu sendiri. (Islib Butuh Metodologi, Haidar Bagir, Republika, 20 Maret 2002)

Prof. A. Thayyeb, rektor universitas Al-Azhar menyebut kecenderungan ini sebagai petaka pembaruan (azmat al-tajdd). Menurut Thayyeb itu terjadi karena dua hal; 1) mencampuradukkan antara prinsip ajaran yang konstan/ tidak bisa berubah (tswbit) dan yang bisa berubah (mutaghayyirt) dan; 2) mencampuradukkan antara syariah sebagai sumber pemahaman keagamaan dan fiqih sebagai produk pemahaman. (Dharrat al-Tajdd, Makalah Seminar Pembaruan Pemikiran Islam, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Mesir, 2001) Persoalan muncul, manakah yang tsbit dan yang mutaghayyir. Di sini ruang ijtihad para ulama Islam masih diperlukan.

2

Dalam konteks Islam Indonesia, banyaknya kalangan Muslim terpelajar yang menuntut ilmu di Barat dan semakin intensifnya hubungan beberapa lembaga kajian Islam Indonesia dengan pusat-pusat studi di Barat menimbulkan persoalan bahwa pembaruan pemikiran Islam modern di Indonesia cenderung terjebak pada model kedua yang menjadikan Barat sebagai kiblat. Setidaknya bisa terlihat dari kegamangan beberapa pemikir Islam Indonesia untuk menggunakan istilah pembaruan (tajdd) seperti terungkap dalam makalah M. Emarah (Mustaqbalun bayna al-Tajdd al-Islmiy wa alHadtsah al-Gharbiyyah) yang disampaikan dalam Konferensi Islam Internasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Wakaf Mesir tahun 2001. Pembaruan yang menjadi ruh ajaran Islam itu sendiri telah mengalami pergeseran makna dari sebuah upaya menghidupkan dan menyegarkan kembali prinsip-prinsip ajaran Islam dengan mengembangkan pemahaman yang sesuai dengan ruang dan waktu menjadi berkonotasi modernisasi dan westernisasi.

Pembaruan yang dikenal dalam tradisi (turts) Islam bertolak belakang dengan modernisasi yang diusung Barat. Islam memiliki cara pandang tersendiri terhadap alam, manusia dan kehidupan yang tidak mungkin dapat bertemu dengan positivisme yang melandasi kebangkitan Eropa dengan kebudayaan modernnya. Manusia dalam pandangan Islam, seperti halnya dalam positivisme, adalah makhluk Tuhan. Tetapi keduanya berbeda dalam memandang peran Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Tuhan dalam Islam, di samping sebagai Pencipta juga masih berperan sebagai Pemelihara, Penunjuk dan Pengatur bagi alam semesta (Q.,s. Al-A`rf: 54, Q.,s. Thaha: 49-50, Q.,s. Yunus: 3, Q.,s. AlAnkabt: 62). Berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang hanya melihat Tuhan sebagai Pencipta, selanjutnya alam berproses dan bergerak sendiri berkat potensi yang telah diberikan-Nya, tanpa campur tangan dari balik alam metafisik, yang berakibat menafikan peran agama dalam pentas kehidupan dunia. Muatan teologis ajaran agama harus dipahami kembali dalam bentuk yang lebih materialis empiris. (Mustaqbalun bayna al-Tajdd al-Islmiy wa al-Hadtsah al-Gharbiyyah, M. Emarah)

Revolusi Martin Luther melawan kekuasaan gereja, seperti dikatakan M. Iqbal, meski dalam kenyataannya berhasil tetapi sesungguhnya telah mengorbankan tradisi ajaran moral Kristen (Tajdd al-Tafkr al-Dniy, M. Iqbal, 187), satu hal yang mungkin tidak terbayangkan oleh Luther sendiri ketika mengusung ide pembaruan keagamaannya. Kristen pasca-Luther, seperti digambarkan Rifaah Thahthawi yang sempat berkelana ke Paris, hanyalah tinggal sebuah nama, sementara yang mengendalikan kebudayaan Eropa adalah libertinisme yang menghalalkan segala hal dengan ukuran rasa dan rasio, bukan agama. Revolusi pembaruan pemahaman keagaman yang terjadi di Barat lahir dari kungkungan tradisi ortodoks gereja yang dibidani oleh para filsuf pencerahan (positivisme)

semisal Voltaire (1734-1778) dan Roessue (1712-1778) yang, menurut Al-Afghani, beranggapan agama hanyalah bentuk ketidakberdayaan akal manusia. Dalam banyak tulisannya Voltaire selalu menyalahkan para nabi pembawa agama, bahkan mencercanya dan agama yang dibawanya. (AlA`ml al-Kmilah li Rif`ah al-Thaththwi, M. Emarah, 2/159, 161,162). Karena itu tak ayal jika pembaruan atau pencerahan yang terjadi di Barat berangkat dari meninggalkan agama, atau dalam bahasa Friedrische Nietzsche (1844-1900), seorang filsuf Jerman, membebaskan manusia dan kehidupan dari semua pengaruh masa lampau (turts, termasuk agama) dan memulai dari baru sama sekali. (Nietzsche, Abdurrahman Badawi, hal. 14).

Dari sini para pembaru Islam, seperti M. Iqbal dan M. Abduh, mengingkatkan agar pembaruan pemahaman Islam tidak terjebak pada model pembaruan Barat. Bagaimana pun, perbedaan induk akan mengakibatkan perbedaan kualitas telur yang dihasilkan. Iklim dan situasi serta ruh yang menjiwai keduanya berbeda. M. Abduh, mantan Mufti Mesir, mengingatkan, pembaruan dan perubahan yang tidak dimulai dari ajaran agama (tsawbit) ibarat benih yang ditanam di lahan yang tidak cocok dengan benih tersebut; tidak akan menghasilkan dan hanya akan melelahkan. (Al-A`ml al-Kmilah li al-Imm Muhammad Abduh, M. Emarah, 3/109). Atau seperti kata Prof. Ahmad Thayyeb, berangkat dari turts adalah suatu keharusan bagi setiap bentuk kebangkitan umat, dengan tetap memperhatikan tuntutan realita. (Dharrat al-Tajdd, hal. 159). Berangkat dari turts tidak berarti mensucikan tanpa mengkritisinya, tetapi seperti kata Iqbal, jika kita tidak bisa menambah yang baru, paling tidak kita mengkritisinya untuk menjaga eksistensi agama di tengah laju cepat kemajuan dunia. (Tajdd al-Tafkr al-Dniy, M. Iqbal, 176)

3

Inilah tantangan kita bersama; menghadirkan nilai-nilai ajaran Islam yang sejalan dengan tuntutan zaman, dengan tetap menjaga eksistensi agama sesuai pandangan hidup kita sebagai seorang Muslim. Dengan pengertian di atas pembaruan harus dimulai dari tataran wacana keislaman kontemporer yang berangkat dari Alquran dan Sunnah yang sahih serta warisan intelektual Islam yang sesuai dengan konteks saat ini. Untuk itu pembaruan dan penyegaran pemahaman terhadap teks-teks kegamaan, baik Alquran maupun hadis, menjadi sangat penting. Upaya memahami maksud firman Allah dalam batas-batas kemampuan manusia disebut tafsir. Karenanya wacana pembaruan tidak pernah terlepas dari tafsir.

Di sini perguruan tinggi Islam dapat memainkan perannya. Tetapi melihat kondisi yang ada,

tampaknya agenda pembaruan yang kita idamkan terlalu berat untuk dititipkan kepada perguruan tinggi Islam kita. Sejumlah persoalan membelit tubuhnya, mulai dari kualitas mahasiswa dan dosen, yang diakui banyak pihak sangat rendah, sampai kepada silabus yang diajarkan dan perpustakaan yang kurang memadai. Kecenderungan mengembangkan kajian Islam dengan pendekatan empirik; Islam sebagai fenomena sosial dan sejarah, turut memperlemah keinginan mahasiswa untuk mendalami kitab-kitab kuning. Sebab orientasinya kepada bahasa Inggris, dan kajian jenis itu didambakan dan didukung funding asing. Mahasiswa, bahkan tidak sedikit dosen, yang tidak akrab dengan nushsh kitab-kitab klasik yang merupakan sumber primer kajian Islam. Sehingga tidak aneh kalau sekarang ini tidak sedikit ditemukan orang yang menganggap dirinya ahli padahal tidak. Meminjam istilah Syeikh Muhammad Ghazali, mereka itu adalah orang yang belajarnya di hari Sabtu, hari Minggu sudah mengajar, hari Senin menjadi guru besar dan hari Selasa menghujat ulama dengan alasan mereka laki-laki kita pun demikian.

Metode pembelajaran dengan cara mengaktifkan mahasiswa melalui penugasan, dalam banyak hal juga kurang maksimal jika tidak ingin berkata gagal. Makalah yang ditulis terkesan dangkal karena tidak didukung kepustakaan yang lengkap dan kemampuan mengakses sumber-sumber primer yang berbahasa Arab. Bahkan cara penugasan ini, bagi sebagian dosen, ternyata cukup ampuh untuk menutupi kekurangan akibat kurang menguasai materi.

Ketidakmampuan sebagian besar mahasiswa dalam berbahasa Arab sangat bermakna signifikan bagi pembelajaran Alquran, sebab Alquran diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga siapa pun yang akan mendalaminya harus menguasai bahasa Arab dengan baik. Apalagi jika ingin menerapkan metode tahlliy, yaitu menafsirkan Alquran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf dengan mengurai segala sesuatunya seperti arti kosa kata, asbab al-Nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks dan kandungan ayat. Dari sini terlihat pendekatan tahlliy menjadi kurang begitu populer di kalangan mahasiswa atau pun dosen. Selain agak rumit, dengan cara ini sulit rasanya mahasiswa dapat menyelesaikan penafsiran ayat-ayat Alquran yang berjumlah 6236 ayat selama masa kuliah. Karena itu, M. Quraish Shihab misalnya menawarkan agar kepada mahasiswa diberikan kaidah-kaidah penafsiran yang dapat diterapkan di mana tempat dalam Alquran. Tetapi hemat penulis, dengan mengajarkan beberapa ayat atau surat kepada mahasiswa dengan menggunakan metode tahlliy secara mendalam akan terbentuk pola penafsiran yang juga bisa diterapkan di tempat-tempat lain yang belum dipelajari. Tentunya kaidah-kaidah penafsiran dengan sendirinya dapat ditemukan dari sela-sela itu.

M. Quraish Shihab juga menawarkan pendekatan lain untuk dikembangkan di perguruan tinggi Islam, yaitu metode maudhuiy yang membahas tema-tema pokok dalam suatu surat atau ayat-ayat tertentu. Tetapi ada beberapa catatan tentang metode ini yang pernah penulis sampaikan dalam Musyawarah Kerja Ulama Alquran, tanggal 14-16 Desmber 2006 yang diselenggarakan Balitbang Depag RI dalam rangka penulisan tafsir Alquran tematis. Catatan tersebut penulis simpulkan setelah mengamati beberapa tesis atau disertasi yang ada di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Secara umum, hemat penulis, masih belum terlihat pagar-pagar metodologis yang kuat dalam pengembangan metode ini di perguruan tinggi Islam Indonesia. Sehingga kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti, tingginya subyektifitas penafsir, penafsiran yang mengikat' generasi berikut, sebagai justifikasi pendapat mufasir juga akan dialaminya. Karena ini penulis dapat memahami jika ada beberapa guru besar yang berkeberatan dengan metode ini untuk diaplikasikan dalam tesis dan disertasi. Secara khusus penulis mengemukakan beberapa catatan antara 1. lain :

M. Quraish Shihab memberikan ilustrasi metode maudhiiy (tahlily) sebagai penyajian makanan

dalam bentuk hidangan prasmanan, sedangkan metode maudhuiy (tematis) diilustrasikan seperti menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan. Yang ingin cepat tentu akan memilih kotak ketimbang harus memilih makanan di meja prasmanan. Banyak persoalan umat sekarang menuntut penyelesaian cepat. Maka maudhuiy tentu lebih tepat. Tetapi yang perlu diingat, kotak-kotak makanan itu tentunya dibuat sesuai dengan dana yang tersedia dan kemampuan kateringnya. Yang membaca karya-karya tematis Quraish dan Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Alquran nya akan dapat merasakan kualitas katering masing-masing. Untuk itu prasyarat keilmuan (kebahasaan, ulm syar`iyyah dan wqi`iyyah) dan amaliah yang ditetapkan para ulama layak untuk mendapat perhatian 2. dari seseorang yang menafsirkan Alquran secara tematis.

Problematika umat yang sangat mendesak untuk dicarikan solusinya saat ini antara lain yang

terkait dengan masalah-masalah sosial. Tafsir tematik diharapkan dapat memberi kontribusi di sini. Untuk itu diperlukan pisau analisis sosial, budaya, antropologi dan psikologi. Dengan kata lain, perlu pendekatan interdisipliner. Seseorang yang akan menulis tentang konsep perubahan dalam Alquran diharuskan seperti penulis dengar dalam sebuah sidang proposal disertasi- menguasi teori-teori sosial Weber dan lainnya. Hemat penulis, jika ini terlampau jauh dilakukan, mufasir tematik akan terjebak pada kesalahan yang sering dialami oleh mufassir ilmiah, yaitu menjadikan sebuah teori yang belum mapan untuk menafsirkan teks yang mapan, sehingga perubahan dan perkembangan teori akan berdampak pada anggapan teks yang keliru. Apalagi teori-teori ilmu sosial sangat rentan terhadap relatifitas dan subyektifitas. Yang juga akan terjadi, pra-asumsi mufassir terhadap suatu masalah menjadi dominan, sehingga Alquran cenderung hanya akan menjadi alat legitimasi.

Memahami teori-teori itu sangat baik, tetapi menjadikannya acuan untuk menganalisa akan menghilangkan obyektifitas yang sangat diharapkan dari sebuah tafsir tematik. Tafsir tematik adalah sebuah metode induktif (istiqr`iy) yang berusaha untuk menarik kesimpulan yang berupa solusi permasalahan 3. dari berbagai isyarat yang berserakan di berbagai tempat.

Subyektifitas tafsir tematik yang berkembang di tanah air terlihat juga dalam pemilihan

topik/tema. Ketika berkembang wacana pluralisme agama, penulis misalnya, mendapatkan seorang mahasiswa yang mengajukan proposal disertasi dengan tema pluralisme agama dalam Alquran. Di sini akan sangat mudah mufassir tematik untuk terjebak pada subyektifitas; antara mendukung atau menolaknya. Sebab pluralisme adalah wacana baru yang masih debatable di kalangan para ahli dan kebenarannya dipertanyakan banyak orang. Untuk menghindari subyektifitas yang berlebihan, hemat penulis sedapat mungkin tema yang diangkat tidak keluar dari kosa kata atau derivasinya yang digunakan oleh Alquran. Kalau itu dianggap sangat terbatas maka dapat bertolak dari realita (al-wqi`) 4. Kendati berbeda dengan metode-metode lain seperti tahlly, muqran dan ijmliy, tetapi seorang mufassir tematis (mawdh`iy) dituntut untuk tetap menggunakan metode-metode lain. Perbedaan metode itu bersifat variatif, dan bukan kontradiktif. Ketika membahas suatu masalah dan berkaitan dengan penjelasan kata atau kalimat, seorang mufassir mawdhu`iy juga harus merujuk ke karyakarya tafsir tahlliy. Demikian pula ketika menemukan keragaman pandangan mufassir dalam suatu masalah dan mengharuskannya memilih/ mentarjih, maka metode muqran juga harus ditempuh. Untuk 5. itu kemampuan menguasai kitab-kitab tafsir klasik mutlak diperlukan.

Seperti diketahui, tafsir tematik memiliki dua bentuk, pertama : menafsirkan ayat-ayat yang

berkaitan dengan suatu topik tertentu, baik dari keseluruhan surah-surah Alquran maupun satu surah tertentu; kedua : tafsir yang berusaha menyimpulkan kesatuan ide atau gagasan dalam satu surah Alquran. Agaknya bentuk kedua ini belum banyak mendapat perhatian dari para ulama klasik maupun kontemporer, termasuk di Indonesia. Diantara ulama yang memberi perhatian terhadap bentuk kedua ini, Al-Biqa`iy dalam Mash`id al-Nazhar fi Maqshid al-Suwar, Sayyid Quthub dalam F Zhill al-Qur`n, Abdullah Diraz dalam al-Naba al-`Azhm, Abdullah Shahatah dalam Ahdf kulli Srah wa Maqshiduh fi al-Qur`n al-Karm, Abdul Hayy al-Farmawi dalam Mafth al-Suwar dan lainnya. 6. Seorang Mufassir mawdhu`i akan menarik kesimpulan berupa kaidah atau konsep qur`ani dari

berbagai ayat yang dikumpulkan dan dikajinya berkenaan dengan suatu topik permasalahan. Untuk itu diperlukan syuml al-nazhrah (pandangan komprehensif), kerendahan hati dan sikap tidak tergesa-gesa dalam membuat kesimpulan sehingga tidak terjebak pada kekeliruan yang pernah dialami oleh para ulama terdahulu.

Lagi-lagi penulis berkesimpulan, tidak maksimumnya pendekatan ini juga karena lemahnya penguasaan mahasiswa terhadap bahasa Arab sebagai bahasa Alquran. Karena itu, penulis menduga, sekali lagi hanya menduga, merebaknya pendekatan modern dalam pembacaan Alquran yang mengadopsi metode kajian sastra di Barat, seperti hermeneutika, adalah karena keengganan, jika tidak ingin berkata, ketidakmampuan dalam mengakses sumber-sumber klasik berbahasa Arab yang sangat kaya keilmuannya, tetapi rumit dikaji oleh sebagian orang. Penulis bukan seorang yang anti terhadap segala yang berbau Barat, tetapi dalam pandangan penulis, diagnosa terhadap penyakit yang diderita umat saat ini dan alternatif terapi yang akan diberikannya sebaiknya tetap mengacu kepada khazanah keilmuan turats kita. Turats ibarat sebuah riwayat kesehatan seseorang yang dapat dijadikan rujukan ketika ingin mendiagnosa penyakit seseorang.

Demikian, semoga beberapa yang telah penulis urai dapat menjadi renungan kita bersama untuk menuju perbaikan ke arah yang lebih baik. Wallahua`lam.

Pembaharuan itu dapat terjadi dalam tiga bentuk atau tiga kondisi. 1. Apabila hasil ijtihad lama itu adalah salah satu dari sekian keboleh-jadian yang dikandung oleh suatu teks Al-Quran dan hadith. Dalam keadaan demikian, pembaharuan dilakukan dengan mengangkat pula keboleh-jadian yang lain yang terkandung dalam ayat atau hadith tersebut. Contoh, Jumhur ulama telah menetapkan tujuh macam kekayaan yang wajib zakat, yaitu emas dan perak; tanam-tanaman; buah-buahan; barang-barang dagangan; binatang ternak; barang tambang; dan barang peninggalan orang dahulu yang ditemukan waktu digali. Ketujuh macam kekayaan yang ditetapkan wajib zakat itu berkisar dalam ruang lingkup keboleh jadian arti. (sebagaimana dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu). Pendapat yang menetapkan penghasilan yang datang dari jasa dikenakan zakat, sebagaimana telah dijelaskan, juga tetap berkisar dalam ruang lingkup keboleh-jadian arti teks Al-Quran di atas. 2. Bila hasil ijtihad lama didasarkan atas urf setempat, dan bila urf itu sudah berubah, maka hasil ijtihad lama itupun dapat diubah dengan menetapkan hasil ijtihad baru yang berdasarkan kepada urf setempat yang telah berubah itu. Contohnya hasil ijtihad mengenai kepala negara wanita. Hasil ijtihad ulama terdahulu menetapkam wanita tidak boleh menjadi kepala negara, sesuai dengan urf masyarakat Islam masa itu yang tidak bisa menerima wanita sabagai kepala negara. Dengan berkembangnya paham emansipasi wanita, urf masyarakat Islam sekarang sudah berubah, mereka sudah dapat menerima wanita sebagai kepala negara. Hasil ijtihad ulamapun sudah dapat berubah dan sudah menetapkan bahwa wanita boleh menjadi kepala negara.3. Apabila hasil ijtihad lama ditetapkan dengan qiyas, maka pembaharuan dapat

dilakukan dengan meninjau kembali hasil-hasil ijtihad atau ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan dengan qiyas dengan menggunakan istihsan. Sebagaimana diketahui, penetapan hukum

dengan istihsan merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan hukum yang dihasilkan oleh qiyas dan metode-metode istinbat hukum yang lain. Contohnya hasil ijtihad tentang larangan masuk masjid bagi orang haid yang diqiyaskan kepada orang junub karena sama-sama hadath besar. Ada ulama yang merasa qiyas di atas kurang tepat karena ada unsur lain yang membedakan haid dengan junub, walaupun keduanya sama-sama hadath besar.

METODE PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM Hukum Islam itu harus dinamis, sehingga tidak luput dari suatu pembaharuan. Untuk melakukan suatu pembaharuan hukum Islam harus ditempuh melalui beberapa metode. (http://one.indoskripsi.com/) 1) Pemahaman Baru Terhadap Kitabullah Untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam,hal ini dilakukan dengan direkonstruksi dengan jalan mengartikan al-quran dalamkonteks dan jiwanya.pemahaman melalui konteks berarti mengetahui asbab an-nusul. Sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti memperhatikan makna atau substansi ayat tersebut. 2) Pemahaman Baru Terhadap Sunnah Dilakukan dengan caramengklasifikasikan sunnah, mana yang dilakkan Rasulullah dalam rangkka Tasyri Al-Ahkam (penetapan hukum) dan mana pula yang dilakukannya selaku manusia biasa sebagai sifat basyariyyah (kemanusiaan). Sunnah baru dapat dijadikan pegangan wajib apabila dilakukan dalam rangkaTasyri Al- Ahkam. Sedangkan yang dilakukannya sebagai manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti kesukaaan Rosulullah SAW kepada makanan yang manis, pakaian yang berwarna hijau dan sebagainnya. Disamping itu sebagaimana aal-Quran, Sunnah juga harus dipahami dari segi jiwa dan semangat atau substansi yang terkandung didalamnya.

3) Pendekatan Taaqquli (Rasional) Ulama terdahulu memahami rukun Islam dilakukan dengan Taabbudi yaitu menerima apa adanya tanpa komentar, sehingga kwalitas illat hukum dan tinjauan filosofisnya banyakk tidak terungkap. Oleh karena itu pendekatan taaquli harus ditekankan dalam rangka pembaharuan hukum Islam (taabadi dan taaqquli). Dengan pendekatan ini illat hukum hikmahat-tashih dapat dicerna umat Islam terutama dalam masalah kemasyarakatan. 4) Penekanan Zawajir (Zawajir dan Jawabir) dalam Pidana Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir. Jawabir berarti dengan hukum itu dosa atau kesalahan pelaku pidana akan diampuni oleh Allah. Dengan memperhatikan jawabir ini hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang dihukum dengan potong tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghoiru muhsan didera. Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera pelaku pidana sehingga

tidak mengulanginya lagi. Dalam pembaharuan hukum Islam mengenai pidana, yang harus ditekakankan adalah zawajir dengan demikian hukum pidana tidak terikat pada apa yang tertera dalam nash. 5) Masalah Ijmak Pemahaman yang terlalu luas atas ijmak dan keterikatan kepada ijamak harus dirubah dengan menerima ijmak sarih,yang terjadi dikalangan sahabat (ijmak sahabat) saja,sebagai mana yang dikemukakan oleh asy-syafii.kemungkinan terjadinya ijmak sahabat sangat sulit,sedangkanijmak sukuti (ijmak diam) masih diperselisihkan. Disamping itu,ijmak yang dipedomi haruslah mempunyai sandaran qati yang pada hakikatnya kekuatan hukumnya bukan kepada ijmak itu sendiri,tetapi pada dali yang menjadi sandaranya. Sedangkan ijmak yang mempunyai sandaran dalil zanni sangat sulit terjadi. 6) Masalik al-Illat (Sara Penetapan Illat) Kaidah-kaidah yang dirumuskan untuk mendeteksi ilat hukum yang biasanya dibicarakan dalam kaitan dengan qiyas. Dalam kaidah pokok dikatakan bahwa hukum beredar sesuai dengan ilatnya. Ini fitempuh dengan merumuskan kaidah dan mencari serta menguji alit yang benar-benar baru. 7) Masalih Mursalah Dimana ada kemaslahatan disana ada hukum Allah SWT adalah ungkapan popular dikalangan ulama. Dalam hal ini masalih mursalah dijadikan dalil hukum dan berdasarkan ini,dapat ditetapkan hukum bagi banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-quran dan sunah. 8) Sadd az-Zariah Sadd az-zariah berarti sarana yang membawa ke hal yang haram. Pada dasarnya sarana itu hukumnya mubah,akan tetapi karena dapat membawa kepada yang maksiat atau haram,maka sarana itu diharamkan. Dalam rangka pembaharuan hukum Islam sarana ini digalakkan. 9) Irtijab Akhalf ad-Dararain Dalam pembaharuan hukum Islam kaidah ini sangant tepat dan efektif untuk pemecahan masalah baru. Umpamanya perang di bulan muharram hukumnya haram, tetapi karena pihak musuh menyerang,maka boleh dibalas dengan berdasarkan kaidah tersebut,karena serangan musuh dapat menggangu eksistensi agama Islam. 10) Keputusan Waliyy al-Amr Atau disebut juga ulil amri yaitu semua pemerintah atau penguasa,mulai dari tingkat yang rendah sampai yang paling tinggi. Segala peraturan Undang-Undangan wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan agama. Hukum yang tidak dilarang dan tidak diperintahakn hukumnya mubah. Contohnya,pemerintah atas dasar masalih mursalah menetapkan bahwa penjualan hasil pertanian harus melalui koperasi dengan tujuan agar petani terhindar dari tipu muslihat lintah darat.

11) Memfiqhkan Hukum Qati Kebenaran qati bersifat absolut. Sedangkan kebenaran fiqh relative.menurut para fukaha, tidak ada ijtihad terhadap nas qati (nas yang tidak dapat diganggu gugat). Tetapi kalau demikian halnya,maka hukum Islam menjadi kaku. Sedangkan kita perpegang pada moto: alIslam salih li kulli zaman wa makan dan tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-amkinah wa alzaman.untk menghadapi masalah ini qati diklasifikasikan menjadi:QatI fi jami al-ahwal dan Qoti fi bad al-ahwal. Pada qotI fi al-ahwal tidak berlaku ijtihad,sedangkan pada qotI fi bad al-ahwal ijtihad dapat diberlakukan.tidak semua hukum qatI dari segi penerapanya (tatbiq) berlaku pada semua zaman. Islam sebagai agama wahyu yang terakhir dan dimaksudkan sebagai agama yang berlaku dan dibutuhkan sepanjang zaman tentu mempunyai pedoman dan prinsip dasar. Pedoman dan prinsip itulah yang sebaiknya kita gunakan sebagai petunjuk bagi kita semua dalam kehidupan agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Ajaran Islam selalu mampu menghadapi perkembangan zaman dan mampu menjawab tantangan zaman, maka hukum Islam perlu dikembangkan, dan pemahaman terhadap Islam perlu terus-menerus diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran baru terhadap nas syara, dengan cara menggali kemungkinan-kemungkinan lain atau alternatif-alternatif dalam shariat yang diyakini mengandung alternatif-alternatif yang bisa di