ANALISIS KEEFEKTIFAN KEBIJAKAN FISKAL
TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DENGAN PENEKANAN PADA AGROINDUSTRI
DI INDONESIA
DISERTASI
DARSONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
ii
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul:
“ANALISIS KEEFEKTIFAN KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DENGAN PENEKANAN PADA AGROINDUSTRI
DI INDONESIA”
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan
tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2008
Darsono NRP: A 161040011
ABSTRACT
DARSONO. The Effectiveness of Fiscal Policy Analysis on Agricultural Sector Performance with Emphasis on Agroindustry in Indonesia (MANGARA TAMBUNAN as Chairman, HERMANTO SIREGAR, and D.S. PRIYARSONO as Member of Advisory Committee).
Indonesian economy where agricultures as single biggest sector which recently facing poor agriculture performance. The problem lies in the weak connection between agriculture as source primary commodities with agroindustrial development. This agriculture structural problem, should be understood and can be analyzed in the context government fiscal allocation problem that hypothetically may or may not supported both agriculture and agroindustrial development. The objectives of this research, are: (1) to analyze the agregate performance of agricultural sector and agroindustry, (2) to analyze the relationship between fiscal policy instruments with performance of agricultural and agroindustrial development, (3) to analyze the effectiveness of fiscal policy instrument on the performance of agricultural and agroindustrial development, and (4) to examining the relationship of agriculture sector with agroindustrial performance under certain fiscal instruments.
The time series data (1970.1 - 2005.4) which quartely groupped were used to empirically examined all four research objectives above. In analyzing the time series data prepared, the Vector Error Correction Model (VECM) was develop along with Impulse Response Function (IRF) and Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). This model is essentially used to show the role and response of fiscal instrument on agriculture and agroindustrial performance.
The result of analysis, in general show that fiscal policy was not effective for improving the performance of agricultural sector and agroindustry. Poor performance of agricultural sector was found in the declining contribution of output and value added. The agroindutries competitive level, although increase in absolute term but it was consistently declined. The long term fiscal policy that have strong influence on agricultural and agroindustrial, are: agricultural research and development, agricultural infrastructure, fiscal decentralization, income tax, and value added tax. The agriculture sector and agroindustries response to fiscal instruments shocks was adjusted in the relatively long term; for agriculture it take 8 years and agroindustries 7 years. The fiscal instruments element that would have effects on the performance of agriculture, are: value added tax, agricultural subsidy, agricultural research and development budget, budget for agricultural infrastructure, and fiscal decentralization. Instruments of fiscal policy, in the long term is viwed as an effective tool for improving the performance of agroindustry. The instrument are: value added tax, budget for agricultural infrastructure, and fiscal decentralization. While shocks for agroindustries performance from agriculture show it take 7 years to reach stability. The performance of agriculture sector that have a push effect on agroindustries are: GDP of agriculture, export, and import of agricultural products.
Some important implications derived from result of analysis is that, in order to develop a high performance of agriculture and agroindustries, it is suggested government of Indonesia should improve the fiscal instrument (implied budget allocation) especially focused on: budget of agricultural research and development, agricultural infrastructure, fiscal decentralization, income tax, and value added tax. Key words: Fiscal policy, agricultural sector, agroindustry, agricultural infrastructure, Vector Error Correction Model iii
RINGKASAN Sektor pertanian telah berperan untuk memulai, dan menumbuhkan perekonomian agregat sejak periode 1960an. Namun banyak studi menemukan bahwa peran tersebut semakin menurun tidak wajar sehingga sejak pertengahan periode 1990an tidak mampu lagi menjadi pendukung tumbuhkembangnya perekonomian Indonesia. Disamping itu rantai agroindustri tidak berkembang sebagai fase antara untuk mengantarkan industrialisasi di Indonesia. Sehingga perekonomian domestik tidak dapat menciptakan nilai tambah produk primer pertanian, dan tidak dapat menikmati nilai tambah tersebut untuk kesejahteraan. Terjadi fenomena under dan miss-investment pada sektor pertanian. Masalah tersebut bersifat struktural dan jangka panjang, maka pendekatan penyelesaiannya menyangkut ekonomi-politik dengan fiskal sebagai stimulator. Persoalannya adalah kebijakan fiskal apa yang efektif untuk memperbaiki kinerja sektor pertanian dan agroindustri. Permasalahan penelitian dirumuskan: bagaimana kinerja sektor pertanian dan agroindustri dalam perekonomian agregat di Indonesia?, bagaimana hubungan antara kebijakan fiskal dengan kinerja sektor pertanian dan kinerja agroindustri?, instrumen kebijakan fiskal apa yang efektif mempengaruhi kinerja sektor pertanian, dan kinerja agroindustri di Indonesia?, dan bagaimana keterkaitan sektor pertanian dan agroindustri pada situasi kebijakan fiskal di Indonesia?
Tujuan penelitian adalah: mengkaji kinerja sektor pertanian dan agroindustri dalam perekonomian agregat di Indonesia, mengkaji hubungan kebijakan fiskal dengan kinerja sektor pertanian dan kinerja agroindustri di Indonesia, mengkaji instrumen kebijakan fiskal yang efektif mempengaruhi kinerja sektor pertanian, dan kinerja agroindustri di Indonesia, dan mengkaji keterkaitan antara kinerja sektor pertanian dengan kinerja agroindustri pada kondisi fiskal di Indonesia.
Data yang digunakan dalam penelitian; data sekunder deret waktu tiga bulanan, mulai tahun 1970 triwulan 1 sampai tahun 2005 triwulan 4 dari berbagai sumber. Tujuan penelitian pertama dianalisis menggunakan nilai-nilai rasio konvensional. Tujuan penelitian kedua dianalisis dengan metode Vector Error Correction Model (VECM). Tujuan penelitian ketiga dan keempat dianalisis dari inovasi residual (error term) dengan impulse response function (IRF) maupun forecast error variance decomposition (FEVD). Keefektifan kebijakan fiskal diukur dari frekuensi pengaruh dan magnitude parameter sistem kointegrasi VECM, IRF, dan FEVD. Pengolahan data menggunakan piranti lunak eviews 4.1.
Kesimpulan penelitian; secara umum kebijakan fiskal tidak efektif memperbaiki kinerja sektor pertanian dan agroindustri. Secara khusus: pertama, (a) dorongan fiskal belum optimal dan bertendensi menurun (undervalue) untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian dan agroindustri, (b) terjadi gejala kurang tepat sasaran (missalocation) dan kurang fokus pada fasilitas publik pertanian (seperti infrastuktur pertanian dan agroindustri) dan strategi pertumbuhan jangka panjang (seperti penelitian dan pengembangan pertanian), (c) penurunan kinerja sektor pertanian terjadi pada semua aspek dalam perekonomian, (d) nilai tambah input dan output serta daya saing agroindustri secara absolut meningkat namun pertumbuhannya menurun konsisten. Kedua, instrumen kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang paling kuat mempengaruhi kinerja sektor pertanian dan agroindustri adalah: pajak penghasilan, anggaran sektor pertanian, anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, dan desentralisasi fiskal, disamping itu investasi. Ketiga, (a) guncangan instrumen kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang direspon dengan peningkatan kinerja sektor pertanian adalah: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, anggaran
iv
sektor pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, disamping itu juga investasi dan konsumsi, (b) respon mencapai keseimbangan selama 8 tahun, (c) guncangan instrumen kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang direspon dengan peningkatan kinerja agroindustri adalah: pajak pertambahan nilai, anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, dan anggaran infrastruktur pertanian, (d) respon mencapai keseimbangan selama 7 tahun, (e) instrumen kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang efektif memperbaiki kinerja sektor pertanian adalah: pajak pertambahan nilai, subsidi pertanian, anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, dan desentralisasi fiskal, (f) instrumen kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang efektif memperbaiki kinerja agroindustri adalah: pajak pertambahan nilai, anggaran infrastruktur pertanian, dan desentralisasi fiskal, (g) secara keseluruhan, instrumen kebijakan fiskal yang berpengaruh kuat, direspon positif, dan efektif dalam mempengaruhi variabilitas dan peningkatan kinerja sektor pertanian dan agroindustri adalah: penerimaan pajak penghasilan, penerimaan pajak pertambahan nilai, anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, dan desentralisasi fiskal. Keempat, (a) guncangan kinerja sektor pertanian dalam jangka panjang yang direspon dengan peningkatan kinerja agroindustri adalah: ekspor produk pertanian dan kesejahteraan petani, (b) respon mencapai keseimbangan selama 7 tahun, (c) kinerja sektor pertanian yang berperan efektif/terkait mendorong kinerja agroindustri adalah: PDB pertanian, ekspor, dan impor produk pertanian.
Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah: pertama, perkuatan pemahaman eksekutif dan legislatif perlunya membangun perekonomian Indonesia berbasis pertanian dan agroindustri secara konsisten, visioner, dan antisipatif terhadap perubahan. Kedua, instrumen kebijakan fiskal yang berpengaruh kuat dan efektif sehingga perlu diperhatikan (dengan menaikkan porsi anggaran) adalah anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, desentralisasi fiskal, penerimaan pajak penghasilan, dan pajak pertambahan nilai. Ketiga, diperlukan insentif pajak (pertanian) dan perbaikan talaksana sistem pajak di pusat dan di daerah. Keempat, subsidi lebih dikonsentrasikan untuk input produksi pertanian dan didekatkan kepada petani. Kelima, misi penelitian pertanian harus dapat segera dikembangkan oleh petani dan industri pertanian dan melibatkan pihak swasta. Keenam, perkuatan kebijakan infrastruktur pedesaan dan agroindustri. Ketujuh, meratifikasi DAU dan meningkatkan intervensi alokasi anggaran sektor pertanian di daerah dengan instrumen DAK. Kedelapan, untuk memajukan agroindustri, perlu mendorong peningkatan PDB pertanian dan melakukan perubahan struktur ekspor produk pertanian primer ke olahan, merubah struktur impor produk olahan pertanian ke impor barang modal pertanian. Kesembilan, dorongan fiskal yang kuat pada sektor pertanian dan agroindustri dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Rekomendasi penelitian lanjutan adalah: pertama, penelitian untuk merumuskan pajak optimal pada sektor pertanian dan agroindustri. Kedua, penelitian lebih mendalam khusus mengenai efektifitas inovasi, outcome penelitian dan pengembangan pertanian serta tata kelola infrastruktur pertanian diera otonomi daerah. Ketiga, penelitian mendalam mengenai level subsidi pertanian serta bentuk-bentuk ”perlindungan” sektor pertanian yang optmial. Keempat, penelitian mengenai efektivitas dorongan fiskal yang didesentralisasikan ke daerah terhadap sektor pertanian dan agroindustri di tingkat perekonomian lokal.
v
vi
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
ANALISIS KEEFEKTIFAN KEBIJAKAN FISKAL
TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DENGAN PENEKANAN PADA AGROINDUSTRI
DI INDONESIA
DARSONO
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Membangun Indonesia dengan memajukan sektor pertanian dan agroindustri seyogyanya menjadi pilihan langkah penting pemerintah.
Peran pemerintah memajukan sektor pertanian dan agroindustri dilakukan dengan memperbaiki (melalui peningkatkan upaya dan alokasi anggaran)
instrumen kebijakan fiskal efektif yaitu: penerimaan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, anggaran
penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, dan desentralisasi fiskal.
Keterkaitan efektif antara kinerja sektor pertanian untuk memajukan
agroindustri adalah: PDB pertanian, ekspor, dan impor produk pertanian.
Kepada para Petani dan Nelayan di seluruh Indonesia;
disertasi ini dipersembahkan atas cucuran keringat
untuk turut memajukan Indonesia walau
sebagian besar daripadanya masih harus
berjuang dalam kemiskinan.
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas karunia-Nya
sehingga disertasi dengan judul : Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal terhadap
Kinerja Sektor Pertanian dengan Penekanan pada Agroindustri di Indonesia dapat
diselesaikan. Tema ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan dari para peneliti terdahulu
mengenai penurunan kinerja sektor pertanian dan tidak berkembangnya agroindustri di
Indonesia pada situasi negeri dengan kelimpahan sumberdaya pertanian. Analisis dalam
disertasi ini memberi jawaban dari sisi fiskal, apa yang perlu diprioritaskan dengan
intervensi fiskal efektif yang ditempuh pemerintah untuk memajukan sektor pertanian
dan menumbuhkembangkan agroindustri.
Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terimakasih yang
mendalam dan dengan segala hormat kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
dengan segala kerifannya mengarahkan dan membimbing dengan cara berfikir
komprehensif sistemik atas suatu permasalahan untuk memperoleh alur penulisan
yang baik.
2. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan, utamanya dalam pemodelan, pengolahan data, dan
sistematika isi disertasi. Beliau juga yang merekomendasikan penulis untuk dapat
studi lanjut S3 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
3. Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan utamanya dalam aspek penajaman, pengkayaan, dan
pengkritisan analisis dengan menjaga konsistensi.
4. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor atas bimbingan dan
pengarahan dengan segala dedikasi untuk memberi semangat selama penulis
menempuh kuliah S3 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
x
5. Prof. Dr. Ir. Sri Widodo, M.Sc (Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta), Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS (Pembantu Rektor I Universitas Sebelas
Maret Surakarta) atas rekomendasi untuk studi lanjut S3.
6. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS dan Dr.Ir. Eka Intan K. Putri, M.Si selaku Penguji Luar
Komisi dan Pimpinan Sidang dalam ujian tertutup Program Doktor; atas saran
masukan bagi perbaikan disertasi.
7. Prof. Dr. Ir. Rudi Wibowo, MS dan Dr. Ir. I Wayan Rusastra, M.Sc. APU selaku
Penguji Luar Komisi dalam ujian terbuka Program Doktor atas pengkayaan
masukan untuk perbaikan disertasi.
8. Para Dosen di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, atas segala didikan dan
pengajarannya. Tidak lupa juga semua Guru sejak Taman Kanak-Kanak hingga
Pendidikan Tinggi; yang telah mengenalkan penulis huruf dan angka, makna
fenomena, dan makna pengetahuan kehidupan. Untuk semuanya penulis
mendoakan semoga akan menjadi amal baik yang tak akan putus pahalanya.
9. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjanan Institut
Pertanian Bogor yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan
dan menikmati studi pada jenjang S3 di IPB. Kepada semua staf administrasi di
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor khususnya di Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (Santi, Ruby,
Yani, Amalia, Kokom, dan Husain) atas segala layanan administrasi yang baik.
10. Prof. Dr. dr. Syamsul Hadi, SPKJ, Kon., (Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta/ UNS), Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS (Pembantu Rektor I UNS), Prof. Dr.
Ir. Soentoro, MS (Dekan Fakultas Pertanian UNS), Ir. Catur Tunggal, BJP, MS
(Ketua Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis) Fakultas
Pertanian UNS), dan Dr. Ir. Suprapti Supardi, MS (Ketua Laboratorium Ekonomi
Pertanian) atas ijin studi lanjut S3 sehingga harus meninggalkan tugas pokok
selama pelaksanaan studi tersebut. Kepada Dr. Drajat Trikartono, MS dan Prof. Dr.
Sunardi, M.Sc. (Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat/LPPM UNS) yang telah merelakan penulis mendahului meninggalkan
xi
tugas tambahan di lembaga tersebut dalam situasi peletakan dasar pengembangan
lembaga yang baru ditumbuhkan.
11. Semua rekan di Laboratorium Ekonomi Pertanian Sosek (Agribisnis) Fakultas
Pertanian UNS, atas kerelaan untuk menanggung tambahan beban tugas selama
penulis menempuh studi S3.
12. Pengelola beasiswa Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Departemen
Pndidikan Nasional yang telah memberi pendanaan dalam studi Program Doktor
saya.
13. Prof. Dr. Ir. Syarifudin Baharsyah, M.Sc; Dr. Noer Soetrisno, MA.; Prof. Dr. Ir.
Rudi Wibowo, MS; Dr. Endah Murniningtyas, M.Sc.; Dr.Husain Sawit, M.Sc;
Dr.Ir. Djafar Hafsah; Dr. Ir. Iwantono; Prof. Dr. Ir. Soekartawi, M.Sc; dan Dr.Ir. I
Wayan Rusastra, MS, APU yang telah memberi kesempatan diskusi kepada
penulis untuk memperdalam analisis selama penulis mengumpulkan data. Bahkan
telah meluangkan waktu untuk merespon setiap email yang penulis kirim dalam
keterbatasan waktu para beliau yang luar biasa.
14. Muhamad Arif, Harry Zulfikar, Fetty Prihastini, dan Agustina Mardyanti (Pusat
Data UNESCAP-CAPSA Bogor) yang telah dengan sangat profesional melayani
penulis dalam pencarian data dan bahan pustaka serta jurnal.
15. Staf layanan data dan pustaka di Bank Indonesia, Departemen Keuangan RI, BPS,
Departemen Pertanian RI, Balitbang Departemen Pertanian RI, Pusat Studi
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian RI, Departemen
Perdagangan RI, Sekretariat Food and Agriculture Organization of the United
Nations (FAO) di Jakarta, Sekretariat United Nations di Jakarta, Sekretariat Asian
Development Bank (ADB) di Jakarta, dan Sekretariat World Bank di Jakarta.
16. Dr. Ir. Benny Rachman, M.Si (Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian RI); Redaktur: Jurnal Agro Ekonomi, Jurnal Forum Pascasarjana, dan
Jurnal Sosial Ekonomi dan Agribisnis yang telah memungkinkan diterbitkannya
tulisan sebagai bagian dari disertasi ini.
xii
17. Didi Nuryadin, SE, M.Si (Program Pascasarjana Universitas Pembangunan
Nasional Yogyakarta), dan Ir. Mohamad Romdhi, M.Si (Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) atas diskusi dalam pengolahan data.
18. Teman-teman seangkatan (2004) juga angkatan 2002, 2003, 2005, dan 2006 Ilmu
Ekonomi Pertanian serta teman dan sahabat di berbagai program studi, atas
kehangatan persaudaraan dan saling menasehati.
19. Kepada Keluarga Bapak Suhendi, Bapak H. Hatta, dan Bapak Karjiyo di Jl.
Babakan Raya Darmaga Bogor, atas telah memberi naungan tempat tinggal selama
penulis menempuh pendidikan Doktoral di Bogor.
20. Teristimewa untuk kedua orang tua, mertua, keluarga besar Purwodadi Grobogan,
Yogyakarta, Malang, Bandung, dan Jakarta atas segala do’a dan dorongan yang
telah memberi kekuatan bagi penulis untuk terus melangkah. Kepada istri dan
putri-putraku yang telah memberi kasih sayang, do’a semangat, dan pengorbanan
lahir dan batin.
21. Kepada semua pihak yang tidak sempat disebutkan yang telah memungkinkan
diselesaikannya disertasi dan studi S3 saya ini, teman-teman di organisasi, dan
jaringan kerjasama atas kehangatan persaudaraan bakti; diucapkan terimakasih dan
penghargaan setinggi-tingginya.
Penulis menyadari, bahwa dari upaya maksimal untuk mewujudkan disertasi ini
pasti masih terdapat kekurangan dan keterbatasan. Semoga karya disertasi ini
bermanfaat; amin.
Bogor, Agustus 2008
Darsono
xiii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Juni 1966 di Purwodadi Grobogan, Jawa
Tengah. Anak ke empat dari lima bersaudara dari Bapak Yasmo dan Ibu Masunandah.
Pada tahun 1979 menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri I Karanganyar.
Pada tahun 1982 lulus dari SMP Negeri III Purwodadi (mendapat penghargaan pelajar
teladan) selanjutnya tahun 1985 lulus dari SMA Negeri I Purwodadi (mendapat
penghargaan pelajar teladan).
Pada tahun 1991 menyelesaikan program sarjana di Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tahun 1989
berkesempatan menjadi ketua delegasi pertukaran pemimpin pemuda Indonesia-Jepang
untuk tema industri pertanian (nogyo to jibasangyo). Tahun 1993 dengan beasiswa dari
TMPD melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Program Pascasarjana IPB dan lulus tahun
1996 (mendapat penghargaan akademik IPB). Pada tahun 2003 mendapat beasiswa dari
AUSAID untuk short course mengenai business consulting di Australia dengan host
Earnts and Young-Curtin University WA. Mulai tahun 2004 dengan beasiswa BPPS
melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah
Pascasarjana IPB (mendapat penghargaan akademik IPB).
Sejak tahun 1991 bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan/Program Studi
Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis) Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Surakarta (UNS) hingga sekarang. Mendapat tugas tambahan sebagai sekretaris Pusat
Kuliah Kerja Usaha Lembaga Kewirausahaan UNS (1996-98), Ketua Pelaksana
Laboratorium Ekonomi Pertanian (1997-99), sekretaris Pusat Studi Pedesaan dan
Kawasan Lemlit UNS (1997-2000), dan sekretaris Lembaga Pengabdian kepada
Masyarakat UNS (2000-4). Dewan Pendiri dan Ketua Asosiasi Business Development
Services Indonesia (2001-5). Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Indonesia (PERHEPI) (2004-sekarang). Menulis buku Ekonomi Jambu Mete, dan ikut
menulis buku Budaya Patriarkhi (PPK-UGM dan Ford Foundation).
Menikah dengan Sri Widajanti tahun 1995 dan dikaruniai dua anak: Maharestri
Rahmi Widarso (1998) dan Mahajendra Arham Widarso (2000).
xiv
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………….... xx
DAFTAR GAMBAR……………………………………………...
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………....
xxiii
xxviii
I. PENDAHULUAN………………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang………………………………………………... 1
1.2. Perumusan Masalah…………………………………………... 6
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………….. 9
1.4. Ruang Lingkup……………………………………………….. 10
II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………... 13
2.1. Kebijakan Fiskal ……………………………………………... 13
2.1.1. Penerimaan Pemerintah………………………………... 13
2.1.2. Pengeluaran Pemerintah……………………………….. 16
2.1.3. Defisit dan Keberlanjutan Fiskal………………………. 18
2.1.4. Desentralisasi Fiskal………………………………….... 18
2.2. Investasi..................................................................................... 20
2.3. Konsumsi................................................................................... 22
2.4. Pembangunan Sektor Pertanian………………………………. 23
2.4.1. Kebijakan Sektor Pertanian…………………………….
2.4.2. Subsidi Pertanian.............................................................
23
24
2.4.3. Infrastruktur Sektor Pertanian…………………………. 25
2.4.4. Inovasi Teknologi Sektor Pertanian………………….... 26
2.4.5. Penelitian dan Pengembangan Sektor Pertanian………. 27
2.5. Kinerja Sektor Pertanian……………………………………... 28
2.5.1. Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian……………... 28
2.5.2. Produktivitas Produk Pertanian………………………... 29
2.5.3. Penyerapan Tenaga Kerja …………………………....... 30
2.5.4. Ekspor dan Impor Pertanian …………………………... 31
xv
2.5.5. Kesejahteraan Petani…………………………………... 32
2.6. Kinerja Agroindustri………………………………………….. 34
2.7. Studi-Studi Terdahulu………………………………………... 35
2.7.1. Peran Fiskal dalam Perekonomian Negara…………….. 35
2.7.2. Kebijakan dan Kinerja Pertanian…………………….....
2.7.3. Kebijakan dan Kinerja Agroindustri…………………...
2.7.4. Alasan Pemilihan Variabel……………………………..
2.7.5. Posisi Penelitian………………………………………..
39
41
42
53
III. KERANGKA TEORI……………………………………………... 55
3.1. Kebijakan Fiskal……………………………………………… 56
3.1.1. Jalur Keynesian Pengaruh Kebijakan Fiskal…………... 57
3.1.2. Penerimaan Pemerintah………………………………... 67
3.1.3. Pengeluaran Pemerintah……………………………….. 70
3.1.4. Pengeluaran Pemerintah Sektoral………………………
3.1.5. Subsidi………………………………………………….
72
73
3.1.6. Dampak Pengeluaran Pemerintah…………………….. 74
3.1.7. Keseimbangan Fiskal ……………………………......... 76
3.1.8. Utang Pemerintah …………………………………....... 77
3.1.9. Desentralisasi Fiskal…………………………………… 79
3.2. Investasi…………………......................................................... 82
3.3. Konsumsi................................................................................... 84
3.4. Kinerja Sektor Pertanian……………………………………...
3.4.1. Pertumbuhan Output …………………………………...
3.4.2. Penyerapan Tenaga Kerja……………………………....
3.4.3. Perdagangan Internasional Komoditi Pertanian……….
3.4.4. Kesejahteraan Petani…………………………………...
86
86
88
92
95
3.5. Kinerja Agroindustri…………………………………………..
3.5.1. Nilai Tambah Unit Input dan Output…………………..
3.5.2. Daya Saing Agroindustri……………………………….
97
97
98
3.6. Analisis Deret Waktu ………………………...........................
3.6.1. Metode Vector Autoregresive dan Vector Error Cor-
99
xvi
rection Model…………………………………………..
3.6.2. Kointegrasi …………………………………………….
3.6.3. Restriksi Jangka Panjang pada Sistem Kointegrasi........
99
104
105
3.7. Kerangka Pemikiran Penelitian…..…………………………... 108
IV. METODE PENELITIAN…………………………………………. 112
4.1. Kerangka Analisis……………………….................................
4.1.1. Pilihan Alat Analisis……………………………….......
4.1.2. Analisis Untuk Mencapai Tujuan Penelitian…………...
4.2. Spesifikasi Model……………………………………………..
112
112
115
118
4.3. Pengujian Model……………………………………………....
4.3.1. Uji Stasioner…………………………………………....
4.3.2. Uji Ordo Lag...................................................................
4.3.3. Uji Kointegrasi………………………………………....
4.3.4. Identifikasi Persamaan Kointegrasi…………………….
120
120
123
123
125
4.4. Analisis Simulasi Dampak Kebijakan Fiskal………………....
4.4.1. Impulse Response Function…………………………….
4.4.2. Dekomposisi Ragam Kesalahan Peramalan ..………….
4.5. Data dan Pengolahan Data…………………………………....
4.6. Hasil Uji Diagnostik Data dan Model.......................................
126
127
130
131
139
V. DINAMIKA KEBIJAKAN FISKAL PADA SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA…………………………………... 151
5.1. Episode Perekonomian dan Mainstream Fiskal Indonesia…....
5.2. Dinamika Kebijakan Fiskal Indonesia………………………..
5.3. Penerimaan Pemerintah……………………………………….
5.3.1. Pajak................................................................................
5.3.2. Utang Pemerintah............................................................
5.3.3. Defisit Anggaran.............................................................
5.4. Pengeluaran Pemerintah............................................................
5.4.1. Pengeluaran Untuk Sektor Pertanian…………………...
5.4.2. Subsidi Pertanian.............................................................
5.4.3. Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian....
151
153
156
158
161
165
167
172
174
175
xvii
5.4.4. Pengeluaran Infrastruktur Pertanian................................
5.4.5. Desentralisasi Fiskal........................................................
5.5. Investasi dan Konsumsi Masyarakat.........................................
5.5.1. Investasi...........................................................................
5.5.2. Konsumsi Masyarakat………………………………….
178
181
185
185
189
VI. KINERJA SEKTOR PERTANIAN DAN AGROINDUSTRI DI INDONESIA…………………………………………………….... 192
6.1. Kinerja Sektor Pertanian...........................................................
6.1.1. PDB Pertanian.................................................................
6.1.2. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian....................
6.1.3. Ekspor Pertanian..............................................................
6.1.4. Impor Pertanian...............................................................
6.1.5. Kesejahteraan Petani.......................................................
6.2. Kinerja Agroindustri..................................................................
6.2.1. Nilai Tambah Input Agroindustri....................................
6.2.2. Nilai Tambah Output Agroindustri.................................
6.2.3. Daya Saing Agroindustri.................................................
192
194
201
206
210
212
216
218
220
222
VII. PENGARUH KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN .................................................................. 225
7.1. Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Sektor Pertanian ...................................................................................
7.2. Respon Dinamik Kinerja Sektor Pertanian atas Guncangan Kebijakan Fiskal .......................................................................
7.3. Kebijakan Fiskal yang Efektif Mempengaruhi Kinerja Sektor Pertanian.......................................................................
225
232
249
VIII. PENGARUH KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA AGROINDUSTRI............................................................................ 256
8.1. Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Agroindustri.......
8.2. Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kebijakan Fiskal .......................................................................
8.3. Instrumen Kebijakan Fiskal yang Efektif Mempengaruhi Kinerja Agroindustri..................................................................
256
262
276
xviii
8.4. Hubungan Keterkaitan Kinerja Sektor Pertanian dengan Kinerja Agroindustri..................................................................
8.4.1. Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kinerja Sektor Pertanian.................................................
8.4.2. Kinerja Sektor Pertanian yang Efektif Mempengaruhi Kinerja Agroindustri........................................................
280
280
288
IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN..........................
9.1. Ringkasan dan Sintesis .............................................................
9.2. Kesimpulan................................................................................
9.3. Implikasi Kebijakan..................................................................
9.4. Saran Penelitian Lanjutan..........................................................
292
292
303
308
312
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………....... 314
LAMPIRAN………………………………………………………. 331
xix
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Pangsa Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Berbagai Negara dan Indonesia ……………………………………………….
4
2. Determinan Pertumbuhan Pendapatan dan Sumbangan Kawasan dan Sektoral Negara-Negara Maju................................…………….. 5
3.
Persentase Penerimaan Pemerintah Pusat terhadap PDB di Negara- Negara Asia, dan Indonesia.........................…………….................... 14
4.
Utang Luar Negeri Negara-Negara Asia Pasifik dan Indonesia …….
15
5. Persentase Pengeluaran Pemerintah Pusat terhadap PDB di Negara- Negara Asia dan Indonesia …………………….................................
17
6. Keseimbangan Fiskal Pemerintah Pusat terhadap PDB di Negara-Negara Asia dan Indonesia ……………….........................................
19
7. Porsi Penerimaan dan Pengeluaran dalam Desentralisasi Fiskal Berbagai Negara di Dunia dan Indonesia…………………................ 20
8. Belanja Pemerintah untuk Pembangunan Pertanian…….................... 21
9. Kebutuhan Beberapa Produk Pangan Tahun 2035 dan Kemampuan Produksi Tahun 2001 di Indonesia...................................................... 22
10. Variabel Terpilih dalam Penelitian…………………………………..
53
11. Komponen Deterministik VEC dalam Sistem Variabel VAR(1)........ 108
12. Hasil Uji Unit Root Variabel yang Digunakan……………………… 140
13. Hasil Uji Structural Break dengan Chow Breakpoint Test…………… 142
14. Hasil Uji Kointegrasi dengan Engle - Granger Two Step Method….. 143
15. Kemampuan Menjelaskan Perubahan Variabel dengan Pairwise Granger Causality Tests……………………………………………..
147
16. Rata-rata Pertumbuhan Utang Domestik dan Luar Negeri.................. 163
17. Porsi Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Rutin, dan Pengeluaran Sektor Pertanian terhadap Utang................... 164
xx
18. Alokasi Pinjaman Bank Dunia per Sektor........................................... 165
19.
20.
Pembiayaan Defisit Anggaran.............................................................
Alokasi Belanja Pemerintah Pusat Beberapa Negara di ASEAN.......
167
171
21. Pangsa Pendapatan dan Belanja Daerah terhadap Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat.............................................................
185
22. Investasi Domestik Bruto Negara-negara Berkembang dan Maju......
188
23. Kinerja Sektor Pertanian dalam Perekonomian Makro....................... 199
24. Struktur PDB Indonesia Menurut Sektor............................................. 201
25. Perubahan Struktur Tenaga Kerja Pertanian Indonesia....................... 203
26. Tenaga Kerja Menurut Sektor di Berbagai Negara............................. 204
27. Produktivitas Tenaga Kerja Berdasarkan Kegiatan Ekonomi di Beberapa Negara..................................................................................
205
28. Kegiatan Ekonomi Penduduk pada Sektor Pertanian di Dunia........... 206
29. Kontribusi Ekspor Beberapa Negara Pengekspor Terbesar di Dunia.. 207
30. Pangsa Ekspor Produk Berbasis Pertanian di Pasar Dunia................. 209
31. Kontribusi Impor Beberapa Negara Pengimpor Terbesar di Dunia.... 212
32. Perbandingan Pendapatan Petani dan Garis Kemiskinan di Indonesia..............................................................................................
214
33. Perkembangan Status Petani di Indonesia........................................... 215
34. Pertumbuhan Nilai Tambah Input Industri Pertanian di Asia.............
219
35. Pertumbuhan Nilai Tambah Output Industri Petanian di Asia............ 221
36. Indeks Daya Saing Produk Industri Berbasis Pertanian Indonesia.....
223
37. Indeks Daya Sing Produk Pertanian Indonesia dan Negara- Negara Lain………………………………………………………….
224
xxi
38. Hubungan Jangka Panjang Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Sektor Pertanian...................................................................................
226
39.
40.
41.
Respon Dinamik Kinerja Sektor Pertanian atas Guncangan Kebijakan Fiskal ................................................................................. Peran Guncangan Instrumen Kebijakan Fiskal terhadap Variabilitas Kinerja Pertanian............................................................. Rangkuman Peran Guncangan Instrumen Kebijakan Fiskal yang Efektif terhadap Variabilitas Kinerja Sektor Pertanian dalam Jangka Panjang ..................................................................................
247
250
254
42. Hubungan Jangka Panjang Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Agroindustri.........................................................................................
257
43.
44.
Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kebijakan Fiskal.................................................................................. Peran Guncangan Kebijakan Fiskal terhadap Variabilitas Kinerja Agroindustri.........................................................................................
275
277
45. Rangkuman Peran Guncangan Kebijakan Fiskal yang Efektif terhadap Variabilitas Kinerja Agroindustri dalam Jangka Panjang ....
279
46.
47.
Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kinerja Sektor Pertanian...................................................................................
Hubungan Keterkaitan antara Kinerja Sektor Pertanian dengan Kinerja Agroindustri............................................................................
287
289
48. Rangkuman Peran Guncangan Kinerja Sektor Pertanian terhadap Variabilitas Kinerja Agroindustri dalam Jangka Panjang..... 290
49. Rangkuman Hubungan Jangka Panjang antara Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Sektor Pertanian dan Kinerja Agroindustri..... 307
50. Implikasi Kebijakan Analisis Kefektifan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian dengan Penekanan Agroindustri di Indonesia.............................................................................................. 309
xxii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian……………..... 60
2. Efektifitas Kebijakan Fiskal pada Kurs Tetap dan Modal Terbatas...
65
3. Efektifitas Kebijakan Fiskal pada Kurs Fleksibel dan Modal Terbatas……………………………………………………………...
66
4. Dampak Subsidi terhadap Peningkatan Produksi Pertanian………... 74
5. Jalur Efek Block Grant………………………………………………
81
6. Jalur Efek Specific Grant…………………………………………...
81
7. Alokasi Tenaga Kerja antar Sektor Model Harris-Todaro…………..
91
8. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian Berdasar Variabel Terpilih….. 109
9. Diagram Alur Penelitian dan Tahap Analisis dengan VECM......….. 138
10. Komposisi Penerimaan Pemerintah Pusat........................................... 159
11. Pangsa PPh terhadap PDB, Total Penerimaan, dan Total Pajak……. 160
12. Pangsa PPn terhadap PDB, Total Penerimaan, dan Total Pajak......... 161
13. Pangsa Utang terhadap PDB, dan Total Penerimaan.......................... 162
14. Pangsa Defisit terhadap Penerimaan Total , PDB, dan Pengeluaran Total...............................................................................
166
15. Pengeluaran Total dan Pengeluaran Pembangunan……………….... 168
16. Pangsa Pengeluaran Pembangunan terhadap PDB dan Pengeluaran Total...............................................................................
169
17. Alokasi Belanja Sektor Pertanian Beberapa Negara ASEAN……… 170
18. Pangsa Anggaran Sektor Pertanian terhadap Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, dan PDB.................................................
172
xxiii
19. Pangsa Subsidi Pertanian terhadap Subsidi Total, Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Total, dan PDB………………………..
175
20. Pangsa Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian terhadap Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Sektor Pertanian, dan PDB............................................
177
21. Pangsa Pengeluaran Infrastruktur Pertanian terhadap Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Sektor Pertanian, dan PDB............................................
179
22. Pengeluaran Pemerintah Untuk Irigasi............................................... 180
23. Pangsa Anggaran Desentralisasi Fiskal terhadap Pengeluaran Total, dan Pengeluaran Pembangunan................................................
183
24. Pangsa Investasi terhadap Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, dan PDB.....................................................................
186
25. Komposisi Investasi Domestik dan Luar Negeri Sektor Pertanian 189
26. Konsumsi, Pengeluaran Pemerintah, dan PDB................................... 190
27. Pangsa Konsumsi terhadap Pengeluaran Pemerintah dan PDB.......... 191
28. PDB, PDB Pertanian dan Pangsa PDB Pertanian terhadap PDB.......
197
29. Pangsa Tenaga Kerja Pertanian terhadap Populasi, Angkatan Kerja, dan Kesempatan Kerja di Indonesia......................................... 202
30. Ekspor Produk Pertanian dan Total Ekspor Indonesia........................ 208
31. Pangsa Ekspor Pertanian dan Non Pertanian Indonesia...................... 209
32. Impor Produk Pertanian dan Total Impor Indonesia……………....... 210
33. Pangsa Impor Pertanian dan Non Pertanian Indonesia…………....... 211
34. Net-Barter Terms of Trade Petani Indonesia……………………...... 213
35. Nilai Tambah Input, Nilai Tambah Output, dan Daya Saing Agroindustri ………………………………………………………...
217
36. Nilai Tambah Input Agroindustri……………………………….…... 218
37. Nilai Tambah Output Agroindustri………………………………….
220
38. Daya Saing Agroindustri……………………………………………. 222
xxiv
39. Respon shocks pada Pajak Penghasilan terhadap Pajak Penghasilan (PPh), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)………………………………………………………….
234
40. Respon shocks pada Pajak Pertambahan Nilai terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPn), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)……………………………………...
235
41. Respon shocks pada Anggaran Sektor Pertanian terhadap Belanja Pertanian (EA), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)………………………………………….
237
42. Respon shocks pada Subsidi Pertanian terhadap Subsidi Pertanian (SP), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)………………………………………………………….
239
43. Respon shocks pada Anggaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian terhadap Anggaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian (RDA), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)…………………………………………. 241
44. Respon shocks pada Anggaran Infrastruktur Pertanian terhadap Anggaran Infrastruktur Pertanian (IA), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)…………………..
242
45. Respon shocks pada Desentralisasi Fiskal terhadap Desentralisasi Fiskal (DF), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)………………………………………….
244
46. Respon shocks pada Investasi terhadap Investasi (I), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)………………………………………………………………… 245
47. Respon shocks pada Konsumsi terhadap Konsumsi (KONS), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)…………………………………………………………………
247
xxv
48. Respon shocks pada Pajak Penghasilan terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)…………………………………………….........
263
49. Respon shocks pada Pajak Pertambahan Nilai terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)………………………………………………….
264
50. Respon shocks pada Anggaran Sektor Pertanian terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)…………………………………………………. 265
51. Respon shocks pada Subsidi Pertanian terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)……………………………………………………………….. 267
52. Respon shocks pada Anggaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)………………..
268
53. Respon shocks pada Anggaran Infrastruktur Pertanian terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)………………………………………….. 270
54. Respon shocks pada Desentralisasi Fiskal terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)………………………………………………….
271
55. Respon shocks pada Investasi (I) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)..................................................................................................
272
56. Respon shocks pada Konsumsi (KONS) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)………………………………………………….
274
57. Respon shocks pada PDB Pertanian (GDPA) Terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)………………………………………………….
281
58. Respon shocks pada Tenaga Kerja Pertanian (TKA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)…………………………………………………. 282
59. Respon shocks pada Ekspor Produk Pertanian (XA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)………………………………………………….
283
xxvi
60. Respon shocks pada Impor Produk Pertanian (IMA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)…………………………………………………. 285
61. Respon shocks pada Kesejahteraan Petani (WP) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)…………………………………………………. 286
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian dengan Penekanan Pada Agroindustri di Indonesia………………………………………………………….....
327
2. Uji Stasioner dengan Augmented Dickey-Fuller Test………………....
337
3. Uji Structural Break dengan Chow Test…………………………….. 358
4. Uji Kointegrasi dengan Engel- Granger Two Step Tes……………..
360
5. Uji Ordo Optimal VAR……………………………………………... 365
6. Uji Granger Causality Berbasis VAR (4)…………………………...
366
7. Uji Rank Kointegrasi VAR(4) dengan Johansen Cointegration Test.
372
8. Hasil Estimasi Kointegrasi VECM..................................................... 373
9. Impulse Response Function……………………………………………… 382
10. Forecast Error Variance Decomposition……………………………… 396
xxviii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejarah peradaban ekonomi bangsa-bangsa di dunia senantiasa dimulai,
ditumbuhkan dan didukung secara konsisten oleh pertanian untuk kemakmuran
rakyatnya (Rozalle, and Swinnen, 2004). Hal itu dibuktikan bagi negara-negara
yang memiliki limpahan (endowment) sumber daya pertanian (alam, dan hayati).
Bagi Indonesia potensi itu ada, bahkan banyak studi (misalnya Arifin, 2001, 2004;
Tambunan, 2003a, 2003b; Pakpahan, 2004; PSE UGM, LPEM-FEUI, dan PSP IPB,
2004; ADB, SEAMEO SEARCA, Crescent, CASER and Ministry of Agriculture
RI, 2005; Syafa’at, et.al., 2005) memperkirakan akan terjadi kemakmuran di
Indonesia dengan mengelola secara baik sumberdaya pertaniannya.
Sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia telah berperan untuk
memulai, dan menumbuhkan perekonomian agregat sejak periode 1960an. Namun
banyak studi mengindikasikan, peran pertanian semakin menurun secara tidak wajar
(dengan parameter penurunan produktivitas, pangsa ekonomi, serapan tenaga kerja,
dan kemampuan membangkitkan sektor sekunder) sehingga sejak pertengahan
periode 1990an pertanian tidak mampu lagi menjadi pendukung tumbuh
kembangnya perekonomian Indonesia hingga pasca krisis besar (moneter) tahun
1997 (Booth, 1988, 2002; Martin and Warr, 1993; Muslim, 2002; Fuglie, 2004;
Druska and Horrace, 2004; Simatupang, et. al., 2004; Sastrosoenarto, 2006).
Dalam perekonomian Indonesia, memajukan dan membangun pertanian
secara serius dan konsisten merupakan hal penting hingga sekarang. Sektor
pertanian di Indonesia sangat strategis sebagai basis ekonomi rakyat di pedesaan,
2
menguasai hajat hidup sebagian besar penduduk, menyerap lebih separo total tenaga
kerja dan bahkan terbukti telah menjadi katub pengaman pada krisis ekonomi
Indonesia (Arifin, 2004; Priyarsono, et.al., 2005; Sastrosoenarto, 2006).
Namun, kebijakan ekonomi dan politik bahkan pasar sering tidak kondusif
terhadap sektor pertanian. Hal tersebut dijelaskan oleh pangsa (share) sektor
pertanian dalam struktur perekonomian Indonesia periode 1965 sampai 2000an dari
indikator terpenting semuanya mengalami penurunan, tanpa diikuti peningkatan
pada penciptaan sektor manufaktur berbasis pertanian dan penunjang agribisnis (off-
farm dan non-farm) sebagaimana transformasi dalam perekonomian. Laju investasi
swasta tumbuh negatif (-2.07%) selama periode 1994-2001, karena besarnya resiko
dan ketidakpastian. Intinya adalah, sektor pertanian mengalami under investment
(BPS, dan World Bank, 2003, 2006) sekaligus miss investment (Siregar, 2008) pada
kapasitas sumberdaya yang ada.
Indikasi selanjutnya, tidak berkembangnya rantai agroindustri sebagai fase
antara untuk mengantarkan proses transformasi industrialisasi di Indonesia
(Sastrosoenarto, 2006). Sehingga perekonomian domestik tidak dapat menciptakan
nilai tambah produk primer pertanian, dan tidak dapat menikmati nilai tambah
tersebut untuk kesejahteraan. Daya saing agroindustri Indonesia selalu menurun,
bahkan mulai tahun 2004 lebih rendah dari Vietnam (Sudaryanto, et.al., 2002; Sa’id
dan Dewi, 2006).
Dalam paradigma ekonomi pembangunan, terdapat paradoks (development
paradox) dimana negara-negara maju yang telah mengandalkan industri
berteknologi tinggi, dengan tingkat pendapatan per kapita tinggi umumnya
memproteksi pertanian dan petaninya yang jumlahnya sedikit. Sedangkan negara-
3
negara miskin, berbasis pertanian justru tidak ramah terhadap pertanian dan
petaninya sendiri yang jumlahnya mayoritas dan kontributor utama terhadap sistem
politik, demokrasi dan perekonomian negara (Arifin, 2001). Di Asia, Braun dan
Greenwood (2007) menyatakan; pemerintahan di Asia makin menjauhi petani.
Kondisi tersebut digambarkan oleh Pryor and Holt (1998) dalam Arifin
(2004) pada Tabel 1. Agribisnis adalah kegiatan yang berkembang sebagai akibat
majunya sektor pertanian yang dapat menggerakkan sektor manufaktur dan jasa
berhubungan dengan pertanian. Indonesia dengan pangsa pertanian relatif masih
besar (20%, tahun 1998) namun penggerakan sektor sekunder yang mendukung
sektor pertanian (manufaktur dan jasa dalam agribisnis) masih rendah (60%)
dibandingkan dengan satu kawasan (Philipina sebasar 70%, Malaysia sebesar 73%
dan Thailand sebesar 79%) yang pangsa pertaniannya lebih kecil. Amerika Serikat
dengan pangsa pertanian hanya 1% mampu menggerakkan sektor sekunder dengan
pangsa 91% terhadap PDB.
Pentingnya pertanian di negara-negara maju sebagaimana hasil studi
Klundertu and Nahuis (1998) untuk negara-negara Eropa, Amerika Utara, Jepang
dan Non OECD ditampilkan pada Tabel 2. Dalam kurun waktu tahun 2000-25
diprediksikan pendapatan masyarakat akan tumbuh paling tinggi di negara Non
OECD sebesar 4.0% disusul Amerika Utara (2.3%) dan Jepang (2.1%) sedangkan
Eropa bertumbuh 1.9%. Sumbangan sektor pertanian dalam perekonomian ditinjau
dari share regional/kawasan maupun sumbangan terhadap pendapatan lokal dalam
perekonomian dunia masih cukup besar, masing-masing 60.2% dan 20.3% pada
tahun 2025 khususnya untuk negara Non OECD. Artinya, pertanian di negara-
4
negara maju masih penting dalam menyumbang pertumbuhan pendapatan dan
perekonomian.
Tabel 1. Pangsa Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Berbagai Negara dan
Indonesia (%)
Pangsa Terhadap PDB
Negara Sektor
Pertanian Manufaktur
dan Jasa dalam
Pertanian
Seluruh Agribisnis
Pangsa Manufaktur dan
Jasa dalam Agribisnis
Philipina 21 50 71 70 India 27 41 68 60 Thailand 11 43 54 79 Indonesia 20 33 53 63 Malaysia 13 36 49 73 Korea Selatan 8 36 44 82 Chile 9 34 43 79 Argentina 11 29 39 73 Brasil 8 30 38 79 Meksiko 9 27 37 75 Amerika Serikat 1 13 14 91
Sumber: Pryor and Holt (1998) dalam Arifin (2004)
Penurunan pangsa pertanian logis sebagai suatu mekanisme transformasi
ekonomi jika pertanian berperan secara baik sebagai penggerak (driver) awal dalam
transformasi. Namun jika pertanian sendiri tidak cukup kuat dan mantap sebagai
penggerak awal transformasi ekonomi (ditandai agroindustri tidak berkembang),
tiba-tiba kemudian pertanian diposisikan tidak penting adalah suatu kekeliruan
yang fatal karena akan terbentuk landasan perekonomian yang tidak kuat, pada
kasus negara agraris (Hill, 1996; Lawang, 2006).
Persoalan diatas bersifat struktural dan jangka panjang, maka pendekatan
penyelesaiannya menyangkut ekonomi-politik, dengan fiskal sebagai stimulator.
Kebijakan fiskal adalah peran pemerintah, diperlukan untuk memperbaiki situasi
secara konsisten. Jika demikian, instrumen kebijakan fiskal apa yang efektif harus
5
diutamakan didorong untuk mengembangkan sektor pertanian dan agroindustri
sebagai harapan dalam strategi pemulihan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi
jangka panjang.
Tabel 2. Determinan Pertumbuhan Pendapatan dan Sumbangan Kawasan dan
Sektoral Negara-Negara Maju
Determinan Eropa Barat Amerika Utara Jepang Non OECD Determinan pertumbuhan pedapatan (% per tahun) - Suplai tenaga kerja - Faktor informasi - Faktor produktivitas - Faktor akumulasi kapital - Produk nasional
0.5 -
0.6 0.7 1.9
0.7 -
0.9 0.7 2.3
0.0 -
0.9 1.3 2.1
1.3 0.4 1.3 1.1 4.0
2000 2025 2000 2025 2000 2025 2000 2025 Sumbangan wilayah pada perekonomian (%) - Pertanian - Bahan dasar - Jasa internasional - Perlindungan - Produk internasional - Barang konsumsi - Barang kapital
27.4 22.7 27.4 36.5 33.1 14.1 35.0
19.9 23.8 30.5 30.6 25.6 4.7
26.7
18.4 33.6 20.0 31.6 28.0 8.3
27.7
14.4 37.6 22.5 32.1 25.6 4.7 1.5
8.2 5.8
18.0 17.5 14.5 14.4 25.2
5.5 4.5
16.0 13.6 9.9 6.8
20.0
46.0 38.0 34.6 14.4 24.4 63.3 12.1
60.2 34.1 30.9 23.7 38.9 83.3 21.8
Sumbangan Sektoral pada pendapatan lokal (%) - Pertanian - Bahan dasar - Jasa internasional - Perlindungan - Produk internasional - Barang konsumsi - Barang kapital
8.5 4.6 0.7
65.7 8.2 1.9
10.4
8.5 5.6 0.6
66.4 7.5 1.0
10.4
6.5 7.7 0.6
66.3 7.4 1.3
10.3
5.8 8.3 0.4
65.9 7.1 0.9
11.5
5.3 2.3 1.0
64.7 7.7 4.4
14.7
5.2 2.3 0.7
65.1 6.4 3.1
17.1
19.6 9.7 1.1
38.2 7.7
12.9 5.5
20.3 6.4 0.5
40.3 8.6
13.2 6.6
Sumber: Klundertu and Nahuis (1998)
Dari uraian tersebut, hal yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:
pertama, penurunan kinerja sektor pertanian dan agroindustri di Indonesia adalah
persoalan struktural jangka panjang maka harus didekati dengan ekonomi-politik
dalam penyelesaiannya, yaitu kebijakan fiskal. Sejarah dunia membuktikan bahwa
kebijakan fiskal terbukti efektif meredakan krisis ekonomi yang bersifat struktural
pasca Perang Dunia II tahun 1930, sebagai stimulan perekonomian dunia, terutama
di Amerika Serikat. Kedua, jika pemerintah melakukan intervensi dengan kebijakan
6
fiskal, maka instrumen kebijakan fiskal apa yang efektif untuk memajukan sektor
pertanian dan agroindustri.
1.2. Perumusan Masalah
Sektor pertanian dan agroindustri di Indonesia, masih sangat tergantung
pada investasi infrastruktur publik sebagai komplemen investasi swasta oleh petani
dan pelaku usaha agroindustri lainnya. Kebutuhan dukungan pemerintah bukan
hanya karena skala usaha petani demikian kecil sehingga tidak mudah melakukan
investasi dengan skala besar; namun juga karena secara geografis aktivitas pertanian
tersebar secara luas sehingga biaya infrastruktur per jumlah penduduk menjadi
tinggi (Arifin, 2004).
Namun demikian, alokasi belanja pemerintah untuk pertanian selama masa
pembangunan dan setelah memasuki periode otonomi cenderung terus menurun
dalam kondisi pertanian tidak semakin mandiri (ADB, SEAMEO SEARCA,
Crescent, CASER and Ministry of Agriculture RI, 2005). Di daerah, penurunan
terjadi pula pada rata-rata alokasi belanja pembangunan pertanian dalam APBD di
Kabupaten/Kota dan Propinsi dari 4.80% pada awal periode otonomi
daerah/desentralisasi fiskal (1999), tinggal 4.39% ditahun 2006 (Nanga, 2006).
Pada era otonomi kondisi infrastruktur pertanian sebagian besar (70%) semakin
buruk terutama jalan pedesaan dan jaringan irigasi. Alokasi belanja pemerintah
untuk penelitian dan pengembangan pertanian sebagai ujung tombak kemajuan
pertanian pada pasca tahun 2000 hanya 0.1% dari PDB, terkecil dibandingkan
negara-negara di Asia Tenggara. Dengan meratifikasi aturan IMF, subsidi sektor
pertanian juga turun drastis (Sastrosoenarto, 2006). Maknanya adalah, terjadi under
investment pada sektor pertanian di Indonesia.
7
Kinerja sektor pertanian menurut Hayami dan Ruttan (1985) diukur dengan
outcome tingkat kesejahteraan petani, produktivitas lahan (arable land) dan
produktivitas tenaga kerja. Sedangkan Tambunan (2003) melengkapi dengan
variabel pertumbuhan output (PDB), pertumbuhan ekspor, penciptaan kesempatan
kerja, dan ketahanan pangan. Sejak periode tahun 1990an khususnya pasca era
otonomi daerah, semua aspek kinerja sektor pertanian di atas menunjukkan
penurunan konsisten.
World Bank (2003), menunjukkan bahwa pangsa sektor pertanian di dunia
terhadap PDB menurun dari 60% pada tahun 1965 menjadi 28% pada tahun 2000.
Di negara berkembang menurun dari 22% menjadi 16%, di negara maju angka
penurunannya tercatat dari 5% menjadi 2% untuk periode 1965-2000. Di Indonesia,
pada tingkat pertumbuhan sektor pertanian 1.9% per tahun, tidak mampu
menciptakan lapangan kerja baru (BPS, berbagai tahun dan World Bank, 2003,
2006). Fenomena penurunan pangsa produk pertanian terhadap PDB di dunia
diikuti peningkatan yang signifikan pada penciptaan sektor manufaktur dan
penunjang agribisnis (off-farm dan non-farm), namun di Indonesia tidak demikian.
Agroindustri adalah rantai lanjutan produk primer dari sektor pertanian,
pencipta nilai tambah dan sebagai fase intervening industrialisasi. Banyak studi
menemukan, agroindustri Indonesia tidak berkembang dan tidak memiliki daya
saing yang baik (Sudaryanto, et.al., 2002; Sa’id dan Dewi, 2006; Rosa dan
Bernadette, 2006) sehingga penciptaan nilai tambah (value added), inovasi dan
industrialisasi yang sehat tidak terjadi serta ekonomi domestik tidak pernah
mendapatkan insentif positif. Kebijakan industri terkesan melupakan agroindustri.
8
Permasalahan pengembangan agroindustri disisi lain, terjebak kepada
ketergantungan bahan baku impor sehingga sangat rawan terhadap external shock
dan rendahnya multiplier ke belakang maupun ke depan (Rosa dan Bernadette,
2006; Sa’id dan Dewi, 2006). Pemilihan jenis teknologi agroindustri tidak sesuai
(Sudaryanto, et. al., 2002), dan iklim pengembangan usaha agroindustri domestik
kurang memberikan insentif yang kondusif (Herjanto, 2003).
Permasalahan pasar; dalam studi Timmer (1996) dan Enrique (2008)
menunjukkan bahwa pasar pertanian tidak simetris (asimetris market) dimana
elastisitas transmisi harga komoditas pertanian kecil sehingga kenaikan harga di
tingkat konsumen tidak dapat dinikmati oleh produsen. Dampaknya terdapat
disinsentif serius dalam investasi pertanian yang progresif dan tidak mendorong
berkembangnya agroindustri.
Dari uraian diatas diperlukan pendalaman dalam hal; struktur penurunan
kinerja sektor pertanian dan agroindustri. Kemudian jika kebijakan fiskal sebagai
stimulan untuk meningkatkan kinerja, maka instrumen kebijakan fiskal apa yang
efektif perlu dipilih pemerintah. Secara khusus juga menyangkut persoalan
keterkaitan antara kinerja sektor pertanian dengan kinerja agroindustri di Indonesia.
Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini disusun sebagai berikut:
1. Bagaimana kinerja sektor pertanian dan agroindustri dalam
perekonomian agregat di Indonesia?
2. Bagaimana hubungan antara kebijakan fiskal dengan kinerja sektor
pertanian dan kinerja agroindustri?
3. Instrumen kebijakan fiskal apa yang efektif mempengaruhi kinerja
sektor pertanian, dan kinerja agroindustri di Indonesia?
9
4. Bagaimana keterkaitan antara sektor pertanian dengan agroindustri pada
situasi kebijakan fiskal di Indonesia?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan, secara umum tujuan
penelitian ini adalah menganalisis keefektifan kebijakan fiskal Indonesia terhadap
kinerja sektor pertanian dan agroindustri. Secara spesifik tujuan penelitian
dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengkaji kinerja sektor pertanian dan agroindustri dalam perekonomian
agregat di Indonesia.
2. Mengkaji hubungan kebijakan fiskal dengan kinerja sektor pertanian dan
kinerja agroindustri di Indonesia.
3. Mengkaji instrumen kebijakan fiskal yang efektif mempengaruhi kinerja
sektor pertanian, dan kinerja agroindustri di Indonesia.
4. Mengkaji keterkaitan antara kinerja sektor pertanian dengan kinerja
agroindustri pada kondisi fiskal di Indonesia.
Penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat menyangkut hal-hal
sebagai berikut:
1. Pada tataran ilmu pengetahuan, memberikan acuan model teoretis mengenai
keterkaitan determinan instrumen kebijakan fiskal dengan kinerja sektor
pertanian dan agroindustri di Indonesia. Keterkaitan tersebut dianalisis
secara dinamis dengan Vector Error Correction Model (VECM) sehingga
dapat memberikan kerangka kerja kointegrasi dimana tren stokastik sebagai
acuan utamanya.
10
2. Sebagai rujukan pemerintah dalam memformulasikan kebijakan fiskal
dengan memperhatikan bahwa Indonesia adalah negara agraris sehingga
sektor pertanian sebagai kekuatan ekonomi dan agroindustri sebagai
kekuatan dasar industrialisasi, dijadikan potensi yang dimanfaatkan secara
optimal dan konsisten untuk kesejahteraan rakyat.
3. Sebagai bahan referensi bagi penelitian lanjutan yang lebih mendalam.
1.4. Ruang Lingkup
Kebijakan fiskal adalah bentuk intervensi/campur tangan pemerintah dalam
perekonomian suatu negara dengan tujuan agar keadaan perekonomian tidak terlalu
menyimpang dari keadaan yang diinginkan. Cakupan dalam kebijakan fiskal
meliputi penerimaan (revenue) dan pengeluaran (expenditure) pemerintah.
Alat (policy instrument variables) kebijakan fiskal, pada penerimaan
meliputi pajak, non pajak, dan hibah. Pajak meliputi pajak pusat, dan pajak daerah.
Jenis pajak pusat adalah pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai barang
dan jasa (PPn) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak bumi dan
bangunan (PBB) serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), bea
meterai, cukai, pajak/pungutan ekspor, dan bea masuk. Pengeluaran pemerintah
menurut I-Account APBN meliputi: (1) belanja pemerintah pusat (pengeluaran rutin
dan pembangunan), (2) dana perimbangan, dan (3) dana otonomi khusus dan
penyeimbang.
Instrumen kebijakan fiskal dalam penelitian ini mencakup aspek penerimaan
Pemerintah (pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, utang pemerintah);
pengeluaran Pemerintah (pengeluaran sektor pertanian, subsidi sektor pertanian,
11
penelitian pengembangan sektor pertanian, infrastruktur pertanian); keseimbangan
fiskal (defisit anggaran); dan desentralisasi fiskal.
Investasi adalah investasi agregat yang dilakukan pihak swasta baik dari
dalam negeri (PMDM) maupun luar negeri (PMA) di Indonesia. Konsumsi adalah
konsumsi agregat yang dilakukan oleh penduduk di Indonesia.
Sektor berarti bagian dari suatu lingkungan/kegiatan ekonomi (ADB,
SEAMEO SEARCA, Crescent, CASER and Ministry of Agriculture RI, 2005).
Sektor pertanian dalam penelitian ini adalah aktivitas menghasilkan produksi dari
budidaya tanaman pangan, perkebunan (rakyat dan industri perkebunan),
hortikultura, peternakan, dan perikanan (BPS, 2004; Fuglie, 2004).
Agroindustri adalah bagian aktivitas dalam agribisnis yang mencakup
agroindustri hilir yaitu industri pengolahan hasil-hasil pertanian (Herjanto, 2003;
Tambunan, 1992). Produk olahan agroindustri dalam penelitian berdasarkan
berbagai jenis industri yang dikelompokkan menurut kode International Standard
Industrial Classification of All Activity (ISIC) atau Klasifikasi Lapangan Usaha
Indonesia (KLUI).
Kinerja sektor pertanian meliputi: pertumbuhaan output, penyerapan tenaga
kerja, perdagangan (ekspor, dan impor), dan kesejahteraan petani (Martin and Warr,
1993; Fuglie, 2004; Van der Eng, 1996; Arnade, 1998; Suhariyanto, 2001; Mundlak
and Butze, 2002; dan Tambunan, 2003).
Kinerja agroindustri didekati dengan nilai tambah output, nilai tambah input
(Tambunan, 1992), dan daya saing dengan pendekatan indeks comparative
advantage (Herjanto, 2003 dan Joewono, 2008).
12
Cakupan analisis digunakan data sekunder dari data nasional dengan periode
analisis tahun 1970 triwulan 1 hingga tahun 2005 triwulan 4 (35 tahun). Data deret
waktu (time series) memiliki nilai rata-rata dan varian yang selalu berubah
sepanjang waktu. Variabel dengan data seri yang selalu berubah dalam fungsi waktu
tersebut dikenal sebagai variabel non-stasioner. Estimasi melalui metode klasik
seperti OLS (ordinary least squares) akan memberikan hasil yang meragukan
(spurious). Disamping itu analisis dalam penelitian ini akan mencakup
keterhubungan kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian dan agroindustri
dalam jangka panjang. Sehingga model ekonometrik deret waktu yang digunakan
dalam penelitian ini adalah vector error correction model (VECM) atau
cointegrated VAR melalui analisis kointegrasi VAR (dengan melakukan over-
identifying restriction) maupun inovasi residual (error term) dengan impulse
response function (IRF) dan forecast error variance decomposition (FEVD).
Keefektifitas kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian dan
agroindustri diukur dari hubungan struktural ekonomi yang signifikan antar variabel
pada sistem persamaan kointegrasi, dan frekuensi magnitude respon pada analisis
IRF dan peran pada analisis FEVD yang paling besar.
Keterbatasan dari penelitian ini adalah, hanya memasukkan aspek analisis
dengan variabel ekonomi parametrik, sehingga tidak mencakup analisis non
ekonomi dan aspek kelembagaan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah bentuk campur tangan pemerintah dalam
perekonomian dan pembangunan ekonomi suatu negara. Kebijakan fiskal
mempunyai dua instrumen pokok yaitu; perpajakan (tax policy) dan pengeluaran
(expenditure policy) (Mankiw, 2003; Turnovsky, 1981). Dengan instrumen tersebut
dapat dijelaskan bagaimana pengaruh penerimaan dan pengeluaran negara terhadap
kondisi perekonomian, tingkat pengangguran dan inflasi. Secara keseluruhan arah
kebijakan fiskal diharapkan mampu mewujudkan get price right, get all policies
right, dan get institution right dalam perekonomian Indonesia (Subiyantoro dan
Riphat, 2004). Dinamika kebijakan fiskal ke arah itu dijelaskan sebagai berikut.
2.1.1. Penerimaan Pemerintah
Penerimaan pemerintah berasal dari pajak, non pajak, dan hibah. Hasil Studi
ADB (2006) disajikan pada Tabel 3 diketahui, kawasan Asia Tenggara rata-rata
memiliki share penerimaan pemerintah terhadap PDB cenderung rendah dan
menurun jika dibandingkan dengan kawasan lainnya (Asia Tengah, Asia Timur,
Asia Selatan, dan Pasifik). Indonesia di kawasan ASEAN, tren penerimaan
pemerintah selama tahun 2001-5 menurun paling besar dibandingkan dengan
Malaysia, Laos, dan Philipina. Persentase penurunan penerimaan pemerintah
Indonesia terhadap PDB adalah dari 17.9% pada tahun 2001 menjadi 15.0% pada
tahun 2005.
14
Tabel 3. Persentase Penerimaan Pemerintah Pusat Terhadap PDB di Negara- Negara Asia, dan Indonesia (%) Kawasan/Negara 2001 2002 2003 2004 2005
Asia Tengah Armenia 16.5 16.8 18.0 15.9 16.8Azerbaijan 18.0 18.7 24.2 25.0 22.5Kazakhstan 22.6 21.4 22.2 23.5 28.2Kyrgyz Republic 17.0 19.1 19.4 19.5 20.3Tajikistan 15.2 16.7 17.2 17.9 18.1Turkmenistan 24.9 19.7 20.2 20.5 -Uzbekistan 25.7 25.0 24.2 23.7 23.0
Asia Timur China, People's Rep. of 14.9 15.7 16.0 16.5 16.8Hong Kong, China 13.5 13.9 16.8 18.4 17.5Korea, Rep. of 20.3 20.3 20.8 19.7 23.5Mongolia 39.4 38.4 37.9 37.3 36.8Taipei,China 17.7 19.0 20.1 19.0 19.9
Asia Selatan Afghanistan - 8.4 11.0 12.7 15.6Bangladesh 9.0 10.1 10.3 10.1 10.3Bhutan 44.5 39.5 28.2 38.3 38.7India 17.7 18.6 19.1 19.9 19.6Maldives 33.0 33.1 34.8 36.5 -Nepal 13.0 13.1 14.5 14.4 15.2Pakistan 13.3 14.2 14.9 14.3 13.7Sri Lanka 16.6 16.5 15.7 15.3 16.3
Asia Tenggara Cambodia 10.3 10.9 10.2 10.8 11.6Indonesia 17.9 16.1 16.4 15.1 15.0Lao People's Dem. Rep. 13.2 13.1 11.1 11.3 11.6Malaysia 23.8 23.1 23.4 22.1 21.5Myanmar 4.7 5.0 4.6 - -Philippines 15.5 14.3 14.6 14.5 14.8Singapore 23.1 17.5 20.5 19.4 21.1Thailand 15.0 15.8 16.6 17.6 18.1Vietnam 21.0 21.6 22.8 22.8 21.6
Pacific Cook Islands 38.0 36.2 32.3 30.5 -Kiribati 114.9 134.1 112.0 109.1 -Marshall Islands, Rep. of 76.3 74.8 66.2 69.0 64.7Micronesia, Fed. States of 62.8 72.5 70,6 53.7 62.5Papua New Guinea 30.6 27.9 28.1 29.6 -Samoa 31.4 32.9 32.0 30.6 -Solomon Islands 23.5 18.8 39.4 48.9 -Timor-Leste, Dem. Rep. of 16.0 15.7 24.2 31.1 54.9Tonga 28.5 30.6 28.4 29.5 -Vanuatu 21.6 22.2 22.1 24.0 24.8
Sumber: Asian Development Bank (2006)
Penerimaan disamping berasal dari pajak, non pajak, dan hibah juga dapat
dipenuhi dari utang pemerintah baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pada
15
Tabel 4 diketahui, posisi utang luar negeri pemerintah di Asia Pasifik dari tahun
2001-5.
Tabel 4. Utang Luar Negeri Negara-Negara Asia Pasifik dan Indonesia (Juta US$) Kawasan/Negara 2001 2002 2003 2004 2005
Asia Tengah Armenia 906 1 026 1 098 1 183 1 096Azerbaijan 1 270 1 356 1 568 1 625 1 673Kazakhstan 15 158 18 252 22 920 32 095 38 380Kyrgyz Republic 1 677 1 784 1 966 2 104 1 974Tajikistan 1 017 982 1 031 822 895Turkmenistan 1 865 1 660 1 519 1 273 -Uzbekistan 3 960 3 925 4 092 3 997 -
Asia Timur China, People's Rep. of 170 110 168 538 193 634 228 600 -Hong Kong, China 340 024 350 693 371 575 429 336 445 365Korea, Rep. of 128 687 141 471 157 552 172 259 190 010Mongolia 899 986 1 237 1 338 -Taipei.China 34 336 45 033 63 054 80 888 -
Asia Selatan Afghanistan 7 224 7 297 - 749 -Bangladesh 14 677 15 885 16 953 17 953 18 557Bhutan 237 292 406 529 608India 98 843 104 914 111 721 123 278 124 326Maldives 182 223 273 332 482Nepal 2 661 2 744 2 968 3 120 3 122Pakistan 32 124 33 400 33 352 33 307 34 037Sri Lanka 8 544 9 291 10 646 11 809 -
Asia Tenggara Cambodia 2 489 2 626 2 874 3 110 3 208Indonesia 133 074 131 343 135 401 137 024 132 718Lao People's Dem. Rep. 1 205 1 284 1 384 1 961 2 212Malaysia 45 636 48 858 49 113 52 786 51 719Myanmar 5 670 6 556 - - -Philippines 51 900 53 645 57 395 54 846 54 186Singapore 160 127 163 409 189 071 225 818 245 983Thailand 67 509 59 459 51 783 51 312 50 871Vietnam 13 242 13 100 14 100 14 410 17 400
Pacific Fiji Islands 228 229 246 267 -Kiribati 10 10 16 21 24Marshall Islands, Rep. of 90 88 91 103 101Micronesia, Fed. States of 58 57 59 59 -Papua New Guinea 1 575 1 486 1 380 1 367 1 264Samoa 204 234 365 - -Solomon Islands 134 152 161 160 -Timor-Leste, Dem. Rep. of 0 0 0 0 0Tonga 58 60 75 77 81Vanuatu 69 74 87 90 -
Sumber: Asian Development Bank (2006)
16
Utang luar negeri pemerintah di semua kawasan cenderung meningkat
selama 5 tahun terakhir. Indonesia, di kawasan Asia Tenggara adalah negara dengan
peringkat ke dua setelah Singapura dalam utang luar negeri dengan jumlah 133 074
juta US$ pada tahun 2001 menjadi 132 718 juta US$ pada tahun 2005. Obligasi
Publik (OP) oleh pemerintah Indonesia juga telah ditempuh mulai penjualan ritel
bulan Juli 2006 sebagai upaya optimalisasi penggalian sumber pendanaan dari
masyarakat.
2.1.2. Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah menurut APBN I-account maliputi belanja
pemerintah untuk anggaran belanja pemerintah pusat (pengeluaran rutin dan
pembangunan) dan anggaran belanja untuk daerah (dana alokasi umum, dana
otonomi khusus dan dana perimbanganan) (Hutahaean, et. al., 2002). Hasil Studi
ADB (2006) disajikan pada Tabel 5 diketahui bahwa negara-negara di kawasan
Asia Tenggara selama lima tahun terakhir (2001-5) mempunyai kecenderungan
belanja pemerintah yang semakin menurun, kecuali Thailand yang bertendensi naik
dan Vietnam relatif stabil. Porsi pengeluaran pemerintah Indonesia terhadap PDB
sebesar 20.3% pada tahun 2001 turun menjadi 15.5%. Untuk kawasan Asia Tengah,
Timur, Selatan dan Pasifik bertendensi stabil dan menaik. Penurunan porsi belanja
pemerintah terhadap PDB dapat dimaknai peran pemerintah dalam perekonomian
yang menurun, atau kontraksi yang akan berdampak pada sektor riil termasuk
pertanian.
17
Tabel 5. Persentase Pengeluaran Pemerintah Pusat terhadap PDB di Negara- Negara Asia dan Indonesia
(%) Kawasan/Negara
2001 2002 2003 2004
2005
Asia Tengah Armenia 20.8 19.4 19.2 17.6 18.8Azerbaijan 20.1 20.8 27.2 27.0 24.2Kazakhstan 23.0 21.7 23.2 23.8 27.5Kyrgyz Republic 22.8 24.8 25.0 24.1 25.0Tajikistan 15.3 16.8 16.3 17.2 18.3Turkmenistan 24.2 19.6 21.7 20.5 -Uzbekistan 26.7 25.8 24.6 22.9 26.4
Asia Timur China, People's Rep. of 17.2 18.3 18.1 17.7 18.4Hong Kong, China 18.4 18.7 20.1 18.8 17.2Korea, Rep. of 22.0 19.9 23.3 22.2 22.7Mongolia 43.9 44.2 42.1 39.4 34.1Taipei,Cnina 24.1 23.3 22.9 21.9 21.0
Asia Selatan Afghanistan - 8.5 14.0 13.9 15.7Bangladesh 14.0 14.8 13.7 13.3 13.8Bhutan 57.3 44.9 39.8 45.0 50.0India 27.6 28.2 27.6 28.2 27.2Maldives 37.7 38.0 38.2 38.2 -Nepal 17.5 16.9 16.0 15.5 16.3Pakistan 17.6 18.5 18.7 17.3 17.1Sri Lanka 27.5 25.4 23.7 23.4 25.0
Asia Tenggara Cambodia 16.9 17.3 17.1 15.1 14.7Indonesia 20.3 18.2 18.1 16.2 15.5Lao People's Dem. Rep. 20.7 18.4 19.0 17.2 17.7Malaysia 29.3 28.7 28.7 26.4 25.3Myanmar 10.5 8.6 9.5 - -Philippines 19.6 19.6 19.3 18.4 17.5Singapore 23.4 19.1 14.0 13.8 13.2Thailand 17.2 18.2 16.2 17.3 18.0Vietnam 23.9 25.3 27.1 24.9 23.9
Pacific Cook Islands 36.7 36.0 33.1 31.0 -Kiribati 131.4 134.7 140.2 - -Marshall Islands, Rep. of 80.9 62.2 66.7 71.5 67.1Micronesia, Fed. States of 69.4 72.8 70.5 63.2 68.6Palau, Rep. of 63.9 69.1 63.8 63.1 -Papua New Guinea 34.1 31.8 29.0 27.8 -Samoa 19.6 20.7 21.3 20.0 -Solomon Islands 36.2 29.8 39.5 40.6 -Timor-Leste, Dem. Rep. of 13.9 15.3 21.1 21.3 22.5Tonga 30.0 32.2 31.6 28.1 27.6Vanuatu 25.2 24.1 24.0 22.7 25.1
Sumber: Asian Development Bank (2006)
18
2.1.3. Defisit dan Keberlanjutan Fiskal
Secara umum pengertian fiscal sustainability dapat ditarik dari perumusan
government fiscal financing constraint dengan pendekatan Coddington
(Soelistyaningsih, 2005) yaitu apabila pertumbuhan dari rasio utang pemerintah
terhadap PDB lebih kecil dibandingkan selisih antara suku bunga riil dengan
pertumbuhan ekonomi. Salah satu ukuran yang digunakan untuk menjaga
keberlanjutan fiskal adalah menetapkan suatu besaran defisit (keseimbangan fiskal)
sebagai persentase dari PDB. Hasil Studi ADB (2006) mengenai ukuran tersebut
disajikan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 diketahui bahwa dalam selang waktu tahun
2001-5 ditinjau dari kawasan, negara-negara di Asia Tenggara relatif menjaga
posisi keseimbangan terhadap PDB yang rendah.
Indonesia adalah negara yang selalu menurunkan posisi defisit dalam
keseimbangan fiskal terhadap PDB dari (-2.4%) pada tahun 2001 menjadi (-0.5%)
di tahun 2005. Menurut ukuran ini semakin kecil nilai persentase tersebut
mengindikasikan posisi fiskal yang semakin aman/berkesinambungan.
2.1.4. Desentralisasi Fiskal
Hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan menggambarkan hubungan
keuangan (financial relationship) diantara berbagai tingkat pemerintahan, yang
meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan, pengeluaran,
pinjaman, subsidi, transfer dan hibah (Nanga, 2006). Otoritas daerah yang lebih luas
dalam desentralisasi fiskal untuk kasus Indonesia yang dimulai tahun 2000 adalah
transisi baru dalam pengelolaan keuangan publik. Persoalan desentralisasi fiskal
secara efektif akan mencakup, distribusi sumberdaya lokal dan nasional pada
penguasaan dan peruntukan, kebebasan daerah untuk mengatur penerimaan
19
Tabel 6. Keseimbangan Fiskal Pemerintah Pusat terhadap PDB di Negara-Negara Asia dan Indonesia
(%) Kawasan/Negara
2001 2002 2003 2004
2005
Asia Tengah Armenia -4.3 -2.6 -1.3 -1.7 -2.0Azerbaijan -2.1 -2.1 -3.0 -2.0 -1.8Kazakhstan -0.4 -0.3 -1.0 -0.3 0.6Kyrgyz Republic -5.0 -5.4 -5.1 -4.3 -4.2Tajikistan 0.1 0.7 1.1 0.7 -0.3Turkmenistan 0.7 0.2 -1.5 0.0 -Uzbekistan 0.2 -0.9 -1.3 0.0 0.1
Asia Timur China, People's Rep. of -2.3 -2.6 -2.2 -1.3 -1.6Hong Kong, China -4.9 -4.8 -3.3 -0.3 0.3Korea, Rep. of -1.7 0.4 -2.5 -2.5 0.8Mongolia -4.5 -5.8 -4.2 -2.1 2.7Taipei,China -6.4 -4.3 -2.8 -2.9 -1.0
Asia Selatan Afghanistan - -0.1 -3.0 -1.2 -0.1Bangladesh -5.0 -4.6 -3.4 -3.2 -3.5Bhutan -12.8 -5.5 -11.6 -6.7 -11.3India -9.9 -9.6 -8.4 -8.3 -7.6Maldives -4.7 -4.9 -3.4 -1.7 -Nepal -4.5 -3.9 -1.5 -1.0 -1.1Pakistan -4.3 -4.3 -3.7 -3.0 -3.3Sri Lanka -10.8 -8.9 -8.0 -8.1 -8.7
Asia Tenggara Cambodia -6.6 -6.4 -6.9 -4.3 -3.1Indonesia -2.4 -2.1 -1.7 -1.1 -0.5Lao People's Dem. Rep. -7.5 -5.3 -7.9 -5.8 -6.0Malaysia -5.5 -5.6 -5.3 -4.3 -3.8Myanmar -5.8 -3.6 -4.9 -6.0 -Philippines -4.0 -5.3 -4.7 -3.9 -2.7Singapore -0.3 -1.6 6.5 5.6 8.0Thailand -2.1 -2.2 0.6 0.3 0.1Vietnam -2.9 -3.6 -4.3 -2.0 -2.3
Pacific Cook Islands 1.3 0.2 -0.8 -0.6 3.1Fiji Islands -6.6 -5.6 -6.0 -3.3 -4.3Kiribati -16.5 -0.6 -28.2 - -Marshall Islands, Rep. of -4.7 12.7 -0.4 -2.6 -2.4Micronesia, Fed. States of -6.6 -0.3 0.0 -9.5 -6.1Palau, Rep. of -20.8 -11.6 -11.7 -12.0 -Papua New Guinea -3.5 -3.9 -1.0 1.8 -0.6Samoa 11.8 12.1 10.7 10.6 -Solomon Islands -12.7 -11.0 -0.2 8.3 -Timor-Leste, Dem. Rep. of 2.0 0.4 3.2 9.8 32.4Tonga -1.6 -1.5 -3.2 1.4 -Tuvalu -12.6 58.4 -11.0 -9.0 -4.0Vanuatu -3.7 -2.0 -1.9 1.3 -0.3
Sumber: Asian Development Bank (2006)
20
(pajak dan retribusi) yang terkadang tidak proporsional dengan kualitas layanan
publik masyarakat, pemerintah daerah kurang berpengalaman dalam menghadapi
secara langsung pasar uang/utang dengan pihak luar, reposisi perusahaan
pemerintah pusat yang berada di daerah, dan disparitas dalam mendorong peran
sektor swasta antar daerah (ADB, SEAMEO, SEARCA, Crescent, CASER and
Ministry of Agriculture RI, 2005).
Studi UNESCAP-CAPSA (2005) menemukan, proporsi antara pengeluaran
dan penerimaan di negara berkembang, negara transisi, dan negara maju yang
diperbandingkan dengan Indonesia. Untuk Indonesia porsi pengeluaran yang
didesantralisasikan sebesar 33.24% lebih tinggi dari kawasan yang distudi.
Sedangkan porsi penerimaan daerah terhadap total anggaran daerah di Indonesia
paling rendah, selengkapnya disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Porsi Penerimaan dan Pengeluaran dalam Desentralisasi Fiskal Berbagai
Negara di Dunia dan Indonesia (%)
Negara Porsi Pengeluaran Daerah
Porsi penerimaan Daerah
Negara Berkembang 13.78 9.27 Negara Transisi 26.12 16.59 Negara OECD 32.41 19.13 Indonesia 33.24 6.65
Sumber: UNESCAP-CAPSA (2005)
2.2. Investasi
Sebagian besar persoalan melambatnya pertumbuhan produksi pertanian di
Indonesia adalah karena penurunan investasi pemerintah dan swasta untuk
pembangunan pertanian. Alokasi belanja pemerintah sebagai investasi publik untuk
pertanian terus menurun sejak tahun 1980an. Penurunan investasi untuk subsidi
21
pupuk sejak tahun 1980an dan menjadi nol pada tahun 1999, yang kemudian pada
tahun 2005 mulai dievaluasi kembali. Belanja pemerintah untuk penelitian dan
pengembangan (R&D) selalu fluktuatif. Penurunan terjadi pada periode 1990an,
kemudian meningkat pada pertengahan 1990an. Periode 2000an turun lebih drastis
dan konsisten sampai tahun 2004; selengkapnya disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Belanja Pemerintah untuk Pembangunan Pertanian
(Rp1 000) Uraian
1985/ 1986*)
1990/ 1991
1995/ 1996
2000**)
2004
Irigasi 801 790 969 848 982 237 227 330 378 435Penelitian dan Pengembangan 29 322 21 732 53 474 29 893 27 560Penyuluhan/Pelatihan 36 060 35 270 25 956 14 194 12 424Subsidi Pupuk 1 738 550 330 847 120 946 0 0Pertanian (termasuk Perikanan, Perkebunan)
284 550 314 235 479 130 144 804 424 405
Keterangan: *) dibelanjakan, **) realisasi 9 bulan, tahun dasar 1993 Sumber : ADB, SEAMEO SEARCA, Crescent, CASER and Ministry of
Agriculture RI (2005)
Penurunan belanja pemerintah untuk penelitian dan pengembangan (R&D)
dan penyuluhan dapat menjelaskan kemandegan dalam inovasi pertanian yang
dicerminkan dari penurunan produktivitas hampir seluruh komoditas pertanian. Dari
beberapa studi menyimpulkan bahwa investasi pemerintah dalam irigasi, R&D, dan
penyuluhan merupakan instrumen vital untuk produksi pertanian (Mundlak, Larson
and Butze, 2002; Fuglie, 2003 dalam Simatupang, et. al., 2004). Investasi swasta
sektor pertanian sejak periode 1990 sampai pasca 2000 tumbuh negatif dengan laju
investasi swasta dari tahun 1994-2001 rata-rata -2.07% (Astuti, 2005). Penurunan
tersebut indikasinya disebabkan oleh besarnya faktor resiko dan ketidakpastian
usaha di sektor pertanian (Herjanto, 2003) dan mahalnya investasi di Indonesia
(Daryanto, 2008).
22
2.3. Konsumsi
Studi FAO (Alexandrates, 1995) menemukan bahwa, konsumsi atas produk
pertanian di negara berkembang selalu meningkat utamanya untuk produk pangan,
dan perkebunan. Perbaikan kemampuan konsumsi petani juga menjadi isu penting
dalam pembangunan pertanian. Di India, Foster and Rosenzweig (2004) dalam
studinya menyimpulkan bahwa selama periode 1971-2000 inovasi dan diversifikasi
produksi pertanian akan membuka kesempatan petani lebih banyak memperoleh
pendapatan baik dari pertanian maupun kegiatan non pertanian. Peningkatan
produktivitas pertanian tidak saja memberikan perbaikan dalam pemenuhan
kebutuhan dasar karena peningkatan kemampuan konsumsi, namun akan
mendorong perbaikan peradaban.
Tabel 9. Kebutuhan Beberapa Produk Pangan Tahun 2035 dan Kemampuan
Produksi Tahun 2001 di Indonesia
No. Komoditi Konsumsi/ kapita
Kebutuhan Nasional
Produk Indonesia
1 Beras 90 kg 36 juta ton 29 juta ton 2 Daging (aneka) 15 kg 6 juta ton 2 juta ton 3 Telur 90 butir 36 mil. Butir 12.6 mil. butir 4 Susu 12 liter 4.8 mil liter 1.2 mil. Liter 5 Gula 25 kg 10 juta ton 1.9 juta ton 6 Ayam 2 kg 4.8 juta ton 0.8 juta ton
Sumber: Sumodiningrat (2000) dalam Tambunan (2003b)
Selaras dengan studi FAO, pada Tabel 9 diketahui bahwa konsumsi produk
pertanian di Indonesia yang mencolok adalah produk pangan. Studi Sumodiningrat
(2000) dalam Tambunan (2003b) menemukan, sampai tahun 2035 akan terjadi
defisit konsumsi pangan di Indonesia.
23
2.4. Pembangunan Sektor Pertanian
2.4.1. Kebijakan Sektor Pertanian
Kebijakan pertanian di dunia akhir-akhir ini secara umum menunjukkan
penurunan intensitas, dan semakin terbatas. Hal itu dapat ketahui dari pelambatan
perubahan marginal dalam program pertanian (Scrimgeour and Pasour, 1996).
Rozelle and Swinnen (2004) dalam studi mengenai transisi pertanian di 28
negara (berkembang dan maju) di kawasan Asia timur, Asia tengah, Trancaucus,
Eropa (Commonwealth Independent States/CIS), Baltik, Eropa tengah, dan Balkan
secara umum menyimpulkan bahwa di negara berkembang yang sedang mengalami
transisi pertanian dalam perubahan struktural perekonomiannya, memajukan
pertanian dalam kebijakan ekonomi suatu negara menjadi sangat penting ketika
lebih dari 50% penduduknya bekerja di sektor pertanian, dan belanja penduduk
sebagian besar dipergunakan untuk pangan. Peringatan tersebut sesuai dengan
situasi riil di Indonesia.
Scrimgeour and Pasour (1996) melaporkan bahwa dalam reformasi ekonomi
dramatik di New Zealand pada tahun 1984, reformasi kebijakan pertanian telah
membuat kemudahan dalam reformasi ekonomi tersebut karena efek simultan
terhadap sektor lain yang berjalan dengan baik. Hal itu menjadi pelajaran bagi
negara lain dalam hal, pertama memperhatikan pentingnya cara pandang analisis
jangka panjang (long term). Kedua, tekanan reformasi kebijakan pertanian perlu
diutamakan karena mempunyai keunggulan untuk menumbuhkan sektor lain.
Ketiga, keterbatasan analisis kebijakan pertanian jangka pendek akan memberikan
implikasi yang terkesan tidak signifikan dampak dari kebijakan tersebut yang
disebabkan oleh tingkat harga-harga pertanian yang rendah. Namun dalam jangka
24
panjang, pertanian sangat tahan terhadap pengaruh shock ekonomi di New Zealand.
Keempat, reformasi di New Zealand menunjukkan pentingnya peran dan
pemahaman (keberpihakan) konstitusi dan pemerintah untuk berkontribusi pada
reformasi kebijakan pertanian secara serius.
Pemerintah Indonesia sampai periode 1980an telah memposisikan pertanian
sebagai sektor penting dalam perekonomian. Selama dua dekade lebih
pembangunan pertanian menjadi prioritas pokok dalam pembangunan. Komitmen
kuat pemerintah dalam pembangunan pertanian tersebut diwujudkan dalam belanja
publik untuk pertanian, subsidi, kebijakan harga pada tanaman pangan, deregulasi
pada perdagangan dan pemasaran, pembangunan irigasi, kelembagaan/kesisteman
pertanian, revitalisasi penyuluhan dan tata guna lahan (Muslim, 2002).
2.4.2. Subsidi Pertanian
Indonesia mulai memberi subsidi pupuk pada awal 1970an sebagai bagian
dari usaha untuk mendorong petani menggunakan pupuk kimia bersama dengan
introdusir varietas padi baru. Subsidi ditujukan untuk menstabilkan harga pada
tingkat tertentu dalam penggunaan faktor input yang digunakan petani. Hal itu
dipandang sebagai pemindahan sumberdaya yang efisien dari pemerintah kepada
petani dalam pembangunan. Kebijakan tersebut telah sukses dimana sepanjang
periode 1969-92, penggunaan pupuk (nitrogen, kalium, dan fosphat) dapat
ditingkatkan secara dramatis. Bersama-sama dengan kebijakan pemerintah lain,
usaha ini memungkinkan Indonesia untuk mencapai dan memelihara swasembada
beras pada tahun 1984, suatu prestasi terkemuka untuk suatu negeri yang awalnya
importir beras paling besar. Jenis subsidi pertanian selanjutnya semakin bervariasi
25
seperti susidi bunga kredit pertanian, subsidi harga produk pertanian dan lainnya
(Muslim, 2002).
2.4.3. Infrastruktur Sektor Pertanian
Hasil studi Zhang and Fan (2004) dengan dynamic GMM estimator
menemukan bahwa, infrastruktur pertanian di India sangat mempengaruhi
produktivitas pertanian. Dengan mengunakan model LSDV yang mencakup analisis
lebih luas semakin menjelaskan bahwa jaringan irigasi bagi negara-negara Afrika
dan Asia menyumbang dalam porsi besar pada pertumbuhan total faktor produksi
(TFP) dan kemajuan pertanian keseluruhan. Namun dari studi tersebut diketahui
bahwa belanja pemerintah dan investasi untuk penyediaan dan perbaikan
infrastruktur pertanian menurun sebesar 5.87% pada periode 1980an menjadi 3.85%
di periode 2000an untuk negara-negara Afrika dan 11.76% menjadi 4.92% untuk
periode sama di negara-negara Asia. Jika penurunan terus terjadi diperkirakan akan
sulit untuk menumbuhkan produktivitas dan produksi pertanian sampai tahun 2015.
Pentingnya infrastruktur pertanian khususnya irigasi di Yunani, berdasarkan
studi Koundouri, et. al. (2006) juga menunjukkan peran yang berada pada urutan
pertama sebagai syarat dalam keberhasilan adopsi teknologi di sektor pertanian.
Di Indonesia, sejak periode reformasi (1998) jaringan irigasi dalam kondisi
rusak mencapai 1.5 juta hektar dari 6.7 juta hektar. Pemerintah hanya mampu
menyediakan 40-50% biaya operasional dan pemeliharaan. Selain itu, sekitar 15 -
20 ribu hektar per tahun lahan pertanian beririgasi teknis beralih fungsi (konversi)
menjadi lahan non pertanian. Terjadinya degradasi 62 dari 470 Daerah Aliran
Sungai (DAS) secara konsisten antara lain akibat dari penebangan hutan yang tidak
terkendali dari hulu sungai. Kerusakan jaringan irigasi akan menurunkan kinerja
26
penyediaan air irigasi sehingga dapat menurunkan luas areal tanam padi, dan bila
tidak diantisipasi secara serius akan mengganggu pemenuhan produksi beras
nasional. Kerusakan jaringan irigasi mencapai 22.4% dari total jaringan dan 73.4%
berada di Pulau Sumatera dan Jawa yang merupakan lumbung padi nasional.
Pengaturan peran dan batasan wewenang pengelolaan sungai antara kabupaten,
kota, propinsi, dan pusat masih belum jelas. Disamping itu juga belum tersedia
database irigasi dan sungai per kabupaten/kota (Tim INDEF, 2005).
2.4.4. Inovasi Teknologi Sektor Pertanian
Studi Fuglie (2004) menyimpulkan, pada perode 1961 sampai 2000
petumbuhan produktivitas pertanian di Indonesdia sebagian besar disumbang oleh
faktor input konvensional (lahan, tenaga kerja, tenaga ternak, pupuk). Peran faktor
input modern (mesin, teknologi kimiawi lanjut, dan genetik) sangat rendah. Situasi
itu menunjukkan bahwa pengembangan inovasi teknologi sektor pertanian selama
masa itu masih terbatas.
Studi Fan, et.al. (1999) menemukan bahwa selama periode 1970an sampai
1980an karena revolusi hijau, umumnya semua negara mengadopsi jenis-jenis
tanaman/varietas yang berproduksi tinggi. Di Indonesia, nampak sekali kemandegan
dalam pengembangan penelitian pengembangan teknologi pertanian sebagaimana
konsisten dilakukan negara-negara tetanganya di Asia. Hal itulah yang diperkirakan
menjadi sebab terjadinya pelandaian pertumbuhan produktivitas komoditi pertanian
untuk hampir semua varietas.
Studi Simatupang, et. al. (2004) menyimpulkan, tatalaksana pengembangan
teknologi inovasi pertanian yang tidak diperhatikan bahkan sistem deliverinya
menjadikan pengembangan teknologi pertanian Indonesia sangat tertinggal. Dalam
27
pertanian, inovasi teknologi segera nampak pada penemuan-penemuan varietas baru
yang mampu mengkompensasi pertumbuhan preferansi dan tingkat kebutuhan
manusia dengan produktivitas yang semakin besar. Inovasi teknologi pertanian
Indonesia terkesan dominan pada tanaman pangan.
Terdapat waktu tenggang (lag) yang cukup lama (antara 10-20 tahun) bagi
petani untuk mengadopsi varietas baru yang dihasilkan oleh lembaga penelitian
pengembangan pertanian. Jika kondisi demikian terus berlanjut, maka sulit akan
memajukan pertanian, sementara semakin deras masuk varietas-varietas baru dari
negara tetangga misalnya Thailand.
2.4.5. Penelitian dan Pengembangan Sektor Pertanian
Sebagian besar produktivitas komoditi pertanian di Indonesia mengalami
penurunan pada pertengahan dekade 1980an. Hal itu dapat dijelaskan karena
kemandegan kemajuan teknologi dan degradasi lahan yang berlanjut. Kedua hal
tersebut diperparah oleh kemandegan kemajuan kegiatan penelitian dan
pengembangan pertanian yang mampu mengekspansi stagnasi teknologi dan
degradasi lahan. Kemandegan produksi kreatif dari penelitian dan pengembangan
(R&D) merupakan faktor utama dalam penurunan produktivitas di Indonesia pada
sepuluh tahun terakhir ini. Hal itu dimungkinkan oleh sistem R&D secara
kesisteman dan institusional masih didominasi oleh pemerintah (Fuglie, 2004).
Varietas yang mempunyai potensi hasil tinggi (HYV) didominasi oleh
tanaman pangan. Riset pengambangan tanaman non pangan hampir 30 tahun
terakhir ini kurang mendapat perhatian proporsional sehingga nampak produktivitas
tanaman non makanan masih rendah. Pada sisi lain, riset pengembangan tanaman
pangan telah mengalami kejenuhan teknologi. Sehingga, kondisi penelitian dan
28
pengembagan (R&D) pertanian juga menyumbang situasi bottleneck kritis dari
produksi pertanian di Indonesia (Simatupang, et.al., 2004).
2.5. Kinerja Sektor Pertanian
2.5.1. Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian
Martin and Warr (1992, 1993) dalam analisis dinamis perilaku sektor
pertanian menyimpulkan; secara teoretis atribut yang menyumbang penurunan
pertumbuhan sektor pertanian di dunia ada tiga pokok yaitu: penurunan harga
produk pertanian, perbedaan tingkat perubahan teknologi, dan perubahan relatif
dalam faktor anugerah (endowments). Hal itu dibuktikan berdasarkan analisis
nonlinier dengan pendekatan error correction model (ECM).
Di negara berkembang juga Indonesia, persoalan teknologi yang stagnan
telah berlangsung puluhan tahun. Bias sektor pertanian juga menyumbang
penurunan pertumbuhan sektor pertanian. Hal itu juga dialami di Thailand walau
tidak separah Indonesia, dimana perubahan struktural dalam sektor pertanian tanpa
disertai akumulasi kapital. Hal itu berdampak kepada lemahnya daya dorong tenaga
kerja untuk keluar pertanian dan daya tarik sektor non petanian.
Akumulasi dari itu sangat nyata dalam penciptaan penurunan nilai tambah
pertanian, yang berakibat pada penurunan pangsa pada PDB. Dampak lebih panjang
lagi misalnya kemiskinan, kerawanan, dan perbaikan kualitas sumberdaya manusia
secara keseluruhan. Hasil studi tersebut juga menemukan bahwa kebijakan sektor
petanian belum cukup untuk “menyerap” angkatan kerja pedesaan yang jumlahnya
hampir 60% dari keseluruhan. Sehingga dibutuhkan kebijakan yang memperhatikan
rantai sebab akibat yang selama ini kurang diperhatikan yaitu faktor anugerah,
teknologi, angkatan kerja dan persoalan riil ekonomi.
29
2.5.2. Produktivitas Produk Pertanian
Selama pertengahan abad ke 20 peningkatan output pertanian terutama
karena perluasan lahan yang ditanami; yang dominan menyumbang pertumbuhan
sektor pertanian di sebagian besar dunia (Hayami and Ruttan, 1985). Kemudian di
akhir abad 20 terjadi transisi ekstensifikasi menjadi intensifikasi pertanian karena
pengaruh keterbatasan lahan dan tekanan penduduk yang semakin besar. Dengan
intensifikasi pertanian terbukti memberikan kontribusi nyata pada pengurangan
kemiskinan, keamanan pangan dan pertumbuhan disebagian besar negara-negara
didunia, termasuk Indonesia (Fuglie, 2004).
Pengukuran kinerja sektor pertanian kemudian berkembang dengan metode
total factor productivity (TFP) yang merupakan pendekatan nilai rasio antara indeks
output dengan indeks input (sebagai ukuran kinerja intensifikasi). Metode itu telah
dilakukan di tiga negara pertanian besar di Asia yaitu India (Fan, et.al., 1999),
China (Fan and Zhang, 2002) dan Indonesia (Fuglie, 2004). Di Cina TFP telah
menumbuhkan produksi pertanian sebesar 6%, sedang di India sebesar 70%. Kasus
Indonesia selama periode 1960-2000an telah terjadi peningkatan yang cepat dalam
laju pertumbuhan input dan pelambatan dalam laju pertumbuhan output.
Pertumbuhan perluasan lahan sebesar 2% per tahun terutama di luar Jawa. Lahan
beririgasi tumbuh 1.8% per tahun. Tenaga kerja pertanian juga bertumbuh sekitar
1% per tahun. Pada periode tersebut pertumbuhan tenaga kerja yang keluar dari
sektor pertanian lebih dari 1%. Input machinary dan pupuk kimia tumbuh lebih dari
10% per tahun, pada situasi penurunan subsidi pupuk hingga 50%. Namun, rata-
rata agregat faktor input justru menurun sekitar 4% per tahun.
30
Produktivitas pertanian Indonesia stagnan pada periode 1990an setelah dua
periode sebelumnya tumbuh dengan cepat. Tanaman padi dan tanaman pangan
lainnya tumbuh 2.5%. Tanaman keras dan perkebunan jauh dibawah nilai tersebut.
Peternakan bertumbuh 2.3% per tahun. Oleh Fuglie (2004) hal itu disebabkan oleh
tidak adanya peningkatan investasi publik dan swasta di sektor pertanian yang
mengancam kelangsungan pertumbuhan produktivitas.
Studi Basri (2004) menemukan bahwa Total Factor Productivity Indonesia
di banding dengan Asia Timur: tahun 1960-94 terendah kedua setelah Philipina,
tahun 1984-94 hanya lebih baik dari Philipina, tahun 1975-90 paling buruk
(Philipina tidak diikutkan), dan periode setelah itu indikasinya tidak semakin baik.
2.5.3. Penyerapan Tenaga Kerja
Disamping terjadi penurunan pangsa sektor pertanian terhadap PDB sampai
periode 2000an, pertanian masih cukup penting pada penyerapan tenaga kerja
dalam perekonomian Indonesia. Dari studi Muslim (2002) dan PSE UGM, LPEM-
FEUI, dan PSP IPB (2004), lebih dari separo angkatan kerja sampai dengan dekade
1990an bekerja di sektor pertanian. Walaupun tingkat penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian mengalami peningkatan secara kuantitatif dari 26.5 juta orang di
tahun 1971 menjadi 35.5 juta di tahun 1990 kemudian 44.3 juta pada tahun 2002,
namun pangsa penyerapan tenaga kerja terhadap total tenaga kerja dari 64.2% pada
tahun 1971 turun menjadi 43.8% di tahun 2002. Ini artinya, setelah tahun 1990
walaupun jumlah akumulatif tenaga kerja yang bekerja disektor pertanian masih
besar, namun secara relatif mulai terjadi penurunan yang konsisten dibandingkan
dengan total penduduk yang bekerja sampai dengan tahun 2002.
31
Dalam periode 1961-2000an curahan tenaga kerja per satuan luas lahan
meningkat kecuali di Jawa dimana untuk lahan beririgasi tingkat penyerapannya
2.5 kali (yang biasanya diusahakan tanaman bernilai ekonomis) dibandingkan
dengan lahan tidak beririgasi (Mundlak, et.al., 2002).
2.5.4. Ekspor dan Impor Pertanian
Kinerja ekspor dan impor komoditi utama pertanian pada beberapa dekade
terakhir diuraikan pada bagian berikut (ADB, SEAMEO SEARCA, Crescent,
CASER and Ministry of Agriculture RI, 2004):
1. Komoditi Perkebunan
Komoditi perkebunan utama yang diekspor Indonesia adalah karet, kelapa,
minyak sawit, cokelat, kopi, lada, gula, dan kacang mete. Sejak tahun 1971 sampai
2002 nilai ekspor komoditi perkebunan Indonesia selalu lebih besar dibandingkan
dengan nilai impor (net ekspor positif). Periode 1971-75 nilai ekspor 540 049
000$USA, dan impor 13 917 000$USA sedangkan periode 2001-2 nilai ekspor 3
722 390 000$USA dan impor 349 567 000$USA.
2. Komoditi Peternakan
Komoditi peternakan, sejak tahun 1997 hingga 2002 mengalami defisit
perdagangan (net ekspor negatif) yang cukup besar. Pada 1990an nilai ekspor
sebesar 1 697 912 000$USA dengan impor 53 574 609 000$USA. Pada periode
2000an ekspor meningkat namun jumlah peningkatan impor lebih besar (masing-
masing 9 447 734 000$USA dan 72 867 230 000$USA). Peningkatan impor
disebabkan oleh peningkatan konsumsi produk peternakan domestik, sementara
peningkatan produksi domestik belum mampu untuk mengimbanginya.
32
3. Komoditi Perikanan
Komoditi perikanan, Indonesia lebih banyak mengekspor dibandingkan
dengan mengimpor. Pada periode 1980an nilai ekspor perikanan lebih besar
dibanding impor (masing-masing 241 259 000$USA dan 31 670 000$USA) begitu
pula pada periode 2000an (masing-masing 1 670 986 000$USA dan 94 531
000$USA). Selama periode 1980-2000 tren ekspor dan impor selalu meningkat
nilainya.
4. Komoditi Hortikultura
Komoditi hortikultura juga terjadi surplus perdagangan. Selama kurun
waktu 1991-2001 selalu jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai impor. Nilai
ekspor periode 1990an sebesar 3.31 juta $USA dan impor sebesar 1.35 juta $USA.
Pada periode 2000an ekspor cenderung meningkat menjadi 9.84 juta $USA sedang
impor menurun menjadi 1.05 juta $USA.
2.5.5. Kesejahteraan Petani
Menurut studi Booth (2002), selama periode 1980an sampai akhir 1990an
sumbangan pendapatan petani dari sektor pertanian terhadap total pendapatan
keluarga petani telah mengalami penurunan yang nyata antara 50-55%. Salah satu
indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani adalah nilai tukar petani
(NTP). NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan
indeks harga yang dibayar petani (Ib) dalam persentase. Secara konseptual NTP
adalah pengukur kemampuan tukar barang-barang (produk) pertanian yang
dihasikan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi
rumahtangga dan keperluan dalam produksi pertanian (BPS, 2004). Dari nilai It,
33
dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan petani. Dari nilai Ib,
dapat melihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani.
Menurut Siregar (2004) penggunaan NTP mempunyai keterbatasan terutama
pada perekonomian terbuka. Sehingga digunakan nilai tukar internasional yang
disebut dengan net-barter terms of trade. Dari studi Siregar (2004) ditemukan
bahwa net-barter terms of trade Indonesia wilayah barat mengalami penurunan
sedangkan wilayah timur meningkat signifikan.
Dalam sistem ekonomi terbuka, kebijakan yang mempengaruhi sinyal harga
sangat berdampak pada pasar input dan produk pertanian. Dilaporkan dalam studi
Rozelle and Swinnen (2004) bahwa perubahan harga akibat kebijakan pemerintah
mempunyai koefisien korelasi 0.70 dalam perubahan penggunaan input dan
perubahan output pertanian di 15 negara selama 15 tahun terakhir. Selama 6 tahun
terakhir, 15% pertumbuhan output disebabkan oleh peningkatan relatif terhadap
harga produk sektor pertanian. Dalam studi ini kebijakan subsidi dalam jangka
panjang dicurigai akan mendistorsi harga maka porsinya perlu diturunkan. Semakin
baik kondisi nilai tukar petani juga akan meningkatkan produksi dan produtivitas
pertanian. Banyak negara termasuk Indonesia masih menggunakan cara berfikir,
mengkondisikan harga produk pertanian serendah-rendahnya untuk mencapai
tingkat upah buruh industri yang rendah. Kebijakan yang demikian dipandang
sebagai menyesatkan dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan.
Studi PSE UGM, LPEM-FEUI, dan PSP IPB (2004) menemukan bahwa
perkembangan struktur pendapatan petani sejak periode 1980an sampai 2000an
menunjukkan pergeseran sumber pendapatan bagi rumah tangga pedesaan dari
kegiatan pertanian merupakan sumber utama pada tahun 1983, pada tahun-tahun
34
berikutnya mulai masuk aktivitas non pertanian di sektor pertanian. Hal itu dapat
dilihat dari proporsi upah dan gaji non pertanian yang selalu meningkat disamping
kegiatan riil non pertanian (off farm dan non farm) yang meningkat porsinya secara
konsisten.
2.6. Kinerja Agroindustri
Variasi agroindustri di Indonesia sangat luas mulai dari pangan, perkebunan,
peternakan dan perikanan. Definisi agriondustri menurut Sinaga (1998) dalam
Herjanto (2003) dibagi dalam dua kelompok, yaitu agroindustri hulu (upstream
agribusiness) adalah subsektor industri yang menghasilkan sarana produksi
pertanian, dan agroindustri hilir (downstream agrobusiness) adalah subsektor
industri yang mengolah hasil-hasil pertanian. Tambunan (1992) mengukur kinerja
agroindustri dengan menggunakan tiga kriteria ekonomi yaitu, nilai tambah per
tenaga kerja, nilai tambah per unit output, dan nilai tambah per unit input (tidak
termasuk modal tetap).
Pada periode sebelum krisis (sampai tahun 1997), perkembangan industri
agro menunjukkan pertumbuhan signifikan diantaranya jumlah unit usaha tumbuh
8.41% per tahun, penyerapan tenaga kerja tumbuh 19% per tahun, dan nilai ekspor
tumbuh sebesar 20.5% per tahun. Pertumbuhan juga terjadi pada nilai produksi, dan
nilai investasi. Pada saat krisis (mulai pertengahan 1997) kinerja agroindustri masih
tetap bertahan dengan tingkat utilitas rata-rata 75.3% per tahun. Setelah krisis
kinerja agroindustri secara absolut mengalami penurunan dengan tingkat utilitas
menjadi 56.9%, juga nilai ekspor menurun 17.8%. Namun, kontribusi agroindustri
terhadap perekonomian masih tinggi dimana pada saat pertumbuhan negatif mulai
35
tahun 1998, sektor agroindustri menyumbang 17.56% dari kontribusi sektor industri
pengolahan non-migas (Santoso, 1999).
Periode berikutnya, kontribusi dari sektor agroindustri, selama periode
1999-2005 secara rata-rata mencapai 26%. Dengan demikian jika dijumlahkan total
kontribusi sektor agribisnis dan agroindustri serta elemen-elemen terkaitnya, dapat
mencapai kisaran 42-46% dari total kontribusi sektor ekonomi Indonesia. Hal itu
diperkirakan akan mampu mendorong pertumbuhan produksi, sekaligus nilai
tambah sub sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Perkembangan
ekspor dan impor agroindustri serta elemen terkaitnya di Indonesia selama periode
2002-5 menunjukkan, neraca ekspor tertinggi produk perkebunan dari pelaku
agroindustri besar berupa minyak dan lemak nabati yang sebagian besar merupakan
produk CPO. Selain itu, komoditas dan produk ikan, kerang-kerangan, moluska dan
olahannya juga menjadi kelompok produk yang menyumbangkan devisa cukup
nyata bagi Indonesia selama ini (Sa’id dan Febriyanti , 2005).
2.7. Studi-Studi Terdahulu
2.7.1. Peran Fiskal dalam Perekonomian Negara
Seperti diuraikan pada awal Bab II bahwa peran pemerintah selalu
dibutuhkan dalam perekonomian suatu negara. Peran pemerintah tersebut
diekspresikan dalam bentuk intervensi fiskal, dimana argumen teoretisnya karena
ketidaksempurnaan pasar, eksternalitas, skala ekonomi, resiko dan ketidakpastian,
distorsi, dan distribusi (Pogue and Sgontz, 1978; Boadway, 1979; Cullis and Jones,
1992; Myles, 1997; Stiglitz, 2000; Rosen, 2005).
36
Banyak studi mengenai fiskal kaitannya dengan perekonomian suatu negara
di dunia dengan berbagai model analisis diantaranya adalah, Gupta (1997)
melakukan studi mengenai perilaku fiskal dengan model solusi dan instrumen
internasional, yang dapat menjelaskan aplikasi model Haller bagi pengaruh
eksternal dalam perilaku fiskal di India. Bradley and Whelan (1997) dengan model
simulasi melakukan studi mengani dampak eksternal dari kontraksi fiskal di Irlandia
dalam perekonomian kecil Eropa.
Tuijl and Kolnaar, (1997) dengan model dua negara dapat menjelaskan
dengan baik kebijakan fiskal dan keuangan publik dalam perekonomian di Eropa.
Peran investasi pemerintah dan belanja publik akan mempengaruhi keunggulan
ekonomi antar negara dan dalam jangka panjang tergantung pada elastisitas
produksi dan faktor kongesti.
Zalmu (1998) menggunakan makro-ekonometri untuk memberi
pertimbangan dasar dalam suatu keputusan kebijakan publik dengan kasus Belanda.
Gabungan antara teori, hipotesis, fakta dan ketrampilan pemutus kebijakan adalah
syarat keberhasilan kebijakan. Terkait dengan itu, Hal and Rae (1998) dengan
NBNZ-DEMONZ macroeconometric model dapat menjelaskan dengan baik
mengenai ekspansi fiskal kaitannya dengan kebijakan moneter, tingkat bunga
premia, dan tingkat upah di New Zealand.
Makrydakisa, et.al. (1999) dengan model conventional unit-root test,
mampu menjelaskan perubahan regim policy dalam kebijakan fiskal sustainability
dalam jangka panjang di Yunani.
Mitchell, et.al. (2000) dengan model MSG2, MULTIMOD dan NIGEM
menjelaskan prinsip dan aplikasi aturan kebijakan fiskal dalam model makro
37
ekonomi dengan memperhatikan properti teoretikal dan hipotesis baru berdasarkan
fenomena terkini di Inggris.
Canton (2001) menggunakan model stochastik dan pertumbuhan endogen
dapat melakukan penilaian terhadap kebijakan fiskal Amerika Serikat dalam
pendekatan siklus bisnis.
Leith, et.al. (2003) dengan model ekonometrik menganalisis keterhubungan
antara kebijakan fiskal, dampak shock terhadap tingkat bunga dan harga umum.
Model ini merupakan evalusai implementasi teori fiskal berdasarkan tingkat harga
(fiscal theory of the price level) seperti juga dilakukan oleh Buiter (2002) tentang
kritik teori tersebut.
Keefer and Khemari (2005) dengan pendekatan model public choice,
mengkaji peran belanja pemerintah dalam situasi demokratis dan politik yang
memberi insentif terhadap pengurangan kemiskinan di India. Disimpulkan, belanja
pemerintah berpengaruh signifikan dalam pengurangan kemiskinan.
Studi fiskal di Indonesia diantaranya adalah, Wuryanto (1996) dengan
model Interregional CGE menjelaskan desentralisasi fiskal dan performa
perekonomian di Indonesia (periode sebelum otonomi daerah) dimana trensfer
fiskal dalam bentuk INPRES dapat memperbaiki kinerja ekonomi nasional dan
antar daerah di Indonesia.
Yudhoyono (2004) dengan model simultan menyimpulkan bahwa ekonomi
politik dalam kebijakan fiskal sangat penting di Indonesia dalam mendorong
pembangunan pertanian, pengurangan kemiskinan dan perekonomian perdesaan.
Revitalisasi pertanian dapat dijadikan pengerak pertumbuhan perekonomian.
38
Soelistyaningsih (2005) dengan model IMF menyimpulkan bahwa tingkat
utang luar negeri pemerintah selama ini dalam kaitannya dengan fiscal
sustainability, menunjukkan kondisi yang aman.
Simorangkir (2005) dengan metode Game Theory, dalam studinya
menyimpulkan bahwa dengan cooperative game akan memberikan kerugian kecil
(lost function) dibandingkan dengan non-cooperative game. Implikasinya adalah
koordinasi kebijakan fiskal dan moneter dalam kasus Indonesia sangat diperlukan.
Ginting (2006) dengan metode SNSE menyimpulkan bahwa peningkatan
pengeluaran pemerintah diikuti oleh kinerja perekonomian daerah, di Indonesia.
Panjaitan (2006) dengan model simultan mengenai dampak desentralisasi fiskal
terhadap kinerja perekonomian daerah kebupaten dan kota di provinsi Sumatera
Utara, dan studi yang sama lainnya menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah
pusat (berupa Dana Alokasi Umun) penting dalam stimulasi perekonomian daerah.
Mulai periode 2004 studi desentralisasi fiskal di Indonesia tumbuh pesat.
Selain yang telah disebut diatas juga terdapat studi (Riyanto dan Siregar, 2005;
Sumedi 2005; Nanga, 2006; dan Usman 2006) dengan cakupan Indonesia.
Sedangkan studi lainnya (Pardede, 2004; Saefudin, 2005; Pakasi, 2005; dan
Panjaitan, 2006) dalam cakupan kabupaten/kota dan propinsi.
Dari sisi metodologi, studi kebijakan fiskal di Indonesia dapat
dikelompokkan pada studi yang menggunakan model dinamik yaitu pendekatan
ekonometrik dengan sistem persamaan simultan (Riyanto dan Siregar, 2005;
Sumedi 2005; Saefudin, 2005; Pakasi, 2005; Yudhoyono, 2004; Soelistyaningsih,
2005; Nanga, 2006; dan Panjaitan, 2006). Kelompok lainnya menggunakan model
statik yang masing-masing menggunakan model CGE, Input-Output, dan SNSE
39
(Wuryanto, 1996; Pardede, 2004; dan Ginting, 2006). Simorangkir (2005)
menggunakan metode Game Theory.
2.7.2. Kebijakan dan Kinerja Pertanian
Studi mengenai kebijakan pertanian dan kinerja pertanian sebagian besar
mencakup aspek pertumbuhan (PDB), Total Faktor Produktivity (TFP), perbaikan
perekonomian pedesaan dan transisi sektor pertanian dalam perubahan struktural.
Rozelle and Swinnen (2004) dalam studi transisi pertanian di dunia menyimpulkan
bahwa kebijakan pertanian ke depan harus disertai dengan implikasi perbaikan
investasi publik dan infrastruktur pertanian untuk menjamin kelestarian
produktivitas pertanian.
Huffman and Avenson (2001) menganalisis perubahan struktur dan
produktivitas pertanian di USA periode 1950-82 dan menyimpulkan bahwa
penelitian pengembangan, kekuatan pasar, dan intervensi kebijakan pemerintah
dalam periode analisis sangat mempengaruhi dinamika total factor productivity.
Swinnen, et.al. (2001) dalam studi proteksi pertanian di Belgia selama 100
tahun terakhir menyimpulkan bahwa dengan proteksi yang dilakukan oleh
pemerintah berdampak negatif terhadap belanja konsumen dan berdampak positif
terhadap total output. Dalam perekonomian Belgia yang kecil, pertanian tidak
terpengaruh oleh eksternal market.
Mukherjee and Kuroda (2003) dalam studi konvergensi TFP pertanian di
India dengan Törnqvist–Theil index for TFP tahun 1973-93 menyimpulkan bahwa
penurunan TFP telah terjadi di seluruh negara bagian India.
Studi pengaruh kebijakan pertanian terhadap kinerja sektor pertanian juga
banyak berkembang menyangkut determinan investasi, penelitian dan
40
pengembangan, teknologi, infrastruktur, perdagangan, pengangguran dan
pendapatan petani seperti diuraikan sebagai berikut: Martin and Warr (1992, 1993)
menemukan, variabel yang menyumbang penurunan pertumbuhan sektor pertanian
di dunia yaitu; penurunan relatif harga-harga produk pertanian, perbedaan tingkat
perubahan teknologi, dan perubahan relatif dalam faktor anugerah (endowments).
Hal itu dibuktikan berdasarkan analisis nonlinier dengan pendekatan error
correction model (ECM).
Kuroda (1997) menganalisis tentang belanja riset dan penyuluhan terhadap
produktivitas pertanian tahun 1960-90 di Jepang. Dengan model translog,
digunakan untuk medalami penurunan produktivitas pertanian Jepang sejak tahun
1960. Penurunan produktivits terjadi karena kendala biaya riset dan bias teknologi.
Blue and Tweetin (1997) meneliti dampak kebijakan pertanian terhadap
marginal utility income di Chicago. Dengan model kuadratik menyimpulkan bahwa
perbaikan income terjadi pada porsi yang besar pada kelompok paling miskin.
Gafar (1997) dalam studinya menemukan bahwa supply respon pertanian di
Jamaika sangat dipengaruhi oleh harga yang dikontrol pemerintah. Fulginity and
Perrin (1998) dengan menggunakan Cobb-Douglas Production Function
menganalisis produktivitas di negara-negara berkembang dan menyimpulkan bahwa
sejak periode 1961-85 telah terjadi penurunan produktivitas pertanian dengan
variabel harga-harga, tenaga kerja dan investasi pertanian.
Esposti and Pierani (2000) dengan model Multiple Indicators/Multiple
Causes (MIMIC) menganalisis perubahan teknologi pertanian di Italia.
Kesimpilannya adalah; pada periode 1961-91 telah terjadi perubahan teknologi
pertanian yang besar di Italia.
41
Di Indonesia, studi Darmansyah (2003) menganalisis dampak kebijakan
ekonomi terhadap kinerja ekonomi tanaman pangan. Dengan metode multi komoditi
menyimpulkan terdapat persaingan antar komoditi terhadap areal dan produktivitas
semua komoditi tidak respon terhadap penggunaan pupuk, kecuali padi di luar
Jawa.
Asnawi (2004) dengan model makroekonomi menyimpulkan, kebijakan
makro ekonomi yang dapat meningkatkan kinerja sektor pertanian adalah (1)
depresiasi nilai tukar rupiah, (2) peningkatan kredit di sektor pertanian, (3)
peningkatan investasi di sektor pertanian, (4) kombinasi penurunan tingkat suku
bunga dan peningkatan kredit di sektor pertanian.
2.7.3. Kebijakan dan Kinerja Agroindustri
Studi Hicks (1995) menyimpulkan bahwa pemerintah mempunyai tiga
instrumen untuk mendorong promosi agroindustri, yaitu di arena legal/hukum,
fiskal dan kelembagaan. Sudaryanto, et. al. (2002) dalam studi kebijakan
agroindustri menemukan bahwa kebijakan pembangunan agroindustri mempunyai
dua tujuan utama yaitu, diharapkan mampu menggerakkan perekonomian
masyarakat di wilayah produksi pertanian, dan mampu mendorong pertumbuhan
suplai hasil-hasil pertanian untuk kebutuhan agroindustri. Orientasi kebijakan
tersebut menjelaskan bahwa ada keterkaitan yang erat antara dorongan produksi
pertanian untuk memajukan agroindustri, begitu pula sebaliknya. Disamping itu
juga ditujukan untuk menciptakan nilai tambah secara vertikal, penciptaan lapangan
kerja dan pengurangan kemiskinan.
Kajian Tambunan (1992) menyimpulkan bahwa agroindustri dapat berperan
penting dalam pertumbuhan dan penggerak dalam industrialisasi pedesaan. Pryor
42
and Holt (1998) dalam Herjanto (2003) dari studinya menemukan bahwa kontribusi
agribisnis dalam PDB di Indonesia mencapai 53% yang lebih tinggi dibandingkan
dengan Malaysia, Korea Selatan, Argentina maupun Brazil.
Saragih (1996) dalam studi mengenai kontribusi agroindustri dalam
perekonomian Indonesia periode 1971-95 dengan pendekatan input-output
menemukan bahwa pangsa ekspor meningkat lebih besar dibandingkan dengan
impor, sehingga selalu menjadi penghasil surplus devisa. Hal tersebut juga
dilakukan oleh Rosa dan Bernadette (2006), dengan menggunakan Tabel input-
output 66 sektor tahun 1995 dan 2000 menganalisis keterkaitan menggunakan
model keterkaitan ke belakang dan ke depan secara total, dan kinerja diukur dengan
efisiensi. Hasil dari penelitian ini, sebagian besar agroindustri mempunyai
keterkaitan ke belakang yang tinggi namun ke depan rendah. Artinya,
pengembangan produk lanjutan dari produk pertanian masih rendah.
Komoditi agroindustri selalu mengalami fluktuasi dalam perdagangan
internasional seperti diukur dengan nilai indeks comparative advantage. Dalam
studi Herjanto (2003) menemukan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA)
Indonesia yang meningkat sejak tahun 1971 sampai 1990, dan setelah itu selalu
menurun.
2.7.4. Alasan Pemilihan Variabel
Dari uraian tinjauan pustaka pada bagian terdahulu, memberikan dasar
rasionalisasi untuk memasukkan variabel dalam model penelitian. Sehingga alasan
pemilihan variabel diuraikan sebagai berikut.
43
a. Pentingnya Kebijakan Fiskal Bagi Pembangunan Sektor Pertanian dan Agroindustri
Secara teoretis, Keynes mengemukakan bahwa dampak kebijakan fiskal
lebih cepat berpengaruh pada sektor riil (termasuk pertanian dan agroindustri)
melalui transmisi harga yang cepat penyesuaiannya, dan berpengaruh cepat juga
kepada keseimbangan makroekonomi (Turnovsky, 1981; Romer, 2001).
Dalam kasus pembangunan pertanian/agroindustri di Indonesia, peran
pemerintah masih dipersyaratkan dan diperlukan (Alexandrates, 1995; Arifin, 2001;
2004; Tambunan, 2003a; 2003b; Fuglie, 2004; Pakpahan, 2004; Syafa’at, et. al.,
2005; Sastrosunarto, 2006; Sa’id dan Dewi, 2006). Peran pemerintah tersebut
diwujudkan dalam kebijakan fiskal.
Menurut Norton (2004), cakupan kebijakan fiskal tidak hanya menjangkau
determinan makro ekonomi (pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi,
pengangguran, dan stabilitas ekonomi) namun juga pada determinan non ekonomi
seperti pemerataan, pendidikan dan kesehatan, serta kemiskinan. Analisis pengaruh
kebijakan fiskal juga bisa dikembangkan untuk analisis performa sektoral bahkan
komoditi. Dalam studi ini dikaji keefektifan pengaruh kebijakan fiskal terhadap
kinerja sektor petanian dan agroindustri.
b. Variabel Kebijakan Fiskal
(1). Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPn)
Studi Hutahaean, et.al. (2002), dan Irawan (2005) menemukan, penerimaan
pemerintah dari pajak selama ini signifikan dalam mempengaruhi kinerja kebijakan
fiskal di Indonesia non pajak cenderung menurun, sedangkan hibah belum terlalu
berpengaruh terhadap kinerja kebijakan fiskal karena ketidakpastian dan
ketidakberlanjutannya. Secara lebih spesifik, penerimaan pemerintah dari pajak
44
dipilih yang paling dominan mempengaruhi kinerja sektor pertanian dan
agroindustri.
Pajak penghasilan (PPh) mempunyai efek/transmisi cepat terhadap
perubahan perilaku menabung, investasi dan ekspansi usaha perusahaan (James and
Nobes, 1992). Gemmella, et.al. (2003) dalam studi di Inggris menemukan PPh dan
PPn berpengaruh penting dalam perilaku keluarga dan perusahaan. Kasus
Indonesia, bagi golongan ekonomi lemah (yang jumlahnya lebih banyak) PPh
cenderung menaikkan semangat kerja sementara bagi golongan ekonomi kuat akan
menurunkan semangat kerja karena sistem tarif pajak PPh yang nol pada tingkat
pendapatan rendah (pasal 17, UU No.10 Tahun 1994 dan UU No.17 Tahun 2000)
(Hutahaean, et.al., 2002). Hal itu selaras dengan hasil studi Dalton and Masters
(1998) di Mali. Mangkoesoebroto (1999) mengemukakan bahwa dalam kasus
Indonesia, PPh dan PPn cepat mempengaruhi perubahan perilaku rumahtangga dan
produsen. Dalam hal ini PPn akan mempengaruhi petani sebagai keluarga sekaligus
produsen produk primer dan PPn berpengaruh pada agroindustri sebagai perusahaan
penghasil produk sekunder (Khan, 2001).
Dari uraian tersebut, dalam penelitian ini Pajak Penghasilan (PPh) dan
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dijadikan variabel yang mengekspresikan
penerimaan pemerintah.
(2). Defisit dan Utang Pemerintah
Penguatan keseimbangan fiskal diperlukan untuk dapat memudahkan
penyesuaian eksternal dengan lancar. Dalam sistem I-account, defisit merupakan
bagian tersendiri yang menunjukkan dan mempengaruhi posisi keseimbangan fiskal
internal. Indonesia adalah negara yang selalu menurunkan posisi keseimbangan
45
fiskal terhadap PDB (ADB, 2006). Ketika keseimbangan tersebut tidak dapat
dicapai melalui sumber domestik maka dilakukan utang. Studi Subagjo (2005) dan
Bafadal (2005) menemukan bahwa dalam struktur keseimbangan neraca
pemerintah, defisit dan utang pemerintah menjadi bagian penting dalam
mempengaruhi keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) dan keseimbangan
makroekonomi. Faktanya, selama lima tahun terakhir hasil studi ADB (2006)
menunjukkan, Indonesia adalah negara pengutang paling basar di enam kawasan
Asia dan juga ASEAN. Disamping itu perjuangan untuk menjaga tade off antara
defisit anggaran dan kebutuhan percepatan pembangunan menjadi pertimbangan
strategis dalam kehati-hatian fiskal (Saragih, 2003; Subiyantoro dan Riphat, 2004).
Memperhatikan hal tersebut, maka defisit (DEF) dan utang pemerintah (U)
dimasukkan sebagai variabel.
(3). Pengeluaran Pembangunan Untuk Sektor Pertanian.
Penurunan intensitas kebijakan pertanian di dunia yang ditandai pelambatan
perubahan marginal dalam program pertanian (Scrimgeour and Pasour, 1996) juga
terjadi di Indonesia. Telah dikemukakan pada bagian awal bahwa peran pertanian
semakin menurun secara tidak wajar sehingga sejak pertengahan periode 1990an
pertanian tidak mampu lagi menjadi pendukung tumbuh kembangnya perekonomian
Indonesia (lihat studi: Booth, 1988, 2002; Martin and Warr, 1993; Muslim, 2002;
Fuglie, 2004; Druska, and Horrace, 2004; Simatupang, et. al., 2004;
Sastrosoenarto, 2006). Jika dalam pembangunan pertanian di Indonesia peran
pemerintah masih dipersyaratkan (Alexandrates, 1995; Arifin, 2001; 2004;
Tambunan, 2003a; 2003b; Fuglie, 2004; Pakpahan, 2004; Syafa’at, et. al., 2005;
Sastrosunarto, 2006; Sa’id dan Dewi, 2006), maka penurunan tersebut lebih
46
dikarenakan menurunnya dukungan pemerintah dalam belanja pembangunan
(investasi publik) untuk sektor pertanian (Arifin, 2001; Pakpahan, 2004; Tambunan,
2003b). Sehingga variabel pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian (EA)
dimasukkan dalam model penelitian ini sebagai ekspresi dari instrumen kebijakan
fiskal.
(4).Subsidi Sektor Petanian
Dalam perekonomian USA yang maju, subsidi untuk produksi swasta masih
merupakan bagian belanja pemerintah yang penting termasuk produksi pertanian
skala kecil dan perluasan jenis subsidi untuk industri dan subsidi kredit produksi
atas sumberdaya produktif (Stiglitz, 2000). Studi Norton (2004) menemukan bahwa
dalam kasus negara berkembang, subsidi pertanian masih disarankan untuk
mendorong produksi dan perbaikan pendapatan petani. Sedangkan Rosen (2005)
berpendapat bahwa belanja subsidi penting dilakukan pemerintah terutama dalam
ketidakseimbangan pasar akibat eksternalitas. Dalam pembangunan pertanian
Indonesia, subsidi pertanian secara keseluruhan masih merupakan bagian intervensi
pemerintah yang efektif untuk mengarahkan perbaikan produksi pertanian. Dengan
demikian variabel agregat subsidi pertanian (SP) dipilih dalam penyusunan model.
(5). Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Di Cina, dari studi Fan and Zhang (2002) menemukan korelasi yang sangat
kuat antara belanja publik untuk penelitian sektor pertanian dan infrastrukur
pedesaan dengan pertumbuhan produktivitas pertanian.
Di Indonesia, kemandegan dalam penelitian pengembangan teknologi
pertanian sebagaimana konsisten dilakukan negara-negara tetanganya di Asia telah
menjadi sebab terjadinya pelandaian pertumbuhan produktivitas komoditi pertanian
47
untuk hampir semua varietas (Simatupang, et. al., 2004) dan merupakan faktor
utama dalam penurunan produktivitas pertanian di Indonesia pada sepuluh tahun
terakhir ini (Fuglie, 2004). Sehingga variabel pengeluaran pemerintah untuk
penelitian dan pengembangan pertanian (RDA) dimasukkan ke dalam model.
(6). Pengeluaran Infrastruktur Pertanian
Rozelle and Swinnen (2004) dalam studi transisi pertanian di dunia
menyimpulkan bahwa kebijakan pertanian kedepan harus disertai dengan implikasi
perbaikan investasi publik dan infrastruktur pertanian untuk menjamin kelestarian
produktivitas pertanian.
Hasil studi Zhang and Fan (2004), infrastruktur pertanian di India sangat
mempengaruhi produktivitas pertanian. Jaringan irigasi bagi negara-negara Afrika
dan Asia menyumbang dalam porsi besar pada pertumbuhan total faktor produksi
(TFP) dan kemajuan pertanian keseluruhan. Namun dari studi tersebut diketahui
bahwa belanja pemerintah dan investasi untuk penyediaan dan perbaikan
infrastruktur pertanian telah menurun. Jika penurunan terus terjadi diperkirakan
akan sulit untuk menumbuhkan produktivitas pertanian sampai tahun 2015.
Infrastruktur pertanian khususnya irigasi di Yunani, berdasarkan studi
Koundouri, et.al. (2006) menunjukkan peran pada urutan pertama sebagai syarat
dalam keberhasilan adopsi teknologi di sektor pertanian.
Sebagian besar persoalan pelambatan pertumbuhan produksi pertanian di
Indonesia adalah karena penurunan investasi pemerintah untuk pembangunan
infrastruktur pertanian (irigasi, jalan desa, pasar pertanian, dan lain-lain) (Tim
INDEF, 2005). Dengan demikian, pengeluaran infrastruktur pertanian (IA)
dimasukkan sebagai variabel dalam model.
48
(7). Desentralisasi Fiskal
Akhir periode 1990an telah terjadi perubahan ketatanegaraan menyangkut
otonomi daerah. Otonomi daerah tidak hanya berhenti pada aspek politik, yang
lebih penting adalah dukungan sumberdaya (resources) yang memadai agar
otonomi berhasil. Bagian pokok otonomi daerah adalah kebijakan desentralisasi
fiskal (Saragih, 2003). Dilaporkan dalam studi UNESCAP-CAPSA (2005), porsi
pengeluaran yang didesentralisasikan Indonesia, sebesar 33.24%, lebih tinggi dari
kasus negara maju. Sedangkan porsi penerimaan daerah di Indonesia paling rendah.
Pada sisi lain persoalan masih berlangsung menyangkut distribusi
sumberdaya lokal dan nasional dalam penguasaan dan peruntukan, kebebasan
daerah untuk mengatur penerimaan (pajak dan retribusi). Situasi demikian sangat
mempengaruhi kinerja pembangunan sektoral termamsuk pertanian (Tambunan,
2003b; Arifin 2004). Sehingga variabel desentralisasi fiskal (DF) dimasukkan
dalam model penelitian.
c. Investasi
Dari beberapa studi menyimpulkan bahwa investasi pertanian merupakan
instrumen vital dalam produksi pertanian (Mundlak, et.al., 2002; Simatupang, et.
al., 2004). Di Indonesia studi Evenson, et.al. (1997) dan Salmon (1991)
menemukan hasil bahwa investasi pertanian belum cukup untuk menumbuhkan
penelitian sektor pertanian yang mampu mengadopsi dan mengembangkan tanaman
berproduksi tinggi.
Persoalan mandegnya pertumbuhan produksi pertanian di Indonesia adalah
karena penurunan investasi pemerintah dan swasta untuk pembangunan pertanian
49
(ADB, SEAMEO SEARCA, Crescent, CASER and Ministry of Agriculture RI,
2005). Sehingga variabel investasi agregat (I) dimasukkan dalam model penelitian.
d. Konsumsi
Alexandrates, (1995) dalam studinya menyimpulkan, konsumsi atas produk
pertanian di negara berkembang selalu meningkat utamanya untuk produk pangan,
dan perkebunan. Perbaikan kemampuan konsumsi petani juga menjadi isu penting
dalam pembangunan pertanian (Foster and Rosenzweig, 2004). Studi
Sumodiningrat (2000) dalam Tambunan (2003b) menyimpulkan bahwa, sampai
tahun 2035 akan terjadi defisit konsumsi pangan di Indonesia. Konsumsi sebagai
sisi penarik dalam peningkatan produksi pertanian dan agroindustri, namun sulit
untuk mendekomposisi konsumsi produk pertanian dan agroindustri. Dengan
demikian variabel konsumsi agregat (KONS) dimasukkan dalam model.
e. Kinerja Sektor Pertanian
Menurut analisis klasik Kuznets (1964), kinerja sektor pertanian di LDCs
dapat dilihat dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi nasional yaitu; (1) kontribusi produk, (2) kontribusi pasar,
(3) Kontribusi faktor-faktor produksi, dan (4) Kontribusi devisa. Kinerja sektor
pertanian didekati dengan tingkat produktivitas fisik yang dikenal dengan total
factor produktivity (TFP) (Martin, and Warr, 1993; Fuglie, 2004). Pengukuran juga
bisa dilakukan melalui penciptaan agregat output atau nilai tambah (PDB)
(misalnya Van der Eng, 1996; Arnade, 1998; Suhariyanto, 2001; Mundlak and
Butze, 2002). Menurut Hayami and Ruttan (1985) produktivitas pertanian diukur
dengan produktivitas lahan (arable land), produktivitas tenaga kerja dan outcome
tingkat kesejahteraan petani. Tambunan (2003a) melengkapi dengan variabel
50
pertumbuhan output, pertumbuhan ekspor, penciptaan kesempatan kerja, dan
ketahanan pangan. Dalam penelitian ini kinerja sektor pertanian didekati dengan
variabel: pertumbuhaan output (PDB), perdagangan (ekspor, impor), penyerapan
tenaga kerja, dan kesejahteraan petani dengan digunakan net-barter Terms of Trade
(Siregar, 2004). Masing-masing diuraikan sebagai berikut.
(1). PDB Sektor Pertanian
Hasil studi Van der Eng (1996), Arnade (1998), Suhariyanto (2001),
Mundlak and Butze (2002), Martin and Warr (1992, 1993); dengan analisis dinamis
mengenai perilaku sektor pertanian menyimpulkan, sumbangan output pertanian
terhadap PDB merupakan isu utama dalam membahas kinerja sektor pertanian
dalam perekonomian. Hal itu signifikan untuk kasus Thailand dan Indonesia.
Dengan demikian PDB pertanian (PDBA) dimasukkan sebagai variabel dalam
model.
(2). Penyerapan Tenaga Kerja
Studi Muslim (2002); PSE UGM, LPEM-FEUI, dan PSP IPB (2004)
menyimpulkan, lebih dari separo angkatan kerja sampai dengan dekade 1990an
bekerja di sektor pertanian. Martin and Warr (1992, 1993) juga menemukan bahwa
dampak kebijakan sektor petanian belum cukup untuk “menyerap” angkatan kerja
pedesaan yang jumlahnya hampir 60% dari keseluruhan. Dengan demikian
penyerapan tenaga kerja (pedesaan) menjadi masalah penting dalam pembangunan
pertanian di Indonesia. Sehingga penyerapan tenaga kerja (TKA) dimasukkan
sebagai variabel dalam model penelitian.
51
(3). Ekspor dan Impor Pertanian
Perekonomian Indonesia adalah terbuka, sehingga dapat melakukan ekspor
ke pasar internasional jika terjadi surplus produksi, dan sebaliknya melakukan
impor barang dan jasa jika belum dihasilkan di dalam negeri atau dalam kondisi
kekurangan produksi. Dari studi Sipayung (2000), Herjanto (2003) dan Irawan
(2005) menemukan bahwa peran ekspor dan impor produk pertanian dalam analisis
makro menyangkut sektor pertanian berpengaruh signifikan. Sehingga variabel
ekspor pertanian (XA) dan impor pertanian (IMA) dimasukkan dalam model
penelitian ini.
(4). Kesejahteraan Petani
Rozelle and Swinnen (2004) dalam studi mengenai transisi petanian di 28
negara (berkembang dan maju) di kawasan Asia timur, Asia tengah, Trancaucus,
Eropa (Commonwealth Independent States/CIS), Baltik, Eropa tengah, Balkan
secara umum menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah yang menyertakan sistem
penanggungjawaban terhadap keluarga petani (household responsibility system)
yang kemudian secara konsisten di adopsi oleh Cina dan Vietnam telah
memperkecil disparitas harga (NTP) dan sebagai kunci untuk perbaikan
kesejahteraan keluarga pedesaan. Secara dramatik kedua negara tersebut telah
mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan petani.
Studi Booth (2002) di Indonesia selama periode 1980an sampai akhir
1990an mengukur tingkat kesejahteraan petani dengan nilai tukar petani (NTP)
sebagai ukuran kesejahteraan petani. Menurut Siregar (2004) penggunaan NTP
mempunyai keterbatasan pada perekonomian terbuka sehingga digunakan nilai
tukar internasional yang disebut net-barter terms of trade. Dari studi Siregar (2004)
52
ditemukan, net-barter terms of trade Indonesia wilayah barat mengalami
penurunan sedangkan wilayah timur meningkat signifikan. Dalam studi ini
pengukuran kesejahteraan petani digunakan net-barter terms of trade (WP).
f. Kinerja Agroindustri
(1). Nilai Tambah Input dan Output Agroindustri
Tambunan (1992) mengukur kinerja agroindustri dengan menggunakan tiga
kriteria ekonomi yaitu, nilai tambah per tenaga kerja, nilai tambah per output, dan
nilai tambah per unit input (tidak termasuk modal tetap). Ukuran tersebut banyak
ditemukan dalam literatur sebagai standar baku pengukuran nilai tambah yang
mengacu pada perhitungan Asian Productivity Organization (Wainai, (1984); dan
Shimizu, (1991) dalam Susanty (2000)). Secara resmi pengukuran dengan nilai
tambah kinerja agroindustri juga dilakukan oleh Departemen Tenaga kerja dan
Transmigrasi RI (Direktorat Bina Produksi, 2003). Sehingga variabel Nilai Tambah
Input (NTI) dan Output (NTO) Agroindustri dimasukkan dalam model penelitian.
(2). Daya Saing Agroindustri
Struktur yang kaku sebagai akibat dari intervensi yang berlebihan melalui
pengaturan-pengaturan perdagangan dalam negeri dan monopoli impor telah
menghambat efisiensi dan daya saing ekonomi Indonesia. Hal itu juga dialami
untuk produk agroindustri. Herjanto (2003) mengukur kinerja agroindustri
menemukan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) Indonesia yang
meningkat sejak tahun 1971 sampai 1990, dan setelah itu relatif terus menurun.
Pendekatan daya saing dengan RCA juga dilakukan oleh Sa’id dan Dewi (2004),
Sa’id dan Febriyanti (2005). Keduanya menemukan daya saing agroindustri
53
Indonesia yang selalu menurun di pasar internasional. Dengan demikian variabel
Daya Saing Agroindustri (DSA) dimasukkan dalam model penelitian ini.
Dari uraian tersebut, variabel yang telah dipilih disajikan dalam Tabel (10). Tabel 10. Variabel Terpilih dalam Penelitian
Aspek Penelitian
Nomor Variabel
Simbol Nama Variabel
1 PPh Pajak Penghasilan 2 PPn Pajak Pertambahan Nilai 3 DEF Defisit Anggaran 4 U Utang Pemerintah 5 EA Pengeluaran Sektor Pertanian 6 SP Subsidi Pertanian 7 RDA Pengeluaran R&D Pertanian 8 IA Pengeluaran Infrastruktur Pertanian
Kebijakan Fiskal
9 DF Desentralisasi Fiskal 10 I Investasi Penyeimbang
Makroekonomi 11 KONS Konsumsi 12 GDPA PDB Pertanian 13 TKA Penyerapan Tenaga Kerja 14 XA Ekspor Produk Pertanian 15 IMA Impor Produk Pertanian
Kinerja Sektor Pertanian
16 WP Kesejahteraan Petani 17 NTI Nilai Tambah Input Agroindustri 18 NTO Nilai Tambah Output Agroindustri
Kinerja Agroindustri
19 DSA Daya Saing Agroindustri
2.7.5. Posisi Penelitian
Dari uraian studi terdahulu, studi fiskal sebagian besar adalah pengaruh
shock fiskal terhadap determinan makroekonomi dan ekonomi lokal/desentralisasi
fiskal. Dari sisi kebijakan pertanian lebih diorientasikan pada kinerja pertanian dari
sisi produktivitas (Total Factor Productivity). Studi agroindustri kebanyakan pada
parsial agroindustri komoditi tertentu. Penelitian ini melakukan analisis mengenai
keefektifan instrumen kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian dan
54
agroindustri pada cakupan yang lebih luas (pertumbuhan, penyerapan tenaga kerja,
kesejahteraan petani, perdagangan, nilai tambah input, nilai tambah output, dan
daya saing).
Sebagian besar metode analisis yang digunakan pada studi terdahulu adalah
model simultan. Mengingat resiko data time series non-stasioner, estimasi dengan
metode klasik seperti OLS (ordinary least squares) akan memberikan hasil yang
meragukan (spurious). Disamping itu analisis dalam penelitian ini akan mencakup
keterhubungan keefektifan kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian dan
kinerja agroindustri jangka panjang (cointegration). Sehingga model ekonometrik
deret waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah vector error correction
model (VECM), yang merupakan model restriksi dari vector autoregressive (VAR).
Kemudian untuk mengetahui inovasi shock kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor
pertanian dan kinerja agroindustri dianalisis dengan impulse response function
(IRF) dan forecast error variance decomposition (FEVD).
III. KERANGKA TEORI
Pada bagian ini, konsep dan model teoretis diuraikan sebagai acuan kerja
penelitian. Uraian dimulai dengan konsep mengenai (1) kebijakan fiskal, kemudian
(2) investasi, (3) konsumsi, (4) kinerja sektor pertanian, dan (5) kinerja agroindustri,
serta (6) analisis data deret waktu (time series).
Asumsi dalam penjelasan teori untuk menyusun model penelitian adalah:
Indonesia sebagai small open-economy country. Ciri dalam perekonomian ini yaitu,
negara kecil, dengan ekonomi terbuka dan mobilitas kapital berlangsung sempurna.
Untuk analisis sektor pertanian dan agroindustri, negara kecil diekspresikan dengan
pangsa (share) produk pertanian dan agroindustri Indonesia di pasar dunia yang
kecil. Beras dalam kasus Indonesia adalah sebagai negara besar (dengan share
permintaan dunia yang besar). Namun beras adalah satu bagian komoditi tanaman
pangan yang di dalam studi ini merupakan bagian kecil dari berbagai komoditi
tanaman pangan, perkebunan, hotikultura, peternakan, perikanan dan komoditi
agroindustri yang kesemuanya memiliki pangsa (share) kecil di pasar dunia.
Sehingga asumsi small open-economy country dalam analisis studi ini masih
relevan.
Keseimbangan ekonomi dihasilkan secara domestik dan dari luar negeri.
Identitas keseimbangan tersebut dijelaskan dengan pendekatan model Mundell-
Fleming (MF). Model ini merupakan pengembangan model IS-LM, dengan
memasukkan komponen eksternal (net ekspor) untuk mengetahui hubungan dengan
lingkungan rest of the world.
56
3.1. Kebijakan Fiskal
Soediyono (1985), mendefinisikan kebijakan fiskal adalah bentuk tindakan
pemerintah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian dengan maksud agar
keadaan perekonomian tidak terlalu menyimpang dari keadaan yang diinginkan
dengan alat (policy instrument variable) berupa pajak (T), transfer pemerintah (Tr),
dan pengeluaran pemerintah (G). Mankiw (2000) mendefinisikan, kebijakan fiskal
sebagai ”The government’s choice regarding levels of spending and taxation”.
Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang
dilakukan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kebijakan
fiskal atau anggaran memiliki tiga fungsi yaitu, (1) fungsi alokasi (allocation
function), (2) fungsi distribusi (distribution function), dan (3) fungsi stabilisasi
(stabilization function). Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan barang sosial
(social goods) atau proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi
diantara barang privat (private goods) dan barang sosial (social goods) dan
kombinasi barang sosial yang dipilih. Fungsi distribusi berkaitan dengan pembagian
pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata di masyarakat. Sedangkan
fungsi stabilisasi untuk mempertahankan tingkat pekerjaan yang tinggi (high
employment), stabilitas tingkat harga-harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang
sesuai, yang berpengaruh pada neraca perdagangan dan pembayaran.
Instrumen kebijakan fiskal adalah variabel belanja pemerintah (G) atau
pajak (T). Bersama-sama dengan variabel konsumsi masyarakat (C), investasi
swasta (I) dan net ekspor (X-M) merupakan komponen yang mempengaruhi output
(Y) dalam keseimbangan makro:
Y = C + I + G + (X-M) (3.1)
57
3.1.1. Jalur Keynesian Pengaruh Kebijakan Fiskal
Menurut Keynes; dalam perekonomian yang mengalami krisis (sebagaimana
Indonesia pada akhir periode 1990an) dan depresi, kebijakan moneter melalui
penurunan tingkat suku bunga tidak efektif. Permintaan agregat dapat dinaikkan
dengan cepat hanya melalui kebijakan fiskal (Romer, 2001). Anggaran pemerintah
(government budget) adalah bagian penting dalam model makroekonomi Keynes
untuk mengatur permintaan agregat dalam perekonomian. Jika perekonomian
berada di bawah full employment, permintaan agregat dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan pengeluaran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T). Dalam
pandangan Keynes, pemerintah mempunyai peranan penting untuk mengatur
permintaan agregat (AD) dalam rangka mempertahankan atau menjaga agar
perekonomian mendekati tingkat kesempatan kerja penuh (full employment level).
Keseimbangan makro perekonomian tertutup (internal balance):
a. Keseimbangan pasar barang: Y = C + I + G (3.2)
b. Keseimbangan pasar uang: M/P = (r,Y) (3.3)
dimana:
M = stok uang,
P = tingkat harga, dan
r = tingkat bungan domestik.
Keseimbangan makro perekonomian terbuka (external balance):
Disebut juga Model Mundell-Fleming, tingkat suku bunga domestik (r) ditentukan
oleh tingkat suku bunga dunia (r*). Sehingga secara matematis ditulis: r = r*.
a. Keseimbangan pasar barang (sebagaimana persamaan (3.1):
Y = C + I + G + (X-M)
58
dimana:
X = ekspor,
M = impor.
Konsumsi tergantung pada disposable income (Y-T), investasi dipengaruhi secara
negatif oleh suku bunga dunia (r*), pengeluaran pemerintah dipengaruhi secara
negatif oleh defisit pada neraca pembayarannya (D), dan ekspor netto (NX)
dipengaruhi oleh nilai tukar (e). Sehingga persamaan (3.1) dapat ditulis seperti
pada persamaan (3.4) sebagai persamaan pasar barang atau fungsi IS.
Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) (3.4)
b. Keseimbangan pasar uang:
Permintaan uang riil dipengaruhi secara negatif oleh tingkat suku bunga, dalam
hal ini telah disamakan dengan tingkat suku bunga dunia (r*), dan secara positif
oleh pendapatan. Secara matematis dinyatakan:
M/P = L(r*,Y) (3.5)
Keseimbangan pasar barang dan pasar uang menurut model Mundell-Fleming,
dijelaskan melalui dua persamaan:
Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) (3.4)
M/P = L(r*,Y) (3.5)
Variabel eksogen meliputi kebijakan fiskal ([G] dan [T]), kebijakan moneter (M),
tingkat harga (P) dan suku bunga (r*). Variabel endogen meliputi pendapatan (Y)
dan nilai tukar (e). Secara grafis, jalur Keynesian pengaruh kebijakan fiskal
diuraikan pada bagian berikut:
3.1.1.1. Kebijakan Fiskal pada Perekonomian Tertutup (Internal Balance)
Dalam pandangan Keynesian, kebijakan fiskal diyakini paling efektif dalam
59
mengatasi pengangguran dan meningkatkan output. Keyakinan tersebut didasarkan
pada besarnya efek multiplier kebijakan fiskal terhadap perubahan output dan
sensitivitas permintaan uang terhadap perubahan suku bunga, dimana perubahan
suku bunga akan menimbulkan perubahan yang besar pada permintaan uang untuk
spekulasi. Hal ini merupakan implikasi dari posisi kurva LM yang cenderung
landai. Dari sisi suplai, Keynesian juga mengasumsikan bahwa kurva AS adalah
horizontal atau cenderung landai.
Kurva AS Keynesian horizontal atau cenderung landai karena ekonomi
berada pada kondisi unemployment tinggi, sehingga perusahaan dapat memperoleh
tenaga kerja sebanyak yang diperlukan dengan upah yang berlaku. Dengan kondisi
demikian upah diasumsikan tidak berubah. Keynesian juga mengasumsikan
informasi tidak sempurna (0<p<1), yang mengakibatkan pekerja tidak melakukan
penyesuaian terhadap perubahan harga, sehingga model Keynesian dapat disebut
juga sebagai imperfect foresight model. Secara grafis, keseimbangan makro melalui
pendekatan Keynesian disajikan pada Gambar 1 (Mankiw, 2003; Sukirno, 2005).
Pada Gambar 1, kebijakan fiskal dilakukan pada keseimbangan awal (A)
dengan tingkat employment pada N1. Pada kondisi tersebut unemployment sangat
besar, sehingga pemerintah meningkatkan G (government expenditure) untuk
meningkatkan employment. Hal ini menyebabkan kurva IS bergeser ke atas (IS1 ke
IS2). Peningkatan G tersebut meningkatkan Y. Peningkatan Y pada tingkat harga
tetap P1 dan suku bunga r1 akan meningkatkan permintaan uang, sehingga
meningkatkan suku bunga sepanjang kurva LM1, menurunkan investasi dan terjadi
crowding out effect.
60
LM2
N2N1 N 0
Y
r1
r2
r3
IS2
IS1
LM1
Y1 Y3 Y2
P AS
AD1
AD2 P1
P2
Y1 Y3 Y2
Y=Y(N)Y3
Y1
A
B
N2N1
A
B
A
B
BA
W
w1
w2
W1D=P1.f
P1e.g(N)
P2e.g(N)
W2D=P2.f
0
0
0
r
N
Y
Y
Sumber: Mankiw (2003); Sukirno (2005)
Gambar 1. Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian
61
Pada sisi permintaan, dampak lebih lanjut adalah peningkatan output,
agregate demand (AD) meningkat (AD1 ke AD2). Memperketat pasar uang,
meningkatkan r dan menurunkan investasi. Pada sisi penawaran, peningkatan harga
direspons oleh pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja, sehingga
kurva permintaan tenaga kerja bergeser ke atas.
Karena asumsi imperfect informations (0<p<1), maka pada saat yang sama,
peningkatan permintaan tenaga kerja karena meningkatnya P direspon oleh buruh
dengan menaikkan upah ke W2 dan menggeser kurva penawaran tenaga kerja ke
kiri, yaitu ke Pe2.g(N), tetapi pergeseran kurva penawaran lebih kecil dari
pergeseran kurva permintaan tenaga kerja. Keseimbangan pasar tenaga kerja
meningkat dari N1 ke N2. Peningkatan P terus berlangsung sampai ekses demand
dapat dihilangkan, yaitu pada P2Y3. Employment meningkat ke N2 dan upah
meningkat ke W2. Upah riil menurun, tetapi jika elastisitas permintaan tenaga kerja
pada keseimbangan baru lebih besar dari pada elastisitas pada keseimbangan awal,
maka upah riil akan meningkat.
Keseimbangan baru (B), output akhir adalah Y3 yang lebih besar dari
keseimbangan awal (terjadi growth). Dampak akhir adalah peningkatan suku bunga
(r), penurunan investasi (I), peningkatan upah nominal (W).
3.1.1.2. Kebijakan Fiskal pada Perekonomian Terbuka (External Balance)
Persoalan ekonomi mendasar dari hampir seluruh negara berkembang adalah
masalah current account deficit (external imbalance), tingginya tingkat
pengangguran dan inflasi (internal imbalance). Untuk mengatasi masalah
unemployment diperlukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cepat. Namun
kebijakan ekspansi untuk meningkatkan pertumbuhan seringkali menyebabkan
62
demand tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kapasitas supply. Hal ini
berdampak pada masalah external balance, yaitu: (1) meningkatnya impor
sementara ekspor turun, sehingga memperlebar external imbalance, dan (2) excess
demand menyebabkan inflasi meningkat berpengaruh pada memburuknya
keunggulan kompetitif negara di lingkup internasional, dengan demikian semakin
memperburuk external imbalance. Sehingga, tujuan meningkatkan employment
justru seringkali berdampak pada memburuknya current account pada balance of
payment (BOP).
Konflik antara external dan internal balance mengharuskan ada instrumen
kebijakan efektif sesuai dengan apa yang dijadikan target. Instrumen kebijakan akan
cocok untuk satu kebijakan tertentu tetapi bisa jadi memiliki dampak yang kurang
menguntungkan bagi lainnya, sehingga tidak seluruh instrumen cocok untuk setiap
target. Dengan demikian instrumen apa yang akan digunakan untuk tujuan tertentu
adalah instrumen yang akan memberikan efektivitas maksimum. Secara historis
negara-negara berkembang sangat menggantungkan kebijakan ekspansi fiskal untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi. Model Mundell-Fleming dengan model standard
IS-LM melalui pendekatan Keynesians dapat menjelaskan keadaan historis tersebut.
Asumsi dalam model Mundell-Fleming (MF) (pengembangan bagian 3.1.1
pada persamaan [3.4] dan [3.5] dengan memasukkan Balance of Payment/BOP)
adalah: (1) upah nominal dan harga fixed, (2) permintaan agregat berhubungan
positif terhadap pengeluaran pemerintah (G), output luar negeri (Yf), dan nilai tukar
(e) berhubungan negatif dengan tingkat suku bunga domestik (rd), (3) permintaan
uang merupakan fungsi negatif dari tingkat suku bunga dunia (r*) dan fungsi
positif terhadap tingkat pendapatan domestik, (4) supply uang secara negatif
63
dipengaruhi oleh deviasi antara nilai tukar (e) dan target nilai tukar tertentu (e*),
dan (5) nilai perdagangan ditentukan oleh tingkat output domestik (Yd) dan tingkat
output luar negeri (Yf), serta (6) capital account ditentukan oleh perbedaan tingkat
suku bunga domestik dan luar negeri (Husain and Chowdhury, 2001).
Derajad mobilitas kapital yang ditentukan melalui sensitivitas
perbedaan suku bunga (r dan r*) mempunyai peranan penting dalam model
Mundell- Fleming (MF), sebagai berikut:
Y = C(Y -T) + I(r*) + G(D) + NX(e) (3.6)
M/P = f(r*,Y) (3.7)
BOP = f (Yf, Y, ER, r,r*) (3.8)
Persamaan (3.8) menunjukkan kurva BOP atau BOP=0 untuk berbagai
kombinasi pendapatan domestik (Y) dan tingkat suku bunga domestik (r). Dalam
hal ini pengeluaran pemerintah (G), nilai tukar (e) dan pendapatan dari luar negeri
(Yf) merupakan variabel shifter positif. Slope BOP menunjukkan derajad mobilitas
kapital. Jika kurva BOP vertikal artinya tidak ada mobilitas kapital. Sebaliknya
pada waktu mobilitas kapital sempurna, slope cenderung tak hingga/horisontal.
Kurva BOP horizontal berimplikasi bahwa ada sedikit perbedaan antara tingkat
suku bunga domestik dan asing yang akan mendorong adanya aliran kapital.
Efektivitas kebijakan fiskal dalam perekonomian terbuka pada model MF
tergantung dari derajad mobilitas kapital dan kondisi exchange rate. Untuk negara-
negara di Asia Timur (termasuk Indonesia), meskipun dalam kondisi perekonomian
terbuka, tidak banyak menarik investasi asing, berarti slope BOP sangat curam atau
mendekati vertikal, yang menunjukkan terbatasnya mobilitas kapital. Demikian pula
halnya dengan tingkat suku bunga tidak menunjukkan peran berarti pada
64
permintaan uang di hampir semua negara-negara sedang berkembang. Hal ini
berimplikasi kurva LM relatif curam.
a. Kebijakan Fiskal pada Kondisi Kurs Tetap dan Mobilitas Kapital Terbatas
Dengan beberapa pertimbangan di atas, model MF pada kasus Indonesia ER
dianggap fixed atau terkendali, mobilitas kapital terbatas dan kurva LM
dipertimbangkan memiliki slope yang lebih curam atau lebih landai relatif terhadap
kurva BOP. Kebijakan ekspansi fiskal menggeser kurva IS ke IS1 (Romer, 2001;
Sukirno, 2005).
Pada kondisi kurva BOP lebih curam dari kurva LM (Gambar 2.a)
keseimbangan internal yang baru menyebabkan BOP defisit. Ketika Bank Sentral
melakukan intervensi pada pasar uang, kurva LM bergeser ke kiri mengurangi
efektifitas kebijakan ekspansi fiskal.
Pada kondisi kurva BOP lebih landai dari kurva LM (Gambar 2.b),
keseimbangan internal baru (titik E1 ) menghasilkan BOP surplus, sehingga respons
money supply meningkat. Kurva LM bergeser ke kanan dan jika capital inflow
tidak disterilisasi, maka akan memperbesar efektifitas kebijakan ekspansi fiskal.
Sehingga pada sistem fixed exchange rate, efektifitas kebijakan fiskal diperbesar
dengan meningkatnya mobilitas kapital.
b. Kebijakan Fiskal pada Kurs Flexibel dan Mobilitas Kapital Terbatas
Pada Gambar 3, menunjukkan kondisi dimana negara menganut sistem
flexibel ER (Romer, 2001; Sukirno, 2005). Pada kasus kurva BOP lebih curam dari
kurva LM (Gambar 3.a), kebijakan ekspansi fiskal akan menyebabkan BOP defisit
65
dan nilai tukar riil terdepresiasi. Dampaknya, daya saing meningkat dan ekspor
meningkat sehingga kurva IS maupun kurva BOP akan bergeser ke kanan. Titik
Yd2
IS0
IS1
LM0
LM1
BOP=0
rd0
rd1
rd2
rd
Yd1 Yd0
E2
E1
E0
Yd
E2
0
0
rd
Yd1 Yd0
IS1
IS0
BOP0=0
LM1 LM0
E1
E0
Yd2
rd1
rd2
Yd
(a) (b) rd0 Sumber: Romer (2001), Sukirno (2005)
Gambar 2. Efektifitas Kebijakan Fiskal pada Kurs Tetap dan Modal Terbatas.
66
rd2
Yd
BOP1=0 BOP0=0
E2
IS2
IS1
IS0
E1
E0
0
rd0
rd1
Yd1 Yd2
IS2
rd
Yd2 Yd1
LM0
rd (a)
Yd0
IS1
BOP1=0
LM0
rd0
rd2
rd1
E2
E1
E0
Yd0 0 Yd
IS0
BOP0=0
(b) Sumber: Romer (2001), Sukirno (2005)
Gambar 3. Efektifitas Kebijakan Fiskal pada Kurs Fleksibel dan Modal Terbatas
67
keseimbangan yang baru adalah E2 dimana efektifitas kebijakan fiskal menjadi
sangat besar.
Kurva BOP lebih landai dari kurva LM (Gambar 3.b) kebijakan ekspansi
fiskal menyebabkan surplus BOP. Surplus BOP mengakibatkan nilai tukar riil
terapresiasi, daya saing menurun dan mengurangi ekspor. Keseimbangan akhir, baik
kurva IS maupun BOP bergeser ke kiri, keseimbangan eksternal dan internal di E2.
Pada ER flexibel semakin tinggi sensitivitas mobilitas kapital terhadap perubahan
tingkat suku bunga, efektifitas kebijakan fiskal semakin berkurang.
3.1.2. Penerimaan Pemerintah
Sumber penerimaan pemerintah berasal dari: pajak, non pajak, dan hibah.
Pajak meliputi pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, dan
pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Jenis pajak pusat
adalah pajak penghasilan (PPh), pajak pertambanan nilai barang dan jasa dan pajak
penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB)
serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), bea meterai, cukai,
pajak/pungutan ekspor, dan bea masuk (Hutahaean, et. al., 2002).
Pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn) mempunyai
efek/transmisi cepat terhadap perubahan perilaku menabung, investasi dan ekspansi
usaha perusahaan (James and Nobes, 1992). Dalam kasus Indonesia PPh dan PPn
sensitif terhadap perubahan perilaku rumahtangga dan perusahaan. Dari sisi pajak,
intervensi pemerintah untuk mempengaruhi kinerja sektoral akan efektif dengan
instrumen PPh dan PPn.
Analisis sistem pajak kombinasi; antara pajak pendapatan (PPh) dan pajak
pertambahan nilai (PPn), ditemukan dalam Atkinson and Stiglizt (1976), Mirrlees
68
(1976), dan Revez (1986) dalam Myles (1997). Dalam model ini diasumsikan
bahwa terdapat n barang yang disediakan oleh produsen sebagai barang 1 dan
tingkat upah w. Seperti aturan normalisasi, pajak linear terhadap n barang,
ditetapkan 0. Dengan aturan ini keterbatasan anggaran (qx) yang dihadapai seorang
konsumen dengan kemampuan membayar pajak s dan tingkat pajak T berbentuk:
(3.9)
Untuk penyederhanaan derifasi, teknologi produksi ditetapkan linear sehingga
kemungkinan produksi dibatasi oleh hubungan:
(3.10)
dimana, zG : pengenaan pajak pemerintah. Dengan teknologi linear memungkinkan
untuk mengambil harga produsen dari setiap barang 2,...,n menjadi 1.
Pajak optimal dapat diperoleh dengan memperlakukan U(s) sebagai variabel
riil dan xi(s), i =1,…, n-1 sebagai variabel kontrol, dengan xn(S) ditentukan dari
identitas U(s) = U(x1(s),...,xn(s)). Persyaratan orde pertama untuk self selection
diturunkan dengan menggunakan fakta bahwa atau dalam
notasi . Pendekatan orde pertama Hamiltonian untuk maksimisasi dapat
ditulis dengan menggunakan (3.10) sebagai:
(3.11)
Untuk memilih xk(s),k = 2,...,n-1, menggunakan fakta bahwa
(3.12)
Syarat perlu untuk optimalitas adalah:
(3.13)
slU
sU
u −=−=2 ll
s 2
sxU
us −= x 11
n
ii∑
=
≤n
i
Gi dsssswxdsssx
2 0 01 )()()()( γγ
)( 112
swxTswxqi x −=
∑∫ ∫ − z=
∞ ∞
sxH λ⎢
⎣⎢⎣
−+=Ux
sswxU xn
ii
11
21 )( μγ −⎥
⎦
⎤⎡⎥⎦
⎤⎡ ∑=
n
k
x
x
k
nUU
−=∂xx∂
nx 20 ==⎥⎢ −−⎥⎢ −−μγλ k
UU
UUsx
UU
n
knk
n
k
x
xxxx
x
x ,...,,111
1
⎥⎦
⎤
⎢⎣
⎡
⎥⎦
⎤
⎢⎣
⎡
69
Dari syarat perlu tersebut maksimisasi utilitas rumahtangga adalah:
(3.14) 1
1 tU += k
x
x
U n
k
Substitusi (3.14) ke dalam (3.13), dan setelah disusun ulang, pajak optimal
(tk) dapat ditulis sebagai:
(3.15) 12 −=⎥⎢
⎥⎦⎢⎣= kt xx ,...,,
log
1
1
⎥⎥
⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢
⎢⎢
⎣
⎡⎥⎤
⎢⎡
ndx
UU
d
sUx n
k
k
x
k λγμ
Hasil dari (3.15) menyatakan dua fakta. Pertama jika , untuk
semua k = 2,.., n-l, yang dianggap tetap jika fungsi utilitas dapat dipisahkan secara
lemah antara tenaga kerja dan semua komoditas lainnya, maka pajak optimal (tk)
untuk semua k=2,.., n-1. Ini adalah hasil utama dari Atkinson and Stiglitz (1976).
Dalam keadaan ini pajak pertambahan nilai (PPn) tidak diperlukan dan pajak
penghasilan (PPh) cukup untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Hasil ini diturunkan
dari sistem pajak yang berusaha untuk memajak kemampuan awal dari rumah
tangga, tetapi apabila dianggap terpisah, terdapat hubungan yang lemah antara
pilihan konsumsi dan kemampuan untuk pajak pertambahan nilai.
0=⎦⎣dx
log
1
⎥⎥⎤
⎢⎢⎡
UU
dn
k
x
x
Konsekuensi kedua dari (3.15) adalah anggapan semua variabel lainnya
konstan, bahwa tarif pajak terhadap suatu barang akan berhubungan secara positif
terhadap tingkat perubahan tarif marjinal atas substitusi antara barang tersebut dan
faktor input. Karena itu, barang-barang yang secara relatif lebih disukai oleh
konsumen yang menawarkan paling banyak input (tenaga kerja), akan dipajak lebih
besar. Menggunakan kerangka yang lebih umum, Mirrlees (1976) menekankan
70
kesimpulan ini untuk menunjukkan bahwa tarif PPn akan mejadi paling tinggi pada
barang paling disukai oleh rumah tangga yang berkemampuan tinggi.
3.1.3. Pengeluaran Pemerintah
Struktur pengeluaran/belanja pemerintah menurut I-Account APBN
meliputi: (1) belanja pemerintah pusat (pengeluaran rutin dan pembangunan), (2)
dana perimbangan, dan (3) dana otonomi khusus dan penyeimbang.
Pendekatan untuk melihat keterkaitan antara belanja negara dan
pendanaannya adalah melalui apa yang dikenal dengan Government's (public
sector's) financial balance, yang persamaannya ditulis sebagai berikut:
(T- Cg - Ig) = Bgp +∆H + Bgf (3.16)
dimana:
T = tax revenue (penerimaan pajak),
Cg = government consumption (konsumsi pemerintah),
Ig = government investment (investasi pemerintah),
Bgp = government borrowing from private sector (pinjaman pemerintah
dari sektor swasta),
∆H = stock change in high-powered money (perubahan stok dari
pencetakan uang), dan
Bgf = government borrowing from foreigners (pinjaman pemerintah
dari luar negeri).
Sisi kiri persamaan menggambarkan defisit fiskal dan sisi kanan persamaan
menunjukkan cara pendanaannya. Jika pemerintah ingin meningkatkan expenditure,
maka dapat dibiayai melalui peningkatan penerimaan pajak tanpa mempengaruhi
defisit fiskal.
71
Tingkat belanja negara yang memadai ditentukan oleh penerimaan dan
defisit anggaran yang harus dibiayainya. Jika peningkatan pengeluaran pemerintah
tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan pajak maka akan menyebabkan
defisit fiskal yang lebih besar. Langkah selanjutnya adalah mencari sumber
pendanaan untuk menutup defisit melalui: (a) pinjaman dari sektor swasta, (b)
mencetak uang (money creation) dan (c) pinjaman dari luar negeri. Selain itu, masih
ada sumber pembiayaan lainnya, yaitu : (1) pengurangan simpanan devisa (dapat
menyebabkan krisis nilai tukar), (2) penjualan aset negara (privatisasi), dan (3)
akumulasi tunggakan (arrears). Untuk menutup defisit umumnya dilakukan dengan
kombinasi antara berbagai sumber pendanaan tersebut.
Alternatif pendekatan yang digunakan untuk melihat kedua masalah tersebut
melalui the economy's saving-investment balance, persamaannya ditulis:
(T- Cg-Ig) = (Sp -Ip) + (M-X) (3.17)
dimana:
T = tax revenue (penerimaan pajak),
Cg = government consumption (konsumsi pemerintah),
Ig = government investment (investasi pemerintah),
Sp = private saving (tabungan swasta),
Ip = private investment (investasi swasta),
M = impor,
X = ekspor, dan
(M - X) menggambarkan external current account defisit.
Melalui pendekatan ini terlihat bahwa defisit fiskal sama dengan jumlah saving-
investment gap dari sektor swasta ditambah external current account deficit.
72
Selanjutnya bila pendekatan pertama (3.16) dan kedua (3.17) digabungkan,
diperoleh persamaan sebagai berikut.
Sp - Ip = Bgp + ∆H- Bpf (3.18)
M - X = Bgf + Bpf (3.19)
dimana: Bpf = utang swasta (private sector borrowing) dari sumber luar negeri.
Persamaan (3.18) menyatakan bahwa kelebihan tabungan sektor swasta
sama dengan uang yang dipinjamkan kepada pemerintah dan uang yang
dipegangnya sendiri dikurangi dengan utang luar negerinya. Sedangkan persamaan
(3.19) menyatakan bahwa external current account deficit dibiayai dari utang luar
negeri pemerintah dan utang luar negeri sektor swasta, yang bersumber dari foreign
saving. Dengan mensubstitusikan persamaan (3.18) dan (3.19) kedalam persamaan
(3.17) akan menghasilkan persamaan (3.16).
3.1.4. Pengeluaran Pemerintah Sektoral
Selain klasifikasi anggaran ke dalam belanja rutin dan pengeluaran
pembangunan (klasifikasi ekonomi), yang lebih lazim dan dikenal sesuai dengan
klasifikasi internasional adalah klasifikasi berdasarkan sektoral. Sampai saat ini,
secara sektoral APBN mengklasifikasikan belanja negara ke dalam 20 sektor.
Sementara itu, IMF melalui format GFS (Government Finance Statistic) terbaru
telah mengembangkan konsep klasifikasi belanja negara. Tujuan konsep tersebut
untuk membantu menunjukkan sifat, komposisi dan dampak dari penerimaan,
hibah, pengeluaran, pinjaman bersih, pembiayaan dan utang, serta transaksi
keuangan pemerintah yang dikelompokkan berdasarkan jenis kegiatannya. Dalam
kaitannya dengan belanja negara, di dalam konsep GFS, pengeluaran pemerintah
(pusat) diklasifikasikan berdasarkan sifat ekonomi dan berdasarkan fungsi.
73
Secara ekonomis, pengeluaran dikelompokkan menjadi pengeluaran lancar
(rutin) dan pengeluaran modal (pembangunan). Dalam hal ini, pembagian sektor-
sektor ekonomi dititikberatkan pada bagaimana seluruh kegiatan ekonomi dalam
suatu negara dapat dibagi menurut bagian-bagiannya, dan sejauhmana pembagian
tersebut sesuai dengan struktur ekonomi yang diterapkan di negara yang
bersangkutan. Sedangkan secara fungsional, pengeluaran (dan pinjaman bersih)
dikelompokkan sesuai dengan tujuan pokok atau fungsi untuk sektor mana mereka
dibentuk, apakah untuk pertahanan, pendidikan, pertanian, dan lain sebagainya.
3.1.5. Subsidi
Norton (2002) mengemukakan bahwa di negara berkembang, subsidi
khususnya pertanian penting sebagai instrumen fiskal untuk mendorong
produktivitas dan peningkatan kesejahteraan petani. Subsidi adalah bentuk transfer
pemerintah yang efisien sekaligus sebagai alat redistribusi kesejahteraan antar
penduduk dan antar produsen dan konsumen. Inilah pokok pentingnya subsidi,
sehingga pada perekonomian majupun masih menggunakan instrumen subsidi dari
pemerintah untuk sektor swasta.
Dampak dari subsidi pemerintah (s) dapat dilihat pada Gambar 4 (Stiglitz,
2000). Gambaran kurva penawaran produk pertanian dalam jangka pendek (SR)
(Gambar 4.a) diasumsikan sangat tidak elastis karena memproduksi produk
pertanian membutuhkan waktu yang panjang bahkan musiman. Jika pemerintah
membayar agregat subsidi untuk produk pertanian, dampaknya adalah terjadi
peningkatan permintaan produk pertanian (kurva permintaan bergeser ke kanan
atas). Dampaknya harga produk pertanian naik, tetapi kenyataannya petani hampir
tidak bisa meningkatkan produksinya.
74
Harga SSR Harga Produk Produk Ps SLR
Ps
P Ds Ds
D D
P
0 QQs Produk 0 Q Qs Produk
(a) (b)
Sumber: Stiglitz (2000). Gambar 4. Dampak Subsidi terhadap Peningkatan Produksi Pertanian
Dalam jangka panjang (LR), penyesuaian meningkat besar seperti pada
Gambar (4.b) kurva penawaran relatif lebih elastis/datar. Peningkatan harga yang
sedikit berdampak kepada peningkatan produksi yang besar. Hal tersebut
merupakan tujuan dari subsidi yaitu meningkatkan produktivitas untuk mencapai
peningkatan produk agregat dalam jangka panjang.
3.1.6. Dampak Pengeluaran Pemerintah
Seberapa besar dampak kebijakan fiskal (melalui peningkatan pengeluaran
pemerintah) akan meningkatkan output, tergantung pada besaran multiplier effect
yang dapat diturunkan sebagai berikut (notasi dalam bentuk riil dengan definisi
notasi seperti pada bagian sebelumnya) (Romer, 2001):
Kurva IS mencerminkan keseimbangan pada pasar barang:
y = c(y-t(y)) + i(r) + g (3.20)
dan kurva LM mencerminkan kondisi keseimbangan pada pasar uang:
75
M = l(r) + k(y) (3.21)
Po
dimana fungsi konsumsi dan pajak mempunyai slope positif tetapi lebih kecil dari
satu atau 0 < c’, t’ < 1, slope investasi dan permintaan uang i’ < 0 dan l’ < 0, serta
slope transaksi permintaan uang k’ > 0 (tanda [’] menunjukkan nilai tertentu).
Dengan menurunkan persamaan (3.20), diperoleh:
dy = c’ (dy – t’ dy) + i’ dr + dg
= c’ (1-t’)dy + i’dr + dg (3.22)
M Menurunkan persamaan (3.21) dengan — konstan, akan diperoleh:
P
0 = l’ dr + k’ dy
k' dr = - — dy l’
dengan mensubstitusikan ke persamaan (3.22) diperoleh:
(3.23) dgdy 1
=
lkitc''')'1('1 +−−
Karena c’ (1 – t’) kurang dari satu dan positif maka multiplier tersebut
bernilai positif. , = menunjukkan penurunan investasi yang berasal dari
peningkatan r, sewaktu y dan r meningkat sepanjang kurva LM, dan
''ki'l
''i
−'lk
'''
l−
ki
merupakan slope kurva LM, sehingga jika kurva LM mempunyai slope = 0, atau
kurva LM horizontal, maka multiplier akan menjadi:
(3.24) dgdgdy ==1MPCtc −−− 1)'1('1
Artinya, perubahan pengeluaran pemerintah (g) meskipun kecil akan menghasilkan
perubahan output yang besar, karena adanya multiplier effect tersebut. Efek
perubahan output akan makin besar dengan bentuk kurva LM yang horizontal.
76
3.1.7. Keseimbangan Fiskal
Keseimbangan primer (primary balance) adalah selisih antara penerimaan
dan pengeluaran, tidak termasuk cicilan utang dan bunga. Defisit anggaran
pemerintah terdiri atas defisit luar negeri dan defisit dalam negeri. Defisit anggaran
luar negeri adalah pengeluaran mata uang asing dikurangi penerimaannya. Defisit
total pemerintah dalam neraca anggaran dengan memperhitungkan defisit anggaran
luar negeri dan domestik dirumuskan (Subagjo, 2005):
D = (GD+FG) - (RD+RF) – KG (3.25)
KG = K-KP (3.26)
K = RE + CA (3.27)
dimana:
CA = current account dalam neraca pembayaran,
D = neraca anggaran (defisit/surplus),
FG = pengeluaran pemerintah luar negeri,
GD = pengeluaran pemerintah domestik,
K = arus kapital total,
KG = arus kapital pemerintah,
KP = arus kapital swasta,
RD = penerimaan pemerintah domestik,
RE = cadangan devisa, dan
RF = penerimaan pemerintah luar negeri.
Pada persamaan (3.27) diasumsikan bahwa bank sentral akan meningkatkan
kredit netonya kepada pemerintah, apabila pengeluaran pemerintah melebihi
penerimaannya dengan selisih yang lebih besar dari arus masuk kapital neto.
77
Defisit anggaran ditentukan oleh selisih tingkat suku bunga domestik dan
suku bunga luar negeri yang menentukan arus kapital, beban utang pemerintah
yang menentukan besarnya cicilan dan bunga utang, dan neraca pembayaran. Secara
agregat defisit anggaran (D) merupakan fungsi dari suku bunga domestik (r),
tingkat suku bunga dunia (r*), utang pemerintah (B), dan penerimaan pemerintah
(R). Sehingga fungsi defisit anggaran dapat dituliskan sebagai berikut:
D = d(r,r*,B,R) (3.28)
Komponen fiskal meliputi variabel-variabel: pengeluaran, penerimaan pajak,
defisit, utang, dan obligasi pemerintah (domestik dan luar negeri) sebagai sumber
pembiayaan tambahan bagi pemerintah. Alternatif pembiayaan melalui pencetakan
uang tidak diperhitungkan sebagai sumber pembiayaan. Hal ini didasarkan pada
kenyataan mengenai posisi independent bank sentral. Akibatnya pemerintah tidak
bisa mencetak uang untuk menutup gap dalam anggarannya.
3.1.8. Utang Pemerintah
Jika pengeluaran melampaui penerimaan maka kebijakan fiskal akan
berkaitan dengan aspek pinjaman/utang (Subiyantoro dan Riphat, 2004). Langkah
paling lazim dalam menutup defisit anggaran pemerintah (D) adalah dengan utang,
baik berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. The law of motion dari utang
pemerintah, seperti dikemukakan oleh Cohen (2002) dalam Soelistyaningsih
(2005):
Dt = (1+r)Dt-1 + Gt – Tt (3.29)
dimana:
(Gt – Tt) = primary balance deficit,
Dt-1 + Gt – Tt = overall balance deficit.
78
Dalam bentuk Present Value, persamaan (3.29) dibagi dengan discount factor
1/(1+r)t sehingga menjadi:
(3.30) )1()1()1( 1
1
rTGDD −
+=rr t
ttt
tt
t
+++ −−
Jika inisial time t=0, maka perolehan masa depan adalah:
(3.31) ∑−
==t
++ =− +
ttt
t rTG
r 01 )1()1(
)1( tt DD r
Dengan persamaan tersebut di atas, maka meningkatnya utang (secara PV)
adalah penjumlahan dari PV defisit utama (present value of the primary deficit).
Jika t tak terhingga, maka persamaan tersebut akan menjadi:
(3.32) ∑∞ −
==lim++ =
−∞→
+0
1 )1()1()1(
tttt
tt
t rT
rDDD r
Utang pemerintah solvent apabila persamaan sisi kiri menuju nol, disebut
transversality condition. Kondisi ini menyatakan bahwa PV utang pemerintah
jangka panjang akan menuju nol dan solvent, sehingga:
(3.33) ∑∑ +=
tt
t
tt
t D++ =
−=
+0
10 )1()1(
)1(rr
r∞∞ GT
Pada kasus dimana perekonomian tumbuh, pajak menjadi salah satu sumber
penggerak perekonomian yang bersifat eksogen, dinyatakan:
Tt = T0(1+n)t (3.34)
dimana n adalah pertumbuhan ekonomi. Diasumsikan suku bunga r lebih tinggi
dibandingkan n (r>n), dan pertumbuhan ekonomi dipicu oleh pengeluaran
pemerintah yang tumbuh sebesar n.
Gt = G0(1+n)t (3.35)
Melalui persamaan (3.35), maka PV dari primary deficit adalah:
(3.36) nrrG TG
rT
ttt +
+=)
0 )1(t
−−=
−∑∞ 1( 00
79
Utang pemerintah dikatakan solvent, jika dan hanya jika:
(3.37) )(
001 nr
GTD−
≤−−
Maka primary surplus dari anggaran pemerintah akan sama dengan:
Tt-Gt ≥ (r-n)Dt-1 (3.38)
dan, Dt = (1+n)Dt-1 (3.39)
Persamaan (3.38) dan (3.39) memberikan implikasi:
(3.40) 0lim =⎟⎞=
nD 11lim)1( 0 ⎠⎜⎝⎛
++
∞→∞→ +t
tt
t
t rrD
Kondisi solvency tidak berarti bahwa utang harus distabilkan. Utang tumbuh secara
tak terhingga, tetapi utang seharusnya tumbuh tidak lebih cepat dari penerimaan
pajak. Dengan kata lain, rasio utang terhadap pajak seharusnya ada batas atasnya.
3.1.9. Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal antar tingkat pemerintahan menggambarkan hubungan
keuangan (financial relations) diantara berbagai tingkat pemerintahan, yang
meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan, pengeluaran,
pinjaman, subsidi, transfer dan hibah. Transfer fiskal antar tingkat pemerintahan
(intergovernmental fiscal transfers) terdiri atas hibah (grants), dan bagi hasil
(revenue-sharing) merupakan sumber penerimaan yang dominan bagi tingkat
pemerintah daerah di banyak negara sedang berkembang (Litvack, et.al., 1998
dalam Nanga, 2006). Tiga peran potensial dari hibah (grants) yaitu, (1) internalisasi
spillover benefits terhadap yurisdiksi lain, (2) pemerataan (equalization) fiskal antar
yurisdiksi, dan (3) meningkatkan/memperbaiki sistem pajak secara menyeluruh.
Hibah dapat dibedakan ke dalam dua bentuk utama (Oates, 1999), yaitu
hibah atau bantuan bersyarat (conditional grants) dan hibah tak bersyarat
80
(unconditional grants). Bantuan bersyarat atau bantuan khusus (specific grants)
adalah bantuan yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait di dalam bantuan
tersebut, dan diberikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam menambah
barang dan jasa publik tertentu. Dalam kasus bantuan khusus ini, pemerintah daerah
tidak memiliki kebebasan dalam pengalokasian dana karena penggunaan dana
tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Bantuan tak bersyarat atau bantuan blok (block grant) adalah jenis bantuan
yang tidak dikaitkan dengan program pengeluaran tertentu, dalam kasus Indonesia
diistilahkan dana alokasi umum (DAU). Ciri khusus yang menjadi kekuatan jenis
bantuan ini adalah dapat meningkatkan sumberdaya lokal dan sekaligus
mempertahankan pilihan fiskal yang ada dalam kewenangan pemerintah daerah.
Dalam kasus bantuan blok ini, pemerintah daerah memiliki keleluasan dalam
mengalokasikan dana yang diterima ke dalam berbagai kemungkinan pengeluaran
yang sesuai dengan pilihan dan kepentingan daerah yang bersangkutan.
Pengaruh atau dampak dari masing-masing bantuan tersebut dijelaskan pada
Gambar 5 dan 6. Dalam Gambar 5 dan 6 posisi pemerintah daerah sebelum ada
bantuan (grant) ditunjukkan titik E dan jumlah barang G dan H yang dikonsumsi
masing-masing adalah G1 dan H1. Apabila ada bantuan dari pemerintah pusat dalam
bentuk block grant, maka garis anggaran (budget line) dalam Gambar 5 akan
bergeser dari AB menjadi CD, posisi pemerintah Daerah sekarang berada di titik F
dan jumlah barang G dan H yang dikonsumsi menjadi G2 dan H2. Konsumsi
pemerintah daerah baik untuk barang G maupun H meningkat dan hal ini
menunjukkan pula bahwa kepuasan dari pemerintah bertambah karena berada pada
indifference curve yang lebih tinggi yaitu I2 dimana I2 > I1.
81
C I2
H2
H1
D B
A
Barang G
F E
0
I1
G2 G1
A I1 I2 H1 E F’
H2 D’ Barang G
Barang H Barang H
0 G1 G'2 B Sumber: Oates (1999) Gambar 5. Jalur Efek Block Grant Gambar 6. Jalur Efek Specific Grant
Sebaliknya, pemerintah pusat memberikan bantuan dalam bentuk spesifik
(specific grant), dampak yang ditimbulkan adalah penurunan harga (biaya produksi
barang G) dan budget line bergeser dari AB ke AD'. Posisi pemerintah daerah kini
berada di titik F' dan jumlah barang G yang dikonsumsi menjadi G2’. Berarti
bantuan spesifik meningkatkan produksi barang G. Bantuan spesifik juga
meningkatkan kepuasan pemerintah daerah karena sekarang berada di titik F' yang
terletak pada indifference curve I2 dimana I2 > I1. Dampak spesifik grant tidak
dapat diprediksi secara langsung karena tergantung pada bentuk indifference curve
maupun income dan price elasticity of demand dari kedua jenis barang tersebut.
Price effect dari subsidi atau bantuan cenderung menurunkan produksi barang H,
tetapi sebalikannya pada income effect. Dalam beberapa kasus seperti tampak dalam
Gambar 6, efek netto yang ditimbulkan oleh bantuan spesifik adalah penurunan
secara absolut di dalam produksi H.
82
Secara teoretis disimpulkan; block grant dampaknya terhadap produksi atau
konsumsi dapat diprediksi secara langsung, dan hanya menghasilkan income effect,
sedangkan specific grant tidak dapat menghasilkan income effect juga substitution
effect dan price effect.
3.2. Investasi
Insentif ekonomi atas keputusan investasi tergantung kepada tingkat
keuntungan yang diperoleh investor. Investasi netto (net investment) bergantung
kepada perbedaan antara produk marjinal modal dan biaya modal. Dengan
menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dijelaskan bagaimana
perekonomian aktual mengubah modal dan tenaga kerja menjadi barang dan jasa
(Mankiw, 2003). Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah:
Y = AKαL1-α (3.41)
dimana:
Y = output,
K = modal,
L = tenaga kerja,
A = parameter tingkat teknologi, dan
α = parameter yang mengukur bagian modal atas output (0<α<1).
Produk marjinal modal adalah:
MPK = αA(L/K)1-α (3.42)
Sewa riil (R/P) sama dengan produk marjinal modal dalam equilibrium dapat
ditulis:
R/P = αA(L/K)1-α (3.43)
83
Persamaan (3.43) mengidentifikasi variabel yang menentukan harga sewa riil
dimana, (1) semakin kecil persediaan modal, semakin tinggi harga sewa riil dari
modal, (2) semakin besar jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan, semakin tinggi
harga sewa riil dari modal, (3) semakin baik teknologi, semakin tinggi harga sewa
riil dari modal. Biaya modal (CK) untuk suatu periode adalah:
CK = iPK - ∆PK + δPK
= PK(i - ∆PK/PK + δ) (3.44)
dimana:
CK = biaya modal,
iPK = biaya bunga,
∆PK= keuntungan dari modal, dan
δPK = biaya penyusutan (δ adalah tingkat penyusutan).
Dengan memperhatikan inflasi, maka ∆PK/PK sama dengan tingkat inflasi
keseluruhan π. Karena i- π sama dengan tingkat bunga riil r, biaya modal dapat
ditulis: CK = PK(r + δ). Biaya modal riil (real cost of capital) yang diukur dalam
unit output perekonomian tergantung pada harga relatif barang modal (PK/P),
tingkat bunga riil r dan tingkat penyusutan δ ditulis:
CK = (PK/P)(r + δ) (3.45)
Tingkat keuntungan investasi (π) diperoleh dari selisih antara penerimaan riil (3.43)
dengan biaya riil (3.45). Dengan mensubstitusi persamaan (3.42) ke (3.43)
keuntungan investasi dapat dituliskan:
π = MPK - (PK/P)(r + δ) (3.46)
dimana MPK = marginal product of capital. Investor akan menambah investasi jika
produksi marjinal melebihi biaya modal, ditulis:
84
∆K = In [MPK-(PK/P)(r + δ]) (3.47)
Dimana In[ ] adalah fungsi yang menunjukkan berapa banyak investasi neto
merespon insentif untuk investasi. Dari persamaan (3.41) sampai dengan (3.47)
dapat membuat persamaan investasi:
I = In [MPK-(PK/P)(r + δ)]+ δK (3.48)
Investasi (bisnis) bergantung kepada produk marjinal modal, biaya modal, dan
jumlah penyusutan atau depresiasi.
Sumber pembiayaan investasi pertanian di Indonesia terdiri atas investasi
pemerintah, investasi swasta domestik (PMDN), investasi swasta asing (PMA) dan
investasi masyarakat (non-fasilitas). Investasi swasta asing merupakan sumber
pembiayaan investasi pembangunan di banyak negara berkembang sejak
berakhirnya Perang Dunia II. Hal ini terutama disebabkan karena pada negara-
negara berkembang seperti Indonesia, kemampuan menabung masih rendah
sehingga kemampuan investasi rendah.
3.3. Konsumsi
Konsumen bertindak rasional serta memiliki alternatif pilihan yang lengkap
dan konsisten tentang sederetan preferensi konsumsi. Pilihan preferensi dapat di
formulasikan dalam rangka maksimisasi utilitas yang dibatasi oleh kendala
pendapatannya atau income opportunity set, oleh karena itu terdapat masalah
pemilihan kombinasi atau bundel komoditi yang optimum di dalam opportinity
setnya (Pindyck and Rubinfeld, 1995).
Preferensi konsumen merupakan fungsi transformasi U (utility function),
yang mempunyai sifat-sifat: (1) merupakan fungsi terbatas, positif dan mempunyai
85
nilai riil, (2) fungsi U kontinyu, dimana terdapat consistency dan transitivity of
choice, (3) rata (smoothness), (4) monotonik, (5) fungsi transformasi U merupakan
fungsi yang konvek, (6) fungsi U dapat diturunkan dua kali, dan (7) fungsi U
merupakan fungsi tertutup (boundedness) (Koutsoyiannis, 1979).
Jika fungsi utilitas U = f(Qi) menggambarkan deretan preferensi konsumen,
yang digambarkan dalam sederetan vektor komoditi Qi dimana Qi = (Q1, Q2,...,Qn).
U = f(Qi) (3.49)
Maksimisasi utilitas konsumen dalam mengkonsumsi komoditi dibatasi oleh
kendala pendapatan tertentu (Y°), didefinisikan sebagai fungsi yang linear,
Y° = Pi.Qi (3.50)
dimana: Pi, elemen kolom dari vektor harga, maka maksimisasi utilitas dengan
kendala pendapatan tertentu adalah masalah mendapatkan vektor Q*(P,Y°) yang
optimal. Berdasarkan persamaan pengganda Lagrang (L), kondisi maksimisasi
utilitas konsumen dapat dirumuskan dengan memaksimumkan U sebagai berikut:
Max. L = U-λ(Y°-ΣPi.Qi) (3.51)
dimana:
Pi = harga komoditi Qi, Pi (P1, P2,....., Pn),
Qi = komoditi Qi (Q1,Q2......, Qn),
Y° = pendapatan konsumen untuk mengkonsumsi q1 dan q2, dan
λ = pengganda Lagrang.
Syarat perlu (first ordinary necessary condition) untuk maksimisasi utilitas
adalah turunan parsial terhadap Qi dan λ sama dengan nol, yaitu:
(3.52)
atauP 0=−= λQU
QL
iii
,δδ
δδ
PλQU
iiδ
δ=
86
(3.53)
Utilitas konsumen maksimum (keseimbangan konsumen) dicapai
berdasarkan persamaan (3.52) dan (3.53), yakni pada saat MRS (Marginal rate of
substitution) sama dengan rasio harga kedua komoditi tersebut (slope garis
anggarannya) seperti pada persamaan (3.54):
(3.54)
3.4. Kinerja Sektor Pertanian
3.4.1. Pertumbuhan Output
Pada perekonomian, pertumbuhan dapat dijelaskan melalui peubah antara
yaitu teknologi (ekspresi produktivitas dan efisiensi) dari penggunaan faktor
produksi (Syafa’at, et.al., 2005). Jika fungsi produksi agregat adalah,
Yt = F(Ct, Lt, At) (3.55)
maka laju pertumbuhan dapat ditulis sebagai berikut:
g = η(I/Y)t + γ(Å/A)t (3.56)
dimana:
Yt = output,
Ct = kapital,
Lt = tenaga kerja,
At = teknologi,
g = laju pertumbuhan,
I = investasi,
η, γ = elastisitas, dan
atauQP 0== ∑Y iioL ,.−
δλδ QPY i∑= i
o .
konstan==⎪⎪⎨ ⎞⎛
⎠− UUδ
δ
⎪⎪⎭
⎪⎬
⎫
⎪⎪⎩
⎪⎧
⎟⎟⎠
⎜⎜⎝
⎟⎟⎞
⎜⎜⎝
⎛
PP
Q
QU
Qi
Qn
n
i
δ
δ
87
t = waktu.
Pertumbuhan output/produk pertanian dapat dilihat dari relasi antara
pertumbuhan kontribusi PDB pertanian, dan laju pertumbuhan relatif produk neto
pertanian dengan non pertanian. Jika Pp = produk neto pertanian, PNp = produk neto
non pertanian, dan PN = total produk nasional atau PDB, maka relasi tersebut dapat
dijelaskan dengan rumus Kuznet (Ghatak and Ingersent, 1984):
PDB = PP + PNP (3.57)
dan, ∂PDB = (∂PP/ PP) PP + (∂PNP/ PNP) PNP
anggap rP = (∂PP/ PP), dan rNP = (∂PNP/ PNP), maka:
∂PDB = PP rP + PNP rNP (3.58)
PP rP = ∂PDB - PNP rNP (3.59)
dan, PP rP/∂PDB = 1 - PNP rNP/∂PDB (3.60)
Substitusi persamaan (3.58) ke bagian kanan persamaan (3.60):
= 1 – [PNP rNP/( PP rP + PNP rNP)]
= (PP rP + PNP rNP - PNP rNP)/( PP rP + PNP rNP)
= PP rP/( PP rP + PNP rNP)
= 1/( PP rP + PNP rNP)/ PP rP
= 1/( 1 + PNP rNP/ PP rP) (3.61)
Rumus Kuznets ini mengekspresikan suatu relasi terbalik antara
pertumbuhan pangsa PDB dari pertanian (Pprp/PDB) dan hasil dari rasio pangsa-
pangsa sektoral dari PDB (PNP/PP) serta rasio laju pertumbuhan output sektoral
(rNP/rP) seperti yang diberikan di persamaan (3.61). Selanjutnya, besarnya setiap
perubahan di dalam rasio produk non pertanian terhadap produk pertanian sebagian
ditentukan oleh perbedaan dalam laju pertumbuhan sektoral sehingga,
∆(PNP/ PP) = (P1NP/ P1
P) – (P0NP/ P0
P) (3.62)
88
dimana setiap variabel berhubungan dengan waktu.
PP
0NP(1 + r ) - PNP
0NP
= (3.63) P0
P(1 + rP) P0P
PP
0NP [(1 + r ) - (1 + r )] NP P
= (3.64) P0
P(1 + rP) P0
NP (rNP - rP) ∆(PNP/ PP) = (3.65) P0
P(1 + rP)
Ada dua deduksi utama dari persamaan (3.65). Pertama, besarnya
perubahan dalam pangsa sektoral tergantung pada: (1) rasio awal (P0NP/P0
p), (2) laju
pertumbuhan output pertanian (rp), dan perbedaan dalam laju pertumbuhan output
sektoral (rNP - rP). Dari persamaan (3.62) hingga (3.65), apabila yang lain-lainnya
tetap tidak berubah, ∆(PNP/PP) bisa besar atau kecil. Kedua, tanda (negatif atau
positif) dari perubahan di dalam pangsa sektoral tergantung dari perbedaan rNP - rP.
Jika rNP - rP > 0 menandakan kenaikan di dalam pangsa PDB dari non pertanian;
sedangkan rNP - rP < 0 menandakan suatu penurunan pangsa non pertanian.
Laju penurunan peran sektor pertanian dalam ekonomi cenderung
berasosiasi dengan kombinasi tiga hal, (1) pangsa PDB sektor non pertanian relatif
lebih tinggi daripada pangsa PDB pertanian, (2) laju pertumbuhan output pertanian
yang relatif rendah, dan (3) laju pertumbuhan output non pertanian yang relatif
tinggi (yang membuat suatu perbedaan positif yang besar antara pangsa PDB non
pertanian dengan pangsa PDB pertanian).
3.4.2. Penyerapan Tenaga Kerja
Konsep penyerapan tenaga kerja sektoral dapat didekati dengan teori alokasi
89
tenaga kerja dalam perekonomian. Di negara-negara berkembang umumnya
mengikuti teori ekonomi Neo Klasik, teori ekonomi Keynes dan teori ekonomi
Harris-Todaro (Todaro, 1994; Sipayung, 2000).
Teori alokasi tenaga kerja yang lebih relevan untuk menjelaskan fenomena
pasar tenga kerja di negara berkembangan, termasuk Indonesia adalah teori Harris-
Todaro (Model H-T). Asumsi model H-T: (1) pada sektor modern berlaku upah
minimum yang ditentukan secara kelembagaan, (2) pada sektor pertanian berlaku
fleksibilitas upah, dan (3) tenaga kerja yang tidak terserap pada sektor modern dan
tidak bersedia bekerja di sektor pertanian bermigrasi ke sektor informal dengan
pendapatan atau tingkat upah antara sektor pertanian dan sektor modern.
Dalam Model H-T, perekonomian dibagi atas tiga sektor (sebagai
penyederhanaan) yakni sektor pertanian, sektor modern dan sektor informal.
Sektor pertanian mempunyai fungsi produksi yang ditentukan oleh penggunaan
tenaga kerja dan kapital. Demikian juga sektor modern, produksi sektor modern
tergantung pada penggunaan tenaga kerja dan kapital. Mengikuti Model H-T, maka
ketiga sektor tersebut dicerminkan oleh fungsi:
YA = YA(LA, KA) (3.66)
YM = YM (LM, KM) (3.67)
WA =∂YA/∂LA (3.68)
WA =(LM/(LM+L,))WM (3.69)
WM = PA/PM(∂YM/∂LM) (3.70)
L = LA + LM + LI (3.71)
dimana:
YA = produksi sektor pertanian,
LA = tenaga kerja yang terserap pada sektor pertanian,
90
KA = kapital pada sektor pertanian,
WA = upah sektor pertanian,
YM = produksi sektor modern,
LM = tenaga kerja yang terserap pada sektor modern,
KM = kapital pada sektor modern,
WM = upah sektor modern,
LI = tenaga kerja pada sektor informal,
PA = harga produk sektor pertanian,
PM = harga produk sektor modern, dan
L = total angkatan kerja nasional.
Mengikuti Model H-T, keseimbangan alokasi tenaga kerja antar ketiga
sektor tersebut diperlihatkan pada Gambar 7. Menurut Harris-Todaro, bila upah di
sektor modern sebesar WM2, maka mengikuti kurva H-T, upah sektor pertanian
sebesar WA1. Dengan demikian jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor
pertanian sebesar ALA3; pada sektor modern sebesar MLM sedangkan pada sektor
informal sebesar LA3LM. Tenaga kerja yang masuk ke sektor informal ini
merupakan tenaga kerja yang tidak dapat masuk ke sektor modern dan tidak
bersedia bekerja di sektor pertanian.
Pada Gambar 7, WA3 = WM2 adalah upah keseimbangan Keynes. WA2 =
WM1 adalah upah keseimbangan Neo-Klasik. Kurva permintaan tenaga kerja
sektor pertanian (DA), kurva permintaan tenaga kerja sektor modern (DM). Kurva
Harris-Todaro untuk sektor informal (H-T) mengikuti persaman LM maka WM =
WA (LM + LA).
91
Upah Sektor Modern Upah Pertanian
WM2
WA1
WA2
WA3
WM1
T
H
DM DA
Sumber: Todaro (1994), Sipayung (2000)
M A LA2 LM LA3 LA1
Gambar 7. Alokasi Tenaga Kerja antar Sektor Model Harris-Todaro
Bila sektor modern dan sektor informal disebut sebagai sektor non
pertanian, perubahan jumlah tenaga kerja di sektor non pertanian menurut Harris-
Todaro dirumuskan sebagai berikut :
d(LM + LI) = M[LM/( LM + LI)]WM-WA (3.72)
dimana : M > 0
Persamaan (3.72) menjelaskan bahwa perbedaan upah antara sektor
pertanian dan sektor modern merupakan faktor penarik migrasi tenaga kerja dari
sektor pertanian ke sektor non pertanian. Migrasi tenaga kerja ini menyebabkan
perubahan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, sektor modern dan sektor
informal. Dengan melakukan defrensial total dari kombinasi persamaan (3.68) dan
(3.69), perubahan tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dijelaskan
sebagai berikut:
92
(1 + Ea. Sa / (1-Sa)) .LA = KA + Ea / (1-Sa) .L - Ea. (WM + LM) (3.73)
dimana:
Ea = elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap upah sektor pertani-
an; Ea > 0,
Sa = pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dari total angkat-
an kerja; 0 < Sa < 1,
LA = pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian,
KA = pertumbuhan kapital sektor pertanian,
L = pertumbuhan total angkatan kerja nasional,
WM = pertumbuhan upah sektor modern, dan
LM = pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sektor modern.
Persamaan (3.73) menjelaskan bahwa peningkatan kapital di sektor
pertanian dan pertumbuhan total angkatan kerja nasional akan meningkatkan jumlah
tenaga kerja di sektor pertanian. Selain itu, peningkatan kesempatan kerja di
sektor modern akan menurunkan tenaga kerja di sektor pertanian.
3.4.3. Perdagangan Internasional Komoditi Pertanian
Ekspor dan impor komoditi oleh suatu negara disebabkan adanya perbedaan
harga komoditi di pasar domestik dan dunia. Jika harga di pasar domestik lebih
rendah dibandingkan harga dunia akan terjadi ekspor, sebagai kelebihan penawaran
(excess supply), dan jika harga domestik lebih tinggi dibandingkan harga dunia akan
terjadi impor, sebagai kelebihan permintaan (excess demand).
Penawaran ekspor atau permintaan impor komoditi oleh suatu negara
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berpengaruh terhadap permintaan dan
93
penawaran komoditi di pasar domestik dan kebijakan perdagangan masing-masing
negara atau kelompok negara yang mempengaruhi ekspor dan impor komoditi di
pasar dunia (Darmansyah, 2003). Ekspor dan impor dapat dinyatakan dalam
persamaan identitas berikut (Labys, 1973):
Xt = Qt-Dt ± ∆Pt (3.74)
Mt =Dt-Qt ± ∆Pt (3.75)
dimana:
Xt = ekspor pada periode ke-t,
Mt = impor pada periode ke-t,
Qt = produksi domestik pada periode ke-t,
Dt = konsumsi domestik pada periode ke-t, dan
∆Pt = perubahan stok atau persediaan pada periode ke-t.
Nilai ∆Pt pada persamaan (3.74) menunjukkan besaran perubahan stok dari
negara pengekspor antara periode tahun t dengan tahun t-1, sedangkan nilai ∆Pt
pada persamaan (3.75) menunjukkan besaran perubahan stok dari negara pengimpor
antara periode tahun t dengan tahun t-1. Nilai ∆Pt pada persamaan (3.74) dan (3.75)
dapat bertanda positif atau negatif, dalam hal ini: (1) persamaan (3.74) bertanda
positif berarti produksi komoditi negara tersebut lebih tinggi dari pada tahun
sebelumnya atau surplus setelah kebutuhan konsumsi domestik dan ekspor
terpenuhi, dalam hal ini konsumsi domestik lebih diutamakan sedangkan ekspor
sebagai residu. Jika bertanda negatif berarti negara tersebut melakukan impor,
meskipun volumenya lebih kecil dibandingkan ekspor, dan (2) pada persamaan
(3.75) negara tersebut sebagai pengimpor komoditi, besaran persediaan yang positif
menunjukkan terdapat aktifitas penyimpanan untuk keperluan stabilisasi atau buffer
94
stock, sebaliknya bernilai negatif berarti terdapat aktivitas ekspor, meskipun dalam
volume yang lebih kecil dibandingkan volume impornya.
Adanya penyelundupan komoditi pertanian antar negara dan kegiatan
penimbunan komoditi pertanian oleh pedagang besar atau importir, besaran ∆Pt
didekati stok tercatat dan stok tak tercatat, sehingga persamaan impor (3.75) bisa di
ekspresikan sebagai:
Mt = Dt – Qt – STt-1 - STTt (3.76)
dimana:
Mt = jumlah ekspor atau impor komoditi pada periode ke-t,
STt-1 = jumlah stok resmi pemerintah (tercatat) pada periode ke-t-1, dan
STTt = jumlah stok tak tercatat pada periode ke-t.
Keseimbangan pasar komoditi domestik (market clearing), jika penawaran
sama dengan permintaan:
St = Dt (3.77)
Penawaran komoditi domestik sebagai penjumlahan produksi, impor dan
stok komoditi seperti pada persamaan (3.76) jika disubstitusikan ke persamaan
(3.77), diperoleh:
St =Qt +Mt +STt-1 + STTt (3.78)
dimana, St = penawaran komoditi pada periode ke-t
Nilai STTt pada persamaan (3.78) dapat bertanda positif atau negatif, jika STTt
bertanda positif berarti terdapat sejumlah komoditi tak tercatat atau diselundupkan
yang diperdagangkan di pasar domestik, dan sebaliknya jika bertanda negatif berarti
sejumlah tertentu komoditi yang diselundupkan keluar negeri atau ditimbun.
95
Fungsi ekspor, impor dan stok tak tercatat berdasarkan model penyesuaian
Nerlove juga dipengaruhi oleh lag variabelnya. Dengan demikian fungsi ekspor
impor dan stok komoditi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
penawaran dan permintaan komoditi domestik, pasar dunia, lag variabelnya, dan
faktor-faktor yang terkait dengan kebijakan perdagangan komoditi di pasar
domestik maupun dunia (Darmansyah, 2003). Persamaan tersebut dapat dituliskan
sebagai berikut:
Xit = f (PWit, ERI, Qit, Xit-1) (3.79)
Mit = f (PWit, ERI, Dit, Mit-1) (3.80)
STit = f (PWit, ERI, IRI, Qit, Dit, STit-1) (3.81)
dimana:
PWit = harga dunia komoditi i pada periode ke-t,
ERI = nilai tukar mata uang domestik terhadap asing (US$), dan
IRI = nilai suku bunga bank pada periode ke-t.
3.4.4. Kesejahteraan Petani
Kesejahteraan petani, diberbagai literatur diukur dengan Nilai Tukar Petani
(NTP) (terms of tade). Ukuran ini dapat mengetahui kemampuan tukar produk
yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani untuk berproduksi.
Terdapat dua kategori NTP yaitu, domestik dan internasional terms of trade (disebut
net-barter terms of trade) (Siregar, 2004). NTP dalam kategori domestic terms of
trade dapat dirumuskan:
NTP = (It/Ib).100 (3.82)
96
dimana: It : indeks harga yang diterima petani, dan Ib : indeks harga yang dibayar
petani. Apabila NTP > 100 berarti NTP pada periode tertentu lebih baik
dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar. Bila NTP=100 kondisinya sama
dengan tahun dasar, dan bila NTP < 100 maka NTP periode tersebut menurun
dibandingkan dengan tahun dasar. Formula untuk menghitung It, Ib dan NTP (BPS,
2004) adalah dengan Indeks Laspeyres yang dikembangkan (Modified Laspeyres
Indeces), yaitu:
In = (3.83) ∑
∑
=
=
−−m
i
m
QoiPoi
iQoinPnPPni
1
1
.
)1()1(i
dimana, In : Indeks harga bulan ke-n (It maupun Ib), Pni : harga bulan ke-n untuk
jenis barang ke-i, P(n-1)i: harga bulan ke-(n-1) untuk jenis barang ke-i, Pni/P(n-1)i:
relatif harga bulan ke-n untuk jenis barang ke-i, Poi : harga pada tahun dasar untuk
jenis barang ke-i, Qoi : kuantitas pada tahun dasar untuk jenis barang ke-i, dan m :
banyaknya jenis barang yang tercakup dalam paket komoditi.
Menurut Siregar (2004) pada perekonomian terbuka pendekatan NTP
(domestic terms of trade) memiliki keterbatasan, dan sebagian besar literatur telah
menggunakan konsep kedua yaitu net-barter terms of trade, yang juga disebut
comodity term of trade (NT) dirumuskan:
NT = (PX/PM) x 100% (3.84)
dimana, PX adalah indeks harga ekspor yang diterima oleh suatu negara dan PM
adalah indeks harga impor yang dibayar oleh suatu negara. Mengacu pada Siregar
(2004), NT dihitung untuk sektor pertanian.
97
3.5. Kinerja Agroindustri 3.5.1. Nilai Tambah Unit Input dan Output
Tambunan dan Ubaidillah (2004) mengemukakan bahwa sumbangan nilai
tambah dapat digunakan sebagai petunjuk yang baik untuk melihat efek empirik
ekonomi global. Hipotesis kerjanya adalah apabila terjadi kenaikan sumbangan nilai
tambah dalam pertumbuhan ekonomi dapat digunakan sebagai gambaran bagaimana
pasar global secara sistematis atau acak mempengaruhi kinerja suatu sektor di
berbagai sektor ekonomi.
Menurut Wainai (1984), Shimizu and Wainai (1991), dan Direktorat Bina
Produksi (2003) penghitungan nilai tambah dengan direct growth accounting
method yang disebut Produktivity Total Factor (PTF) dianggap yang sesuai dan
terbaik untuk negara yang sedang berkembang yang langka data. Metode ini secara
resmi dipilih dan dipakai oleh Asian Productivity Organization (APO) Tokyo,
untuk perhitungan PTF negara-negara anggotanya.
Jika pertumbuhan sebagai akumulasi nilai tambah dalam perekonomian
(productivity-driven growth) antar waktu maka peningkatan produktivitas (efisiensi)
faktor produksi menjadi penting sebagai pencerminan progres (T). Menggunakan
fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dijelaskan:
Yt = T F(Kt,Lt) (3.85)
dimana: T progres teknologi. Dalam bentuk linear logaritmik ditulis:
ln Yt = lnTt + αlnKt + βLt (3.86)
Dengan asumsi skala hasil yang konstan, maka α+β = 1 sehingga α=1-β. Persamaan
(3.86) dapat ditulis:
ln Yt = lnTt + (1-β) lnKt + βLt
98
= lnTt + lnKt + β(Lt - lnKt)
ln Yt - lnKt = lnTt + β(Lt - lnKt)
ln (Yt / lnKt) = lnTt + β(Lt - lnKt)
Yt /Kt = Tt(Lt /Kt) β (3.87)
Dari persamaan (3.87) dapat diketahui Yt /Kt adalah nilai tambah output sebagai
akibat penggunaan input. Koefisien β dan (1-β) menunjukkan alokator nilai tambah
input (kapital dan tenaga kerja) (Tambunan, 2003a).
3.5.2. Daya Saing Agroindustri
Dalam analisis daya saing, metode yang sering digunakan dalam berbagai
literatur adalah Revealed Comparative Advantage (RCA), Revealed Trade
Advantage (RTA), dan Acceleration Ratio (AR). Untuk mengetahui posisi daya
saing komoditi ekspor agroindustri Indonesia dalam penelitian ini, hanya akan
digunakan indeks RCA. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa komoditi
ekspor agroindustri yang diamati merupakan komoditi unggulan ekspor, nilai
impornya relatif kecil sehingga tidak diamati (Herjanto, 2003 dan Joewono, 2008).
Sementara metode RTA maupun AR memerlukan data, baik ekspor maupun impor
dari suatu komoditi, sehingga tidak sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini.
Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) adalah suatu indeks yang
umum digunakan untuk menunjukkan posisi relatif keunggulan komparatif suatu
produk ekspor terhadap kinerja ekspor menyeluruh. Indeks RCA didefinisikan
sebagai rasio pangsa pasar produk tertentu suatu negara terhadap pangsa pasar
dunia dari produk yang sama (Lall and Rao, 1995) dirumuskan:
(Xa / TX) RCA = —————— (3.88)
(XWa/TXW)
99
di mana:
Xa = nilai ekspor komoditi a suatu negara,
TX = total ekspor negara yang bersangkutan,
XWa = ekspor dunia komoditi a, dan
TXW = total ekspor dunia.
Nilai Indeks RCA di bawah satu menunjukkan relatif disadvantage dalam
mengekspor produk itu, sedangkan di atas satu menunjukkan relatif advantage.
RCA dapat dirinci lagi dalam empat jenis. Emerging Comparative Advantage,
mengindikasikan produk selama kurun waktu tersebut memiliki peningkatan RCA
dari di bawah satu menjadi lebih dari satu. Continuing Comparative Advantage
adalah kelompok produk yang mempertahankan RCA yang tinggi (di atas satu),
artinya pola keunggulan komparatifnya tidak terlalu dinamis. Continuing
Comparative Disadvantage mengindikasikan produk yang memiliki RCA di bawah
satu. Declining Comparative Advantage menunjukkan produk yang RCA-nya dari
atas satu turun menjadi di bawah satu. Negara dengan RCA komoditi low skill
exports lebih tinggi daripada high skill exports, dimana RCA high skill exports lebih
kecil dari satu menunjukkan bahwa negara tersebut tidak memiliki keunggulan
relatif dalam mengekspor produk yang skill intensif.
3.6. Analisis Deret Waktu
3.6.1. Metode Vector Autoregresive dan Vector Error Correction Model
Metode VAR merupakan salah satu bentuk model makro-ekonometrika
yang sering digunakan untuk melihat permasalahan makroekonomi yang fluktuatif.
100
Model terakhir yang telah banyak dikembangkan adalah model VAR dan Structural
Vector Autoregresive (SVAR). Pendekatan ini mampu mengatasi kritik Lucas yang
ditujukan pada analisis kebijakan untuk model makroekonomi dinamik dan
stokastik.
Kritik Lucas adalah, pada model makro ekonomi tradisional menganggap
model yang diestimasi pada keadaan tertentu dapat digunakan untuk peramalan
pada kondisi rezim kebijakan yang berbeda (Thomas, 1997; Verbeek, 2000). Hal ini
menunjukkan bahwa parameter yang diestimasi tidak berubah pada kebijakan
dimanapun perekonomian berada sehingga model ekonomi secara logik menjadi
tidak valid dan menghasilkan kesimpulan yang spurious. Dilain pihak VAR tidak
hanya menghasilkan rekomendasi berdasarkan keluaran modelnya dalam merespon
adanya suatu guncangan dalam perekonomi tetapi membiarkan hal ini bekerja
melalui model teoretik dan dapat melihat respon jangka panjang berdasarkan data
historisnya (Irawan, 2005).
Vector Autoregresive (VAR) adalah sistem persamaan yang memperlihatkan
setiap variabel sebagai fungsi linear dari konstanta, nilai lag (lampau) dari variabel
tersebut dan nilai lag dari variabel lain yang ada dalam sistem. Dalam sistem VAR
hanya terdapat variabel endogen. Hal ini mengakomodasi kritik Sims, dimana
adanya variabel eksogen dalam suatu model menunjukkan kebijakan yang tidak lagi
forward looking. Sebab, pembuat kebijakan dapat membuat keputusan rasional
berdasarkan pengalaman sebelumnya dan keputusan yang diambil akan berbeda
untuk setiap rezim yang berbeda. VAR membutuhkan identifikasi restriksi yang
sangat ketat untuk mencapai persamaan melalui interpretasi persamaan. Restriksi-
101
restriski persamaan dilakukan dalam struktural VAR apabila diperlukan dan
didasarkan pada teori ekonomi yang relevan.
Dalam kasus dua variabel, misalkan suatu seri {yt} dipengaruhi oleh
realisasinya pada saat ini dan masa yang lalu (lag) dari seri {yt}, dan {zt}
dipengaruhi oleh realisasi saat ini dan yang lalu dari seri {zt}. Hubungan tersebut
diilustrasikan dalam sistem bivarian sederhana, yang disebut struktural-VAR (S-
VAR) atau sistem primitif sebagai berikut (Enders, 2004):
yt = b10 – b12zt +γ11 yt-i + γ12 zt-i + εyt (3.89)
zt = b20 – b21zt + γ21 yt-i + γ22 zt-i + εzt (3.90)
Diasumsikan bahwa: (1) yt dan zt, stasioner, (2) εyt dan εzt adalah white noise
disturbance dengan standar deviasi σy dan σz, (3) {εyt} dan { εzt } white noise
disturbance yang tidak berkorelasi. Persamaan (3.89) dan (3.90) adalah VAR
tingkat satu, karena lag terpanjangnya adalah satu.
Struktur dari sistem ini memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik
antara yt dan zt. Misalkan –b12 adalah dampak sementara (contemporaneus effect)
dari perubahan satu unit zt terhadap yt , dan γ21 adalah perubahan satu unit yt-1
terhadap zt. Faktor εyt dan εzt murni merupakan inovasi (shock) pada yt , dan zt.
Dengan menggunakan aljabar matrik, sistem persamaan (3.89) dan (3.90)
dapat dituliskan sebagai berikut:
(3.91)
Bxt = Г0 + Г1xt-1 + εt (3.92)
dimana:
, , , , dan .
⎥⎢⎣⎢⎣⎦⎥⎦⎢⎣ εγγ
⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎡
+⎥⎥⎦
⎤⎢⎡
=⎥⎥⎤
⎢⎢⎣
⎡
⎥⎥⎤
⎢−
− εγ γ⎢⎡
zt22211yt
t
t
t
t
zy
bb
zy
bb
1
11211
20
10
21
121
⎤⎢⎡1
21
12
bb ⎤⎡
zy
t
t1
⎡
bb
20
100
⎥
⎦
⎤⎢⎡
⎥⎥⎦⎢
⎢⎣
=1
B⎥⎦⎢
⎢⎣
=x⎢⎢⎣
=Γ ⎥⎢⎢⎣
=Γ γγ⎥ ⎥
⎥⎥⎦
⎤
⎥
γγ
2221⎥⎢⎣ε
1211
1⎢⎡
=ε
⎥⎦
⎤ε
ztt
yt
102
Dengan menggunakan pengali B-1 persamaan (3.92) diubah menjadi model VAR
sebagai berikut:
xt = A0 + A1xt-1 + et (3.93)
dimana: A0 = B-1Г0 , A1 = B-1Г1 , dan et = B-1 εt .
Jika notasi a10 didefisikan sebagai elemen i dari vektor A0, aij sebagai elemen pada
baris i dan kolom j dari matriks A1 , dan eit sebagai elemen i dari vektor et. Dengan
menggunakan notasi baru ini, persamaan (3.93) disebut VAR bentuk standar,
sehingga:
yt = a10 + a11yt-1 + a12zt-1 + e1t (3.94)
zt = a20 + a21yt-1 + a22zt-1 + e2t (3.95)
Error terms (e 1t dan e2t) adalah gabungan dari dua shock εyt dan εzt yang dihitung
sebagai berikut:
e1t = (εyt +b12 εzt)/(1- b12b21) (3.96)
e2t = (εzt – b21 εyt)/(1- b12b21) (3.97)
VAR dengan ordo p dan n buah variabel tak bebas pada waktu ke-t dapat
dimodelkan sebagai berikut (Thomas, 1997):
yt = ao + a1yt-1 +a2yt-2 ......+ apyt-p + εt (3.98)
dimana:
yt = vektor variabel tak bebas (y1-t, y2-t, yn-t),
ao = vektor intersep berukuran n x 1,
a1 = matrik parameter berukuran n x 1, dan
εt = vektor sisaan (εt1-t, εt2-t, εtn-t) berukuran n x 1.
103
Pendekatan untuk mengatasi persamaan regresi yang spurious adalah
dengan menarik diferensiasi atas variabel endogen dan eksogennya, sehingga
diperoleh variabel yang stasioner dengan pendiferensialan I(n). Kestasioneran data
melalui pendiferensialan ternyata belum cukup, hal ini mengindikasikan model
VAR biasa tidak dapat digunakan secara langsung karena mempertimbangkan
tercakup ada tidaknya informasi jangka panjang dan jangka pendek dalam model.
Ada dua pilihan yang dapat dilakukan yaitu, model VAR dengan pendiferensialan
untuk data yang tidak terkointegrasi. Jika pilihan ini dilakukan, maka informasi
jangka panjang hilang karena hanya menerangkan hubungan jangka pendek.
Hubungan antara variabel in level menjadi hilang karena berdasarkan parameter
yang tidak terkointegrasi. Pendekatan alternatif untuk mengatasi hal ini adalah
pilihan kedua yaitu Error Correction Model (ECM) jika persamaan tunggal atau
Vector Error Correction Model (VECM) jika persamaan non tunggal.
Derivasi vector error correction (VEC) didasarkan pada teorema Johansen.
Misalkan {Z} adalah tingkat derajat VAR ke-p dan Zt ={Y:X), dimana Y adalah
vektor variabel endogen dan X adalah vektor variabel eksogen; dapat dinyatakan
sebagai berikut:
(3.99) ε
p+++= Ψ∑ Π ttyt
dimana: i
it aWZZ −=
011
Π = matrik keseimbangan jangka pendek,
Ψ = matrik keseimbagan jangka panjang,
Wt = vektor variabel-variabel stationer,
α0 = vektor intersep, dan
εt = vektor gaussian error term (white noice).
104
Satu vektor time series Zt dalam first difference (∆Zt), mempunyai representasi
error correction jika ia diekspresikan sebagai berikut:
(3.100) typttit aZZZ ++++= ΨΠΔ∑ ΓΔ
dimana:
, (i = 1,2,…, p-1) , , , dan .
p
iW−−
−
=01
1
1
Π∏Ι−Γ +++=i ...1
⎦⎢⎣aa
x
y
0
00
⎢⎣ε
ε t
i
βα '
1 )...( =−−−−= ΠΠΙΠ p
Ada dua cara untuk mengestimasi persamaan regresi (3.100). Pertama, Johansen
memberikan prosedur unified maximum likelihood yang mana α dan β diperoleh
dari dekomposisi matrik П. Kedua, Engle and Granger (1987) mengajukan dua
langkah estimasi menggunakan regresi kointegrasi sehingga β'Zt-1, residual estimasi
(estimated residual) di masukkan (be imposed) pada persamaan regresi di atas.
3.6.2. Kointegrasi
Kointegrasi adalah hubungan jangka panjang antara dua atau lebih variabel
(k) yang secara individu non-stasioner, namun deviasi dari variabel secara
keseluruhan bersifat stasioner. Bentuk umum dari persamaan kointegrasi:
(3.101)
dimana:
∆xt = vektor time series x (xt – xt-1),
k-1 = Ordo VECM dari VAR,
Гi = matrik koefisien regresi,
μo = vektor intersep,
μ1 = vektor koefisien regresi,
⎥⎥⎤
⎢⎡
=a⎤
⎢⎡
=⎥⎥⎦
εε yt ⎥⎢=xt
t ⎦
⎤
⎢⎣
⎡
⎥ΠΠ ⎢=0
y
⎣
⎡
Γ ⎥⎥⎦
⎤
⎢
ΓΓ
xi
yii
tk
ii t ++ −−
−
=Γ 11
1
1exit ++= Δ∑Δ '
0 αβμμxx tt
105
α = matrik loading,
β’ = vektor kointegrasi,
et = error term,
xt = variabel in level, dan
t = waktu.
Pengujian pada model VEC dilakukan melalui prosedur dua tahap dengan
menggunakan pendekatan Engel-Granger, yang meliputi: (1) pembentukan residual
dari persamaan jangka panjang pada variabel-variabel non-stasioner, (2) uji
stasionaritas dari residual. Apabila hasil pengujian menunjukkan bahwa residual
bersifat stasioner, dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel yang diuji
berkointegrasi. Pengujian kointegrasi dimaksudkan untuk menentukan jumlah
hubungan kointegrasi dalam sistem, melalui dua tes statistik sebagai berikut
(Enders, 2004):
(3.102) )λλ −= ∑ 1(ln1
(3.103)
i
k
riTtrace −
+=
1)1ln(max λλ +
−r
T−= dimana:
λ = nilai estimasi dari akar karakteristik (eigenvalue),
T = jumlah observasi.
3.6.3. Restriksi Jangka Panjang pada Sistem Kointegrasi
Restriksi dilakukan untuk identifikasi dan mengakomodasi teori ekonomi ke
dalam model. Langkah untuk mewujudkan variabel stasioner dengan didiferensiasi
satu kali untuk menjadi stasioner. Konsekuensi dari langkah ini adalah hilangnya
keterpengaruhan jangka panjang, sehingga kointegrasi menjadi isue penting. Pada
106
vektor (nx1) dari variabel yt dengan I(d) given, dikatakan variabel terkointegrasi
dengan ordo (d-1) dan rank r<n. Jika peringkat penuh (full rank), maka (nxr)β
disebut matrik kointegrasi, yaitu zt = β’y, adalah I(d-1). Hubungan itu terdapat r
kombinasi linear dari elemen yt, yang nenunjukkan variabel dengan ordo integrasi
yang lebih rendah. Kombinasi linear menunjukkan adanya keseimbangan jangka
panjang antara variabel non-stasioner.
Jika terdapat hubungan jangka panjang dalam matrik kointegrasi variabel,
restriksi jangka panjang pada θ(1) dapat diterapkan. Pada identifikasi sistem
segitiga, secara teoretis bukan merupakan sistem struktural. Penilaian teoretik yang
relevan menyatakan bahwa restriksi ini akan menghasilkan estimasi (Dhrymes and
Thomakos, 1997 dalam Supriana, 2003).
Penerapan restriksi jangka panjang dalam matrik kointegrasi dalam sistem
reduced form Var (k) mengandung komponen deterministik:
yt = yt +μ0 + μ1t + Ψdt + θwt + et (3.104) ∑i 1=
∏k
dimana μ0 merupakan vektor intersep, t trend linear, dt vektor variabel dummy
musiman, wt vektor variabel dummy intervensi, dan e,~(0,∑).
Persamaan (3.104) disebut juga Vector Error Correction (VEC) atau
cointegrated VAR, bisa dinyatakan:
∆yt = Γi ∆yt-1+μ0 + μ1t +Ψdt + θwt +αβ’yt-1 +et (3.105)
dimana, α adalah matrik loading, αβ’ ≡ Π dimana sistem dalam kondisi yt ~I(1) dan
βyt = zt ~I(0). Parameter Γi dan Π diperoleh dari Πi dalam (3.104) dengan relasi :
Γi = - m untuk i=1,...,k-1 (3.106)
Π = -In + (3.107)
i
1
∑−
=
1
1
k
i
∑+=∏
k
imi
1
∑ i=
∏k
i
Dengan asumsi, akar persamaan determinan dari:
107
( ) 01
1
1=Π−−⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛ k
Γ−∑−
=
LLLIi
iin
sehingga yt stasioner jika rank (Π) = n, terkointegrasi jika rank (Π)<n dan jika rank
(Π)≤n. Ordo integrasi yt tergantung pada :
S = rank(α┴Γβ┴), dan Γ = -In + Γi= -In - (i-1)Πi ∑ ∑=
k
i 2
−
=
1
1
k
i
dimana, α┴ dan β┴, merupakan matrik nx(n-r), orthogonal terhadap α dan β. Kondisi
yt mencapai I(1), jika s=n-r, dan yt akan I(d) pada d≥2 jika terjadi s<n-r. Kondisi
r<n, artinya terdapat kointegrasi, intersep akan meningkat ke arah trend linear
dalam komponen I(1) dari sistem VEC, kecuali jika intersep terestriksi tetap pada
Sp(α), yaitu ketika :
μ0 = αb0 (3.108)
dimana, b0 adalah vektor dengan dimensi r. Trend linear tidak akan meningkat
menjadi trend kuadratik jika direstriksi oleh Sp(α ), yaitu ketika:
μ1 = αb1 (3.109)
dimana, b1 adalah vektor dengan dimensi r. Kombinasi komponen deterministik ini
dan implikasinya dijelaskan pada Tabel 11.
Untuk menyatukan komponen deterministik atau disebut juga trend polynomial dan
rank kointegrasi seperti yang disarankan oleh Johansen (1988), dapat diuji dengan
menggunakan uji statistik Trace :
Qr = -T log(1- ) untuk r=0,..., rmax-1 (3.110) ∑
+=
max
1
r
riλ̂ j
dimana, λi adalah eigen value terbesar ke-i. Uji statistik, Ho: rank(Π)=r, dan Ha:
rank(Π)=n. Hi(r) sebagai rank kointegrasi r pada model ke-i dan ci(r) adalah a%
108
sebagai kuantil dari distribusi asimptot (asymptotetic distribution) dari statistik
Trace Q,(r).
Tabel 11. Komponen Deterministik VEC dalam Sistem Variabel VARI(1)
μ0 μ1 Uraian 0
0
Mean = 0 dalam komponen I(0), Mean ≠ 0 dalam komponen I(1)
αβ0 0 Mean ≠ 0 dalam komponen I(0) dan I(1) Tidak direstriksi
0
Mean ≠ 0 dalam komponen I(0), Trend linear dalam komponen I(1)
Tidak direstriksi αβ1 Trend linear dalam komponen I(0) dan I(1) Tidak direstriksi
Tidak direstriksi
Trend linear dalam komponen I(0), Trend kuadratik dalam komponen I(1)
Sumber: Siregar (2001)
Siregar (2002) menggunakan metode lain (hanya intersep dan trend yang
digunakan sebagai komponen deterministik) sebagai berikut:
∆yt = Γi ∆yt-1+α + α┴μ0* + α┴μ1
* t +et (3.111) yt
~1
10⎟⎟⎟
⎜⎜⎜μ
dimana, μ0 = α┴μ01 + α┴μ0
2, μ1 = α┴μ11 + α┴μ1
2, dan yt-1’=( yt-1
’, 1, t)
11
−
⎠
⎞
⎝
⎛
μ
β
μ0*
= (α’┴ α┴)-1 α’
┴μ0 merupakan vektor berdimensi (n-r), slope trend linear dalam
data. Sedangkan μ0*
= (α’┴ α┴)-1 α’
┴ μ1 vektor berdimensi (n-r), koefisien trend
kuadratik dalam data. Distribusi yang bersifat asimptot dalam uji Likelihood-Ratio
untuk r seperti pada (3.109) tergantung pada intervensi variabel dummy yang ada
dalam sistem.
3.7. Kerangka Pemikiran Penelitian
Deduksi dari uraian tinjauan pustaka dan kerangka teori adalah kerangka
pemikiran untuk mencapai tujuan penelitian berdasarkan variabel terpilih. Bagan
alur pemikiran dalam diagram keterkaitan, disajikan pada Gambar 8.
109
Penerimaan Pengeluaran
Defisit Seimbang Surplus
PPh
PPn
Uta
ng
Perta
nian
R&
DA
Infr
a st
uktu
r
Des
en
tralis
asi
Fisk
al
PERUBAHAN KEBIJAKAN FISKAL SANGAT DINAMIS PERIODE 1970-2005
KINERJA SEKTOR PERTANIAN
GDP A
Sera pan TK
Kesejah teraan Petani
Ekspor Impor
Kes
eim
bang
an
Ekst
erna
l
Subs
idi
Konsumsi Investasi
Nilai Tambah Nilai Tambah Input Output
Daya Saing
KINERJA AGROINDUSTRI
Kes
eim
bang
an
Inte
rnal
KEBIJAKAN FISKAL
Keterangan: = variabel yang diteliti, = aspek penelitian, = hubungan penjelas dan keterkaitan,
= keterkaitan timbal balik antara aspek penelitian, dan = lingkungan yang mempengaruhi variabel.
Gambar 8. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian Berdasar Variabel Terpilih
110
a. Relasi Fakta dan Teori
Secara teori (keynesian), kebijakan fiskal mempunyai transmisi lebih cepat
mempengaruhi sektor riil termasuk kinerja pertanian dan agroindustri. Faktanya
bahwa: (1) selama termin waktu tahun 1970 sampai dengan 2005 telah terjadi
mainstream kebijakan fiskal yang dinamis lebih-lebih dipicu oleh pergantian regim
pemerintahan yang telah berlangsung dengan pergantain Presiden sebanyak 5 (lima)
kali. Dinamika fiskal selama periode tersebut menurut Hill (2000) meliputi:
periode sustainable growth (1971-1981), periode penyesuaian harga minyak bumi
(1982-1986), periode liberalisasi dan pemulihan (1987-1997), periode krisis
ekonomi (1991-1999), dan periode pemulihan krisis dan kepercayaan (2000-2005).
Dari aspek kinerja pertanian menurut Fuglie, (2004) meliputi periode sustained
rapid growth dan green revolution (1968-92) dengan pertumbuhan rata-rata tahunan
4%, dan periode intensive shocks especialy macroeconomic shocks (1993-2005)
dengan pertumbuhan rata-rata output tahunan hanya 1%.
Keseimbangan ekonomi model Mundell-Fleming (MF) dihasilkan dari
perekonomian domestik dan dari luar negeri. Identitas keseimbangan tersebut
dijelaskan dengan memasukkan komponen eksternal (net ekspor) untuk mengetahui
hubungan dengan lingkungan rest of the world (ROW). Fiskal (G) bersama-sama
dengan investasi (I), konsumsi (C) dan net ekspor (NX) mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi (Y) disamping pengaruh dari perekonomian domestik
lainnya dan perekonomian rest of the world (ROW). Secara sektoral, akumulasi
relasi fiskal, investasi, konsumsi, dan net ekspor diperkirakan memunculkan kondisi
kinerja sektor pertanian telah menurun tidak wajar, dan agroindustri tidak
berkembang.
111
b. Kebijakan Fiskal, Investasi, dan Konsumsi
Dari tinjauan pustaka (bagian 2.7.4) dan kerangka teori, determinan fiskal
yang paling dominan mempengaruhi indikator kinerja utama sektoral pertanian
dalam kasus Indonesia adalah: penerimaan pemerintah ((1) pajak PPh, (2) pajak
PPn, (3) utang pemerintah); pengeluaran pemerintah ((4) sektor pertanian, (5)
subsidi pertanian, (6) penelitian pengembangan sektor pertanian, (7) infrastruktur
pertanian); keseimbangan fiskal ((8) defisit anggaran); dan (9) desentralisasi fiskal.
Investasi dan konsumsi adalah komplemen yang diperhitungkan untuk menghindari
undervalue atas pengaruh fiskal. Pengaruh kebijakan fiskal yang diekspresikan oleh
instrumen kebijakan tersebut menggunakan kerangka kerja Keynesian dengan
asumsi perekonomian Indonesia sebagai negara kecil terbuka (small open-economy
country) dan digunakan kerangka model ekonomi Mundell-Fleming sehingga
memperhatikan lingkungan keseimbangan internal dan eksternal.
c. Kinerja Sektor Pertanian
Pada penelitian ini pengukuran kinerja sektor petanian merupakan
pengembangan penelitian sebelumnya dalam hubungan dengan kebijakan fiskal
meliputi variabel yang lebih luas yaitu: (1) pertumbuhaan output, (2) penyerapan
tenaga kerja, perdagangan ((3) ekspor, dan (4) impor), (5) kesejahteraan petani
(dinyatakan dalam net-barter terms of trade).
d. Kinerja Agroindustri
Kebanyakan penelitian agroindustri hanya meliputi aktivitas suatu komoditi
tertentu. Dalam penelitian ini kinerja agroindustri dianalisis dalam cakupan agregat
dengan melakukan pengukuran kinerja yaitu: (1) nilai tambah input, (2) nilai
tambah output, dan (3) daya saing.
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Kerangka Analisis
4.1.1. Pilihan Alat Analisis
Penelitian ini menganalisis fenomena akonomi makro jangka panjang
(dinamik) dengan variabel endogen non-stasioner. Data deret waktu dengan lag
variabel stokastik untuk menyusun model multivariat. Variabel endogen tersebut
menjadi variabel instrumen kebijakan fiskal pada shock internal maupun eksternal
sehingga terjadi pergerakan keseimbangan intertemporal pada perekonomian
Indonesia yang menganut rezim ekonomi terbuka (small open economy) dalam hal
ini dianalisis khusus pada ekonomi sektor pertanian dan agroindustri.
Pada analisis model multivariat deret waktu, ada empat pendekatan yaitu
Cowles Commision (CC), the London School of Economics (LSE), Vector
Autoregresive (VAR), dan GMM-Calibration Methods (GMM-CM). Sampai tahun
1970an metode yang paling banyak digunakan dalam studi empirik ekonometrik
untuk menguji dinamika ekonomi makro adalah CC. Pendekatan CC dicirikan oleh
model struktural persamaan simultan, dengan jumlah persamaan yang besar
(Siregar, 2001). Dalam pendekatan ini variabel yang dikontrol oleh pemerintah
diperlakukan sebagai variabel eksogen. Setelah tahun 1980an dikembangkan LSE.
Namun fakta menunjukkan bahwa apa yang dihasilkan pendekatan ini tidak
terdukung secara empirik terutama dalam hal peramalan. Banyak hubungan
ekonomi makro yang dihasilkan oleh model yang menggunakan pendekatan CC dan
LSE gagal dalam aplikasinya. Hal ini membuat peneliti ekonomi makro yakin
dibutuhkan strategi model yang dapat mengakomodir kegagalan ini. Hal ini
113
menyebabkan dibutuhkan pendekatan lain yang lebih baik untuk model dinamik.
Kelemahan pendekatan CC dan LSE ini adalah cenderung mengabaikan uji
diagnostik pada reduced form-nya (Amisano and Giannini, 1997).
Pendekatan GMM-CM walaupun menerapkan uji statistik (diagnostik) yang
komprehensif terhadap reduced form-nya, tidak berbeda dengan pendekatan CC
dalam hal simulasi dan evaluasi kebijakan. Koefisien regresi dalam model ini
merupakan campuran dari deep parameters dan expectational parameters.
Campuran kedua parameter ini menyebabkan ketidakstabilan jika diterapkan pada
keadaan yang berbeda. Konsekuensi dari ketidakstabilan ini menyebabkan model
ini tidak dapat digunakan untuk simulasi kebijakan (Supriana, 2004).
Model yang terakhir banyak dikembangkan adalah vector autoregresive
(VAR dan Structural-VAR) (sebagaimana diuraikan pada bagian 3.6.1). Pandekatan
ini dapat mengatasi kritik Lucas (Lucas critique) sebagaimana dijelaskan pada
bagian 3.6. Kritik Lucas ditujukan untuk analisis kebijakan pada model-model
ekonomi makro dinamik dan stokastik dengan menggunakan pendekatan klasik
(Thomas, 1997). Pendekatan VAR dengan general to specific (G-S), menghasilkan
rekomendasi dalam morespon guncangan ekonomi makro melalui model teoretik.
Untuk dapat diuji dan diinterpretasikan secara ekonomi sehingga diperoleh
model hubungan jangka panjang yang memberi pemaknaan ekonomi maka
dilakukan restriksi berdasarkan teori ekonomi (mengimpose over identifying
restriction) (Verbeek, 2000) (dijelaskan pada bagian 3.6.2) dalam bentuk error
correction (EC) atau vector error correction model (VECM) sebagaimana diuraikan
pada bagian 3.6.3. Restriksi dibuat secara eksplisit dalam bentuk matrik kointegrasi.
114
Dari uraian di atas; maka metode VAR/VECM dipilih dalam penelitian ini
(sebagaimana diuraikan pada bagian 1.4, 2.7.5, dan 3.6.1) dengan alasan: pertama,
dari sifat dasar (nature) data, penelitian ini menggunakan data deret waktu dengan
variabel non-stasioner (nilai rata-rata [mean] dan varian selalu berubah sepanjang
waktu). Pada metode VAR telah dilakukan prakondisi awal dengan pengujian
pendahuluan yang ketat menyangkut uji akar unit (unit root) dan kointegrasi untuk
melihat apakah variabel yang digunakan dalam sistem persamaan stasioner atau
non-stasioner. Ini penting, karena pada metode konvensional mengsumsikan bahwa
nilai rata-rata (mean) dan varian dari variabel-variabel konstan dan independen
terhadap waktu (Thomas, 1997). Jika fenomena data time series pada
makroekonomi digunakan asumsi seperti pada metode konvensional di atas, maka
akan tidak berhasil menuju (konvergen) nilai yang sebenarnya dengan semakin
meningkatnya ukuran sampel. Sehingga menggunakan data yang non-stasioner
secara langsung ke dalam model bisa menghasilkan estimasi yang spurious.
Kedua, nature permasalahan kebijakan fiskal dan keseimbangan ekonomi
pada sektor pertanian dan agroindustri adalah dinamik dan stokastik antar waktu.
Model makro ekonomi klasik yang menganggap bahwa model yang diestimasi pada
keadaan tertentu dapat digunakan untuk peramalan pada kondisi rezim kebijakan
yang berbeda maka parameter yang diestimasi tidak berubah pada kebijakan
dimanapun perekonomian berada. Model ekonomi demikian menjadi tidak valid
(Verbeek, 2000). Pendekatan VAR/VECM mampu mengatasi kritik Lucas.
Ketiga, dari tujuan yang akan dicapai adalah menganalisis hubungan antar
variabel dalam jangka panjang (kointegrasi). Dengan model kointegrasi VECM
akan dapat diketahui hubungan variabel multivariat (variabel-variabel kebijakan
115
fiskal, sektor pertanian dan agroindustri) pada jangka panjang (long-term) dimana
efek permanen pada berbagai variabel yang diobservasi dan efek temporar dapat
dijelaskan dengan structural disturbances dari masing-masing variabel tersebut.
Dengan demikian model VECM yang digunakan dalam penelitian ini cukup
handal untuk melakukan peramalan hubungan antara variabel-variabel kebijakan
fiskal dan sektor pertanian serta agroindustri dalam horizon jangka panjang baik
melalui analisis kointegrasi (dengan melakukan over-identifiying restriction)
maupun inovasi residual (error term) pada analisis IRF dan FEVD. Keterbatasan
model VECM ini karena model teoretis dan untuk mencapai model parsimonious,
maka tidak bisa menggunakan variabel banyak. Sehingga mensyaratkan seleksi
variabel dilakukan dengan kritis bahwa variabel itu penting dilandasi relevansi
teoretis yang komprehensif.
4.1.2. Analisis Untuk Mencapai Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pertama dicapai dengan menggunakan nilai-nilai rasio
konvensional. Untuk mengetahui kinerja sektor pertanian diekspresikan dengan
pertumbuhaan output, penyerapan tenaga kerja, kesejahteraan petani, perdagangan
(ekspor, dan impor) seperti diuraikan pada bagian 3.4. Sedangkan kinerja
agroindustri diekspresikan dengan nilai tambah input dan output, serta daya saing
seperti diuraikan pada bagian 3.5.
Tujuan penelitian kedua, dicapai dengan metode VAR/VECM dengan
pendekatan Sims (Thomas, 1997). Dari uji tersebut akan diketahui keterkaitan
kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian dan agroindustri jangka panjang
dari sistem persamaan kointegrasi. Dalam metode Sims, variabel-variabel yang
dispesifikasi ke dalam model VAR/VECM dipilih sesuai dengan logika teori
116
ekonomi yang relevan. Hubungan antara variabel-variabel dibiarkan secara alamiah;
sehingga tidak diperlakukan secara apriori. Dengan itu maka semua variabel dalam
sistem diperlakukan sebagai variabel endogen. Dalam model VAR/VECM, karena
semua variabel diperlakukan secara setara sebagai variabel endogen, maka variabel-
variabel pada ruas sebelah kanan persamaan tidak selalu berarti merupakan variabel
penentu bagi variabel di ruas sebelah kiri. Persamaan ini hanya menunjukkan
adanya hubungan diantara variabel-variabel dalam persamaan. Untuk mengetahui
ada atau tidak pengaruh dari sesuatu variabel terhadap variabel lain, serta sesuatu
variabel dipengaruhi atau ditentukan oleh variabel yang mana dalam persamaan,
caranya adalah dilakukan melalui tes kausalitas Granger atau Sims.
Kausalitas dalam ekonometrika mengacu pada kemampuan untuk
memprediksi yang disebut Granger causality (Thomas 1997). Teorema Granger
causality menyatakan, X menyebabkan (Granger cause) Y apabila nilai Y saat ini
dapat diprediksi dengan lebih akurat melalui nilai X yang lampau, dibandingkan
dengan tanpa menggunakan nilai X yang lampau tersebut. Metode ini
memungkinkan setiap variabel diperlakukan secara simetris. Sehingga tidak ada
pemilahan bahwa sesuatu variabel apakah eksogen atau endogen. Granger Test
dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
yt = α0 + α1yt-1 + α2yt-2 + α3yt-3 + β1xt-1 + β2xt-2 + β3xt-3 + εt (4.1)
Apabila β1= β2 = β3 = 0 maka x tidak Granger-cause y. Sebaliknya, apabila ada
koefisien β yang tidak bernilai nol maka x Granger-cause y. Alternatif lain pada
teorema Sims causality; masa yang akan datang tidak dapat menyebabkan saat ini
(the future cannot cause the present). Dalam tes Sims dilakukan pengujian melalui
persamaan:
117
xt = γ0 + γ1xt-1 + γ2xt-2 + γ3xt-3 +δ1yt+3 + δ2yt+2 + δ3yt+1 +
δ4yt-1 + δ5yt-2 + δ6yt-3 + εt (4.2)
Pada (4.1), x lebih merupakan variabel dependen dari y dan menentukan nilai-nilai
y yang meliputi yt+1, yt+2, yt+3. Pada (4.2), jika x Granger-cause y maka dapat
diperkirakan adanya hubungan antara x yang menentukan y. Sehingga tidak terjadi
kondisi δ1 = δ2 = δ3 = 0. Namun jika δ1 , δ2 , dan δ3 tidak sama dengan 0 bukan
berarti kausalisasi terjadi dari y terhadap x. Masa depan tidak dapat menentukan
masa kini. Nilai δ yang tidak sama dengan nol diinterpretasikan bahwa kausalisasi
terjadi dari x ke y.
Analisis VAR/VECM adalah untuk menentukan hubungan diantara
variabel-variabel, bukan untuk estimasi parameter dan juga bukan untuk peramalan
jangka pendek. Sehingga dalam pengujian statistik, yang terpenting adalah
persamaan-persamaan dalam model secara kolektif berdasarkan F-test signifikan,
meskipun bisa terjadi estimasi koefisien berdasarkan t-test yang mungkin
disebabkan oleh multikolinieritas tidak signifikan. F-test digunakan untuk
mengukur signifikansi dari estimasi regresi secara menyeluruh, sedangkan t-test
digunakan untuk mengukur signifikansi dari koefisien-koefisien regresi.
Tujuan penelitian ketiga dan keempat, dicapai dengan analisis fungsi respon
impulse (impulse response functions-IRF) dan analisis dekomposisi ragam
kesalahan peramalan atau forecast error variance decomposition (FEVD).
Keefektifan kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian dan
agroindustri diukur berdasarkan (1) frekuensi hubungan signifikan antar variabel
dalam sistem persamaan kointegrasi dan (2) frekuensi magnitude yang paling besar
dari inovasi error term pada analisis IRF dan FEVD.
118
4.2. Spesifikasi Model
Keterkaitan/hubungan antara variabel yang telah dipilih dari kebijakan fiskal
terhadap variabel kinerja sektor pertanian dan kinerja agroindustri dispesifikasi
dalam model VAR dengan ordo (k), dimana ordo (k) menunjukkan panjang lag (k).
dalam bentuk tereduksi (Thomas, 1997; Hsiao, 1997; Siregar, 2001; Enders, 2004)
sebagai berikut:
VAR (k), Zt = A1Zt-1 + A2Zt-2 + ... + AkZt-k + εt (4.3) dimana:
Zt = variabel time series yang disepsifikasi,
Ak = matrik parameter berukuran n x 1.
Jika k = 3, spesifikasi model VAR dalam penelitian ini disusun sebagai berikut:
xit = α1i ∆ xit-k + εt (4.4) ∑
=
3
1k
dimana:
xi = PPh, PPn, DEF, U, EA, SP, RDA, IA, DF, I, KONS, GDPA, TKA,
XA, MA, WP, NTI, NTO, DSA,
εt = vektor error term (white noice),
i = 1, 2, 3, ..., 19, dan
t = waktu.
Besarnya ordo/lag (k) optimal diuji dengan melihat Akaike Information Criterion
(AIC), dan Schwartz Bayesian Criterion (SBC).
Memasukkan matrik kointegrasi ke dalam model VAR akan dihasilkan
model VAR terkointegrasi (cointegrating VAR), disebut model general vector error
correction (VECM) (Siregar and Ward, 2002; Supriana, 2004).
119
Spesifikasi model VECM keefektifan kebijakan fiskal terhadap kinerja
sektor pertanian dengan penekanan pada agroindustri adalah sebagai berikut:
(4.5) exxx ttit
k − '
iit t ++++= −−
=Δ∑ΓΔ 110
1
1αβμμ
dimana:
∆xt = vektor time series x (xt – xt-1),
k-1 = Ordo VECM dari VAR,
Гi = matrik koefisien regresi,
μo = vektor intersep,
μ1 = vektor koefisien regresi,
α = matrik loading,
β’ = vektor kointegrasi,
xt = PPh, PPn, DEF, U, EA, SP, RDA, IA, DF, I, KONS, GDPA, TKA,
XA, MA, WP, NTI, NTO, DSA,
et = error term, dan
t = waktu.
Vektor kointegrasi (β’) pada persamaan (4.5) atau (αβ’) adalah petunjuk
adanya hubungan jangka panjang dari variabel yang dianalisis. Matrik dari vektor
kointegrasi jika berdasarkan uji kointegrasi dari persamaan jangka panjang
diperoleh rank kointegrasi tiga (dengan r=3) bentuknya adalah:
β’= (4.6)
1 0 0 β14 β15 β16 β17 β18 β19 β110 β111 β112 β113 β114 β115 β116 β117 β118 β119 1 1 0 β24 β25 β26 β27 β28 β29 β210 β211 β212 β213 β214 β215 β216 β217 β218 β219 1 0 1 β34 β35 β36 β37 β38 β39 β310 β311 β312 β313 β314 β315 β316 β317 β318 β319
120
Dengan tiga set restriksi, maka persamaan dalam matrik (4.6) just identified.
Untuk pemaknaan hubungan jangka panjang secara ekonomi, harus mengimpose
over identifying restriction selanjutnya diestimasi dengan Maximum Likelihood.
Matrik restriksi dinyatakan:
β’= (4.7)
1 0 β13 β14 β15 β16 β17 β18 β19 β110 β111 β112 β113 β114 β115 β116 β117 β118 β119 β21 β22 0 1 β25 β26 β27 β28 β29 β210 β211 β212 β213 β214 β215 β216 β217 β218 β219 β31 β32 β33 β34 1 0 β37 β38 β39 β310 β311 β312 β313 β314 β315 β316 β317 β318 β319
Analisis IRF dan FEVD didasarkan pada inovasi residual dari hasil estimasi VECM
pada matrik (4.7).
4.3. Pengujian Model 4.3.1. Uji Stasioner
Dalam time series, digunakan realisasi untuk menggambarkan proses
stokastik. Suatu proses stokastik dikatakan stasioner apabila nilai rata-rata (mean/μ),
varian (σ2y), dan kovariannya (γs) konstan sepanjang waktu, dan nilai kovarian
antara dua periode waktu hanya bergantung pada jarak atau lag antara dua periode
waktu (Gujarati, 1995). Secara matematis, variabel yt stasioner bila memenuhi
kondisi stasioner sebagai berikut (Enders, 2004):
Rata-rata : E(yt) = E(yt-s) = μ (4.8)
Varian : E(yt - μ)2 =E{(yt-s – μ)2}= σ2y (4.9)
Kovarian : E{(yt – μ)(yt-s – μ)} =E{(yt-s – μ)(yt-j-s – μ)} = γs (4.10)
Persamaan autoregressive 1 atau AR(1) ditunjukkan oleh:
Yt = a0 +a1yt-1 + εt (4.11)
121
adalah stasioner jika εt white noise dan i.i.d (identically, independently,
distributive). Kondisi intertemporal dinyatakan:
(4.12) ∑∑−
=−
−
=
++=1
01101
1
010
t
it
itt
i
i
t ayaaay ε nilai harapannya adalah: (4.13) yaaay t
tiE 1
1
10)( += ∑ nilai harapan untuk periode s adalah: (4.14) yaaay st
st
i
i
stE
01
1
010)( +
−+
=+
+= ∑ Pada persamaan (4.13) dan (4.14) memiliki mean yang time-dependent. Keduanya
tidak stasioner dalam urutan (sequence) karena Eyt tidak sama dengan Eyt+s. Jika t
besar dapat dicari nilai limit yt pada persamaan (4.14). Pada nilai |a1|< 1, maka
(a1)ty0 akan cenderung menuju ke nol karena t besar tak terhingga dan menuju ∑
ke a0/(1-a1). Jika t menuju ke tak hingga (t →∞) dan |a1|< 1 sehingga:
(4.15) ε it
itiaaay −
−
∑+−= /)1/(lim110
dan nilai harapan menjadi:
E(yt)= a0/(1-a1) (4.16)
Nilai mean dari yt menjadi terhingga (finite) dan independent terhadap waktu (time-
independent), sehingga E(yt) = E(yt-s) = μ bagi semua t dengan nilai variance:
E(yt- μ)2 = E{( εt + a1 εt-1 + (a1)2 εt-2 +…)2} (4.17)
= σ2{1 + (a1)2 + (a1)4 + ...} = σ2{1 - (a1)2} (4.18)
Pada (4.18) menunjukkan variance terhingga (finite) dan (time-independent).
Dengan demikian nilai autocovariance dan time-independent-nya adalah:
E{(yt- μ)(yt-s- μ)} = E[{( εt + a1 εt-1 + (a1)2 εt-2 +…)}{ εt-s
+ a1 εt-s-1+
(a1)2 εt-s-2 +…}]
= σ2(a1){1 + (a1)2+ (a1)4 +…}
it 0
0
−
=
+∞
=
t=0
t
i
ia0
1
i
122
= σ2(a1)s/{1 - (a1)2} (4.19)
Untuk meniadakan pengaruh ketergantungan sesuatu variabel non-stasioner
terhadap waktu (time dependent), caranya adalah dengan melakukan penurunan
(difference) pada nilai tingkat (level) dari variabel yang bersangkutan. Apabila setelah
dilakukan penurunan satu kali hasilnya menunjukkan stasioner, maka variabel yang
bersangkutan dikatakan mempunyai integrasi order satu atau I(1). Namun demikian,
suatu seri mungkin saja tidak pernah menjadi stasioner, walaupun telah dilakukan
diferensiasi beberapa kali. Suatu seri semacam ini dikatakan non-integrated. Suatu
time series data dikatakan integrated of order k atau ditulis dengan I(k), jika setelah
dideferensiasi sebanyak k kali menjadi seri yang stasioner.
Pengujian unit root pada variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam
sistem dilakukan melalui tes Augmented Dickey-Fuller (ADF). Tes unit root ADF
pada autoregressive (AR): ∆Xt =a+Φ*Xt-1 + ut adalah menguji Ho: Φ*=0 terhadap
HA: Φ*<0. Untuk menolak Ho atas hipotesis non-stasioner, t*1 (ADF statistic) harus
lebih negarif dari nilai t-tabel. Kriteria yang digunakan untuk menentukan panjang
lag optimal adalah Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwartz Bayesian
Criterion (SBC). Dengan membandingkan nilai AIC dan SBC dari estimasi VAR
dengan tingkat lag yang berbeda-beda, tingkat lag optimal ditentukan berdasarkan
nilai AIC dan SBC yang terendah. Sedangkan nilai AIC dan SBC dirumuskan:
AIC = T ln (jumlah kuadrat residual) + 2n
SBC = T ln (jumlah kuadrat residual) + n ln(T)
dimana:
n = jumlah parameter yang diestimasi,
T = jumlah observasi.
123
4.3.2. Uji Ordo Lag
Dalam model VAR umumnya terdapat variabel-variabel lag, sehingga perlu
ditentukan seberapa besar lag final yang digunakan dalam model (VAR Lag Order
Selection Criteria). Pada kasus persamaan parsial (univariat) memerlukan
pengujian statistik, tetapi dapat ditentukan sccara langsung sesuai dengan data yang
digunakan. Ordo lag optimal untuk data deret waklu tahunan adalah 1, dua untuk
data deret waktu semesteran, empat untuk data derel waktu triwulan, dan 12 untuk
data deret waktu bulanan. Pada sistem persamaan atau multivariat penentuan ordo
lag optimal harus dilalui melalui uji statistik SBC. Ordo lag optimal saat nilai
statistik SBC terbesar atau menggunakan Adjusted LR Test.
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Adjusted LR Test. Hipotesis
yang digunakan adalah:
H0: lag n = lag n-1 ditolak jika nilai p-value < 0.05
Jika Ho ditolak, pengujian dilanjutkan hingga diperoleh nilai p-value > 0.05,
sebagai berikut:
H0: lag n-1 = lag n-2 diterima jika nilai p-value > 0.05.
Jika Ho diterima, maka ordo yang dipilih adalah ordo terkecil. Dalam kasus ini ada
dua, yaitu n-1 dan n-2, yang dipilih adalah n-2. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari pengurangan jumlah observasi akibat meningkatnya lag yang
digunakan.
4.3.3. Uji Kointegrasi
Pengujian kointegrasi dilakukan untuk dua macam kasus, yaitu univariate
dan multivariate. Univariate digunakan untuk mengetahui kondisi kointegrasi
antara dua variabel. Sedangkan multivariate digunakan untuk mengetahui kondisi
124
kointegrasi pada lebih dari dua variabel (Thomas, 1997). Antara dua variabel
mungkin saja secara individu mereka non-stasioner, tetapi bisa terjadi kombinasi
linear antara keduanya, sehingga dikatakan terjadi kointegrasi antara dua variabel
tersebut. Dalam penelitian ini digunakan pengujian multivariate.
Kasus multivariate adalah untuk melihat hubungan jangka panjang yang
mempunyai lebih dari dua variabel. Jika dihipotesiskan (Thomas, 1997):
Zt = β0 + β1xt+ β2yt+ β3wt (4.20)
dimana xt, yt, wt dan zt adalah variabel I(1). Bila ada hubungan jangka panjang,
maka disequilibrium errors yang timbul dari persamaan (4.20) harus I(0), dan:
ui = zt - β0 - β1 xt - β2 yt - β3 wt (4.21)
harus dalam bentuk stasionarity time series, dimana koefisien-koefisiennya disebut
vektor kointegrasi (cointegration vector). Dalam kasus multivariate mungkin ada
lebih dari satu kombinasi linear stasioner yang berkaitan dengan variabel-variabel
yang berkointegrasi. Pada Persamaan (4.21), ut adalah kombinasi linear dari empat
variabel x, y, w dan z, dimana ada lebih dari satu kombinasi linear dari empat
variabel tersebut adalah stasioner. Adanya hubungan tunggal jangka panjang antara
lebih dari dua variabel yang I(1) mengimplikasikan bahwa variabel-variabel
tersebut berkointegrasi. Kointegrasi mengisyaratkan bahwa paling sedikit ada satu
hubungan jangka panjang di antara dua variabel. Bila terjadi lebih dari satu
kombinasi linier atau lebih dari dua varibel I(1) yang berkointegrasi, maka mungkin
akan ada lebih dari satu vektor kointegrasi.
Pengujian kointegrasi multivariate pada empat variabel x, y, z dan w;
langkah pertama adalah mengestimasi suatu kointegrasi:
zt = β0 + β1 xt + β2 yt + β3 wt + et (4.22)
125
Residual et dari regresi tersebut dapat diuji stasionernya dengan menggunakan uji
DF dan ADF. Jika hasilnya adalah stasioner maka dapat disimpulkan bahwa
variabel-variabel tersebut berkointegrasi, dan akan ada kombinasi linear di antara
variabel-variabel tersebut yang I(0). Langkah ini dilakukan dengan metode Granger
Causality Two Step.
Untuk kasus sistem persamaan, uji kointegrasi berarti menentukan rank
kointegrasi (r). Asumsi yang digunakan model mengandung unrestricted intercept
dan restricted trend. Pengujian hipotesis berdasarkan statistik Maximal Eigenvalue
of the Stochastic Matrix dan Trace of the Stochastic Matrix. Jika hasil statistik
Likelihood Ratio lebih besar dari nilai kritis pada selang kepercayaan 95% maka
hipotesis nol ditolak. Prosedurnya sebagai berikut:
H0 : r = 0 : statistik Likelihood Ratio lebih besar dari nilai kritis pada selang kepercayaan 95% tolak H0 dan uji dilanjutkan,
H0 : r<=1 : statistik Likelihood Ratio lebih besar dari nilai kritis pada selang
kepercayaan 95% tolak H0 dan uji dilanjutkan, H0: r<= 2 : statistik Likelihood Ratio lebih kecil dari nilai kritis pada selang
kepercayaan 95% terima H0; berarti terima Hipotesis alternatif dimana r = 2.
Hasil analisis rank kointegrasi ini dapat mengetahui hubungan jangka panjang
untuk menjelaskan keseluruhan fenomena yang tercakup dalam model yang
dianalisis.
4.3.4. Identifikasi Persamaan Kointegrasi
Setelah diketahui rank kointegrasi dilakukan restriksi umum (general
restriction) berdasarkan metode Johansen, yaitu membuat matrik identitas dengan
memberikan nilai 1 pada matrik parameter variabel yang akan dicari persamaannya
(yaitu variabel kinerja sektor pertanian dan agoindustri) dan memberi nilai 0 pada
126
matrik parameter variabel selain itu (kebijakan fiskal dan keseimbangan makro
ekonomi). Restriksi umum akan menghasilkan pendugaan parameter vektor
kointegrasi sesuai rank kointegrasi yang exactly identified dengan nilai likelihood
(LL) tertentu. Nilai LL tersebut digunakan sebagai pedoman untuk menghasilkan
restriksi yang valid dan optimal.
4.4. Analisis Simulasi Dampak Kebijakan Fiskal
Setelah konstruksi model VAR/VECM multivariate terbentuk yang
melibatkan variabel-variabel penting dalam kebijakan fiskal, kinerja sektor
pertanian, dan kinerja agroindustri, dengan restriksi spesifik yang secara statistik
sudah valid dan optimal maka langkah selanjutnya adalah melakukan simulasi
keterpengaruhan dari variabel-variabel tersebut.
Simulasi dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pengaruh
dari shock yang terjadi pada kebijakan fiskal yaitu variabel penerimaan pemerintah
(PPh, PPn, utang pemerintah); pengeluaran pemerintah (sektor pertanian, penelitian
pengembangan sektor pertanian, infrastruktur pertanian); keseimbangan fiskal
(defisit anggaran); desentralisasi fiskal, dan investasi, serta konsumsi terhadap
kinerja sektor pertanian yang diekspresikan oleh variabel pertumbuhaan output,
penyerapan tenaga kerja, perdagangan (ekspor, dan impor), dan kesejahteraan
petani. Disamping itu juga pengaruhnya terhadap kinerja agroindustri yang
diekspresikan oleh variabel nilai tambah input, nilai tambah output, dan daya saing.
Inferensi simulasi diperoleh dari analisis impulse response functions (IRF)
yang akan mengetahui sensitivitas respon dinamik suatu variabel (kinerja sektor
pertanian dan kinerja agroindustri) akibat adanya guncangan dari variabel lain
(kebijakan fiskal) yang diukur dalam satuan standar devisasi. Sedang untuk
127
mengetahui berapa kontribusi masing-masing variabel kebijakan fiskal terhadap
variabel kinerja sektor pertanian dan agroindustri akibat terjadinya guncangan
tersebut digunakan analisis forecast error variance decomposition (FEVD).
Prosedur kedua analisis tersebut dijelaskan pada bagian 4.4.1. dan 4.4.2.
Pada analisis IRF, guncangan atau shock dapat terjadi pada semua variabel
dalam model. Dalam studi ini, guncangan difokuskan pada apa yang dapat
dilakukan langsung oleh pemerintah dalam kebijakan fiskal dan variabel makro
ekonomi (investasi dan konsumsi). Pada analisis FEVD sumber guncangan berasal
dari semua variabel yang digunakan. Dampak guncangan disimulasikan untuk
variabel kinerja sektor pertanian, kinerja agroindustri dan keterhubungan antara
kinerja sektor pertanian dan agroindustri.
Horizon waktu ke depan yang digunakan untuk melihat efek guncangan
tidak ada batasan tertentu. Akan tetapi karena dalam jangka panjang hasil suatu
kebijakan mencapai keseimbangan, maka lama waktu keseimbangan tersebut
tercapai dapat merupakan patokan berapa panjang horizon waktu yang digunakan.
Sebelum melakukan inovasi dilakukan terlebih dahulu pendugaan VECM.
4.4.1. Impulse Response Function
Analisis impulse response function (IRF) menelusuri dampak guncangan
sebesar satu standar kesalahan (standard error), sebagai inovasi pada sesuatu
variabel endogen terhadap variabel endogen yang lain. Suatu inovasi pada variabel,
secara langsung akan berdampak pada variabel yang bersangkutan, kemudian
dilanjutkan ke semua variabel endogen yang lain melalui struktur dinamik dari
VAR. Pada VAR(l) bivarian sederhana seperti di bawah ini:
yt = a10 + a11yt-1 + a12zt-1 + ε1,t (4.23)
128
zt = a20 + a21yt-1 + a22zt-1 + ε2,t (4.24)
Perubahan pada ε1,t secara langsung akan mengubah nilai yt. Juga akan mengubah
semua nilai yang akan datang dari y dan z karena lag dari y (yt-1) terdapat di kedua
persamaan. Apabila inovasi ε1,t dan ε2,t tidak berkorelasi, interpretasinya adalah ε1,t
merupakan inovasi untuk y dan ε2,t adalah inovasi untuk z. Fungsi impulse response
ε2,t mengukur dampak dari shock z sebesar 1 SE terhadap nilai sekarang (current)
dan mendatang (future) dari y dan z.
Menurut Enders (2004), analisis IRF dalam model S-VAR dapat dilakukan
melalui mekanisme seperti uraian di bawah ini. Dengan menuliskan ulang ke dalam
bentuk matrik dari persamaan (4.23) dan (4.24) diperoleh:
(4.25)
⎥⎥
⎢⎢+
⎥⎥⎥
⎢⎢+
⎢⎢=
⎥⎢⎢
dinyatakan dalam bentuk lain: (4.26) Persamaan (4.26) mengekspresikan yt dan zt dalam urutan {e1t} dan {e2t}.
Vektor error kemudian dirumuskan: (4.27) Dengan demikian, kombinasi dari (4.26) dan (4.27) dapat digunakan untuk
memperoleh hubungan sebagai berikut:
(4.28)
⎦
⎤
⎣
⎡⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡
⎥⎦
⎤
⎢⎣
⎡
⎥⎥⎦
⎤
⎣
⎡⎥⎦
⎤
⎣
⎡
−
−
ee
zy
aaaa
aa
zy
t
t
t
t
t
t
2
1
1
1
2221
1211
20
10
⎥⎥⎥
⎦⎢⎢⎢
⎣
+⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
=⎥⎥⎦⎢
⎢⎣ −
−∞
=−
−
∑ ee
aaa
z
yz it
it
i
it
t
2
1
02221
1211
⎥⎦
⎤⎡
−−
ee
bb
bbee
zt
yt
t
t 121
12
21122
1 )1/(1
⎣
⎡
⎥⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡−
⎥
⎥
⎦
⎤
⎢⎣
⎡
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎣
⎡
−−
∑∞
=−
−
ee
bb
aaaa
bbzz
yzt
yt
i
it
t
11
21
12
02221
1211
2112)1/(1
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎤⎡⎡⎤⎡ ay
[ ]⎥
=⎥⎢⎢⎣ 1
⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡−
[ ]⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎥⎥+⎥⎢
⎢=⎢ y
129
Selanjutnya, persamaan (4.28) disederhanakan menjadi bentuk matrik 2x2:
(4.29) [ ]=Φ ⎥
⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡−
−−
11
21
12
21121 )1/(b
bbbAi
i
Representasi moving average dari persamaan (4.28) dan (4.29) yang
mengandung faktor-faktor {εyt} dan {εzt} berturut-turut adalah:
(4.30)
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎥⎢
⎢+⎢⎡
=⎥⎢
⎢ ∑y
secara ringkas dapat dituliskan menjadi: (4.31)
Moving average diperlukan untuk menguji interaksi antara {yt} dan {zt}.
Koefisien Φi digunakan untuk menghasilkan pengaruh inovasi dari εyt dan εzt pada
seluruh periode terjadinya guncangan dari (yt} dan {zt}. Dalam hal ini keempat
faktor Φjk (0) merupakan multiplier dampak (impact multipliers). Akumulasi
pengaruh satu unit impulse dalam εyt dan εzt dapat diperoleh dengan menjumlahkan
koefisien dari IRF. Sebagai ilustrasi, setelah periode n, pengaruh εzt terhadap εt+n
adalah Φ12(n). Sehingga setelah periode n akumulasi jumlah pengaruh dari εzt
terhadap nilai guncangan pada (yt} adalah:
(4.32)
Jika n dibiarkan tidak terbatas (infinity), akan dihasilkan multiplier jangka
panjang. Seandainya {yt,} dan {zt} diasumsikan stasioner, maka untuk semua j dan k
akan diperoleh:
(4.33)
⎣
⎡
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎣
⎡
⎥⎦
⎤
⎣⎥⎦
⎤
⎣
⎡
−
−∞
= ΦΦΦΦ
ee
z zt
yt
i
it
t
ii
ii
zy
1
1
02221
1211
)()(
)()(
0iitit
012 i
iΦ
∞
=
)0
2 iΦ∞
=
∑+=x εμ Φ∞
=−
(∑ )
(( finitetertentuyangi
jk∑ )
130
Keempat set koefisien Φ11(i), Φ12(i), Φ21(i), dan Φ22(i) disebut fungsi respon
impulse (impulse response functions - IRF).
4.4.2. Dekomposisi Ragam Kesalahan Peramalan
Analisis dekomposisi ragam kesalahan peramalan atau forecast error
variance decomposition (FEVD) menjabarkan inovasi pada suatu variabel terhadap
komponen goncangan variabel yang lain dalam VAR ( Enders, 2004). Analisis ini
digunakan untuk menguji sesuatu variabel apakah eksogen atau endogen. Jika
koefisien A0 dan A1 diketahui dan variabilitas xt+1 ingin diramalkan, sedangkan
kondisi yang diobservasi adalah xt, maka variabilitas satu periode adalah: xt+1= Ao+
A1xt + et+1, dan kondisi ekspektasi dari x1+j adalah Etxt+1 = Ao+ A1xt.
Kesalahan peramalan satu langkah ke depan dihitung sebagai berikut:
Xt+1 - Etxt+1 = et+1 (4.34)
Untuk dua periode, Xt+2 = Ao+ A1xt+1 + et+2 kesalahan dua langkah ke depan dari
xt+2 adalah:
Etxt+2 = (1+A1)A0 + A12 xt (4.35)
Dengan cara yang sama, peramalan langkah ke n ke depan adalah:
Etxt+n = (1+A1 + A12 + … + A1
n-1 )A0 + A1
n xt (4.36)
kesalahan peramalan yang menyertainya adalah:
et+n + A1et+n-1 +A12et+n-2 + ... + A1
n-1et+1 (4.37)
Adapun ramalan kesalahan satu-langkah ke depan adalah Φ0εt+1. Dalam bentuk
umum:
(4.38) ∑+=x εμ Φ∞
=−++
sehingga ramalan kesalahan periode-n adalah:
(4.39) ∑=− ε itxEx
0iintint
ninttnt Φ −+++
131
Kesalahan peramalan langkah ke n ke depan, untuk waktu {yt} adalah: yt - Et yt+n = ø11(0)εyt+n + ø11(1)εyt+n-1 +...+ ø11(n-1)εyt+1 +
ø12(0)εzt+n + ø12(1)εzt+n-1 +...+ ø12(n-1)εzt+1 (4.40)
Pada kondisi ragam kesalahan peramalan lengkah ke n ke depan dari yt+n adalah
σy(n)2 maka:
σy(n)2 = σy2{ ø11(0)2 + ø11(1)2 +...+ ø11(n-1)2} +
σz2{ ø12(0)2 + ø12(1)2 +...+ ø12(n-1)2} (4.41)
Semua nilai øij(i)2 non-negatif sehingga ragam kesalahan (varians error) meningkat
dengan meningkatnya horizon n. Pemisahan (decompose) dari varians error untuk
memperoleh proporsi σy(n)2 karena guncangan { εyt} dan { εzt} adalah:
σy2{ ø11(0)2 + ø11(1)2 +...+ ø11(n-1)2} (4.42)
σy(n)2
σz2{ ø12(0)2 + ø12(1)2 +...+ ø12(n-1)2} (4.43)
σy(n)2
Inferensi dari model FEVD adalah proporsi pergerakan secara berurutan
yang diakibatkan oleh guncangan sendiri dan variabel lain. Apabila guncangan εzt
menjelaskan tidak ada varian kesalahan ramalan (forecast error variance) dari {yt}
pada semua termin, maka dapat disimpulkan bahwa {yt} adalah variabel eksogen.
4.5. Data dan Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan data nasional, time series tiga bulanan selama
periode tahun 1970-2005. Data dan sumber data diperoleh sebagai berikut:
Pajak Penghasilan (PPh), satuan milyar rupiah. Tahun 1970-80 berasal
dari data Statistik Realisasi Pajak Penghasilan (Indikator Ekonomi Buletin Statistik
132
Bulanan Tabel XI.1.9, BPS). Tahun 1981-2005, data Realisasi penerimaan
pemerintah pusat dari Pajak Penghasilan (Departemen Keuangan RI).
Pajak Pertambahan Nilai (PPn), satuan milyar rupiah. Tahun 1970-84
data berasal dari Statistik Realisasi Pajak Penjualan dan nilai tambah (pajak
penjualan adalah PPn barang dan jasa [Keterangan (4) Tabel 9.1.1], Indikator
Ekonomi Buletin Statistik Bulanan, BPS). Tahun 1985-2005 berasal dari Statistik
Realisasi Pajak Pertambahan Nilai (Departemen Keuangan RI).
Defisit Anggaran (DEF), satuan milyar rupiah. Tahun 1970-80 data berasal
dari selisih penerimaan dan belanja pemerintah pusat (Indikator Ekonomi Buletin
Statistik Bulanan, BPS). Tahun 1981-2005 berasal dari Statistik defisit anggaran
pemerintah pusat (Statistik Keuangan Pemerintah Pusat, Departemen Keuangan
RI).
Utang Pemerintah (U), satuan milyar rupiah. Tahun 1970-79 data berasal
dari Realisasi Penerimaan Pemerintah pusat dari Kredit luar negeri (Penerimaan
Pemerintah dari Kredit LN) dan Bantuan Proyek (Indikator Ekonomi Buletin
Statistik Bulanan, BPS). Tahun 1980-2005 berasal dari Realisasi utang pemerintah
pusat (Laporan Tahunan Bank Indonesia).
Pengeluaran Sektor Pertanian (EA), satuan milyar rupiah. Tahun 1970-74
data berasal dari Belanja pemerintah pusat menurut Bidang ekonomi (Nota
Keuangan: Departemen Keuangan RI). Tahun 1975-79 berasal dari Belanja
sektoral, pemerintah pusat (Key indicator, ADB). Tahun 1980-2005 berasal dari
Belanja menurut organisasi, sektor dan subsektor. Merupakan penjumlahan
pengeluaran rutin dan pembangunan (total pengeluaran pembangunan pertanian)
(Nota Keuangan Depertemen Keuangan RI).
133
Subsidi Pertanian (SP), satuan milyar rupiah. Tahun 1970-73 belum ada
subsidi pertanian (lihat Hill, 1996; Ilham, 2006). Tahun 1973-2005 subsidi
pertanian merupakan realisasi total subsidi untuk subsidi pupuk dan subsidi
pengadaan pangan. Data subsidi pupuk berasal dari Departemen Keuangan,
Departemen Pertanian, dan Laporan Tahunan Bank Indonesia. Data subsidi pangan
berasal dari Nota Keuangan RI dan Bulog.
Pengeluaran Penelitian dan Pengambangan Pertanian (RDA), satuan
milyar rupiah. Merupakan penjumlahan belanja rutin dan pembangunan penelitian
dan pengambangan pertanian. Tahun 1970-74 dan 1985-2005 data berasal dari
Statistik Penelitian Pertanian, Balitbang Departemen Pertanian. Tahun 1975-84
berasal dari studi Rusastra (1985) yang sumber datanya sama, dari Statistik
Penelitian Pertanian, Balitbang Departemen Pertanian.
Pengeluaran Infrastruktur Pertanian (IA), satuan milyar rupiah. Tahun
1970-73 adalah realisasi anggaran bidang ekonomi sub sektor irigasi ditambah
pembangunan pedesaan tersebar di Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan
Umum, dan Departemen Transmigrasi dan Koperasi, dari penjumlahan pengeluaran
rutin dan pembangunan (Nota Keuangan RI). Tahun 1974-2000 adalah realisasi
belanja untuk irigasi dan sarana prasarana pedesaan berasal dari studi Fuglie and
Piggott (2003) dalam ADB, Ministry of Agriculture, Crescent (2005) Appendix
Table 51. Tahun 2001-5 berasal dari data Belanja Pedesaan meliputi (a)
infrastruktur fisik, (b) infrastruktur produksi, (c) infrastruktur transportasi, (d)
infrastruktur pasar, (e) infrastruktur sosial, (f) lainnya (Statistik Keuangan Publik,
BPS).
134
Desentralisasi Fiskal (DF), satuan milyar rupiah. Tahun 1970-75 adalah
data realisasi bantuan daerah otonom (Indikator Ekonomi Buletin Statistik Bulanan,
BPS) atau bantuan sumbangan pembangunan daerah (Statistik Indonesia, BPS).
Tahun 1976-98 data bantuan Desa, Kabupaten, Daerah Tingkat I (Indikator
Ekonomi Bulanan, BPS) atau subsidi daerah otonom (Statistik Indonesia, BPS).
Tahun 1999 realisasi dana alokasi umum (DAU) yang pertama berupa dana
pembangunan daerah (DPD) yang berasal dari PBB dan BPHTB. Tahun 2000-5
data realisasi DAU, dana alokasi khusus (DAK) dan dana perimbangan daerah
(Departemen Keuangan RI).
Investasi (I), satuan milyar rupiah. Data berasal dari penanaman modal
dalam negeri (PMDM) dan modal luar negeri (PMA) (laporan bulanan), Biro
Perencanaan dan Informasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Konsumsi (KONS), satuan milyar rupiah. Data adalah realisasi PDB
menurut penggunaan (Indikator Ekonomi Buletin Statistik Bulanan Tabel 11.1.6,
BPS dan Nota Keuangan RI) dengan tahun dasar 1993.
PDB Pertanian (GDPA), satuam milyar rupiah. Data adalah PDB menurut
sektor (sektor pertanian [tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan
hortikultura]) tahun dasar 1993 dari Indikator Ekonomi Buletin Statistik Bulanan,
BPS. Dikonfirmasikan juga dengan studi ADB, Ministry of Agriculture (2005).
Agriculture and Rural Development Strategy Study, ADBTA No. 3843-INO,
Chapter 5: Appendix Table 5.1., Seameo, Crescent, HPRI, Jakarta.
Penyerapan Tenaga Kerja (TKA), satuan juta orang. Data penyerapan
tenaga kerja sektor pertanian dari Statistical Year Book Series, Food and
Agricultural Organization (FAO), Rome. Dikonfirmasikan dengan studi Muslim,
135
2002 (1970-81); Tabel 2, Tambunan, 2003, (1982-2000) tabel 5.6.; PSE-KPK
UGM, LPEM UI, PSP IPB, 2004, (2001-4), dan BPS (untuk tahun 2005).
Ekspor Pertanian (XA), harga FOB satuan juta $USA. Data ekspor sektor
pertanian dari Statistical Year Book Series, Food and Agricultural Organization
(FAO), Rome dan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (Bulanan), Bank
Indonesia. Dikonfirmasikan dengan studi Irawan (2005).
Impor Pertanian (IMA), harga CIF satuan juta $USA. Data impor sektor
pertanian dari Statistical Year Book Series, Food and Agricultural Organization
(FAO), Rome dan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (Bulanan), Bank
Indonesia berbasis data dari BPS. Dikonfirmasikan dengan studi Irawan (2005).
Kesejahteraan Petani (WP), satuan persen (%). Merupakan nilai net barter
terms of trade komoditi pertanian sebagai hasil dari perhitungan dengan persamaan
(PX/PM)x100%). PX= Indeks harga ekspor pertanian yang diterima Indonesia,
diperoleh dari Indikator Ekonomi Indonesia Buletin Bulanan, Tabel 1.14. Nomor 1,
BPS. PM= Indeks harga impor pertanian yang dibayar Indonesia, diperoleh dari
Indikator Ekonomi Indonesia Buletin Bulanan, Tabel 1.13. Nomor 1, BPS.
Nilai Tambah Input Agroindustri (NTI), satuan milyar rupiah. Data
diperoleh dari nilai tambah (input keseluruhan) industri besar dan sedang
berdasarkan International Standard Industries Clasification of all economic
activities (ISIC) revisi 3, yang telah disesuaikan dengan kondisi Indonesia dengan
nama Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KLBI), Statistik Indonesia,
BPS. Tahun 1970-98 dari Tabel 6.1.6 ISIC nomor 31 (industri makanan, minuman,
tembakau), 32 (tekstil, pakaian jadi dan kulit, 33 (kayu dan barang dari kayu
termasuk perabot rumahtangga), dan 34 (kertas dan barang dari kertas, percetakan
136
dan penerbitan). Tahun 1999-2005 dari Tabel 6.1.2. ISIC nomor 15 (makanan dan
minuman), 16 (tembakau), 17 (tekstil), 19 (kulit dan barang dari kulit), 20 (kayu,
barang dari kayu, dan barang anyaman), 21 (kertas dan barang dari kertas), dan 25
karet dan barang dari karet) mengacu pada kalibrasi standar international trade
yang baru (revisi 3) dan berlaku mulai tahun 1999.
Nilai Tambah Output Agroindustri (NTO), satuan milyar rupiah. Data
diperoleh dari nilai tambah (output keseluruhan) industri besar dan sedang
berdasarkan International Standard Industrial Clasification of all economic
activities (ISIC) revisi 3, yang telah disesuaikan dengan kondisi Indonesia dengan
nama Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KLBI). Statistik Indonesia,
BPS. Tahun 1970-98 dari Tabel 6.1.6 ISIC nomor 31, 32, 33, dan 34. Tahun 1999-
2005 dari Tabel 6.1.2. ISIC nomor 15, 16, 17, 19, 20, 21, dan 25 mengacu pada
kalibrasi standar international trade yang baru dan berlaku mulai tahun 1999. Uraian
nomor kode klasifikasi industri seperti pada NTI.
Daya Saing Agroindustri (DSA), satuan indeks. Merupakan nilai revealed
competitive advantages (RCA) sebagai hasil dari perhitungan dengan persamaan
(Xa/TX)/(XWa/TXW). Ekspor produk agroindustri Indonesia (Xa), tahun 1970-74
diperoleh dari nilai ekspor olahan pertanian golongan B triwulan. Tahun 1975-2005
dari nilai ekspor menurut golongan SITC nomor 0 (bahan makanan dan binatang
hidup), 1 (minuman dan tembakau), 3 (bahan bakar non minyak dan bahan
penyemir), 4 (minyak/lemak nabati dan hewani), 6 (hasil industri menurut bahan)
dari statistik perdagangan eksternal, Statistik Indonesia Tabel VII.2.6., BPS harga
FOB dalam juta USA$. Total ekspor Indonesia (TX) tahun 1970-89 dari Indikator
Ekonomi Buletin Statistik Bulanan Tabel 6.3., BPS. Tahun 1990-99 dari United
137
Nations Statistical Year Book for Asia Pacifi (series), Bangkok. Tahun 2000-5 dari
Ekonomi Buletin Statistik Bulanan Tabel 63 dan 67., BPS harga FOB dalam juta
USA$. Ekspor produk agroindustri dunia (TWa) tahun 1970-89 dari nilai ekspor
menurut golongan SITC nomor 0, 1, 3, 4, 6 (sebagaimana diuraikan sebelumnya)
Indikator Ekonomi Buletin Statistik Bulanan Tabel 6.3., BPS. Tahun 1990-99 dari
FAO Year Book, Trade, Agriculture marchandist export, Table 1. Tahun 2000-5
dari Ekonomi Buletin Statistik Bulanan Tabel 63 dan 67, BPS harga FOB dalam
juta USA$. Total ekspor dunia (TXW) diperoleh dari nilai eskpor dunia harga FOB
dalam juta USA$ dari International Financial Statistic (IFS), IMF data triwulan.
Dalam rentang data (35 tahun) di Indonesia mengalami masa krisis besar
yaitu pada tahun 1973 triwulan 2 dalam krisis harga minyak dunia yang
mengakibatkan krisis dunia dan krisis moneter mulai tahun 1997 triwulan 3. Kedua
krisis tersebut diperkirakan mempunyai dampak yang signifikan. Pengujian
structural break dilakukan dengan chow test. Jika hasilnya signifikan maka
ditambahkan variabel dummy yang mengekspresikan dua peristiwa krisis tersebut.
Pada periode tahun 1970an sering dijumpai data yang tidak lengkap dalam
bentuk triwulanan. Sehingga digunakan interpolasi dari data tahunan. Hal itu juga
pernah dilakukan dalam studi Boediono (1979), Insukindro (1984) Malian (2003),
dan Ilham (2006). Formulasi penghitungan interpolasi adalah:
Q1 = ¼{ Qt – (4.5/12)( Qt - Qt-1)}
Q2 = ¼{ Qt – (1.5/12)( Qt - Qt-1)}
Q3 = ¼{ Qt + (1.5/12)( Qt - Qt-1)}
Q4 = ¼{ Qt + (4.5/12)( Qt - Qt-1)}
138
Tujuan 1: Kinerja Sektor Pertanian dan Agroindustri
Tujuan 2: Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Sektor Pertanain
dan Agroindustri
Permasalahan Penelitian
Tujuan Penelitian
Studi Literatur dan Penelitian Sebelumnya
Eksplorasi Data
Tuju
an 3
: Keb
ijaka
n Fi
skal
yan
g Ef
ektif
Tuju
an 4
: Ket
erka
itan
Sekt
or P
erta
nian
den
gan
Agr
oind
ustri
Angka Rasio
Konvensio nal
Spesifikasi Model VAR/VEC
Transformasi Data (logaritma)
Uji Stasioner Data (ADF test)
Stasioner I(2)
Non Stasioner
Estimasi VAR (4)
Estimasi VECM
Uji Structural Break (chow test)
Uji Ordo Lag Maksimum VAR
Uji Rank Kointegrasi
Uji Causality
FEVD
IRF
Rekomendasi/Implikasi Kebijakan
Uji Kointegrasi Variabel
Mengimpose Matrik Restriksi
Gambar 9. Diagram Alur Penelitian dan Tahap Analisis dengan VECM
139
Dimana Q1, Q2, Q3, dan Q4 masing-masing adalah data tertentu pada triwulan ke-1,
ke-2, ke-3, dan ke-4. Qt adalah data tertentu pada tahun t.
Pengolahan dan analisis data dengan kerangka ekonometrika time series
menggunakan piranti lunak (software) program komputer Eviews 4.1. Dari uraian
metode penelitian, diringkas dalam diagram alur penelitian dan tahap analisis
dengan VECM disajikan pada Gambar 9.
4.6. Hasil Uji Diagnostik Data dan Model 1. Uji Stasioner
Pengujian stasioner menggunakan Augmented Dickey-Fuller (ADF) baik
tanpa memasukkan tren maupun dengan tren. Dengan menggunakan lag maksimum
13, pada pengujian in level (I(0)) hampir semua variabel mengandung unit root
sehingga belum stasioner kecuali variabel DEF. Pengujian dilanjutkan pada first
differenced atau I(1) seperti terlihat pada Tabel 12, hasilnya masih terdapat 6
variabel yang belum stasioner/masih mengandung unit root (PPh, PPn, DEF, RDA,
NTI, dan NTO). Pengujian dilanjutkan pada second difference atau I(2); telah
menghasilkan semua variabel yang tidak lagi mengandung unit root atau stasioner
berdasarkan nilai probabilitas penerimaan hipotesis nol (Ho) yang menyatakan
bahwa variabel mengandung unit root mendekati nol, dengan parameter nilai kritis
Mac Kinnon (1996) one-side p-values. Dengan demikian semua variabel yang
digunakan adalah stasioner pada derajat 2 atau I(2).
Hubungan jangka panjang (long-run relations) dalam kointegrasi (dengan
menyusun restriksi matrik kointegrasi) dimungkinkan jika seluruh variabel
menunjukkan unit-root dalam ordo yang sama. Syarat tersebut dapat dipenuhi oleh
140
Tabel 12. Hasil Uji Unit Root Variabel yang Digunakan
Tanpa Tren Dengan Tren Variabel Differenced ADF Test
Statistic Prob* ADF Test
Statistic Prob* Kesimpulan
PPh(0) 7.132274 (1.0000) 5.569364 (1.0000) Belum Stasioner PPh(1) 0.692107 (0.9916) -1.429370 (0.8479) Belum Stasioner
PPh
PPh(2) -7.091872 (0.0000) -7.265717 (0.0000) Stasioner PPn(0) 4.802732 (1.0000) 3.822634 (1.0000) Belum Stasioner PPn(1) -1.139553 (0.6989) -2.788775 (0.2040) Belum Stasioner
PPn
PPn(2) -11.45721 (0.0000) -9.757204 (0.0000) Stasioner DEF(0) -4.706605 (0.0001) -4.267816 (0.0048) Stasioner DEF(1) 0.336670 (0.9794) 0.364398 (0.9988) Belum Stasioner
DEF
DEF(2) -11.06100 (0.0000) -11.30276 (0.0000) Stasioner U(0) -0.750958 (0.8292) -1.717973 (0.7384) Belum Stasioner U(1) -13.74013 (0.0000) -13.74013 (0.0000) Stasioner
U
U(2) -9.046198 (0.0000) -9.011287 (0.0000) Stasioner EA(0) -0.429667 (0.8996) -1.711871 (0.7407) Belum Stasioner EA(1) -5.973196 (0.0000) -5.938964 (0.0000) Stasioner
EA
EA(2) -6.325427 (0.0000) -6.337591 (0.0000) Stasioner SP(0) -2.067865 (0.2581) -3.126838 (0.1041) Belum Stasioner SP(1) -8.575369 (0.0000) -8.753798 (0.0000) Stasioner
SP
SP(2) -11.13970 (0.0000) -11.16670 (0.0000) Stasioner RDA(0) 3.804931 (1.0000) 2.461686 (1.0000) Belum Stasioner RDA(1) -2.153953 (0.2243) -4.242793 (0.0051) Belum Stasioner
RDA
RDA(2) -10.52323 (0.0000) -10.51902 (0.0000) Stasioner IA(0) 0.994352 (0.9964) -0.613652 (0.9764) Belum Stasioner IA(1) -6.259328 (0.0000) -6.553867 (0.0000) Stasioner
IA
IA(2) -7.847149 (0.0000) -7.817358 (0.0000) Stasioner DF(0) 1.553562 (0.9994) 0.101151 (0.9970) Belum Stasioner DF(1) -5.225600 (0.0000) -5.827816 (0.0000) Stasioner
DF
DF(2) -7.372630 (0.0000) -7.343268 (0.0000) Stasioner I(0) -1.514658 (0.5234) -3.059029 (0.1204) Belum Stasioner I(1) -15.57405 (0.0000) -15.51709 (0.0000) Stasioner
I
I(2) -13.06905 (0.0000) -13.02022 (0.0000) Stasioner KONS(0) 1.947989 (0.9999) 0.256123 (0.9982) Belum Stasioner KONS(1) -6.863274 (0.0000) -7.370393 (0.0000) Stasioner
KONS
KONS(2) -9.632908 (0.0000) -9.597520 (0.0000) Stasioner GDPA(0) 0.631324 (0.9901) -2.340034 (0.4093) Belum Stasioner GDPA(1) -6.058800 (0.0000) -6.122314 (0.0000) Stasioner
GDPA
GDPA(2) -7.311621 (0.0000) -7.286618 (0.0000) Stasioner TKA(0) -1.402444 (0.5796) -2.348516 (0.4049) Belum Stasioner TKA(1) -9.853501 (0.0000) -11.45611 (0.0000) Stasioner
TKA
TKA(2) -10.70926 (0.0000) -10.66882 (0.0000) Stasioner XA(0) -0.839886 (0.8041) -0.839886 (0.8041) Belum Stasioner XA(1) -6.650767 (0.0000) -6.629156 (0.0000) Stasioner
XA
XA(2) -8.460027 (0.0000) -8.426582 (0.0000) Stasioner IMA(0) 1.384556 (0.9989) 0.438290 (0.9991) Belum Stasioner IMA(1) -10.77816 (0.0000) -11.06587 (0.0000) Stasioner
IMA
IMA(2) -7.608906 (0.0000) -7.840915 (0.0000) Stasioner
141
Tabel 12. Lanjutan
Tanpa Tren Dengan Tren Variabel Differenced ADF Test
Statistic Prob* ADF Test
Statistic Prob* Kesimpulan
WP(0) -2.190406 (0.2108) -2.454364 (0.3503) Belum Stasioner WP(1) -17.08213 (0.0000) -17.03904 (0.0000) Stasioner
WP
WP(2) -10.38136 (0.0000) -10.34941 (0.0000) Stasioner NTI(0) 2.468072 (1.0000) 0.794577 (0.9997) Belum Stasioner NTI(1) -1.818942 (0.3701) -4.123810 (0.0074) Belum Stasioner
NTI
NTI(2) -9.974768 (0.0000) -9.940666 (0.0000) Stasioner NTO(0) 2.503645 (1.0000) 1.344970 (1.0000) Belum Stasioner NTO(1) -1.423332 (0.5691) -3.824572 (0.0181) Belum Stasioner
NTO
NTO(2) -8.179889 (0.0000) -8.148535 (0.0000) Stasioner DSA(0) -2.540693 (0.1081) -2.536192 (0.3105) Belum Stasioner DSA(1) -6.945676 (0.0000) -6.961212 (0.0000) Stasioner
DSA
DSA(2) -10.47226 (0.0000) -10.43222 (0.0000) Stasioner Keterangan: * = Probabilitas untuk menolak Ho=mengandung unit root sampai pada tingkat signifikansi (α=1%), dimana nilai ADF Test Statistic lebih negatif dari nilai batas penolakan (α=1%) dengan parameter nilai kritis MacKinnon (1996) one-sided p-values pada I(2). seluruh variabel. Hasil pengujian unit root disajikan pada Tabel 12 selengkapnya
pada Lampiran 2.
2. Uji Structural Break
Data series yang digunakan dalam rentang waktu yang panjang (1970-2005
atau 35 tahun) dimungkinkan adanya pengaruh siklus (siclical influences) kebijakan
dan atau kondisi makroekonomi yang ekstrim pada rentang waktu tersebut. Seperti
dijelaskan pada bagian sebelumnya, pengaruh siklus kebijakan dan atau makro
ekonomi yang ekstrim selama waktu tersebut ada dua, yaitu adanya periode oil
boom tepatnya terjadi pada triwulan 3 tahun 1973 dan krisis moneter yang terjadi
tepatnya pada triwulan 1 tahun 1998.
Pengujian structural break menggunakan Chow test menghasilakan periode
shock yang berpengaruh nyata adalah pada triwulan 1 tahun 1998 (1998Q1) dengan
142
tingkat signifikansi (α=1%) ditunjukkan oleh nilai probabilitas menolak H0 yang
menyatakan bahwa terdapat structural break point dengan nilai F-statistik yang ada.
Dengan demikian pada triwulan tersebut di gunakan variabel dummy sebagai
representasi pangaruh krisis moneter (D_MNTR). Nilai 0 diberikan pada periode
1970Q1-1997Q4 dan nilai 1 untuk periode 1998Q1-2005Q4. Hasil pengujian
disajikan pada Tabel 13 dan Lampiran 3.
Tabel 13. Hasil Uji Structural Break dengan Chow Breakpoint Test
Chow Breakpoint Test: 1998:1
Chow Breakpoint Test: 1998:1 Variabel
F-statistic Probability Variabel
F-statistic Probability PPh 14.71075 0.000000 KONS 40.22672 0.000000 PPn 16.17603 0.000000 GDPA 2.172605 0.006845 DEF 15.02361 0.000000 TKA 3.667723 0.000009 U 22.13242 0.000000 XA 4.559880 0.000000 EA 4.507170 0.000000 IMA 10.58517 0.000000 SP 25.72705 0.000000 WP 4.651989 0.000000 RDA 2.675687 0.000766 NTI 2.630608 0.000935 IA 6.211081 0.000000 NTO 2.571643 0.001212 DF 3.289100 0.000050 DSA 8.085175 0.000000 I 6.623899 0.000000
3. Uji Kointegrasi
Satu set data deret waktu yang tidak stasioner I(1) dikatakan memiliki
hubungan kointegrasi jika kombinasi linear data deret waktu tersebut stasioner. Ada
dua prosedur yang bisa digunakan untuk menguji kointegrasi antar data deret waktu.
Pertama, uji Engle - Granger (The Engle - Granger Two Step Method), dan kedua
adalah uji Johansen (Johansen Cointegration Test) untuk sistem persamaan.
Prosedur uji kointegrasi Engle-Granger dilakukan dalam dua tahap, pertama
dilakukan regresi variabel satu dengan variabel lainnya. Kedua, residual yang
diperoleh dari regresi tersebut diuji apakah residualnya stasioner atau tidak dengan
143
menggunakan uji Aughmented Dickey - Fuller dengan hipotesis nol residual tidak
stasioner. Jika hipotesis nol diterima, artinya residual tidak stasioner, variabel yang
diuji tidak berkointegrasi. Sebaliknya hipotesis nol tidak diterima, artinya residual
stasioner, maka variabel yang diamati berkointegrasi (Thomas, 1997). Sampai tahap
ini, digunakan uji kointegrasi Engle-Granger, sedangkan uji kointegrasi Johansen
akan digunakan dalam uji rank kointegrasi karena akan dianalisis model VAR yang
terkendala (restrited VAR) atau disebut dengan Vector Error Correction Model
(VECM).
Tabel 14. Hasil Uji Kointegrasi dengan Engle - Granger Two Step Method
Augmented Dickey-Fuller test statistic (RESIDUAL) Variabel ADF Test
Statistic Prob* Hasil Kesimpulan
PPh -5.162431 0.0000 Stasioner Berkointegrasi PPn -4.619855 0.0002 Stasioner Berkointegrasi DEF -3.642347 0.0061 Stasioner Berkointegrasi U -5.308786 0.0000 Stasioner Berkointegrasi EA -5.966882 0.0000 Stasioner Berkointegrasi SP -7.891892 0.0000 Stasioner Berkointegrasi RDA -5.104927 0.0000 Stasioner Berkointegrasi IA -5.865128 0.0000 Stasioner Berkointegrasi DF -4.534749 0.0003 Stasioner Berkointegrasi I -8.722872 0.0000 Stasioner Berkointegrasi KONS -4.870060 0.0001 Stasioner Berkointegrasi GDPA -4.390276 0.0005 Stasioner Berkointegrasi TKA -5.853747 0.0000 Stasioner Berkointegrasi XA -3.460142 0.0106 Stasioner Berkointegrasi IMA -6.029489 0.0000 Stasioner Berkointegrasi WP -7.710729 0.0000 Stasioner Berkointegrasi NTI -5.206516 0.0000 Stasioner Berkointegrasi NTO -4.817832 0.0001 Stasioner Berkointegrasi DSA -4.859178 0.0001 Stasioner Berkointegrasi
Keterangan: Lihat keterangan Tabel 12
144
Hasil Uji Engle-Granger Two Step Method disajikan pada Tabel 14 dan
Lampiran 4. Pengujian menghasilkan kesimpulan bahwa dengan uji Augmented
Dickey-Fuller atas residual regresi variabel, semua stasioner yang ditunjukkan nilai
probabilitas penerimaan Ho sampai 1% (α=1%) kecuali variabel XA sampai 5%
(α=5%). Dengan demikian semua variabel berkointegrasi.
4. Uji Ordo Optimal VAR
Sebelum menguji adanya kointegrasi antar variabel (dengan rank
kointegrasi) maka ditentukan dahulu optimum lag dari reduced (unrestricted) VAR.
Sebagaimana diuraikan pada bagian 4.3.3., penelitian ini menggunakan pendekatan
Likelihood Ratio Test Statistic. Dengan memilih 6 sebagai maksimum ordo untuk
unrestricted VAR, berdasarkan kriteria LR: sequential modified LR test statistic
masing-masing dengan level signifikansi (α= 5%) menunjukkan 4 sebagai ordo
optimum. Berarti, panjang lag yang tepat dari model adalah 4 (lihat Lampiran 5).
5. Model VAR dan Uji Granger Causality
Model VAR standar (unrestricted) multivariat dibangun dengan
memperhatikan; pertama, evaluasi parameter kritis model terutama melihat nilai
kebaikan (goodnes of fit) model dengan nilai R2. Kedua, sistem persamaan mampu
mengakomodasi tujuan penelitian yaitu diperoleh paling tidak 8 persamaan
kointegrasi (hasil rank kointegrasi diuraikan di bagian 6) yang merepresentasikan
hubungan jangka panjang pada variabel kinerja sektor pertanian (5 variabel) dan
agroindustri (3 variabel). Sistem persamaan optimal ketika variabel yang terpilih
dimasukkan sebagai representasi kebijakan fiskal adalah, PPh, PPn, EA, SP, RDA,
IA, DF. Sedangkan variabel DEF dan U dikeluarkan dari model. Untuk keperluan
145
kalkulasi statistik, karena variabel SP mengandung nilai nol, maka di konversi
dengan menambahkan nilai 100 untuk semua data untuk dapat dioperasikan
transformasi logaritma (kecuali WP dan DSA) sehingga kodenya menjadi SP_.
Variabel penyeimbang ekonomi makro yaitu I dan KONS. Variabel komponen
kinerja sektor pertanian adalah, GDPA, TKA, XA, IMA, dan WP. Variabel
komponen kinerja agroindustri meliputi NTI, NTO, dan DSA. Model VAR standar
(unrestricted) multivariat mempunyai tingkat ketepatan model yang baik (sebagian
besar nilai R2 di atas 0.60) dengan diagnosis statistik jangka panjang yang baik.
Model VAR digunakan untuk memperoleh persamaan kointegrasi dengan VECM,
sehingga VAR tidak dibahas.
Dalam kerangka model VAR, hubungan antar variabel belum menunjukkan
hubungan kausalitas antara variabel-variabel pada ruas kanan terhadap variabel di
ruas sebelah kiri. Untuk mengetahui karakteristik hubungan kausalitas atau
perubahan variabel mana lebih berpengaruh terhadap perubahan variabel yang lain,
dilakukan analisis Granger causality. Hasil analisis disajikan pada Tabel 15,
selengkapnya pada Lampiran 6. Sesuai dengan tujuan penelitian, analisis
difokuskan pada perubahan variabel-variabel komponen fiskal yang berhubungan
(causality) pada perubahan variabel-variabel kinerja sektor pertanian dan
agroindustri.
Variabel kinerja sektor pertanian dapat dijelaskan secara nyata (sampai
tingkat signifikansi/α = 1%) oleh variabel kebijakan fiskal antara lain pertumbuhan
PDB pertanian (GDPA) dan penyerapan tenaga kerja pertanian (TKA).
Pertumbuhan PDB pertanian (GDPA) dijelaskan oleh Pajak penghasilan (PPh),
sedangkan TKA dijelaskan oleh PPh dan subsidi pertanian (SP) disamping variabel
146
ekonomi makro investasi. Variabel kinerja agroindustri (daya saing/DSA) dapat
dijelaskan secara nyata (sampai tingkat signifikansi/α = 10%) oleh variabel
kebijakan fiskal (desentralisasi fiskal/DF dan ekspor produk pertanian/XA).
Dari hasil di atas dapat dimaknai bahwa instrumen kebijakan fiskal selama
rentang analisis mempengaruhi secara langsung pada pertumbuhan PDB pertanian
(GDPA), penyerapan tenaga kerja sektor pertanian (TKA), dan daya saing
agroindustri (DSA). Jalur transmisi pengaruh/menjelaskan secara tidak langsung
dapat dirunut antara lain; pajak pertambahan nilai (PPn) mempengaruhi
desentralisasi fiskal/DF kemudian berpengaruh pada anggaran sektor pertanian
(EA), melalui PPh berpengaruh pada PDB pertanian (GDPA) dan penyerapan
tenaga kerja sektor pertanian (TKA). Alokasi anggaran sektor pertanian (EA)
berpengaruh pada penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) bisa positif atau negatif
karena penambahan dan pengurangan alokasi anggaran sektor pertanian (EA) yang
selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan PDB pertanian (GDPA) dan penyerapan
tenaga kerja pertanian (TKA). Subsisi pertanian mempengaruhi GDPA dan TKA
secara tidak langsung juga bisa melalui PPh. Desentralisasi fiskal (DF)
mempengaruhi GDPA dan TKA melalui anggaran sektor pertanian (EA) dan PPh.
Disamping itu DF juga mempengaruhi TKA melalui investasi (I).
Kinerja sektor pertanian dan agroindustri juga bisa memprediksi/
menjelaskan secara nyata pada variabel kebijakan fiskal. Pada variabel kinerja
sektor pertanian; diantaranya PDB pertanian dapat menjelaskan pajak pertambahan
nilai (PPn), dan desentralisasi fiskal (DF). Variabel tenaga kerja pertanian (TKA)
dapat menjelaskan pajak penghasilan (PPh) (menjelaskan timbal balik), pajak
147
Tabel 15. Kemampuan Menjelaskan Perubahan Variabel dengan Pairwise Granger Causality Tests Nilai X2 (Variabel yang dijelaskan) Variabel
Penjelas ∆PPh ∆PPn ∆EA ∆SP ∆RDA ∆IA ∆DF ∆I ∆KONS ∆GDPA ∆TKA ∆XA ∆IMA ∆WP ∆NTI ∆NTO ∆DSA ∆PPh 0.106 0.066 2.026
* 0.449 0.085 0.196 0.102 2.049
* 3.519
* 2.879
** 0.635 0.496 0.144 1.008 0.236 0.184
∆PPn 0.084 0.193 0.232 1.970 0.752 2.506 **
1.750 0.933 1.928 0.079 1.329 0.145 0.430 0.038 0.077 0.378
∆EA 17.933 ***
0.353 0.088 2.031 *
2.417 *
3.329 **
0.344 0.321 0.123 0.773 0.416 0.563 0.745 0.244 0.698 0.204
∆SP 2.281 *
0.549 0.120 0.385 1.972 0.684 0.434 0.428 1.963 10.039 ***
1.153 0.377 0.193 0.125 0.085 0.457
∆RDA 0.182 0.003 0.028 1.565 2.422 *
0.283 0.232 0.425 0.533 0.463 0.158 0.276 0.109 0.026 0.090 0.123
∆IA 1.865 0.608 0.166 1.185 0.820 0.012 0.576 1.002 0.284 0.642 0.984 0.202 1.111 0.327 0.385 0.447 ∆DF 1.663 0.548 1.999
* 0.441 1.255 0.055 4.705
*** 2.695
** 1.156 0.375 0.538 0.228 0.057 0.350 0.481 2.408
* ∆I 0.356 0.663 0.342 1.922 0.551 1.014 1.989 0.161 1.102 7.526
*** 1.238 1.896 0.410 0.672 0.361 0.285
∆KONS 0.188 0.274 0.588 0.153 0.182 0.118 1.052 0.830 1.117 0.230 0.843 1.592 0.171 0.020 0.064 0.217 ∆GDPA 0.490 4.315
*** 0.118 0.626 1.949 1.136 4.200
*** 0.633 0.813 0.172 0.785 0.371 0.757 0.787 1.018 0.741
∆TKA 4.071 ***
4.225 ***
0.753 3.460 **
1.629 7.178 ***
5.986 ***
2.020 *
0.234 13.266 ***
0.346 0.696 0.566 0.238 0.083 0.074
∆XA 0.595 1.853 1.807 0.653 2.203 *
2.493 **
1.561 2.183 *
0.312 0.383 1.094 0.959 0.189 0.925 1.583 2.699 **
∆IMA 0.231 0.602 4.171 ***
0.356 0.430 0.039 0.108 1.974 0.033 0.084 0.084 0.733 0.869 0.184 0.279 0.269
∆WP 4.208 ***
6.026 ***
0.545 0.840 0.072 0.622 0.305 0.710 10.048 ***
0.423 0.358 0.169 0.198 1.839 1.237 0.725
∆NTI 0.503 7.076 ***
3.094 **
0.664 0.014 0.193 0.767 2.874 *
0.436 0.388 0.091 1.740 0.494 0.681 0.056 0.641
∆NTO 3.324 **
8.956 ***
3.494 ***
1.448 0.023 0.442 0.872 4.175 ***
1.125 0.184 1.344 1.428 0.275 1.113 0.005 0.837
∆DSA 0.158 0.311 0.588 2.640 **
0.310 0.232 0.315 0.641 0.131 0.679 1.597 0.858 0.719 1.673 0.684 1.428
Keterangan: ***,**, dan * = menunjukkan signifikansi pada α=1%, 5%, dan 10%.
148
pertambahan nilai (PPn), subsidi pertanian (menjelaskan timbal balik), anggaran
infrastruktur pertanian (IA), desentralisasi fiskal (DF), dan investasi (I)
(menjelaskan timbal balik). Variabel Ekspor produk pertanian (XA) dapat
menjelaskan anggaran penelitian dan pengembangan pertanian (RDA), anggaran
infrastruktur pertanian (IA), dan investasi (I). Variabel impor produk pertanian
(IMA) dapat menjelaskan variabel anggaran sektor pertanian (EA). Variabel
kesejahteraan petani (WP) dapat menjelaskan pajak penghasilan (PPh), pajak
pertambahan nilai (PPn), dan konsumsi (KONS).
Variabel kinerja agroindustri antara lain; nilai tambah input (NTI) dapat
menjelaskan pajak pertambahan nilai (PPn), anggaran sektor pertanian (EA), dan
investasi (I). Nilai tambah output (NTO) dapat menjelaskan pajak penghasilan
(PPh), pajak pertambahan nilai (PPn), anggaran sektor pertanian (EA), dan investasi
(I). Daya saing agroindustri (DSA) dapat menjelaskan variabel subsidi pertanian
(SP).
6. Rank Kointegrasi
Karena semua variabel terbukti terintegrasi dalam ordo yang sama (lihat bagian
1 dan 3) maka selanjutnya diuji adanya kointegrasi antar variabel dengan Johansen
Test. Uji ini dilakukan untuk memeriksa rank dari matrik kointegrasi dan untuk
melihat jumlah vektor kointegrasi. Pengujian dilakukan dengan asumsi; model
mengandung intersep yang tidak direstriksi (unrestricted intercepts) dan trend
direstriksi (restricted trends) menjadi linear. Uji ini dilakukan untuk mengetahui
jumlah vektor kointegrasi. Dengan menggunakan model VAR 4 (ordo optimal
VAR=4, lihat bagian 4) maka ordo cointegrated VAR adalah 3 (ordo cointegrated
VAR adalah ordo VAR dikurangi 1) hasil pengujian disajikan pada Lampiran 7.
149
Hipotesis nol (H0) pada pengujian Likelihood-Ratio adalah model
mengandung unrestricted intercepts dan restricted trends. Berdasarkan nilai
maximum eigenvalue of the stocastic matrix menolak H0 sampai pada tingkat
signifikansi (α=5%) adalah pada r≤6, r≤7, r≤8, r≤9, r≤10, r≤11, r≤12, r≤13, dan
r≤16, artinya, rank kointegrasi (r)=9. Berdasarkan nilai trace of the stocastic matrix
menolak H0 sampai pada tingkat signifikansi (α=1%) adalah r≤6, r≤7, r≤8, r≤9,
r≤10, r≤11, r≤12, r≤13, r≤14, r≤15, dan r≤16, artinya, rank kointegrasi (r)=11.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat 9 sampai 11 persamaan yang dapat
menjelaskan adanya kointegrasi pada variabel-variabel dalam sistem persamaan.
7. Model VECM dan Persamaan Kointegrasi
VAR yang mengandung kointegrasi adalah VAR yang terkendala (restricted
VAR), yaitu terkendala dengan adanya kointegrasi di dalam model. Dalam hal ini
modelnya disebut dengan Vector Error Correction Model (VECM). Setelah
diketahui rank kointegrasi dilakukan restriksi umum (general restriction)
berdasarkan metode Johansen, yaitu dengan membuat matrik identitas. Restriksi
umum menghasilkan pendugaan parameter vektor kointegrasi.
Sesuai dengan tujuan penelitian, untuk menganalisis pengaruh kebijakan
fiskal terhadap kinerja pertanian dan agroindustri maka variabel yang ingin
diketahui kondisi kointegrasinya adalah GDPA, TKA, XA, IMA, dan WP (kinerja
sektor pertanian) dan NTI, NTO, DSA (kinerja agroindustri). Dengan demikian
diperoleh 8 persamaan kointegrasi. Parameter matrik dari variabel fiskal dan
variabel makro ekonomi direstriksi sama dengan nol. Restriksi umum menghasilkan
pendugaan parameter vektor kointegrasi sesuai dengan rank kointegrasi yang
exactly identified dengan nilai likelihood (LL) tertentu. Nilai likelihood tersebut
150
digunakan sebagai pedoman untuk menghasilkan restriksi yang valid dan optimal,
sehingga diperoleh model parsimonious VECM (Harris, 1995). Hasil dugaan
vektor kointegrasi disajikan pada Lampiran 8 dan akan diurikan pada bagian 7.1.
dan 8.1.
V. DINAMIKA KEBIJAKAN FISKAL PADA SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA
5.1. Episode Perekonomian dan Mainstream Fiskal Indonesia
Dalam analisis dinamika fiskal sejak tahun 1970-2005, tidak terlepas dari
dinamika episode perekonomian makro Indonesia yang mempengaruhi landasan,
corak dan pengambilan keputusan pada kebijakan fiskal sebagai salah satu pilar
dalam kebijakan makro. Berbagai hasil kajian ekonom (Misalnya Hill, 1996;
Mubyarto, 2000; Lindblad (ed), 2002; Subiyantoro dan Riphat (ed), 2004; Salim
dalam Soetrisno, 2005) mengkategorikan episode perekonomian berdasarkan corak
kebijakan makroekonomi. Rentang waktu analisis pada studi ini (1970-2005),
mencakup episode IV-IX selama negeri ini merdeka.
Episode IV (1966-73) sebagai awal demokrasi ekonomi, setelah melewati
episode I (1945-52) ekonomi perang, episode II (1952-59) awal penyesuaian
ekonomi nasional, episode III (1959-66) ekonomi komando (ekonomi terpimpin).
Periode IV ini sebagai periode rehabilitasi dan pemulihan, dimana perekonomian
Indonesia telah melalui titik balik pertumbuhan yang mengesankan rata-rata 6.6%
dan mencapai 10.9% awal tahun 1970, hiperinflasi telah dapat ditekan dari 636-
650% menjadi inflasi normal sekitar 7.78% (Franseda, 2004). Belanja pemerintah
mengutamakan pendanaan bagi pembangunan ekonomi disertai dengan kemajuan
aktivitas ekonomi, investasi dan reformasi institusional.
Episode V (1973-80) merupakan periode ekonomi bonansa minyak. Hill
(1996) dan Arndt (1973) menyebutnya sebagai periode pertumbuhan yang pesat.
Tingginya harga minyak dunia meningkatkan cadangan internasional yang
152
disterilisasi pengeluaran untuk Pertamina. Devaluasi besar-besaran terjadi pada
bulan November 1978 diikuti krisis perang teluk (Irak-Iran) tahun 1979. Belanja
pemerintah dikonsentrasikan pada agenda orientasi nasional dengan banyak
memberikan fasilitas pengusaha pribumi.
Episode VI (1980-87) merupakan periode ekonomi keprihatinan. Periode ini
merupakan tahap penyesuaian terhadap penurunan harga minyak yang tajam,
berdampak kepada melambungnya utang luar negeri dan penurunan pertumbuhan
ekonomi yang dimulai tahun 1982. Pemerintah melakukan pemotongan
pengeluaran, menangguhkan dan pembatalan sejumlah proyek besar, sehingga
campur tangan pemerintah dalam perekonomian sangat besar.
Episode VII (1987-94) adalah periode ekonomi konglomerasi. Kebijakan
penghematan fiskal berkelanjutan dan manajemen nilai tukar yang efektif dalam
reformasi makroekonomi telah menghasilkan pemulihan yang kuat sejak tahun
1987. Komersialisasi dan independensi sektor swasta mulai menguat, konglomerasi
raksasa berkoneksi dengan pemerintahan.
Episode VIII (1994-2001) merupakan periode krisis moneter, menuju
Ekonomi Kerakyatan. Periode ini adalah antiklimak dari prestasi perekonomian
yang ditopang konglomerasi dan kapasitas/peran pemerintah yang kuat. Krisis
moneter pada tahun 1997 triwulan 3 telah meruntuhkan konstruksi bangunan
perekonomian yang ditopang peran konglomerasi dan pemerintahan. Periode ini
memunculkan kesadaran kuat untuk membangun ekonomi kerakyatan, setelah
kejatuhan pertumbuhan ekonomi mencapai (negatif) 13% di akhir periode ini.
Episode IX (2001-9) merupakan periode mencari format baru. Periode ini
adalah masa transisi perubahan format mendasar dengan perubahan UUD 1945 dan
153
perundangan yang mengatur otonomi daerah. Konsekuensinya adalah perubahan
peran fiskal pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan ekonomi
Permasalahan dominan selama orde baru (sampai episode VIII) adalah ego
sektoral, kemampuan komunikasi, dan infrastruktur instrumen kebijakan yang
sering menghambat efektivitas fiskal (Subiyantoro, dan Riphat (ed), 2004). Sedang
dimasa krisis (sampai episode IX) Permasalahan yang mencolok adalah transisi
menguatnya posisi tawar legislatif, dan kekurangsiapan daerah dalam implementasi
fiskal yang di desentralisasi (Rasyid, 2002; Saragih, 2003).
Ketidakpastian yang berpengaruh dalam penetapan anggaran belanja negara
(APBN) adalah: (1) harga minyak bumi di pasar internasional, (2) kuota produksi
minyak mentah oleh OPEC, (3) pertumbuhan ekonomi, (4) inflasi, (5) suku bunga,
dan (6) nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (Departemen Keuangan, 2001).
5.2. Dinamika Kebijakan Fiskal Indonesia
Setelah periode monetisasi (menurut istilah Hill, 1996) atau mencetak uang
untuk menutup defisit anggaran pemerintah dan hiperinflasi yang berkepanjangan
pada periode 1960an, sejak tahun 1970 tatalaksana fiskal yang mencolok adalah
menggunakan prinsip anggaran berimbang, meskipun kondisi riil defisit namun
peraturan anggaran berimbang digunakan, dimana pinjaman luar negeri dimasukkan
sebagai bagian dari penerimaan. Hal inilah yang membantu kondisi stabilitas makro
ekonomi dapat dipertahankan semenjak itu.
Periode 1970an perekonomian pemerintah meningkat tajam, bahkan sampai
dua kali dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal ini mendorong penerimaan,
dan peningkatan mengalirnya bantuan luar negeri juga didorong oleh peningkatan
154
harga minyak dunia (pada triwulan 2 tahun 1973). Sehingga pada periode ini terjadi
peningkatan tabungan pemerintah.
Periode 1980-90an, penerimaan dalam negeri bukan minyak mulai
meningkat secara berarti. Dampak perbaikan penerimaan pemerintah pada periode
ini adalah, kemampuan sumberdaya pemerintah pusat yang relatif besar
berimplikasi kepada kekuatan kekuasaan politis dan peningkatan belanja luar
negeri. Belanja pemerintah meningkat tajam. Pada periode ini sasaran kebijakan
fiskal berkembang untuk tujuan: stabilitas ekonomi makro, mengurangi
ketergantungan terhadap bantuan luar negeri, dan meningkatkan distribusi
pendapatan (Emmerson, 1988). Sampai periode 1990 tujuan pertama tersebut dinilai
oleh badan-badan dunia cukup berhasil. Sampai dengan periode ini ada lima strategi
yang secara gradual ditempuh yaitu, reformasi stabilisasi, perpajakan, perdagangan,
investasi asing, dan reformasi sektor keuangan (Wardana, 2004).
Periode 2000an, adalah periode perubahan radikal termin ketiga setelah
periode monetisasi dan periode anggaran berimbang dengan kekuatan sumberdaya
pemerintah yang besar. Periode ketiga ini dimulai sejak reformasi akibat krisis
moneter tepatnya mulai tahun 1997 triwulan ke 3. Perubahan mendasar menyangkut
dua hal, yaitu tatalaksana fiskal yang menganut sistem defisit anggaran dan
desentralisasi fiskal dengan adanya Undang-undang nomor: 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dan nomor: 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut meskipun belum disusun
peraturan pelaksana di bawahnya yang jumlahanya ratusan, dalam waktu 5 tahun
telah dirubah kembali masing-masing menjadi Undang-undang Nomor: 33/2004
dan Nomor: 34/2004 tentang hal yang sama.
155
Implikasi terpenting dari periode ini adalah, semakin terbatasnya kekuasaan
fiskal pemerintah pusat, sementara terdapat indikasi fiskal di daerah yang kurang
siap dalam pengelolaannya terutama keterbatasan dukungan sumberdaya manusia di
daerah. Hiruk pikuk legislatif dan eksekutif pemerintahan di pusat dan daerah
menjadi agenda yang dominan dalam penyusunan penetapan anggaran belanja
pemerintah. Uji struktur series dalam studi ini juga menunjukkan, periode krisis
moneter berpengaruh nyata pada analisis data series, tepatnya dimulai pada tahun
1998 triwulan 1.
Pada periode ini juga telah ditetapkan Undang-Undang Nomor: 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang ini merupakan titik kulminasi dari
perjalanan panjang (58 tahun), telah melampaui 14 Tim penyusun sejak
kemerdekaan RI tahun 1945 sebagai pengganti sistem pengelolaan keuangan negara
dengan landasan hukum kolonial (Indische Comptabiliteitswet/ICW; Reglen Voor
Het Administratief Beheer/RAB; dan Instructie en Verdere Bepalingen Voor de
Algemene Rekenkamer/IAR) (Haryanto dalam Subiyantoro, dan Riphat (ed), 2004).
Undang-undang ini disusun terutama untuk mendukung (legal basis) reformasi
keuangan negara dan terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance)
dan pengaturan keuangan dengan Bank Sentral. Presiden sebagai pemegang
keuangan negara; pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan
hakekatnya sebagai Chief Financial Officer (CFO) Pemerintahan RI, dan kepada
menteri dan pimpinan lembaga hakekatnya sebagai Chief Operational Officer
(COO). Prinsip pengelolaan fiskal yang hati-hati dan berkesinambungan
menghendaki adanya keseimbangan (balanced budged) (yang dianut selama orde
baru). Dalam undang-undang ini, dimungkinkan adanya surplus dan desifit baik di
156
pemerintah pusat maupun daerah. APBN dan APBD ditetapkan dengan UU dan
Perda melalui pembahasan dan penetapan dengan DPR dan DPRD. Akhir-akhir ini
ditemukan persoalan visi anggaran yang terkadang tidak sinkron antara pemerintah
(eksekutif) dan DPR/DPRD (legislatif) lebih disebabkan oleh ketidakseimbangan
(unequality) pemahaman, pengetahun dan kemampuan di kedua belah pihak.1
Pertanyaan yang masih menggantung adalah, sampai kapan ketidak seimbangan ini
berlangsung? Masa pancaroba ini juga berimplikasi pada biaya sosial yang cukup
besar dalam kebijakan fiskal.
5.3. Penerimaan Pemerintah
Penerimaan pemerintah meliputi tiga komposisi penerimaan utama yang
penting yakni, penerimaan minyak dan gas, penerimaan domestik tanpa minyak
(disebut non oil domestic revenue/NODR [lihat Arnt, 1973; Emmerson, 1988]), dan
bantuan luar negeri. Dengan mengkonversi ke dalam sistem I-account (Hutahaean
et. al., 2002; dan Djojosubroto, 2004) maka komposisi penerimaan berasal dari: (1)
minyak dan gas, (2) Pajak ((a) pajak dalam negeri meliputi pajak penghasilan/PPh,
dan pajak tidak langsung/PPn, (b) pajak perdagangan internasional, dan (c) pajak
lain-lain), (3) Penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan (4) Hibah. Sumbangan
minyak pada awal tahun 1970an sekitar 10-20% dari penerimaan pemerintah, dari
penerimaan domestik tanpa minyak sebesar 50-60% sedangkan bantuan luar negeri
berkisar 25-30%. Walaupun sumbangan dari minyak sempat meningkat dua kali
lipat pada pertengahan periode 1970an hingga pertengahan periode 1980an, namun
kemudian porsinya menurun seiring dengan peningkatan penerimaan non migas. 1 Diskusi Pakar dengan Dr.Ir.Endah Murniningtyas, M.Sc (Direktur Penanggulangan Kemiskinan yang sebelumnya Direktur Pangan dan Pertanian BAPPENAS), 21 Pebruari 2008.
157
Sehingga dalam penelitian ini, analisis dikonsentrasikan pada penerimaan non
migas, utamanya pajak dan utang pemerintah yang cukup mewarnai penerimaan
pemerintah di akhir periode 1990an dan 2000an.
Pada Gambar 10 diketahui, mulai tahun 1974 penerimaan dari minyak
melampaui penerimaan pajak (dipicu oleh oil boom yang dimulai tahun 1973). Hal
itu terjadi sampai dengan tahun 1985. Mulai tahun 1986 dan tahun-tahun
berikutnya, penerimaan dari pajak lebih dominan. Ini menunjukan sisi keberhasilan
reformasi pajak yang dimulai tahun 1980, 1997 dan revitalisasi perpajakan mulai
tahun 2000 (Usman, 2004; Bawazier, 2004). Pasca tahun 2000 sampai dengan 2005
sumbangan penerimaan dari pajak meningkat drastis pada situasi penerimaan dari
minyak turun mulai tahun 2001. Penerimaan dari pajak sempat menurun pada saat
krisis moneter tahun 1998 sampai tahun 2000. Penerimaan lain-lain (termasuk
hibah) juga menunjukkan kenaikan berarti sejak tahun 1997; secara konsisten naik
tajam di tahun 2003 sampai tahun 2005. Dua sumber ini merupakan penopang
penting dalam penerimaan setelah krisis moneter tahun 1998. Temuan ini sejalan
dengan studi Hutahaean, et. al. (2002) bahwa, kenaikan Tax Ratio (pangsa pajak
total terhadap PDB) yang meningkat konsisten rata-rata 8.55 % (1970-80), menjadi
9.54 % (1981-90), dan 12.26 % sampai pertengahan 1991-2000. Tax ratio periode
1995-2005 meningkat dua kali, rata-rata dari studi ini sebesar 39.77 %.
Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa mulai tahun 1986 sumber
penerimaan dari pajak semakin dominan dan penting, dengan laju peningkatan tax
ratio yang tajam setelah periode reformasi pajak 1980, 1997 dan revitalisasi
perpajakan tahun 2000.
158
5.3.1. Pajak
Jumlah bantuan luar negeri dan penerimaan migas yang cukup besar mulai
periode 1970an sampai pertengahan 1980an rupa-rupanya membawa dampak tidak
baik terhadap penerimaan domestik tanpa minyak. Studi Hill (1996) menemukan
bahwa keasyikan memperoleh kemudahan bantuan luar negeri dan limpahan boom
minyak selama pertumbuhan tinggi periode 1970an telah mempengaruhi rezim
fiskal menjadi lamban. Administrasi yang kurang baik, pengumpulan pajak yang
tidak efisien sehingga penerimaan dari pajak dalam PDB masih jauh dari
kemampuan yang sebenarnya.
Reformasi perpajakan dimulai tahun 1980an terutama untuk
mengoptimalkan pemungutan pajak-pajak bukan minyak dan pajak tidak langsung
(PPn). Studi Gillis (1985) menemukan bahwa sampai periode 1980an kondisi
perpajakan masih tidak produktif dalam penerimaan, tidak efektif dalam
pendistribusi pendapatan, sangat mudah terkena manipulasi dalam pelaksanaan dan
administrasi serta penuh dengan godaan inefisiensi dan pemborosan.
Selanjutnya; secara khusus diuraikan keragaan kinerja pajak penghasilan
(PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn). Sebagaimana disajikan pada Gambar 11
dapat diketahui, bahwa dengan reformasi perpajakan tahun 1980an, pada
pertengahan periode 1981-85 mulai terjadi peningkatan kinerja penerimaan PPh,
jika diperbandingkan dengan PDB terjadi peningkatan lebih besar (1.03%) dari
periode sebelumnya.
159
Penerimaan Pemerintah Pusat
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
TahunPener imaan 360 442 644 1020 1832 2300 2968 3634 4378 7050 10406 13763 12815 15511 18724 20347 21324 24781 24088 29093 39566 42415 50645 56318 69402 80427 90298 113882 157412 198673 205335 300599 298528 340928 403105 493914
Pener imaan Lain-lain 28 42 88 102 145 169 180 242 303 541 179 1550 397 1078 2819 1094 4173 3978 1084 353 20 830 3193 205 2984 7413 2668 1607 8501 6980 29371 34917 27570 30590 68098 131731
Pener imaan Pajak Total 232 260 326 536 730 883 1152 1443 1766 2250 3207 3585 4248 4913 5475 8108 9803 10756 13477 17488 21834 26546 32122 41289 50875 56471 67493 81716 117651 145390 116346 185541 210954 254142 267784 287346
Pener imaan Minyak Gas 99 141 230 382 957 1248 1635 1949 2309 4260 7020 8628 8170 9520 10430 11145 7348 10047 9527 11252 17712 15039 15330 14824 15543 16543 20137 30559 41254 56303 59618 80141 60004 56196 67223
1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
74837
2005
Krisis Moneter
Gambar 10. Komposisi Penerimaan Pemerintah Pusat
Sumber: IMF (Juli, 2007), BPS (1970-2006), diolah
160
Peningkatan berlanjut sampai periode 1986-90 (1.95%), periode 1991-95 menjadi
4.52%. Periode berikutnya kembali meningkat terutama pada tahun 2000-5
(27.03%) setelah dilakukan revitalisasi perpajakan pada tahun 2000. Kenaikan
penerimaan PPh yang konsisten juga terhadap total penerimaan meskipun lajunya
sedikit menurun pada periode 1996-2000. Terhadap penerimaan total pajak juga
meningkat meskipun terjadi penurunan laju peningkatan pada periode 1986-90.
Periode selanjutnya sampai 2000-5 terjadi peningkatan tajam masing-masing
33.60% terhadap total penerimaan dan sebesar 51.10% terhadap total pajak. Ini
artinya, reformasi perpajakan pada tahun 1980an dan revitalisasi pajak tahun 2000
telah mampu meningkatkan penerimaan pajak PPh.
Persentase PPh Terhadap PDB, Penerimaan Total, dan Pajak Total
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
Tahun
Per
sen
% Terhadap Penerimaan Total 11.52 12.21 11.33 16.57 25.40 26.81 33.60
% Terhadap Pajak Total 25.34 33.75 35.98 31.37 37.09 39.19 51.10
% Terhadap PDB 0.18 0.50 1.03 1.95 4.52 10.68 27.03
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
Sumber: IMF (Juli 2007), PPh dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah
Gambar 11. Pangsa PPh terhadap PDB, Total Penerimaan, dan Total Pajak
Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa reformasi perpajakan pada tahun
1980an dan revitalisasi pajak tahun 2000 juga mampu meningkatkan penerimaan
pajak PPn. Persentase penerimaan PPn terhadap PDB, total penerimaan dan total
pajak pada periode 1986-90 meningkat lebih besar dibandingkan periode
161
sebelumnya, masing-masing 1.56%, 25.67%, dan 13.39%. Peningkatan itu
konsisten sampai periode 2000-5 meskipun sedikit menurun lajunya pada periode
1996-2000 baik terhadap penerimaan maupun pajak total.
Persentase PPn Terhadap PDB, Penerimaan Total, dan Pajak Total
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
Tahun
Pers
en
% Terhadap Penerimaan Total 5.19 4.45 4.65 13.39 18.37 17.36 21.06
% Terhadap Pajak Total 11.03 12.07 14.21 25.67 26.84 25.20 31.86
% Terhadap PDB 0.07 0.17 0.44 1.56 3.25 6.64 16.87
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
Sumber: IMF (Juli, 2007), PPn dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah
Gambar 12. Pangsa PPn terhadap PDB, Total Penerimaan, dan Total Pajak
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa reformasi perpajakan tahun
1980an dan revitalisasi perpajakan tahun 2000 telah meningkatkan penerimaan PPh
dan PPn secara berarti. Peningkatan yang tinggi terjadi selama 5 tahun setelah
reformasi dan revitalisasi perpajakan dilakukan, utamanya terjadi pada PPn.
5.3.2. Utang Pemerintah
Utang pemerintah terdiri dari utang luar negeri dan dalam negeri. Menurut
studi Hill (1996), utang Indonesia pada awal tahun 1970an bahkan saat terjadi oil
boom sudah cukup banyak. Studi Bafadal (2005) melaporkan, mencapai 2.38
162
milyar US$. Akumulasi utang luar negeri semakin besar setelah terjadi penurunan
harga minyak pada awal periode 1980an baik jumlah utang maupun proporsinya
terhadap PDB, bahkan berlipat 2 antara tahun 1980 sampai tahun 1986 dan masa
krisis moneter tahun 2000 dengan rata-rata utang per tahun mencapai 5 milyar
US$. Hasil studi tersebut terlihat juga pada Gambar 13, dimana periode 1981-85
adalah masa kenaikan porsi utang luar negeri yang pesat terhadap PDB (36.94%)
dan terhadap total penerimaan (394.68%). Jumlah utang luar negeri sempat
mengalami penurunan terhadap total penerimaan pada periode 1986-91 disebabkan
oleh kenaikan ekspor yang signifikan pada periode tersebut (Hill, 1996).
Persentase Utang Terhadap PDB dan Penerimaan Total
0.00
200.00
400.00
600.00
800.00
1000.00
1200.00
1400.00
Tahun
Pers
en
% Terhadap Penerimaan Total 9.39 60.34 394.68 889.75 721.24 1208.29 1285.99
% Terhadap PDB 0.09 4.10 36.94 102.10 126.51 553.94 982.57
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
Sumber: IMF (Juli, 2007), utang dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah
Gambar 13. Pangsa Utang terhadap PDB, dan Total Penerimaan
Kenaikan porsi utang yang cukup tajam terjadi lagi mulai periode 1996-
2000 (553.94% terhadap PDB dan 1 223.89% terhadap total penerimaan) dan
konsisten sampai periode 2001-2005 (982.57% terhadap PDB dan 1 285.99%
terhadap total penerimaan). Dua periode ini merupakan gambaran keterpurukan
163
perekonomian makro yang berakhir dengan krisis moneter dan multi dimensi yang
dimulai tahun 1997. Porsi utang luar negeri sedikit menurun lajunya terhadap total
penerimaan setelah pemerintah melakukan percepatan pelunasan sebagian besar
utangnya yang dilakukan pada tahun 2004. Menurut Boediono (2005), pada rasio
utang terhadap PDB di atas 60% stimulus fiskal secara langsung bagi
perekonomian sangat berat dilakukan.
Pendalaman komposisi utang disajikan pada Tabel 16. Dari tabel tersebut
diketahui bahwa pertumbuhan utang domestik selama tahun 1970-2005 rata-rata
305.94%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan utang luar negeri sebesar 22.57%.
Kenaikan tertinggi utang domestik terjadi pada saat krisis (1996-2000) sebesar 1
903.62%. Pada saat itu pemerintah menerbitkan surat utang negara (SUN) yang
petama kali tahun 1999 sebagai awal pertama pemerintah menempuh utang
domestik untuk pembangunan. Begitu pula pertumbuhan tertinggi utang luar negeri
terjadi pada periode yang sama sebesar 46.96%. Artinya, krisis moneter telah
mengakibatkan peningkatan utang pemerintah yang luar biasa baik domestik
maupun luar negeri.
Tabel 16. Rata-rata Pertumbuhan Utang Domestik dan Luar Negeri
(%) Tahun Pertumbuhan Utang
Domestik Pertumbuhan Utang Luar
Negeri 1970-1975 0.52 21.90 1976-1980 31.37 21.94 1981-1985 159.03 41.57 1986-1990 29.23 12.27 1991-1995 17.12 7.89 1996-2000 1903.62 46.96 2001-2005 0.72 5.46
Sumber: BPS (1970-2006), Departemen Keuangan (2001), diolah
164
Penggunaan utang pemerintah untuk pembiayaan pembangunan (utang
produktif) dan untuk pembiayaan rutin (utang tidak produktif) (Wardana, 2004).
Dari Tabel 17 diketahui bahwa pada awal orde baru sampai tahun 1980 porsi
pengeluaran pemerintah baik total, pembangunan, rutin dan untuk sektor pertanian
relatif besar dibandingkan dengan total utang. Ini artinya posisi utang masih sangat
kecil dibandingkan dengan jenis pembiayaan tersebut. Periode berikutnya mulai
tahun 1981 sampai 2005 porsi semua pengeluaran tersebut semakin kecil, artinya
jika dibandingkan dengan jumlah utang yang semakin besar pangsa untuk
pengeluaran total, pembangunan, rutin dan sektor pertanian malah menurun.
Pangsa pengeluaran pembangunan dari total utang selama periode analisis rata-rata
lebih kecil (1 396.74%) dibandingkan dengan pengeluaran rutin (1 439.52%).
Maknanya adalah utang pemerintah selama ini indikasinya masuk kepada utang
tidak produktif.
Tabel 17. Porsi Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Rutin, dan Pengeluaran Sektor Pertanian terhadap Utang
(%)
Tahun Pengeluaran Total
Pengeluaran Pembangunan
Pengeluaran Rutin
Pengeluaran Sektor Pertanian
1970-1975 4 108.89 2 122.84 2 589.32 348.98 1976-1980 13 118.47 7 618.11 7 450.69 1 305.90 1981-1985 27.80 15.05 9.46 2.63 1986-1990 12.63 5.13 5.19 0.83 1991-1995 13.04 6.53 8.05 0.61 1996-2000 11.51 4.25 11.22 0.52 2001-2005 10.06 5.27 2.73 0.17
Sumber: BPS (1970-2006), Departemen Keuangan (2001), diolah
Jika dilihat pangsa pengeluaran untuk sektor pertanian yang semakin
menurun konsisten, berarti semakin besar utang pemerintah indikasinya justru
alokasi untuk belanja pertanian menurun atau dikatakan utang cenderung bukan
165
untuk sektor pertanian. Hal itu diperkuat dengan data alokasi pinjaman Bank Dunia
per sektor sebagaimana disajikan pada Tabel 18, untuk pertanian selalu menurun
sejak periode 1969-98 dari 34.8% manjadi 9.5% jika dibandingkan dengan
infrastruktur, pendidikan, kesehatan, kependudukan, gizi, dan terutama perkotaan.
Tabel 18. Alokasi Pinjaman Bank Dunia per Sektor
Sektor
US$ juta 1969-98
% 1969-98
% 1969-79
% 1980-90
% 1990-98
Infrastruktur (listrik, migas, telkom, transportasi) 10,196 40.2 36.9 34.3 46.9
Pertanian 4,880 19.2 34.8 24.7 9.5Pendidikan, kesehatan, kependudukan, gizi 3,301 13.0 7.3 11.6 16.0Perkotaan, sanitasi dan air bersih 2,624 10.4 6.1 6.6 15.1Keuangan 1,818 7.2 6.6 10.4 4.2Penyesuaian 1,200 4.7 - 8.7 2.2Lain-lain 1,351 5.3 8.3 3.7 6.1Total 25,370 100.0 100.0 100.0 100.0
Sumber: Hutagalung (2004)
5.3.3. Defisit Anggaran
Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal, bahwa selama periode tahun
1970 sampai krisis moneter 1998, pemerintah (orde baru) telah menerapkan prinsip
anggaran berimbang (metode T-account). Hal itu sangat nampak pada
keseimbangan neraca anggaran yang selalu terwujud. Namun hasil studi Subagjo
(2005) upaya penyeimbangan (memperkecil defisit) sama halnya dengan tindakan
pemerintah melakukan kontraksi atau restriksi fiskal yang mengakibatkan
penurunan pertumbuhan ekonomi, dari potensi pertumbuhan yang bisa dicapai.
Penerapan metode I-account yang efektif mulai tahun 1998, telah
memunculkan defisit dan surplus yang dinamis, dan cenderung semakin membesar
selama periode analisis (lihat Lampiran 1). Pada situasi ketidakberimbangan
166
ekonomi, pemerintahan harus didukung oleh keberanian menempuh defisit
anggaran (Boediono, 1990).
Akumulasi dinamika defisit dan surplus per periode disajikan pada Gambar
14. Pangsa defisit anggaran terhadap penerimaan total, PDB dan pengeluaran total
terbesar pada periode 1976-80 masing-masing sebesar 16.63%, 0.53% dan 15.38%.
Periode selanjutnya menurun sampai periode 1991-95. Sejak krisis ekonomi (mulai
periode 1996-2000) pangsa defisit meningkat konsisten terutama terhadap PDB.
Sedangkan terhadap penerimaan pemerintah dan pengeluaran total menurun mulai
tahun 2000 sampai dengan 2005 (lihat Lampiran 1).
Persentase Defisit Terhadap Penerimaan Total, PDB, dan Pengeluaran Total
-20.00
-15.00
-10.00
-5.00
0.00
5.00
10.00
Tahun
Per
sen
% Terhadap Penerimaan Total 1.89 -16.63 7.63 6.01 0.30 5.25 4.49% Terhadap PBD 0.02 -0.53 0.67 0.59 -0.07 2.96 2.95% Terhadap Pengeluaran Total 1.64 -15.38 7.40 4.98 -0.13 4.41 3.94
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
Sumber: IMF (Juli, 2007), defisit dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah
Gambar 14. Pangsa Defisit terhadap Penerimaan Total , PDB, dan Pengeluaran Total
Pada Tabel 19 diketahui pada saat implementasi metode I-account dimana
defisit dipandang sebagai gap fiskal yang harus dikelola, sejak tahun 2001 defisit
terhadap PDB terus menurun (3% menjadi 1.8%) menunjukkan kemampuan APBN
yang aman (Djojosubroto, 2004) dan keberlanjutan fiskal (Subagjo, 2005).
167
Tabel 19. Pembiayaan Defisit Anggaran
2001 2002 2003 Uraian
APBN(T Rp)
PDB (%)
APBN(T Rp)
PDB (%)
APBN (T Rp)
PDB(%)
Belanja Pemerintah Pusat 260.5 18.0 228.6 14.2 253.7 13.1
Pembiayan Dalam Negeri 30.2 2.1 19.6 1.2 22.5 1.2
a. Perbankan -1.2 -0.1 -5.7 -0.4 8.5 0.4
b. Non-Perbankan 31.4 2.2 25.3 1.6 14.0 0.7Pembiayaan Luar Negeri 10.3 0.7 7.4 0.5 11.9 0.6
a. Penarikan pinjaman luar negeri (bruto) 26.2 1.8 19.7 1.2 29.2 1.5
b. Pembayaran cicilan pokok utang LN -15.9 -1.1 -12.3 -0.8 -17.3 -0.9Jumlah 40.5 2.8 27.0 1.7 34.4 1.8
Keterangan: Angka positif = membiayai, angka negatif = membelanjakan defisit Sumber: Djojosubroto (2004)
Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa pembiayaan defisit dari sumber
dalam negeri lebih besar (30.2% turun menjadi 1.2%) dibandingkan dari luar
negeri (10.3% turun menjadi 0.6%). Sumber pembiayaan defisit dari dalam negeri
netto berasal dari perbankan (baru positif pada tahun 2003) dan non-perbankan.
Pembiayaan defisit dengan pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca
pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah. Semakin besar jumlah
realisasi pinjaman luar negeri, lalu lintas modal pemerintah cenderung positif.
5.4. Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah pusat, dapat dipandang dari berbagai klasifikasi
belanja negara meliputi, (1) sektoral, (2) fungsional, dan (3) ekonomi (Hutahaean,
et.al., 2002). Namun semua akan bermuara pada format anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) yang dikelompokkan menjadi (1) anggaran belanaja
pemerintah pusat (pengeluaran rutin, dan pengeluaran pembangunan) dan (2)
168
anggaran belanja untuk daerah. Untuk negara berkembang, pos pengeluaran
pembangunan merupakan tolok ukur bagi otoritas fiskal dalam mendorong mesin
pembangunan yang diharapkan akan mampu menarik pertumbuhan perekonomian
dan mewujudkan kemakmuran rakyat (Hill, 1996).
Pada Gambar 15 diketahui bahwa pengeluaran total pemerintah pusat
secara konsisten selalu meningkat sejak tahun 1970 sampai 2005. Peningkatan
menajam dimulai tahun 1980 mencapai 48.64%. Periode ini adalah paruh pertama
pesatnya pembangunan yang nyata mendorong kinerja pertanian dengan puncak
pencapaian swasembada beras di tahun 1984. Kenaikan pengeluaran yang tajam
kedua terjadi pada tahun 1997 sebasar 44.80% saat terjadinya krisis moneter.
Pasca krisis terjadi kenaikan level pembelanjaan dengan laju rata-rata 22.49% per
tahun.
0
100000
200000
300000
60
0000
0000
0000
1970 971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Milyar Rupiah50
Pengeluara Total Pengeluaran Pembangunan
40
1
Krisis Moneter
Sumber: IMF (Juli, 2007), BPS (1970-2006), diolah
Gambar 15. Pengeluaran Total dan Pengeluaran Pembangunan
169
Meskipun pada tahun 2000 terjadi penurunan alokasi untuk pembangunan
namun selanjutnya terjadi peningkatan tajam selaras dengan kenaikan pengeluaran
pemerintah. Periode ini adalah krisis yang membawa kesadaran kolektif untuk
memberdayakan sumberdaya pertanian semaksimal mungkin (misal dengan
menanami lahan tidur) dan program-program memajukan pertanian seperti Gema
Palagung, dan terakhir revitalisasi petanian di tahun 2005.
Jika ditelusur lebih mendalam, pada Gambar 16 diketahui porsi pengeluaran
pembangunan yang akan langsung diperuntukan bagi anggaran sektoral secara
agregat pada tahun 1970-2005 yang relatif konstan porsinya terhadap total
pengeluaran. Bahkan cenderung menurun sampai tahun 2000 dengan fluktuasi dan
penurunan tajam di tahun 1986. Sejak tahun 2000, kenaikan cukup tajam baik
terhadap PDB maupun terhadap pengeluaran total sampai tahun 2005.
Persentase Pengeluaran Pembangunan Terhadap PDB dan Pengeluaran Total
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
Tahun
Pers
en
% Terhadap PDB 0.2 0.2 0.4 0.5 1.10 1.3 1.851.78 1.9 2.9 3.8 4.2 4.3 5.6 5.3 5.71 4.2 4.2 5.16 5.4 7.12 7.4 8.6 8.5 8.6 7.77 8.0 8.8 18. 20. 15.7 29. 32. 40. 51.2 61.
% Terhadap Pengeluaran Total 36. 36. 41.5 40. 51.7 53. 60. 58.152. 55.154. 48. 54. 60. 59. 52. 33. 36. 42. 42. 50. 52. 51.5 51.7 49. 44. 42. 33. 38. 34. 28. 35. 43. 48. 57. 60.
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber: IMF (Juli, 2007), BPS (1970-2006), diolah
Gambar 16. Pangsa Pengeluaran Pembangunan terhadap PDB dan Pengeluaran Total
170
Sumber: ARIC-ADB (2007), BPS (1980-2006), diolah
Sebagaimana disajikan pada Gambar 17; selama periode 1980-2005 alokasi
belanja pemerintah pusat untuk sektor pertanian mengalami penurunan konsisten di
Indonesia (16.04% menjadi 2.96%), Malaysia (7.09% menjadi 2.88%), dan
Thailand (10.24% [1990-95] menjadi 5.65%). Sedangkan di Philipina sedikit
meningkat dari 5.54% menjadi 6.10%.
Pada Tabel 20 diketahui komposisi alokasi belanja pemerintah pusat di
beberapa negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Philipina, dan Thailand) pada
periode 1980-2005. Alokasi belanja pemerintah pusat untuk kegiatan ekonomi di
Indonesia sejak tahun 1980 menurun sampai dengan tahun 1999 dari 60.77%
menjadi 51.63%. Pada tahun 2000-5 mengalami kenaikan cukup besar menjadi
73.40%. Di Thailand kenaikan alokasi belanja meningkat konsisten sampai 2005
(dari 15.47% menjadi 22.28%). Untuk Malaysia dan Philipina justru mengalami
penurunan konsisten pada periode tersebut.
Gambar 17. Alokasi Belanja Sektor Pertanian Beberapa Negara ASEAN
Alokasi Belanja Sektor Pertanian
0.002.004.006.008.00
10.0012.0014.0016.0018.00
1980-85 1986-89 1990-95 1996-99 2000-Tahun
Pers
en
05
ThailPhilipMalaIndonesia
ysiaina
and
171
INDONESIA MALAYSIA PHILIPINA THAILAND
DISTRIBUSI 1980-
85 1986-
89 1990-
95 1996-
99 2000-
05 1980-
85 1986-
89 1990-
95 1996-
99 2000-
05 1980-
85 1986-
89 1990-
95 1996-
99 2000-
05 1980-
85 1986-
89 1990-
95 1996-
99 2000-
05 Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Layanan Umum 5.12 4.80 3.78 5.40 3.34 7.56 8.87 9.46 11.58 12.99 14.73 10.92 14.94 18.74 18.11 13.11 12.82 12.18 10.90 11.30
Pertahanan 6.24 5.45 6.31 7.22 5.62 15.90 367.52 16.48 13.80 11.36 8.38 6.39 6.12 6.23 4.92 20.68 19.41 16.15 10.50 5.83 Pendidikan 12.69 12.67 9.60 7.64 5.19 16.47 18.32 19.87 21.56 24.37 12.62 12.33 13.27 19.05 18.09 - - 23.03 23.88 25.12 Kesehatan 3.44 3.11 4.55 2.87 1.89 4.20 4.56 5.46 6.25 6.35 3.79 3.06 2.75 2.67 2.17 - - 7.58 7.54 8.58 Kesejahteraan Sosial - - - - - 1.88 1.97 3.25 3.78 4.11 0.72 0.61 1.27 3.77 3.64 29.94 29.76 29.60 4.47 5.73 Pemukiman 11.76 14.66 19.57 19.28 10.58 3.64 1.23 0.41 1.44 1.60 1.29 0.53 0.43 0.74 0.56 - - 5.95 5.99 5.01
Kegiatan ekonomi 60.77 59.30 53.46 51.63 73.40 24.27 20.36 19.89 20.00 19.85 28.57 19.14 23.32 25.05 24.70 15.47 14.57 24.49 28.22 22.28
Pertanian 16.04 17.14 9.86 5.51 2.96 7.91 7.09 5.77 3.78 2.88 5.54 4.83 5.78 6.67 6.10 - - 10.24 8.17 5.65 Industri 6.46 3.60 3.22 0.59 0.14 3.68 4.09 4.19 5.59 6.77 2.02 1.27 1.24 1.00 0.67 - - 0.51 0.53 0.68 Listrik, Gas dan Air 13.47 13.51 12.04 3.70 0.96 3.71 2.71 1.74 3.07 1.53 2.96 1.68 2.62 1.31 1.09 - - 0.23 0.19 0.22 Transportasi dan Komunikasi 14.00 17.15 21.68 5.89 1.94 297.63 5.47 7.62 7.06 7.39 10.11 7.17 9.21 9.97 9.18 - - 12.35 13.80 9.38 Kegiatan ekonomi lainnya 9.80 7.92 6.66 35.95 67.33 3.40 1.25 0.45 0.32 0.28 7.96 4.19 4.47 5.95 7.67 - - 3.23 5.53 3.88
Lain-lain - - 8.20 - - 26.11 30.60 25.17 21.59 19.39 29.85 47.00 37.67 23.76 27.83 20.80 23.39 11.49 8.25 13.16
(%) Tabel 20. Alokasi Belanja Pemerintah Pusat Beberapa Negara di ASEAN
Keterangan: Sel kosong, tidak tersedia data Sumber: ARIC-ADB (2007), BPS (diolah)
172
Hal ini menjadi bukti sinyalemen International Food Policy Research Institute dan
ADB (Braun dan Greenwood, 2007) bahwa pemerintahan di Asia yang sebagian
besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, semakin menjauhi petani.
5.4.1. Pengeluaran Untuk Sektor Pertanian
Alokasi anggaran untuk suatu sektor menggambarkan intensitas sektor
tersebut dibangunan pada level potensi sumberdaya yang tersedia. Dari Gambar 18
diketahui bahwa sejak tahun 1970 sampai dengan 2005, alokasi anggaran untuk
sektor pertanian menurun dari 6.85% pada tahun 1970 menjadi 2.09% pada tahun
2005 terhadap pengeluaran total.
Persentase Anggaran Sektor Pertanian
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
Tahun
Per
sen
% Terhadap Total Belanja 6.85 9.72 9.37 6.80 4.68 4.35 2.09% Terhadap Total BelanjaPembangunan
15.33 17.28 17.08 16.63 9.33 12.10 4.68
% Terhadap PDB 0.11 0.43 0.84 0.86 0.77 1.76 1.73
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
Sumber: IMF (Juli, 2007), anggaran sektor pertanian dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah
Gambar 18. Pangsa Anggaran Sektor Pertanian terhadap Pengeluaran Total,
Pengeluaran Pembangunan, dan PDB
Kenaikan terjadi pada periode 1976-80 (9.72%) kemudian turun drastis
pada periode 1996-2000 (4.36%). Hal serupa juga terjadi pada porsi alokasi
173
terhadap pengeluaran pembangunan, bahkan secara konsisten telah terjadi
penurunan sejak periode 1981-85 sampai periode 2001-5 tinggal 4.68%.
Tren menurun tersebut tidak terjadi jika dilihat dari besaran (magnitude),
bahkan semakin besar levelnya jika dibandingkan dengan sektor lain (dalam studi
ini terhadap PDB). Terhadap PDB terjadi kenaikan porsi meskipun sangat kecil
dari 0.11% di tahun 1970, konsisten menjadi 1.73% di tahun 2005. Jika
dimasukkan subsidi maka alokasi anggaran untuk pertanian besarannya selalu
meningkat. Yang menjadi persoalan adalah sering terjadi peruntukan yang salah
sasaran dari tugas utama Departemen Pertanian sebagai regulator dan fasilitator,
yang harus fokus pada public domain seperti: produksi dan diseminasi iptek, sistem
perbenihan, penyuluhan, standar mutu, perkarantinaan, verifikasi/advokasi, dan
kesehatan hewan yang seharusnya sebagai affirmative action2 dibandingkan sektor
produksi langsung yang justru berindikasi tidak memandirikan petani.
Kecenderungan penurunan alokasi pengeluaran untuk sektor pertanian
adalah hal yang wajar jika mengikuti logika transformasi struktural dengan asumsi
terjadi perubahan aktivitas pertanian primer menjadi industri pertanian
(agroindustri). Namun indikasinya menunjukkan bahwa penurunan alokasi
pengeluaran untuk pertanian tidak disertai dengan proses transformasi dari
pertanian primer menjadi industri pertanian yang maju. Fenomena sebagaimana di
kemukaan Braun dan Greenwood (2007), International Food Policy Research
Institute (IFRI), Asian Development Bank (ADB); dan Otsuka (2007), Nationsal
Graduate Institute for Policy Studies Japan bahwa pemerintahan di Asia semakin
menjauhi petani sehingga kemiskinan semakin sulit untuk diberantas, diperkuat
2 Ibit h.156
174
hasil penelitian ini. Dalam kasus Indonesia ketidakberpihakan pemerintah dengan
sektor pertanian, pada situasi lebih dari 50% penduduk masih menggantungkan
kehidupannya di sektor pertanian.
5.4.2. Subsidi Pertanian
Subsidi adalah instrumen fiskal yang langsung memberi dampak pada
kenaikan daya beli masyarakat. Bagi petani, subsidi diharapkan akan mendorong
peningkatan produktivitas pertanian (pada subsidi sarana produksi seperti pupuk)
dan peningkatan daya beli konsumen terhadap produksi pertanian (seperti subsidi
harga bahan pangan) sehingga juga akan berdampak kepada tarikan peningkatan
produksi petani. Sejak tahun 1970 sampai 1972, subsidi pertanian praktis belum
diberlakukan karena keterbatasan anggaran (Lihat Hill, 1996; BPS, 2006; Hambali,
2007; dan Ilham, 2006). Baru setelah era bom minyak tahun 1973 mulai
dialokasikan subsidi pada sektor pertanian yang mencakup subsidi sisi produksi
misalnya subsidi pupuk, pestisida, kredit pertanian dan sisi produksi memberi
subsidi pada konsumen produk pertanian (yang juga sebagian besar petani,
kemudian disebut petani sebagai net konsumer). Rata-rata pangsa subsidi pertanian
sejak tahun 1970-2005 terhadap total subsidi sebesar 36.90%, terhadap pengeluaran
pembangunan sebesar 6.70%, terhadap pengeluaran total sebesar 3.16%, dan
terhadap PDB sebesar 0.68%.
Pada Gambar 19 diketahui bahwa pada tahun 1973-99, pangsa alokasi
subsidi pertanian terhadap subsidi total berkisar antara (10-70)%. Bahkan pada
kondisi kekeringan bisa mencapai hampir 100% dari alokasi subsidi total, seperti
175
tahun 1974 sebesar 81.37%, tahun 1985 sebesar 94.28%, dan tahun 1999 sebagai
masa krisis moneter pangsa subsidi pertanian mencapai 91.93%.
5.4.3. Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan Sektor Pertanian 5.4.4. Pengeluaran Infrastruktur Pertanian
Persentase Subsidi Pertanian
0.010.020.030.040.050.060.070.080.090.0
100.0
ahun
Per
sen
T% l 0 0 0 0.0 3 0 2 . 7 5 1 2.6 3 4.4 4 3 2 2.3 4
Sumber: IMF (Juli, 2007), subsidi dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah
Gambar 19. Pangsa Subsidi Pertanian terhadap Subsidi Total, Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Total, dan PDB
Alokasi subsidi pertanian sempat turun drastis di tahun 2000, kemudian
naik kembali dan kenaikan drastis terjadi tahun 2004-5. Periode setelah tahun
2000-5 merupakan masa sering terjadi bencana banjir, kekeringan, gempa bumi dan
tsunami.
5.4.3. Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Telah diketahui bersama bahwa kegiatan penelitian di Indonesia kurang
optimal. Jika ditelusur penyebabnya adalah, secara umum budaya meneliti dan
penghargaan terhadap hasil-hasil penelitian di negeri ini masih rendah. Di tataran
sektor riil, terjadi keterputusan hubungan antara institusi penelitian dan industri
yang akan mengaplikasikan temuan lembaga penelitian tersebut. Keadaan itu
Thd Pengeluaran Tot a . .0 . 0 .1 .9 .3 .4 .0 .6 .3 .2 1.6 3.0 1.2 0.5 1.0 1.0 0.3 0.5 0.5 0.4 0.7 5.9 4.0 8.1 1.0 0.7 1.4 1.5 1.4 4.9
% Thd Peng Pembangunan 0.0 0.0 0.0 7.3 39. 13.2 9.7 2.2 5.0 6.2 8.0 8.3 6.7 3.7 3.9 8.0 4.6 8.3 2.9 1.2 2.0 1.9 0.7 0.9 1.0 0.9 1.5 17.410.2 23. 3.5 2.0 3.2 3.0 2.5 8.2
% Thd PDB 0.0 0.0 0.0 0.0 0.4 0.2 0.2 0.0 0.1 0.2 0.3 0.3 0.3 0.2 0.2 0.5 0.2 0.3 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 1.5 1.8 4.8 0.6 0.6 1.0 1.2 1.3 5.0
% Thd Tot al Subdisi 0.0 0.0 0.0 17.781.4 64. 44. 27. 39. 2.9 29. 30.135. 12.031.2 94. 82. 67.127. 16.510.9 31.7 20. 18.221.0 21.6 28. 86. 72. 91.9 3.7 3.1 11.3 21.619.7 50.
6 7 8 9 09
1 2 3 4 5 6 7 89
92000
2001
2002
2003
2004
2005
197 197 197 197 197 197 197 197 197 197 198 198 198 198 198 198 198 198 198 198 199 19 199 199 199 199 199 199 199 190 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5
176
diperburuk oleh rendah bahkan langkanya pembiayaan penelitian.3 Fenomena
tersebut juga terjadi pada sektor pertanian, sejak pembangunan Indonesia dimulai
(Rusastra dan Zulham, 1985), masa orde baru bahkan setelah orde otonomi daerah
(Rusastra, et.al., 1999). Pada orde otonomi daerah (tahun 1998) malahan terjadi
proses penyesuaian menyeluruh (organisasi dan tatakerja) yang menimbulkan
kemandegan kinerja penelitian sesaat (Rusastra, et.al., 2000). Pada tahun 2002
dibuat Undang-undang No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memberikan
tekanan pada penggairahan (favourable) penelitian dalam negeri dan interkoneksi
antara lembaga penelitian dengan pelaku industri melalui sistem insentif seperti
pajak dan atau penelitian swasta. Namun hasil studi Balitbangtan (2005)
menunjukkan hal tersebut sehingga kini sulit terealisasi. Sampai tahun 2005 di LIPI
telah terjadi pelarian (braind drain) 29 peneliti bergelar Doktor yang lebih suka
beraktivitas meneliti di luar negeri.
Secara resmi (official), kegiatan penelitian pertanian di Indonesia
ditatalaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan ini
mengendalikan 4 Puslitbang, 7 Balai Besar dengan perangkatnya, 15 Balai
Penelitian, 6 Pusat Penelitian, 3 Loka Penelitian, 30 BPTP, dan didukung
Perspustakaan dan Pusat Informasi Petanian. Performa tersebut merupakan aset
potensial yang luar biasa untuk mendukung kinerja sektor pertanian.
Pada Gambar 20 diketahui sejak tahun 1970 mengikuti laju alokasi
anggaran sektor pertanian yang menurun, demikian juga penurunan drastis terjadi
3 Diskusi Pakar dengan Dr.Ir. I Wayan Rusastra, MS, APU di UNESCAP, 30 Agustus 2007.
177
pada pangsa pengeluaran penelitian terhadap pengeluaran sektor pertanian, dari
3.65% pada periode 1970-75 menurun sampai periode 1986-1990 tinggal 1.91%.
Namun pada periode 1996-2000 meningkat (2.24%), dan menjadi 5.16% pada
periode 2000-2005. Penurunan serupa juga terhadap pengeluaran total, dari 0.22%
(1970-75) konsisten sampai periode 2001-5 tinggal 0.08%, terhadap pengeluaran
pembangunan menurun dari 0.52% konsisten sampai periode 2001-5 tinggal
0.16%. Namun terhadap PDB meningkat konsisten sampai tahun 2005 dari
0.003% menjadi 0.07%, walaupun pangsa ini tentunya sangat tidak memadai.
Persentase Pengeluaran Penelitian Pertanian
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
Tahun
Pers
en
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
Pers
en% Terhadap Pengeluaran Total 0.22 0.19 0.15 0.10 0.13 0.09 0.08
% Terhadap PengeluaranPembangunan
0.52 0.34 0.27 0.28 0.26 0.25 0.16
% Terhadap PDB 0.00 0.01 0.01 0.01 0.02 0.03 0.07
% Terhadap Pengeluaran SektorPertanian
3.65 1.96 1.79 1.91 2.79 2.24 5.16
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
Sumber: IMF (Juli, 2007), pengeluaran penelitian dan pengembangan petanian dari Balitbangtan (1970-2006), BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah
Gambar 20. Pangsa Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian
terhadap Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Sektor Pertanian, dan PDB
Peningkatan tajam pada periode 2001-5 terhadap pengeluaran sektor
pertanian lebih dikarenakan penataan organisasi dengan adanya otonomi daerah,
jadi bukan pada kegiatan penelitian itu sendiri. Indikasi ini terlihat dari komposisi
alokasi anggaran penelitian pertanian tahun 2005 dimana sebagian besar (42.67%)
178
untuk membiayai tupoksi Balitbang Pertanian. Sebesar 20.77% untuk penciptaan
inovasi teknologi, dan 9.7% untuk akselerasi pemasyarakatan dan teknologi.
Kegiatan pengkajian spesifik lokasi sebesar 8.39% dan pengembangan kapasitas
kelembagaan Litbang (mirip dengan alokasi tupoksi Balitbang) sebesar 18.47%.
Jadi alokasi anggaran yang sedikit tersebut hanya sekitar 38.86% dialokasikan
dalam kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian. Jika dilihat komposisi
pusat-daerah, hanya 7.7% merupakan anggaran pusat sedangkan 92.3% merupakan
anggaran daerah mencakup 62 satuan kerja termasuk 30 BPTP dan 1 PTP
(Balitbangtan, 2006).
5.4.4. Pengeluaran Infrastruktur Pertanian
Dilaporkan oleh Indonesian Poverty Team (INDOPOV) World Bank
(2007), bahwa selama dua puluh tahun sejak tahun 1970an terjadi perubahan
signifikan dalam infrastruktur pedesaan dan pertanian. Dengan itu telah
menggairahkan kegiatan ekonomi non pertanian. Namun mutu dan penyebarannya
tidak merata, masih disekitar pulau-pulau utama Indonesia bagian barat (utamanya
Jawa dan Bali). Periode berikutnya mengalami penurunan kualitas yang drastis
menyangkut pemeliharaan. Ini dampak dari alokasi anggaran pertanian yang lebih
banyak digunakan untuk subsidi konsumsi dibandingkan untuk dorongan produksi.
Disamping itu belum tercipta sistem insentif bagi kelembagaan pemeliharaan yang
mandiri oleh masyarakat desa.
Pengeluaran infrastruktur pertanian meliputi irigasi dan sarana prasarana
pedesaan yang meliputi (a) infrastruktur fisik, (b) infrastruktur produksi, (c)
infrastruktur transportasi, (d) infrastruktur pasar, (e) infrastruktur sosial, dan (f)
179
lainnya (Statistik Keuangan Publik, BPS, 2006). Sejalan dengan temuan
INDOPOV, pada Gambar 21 dapat dilihat peningkatan pesat pangsa pengeluaran
infrastruktur pertanian terjadi pada periode 1970-75 sampai 1976-80 baik terhadap
pengeluaran total (5.62% menjadi 8.85%), terhadap pengeluaran pembangunan
(11.88% menjadi 15.76%), terhadap pengeluaran sektor pertanian (84.98% menjadi
90.94%), dan terhadap PDB (0.10% menjadi 0.36%). Pada periode ini infrastruktur
pertanian masuk pada anggaran bidang Ekonomi Sub Sektor Irigasi ditambah
pembangunan pedesaan tersebar di Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan
Umum, dan Departemen Transmigrasi dan Koperasi.
Persentase Pengeluaran Infrastruktur Pertanian
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
Tahun
Per
sen
0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.0090.00100.00
Pers
en P
enge
luar
an P
erta
nian
% Terhadap Pengelaran Total 5.62 8.85 4.00 2.17 1.99 1.05 1.15
% Terhadap Pengeluaran Pembangunan 11.88 15.76 7.36 5.56 4.00 2.84 2.47
% Terhadap PDB 0.10 0.36 0.37 0.27 0.33 0.34 0.99
% Terhadap Pengeluaran SektorPertanian
84.98 90.94 46.57 36.64 43.03 25.42 68.31
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
Sumber: IMF (Juli, 2007), pengeluaran infrastruktur pertanian dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah
Gambar 21. Pangsa Pengeluaran Infrastruktur Pertanian terhadap
Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Sektor Pertanian, dan PDB
Periode berikutnya terjadi penurunan pangsa alokasi anggaran infrastruktur
pertanian secara konsisten sampai periode 2001-5 menjadi tinggal 1.15% terhadap
180
pengeluaran total, 2.47% terhadap pengeluaran pembangunan, kecuali peningkatan
yang tajam terhadap pengeluaran sektor pertanian menjadi 68.31% dari
25.42%(1996-2000). Pangsa terhadap PDB setelah mengalami sedikit penurunan
pada periode 1986-90 kemudian perlahan meningkat hingga periode 2001-5
menjadi 0.99%.
Menurut studi ADB, Ministry of Agriculture, Crescent (2005) realisasi
belanja infrastruktur pertanian sebagian besar untuk Irigasi. Pembangunan irigasi
sejak Pelita I-VI (1970-99) masih merupakan beban utama pemerintah pusat
dengan tujuan peningkatan produksi pertanian, dan diarahkan untuk mendukung
tumbuhnya sektor industri manufaktur (PSE-KP UGM, LPEM FE-UI, dan PSP
IPB, 2004). Pada Gambar 22 diketahui bahwa alokasi anggaran untuk irigasi
senantiasa meningkat sampai periode 1996-2000, kecuali untuk konstruksi baru
yang telah menurun konsisten sejak periode 1991-95.
Pengeluaran Untuk Irigasi
0.0
1000.0
2000.0
3000.0
4000.0
Tahun
Mily
ar
Sumber: Departemen Keuangan (1970-2006)
Gambar 22. Pengeluaran Pemerintah Untuk Irigasi
Rup
iah
Konstruksi baru 39.7 214.6 687.1 1210.2 2957.7 1937.6 753.7Rawa dan pasang surut 107.1 68.3 124.1 130.7 461.7 742.3 269.0Rehabilitasi 61.8 205.9 663.4 671.8 1290.2 1138.5 405.8Sungai dan banjir 23.8 285.6 562.9 827.9 1552.6 2295.7 1078.8Sumberdaya air 3552.1 1276.0
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
181
Porsi terbesar pada awalnya diperuntukkan bagi penanganan rawa dan
pasang surut, namun akhir dari periode tersebut (1996-2000) bergeser kepada
sungai dan pengendalian banjir, serta pelestarian sumberdaya air. Jadi, sejak
periode 1991-95, terjadi pergeseran peruntukkan alokasi anggaran irigasi; yang
lebih besar untuk penyelamatan kapasitas irigasi dan sumberdaya air.
Sejak tahun 1999 terjadi perubahan kebijakan bidang irigasi yang mendasar
yaitu pengembangan sistem irigasi yang melibatkan sebanyak mungkin partisipasi
masyarakat (Keppres No. 3 Tahun 1999 tanngal 13 April 1999, tentang
pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi). Sehingga periode 1999 sampai 2005
terjadi penurunan alokasi anggaran untuk irigasi. Sejak tahun 1970-95 relatif
meningkat untuk konstruksi baru sebesar 220.43%, rawa dan pasang surut sebesar
76%, rehabilitasi 137.11%, sungai dan banjir 333.39%. Kemudian penurunan
konsisten pada periode 1996-2005 masing-masing sebesar 47.79%, 1.50%,
38.06%, dan 2.57%. Pada periode sama, untuk sumberdaya air turun sebesar
64.07%.
Dari sebaran fasilitas irigasi sebagian besar berada di Jawa dan Sumatera
mencapai 75%. Bappenas (2000) dalam PSE-KP UGM, LPEM FE-UI, dan PSP
IPB (2004) melaporkan bahwa, 22% atau 1.5 juta hektar keseluruhan jaringan
irigasi di Indonesia dalam kondisi rusak berat dimana 72% juga berada di Jawa dan
Sumatera.
5.4.5. Desentralisasi Fiskal
Pasca krisis moneter, isu otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menjadi
topik besar dalam perubahan ketatanegaraan dan keuangan negara di Indonesia.
182
Menurut kamus Webster’s Third New International Dictionary, otonomi berarti
adanya kebebasan menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu unit politik
atau bagian wilayah/teritorial dalam kaitannya dengan masyarakat politik atau
negara. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, otonomi daerah adalah ”Kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Desentralisasi adalah pendistribusian wewenang atau
kekuasaan dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih
rendah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketika pola fiskal masih sentralistis, pengalokasian anggaran yang langsung
bisa dikelola di daerah meliputi, (a) tahun 1970-75 bantuan daerah otonom atau
bantuan sumbangan pembangunan daerah, (b) tahun 1976-98 berupa bantuan Desa,
Kabupaten, daerah Tingkat I atau subsidi daerah otonom. Pada era desentralisasi
fiskal, (a) mulai tahun 1999 berupa dana perimbangan termasuk dana alokasi
umum (DAU) meliputi dana pembangunan daerah (DPD) yang berasal dari PBB
dan BPHTB, (b) tahun 2000-5 secara khusus berupa dana alokasi umum (DAU)
(Departemen Keuangan RI, 2001). Banyak studi yang melakukan pendalaman
secara seksama mengenai masa perubahan mendasar tatalaksana fiskal di Indonesia
(misalnya World Bank, 1994; SMERU, 1999; Goodpast and Ray, 2000; Ray, 2003;
Saragih, 2003; Riyanto dan Siregar, 2005; Stiglitz, 2007). Dari studi-studi tersebut
secara umum masih menyangsikan efektifitas kinerja desentralisasi fiskal selama
perilaku dan kapasitas pemerintahan di daerah belum berubah mandiri sebagai
eksekutor otonom dengan segala kemampuannya.
183
Dalam situasi demikian masih ada pandangan kekurangsiapan daerah dalam
mengelola luncuran anggaran tersebut (banyak menyimpulkan bersumber dari
manajemen birokrasi, dan keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia)
misalnya ditandai berputarnya kembali dana yang di daerah ke pusat berua SBI.
Dari sisi perekonomian, studi Ray (2003) menemukan hambatan yang
mempengaruhi iklim usaha secara negatif di daerah antara lain: (a) pungutan liar
(30%), (b) pajak dan biaya resmi (13%), (c) hambatan infrastruktur (21%), (d)
hambatan tataniaga (24%), dan (e) kurangnya keamanan (12%).
Pada Gambar 23 diketahui bahwa dari tahun 1970 sampai 1990 alokasi
belanja pemerintah untuk daerah relatif stabil dengan pertumbuhan rata-rata
37.76% per tahun; kenaikan lebih tinggi pada tahun 1991-99 dengan laju
pertumbuhan rata-rata 201.63%.
Desentralisasi Fiskal
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004 Tahun
0.0010000.0020000.0030000.0040000.0050000.0060000.0070000.0080000.0090000.00100000.00
Mily
ar R
upia
h
Per
sen
% Terhadap Pengeluaran Total % terhadap Pengeluaran Pembangunan
Sumber: IMF (Juli, 2007), anggaran desentralisasi dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah
Gambar 23. Pangsa Anggaran Desentralisasi Fiskal terhadap Pengeluaran Total dan Pengeluaran Pembangunan
Desentralisasi Fiskal (Milyar Rp)
184
Kemudian mulai tahun 2000 menurun. Kenaikan signifikan mengarah
kepada level baru, setelah pelaksanaan dana alokasi umum (DAU) pada periode
2001-5. Pada periode tersebut laju kenaikan rata-rata sebesar 123.53% per tahun.
Ditinjau dari pangsa terhadap pengeluaran total maupun pengeluaran
pembangunan, kenaikan signifikan juga terjadi pada periode 2001-5 dimana
desentralisasi fiskal efektif berlaku.
Kesimpulan dari uraian diatas adalah, dengan desentralisasi fiskal yang
efektif mulai tahun 2000 telah diikuti pangsa alokasi anggaran pemerintah pusat
untuk daerah yang meningkat nyata.
Di RRC, redistribusi anggaran yang dikumpulkan meliputi, untuk
pemerintah pusat sebasar 34%, pemerintah ’perfecture’, sebesar 29%, propinsi
sebesar 11%, kabupaten sebesar 16%, dan kota kecil sebesar 10%. Sedangkan di
Rusia rata-rata fiskal yang didesentralisasikan selama periode (1990-2000)
pemerintah federal sebesar 59.48%, propinsi sebesar 20.75%, dan pemerintah lokal
sebesar 19.92%. Di USA penerimaan pemerintah pusat yang didesentralisasi rata-
rata 4.89% (Saragih, 2003). Indonesia, pangsa alokasi desentralisasi anggaran
untuk daerah sebagaimana telah diuraikan, juga pada bagian berikut cenderung
lebih besar.
Perbandingan pelaksanaan desentralisasi fiskal di daerah, dengan negara-
negara berkembang, transisi, dan OECD sebagaimana pada Tabel 21 diketahui
bahwa dari tahun 1989/90 sampai 2001 pangsa pendapatan daerah terhadap
pendapatan pemerintah pusat di Indonesia relatif lebih kecil dan selalu menurun
(4.69% menjadi 3.39%). Sedangkan pangsa belanja daerah sebaliknya
dibandingkan dengan negara berkembang lebih kecil, namun trennya semakin besar
185
(16.62% menjadi 27.78%). Kesimpulannya adalah, kemampuan penerimaan daerah
pangsanya semakin menurun pada situasi pangsa belanja yang semakin meningkat.
Ini merupakan tantangan daerah untuk lebih bekerja keras menggali sumber-
sumber pendapatan daerah.
Tabel 21. Pangsa Pendapatan dan Belanja Daerah terhadap Pendapatan dan
Belanja Pemerintah Pusat
Negara
% Pendapatan Daerah Terhadap Pendapatan
Nasional
Pangsa Belanja Daerah Terhadap Belanja
Nasional Negara Berkembanga 1990an 9.27 13.78
Negara Transisi 1990an Negara OECD 1990an
16.59 19.13
26.12 32.41
Republik Indonesia 1989/90 Republik Indonesia 1994/95
4.69 6.11
16.62 22.97
Republik Indonesia 2001 3.39 27.78 Sumber: World Bank (2006)
5.5. Investasi dan Konsumsi Masyarakat
Secara teoretis, investasi (I) dan konsumsi (C) merupakan penyeimbang dalam
kerangka keseimbangan pasar barang dan jasa pada penawaran dan permintaan
terhadap output perekonomian (Y) pada tingkat bunga ekuilibrium, disamping
pembelian pemerintah (G) (Mankiw, 2003). Pengeluaran pemerintah (G) dengan
hal ini akan terbobot oleh investai dan konsumsi.
5.5.1. Investasi
Investasi diperlukan dalam menumbuhkan perekonomian nasional.
Investasi dapat merupakan peralihan tabungan domestik. Pada kapasitas
perekonomian tertentu, ketika kebutuhan tabungan untuk investasi tidak mencukupi
(disebut defisit tabungan-investasi/S-I gap) maka diperlukan investasi dari luar
186
negeri. Dari studi Tambunan (2003a), sejak tahun 1969 sampai dengan 2001
Indonesia selalu kekurangan dana domestik dari tabungan untuk membiayai
investasi. S-I gap pernah mengalami surplus yang digambarkan oleh pangsa
tabungan nasional bruto (SB) dan investasi domestik bruto (IB) terhadap PDB
positif pada pada tahun 1979 dan tahun 1980. Pangsa S-I tersebut juga terjadi dan
cukup besar pada tahun 1998 (21.6% dan 21.0%), tahun 1999 (21.2% dan 17.6%),
tahun 2000 (35.6% dan 30.3%), dan tahun 2001 (19.8% dan 18.9%).
Pada Gambar 24 secara umum dapat dilihat pangsa investasi terhadap
pengeluaran pembangunan pada tahun (1970-79) dan tahun (1987-2001) cukup
tinggi dengan rata-rata masing-masing 216.46% dan 288.04%. Ini menandakan
bahwa pada periode tersebut peran investasi dalam pembangunan di Indonesia
cukup besar.
Persentase Investasi Terhadap Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, dan PDB
0
100
200
300
400
500
600
Tahun
Per
sen
% Terhadap Pengeluaran Tot al 98. 108 119.109 96. 97. 94. 100 95. 92. 19.120. 41. 54. 20. 22. 21. 50. 73. 85. 193 137 93. 100 157 229 211.182 99. 56. 98. 57. 35. 42. 30. 26.
% Terhadap Pengeluaran Pembangunan 267296287267 186 180 156 172 182 167 34. 42. 75. 89. 33. 43. 64. 138 173 200385260182 193 317 513 493537253162 347160 81. 88. 53. 43.
% Terhadap PDB 0.7 0.8 1.18 1.4 2.0 2.4 2.8 3.0 3.5 4.8 1.3 1.813.3 5.0 1.812.4 2.7 5.8 8.9 10. 27. 19. 15. 16. 27. 39. 39. 47. 45. 33. 54. 47. 26. 35. 27. 26.
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber: IMF (Juli, 2007), investasi dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah
Gambar 24. Pangsa Investasi terhadap Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, dan PDB
187
Secara series, pangsa investasi terhadap pengeluaran total dan pengeluaran
pembangunan searah menurun sejak tahun 1970 sampai 1980 masing-masing
98.65% dan 267.80% menjadi 19.10% dan 34.96% sebagai titik pangsa terendah
selama rentang waktu analisis, kemudian secara fluktuatif meningkat sampai
puncak pangsa terhadap pengeluaran total tahun 1995 sebesar 229.50% dan
terhadap pengeluaran pembangunan di tahun 1997 sebesar 537.90%. Setelah itu
menurun kembali sampai tahun 2005. Pangsa terhadap PDB relatif meningkat
secara konsisten sejak tahun 1970 sebesar 0.71 % menjadi 26.39% di tahun 2005.
Pada Tabel 22, PBB membuat survei intensitas investasi (terhadap PDB) di
negara-negara berkembang dan beberapa negara maju. Kawasan Asia timur adalah
kawasan paling intensif bahkan di atas negara-negara maju yang disurvei
(Australia, Jepang dan New Zealand). Kawasan Asia tenggara termasuk kawasan
dengan intensitas investasi berada di bawah Asia timur dan selatan, namun di atas
Asia tengah dan Kepulauan Pasifik. Indonesia sejak tahun 1995-98, merupakan
kelompok negara dengan intensitas investasi yang tinggi (rata-rata 30% terhadap
PDB). Setelah periode tersebut hingga tahun 2006 termasuk kelompok menengah
dengan tren yang selalu menurun sampai tahun 2002, dan stagnan pada tahun 2003
sebesar 19% terhadap PDB. Mulai tahun 2004 mengalami peningkatan menjadi
22% terhadap PDB kemudian menurun lagi pada tahun 2006 (20%).
Komposisi investasi sektor pertanian di Indonesia seperti disajikan pada
Gambar 25 diketahui; pada awal pembangunan (1970-85) porsi investasi luar
negeri masih lebih besar dibandingkan dengan dari domestik. Keadaan tersebut
berubah mulai periode 1986-95 dimana investasi domestik lebih besar
dibandingkan luar negeri dengan konjungtur hiperbolik dimana puncaknya pada
188
periode 1986-90. Titik balik terjadi pada periode 1996-2005 dimana investasi luar
negeri kembali lebih besar dibandingkan dengan domestik.
Tabel 22. Investasi Domestik Bruto Negara-Negara Berkembang dan Maju
(% Terhadap PDB) Kawasan/Negara 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Neg Berkembang ESCAP China 40.8 39.6 38.2 37.7 37.4 36.3 38.5 40.2 43.9 50.5 42.6 43.6Hong- Kong, China 34.1 31.6 34.0 28.9 24.8 27.5 25.3 22.8 21.9 21.8 20.5 21.3Mongolia 31.7 29.9 28.1 35.2 37.0 36.2 36.1 32.2 38.0 36.5 35.5 -Republic of Korea 37.7 38.9 36.0 25.0 29.1 31.0 29.3 29.1 30.0 30.4 30.1 29.1
Asia Tengah dan Utara Armenia 18.4 20.0 19.1 19.1 18.4 18.6 19.8 21 7 24.3 24.9 29.7 -Azerbaijan 23.8 29.0 34.2 33.4 26.5 20.7 20.7 34.6 53.1 54.5 45.7 -Georgia 4.0 13.7 18.6 19.4 21.8 20.5 20.9 21.1 23.4 - - -Kazakhstan 23.3 16.1 15.6 15.8 17.8 18.1 26.9 27.3 25.9 26.3 27.5 -Kyrgyzslan 18.3 25.2 21.7 15.4 18.0 20.0 18.0 17.6 11.8 14.5 12.2 -Russian Federation 21.1 20.0 183 16.2 14.4 16.9 18.9 17.9 18.2 17.9 17.5 -Tajikistan 21.3 13.3 17.7 13.4 16.6 9.4 9.2 10.8 10.8 - - -Turkmenistan - - 38.7 45.5 4.0 35.4 32.6 267 25.5 - - -Uzbekistan 24.2 23.0 18.9 20.9 17.1 19.6 21.1 21.2 20.8 23.9 23.0 -
Pacifik Fiji 13.6 11.4 11.7 16.0 14.4 12.4 14.9 - - - - -Papua New Guinea 21.9 22.7 21.1 17.9 16.1 21.3 21.8 19.8 - - - -Tonga 20.1 22.6 19.5 19.0 20.2 19.4 18.5 20.4 18.9 17.5 - -Vanuatu 23.2 20.2 18.8 17.7 20.3 22.2 20.0 21.2 19.8 - - -
Asia Selatan dan Baratdaya Bangladesh 19.1 20.0 20.7 21.6 22.2 23.0 23.1 23.2 23.4 24.0 24.5 25.0Bhutan 46.7 43.0 33.0 35.7 39.7 47.4 58.0 59.3 57.9 61.0 61.0 -India 26.9 24.5 24.6 22.6 26.0 24.2 23.0 25.3 27.2 30.1 30.8 32.1Iran (Islamic Republic of) 14.9 15.3 16.2 24.7 26.0 27.1 32.6 33.9 35.1 35.7 36.2 37.9Maldives 31.5 30.5 33.2 30.1 33.6 26.3 28.1 25.5 32.3 - - -Nepal 25.2 27.3 25.3 24.8 20.5 24.3 24.1 24.2 25.8 26.4 28.9 30.3Pakistan 18.5 19.0 17.9 17.7 15.6 17.4 17.2 16.8 16.9 16.6 18.1 20.0Sri Lanka 24.2 24.2 24.4 25.1 27.3 28.0 22.0 21.2 22.1 25.0 26.5 29.0Turkey 25.6 25.0 25.6 24.3 24.0 25.0 15.9 21.4 23.3 26.4 274 254
Asia Tenggara Cambodia 12.8 15.2 144 120 17.0 17.3 21.2 20.1 21.5 17.5 19.7 20.3Indonesia 31.9 30.7 31.8 25.4 21.3 21.1 19.2 19.0 19.0 21.8 22.0 20.2Lao PDR 24.5 29.0 26.2 24.9 22.7 20.5 21.0 24.0 21.4 17.5 21.1 21.4Malaysia 43.6 41.5 43.0 26.7 22.4 27.3 23.9 24.0 21.6 22.6 19.8 20.4Myanmar 14.2 12.3 12.5 12.4 13.4 12.4 11.6 10.4 - - - -Philippines 22.5 24.0 24.8 20.3 18.3 21.2 19.0 17.7 16.7 17.1 16.7 16.3Singapore 34.2 35.8 39.2 32.3 32.0 32.5 26.0 22.8 15.6 19.4 18.6 18.8Thailand 42.1 41.8 33.7 20.4 20.5 22.8 24.1 23.8 24.9 27.1 31.6 29.2Timor-Leste - - - 35.0 21.0 41.3 41.8 35.7 31.3 28.4 - -Vietnam 27.1 28.1 28.3 29.0 27.6 29.6 31.2 33.2 35.4 35.5 35.4 35.2
Negara Maju Australia 22.3 22. 23.2 23.6 24.2 21.7 22.7 24.4 24.5 25.4 25.7 -Japan 28.2 29.1 28.7 26.9 26.0 26.3 25.8 24.0 23.9 23.8 24.4 -New Zealand 21.5 21.5 20.5 19.2 20.1 19.6 20.0 20.4 21.7 23.5 24.3 -
Keterangan: Sel kosong, tidak tersedia data Sumber: United Nations (2007)
189
Investasi Domestik dan Luar Negeri Sektor Pertanian
424586.8100764
5370640
4239107
5865980
1732376
506080
802180
-2776049650
239267
168020
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
7000000
1975-1980 1981-1985 1986-1990 1990-1995 1996-2000 2001-2005
Tahun
Mili
ar R
upia
h
-100000
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
900000
Juta
US
$
Investasi Domestik (Rp M) Investasi Luar Negeri (Juta US$)
Sumber: UNESCAP-CAPSA (2007)
Gambar 25. Komposisi Investasi Domestik dan Luar Negeri Sektor Pertanian
5.5.2. Konsumsi Masyarakat
Hasil studi Grossmann (2003), untuk negara-negara OECD menemukan
keterpengaruhan yang kuat antara peran belanja publik pemerintah terhadap
redistribusi konsumsi publik dimasyarakat dan individu. Studi tersebut juga
menemukan bahwa semakin tinggi belanja publik akan meningkatkan kemampuan
konsumsi publik masyarakat dan individu, yang pada akhirnya dapat
menggerakkan pertumbuhan ekonomi agregat.
Pada Gambar 26 diketahui bahwa, konsumsi masyarakat Indonesia sejak
tahun 1980 mulai meningkat dengan laju yang lebih tinggi hingga tahun 1999,
dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada periode ini (1980-99) kenaikan
pengeluaran pemerintah juga konsisten konjungturnya terhadap konsumsi, begitu
pula PDB. Mulai tahun 2000 hingga 2005 terjadi kenaikan konsumsi yang tajam,
bahkan melampaui besaran pengeluaran pemerintah dan PDB. Hal ini dikarenakan
190
pada periode tersebut terjadi efek kelembaman krisis moneter yang dimulai tahun
1998. Pada situasi kelembagaan keuangan kinerjanya dititik terendah, maka
masyarakat lebih menyukai alokasi tabungannya untuk konsumsi asset. Meskipun
disertai dengan peningkatan pengeluaran pemerintah yang konsisten sampai tahun
2005, namun laju konsumsi tetap tinggi dan PDB justru mengalami pelandaian laju
peningkatannya.
Konsumsi, Pengeluaran Pemerintah, dan PDB
0
200000
400000
600000
800000
1000000
1200000
1400000
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
Tahun
Sumber: IMF (Juli, 2007), konsumsi dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah
Gambar 26. Konsumsi, Pengeluaran Pemerintah, dan PDB
Pada Gambar 27, ditinjau dari pangsa konsumsi terhadap pengeluaran
pemerintah, pada tahun 1970-80 mengalami penurunan dari 433.42% menjadi
393.18%. Pada periode 1981-85 terjadi lonjakan pangsa konsumsi yang tinggi
mencapai 669.72%. Periode ini merupakan awal laju pertumbuhan perekonomian
yang mantap (Tambunan 2003a). Indikasinya pertumbuhan ekonomi lebih
digerakkan oleh pangsa konsumsi masyarakat. Pada periode selanjutnya sehingga
1996 pangsa menurun, kemudian meningkat kembali mulai periode 2001-5.
Mily
upia
har
R
Konsumsi Pengeluaran Pemerintah Total PDB
191
Artinya masa krisis moneter juga ditandai dengan penurunan konsumsi masyarakat
yang kemudian meningkat pada periode pemulihan (recovery) mulai tahun 2000.
Terhadap PDB sejak tahun 1970 hingga 2005 pangsa konsumsi meningkat mantap
dari 1.56% menjadi 86.43% terutama mulai pasca krisis tahun 1997 dengan
peningkatan lebih dari dua kali dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Persentase Konsumsi
0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
700.00
800.00
Tahun
Pers
en
% Thd Pengeluaran Pem % Thd PDB
% Thd Pengeluaran Pem 433.42 393.18 669.72 502.16 412.50 216.26 243.88
% Thd PDB 1.56 4.44 9.21 12.63 16.48 41.22 86.43
1970-1975 1975-1980 1981-1985 1986-1990 1990-1995 1996-2000 2001-2005
Sumber: IMF (Juli, 2007), konsumsi dari BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah
Gambar 27. Pangsa Konsumsi terhadap Pengeluaran Pemerintah dan PDB
VI. KINERJA SEKTOR PERTANIAN DAN AGROINDUSTRI DI INDONESIA
6.1. Kinerja Sektor Pertanian
Sejak tahun 1969 sampai dengan 1990an kinerja sektor pertanian Indonesia
tidak terlepas dari pengaruh situasi domestik khususnya dorongan kebijakan fiskal
pemerintah pada sektor ini. Mulai periode 1990an ada tambahan aspek tarikan baru
berupa situasi ekonomi global dengan masuknya Indonesia pada organisasi
perdagangan dunia WTO.
Secara umum, berbagai studi kinerja sektor pertanian Indonesia
menyimpulkan kondisi yang semakin tidak baik misalnya dalam Priyarsono, et.al.
(2005) juga simpulan yang dikemukakan oleh Tambunan (2008) bahwa kondisi
sektor pertanian kita semakin buruk. Hal itu lebih dikarena kesalahan kebijakan
dari tahun-tahun sebelum krisis ekonomi Asia 1997, ketika implikasi impor
subtitusi (ISI) dari tahun 1969-84, dan strategi industri promosi ekspor (EPI) dari
tahun 1985-98 hingga sekarang, dimana sektor pertanian mengalami, paling tidak
tiga himpitan berat. Pertama, ketika dalam jangka waktu yang panjang dari tahun
1970an, diterapkan kebijakan stabilisasi harga sebagai wujud dari kebijakan harga
pangan murah atau ”cheap food policy”. Kebijakan ini hanya membela konsumen
dan kurang memihak produsen (petani). Kedua, adalah proteksi dalam
pengembangan industri yang berbasis impor (ISI) dan promosi ekspor (EPI)
dirasakan berdampak negatif terhadap pertanian karena harga impor barang modal
yang dibutuhkan sektor pertanian menjadi mahal, dan mempengaruhi investasi
(alat-alat pertanian) yang pada gilirannya mempengaruhi produksi pertanian.
193
Himpitan ketiga, adalah selepas Pelita III, dalam usaha mempercepat
tahapan industrialisasi dalam 10 tahun terakhir sebelum ekonomi krisis, kebijakan
moneter dalam nilai tukar dimana rupiah mengalami “overvalue” relatif terhadap
dollar terlihat menguntungkan sektor industri tetapi merugikan sektor pertanian.
Artinya impor barang modal (untuk keperluan industri manufaktur) dengan nilai
rupiah yang kuat dibutuhkan. Kondisi seperti itu terjadi dalam proses industrialisasi
Cina dewasa ini. Nilai yuan dibuat relatif kuat yang kemudian ditekan oleh negara
Barat. Cina mendevaluasi yuan secara bertahap. Indonesia ketika datangnya krisis
ekonomi yang tiba-tiba rupiah terdevaluasi dari Rp 2 500/US dollar menjadi Rp 9
000/US dollar. Akibatnya banyak industri besar dengan muatan impor yang tinggi
dan pinjaman luar negeri menjadi awal kebangkrutan, akhirnya menciptakan
pengangguran dan kemiskinan yang hebat.
Himpitan lainnya adalah, selepas revolusi hijau (seperti kasus India
[Evenson and Gollin, 2003] dan Philipina [Umetsu, 2003]). Studi secara khusus
juga di Philipina , Indonesia, India, Thailand, dan Malaysia oleh Shigehi (2004) dan
Evenson (2003) yaitu teknologi pertanian stagnan akibat lambannya temuan-temuan
teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Dari sisi fiskal,
pengeluaran pemerintah untuk mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan
disektor pertanian masih rendah dibanding dengan negara-negara Asia seperti,
Thailand, Malaysia dan Philipina. Sumber daya peneliti Indonesia sangat
terkonsenterasi disektor padi dan bukan tanaman lain.
Setelah krisis 1997 kinerja pertanian menurun konsisten. Oleh Siregar dan
Kolopaking (2003), disebut sebagai periode yang tidak bisa menangkap moment
krisis untuk memajukan pertanian.
194
Secara umum pengukuran kinerja pertanian Indonesia terjebak kepada
dinamika pasang surut tanaman pangan. Padahal selama ini ditemukan oleh Hayami
(1980) bahwa kinerja produksi pangan Indonesia masih berbasis primitif, artinya
masih mengandalkan peningkatan areal panen dan kurang memfokuskan pada
pengembangan teknologi (biologis, dan teknis), sumberdaya manusia, inovasi
kelembagaan, dan infrastruktur. Misalnya kenyataan dari memburuknya kualitas
produksi padi ditinjau dari rendemen telah menurun 70% pada tahun 1950an
menjadi sekitar 62% pada dekade 1990an dan tinggal 58% pada awal abad ke-21.
Pengembangan agribisnis padi juga mengalami kesulitan karena kontribusi ekonomi
perberasan tidak sampai 30% dari total pendapatan rumahtanga petani.
Pada bagian ini, kinerja sektor pertanian diuraikan mencakup: PDB
pertanian, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, ekspor pertanian, impor
pertanian, dan kesejahteraan petani.
6.1.1. PDB Pertanian
Sejak tahun 1970 hingga periode 1980an, masa tersebut sebagai masa emas
pertanian Indonesia dan dicapai swasembada beras. Pada masa itu performa basis
perekonomian Indonesia semakin kuat dengan pertumbuhan selalu tinggi, bahkan
lebih dari 7% per tahun didukung basis pertanian dan sumberdaya alam yang kuat.
Keadaan ini mulai menurun pada periode 1990an, setelah pertanian terkesan
dilalaikan (mengambil istilah PERHEPI, 2004) karena proteksi besar-besaran sektor
industri, melalui praktek konglomerasi (Arifin, 2004). Penurunan berlanjut setelah
krisis tahun 1998 hingga 2005.
Pada Gambar 28 diketahui, laju kenaikan PDB pertanian relatif landai
dibandingkan dengan laju kenaikan PDB nasional yang tajam dan dengan pangsa
195
terhadap PDB nasional dan dalam struktur perekonomian makro yang menurun
drastis dan konsisten dari tahun 1970-2005.
Pada periode 1970an kebijakan pertanian yang dominan adalah (1)
intensifikasi dengan penerapan panca usaha (bibit, pupuk, pengairan, teknologi,
pasca panen) secara baik, dan (2) ekstensifikasi (perluasan lahan pertanian dengan
konversi hutan tidak produktif menjadi areal persawahan dan pertanian lainnya),
yang telah mampu mendongkrak produksi dan produktivitas sektor pertanian.
Diantaranya adalah produksi beras mulai kelihatan meningkat menjadi 2 juta ton
dengan produktivitas menjadi 2.5 ton per hektar, dua kali lipat dibandingkan dengan
tahun 1960an. Pada periode ini juga dibangun dengan pesat infrastruktur pertanian
khususnya waduk-waduk dan sarana irigasi, jalan, dan pasar desa. Disisi lain
industri pendukung disediakan seperti pabrik pupuk dan semen. Pembenahan
institusi pertanian dan pedesaan secara luas seperti konsolidasi kelompok tani
hamparan, dan koperasi unit desa (KUD). BRI unit desa di bentuk untuk memberi
akses finansial petani sampai ke pelosok. Pendampingan penyuluhan dengan cara
latihan dan kunjungan sangat kental dengan memanfaatkan segala sarana
komunikasi pedesaan seperti radio, televisi dan koran. Periode ini sangat strategis
untuk menyiapkan landasan makroekonomi Indonesia berbasis pertanian yang
sangat diakui oleh dunia.
Periode 1980an, adalah buah hasil dari strategi kebijakan pertanian periode
sebelumnya. Pada periode ini terlihat kental bahwa pembangunan ekonomi berbasis
pertanian masih berlanjut dengan baik. Revolusi hijau juga terjadi pada periode ini
dan Indonesia mengadopsi dengan baik sehingga mengantarkan penghargaan FAO
untuk swasembada beras bagi Indonesia. Program diversifikasi
196
(penganekaragaman usaha pertanian) juga mulai di canangkan. Pada Gambar 28
terlihat meskipun dalam keseimbangan yang lebih rendah dibanding sepuluh tahun
sebelumnya, namun pangsa PDB pertanian mengalami gejala menaik sampai tahun
1988. Setelah itu pangsa PDB pertanian terhadap PDB nasional menurun konsisten.
Periode 1990an terjadi titik balik kinerja pertanian dimana penurunan
pangsa PDB pertanian terhadap PDB semakin tajam sampai tahun 1997. Banyak
pihak menyebut, periode ini dimulainya masa pengacuhan, atau pelalaian para
perumus kebijakan pada pertanian yang diakhiri adanya krisis moneter.
Tahun 1998-2002, menunjukkan laju pertumbuhan PDB pertanian yang
membaik karena saat itu terjadi dorongan yang sangat kuat dari pemerintah dengan
gerakan menanami semua lahan tidur oleh semua komponen bangsa hingga tentara
dikerahkan. Pertanian membuktikan bahwa meskipun krisis namun sektor ini justru
menunjukkan peningkatan kinerja dengan kenaikan pangsa PDB dua kali lipat
menjadi 3.22%, produktivitas tumbuh positif menjadi 0.02% sehingga pada masa
itu pertanian disebut sebagai penyelamat.
Tahun 2002-5 setelah mengalami laju meningkat, PDB pertanian pada
periode ini kembali menurun konsisten. Apakah ini disebabkan oleh mengendurnya
dorongan pemerintah meskipun pada akhirnya dicanangkan revitalisasi pertanian
kehutanan dan perikanan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, dorongan dari pemerintah
melalui kebijakan yang konsisten masih diperlukan dalam mendorong kinerja sektor
pertanian. Dorongan itu logis dengan memperhatikan sumberdaya dasar alamiah
Indonesia adalah pertanian, artinya dari pertanian untuk perbaikan perekonomian
makro.
197
Sumber: BPS (1970-2006) (Lampiran 1), diolah.
Gambar 28. PDB, PDB Pertanian dan Pangsa PDB Pertanian terhadap PDB
Dalam struktur ekonomi makro, kinerja sektor pertanian tahun 1970 hingga
2005 disajikan pada Tabel 23. Menurut Arifin (2004) dan Hasan disampaikan
Wibowo (2008)4 mengkategorikan tahun 1969-78 sebagai fase konsolidasi dengan
pertumbuhan sektor pertanian 3.4%, pangsa pertanian 57.10% jauh di atas industri
(12.5%) dan jasa (31.4%). Pangsa perdagangan cukup besar untuk ekspor produk
pertanian primer (65%) sedangkan impor (makanan) hanya 11%. Hal itu
menunjukkan, pariode 1970an sektor pertanian sebagai basis utama perekonomian.
Tahun 1978-86 sebagai fase tumbuh tinggi dengan pertumbuhan sektor
pertanian sebesar 5.7%, meskipun produktivitas pertanian meningkat hampir dua
kali lipat (6.76%) namun pangsa pertanian dalam struktur perekonomian, mulai
terlihat seimbang dimana pertanian (30.20%), cenderung mulai dilampaui industri
(33.5%), dan jasa (36.3%). Pangsa perdagangan juga mulai menurun menjadi 24%;
terhadap ekspor dan impor meningkat menjadi 17%. Namun pangsa tenaga kerja
4 Diskusi Pakar dengan Prof.Dr.Ir.Rudi Wibowo, MS (Ketua PERHEPI) pada 17 Pebruari 2008.
PDB dan PDB Pertanian
0.00
100,000.00
200,000.00
300,000.00
400,000.00
500,000.00
600,000.00
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
Tahun
Mily
ar R
upia
h
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
Pers
en
PDB PDB Pertanian % PDB Pertanian Terhadap PDB
198
dan konsumsi masih dominan masing-masing 62% dan 74%. Artinya, pada periode
ini kinerja pertanian mulai menurun dilampaui sektor industri dan jasa, tetapi masih
menjadi penopang utama dalam penyerapan tenaga kerja dan konsumsi masyarakat.
Impor produk pertanian mengalami titik balik menjadi jauh lebih besar
dibandingkan dengan ekspornya.
Fase dekonstruksi tahun 1986-97, diakhiri krisis ekonomi; PDB pertanian
hanya tumbuh 3.38%, produktivitas pertanian turun hampir separonya menjadi
3.39%, dengan pangsa pada perekonomian menurun menjadi 22.90%. Masa ini
juga terjadi penurunan pangsa tenaga kerja pertanian menjadi 56% meskipun
jumlah tersebut relatif masih besar sementara kenaikan pangsa tenaga kerja non
pertanian hanya meningkat sedikit menjadi 44%. Pangsa ekspor masih konsisten
menurun menjadi 16% diikuti pula penurunan pangsa impor menjadi 11%.
Penurunan juga terjadi pada pangsa konsumsi terhadap PDB. Konsumsi bahan
makanan turun dari 38% menjadi 30%. Penurunan tersebut lebih besar jika
dibandingkan dengan penurunan konsumsi total dari 74% menjadi 72%. Investasi
pertanian hanya 4.4% terhadap total investasi dan sebagian besar untuk irigasi
(18.1%).
Tahun 1997-2001 adalah fase krisis ekonomi berlangsung. Pertanian masih
tumbuh positif 1.6% (pada situasi perekonomian tumbuh -13%) dengan
produktivitas tumbuh -0.47%. Pangsa dalam struktur ekonomi menurun (menjadi
17%) demikian pula pangsa tenaga kerja menjadi 48%; sementara pangsa ekspor
dan impor meningkat masing-masing sebesar 18% dan 15%. Penurunan juga terjadi
pada pangsa konsumsi total menjadi 68% namun konsumsi bahan makanan
meningkat menjadi 33%. Investasi pertanian menurun drastis tinggal 1.6% untuk
199
subsidi pupuk dibandingkan periode sebelumnya sebesar 4.4% dan pertanian-irigasi
10.2% dari 18.1%.
Tabel 23. Kinerja Sektor Pertanian dalam Perekonomian Makro
(%/tahun) Konsolidasi Tumbuh
Tinggi Dekon struksi
Krisis Ekonomi
Transisi Revitalisasi Pertanian Unsur Kinerja
(Pertumbuhan) 1967-1978 1978-1986 1986-1997 1997-2001 2002-2004 2004-2006 PDB Pertanian 3.39 5.72 3.38 1.57 3.22 2.27 a. Tanaman pangan 3.58 4.95 1.90 1.62 2.80 1.97 b. Tanaman perkebunan 4.53 5.85 6.23 1.29 6.72 4.74 c. Peternakan 2.02 6.99 5.78 -1.92 1.13 0.80 d. Perikanan 3.44 5.15 5.36 5.45 7.61 5.36
Produktivitas Pertanian 3.57 6.76 3.99 -0.47 0.02 -0.30 a. Produktivitas lahan 2.08 4.13 1.83 -1.45 0.07 -0.32 b. Produktivitas tenaga kerja 2.32 5.57 2.03 -0.47 0.02 -0.30
Pangsa Struktur Ekonomi 1965 1975 1985 1995 2000 2005 a. Pertanian 57.10 30.20 22.90 17.10 17 14.54 b. Industri 12.5 33.5 35.3 41.8 47 52.85 c. Jasa 31.4 36.3 42.8 41.1 36 35.88
Pangsa Tenaga Kerja 1965 1975 1985 1995 2000 2005 a. Pertanian - 62 56 48 46 44 b. Sektor lain - 38 44 52 54 56
Pangsa Perdagangan 1965 1975 1985 1995 2000 2005 a. Impor (makanan) 11 17 11 15 17 19.27 b. Ekspor (barang primer) 65 24 16 18 12 11.67 Konsumai (%PDB) 1965 1975 1985 1995 2000 2005 a. Konsumsi total - 74 72 68 68 64.22 b. Pangsa bahan makanan - 38 30 33 33 33.10
Investasi Pertanian (%total)
1965 1975 1985 1995 2000 2005
a.Subsidi pupuk - - 4.4 1.6 0.7 0.31 b.Pertanian - irigasi - - 18.1 10.2 10.4 10.42 Keterangan: Sel kosong, tidak tersedia data Sumber: 1967-2001 = ADB (2005), Arifin (2004), dan BPS (1970-2001), 2002-6 = World Bank (2003), dan BPS (2002-6), Hasan disampaikan oleh Wibowo (2008) dengan pemilahan periodisitas berdasar fenomena makroekonomi Indonesia; bersumber dari olahan data BPS.
Periode 2002-4 adalah fase transisi/pemulihan, pertumbuhan pertanian
sedikit meningkat menjadi 3.22% dengan pangsa dalam perekonomian relatif stabil
(17%) demikian pula pangsa konsumsi. Pangsa tenaga kerja pertanian menurun
menjadi 46 % dan terjadi pembalikan posisi pangsa impor yang meningkat menjadi
200
17% jauh di atas ekspor yang turun menjadi 12%. Bahkan alokasi investasi
pertanian menurun tinggal 0.7% untuk subsidi dan 10.4% untuk pertanian-irigasi.
Pada masa revitalisasi pertanian (2004-6) pertumbuhan pertanian menurun
kembali menjadi 2.27%. Bahkan produktivitas tumbuh negatif 0.30%. Penurunan
juga terjadi pada pangsa perekonomian menjadi 14.54% dan tenaga kerja menjadi
44%. Impor pertanian semakin keras menggempur (meminjam istilah Sawit, 2008)
neraca perdagangan pertanian. Jadi saat periode revitalisasi malah ditandai kinerja
pertanian yang bertendensi menurun, impor produk pertanian semakin meningkat
dan produktivitas pertanian tumbuh negatif.
Dari gambar dan tabel tersebut secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja
sektor pertanian sejak pembangunan Indonesia dilakukan sampai pasca krisis
hingga dicanangkan kembali revitalisasi pertanian tahun 2004 secara konsisten
menurun. Hal ini sejalan dengan temuan studi yang dilakukan Arndt (1973), Hill
(1996), Mubyarto (2000), Salim dalam Soetrisno (2005).
Tinjauan terhadap struktur PDB pertanian diperbandingkan dengan sektor
lainnya disajikan pada Tabel 24. Sejak tahun 1970 sampai krisis 1997, pangsa PDB
pertanian (non kehutanan) menurun konsisten dari 37.90% menjadi 13.20%. Sampai
masa pemulihan krisis tahun 2005 pangsa PDB relatif stagnan, sebesar 13.74%.
Sebaliknya sektor lainnya mengalami kenaikan dengan laju pertumbuhan
yang tinggi. Manufaktur adalah sektor yang tumbuh paling pesat dari 7.70% pada
tahun 1970 menjadi 25.10% dimasa krisis (1997) dan berlanjut menjadi 28.30% di
tahun 2005.
201
Tabel 24. Struktur PDB Indonesia Menurut Sektor (%)
Pelita I
Pelita II
Pelita V Pelita VI Pemulihan
Krisis Sektor 1970 1979 1989 1994 1995 1996 1997 2000 2005
Tanaman Pangan 25.60 17.00 12.90 8.90 8.60 8.10 7.50 7.91 7.80 Tanaman Perkebunan 7.30 3.50 3.40 2.70 2.60 2.50 2.40 2.53 2.50 Peternakan 3.20 1.60 2.10 1.80 1.80 1.70 1.70 1.79 1.77 Perikanan 1.90 1.40 1.60 1.60 1.50 1.50 1.50 1.58 1.56 Kehutanan 1.20 2.70 0.90 1.80 1.60 1.60 1.60 1.69 1.66 Pertanian Non Kehutanan 37.90 23.50 20.00 14.90 14.50 13.90 13.20 13.91 13.74 Pertanian dan Kehutanan 39.10 26.20 20.90 16.70 16.10 15.40 14.80 15.60 15.40 Manufaktur 7.70 10.70 19.70 23.30 23.90 24.70 25.10 27.70 28.30 Tambang dan Galian 16.70 18.10 10.80 9.40 9.30 9.10 8.90 12.10 8.50 Perd, Hotel dan Restoran 14.20 15.90 16.70 16.80 16.70 16.80 16.90 16.20 16.20 Transportasi dan Komunikasi 3.60 6.00 6.40 7.10 7.10 7.20 7.40 4.70 6.10 Konstruksi, listrik, gas dan air 3.00 6.50 6.50 8.30 8.70 9.10 9.30 6.10 6.80 Lainnya 15.70 16.60 19.00 18.40 18.20 17.70 17.60 17.60 18.70 Total (PDB) 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Tahun 1969-1997, Asian Productivity Organization (2002) berbasis data dari BPS, harga konstan tahun 1993 (diolah). Tahun 2000-5, Asian Development Bank (2007) harga konstan tahun 1993, dan BPS (diolah).
6.1.2. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Pada Gambar 29 diketahui perkembangan penyerapan tenaga kerja
pertanian. Meskipun ada sedikit perbedaan angka dengan penyerapan tenaga kerja
pertanian pada Tabel 23 karena tidak memasukkan subsektor kehutanan, namun
memiliki tren yang sama. Pada tahun 1970-75 sektor pertanian masih menyerap
tenaga kerja sebesar 74.14% dari angkatan kerja. Sampai masa krisis kemampuan
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian menurun menjadi 36.26% (1996-2000),
dan konsisten sampai masa pemulihan tahun 2005 tinggal 35.27%. Angka tersebut
sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan kesempatan kerja masing-masing
dari 79.57% di tahun 1970-75, menjadi 38.54% di masa krisis (1996-2000) dan
sedikit meningkat menjadi 38.69% (2001-5). Artinya pasca krisis terjadi penurunan
202
kesempatan kerja secara keseluruhan, namun pertanian relatif stabil dalam
penyerapan tenaga kerja.
Keterangan: Tidak termsasuk subsektor kehutanan Sumber: Analisis data (BPS, 1970-2006) (Lampiran 1) Gambar 29. Pangsa Tenaga Kerja Pertanian terhadap Populasi, Angkatan Kerja, dan Kesempatan Kerja di Indonesia
Pendalaman mengenai struktur perubahan jenis pekerjaan di sektor pertanian
disajikan pada Tabel 25. Dari tabel tersebut diketahui bahwa, pada periode 1980an
sampai 1997 (krisis ekonomi) petani gurem mengalami peningkatan, dari 15.2%
menjadi 18.89% namun setelah krisis (2004) menurun menjadi 10.63%.
Peningkatan konsisten terjadi pada buruh tani mulai periode 1980an sebesar 9.38%
menjadi 16.14% di tahun 2004. Artinya, bisa jadi petani gurem benar-benar terlepas
dari akses usahataninya kemudian menjadi buruh tani. Kenaikan juga terjadi pada
petani keluarga, namun tenaga kerja tani dari keluarga cenderung menurun 42.2%
menjadi 32.19%. Artinya, anggota keluarga petani cenderung tidak lagi bekerja di
lahan pertanian keluarga atau meninggalkan pertanian.
Persentase Tenaga Kerja Pertanian
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
Tahun
Pers
en
% Terhadap Populasi 25.12 23.96 23.49 24.10 21.55 16.68 19.42Terhadap Angkatan Kerja 74.14 66.19 61.24 56.93 49.75 36.26 35.27Terhadap Permintaan Tenaga Kerja 79.57 70.57 62.99 58.48 51.38 38.54 38.69
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
203
Kesempatan kerja pertanian sejak tahun 1980an cenderung menurun
konsisten sampai krisis 1997 dari 55.09% menjadi 41.18%, namun sedikit
meningkat pasca krisis (2004) menjadi 43.33%.
Tabel 25. Perubahan Struktur Tenaga Kerja Pertanian Indonesia
(Orang) Kesempalan Kerja Pertanian Uraian
1986 1991 1996 1997 2004 Petani kecil (gurem) 5 880 598 6 157 961 6 226 472 6 771 200 4 315 718 (15.2) (14.94) (16.51) (18.89) (10.63)Pertanian keluarga 12 136 423 13 412 142 14 483 416 11 644 980 15 644 308 dengan bantuan (32.24) (32.55) (38.39) (32.48) (38.53) buruh tak tetap Petani luas dengan 112 571 201 402 314 811 435 78 1 019 642 buruh tetap (0.30) (0.49) (0.83) (1.22) (2.51)Buruh tani 3 531 262 4 657 550 4 942 282 4 812 505 6 552 408 (9.38) (11.30) (13.10) (13.42) (16.14)Tenaga kerja 15 932 545 16 775 766 11 753 270 12 184 166 13 075 943 keluarga (42.2) (40.72) (31.17) (33.99) (32.19)Total tenaga kerja 37 644 472 41 205 791 37 720 251 35 848 631 40 608 019 pertanian (100.00) (100.00) (100.00) (100.00) (100.00)Total kesempatan kerja 68 338 187 76 423 179 85 701 813 87 049 756 93 722 036Pangsa pertanian (%) (55.09) (53.92) (44.01) (41.18) (43.33)Keterangan : Angka dalam kurung adalah nilai persentase Sumber: Kasryno (2006)
Pada Tabel 26 diketahui bahwa, pangsa tenaga kerja sektor pertanian di
Indonesia jika diperbandingkan dengan kawasan Asia Tenggara dan kawasan
lainnya relatif masih besar (56% di tahun 1990 turun menjadi 44% tahun 2005) di
bawah Cina dan Banglades. Poses perubahan struktur pekerjaan terjadi di seluruh
negara berbagai kawasan dunia. Pergeseran tersebut adalah semakin berkurangnya
pangsa tenaga kerja di sektor pertanian dan semakin meningkatnya pangsa tenaga
kerja sektor industri dan jasa.
204
Tabel 26. Tenaga Kerja Menurut Sektor di Berbagai Negara (%)
Pertanian Industri Jasa Kawasan/Negara 1990 2000 2005 1990 2000 2005 1990 2000 2005 Negara Berkembang: Asia Timur dan Timur Laut
China 64.9 60.6 - 23.1 22.7 - 12.1 16.7 - Hongkong 0.9 0.3 0.3 36.7 20.3 15.2 62.4 79.4 84.5 Macao, China 0.2 0.2 0.1 42.5 28.2 25.2 57.3 71.6 74.7 Mongolia - 48.6 39.9 - 14.1 16.8 - 372.0 43.3 Republic of Korea 17.9 10.6 7.9 35.4 28.1 26.9 46.7 61.3 65.2
Asia Tengah dan Utara Azerbaijan 36.4 41.0 39.3 26.9 10.9 12.1 36.6 48.1 48.6 Georgia - 52.2 54.3 - 9.8 9.3 - 38.0 36.4 Kyrgyzstan 32.7 53.1 48.0 27.9 10.5 12.5 39.4 36.5 39.5 Rusia - 14.5 10.2 - 28.4 29.8 - 57.1 60.0
Asia Selatan dan Baratdaya Bangladesh 69.5 64.8 - 13.6 10.7 - 16.9 24.5 - Iran - - 24.9 - - 30.4 - - 44.7 Maldives - 22.1 - - 30.7 - - 47.2 - Pakistan 51.2 48.4 43.1 19.8 18.0 20.3 29.0 33.5 36.6 Sri Lanka 48.6 - - 20.9 - - 30.5 - - Turkey 46.9 36.0 30.7 20.7 24.0 25.7 32.4 40.0 43.6
Asia Tenggara Indonesia 56.0 45.1 44.0 13.8 17.5 18.0 30.3 37.3 38.0 Malaysia 26.0 18.4 14.8 27.5 32.2 30.1 46.5 49.5 55.1 Philippines 45.2 37.5 37.0 15.0 16.0 14.9 39.7 46.5 48.1 Singapore 0.3 0.3 0.3 35.2 43.3 38.0 64.5 56.7 62.0 Thailand 64.0 48.8 42.6 14.0 19.0 20.3 22.0 32.2 37.1 Vietnam - 65.3 57.9 - 12.4 17.4 - 22.3 24.8
Negara Maju: Australia 5.6 5.0 3.7 251.0 21.7 21.1 69.3 73.3 75.2 Japan 7.3 5.1 4.5 34.2 31.4 28.3 58.5 63.5 67.2 New Zealand 10.6 8.7 7.2 24.7 23.3 22.1 64.7 68.0 70.8
Keterangan: Sel kosong, tidak tersedia data Sumber: United Nations (2007) berbasis data dari ILO http://laborsta.ilo.org/
Jika ditinjau dari pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sebagaimana
disajikan pada Tabel 27, di Indonesia relatif lebih tinggi (2.7%) dibandingkan
dengan tenaga kerja sektor industri (1.7%) dan jasa (1.5%). Namun di kawasan Asia
Tenggara, pertumbuhan produktivitas tenaga kerja pertanian Indonesia masih jauh
lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia (26.0%), Vietnam (4.2%), Thailand
(3.2%), bahkan dengan Myanmar (3.2%). Hal serupa juga terjadi untuk industri dan
jasa. Jika diperbandingkan dengan berbagai kawasan, produktivitas tenaga kerja
pertanian Indonesia masih berkisar di wilayah rata-rata.
205
Tabel 27. Produktivitas Tenaga Kerja Berdasarkan Kegiatan Ekonomi di Beberapa Negara
Pertanian Industri Jasa Kawasan/Negara 1990 2005 Rpt* 1990 2005 Rpt* 1990 2005 Rpt* ($USA) % ($USA) % ($USA) % Negara Berkembang: Asia Timur dan Timur Laut
China 308 497 4.1 1 333 5 257 12.1 2 030 3 044 3.4 Hong Kong, China 7 856 8654 0.6 18 039 24 840 2.2 32 885 43 262 1.8 Macao, China - - - 10 205 12 803 - 24 297 29 530 - Mongolia 575 510 -1 0 2 255 3 781 4.4 1 493 2 160 3.1 Republic of Korea 6 547 14 004 5.2 15 375 40 813 6.7 13 877 17 052 1.4 Asia Utara dan Tengah
Azerbaijan 1 543 1 010 -2.8 2 311 11 832 11.5 1 933 1 672 -1.0 Georgia 1 023 1 165 1.9 3 926 6 380 7.2 1 91 1 3 465 8.9 Kyrgyzstan 1 502 1 122 -1.9 1 976 1 412 -2.2 1 062 677 -3.0 Rusia 7 802 9 355 2.3 6 552 8 553 3.4 4 266 5 717 3.7 Tajikistan 752 - -4.1 2 274 - -10.7 3 617 - -17.4 Uzbekistan 1 323 - -0.1 5 831 - -0.1 714.0 - 0.8
Asia Selatan dan Baratdaya
Bangladesh 284 609 6.1 1 009 2687 78.0 1 805 1 786 -0.1 Iran 6 121 5 813 -0.6 10 023 10 679 0.7 11 233 13 432 2.0 Maldives 2 095 2 944 7.4 2 291 3 698 101.0 1 0 267 12 829 4.6 Pakistan 825 1 094 1.9 1 991 2 702 2.1 2 597 2 844 0.6 Sri Lanka 640 956 3.1 1 709 2 760 3.8 1 798 2 338 2 Turkey 2 815 793 3.6 11 631 15 539 2 11 599 14 233 1.4
Asia Tenggara Indonesia 576 854 2.7 4 722 6 037 1.7 2 274 2 839 1.5 Malaysia 3 855 5 541 26.0 10 095 16 428 3.5 6 262 9 998 3.4 Myanrnar 279 - 3.2 388 - 2.9 520 - 1.1 Philippines 953 1 137 1.2 4 511 4 895 0.5 2 161 2 282 0.4 Singapore 22 638 14 568 -3.3 24 695 43 947 4.2 27 471 59 902 5.7 Thailand 539 869 3.2 6 141 8 687 23.0 5 424 4 912 -0.7 Vietnam 131 182 4.2 349 894 7.0 4 542 556 -13.9
Negara Maju: Australia 25 016 40 579 3.3 42 117 56 988 2.0 35 243 45 721 1.8 Japan 17 205 22 813 1.9 55 980 68 228 1.3 50 526 58 294 1.0 New Zealand 18 046 32 585 4.0 30 980 35 790 1.0 29 325 31 351 0.4
Keterangan: Rpt*=Rata-rata pertumbuhan tahunan, Sel kosong, tidak tersedia data Sumber: United Nations (2007) berbasis data dari ILO <http://laborsta.ilo.org/> dan
United Nations Devision National Main Aggregates (New York UNSD, 2006) <http://unstats.un.org/unsd/snaama/selection basicFast.asp > November 2006.
Dalam konteks kemajuan perekonomian yang dikaitkan dengan perubahan
struktural, maka secara alamiah akan terjadi pergeseran/berkurangnya tenaga kerja
206
di sektor pertanian sementara yang bekerja disektor non pertanian semakin
bertambah. Hal itu terbukti dari studi Alexandrates (1995) yang disajikan pada
Tabel 28 untuk berbagai kawasan dunia dan 93 negara yang di studi
mengindikasikan hal tersebut. Kegiatan ekonomi penduduk di sektor pertanian
sejak tahun 1970 sampai tahun 2000 pangsanya menurun, bahkan prediksi sampai
tahun 2010 juga konsisten menurun terutama di kawasan Asia timur (Indonesia
masuk di kawasan ini) sebesar 47% dan Amerika latin/Karibia sebesar 17%.
Tabel 28. Kegiatan Ekonomi Penduduk pada Sektor Pertanian di Dunia
(Juta Orang) Kawasan
1970 1980 1990 2000
2010
Semua Negara Berkembang (% dari total kegiatan ekonomi) 93 Negara yang distudi (% dari total) Afrika (sub-Sahara) (% dari total)
790 (71)780(71)
98(81)
923 (66)912 (66) 118 (76)
1,051 (60)
1,039 (60) 140 (71)
1,130 (53)
1,120 (53) 170 (66)
1,190(47)
1,180(47) 205 (60)
Afrika Utara/Timur Tengah (% dari total) Asia Timur (% dari total)
31 (57) 411(76)
32 (46) 488(71)
35(37) 549(63)
38 (30) 550 (55)
39 (24) 530(47)
Asia Selatan (% dari total)
203 (71)
235 (68)
275 (65)
320 (61)
365 (57)
Amerika Latin/Karibia (% dari total)
37 (41)
39(32)
41(26)
41 (21)
40 (17)
Sumber: Alexandrates, 1995
6.1.3. Ekspor Pertanian
Tercatat, bahwa abad 14 Majapahit mampu menggeser pusat perdagangan
dunia di Malaka ke timur, Maluku. Hal itu bisa dilakukan karena mengelola ekspor
bahan pangan dan rempah-rempah yang berlimpah-limpah. Abad 16 Batavia/Jakarta
juga sebagai pusat perdagangan terpenting dunia karena kelimpahan ekspor produk
207
primer, sehingga VOC perlu mendirikan pusat operasinya. Data tertulis setidaknya
mulai tahun 1641 (Lindblad [editor], 2002), Indonesia adalah salah satu negara
eksportir terbesar untuk produk pertanian terutama tanaman perkebunan dan
rempah-rempah, telah mendominasi corak ekonomi nusantara bahkan turut
menyehatkan perekonomian kawasan Eropa.
Selama periode pembangunan sebagaimana disajikan pada Tabel 29,
meskipun masih digolongkan sebagai negara pengekspor terbesar di dunia sejak
tahun 1980-2002, namun pangsa ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia
relatif kecil dan stagnan dibandingkan dengan Brazil, Argentina, Cina, Thailand
dan Malaysia.
Tabel 29. Kontribusi Ekspor Beberapa Negara Pengekspor Terbesar di Dunia
Kontribusi terhadap Ekspor Dunia (%) Nilai (Milyar USD) Negara
1980 1990 2000 2002 2002 Uni Eropa 32.8 42.4 39.6 40.1 233.73 Amerika Serikat 17.0 14.3 12.9 11.8 68.76 Kanada 5.0 5.4 6.3 5.6 32.57 Brazilia 3.4 2.4 2.8 3.3 19.44 Cina 1.5 2.4 3.0 3.2 18.80 Australia 3.3 2.8 3.0 2.9 17.06 Argentina 1.9 1.8 2.2 2.2 12.20 Thailand 1.2 1.9 2.2 2.0 11.57 Indonesia 1.6 1.0 1.4 1.5 9.02 Malaysia 2.0 1.8 1.5 1.5 8.96 Meksiko 0.8 0.8 1.6 1.5 8.94 New Zealand 1.3 1.4 1.4 1.4 8.44 Federasi Rusia - - 1.3 1.3 7.73 Chili 0.4 0.7 1.2 1.2 7.16 India 1.0 0.8 1.1 1.1 6.27 Total Ekspor 73.0 80.0 81.6 80.9 470.64
Keterangan: Sel kosong, tidak tersedia data Sumber: Said dan Dewi (2004) data bersumber dari WTO (2003)
208
Pada Gambar 30 diketahui, ekspor pertanian sejak tahun 1970 selalu
meningkat. Penurunan terjadi mulai tahun 1981 yang kemudian meningkat
konsisten sampai tahun 1997. Mulai tahun 1998 terjadi penurunan drastis ekspor
pertanian karena krisis ekonomi, terjadi kenaikan kembali tahun 2004-5.
Sumber: Ekspor pertanian = Analisis data (Lampiran 1), Ekspor total = Pusat Data Unescap dan International Financial Statistic (IMF) (2007).
Gambar 30. Ekspor Produk Pertanian dan Total Ekspor Indonesia
Pada Gambar 31 dapat didalami mengenai dinamika ekspor produk
pertaniann terhadap total ekspor Indonesia. Periode 1970-75, pangsa ekspor produk
pertanian relatif masih besar (29.16%). Sampai masa krisis 1997 pangsa ekspor
produk pertanian turun tinggal 5.82% begitu pula setelah krisis, tahun 2001-5 turun
menjadi 3.94%. Fenomena ini sejalan dengan situsi pangsa perdagangan (pada
Tabel 23) bahwa sejak tahun 1970 laju penurunan ekspor pertanian semakin besar
sementara impor meningkat dengan laju juga semakin besar, bahkan pasca krisis
1997 terjadi titik balik tepatnya mulai tahun 2002-5 dimana impor pertanian jauh
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
90000
100000
19701972
19741976
19781980
19821984
19861988
19901992
19941996
19982000
20022004
Tahun
Juta
US$
(Tot
al E
kspo
r)
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
Juta
US$
(Eks
por P
erta
nian
)
Total Ekspor (Juta US$) Ekspor Pertanian (Juta US$)
209
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
Tahun
Juta
US$
Pangsa Ekspor Pert (%) 29.16 8.81 6.26 9.41 6.94 5.82 3.94
Pangsa Ekspor Non Pert (%) 70.84 91.19 93.74 90.59 93.06 94.18 96.06
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
Sumber: Ekspor pertanian = Analisis data BPS (Lampiran 1), Ekspor total = Pusat Data Unescap (2007)
Gambar 31. Pangsa Ekspor Pertanian dan Non Pertanian Indonesia
Tabe 30. Pangsa Ekspor Produk Berbasis Pertanian di Pasar Dunia (%)
Pangsa Negara
2002 2005 2006 Dunia 100.00 100.00 100.00 United States 9.95 9.55 9.55 Germany 8.73 8.62 8.62 Netherlands 5.28 5.31 5.31 United Kingdom 6.09 6.16 6.16 Japan 6.03 5.26 5.26 France 5.47 5.35 5.35 Italy 4.75 4.90 4.90 Canada 2.94 2.65 2.65 China 2.43 3.41 3.41 Spain 2.80 3.14 3.14 Singapore 0.82 0.71 0.71 India 0.76 0.76 0.76 Malaysia 0.86 0.78 0.78 Indonesia 0.35 0.80 0.80 Thailand 0.59 0.58 0.58 Philippines 0,74 0.55 0.55
Sumber: Erwidodo (2008)
210
lebih besar melampaui ekspor (Sawit [2008] menyebut sebagai gempuran impor)
yang harus diperhatikan. Jika dicermati pada pasar global, pada Tabel 30 diketahui
bahwa pangsa ekspor produk pertanian Indonesia pasca krisis ekonomi (mulai tahun
2002) cenderung meningkat dibandingkan dengan negara sekawasan seperti
Malaysia, Thailand, dan Philipina meskipun pangsa ekspor keseluruhan di dalam
negeri seperti pada Tabel 23, Indonesia cenderung menurun.
6.1.4. Impor Pertanian
Pada Gambar 32 diketahui bahwa impor produk pertanian sejak tahun 1970
tumbuh stabil, mengalami peningkatan kecil pada periode 1977-85. Kenaikan
dengan laju tinggi terjadi mulai tahun 1995 sampai masa krisis 1997. Bahkan
setelah krisis, mulai tahun 2003 impor produk pertanian melonjak sangat tinggi
hingga tahun 2005.
Sumber: Impor Pertanian = Analisis data BPS (Lampiran 1), Impor total = Pusat Data Unescap dan International Financial Statistic (IMF) (2007).
Gambar 32. Impor Produk Pertanian dan Total Impor Indonesia
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
19701972
19741976
19781980
19821984
19861988
19901992
19941996
19982000
20022004
Tahun
Juta
US$
Total Impor (Juta US$) Impor Pertanian (Juta US$)
211
Ditinjau dari perbandingan pangsa impor produk pertanian terhadap impor
non pertanian seperti disajikan pada Gambar 33, periode 1970-85 selalu menurun
dari 27.32% menjadi 7.14%. Sebaliknya impor produk non pertanian meningkat
dari 72.68% menjadi 92.86%. Keadaan tersebut kemudian berbalik mulai masa
krisis 1997 dimana pangsa impor pertanian meningkat tajam menjadi 36.72% dari
9.13% sedangkan non pertanian turun tajam menjadi 63.28% hingga tahun 2005
dari 90.87%.
Selain sebagai kelompok negara pengekspor terbesar di dunia sebagaimana
disajikan pada Tabel 29, Indonesia juga sekaligus sebagai negara pengimpor
terbesar di dunia seperti disajikan pada Tabel 31. Kontribusi impor Indonesia
terhadap impor dunia jika dibandingkan dengan negara sekawasan (Malaysia, dan
Thailand) lebih besar pada tahun 1980an kemudian tahun 1990 menurun.
Peningkatan impor yang tajam terjadi setelah krisis ekonomi. Artinya, kontribusi
impor Indonesia di dunia pasca krisis meningkat sementara ekspor menurun.
Sumber: Impor Pertanian = Analisis data BPS (Lampiran 1, diolah), Impor total =
Pusat Data Unescap dan International Financial Statistic (IMF) (2007).
Gambar 33. Pangsa Impor Pertanian dan Non Pertanian Indonesia
0.0010.00
20.0030.00
40.0050.00
60.0070.00
80.0090.00
100.00
Tahun
Juta
US$
Pangsa Impor Pert (%) 27.32 15.28 7.14 8.02 9.72 9.13 36.72
Pangsa Impor Non Pert (%) 72.68 84.72 92.86 91.98 90.28 90.87 63.28
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
212
Tabel 31. Kontribusi Impor Beberapa Negara Pengimpor Terbesar di Dunia
Kontribusi terhadap Impor Dunia (%)
Nilai (Milyar USD) Negara
1980 1990 2000 2002 2002Uni Eropa 42.9 47.1 40.5 40.6 253.67Amerika Serikat 8.7 9.0 11.7 11.4 71.51Jepang 9.6 11.4 10.5 8.8 55.09RR Cina 2.1 1.1 3.3 3.5 21.85Kanada 1.8 2.0 2.6 2.6 16.31Korea (Rep.) 1.5 2.2 2.2 2.1 13.37Federasi Rusia - - 1.5 1.9 11.94Meksiko 1.2 1.2 2.0 1.8 11.18Taipei 1.1 1.4 1.3 1.2 7.19Switzerland 1.2 1.3 1.0 1.0 6.04Saudi Arabia 1.5 0.8 1.0 0.9 5.50Indonesia 0.6 0.5 1.0 0.8 5.27Malaysia 0.5 0.5 0.8 0.8 5.14Thailand 0.3 0.7 0.8 0.8 4.99Total Impor 73.8 81.0 81.0 79.2 495.43
Keterangan: Sel kosong, tidak tersedia data Sumber: Said dan Dewi (2004) data bersumber dari WTO (2003) 6.1.5. Kesejahteraan Petani
Ukuran kesejahteraan petani didekati dengan net-barter terms of trade yang
juga disebut comodity terms of trade (NT) (Siregar, 2004) dinamikanya disajikan
pada Gambar 34. Sejak Tahun 1971 kesejahteraan petani yang diperbandingkan
dengan indeks harga-harga internasional meningkat dengan laju yang tinggi,
termsasuk juga pada saat terjadi kisis harga minyak dunia tahun 1973 triwulan ke 2
diikuti peningkatan kesejahteraan petani dan mulai tahun 1975 terjadi penurunan
drastis. Bahkan tahun 1979 kuartal 2 penurunan sangat besar sepanjang rentang
waktu analisis kemudian kembali pada keseimbangan pada tahun yang sama. Sejak
akhir tahun 1985 kenaikan terjadi konsisten dalam waktu yang panjang, sampai
masa krisis moneter tahun 1997.
213
Sumber: Pusat Data Unescap, IFS-IMF, BPS (1970-2006) (Lampiran 1).
Gambar 34. Net-Barter Terms of Trade Petani Indonesia
Segera setelah masa krisis moneter, tepatnya tahun 1998 terjadi
peningkatan NT dengan laju yang tinggi. Hal ini serupa dengan kejadian krisis
minyak tahun 1973. Maka dapat diambil dugaan bahwa krisis besar dalam
perekonomian Indonesia (minyak tahun 1973 dan moneter tahun 1997) justru
meningkatkan net-barter terms of trade petani. Hal ini terjadi karena kedua krisis
tersebut berdampak pada depresiasi rupiah yang cukup besar. Sehingga nilai jual
komoditi pertanian di pasar internasional meningkat diukur dengan mata uang
domestik (Rupiah) dimana satuan rupiah yang diterima petani berlipat. Inilah yang
menyebabkan fenomena, petani tanaman tradable (khususnya perkebunan)
menikmati buah panen dari krisis. Siregar (2004) juga menemukan bahwa selama
periode yang sama NT untuk petani kawasan Indonesia timur meningkat.
Disamping itu, dari dua krisis telah merubah keseimbangan tingkat
kesejahteraan petani pada level yang lebih tinggi. Hal ini sebagai bukti fenomena
overvalue rupiah selama 10 tahun sebelum krisis seperti dikemukakan Tambunan
(2008) pada bagian 6.1. yang telah menyebabkan kesejahteraan petani tertekan.
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
1970
Q1
1971
Q1
1972
Q1
1973
Q1
1974
Q1
1975
Q1
1976
Q1
1977
Q1
1978
Q1
1979
Q1
1980
Q1
1981
Q1
1982
Q1
1983
Q1
1984
Q1
1985
Q1
1986
Q1
1987
Q1
1988
Q1
1989
Q1
1990
Q1
1991
Q1
1992
Q1
1993
Q1
1994
Q1
1995
Q1
1996
Q1
1997
Q1
1998
Q1
1999
Q1
2000
Q1
2001
Q1
2002
Q1
2003
Q1
2004
Q1
2005
Q1
Tahun
Inde
ks N
TNet-Barter Terms of Trade
214
Dari studi Sumodiningrat (2006), jika dilihat dari pendapatan petani
Indonesia sejak tahun 1973-2003 masih di atas garis kemiskinan, artinya
pendapatan petani relatif masih lebih baik dibandingkan dengan masyarakat miskin
di Indoensia. Penurunan pendapatan terjadi pada tahun 1978 (selaras dengan tren
pada Gambar 34) dan paling besar terjadi pada tahun 1997 saat krisis moneter
melanda Indonesia mencapai negatif 71.83%. Penurunan juga terjadi pada tahun
2003 meskipun lebih kecil ( -38.68%). Selengkapnya disajikan pada Tabel 32.
Tabel 32. Perbandingan Pendapatan Petani dan Garis Kemiskinan di Indonesia
Tahun Pendapatan
petani (Rp/kapita/tahun)
Garis kemiskinan (Rp/kapita/tahun)
Selisih (Rp/kapita/tahun)
Perubahan (%)
1973 98 073 21 396 76 677 - 1978 106 945 35 772 71 173 -7.18 1983 119 271 92 952 26 319 -63.02 1985 152 814 123 528 29 286 11.28 1988 214 231 159 540 54 691 86.75 1993 502 200 218 928 283 272 417.95 1997 961 085 881 292 79 793 -71.83 1998 976 500 873 360 103 140 29.26 2000 1 231 400 891 264 340 136 229.78 2003 1 212 704 1 004 148 208 556 -38.68
Sumber: Sumodiningrat (2006)
Kegiatan pertanian tidak akan bisa dipisahkan dengan lahan. Tingkat
penguasaan lahan secara indikatif menunjukkan kesejahteraan petani (Winoto dan
Siregar, 2007). Studi Kasryno (2006) disajikan pada Tabel 33 menjelaskan dari
sensus pertanian 1993 dan 2003 rata-rata petani yang menguasai lahan cenderung
meningkat lebih dikarenakan proses fragmentasi lahan.
Ditinjau dari status petani; pada petani hortikultura, perkebunan (terutama di
luar Jawa) meningkat masing-masing dari 23.7% dan 29.8% menjadi 38.3% dan
215
31.6%. Sedangkan petani padi/palawija, peternak, dan nelayan menurun masing-
masing dari 85.6%, 26.8%, dan 4.3% menjadi 74.4%, 26.7%, dan 3.9%. Petani
gurem meningkat dari 51.9% menjadi 56.2%. Peternak dan nelayan di luar Jawa
indikasinya juga meningkat.
Tabel 33. Perkembangan Status Petani di Indonesia
Sensus Pertanian 1993 (000) Sensus Pertanian 2003 (000) Status Petani Jawa Sumatera Indonesia Jawa Sumatera Indonesia Petani penguasa lahan 11 553 4 251 20 647 13 355 5 201 24 355
10 154 3 41 17 676 10 752 3 080 18 115 Petani padi/ palawija (87.9%) (80.2%) (85.6%) (80.5%) (59.2%) (74.40%)
2 562 961 4 890 5 068 1 903 9 329 Petani hortikultura (22.2%) (22.6%) (23.7%) (37.9%) (36.6%) (38.30%)
2 323 1 766 6 157 2 069 2 831 7 699 Petani perkebunan (20.1%) (41.5%) (29.8%) (15.5%) (54.4%) (31.60%)
3 072 841 5 527 3 262 1 412 6 507 Petani peternak (26.6%) (19.8%) (26.8%) (24.4%) (27.2%) (26.70%)
597 156 887 635 199 960 Petani perikanan (5.2%) (3.7%) (4.3%) (4.8%) (3.8%) (3.90%)
8 062 1 201 10 725 9 971 1 752 13 687 Petani gurem (70.0%) (28.3%) (51.9%) (74.7%) (33.70%) (56.20%)
Keterangan: Data tidak termasuk Propinsi. Aceh karena belum dicakup dalam Sensus Pertanian 2003. Sumber: Kasryno(2006)
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, kesejahteraan petani
yang diperbandingkan dengan indeks harga-harga internasional meningkat bahkan
peningkatan terjadi saat krisis ekonomi dimana rupiah terkoreksi karena overvalue
yang menekan kesejahteraan petani. Hal itu terutama pada petani yang banyak
menggunakan input domestik, dan mampu menjual produk pertanian ke pasar
internasional. Tingkat pendapatan petani relatif lebih baik dari tingkat masyarakat
miskin Indonesia. Petani tanaman pangan (padi/palawija) jumlahnya menurun,
berpindah ke hortikultura dan perkebunan yang lebih bernilai jual. Peternak dan
216
nelayan menurun dimungkinkan semakin melambungnya harga faktor produksi, dan
semakin memperbesar petani gurem.
6.2. Kinerja Agroindustri
Agroindustri adalah bagian dalam sistem agribisnis yang mencakup sub-
sistem sarana produksi atau bahan baku di hulu, proses produksi biologis di tingkat
bisnis atau usahatani, aktivitas transformasi berbagai fungsi bentuk (pengolahan),
waktu (penyimpanan atau pengawetan), dan tempat (pergudangan) di tengah, serta
pemasaran dan perdagangan di hilir, dan subsistem pendukung lainnya seperti jasa,
permodalan, perbankan dan lainnya. Konsep agribisnis dan agroindustri dalam
pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia mulai dikenal sejak akhir tahun 1970an
(Arifin, 2008). Sampai dengan sekarang masih dialami kesulitan implementasi
dalam sistem terintegrasi dengan pertanian primer.
Kinerja agroindustri didekati dengan nilai tambah input, nilai tambah output
dan daya saing agroindustri sebagaimana disajikan pada Gambar 35. Sejak tahun
1970 nilai tambah input dan output relatif seimbang dengan laju kenaikan yang
landai sampai dengan tahun 1985. Setelah tahun 1985 terjadi peningkatan laju
kenaikan yang semakin besar. Hal ini dimungkinkan dengan semakin membaiknya
industri pengolahan pertanian. Mulai tahun 1995 nilai tambah output lebih tinggi
dari nilai tambah input. Artinya, gejala tidak terintegrasi (decoupling) agroindustri
untuk memberi nilai tambah produk primer pertanian sebagi input agroindustri
mulai terjadi. Sebab bisa jadi peningkatan nilai tambah output yang lebih besar
berasal dari penggunaan input non domestik (mengingat fenomena peningkatan
impor yang menajam pada periode yang sama). Daya saing agroindustri sejak tahun
217
1970-75 relatif stabil, setelah tahun 1975 mengalami kenaikan berarti pada
keseimbangan baru sampai tahun 1992. Pada tahun 1992 triwulan 4 daya saing
agroindustri (dalam RCA) meningkat paling besar selama rentang waktu analisis
(4.033). Periode selanjutnya bertendensi menurun bahkan drastis pada tahun 1997
triwulan 4 (0.180).
Sumber: Analisis data dari BPS (1970-2006), FAO (2007), dan United Nations (2007) (Lampiran 1) Gambar 35. Nilai Tambah Input, Nilai Tambah Output, dan Daya Saing Agroindustri
Pada periode krisis moneter 1997, nilai tambah input dan output agroindustri
meningkat konsisten sampai tahun 2005. Hal ini dimungkinkan berhubungan
dengan fenomena rupiah terkoreksi akibat krisis moneter menjadikan intensitas
produksi agroindustri meningkat. Krisis menguntungkan terutama nilai tambah
output karena margin nilai output meningkat ketika produk agroindustri dijual di
pasar internasional. Hal itu nampak pada tren kenaikan nilai tambah output yang
lebih tinggi dari nilai tambah input. Pada saat krisis moneter, daya saing
0.000
10000.000
20000.000
30000.000
40000.000
50000.000
60000.000
1970
Q1
Q2
Q3
Q4
1975
Q1
Q2
Q3
Q4
1980
Q1
Q2
Q3
Q4
1985
Q1
Q2
Q3
Q4
1990
Q1
Q2
Q3
Q4
1995
Q1
Q2
Q3
Q4
2000
Q1
Q2
Q3
Q4
2005
Q1
Tahun
Mily
ar R
p
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
Inde
ks R
CA
NTI (M Rp) NTO (M Rp) DSA
218
agroindustri menurun drastis (terendah pada 1997 triwulan 4 sebesar 0.180).
Periode berikutnya meningkat dengan laju landai sampai tahun 2005. Berarti, krisis
moneter meningkatkan nilai tambah input dan output (cenderung meningkat lebih
besar), namun menurunkan daya saing agroindustri. Unsur kinerja agroindustri
diuraikan pada bagian berikut.
6.2.1. Nilai Tambah Input Agroindustri
Dinamika nilai tambah input agroindustri secara lebih detil disajikan pada
Gambar 36. Dari uraian sebelumnya nilai tambah input selalu meningkat selama
rentang waktu analisis. Namun pertumbuhan kenaikannya sampai periode 1986-90
mulai menurun konsisten sampai tahun 2005 (dari 290.84% menjadi 110.89%).
Sumber: Analisis Data dari BPS (1970-2006), FAO (2007), dan United Nations (2007) (Lampiran 1) Gambar 36. Nilai Tambah Input Agroindustri
Hal itu sejalan dengan studi yang dilakukan oleh ADB (2006) disajikan pada
Tabel 34. Pada periode pasca krisis moneter 1997 di kawasan Asia Tenggara, nilai
tambah input industri pertanian Indonesia cenderung mengalami penurunan
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
Tahun
Mily
ar R
p
0
50
100
150
200
250
300
350
Pers
en
NTI (M Rp) 224.307 582.09 2054.80 8031.00 26012.20 72125.60 152106.20
Pertumbuhan (%) 159.51 253.00 290.84 223.90 177.28 110.89
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
219
Tabel 34. Pertumbuhan Nilai Tambah Input Industri Pertanian di Asia
(%/Tahun) Kawasan/Negara 2001 2002 2003 2004 2005 Asia Tengah:
Armenia 11.7 3.8 4 14.5 11.2 Azerbaijan 1.4 4 0.9 3.7 4.6 Kazakhstan 17.1 3.4 1.4 0.1 6.7 Kyrgyz Republic 7.3 3.1 3.2 4.1 -4.2 Tajikistan 9 15.7 9.4 - - Uzbekistan 4.1 6 5.9 10.1 6.6
Asia Timur: China, People's Rep. of 2.8 2.9 2.5 6.3 5.2 Hong Kong, China 4.1 -0.7 -5.6 2.8 2.1 Korea, Rep. of 1.1 -3.5 -5.3 7.4 0.5 Mongolia -18.3 -12.4 4.9 17.7 7.7 Taipei,China -1.9 4.7 -0.1 -4.1 -4.1
Asia Selatan: Afghanistan - - 16.9 -17.1 10 Bangladesh 3.1 0 3.1 4.1 2.7 Bhutan 5 3.1 1.7 3.1 3.2 India 6.2 -6.9 10 0.7 2.3 Maldives 5.1 15.9 1.8 2.7 - Nepal 5.5 2.2 2.5 3.9 3 Pakistan -2.2 0.1 4,1 2.2 7.5 Sri Lanka -3.4 2.5 1.5 -1.8 0.5
Asia Tenggara: Cambodia 2.7 -2.8 12.2 -2 9.5 Indonesia 4.1 2.8 4.8 2.1 2.5 Lao People's Dem. Rep. 3.8 4 2.2 3.5 3 Malaysia -0.6 2.8 5.6 5 2.1 Myanmar 8.7 6 11.7 - - Philippines 3.7 4 3.2 4.9 2 Singapore -2 -6.3 1.3 12.3 -2.5 Thailand 3.2 0.7 11.4 -4.8 -2.4 Vietnam 3 4.2 3.6 4.4 4
Pasifik: Cook Islands -2.9 9.5 28.3 15.1 - Fiji Islands -5.8 4.3 -3.9 3.4 - Kiribati 13.8 3.8 33.4 11.9 - Palau, Rep. of 3.4 -2.5 -1.1 - - Papua New Guinea -8.5 10.5 2.7 2.8 4.1 Samoa -8 -6.5 -3.5 -6.5 - Solomon Islands -9.8 5.6 33.1 14 - Timor Leste 8.7 6 -0.4 10.1 - Tonga 1.2 3.3 3.8 -3.3 - Tuvalu -2.6 -9.4 - - - Vanuatu 0.5 1.7 -2.6 5.5 -0.8
Keterangan: Sel kosong, tidak tersedia data Sumber: ADB (2006) Asian Development Outlook 2006
220
(4.1% per tahun pada tahun 2001 menjadi 2.5% per tahun di tahun 2005). Hal
serupa terjadi hampir di seluruh negara Kawasan Asia Tenggara dan Asia lainnya.
6.2.2. Nilai Tambah Output Agroindustri
Nilai tambah output agroindustri Indonesia selama periode 1970-2005
meningkat konsisten sebagaimana disajikan pada Gambar 37. Pertumbuhan
kenaikan nilai tambah output agroindustri menurun pada periode 1976-81 (dari
227.85% menjadi 195.02%), yang kemudian meningkat pada puncaknya diperiode
1986-90 (sebesar 356.39%). Setelah periode tersebut menurun konsisten sampai
tahun 2005.
Sumber: Analisis data dari BPS (1970-2006), FAO (2007), dan United Nations (2007) (Lampiran 1) Gambar 37. Nilai Tambah Output Agroindustri
Pada Tabel 35 terlihat, hasil studi ADB (2006) juga menunjukkan fenomena
yang sama. Nilai tambah output industri pertanian pasca krisis moneter meningkat
dengan puncak peningkatan di tahun 2002 sebesar 4.4% per tahun yang kemudian
0.00
20000.00
40000.00
60000.00
80000.00
100000.00
120000.00
140000.00
160000.00
180000.00
Tahun
Mily
ar R
p
0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
300.00
Pers
en
NTO (M Rp) 260.91 855.40 2523.60 8993.80 28367.20 79375.60 170190.00
Pertumbuhan (%) 227.85 195.02 256.39 215.41 179.81 114.41
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
221
Tabel 35. Pertumbuhan Nilai Tambah Output Industri Petanian di Asia
(%/Tahun) Kawasan/Negara 2001 2002 2003 2004 2005 Asia Tengah:
Armenia 4.2 22.9 27.6 7.2 7.4 Azerbaijan 12.3 17.4 19.2 19.2 19.7 Kazakhstan 13.5 10.4 9.1 10.1 4.6 Kyrgyz Republic 5.1 -8.3 11.7 3.2 -9.7 Tajikistan 7.8 12 4.9 - - Uzbekistan 2.7 3.4 2.8 5.4 4.2
Asia Timur: China, People's Rep. of 8.4 9.8 12.7 11.1 11.4 Hong Kong, China -4.2 -3.6 -5.1 -2.7 -0.8 Korea, Rep. of 3.1 6.4 6.1 9 5.6 Mongolia 15.5 3.8 4.8 15 -0.9 Taipei,Cnina -7.5 5.9 3.8 8.7 5.2
Asia Selatan: Afghanistan - - 11.9 32.4 16.5 Bangladesh 7.4 6.5 7.3 7.6 8.4 Bhutan 13.1 14.4 8.8 12.7 12 India 2.7 7 7.6 8.6 9 Maldives 8.1 10.4 8.3 5 - Nepal 3.2 -2.9 3.3 1.1 1.4 Pakistan 3.6 2.6 4.7 12 10.2 Sri Lanka -2.1 1 5.5 5.4 6.1
Asia Tenggara: Cambodia 11.2 17.3 11.9 16.1 8.5 Indonesia 2.7 4.4 3.8 3.7 4.3 Lao People's Dem. Rep. 10.1 10.1 11.5 12.5 13 Malaysia -3.8 4.3 7.1 7.9 3.9 Myanmar 21.8 35 20.7 - - Philippines -2.5 3.9 3.6 5.2 5.3 Singapore -9 4 1.1 10.5 7.8 Thailand 1.7 7.1 9.5 8 5.7 Vietnam 10.4 9.5 10.5 10.2 10.6
Pacific: Cook Islands 13.3 -0.3 16.2 14.1 - Fiji Islands 9.1 2.9 5.1 4.5 - Kiribati 25.8 -4.9 -1.1 1.8 - Palau, Rep. of 6.3 -5 0.5 .- - Papua New Guinea 5 -10.2 2.7 2.8 - Samoa 12.1 -1.9 6.5 6 - Solomon Islands -17.4 4 4.5 6 - Timor-Leste 18.5 -3.4 -4.9 2.2 - Tonga 1.2 5 2.4 -1 - Tuvalu 10.3 6.5 - - - Vanuatu -4.6 -5.9 -3.2 3.5 3.4
Keterangan: Sel kosong, tidak tersedia data Sumber: ADB (2006) Asian Development Outlook 2006
222
cenderung menurun hingga tahun 2005. Keadaan ini relatif seragam untuk negara-
negara kawasan Asia Tenggara juga sebagian besar di Asia lainnya.
6.2.3. Daya Saing Agroindustri
Daya saing agroindustri Indonesia sejak tahun 1970 meningkat diatas 1.
Menurut Lall and Rao (1993) termasuk dalam continuing comparative advantage,
namun pertumbuhannya menurun sampai pertengahan periode 1986-90 (dari
134.9% menjadi 48.67%). Peningkatan drastis sampai pertengahan periode 1991-
95. Pada saat krisis tahun 1997, penurunan nilai dan pertumbuhannya masih terjadi
bahkan lebih rendah dibandingkan dengan penurunan sebelumnya (dari 250.78%
menjadi negatif 61.60%) berlangsung sampai tahun 2005 meskipun mulai tahun
2000 mengalami sedikit pertumbuhan. Selengkapnya disajikan pada Gambar 38.
Artinya, krisis ekonomi telah menurunkan nilai dan pertumbuhan daya saing
agroindustri.
Sumber: Analisis data dari BPS (1970-2006), FAO (2007), dan United Nations (2007) (Lampiran 1) Gambar 38. Daya Saing Agroindustri
-100.00
-50.00
0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
300.00
Tahun
Pers
en
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00In
deks
Pertumbuhan (%) 134.09 48.67 -0.70 250.78 -61.60 -42.76
RCA (Indeks) 0.84 1.96 2.92 2.89 10.16 3.90 2.23
1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005
223
Uraian diatas selaras dengan studi World Bank (2007), mengenai daya saing
produk industri berbasis pertanian yang difokuskan saat krisis dan setelah krisis
moneter tahun 1997 seperti disajikan pada Tabel 36. Dari 63 produk SITC yang
distudi hanya 17 memiliki daya saing baik (RCA lebih dari 1) pada tahun 1995.
Keadaan ini meningkat tipis di tahun 2001 dan pasca krisis menjadi 21 produk.
Jika diperbandingkan dengan beberapa kelompok negara sebagaimana hasil
studi Tambunan (2003b) disajikan pada Tabel 37, diprediksikan pada tahun 2020
daya saing produk pertanian Indonesia (didalamnya terkandung produk agoindustri)
mengalami peningkatan walaupun kecil (1.70) jika dibandingkan dengan tahun
1992 sebesar 1.69. Kenaikan itu masih di atas negara-negara OECD, NICs, bahkan
Cina, negara transisi, dan sedang berkembang lainnya kecuali Brazil. Jadi ada
optimisme dalam membangun pertanian.
Tabel 36. Indeks Daya Saing Produk Industri Berbasis Pertanian Indonesia
(Indeks) Produk 1995 2001 Produk 1995 2001 Perikanan dll. 3.9 3.3 Minyak sayur 5.6 9.7 Kopi, teh, dll. 4.3 4.1 Minyak hewan 8.1 3.5 Tembakau 0.9 1.5 Pupuk 2.0 0.9 Karet mentah 15.9 8.9 Kayu olahan (diluar
furniture) 16.7 9.5
Produk perkayuan 1.1 1.4 Alat telekomunikasi dan perekam suara
1.0 1.3
Pulp dan kertas 2.0 3.2 Furniture dan bagjannya 1.9 2.3 Bijih dan skrap logam 4.6 4.8 Barang-barang
perjalanan, tas tangan 0.9 1.6
Batu bara, arang dan briket 5.2 7.0 Kain dan pakaian
2.4
2.7
Minyak dan produk minyak
3.1 1.9 Alaskaki 6.2 4.3
Gas alam dan olahan 15.8 8.0 Minyak sayur 5.6 9.7 Dari total 63 produk - SITC 2 digit: Jumlah produk RCA >1 17 21 % produk dengan RCA> 1 27 33 Sumber: World Bank (2007), Perhitungan berdasarkan data UNCOMTRADE
224
Tabel 37. Indeks Daya Saing Produk Pertanian Indonesia dan Negara- Negara Lain
Negara/Kelompok Negara 1992 2020 OECD 0.85 1.12 NICs 0.27 0.49 China 1.55 0.22 India 1.73 0.74 Brazil 2.07 2.20 Indonesia 1.69 1.70 Ekonomi Transisi 1.14 1.29 NSB lainnya 1.87 1.19
Sumber: Tambunan (2003b)
VII. PENGARUH KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN
7.1. Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Sektor Pertanian
Analisis bagian ini untuk mencapai tujuan penelitian ke dua, mengkaji
hubungan kebijakan fiskal dengan kinerja sektor pertanian di Indonesia. Untuk
mendapatkan pemaknaan sesuai dengan teori ekonomi pada sistem persamaan
VECM dari VAR(4), maka hubungan kointegrasi diantara variabel-variabel dalam
sistem dibangun dengan melakukan restriksi perilaku jangka panjang dari variabel-
variabel endogen berdasarkan metode estimasi ML (maximum likelihood). Restriksi
menghasilkan delapan persamaan kointegrasi meliputi: sistem persamaan yang
menjelaskan kinerja sektor pertanian terdiri dari lima persamaan (PDB pertanian
[GDPA], penyerapan tenaga kerja sektor pertanian [TKA], ekspor produk pertanian
[XA], impor produk pertanian [IMA], dan kesejahteraan petani [WP]) disajikan
pada Tabel 38, selengkapnya pada Lampiran 8. Sedangkan tiga persamaan lainnya
merupakan sistem persamaan yang menjelaskan kinerja agroindustri (dibahas pada
bagian 8.1).
Persamaan regresi kointegrasi (7.1) hingga (7.5) dapat menjelaskan
hubungan struktural ekonomi antara variabel-variabel kebijakan fiskal dengan
kinerja sektor pertanian sebagai berikut:
GDPAt = -0.011 + 0.083PPHt + 0.178PPNt + 0.058EAt – 0.032SPt + 0.084RDAt – 0.180IAt – 0.008DFt + 0.079It + 0.071KONSt (7.1) TKAt = -0.072 + 0.395PPHt + 0.523PPNt + 0.195EAt + 0.045SPt + 0.281RDAt – 0.464IAt + 0.085DFt + 0.257It + 0.125KONSt (7.2)
226
Tabel 38. Hubungan Jangka Panjang Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Sektor Pertanian
Cointegrating Eq: D(LOG
(GDPA(1)))D(LOG
(TKA(1)))D(LOG
(XA(1)))D(LOG
(IMA(1))) D(WP(1)) D(LOG(PPH(1))) -0.08286 -0.39489 -0.45769 -0.64578 -0.67463 (0.03456) (0.10483) (0.14183) (0.54497) (0.21307) [-2.39778] [-3.76705] [-3.22694] [-1.18499] [-3.16631] *** *** *** ***D(LOG(PPN(1))) -0.1782 -0.52292 -0.41051 1.421638 0.509752 (0.07132) (0.21634) (0.29272) (1.12469) (0.43972) [-2.49882] [-2.41712] [-1.40241] [ 1.26403] [ 1.15926] *** *** D(LOG(EA(1))) -0.05792 -0.19453 0.947683 3.847074 0.175939 (0.02285) (0.06933) (0.09380) (0.36042) (0.14092) [-2.53434] [-2.80584] [ 10.1027] [ 10.6737] [ 1.24854] *** *** *** *** D(LOG(SP_(1))) 0.032179 -0.04494 -0.17445 -0.95171 -0.02014 (0.01424) (0.04320) (0.05846) (0.22461) (0.08782) [ 2.25940] [-1.04006] [-2.98415] [-4.23717] [-0.22938] *** *** *** D(LOG(RDA(1))) -0.08414 -0.28105 0.31809 1.368473 0.751309 (0.02709) (0.08218) (0.11119) (0.42723) (0.16703) [-3.10581] [-3.42001] [ 2.86074] [ 3.20315] [ 4.49794] *** *** *** *** ***D(LOG(IA(1))) 0.180211 0.464302 -0.2326 -2.10082 -0.97746 (0.03193) (0.09685) (0.13105) (0.50352) (0.19686) [ 5.64441] [ 4.79384] [-1.77492] [-4.17229] [-4.96525] *** *** * *** ***D(LOG(DF(1))) 0.007547 -0.0853 -0.05845 -0.02592 0.397885 (0.01529) (0.04640) (0.06278) (0.24121) (0.09431) [ 0.49343] [-1.83851] [-0.93113] [-0.10745] [ 4.21908] * ***D(LOG(I(1))) -0.07907 -0.25744 -0.1074 -0.77758 0.98869 (0.02417) (0.07332) (0.09921) (0.38118) (0.14903) [-3.27143] [-3.51107] [-1.08257] [-2.03991] [ 6.63410] *** *** ** ***D(LOG(KONS(1))) -0.07066 -0.12517 -0.61345 -1.70432 0.361332 (0.03659) (0.11099) (0.15017) (0.57700) (0.22559) [-1.93131] [-1.12779] [-4.08495] [-2.95374] [ 1.60170] * *** *** C 0.011319 0.072147 0.050433 -0.05235 -0.06662
Keterangan: Baris pertama nilai koefisien, kedua standard error, dan ketiga/[ ] nilai t-statistik. ***=nyata pada tingkat signifikansi (α:1%), **=nyata pada tingkat signifikansi (α:5%), dan *=nyata pada tingkat signifikansi (α:10%). Nilai t-tabel: t(α:1%)= 2.167, t(α:5%)= 1.980, dan t(α:10%)= 1.658.
227
XAt = -0.050 + 0.458PPHt + 0.411PPNt – 0.948EAt + 0.174SPt - 0.318RDAt + 0.233IAt + 0.058DFt + 0.107It + 0.613KONSt (7.3) IMAt = 0.052 + 0.646PPHt – 1.422PPNt – 3.847EAt + 0.952SPt
- 1.368RDAt + 2.101IAt + 0.026DFt + 0.778It + 1.704KONSt (7.4) WPt = 0.067 + 0.675PPHt – 0.509PPNt – 0.176EAt + 0.020SPt - 0.751RDAt + 0.977IAt – 0.398DFt – 0.989It – 0.361KONSt (7.5)
Secara umum, dari persamaan (7.1) hingga (7.5) menunjukkan arah yang sesuai
dengan teori dan logika ekonomi. Masing-masing karakteristik struktur hubungan
tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Pajak Penghasilan
Peningkatan penerimaan pemerintah dari pajak penghasilan (PPh) sebesar
10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan peningkatan pada
PDB Pertanian (GDPA) sebesar 0.83%, penyerapan tenaga kerja pertanian (TKA)
sebesar 3.95%, ekspor produk pertanian (XA) sebesar 4.58%, dan terutama
kesejahteraan petani (WP) dengan peningkatan cukup besar (6.75%). Pengenaan
PPh pada level yang ada cenderung mendorong kinerja sektor pertanian. Capaian
tax ratio yang masih rendah di Indonesia (Hutahaean et.al., 2002) peningkatannya
diperlukan untuk mendorong kinerja sektor pertanian. Menurut Pandiangan (2005),
PPh akan optimal jika alokasi peruntukannya dapat maksimal pada pembiayaan
produktif, termasuk untuk sektor pertanian. Disisi lain, eliminasi tumpang tindih
dalam tata laksana dan aturan pajak di pusat maupun di daerah menjadi hal penting
kedepan. Terhadap impor produk pertanian (IMA) tidak berhubungan nyata.
2. Pajak Pertambahan Nilai
Peningkatan penerimaan pemerintah dari pajak pertambahan nilai (PPn)
sebesar 10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan peningkatan
228
pada PDB Pertanian (GDPA) sebesar 1.78%, dan penyerapan tenaga kerja pertanian
(TKA) sebesar 5.23%. Terhadap ekspor produk pertanian (XA), impor produk
pertanian (IMA), dan kesejahteraan petani (WP) tidak berhubungan nyata. Menurut
Hutahaean, et.al. (2002) terdapat tarif-tarif pajak pertambahan nilai pada sektor
pertanian yang masih perlu dikaji dalam pengenaanya agar dicapai pajak optimal,
terutama menghindari pajak yang memberatkan karena tarif, jenis dan pajak dobel.
Akumulasi dari hal tersebut tercipta over tax di sektor pertanian yang merugikan
kinerja sektor pertanian.
3. Anggaran Sektor Pertanian
Peningkatan anggaran sektor pertanian (EA) sebesar 10% dalam jangka
panjang secara nyata berhubungan dengan peningkatan PDB pertanian (GDPA)
sebesar 0.58%, dan penyerapan tenaga kerja pertanian (TKA) sebesar 1.95%.
Namun menurunkan ekspor produk pertanian (XA) sebesar 9.48%, dan impor
produk pertanian (IMA) sebesar 38.47%. Kenaikan anggaran sektor pertanian
mampu meningkatkan kinerja sektor pertanian terutama melalui penurunan impor
yang cukup besar meskipun terjadi penurunan ekspor produk pertanian relatif lebih
kecil namun surplus neraca perdagangan masih terjaga, sehingga akumulasinya
masih meningkatkan PDB pertanian. Dengan demikian ancaman impor produk
pertanian (Sawit, 2008) semakin dapat dihindarkan. Namun dari studi World Bank
(2003) mengingatkan bahwa dalam pertumbuhan pertanian hanya 1% tidak mampu
menciptakan lapangan kerja dapat dikompensasi dengan peningkatan anggaran
sektor pertanian. Terhadap kesejahteraan petani (WP) tidak berhubungan nyata.
4. Subsidi Pertanian
Peningkatan subsidi pertanian (SP) sebesar 10% dalam jangka panjang seca-
229
ra nyata berhubungan dengan penurunan PDB pertanian (GDPA) sebesar 0.32%.
Namun meningkatkan ekspor produk pertanian (XA) sebesar 1.74%, dan impor
produk pertanian (IMA) lebih besar (9.52%) berarti masih berpotensi menurunkan
surplus neraca perdagangan. Terhadap penyerapan tenaga kerja pertanian (TKA),
dan kesejahteraan petani (WP) tidak berhubungan nyata. Subsidi pertanian tidak
banyak dinikmati petani karena sebagian besar merupakan subsidi harga produk
pertanian, dimana penikmatnya adalah konsumen pertanian5 (meskipun indikasinya,
sebagian petani juga net consumer pada kasus petani gurem dan petani tanpa lahan).
Hal itu didukung oleh temuan studi Stiglitz (2000), Rozelle and Swinnen (2004)
dan Norton (2004) yang lebih dikarena supply produk pertanian tidak elastis
sehingga implementasi subsidi membutuhkan kecermatan evaluasi.
5. Anggaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Peningkatan alokasi anggaran untuk penelitian dan pengembangan pertanian
(RDA) sebesar 10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan
peningkatan PDB Pertanian (GDPA) sebesar 0.84%, penyerapan tenaga kerja
pertanian (TKA) sebesar 2.81%. Namun menurunkan ekspor produk pertanian (XA)
sebesar 3.18%, impor produk pertanian (IMA) sangat besar (13.68%), dan
kesejahteraan petani (WP) sebesar 7.51%. Penurunan kesejahteraan petani karena
disamping telah terjadi stagnasi penelitian tanaman pangan (yang diusahakan
sebagian besar petani) pasca revolusi hijau, juga terjadi inklusi penelitian
pengembangan pertanian lebih banyak pada industri besar berbasis komoditi
industri pertanian (misalnya kelapa sawit) (Fuglie, 2002). Bahkan diduga penelitian
5 Data yang dikemukakan oleh Dr.Endah Murniningtyas, M.Sc (Direktur Penanggulangan Kemiskian, BAPPENAS, Jakarta. 2008)
230
pengembangan pertanian selama ini kurang sesuai dengan kebutuhan
pengembangan pertanian rakyat (Menteri Pertanian, 2005) sehingga belum bisa
secara cepat meningkatkan kesejahteraan petani.
Anggaran penelitian dan pengembangan pertanian berpengaruh kuat untuk
semua kinerja sektor pertanian. Variabel ini sangat potensial/penting untuk
mendorong kinerja sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kuroda
(1997) juga Fan and Zhang (2002).
6. Anggaran Infrastruktur Pertanian
Peningkatan alokasi anggaran untuk infrastruktur pertanian (IA) sebesar
10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan penurunan PDB
pertanian (GDPA) sebesar 1.80%, penyerapan tenaga kerja pertanian (TKA) sebesar
4.64%. Namun meningkatkan ekspor produk pertanian (XA) sebesar 2.33%, impor
produk pertanian (IMA) sebesar 21.01 %, dan kesejahteraan petani (WP) sebesar
9.78 %. Perbaikan infrastruktur pertanian dapat memperbaiki ekspor produk
pertanian, namun juga terjadi peningkatan impor produk pertanian yang sangat
besar. Hal ini mengakibatkan defisit neraca perdagangan yang menghambat
pertumbuhan (PDB) sektor pertanian dan menurunkan penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian. Peningkatan akses infrastruktur pertanian juga meningkatkan
kesejahteraan petani karena semakin lancarnya arus perdagangan, namun diofset
impor produk pertanian lebih besar. Temuan ini selaras dengan studi Mundlak,
et.al. (2002), dan Rozelle and Swinnen (2004) bahwa infrastruktur pertanian
berperan penting untuk menumbuhkan sektor pertanian/pedesaan. Namun sering
lingkungan eksternal lebih cepat dalam memanfaatkan perbaikan tersebut
dibandingkan dengan petani domestik itu sendiri.
231
7. Desentralisasi Fiskal
Peningkatan desentralisasi fiskal (DF) sebesar 10% dalam jangka panjang
secara nyata berhubungan dengan kenaikan penyerapan tenaga kerja pertanian
(TKA) sebesar 0.85%. Namun menurunkan kesejahteraan petani (WP) sebesar
3.98%. Terhadap PDB pertanian (GDPA), ekspor produk pertanian (XA), dan
impor produk pertanian (IMA) tidak berhubungan nyata. Sebagaimana hasil studi
Saragih (2004), Tambunan (2003b), dan Arifin (2004) menemukan bahwa sebagian
besar anggaran desentralisasi diperuntukkan bagi pembiayaan rutin dan gaji
pegawai. Sehingga tidak mampu mendorong secara langsung kinerja sektor
produktif termasuk pertanian di daerah. Hal tersebut menjadi tantangan besar
dalam optimalisasi otonomi daerah kedepan.
8. Investasi
Variabel pembobot ekonomi makro memiliki karakter arah hubungan
sebagai berikut, paningkatan investasi (I) sebesar 10% dalam jangka panjang secara
nyata berhubungan dengan peningkatan PDB pertanian (GDPA) sebesar 0.79%,
penyerapan tenaga kerja pertanian (TKA) sebesar 2.57%, dan impor produk
pertanian (IMA) cukup besar (7.78%). Namun menurunkan kesejahteraan petani
(WP) sebesar 9.89%. Terhadap ekspor produk pertanian (XA) tidak berhubungan
nyata. Pangsa investasi agregat yang teralokasi untuk sektor pertanian relatif kecil
bahkan dengan pertumbuhan rata-rata (-2.07%) sejak awal periode 1990an sampai
periode 2000an (Astuti, 2005). Hal itu terjadi karena besarnya resiko investasi di
sektor pertanian (Herjanto, 2003) sehingga investasi pertanian di Indonesia sangat
mahal (Daryanto, 2008). Dorongan terhadap output pertanian relatif kecil
dibandingkan dengan dampak peningkatan impor. Indikasinya peningkatan
232
investasi lebih banyak dinikmati di luar perekonomian sektor pertanian, sehingga
menurunkan kesejahteraan petani.
9. Konsumsi
Peningkatan konsumsi (KONS) sebesar 10% dalam jangka panjang secara
nyata berhubungan dengan peningkatan PDB pertanian (GDPA) sebesar 0.71%,
ekspor produk pertanian (XA) sebesar 6.13%, dan impor produk pertanian (IMA)
sangat besar (17.04%). Terhadap penyerapan tenaga kerja pertanian (TKA), dan
kesejahteraan petani (WP) tidak berpengaruh nyata. Temuan ini memperkuat studi
Alexandrates (1995) bahwa konsumsi masih merupakan motor penggerak
pertumbuhan di negara berkembang. Dari studi ini lebih spesifik dapat dikatakan
bahwa penggerakan (driven) dari konsumsi tersebut (dalam kasus produk pertanian)
labih banyak dipenuhi dari impor (produk pertanian). Hal itu diperkuat oleh hasil
studi Sumodiningrat dalam Tambunan (2003b) bahwa sampai tahun 2035 akan
terjadi defisit konsumsi pangan di Indonesia.
Dari uraian diatas dapat simpulkan; variabel PPh, anggaran sektor pertanian
(EA), anggaran penelitian dan pengembangan pertanian (RDA), anggaran
infrastruktur pertanian (IA) dan investasi agregat (I) memberi hubungan pengaruh
yang paling banyak terhadap semua variabel kinerja sektor pertanian.
7.2. Respon Dinamik Kinerja Sektor Pertanian atas Guncangan Kebijakan Fiskal
Respon dinamik karena adanya guncangan (shocks) dari variabel kebijakan
fiskal terhadap kinerja sektor pertanian, dianalisis dengan respon impulse secara
simultan berdasarkan metode dekomposisi Cholesky dengan penyesuaian derajad
233
bebas (Cholesky-degree of fredom adjusted). Guncangan (shocks) sebesar satu
standar deviasi dan panjang periode analisis sampai triwulan ke 60 dengan
memperhatikan, sampai pada periode tersebut telah mampu menggambarkan respon
pergerakan yang mencapai fase konvergen secara konsisten. Pergerakan/impulse
respon dari variabel kinerja sektor pertanian disajikan pada Gambar 39-47.
Sedangkan numerik dari impulse respon disajikan pada Lampiran 9.
1. Respon atas perubahan Pajak Penghasilan
Awal guncangan pajak penghasilan sebagaimana disajikan pada Gambar 39
dan Lampiran 9 (A.9.1), mengakibatkan peningkatan pajak penghasilan (6.56%)
pada triwulan pertama kemudian menurun pada triwulan keempat (0.08%). Pada
triwulan ke 2 terjadi peningkatan PDB pertanian (0.08%) dan penyerapan tenaga
kerja (0.55%), namun terjadi penurunan pada ekspor produk pertanian (0.61%) dan
impor produk pertanian (0.40%), serta kesejahteraan petani (0.9%).
Dalam jangka panjang mulai triwulan ke 8 (2 tahun) pajak penghasilan
cenderung meningkat kembali sampai mencapai keseimbangan mulai triwulan ke
23 (tahun ke 6) berkisar 1.69%. Peningkatan pajak penghasilan berarti
meningkatkan penerimaan negara dan akan memperbaiki posisi fiskal. Hal tersebut
berdampak kepada peningkatan PDB pertanian setelah triwulan ke 6 (lebih cepat
dari respon PPh) dan mencapai keseimbangan peningkatan mulai triwulan ke 17
berkisar 0.08%. Peningkatan PDB pertanian bisa menggairahkan kegiatan produksi
pertanian, sehingga penyerapan tenaga kerja juga meningkat mulai triwulan ke 10
dan mencapai keseimbangan mulai triwulan 24 berkisar 0.55%. Peningkatan
penyerapan tenaga kerja pertanian pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan
petani juga relatif cepat mulai triwulan ke 12. Ini artinya peningkatan tenaga kerja
234
pertanian akan segera berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani walaupun
keseimbangan respon kesejahteraan petani lebih lambat; dimulai pada triwulan ke
30 dengan peningkatan berkisar 0.49%. Pada neraca perdagangan pertanian, dalam
jangka panjang ekspor mengalami penurunan berkisar 0.17% mulai triwulan ke 42
begitu pula impor mengalami penurunan berkisar 0.49% yang konsisten cepat mulai
triwulan ke 22.
.0025
Keterangan : Skala absis adalah triwulan
Gambar 39. Respon shocks pada Pajak Penghasilan terhadap Pajak Penghasilan (PPh), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)
-.0010
-.0005
.0000
.0005
.0010
.0015
.0020
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap G
DPA
-.004
.07
.000
.004
.008
.012
.016
.020
10 20 30 40 50 60
c. R
esh
TKA
-.010
pon
Ter
adap
-.008
-.006
-.004
-.002
.000
.002
.004
.006
10 20 30 40 50 60
d.R
espo
n Te
rhad
ap X
A
-.016
-.012
-.008
-.004
.000
.004
.008
.012
10 20 30 40 50 60
e. R
espo
n Te
rhad
ap IM
-.010
A
-.005
.000
.005
.010
.015
.020
.025
.030
10 20 30 40 50 60
f. R
espo
n Te
rhad
ap W
P
.00
.01
.02
.03
.04
.05
.06
10 20 30 40 50 60
pha
h
R e s p o ns e to C ho le s k y O ne S .D . Inno va t io ns o f P P h
dap
PPon
Ter
a. R
es
235
2. Respon atas perubahan Pajak Pertambahan Nilai
Pada awal guncangan pajak pertambahan nilai sebagaimana disajikan pada
Gambar 40 dan Lampiran 9(A.9.2), mengakibatkan kenaikan PPn berkisar 4.61%
kemudian menurun tajam sampai triwulan ke 5. Guncangan PPn mengakibatkan
penurunan PDB pertanian sampai terendah pada triwulan ke 4 sebesar 0.24%.
Penurunan juga terjadi pada penyerapan tenaga kerja pertanian pada triwulan ke 2
berkisar 0.4%. Sedangkan ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan
petani mengalami peningkatan masing-masing berkisar 0.44%, 2.42% dan 3.66%.
.0004
Keterangan : Skala absis adalah triwulan
Gambar 40. Respon shocks pada Pajak Pertambahan Nilai terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPn), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)
-.0024
-.0020
-.0016
-.0012
-.0008
-.0004
.0000
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap G
DPA
-.008
.05
-.004
.000
.004
.008
.012
.016
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
apA
-.002
TK
.000
.002
.004
.006
.008
.010
.012
.014
10 20 30 40 50 60
d. R
espo
n Te
rhad
ap X
A
-.005
.000
.005
.010
.015
.020
.025
10 20 30 40 50 60
e. R
espo
n Te
rhad
ap IM
A
-.04
-.03
-.02
-.01
.00
.01
.02
.03
.04
10 20 30 40 50 60
f. R
espo
n Te
rhad
ap W
P
.00
.01
.02
.03
.04
10 20 30 40 50 60
a.
R e s p o n s e t o C h o le s k y O n e S . D . I n n o v a t io n s o f P P n
p PP
n T
erha
da R
espo
n
236
Dalam jangka panjang, guncangan pada PPn mengakibatkan PPn meningkat
dan mencapai keseimbangan/konvergen mulai triwulan ke 20 berkisar 2%.
Peningkatan terjadi pada ekspor produk pertanian, konvergen mulai triwulan ke 34
berkisar 0.30%. Penyesuaian ekspor produk pertanian lebih lama dibandingkan
dengan impor produk pertanian yang juga meningkat dan konvergen mulai triwulan
ke 29 berkisar 0.58%. Kondisi tersebut mengindikasikan; peningkatan PPn kurang
kondusif terhadap ekspor sebagai sumber devisa untuk pertumbuhan. Hal itu
nampak pada PDB pertanian yang menurun konvergen mulai triwulan ke 26
berkisar 0.08%. Dalam situasi demikian, penyerapan tenaga kerja meningkat
berkisar 0.39% konvergen mulai triwulan ke 23. Begitu pula kesejahteraan petani
meningkat berkisar 0.21%, konvergen mulai triwulan ke 28.
3. Respon atas Perubahan Anggaran Sektor Pertanian
Guncangan pada anggaran sektor pertanian sebagaimana disajikan pada
Gambar 41 dan Lampiran 9(A.9.3), seketika meningkatkan belanja sektor pertanian
8.98% kemudian menurun sampai triwulan ke 6 sebesar 0.9%, selanjutnya
meningkat kembali. Mulai triwulan ke 2, penyerapan tenaga kerja meningkat
berkisar 0.13%. Namun menurunkan neraca perdagangan pertanian dimana impor
meningkat berkisar 1.56% sedangkan ekspor menurun berkisar 0.71%. Kondisi
tersebut menurunkan PDB pertanian berkisar 0.04% namun kesejahteraan petani
meningkat berkisar 1.74%.
Dalam jangka panjang, guncangan pada anggaran sektor pertanian
meningkatkan belanja pertanian yang mencapai keseimbangan berkisar 1.59% pada
triwulan ke 27. Peningkatan belanja pertanian tidak memperbaiki neraca
perdagangan pertanian (ekspor menurun dan impor meningkat masing-masing
237
berkisar 0.08% mulai triwulan ke 40 dan berkisar 0.68% mulai triwulan ke 28).
Namun demikian masih terjadi kenaikan PDB pertanian yang mencapai
keseimbangan mulai triwulan ke 28 berkisar 0.01%. Hal ini dimungkinkan peran
dari peningkatan subsidi pada anggaran pertanian (lihat argumentasi
Murniningtyas, 2008 di Bagian 5.4.1.).
.0012
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 41. Respon shocks pada Anggaran Sektor Pertanian terhadap Belanja Pertanian (EA), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)
-.0008
-.0004
.0000
.0004
.0008
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap G
DP
A
-.008
.10
-.006
-.004
-.002
.000
.002
.004
.006
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap T
KA
-.012
-.008
-.004
.000
.004
.008
10 20 30 40 50 60
d. R
espo
n Te
rhad
ap X
A
-.008
-.004
.000
.004
.008
.012
.016
.020
10 20 30 40 50 60
e. R
espo
n Te
rhad
ap IM
A
-.020
-.015
-.010
-.005
.000
.005
.010
.015
.020
10 20 30 40 50 60
f. R
espo
n Te
rhad
ap W
P
.00
.02
.04
.06
.08
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap E
A
R e sp onse to C ho lesky O ne S .D . Innova t ions o f E A
238
Tanda-tanda itu dapat diperlihatkan juga oleh meningkatnya penyerapan tenaga
kerja pertanian dan kesejahteraan petani masing-masing berkisar 0.11% dan 0.3%
mulai konvergen pada triwulan ke 31 dan 22. Dengan demikian peningkatan alokasi
anggaran sektor pertanian (di luar subsidi pertanian) sangat penting dalam jangka
panjang untuk memperbaiki kinerja sektor pertanian.
4. Respon atas Perubahan Subsidi Pertanian
Pada saat guncangan sebagaimana disajikan pada Gambar 42 dan Lampiran
9(A.9.4), subsidi pertanian mengalami kenaikan berkisar 53.55% kemudian
menurun sampai triwulan ke 3 dan selanjutnya meningkat kembali. Pada triwulan
ke 2, guncangan subsidi pertanian menurunkan PDB pertanian berkisar 0.25% juga
kesejahteraan petani berkisar 1.17%. Berarti subsidi pertanian dalam jangka pendek
tidak cukup baik bagi peningkatan kesejahteraan petani karena porsi besar subsidi
pertanian tidak dinikmati petani (produsen pertanian) (selaras dengan hasil studi
Ilham, 2006 dan Tambunan, 2008). Ekspor dan impor produk pertanian juga
menurun fluktuatif masing-masing berkisar 1.05% dan 0.91%. Sedangkan
penyerapan tenaga kerja pertanian meningkat berkisar 0.14%.
Dalam jangka panjang, subsidi pertanian meningkat berkisar 10.21% dan
konvergen mulai triwulan ke 19. Guncangan subsidi pertanian meningkatkan
penyerapan tenaga kerja dan ekspor produk pertanian masing-masing berkisar
0.88% mulai triwulan ke 23 dan 0.04% mulai triwulan ke 45. Sedangkan impor
menurun berkisar 0.95% mulai triwulan ke 36. Penurunan juga terjadi pada PDB
pertanian berkisar 0.09% mulai triwulan ke 32. Penurunan PDB pertanian diikuti
penurunan kesejahteraan petani berkisar 0.41% mulai triwulan ke 27.
239
Kondisi tersebut menurut Murniningtyas (2008) sebagaimana pada Bagian
5.4.1. menyebutnya bahwa dengan subsidi pertanian selama ini sebagai jebakan
alokasi anggaran pertanian di wilayah abu-abu, artinya alokasi yang besar tersebut
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 42. Respon shocks pada Subsidi Pertanian terhadap Subsidi Pertanian (SP), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)
untuk penyelamatan-penyelamatan jangka pendek dan bukan pada porsi alokasi
anggaran wilayah publik sektor pertanian. Disisi lain, juga terdapat potensi
-.003
-.002
-.001
.000
.001
.002
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap G
DPA
-.02
.6
-.01
.00
.01
.02
.03
.04
.05
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap T
KA
-.02
-.01
.00
.01
.02
.03
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap X
A
-.030
-.025
-.020
-.015
-.010
-.005
.000
.005
.010
10 20 30 40 50 60
e. R
espo
n Te
rhad
ap IM
A
-.025
-.020
-.015
-.010
-.005
.000
.005
.010
.015
10 20 30 40 50 60
f. R
espo
n Te
rhad
ap W
P-.3
-.2
-.1
.0
.1
.2
.3
.4
.5
10 20 30 40 50 60
a.
n
Response to Cholesky O ne S.D. Innovations of SP
Ter
hada
p SP
Res
po
240
kebocoran anggaran, dan pelambatan laju pertumbuhan sektor pertanian sebagai
proses alamiah transformasi ekonomi (Worl Bank, 2003). Sehingga peningkatan
anggaran untuk sektor pertanian (dengan porsi subsidi yang besar) tersebut tidak
mampu menimbulkan dampak produktivitas dan peningkatan PDB dalam jangka
panjang.
5. Respon atas Perubahan Anggaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Awal guncangan sebagaiamana disajikan pada Gambar 43 dan Lampiran
9(A.9.5), anggaran penelitian dan pengembangan pertanian mengalami kenaikan
16.53% kemudian menurun fluktuatif sampai triwulan ke 6. Pada triwulan ke 2,
terjadi kenaikan PDB pertanian berkisar 0.12%. Penurunan terjadi pada penyerapan
tenaga kerja pertanian (0.48% namun segera meningkat pada triwulan ke 11 dan
seterusnya), ekspor pertanian (0.03%) dan impor pertanian (0.036% kemudian
meningkat mulai triwulan ke 5), dan kesejahteraan petani (1.11% turun konsisten).
Dalam jangka panjang, anggaran penelitian pengembangan pertanian
meningkat dan mencapai keseimbangan berkisar 8.26% mulai triwulan ke 10.
Guncangan anggaran penelitian pengembangan pertanian menurunkan PDB
pertanian (berkisar 0.16% mencapai keseimbangan mulai triwulan ke 18 adalah lag
yang relatif cepat). Penyerapan tenaga kerja pertanian meningkat berkisar 0.11%
seimbang mulai triwulan ke 26. Ekspor produk pertanian menurun berkisar 0.29%
sementara impor produk pertanian meningkat berkisar 1.21%; masing-masing
mencapai keseimbangan mulai triwulan ke 31 dan 29. Kesejahteraan petani
menurun berkisar 0.27% konvergen mulai triwulan ke 31. Penurunan sebagian besar
kinerja sektor pertanian, dimungkinkan pilihan implementasi penelitian pertanian
yang kurang menyentuh langsung pada sektor inovasi usaha tani petani, misal lebih
241
banyak penelitian yang tidak membumi untuk petani (Menteri Pertanian, 2005).
Penelitian sektor pertanian lebih banyak dikembangkan oleh industri pertanian
besar/multi nasional yang yang tidak memiliki dampak multiplier kepada petani dan
sektor pertanian langsung.
.002
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 43. Respon shocks pada Anggaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian terhadap Anggaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian (RDA), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)
6. Respon atas Perubahan Anggaran Infrastruktur Pertanian
Awal guncangan sebagaimana disajikan pada Gambar 44 dan Lampiran
-.004
-.003
-.002
-.001
.000
.001
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap G
DPA
-.010
.18
-.005
.000
.005
.010
.015
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap T
KA
-.007
-.006
-.005
-.004
-.003
-.002
-.001
.000
.001
10 20 30 40 50 60
d. R
espo
n Te
rhad
ap X
A
-.01
.00
.01
.02
.03
.04
10 20 30 40 50 60
e. R
espo
n T
hada
p A
-.030
erIM
-.025
-.020
-.015
-.010
-.005
.000
.005
.010
10 20 30 40 50 60
f. Res
pon
Terh
adap
WP
.06
.08
.10
.12
.14
.16
10 20 30 40 50 60
a. R
esr
DA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of RDA
hada
p R
pon
Te
242
9(A.9.6), mengakibatkan anggaran infrastruktur pertanian (IA) meningkat berkisar
12.33%. Pada triwulan ke 2 peningkatan juga terjadi pada ekspor pertanian (XA)
berkisar 0.12%, impor produk pertanian (IMA) berkisar 0.97% dan kesejahteraan
petani (WP) berkisar 4.80%. PDB pertanian (GDPA) menurun berkisar 0.14% dan
penyerapan tenaga kerja pertanian (TKA) menurun berkisar 1%.
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 44. Respon shocks pada Anggaran Infrastruktur Pertanian Terhadap Anggaran Infrastruktur Pertanian (IA), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)
Dalam jangka panjang, anggaran infrastruktur pertanian meningkat berkisar
1.49% mencapai keseimbangan mulai triwulan ke 32. Guncangan pada anggaran
infrastruktur pertanian menurunkan PDB pertanian (GDPA) berkisar 0.15%
-.0024
-.0020
-.0016
-.0012
-.0008
-.0004
.0000
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap G
DPA
-.016
.16
-.012
-.008
-.004
.000
.004
.008
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap T
KA
-.012
-.008
-.004
.000
.004
.008
.012
.016
.020
10 20 30 40 50 60
d. R
espo
n Te
rhad
ap X
A
-.005
.000
.005
.010
.015
.020
.025
.030
10 20 30 40 50 60
e. R
espo
n Te
rhad
ap IM
A
-.03
-.02
-.01
.00
.01
.02
.03
.04
.05
10 20 30 40 50 60
f. R
espo
n Te
rhad
ap W
P
-.04
.00
.04
.08
.12
10 20 30 40 50 60
a. R
on T
ep
IA
R e s p o n s e t o C h o le s k y O n e S . D . I n n o v a t io n s o f I A
rhad
aes
p
243
konvergen mulai triwulan ke 25 dan penyerapan tenaga kerja pertanian (TKA)
berkisar 0.36% konvergen mulai triwulan ke 36. Hal ini dimungkinkan karena
mulai periode 1990an pengembangan infrastruktur pedesaan tidak banyak
menyentuh kegiatan sektor pertanian disamping itu juga mengalami penurunan
utilitas yang nyata (ADB, SEAMEO SEARCA, Crescent, CASER and Ministry of
Agriculture RI, 2005). Studi Yodhoyono (2004) juga menemukan bahwa secara
umum pembangunan infrastruktur bertendensi bias kota. Ekspor produk pertanian
(XA) meningkat berkisar 0.13% konvergen mulai triwulan ke 45, namun impor
produk pertanian (IMA) juga meningkat lebih besar (1.14%) konvergen mulai
triwulan ke 23. Kesejahteraan petani (WP) meningkat berkisar 0.61% dan
konvergen mulai triwulan ke 34.
7. Respon atas Perubahan Anggaran Desentralisasi Fiskal
Pada saat guncangan sebagaimana disajikan pada Gambar 45 dan Lampiran
9(A.9.7), desentralisasi fiskal (DF) meningkat berkisar 24.65%. Pada triwulan ke 2
PDB pertanian menurun (0.06%). Penurunan juga terjadi pada penyerapan tenaga
kerja pertanian (0.94%), ekspor produk pertanian (0.96%), impor produk pertanian
(0.20%) dan kesejahteraan petani (0.71%).
Dalam jangka panjang, desentralisasi fiskal meningkat berkisar 3.39 % dan
konvergen mulai triwulan ke 16. Namun terjadi penurunan pada semua aspek
kinerja sektor pertanian baik PDB pertanian, penyerapan tenaga kerja pertanian,
ekspor (cenderung menurun) dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani
masing-masing berkisar 0.11%; 0.48%; 0.01%; 0.19%; dan 0.42%. Penurunan
tersebut mencapai keseimbangan masing-masing mulai triwulan ke 35, 46, 30, 29
dan 38. Desentralisasi dalam jangka pendek maupun panjang menurunkan semua
244
parameter kinerja sektor pertanian. Hal ini memperkuat hasil studi Arifin (2004)
dan Saragih (2003) bahwa terdapat persoalan serius dalam ketidakberpihakan
pemerintah daerah dalam memajukan sektor pertanian yang tercermin dari alokasi
anggaran untuk sektor pertanian yang tidak memadai. Disinilah letak keterputusan
usaha memajukan sektor pertanian oleh pemerintah pusat terkendala oleh
ketidaksamaan visi pusat dan daerah dalam pembangunan pertanian.
.002
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 45. Respon shocks pada Desentralisasi Fiskal terhadap Desentralisasi Fiskal (DF), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)
8. Respon atas Perubahan Investasi
Awal guncangan sebagaimana disajikan pada Gambar 46 dan Lampiran
-.003
-.002
-.001
.000
.001
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap G
DPA
-.016
.25
-.012
-.008
-.004
.000
.004
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap T
KA
-.012
-.008
-.004
.000
.004
.008
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap X
A
-.016
-.012
-.008
-.004
.000
.004
.008
.012
.016
10 20 30 40 50 60
e. R
espo
n Te
rhad
ap IM
A
-.020
-.015
-.010
-.005
.000
.005
.010
.015
10 20 30 40 50 60
f. Res
pon
Terh
adap
WP
.00
.05
.10
.15
.20
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap D
F
Response to Cholesky One S.D. Innovations of DF
245
9(A.9.8), investasi meningkat berkisar 36.32%. Pada triwulan ke 2, juga terjadi
peningkatan pada PDB pertanian berkisar 0.05%, penyerapan tenaga kerja pertanian
berkisar 0.42% dan impor produk pertanian berkisar 6.10%. Sedangkan ekspor
produk pertanian dan kesejahteraan petani pada periode yang sama menurun
masing-masing berkisar 0.68% dan 0.57%.
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 46. Respon shocks pada Investasi terhadap Investasi (I), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)
Dalam jangka panjang, investasi meningkat berkisar 5.52% konvergen mulai
triwulan ke 23. Peningkatan investasi ini mampu meningkatkan PDB pertanian
-.002
-.001
.000
.001
.002
.003
.004
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap G
DPA
-.03
.4
-.02
-.01
.00
.01
.02
.03
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap T
KA
-.012
-.008
-.004
.000
.004
.008
.012
10 20 30 40 50 60
d. R
espo
n Te
rhad
ap X
A
-.02
-.01
.00
.01
.02
.03
.04
.05
.06
.07
10 20 30 40 50 60
e.Te
rda
p I
-.03
Res
pon
haM
A
-.02
-.01
.00
.01
.02
10 20 30 40 50 60
f. R
espo
n Te
rhad
ap W
P
-.2
-.1
.0
.1
.2
.3
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap I
R e s p o n s e to C h o le s k y O n e S .D . In n o v a t io n s o f I
246
berkisar 0.08% konvergen mulai triwulan ke 35. PDB yang meningkat menjadikan
kesempatan kerja pertanian meningkat (0.42%) konvergen mulai triwulan ke 37.
Hasil ini selaras dengan studi Astusi (2005) dan Simatupang et.al. (2004) bahwa
investasi sangat penting untuk penyerapan tenaga kerja pedesaan. Ekspor produk
pertanian menurun berkisar 0.20% konvergen mulai triwulan ke 40 namun impor
produk pertanian meningkat berkisar 1.50% konvergen mulai triwulan ke 31. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa investasi meningkatkan ketergantungan kepada
barang impor. Sehingga mengakibatkan kesejahteraan petani menurun berkisar
1.20% konvergen mulai triwulan ke 31.
9. Respon atas Perubahan Konsumsi
Pada awal guncangan sebagaimana disajikan pada Gambar 47 dan Lampiran
9(A.9.9), konsumsi meningkat berkisar 10.88%. Pada triwulan ke 2, peningkatan
juga terjadi pada PDB pertanian (0.01%), ekspor produk pertanian berkisar 2.46%,
impor produk pertanian berkisar 2.16%, dan kesejahteraan petani berkisar 1.15%.
Penyerapan tenaga kerja pertanian menurun berkisar 0.33%.
Dalam jangka panjang peningkatan konsumsi berkisar 4.07% konvergen
mulai triwulan ke 19 diikuti peningkatan PDB pertanian berkisar 0.05% konvergen
mulai triwulan ke 24. Namun belum mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja
pertanian (yang menurun berkisar 0.27% konvergen mulai triwulan ke 34). Ekspor
pertanian meningkat berkisar 0.74% konvergen mulai triwulan ke 45 namun impor
pertanian juga meningkat berkisar 0.42% konvergen dalam waktu lebih cepat mulai
triwulan ke 27. Kesejahteraan petani meningkat bekisar 0.33% konvergen mulai
triwulan ke 25. Secara umum konsumsi mampu meningkatkan kinerja sektor
247
pertanian. Dalam studi Foster and Rosenzweig (2004) bahwa konsumsi
berpengaruh dalam menggerakkan pertumbuhan pertanian di negara berkembang.
.0020
Katerangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 47. Respon shocks pada Konsumsi terhadap Konsumsi (KONS), PDB Pertanian (GDPA), Tenaga Kerja Pertanian (TKA), Ekspor Pertanian (XA), Impor Pertanian (IMA), dan Kesejahteraan Petani (WP)
Dari uraian di atas sebagaimana disajikan pada Tabel 39, respon kinerja
sektor pertanian atas guncangan instrumen kebijakan fiskal mencapai
keseimbangan rata-rata pada triwulan ke 30.9 atau 8 tahun. Pencapaian
keseimbangan yang relatif lama ini juga ditemukan dalam studi Simatupang et. al.
(2004) waktu tenggang (lag) yang cukup lama (antara 10-20 tahun) bagi petani
-.0005
.0000
.0005
.0010
.0015
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap G
DPA
-.012
.11
-.008
-.004
.000
.004
.008
.012
.016
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Tr
hada
p TK
A
-.02
-.01
.00
.01
.02
.03
10 20 30 40 50 60
d. R
espo
n Te
rhad
ap X
A
-.04
-.03
-.02
-.01
.00
.01
.02
.03
10 20 30 40 50 60
e. R
espo
n Te
rhad
ap IM
-.02
A
-.01
.00
.01
.02
.03
.04
10 20 30 40 50 60
f. R
espo
n Te
rhad
ap W
P
.02
.03
.04
.05
.06
.07
.08
.09
.10
10 20 30 40 50 60
r
dap
KO
R e s p o n s e to C h o le s k y O n e S .D . In n o v a t io n s o f K O N S
NS
haR
espo
n Te
a.
248
untuk mengadopsi varietas baru yang dihasilkan oleh lembaga penelitian
pengembangan pertanian (lihat Bagian 2.4.4). Bahkan studi Enrico (2008)
menemukan masa konvergen untuk transmisi harga komoditi pertanian Indonesia
terhadap harga dunia mencapai 20 tahun, sedangkan di Eropa mencapai 8 tahun.
Tabel 39. Respon Dinamik Kinerja Sektor Pertanian atas Guncangan Kebijakan
Fiskal
Respon dari Kinerja Sektor Pertanian (%) Guncangan Perubahan
Kebijakan Fiskal GDPA TKA XA IMA WP Kecenderung an
PPh: Jangka Pendek 0.08 0.55 (0.61) (0.40) (0.90) Turun Jangka Panjang 0.08 0.55 (0.17) (0.49) 0.49 Naik Konvergen 17 24 42 22 30 27 PPn: Jangka Pendek (0.24) (0.40) 0.44 2.42 3.66 Naik Jangka Panjang (0.08) 0.39 0.30 0.58 0.21 Naik Konvergen 26 23 34 29 28 28 EA : Jangka Pendek (0.04) 0.13 (0.71) 1.56 1.74 Naik Jangka Panjang 0.01 0.11 (0.08) 0.68 0.30 Naik Konvergen 28 31 40 28 22 29.8 SP : Jangka Pendek (0.25) 0.14 (1.05) (0.91) (1.17) Turun Jangka Panjang (0.09) 0.88 0.04 (0.95) (0.41) Turun Konvergen 32 23 45 36 27 32.6 RDA: Jangka Pendek 0.12 (0.48) (0.03) (0.36) (1.11) Turun Jangka Panjang (0.16) 0.11 (0.29) 1.21 (0.27) Turun Konvergen 18 26 31 29 31 27 IA : Jangka Pendek (0.14) (1.00) 0.12 0.97 4.80 Naik Jangka Panjang (0.15) (0.36) 0.13 1.14 0.61 Naik Konvergen 25 36 45 23 34 32.6 DF : Jangka Pendek (0.06) (0.94) (0.96) (0.20) (0.71) Turun Jangka Panjang (0.11) (0.48) (0.01) (0.19) (0.42) Turun Konvergen 35 46 30 29 38 35.6 Variabel Makroekonomi I : Jangka Pendek 0.05 0.42 (0.68) 6.10 (0.57) Naik Jangka Panjang 0.08 0.42 (0.20) 1.50 (1.20) Naik Konvergen 35 37 40 31 31 34.8 KONS: Jangka Pendek 0.01 (0.33) 2.46 2.16 1.15 Naik Jangka Panjang 0.05 (0.27) 0.74 0.42 0.33 Naik Konvergen 24 34 45 27 25 31
Keterangan: Satuan konvergensi adalah triwulan. Angka dalam kurung negatif, menunjukkan respon menurun. Kecenderungan turun dan naik berdasarkan frekuensi respon (turun atau naik) yang paling banyak.
249
Hal tersebut adalah persoalan kelembaman respon/transmisi sektor pertanian
terhadap shocks makroekonomi yang bersifat global. Instrumen kebijakan fiskal
yang cenderung meningkatkan kinerja sektor pertanian dalam jangka panjang
adalah: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, anggaran sektor pertanian,
anggaran infrastruktur pertanian, disamping itu juga investasi dan konsumsi.
Secara keseluruhan magnitude dari respon dinamik dalam satuan persen
relatif kecil bermakna bahwa guncangan kebijakan fiskal sebagai bentuk intervensi
fiskal direspon kecil, atau kurang kuat dalam mendorong kinerja sektor pertanian.
Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa kebijakan fiskal kurang efektif dalam
mendorong kinerja sektor pertanian.
7.3. Kebijakan Fiskal yang Efektif Mempengaruhi Kinerja Sektor Pertanian Tujuan penelitian ke tiga, mengetahui instrumen kebijakan fiskal yang
efektif mempengaruhi kinerja sektor pertanian selanjutnya di analisis dengan
mengetahui besar peran setiap guncangan (shocks) dalam menjelaskan variabilitas
variabel kinerja sektor pertanian menggunakan dekomposisi ragam kesalahan
peramalan yang diorthogonalisasi (orthogonalized forecast error variance
decomposition atau FEVD). Hasil analisis disajikan pada Tabel 40, selengkapnya
pada Lampiran 10.
Variabilitas PDB pertanian dalam jangka pendek (triwulan ke 1) dijelaskan
oleh guncangan sendiri (100%) dan tidak dapat dijelaskan secara baik oleh
guncangan lainnya. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas PDB
pertanian dijelaskan oleh guncangan sendiri sebesar 47.94% dan kebijakan fiskal,
yang paling besar dari penelitian dan pengembangan pertanian sebesar 7.23%,
250
Tabel 40. Peran Guncangan Instrumen Kebijakan Fiskal terhadap Variabilitas Kinerja Sektor Pertanian
GDPA Guncangan (%) Periode S.E. GDPA TKA XA IMA WP PPh PPn EA SP RDA IA DF I KON
1 0.0128 100.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
5 0.0209 56.54 20.39 1.19 1.12 0.74 1.03 2.43 0.05 3.74 3.27 2.31 1.81 0.16 0.42
10 0.0259 45.79 16.70 1.82 1.89 3.04 2.06 2.25 0.24 3.45 4.83 3.18 2.75 3.80 1.15
20 0.0324 45.15 15.25 1.71 1.96 3.76 1.87 2.08 0.29 3.60 5.82 4.28 3.06 3.15 1.02
30 0.0370 46.20 14.58 1.35 1.69 3.60 1.93 2.02 0.24 3.38 6.45 4.95 3.30 2.89 1.00
40 0.0411 47.01 14.23 1.10 1.51 3.51 1.95 1.97 0.21 3.25 6.81 5.35 3.48 2.73 1.00
50 0.0447 47.55 14.00 0.93 1.39 3.45 1.97 1.94 0.18 3.16 7.05 5.63 3.60 2.63 1.00
60 0.0481 47.94 13.84 0.81 1.30 3.41 1.99 1.91 0.16 3.09 7.23 5.83 3.68 2.56 0.99
TKA Guncangan (%)
Periode S.E. GDPA TKA XA IMA WP PPh PPn EA SP RDA IA DF I KON
1 0.0855 0.01 99.99 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
5 0.1436 1.65 46.57 7.51 3.01 0.41 2.06 1.87 0.40 10.40 1.32 1.29 2.16 5.42 0.94
10 0.1759 3.93 36.57 7.42 2.52 5.65 1.81 2.15 0.46 10.99 1.32 2.24 1.88 6.06 1.20
20 0.1972 5.10 31.73 7.18 4.16 6.11 2.53 2.31 0.52 11.26 1.25 2.32 2.28 5.30 1.32
30 0.2098 6.13 30.37 6.47 4.63 5.93 2.90 2.39 0.50 11.68 1.15 2.34 2.53 5.18 1.38
40 0.2211 6.96 29.45 5.91 5.01 5.76 3.21 2.46 0.48 12.04 1.06 2.37 2.71 5.04 1.40
50 0.2319 7.66 28.66 5.44 5.30 5.62 3.47 2.52 0.46 12.36 0.99 2.39 2.87 4.92 1.41
60 0.2422 8.26 28.00 5.04 5.54 5.51 3.68 2.56 0.45 12.62 0.92 2.41 3.00 4.81 1.42
XA Guncangan (%)
Periode S.E. GDPA TKA XA IMA WP PPh PPn EA SP RDA IA DF I KON
1 0.1284 0.02 0.73 99.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
5 0.1772 1.05 0.79 78.47 3.47 1.61 0.44 0.63 0.38 2.88 0.09 1.38 0.58 0.67 4.42
10 0.2037 0.98 1.07 74.97 5.19 1.75 0.47 0.68 0.55 3.25 0.27 1.20 0.52 1.12 4.99
20 0.2424 0.91 1.23 73.76 6.58 1.93 0.42 0.66 0.52 3.15 0.36 1.10 0.48 1.22 5.02
30 0.2685 0.85 1.19 73.73 7.50 2.13 0.40 0.66 0.46 2.71 0.41 0.94 0.39 1.13 4.98
40 0.2913 0.81 1.19 73.94 8.20 2.25 0.37 0.67 0.40 2.34 0.45 0.84 0.34 1.01 4.85
50 0.3112 0.79 1.18 73.96 8.79 2.37 0.35 0.68 0.36 2.06 0.48 0.76 0.29 0.92 4.75
60 0.3304 0.77 1.17 74.07 9.22 2.45 0.33 0.68 0.32 1.84 0.51 0.69 0.26 0.84 4.68
IMA Guncangan (%)
Periode S.E. GDPA TKA XA IMA WP PPh PPn EA SP RDA IA DF I KON
1 0.2738 0.81 1.42 0.71 97.06 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
5 0.3624 1.02 1.84 6.20 76.42 1.20 0.33 0.54 0.52 1.01 0.82 0.56 0.46 3.00 1.87
10 0.4337 0.92 2.96 7.15 72.26 1.57 0.34 0.50 0.57 1.28 1.21 0.99 0.41 3.37 1.42
20 0.5436 0.64 2.88 7.43 72.62 1.11 0.34 0.48 0.54 1.17 1.26 1.19 0.41 2.98 1.02
30 0.6307 0.48 2.99 7.51 73.17 0.88 0.31 0.44 0.51 1.10 1.32 1.23 0.31 2.77 0.80
40 0.7075 0.38 3.02 7.59 73.57 0.74 0.30 0.41 0.50 1.06 1.33 1.23 0.25 2.65 0.68
50 0.7767 0.32 3.04 7.62 73.85 0.64 0.29 0.40 0.49 1.03 1.35 1.23 0.22 2.57 0.59
60 0.8402 0.27 3.05 7.64 74.04 0.58 0.28 0.39 0.49 1.01 1.36 1.24 0.19 2.52 0.53
WP Guncangan (%)
Periode S.E. GDPA TKA XA IMA WP PPh PPn EA SP RDA IA DF I KON
1 0.2501 0.60 5.12 2.23 0.24 91.81 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
5 0.3198 1.53 4.45 3.74 3.80 69.30 0.82 2.44 0.73 0.71 0.35 3.06 0.12 0.55 1.29
10 0.3474 2.24 4.13 4.60 4.54 63.08 0.92 2.34 0.86 1.01 0.93 3.29 0.66 1.58 1.19
251
Tabel 40. Lanjutan
WP Guncangan (%)
Periode S.E. GDPA TKA XA IMA WP PPh PPn EA SP RDA IA DF I KON
20 0.3950 2.46 3.45 5.89 4.60 58.69 0.88 1.89 0.76 0.98 0.77 2.97 0.69 2.49 1.02
30 0.4334 2.68 3.01 6.66 4.63 56.53 0.86 1.60 0.68 0.91 0.69 2.66 0.68 2.88 0.90
40 0.4679 2.84 2.70 7.20 4.67 55.11 0.85 1.39 0.62 0.86 0.63 2.46 0.66 3.13 0.82
50 0.5002 2.96 2.47 7.61 4.71 54.03 0.84 1.23 0.58 0.82 0.58 2.30 0.65 3.31 0.76
60 0.5305 3.06 2.29 7.93 4.73 53.20 0.83 1.11 0.55 0.79 0.54 2.18 0.65 3.46 0.72
Keterangan: Periode = Triwulan, S.E. = Standard Error, EA = Anggaran Sektor Pertanian, GDPA = PDB Pertanian, SP = Subsidi Pertanian, TKA = Tenaga Kerja Pertanian, RDA = Penelitian dan Pengembangan XA = Ekspor Pertanian, Pertanian, IMA = Impor Pertanian, IA = Infrastruktur Pertanian, WP = Kesejahteraan Petani, DF = Desentralisasi Fiskal, PPh = Pajak Penghasilan, I = Investasi, dan PPn = Pajak Pertambahan Nilai, KON = Konsumsi.
kemudian infrastruktur pertanian sebesar 5.83%, desentralisasi fiskal sebesar
3.68%, dan subsidi pertanian sebesar 3.09%. Guncangan kebijakan fiskal lainnya
berkontribusi dalam menjelaskan variabilitas PDB pertanian relatif kecil berkisar
(0.16-1.99)%.
Berarti, variabilitas PDB pertanian dijelaskan oleh guncangan kebijakan
fiskal yang paling besar dari anggaran penelitian dan pengembangan pertanian,
infrastruktur pertanian, desentralisasi fiskal, dan subsidi pertanian. Guncangan
investasi juga memberikan kontribusi cukup besar (2.56%).
Variabilitas penyerapan tenaga kerja pertanian dalam jangka pendek
(triwulan ke 1) dijelaskan oleh guncangan sendiri (99.99%) dan tidak dapat
dijelaskan secara baik oleh guncangan lainnya kecuali PDB pertanian (walau sangat
kecil/0.01%). Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas penyerapan tenaga
kerja pertanian dijelaskan oleh guncangan sendiri sebesar 28% dan kebijakan
252
fiskal, yang paling besar dari subsidi pertanian sebesar 12.62%, pajak penghasilan
sebesar 3.68%, desentralisasi fiskal sebesar 3%, pajak pertambahan nilai sebesar
2.56%, dan infrastruktur pertanian sebesar 2.41%. Guncangan kebijakan fiskal
lainnya berkontribusi dalam menjelaskan variabilitas penyerapan tenaga kerja
pertanian relatif kecil berkisar (0.45-0.92)%. Guncangan investasi juga memberikan
kontribusi cukup besar (4.81% ).
Berarti, Dalam jangka panjang, variabilitas penyerapan tenaga kerja
pertanian dijelaskan oleh guncangan kebijakan fiskal yang paling besar dari subsidi
pertanian, pajak penghasilan, desentralisasi fiskal, pajak pertambahan nilai, dan
infrastruktur pertanian.
Variabilitas ekspor produk pertanian dalam jangka pendek (triwulan ke 1)
dijelaskan oleh guncangan sendiri (99.25%) dan tidak dapat dijelaskan secara baik
oleh guncangan lainnya kecuali PDB pertanian dan penyerapan tenaga kerja
pertanian (walau sangat kecil masing-masing sebesar 0.02% dan 0.73%). Dalam
jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas ekspor produk pertanian dijelaskan oleh
guncangan sendiri sebesar 74.07% dan kebijakan fiskal yang paling besar hanya
dari subsidi pertanian sebesar 1.84%. Hal itu mengindikasikan bahwa subsidi
pertanian lebih banyak teralokasi untuk perdagangan pertanian dan kurang
terkonsentrasi pada sisi produksi pertanian (lihat hasil analisis IRF yang merespon
negatif terhadap PDB pertanian). Guncangan kebijakan fiskal lainnya berkontribusi
dalam menjelaskan variabilitas ekspor pertanian relatif kecil berkisar (0.26-0.69)%.
Guncangan konsumsi memberikan kontribusi cukup besar (4.68% ).
Berarti, dalam jangka panjang variabilitas ekspor pertanian dijelaskan oleh
guncangan kebijakan fiskal yang paling besar hanya dari subsidi pertanian disam-
253
ping itu juga dari konsumsi.
Variabilitas impor produk pertanian dalam jangka pendek (triwulan ke 1)
dijelaskan oleh guncangan sendiri (97.06%) dan tidak dapat dijelaskan secara baik
oleh guncangan lainnya kecuali PDB pertanian, tenaga kerja pertanian, dan ekspor
pertanian (walau sangat kecil masing-masing sebesar 0.81%, 1.42%, dan 0.71%).
Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas impor pertanian dijelaskan oleh
guncangan sendiri sebesar 74.04% dan kebijakan fiskal yang paling besar dari
anggaran penelitian dan pengembangan pertanian sebesar 1.36%, anggaran
infrastruktur pertanian sebesar 1.24%, dan subsidi pertanian sebesar 1.01%.
Guncangan kebijakan fiskal lainnya berkontribusi dalam menjelaskan variabilitas
ekspor produk pertanian relatif kecil berkisar (0.19-0.49) %. Guncangan investasi
memberikan kontribusi cukup besar (2.52%).
Berarti, dalam jangka panjang, variabilitas impor pertanian dijelaskan oleh
guncangan kebijakan fiskal yang paling besar dari anggaran penelitian dan
pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, dan subsidi pertanian,
disamping itu juga dari investasi.
Variabilitas kesejahteraan petani dalam jangka pendek (triwulan ke 1)
dijelaskan oleh guncangan sendiri (91.81%), penyerapan tenaga kerja pertanian
(5.12%) dan eskpor produk pertanian (2.23%). Namun tidak dapat dijelaskan secara
baik oleh guncangan lainnya kecuali impor produk pertanian (walau sangat kecil/
0.24%) dan PDB pertanian sebesar 0.06%. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60)
variabilitas kesejahteraan petani dijelaskan oleh guncangan sendiri sebesar 53.20%
dan kebijakan fiskal yang paling besar dari anggaran infrastruktur pertanian sebesar
2.18%, dan pajak pertambahan nilai sebesar 1.11%. Guncangan kebijakan fiskal
254
lainnya berkontribusi dalam menjelaskan variabilitas ekspor pertanian relatif kecil
berkisar (0.54-0.83)%. Guncangan investasi juga memberikan kontribusi cukup
besar (3.46% ).
Berarti, dalam jangka panjang, variabilitas kesejahteraan petani dijelaskan
oleh kebijakan fiskal yang paling besar dari anggaran infrastruktur pertanian dan
pajak pertambahan nilai.
Tabel 41. Rangkuman Peran Guncangan Instrumen Kebijakan Fiskal yang Efektif terhadap Variabilitas Kinerja Sektor Pertanian dalam Jangka Panjang
Sumber Guncangan dari Kebijakan Fiskal (%) Variabilitas Kinerja Sektor Pertanian PPh PPn EA SP RDA IA DF GDPA 1.99
(5) 1.91 (6)
0.16 (7)
3.09 (4)
7.23 (1)
5.83 (2)
3.68 (3)
TKA 3.68 (2)
2.56 (4)
0.45 (7)
12.62 (1)
0.92 (6)
2.41 (5)
3.00 (3)
XA 0.33 (5)
0.68 (3)
0.32 (6)
1.84 (1)
0.51 (4)
0.69 (2)
0.26 (7)
IMA 0.28 (6)
0.39 (5)
0.49 (4)
1.01 (3)
1.36 (1)
1.24 (2)
0.19 (7)
WP 0.83 (3)
1.11 (2)
0.55 (6)
0.79 (4)
0.54 (7)
2.18 (1)
0.65 (5)
Kesimpulan - Efektif - Efektif Efektif Efektif Efektif Keterangan: Peran guncangan besar, berdasarkan nilai FEVD jangka panjang atau
nilai rata-rata di atas 1% dan atau lebih besar jika diperbandingkan dengan variabel lainnya. Angka dalam kurung menunjukkan ranking besar peran guncangan. Efektif ditentukan berdasarkan frekuensi peran guncangan yang besar, semakin banyak frekuensinya maka variabel kebijakan fiskal tersebut efektif.
Sumber: Analisis Tabel 40
Dari uraian di atas sebagaimana disajikan pada Tabel 41, variabel kebijakan
fiskal yang efektif/berperan besar dalam mempengaruhi variabilitas kinerja sektor
pertanian di Indonesia adalah: subsidi pertanian, anggaran infrastruktur pertanian,
255
pajak pertambahan nilai, anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, dan
anggaran desentralisasi fiskal.
Efektifitas subsidi pertanian didukung oleh hasil studi Stiglitz (2000) dan
Norton (2004) bahwa subsidi pada negara berkembang masih diperlukan untuk
mendorong produksi. Efektifitas anggaran infrastruktur pertanian, selaras dengan
hasil studi Rozelle and Swinnen (2004) untuk studi di dunia (93 negara), Zhang and
Fan (2004) dalam studi di India mengenai pentingnya infrastruktur pertanian. Studi
Gammella, et. al. (2003) menemukan pula bahwa pajak pertambahan nilai (PPn)
berpengaruh penting dalam perilaku rumahtangga dan perusahaan. Hal itu juga
didukung oleh hasil studi Irawan (2005), James and Nobes (1992), Dalton and
Masters (1998) di Mali. Studi anggaran penelitian dan pengembangan pertanian
(RDA) oleh Fan and Zhang (2002) menemukan korelasi yang kuat anggaran
penelitian dan pengembangan pertanian dengan pertumbuhan produktivitas
pertanian. Begitu pula temuan Simatupang, et. al. (2004) dan Fuglie (2004).
Efektifitas anggaran desentralisasi fiskal, studi Saragih (2003), UNESCAP-CAPSA
(2005) juga menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal bagi Indonesia merupakan
hal krusial untuk mendorong sektor-sektor dalam ekonomi, termasuk pertanian di
daerah.
Secara keseluruhan, besaran (dalam persen) peran guncangan dari kebijakan
fiskal dalam mempengaruhi variabilitas kinerja sektor pertanian relatif kecil. Hal itu
berarti, selama rentang analisis efektifitas kebijakan fiskal dalam mendorong kinerja
sektor pertanian relatif lemah atau tidak efektif.
VIII. PENGARUH KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA AGROINDUSTRI
8.1. Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Agroindustri
Analisis pada bagian ini untuk mencapai tujuan penelitian ke dua, mengkaji
hubungan antara kebijakan fiskal dengan kinerja agroindustri di Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian 7.1 bahwa untuk mendapatkan pemaknaan
sesuai dengan teori ekonomi pada sistem persamaan VECM dari VAR(4), maka
hubungan kointegrasi diantara variabel-variabel dalam sistem dibangun dengan
melakukan restriksi perilaku jangka panjang dari variabel-variabel endogen
berdasarkan metode estimasi ML (maximum likelihood). Restriksi menghasilkan
delapan persamaan kointegrasi meliputi: sistem persamaan yang menjelaskan
kinerja sektor pertanian terdiri dari lima persamaan (telah diuraikan pada bagian
7.1) dan tiga sistem persamaan yang menjelaskan kinerja agroindustri (nilai tambah
input [NTI], nilai tambah output [NTO], dan daya saing agroindustri [DSA]). Hasil
Estimasi parameter disajikan pada Tabel 42, selengkapnya pada Lampiran 8.
Persamaan regresi kointegrasi (8.1) hingga (8.3) dapat menjelaskan
hubungan struktural ekonomi antara variabel-variabel kebijakan fiskal dengan
kinerja agroindustri sebagai berikut:
NTIt = 0.099 + 0.052PPHt + 0.003PPNt – 0.129EAt + 0.029SPt – 0.447RDAt + 0.645IAt – 0.146DFt – 0.676It – 0.424KONSt (8.1) NTOt = 0.134 + 0.792PPHt – 0.377PPNt – 0.272EAt + 0.024SPt – 1.025RDAt + 1.376IAt – 0.486DFt – 1.412It – 0.607KONSt (8.2) DSAt = – 0.049 + 0.464PPHt + 0.875PPNt – 0.239EAt – 0.091SPt + 0.013RDAt + 0.003IAt + 0.653DFt – 0.136It – 0.067KONSt (8.3)
257
Tabel 42. Hubungan Jangka Panjang Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Agroindustri
Cointegrating Eq: D(LOG(NTI(1))) D(LOG(NTO(1))) D(DSA(1)) D(LOG(PPH(1))) -0.05159 -0.79198 -0.46378 (0.13046) (0.28296) (0.25356) [-0.39541] [-2.79892] [-1.82909] ** *D(LOG(PPN(1))) -0.00252 0.376801 -0.87462 (0.26924) (0.58396) (0.52329) [-0.00936] [ 0.64525] [-1.67138] *D(LOG(EA(1))) 0.128969 0.271555 0.238747 (0.08628) (0.18714) (0.16770) [ 1.49473] [ 1.45108] [ 1.42368] D(LOG(SP_(1))) -0.02892 -0.02354 0.09147 (0.05377) (0.11662) (0.10451) [-0.53791] [-0.20185] [ 0.87526] D(LOG(RDA(1))) 0.446856 1.024785 -0.01286 (0.10227) (0.22183) (0.19878) [ 4.36917] [ 4.61978] [-0.06467] *** ***D(LOG(IA(1))) -0.64544 -1.37601 -0.00255 (0.12054) (0.26144) (0.23427) [-5.35465] [-5.26328] [-0.01088] *** ***D(LOG(DF(1))) 0.146103 0.485768 -0.65288 (0.05774) (0.12524) (0.11223) [ 2.53020] [ 3.87867] [-5.81738] *** *** ***D(LOG(I(1))) 0.676184 1.412009 0.136127 (0.09125) (0.19792) (0.17736) [ 7.41008] [ 7.13431] [ 0.76754] *** ***D(LOG(KONS(1))) 0.423624 0.607332 0.067447 (0.13813) (0.29959) (0.26847) [ 3.06685] [ 2.02719] [ 0.25123] *** ***C -0.0987 -0.13384 0.048632
Keterangan: Baris pertama nilai koefisien, kedua standard error, dan ketiga/[ ] nilai t-statistik. ***=nyata pada tingkat signifikansi (α:1%), **=nyata pada tingkat signifikansi (α:5%), dan *=nyata pada tingkat signifikansi (α:10%). Nilai t-tabel: t(α:1%)= 2.167, t(α:5%)= 1.980, dan t(α:10%)= 1.658.
Secara umum, dari persamaan (8.1) hingga (8.3) menunjukkan arah yang sesuai
dengan teori dan logika ekonomi. Masing-masing karakteristik struktur hubungan
258
tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Pajak Penghasilan
Peningkatan penerimaan pemerintah dari pajak penghasilan (PPh) sebesar
10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan peningkatan nilai
tambah output (NTO) sebesar 7.92%, dan daya saing agroindustri (DSA) sebesar
4.64 satuan indeks. Disamping PPh dalam jangka panjang mendorong kinerja sektor
pertanian, hal yang sama terjadi untuk kinerja agroindustri. Artinya pajak
penghasilan cukup potensial untuk mendorong output primer pertanian (lihat bagian
7.1) maupun industri pertanian sebagaimana hasil studi Pandiangan (2005);
meskipun masih ditemukan hambatan (tata laksana) dalam industri pertanian oleh
PPh, namun PPh berpotensi memberikan insentif pada pengembangan industri
pertanian. Terhadap nilai tambah input (NTI) tidak berhubungan nyata.
2. Pajak Pertambahan Nilai
Peningkatan penerimaan pemerintah dari pajak pertambahan nilai (PPn)
sebesar 10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan peningkatan
daya saing agroindustri (DSA) cukup besar (8.75 satuan indeks). Hal ini
mengindikasikan bahwa peningkatan penerimaan dari PPn dapat mendorong daya
saing produk industri pertanian di pasar dunia. Hal ini selaras dengan temuan studi
Herjanto (2003) dan Joewono (2008) bahwa daya saing produk industri pertanian
tradable sensitif terhadap shock pajak pertambahan nilai. Terhadap nilai tambah
input (NTI) dan nilai tambah output (NTO) tidak berhubungan nyata.
3. Anggaran untuk Sektor Pertanian
Peningkatan anggaran untuk Sektor Pertanian (EA) tidak secara nyata
berhubungan dengan nilai tambah input (NTI), nilai tambah output (NTO), dan
259
daya saing agroindustri (DSA). Artinya, anggaran sektor pertanian dalam jangka
panjang tidak secara langsung mendorong kinerja agroindustri. Fenomena ini
diperkirakan menjadi penyebab langsung lambannya bahkan tidak tumbuhnya
agroindustri di Indonesia, seperti hasil studi Arifin (2004) dan Joewono (2008)
bahwa dari sisi ekonomi politik, belum ada arah yang jelas mengenai
pengembangan agroindustri Indonesia dimasa mendatang.
4. Subsidi Pertanian
Peningkatan subsidi pertanian (SP) dalam jangka panjang tidak secara nyata
berhubungan dengan nilai tambah input (NTI), nilai tambah output (NTO), dan
daya saing agroindustri (DSA). Intervensi belanja langsung pemerintah melalui
anggaran sektor pertanian dan subsidi pertanian ternyata tidak bisa mendorong
langsung pada kinerja agroindustri. Pada kenyataanya subsidi pertanian lebih
banyak menyentuh produk primer pertanian (sarana produksi dan harga produksi
primer pertanian). Perlakuan pengembangan industri pertanian lebih banyak
disamakan dengan industri secara keseluruhan (Sastrosoenarto, 2006) sehingga
relatif tidak tersentuh subsidi pertanian.
5. Anggaran Penelitian dan Pengambangan Pertanian
Peningkatan alokasi anggaran untuk penelitian dan pengambangan pertanian
(RDA) sebesar 10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan
penurunan nilai tambah input (NTI) sebesar 4.47%, dan nilai tambah output (NTO)
sebesar 10.25%. Terhadap daya saing agroindustri (DSA) tidak berhubungan nyata.
Hal tersebut indikasinya adalah, penelitian pertanian dari sisi hulu untuk mendorong
produk primer ralatif maju (walau terjebak hanya pada tanaman pangan itupun
sudah mengalami kejenuhan dan kemudian berkembang penelitian inklusif untuk
260
pengembagan produk industri besar pertanian yang tidak menyentuh pertanian
rakyat). Pada sisi hilir kurang mengembangkan potensi produk industri pertanian
(Fuglie, 2004). Keadaan inilah yang mengakibatkan anggaran penelitian dan
pengembangan pertanian relatif tidak mendorong kinerja agroindustri.
6. Anggaran untuk Infrastruktur Pertanian
Peningkatan alokasi anggaran untuk infrastruktur pertanian (IA) sebesar
10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan peningkatan nilai
tambah input (NTI) sebesar 6.45%, dan nilai tambah output (NTO) sebesar 13.76%.
Hubungan ini mengindikasikan betapa pentingnya perbaikan infrastruktur pertanian
untuk dapat mendorong tidak saja produk primer pertanian, namun juga dibutuhkan
untuk mengembangkan agroindustri di Indonesia. Namun studi Yudhoyono (2004)
menemukan bahwa pembangunan infrastruktur tidak pro pertanian. Dalam
infrastruktur sektor pertanian sendiri masih terkonsentrasi pada pertanian primer
(sebagaimana hasil studi Zhang and Fan, 2004 di India). Padahal menurut hasil
studi Nauges and Tzouvelekas (2006) di Yunani menyimpulkan bahwa infrastruktur
pertanian penting bagi pengembagan industri pertanian. Hal itu belum kondusif
bagi agroindustri di Indonesia, misal pasar produk pertanian yang tidak memadai
bahkan pasar/terminal agroindustri masih merupakan hal yang asing. Terhadap daya
saing agroindustri (DSA) tidak berhubungan nyata.
7. Desentralisasi Fiskal
Peningkatan alokasi anggaran desentralisasi fiskal (DF) sebesar 10% dalam
jangka panjang secara nyata berhubungan dengan penurunan nilai tambah input
(NTI) sebesar 1.46%, dan nilai tambah output (NTO) sebesar 4.86%. Namun
meningkatkan daya saing agroindustri (DSA) sebesar 6.53 satuan indeks. Hal ini
261
bermakna bahwa desentralisasi fiskal berpotensi mendorong pengembangan industri
pertanian terutama pada komoditi tradable (khususnya perkebunan, dan perikanan).
Hal ini selaras dengan hasil studi Sa’id dan Dewi (2006). Namun demikian masih
disinsentif terhadap penciptaan nilai tambah input maupun output agroindustri. Hal
ini diperkirakan bahwa pengembangan agroindustri di daerah-daerah selama ini
tidak maksimal memanfaatkan bahan lokal dan belum mencapai fase industri lanjut,
sebagaimana hasil studi Sa’id dan Febriyanti (2005).
8. Investasi
Variabel pembobot ekonomi makro memiliki karakter arah hubungan
pengaruh sebagai berikut, peningkatan investasi (I) sebesar 10% dalam jangka
panjang secara nyata berhubungan dengan penurunan nilai tambah input (NTI)
sebesar 6.76%, dan nilai tambah output (NTO) sebesar 14.12%. Terhadap daya
saing agroindustri (DSA) tidak berhubungan nyata. Sebagaimana diuraikan di
depan, bahwa porsi investasi pertanian dari total investasi relatif kecil. Disamping
itu investasi untuk agroindustri hanya dilakukan oleh pemodal basar bahkan
perusahaan multinasional yang indikasinya bersifat inklusif. Sehingga tidak dapat
mendorong industri pengolahan pertanian secara agregat. Hal tersebut selaras
dengan studi Herjanto (2003), Astuti (2005), dan Joewono (2008) bahwa investasi
tidak jelas polanya dalam peran dorongan industri pertanian di Indonesia.
9. Konsumsi
Paningkatan konsumsi (KONS) sebesar 10% dalam jangka panjang secara
nyata berhubungan dengan penurunan nilai tambah input (NTI) sebesar 4.24%, dan
nilai tambah output (NTO) sebesar 6.07%. Terhadap daya saing agroindustri (DSA)
tidak berhubungan nyata. Artinya peningkatan konsumsi masyarakat yang
262
merupakan faktor penarik pertumbuhan di negara berkembang (Alexadrates, 1995)
tidak dapat menggairahkan kegiatan industri pengolahan pertanian di Indonesia. Hal
ini diakibatkan oleh semakin derasnya produk-produk impor olahan pertanian yang
membanjiri pasar domestik (Sawit, 2007) dan ini merupakan ancaman bagi
keberlangsungan industri pengolahan domestik.
8.2. Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kebijakan Fiskal
Sebagaimana pada Bagian 7.2. respon dinamik karena adanya guncangan
(shock) dari variabel kebijakan fiskal terhadap kinerja agroindustri juga dianalisis
dengan respon impulse secara simultan berdasarkan metode dekomposisi Cholesky
dengan penyesuaian derajad bebas (Cholesky-degree of fredom adjusted).
Guncangan (shock) sebesar satu standar deviasi dan lama periode analisis sampai
triwulan ke 60 dengan memperhatikan, sampai pada periode tersebut telah mampu
menggambarkan respon pergerakan yang telah mencapai fase konvergen secara
konsisten. Pergerakan/impulse respon dari variabel kinerja agroindustri disajikan
pada Gambar 48-56. Sedangkan numerik dari impulse respon disajikan pada
Lampiran 9.
1. Respon atas perubahan Pajak Penghasilan
Awal guncangan pajak penghasilan (PPh) sebagaimana disajikan pada
Gambar 48 dan Lampiran 9(B.9.10), pada triwulan ke 2 terjadi penurunan nilai
tambah input (NTI) berkisar 0.64% yang meningkat kembali pada triwulan 5 secara
fluktuatif akhirnya menurun secara konsisten. Terjadi penurunan nilai tambah
output (NTO) berkisar 0.16% dan kenaikan daya saing agroindustri (DSA) berkisar
1.39%.
263
Dalam jangka panjang, guncangan PPh mengakibatkan penurunan nilai
tambah input (NTI) berkisar 0.36% konvergen mulai triwulan ke 15. Menurunkan
nilai tambah output berkisar 0.18% konvergen mulai triwulan ke 27, dan
meningkatkan daya saing agroindustri (DSA) berkisar 1.28% konvergen mulai
triwulan ke 30. Bagi output industri pertanian, PPh menunjukkan dorongan positif
untuk daya saing, namun secara keseluruhan masih memberatkan kinerja
agroindustri (selaras dengan studi Gemmella, et.al., 2003 di Inggris). Hal senada
juga terjadi pada sektor pertanian primer yang relatif disinsentif ( fenomena tersebut
juga ditemukan dalam studi Irawan, 2005).
.001
Keterangan : Skala absis adalah triwulan
Gambar 48. Respon shocks pada Pajak Penghasilan terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA).
-.008
-.006
-.004
-.002
.000
.002
.004
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
-.004
-.003
-.002
-.001
.000
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap N
TO
.000
.025
.005
.010
.015
.020
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of PPh
264
2. Respon atas perubahan Pajak Pertambahan Nilai
Pada awal guncangan pajak pertambahan nilai (PPn) sebagaimana disajikan
pada Gambar 49 dan Lampiran 9(B.9.11), pada triwulan ke 2 terjadi kenaikan nilai
tambah input (NTI) berkisar 0.87% dan nilai tambah output (NTO) berkisar 0.27%.
Daya saing agroindustri (DSA) juga meningkat berkisar 0.15%, namun kemudian
menurun secara konsisten.
.016
Keterangan : Skala absis adalah triwulan
Gambar 49. Respon shocks pada Pajak Pertambahan Nilai terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
Dalam jangka panjang, guncangan pajak pertambahan nilai (PPn)
mengakibatkan peningkatan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.75% konvergen
-.004
.000
.004
.008
.012
.016
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
-.004
.000
.004
.008
.012
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap N
TO
-.030
.005
-.025
-.020
-.015
-.010
-.005
.000
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of PPn
265
mulai triwulan ke 28, nilai tambah output berkisar 0.62% konvergen mulai triwulan
ke 26, dan penurunan daya saing agroindustri (DSA) berkisar 1.19% konvergen
mulai triwulan ke 31. Sebagaimana arah respon pada sektor pertanian; PPn juga
kondusif untuk mendorong kegiatan industri pertanian (meskipun belum
meningkatkan daya saing) maupun produk primer pertanian. Hal ini selaras dengan
hasil studi Gemmella, et.al. (2003) di Inggris dan studi Irawan (2005).
3. Respon atas Perubahan Anggaran Sektor Pertanian
Awal guncangan pada anggaran sektor pertanian sebagaimana disajikan
pada Gambar 50 dan Lampiran 9(B.9.12), pada triwulan ke 2 terjadi penurunan nilai
.002
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 50. Respon shocks pada Anggaran Sektor Pertanian terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
-.010
-.008
-.006
-.004
-.002
.000
.002
.004
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
-.007
-.006
-.005
-.004
-.003
-.002
-.001
.000
.001
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap N
TO
-.020
.000
-.016
-.012
-.008
-.004
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of EA
266
tambah input (NTI) berkisar 0.91%, dan nilai tambah output (NTO) berkisar 0.63%.
Daya saing agroindustri (DSA) juga menurun berkisar 0.71%.
Dalam jangka panjang, guncangan pada anggaran pertanian menurunkan
nilai tambah input (NTI) berkisar 0.32% konvergen mulai triwulan ke 27, nilai
tambah output (NTO) berkisar 0.29% konvergen mulai triwulan ke 27, dan daya
saing agroindustri (DSA) berkisar 0.91% konvergen mulai triwulan ke 30. Berarti,
anggaran sektor pertanian selama ini masih terkonsentrasi pada sektor pertanian
primer (lihat respon kinerja sektor pertanian yang meningkat baik jangka pendek
maupun jangka panjang pada Bagian 7.2) dan indikasinya kurang mendorong
penciptaan nilai tambah produk pertanian. Hal itu selaras dengan studi
Sastrosoenarto, (2006) bahwa dorongan penciptaan nilai tambah produk pertanian
dari pemerintah masih sangat rendah.
4. Respon atas Perubahan Subsidi Pertanian
Pada saat guncangan subsidi pertanian sebagaimana disajikan pada Gambar
51 dan Lampiran 9(B.9.13), pada triwulan ke 2 terjadi peningkatan nilai tambah
input (NTI) berkisar 0.61% meskipun menurun pada triwulan ke 4 dan 11,
selanjutnya meningkat konsisten. Nilai tambah output meningkat berkisar 0.16%,
namun mulai triwulan ke 3 dan seterusnya menurun konsisten. Daya saing
agroindustri (DSA) menurun berkisar 2.31% pada awal guncangan dan seterusnya
secara konsisten.
Dalam jangka panjang guncangan subsidi pertanian hanya meningkatkan
nilai tambah input (NTI) berkisar 0.26% konvergen mulai triwulan ke 28. Nilai
tambah output (NTO) menurun berkisar 0.04% konvergen mulai triwulan ke 36 dan
daya saing agroindustri (DSA) juga menurun berkisar 0.86% konvergen mulai
267
triwulan ke 32. Berarti, subsidi pertanian cepat menaikkan nilai tambah input,
namun menurunkan NTO dan DSA. Pada uraian sebelumnya disamping indikasinya
subsidi pertanian bias konsumen dan berdampak positif dalam jangka pendek dan
hanya meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian (Bagian 7.2) (sebagaimana
juga hasil studi Ilham, 2006; dan data Murniningtyas, 2008 [Bagian 5.4.1]) dalam
jangka panjang juga disinsentif terhadap kegiatan produksi agroindustri (sesuai
peringatan Stiglitz, 2000 mengenai kehati-hatian dalam subsidi pertanian terhadap
industri pertanian agar tidak kontra produktif karena sulitnya pemilahan antara
agroindustri dengan industri lainnya).
.004
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 51. Respon shocks pada Subsidi Pertanian (SP) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
-.002
.000
.002
.004
.006
.008
.010
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
-.004
-.003
-.002
-.001
.000
.001
.002
.003
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap N
TO
-.025
.010
-.020
-.015
-.010
-.005
.000
.005
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of SP
268
5. Respon atas Perubahan Anggaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Awal guncangan anggaran penelitian dan pengembangan pertanian
sebagaimana disajikan pada Gambar 52 dan Lampiran 9(B.9.14), pada triwulan ke 2
terjadi penurunan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.84% fluktuatif sampai
triwulan ke 28. Periode selanjutnya terjadi peningkatan konsisten.
.006
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 52. Respon shocks pada Anggaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian (RDA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
Hal itu juga terjadi pada nilai tambah output (NTO) yang menurun berkisar 0.56%,
kemudian fluktuatif sampai dengan triwulan ke 28 dan selanjutnya meningkat
-.010
-.008
-.006
-.004
-.002
.000
.002
.004
.006
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
-.006
-.004
-.002
.000
.002
.004
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap N
TO
-.030
.010
-.025
-.020
-.015
-.010
-.005
.000
.005
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
nTer
hada
p D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of RDA
269
konsisten. Sedangkan daya saing agroindustri (DSA) mengalami penurunan
berkisar 2.45% secara konsisten.
Dalam jangka panjang, guncangan anggaran penelitian dan pengembangan
pertanian mengakibatkan kenaikan pada nilai tambah input (NTI) berkisar 0.03%
konvergen mulai triwulan ke 31, dan nilai tambah output (NTO) berkisar 0.04%
konvergen mulai triwulan ke 33. Namun terjadi penurunan pada daya saing
agroindustri (DSA) berkisar 0.49% konvergen mulai triwulan ke 29. Berarti,
peningkatan anggaran untuk penelitian dan pengembangan pertanian dapat
meningkatkan nilai tambah input maupun output agroindustri, namun masih belum
mampu meningkatkan daya saingnya. Hal itu selaras dengan hasil studi Fan, et. al.
(1999) dan Simatupang, et. al. (2004) bahwa dorongan penelitian dan
pengembangan pertanian dibutuhkan untuk mendorong industri pertanian.
6. Respon atas Perubahan Anggaran Infrastruktur Pertanian
Awal guncangan anggaran infrastruktur pertanian (IA) sebagaimana
disajikan pada Gambar 53 dan Lampiran 9(B.9.15), pada triwulan ke 2 terjadi
peningkatan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.43% dan nilai tambah output
berkisar 0.21%. Peningkatan keduanya fluktuatif sampai triwulan ke 9, selanjutnya
terjadi kenaikkan konsisten. Sedangkan daya saing agroindustri menurun berkisar
0.79%.
Dalam jangka panjang, guncangan anggaran infrastruktur pertanian
menyebabkan kenaikan pada nilai tambah input, nilai tambah output, masing-
masing berkisar 0.51% dan 0.33%, mencapai keseimbangan masing-masing mulai
triwulan ke 31 dan 35. Daya saing agroindustri menurun berkisar 0.47% dan
konvergen mulai triwulan ke 34. Berarti anggaran infrastruktur pertanian penting
270
dalam meningkatkan nilai tambah input dan nilai tambah output. Hal itu sesuai
dengan hasil studi Koundouri, et.al. (2006) bahwa infrastruktur sebagai syarat
keberhasilan dalam industri pertanian di Yunani. Meskipun dalam kasus Indonesia
belum bisa mendorong daya saing agroindustri.
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 53. Respon shocks pada Anggaran Infrastruktur Pertanian terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
7. Respon atas Perubahan Anggaran Desentralisasi Fiskal
Saat terjadi guncangan desentralisasi fiskal (DF) sebagaimana disajikan
pada Gambar 54 dan Lampiran 9(B.9.16), pada triwulan ke 2 nilai tambah input
(NTI) menurun berkisar 1.26%. Penurunan juga terjadi pada nilai tambah output
-.004
.000
.004
.008
.012
.016 .016
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
-.004
.000
.004
.008
.012
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap N
TO
-.04
.04
-.03
-.02
-.01
.00
.01
.02
.03
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of IA
271
(NTO) berkisar 0.85%. Daya saing agroindustri (DSA) menurun berkisar 2.05%
namun pada triwulan ke 5 dan selanjutnya meningkat konsisten
.002
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 54. Respon shocks pada Desentralisasi Fiskal (DF) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
Dalam jangka panjang, guncangan desentralisasi fiskal menurunkan nilai
tambah input (NTI) berkisar 0.38% konvergen mulai triwulan ke 35 dan nilai
tambah output berkisar 0.41% konvergen mulai triwulan ke 30. Daya saing
agroindustri meningkat berkisar 1.17% konvergen lebih cepat mulai triwulan ke 21.
Berarti, desentralisasi fiskal bisa mendorong daya saing agroindustri. Hal itu akan
lebih kondusif jika daerah otonom mempunyai relasi dan kelincahan dalam
-.015
-.010
-.005
.000
.005
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
-.010
-.008
-.006
-.004
-.002
.000
10 20 30 40 50 60b.
Res
pon
Terh
adap
NTO
-.04
.08
-.02
.00
.02
.04
.06
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of DF
272
perdagangan langsung ke luar negeri secara baik untuk mempromosikan produk
pertanian dan agroindustri lokal (Saragih, 2003). Namun pengembangan
agroindustri di daerah senantiasa harus memperhatikan pemanfaatan sumberdaya
lokal secara optimal.
8. Respon atas Perubahan Investasi
Awal guncangan investasi sebagaimana disajikan pada Gambar 55 dan
Lampiran 9(B.9.17), pada triwulan ke 2 terjadi penurunan nilai tambah input (NTI)
.002
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 55. Respon shocks pada Investasi (I) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
-.020
-.016
-.012
-.008
-.004
.000
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
-.012
-.010
-.008
-.006
-.004
-.002
.000
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap N
TO
.00
.04
.01
.02
.03
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of I
273
berkisar 1.67% dan konsisten dalam jangka panjang, juga menurunkan nilai tambah
output berkisar 1.13%. Daya saing agroindustri meningkat berkisar 0.47%.
Dalam jangka panjang, guncangan investasi menurunkan nilai tambah input
berkisar 0.95% konvergen mulai triwulan ke 26, nilai tambah output juga menurun
berkisar 0.47% konvergen mulai triwulan ke 25. Daya siang agroindustri meningkat
berkisar 2.16% konvergen mulai triwulan ke 25. Berarti, guncangan investasi
bersifat disinsentif terhadap NTI dan NTO meskipun demikian mampu mendorong
daya saing agroindustri. Seperti diuraikan sebelumnya pada Bagian 7.2 (juga dalam
studi Herjanto, 2003) bahwa investasi disamping mendorong produk pertanian
primer, juga dapat mendorong produk pertanian sekunder dan sekaligus mampu
mempromosikan produk industri pertanian di pasar dunia.
9. Respon atas Perubahan Konsumsi
Pada awal guncangan konsumsi sebagaimana disajikan pada Gambar 56 dan
Lampiran 9(B.9.18), pada triwulan ke 2 nilai tambah input meningkat sebesar
0.12% kemudian menurun konsisten. Begitu pula daya saing agroindustri
meningkat berkisar 3.01% selanjutnya menurun konsisten. Nilai tambah output
menurun berkisar 0.20%, mulai triwulan ke 15 meningkat konsisten.
Dalam jangka panjang, guncangan konsumsi diikuti penurunan nilai tambah
input berkisar 0.06% konvergen mulai triwulan ke 29. Daya saing agroindustri
menurun berkisar 0.72% konvergen mulai triwulan 30. Nilai tambah output
meningkat berkisar 0.02% konvergen mulai triwulan ke 30. Berarti perubahan
konsumsi masih lebih banyak mendorong peningkatan produk pertanian primer,
belum mampu meningkatkan produk lanjutan dan daya saing agroindustri. Hal ini
konsisten dengan uraian pada bagian 7.1 bahwa peningkatan konsumsi mendorong
274
secara kuat pada peningkatan impor produk pertanian, dan sesuai dengan fenomena
gempuran produk impor olahan pertanian yang dikemukakan oleh Sawit (2008).
.004
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 56. Respon shocks pada Konsumsi (KONS) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
Dari uraian di atas sebagaimana disajikan pada Tabel 43, respon kinerja
agroindustri atas guncangan instrumen kebijakan fiskal mencapai keseimbangan
rata-rata pada triwulan ke 28.9 atau 7 tahun, lebih cepat dibandingkan dengan
kinerja sektor pertanian. Instrumen kebijakan fiskal yang cenderung meningkatkan
kinerja agroindustri dalam jangka panjang adalah: pajak pertambahan nilai,
anggaran penelitian dan pengembagan pertanian, dan anggaran infrastruktur
pertanian.
-.006
-.005
-.004
-.003
-.002
-.001
.000
.001
.002
.003
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
-.008
-.006
-.004
-.002
.000
.002
10 20 30 40 50 60b.
Res
pon
Terh
adap
NTO
-.03
.04
-.02
-.01
.00
.01
.02
.03
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of KONS
275
Tabel 43. Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kebijakan Fiskal
Respon dari Kinerja Agroindustri (%) Guncangan Perubahan
Kebijakan Fiskal NTI NTO DSA Kecenderungan Respon Dinamik
PPh: Jangka Pendek (0.64) (0.16) 1.39 Turun Jangka Panjang (0.36) (0.18) 1.29 Turun Konvergen 15 27 30 24 PPn: Jangka Pendek 0.87 0.27 0.15 Naik Jangka Panjang 0.75 0.62 (1.19) Naik Konvergen 28 26 31 28.3 EA : Jangka Pendek (0.91) (0.63) (0.71) Turun Jangka Panjang (0.32) (0.29) (0.91) Turun Konvergen 27 27 30 28 SP : Jangka Pendek 0.61 0.16 (2.31) Naik Jangka Panjang 0.26 (0.04) (0.86) Turun Konvergen 28 36 32 32 RDA: Jangka Pendek (0.84) (0.56) (2.45) Turun Jangka Panjang 0.03 0.04 (0.49) Naik Konvergen 31 33 29 31 IA : Jangka Pendek 0.43 0.21 (0.79) Naik Jangka Panjang 0.51 0.33 (0.47) Naik Konvergen 31 35 34 33.3 DF : Jangka Pendek (1.26) (0.85) (2.05) Turun Jangka Panjang (0.38) (0.41) 1.17 Turun Konvergen 35 30 21 28.67 Variabel Makroekonomi I : Jangka Pendek (1.67) (1.13) 0.49 Turun Jangka Panjang (0.95) (0.47) 2.16 Turun Konvergen 26 25 25 25.3 KONS: Jangka Pendek 0.12 (0.20) 3.01 Naik Jangka Panjang (0.06) 0.02 (0.72) Turun Konvergen 29 30 30 29.7
Keterangan: Satuan konvergensi adalah triwulan. Angka dalam kurung negatif, menunjukkan respon menurun. Kecenderungan turun dan naik berdasarkan frekuensi respon (turun atau naik) yang paling banyak.
Secara keseluruhan magnitude dari respon dinamik dalam satuan persen
relatif kecil bermakna bahwa guncangan kebijakan fiskal sebagai bentuk intervensi
fiskal direspon kecil, atau kurang kuat dalam mendorong kinerja agroindustri.
Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa kebijakan fiskal juga kurang efektif
dalam mendorong kinerja agroindustri.
276
8.3. Instrumen Kebijakan Fiskal yang Efektif Mempengaruhi Kinerja Agroindustri
Tujuan penelitian ke tiga, mengetahui instrumen kebijakan fiskal yang
efektif mempengaruhi kinerja agroindustri di analisis dengan mengetahui besar
peran setiap guncangan (shocks) dalam menjelaskan variabilitas variabel kinerja
agroindustri dengan menggunakan dekomposisi ragam kesalahan peramalan yang
diorthogonalisasi (orthogonalized forecast error variance decomposition atau
FEVD). Hasil analisis disajikan pada Tabel 44, selengkapnya pada Lampiran 10.
Variabilitas nilai tambah input agroindustri dalam jangka pendek (triwulan
1) dijelaskan oleh guncangan sendiri (84.01%) dan tidak dapat dijelaskan secara
baik oleh guncangan kebijakan fiskal. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60)
variabilitas nilai tambah input dijelaskan oleh guncangan sendiri sebesar 34.07%
dan kebijakan fiskal, yang paling besar dari pajak pertambahan nilai sebesar 2.89%,
kemudian anggaran infrastruktur pertanian sebesar 1.52%, dan desentralisasi fiskal
sebesar 0.93%. Guncangan kebijakan fiskal lainnya berkontribusi dalam
menjelaskan variabilitas nilai tambah input relatif kecil berkisar (0.1-0.7)%.
Guncangan investasi juga memberikan kontribusi cukup besar (4.59%).
Berarti, variabilitas nilai tambah input dijelaskan oleh guncangan kebijakan
fiskal yang paling besar dari pajak pertambahan nilai, anggaran infrastruktur dan
desentralisasi fiskal disamping itu juga dari investasi.
Variabilitas nilai tambah output agroindustri dalam jangka pendek (triwulan
1) dijelaskan oleh guncangan sendiri (7.24%), nilai tambah input cukup besar
(71.08%) dan tidak dapat dijelaskan secara baik oleh guncangan kebijakan fiskal.
Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas nilai tambah output
dijelaskan oleh guncangan sendiri sebesar 1.91% dan kebijakan fiskal, yang paling
277
besar dari pajak pertambahan nilai sebesar 3.93%, kemudian desentralisasi fiskal
sebesar 1.92%, dan anggaran infrastruktur pertanian sebesar 1.47%.
Tabel 44. Peran Guncangan Kebijakan Fiskal terhadap Variabilitas Kinerja Agroindustri NTI Guncangan (%) Periode S.E. NTI NTO DSA PPh PPn EA SP RDA IA DF I KON 1 0.1057 84.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5 0.1441 58.64 0.19 0.48 0.60 2.01 0.83 0.59 0.51 1.33 1.36 3.30 0.18 10 0.1769 49.92 0.59 0.81 0.66 2.11 0.71 0.51 0.50 1.42 1.14 3.47 0.14 20 0.2244 41.72 0.67 1.03 0.69 2.59 0.66 0.49 0.39 1.56 1.15 4.10 0.12 30 0.2618 38.19 0.65 1.11 0.69 2.74 0.64 0.46 0.30 1.58 1.04 4.30 0.09 40 0.2945 36.24 0.64 1.13 0.70 2.80 0.63 0.44 0.24 1.56 0.98 4.44 0.08 50 0.3239 34.97 0.64 1.14 0.71 2.85 0.62 0.43 0.20 1.54 0.95 4.53 0.07 60 0.3507 34.07 0.64 1.15 0.71 2.89 0.62 0.42 0.17 1.52 0.93 4.59 0.06 NTO Guncangan (%) Periode S.E. NTI NTO DSA PPh PPn EA SP RDA IA DF I KON 1 0.0774 71.08 7.24 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5 0.1068 48.89 4.25 0.50 0.22 2.31 0.81 0.24 0.51 1.61 1.52 2.58 0.45 10 0.1300 43.21 3.45 0.68 0.27 2.75 0.86 0.29 0.62 1.67 1.62 2.38 0.40 20 0.1621 37.05 2.75 0.75 0.31 3.39 0.88 0.27 0.52 1.65 1.92 2.56 0.31 30 0.1870 34.40 2.37 0.59 0.32 3.65 0.91 0.21 0.41 1.63 1.90 2.53 0.24 40 0.2092 32.93 2.16 0.48 0.33 3.77 0.93 0.17 0.33 1.56 1.90 2.53 0.19 50 0.2292 31.94 2.02 0.40 0.33 3.86 0.94 0.15 0.28 1.51 1.91 2.53 0.16 60 0.2475 31.24 1.91 0.35 0.34 3.93 0.95 0.13 0.24 1.47 1.92 2.53 0.14 DSA Guncangan (%) Periode S.E. NTI NTO DSA PPh PPn EA SP RDA IA DF I KON 1 0.2351 0.54 0.06 83.34 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5 0.3421 5.95 0.80 49.83 0.81 0.55 0.87 0.91 1.21 1.91 5.53 1.92 1.73 10 0.4142 8.49 1.08 44.57 1.13 1.16 0.81 0.93 1.10 1.93 4.70 3.28 1.31 20 0.5175 8.85 1.46 40.93 1.36 1.26 0.81 0.91 0.86 1.39 3.58 3.99 1.12 30 0.5985 9.12 1.56 39.60 1.48 1.35 0.86 0.89 0.72 1.11 3.07 4.26 0.99 40 0.6697 9.29 1.62 38.88 1.54 1.39 0.87 0.87 0.63 0.93 2.74 4.44 0.91 50 0.7340 9.42 1.66 38.39 1.59 1.41 0.88 0.86 0.57 0.82 2.53 4.57 0.85 60 0.7931 9.51 1.69 38.02 1.62 1.43 0.88 0.85 0.53 0.74 2.38 4.66 0.81
Keterangan: Periode = triwulan, S.E. = Standard Error, SP = Subsidi Pertanian, NTI = Nilai Tambah Input, RDA = Penelitian dan Pengembangan NTO = Nilai Tambah Output, Pertanian, DSA = Daya Saing Agroindustri, IA = Infrastruktur Pertanian, PPh = Pajak Penghasilan, DF = Desentralisasi Fiskal, PPn = Pajak Pertambahan Nilai, I = Investasi, dan EA = Anggaran Sektor Pertanian, KON = Konsumsi.
278
Guncangan kebijakan fiskal lainnya berkontribusi dalam menjelaskan variabilitas
nilai tambah output relatif kecil berkisar (0.1-0.9)%. Guncangan investasi juga
memberikan kontribusi cukup besar (2.53% ).
Berarti, variabilitas nilai tambah output dijelaskan oleh guncangan kebijakan
fiskal yang paling besar dari pajak pertambahan nilai, desentralisasi fiskal dan
anggaran infrastruktur.
Variabilitas daya saing agroindustri dalam jangka pendek (triwulan ke 1)
dijelaskan oleh guncangan sendiri (83.34%). Variabilitas juga dijelaskan oleh NTI
(0.54%) dan NTO (0.06%). Tidak dapat dijelaskan secara baik oleh guncangan
kebijakan fiskal. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas daya saing
agroindustri dijelaskan oleh guncangan sendiri sebesar 38.02%. Sedangkan
kebijakan fiskal, yang paling besar dari desentralisasi fiskal sebesar 2.38%,
kemudian pajak penghasilan sebesar 1.62%, pajak pertambahan nilai sebesar
1.43%, dan anggaran infrastruktur pertanian sebesar 0.74%. Peran guncangan
kebijakan fiskal lainnya dalam menjelaskan variabilitas daya saing agroindustri
relatif kecil berkisar (0.53-0.88)%. Guncangan investasi juga memberikan
kontribusi cukup besar (4.66%).
Berarti, variabilitas daya saing agroindustri dijelaskan oleh guncangan
kebijakan fiskal yang paling besar dari desentralisasi fiskal, pajak penghasilan,
pajak pertambahan nilai, dan anggaran infrastruktur disamping juga dari investasi.
Dari uraian di atas sebagaimana disajikan pada Tabel 45, variabel kebijakan
fiskal yang efektif/berperan besar dalam mempengaruhi variabilitas kinerja
agroindustri di Indonesia adalah: anggaran infrastruktur pertanian dan desentralisasi
fiskal kemudian disusul pajak pertambahan nilai. Kebijakan infrastruktur yang bias
279
urban (Yudhoyono, 2004) dalam hal ini menjadi kendala dan perlu diperhatikan
untuk pengembangan agroindustri. Desentralisasi fiskal yang kondusif bagi
kegiatan produksi alamiah lokal (Saragih, 2003) merupakan kesempatan dalam
pengembangan industri pertanian di daerah. Pajak pertambahan nilai medorong
produktivitas pertanian (Herjanto, 2003) dalam hal ini juga berpotensi dalam
pengembangan industri pertanian.
Disamping besaran respon dinamik pada kinerja agroindustri atas guncangan
kebijakan fiskal yang kecil; peran efektifitas guncangan kebijakan fiskal juga kecil
dalam mempengaruhi variabilitas kinerja agroindustri. Sehingga dapat dikatakan
intervensi kebijakan fiskal selama rentang analisis tidak efektif dalam mendorong
kinerja agroindustri.
Tabel 45. Rangkuman Peran Guncangan Kebijakan Fiskal yang Efektif terhadap
Variabilitas Kinerja Agroindustri dalam Jangka Panjang
Sumber Guncangan dari Kebijakan Fiskal (%) Variabilitas Kinerja Agroindustri PPh PPn EA SP RDA IA DF NTI 0.71
(4) 2.89 (1)
0.62 (5)
0.42 (6)
0.17 (7)
1.52 (2)
0.93 (3)
NTO 0.34 (5)
3.93 (1)
0.95 (4)
0.13 (7)
0.24 (6)
1.47 (3)
1.92 (2)
DSA 1.62 (2)
1.43 (3)
0.88 (5)
0.85 (6)
0.53 (7)
0.74 (4)
2.38 (1)
Kesimpulan - Efektif - - - Efektif Efektif Keterangan: Peran guncangan besar berdasarkan nilai FEVD jangka panjang atau
nilai rata-rata di atas 1% dan atau lebih besar jika diperbandingkan dengan variabel lainnya. Angka dalam kurung menunjukkan ranking besar peran guncangan. Efektif ditentukan berdasarkan frekuensi peran guncangan yang besar, semakin banyak frekuensinya maka variabel kebijakan fiskal tersebut efektif.
Sumber: Analisis Tabel 44
280
8.4. Hubungan Keterkaitan Kinerja Sektor Pertanian dengan Kinerja Agroindustri Sektor pertanian wajib terintegrasi dengan agroindustri, bahkan pada tataran
kebijakan makro ekonomi dalam moneter dan fiskal yang mengkait dengan
pembangunan pertanian (Arifin, 2008). Analisis bagian ini untuk mencapai tujuan
penelitian ke empat, mengkaji keterkaitan antara kinerja sektor pertanian dengan
kinerja agroindustri pada kondisi fiskal di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk
mendalami fenomena decoupling (ketidakterkaitan) antara pertanian dan
agroindustri dari temuan-temuan penelitian sebelumnya.
Analisis untuk mengetahui respon dinamik dari kinerja agroindustri atas
guncangan (shocks) variabel kinerja sektor pertanian dengan impulse response
function (IRF) (selengkapnya pada Lampiran 9). Disamping itu dianalisis besar
peran setiap variabel kinerja sektor pertanian dalam menjelaskan variabilitas
variabel kinerja agroindustri dengan menggunakan dekomposisi ragam kesalahan
peramalan yang diorthogonalisasi (orthogonalized forecast error variance
decomposition atau FEVD) selengkapnya pada Lampiran 10.
8.4.1. Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kinerja Sektor Pertanian
1. Respon atas Perubahan PDB Pertanian
Awal guncangan PDB pertanian sebagaimana disajikan pada Gambar 57 dan
Lampiran 9(C.9.19), terjadi penurunan nilai tambah input (NTI) berkisar 3.28% dan
nilai tambah output (NTO) berkisar 1.96%. Sedangkan daya saing agroindustri
(DSA) meningkat berkisar 8.17%.
281
Dalam jangka panjang, guncangan PDB pertanian mengakibatkan
penurunan nilai tambah input berkisar 1.70% konvergen mulai triwulan ke 29. Nilai
tambah output juga menurun berkisar 0.88% konvergen mulai triwulan ke 25. Daya
saing agroindustri meningkat berkisar 2.03% konvergen mulai triwulan ke 21.
Berarti perubahan PDB pertanian lebih cepat mengimbas pada nilai tambah output
dan daya saing agroindustri.
.000
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 57. Respon shocks pada PDB Pertanian (GDPA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
2. Respon atas Perubahan Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian
Awal guncangan penyerapan tenaga keja pertanian sebagaimana disajikan
pada Gambar 58 dan Lampiran 9(C.9.20), terjadi penurunan nilai tambah input dan
-.035
-.030
-.025
-.020
-.015
-.010
-.005
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
-.020
-.016
-.012
-.008
-.004
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
ns T
erha
dap
NTO
-.02
.10
.00
.02
.04
.06
.08
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of GDPA
282
output masing-masing berkisar 0.58% dan 0.34% serta daya saing agroindustri
berkisar 0.17%.
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 58. Respon shocks pada Tenaga Kerja Pertanian (TKA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
Dalam jangka panjang, guncangan pada penyerapan tenaga pertanian,
menurunkan nilai tambah input, output dan daya saing agroindustri masing-masing
berkisar 0.55%, 0.31%, dan 0.81%. Masing-masing konvergen mulai triwulan ke
34, 38 dan 34. Guncangan pada penyerapan tenaga kerja sektor pertanian
berpengaruh negatif dalam meningkatkan kinerja agroindustri. Sehingga kapasitas
sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja secara konsisten diperlukan untuk
-.012
-.010
-.008
-.006
-.004
-.002
.000 .001
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
-.007
-.006
-.005
-.004
-.003
-.002
-.001
.000
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap N
TO
-.03
.02
-.02
-.01
.00
.01
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of TKA
283
mendorong kinerja agroindustri. Fenomena angkatan kerja pedesaan yang semakin
besar meninggalkan sektor pertanian (hasil studi Kasryno, 2006) dalam hal ini juga
sangat merugikan kinerja agroindustri.
3. Respon atas Perubahan Ekspor Produk Pertanian
Awal guncangan ekspor produk pertanian sebagaimana disajikan pada
Gambar 59 dan Lampiran 9(C.9.21), terjadi kenaikan nilai tambah input, nilai
tambah output dan daya saing agroindustri masing-masing berkisar 1.62%, 1.97%
dan 4.15%.
.024
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 59. Respon shocks pada Ekspor Produk Pertanian (XA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
.012
.014
.016
.018
.020
.022
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
.004
.008
.012
.016
.020
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap N
TO
.01
.09
.02
.03
.04
.05
.06
.07
.08
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of XA
284
Dalam jangka panjang, guncangan ekspor produk pertanian menaikkan nilai
tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri masing-masing
berkisar 1.66%, 1.41%, dan 4.74% konvergen mulai triwulan ke 36, 30 dan 27.
Berarti, perubahan ekspor produk pertanian direspon kenaikan dalam seluruh aspek
kinerja agroindustri. Hal ini terjadi karena selama ini ekspor produk pertanian lebih
dominan pada produk pertanian primer6 sehingga perubahan struktur ekspor (dari
ekspor primer menjadi produk sekunder) akan cepat menarik/meningkatkan kinerja
agroindustri.
4. Respon atas Perubahan Impor Produk Pertanian
Awal guncangan impor produk pertanian sebagaimana disajikan pada
Gambar 60 dan Lampiran 9(C.9.22), terjadi penurunan nilai tambah input, nilai
tambah output dan daya saing agroindustri masing-masing berkisar 1.00%, 0.97%
dan 2.19%.
Dalam jangka panjang, guncangan impor produk pertanian menurunkan
nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri masing-masing
berkisar 1.34%, 1.07%, dan 2.90% masing-masing konvergen mulai triwulan ke 20,
30, dan 28. Berarti respon impor produk pertanian berkebalikan dengan ekspor
produk pertanian. Impor produk pertanian sebagian besar merupakan olahan atau
produk sekunder pertanian6, bukan barang modal untuk peningkatan aktivitas
pengolahan/industri pertanian. Inilah bukti semakin nyata dari pernyataan Sawit
(2008) bahwa pertanian/produk olahan industri pertanian mendapat serbuan dari
impor produk pertanian, sehingga menurunkan kinerja agroindustri.
6 Diskusi Pakar dengan Dr. Noer Sutrisno, MA; Prof.Dr.Ir. Rudi Wibowo, MS; Dr.Husain Sawit, M.Sc; Dr.Ir. Djafar Hafsah; dan Dr.Ir. Bayu Krisna Murti, MS; Dr. Ir. Iwantono, tanggal 26 Juli 2007 di Jakarta.
285
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 60. Respon shocks pada Impor Produk Pertanian (IMA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
5. Respon atas Perubahan Kesejahteraan Petani
Awal guncangan kesejahteraan petani sebagaimana disajikan pada Gambar
61 dan Lampiran 9(C.9.23), terjadi peningkatan nilai tambah input berkisar 1.76%.
Nilai tambah output dan daya saing agroindustri juga meningkat masing-masing
berkisar 2.05% dan 0.25%.
Dalam jangka panjang, guncangan kesejahteraan petani meningkatkan nilai
tambah input, dan nilai tambah output masing-masing berkisar 1.62%, dan 1.10%
konvergen mulai triwulan ke 24 dan 27. Sedangkan daya saing agroindustri
menurun berkisar 0.49% konvergen mulai triwulan ke 31. Kesejahteraan petani
berkaitan dengan kemampuan akumulasi modal untuk meningkatkan aktivitas
-.020
-.018
-.016
-.014
-.012
-.010
-.008
-.006
-.004 -.002
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
-.016
-.014
-.012
-.010
-.008
-.006
-.004
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap N
TO
-.044
-.008
-.040
-.036
-.032
-.028
-.024
-.020
-.016
-.012
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of IMA
286
pengolahan produk pertanian, meskipun belum bisa meningkatkan daya saing
agroindustri. Hal itu sejalan dengan hasil analisis data pada Bab VI bahwa daya
saing agroindustri menurun terutama setelah krisis moneter tahun 1997 pada situasi
kesejahteraan petani meningkat hampir 2 (dua) kali dari keseimbangan sebelumnya.
Hasil studi Rozelle and Swinnen (2004) juga menemukan bahwa akumulasi modal
petani (cermin kesejahteraan) menumbuhkan industri pertanian.
.024
Keterangan: Skala absis adalah triwulan
Gambar 61. Respon shocks pada Kesejahteraan Petani (WP) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
Dari uraian di atas sebagaimana disajikan pada Tabel 46, respon kinerja
agroindustri atas guncangan kinerja sektor pertanian mencapai keseimbangan rata-
rata pada triwulan ke 28.92 atau 7 tahun. Kinerja sektor pertanian yang cenderung
.004
.008
.012
.016
.020
.024
.028
.032
10 20 30 40 50 60
a. R
espo
n Te
rhad
ap N
TI
.004
.008
.012
.016
.020
10 20 30 40 50 60
b. R
espo
n Te
rhad
ap N
TO
-.03
.02
-.02
-.01
.00
.01
10 20 30 40 50 60
c. R
espo
n Te
rhad
ap D
SA
Response to Cholesky One S.D. Innovations of W P
287
meningkatkan kinerja agroindustri dalam jangka panjang adalah: ekspor produk
pertanian dan kesejahteraan petani. Dapat dikatakan bahwa, ekspor produk
pertanian akan menarik (pull) kinerja agroindustri terutama jika struktur ekspor
semakin dominan pada produk olahan pertanian. Sedangkan kesejahteraan petani
sebagai faktor pendorong (push) peningkatan kinerja agroindustri. Semakin
meningkat kesejahteraan petani akan meningkatkan kemampuan akumulasi kapital
petani yang akan mendorong kegiatan industri pertanian, sebagaimana ditemukan
dalam studi Rozelle and Swinnen (2004).
Besaran respon (dalam persen) secara keseluruhan relatif kecil; berarti
bahwa respon kinerja agrondustri atas guncangan kinerja sektor pertanian relatif
lemah (kurang responsif).
Tabel 46. Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kinerja Sektor
Pertanian
Respon dari Kinerja Agroindustri (%) Guncangan Perubahan Kinerja Pertanian NTI NTO DSA Kecenderungan Respon
Dinamik GDPA: Jangka Pendek (3.28) (1.96) 8.17 Turun Jangka Panjang (1.70) (0.88) 2.03 Turun Konvergen 29 25 21 25 TKA: Jangka Pendek (0.58) (0.34) (0.17) Turun Jangka Panjang (0.55) (0.31) (0.81) Turun Konvergen 34 38 34 35.3 XA : Jangka Pendek 1.62 1.97 4.15 Naik Jangka Panjang 1.66 1.41 4.74 Naik Konvergen 36 30 27 31 IMA: Jangka Pendek (1.00) (0.97) (2.19) Turun Jangka Panjang (1.34) (1.07) (2.90) Turun Konvergen 20 30 28 26 WP: Jangka Pendek 1.76 2.05 0.25 Naik Jangka Panjang 1.62 1.10 (0.49) Naik Konvergen 24 27 31 27.3
Keterangan: Satuan konvergensi adalah triwulan. Angka dalam kurung negatif, menunjukkan respon penurunan. Kecenderungan turun dan naik berdasarkan frekuensi respon (turun atau naik) yang paling banyak.
288
8.4.2. Kinerja Sektor Pertanian yang Efektif Mempengaruhi Kinerja Agroindustri
Sebagaimana disajikan pada Tabel 47, variabilitas nilai tambah input
agroindustri dalam jangka pendek (triwulan ke 1) dijelaskan oleh guncangan PDB
pertanian sebesar 9.66%, ekspor pertanian sebesar 2.36% dan kesejahteraan petani
sebesar 2.78%. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas nilai tambah
input dijelaskan oleh guncangan kinerja sektor pertanian, yang paling besar dari
PDB pertanian sebesar sebesar 14.67%, kemudian ekspor pertanian sebesar 13.72%,
kesejahteraan petani sebesar 13.44%, impor produk pertanian sebesar 8.81%, dan
tenaga kerja pertanian sebesar 1.59%. Berarti, variabilitas nilai tambah input dalam
jangka panjang dijelaskan oleh guncangan semua variabel kinerja sektor pertanian.
Variabilitas nilai tambah output agroindustri dalam jangka pendek (triwulan
ke 1) dijelaskan oleh guncangan kesejahteraan petani sebesar 7.02%, ekspor
pertanian sebesar 6.50%, PDB pertanian sebesar 6.39%, dan impor pertanian
sebesar 1.58%. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas nilai tambah
output dijelaskan oleh guncangan kinerja sektor pertanian, yang paling besar dari
ekspor pertanian sebesar 20.91%, kesejahteraan petani sebesar 13.14%, impor
pertanian sebesar 11.52%, PDB pertanian sebesar 8.26% dan penyerapan tenaga
kerja pertanian sebesar 1.02%. Berarti, variabilitas nilai tambah output dalam
jangka panjang dijelaskan oleh guncangan semua variabel kinerja sektor pertanian.
Variabilitas daya saing agroindustri dalam jangka pendek (triwulan ke 1)
dijelaskan oleh guncangan PDB pertanian sebesar 12.07%, dan ekspor pertanian
sebesar 3.11%. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas daya saing
agroindustri dijelaskan oleh guncangan kinerja sektor pertanian, yang paling besar
dari ekspor produk pertanian sebesar 21.46%, impor produk pertanian sebesar
289
Tabel 47. Hubungan Keterkaitan Kinerja Sektor Pertanian dengan Kinerja Agroindustri
NTI Guncangan (%) Periode S.E. GDPA TKA XA IMA WP NTI NTO DSA 1 0.1057 9.66 0.30 2.36 0.89 2.78 84.01 0.00 0.005 0.1441 8.27 0.45 7.61 3.71 9.94 58.64 0.19 0.4810 0.1769 11.71 1.36 8.87 5.25 10.82 49.92 0.59 0.8120 0.2244 12.74 1.42 11.50 7.16 12.03 41.72 0.67 1.0330 0.2618 13.70 1.55 12.45 7.94 12.57 38.19 0.65 1.1140 0.2945 14.16 1.56 13.05 8.34 13.00 36.24 0.64 1.1350 0.3239 14.46 1.58 13.44 8.62 13.26 34.97 0.64 1.1460 0.3507 14.67 1.59 13.72 8.81 13.44 34.07 0.64 1.15NTO Guncangan (%) Periode S.E. GDPA TKA XA IMA WP NTI NTO DSA 1 0.0774 6.39 0.19 6.50 1.58 7.02 71.08 7.24 0.005 0.1068 4.90 0.14 14.93 5.41 10.71 48.89 4.25 0.5010 0.1300 6.95 0.78 15.13 7.27 11.66 43.21 3.45 0.6820 0.1621 7.35 0.85 18.04 9.27 12.15 37.05 2.75 0.7530 0.1870 7.83 0.97 19.25 10.30 12.51 34.40 2.37 0.5940 0.2092 8.03 1.00 20.02 10.86 12.82 32.93 2.16 0.4850 0.2292 8.16 1.01 20.54 11.24 13.01 31.94 2.02 0.4060 0.2475 8.26 1.02 20.91 11.52 13.14 31.24 1.91 0.35DSA Guncangan (%) Periode S.E. GDPA TKA XA IMA WP NTI NTO DSA 1 0.2351 12.07 0.01 3.11 0.86 0.01 0.54 0.06 83.345 0.3421 14.58 0.21 10.81 1.50 0.88 5.95 0.80 49.8310 0.4142 10.50 0.60 13.54 4.00 0.87 8.49 1.08 44.5720 0.5175 8.60 0.78 17.42 5.79 0.88 8.85 1.46 40.9330 0.5985 7.61 0.82 19.20 6.64 0.75 9.12 1.56 39.6040 0.6697 7.02 0.80 20.24 7.16 0.65 9.29 1.62 38.8850 0.7340 6.61 0.79 20.95 7.52 0.59 9.42 1.66 38.3960 0.7931 6.32 0.78 21.46 7.77 0.54 9.51 1.69 38.02
Keterangan: Periode = triwulan, S.E. = Standard Error, TKA = Tenaga Kerja Pertanian, NTI = Nilai Tambah Input, XA = Ekspor Produk Pertanian, NTO = Nilai Tambah Output, IMA = Impor Produk Pertanian, dan DSA = Daya Saing Agroindustri, WP = Kesejahteraan Petani. GDPA = PDB Pertanian,
290
7.77%, dan PDB pertanian sebesar 6.32%. Berarti, variabilitas daya saing dalam
jangka panjang dijelaskan oleh guncangan variabel kinerja sektor pertanian yaitu:
ekspor, impor produk pertanian, dan PDB petanian.
Dari uraian di atas sebagaimana disajikan pada Tabel 48, variabel kinerja
sektor pertanian yang efektif/berperan besar dalam mempengaruhi variabilitas
kinerja agroindustri di Indonesia adalah: PDB pertanian, ekspor produk pertanian,
dan impor produk pertanian.
Tabel 48. Rangkuman Peran Guncangan Kinerja Sektor Pertanian terhadap Variabilitas Kinerja Agroindustri dalam Jangka Panjang
Sumber Guncangan dari Kinerja Sektor Pertanian (%)
Variabilitas Kinerja Agroindustri GDPA TKA XA IMA WP NTI 14.67
(1) 1.59 (5)
13.72 (2)
8.81 (4)
13.44 (3)
NTO 8.26 (4)
1.02 (5)
20.91 (1)
11.52 (3)
13.14 (2)
DSA 6.32 (3)
0.78 (4)
21.46 (1)
7.77 (2)
0.54 (5)
Kesimpulan Efektif - Efektif Efektif - Keterangan: Peran guncangan besar berdasarkan nilai FEVD jangka panjang atau
nilai rata-rata di atas 1% dan atau lebih besar jika diperbandingkan dengan variabel lainnya. Angka dalam kurung menunjukkan ranking besar peran guncangan. Efektif ditentukan berdasarkan frekuensi peran guncangan yang besar, semakin banyak frekuensinya maka variabel kebijakan fiskal tersebut efektif.
Sumber: Analisis Tabel 47
Peningkatan PDB pertanian berarti meningkatkan kesejahteraan petani.
Kondisi tersebut akan memampukan petani dalam akumulasi kapital sehingga dapat
menggerakkan industri pertanian sebagaimana hasil studi Martin and Warr (1992,
1993) untuk negara berkembang dan Rozelle and Swinnen (2004).
291
Ekspor dan impor menentukan neraca perdagangan. Semakin membaiknya
neraca perdagangan (surplus) berarti memberi multiplier pada kegiatan sekunder
(industri pertanian) sebagaimana hasil studi ADB, SEAMEO SEARCA, Crescent,
CASER and Ministry of Agriculture RI (2005). Dalam kasus Indonesia, hal itu
terjadi jika didorong perubahan pola ekspor dari produksi primer menjadi produk
olahan pertanian, perubahan impor pertanian dari impor olahan hasil pertanian
menjadi impor barang modal untuk produksi sekunder/industri pertanian.
Disamping itu dengan semaksimal mungkin menghindarkan pengembangan industri
pertanian yang mempunyai ketergantung bahan dasar dari impor.
Besaran (dalam persen) peran guncangan dari kinerja sektor pertanian
dalam mempengaruhi variabilitas kinerja agroindustri relatif besar. Maknanya
adalah terdapat keterkaitan yang kuat/erat terutama unsur kinerja sektor pertanian
yang efektif dalam mempengaruhi/mendorong kinerja agroindustri meskipun
dorongan tersebut direspon lemah (sebagaimana temuan pada Bagian 8.4.1. di
Tabel 46).
IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
9.1. Ringkasan dan Sintesis
1. Dinamika Kebijakan Fiskal Indonesia
Indonesia sebagai negara dengan perekonomian kecil terbuka (small open
economy), sehingga kebijakan fiskal dipengaruhi oleh guncangan keseimbangan
makroekonomi yang bersumber dari dalam maupun dari luar negeri. Relasi
keduanya, mewujudkan dinamika fiskal antar waktu sebagai bentuk penyesuaian
dalam mencapai keseimbangan. Periodisitas dinamika fiskal selama rentang analisis
(1970-2005) meliputi: awal periode 1970an, kebijakan fiskal masih menghadapi
upaya rehabilitasi perekonomian sehingga diterapkan fiskal ketat. Sejak krisis
minyak dunia tahun 1973, telah terjadi limpahan cadangan internasional sehingga
fiskal leluasa untuk intervensi pada pertumbuhan ekonomi. Penerimaan pemerintah
didominasi hasil minyak dan utang luar negeri.
Mulai periode 1980an, penerimaan dalam negeri bukan minyak semakin
meningkat. Sasaran kebijakan fiskal berkembang untuk tujuan: stabilitas ekonomi
makro, mengurangi ketergantungan terhadap bantuan luar negeri, dan meningkatkan
distribusi pendapatan dan mengurangi ketergantungan terhadap bantuan luar negeri.
Belanja pemerintah dikonsentrasikan pada agenda orientasi nasional dengan banyak
memberikan fasilitas pengusaha pribumi.
Awal periode 1990an, fiskal mengakomodasi lima strategi ekonomi yang
secara gradual ditempuh yaitu, reformasi stabilisasi, perpajakan, perdagangan,
investasi asing, dan reformasi sektor keuangan. Disisi lain, komersialisasi dan
independensi sektor swasta mulai menguat, konglomerasi raksasa berkoneksi
293
dengan pemerintahan. Kondisi ini menghasilkan gelembung pertumbuhan ekonomi
yang rapuh. Pada tahun 1997 terjadi anti klimak dengan krisis moneter,
menciptakan pertumbuhan ekonomi negatif (-13%).
Periode 2000an terjadi perubahan kebijakan fiskal menyangkut dua hal,
yaitu tatalaksana fiskal dari sistem defisit anggaran (I-account) pada periode
sebelumnya menjadi sistem berimbang (T-account) dan desentralisasi fiskal.
Implikasi terpenting dari periode ini adalah, semakin terbatasnya kekuasaan fiskal
pemerintah pusat, sementara indikasi fiskal di daerah kurang siap dalam
pengelolaan terutama keterbatasan dukungan sumberdaya manusia di daerah.
2. Belanja Sektor Pertanian
Peran pemerintah dalam perekonomian diukur dari besarnya belanja
pemerintah untuk kegiatan dalam sektor ekonomi. Belanja untuk sektor pertanian,
sejak tahun 1970 sampai 2005 ditinjau dari pangsa dan arah laju terhadap
pengeluaran total maupun pengeluaran pembangunan menurun konsisten. Namun
demikian sektor pertanian masih menikmati pangsa subsidi yang cukup besar
dibandingkan dengan total subsidi. Dorongan untuk memajukan sektor pertanian
mengalami penurunan laju terutama anggaran untuk penelitian dan pengembangan
pertanian serta infrastruktur pertanian. Dengan peningkatan mencolok anggaran
desentralisasi fiskal pasca krisis tahun 1997 belum memberi jaminan semakin
membaiknya alokasi anggaran untuk sektor pertanian di daerah.
Dari keseimbangan makroekonomi selain dari belanja pemerintah (G);
investasi (I) tumbuh landai dan konsumsi (C) agregat tumbuh cepat khususnya
pasca krisis moneter tahun 1997. Namun demikian tidak menjamin alokasi investasi
untuk pertanian dan konsumsi terhadap produk pertanian juga meningkat.
294
Pembenaran fenomena tersebut misalnya masih besarnya resiko dan mahalnya
investasi sektor pertanian serta semakin membanjirnya impor produk olahan
pertanian.
3. Kinerja Sektor Pertanian Indonesia
Kinerja sektor pertanian selama periode analisis mulai pertengahan periode
1980an cenderung menurun ditunjukkan oleh parameter kinarja antara lain
pertumbuhan PDB pertanian terus menurun. Hal ini disumbang oleh produktivitas
pertanian (dihampir semua subsektor) yang menurun bahkan tumbuh negatif mulai
tahun 2004. Dalam situasi tersebut sektor pertanian masih menanggung beban
tenaga kerja yang secara absolut jumlahnya besar sementara kemampuan
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian menurun konsisten. Kondisi ini
diperburuk oleh produktivitas tenaga kerja pertanian yang juga menurun (bahkan
negatif mulai tahun 2004). Fenomena tersebut mengindikasikan perubahan
struktural di Indonesia kurang berhasil.
Dari sisi perdagangan internasional; sektor pertanian mulai periode krisis
moneter (1997) cenderung mengalami defisit neraca perdagangan. Disamping itu
struktur komoditi ekspor lebih didominasi produk pertanian primer. Impor
didominasi produk olahan hasil pertanian telah menghambat pengembangan industri
pertanian (agroindustri) domestik. Yang lebih memprihatinkan adalah
perekonomian domestik tidak optimal memanfaatkan nilai tambah produk pertanian
domestik, sementara konsumen domestik semakin tergantung dan harus membayar
mahal nilai tambah produk pertanian luar negeri.
Kesejahteraan petani diperbandingkan secara relatif terhadap harga
internasional (net-barter terms of trade/NT) dari tahun 1970 sampai 2005 justru
295
semakin meningkat. Kenaikan kesejahteraan pasca krisis tahun 1997 hampir dua
kali menunjukkan bahwa selama dua puluh tahun sebelum krisis, kebijakan
industrialisasi telah menciptakan over value terhadap nilai tukar rupiah (untuk
menstimulasi perolehan barang modal industri yang murah). Pada situasi tersebut
telah menekan kesejahteraan petani.
4. Kinerja Agroindustri Indonesia
Dari uraian kinerja sektor pertanian yang terpenting diketahui adalah,
pembangunan pertanian belum mampu mendorong industri pertanian sebagai proses
industrialisasi berbasis pertanian. Hal itu nampak dari performa kinerja agroindustri
Indonesia ditinjau dari nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing
meskipun menunjukkan kenaikan absolut, namun pertumbuhannya konsisten
menurun. Kenaikan absolut menggambarkan ekskalasi pertambahan jumlah
industri. Namun dengan penurunan pertumbuhan menggambarkan produktivitas dan
utilitas industri yang semakin menurun dan belum optimal dari kapasitas
sumberdaya yang ada.
5. Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Sektor Pertanian
Instrumen kebijakan fiskal yang penting dan bisa mendorong banyak unsur
kinerja sektor pertanian adalah: pajak penghasilan, anggaran sektor pertanian,
anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur pertanian
disamping itu juga variabel makroekonomi (investasi). Pada situasi tax ratio
Indonesia yang relatif masih rendah, telah mampu mendorong kinerja sektor
pertanian yang dicerminkan dari dorongan PPh. Kedepan terdapat harapan yang
baik dengan memperhatikan keberhasilan dalam restrukturisasi perpajakan sejak
periode 1980an konsisten dilanjutkan dengan revitalisasi perpajakan pada periode
296
1990 dan 2000an. Anggaran sektor pertanian penting mengindikasikan
peningkatannya masih diperlukan untuk mengoptimalkan kapasitas produksi dari
keadaan undercapasity atas pengelolaan sumberdaya pertanian yang terjadi selama
ini. Anggaran penelitian dan pengembangan pertanian menjadi harapan paling
depan untuk memajukan pertanian jangka panjang; disamping infrastruktur
pertanian yang selama ini mengalami penurunan utilitas yang sangat
mengkhawatirkan. Sehingga peningkatan kedua anggaran tersebut sangat
diperlukan. Investasi adalah aspek makroekonomi yang mendorong pertumbuhan.
Indikasinya disektor pertanian terjadi underinvestment maka perlu ditingkatkan.
Secara khusus masing-masing instrumen kebijakan fiskal yang secara nyata
mampu mendorong peningkatan kinerja sektor pertanian adalah: peningkatan PDB
pertanian didorong oleh peningkatan PPh, PPn, anggaran sektor pertanian, anggaran
penelitian dan pengembangan pertanian, investasi, dan konsumsi agregat.
Peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian didorong oleh peningkatan
PPh, PPn, anggaran sektor pertanian, anggaran penelitian dan pengembangan
pertanian, desentralisasi fiskal, dan investasi agregat. Peningkatan ekspor produk
pertanian didorong oleh peningkatan PPh, subsidi pertanian, anggaran infrastruktur
pertanian dan konsumsi agregat. Peningkatan impor produk pertanian didorong oleh
peningkatan subsidi pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, investasi, dan
konsumsi agregat. Peningkatan kesejahteraan petani didorong oleh peningkatan PPh
dan anggaran infrastruktur pertanian.
6. Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Agroindustri
Instrumen kebijakan fiskal yang penting dan bisa mendorong banyak unsur
kinerja agroindustri adalah: pajak penghasilan, anggaran penelitian dan
297
pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, desentralisasi fiskal
disamping itu juga variabel makroekonomi (investasi dan konsumsi). Pajak
penghasilan, anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, dan anggaran
infrastruktur pertanian disamping penting untuk meningkatkan kinerja sektor
pertanian, juga penting untuk meningkatkan kinerja agroindustri. Artinya
memajukan pertanian primer dan kegiatan sekunder dalam industri pertanian masih
membutuhkan dukungan ketiga hal tersebut. Desentralisasi fiskal menjadi harapan
baru untuk memajukan agroindustri, tentu dengan syarat ada pemahaman yang
benar dari pemimpin lokal bahwa memajukan pertanian dan agroindustri adalah
sumber yang bisa untuk mencapai kemakmuran di daerahnya. Investasi dan
konsumsi juga penting dalam memajukan agroindustri. Hal ini sesuai dengan
karakter agroindustri (dibandingkan dengan pertanian primer) yang lebih padat
modal dan harus menyesuaikan tarikan (driven) konsumen dalam strategi
industrinya.
Adapun masing-masing instrumen kebijakan fiskal yang secara nyata
mendorong peningkatan kinerja agroindustri adalah: peningkatan nilai tambah input
didorong oleh peningkatan anggaran infrastruktur pertanian. Peningkatan nilai
tambah output didorong oleh peningkatan PPh dan anggaran infrastruktur pertanian.
Peningkatan daya saing agroindustri didorong oleh peningkatan PPh, PPn, dan
desentralisasi fiskal.
7. Keefektifan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian
Keefektifan kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian ditunjukkan
olah respon dinamik kinerja sektor pertanian atas guncangan instrumen kebijakan
298
fiskal dan peran instrumen kebijakan fiskal dalam menjelaskan variabilitas kinerja
sektor pertanian dengan adanya guncangan tersebut.
Respon kinerja sektor pertanian atas guncangan instrumen kebijakan fiskal
mencapai keseimbangan rata-rata pada triwulan ke 30.9 atau 8 tahun. Secara lebih
spesifik masing-masing respon adalah sebagai berikut:
a. Guncangan pajak penghasilan, dalam jangka pendek meningkatkan PDB
pertanian dan penyerapan tenaga kerja pertanian namun menurunkan ekspor dan
impor produk pertanian serta kesejahteraan petani. Dalam jangka panjang
meningkatkan PDB pertanian, penyerapan tenaga kerja pertanian dan
kesejahteraan petani namun menurunkan ekspor dan impor produk pertanian.
b. Guncangan pajak pertambahan nilai, dalam jangka pendek menurunkan PDB
pertanian dan penyerapan tenaga kerja pertanian namun meningkatkan ekspor
dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani. Dalam jangka panjang
menurunkan PDB pertanian namun meningkatkan penyerapan tenaga kerja
pertanian, ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani.
c. Guncangan anggaran sektor pertanian dalam jangka pendek menurunkan PDB
pertanian dan ekspor produk pertanian namun meningkatkan penyerapan tenaga
kerja pertanian, impor produk pertanian dan kesejahteraan petani. Dalam jangka
panjang menurunkan ekspor produk pertanian namun meningkatkan PDB
pertanian, penyerapan tenaga kerja pertanian, impor produk pertanian, dan
kesejahteraan petani.
d. Guncangan subsidi pertanian dalam jangka pendek menurunkan PDB pertanian,
ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani namun
299
meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian. Dalam jangka panjang
meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan ekspor produk pertanian namun
menurunkan PDB pertanian, impor produk pertanian, dan kesejahteraan petani.
e. Guncangan anggaran penelitian dan pengembangan pertanian dalam jangka
pendek meningkatkan PDB pertanian namun menurunkan penyerapan tenaga
kerja pertanian, ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani.
Dalam jangka panjang meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian dan
impor produk pertanian namun menurunkan PDB pertanian, ekspor produk
pertanian dan kesejahteraan petani.
f. Guncangan anggaran infrastruktur pertanian dalam jangka pendek maupun
panjang menurunkan PDB pertanian dan penyerapan tenaga kerja pertanian
namun meningkatkan ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan
petani.
g. Guncangan desentralisasi fiskal dalam jangka pendek dan panjang menurunkan
semua parameter kinerja sektor pertanian (PDB pertanian, penyerapan tenaga
kerja pertanian, ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani).
h. Guncangan investasi dalam jangka pendek maupun panjang meningkatkan PDB
pertanian, penyerapan tenaga kerja pertanian, dan impor produk pertanian
namun menurunkan ekspor produk pertanian dan kesejahteraan petani.
i. Guncangan konsumsi dalam jangka pendek dan panjang meningkatkan PDB
pertanian, ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani namun
menurunkan kesempatan kerja pertanian.
300
Secara keseluruhan, guncangan instrumen kebijakan fiskal yang direspon
dengan peningkatan kinerja sektor pertanian dalam jangka panjang adalah: pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai, anggaran sektor pertanian, anggaran
infrastruktur pertanian, disamping itu juga investasi dan konsumsi.
Instrumen kebijakan fiskal yang berperan (efektif) dalam mempengaruhi
variabilitas kinerja sektor pertanian di Indonesia adalah: subsidi pertanian, anggaran
infrastruktur pertanian, pajak pertambahan nilai, anggaran penelitian dan
pengembangan pertanian, dan desentralisasi fiskal.
Respon kinerja sektor pertanian atas guncangan instrumen kebijakan fiskal
dan keefektifan kebijakan fiskal dalam mempengaruhi kinerja sektor pertanian
relatif kecil menandakan kebijakan fiskal selama rentang analisis kurang efektif
mendorong kinerja sektor pertanian.
8. Keefektifan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Agroindusti
Adapun respon kinerja agroindustri atas guncangan instrumen kebijakan
fiskal mencapai keseimbangan rata-rata pada triwulan ke 28.9 atau 7 tahun. Secara
spesifik, masing-masing respon adalah sebagai berikut:
a. Guncangan pajak penghasilan dalam jangka pendek maupun panjang
menurunkan nilai tambah input dan output namun meningkatkan daya saing
agroindustri.
b. Guncangan pajak pertambahan nilai dalam jangka pendek menaikkan nilai
tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri. Dalam jangka
pajang meningkatkan nilai tambah input dan output namun menurunkan daya
saing agroindustri.
301
c. Guncangan anggaran sektor pertanian dalam jangka pendek maupun panjang
menurunkan nilai tambah input dan output serta daya saing agroindustri.
d. Guncangan subsidi pertanian dalam jangka pendek meningkatkan nilai tambah
input dan output namun menurunkan daya saing agroindustri. Dalam jangka
panjang meningkatkan nilai tambah input namun menurunkan nilai tambah
output dan daya saing agroindustri.
e. Guncangan anggaran penelitian dan pengembangan pertanian dalam jangka
pendek menurunkan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing
agroindustri. Dalam jangka panjang menaikkan nilai tambah input, nilai tambah
output dan menurunkan daya saing agroindustri.
f. Guncangan anggaran infrastruktur pertanian dalam jangka pendek dan panjang
meningkatkan nilai tambah input, nilai tambah output namun menurunkan daya
saing agroindustri.
g. Guncangan desentralisasi fiskal dalam jangka pendek menurunkan nilai tambah
input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri. Dalam jangka panjang
menyebabkan penurunan nilai tambah input, nilai tambah output namun
meningkatkan daya saing agroindustri.
h. Guncangan investasi dalam jangka pendek dan panjang menurunkan nilai
tambah input dan nilai tambah output namun meningkatkan daya saing
agroindustri.
i. Guncangan konsumsi dalam jangka pendek meningkatkan nilai tambah input
dan daya saing agroindustri namun menurunkan nilai tambah output. Dalam
302
jangka panjang menurunkan nilai tambah input dan daya saing agroindustri
namun meningkatkan nilai tambah output.
Secara keseluruhan, instrumen kebijakan fiskal yang direspon dengan
peningkatan kinerja agroindustri dalam jangka panjang adalah: pajak pertambahan
nilai, anggaran penelitian dan pengembagan pertanian, dan anggaran infrastruktur
pertanian.
Instrumen kebijakan fiskal yang berperan (efektif) dalam mempengaruhi
variabilitas kinerja agroindustri di Indonesia adalah: anggaran infrastruktur
pertanian, desentralisasi fiskal, dan pajak pertambahan nilai.
Respon kinerja agroindustri atas guncangan instrumen kebijakan fiskal dan
keefektifan kebijakan fiskal dalam mempengaruhi kinerja agroindustri relatif kecil
menandakan kebijakan fiskal selama rentang analisis kurang efektif mendorong
kinerja agroindustri.
9. Keterkaitan antara Kinerja Pertanian dengan Kinerja Agroindustri
Respon kinerja agroindustri atas guncangan kinerja sektor pertanian
mencapai keseimbangan rata-rata pada triwulan ke 28.92 atau 7 tahun. Masing-
masing respon adalah sebagai berikut:
a. Guncangan PDB pertanian dalam jangka pendek dan panjang menurunkan nilai
tambah input dan nilai tambah output namun meningkatkan daya saing
agroindustri.
b. Guncangan penyerapan tenaga pertanian dalam jangka pendek maupun
panjanng menurunkan nilai tambah input, nilai tambah output serta daya saing
agroindustri.
303
c. Guncangan ekspor produk pertanian dalam jangka pendek dan panjang
meningkatkan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing
agroindustri.
d. Guncangan impor produk pertanian dalam jangka pendek dan panjang
menurunkan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing
agroindustri.
e. Guncangan kesejahteraan petani dalam jangka pendek meningkatkan nilai
tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri. Dalam jangka
panjang meningkatkan nilai tambah input dan nilai tambah output namun
menurunkan daya saing agroindustri.
Secara keseluruhan, guncangan kinerja sektor pertanian yang direspon
dengan peningkatan kinerja agroindustri dalam jangka panjang adalah: ekspor
produk pertanian dan kesejahteraan petani.
Kinerja sektor pertanian yang berperan (terkait efektif) dalam
mempengaruhi variabilitas kinerja agroindustri di Indonesia adalah: PDB pertanian,
ekspor produk pertanian, dan impor produk pertanian. Respon kinerja agroindustri
atas guncangan kinerja sektor pertanian relatif lambat namun keterkaitannya sangat
kuat/efektif.
9.2. Kesimpulan
Kesimpulan umum dari penelitian ini adalah; selama rentang waktu analisis
(1970-2005) kebijakan fiskal di Indonesia tidak efektif memperbaiki kinerja sektor
pertanian dan kinerja agroindustri. Adapun kesimpulan secara spesifik sebagai
berikut:
304
1. Kondisi fiskal, kinerja sektor pertanian dan agroindustri
a. Selama periode 1970-2005, ada dua perubahan pokok dalam tata kelola
fiskal, pertama perubahan dari T-account (berimbang) menjadi I-account
dimana defisit menjadi determinan penting. Kedua, fiskal sentralistik
menjadi desentralistik setelah krisis moneter tahun 1997. Krisis moneter
tahun 1997 berpengaruh nyata pada struktur data deret waktu.
b. Dorongan fiskal sebagai investasi publik di sektor pertanian belum optimal
dan bertendensi menurun (undervalue) serta alokasi anggaran untuk sektor
petanian dan agroindustri terjadi gejala kurang tepat sasaran (misalocation)
dan kurang fokus pada fasilitas publik pertanian (seperti infrastuktur
pertanian dan agroindustri) dan strategi pertumbuhan jangka panjang
(seperti penelitian dan pengembangan pertanian).
c. Kinerja sektor pertanian sejak tahun 1970-2005 menurun, yang ditandai oleh
penurunan PDB dan produktivitas pertanian, penyerapan dan produktivitas
tenaga kerja sektor pertanian, dan pangsa ekspor produk pertanian. Impor
produk pertanian cenderung meningkat, terutama pasca krisis moneter 1997.
Kesejahteraan petani tertekan karena kebijakan industri yang menciptakan
over value pada nilai tukar rupiah.
d. Kinerja agroindustri secara absolut meningkat ditandai oleh peningkatan
nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri. Namun
pertumbuhannya menurun terutama setelah krisis moneter 1997.
e. Gejala ketidakterkaitan (decoupling) antara sektor pertanian dan
agroindustri secara indikatif terjadi mulai tahun 1995.
305
2. Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Sektor Pertanian dan Agroindustri:
a. Model VECM dapat menjelaskan dengan baik fenomena hubungan
struktural ekonomi jangka panjang antara kebijakan fiskal dengan kinerja
sektor pertanian dan kinerja agroindustri.
b. Dalam jangka panjang, instrumen kebijakan fiskal yang penting dan bisa
mendorong banyak unsur kinerja sektor pertanian adalah: pajak penghasilan,
anggaran sektor pertanian, anggaran penelitian dan pengembangan
pertanian, anggaran infrastruktur pertanian disamping itu juga variabel
makroekonomi (investasi).
c. Dalam jangka panjang, instrumen kebijakan fiskal yang penting dan bisa
mendorong banyak unsur kinerja agroindustri adalah: pajak penghasilan,
anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur
pertanian, desentralisasi fiskal disamping itu juga variabel makroekonomi
(investasi dan konsumsi).
3. Instrumen kebijakan fiskal yang efektif mempengaruhi kinerja sektor pertanian dan agroindustri:
a. Guncangan instrumen kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang direspon
dengan peningkatan kinerja sektor pertanian adalah: PPh, PPn, anggaran
sektor pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, disamping itu juga
investasi dan konsumsi.
b. Guncangan instrumen kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang direspon
dengan peningkatan kinerja agroindustri adalah: PPn, anggaran penelitian
dan pengembangan pertanian, dan anggaran infrastruktur pertanian.
306
c. Respon kinerja sektor pertanian dan agroindustri atas guncangan instrumen
kebijakan fiskal mencapai keseimbangan relatif lama, rata-rata pada
triwulan ke 30.9 atau 8 tahun, dan triwulan ke 28.9 atau 7 tahun.
d. Instrumen kebijakan fiskal yang efektif/berperan dalam mempengaruhi
variabilitas kinerja sektor pertanian dalam jangka panjang di Indonesia
adalah: subsidi pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, anggaran
penelitian dan pengembangan pertanian, pajak pertambahan nilai, dan
desentralisasi fiskal.
e. Instrumen kebijakan fiskal yang efektif/berperan dalam mempengaruhi
variabilitas kinerja agroindustri di Indonesia adalah: anggaran infrastruktur
pertanian, desentralisasi fiskal, dan pajak pertambahan nilai.
4. Keterkaitan antara kinerja sektor pertanian dengan agroindustri:
a. Guncangan kinerja sektor pertanian dalam jangka panjang yang direspon
dengan peningkatan kinerja agroindustri adalah: ekspor produk pertanian,
dan kesejahteraan petani.
b. Respon kinerja agroindustri atas guncangan kinerja sektor pertanian
mencapai keseimbangan pada triwulan ke 28.92 atau sekitar 7 tahun.
c. Kinerja sektor pertanian yang terkait/efektif dalam mempengaruhi
variabilitas kinerja agroindustri di Indonesia adalah: PDB pertanian, ekspor
produk pertanian, dan impor produk pertanian .
5. Secara keseluruhan sebagaimana disajikan pada Tabel 49, instrumen kebijakan
fiskal yang berperan penting dan efektif dalam mempengaruhi variabilitas dan
peningkatan kinerja sektor pertanian dan agroindustri adalah: pajak penghasilan,
307
pajak pertambahan nilai, anggaran penelitian dan pengembangan pertanian,
anggaran infrastruktur pertanian dan desentralisasi fiskal.
Tabel 49. Rangkuman Hubungan Jangka Panjang antara Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Sektor Pertanian dan Kinerja Agroindustri
Instrumen Kebijakan Fiskal yang Penting dan Efektif Meningkatkan Kinerja
(Berdasar Analisis)
Kinerja Kointegrasi (Banyak berhubungan signifikan bertendensi
positif)
IRF (Respon jangka panjang meningkatkan kinerja)
FEVD (Berperan Efektif
mempengaruhi variabilitas kinerja)
Sektor Pertanian
1. Pajak penghasilan 2. Anggaran sektor
pertanian 3. Anggaran penelitian
dan pengembangan pertanian
4. Anggaran infrastruktur pertanian
1. Pajak penghasilan 2. Pajak pertambahan
nilai 3. Anggaran sektor
pertanian 4. Anggaran
infrastruktur pertanian
1. Pajak pertambahan nilai
2. Subsidi pertanian 3. Anggaran
penelitian dan pengembangan pertanian
4. Anggaran infrastruktur pertanian
5. Desentralisasi fiskal
Agro industri
1. Pajak penghasilan 2. Anggaran penelitian
dan pengembangan pertanian
3. Anggaran infrastruktur pertanian
4. Desentralisasi fiskal
1. Pajak pertambahan nilai
2. Anggaran penelitian dan pengembangan pertanian
3. Anggaran infrastruktur pertanian
1. Pajak pertambahan nilai
2. Anggaran infrastruktur pertanian
3. Desentralisasi fiskal
Sektor pertanian dan agro industri
Instrumen kebijakan fiskal yang berpengaruh, guncangannya direspon peningkatan kinerja dan efektif terhadap sektor pertanian dan agroindustri:
1. Penerimaan pajak penghasilan 2. Penerimaan pajak pertambahan nilai 3. Anggaran penelitian dan pengembangan pertanian 4. Anggaran infrastruktur pertanian 5. Desentralisasi fiskal
(Berdasarkan frekuensi yang paling banyak muncul pada pengaruh signifikan [kointegrasi], magnitude respon meningkat [IRF] dan magnitude peran efektif [FEVD] dari instrumen tersebut dalam meningkatkan/berpengaruh pada variabel kinerja sektor pertanian dan agroindustri)
308
9.3. Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan penelitian, implikasi kebijakan
dirumuskan sebagai berikut (selengkapnya disajikan pada Tabel 50) :
1. Perkuatan pemahaman eksekutif dan legislatif tentang perlunya membangunan
perekonomian Indonesia berbasis pertanian dan industri pertanian secara
konsisten, visioner dan antisipatif terhadap konstelasi perubahan internal dan
eksternal. Memajukan kinerja sektor pertanian dan agroindustri perlu
mengutamakan instrumen kebijakan fiskal: (a) penerimaan pajak penghasilan,
(b) penerimaan pajak pertambahan nilai, (c) anggaran penelitian dan
pengembangan pertanian, (d) anggaran infrastruktur pertanian, dan (e)
desentralisasi fiskal.
2. Diperlukan insentif pajak di sektor pertanian dan agroindustri serta perbaikan
penatalaksanaan sistem pajak di pusat dan di daerah.
3. Merevitalisasi anggaran sektor pertanian untuk mengoptimalkan kapasitas
sumberdaya pertanian dengan misi pertanian Indonesia jangka panjang. Alokasi
anggaran lebih banyak untuk fasilitasi publik pertanian (advokasi, sustainability,
dan perkuatan program).
4. Subsidi lebih dikonsentrasikan untuk produksi pertanian (input pertanian) dan
didekatkan kepada petani.
5. Misi penelitian pertanian; harus dapat segera digunakan/dikembangkan oleh
petani dan industri pertanian serta melibatkan pihak swasta.
6. Perkuatan dan peningkatan kapasitas kebijakan infrastruktur pedesaan dan
agroindustri.
7. Meratifikasi porsi DAU antar daerah dan meningkatkan intervensi alokasi
anggarana sektor pertanian di daerah dengan instrumen DAK.
309
8. Untuk memajukan agroindustri, perlu mendorong perubahan struktur ekspor
produk pertanian primer ke olahan, mereposisi struktur impor olahan produk
pertanian ke impor barang modal pertanian.
9. Dorongan fiskal yang kuat pada sektor pertanian dan agroindustri dapat
meningkatkan kesejahteraan petani.
Tabel 50. Implikasi Kebijakan Analisis Kefektifan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian dengan Penekanan pada Agroindustri di Indonesia
No. Aspek Kebijakan yang Ada
Kebijakan yang Disarankan
Dasar: (Tren data, Kointegrasi,
IRF, dan FEVD) 1 Kelembaga
an dan visi Ekonomi-politik kurang mendorong sektor pertanian dan agroindustri, tidak konsisten, dan kebijakan bernuansa jangka pendek.
1. Perkuatan pemahaman eksekutif dan legislatif tentang perlunya membangunan perekonomian Indonesia berbasis pertanian dan industri pertanian secara konsisten, visioner dan antisipatif terhadap perubahan.
2. Instrumen kebijakan fiskal yang perlu ditingkatkan anggarannya adalah anggaran untuk: (a) penelitian dan pengembangan pertanian, (b) infrastruktur pertanian, (c) desentralisasi fiskal, juga (d) meningkatkan penerimaan dari pajak penghasilan, dan (e) meningkatkan penerimaan dari pajak pertambahan nilai.
1. Sektor pertanian mengalami under investment.
2. Alokasi belanja semua Instrumen kebijakan fiskal untuk sektor pertanian cenderung menurun.
3. Instrumen kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang paling penting dan efektif mempengaruhi kinerja sektor pertanian dan agroindustri adalah: (a) pajak penghasilan, (b) pajak pertambahan nilai, (c) anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, (d) anggaran infrastruktur pertanian, dan (e) desentralisasi fiskal.
310
Tebel 50. Lanjutan
No. Aspek Kebijakan yang Ada
Kebijakan yang Disarankan
Dasar: (Tren data, Kointegrasi,
IRF, dan FEVD) 2 Pajak PPh
dan PPn 1. Pajak
progresif. 2. Pemungutan
ganda dan tumpang tindih dengan pajak pusat dan darah.
1. Dimungkinkan insentif pajak dengan tarif: a. Proporsional, atau b. Regresif.
2. Perbaikan penatalaksaan sistem pajak di pusat dan di daerah.
1. PPh (guncangan jangka panjang direspon kenaikan kinerja sektor pertanian [SP]).
2. PPn (guncangan jangka panjang direspon kenaikan kinerja SP dan kinerja agroindustri [AGRIN]).
3. Instrumen kebijakan fiskal efektif.
3 Anggaran Sektor Pertanian
1. Under value dan misalocation untuk investasi publik pada kapasitas sumberdaya pertanian yang ada.
2. Terjebak pada anggaran penyelamatan (jangka pendek).
3. Alokasi anggaran untuk intervensi sektor usaha pertanian (mikro).
1. Alokasi anggaran terencana untuk misi pertanian Indonesia jangka panjang.
2. Alokasi anggaran lebih banyak untuk fasilitasi publik pertanian (infrastruktur, advokasi, sustainability, dan perkuatan program).
1. Kenaikkan anggaran sektor pertanian (EA) meningkatkan kinerja SP.
2. Guncangan EA dalam jangka panjang direspon menaikkan kinerja SP.
4 Subsidi Pertanian
1. Porsi subsidi pertanian terhadap total subsidi cukup besar.
2. Alokasi sebagian besar untuk subsidi harga produk pertanian (bias konsumen).
1. Subsidi pertanian selektif bermatra dua (mendorong produktivitas, dan menaikkan daya beli konsumen pertanian).
2. Subsidi untuk produksi pertanian (input pertanian) ditingkatkan dan didekatkan kepada petani.
1. Kenaikannya meningkatkan PDB pertanian.
2. Guncangan dalam jangka pendek direspon kenaikan AGRIN.
3. Instrumen kebijakan fiskal efektif untuk SP.
311
Tabel 50. Lanjutan
No. Aspek Kebijakan yang Ada
Kebijakan yang Disarankan
Dasar: (Tren data, Kointegrasi,
IRF, dan FEVD) 5 Penelitian
dan Pengemba ngan Pertanian
1. Penelitian pertanian dominan pada tanaman pangan dan perkebunan.
2. Penelitian tanaman pangan mengalami kejenuhan (pasca revolusi hijau).
1. Intensifikasi penelitian pertanian, ekstensifikasi untuk penelitian non pangan dan perkebunan.
2. Misi penelitian pertanian harus dapat segera digunakan/kembangkan oleh petani dan industri pertanian.
3. Mempercepat transfer hasil penelitian pertanian untuk mempercepat peningkatan produktivitas.
4. Penggalian inovasi dari biodiversitas pertanian asli Indonesia dengan melibatkan swasta.
1. Kenaikannya meningkatkan kinerja SP dan AGRIN.
2. Guncangannya dalam jangka panjang direspon peningkatan kinerja AGRIN.
3. Instrumen kebijakan efektif dan kuat untuk SP.
6 Infrastruk tur Pertanian
1. Penurunan kapasitas dan utilitas infrastruktur pertanian.
2. Infrastruktur agroindustri kurang memadai.
1. Perkuatan kebijakan infrastruktur pedesaan dan agroindustri terutama dalam hal: a. Sarana irigasi, b. Pasar pertanian, c. Informasi teknologi
dan pasar, serta d. Jalan desa.
2. Peningkatan aksesibilitas pasar input dan output pertanian/ agroindustri.
1. Kenaikkannya jangka panjang direspon kenaikkan kinerja SP dan AGRIN.
2. Instrumen efektif dan paling kuat berpengaruh pada SP dan AGRIN.
7 Desentralisasi Fiskal
1. Fiskal yang disentralisasi masih sumber utama anggaran daerah.
2. Kontrol pusat atas alokasi anggaran di daerah (untuk misi memajukan pertanian) lemah.
1. Meratifikasi desentralisasi fiskal dengan DAU selektif antar daerah.
2. Meningkatkan intervensi perkuatan belanja pertanian di daerah dengan instrumen anggaran DAK.
1. Instrumen efektif peningkatan kinerja SP dan AGRIN.
312
Tabel 50. Lanjutan
No. Aspek Kebijakan yang Ada
Kebijakan yang Disarankan
Dasar: (Tren data, Kointegrasi,
IRF, dan FEVD) 8 Memajukan
agroindustri 1. Kebijakan
industri kurang menyentuh agroindustri.
2. Belum ada kebijakan khusus yang mendorong kemajuan agroindustri.
1. Mendorong Pertumbuhan PDB pertanian yang tinggi.
2. Merubah struktur ekspor produk pertanian primer ke olahan.
3. Merubah struktur impor olahan produk pertanian ke impor barang modal pertanian.
1. Jangka panjang shock XA, dan WP direspon kenaikan kinerja AGRIN.
2. GDPA, XA, dan IMA instrumen efektif untuk kinerja AGRIN.
9 Kesejahteraan petani
Kesejahteraan petani tertekan kebijakan industri.
Dorongan fiskal pada sektor pertanian dan agroindustri secara memadai dan konsisten untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Kesejahteraan petani, nilai tambah input dan output dipengaruhi oleh sebagian besar variabel kebijakan fiskal dan variabel makro ekonomi.
9.4. Saran Penelitian Lanjutan
1. Pajak (PPh dan PPn) berpotensi memperbaiki kinerja sektor pertanian dan
agroindustri. Penelitian untuk merumuskan pajak optimal pada sektor
pertanian dan agroindustri disarankan agar pada tingkat tertentu mampu
mendorong kinerja sektor pertanian dan agroindustri lebih optimal.
2. Anggaran penelitian dan pengembangan pertanian berhubungan nyata dengan
seluruh variabel kinerja sektor pertanian dan agroindustri. Penelitian mengenai
efektivitas, produktivitas dan outcome inovasi dan nilai tambah dari kegiatan
penelitian dan pengembangan pertanian penting dilakukan.
3. Disamping penelitian dan pengembangan pertanian, infrastruktur pertanian
juga merupakan instrumen yang kuat dalam mempengaruhi kinerja sektor
313
pertanian dan agroindustri. Penelitian lebih mendalam khusus mengenai
infrastruktur pertanian dan kaitannya dengan jenis dan tatakelola menjadi
penting, lebih-lebih pada era otonomi daerah.
4. Subsidi adalah instrumen fiskal yang masih efektif untuk mendorong kinerja
sektor pertanian meskipun lebih bersifat jangka pendek. Penelitian mendalam
mengenai level subsidi pertanian optimal serta bentuk-bentuk ”perlindungan”
sektor pertanian yang optimal masih layak dilakukan.
5. Peningkatan PDB pertanian dan neraca perdagangan pertanian (ekspor/impor)
mampu mengangkat kinerja agroindustri. Penelitian kinerja agroindustri
khususnya ditingkat perekonomian daerah/lokal, dan pendalaman struktur
industri pertanian hilir-hulu diperlukan mengingat heterogenitas komoditi dan
disparitas tingkat industri yang sangat beragam antar daerah.
6. Desentralisasi fiskal masih merupakan tantangan bagi efektifitas memajukan
sektor pertanian dan agroindustri di daerah. Penelitian mengenai efektivitas
dorongan fiskal yang didelegasikan ke daerah terhadap sektor pertanian dan
agroindustri di tingkat perekonomian lokal masih layak dilakukan.
7. Penelitian untuk mendalami respon kinerja sektor pertanian dan agroindustri
yang panjang (7-8 tahun) terhadap guncangan instrumen kebijakan fiskal
disarankan untuk mencari jawab atas fenomena tersebut.
8. Penelitian berikutnya untuk mendalami pengaruh kebijakan fiskal pada
kinerja masing-masing subsektor pertanian (tanaman pangan, hortikultura,
perekebunan, peternakan dan perikanan) sangat disarankan untuk lebih
mendalami instrumen kebijakan apa yang efektif mempengaruhinya?
Sehingga saran implementasi kebijakan akan lebih tajam dan spesifik.
DAFTAR PUSTAKA ADB, SEAMEO, SEARCA, Crescent, CASER, and Ministry of Agriculture RI,
2005. Agricultural and Rural Development Study. ADB TA NO. 3843-INO, Jakarta.
ADB. 2006. Asian Development Outlook 2006. Asian Development Bank,
Bangkok. ARIC-ADB. 2007. Key Indicators of Developing 2005: Asian and The Pacific
Countries. Asian Development Bank, Bangkok. Alexandrates, N. 1995. World Agriculture: Towards 2010. Food and Agriculture
Organization of The United Nation and John Wiley and Sons, New York. Amisano, G. and C. Giannini. 1997. Topics in Structural VAR Econometrics.
Springer, Berlin. Arifin, B. 2001. Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia: Telaah Struktur, Kasus,
dan Alternatif Strategi. Erlangga, Jakarta. _______. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit Buku Kompas,
Jakarta. _______. 2008. Ekonomi Pertanian dalam Era Revitalisasi Pertanian: Harmonisme
Mikro-Usahatani dengan Makro-Kebijakan. Dalam R. Wibowo, H. Siregar, dan A. Daryanto. Mungkinkah Petani Sejahtera? Prosiding Konferensi Nasional Ke XV Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI). Surakarta 3-4 Agustus 2007. Brighten Press, Bogor.
Arnade, C. 1998. ‘Using a Programming Approach to Measure International
Agricultural Efficiency and Productivity’. Journal of Agricultural Economics, 49:67-84.
Arndt, H.W. 1973. Regional Income Estimates. Buletin Indonesia Economies
Study, 15(3):107-122. Asian Productivity Organization. 2002. Structural Adjustment in Agriculture in
Asia and The Pacific. Asian Productivity Organization. Tokyo. Asnawi. 2004. Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Kinerja Sektor
Pertanian di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
315
Astuti, E. 2005. Dampak Investasi Sektor Pertanian terhadap Perekonomian dan Upaya Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Atkinson, A.B. and J.E. Stiglizt. 1976. ‘The structure of Indirect Taxation and
Economic Efficiency’. Journal of Public Economics, 1:97-119. Bafadal, A. 2005. Dampak Defisit dan Utang Pemerintah terhadap Stabilitas
Makroekonomi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Balitbangtan. 2006. Statistik Penelitian Pertanian: Sumberdaya, Program dan Hasil
Penelitian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
__________. 2005. ‘One Research, One Industry Mungkinkah?’ Agrotek. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia, 10:11-16.
Bappenas. 2000. Proceedings Renewing Poverty Reduction Strategy in Indonesia.
Bappenas. Jakarta. Basri, F. 2004. Tinjauan Bisnis Dan Perekonomian Indonesia Setelah 5 Tahun
Kelahiran UU No.5/1999. Disampaikan pada Seminar Sehari ‘Refleksi Lima Tahun UU No. 5 Tahun 1999’. Diselenggarakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 13 April 2004, Medan.
Bawazier, F. 2004. Kebijakan dalam Tax Reform 1994 dan Tax Reform 1997.
Dalam H. Subiyantoro dan S.Riphat (editor). Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Blue. E. N. and L. Tweeten. 1997. ‘The Estimation of Marginal Utility of Income
for Application to Agricultural Policy Analysis’. Agricultural Economics, 16: 155-169.
Boadway, R.W. 1979. Public Sector Economics. Winthrop Publisher, Cambridge. Boediono. 1979. Sebuah Model Makro Triwulanan Untuk Indonesia. Ekonomi dan
Keuangan Indonesia, 27(3):351-381. ________. 1990. Fiscal Policy in Indonesia, Paper Presented to The Second
Convention of The East Asian Economic Association, Bandung. ________. 2005. Kebijakan Fiskal Konservatif-RAPBN 2005 Bukan Obat
Perangsang. Badan Keuangan Negara, Jakarta. Booth, A. 1988. Agricultural Development in Indonesia. Allen and Unwin, Sydney.
316
_______. 2002. ‘The Changing Role of Non-farm Activities in Agricultural Households in Indonesia: Some Insights from the Agricultural Censuses’. Bulleting of Indonesian Economic Studies, 38(2):179-200.
BPS. (1970-2006). Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ____. (1970-2006). Indikator Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ____. 2004. Statistik Nilai Tukar Petani di Indonesia (Pangan dan Perkebunan
Rakyat) 2000-2003. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bradley, J. and K.Whelan. 1997. ‘The Irish Expansionary Fiscal Contraction: A
Tale from One Small European Economy’. Economic Modelling, 14: 175-201.
Braun dan L. Greenwood. 2007. Pemerintahan di Asia Makin Menjauhi Petani:
Pemberantasan Kemiskinan Makin Sulit. Kompas. 10 Agustus 2007:9, Jakarta.
Buiter, W.H. 2002. ‘The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique’. The
Economic Journal, 112: 459-480. Canton, E. 2001. ‘Fiscal Policy in a Stochastic Model of Endogenous Growth’.
Economic Modelling, 18: 19-47. Cohen, D. 2002. ‘Fiscal Sustainability and Contingency Trust Fund’. Government
at Risk: Contingent Liabilities and Fiscal Risk. The MIT Press, Cambridge. Cullis, J. and P. Jones. 1992. Public Finance and Public Choice, Analytical
Perspectives. Mc Graw Hill, London. Daltona, T.J. and W. A. Masters. 1998. ‘Pasture Taxes and Agricultural
Intensification in Shouthern Mali’. Agricultural Economics, 19: 27-32. Darmansyah, S. 2003. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Kinerja Ekonomi
Tanaman Pangan Indonesia: Suatu Pendekatan Multi Komoditi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Daryanto, A. 2008. Mutlak! Kembali ke Negara Pertanian. Trobos, 8(101): 9-10. Departemen Keuangan. 2001. Mempertahankan Kelangsungan Anggaran Negara.
Tim Asistensi Menteri Keuangan, Jakarta. Dhrymes, P.J. and D.D. Thomakos. 1997. Structural VAR, MARMA and Open
Economy Model. Manuscript, Columbia University, Columbia.
317
Direktorat Bina Produktivitas. 2003. Pengukuran dan Analisis Produktivitas Total Faktor (PTF) Sektor Industri Pengolahan. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri, Jakarta.
Djojosubroto, D. I. 2004. Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia. Dalam H. Subiyantoro dan S. Riphat (editor). Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Druska, V. and W.C. Horrace. 2004. ‘Generalized Moments Estimation for Spatial
Panel Data: Indonesian Rice Farming’. American Journal of Agricultural Economics, 86(1):185-198.
Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second Edition. John Wiley
and Sons, Alabama. Engle, R.F. and C.W.J. Granger. 1987. ‘Cointegration and Error Correction:
Representation, Estimation and Testing’. Review of Economic and Statistics, 64(2):231-53.
Enrique, A.C. 2008. Dealing with International Price Shoks and High Energy
Prices. Paper Seminar on Impact of High International Commodity Prices: Evidence, Challanges and Oportunities. 10th June 2008. FEM-IPB and World Bank, Jakarta.
Emmerson, D.K. 1988. The Military and Development in Indonesia. In J.S.
Djiwandono and Y.M. Cheong (editor). Soldiers and Stability in Shoutheast Asia. Institute of Shoutheast Asian Studies, Singapura.
Erwidodo. 2008. Permasalahan dan Target Ekspor Produk Pertanian. Paparan pada
Konpernas Ke XV Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. Surakarta, 3-4 Agustus 2007.
Esposti, R. and P. Pierani. 2000. ‘Modelling Technical Change in Italian
Agriculture: a Latent Variable Approach’. Agricultural Economics, 22: 261–270.
Evenson, R.E., E. Abdurachman, B. Hutabarat, and A. C. Tubagus. 1997.
‘Contribution of Research on Food and Horticultura Crops in Indonesia: An Economic Analysis’. Ekonomi dan Kauangan Indonesia, 45(4):551-578.
____________. 2003. ‘Modern Variety (MV) Production: A Syntesis’. In Crop
Variety Improvement and Its Effect an Productivity: The Impact of International Agricultural Research. CAB International, Wellingford.
____________. and D. Gollin. 2003. Assessing The Green Revolution, 1960-2000.
Science, 300: 758-762.
318
Fan, S. and X. Zhang. 2002. ‘Production and Productivity Growth in Cinese Agriculture: New Nation and Regional Measures’. Economic Development and Cultural Change, 50(4): 819-838.
______, P. Hazell, and S. Thorat. 1999. ‘Linkages between Government Spending,
Growth, and Poverty in Rural India’. Research Report 110. International Food Policy Research Institute, Washington DC.
FAO. (1970-2006). Statistical Year Book Series. Food and Agricultural
Organisation, Rome. Foster, A.D. and M.R. Rosenzweig. 2004. ‘Agricural Produktivity Growth, Rural
Economic Diversity, and Economic Reform: India, 1970-2000’. Economic Development and Cultural Change, 52(3): 509-541.
Franseda, 2004. Kebijakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN)
Berimbang dan Dinamis. Dalam H. Subiyantoro dan S. Riphat (editor). Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Fuglie, K.O. 2004. ‘Productivity Growth in Indonesian Agriculture, 1961-2000’.
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40(2): 209-225. Fulginiti, L.E. and R.K. Perrin. 1998. ‘Agricultural Productivity in Developing
Countries’. Agricultural Economics, 19: 45-51. Gafar, J. 1997. ‘The Supply Response of Aggregate Agricultural Output in
Jamaica’. Agricultural Economics, 16: 205-217. Gemmella, N., O. Morrisseya, and A. Pinar. 2003. ‘Tax Perceptions and the
Demand for Public Expenditure: Evidence from UK Micro-Data’. European Journal of Political Economy, 19: 793–816.
Ghatak, S. and K. Ingersent. 1984. Agriculture and Economic Development.
Harvester Press, Sussex. Gillis, M. 1985. Micro and Macroeconomics of Tax Reform: Indonesia. Journal of
Development Economics. 19:221-254. Ginting, R. 2006. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan dan
Distribusi Pendapatan di Sumatera Utara: Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Goodpaster and Ray. 2000. Competition Policy and Decentralization. Partnership
for Economic Growth Project, Jakarta.
319
Grossmann, V. 2003. Income Inequality, Voting Over the Size of Public Consumption, and Growth. European Jurnal of Political Economic. 19:265–287.
Gupta, K.L. 1997. ‘Public Fiscal Behaviour and Foreign Aid: Some Model
Solutions’. Economic Modelling, 14: 203-214. Hall, V.B. and D. Rae. 1998. ‘Fiscal Expansion, Monetary Policy, Interest Rate
Risk Premia, and Wage Reactions’. Economic Modelling, 15:621-640. Haryanto, A. Aspek Hukum dalam Penetapan Kebijakan Keuangan Negara. 2004.
Dalam H. Subiyantoro dan S. Riphat (editor). Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Harris, R.I.D. 1995. Using Cointegration Analysis in Econometric Modelling.
Prentice Hall/Harvester wheatsheaf, London. Hayami, Y. and V. Ruttan. 1985. Agricultural Development: Revised and Expanded
Edition. Johns Hopkins University, New York. Hendry, D. F. 1995. Dynamic Econometrics. Oxford University Press, Oxford. Herjanto, E. 2003. Dampak Kebijakan Perdagangan Luar Negeri terdahap Kinerja
Sektor Agroindustri Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hicks, P.A. 1995. An Overview of Issues and Strategies in The Development of
Food Processing Industries in Asia and The Pacific. Asian Productivity Organization Symposium, 28 September-5 October 1995, Tokyo.
_________. 2000. Ekonomi Indonesia. Terjemahan. Murai Kencana, Jakarta. Hill, H. 1996. The Indonesian Economy Since 1966: Shoutheast Asia’s Emerging
Giant. Cambridge University Press. Diterjemahkan oleh Tim PAU Ekonomi Universitas Gadjah Mada (A. Abimanyu dan F. Umaya [Penyunting]). Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966, Sebuah Studi Kritis dan Komprehensif. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Hsiao, C. 1997. Cointegration and Dynamic Simultaneous Equation Model.
Econometrica, 65(3):18-32. Huffman, W.E. and R.E. Evenson. 2001. ‘Structural and Productivity Change in US
Agriculture, 1950–1982’. Agricultural Economics, 24: 127–147. Hussain, A. and A. Chowdhury. 2001. Open-Economy Macroeconomics for
Developning Countries. Edward Elger, Cheltenham, Northampton.
320
Hutagalung, J. 2004. Peran Bank Dunia dan IMF dalam Perekonomian Indonesia. Dalam H. Subiyantoro dan S. Riphat (editor). Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Hutahaean, P., Purwiyanto, A. Hadiyanto, Askolani, dan S.L. Rahayu. 2002. Bunga
Rampai Kebijakan Fiskal. Badan Analisis Fiskal Departemen Keuangan RI, Jakarta.
IMF. 2007. International Financial Statistic (IFS). CD-ROM. July 2007.
International Moneteray Fun, New York. Insukindro. 1984. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Cadangan Devisa dan Angka
Pengganda Uang Terhadap Jumlah Uang Beredar di Indonesia. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 32(4):447-454.
Irawan, A. 2005. ‘Analisis Perilaku Sektor Pertanian Indonesia: Aplikasi Vector
Error Correction Model’. Jurnal Manajemen dan Agribisnis, 2(1): 53-72. James, S. and C. Nobes. 1992. The Economics of Taxation. Fourth Edition.
Prentice Hall International, United Kingdom. Joewono, H.H. 2008. Analisis Daya Saing, Keterkaitan dan Sumber-Sumber
Pertumbuhan Agroindustri Indonesia, Thailand dan China. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Johansen, S. 1988. Statistical Analysis of Cointegrating Vectors. Journal of
Economic Dynamics and Control, 12(2): 231-254. Kasryno. F. 2006. Mengembalikan Kemandirian Petani sebagai Penggerak
Pembangunan Ekonomi Pedesaan Berkelanjutan. Dalam YAPADI. 2006. Membalik Arus Menuai Kemandirian Petani. Yayasan Padi, Bogor.
Keating. J.W. 1992. Structural Approaches to Vector Autoregressions. Federal
Reserve Bank of St. Louis, St. Louis. Keefer, P. and S. Khemani. 2005. ‘Democracy, Public Expenditures, and the Poor:
Understanding Political Incentives for Providing Public Services’. The World Bank Research Observer, 20(1):1-27.
Khan, M.H. 2001. ‘Agricultural Taxation in Developing Countries: A Survey of
Issues and Policy’. Agricultural Economics, 24: 315–328. Klundertu, T.V.D. and R. Nahuis. 1998. ‘Economic Development and Trade in The
World Economy’. Economic Modelling, 15: 287-305.
321
Koundouri, P., C. Nauges, and V. Tzouvelekas. 2006. ‘Technology Adaption Under Production Uncertainty: Theory and Application to Irrigation Technology’. American Journal of Agricultural Economics, 88(3): 657-670.
Koutsoyiannis, A. 1979. Modern Microeconomics. Second Edition. The Macmillan
Press Ltd, London. Kuroda, Y. 1997. ‘Research and Extension Expenditures and Productivity in
Japanese Agriculture, 1960-1990’. Agricultural Economics,16: 111 – 124. Kuznets, S. 1964. ‘Economic Growth and the Contribution of Agriculture’. In C.K.
Eicher and L.W. Witt (editor), Agriculture in Economic Development. Mc Graw-Hill, New York.
Labys, W.C. 1973. Dynamic Commodity Models: Specification, Estimation and
Simulation. D.C. Heath and Company, Lexington. Lall, S. and K. Rao. 1995. Indonesia: Sustaining Manufactured Export Growth.
Asian Development Bank, Jakarta. Lawang, R. 2006. ‘Masyarakat Anti Desa’. Kompas. 16 Nopember 2006: 15,
Jakarta. Leith, C., P. Warren, Simon, and W. Lewis. 2003. ‘Fiscal Policy, Interest Rate
Shocks and Prices’. Economic Modelling, 20: 361–382. Linblad, J.T. (editor). 2002. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Pusat Studi Sosial
Asia Tenggara UGM Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Litvack, J., J. Ahmad, and R.M. Bird. 1998. Rethingking Decentralization in
Developing Countries. The World Bank Sector Studies Series. The World Bank, Washington D.C.
Makrydakisa, S., E. Tzavalis, and A. Balfoussias. 1999. ‘Policy Regime Changes
and the Long-Run Sustainability of Fiscal Policy: An Application to Greece’. Economic Modelling, 16:71-86.
Malian, A.H. 2003. Analisis Ekspor Pertanian dan Sektor Industri Pertanian
Indonesia 1983-1997: Model Ekonomi Makro untuk Pertanian. Disertasi Doktor. Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Mangkoesoebroto, G. 1999. Ekonomi Publik. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi,
Yogyakarta. Mankiw, N. G. 2003. Macroeconomics. Fifth Edition. Worth Publishers, New York.
322
Martin, W. and P.G. Warr. 1992. ‘The Declining Economic Importance of Agriculture: A Supply-Side Analysis for Thailand’. Working Paper in Trade and Development No.92/1. Australian National University. Research School of Pacific Studies, Canberra.
_______________________. 1993. ‘Explaining the Relative Decline of
Agriculture: A Supply-Side Analysis for Indonesia’. The World Bank Economic Review, 7(3): 381-401.
Menteri Pertanian RI. 2005. ‘Jangan Lakukan Riset yang Tak Dibutukan Petani’.
Agrotek. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Republik Indonesia, 10:8-9.
Mirrlees, J.A. 1976. ‘An Exploration in the Theory of Optimum Income Taxation’.
Review of Economic Studies, 38:175-208. Mitchell, P.R., J.E. Sault, and K.F. Wallis. 2000. ‘Fiscal Policy Rules in
Macroeconomic Models: Principles and Practice’. Economic Modelling, 17:171-193.
Mukherjee, A.N. and Y. Kuroda. 2003. ‘Productivity Growth in Indian Agriculture:
Is There Evidence of Convergence Across States?’ Agricultural Economics, 29: 43–53.
Mundlak, Y., F.L. Donald, and B. Rita. 2002. ‘Determinants of Agricultural Growth
in Thailand, Indonesia, and The Philippines’. Discussion Paper No. 302. Center for Agricultural Economic Research, Hebrew University of Jerusalem.
Muslim, A. 2002. Structural Adjusment in Agriculture in Asia and The Pacific:
Indonesia. Asian Productivity Organization, Tokyo. Myles, G.D. 1997. Public Economics. Cambridge University Press, Cambridge. Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu
Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Norton, R.D. 2004. Agricultural Development Policy: Concept and Experiences.
Food and Agricultural Organization and John Wiley and Sons Ltd. West Sussex.
Oates, W.E. 1999. ‘An Essay on Fiscal Federalism’. Journal of Economic
Literature, 37:1120-1149. Pakpahan, A. 2004. ‘Mengapa Kita tertinggal?: Karena Kita Lalai Akan Dinamika
dan Kekuatan Rakyat’. Dalam Rekonstruksi dan Restrukturisasi Ekonomi
323
Pertanian: Beberapa Pandangan Kritis Menyongsong Masa Depan’. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Jakarta.
Pandiangan, L. 2005. Pemahaman Praktis Undang-Undang Perpajakan Indonesia.
Penerbit Erlangga, Jakarta. Panjaitan, M. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian
Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara: Suatu Pendekatan Ekonometrika. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pakasi, C.B.D. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah
Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pardede, R. 2004. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pembangunan Ekonomi
Kabupaten Tapanuli Utara dan Kotamadya Medan: Aplikasi Model Input-Output. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pindyck, R.S and D.L Rubinfeld. 1995. Microeconomics. Third Edition. Precentice
Hall, Englewood Cliffs, New Jersy. Pogue, T.F. and Sgontz, L.G. 1978. Government and Economic Choice, An
Introduction to Public Finance. Houghton Mifflin Company, Boston. Priyarsono, D.S., A. Daryanto, dan L. Herlina. 2005. Dapatkah Pertanian Menjadi
Mesin Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Agro-Ekonomika, (35)1:37-48.
Pryor, J. and T. Holt .1998. Agribusiness as An Engine of Growth. USAID,
Washington D.C. PSE UGM, LPEM-FEUI, dan PSP IPB. 2004. Pertanian, Transformasi Struktural
Tenaga Kerja dan Pembangunan Pedesaan di Indonesia. PSE Universitas Gadjah Mada, LPEM-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, PSP Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rasyid, R. 2002. Kendala Otonomi Daerah di Intern Pemerintah. Jurnal Pusat Studi
Pengembangan Kawasan, 2:1-13. Ray, D. 2003. ‘Desentralisasi, Reformasi Peraturan dan Iklim Usaha’. Ringkasan
Makalah untuk Konperensi PEG-USAID tentang Desentralisasi, Reformasi Peraturan dan Iklim Usaha, Hotel Borabudur, Jakarta, 12 Agustus 2003. Partnership for Economic Growth (PEG) USAID – Nathan Associates dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta.
324
Regional Economic Development Institute – REDI (2003) Final Report: Survei Persepsi Pelaku Usaha Tentang Otonomi Daerah dan Dampaknya terhadap Iklim Usaha di Daerah. In cooperation with the Partnership for Economic Growth and The Asia Foundation, Jakarta.
Revesz, J.T. 1986. ‘On some Advantages of Progressive Indirect Taxation’. Public
Finance, 41: 182-99. Riyanto dan H. Siregar. 2005. ‘Dampak Dana Perimbangan terhadap Perekonomian
Daerah dan Pemerataan antar Wilayah’. Jurnal Kebijakan Ekonomi, 1(1):15-35.
Romer, D. 2001. Advanced Macroeconomics. Second Edition. McGraw-Hill Book
Co, New York. Rosa, A. dan R. Bernadette. 2006. Analisis Keterkaitan dan Kinerja Agroindustri
Indonesia. Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana. Universitas Sriwijaya, Palembang.
Rosen, H.S. 2005. Public Finance. Seventh Edition. Mc Graw Hill, Boston. Rozelle, S and J.F.M. Swinnen. 2004. ‘Succes and Failure of Reform: Insights from
the Transition of Agriculture’. Journal of Economic Literature, 42: 404-456. Rusastra, I.W. dan A. Zulham. 1985. Alokasi Sumberdaya Penelitian Sektor
Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Agroekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Bogor.
____________, Sayaka, B. Waluyo, dan Syahyuti. 1999. Sistem Insentif Badan
Litbang Pertanian Serta Hubungannya dengan Kinerja BPTP/LPTP. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Bogor.
____________, A. Djauhari, E. Jamal, K. Kariyasa, Waluyo, R.A. Fadli, K. Hadi,
dan S. Bahri. 2000. Perumusan Kelembagaan BPTP/LPTP dalam Sistem Penelitian dan Pengembangan Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Bogor.
Saefudin. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian dan
Kelembagaan di Provinsi Riau. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sa’id, E.G. dan G.C. Dewi. 2006. Membangun Daya Saing Global Agribisnis/
Agroindustri. Magister Manajemen Agribisnis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
325
_________. dan L. Febriyanti. 2005. ‘Prospek dan Tantangan Agribisnis Indonesia 2005’. Economic Review Journal , 200:1-11.
Salmon, D.C. 1991. ‘Rice Productivity and the Return to Rice Research in
Indonesia. In R.E. Evenson and C.E. Pray (editor). Research and Productivity in Asian Agriculture. Cornell University Press, Ithaca.
Santoso, I.G. 1999. Kebijaksanaan dan Strategi Pengembangan Industri Agro.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta. Saragih, B. 1996. Transformasi Sektor Pertanian: Mencari Paradigma Baru.
Seminar Mencari Paradigma Baru Pembangunan Indonesia. CSIS, Jakarta. Saragih, J.P. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi.
Ghalia Indonesia, Jakarta. Sastrosoenarto, H. 2006. Industrialisasi Serta Pembangunan Sektor Pertanian dan
Jasa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sawit, H. 2008. Serbuan Impor Pangan yang Minim Perlindungan di Era
Liberalisasi. Dalam R. Wibowo, H. Siregar, dan A. Daryanto (editor). Mungkinkah Petani Sejahtera? Prosiding Konpernas Ke XV Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. Surakarta, 3-4 Agustus 2007. Brighten Press, Bogor.
Scrimgeour, F.G and E.C. Pasour. 1996. ‘A Public Choice Perspective on
Agricultural Policy Reform: Implications of the New Zaeland Experience’. American Journal of Agricultural Economics, 78(2): 257-267.
Shigehi, Y. 2004. Integrated Report of The Project: ‘Stabilization of Upland
Agricultural and Rural Development in El Nino Vulnerable Countries’. United Nations Economic and Social Commission for Asia and The Pacific – Center for Allevation of Poverty through Secondary Crops Development in Asia and The Pacific, Bogor.
Shimitzu, M.K. and K.N. Wainai. 1991. Value Added Produvtivity Measurement
and Practical Approach to Management Improvement. Productivity Series No. 23. Asian Productivity Organization, Tokyo.
Simatupang, P., I.W. Rusastra, and M. Maulana. 2004. How to Solve Supply
Bottleneck in Agricultural Sector. Paper Presented at the Thematic Workshop on Agriculture ‘ Agriculture Policy for the Future’. UNDP-UNSFIR. 12-13 February 2004, Jakarta.
Simorangkir, I. 2005. ‘Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal di Indonesia:
Suatu Kajian dengan Pendekatan Game Teori’. Makalah dalam Pararel
326
Session IVA: Lesson From Financial and Economic Crises. 17 November 2005, Jakarta.
Sinaga, R.S. 1998. Peluang Perekonomian Indonesia Melalui Pemahaman Konsep
dan Peran Agribisnis. Dies Natalis XI STIE IBII. IBII, Jakarta. SMERU. 1999. Monitoring the Regional Implementation of Indonesia’s Structural
Reforms and Deregulation Program: Lessons Learned to Date. Working Paper No.7. September 1999, Jakarta.
Sipayung, T. 2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Sektor Pertanian
dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Siregar, H. 2001. Empirical Evaluation of Rival Theories of The Business Cycle:
Application of Structural VAR Models to New Zealand Economy. Ph.D Thesis. Lincoln University, Canterbury.
________. and B.D. Ward. 2002. ‘Can Monetary Policy/Shocks Stabilize Indonesia
Macroeconomic Fluctuations?’ Monetary and Financial Management in Asia in The 21st Century. In A. H. H.Tan (editor). World Scientific Publishing Co. Pte, Ltd, New Jersey, London, Singapore, Hongkong.
________. dan L.M. Kolopaking. 2003. Semakin Membaikkah Kinerja Pertanian
Kita Setelah Krisis?: Analisis Ringkas Berdasarkan Indikator-indikator Agregat. Agrimedia, 8:8-15.
________. 2004. ‘Changes in Farmer Terms of Trade and Agricultural Net-Barter
Terms of Trade: An Empirical Analysis’. Jurnal Manajemen dan Agribisnis, 1(1):1-19.
_________. 2008. Penguatan Ketahanan Pangan, Pengembangan Bioenergi:
Bagaimana Menghindari Trade off-nya? Seminar Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. 7 Mei 2008, Jakarta.
Soediyono. 1985. Ekonomi Makro: Analisis IS-LM dan Permintaan Agregatif.
Liberty, Yogyakarta. Soelistyaningsih, L. 2005. ‘Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia dan Kaitannya
dengan Fiscal Sustainability’. Makalah dalam Pararel Session IIIB: Fiscal Sustainability, Debth, Public Finance. 16 November 2005, Jakarta.
Soetrisno, N. 2005. ‘Etik Sebagai Landasan Moral Pengembangan Kelembagaan
Ekonomi: Peradaban Ekonomi Pertanian dan Hutang Kita Kepada Mubyarto’. Agro Ekonomika. Edisi Khusus. 35: 1-20.
327
Stiglitz, J.E. 2000. Economics of the Public Sector. Third Edition. W.W. Norton and Company, New York.
_________. 2007. Making Globalization Work. Versi bahasa Indonesia. Mizan,
Jakarta. Subagjo, B. 2005. Defisit Anggaran, Utang Pemerintah dan Keberlanjutan Fiskal:
Aplikasi Model Vector Error Correction. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Subiyantoro, H. dan S. Riphat (editor). 2004. Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep,
dan Implementasi. Penerbut Buku Kompas, Jakarta. Sudaryanto, T., I.W. Rusastra, A. Syam, dan M. Ariani. 2002. Analisis
Kebijaksanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agroindustri. PPSE Balitbang Departemen Pertanian Republik Indonesia, Bogor.
Suhariyanto, K. 2001. ‘Agricultural Productivity Growth in Asia Countries’. In
G.H. Peters and P. Pingali (editor). Tommorow’s Agriculture: Incentives, Institutions, Infrastructure and Innovations. Proceedings of the 24th
International Conference of Agricultural Economists: 376-382. 13-18 August 2001, Berlin.
Sukirno, S. 2005. Makroekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran dari Klasik
hingga Keynesian Baru. Rajawali Press, Jakarta. Sumedi. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kesenjangan antar
Daerah dan Kinerja Perekonomian Nasional dan Daerah. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sumodiningrat, G. 2000. Pembangunan Ekonomi Melalui Pembangunan Pertanian. PT Bina Rena Pariwara, Jakarta. ______________. 2006. Kebijakan Subsidi Pupuk Anorganik, Pengembangan
Pertanian Organik, dan Penanggulangan Kemiskinan. Dalam YAPADI. 2006. Membalik Arus Menuai Kemandirian Petani. Yayasan Padi, Bogor.
Susanty, S. 2000. Strategi Peningkatan Produktivitas Berdasarkan Analisis Nilai
Tambah Pabrik Minyak Goreng Sawit. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Supriana, T. 2004. Damak Guncangan Struktural terhadap Fluktuasi Ekonomi
Makro Indonesia : Suatu Kajian Business Cycle dari Sisi Permintaan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
328
Swinnen, J.F.M., A.N. Banerjee, and D.H. Gorter. 2001. ‘Economic Development, Institutional Change, and The Political Economy of Agricultural Protection An Econometric Study of Belgium Since The 19th Century’. Agricultural Economics, 26: 25–43.
Syafa’at, N., P. Simatupang, S. Mardianto, dan Khudori. 2005. Pertanian Menjawab
Tantangan Ekonomi Nasional: Argumen Teoretis, Faktual dan Strategi Kebijakan. Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.
Tambunan, M. 1992. ‘Agricultural Development in the Economics Structural
Changes and the Role of Agro-Industries in Rural Industrialization in Indonesia’. Development Strategies for the 21st Century. Institute of Developing Economics, Tokyo.
____________. dan Ubaidillah. 2004. UKM dibawah Pemerintahan SBY-JK (2004-
2009) : Momentum Baru Menjadikan UKM Berdaya Saing dan Naik Kelas? Infokop, 25: 5-11.
____________. 2008. Ketahanan Pangan dan Energi Nasional: Pilihan Dilematis?
Makalah disampaikan pada Orasi Ilmiah Sekolah Tinggi Manajemen LABORA, 19 Maret 2008, Hotel Kartika Chandra, Jakarta.
Tambunan, T.T.H. 2003a. Perekonomian Indonesia Beberapa Masalah Penting.
Ghalia Indonesia, Jakarta. _______________. 2003b. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa
Isu Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta. Timmer, C. P. 1996. ‘Does Bulog Stabilize Rice Prices in Indonesia? Should It
Try?’ Bulletin of Indonesian Economic Studies, 32 (2): 45-74. Tim INDEF. 2005. Indonesia 2005: Ekonomi Ungu Violet: Karena Begitu
Sempitnya Waktu, Begitu Besarnya Masalah. INDEF, Jakarta. Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics: An Introduction. Manchester
Metropolitan University, Manchester. Todaro, M. P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Keempat.
Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Tuij, V.M.A., R.J. Groof, and H.J. Kolnaar. 1997. Fiscal Policy and Public Capital
in Interdependent Economies. Economic Modelling, 14: 279-300. Turnovsky, S.J. 1981. Macroeconomic Analysis and Stabilization Policy.
Cambridge University Press, Cambridge.
329
Umetsu, C. 2003. Efficiency and Technical Change in The Philippines Rice Sector: A Malmquist Total Factor Productivity Analysis. American Journal of Agricultural Economics, 85(4):943-963.
UNESCAP-CAPSA. 2005. ‘Implementing Decentralization’. United Nations
Economic and Social Commission for Asia and The Pacific – Center for Allevation of Poverty through Secondary Crops Development in Asia and The Pacific, Bogor.
United Nations. 2007. Economic and Social Survey of Asia and The Pacific 2007:
Surging Ahead in Uncertain Times. Economic and Social Commission for Asia and The Pacific, New York.
Usman, M. 2004. Reformasi Sektor Fiskal dan Finansiil Indonesia dalam Dekade
1970an dan 1980. Dalam H. Subiyantoro dan S. Riphat (editor). Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Distribusi Pendapatan dan
Tingkat Kemiskinan. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Van der Eng, P. 1996. Agricultural Growth in Indonesia: Productivity Change and
Policy Impact Since 1880. St Martin’s Press, New York. Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. John Wiley and Sons Ltd.
West Sussex. Wainai, K.N. 1984. Principles of Value Added Productivity Analysis. National
Productivity Broad, Singapore. Wei, W.W.S. 1990. Time Series Analysis: Univariate and Multivariate Methods.
Addison Wesly, California. Wardana, A. 2004. Economic Reform in Indonesia: The Transition From Resource
Dependence to International Competitiveness. Dalam H. Subiyantoro dan S. Riphat (editor). Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Wibowo, R. 2008. Prospek Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Agroindustri
Indonesia. Makalah Wawancara, [email protected]. Winoto, J. dan H. Siregar. 2008. Dinamika Penggunaan Lahan Pertanian dan
Kaitannya dengan Kesejahteraan Petani dan Global Warming: Peran Ilmu Ekonomi Pertanian. Dalam R. Wibowo, H. Siregar, dan A. Daryanto (editor). Mungkinkah Petani Sejahtera? Prosiding Konpernas Ke XV Perhimpunan
330
Ekonomi Pertanian Indonesia. Surakarta, 3-4 Agustus 2007. Brighten Press, Bogor.
World Bank. 1994. Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia: Issues and
Reform Options. World Bank Discussion Paper No. 239. The World Bank, Washington D.C.
__________. 2003. ‘Indonesia Maintaining Stability, Deepending Reforms’. Report
No. 25330-IND. The World Bank, Washington D.C. __________. 2005. Investing for Growth and Recovery. The World Bank Brief for
The Consultantive Group on Indonesia. June 14, 2006, Jakarta. __________. 2006. World Development Indicators. The World Bank, Washington
D.C. __________. 2007. Memulihkan Daya Saing. The World Bank, Jakarta. Wuryanto, L.E. 1996. Fiscal Decentralization and Economic Performance in
Indonesia: Interregional Computable General Equilibrium Approach. PhD Dissertation. Cornell University, Cornell.
Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya
Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Zalmu, G. 1998. The Relevance of Economic Modelling for Policy Decisions.
Economic Modelling, 15: 309-316. Zhang, X. and S. Fan. 2004. ‘How Productive is Infrastructure?: A New Approach
and Evidence from Rural India’. American Journal of Agricultural Economics, 86(2): 492-50.
LAMPIRAN
331
Lampiran 1. Data Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian dengan Penekanan pada Agroindustri di Indonesia
THN/Q PPh (M Rp)
PPn (M Rp)
DEF (M Rp)
U (M Rp)
EA (M Rp)
SP (M Rp)
RDA (J Rp)
IA (M Rp)
DF (M Rp)
1970 Q1 3.130 4.074 2.435 18.260 1.972 0.000 99.814 5.298 12.667 Q2 3.001 4.406 8.725 19.245 1.752 0.000 130.471 5.326 14.853 Q3 3.230 4.737 6.590 20.230 1.533 0.000 161.127 5.355 17.040 Q4 3.024 5.068 -17.659 21.216 1.313 0.000 191.784 5.383 19.227
1971 Q1 3.930 5.466 12.902 21.547 7.741 0.000 318.064 4.471 8.550 Q2 4.292 5.824 0.579 22.270 10.180 0.000 386.969 4.124 5.592 Q3 4.834 6.181 0.850 22.994 12.620 0.000 455.875 3.776 2.633 Q4 4.088 6.539 4.654 23.717 15.059 0.000 524.781 3.429 3.325
1972 Q1 15.826 7.640 4.678 23.409 10.463 0.000 472.458 5.369 7.683 Q2 20.442 8.295 4.651 23.720 10.088 0.000 492.872 5.937 9.111 Q3 25.058 8.950 4.624 24.030 9.713 0.000 513.286 6.505 10.539 Q4 29.674 9.605 4.597 24.341 9.338 0.000 533.700 7.073 11.967
1973 Q1 30.719 11.768 3.628 22.995 10.166 5.680 560.444 8.247 20.653 Q2 33.906 13.026 3.224 22.643 10.272 8.570 583.390 9.057 24.984 Q3 37.094 14.284 2.821 22.291 10.378 9.210 606.336 9.868 29.316 Q4 40.281 15.542 2.417 21.939 10.484 9.540 629.282 10.678 33.647
1974 Q1 49.203 18.386 25.500 14.066 22.759 62.625 637.459 31.986 41.728 Q2 54.684 20.279 33.500 10.705 27.732 84.375 654.498 40.995 47.559 Q3 60.166 22.171 -19.980 7.345 32.706 106.125 671.536 50.005 53.391 Q4 65.647 24.064 -31.580 3.984 37.679 127.875 688.574 59.014 59.222
1975 Q1 68.706 26.584 7.420 6.541 51.488 64.547 850.364 51.281 63.381 Q2 73.219 28.728 181.500 5.547 59.996 52.266 925.303 53.594 68.544 Q3 77.731 30.872 -67.980 4.553 68.504 39.984 1000.243 55.906 73.706 Q4 82.244 33.016 -105.740 3.559 77.012 27.703 1075.182 58.219 78.869
1976 Q1 87.444 36.534 6.670 3.488 79.719 48.328 1465.817 72.094 75.578 Q2 92.231 39.228 8.530 2.863 85.906 49.209 1667.035 79.031 77.359 Q3 97.019 41.922 -568.910 2.238 92.094 50.091 1868.252 85.969 79.141 Q4 101.806 44.616 -209.090 1.613 98.281 50.972 2069.470 92.906 80.922
1977 Q1 111.859 46.997 -193.406 6.519 92.750 23.588 2004.337 94.688 104.094 Q2 118.753 49.566 -192.969 8.106 94.250 13.163 2099.015 99.563 114.431 Q3 125.647 52.134 -192.531 9.694 95.750 2.738 2193.693 104.438 124.769 Q4 132.541 54.703 -192.094 11.281 97.250 7.688 2288.370 109.313 135.106
1978 Q1 133.638 53.616 -233.844 10.384 105.938 22.825 2373.135 131.219 126.459 Q2 138.213 54.722 -250.281 10.978 110.313 28.775 2463.848 142.906 129.203 Q3 142.788 55.828 -266.719 11.572 114.688 34.725 2554.560 154.594 131.947 Q4 147.363 56.934 -283.156 12.166 119.063 40.675 2645.273 166.281 134.691
1979 Q1 177.484 50.759 -312.406 14.338 140.313 50.969 2882.619 123.438 153.638 Q2 192.278 48.953 -333.969 15.563 151.438 58.656 3031.985 113.313 162.863 Q3 207.072 47.147 -355.531 16.788 162.563 66.344 3181.351 103.188 172.088 Q4 221.866 45.341 -377.094 18.013 173.688 74.031 3330.717 93.063 181.313
1980 Q1 248.800 73.706 918.400 7543.360 227.156 78.000 3401.665 130.594 115.428 Q2 268.450 83.969 2115.200 7731.590 255.219 117.000 3519.664 139.531 94.609 Q3 288.100 94.231 1222.600 7934.290 283.281 97.000 3637.663 148.469 73.791 Q4 307.750 104.494 -3535.700 7847.410 311.344 182.000 3755.662 157.406 52.972
1981 Q1 314.275 101.660 1456.000 8326.360 273.781 169.000 3989.773 141.813 101.606 Q2 328.675 106.684 3320.100 8079.070 275.594 129.000 4154.217 140.938 108.569 Q3 343.075 111.708 1836.600 8281.770 277.406 102.000 4318.661 140.063 115.531
332
Lampiran 1. Lanjutan
THN/Q PPh (M Rp)
PPn (M Rp)
DEF (M Rp)
U (M Rp)
EA (M Rp)
SP (M Rp)
RDA (J Rp)
IA (M Rp)
DF (M Rp)
Q4 357.475 116.732 -5460.600 8527.910 279.219 175.000 4483.105 139.188 122.494 1982 Q1 387.891 113.157 1870.000 10346.570 405.094 189.000 4510.859 154.250 83.331
Q2 408.697 114.741 2801.300 10576.100 456.531 105.000 4620.627 159.750 71.844 Q3 429.503 116.326 1981.200 10752.660 507.969 74.000 4730.395 165.250 60.356 Q4 450.309 117.910 -5204.000 10982.190 559.406 124.000 4840.163 170.750 48.869
1983 Q1 464.975 119.434 1859.000 13279.760 353.656 191.000 4646.856 158.594 265.209 Q2 483.325 120.995 3525.900 17961.860 302.219 81.000 4635.394 157.031 344.853 Q3 501.675 122.555 1755.200 17961.860 250.781 96.000 4623.933 155.469 424.497 Q4 520.025 124.116 -5691.400 18314.050 199.344 1.000 4612.471 153.906 504.141
1984 Q1 503.813 195.384 1662.100 19129.660 405.094 147.000 4281.272 143.125 228.691 Q2 508.338 224.828 3763.700 19408.770 456.531 109.000 4141.916 137.875 166.297 Q3 512.863 254.272 2738.400 20117.270 507.969 129.000 4002.559 132.625 103.903 Q4 517.388 283.716 -7563.800 20976.070 559.406 2.000 3863.203 127.375 41.509
1985 Q1 515.053 350.206 2670.100 26823.880 396.625 492.000 9987.245 188.375 140.397 Q2 516.834 394.469 3330.600 27366.040 362.375 175.000 12353.248 209.625 142.516 Q3 518.616 438.731 2564.100 27624.210 328.125 207.000 14719.252 230.875 144.634 Q4 520.397 482.994 -7356.700 27779.110 293.875 0.000 17085.255 252.125 146.753
1986 Q1 600.819 519.819 1778.400 33613.070 295.563 94.000 15379.891 222.594 142.528 Q2 634.056 561.106 2185.200 34179.050 275.688 133.000 16117.347 223.531 142.109 Q3 667.294 602.394 1547.500 34084.720 255.813 158.000 16854.803 224.469 141.691 Q4 700.531 643.681 -2158.700 47290.970 235.938 1.000 17592.259 225.406 141.272
1987 Q1 693.409 671.281 221.700 59236.420 433.563 175.000 8283.644 144.000 103.369 Q2 710.503 707.094 -397.300 59157.600 500.688 114.000 5002.672 112.000 87.956 Q3 727.597 742.906 -514.000 58999.950 567.813 492.000 1721.700 80.000 72.544 Q4 744.691 778.719 1343.300 59945.840 634.938 1.000 1559.272 48.000 57.131
1988 Q1 962.191 801.563 -249.400 60815.890 487.219 149.000 3821.335 124.125 93.844 Q2 1059.447 832.188 -796.800 61173.170 468.406 190.000 4004.994 135.375 99.281 Q3 1156.703 862.813 75.600 61927.410 449.594 10.000 4188.654 146.625 104.719 Q4 1253.959 893.438 4290.400 64348.930 430.781 2.000 4372.314 157.875 110.156
1989 Q1 1314.716 1021.719 95.100 70098.180 566.344 8.000 4660.579 163.813 73.875 Q2 1397.372 1091.406 937.800 70268.840 609.281 155.000 4886.081 172.938 62.625 Q3 1480.028 1161.094 581.200 71762.110 652.219 0.000 5111.583 182.063 51.375 Q4 1562.684 1230.781 -426.300 72188.750 695.156 0.000 5337.085 191.188 40.125
1990 Q1 1828.575 1334.375 -628.500 77346.500 681.531 123.000 5895.058 164.844 64.344 Q2 1984.525 1417.625 1293.500 78474.000 701.844 0.000 6253.549 159.781 67.281 Q3 2140.475 1500.875 -60.400 76850.400 722.156 155.000 6612.039 154.719 70.219 Q4 2296.425 1584.125 -3043.600 77346.500 742.469 110.000 6970.530 149.656 73.156
1991 Q1 2293.281 1713.313 -2556.400 80201.650 597.000 110.000 9545.795 197.875 781.094 Q2 2385.594 1814.938 1666.700 81344.780 551.000 33.000 10790.995 214.125 1066.031 Q3 2477.906 1916.563 1030.400 82396.450 505.000 142.000 12036.196 230.375 1350.969 Q4 2570.219 2018.188 1858.600 82853.700 459.000 127.000 13281.396 246.625 1635.906
1992 Q1 2867.578 2094.344 -597.700 89296.040 570.344 0.000 12898.331 246.000 1219.750 Q2 3041.909 2185.781 2843.000 90612.800 587.281 175.000 13492.226 255.500 1224.250 Q3 3216.241 2277.219 2524.700 93685.250 604.219 0.000 14086.120 265.000 1228.750 Q4 3390.572 2368.656 -1584.500 95538.470 621.156 0.000 14680.014 274.500 1233.250
1993 Q1 3479.481 2510.875 -869.000 99675.900 669.500 0.000 15503.566 269.000 1462.750 Q2 3619.644 2622.625 939.300 99833.280 699.000 0.000 16189.323 272.500 1557.250 Q3 3759.806 2734.375 1163.200 113203.530 728.500 0.000 16875.080 276.000 1651.750 Q4 3899.969 2846.125 486.500 110325.280 758.000 265.000 17560.838 279.500 1746.250
333
Lampiran 1. Lanjutan
THN/Q PPh (M Rp)
PPn (M Rp)
DEF (M Rp)
U (M Rp)
EA (M Rp)
SP (M Rp)
RDA (J Rp)
IA (M Rp)
DF (M Rp)
1994 Q1 4315.538 3183.031 -799.800 118629.460 707.031 175.000 20308.951 265.813 1724.813 Q2 4565.863 3384.844 243.400 125866.700 704.344 141.000 21819.650 262.438 1772.938 Q3 4816.188 3586.656 -1411.100 128981.180 701.656 0.000 23330.350 259.063 1821.063 Q4 5066.513 3788.469 -1843.600 126932.180 698.969 0.000 24841.049 255.688 1869.188
1995 Q1 5042.259 3508.250 -3362.800 127763.860 676.906 50.000 24810.938 320.438 1959.344 Q2 5182.753 3517.250 2784.700 132242.560 666.469 0.000 25705.313 344.313 2024.281 Q3 5323.247 3526.250 -193.200 125528.060 656.031 0.000 26599.688 368.188 2089.219 Q4 5463.741 3535.250 -4927.000 124896.450 645.594 212.000 27494.063 392.063 2154.156
1996 Q1 6198.328 4187.844 -4636.200 123261.040 738.906 143.000 28615.000 381.719 2233.469 Q2 6576.459 4454.281 -1975.800 124716.030 769.969 0.000 29600.000 391.906 2304.156 Q3 6954.591 4720.719 974.400 126297.680 801.031 0.000 30585.000 402.094 2374.844 Q4 7332.722 4987.156 1580.400 122606.750 832.094 368.000 31570.000 412.281 2445.531
1997 Q1 6983.666 4906.719 -6357.100 120282.400 1094.250 342.000 34297.344 398.250 2419.813 Q2 7070.922 5034.406 -4812.400 125856.830 1217.750 1445.000 35979.281 398.750 2451.938 Q3 7158.178 5162.094 -2835.700 124828.160 1341.250 1251.000 37661.219 399.250 2484.063 Q4 7245.434 5289.781 10382.600 183083.740 1464.750 3618.000 39343.156 399.750 2516.188
1998 Q1 6706.425 5740.125 -4861.700 573121.120 2278.406 4447.000 30371.252 310.875 3143.313 Q2 6543.175 5996.875 -2275.300 303352.340 2677.969 313.000 27791.652 275.625 3413.438 Q3 6379.925 6253.625 4316.000 460813.580 3077.531 637.000 25212.053 240.375 3683.563 Q4 6216.675 6510.375 19081.400 425721.270 3477.094 1544.000 22632.454 205.125 3953.688
1999 Q1 13786.988 7466.813 -474.700 578169.030 2424.469 209.000 31651.448 351.906 4326.000 Q2 16717.163 8003.438 -5744.200 627950.370 2243.156 6261.000 33711.286 389.469 4637.000 Q3 19647.338 8540.063 -1919.500 1000415.020 2061.844 5726.000 35771.123 427.031 4948.000 Q4 22577.513 9076.688 39373.700 1028481.880 1880.531 6177.000 37830.961 464.594 5259.000
2000 Q1 15736.000 8606.906 -10326.400 1071774.100 1766.406 551.000 31745.187 320.438 3193.438 Q2 14757.500 8740.969 7165.100 1114585.070 1611.969 554.000 30546.780 285.313 2553.813 Q3 13779.000 8875.031 9646.700 1299916.990 1457.531 554.000 29348.374 250.188 1914.188 Q4 12800.500 9009.094 9646.700 1307013.850 1303.094 555.000 28149.967 215.063 1274.563
2001 Q1 20128.094 12046.281 1259.400 1282866.170 1903.188 594.000 41777.870 771.828 10293.484 Q2 22472.031 13341.594 -350.900 1415474.700 2050.563 617.000 46509.987 973.459 13517.278 Q3 24815.969 14636.906 9416.400 1308687.610 2197.938 637.000 51242.104 1175.091 16741.072 Q4 27159.906 15932.219 30160.100 1315343.380 2345.313 588.000 55974.221 1376.722 19964.866
2002 Q1 24784.156 15426.125 5172.400 1362714.610 2272.375 1035.000 56299.392 987.213 16485.941 Q2 25240.219 16000.875 2841.800 1307725.900 2331.625 1094.000 59268.731 952.388 17028.647 Q3 25696.281 16575.625 8133.100 1312711.270 2390.875 1145.000 62238.069 917.563 17571.353 Q4 26152.344 17150.375 7504.900 1317902.650 2450.125 1234.000 65207.408 882.738 18114.059
2003 Q1 27493.094 18152.156 -4613.700 1287758.320 2666.563 1118.000 71379.400 1094.991 18518.750 Q2 28303.031 18897.719 7112.000 1253719.570 2788.688 1362.000 75629.800 1158.997 19006.250 Q3 29112.969 19643.281 20113.800 1275838.580 2910.813 1390.000 79880.200 1223.003 19493.750 Q4 29922.906 20388.844 13603.800 1315240.020 3032.938 1620.000 84130.600 1287.009 19981.250
2004 Q1 31698.000 20907.063 -419.916 762825.220 1837.250 1508.000 88155.000 1196.313 20046.875 Q2 32894.000 21561.688 -4209.472 738972.680 1432.250 1528.000 92315.000 1198.438 20365.625 Q3 34090.000 22216.313 -7999.028 730855.630 1027.250 1507.000 96475.000 1200.563 20684.375 Q4 35286.000 22870.938 -11788.584 768516.360 622.250 1547.000 100635.000 1202.688 21003.125
2005 Q1 39965.750 24036.500 -5006.594 794383.430 1132.297 4484.531 106157.500 1201.844 21571.875 Q2 42555.250 24895.500 -4567.531 773525.410 1093.316 5669.344 110862.500 1202.781 21990.625 Q3 45144.750 25754.500 -4128.469 769172.180 1054.334 6854.156 115567.500 1203.719 22409.375 Q4 47734.250 26613.500 -3689.406 792712.500 1015.353 8038.969 120272.500 1204.656 22828.125
334
Lampiran 1. Lanjutan
THN/Q I (M Rp)
KONS (M Rp)
GDPA (M Rp)
TKA (J org)
XA (J US$)
IMA (J US$)
WP (%)
NTI (M Rp)
NTO (M Rp)
DSA (Indeks)
1970 Q1 100.778 641.991 5971.013 7.468 228.734 109.608 0.579 27.602 28.716 0.087 Q2 109.359 662.797 6048.208 7.542 241.974 114.924 0.583 29.520 30.324 0.106 Q3 117.941 683.603 6125.402 7.616 255.213 120.240 0.591 31.438 31.932 0.113 Q4 126.522 704.409 6202.597 7.690 268.453 125.557 0.598 33.356 33.540 0.134
1971 Q1 133.244 695.044 6247.913 7.650 252.806 95.171 1.047 36.808 41.036 0.138 Q2 141.081 703.781 6312.356 7.678 254.492 86.207 1.315 39.340 44.999 0.157 Q3 148.919 712.519 6376.799 7.707 256.177 77.242 1.381 41.871 48.962 0.167 Q4 156.756 721.256 6441.242 7.735 257.862 68.278 1.408 44.403 52.925 0.183
1972 Q1 188.281 797.056 6444.824 7.763 247.704 97.976 1.258 44.254 51.465 0.150 Q2 205.594 832.619 6484.923 7.791 244.653 104.477 1.177 45.713 53.259 0.152 Q3 222.906 868.181 6525.022 7.819 241.601 110.978 1.126 47.172 55.053 0.139 Q4 240.219 903.744 6565.121 7.847 238.549 117.479 1.094 48.632 56.847 0.152
1973 Q1 269.094 1067.447 6621.549 7.874 252.431 177.074 1.233 62.486 69.871 0.152 Q2 291.031 1154.266 6668.180 7.902 256.153 204.813 1.555 68.904 76.157 0.160 Q3 312.969 1241.084 6714.810 7.930 259.875 232.552 1.546 75.321 82.444 0.159 Q4 334.906 1327.903 6761.441 7.957 263.596 260.291 1.534 81.738 88.730 0.174
1974 Q1 394.031 1583.284 6880.198 7.985 284.172 182.440 1.706 68.943 80.115 0.132 Q2 430.844 1737.528 6955.679 8.013 294.635 167.943 1.776 67.675 80.441 0.127 Q3 467.656 1891.772 7031.161 8.040 305.099 153.445 1.803 66.407 80.767 0.106 Q4 504.469 2046.016 7106.642 8.068 315.562 138.948 1.797 65.139 81.092 0.103
1975 Q1 561.859 2046.822 7139.578 8.096 292.715 141.800 0.986 75.003 92.224 0.381 Q2 606.903 2139.691 7198.041 8.124 289.854 134.243 0.944 78.188 96.872 0.506 Q3 651.947 2232.559 7256.504 8.152 286.993 126.685 0.891 81.372 101.519 0.586 Q4 696.991 2325.428 7314.967 8.180 284.132 119.128 0.902 84.557 106.167 0.761
1976 Q1 736.800 2454.766 7405.349 8.208 285.575 188.203 0.913 74.921 112.355 0.548 Q2 779.750 2562.222 7476.580 8.236 284.435 211.299 0.924 72.977 117.618 0.578 Q3 822.700 2669.678 7547.810 8.264 283.296 234.395 0.949 71.033 122.882 0.565 Q4 865.650 2777.134 7619.041 8.292 282.156 257.490 0.954 69.089 128.145 0.620
1977 Q1 882.709 2904.653 7961.304 8.320 276.790 241.375 1.195 82.675 136.344 0.476 Q2 915.303 3020.134 8140.948 8.348 273.959 248.786 1.223 86.943 142.781 0.464 Q3 947.897 3135.616 8320.592 8.375 271.129 256.198 1.225 91.212 149.219 0.414 Q4 980.491 3251.097 8500.236 8.403 268.298 263.609 1.234 95.480 155.656 0.423
1978 Q1 1079.147 3526.781 8418.270 8.431 289.004 268.993 1.212 106.937 170.375 0.423 Q2 1138.166 3706.344 8493.270 8.458 295.588 275.593 1.294 114.081 180.125 0.451 Q3 1197.184 3885.906 8568.270 8.486 302.172 282.194 1.247 121.224 189.875 0.431 Q4 1256.203 4065.469 8643.270 8.513 308.756 288.794 1.306 128.368 199.625 0.486
1979 Q1 1485.425 4472.563 8551.264 8.540 323.878 276.304 1.588 139.203 226.406 0.433 Q2 1612.525 4743.138 8559.461 8.567 333.878 275.268 0.154 147.823 242.969 0.457 Q3 1739.625 5013.713 8567.659 8.594 343.877 274.232 1.583 156.443 259.531 0.460 Q4 1866.725 5284.288 8575.856 8.621 353.876 273.196 1.631 165.063 276.094 0.494
1980 Q1 578.320 19640.000 8351.351 8.646 352.379 315.170 1.436 242.518 323.438 0.521 Q2 553.930 19640.000 8266.467 8.673 357.780 331.339 1.467 278.673 352.313 0.524 Q3 447.200 20640.000 8181.583 8.699 363.181 347.507 1.460 314.827 381.188 0.504 Q4 489.000 20640.000 8096.699 8.725 368.581 363.675 1.483 350.982 410.063 0.532
1981 Q1 700.020 21640.000 8661.148 8.825 322.544 298.238 1.673 335.188 411.125 0.553 Q2 741.820 21640.000 8835.998 8.880 307.369 281.764 1.573 350.563 428.875 0.575 Q3 769.620 23640.000 9010.847 8.936 292.195 265.289 1.545 365.938 446.625 0.544 Q4 766.810 21640.000 9185.697 8.992 277.020 248.815 1.457 381.313 464.375 0.610
335
Lampiran 1. Lanjutan
THN/Q I (M Rp)
KONS (M Rp)
GDPA (M Rp)
TKA (J Org)
XA (J US$)
IMA (J US$)
WP (%)
NTI (M Rp)
NTO (M Rp)
DSA (Indeks)
1982 Q1 1056.790 22640.000 9416.885 9.04934 283.118 268.084156 1.390 275.594 363.375 0.567 Q2 1146.470 23640.000 9614.270 9.10578 276.452 265.907219 1.398 242.531 333.625 0.581 Q3 2278.850 24640.000 9811.655 9.16222 269.786 263.730281 1.384 209.469 303.875 0.554 Q4 1084.300 24640.000 10009.040 9.21866 263.120 261.553344 1.400 176.406 274.125 0.607
1983 Q1 2528.710 26640.000 9966.286 9.27650 306.400 283.922344 1.050 372.406 485.469 0.671 Q2 2098.950 30780.000 10067.615 9.33350 348.900 291.563781 1.005 430.969 552.156 0.778 Q3 1705.820 30509.000 10168.945 9.39050 376.900 299.205219 0.995 489.531 618.844 0.860 Q4 2504.690 26155.000 10270.274 9.44750 418.900 306.846656 0.977 548.094 685.531 1.084
1984 Q1 604.790 30421.000 10118.846 9.50622 356.700 254.297594 0.839 542.594 667.531 0.839 Q2 682.180 30629.000 10119.072 9.56391 411.100 237.862831 0.821 575.531 700.344 0.845 Q3 1305.280 32594.000 10119.298 9.62159 423.900 221.428069 0.777 608.469 733.156 0.782 Q4 768.080 27588.000 10119.524 9.67928 427.200 204.993306 0.797 641.406 765.969 0.824
1985 Q1 1140.090 31034.000 10431.080 9.73869 335.100 203.270138 0.776 804.500 953.625 0.769 Q2 1248.350 32318.000 10555.838 9.79706 365.100 192.720013 0.800 889.500 1048.375 0.820 Q3 1281.310 33122.000 10680.597 9.85544 386.000 182.169888 0.785 974.500 1143.125 0.805 Q4 1052.250 28930.000 10805.355 9.91381 382.600 171.619763 0.777 1059.500 1237.875 0.910
1986 Q1 1197.420 31227.000 11090.288 9.97328 419.000 219.440231 0.863 1082.938 1249.813 0.747 Q2 1569.950 31480.000 11279.116 10.03209 426.600 232.238344 0.890 1143.313 1311.438 0.742 Q3 1303.560 34955.000 11467.944 10.09091 483.000 245.036456 0.859 1203.688 1373.063 0.679 Q4 1294.630 32170.000 11656.772 10.14972 514.600 257.834569 0.884 1264.063 1434.688 0.689
1987 Q1 3286.890 31735.000 11502.891 10.21009 349.000 263.501838 1.012 1325.063 1499.281 0.715 Q2 3285.930 33338.000 11554.635 10.26953 378.100 273.447613 1.024 1385.688 1562.094 0.758 Q3 3284.010 36625.000 11606.380 10.32897 482.700 283.393388 1.063 1446.313 1624.906 0.739 Q4 3295.520 34631.000 11658.124 10.38841 456.100 293.339163 1.043 1506.938 1687.719 0.834
1988 Q1 5084.230 33559.000 12271.509 10.44894 370.500 283.781594 1.022 1630.844 1815.375 0.713 Q2 5367.460 36092.000 12547.910 10.50881 467.000 285.926031 1.154 1716.781 1904.125 0.735 Q3 5392.190 39174.000 12824.310 10.56869 527.400 288.070469 1.108 1802.719 1992.875 0.664 Q4 5373.950 37399.000 13100.711 10.62856 544.200 290.214906 1.122 1888.656 2081.625 0.717
1989 Q1 6855.710 36178.000 13118.037 10.68922 370.500 314.522938 1.140 2141.625 2437.094 0.698 Q2 6866.380 40406.000 13290.807 10.74941 487.500 325.532813 1.139 2294.375 2632.531 0.716 Q3 7085.250 41606.000 13463.578 10.80959 519.900 336.542688 1.182 2447.125 2827.969 0.676 Q4 6988.390 39598.000 13636.348 10.86978 439.100 347.552563 1.161 2599.875 3023.406 0.731
1990 Q1 15877.410 42300.000 13187.521 10.93075 460.500 309.716656 1.122 2963.250 3291.188 0.707 Q2 23411.680 45550.000 13111.652 10.99125 501.500 301.188219 1.150 3200.250 3515.563 0.715 Q3 20060.630 48836.000 13035.783 11.05175 525.800 292.659781 1.112 3437.250 3739.938 0.707 Q4 15583.860 45505.000 12959.914 11.11225 595.400 284.131344 1.121 3674.250 3964.313 0.794
1991 Q1 21908.040 47684.000 12951.886 11.11681 557.600 370.573063 1.117 3788.281 4077.438 0.704 Q2 17073.910 46450.000 12903.154 11.15494 554.600 400.032688 1.153 3976.094 4257.313 0.685 Q3 9348.530 50867.000 12854.421 11.19306 595.500 429.492313 1.138 4163.906 4437.188 0.657 Q4 8369.210 51166.000 12805.689 11.23119 574.200 458.951938 1.134 4351.719 4617.063 0.721
1992 Q1 12899.280 46739.000 13464.656 11.26619 457.600 453.534375 1.166 5052.500 5316.938 2.258 Q2 10756.680 48378.000 13699.004 11.30306 522.200 469.043125 1.180 5445.500 5704.813 2.885 Q3 7162.280 55564.000 13933.351 11.33994 567.000 484.551875 1.133 5838.500 6092.688 3.451 Q4 18211.590 57563.000 14167.699 11.37681 665.200 500.060625 1.165 6231.500 6480.563 4.033
1993 Q1 11426.920 48492.000 13898.824 102.18288 595.900 481.795313 1.008 6389.656 6686.406 2.871 Q2 9440.610 49789.000 13931.883 100.86134 626.200 483.794438 1.000 6688.719 7001.469 2.984 Q3 12609.690 59833.000 13964.942 99.51890 669.100 485.793563 1.098 6987.781 7316.531 2.861 Q4 21514.440 64601.000 13998.001 98.15572 753.000 487.792688 1.215 7286.844 7631.594 3.035
336
Lampiran 1. Lanjutan
THN/Q I (M Rp)
KONS (M Rp)
GDPA (M Rp)
TKA (J Org)
XA (J US$)
IMA (J US$)
WP (%)
NTI (M Rp)
NTO (M Rp)
DSA (Indeks)
1994 Q1 22442.170 52912.000 14800.281 96.880 495.900 1126.749 1.082 7117.156 7826.188 2.852 Q2 21602.970 54517.000 15141.029 95.432 655.900 1383.531 1.205 7228.719 8093.063 3.091 Q3 36056.240 64955.000 15481.776 93.920 966.900 1640.314 1.276 7340.281 8359.938 3.121 Q4 17336.920 66121.000 15822.524 92.344 699.700 1897.096 1.314 7451.844 8626.813 3.397
1995 Q1 41312.530 65519.000 15947.046 88.547 553.100 1166.961 1.308 8157.000 9227.125 2.910 Q2 30636.520 64604.000 16201.304 87.705 686.800 1028.977 1.448 8506.000 9627.375 2.940 Q3 47095.430 66599.000 16455.561 87.662 852.800 890.993 1.492 8855.000 10027.625 2.651 Q4 34083.620 69000.000 16709.819 88.418 815.600 753.008 1.454 9204.000 10427.875 2.669
1996 Q1 57624.740 72187.000 16878.976 93.672 617.000 933.772 1.241 9458.938 10745.156 2.644 Q2 51237.020 70280.000 17099.194 94.545 686.700 923.287 1.278 9770.313 11112.219 2.637 Q3 34750.720 71853.000 17319.411 94.737 824.500 912.801 1.388 10081.688 11479.281 2.547 Q4 21419.770 74378.000 17539.629 94.249 784.500 902.316 1.325 10393.063 11846.344 2.691
1997 Q1 56626.650 74839.000 17248.943 59.413 600.800 820.160 1.364 10780.688 12459.500 1.292 Q2 47089.760 74377.000 17264.799 88.932 720.200 781.006 1.394 11122.563 12925.000 0.835 Q3 48298.090 76422.000 17280.656 89.461 931.400 741.853 1.296 11464.438 13390.500 0.311 Q4 54317.120 83179.000 17296.512 90.841 880.200 702.699 1.276 11806.313 13856.000 0.180
1998 Q1 73465.100 73155.000 17487.690 96.992 807.300 759.165 2.228 15583.344 19005.719 0.502 Q2 28502.650 71796.000 17573.675 98.501 907.500 758.259 2.250 17299.281 21344.906 0.495 Q3 58847.670 69468.000 17659.660 99.292 1029.300 757.353 2.214 19015.219 23684.094 0.460 Q4 11543.820 72432.000 17745.645 99.363 909.400 756.447 2.231 20731.156 26023.281 0.478
1999 Q1 14112.970 74376.000 18019.102 95.614 663.500 986.048 2.396 21198.813 24179.031 0.505 Q2 16813.390 75130.000 18180.076 35.487 732.900 1077.345 2.425 22415.438 24844.844 0.540 Q3 79744.930 74342.000 18341.049 5.882 810.800 1168.642 2.487 23632.063 25510.656 0.567 Q4 16391.580 75236.000 18502.023 46.797 694.300 1259.939 2.313 24848.688 26176.469 0.641
2000 Q1 13586.900 76288.000 17457.467 100.799 542.700 1041.752 2.401 25981.719 26362.750 0.552 Q2 15839.190 77382.000 17136.229 101.731 669.900 1009.256 2.331 27164.906 26836.750 0.550 Q3 96039.550 77811.000 16814.991 102.158 848.600 976.760 2.281 28348.094 27310.750 0.535 Q4 92319.210 79244.000 16493.753 102.079 647.900 944.264 2.426 29531.281 27784.750 0.535
2001 Q1 35698.070 79491.000 17972.794 99.522 600.000 892.347 2.047 29668.688 31115.469 0.555 Q2 44015.400 80954.000 18371.668 99.224 649.600 852.082 2.355 30433.563 32732.156 0.547 Q3 26234.280 82746.000 18770.542 99.211 614.900 811.818 2.388 31198.438 34348.844 0.531 Q4 90347.420 86649.000 19169.416 99.482 574.100 771.554 2.432 31963.313 35965.531 0.547
2002 Q1 16299.850 192029.250 18972.463 100.039 532.400 957.355 2.401 34236.156 37717.531 0.504 Q2 24553.920 235856.950 19133.006 100.879 735.300 1007.517 2.551 35604.219 39388.344 0.551 Q3 31958.910 279684.650 19293.549 102.004 665.200 1057.679 2.374 36972.281 41059.156 0.564 Q4 40537.800 323512.350 19454.092 103.415 635.400 1107.841 2.381 38340.344 42729.969 0.584
2003 Q1 26431.470 265101.159 19318.796 104.233 568.600 1018.981 2.416 36856.844 41440.781 0.548 Q2 22467.580 268033.303 19361.004 105.293 638.500 1013.535 2.434 37084.281 41927.594 0.556 Q3 21880.940 270965.447 19403.211 106.352 654.000 1008.088 2.333 37311.719 42414.406 0.544 Q4 90143.450 273897.591 19445.419 107.412 665.100 1002.642 2.364 37539.156 42901.219 0.584
2004 Q1 19310.980 277680.656 19577.397 106.937 495.400 9891.050 2.222 39783.781 44878.813 0.561 Q2 27813.360 280953.169 19655.512 107.382 605.800 10403.416 2.105 40818.094 45961.938 0.573 Q3 54384.480 284225.681 19733.628 107.828 685.900 10894.605 1.881 41852.406 47045.063 0.558 Q4 29467.510 287498.194 19811.743 108.273 709.300 11682.791 2.307 42886.719 48128.188 0.588
2005 Q1 32976.375 306006.972 19901.445 105.687 675.000 14423.960 1.887 43310.250 48875.531 0.571 Q2 33069.292 315373.991 19984.195 104.919 676.200 14964.339 1.987 44100.250 49824.344 0.579 Q3 33162.208 324741.009 20066.945 104.152 777.700 14508.775 1.690 44890.250 50773.156 0.556 Q4 33255.125 334108.028 20149.695 103.384 751.400 13707.434 1.779 45680.250 51721.969 0.560
337
Lampiran 2. Uji Stasioner dengan Augmented Dickey-Fuller Test A. Dengan Memasukkan Constanta Tanpa Trend 1. PPh Null Hypothesis: PPH has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 8 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 7.132274 1.0000 Test critical values: 1% level -3.479281
5% level -2.882910 10% level -2.578244
Null Hypothesis: D(PPH) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 13 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.692107 0.9916 Test critical values: 1% level -3.481623
5% level -2.883930 10% level -2.578788
Null Hypothesis: D(PPH,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 11 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.091872 0.0000 Test critical values: 1% level -3.481217
5% level -2.883753 10% level -2.578694
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 2. PPn Null Hypothesis: PPN has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 4.802732 1.0000 Test critical values: 1% level -3.478189
5% level -2.882433 10% level -2.577990
Null Hypothesis: D(PPN) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.139553 0.6989 Test critical values: 1% level -3.478547
5% level -2.882590 10% level -2.578074
Null Hypothesis: D(PPN,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
338
Lampiran 2. Lanjutan
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.45721 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478547
5% level -2.882590 10% level -2.578074
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
3. DEF Null Hypothesis: DEF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 12 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.706605 0.0001 Test critical values: 1% level -3.480818
5% level -2.883579 10% level -2.578601
Null Hypothesis: D(DEF) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 10 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.336670 0.9794 Test critical values: 1% level -3.480425
5% level -2.883408 10% level -2.578510
Null Hypothesis: D(DEF,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 9 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.06100 0.0000 Test critical values: 1% level -3.480425
5% level -2.883408 10% level -2.578510
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 4. U Null Hypothesis: U has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.750958 0.8292 Test critical values: 1% level -3.476472
5% level -2.881685 10% level -2.577591
Null Hypothesis: D(U) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
339
Lampiran 2. Lanjutan
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -13.74013 0.0000 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
Null Hypothesis: D(U,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.046198 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478911
5% level -2.882748 10% level -2.578158
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 5. EA Null Hypothesis: EA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 12 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.429667 0.8996 Test critical values: 1% level -3.480818
5% level -2.883579 10% level -2.578601
Null Hypothesis: D(EA) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 11 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.973196 0.0000 Test critical values: 1% level -3.480818
5% level -2.883579 10% level -2.578601
Null Hypothesis: D(EA,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 12 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.325427 0.0000 Test critical values: 1% level -3.481623
5% level -2.883930 10% level -2.578788
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 6. SP Null Hypothesis: SP_ has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
340
Lampiran 2. Lanjutan
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.067865 0.2581 Test critical values: 1% level -3.476472
5% level -2.881685 10% level -2.577591
Null Hypothesis: D(SP_) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.575369 0.0000 Test critical values: 1% level -3.477835
5% level -2.882279 10% level -2.577908
Null Hypothesis: D(SP_,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.13970 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478911
5% level -2.882748 10% level -2.578158
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 7. RDA Null Hypothesis: RDA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 3.804931 1.0000 Test critical values: 1% level -3.478189
5% level -2.882433 10% level -2.577990
Null Hypothesis: D(RDA(1)) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.153953 0.2243 Test critical values: 1% level -3.478547
5% level -2.882590 10% level -2.578074
Null Hypothesis: D(RDA(2),2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.52323 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478547
5% level -2.882590 10% level -2.578074
341
Lampiran 2. Lanjutan *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 8. IA Null Hypothesis: IA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.994352 0.9964 Test critical values: 1% level -3.478189
5% level -2.882433 10% level -2.577990
Null Hypothesis: D(IA) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.259328 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478189
5% level -2.882433 10% level -2.577990
Null Hypothesis: D(IA,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 7 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.847149 0.0000 Test critical values: 1% level -3.479656
5% level -2.883073 10% level -2.578331
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 9. DF Null Hypothesis: DF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 1.553562 0.9994 Test critical values: 1% level -3.478189
5% level -2.882433 10% level -2.577990
Null Hypothesis: D(DF) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.225600 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478189
5% level -2.882433 10% level -2.577990
342
Lampiran 2. Lanjutan Null Hypothesis: D(DF,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 7 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.372630 0.0000 Test critical values: 1% level -3.479656
5% level -2.883073 10% level -2.578331
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 10. I Null Hypothesis: I has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.514658 0.5234 Test critical values: 1% level -3.477487
5% level -2.882127 10% level -2.577827
Null Hypothesis: D(I) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -15.57405 0.0000 Test critical values: 1% level -3.477487
5% level -2.882127 10% level -2.577827
Null Hypothesis: D(I,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -13.06905 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478547
5% level -2.882590 10% level -2.578074
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 11. KONS Null Hypothesis: KONS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 1.947989 0.9999 Test critical values: 1% level -3.477835
5% level -2.882279 10% level -2.577908
343
Lampiran 2. Lanjutan Null Hypothesis: D(KONS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.863274 0.0000 Test critical values: 1% level -3.477835
5% level -2.882279 10% level -2.577908
Null Hypothesis: D(KONS,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.632908 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478189
5% level -2.882433 10% level -2.577990
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 12. GDPA) Null Hypothesis: GDPA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 8 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.631324 0.9901 Test critical values: 1% level -3.479281
5% level -2.882910 10% level -2.578244
Null Hypothesis: D(GDPA) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 7 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.058800 0.0000 Test critical values: 1% level -3.479281
5% level -2.882910 10% level -2.578244
Null Hypothesis: D(GDPA,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 8 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.311621 0.0000 Test critical values: 1% level -3.480038
5% level -2.883239 10% level -2.578420
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
344
Lampiran 2. Lanjutan 13. TKA Null Hypothesis: TKA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.402444 0.5796 Test critical values: 1% level -3.476472
5% level -2.881685 10% level -2.577591
Null Hypothesis: D(TKA(1)) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.853501 0.0000 Test critical values: 1% level -3.477144
5% level -2.881978 10% level -2.577747
Null Hypothesis: D(TKA,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.70926 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478547
5% level -2.882590 10% level -2.578074
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 14. XA Null Hypothesis: XA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 7 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.839886 0.8041 Test critical values: 1% level -3.478911
5% level -2.882748 10% level -2.578158
Null Hypothesis: D(XA(1)) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.650767 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478911
5% level -2.882748 10% level -2.578158
Null Hypothesis: D(XA,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 7 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
345
Lampiran 2. Lanjutan
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.460027 0.0000 Test critical values: 1% level -3.479656
5% level -2.883073 10% level -2.578331
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 15. IMA Null Hypothesis: IMA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 1.384556 0.9989 Test critical values: 1% level -3.476472
5% level -2.881685 10% level -2.577591
Null Hypothesis: D(IMA) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.77816 0.0000
Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
Null Hypothesis: D(IMA,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.608906 0.0000 Test critical values: 1% level -3.479281
5% level -2.882910 10% level -2.578244
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 16. WP Null Hypothesis: WP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.190406 0.2108 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
346
Lampiran 2. Lanjutan Null Hypothesis: D(WP(1)) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -17.08213 0.0000 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
Null Hypothesis: D(WP,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.38136 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478547
5% level -2.882590 10% level -2.578074
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 17. NTI Null Hypothesis: NTI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 2.468072 1.0000 Test critical values: 1% level -3.478189
5% level -2.882433 10% level -2.577990
Null Hypothesis: D(NTI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.818942 0.3701 Test critical values: 1% level -3.478547
5% level -2.882590 10% level -2.578074
Null Hypothesis: D(NTI,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.974768 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478547
5% level -2.882590 10% level -2.578074
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
347
Lampiran 2. Lanjutan 18. NTO Null Hypothesis: NTO has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 9 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 2.503645 1.0000 Test critical values: 1% level -3.479656
5% level -2.883073 10% level -2.578331
Null Hypothesis: D(NTO(1)) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 9 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.423332 0.5691 Test critical values: 1% level -3.480038
5% level -2.883239 10% level -2.578420
Null Hypothesis: D(NTO(2),2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 8 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.179889 0.0000 Test critical values: 1% level -3.480038
5% level -2.883239 10% level -2.578420
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 19. DSA Null Hypothesis: DSA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.540693 0.1081 Test critical values: 1% level -3.477144
5% level -2.881978 10% level -2.577747
Null Hypothesis: D(DSA) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.945676 0.0000 Test critical values: 1% level -3.477835
5% level -2.882279 10% level -2.577908
Null Hypothesis: D(DSA,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
348
Lampiran 2. Lanjutan
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.47226 0.0000 Test critical values: 1% level -3.478547
5% level -2.882590 10% level -2.578074
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. B. Dengan Memasukkan Constanta dan Trend 1. PPh Null Hypothesis: PPH has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 8 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 5.569364 1.0000 Test critical values: 1% level -4.027463
5% level -3.443450 10% level -3.146455
Null Hypothesis: D(PPH) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 12 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.429370 0.8479 Test critical values: 1% level -4.030157
5% level -3.444756 10% level -3.147221
Null Hypothesis: D(PPH,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 12 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.265717 0.0000 Test critical values: 1% level -4.030729
5% level -3.445030 10% level -3.147382
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 2. PPn Null Hypothesis: PPN has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 3.822634 1.0000 Test critical values: 1% level -4.025924
5% level -3.442712 10% level -3.146022
Null Hypothesis: D(PPN) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend
349
Lampiran 2. Lanjutan Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.788775 0.2040 Test critical values: 1% level -4.026429
5% level -3.442955 10% level -3.146165
Null Hypothesis: D(PPN,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.757204 0.0000 Test critical values: 1% level -4.026942
5% level -3.443201 10% level -3.146309
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 3. DEF Null Hypothesis: DEF has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 12 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.267816 0.0048 Test critical values: 1% level -4.029595
5% level -3.444487 10% level -3.147063
Null Hypothesis: D(DEF) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 10 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.364398 0.9988 Test critical values: 1% level -4.029041
5% level -3.444222 10% level -3.146908
Null Hypothesis: D(DEF,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 9 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.30276 0.0000 Test critical values: 1% level -4.029041
5% level -3.444222 10% level -3.146908
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 4. U Null Hypothesis: U has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
350
Lampiran 2. Lanjutan t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.717973 0.7384 Test critical values: 1% level -4.023506
5% level -3.441552 10% level -3.145341
Null Hypothesis: D(U) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -13.74013 0.0000 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
Null Hypothesis: D(U,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.011287 0.0000 Test critical values: 1% level -4.026942
5% level -3.443201 10% level -3.146309
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 5. EA Null Hypothesis: EA has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 12 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.711871 0.7407 Test critical values: 1% level -4.029595
5% level -3.444487 10% level -3.147063
Null Hypothesis: D(EA) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 11 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.938964 0.0000 Test critical values: 1% level -4.029595
5% level -3.444487 10% level -3.147063
Null Hypothesis: D(EA,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 12 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.337591 0.0000 Test critical values: 1% level -4.030729
5% level -3.445030 10% level -3.147382
351
Lampiran 2. Lanjutan *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
6. SP Null Hypothesis: SP_ has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.126838 0.1041 Test critical values: 1% level -4.023506
5% level -3.441552 10% level -3.145341
Null Hypothesis: D(SP_) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.753798 0.0000 Test critical values: 1% level -4.025426
5% level -3.442474 10% level -3.145882
Null Hypothesis: D(SP_,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.16670 0.0000 Test critical values: 1% level -4.026942
5% level -3.443201 10% level -3.146309
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 7. RDA Null Hypothesis: RDA has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 2.461686 1.0000 Test critical values: 1% level -4.025924
5% level -3.442712 10% level -3.146022
Null Hypothesis: D(RDA) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.242793 0.0051 Test critical values: 1% level -4.025924
5% level -3.442712 10% level -3.146022
Null Hypothesis: D(RDA,2) has a unit root
352
Lampiran 2. Lanjutan Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.51902 0.0000 Test critical values: 1% level -4.026429
5% level -3.442955 10% level -3.146165
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 8. IA Null Hypothesis: IA has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.613652 0.9764 Test critical values: 1% level -4.025924
5% level -3.442712 10% level -3.146022
Null Hypothesis: D(IA) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.553867 0.0000 Test critical values: 1% level -4.025924
5% level -3.442712 10% level -3.146022
Null Hypothesis: D(IA,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 7 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.817358 0.0000 Test critical values: 1% level -4.027959
5% level -3.443704 10% level -3.146604
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 9. DF Null Hypothesis: DF has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 5 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.101151 0.9970 Test critical values: 1% level -4.025924
5% level -3.442712 10% level -3.146022
Null Hypothesis: D(DF) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
353
Lampiran 2. Lanjutan
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.827816 0.0000 Test critical values: 1% level -4.025924
5% level -3.442712 10% level -3.146022
Null Hypothesis: D(DF,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 7 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.343268 0.0000 Test critical values: 1% level -4.027959
5% level -3.443704 10% level -3.146604
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 10. I Null Hypothesis: I has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.059029 0.1204 Test critical values: 1% level -4.024935
5% level -3.442238 10% level -3.145744
Null Hypothesis: D(I) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -15.51709 0.0000 Test critical values: 1% level -4.024935
5% level -3.442238 10% level -3.145744
Null Hypothesis: D(I,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -13.02022 0.0000 Test critical values: 1% level -4.026429
5% level -3.442955 10% level -3.146165
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 11. KONS Null Hypothesis: KONS has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.256123 0.9982
354
Lampiran 2. Lanjutan
Test critical values: 1% level -4.025426 5% level -3.442474 10% level -3.145882
Null Hypothesis: D(KONS) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.370393 0.0000 Test critical values: 1% level -4.025426
5% level -3.442474 10% level -3.145882
Null Hypothesis: D(KONS,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.597520 0.0000 Test critical values: 1% level -4.025924
5% level -3.442712 10% level -3.146022
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 12. GDPA Null Hypothesis: GDPA has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 8 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.340034 0.4093 Test critical values: 1% level -4.027463
5% level -3.443450 10% level -3.146455
Null Hypothesis: D(GDPA) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 7 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.122314 0.0000 Test critical values: 1% level -4.027463
5% level -3.443450 10% level -3.146455
Null Hypothesis: D(GDPA,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 8 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.286618 0.0000 Test critical values: 1% level -4.028496
5% level -3.443961 10% level -3.146755
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
355
Lampiran 2. Lanjutan 13. TKA Null Hypothesis: TKA has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.348516 0.4049 Test critical values: 1% level -4.025426
5% level -3.442474 10% level -3.145882
Null Hypothesis: D(TKA) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.45611 0.0000 Test critical values: 1% level -4.025426
5% level -3.442474 10% level -3.145882
Null Hypothesis: D(TKA,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.66882 0.0000 Test critical values: 1% level -4.026429
5% level -3.442955 10% level -3.146165
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 14. XA Null Hypothesis: XA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 7 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.839886 0.8041 Test critical values: 1% level -3.478911
5% level -2.882748 10% level -2.578158
Null Hypothesis: D(XA) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.629156 0.0000 Test critical values: 1% level -4.026942
5% level -3.443201 10% level -3.146309
Null Hypothesis: D(XA,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 7 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
356
Lampiran 2. Lanjutan
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.426582 0.0000 Test critical values: 1% level -4.027959
5% level -3.443704 10% level -3.146604
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 15. IMA Null Hypothesis: IMA has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.438290 0.9991 Test critical values: 1% level -4.023506
5% level -3.441552 10% level -3.145341
Null Hypothesis: D(IMA) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -11.06587 0.0000 Test critical values: 1% level -4.023975
5% level -3.441777 10% level -3.145474
Null Hypothesis: D(IMA,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.840915 0.0000 Test critical values: 1% level -4.027463
5% level -3.443450 10% level -3.146455
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 16. WP Null Hypothesis: WP has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.454364 0.3503 Test critical values: 1% level -4.023975
5% level -3.441777 10% level -3.145474
Null Hypothesis: D(WP) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -17.03904 0.0000
357
Lampiran 2. Lanjutan Test critical values: 1% level -4.023975
5% level -3.441777 10% level -3.145474
Null Hypothesis: D(WP,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.34941 0.0000 Test critical values: 1% level -4.026429
5% level -3.442955 10% level -3.146165
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
358
Lampiran 3. Uji Structural Break dengan Chow Test 1. PPh Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 14.71075 Probability 0.00000 2. PPn Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 16.17603 Probability 0.000000 3. DEF Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 15.02361 Probability 0.000000 4. U Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 22.13242 Probability 0.000000 5. EA Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 4.507170 Probability 0.0000006. SP Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 25.72705 Probability 0.000000 7. RDA Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 2.675687 Probability 0.000766 8. IA Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 6.211081 Probability 0.0000009. DF Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 3.289100 Probability 0.000050 10. I Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 6.623899 Probability 0.000000 11. KONS Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 40.22672 Probability 0.000000
359
Lampiran 3. Lanjutan 12. GDPA Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 2.172605 Probability 0.006845 13. TKA Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 3.667723 Probability 0.000009 14. XA Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 4.559880 Probability 0.000000 15. IMA Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 10.58517 Probability 0.000000 16. WP Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 4.651989 Probability 0.000000 17. NTI Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 2.630608 Probability 0.000935 18. NTO Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 2.571643 Probability 0.001212 19. DSA Chow Breakpoint Test: 1998:1 F-statistic 8.085175 Probability 0.000000
360
Lampiran 4. Uji Kointegrasi dengan Engel- Granger Two Step Test 1.PPh Null Hypothesis: RESIDPPH has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.162431 0.0000 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 2. PPn Null Hypothesis: RESIDPPN has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.619855 0.0002 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 3. DEF Null Hypothesis: RESIDDEF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 7 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.642347 0.0061 Test critical values: 1% level -3.479281
5% level -2.882910 10% level -2.578244
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 4. U Null Hypothesis: RESIDU has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.308786 0.0000 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
361
Lampiran 4. Lanjutan 5. EA Null Hypothesis: RESIDEA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.966882 0.0000 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 6. SP Null Hypothesis: RESIDSP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.891892 0.0000 Test critical values: 1% level -3.477835
5% level -2.882279 10% level -2.577908
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 7. RDA Null Hypothesis: RESIDRDA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.104927 0.0000 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 8. IA Null Hypothesis: RESIDIA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.865128 0.0000 Test critical values: 1% level -3.477835
5% level -2.882279 10% level -2.577908
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
362
Lampiran 4. Lanjutan 9. DF Null Hypothesis: RESIDDF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.534749 0.0003 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 10. I Null Hypothesis: RESIDI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.722872 0.0000 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 11. KONS Null Hypothesis: RESIDKONS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.870060 0.0001 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 12. GDPA Null Hypothesis: RESIDGDPA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.390276 0.0005 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
363
Lampiran 4. Lanjutan 13. TKA Null Hypothesis: RESIDTKA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.853747 0.0000 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 14. XA Null Hypothesis: RESIDXA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 8 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.460142 0.0106 Test critical values: 1% level -3.479656
5% level -2.883073 10% level -2.578331
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 15. IMA Null Hypothesis: RESIDIMA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.029489 0.0000 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 16. WP Null Hypothesis: RESIDWP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.710729 0.0000 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
364
Lampiran 4. Lanjutan 17. NTI Null Hypothesis: RESIDNTI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.206516 0.0000 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 18. NTO Null Hypothesis: RESIDNTO has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.817832 0.0001 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 19. DSA Null Hypothesis: RESIDDSA has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.859178 0.0001 Test critical values: 1% level -3.476805
5% level -2.881830 10% level -2.577668
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
365
Lampiran 5. Uji Ordo Optimal VAR
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2))) D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) Exogenous variables: C D_MNTR Date: 02/14/08 Time: 20:51 Sample: 1970:1 2005:4 Included observations: 136 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ
0 1345.354 NA 4.71E-30* -19.2846 -18.55646* -18.98871* 1 1496.54 260.1284 3.69E-29 -17.2579 -10.3404 -14.4468 2 1663.608 245.6881 2.67E-28 -15.4648 -2.35787 -10.1385 3 1825.783 197.9494 2.90E-27 -13.5998 5.696586 -5.75821 4 2554.219 707.0117* 1.38E-29 -20.0621 5.423679 -9.7053 5 2920.593 264.0048 3.83E-29 -21.1999 10.47522 -8.32794 6 3601.936 320.632 8.31E-30 -26.96965* 10.89486 -11.5825
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
366
Lampiran 6. Uji Granger Causality Berbasis VAR (4) Pairwise Granger Causality Tests Date: 02/16/08 Time: 10:58 Sample: 1970:1 2005:4 Lags: 4
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 0.08393 0.98724 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 0.10627 0.98015 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 17.9325 9.9E-12 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 0.06781 0.99149 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 2.28060 0.06412 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 2.02646 0.09449 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 0.18244 0.94716 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 0.44897 0.77299 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 1.86506 0.12047 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 0.08497 0.98694 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 1.66268 0.16261 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 0.19583 0.94019 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 0.35634 0.83923 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 0.10168 0.98172 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 0.18815 0.94422 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 2.04937 0.09126 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 0.49047 0.74273 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 3.51878 0.00923 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 4.07077 0.00385 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 2.87941 0.02528 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 0.59540 0.66659 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 0.63551 0.63807 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 0.23134 0.92034 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 0.49634 0.73844 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 4.20833 0.00310 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 0.14430 0.96522 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 0.50334 0.73333 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 1.00791 0.40594 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 3.32442 0.01255 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 0.23653 0.91729 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(PPH(2))) 138 0.15839 0.95888 D(LOG(PPH(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.18377 0.94648 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 0.35335 0.84132 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 0.19306 0.94165 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 0.54871 0.70028 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 0.23189 0.92002 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 0.00312 0.99998 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 1.97031 0.10285 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 0.60753 0.65792 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 0.75201 0.55842
367
Lampiran 6. Lanjutan
D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 0.54834 0.70055 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 2.50575 0.04529 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 0.66303 0.61879 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 1.74974 0.14303 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 0.27424 0.89415 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 0.93264 0.44726 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 4.31513 0.00261 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 1.92809 0.10960 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 4.22491 0.00302 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 0.07916 0.98858 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 1.85250 0.12275 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 1.32926 0.26255 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 0.60214 0.66177 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 0.14507 0.96488 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 6.02563 0.00018 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 0.43028 0.78655 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 7.07643 3.5E-05 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 0.03798 0.99722 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 8.95578 2.1E-06 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 0.07723 0.98910 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(PPN(2))) 138 0.31127 0.87002 D(LOG(PPN(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.37786 0.82412 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 0.11956 0.97532 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 0.08802 0.98604 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 0.02824 0.99844 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 2.03104 0.09383 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 0.16624 0.95517 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 2.41745 0.05193 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 1.99852 0.09857 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 3.32891 0.01246 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 0.34229 0.84897 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 0.34395 0.84782 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 0.58803 0.67188 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 0.32105 0.86346 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 0.11770 0.97602 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 0.12277 0.97409 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 0.75323 0.55762 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 0.77326 0.54451 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 1.80710 0.13135 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 0.41594 0.79691 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 4.17135 0.00328 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 0.56330 0.68971 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 0.54471 0.70319 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 0.74515 0.56296 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 3.09449 0.01803 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 0.24358 0.91309 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 3.49405 0.00960 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 0.69823 0.59453
368
Lampiran 6. Lanjutan
D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(EA(2))) 138 0.58781 0.67203 D(LOG(EA(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.20374 0.93593 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 1.56511 0.18749 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 0.38528 0.81886 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 1.18519 0.32043 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 1.97200 0.10259 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 0.44051 0.77913 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 0.68407 0.60423 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 1.92151 0.11069 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 0.43421 0.78370 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 0.15254 0.96156 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 0.42760 0.78849 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 0.62559 0.64508 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 1.96340 0.10393 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 3.46000 0.01013 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 10.0390 4.2E-07 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 0.65286 0.62589 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 1.15299 0.33476 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 0.35564 0.83972 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 0.37678 0.82488 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 0.84039 0.50198 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 0.19274 0.94182 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 0.66380 0.61825 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 0.12468 0.97334 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 1.44831 0.22183 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 0.08516 0.98688 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(SP_(2))) 138 2.63979 0.03677 D(LOG(SP_(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.45748 0.76679 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 138 0.81970 0.51485 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 2.42236 0.05153 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 138 1.25485 0.29121 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 0.28270 0.88875 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 138 0.55108 0.69856 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 0.23155 0.92022 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 138 0.18195 0.94741 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 0.42543 0.79006 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 138 1.94908 0.10620 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 0.53301 0.71170 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 138 1.62943 0.17072 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 0.46311 0.76269 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 138 2.20311 0.07221 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 0.15818 0.95898 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 138 0.43017 0.78663 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 0.27637 0.89280 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 138 0.07189 0.99048 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 0.10896 0.97921 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 138 0.01422 0.99960 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 0.02579 0.99870
369
Lampiran 6. Lanjutan
D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 138 0.02271 0.99898 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 0.08985 0.98549 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(RDA(2))) 138 0.30964 0.87111 D(LOG(RDA(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.12305 0.97398 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 138 0.05505 0.99429 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 0.01238 0.99969 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 138 1.01379 0.40284 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 0.57629 0.68033 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 138 0.11751 0.97609 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 1.00156 0.40931 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 138 1.13558 0.34272 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 0.28388 0.88799 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 138 7.17781 3.0E-05 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 0.64153 0.63383 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 138 2.49296 0.04620 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 0.98379 0.41885 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 138 0.03932 0.99702 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 0.20194 0.93691 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 138 0.62185 0.64773 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 1.11080 0.35432 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 138 0.19279 0.94179 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 0.32727 0.85925 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 138 0.44230 0.77783 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 0.38464 0.81931 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(IA(2))) 138 0.23169 0.92013 D(LOG(IA(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.44714 0.77431 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 138 1.98859 0.10005 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 4.70460 0.00141 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 138 1.05199 0.38314 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 2.69483 0.03375 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 138 4.20034 0.00314 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 1.15637 0.33323 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 138 5.98552 0.00019 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 0.37522 0.82598 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 138 1.56146 0.18849 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 0.53805 0.70803 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 138 0.10837 0.97942 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 0.22821 0.92216 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 138 0.30516 0.87409 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 0.05664 0.99397 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 138 0.76710 0.54852 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 0.34985 0.84374 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 138 0.87226 0.48257 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 0.48051 0.75000 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(DF(2))) 138 0.31532 0.86731 D(LOG(DF(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 2.40847 0.05265 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 138 0.82996 0.50844 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 0.16062 0.95784
370
Lampiran 6. Lanjutan
D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 138 0.63252 0.64018 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 1.10217 0.35844 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 138 2.01965 0.09547 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 7.52605 1.8E-05 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 138 2.18259 0.07451 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 1.23753 0.29825 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 138 1.97419 0.10225 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 1.89583 0.11504 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 138 0.71045 0.58622 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 0.40980 0.80132 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 138 2.87371 0.02551 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 0.67156 0.61287 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 138 4.17547 0.00326 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 0.36068 0.83620 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(I(2))) 138 0.64062 0.63448 D(LOG(I(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.28545 0.88698 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 138 0.81318 0.51895 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 1.11719 0.35130 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 138 0.23437 0.91856 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 0.22966 0.92132 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 138 0.31215 0.86944 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 0.84281 0.50049 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 138 0.03331 0.99785 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 1.59167 0.18039 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 138 10.0481 4.1E-07 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 0.17055 0.95309 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 138 0.43614 0.78231 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 0.02027 0.99919 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 138 1.12474 0.34776 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 0.06427 0.99232 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(KONS(2))) 138 0.13059 0.97099 D(LOG(KONS(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.21656 0.92882 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 138 13.2657 4.4E-09 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 0.17204 0.95236 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 138 0.38277 0.82064 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 0.78508 0.53686 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 138 0.08398 0.98723 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 0.37076 0.82912 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 138 0.42310 0.79174 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 0.75659 0.55541 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 138 0.38823 0.81676 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 0.78700 0.53563 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 138 0.18448 0.94612 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 1.01757 0.40086 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(GDPA(2))) 138 0.67943 0.60743 D(LOG(GDPA(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.74135 0.56548 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 138 1.09366 0.36253 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 0.34609 0.84635
371
Lampiran 6. Lanjutan
D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 138 0.08367 0.98732 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 0.69583 0.59617 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 138 0.35750 0.83842 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 0.56596 0.68778 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 138 0.09149 0.98499 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 0.23800 0.91642 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 138 1.34406 0.25715 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 0.08274 0.98758 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(TKA(2))) 138 1.59728 0.17893 D(LOG(TKA(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.07393 0.98997 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 138 0.73322 0.57089 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 0.95873 0.43260 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 138 0.16880 0.95394 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 0.18944 0.94355 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 138 1.74021 0.14506 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 0.92536 0.45141 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 138 1.42751 0.22852 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 1.58336 0.18259 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(XA(2))) 138 0.85790 0.49125 D(LOG(XA(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 2.69864 0.03355 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 138 0.19808 0.93898 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 0.86930 0.48436 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 138 0.49367 0.74039 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 0.18379 0.94647 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 138 0.27495 0.89370 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 0.27879 0.89126 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(IMA(2))) 138 0.71890 0.58051 D(LOG(IMA(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.26852 0.89776 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 138 0.68114 0.60625 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 1.83925 0.12520 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(WP(2)) 138 1.11276 0.35339 D(WP(2)) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 1.23732 0.29834 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(WP(2)) 138 1.67344 0.16006 D(WP(2)) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.72491 0.57646 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 138 0.00512 0.99995 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 0.05569 0.99416 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(NTI(2))) 138 0.68449 0.60394 D(LOG(NTI(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.64140 0.63393 D(DSA(2)) does not Granger Cause D(LOG(NTO(2))) 138 1.42771 0.22845 D(LOG(NTO(2))) does not Granger Cause D(DSA(2)) 0.83677 0.50422
372
Lampiran 7. Uji Rank Kointegrasi VAR(4) dengan Johansen Cointegration Test Date: 02/16/08 Time: 10:19 Sample(adjusted): 1971:1 2005:2 Included observations: 138 after adjusting endpoints Trend assumption: Linear deterministic trend Series: D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2))) D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) Lags interval (in first differences): 1 to 3 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s)
Eigen value
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 PercentCritical Value
Hypothesized No. of CE(s)
Eigen value
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None 0.854706 1580.09 NA NA None 0.854706 266.2012 NA NA At most 1 0.816087 1313.888 NA NA At most 1 0.816087 233.674 NA NA At most 2 0.774921 1080.214 NA NA At most 2 0.774921 205.8001 NA NA At most 3 0.727141 874.4143 NA NA At most 3 0.727141 179.2345 NA NA At most 4 0.548289 695.1798 NA NA At most 4 0.548289 109.6703 NA NA At most 5 0.535001 585.5095 NA NA At most 5 0.535001 105.6694 NA NA At most 6 ** 0.483761 479.8401 277.71 293.44 At most 6 ** 0.483761 91.24353 68.83 75.95At most 7 ** 0.396314 388.5965 233.13 247.18 At most 7 ** 0.396314 69.64886 62.81 69.09At most 8 ** 0.354539 318.9477 192.89 204.95 At most 8 * 0.354539 60.41504 57.12 62.8At most 9 ** 0.322651 258.5326 156 168.36 At most 9 * 0.322651 53.76051 51.42 57.69At most 10 ** 0.301113 204.7721 124.24 133.57 At most 10 * 0.301113 49.44081 45.28 51.57At most 11 ** 0.282438 155.3313 94.15 103.18 At most 11 ** 0.282438 45.80166 39.37 45.1At most 12 ** 0.238863 109.5297 68.52 76.07 At most 12 * 0.238863 37.66594 33.46 38.77At most 13 ** 0.203491 71.86371 47.21 54.46 At most 13 * 0.203491 31.39729 27.07 32.24At most 14 ** 0.119347 40.46642 29.68 35.65 At most 14 0.119347 17.53871 20.97 25.52At most 15 ** 0.085821 22.92772 15.41 20.04 At most 15 0.085821 12.38263 14.07 18.63At most 16 ** 0.073567 10.54508 3.76 6.65 At most 16 ** 0.073567 10.54508 3.76 6.65
373
Lampiran 8. Hasil Estimasi Kointegrasi VECM
Vector Error Correction Estimates Date: 02/16/08 Time: 11:08 Sample(adjusted): 1971:1 2005:2 Included observations: 138 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegration Restrictions: B(1,1)=1,B(1,2)=0,B(1,3)=0,B(1,4)=0,B(1,5)=0,B(1,6)=0,B(1,7)=0,B(1,8)=0,B(2,1)=0,B(2,2)=1, B(2,3)=0,B(2,4)=0,B(2,5)=0,B(2,6)=0,B(2,7)=0,B(2,8)=0,B(3,1)=0,B(3,2)=0,B(3,3)=1, B(3,4)=0,B(3,5)=0,B(3,6)=0,B(3,7)=0,B(3,8)=0,B(4,1)=0,B(4,2)=0,B(4,3)=0,B(4,4)=1, B(4,5)=0,B(4,6)=0,B(4,7)=0,B(4,8)=0,B(5,1)=0,B(5,2)=0,B(5,3)=0,B(5,4)=0,B(5,5)=1, B(5,6)=0,B(5,7)=0,B(5,8)=0,B(6,1)=0,B(6,2)=0,B(6,3)=0,B(6,4)=0,B(6,5)=0,B(6,6)=1, B(6,7)=0,B(6,8)=0,B(7,1)=0,B(7,2)=0,B(7,3)=0,B(7,4)=0,B(7,5)=1,B(7,6)=0,B(7,7)=1, B(7,8)=0,B(8,1)=0,B(8,2)=0,B(8,3)=0,B(8,4)=0,B(8,5)=0,B(8,6)=1,B(8,7)=0,B(8,8)=1, Convergence achieved after 1 iterations. Restrictions identify all cointegrating vectors
Cointegrating Eq: CointEq1 CointEq2 CointEq3 CointEq4 CointEq5 CointEq6 CointEq7 CointEq8
D(LOG(GDPA(1))) 1 0 0 0 0 0 0 0 D(LOG(TKA(1))) 0 1 0 0 0 0 0 0 D(LOG(XA(1))) 0 0 1 0 0 0 0 0 D(LOG(IMA(1))) 0 0 0 1 0 0 0 0 D(WP(1)) 0 0 0 0 1 0 0 0 D(LOG(NTI(1))) 0 0 0 0 0 1 0 0 D(LOG(NTO(1))) 0 0 0 0 0 0 1 0 D(DSA(1)) 0 0 0 0 0 0 0 1 D(LOG(PPH(1))) -0.08286 -0.39489 -0.45769 -0.64578 -0.67463 -0.05159 -0.79198 -0.46378 (0.03456) (0.10483) (0.14183) (0.54497) (0.21307) (0.13046) (0.28296) (0.25356) [-2.39778] [-3.76705] [-3.22694] [-1.18499] [-3.16631] [-0.39541] [-2.79892] [-1.82909] D(LOG(PPN(1))) -0.1782 -0.52292 -0.41051 1.421638 0.509752 -0.00252 0.376801 -0.87462 (0.07132) (0.21634) (0.29272) (1.12469) (0.43972) (0.26924) (0.58396) (0.52329) [-2.49882] [-2.41712] [-1.40241] [ 1.26403] [ 1.15926] [-0.00936] [ 0.64525] [-1.67138] D(LOG(EA(1))) -0.05792 -0.19453 0.947683 3.847074 0.175939 0.128969 0.271555 0.238747 (0.02285) (0.06933) (0.09380) (0.36042) (0.14092) (0.08628) (0.18714) (0.16770) [-2.53434] [-2.80584] [ 10.1027] [ 10.6737] [ 1.24854] [ 1.49473] [ 1.45108] [ 1.42368] D(LOG(SP_(1))) 0.032179 -0.04494 -0.17445 -0.95171 -0.02014 -0.02892 -0.02354 0.09147 (0.01424) (0.04320) (0.05846) (0.22461) (0.08782) (0.05377) (0.11662) (0.10451) [ 2.25940] [-1.04006] [-2.98415] [-4.23717] [-0.22938] [-0.53791] [-0.20185] [ 0.87526] D(LOG(RDA(1))) -0.08414 -0.28105 0.31809 1.368473 0.751309 0.446856 1.024785 -0.01286 (0.02709) (0.08218) (0.11119) (0.42723) (0.16703) (0.10227) (0.22183) (0.19878) [-3.10581] [-3.42001] [ 2.86074] [ 3.20315] [ 4.49794] [ 4.36917] [ 4.61978] [-0.06467] D(LOG(IA(1))) 0.180211 0.464302 -0.2326 -2.10082 -0.97746 -0.64544 -1.37601 -0.00255 (0.03193) (0.09685) (0.13105) (0.50352) (0.19686) (0.12054) (0.26144) (0.23427) [ 5.64441] [ 4.79384] [-1.77492] [-4.17229] [-4.96525] [-5.35465] [-5.26328] [-0.01088] D(LOG(DF(1))) 0.007547 -0.0853 -0.05845 -0.02592 0.397885 0.146103 0.485768 -0.65288 (0.01529) (0.04640) (0.06278) (0.24121) (0.09431) (0.05774) (0.12524) (0.11223) [ 0.49343] [-1.83851] [-0.93113] [-0.10745] [ 4.21908] [ 2.53020] [ 3.87867] [-5.81738] D(LOG(I(1))) -0.07907 -0.25744 -0.1074 -0.77758 0.98869 0.676184 1.412009 0.136127 (0.02417) (0.07332) (0.09921) (0.38118) (0.14903) (0.09125) (0.19792) (0.17736) [-3.27143] [-3.51107] [-1.08257] [-2.03991] [ 6.63410] [ 7.41008] [ 7.13431] [ 0.76754]
D(LOG(KONS(1))) -0.07066 -0.12517 -0.61345 -1.70432 0.361332 0.423624 0.607332 0.067447 (0.03659) (0.11099) (0.15017) (0.57700) (0.22559) (0.13813) (0.29959) (0.26847) [-1.93131] [-1.12779] [-4.08495] [-2.95374] [ 1.60170] [ 3.06685] [ 2.02719] [ 0.25123] C 0.011319 0.072147 0.050433 -0.05235 -0.06662 -0.0987 -0.13384 0.048632
374
Lampiran 8. Lanjutan
Error Correction: D(LOG(GD
PA(2)),2) D(LOG(TK
A(2)),2) D(LOG(XA
(2)),2) D(LOG(IM
A(2)),2) D(WP(2),2) D(LOG(NT
I(2)),2) D(LOG(NT
O(2)),2) D(DSA(2),
2) CointEq1 -0.56794 1.218894 -0.19968 -1.01225 -0.61486 -2.80727 -1.99062 -4.26369 (0.09737) (0.65149) (0.97895) (2.08679) (1.90650) (0.80545) (0.59033) (1.79247) [-5.83264] [ 1.87094] [-0.20397] [-0.48507] [-0.32251] [-3.48534] [-3.37205] [-2.37866] CointEq2 0.09779 -1.03272 0.064856 -0.2248 0.09332 -0.17186 -0.05478 0.093271 (0.01357) (0.09078) (0.13640) (0.29076) (0.26564) (0.11223) (0.08225) (0.24975) [ 7.20763] [-11.3767] [ 0.47547] [-0.77314] [ 0.35130] [-1.53132] [-0.66599] [ 0.37345] CointEq3 -0.01943 0.282616 -0.60946 1.881327 0.007657 0.470325 0.45797 0.714248 (0.02092) (0.13996) (0.21030) (0.44830) (0.40957) (0.17303) (0.12682) (0.38507) [-0.92885] [ 2.01930] [-2.89797] [ 4.19659] [ 0.01870] [ 2.71813] [ 3.61122] [ 1.85485] CointEq4 -0.00226 -0.11843 0.069183 -0.32049 -0.00142 -0.20038 -0.15745 -0.25856 (0.00646) (0.04323) (0.06496) (0.13848) (0.12652) (0.05345) (0.03918) (0.11895) [-0.34973] [-2.73923] [ 1.06495] [-2.31429] [-0.01122] [-3.74886] [-4.01924] [-2.17368] CointEq5 -0.09683 1.086468 -0.84647 2.301648 -3.49504 0.115602 1.072116 -0.08369 (0.09304) (0.62251) (0.93540) (1.99396) (1.82169) (0.76962) (0.56407) (1.71273) [-1.04067] [ 1.74531] [-0.90493] [ 1.15431] [-1.91857] [ 0.15021] [ 1.90068] [-0.04886] CointEq6 -0.10818 0.525461 -0.99683 1.871401 -0.26298 -1.2542 -0.15803 -0.80172 (0.07272) (0.48652) (0.73106) (1.55837) (1.42373) (0.60149) (0.44085) (1.33858) [-1.48770] [ 1.08004] [-1.36354] [ 1.20087] [-0.18471] [-2.08514] [-0.35848] [-0.59894] CointEq7 0.102813 -1.00574 1.072058 -2.57093 2.455002 0.170192 -0.91025 0.310491 (0.09103) (0.60902) (0.91513) (1.95076) (1.78222) (0.75295) (0.55185) (1.67563) [ 1.12949] [-1.65141] [ 1.17148] [-1.31791] [ 1.37749] [ 0.22603] [-1.64945] [ 0.18530] CointEq8 -0.02308 0.194047 0.154911 -0.25982 -0.32944 0.026333 -0.00298 -0.6708 (0.00692) (0.04627) (0.06953) (0.14822) (0.13542) (0.05721) (0.04193) (0.12732) [-3.33626] [ 4.19336] [ 2.22785] [-1.75290] [-2.43274] [ 0.46027] [-0.07105] [-5.26873]
D(LOG(GDPA(1)),2) -0.12096 -0.82815 0.206859 2.431379 3.197973 2.086317 1.367884 6.470726 (0.12373) (0.82785) (1.24395) (2.65169) (2.42259) (1.02349) (0.75013) (2.27769) [-0.97760] [-1.00036] [ 0.16629] [ 0.91692] [ 1.32006] [ 2.03844] [ 1.82353] [ 2.84091] D(LOG(GDPA),2) 0.064309 -0.06253 -0.67553 3.523691 1.618185 1.380942 1.011106 5.675497 (0.12360) (0.82698) (1.24264) (2.64890) (2.42004) (1.02241) (0.74934) (2.27530) [ 0.52029] [-0.07561] [-0.54363] [ 1.33025] [ 0.66866] [ 1.35067] [ 1.34932] [ 2.49440]
D(LOG(GDPA(-1)),2) 0.09176 0.922919 -1.25628 3.053783 0.788475 1.601636 1.245202 6.259807 (0.10533) (0.70474) (1.05896) (2.25736) (2.06233) (0.87129) (0.63858) (1.93898) [ 0.87115] [ 1.30959] [-1.18633] [ 1.35281] [ 0.38232] [ 1.83824] [ 1.94995] [ 3.22840] D(LOG(TKA(1)),2) -0.06604 0.205431 -0.08191 0.281443 -0.0277 0.023192 -0.02713 0.083457 (0.01677) (0.11222) (0.16862) (0.35945) (0.32839) (0.13874) (0.10168) (0.30875) [-3.93757] [ 1.83065] [-0.48576] [ 0.78299] [-0.08436] [ 0.16716] [-0.26683] [ 0.27031] D(LOG(TKA),2) -0.06435 0.434628 -0.05655 0.129835 -0.12422 -0.02175 -0.0593 0.305854 (0.01606) (0.10745) (0.16145) (0.34416) (0.31443) (0.13284) (0.09736) (0.29562) [-4.00720] [ 4.04510] [-0.35027] [ 0.37725] [-0.39508] [-0.16373] [-0.60903] [ 1.03462] D(LOG(TKA(-1)),2) -0.06786 0.587454 -0.00754 -0.21644 0.143036 0.052986 -0.02177 0.295291 (0.01160) (0.07763) (0.11665) (0.24865) (0.22717) (0.09597) (0.07034) (0.21358) [-5.84895] [ 7.56764] [-0.06464] [-0.87047] [ 0.62965] [ 0.55209] [-0.30955] [ 1.38258] D(LOG(XA(1)),2) 0.022021 -0.23789 -0.47334 -1.20502 -0.04758 -0.42623 -0.3937 -0.72708 (0.01927) (0.12894) (0.19375) (0.41301) (0.37733) (0.15941) (0.11684) (0.35476) [ 1.14266] [-1.84498] [-2.44304] [-2.91763] [-0.12609] [-2.67371] [-3.36965] [-2.04949] D(LOG(XA),2) 0.021858 -0.13224 -0.65916 -0.9561 -0.04379 -0.27486 -0.24923 -0.33719 (0.01393) (0.09322) (0.14007) (0.29859) (0.27280) (0.11525) (0.08447) (0.25648) [ 1.56883] [-1.41862] [-4.70579] [-3.20200] [-0.16051] [-2.38494] [-2.95056] [-1.31470] D(LOG(XA(-1)),2) 0.00667 0.073204 -0.51762 -0.29325 0.049073 -0.13197 -0.11321 -0.45195 (0.01038) (0.06942) (0.10431) (0.22235) (0.20314) (0.08582) (0.06290) (0.19099) [ 0.64289] [ 1.05457] [-4.96251] [-1.31888] [ 0.24158] [-1.53776] [-1.79985] [-2.36638] D(LOG(IMA(1)),2) 0.004111 0.053422 -0.02348 -0.32489 0.079484 0.128578 0.103648 0.138226 (0.00700) (0.04680) (0.07033) (0.14992) (0.13697) (0.05787) (0.04241) (0.12878) [ 0.58760] [ 1.14137] [-0.33386] [-2.16707] [ 0.58031] [ 2.22199] [ 2.44388] [ 1.07338]
375
Lampiran 8. Lanjutan
Error Correction: D(LOG(GD
PA(2)),2) D(LOG(TK
A(2)),2) D(LOG(XA
(2)),2) D(LOG(IM
A(2)),2) D(WP(2),2) D(LOG(NT
I(2)),2) D(LOG(NT
O(2)),2) D(DSA(2),
2) D(LOG(IMA),2) 0.004168 0.058773 0.037107 -0.19624 -0.05054 0.075722 0.062498 0.126975 (0.00657) (0.04396) (0.06605) (0.14081) (0.12864) (0.05435) (0.03983) (0.12095) [ 0.63436] [ 1.33697] [ 0.56177] [-1.39369] [-0.39291] [ 1.39327] [ 1.56900] [ 1.04984] D(LOG(IMA(-1)),2) -0.00041 0.060675 -0.00519 -0.15591 0.085141 0.010677 0.013953 0.011576 (0.00557) (0.03726) (0.05599) (0.11934) (0.10903) (0.04606) (0.03376) (0.10251) [-0.07420] [ 1.62846] [-0.09266] [-1.30638] [ 0.78087] [ 0.23179] [ 0.41328] [ 0.11292] D(WP(1),2) -0.00731 -0.05858 -0.19186 0.195651 -0.30906 -0.19221 -0.09541 -0.28909 (0.01238) (0.08285) (0.12450) (0.26539) (0.24246) (0.10243) (0.07508) (0.22796) [-0.59015] [-0.70701] [-1.54108] [ 0.73722] [-1.27468] [-1.87647] [-1.27081] [-1.26815] D(WP,2) -0.01058 -0.04456 -0.1468 0.102129 -0.4041 -0.04939 -0.00707 -0.37566 (0.00975) (0.06521) (0.09799) (0.20887) (0.19083) (0.08062) (0.05909) (0.17941) [-1.08527] [-0.68330] [-1.49816] [ 0.48896] [-2.11763] [-0.61258] [-0.11971] [-2.09382] D(WP(-1),2) -0.00344 -0.01405 -0.11115 -0.06137 -0.30089 -0.04979 0.011802 -0.3583 (0.00704) (0.04712) (0.07080) (0.15092) (0.13788) (0.05825) (0.04269) (0.12963) [-0.48855] [-0.29826] [-1.56995] [-0.40663] [-2.18228] [-0.85479] [ 0.27643] [-2.76401] D(LOG(NTI(1)),2) 0.112835 -0.72721 0.418305 -0.96742 1.068758 0.227395 -0.04077 0.941045 (0.06479) (0.43351) (0.65141) (1.38858) (1.26861) (0.53596) (0.39281) (1.19273) [ 1.74145] [-1.67748] [ 0.64216] [-0.69670] [ 0.84246] [ 0.42428] [-0.10379] [ 0.78898] D(LOG(NTI),2) 0.079095 -0.49141 0.757436 -0.74539 -0.16679 0.137211 -0.16942 0.652125 (0.05568) (0.37250) (0.55974) (1.19318) (1.09009) (0.46054) (0.33754) (1.02489) [ 1.42064] [-1.31921] [ 1.35320] [-0.62471] [-0.15300] [ 0.29794] [-0.50192] [ 0.63629] D(LOG(NTI(-1)),2) 0.075028 -0.57071 0.733872 -1.31603 0.469314 0.167332 -0.16927 0.142121 (0.04587) (0.30692) (0.46120) (0.98312) (0.89818) (0.37946) (0.27811) (0.84446) [ 1.63553] [-1.85945] [ 1.59124] [-1.33863] [ 0.52252] [ 0.44098] [-0.60863] [ 0.16830] D(LOG(NTO(1)),2) -0.07469 1.179875 -0.29479 1.46879 -2.57272 0.027991 0.331001 0.562942 (0.08344) (0.55830) (0.83892) (1.78830) (1.63379) (0.69024) (0.50589) (1.53607) [-0.89504] [ 2.11334] [-0.35140] [ 0.82134] [-1.57470] [ 0.04055] [ 0.65430] [ 0.36648] D(LOG(NTO),2) -0.03461 0.848189 -0.82771 1.304219 -0.60708 0.2272 0.584992 0.535721 (0.07228) (0.48357) (0.72663) (1.54894) (1.41511) (0.59785) (0.43818) (1.33048) [-0.47891] [ 1.75401] [-1.13910] [ 0.84201] [-0.42900] [ 0.38003] [ 1.33506] [ 0.40265] D(LOG(NTO(-1)),2) -0.03699 0.918408 -0.63148 2.12137 -1.0396 0.276002 0.647449 1.262774 (0.05989) (0.40072) (0.60213) (1.28354) (1.17265) (0.49542) (0.36310) (1.10251) [-0.61758] [ 2.29191] [-1.04875] [ 1.65275] [-0.88654] [ 0.55711] [ 1.78312] [ 1.14536] D(DSA(1),2) 0.017835 -0.23163 -0.16705 0.223693 0.257701 -0.0055 0.018643 -0.21715 (0.00711) (0.04760) (0.07153) (0.15247) (0.13930) (0.05885) (0.04313) (0.13097) [ 2.50675] [-4.86603] [-2.33540] [ 1.46709] [ 1.84996] [-0.09340] [ 0.43222] [-1.65805] D(DSA,2) 0.015587 -0.19091 -0.12695 0.123889 0.214189 -0.01551 0.006045 0.065431 (0.00706) (0.04720) (0.07093) (0.15120) (0.13814) (0.05836) (0.04277) (0.12987) [ 2.20934] [-4.04430] [-1.78979] [ 0.81938] [ 1.55057] [-0.26569] [ 0.14132] [ 0.50380] D(DSA(-1),2) 0.014322 -0.16742 -0.06323 0.12965 0.180806 -0.00746 0.002748 0.062475 (0.00542) (0.03626) (0.05449) (0.11614) (0.10611) (0.04483) (0.03286) (0.09976) [ 2.64265] [-4.61733] [-1.16040] [ 1.11628] [ 1.70396] [-0.16630] [ 0.08365] [ 0.62623] D(LOG(PPH(1)),2) 0.001542 -0.1038 0.031859 -0.18789 -0.87249 -0.12033 -0.09214 -0.05375 (0.01244) (0.08324) (0.12508) (0.26662) (0.24359) (0.10291) (0.07542) (0.22902) [ 0.12397] [-1.24703] [ 0.25471] [-0.70469] [-3.58185] [-1.16928] [-1.22166] [-0.23468] D(LOG(PPH),2) 0.012536 -0.11232 -0.01054 -0.27352 -0.49411 -0.07204 -0.0438 0.30869 (0.01221) (0.08169) (0.12275) (0.26165) (0.23905) (0.10099) (0.07402) (0.22475) [ 1.02678] [-1.37496] [-0.08586] [-1.04535] [-2.06699] [-0.71330] [-0.59168] [ 1.37349] D(LOG(PPH(-1)),2) 0.01333 -0.11943 0.016159 -0.29837 -0.28003 -0.02247 0.001793 0.290203 (0.00932) (0.06237) (0.09372) (0.19977) (0.18251) (0.07711) (0.05651) (0.17159) [ 1.43000] [-1.91496] [ 0.17243] [-1.49356] [-1.53430] [-0.29136] [ 0.03172] [ 1.69121] D(LOG(PPN(1)),2) -0.07669 -0.02233 -0.19236 0.82838 0.479447 -0.04155 -0.09292 -0.3864 (0.02585) (0.17297) (0.25991) (0.55403) (0.50616) (0.21384) (0.15673) (0.47589) [-2.96645] [-0.12911] [-0.74011] [ 1.49519] [ 0.94722] [-0.19430] [-0.59285] [-0.81195]
376
Lampiran 8. Lanjutan
Error Correction: D(LOG(GD
PA(2)),2) D(LOG(TK
A(2)),2) D(LOG(XA
(2)),2) D(LOG(IM
A(2)),2) D(WP(2),2) D(LOG(NT
I(2)),2) D(LOG(NT
O(2)),2) D(DSA(2),
2) D(LOG(PPN),2) -0.08558 0.079227 -0.20036 0.475564 -0.20402 0.038987 0.006346 0.018896 (0.02549) (0.17052) (0.25622) (0.54618) (0.49899) (0.21081) (0.15451) (0.46915) [-3.35796] [ 0.46463] [-0.78199] [ 0.87071] [-0.40886] [ 0.18494] [ 0.04107] [ 0.04028] D(LOG(PPN(-1)),2) -0.08203 0.36783 -0.31881 0.215263 -0.4874 0.045838 0.041071 0.454541 (0.02157) (0.14435) (0.21690) (0.46236) (0.42242) (0.17846) (0.13080) (0.39715) [-3.80205] [ 2.54822] [-1.46984] [ 0.46557] [-1.15385] [ 0.25685] [ 0.31401] [ 1.14451] D(LOG(EA(1)),2) 0.028423 0.0155 0.153256 -0.45033 0.083622 0.042624 0.014086 0.041416 (0.01157) (0.07740) (0.11630) (0.24791) (0.22649) (0.09569) (0.07013) (0.21295) [ 2.45702] [ 0.20027] [ 1.31778] [-1.81650] [ 0.36921] [ 0.44545] [ 0.20086] [ 0.19449] D(LOG(EA),2) 0.018044 0.001164 0.157966 -0.38795 0.12646 0.003188 -0.02092 -0.05147 (0.00960) (0.06423) (0.09652) (0.20574) (0.18797) (0.07941) (0.05820) (0.17672) [ 1.87951] [ 0.01812] [ 1.63668] [-1.88564] [ 0.67278] [ 0.04014] [-0.35946] [-0.29123] D(LOG(EA(-1)),2) 0.012332 -0.02503 0.109918 -0.35515 0.237936 -0.05703 -0.06133 -0.19037 (0.00739) (0.04942) (0.07427) (0.15831) (0.14463) (0.06110) (0.04478) (0.13598) [ 1.66944] [-0.50636] [ 1.48006] [-2.24336] [ 1.64511] [-0.93335] [-1.36954] [-1.39997] D(LOG(SP_(1)),2) 0.012697 -0.14589 -0.08256 0.100719 0.012596 -0.04461 -0.00765 0.023105 (0.00394) (0.02637) (0.03963) (0.08448) (0.07718) (0.03261) (0.02390) (0.07256) [ 3.22122] [-5.53192] [-2.08342] [ 1.19228] [ 0.16320] [-1.36811] [-0.32007] [ 0.31841] D(LOG(SP_),2) 0.010149 -0.09529 -0.06375 0.079359 -0.00887 -0.03851 -0.01227 0.001953 (0.00361) (0.02414) (0.03627) (0.07732) (0.07064) (0.02984) (0.02187) (0.06641) [ 2.81304] [-3.94776] [-1.75755] [ 1.02640] [-0.12562] [-1.29036] [-0.56109] [ 0.02940] D(LOG(SP_(-1)),2) 0.00515 0.005302 -0.01205 0.006446 -0.00168 -0.02815 -0.01006 0.007834 (0.00245) (0.01639) (0.02462) (0.05249) (0.04795) (0.02026) (0.01485) (0.04509) [ 2.10275] [ 0.32357] [-0.48928] [ 0.12281] [-0.03496] [-1.38934] [-0.67718] [ 0.17376] D(LOG(RDA(1)),2) 0.016509 -0.1278 0.055919 -0.22879 -0.06046 0.041366 0.0226 -0.25036 (0.00940) (0.06291) (0.09453) (0.20151) (0.18410) (0.07778) (0.05701) (0.17309) [ 1.75573] [-2.03144] [ 0.59154] [-1.13535] [-0.32841] [ 0.53184] [ 0.39645] [-1.44643] D(LOG(RDA),2) 0.003032 -0.05826 0.065802 -0.31882 -0.07017 0.036481 0.015812 -0.08611 (0.00914) (0.06112) (0.09184) (0.19577) (0.17886) (0.07556) (0.05538) (0.16816) [ 0.33194] [-0.95317] [ 0.71649] [-1.62852] [-0.39232] [ 0.48278] [ 0.28551] [-0.51209] D(LOG(RDA(-1)),2) -0.00056 -0.10153 0.009655 -0.37736 0.020691 0.074188 0.038772 -0.0715 (0.00838) (0.05607) (0.08425) (0.17960) (0.16408) (0.06932) (0.05081) (0.15427) [-0.06707] [-1.81065] [ 0.11460] [-2.10108] [ 0.12610] [ 1.07019] [ 0.76311] [-0.46347] D(LOG(IA(1)),2) 0.014949 0.042233 0.03833 0.013473 0.262501 -0.10932 -0.09808 0.147971 (0.01155) (0.07726) (0.11609) (0.24746) (0.22608) (0.09551) (0.07000) (0.21256) [ 1.29468] [ 0.54667] [ 0.33018] [ 0.05445] [ 1.16111] [-1.14456] [-1.40109] [ 0.69615] D(LOG(IA),2) 0.017407 0.083459 0.03891 0.116081 0.180089 -0.16386 -0.12528 0.014261 (0.01124) (0.07520) (0.11300) (0.24087) (0.22006) (0.09297) (0.06814) (0.20690) [ 1.54875] [ 1.10984] [ 0.34434] [ 0.48192] [ 0.81836] [-1.76247] [-1.83852] [ 0.06893] D(LOG(IA(-1)),2) 0.012905 0.005005 0.144256 0.076576 0.21054 -0.14681 -0.11824 -0.02601 (0.00888) (0.05943) (0.08930) (0.19036) (0.17391) (0.07347) (0.05385) (0.16351) [ 1.45293] [ 0.08421] [ 1.61542] [ 0.40227] [ 1.21062] [-1.99816] [-2.19575] [-0.15904] D(LOG(DF(1)),2) -0.00185 -0.01515 -0.01476 -0.0605 0.001042 0.054249 0.040036 -0.46492 (0.00652) (0.04365) (0.06559) (0.13983) (0.12775) (0.05397) (0.03956) (0.12011) [-0.28285] [-0.34693] [-0.22501] [-0.43266] [ 0.00816] [ 1.00518] [ 1.01216] [-3.87090] D(LOG(DF),2) -0.00857 -0.04456 0.000167 -0.07396 0.02297 0.053227 0.029625 -0.46708 (0.00585) (0.03913) (0.05879) (0.12533) (0.11450) (0.04837) (0.03545) (0.10765) [-1.46481] [-1.13880] [ 0.00285] [-0.59014] [ 0.20062] [ 1.10034] [ 0.83561] [-4.33887] D(LOG(DF(-1)),2) -0.00707 -0.03195 0.009733 -0.06105 0.021214 0.000473 -0.00685 -0.45679 (0.00439) (0.02934) (0.04409) (0.09398) (0.08586) (0.03627) (0.02658) (0.08072) [-1.61291] [-1.08887] [ 0.22078] [-0.64962] [ 0.24709] [ 0.01305] [-0.25777] [-5.65891] D(LOG(I(1)),2) 0.004808 -0.25864 -0.02944 0.128368 0.182094 0.073583 0.054717 -0.11696 (0.00726) (0.04856) (0.07296) (0.15554) (0.14210) (0.06003) (0.04400) (0.13360) [ 0.66251] [-5.32631] [-0.40343] [ 0.82532] [ 1.28146] [ 1.22570] [ 1.24358] [-0.87548]
377
Lampiran 8. Lanjutan
Error Correction: D(LOG(GD
PA(2)),2) D(LOG(TK
A(2)),2) D(LOG(XA
(2)),2) D(LOG(IM
A(2)),2) D(WP(2),2) D(LOG(NT
I(2)),2) D(LOG(NT
O(2)),2) D(DSA(2),
2) D(LOG(I),2) 0.004476 -0.15967 -0.02372 0.140352 0.084347 0.025398 0.024402 -0.04283 (0.00546) (0.03652) (0.05487) (0.11697) (0.10686) (0.04515) (0.03309) (0.10047) [ 0.82016] [-4.37244] [-0.43229] [ 1.19992] [ 0.78930] [ 0.56256] [ 0.73748] [-0.42629] D(LOG(I(-1)),2) 0.000605 -0.07227 -0.03186 0.067458 -0.00181 -0.00077 0.002995 0.034333 (0.00319) (0.02137) (0.03212) (0.06846) (0.06255) (0.02643) (0.01937) (0.05881) [ 0.18940] [-3.38136] [-0.99204] [ 0.98532] [-0.02888] [-0.02923] [ 0.15466] [ 0.58382]
D(LOG(KONS(1)),2) -0.02284 -0.11933 0.031053 0.660782 -0.01867 0.122685 0.079652 0.211151 (0.01179) (0.07887) (0.11852) (0.25264) (0.23081) (0.09751) (0.07147) (0.21701) [-1.93712] [-1.51288] [ 0.26201] [ 2.61549] [-0.08087] [ 1.25814] [ 1.11449] [ 0.97300] D(LOG(KONS),2) -0.01912 -0.12641 -0.14858 0.558743 -0.05543 0.068659 0.076125 -0.16121 (0.01148) (0.07681) (0.11541) (0.24603) (0.22477) (0.09496) (0.06960) (0.21133) [-1.66529] [-1.64580] [-1.28731] [ 2.27107] [-0.24663] [ 0.72303] [ 1.09378] [-0.76283]
D(LOG(KONS(-1)),2) -0.02404 -0.16633 -0.10894 0.627811 -0.16279 0.071944 0.073079 -0.165 (0.00961) (0.06429) (0.09661) (0.20593) (0.18814) (0.07949) (0.05826) (0.17689) [-2.50139] [-2.58715] [-1.12761] [ 3.04859] [-0.86525] [ 0.90512] [ 1.25443] [-0.93279] C 0.001029 -0.00602 0.007364 -0.0167 -0.00112 0.00731 0.005876 0.006688 (0.00128) (0.00858) (0.01289) (0.02749) (0.02511) (0.01061) (0.00778) (0.02361) [ 0.80233] [-0.70124] [ 0.57108] [-0.60751] [-0.04439] [ 0.68907] [ 0.75569] [ 0.28330] D_MNTR -0.00437 0.032908 -0.03303 0.07687 -0.03112 -0.0314 -0.02479 -0.01914 (0.00301) (0.02017) (0.03031) (0.06461) (0.05903) (0.02494) (0.01828) (0.05550) [-1.44843] [ 1.63147] [-1.08969] [ 1.18976] [-0.52725] [-1.25898] [-1.35629] [-0.34484] R-squared 0.784839 0.871065 0.798717 0.596163 0.766964 0.59499 0.619619 0.701694 Adj. R-squared 0.617181 0.770596 0.641874 0.281485 0.585378 0.279398 0.323218 0.469247 Sum sq. resids 0.012564 0.562439 1.269933 5.770594 4.816539 0.859688 0.461797 4.257611 S.E. equation 0.012774 0.085466 0.128424 0.273757 0.250105 0.105664 0.077443 0.235146 F-statistic 4.681191 8.670006 5.092441 1.894519 4.223684 1.885312 2.090476 3.018734 Log likelihood 446.1721 183.8746 127.6784 23.22552 35.69515 154.5988 197.4785 44.20613 Akaike AIC -5.58221 -1.78079 -0.96635 0.547456 0.366737 -1.35651 -1.97795 0.243389 Schwarz SC -4.28827 -0.48686 0.327577 1.841387 1.660668 -0.06257 -0.68402 1.53732 Mean dependent -4.45E-05 -8.05E-05 -0.0003 0.000305 -0.0013 -0.00036 -0.00053 -0.00011 S.D. dependent 0.020646 0.17844 0.214599 0.322959 0.388415 0.124474 0.094136 0.322769 Determinant Residual Covariance 1.28E-32 Log Likelihood 2422.773 Log Likelihood (d.f. adjusted) 1738.388 Akaike Information Criteria -8.19403 Schwarz Criteria 16.68762
378
Lampiran 8. Lanjutan
Error Correction: D(LOG
(PPH(2)),2) D(LOG(PP
N(2)),2) D(LOG
(EA(2)),2) D(LOG
(SP_(2)),2) D(LOG(RD
A(2)),2) D(LOG(IA
(2)),2) D(LOG
(DF(2)),2) D(LOG (I(2)),2)
D(LOG(KONS(2)),2)
CointEq1 0.507029 -1.018642 1.392212 2.180552 -3.304457 -3.008408 -15.22841 -2.437754 1.298456 (0.67502) (0.43071) (1.20700) (4.68388) (1.56980) (1.48310) (2.44111) (3.37877) (1.13630) [ 0.75114] [-2.36503] [ 1.15345] [ 0.46554] [-2.10502] [-2.02846] [-6.23832] [-0.72149] [ 1.14271] CointEq2 0.505218 0.121177 0.597617 2.140916 0.348227 0.632597 0.287442 0.944894 -0.212199 (0.09405) (0.06001) (0.16818) (0.65263) (0.21873) (0.20665) (0.34013) (0.47078) (0.15833) [ 5.37161] [ 2.01919] [ 3.55349] [ 3.28045] [ 1.59206] [ 3.06124] [ 0.84509] [ 2.00708] [-1.34026] CointEq3 0.184242 0.365867 -0.521333 -0.227763 0.075449 -0.437731 1.882196 -1.01976 0.117765 (0.14501) (0.09253) (0.25930) (1.00622) (0.33723) (0.31861) (0.52442) (0.72585) (0.24411) [ 1.27053] [ 3.95413] [-2.01057] [-0.22635] [ 0.22373] [-1.37388] [ 3.58913] [-1.40492] [ 0.48243] CointEq4 0.088645 -0.133405 -0.055915 0.489189 -0.021074 0.184 -0.643962 0.290048 0.012693 (0.04479) (0.02858) (0.08010) (0.31083) (0.10417) (0.09842) (0.16200) (0.22422) (0.07541) [ 1.97891] [-4.66739] [-0.69809] [ 1.57382] [-0.20229] [ 1.86953] [-3.97519] [ 1.29359] [ 0.16833] CointEq5 -0.821725 -1.006722 -0.270212 4.933897 -0.77642 0.455671 1.562994 0.695217 -0.616248 (0.64499) (0.41155) (1.15331) (4.47553) (1.49997) (1.41712) (2.33252) (3.22847) (1.08575) [-1.27401] [-2.44617] [-0.23429] [ 1.10242] [-0.51762] [ 0.32155] [ 0.67009] [ 0.21534] [-0.56758] CointEq6 -0.324969 -0.335254 0.613675 5.521366 -0.667042 0.510272 -2.414673 -0.774456 -0.22524 (0.50409) (0.32164) (0.90136) (3.49782) (1.17229) (1.10755) (1.82297) (2.52319) (0.84856) [-0.64467] [-1.04231] [ 0.68083] [ 1.57851] [-0.56901] [ 0.46072] [-1.32458] [-0.30694] [-0.26544] CointEq7 0.893705 0.874566 0.239263 -5.917334 0.568754 -0.280395 -0.937574 -1.176846 0.618671 (0.63101) (0.40263) (1.12832) (4.37856) (1.46747) (1.38642) (2.28198) (3.15852) (1.06223) [ 1.41630] [ 2.17212] [ 0.21205] [-1.35143] [ 0.38758] [-0.20224] [-0.41086] [-0.37259] [ 0.58243] CointEq8 0.01773 -0.005562 -0.067758 -0.397393 0.060811 0.027066 0.482728 0.110714 -0.06534 (0.04795) (0.03059) (0.08573) (0.33269) (0.11150) (0.10534) (0.17339) (0.23999) (0.08071) [ 0.36978] [-0.18182] [-0.79035] [-1.19448] [ 0.54539] [ 0.25694] [ 2.78406] [ 0.46133] [-0.80957]
D(LOG(GDPA(1)),2) 0.021278 0.94345 -1.948232 -5.662021 3.019363 2.424807 10.39988 -2.159148 -0.51244 (0.85774) (0.54730) (1.53374) (5.95181) (1.99474) (1.88457) (3.10191) (4.29340) (1.44389) [ 0.02481] [ 1.72382] [-1.27025] [-0.95131] [ 1.51366] [ 1.28666] [ 3.35273] [-0.50290] [-0.35490] D(LOG(GDPA),2) 0.523012 0.860441 -2.590721 -13.11243 4.112943 2.146586 8.303723 -2.525075 0.077179 (0.85684) (0.54673) (1.53212) (5.94555) (1.99264) (1.88259) (3.09865) (4.28888) (1.44238) [ 0.61040] [ 1.57380] [-1.69093] [-2.20542] [ 2.06406] [ 1.14023] [ 2.67979] [-0.58875] [ 0.05351] D(LOG(GDPA(-1)),2) -0.092086 1.030812 -2.212479 -9.470359 2.889074 0.478006 7.8642 -4.017176 -0.317252 (0.73019) (0.46591) (1.30566) (5.06673) (1.69811) (1.60432) (2.64063) (3.65494) (1.22918) [-0.12611] [ 2.21245] [-1.69453] [-1.86913] [ 1.70135] [ 0.29795] [ 2.97815] [-1.09911] [-0.25810] D(LOG(TKA(1)),2) -0.417228 -0.160789 -0.622503 -3.865836 -0.183162 -0.418415 -0.66932 -1.090116 0.141872 (0.11627) (0.07419) (0.20790) (0.80679) (0.27039) (0.25546) (0.42047) (0.58198) (0.19572) [-3.58845] [-2.16730] [-2.99420] [-4.79164] [-0.67739] [-1.63789] [-1.59182] [-1.87310] [ 0.72485] D(LOG(TKA),2) -0.394725 -0.153933 -0.482089 -3.121853 -0.160103 -0.509393 -0.846323 -0.57415 0.088489 (0.11133) (0.07103) (0.19906) (0.77248) (0.25890) (0.24460) (0.40260) (0.55724) (0.18740) [-3.54567] [-2.16704] [-2.42180] [-4.04133] [-0.61841] [-2.08258] [-2.10217] [-1.03035] [ 0.47219] D(LOG(TKA(-1)),2) -0.431268 -0.123685 -0.319614 -1.627282 -0.262827 -0.623021 -0.925077 0.10058 0.03381 (0.08043) (0.05132) (0.14382) (0.55810) (0.18705) (0.17672) (0.29087) (0.40259) (0.13539) [-5.36200] [-2.41005] [-2.22234] [-2.91575] [-1.40514] [-3.52555] [-3.18042] [ 0.24983] [ 0.24972] D(LOG(XA(1)),2) -0.097609 -0.31392 0.29179 -0.320054 0.168879 0.499859 -1.413665 1.040211 -0.129052 (0.13360) (0.08525) (0.23889) (0.92703) (0.31069) (0.29353) (0.48314) (0.66872) (0.22489) [-0.73062] [-3.68255] [ 1.22145] [-0.34525] [ 0.54356] [ 1.70291] [-2.92600] [ 1.55553] [-0.57384] D(LOG(XA),2) -0.04544 -0.220652 0.272289 -0.03827 0.219723 0.334685 -0.99414 0.506787 -0.126557 (0.09659) (0.06163) (0.17271) (0.67020) (0.22462) (0.21221) (0.34929) (0.48346) (0.16259) [-0.47046] [-3.58033] [ 1.57660] [-0.05710] [ 0.97821] [ 1.57713] [-2.84616] [ 1.04825] [-0.77838] D(LOG(XA(-1)),2) -0.007087 -0.094049 0.090576 -0.130692 0.23699 0.354804 -0.227181 0.400645 -0.103424 (0.07192) (0.04589) (0.12861) (0.49907) (0.16726) (0.15802) (0.26010) (0.36001) (0.12107) [-0.09854] [-2.04936] [ 0.70429] [-0.26187] [ 1.41688] [ 2.24526] [-0.87344] [ 1.11288] [-0.85423] D(LOG(IMA(1)),2) -0.08916 0.094568 -0.05409 -0.478348 0.032292 -0.170144 0.449656 -0.198645 -0.025986 (0.04850) (0.03094) (0.08671) (0.33650) (0.11278) (0.10655) (0.17538) (0.24274) (0.08164) [-1.83854] [ 3.05614] [-0.62377] [-1.42152] [ 0.28633] [-1.59684] [ 2.56394] [-0.81834] [-0.31832]
379
Lampiran 8. Lanjutan
Error Correction: D(LOG
(PPH(2)),2) D(LOG(PP
N(2)),2) D(LOG
(EA(2)),2) D(LOG
(SP_(2)),2) D(LOG(RD
A(2)),2) D(LOG(IA
(2)),2) D(LOG
(DF(2)),2) D(LOG (I(2)),2)
D(LOG(KONS(2)),2)
D(LOG(IMA),2) -0.072964 0.075766 -0.174532 -0.641362 0.037918 -0.112425 0.26921 0.04848 0.000793 (0.04555) (0.02906) (0.08144) (0.31605) (0.10592) (0.10007) (0.16471) (0.22798) (0.07667) [-1.60194] [ 2.60702] [-2.14299] [-2.02932] [ 0.35797] [-1.12343] [ 1.63440] [ 0.21265] [ 0.01035] D(LOG(IMA(-1)),2) -0.102008 0.024613 -0.333832 -0.576879 0.071132 -0.113773 0.167928 -0.377517 -0.013469 (0.03860) (0.02463) (0.06903) (0.26787) (0.08978) (0.08482) (0.13961) (0.19323) (0.06499) [-2.64239] [ 0.99921] [-4.83612] [-2.15355] [ 0.79231] [-1.34136] [ 1.20285] [-1.95368] [-0.20726] D(WP(1),2) -0.127511 0.130828 0.058427 0.945995 0.194952 -0.164732 -0.501368 0.340634 0.086525 (0.08585) (0.05478) (0.15350) (0.59568) (0.19964) (0.18861) (0.31045) (0.42970) (0.14451) [-1.48535] [ 2.38843] [ 0.38063] [ 1.58810] [ 0.97652] [-0.87338] [-1.61498] [ 0.79273] [ 0.59875] D(WP,2) -0.20851 0.159286 0.101228 0.914736 0.140483 -0.138528 -0.393716 0.273835 0.286467 (0.06756) (0.04311) (0.12081) (0.46882) (0.15712) (0.14845) (0.24434) (0.33819) (0.11373) [-3.08611] [ 3.69481] [ 0.83790] [ 1.95114] [ 0.89409] [-0.93319] [-1.61137] [ 0.80971] [ 2.51873] D(WP(-1),2) -0.177048 0.019699 0.043726 0.543232 0.086358 -0.164783 -0.013565 0.100999 -0.009121 (0.04882) (0.03115) (0.08729) (0.33874) (0.11353) (0.10726) (0.17654) (0.24435) (0.08218) [-3.62677] [ 0.63240] [ 0.50092] [ 1.60369] [ 0.76068] [-1.53633] [-0.07684] [ 0.41333] [-0.11099]
D(LOG(NTI(1)),2) 0.438147 0.352597 -0.72726 -2.089386 0.738407 0.277289 1.802256 0.398327 0.304327 (0.44916) (0.28660) (0.80315) (3.11672) (1.04456) (0.98687) (1.62434) (2.24828) (0.75611) [ 0.97547] [ 1.23028] [-0.90550] [-0.67038] [ 0.70690] [ 0.28098] [ 1.10953] [ 0.17717] [ 0.40249]
D(LOG(NTI),2) 0.402812 0.34626 -0.79474 -1.451482 0.41895 0.181051 1.13852 1.086136 0.624314 (0.38596) (0.24627) (0.69013) (2.67813) (0.89757) (0.84800) (1.39576) (1.93189) (0.64971) [ 1.04367] [ 1.40603] [-1.15158] [-0.54198] [ 0.46676] [ 0.21350] [ 0.81570] [ 0.56221] [ 0.96092]
D(LOG(NTI(-1)),2) 0.231629 0.075019 -0.883296 -1.07354 0.125406 -0.169388 0.892154 0.419619 0.134719 (0.31801) (0.20291) (0.56863) (2.20664) (0.73955) (0.69871) (1.15004) (1.59178) (0.53533) [ 0.72837] [ 0.36971] [-1.55336] [-0.48650] [ 0.16957] [-0.24243] [ 0.77576] [ 0.26362] [ 0.25166]
D(LOG(NTO(1)),2) -1.036189 -0.865187 0.066553 2.043281 -0.523546 -0.493972 0.576182 0.549016 -0.506926 (0.57846) (0.36910) (1.03435) (4.01389) (1.34525) (1.27095) (2.09193) (2.89546) (0.97376) [-1.79128] [-2.34405] [ 0.06434] [ 0.50905] [-0.38918] [-0.38866] [ 0.27543] [ 0.18961] [-0.52059]
D(LOG(NTO),2) -0.938018 -0.846939 0.092814 1.207541 -0.099633 -0.406988 0.875128 -0.404125 -1.099781 (0.50104) (0.31970) (0.89591) (3.47665) (1.16519) (1.10084) (1.81193) (2.50792) (0.84343) [-1.87216] [-2.64919] [ 0.10360] [ 0.34733] [-0.08551] [-0.36971] [ 0.48298] [-0.16114] [-1.30394] D(LOG(NTO(-1)),2) -0.798411 -0.485374 0.183572 0.571434 0.019949 0.026265 1.045751 1.269083 -0.459597 (0.41519) (0.26492) (0.74240) (2.88096) (0.96555) (0.91222) (1.50147) (2.07821) (0.69891) [-1.92301] [-1.83215] [ 0.24727] [ 0.19835] [ 0.02066] [ 0.02879] [ 0.69648] [ 0.61066] [-0.65759] D(DSA(1),2) 0.008163 0.009121 0.04307 0.133173 -0.081839 -0.026442 -0.271278 0.092118 0.041271 (0.04932) (0.03147) (0.08819) (0.34223) (0.11470) (0.10836) (0.17836) (0.24687) (0.08303) [ 0.16551] [ 0.28983] [ 0.48837] [ 0.38913] [-0.71351] [-0.24401] [-1.52093] [ 0.37314] [ 0.49709] D(DSA,2) 0.003921 0.001736 0.077315 0.009906 -0.131037 -0.049775 -0.216523 0.015622 -0.030228 (0.04891) (0.03121) (0.08745) (0.33937) (0.11374) (0.10746) (0.17687) (0.24481) (0.08233) [ 0.08016] [ 0.05562] [ 0.88408] [ 0.02919] [-1.15208] [-0.46320] [-1.22419] [ 0.06381] [-0.36716] D(DSA(-1),2) 0.002355 0.015805 0.120281 0.036575 -0.121064 -0.050968 -0.248904 0.141325 -0.004591 (0.03757) (0.02397) (0.06718) (0.26069) (0.08737) (0.08254) (0.13586) (0.18805) (0.06324) [ 0.06269] [ 0.65930] [ 1.79049] [ 0.14030] [-1.38565] [-0.61746] [-1.83200] [ 0.75152] [-0.07260] D(LOG(PPH(1)),2) -0.413262 -0.056362 0.136821 0.321701 0.11264 0.20855 -0.325198 -0.314138 0.037415 (0.08624) (0.05503) (0.15421) (0.59845) (0.20057) (0.18949) (0.31189) (0.43169) (0.14518) [-4.79173] [-1.02420] [ 0.88721] [ 0.53756] [ 0.56161] [ 1.10058] [-1.04266] [-0.72769] [ 0.25771] D(LOG(PPH),2) -0.304486 -0.095405 0.206838 0.375939 0.103776 0.081346 -0.351416 0.126781 -0.018228 (0.08464) (0.05400) (0.15134) (0.58729) (0.19683) (0.18596) (0.30608) (0.42365) (0.14247) [-3.59756] [-1.76663] [ 1.36672] [ 0.64013] [ 0.52724] [ 0.43745] [-1.14813] [ 0.29926] [-0.12794] D(LOG(PPH(-1)),2) -0.264663 -0.096435 0.18246 0.371328 0.091705 -0.043549 -0.189406 0.306282 -0.073094 (0.06462) (0.04123) (0.11555) (0.44839) (0.15028) (0.14198) (0.23369) (0.32345) (0.10878) [-4.09569] [-2.33882] [ 1.57909] [ 0.82813] [ 0.61023] [-0.30673] [-0.81050] [ 0.94692] [-0.67195] D(LOG(PPN(1)),2) 0.434956 -0.207912 0.430269 -1.64963 -0.314888 -0.656208 -1.497654 -0.677503 0.156503 (0.17921) (0.11435) (0.32045) (1.24354) (0.41677) (0.39375) (0.64810) (0.89704) (0.30168) [ 2.42703] [-1.81820] [ 1.34269] [-1.32656] [-0.75554] [-1.66654] [-2.31084] [-0.75526] [ 0.51877]
380
Lampiran 8. Lanjutan
Error Correction: D(LOG
(PPH(2)),2) D(LOG(PP
N(2)),2) D(LOG
(EA(2)),2) D(LOG
(SP_(2)),2) D(LOG(RD
A(2)),2) D(LOG(IA
(2)),2) D(LOG
(DF(2)),2) D(LOG (I(2)),2)
D(LOG(KONS(2)),2)
D(LOG(PPN),2) 0.217332 -0.02534 0.630491 -1.130349 -0.418237 -0.710444 -1.452984 -1.349019 0.227957 (0.17667) (0.11273) (0.31591) (1.22592) (0.41087) (0.38817) (0.63892) (0.88433) (0.29741) [ 1.23014] [-0.22478] [ 1.99579] [-0.92204] [-1.01794] [-1.83022] [-2.27414] [-1.52547] [ 0.76649] D(LOG(PPN(-1)),2) 0.410289 0.054529 0.876586 -1.415869 -0.693241 -0.443847 -1.824513 -1.851001 -0.182976 (0.14956) (0.09543) (0.26743) (1.03779) (0.34781) (0.32860) (0.54087) (0.74862) (0.25177) [ 2.74330] [ 0.57140] [ 3.27781] [-1.36431] [-1.99314] [-1.35071] [-3.37332] [-2.47255] [-0.72677] D(LOG(EA(1)),2) -0.38595 -0.027899 -0.123503 -0.679797 0.14253 -0.132835 -0.110874 0.093615 -0.18019 (0.08019) (0.05117) (0.14339) (0.55644) (0.18649) (0.17619) (0.29000) (0.40140) (0.13499) [-4.81284] [-0.54524] [-0.86130] [-1.22168] [ 0.76427] [-0.75393] [-0.38232] [ 0.23322] [-1.33482] D(LOG(EA),2) -0.351393 -0.028101 -0.037484 -0.404382 -0.004614 -0.185267 -0.424928 0.028898 -0.107841 (0.06655) (0.04246) (0.11900) (0.46179) (0.15477) (0.14622) (0.24067) (0.33312) (0.11203) [-5.28005] [-0.66175] [-0.31499] [-0.87568] [-0.02981] [-1.26703] [-1.76558] [ 0.08675] [-0.96261] D(LOG(EA(-1)),2) -0.405908 -0.045436 -0.022581 -0.435311 0.000434 -0.196511 -0.346333 0.089245 -0.115548 (0.05121) (0.03267) (0.09157) (0.35533) (0.11909) (0.11251) (0.18519) (0.25632) (0.08620) [-7.92655] [-1.39056] [-0.24661] [-1.22508] [ 0.00364] [-1.74657] [-1.87016] [ 0.34817] [-1.34042]
D(LOG(SP_(1)),2) 0.094673 -0.027202 -0.124972 -0.6992 0.059092 0.175684 0.093679 0.086106 -0.007455 (0.02733) (0.01744) (0.04886) (0.18961) (0.06355) (0.06004) (0.09882) (0.13678) (0.04600) [ 3.46464] [-1.56012] [-2.55770] [-3.68757] [ 0.92989] [ 2.92622] [ 0.94798] [ 0.62953] [-0.16207]
D(LOG(SP_),2) 0.082914 -0.022935 -0.111155 -0.732255 0.061073 0.151951 0.078553 0.125989 -0.006195 (0.02501) (0.01596) (0.04472) (0.17354) (0.05816) (0.05495) (0.09045) (0.12519) (0.04210) [ 3.31522] [-1.43718] [-2.48554] [-4.21946] [ 1.05004] [ 2.76525] [ 0.86851] [ 1.00641] [-0.14715] D(LOG(SP_(-1)),2) 0.026448 -0.017092 -0.037047 -0.496174 0.022033 0.054621 0.008687 0.018931 -0.016992 (0.01698) (0.01083) (0.03036) (0.11781) (0.03949) (0.03730) (0.06140) (0.08499) (0.02858) [ 1.55771] [-1.57765] [-1.22025] [-4.21150] [ 0.55801] [ 1.46418] [ 0.14148] [ 0.22275] [-0.59450] D(LOG(RDA(1)),2) -0.156572 -0.041601 0.076657 0.521192 -0.133313 0.098628 -0.07267 0.671632 -0.03451 (0.06518) (0.04159) (0.11655) (0.45230) (0.15159) (0.14322) (0.23573) (0.32627) (0.10973) [-2.40204] [-1.00023] [ 0.65769] [ 1.15232] [-0.87945] [ 0.68867] [-0.30828] [ 2.05851] [-0.31451] D(LOG(RDA),2) -0.130604 -0.030762 0.175095 0.022097 -0.116748 -0.091603 -0.203273 0.785882 0.0081 (0.06333) (0.04041) (0.11323) (0.43942) (0.14727) (0.13914) (0.22901) (0.31698) (0.10660) [-2.06239] [-0.76130] [ 1.54630] [ 0.05029] [-0.79275] [-0.65836] [-0.88761] [ 2.47929] [ 0.07598] D(LOG(RDA(-1)),2) -0.238025 -0.027337 0.232614 0.118254 -0.121085 -0.130143 -0.129036 0.227297 -0.021009 (0.05810) (0.03707) (0.10388) (0.40312) (0.13511) (0.12764) (0.21010) (0.29080) (0.09780) [-4.09711] [-0.73746] [ 2.23922] [ 0.29334] [-0.89622] [-1.01958] [-0.61418] [ 0.78163] [-0.21482] D(LOG(IA(1)),2) 0.128821 0.008642 -0.214155 0.278742 -0.208438 -0.097297 0.425348 -0.852112 0.001956 (0.08005) (0.05107) (0.14313) (0.55543) (0.18615) (0.17587) (0.28947) (0.40066) (0.13475) [ 1.60935] [ 0.16920] [-1.49623] [ 0.50185] [-1.11973] [-0.55323] [ 1.46939] [-2.12676] [ 0.01452] D(LOG(IA),2) 0.173357 0.015918 -0.284845 0.117111 -0.049234 0.201809 0.458867 -0.686518 -0.103609 (0.07791) (0.04972) (0.13932) (0.54064) (0.18120) (0.17119) (0.28177) (0.39000) (0.13116) [ 2.22496] [ 0.32019] [-2.04455] [ 0.21661] [-0.27172] [ 1.17887] [ 1.62853] [-1.76031] [-0.78995] D(LOG(IA(-1)),2) 0.167701 0.017976 -0.256656 0.365902 -0.06969 0.25891 0.394655 0.007119 -0.038672 (0.06157) (0.03929) (0.11010) (0.42726) (0.14320) (0.13529) (0.22268) (0.30821) (0.10365) [ 2.72353] [ 0.45754] [-2.33106] [ 0.85639] [-0.48668] [ 1.91377] [ 1.77232] [ 0.02310] [-0.37309] D(LOG(DF(1)),2) 0.020585 0.002332 -0.159765 -0.256938 0.157001 -0.073353 -0.14368 0.646824 -0.111601 (0.04523) (0.02886) (0.08088) (0.31384) (0.10518) (0.09938) (0.16357) (0.22640) (0.07614) [ 0.45512] [ 0.08081] [-1.97544] [-0.81868] [ 1.49262] [-0.73814] [-0.87842] [ 2.85706] [-1.46577] D(LOG(DF),2) -0.015666 -0.004104 -0.133111 0.158449 0.069669 -0.097668 -0.115263 0.161619 -0.032461 (0.04054) (0.02587) (0.07249) (0.28130) (0.09428) (0.08907) (0.14661) (0.20292) (0.06824) [-0.38643] [-0.15865] [-1.83630] [ 0.56328] [ 0.73898] [-1.09653] [-0.78621] [ 0.79647] [-0.47568] D(LOG(DF(-1)),2) 0.007329 -0.01402 -0.114294 0.009701 0.059135 -0.035318 -0.0732 0.276871 -0.069926 (0.03040) (0.01940) (0.05436) (0.21093) (0.07069) (0.06679) (0.10993) (0.15216) (0.05117) [ 0.24111] [-0.72284] [-2.10272] [ 0.04599] [ 0.83650] [-0.52879] [-0.66587] [ 1.81964] [-1.36650]
381
Lampiran 8. Lanjutan
Error Correction: D(LOG
(PPH(2)),2) D(LOG(PP
N(2)),2) D(LOG
(EA(2)),2) D(LOG
(SP_(2)),2) D(LOG(RD
A(2)),2) D(LOG(IA
(2)),2) D(LOG
(DF(2)),2) D(LOG (I(2)),2)
D(LOG(KONS(2)),2)
D(LOG(I(1)),2) 0.018646 -0.09428 -0.261812 0.766422 0.135058 -0.32086 -0.192609 0.170989 -0.006288 (0.05031) (0.03210) (0.08996) (0.34911) (0.11700) (0.11054) (0.18195) (0.25183) (0.08469) [ 0.37062] [-2.93686] [-2.91024] [ 2.19537] [ 1.15431] [-2.90263] [-1.05861] [ 0.67898] [-0.07424] D(LOG(I),2) 0.025774 -0.060811 -0.205421 0.284874 0.096913 -0.170734 -0.127922 -0.124258 -0.005209 (0.03784) (0.02414) (0.06765) (0.26254) (0.08799) (0.08313) (0.13683) (0.18939) (0.06369) [ 0.68119] [-2.51888] [-3.03633] [ 1.08507] [ 1.10142] [-2.05381] [-0.93491] [-0.65611] [-0.08178] D(LOG(I(-1)),2) 0.011528 -0.028038 -0.09579 0.108265 0.046434 -0.090202 -0.078 -0.395237 0.011712 (0.02215) (0.01413) (0.03960) (0.15367) (0.05150) (0.04866) (0.08009) (0.11085) (0.03728) [ 0.52057] [-1.98421] [-2.41897] [ 0.70454] [ 0.90160] [-1.85381] [-0.97393] [-3.56550] [ 0.31416] D(LOG(KONS(1)),2) 0.260235 -0.016454 -0.444829 0.809249 -0.052981 -0.177482 -0.366573 0.372 -0.471329 (0.08172) (0.05214) (0.14613) (0.56706) (0.19005) (0.17955) (0.29554) (0.40906) (0.13757) [ 3.18439] [-0.31554] [-3.04411] [ 1.42709] [-0.27878] [-0.98846] [-1.24036] [ 0.90941] [-3.42615] D(LOG(KONS),2) 0.117952 -0.012018 -0.336123 0.507729 0.094373 -0.090239 -0.28502 0.13532 -0.387899 (0.07958) (0.05078) (0.14230) (0.55221) (0.18507) (0.17485) (0.28780) (0.39835) (0.13397) [ 1.48214] [-0.23666] [-2.36205] [ 0.91944] [ 0.50992] [-0.51609] [-0.99035] [ 0.33971] [-2.89550] D(LOG(KONS(-1)),2) 0.040302 0.023633 -0.275846 0.290905 0.244997 0.012348 -0.135 -0.129331 -0.16897 (0.06661) (0.04250) (0.11911) (0.46223) (0.15492) (0.14636) (0.24090) (0.33343) (0.11214) [ 0.60500] [ 0.55601] [-2.31584] [ 0.62935] [ 1.58149] [ 0.08437] [-0.56040] [-0.38788] [-1.50684] C -0.015638 -0.004401 0.008565 0.003381 -0.000213 -0.011492 0.005069 0.038777 -0.007533 (0.00889) (0.00567) (0.01590) (0.06169) (0.02068) (0.01953) (0.03215) (0.04450) (0.01497) [-1.75888] [-0.77582] [ 0.53876] [ 0.05480] [-0.01029] [-0.58832] [ 0.15764] [ 0.87135] [-0.50333] D_MNTR 0.041039 0.017063 -0.046974 0.029569 0.002097 0.041837 -0.005583 -0.168259 0.030792 (0.02090) (0.01334) (0.03737) (0.14502) (0.04860) (0.04592) (0.07558) (0.10461) (0.03518) [ 1.96366] [ 1.27954] [-1.25700] [ 0.20390] [ 0.04314] [ 0.91113] [-0.07387] [-1.60844] [ 0.87525] R-squared 0.8948 0.776257 0.757354 0.821599 0.493058 0.742679 0.799196 0.861203 0.691604 Adj. R-squared 0.812826 0.601911 0.568279 0.682584 0.098038 0.54217 0.642726 0.75305 0.451296 Sum sq. resids 0.603796 0.245827 1.930534 29.07192 3.265491 2.914748 7.896508 15.12787 1.710989 S.E. equation 0.088552 0.056503 0.158341 0.614457 0.205934 0.194561 0.320238 0.443245 0.149066 F-statistic 10.91568 4.452407 4.005579 5.91018 1.248184 3.70396 5.107653 7.962786 2.877986 Log likelihood 178.9788 240.9827 98.77904 -88.34733 62.51169 70.35193 1.583964 -43.27419 107.1091 Akaike AIC -1.709837 -2.608445 -0.547522 2.164454 -0.021908 -0.135535 0.861102 1.51122 -0.668247 Schwarz SC -0.415906 -1.314515 0.746409 3.458385 1.272022 1.158396 2.155033 2.805151 0.625684 Mean dependent -0.000234 -0.000222 -0.002258 0.00114 -0.001132 0.000591 0.003211 -0.000394 0.000116 S.D. dependent 0.204681 0.089553 0.240986 1.09063 0.216838 0.287543 0.535761 0.891946 0.201238
382
Lampiran 9. Impulse Response Function Impulse Response to Cholesky (d.f. Adjusted) One S.D. Innovations (Dari VECM Lag3 Kointegrasi 8 periode 60 triwulan) A. Respon Dinamik Kinerja Sektor Pertanian atas Guncangan Kebijakan Fiskal 9.1. Response of D(LOG(PPH(2))): Period D(LOG
(PPH(2)))D(LOG
(GDPA(2))) D(LOG
(TKA(2)))D(LOG
(XA(2)))D(LOG
(IMA(2))) D(WP(2))
1 0.0656 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.0025 0.0008 0.0055 -0.0061 -0.0040 -0.0090 3 0.0115 0.0015 0.0062 -0.0015 -0.0081 0.0249 4 0.0079 0.0010 0.0083 0.0057 -0.0157 0.0109 5 0.0145 -0.0008 0.0169 -0.0083 0.0100 0.0038 6 0.0170 0.0011 0.0024 -0.0009 -0.0080 0.0007 7 0.0155 0.0004 0.0077 0.0015 -0.0088 -0.0029 8 0.0213 0.0013 0.0008 0.0003 -0.0075 0.0145 9 0.0239 0.0025 -0.0036 -0.0071 -0.0013 0.0055
10 0.0134 0.0005 0.0076 -0.0015 -0.0028 0.0053 11 0.0174 0.0007 0.0061 0.0002 -0.0026 -0.0002 12 0.0117 0.0002 0.0118 0.0015 -0.0128 0.0062 13 0.0156 0.0003 0.0073 -0.0054 -0.0055 0.0082 14 0.0193 0.0010 0.0019 -0.0010 -0.0028 0.0037 15 0.0178 0.0010 0.0035 -0.0006 -0.0037 0.0043 16 0.0176 0.0010 0.0042 0.0001 -0.0031 0.0031 17 0.0189 0.0008 0.0068 -0.0038 -0.0057 0.0045 18 0.0152 0.0006 0.0073 -0.0024 -0.0061 0.0053 19 0.0162 0.0007 0.0065 0.0002 -0.0063 0.0059 20 0.0160 0.0008 0.0044 -0.0008 -0.0044 0.0057 21 0.0172 0.0009 0.0050 -0.0038 -0.0029 0.0047 22 0.0180 0.0009 0.0046 -0.0014 -0.0049 0.0052 23 0.0169 0.0008 0.0051 -0.0002 -0.0054 0.0044 24 0.0167 0.0007 0.0055 -0.0012 -0.0056 0.0051 25 0.0177 0.0008 0.0056 -0.0030 -0.0057 0.0043 26 0.0166 0.0007 0.0060 -0.0016 -0.0043 0.0049 27 0.0168 0.0008 0.0056 -0.0003 -0.0050 0.0052 28 0.0160 0.0008 0.0057 -0.0014 -0.0050 0.0047 29 0.0170 0.0008 0.0056 -0.0028 -0.0045 0.0051 30 0.0173 0.0008 0.0053 -0.0012 -0.0049 0.0048 31 0.0169 0.0008 0.0053 -0.0008 -0.0051 0.0052 32 0.0170 0.0008 0.0049 -0.0017 -0.0050 0.0048 33 0.0172 0.0008 0.0053 -0.0023 -0.0051 0.0051 34 0.0170 0.0008 0.0055 -0.0014 -0.0046 0.0048 35 0.0167 0.0008 0.0056 -0.0008 -0.0052 0.0048 36 0.0166 0.0008 0.0056 -0.0017 -0.0051 0.0049 37 0.0170 0.0008 0.0056 -0.0021 -0.0048 0.0049 38 0.0170 0.0008 0.0055 -0.0012 -0.0048 0.0049 39 0.0168 0.0008 0.0054 -0.0011 -0.0050 0.0049 40 0.0169 0.0008 0.0053 -0.0018 -0.0049 0.0049 41 0.0170 0.0008 0.0054 -0.0020 -0.0050 0.0050 42 0.0169 0.0008 0.0055 -0.0013 -0.0048 0.0049 43 0.0169 0.0008 0.0053 -0.0012 -0.0051 0.0049 44 0.0168 0.0008 0.0054 -0.0018 -0.0050 0.0049 45 0.0170 0.0008 0.0054 -0.0018 -0.0048 0.0049 46 0.0170 0.0008 0.0054 -0.0013 -0.0049 0.0049 47 0.0168 0.0008 0.0055 -0.0013 -0.0051 0.0049 48 0.0169 0.0008 0.0055 -0.0018 -0.0050 0.0049 49 0.0170 0.0008 0.0055 -0.0017 -0.0049 0.0049 50 0.0169 0.0008 0.0055 -0.0013 -0.0049 0.0049 51 0.0169 0.0008 0.0054 -0.0014 -0.0050 0.0049 52 0.0169 0.0008 0.0054 -0.0017 -0.0049 0.0049 53 0.0170 0.0008 0.0054 -0.0016 -0.0049 0.0049 54 0.0169 0.0008 0.0054 -0.0014 -0.0049 0.0049 55 0.0169 0.0008 0.0054 -0.0015 -0.0050 0.0049 56 0.0169 0.0008 0.0054 -0.0017 -0.0049 0.0049 57 0.0170 0.0008 0.0055 -0.0016 -0.0049 0.0049 58 0.0169 0.0008 0.0055 -0.0014 -0.0049 0.0049 59 0.0169 0.0008 0.0054 -0.0015 -0.0050 0.0049 60 0.0169 0.0008 0.0055 -0.0017 -0.0049 0.0049
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
383
Lampiran 9. Lanjutan 9.2. Response of D(LOG(PPN(2))):
Period D(LOG (PPN(2)))
D(LOG (GDPA(2)))
D(LOG (TKA(2)))
D(LOG (XA(2)))
D(LOG (IMA(2))) D(WP(2))
1 0.0461 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.0189 -0.0012 -0.0040 0.0044 0.0242 0.0366 3 0.0194 -0.0018 0.0117 0.0000 0.0104 -0.0337 4 0.0189 -0.0024 0.0152 0.0134 -0.0033 0.0001 5 0.0092 0.0004 -0.0011 -0.0004 0.0005 0.0035 6 0.0165 -0.0012 0.0149 0.0043 0.0039 0.0004 7 0.0223 -0.0002 0.0022 0.0014 0.0112 0.0056 8 0.0222 -0.0002 0.0003 0.0077 0.0077 -0.0058 9 0.0236 -0.0016 0.0072 0.0010 0.0016 0.0154
10 0.0220 -0.0005 0.0014 -0.0007 0.0059 -0.0053 11 0.0207 -0.0003 -0.0006 0.0023 0.0025 0.0044 12 0.0186 -0.0007 -0.0016 0.0040 0.0124 0.0060 13 0.0182 -0.0002 0.0040 0.0034 0.0079 -0.0047 14 0.0205 -0.0009 0.0045 0.0016 0.0071 0.0015 15 0.0188 -0.0013 0.0099 0.0048 0.0018 0.0031 16 0.0193 -0.0013 0.0050 0.0045 0.0052 0.0014 17 0.0222 -0.0010 0.0056 0.0021 0.0026 0.0032 18 0.0200 -0.0006 0.0036 0.0022 0.0066 0.0037 19 0.0217 -0.0003 0.0013 0.0031 0.0087 0.0013 20 0.0202 -0.0007 0.0050 0.0028 0.0062 0.0029 21 0.0191 -0.0004 0.0020 0.0028 0.0060 0.0011 22 0.0200 -0.0008 0.0037 0.0027 0.0061 0.0022 23 0.0194 -0.0009 0.0039 0.0031 0.0044 0.0035 24 0.0204 -0.0007 0.0028 0.0038 0.0051 0.0006 25 0.0205 -0.0009 0.0044 0.0025 0.0053 0.0040 26 0.0201 -0.0008 0.0041 0.0029 0.0060 0.0004 27 0.0202 -0.0008 0.0050 0.0035 0.0057 0.0013 28 0.0197 -0.0009 0.0047 0.0029 0.0063 0.0021 29 0.0197 -0.0007 0.0040 0.0030 0.0059 0.0018 30 0.0204 -0.0007 0.0040 0.0025 0.0064 0.0027 31 0.0204 -0.0007 0.0035 0.0032 0.0057 0.0025 32 0.0204 -0.0007 0.0032 0.0032 0.0056 0.0025 33 0.0204 -0.0008 0.0038 0.0025 0.0055 0.0024 34 0.0201 -0.0007 0.0034 0.0029 0.0056 0.0019 35 0.0200 -0.0008 0.0038 0.0033 0.0057 0.0019 36 0.0199 -0.0008 0.0042 0.0030 0.0060 0.0018 37 0.0200 -0.0008 0.0040 0.0030 0.0057 0.0017 38 0.0201 -0.0008 0.0045 0.0030 0.0058 0.0021 39 0.0201 -0.0008 0.0041 0.0032 0.0057 0.0023 40 0.0203 -0.0007 0.0039 0.0030 0.0056 0.0021 41 0.0203 -0.0007 0.0039 0.0027 0.0059 0.0024 42 0.0203 -0.0007 0.0035 0.0030 0.0059 0.0021 43 0.0202 -0.0007 0.0037 0.0031 0.0058 0.0021 44 0.0201 -0.0007 0.0038 0.0029 0.0059 0.0021 45 0.0201 -0.0007 0.0038 0.0029 0.0057 0.0020 46 0.0201 -0.0008 0.0041 0.0030 0.0057 0.0021 47 0.0201 -0.0008 0.0040 0.0031 0.0057 0.0020 48 0.0201 -0.0008 0.0040 0.0030 0.0056 0.0021 49 0.0201 -0.0008 0.0041 0.0029 0.0058 0.0021 50 0.0202 -0.0007 0.0039 0.0030 0.0058 0.0020 51 0.0201 -0.0007 0.0039 0.0031 0.0058 0.0021 52 0.0201 -0.0007 0.0039 0.0029 0.0058 0.0021 53 0.0202 -0.0007 0.0038 0.0029 0.0058 0.0021 54 0.0201 -0.0007 0.0039 0.0030 0.0058 0.0021 55 0.0201 -0.0007 0.0038 0.0030 0.0057 0.0021 56 0.0201 -0.0007 0.0039 0.0030 0.0057 0.0021 57 0.0201 -0.0008 0.0039 0.0029 0.0058 0.0021 58 0.0201 -0.0007 0.0039 0.0030 0.0058 0.0020 59 0.0201 -0.0008 0.0040 0.0030 0.0058 0.0021 60 0.0201 -0.0008 0.0039 0.0030 0.0058 0.0021
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
384
Lampiran 9. Lanjutan 9.3. Response of D(LOG(EA(2))):
Period D(LOG (EA(2)))
D(LOG (GDPA(2)))
D(LOG (TKA(2)))
D(LOG (XA(2)))
D(LOG (IMA(2))) D(WP(2))
1 0.0898 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.0181 -0.0004 0.0013 -0.0071 0.0156 0.0174 3 0.0085 0.0002 0.0004 0.0009 0.0069 -0.0051 4 0.0054 -0.0002 0.0054 0.0030 0.0090 0.0126 5 0.0099 -0.0001 -0.0073 -0.0077 0.0176 -0.0161 6 0.0091 0.0003 0.0011 -0.0007 0.0103 0.0053 7 0.0129 0.0002 0.0000 -0.0007 0.0014 0.0071 8 0.0135 0.0010 -0.0005 0.0068 -0.0038 0.0089 9 0.0218 -0.0005 0.0050 -0.0079 0.0141 0.0108
10 0.0201 -0.0001 0.0056 -0.0008 0.0081 -0.0041 11 0.0144 -0.0003 0.0028 0.0025 0.0068 -0.0019 12 0.0144 0.0000 0.0023 0.0026 0.0005 0.0070 13 0.0139 0.0009 -0.0038 -0.0053 0.0097 0.0059 14 0.0172 0.0005 -0.0020 -0.0019 0.0099 0.0013 15 0.0170 0.0002 0.0026 0.0020 0.0060 0.0010 16 0.0142 0.0000 0.0010 0.0015 0.0050 0.0037 17 0.0197 -0.0003 0.0045 -0.0041 0.0046 0.0033 18 0.0165 0.0000 0.0004 -0.0015 0.0078 0.0034 19 0.0160 0.0003 -0.0004 0.0019 0.0073 0.0019 20 0.0140 0.0001 0.0009 0.0000 0.0089 0.0034 21 0.0148 0.0003 0.0010 -0.0029 0.0075 0.0017 22 0.0152 0.0000 0.0024 -0.0010 0.0064 0.0032 23 0.0156 0.0000 0.0019 0.0012 0.0055 0.0038 24 0.0162 0.0001 0.0008 0.0000 0.0061 0.0034 25 0.0176 0.0002 0.0008 -0.0031 0.0076 0.0034 26 0.0163 0.0002 0.0006 -0.0005 0.0077 0.0029 27 0.0156 0.0002 0.0009 0.0010 0.0065 0.0032 28 0.0151 0.0001 0.0012 -0.0007 0.0068 0.0024 29 0.0156 0.0001 0.0013 -0.0020 0.0064 0.0030 30 0.0160 0.0001 0.0015 -0.0004 0.0070 0.0029 31 0.0159 0.0001 0.0012 0.0006 0.0066 0.0031 32 0.0161 0.0001 0.0010 -0.0007 0.0066 0.0030 33 0.0163 0.0001 0.0014 -0.0019 0.0071 0.0030 34 0.0159 0.0001 0.0011 -0.0003 0.0072 0.0029 35 0.0158 0.0001 0.0012 0.0003 0.0065 0.0031 36 0.0154 0.0001 0.0010 -0.0010 0.0070 0.0030 37 0.0161 0.0002 0.0010 -0.0014 0.0069 0.0031 38 0.0160 0.0001 0.0012 -0.0003 0.0070 0.0031 39 0.0158 0.0001 0.0011 0.0000 0.0067 0.0030 40 0.0160 0.0001 0.0012 -0.0009 0.0066 0.0030 41 0.0159 0.0001 0.0013 -0.0012 0.0069 0.0030 42 0.0159 0.0001 0.0012 -0.0003 0.0070 0.0029 43 0.0158 0.0001 0.0012 -0.0002 0.0067 0.0031 44 0.0157 0.0001 0.0011 -0.0010 0.0069 0.0029 45 0.0160 0.0001 0.0012 -0.0010 0.0069 0.0031 46 0.0160 0.0001 0.0012 -0.0003 0.0069 0.0031 47 0.0159 0.0001 0.0011 -0.0003 0.0067 0.0030 48 0.0160 0.0001 0.0011 -0.0010 0.0068 0.0030 49 0.0159 0.0001 0.0012 -0.0009 0.0069 0.0030 50 0.0159 0.0001 0.0011 -0.0004 0.0069 0.0030 51 0.0158 0.0001 0.0012 -0.0004 0.0067 0.0030 52 0.0158 0.0001 0.0012 -0.0009 0.0068 0.0030 53 0.0160 0.0001 0.0012 -0.0008 0.0069 0.0030 54 0.0159 0.0001 0.0012 -0.0004 0.0068 0.0030 55 0.0159 0.0001 0.0011 -0.0005 0.0068 0.0030 56 0.0159 0.0001 0.0012 -0.0009 0.0068 0.0030 57 0.0159 0.0001 0.0012 -0.0007 0.0069 0.0030 58 0.0159 0.0001 0.0011 -0.0005 0.0068 0.0030 59 0.0159 0.0001 0.0011 -0.0006 0.0068 0.0030 60 0.0159 0.0001 0.0011 -0.0008 0.0068 0.0030
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
385
Lampiran 9. Lanjutan 9.4. Response of D(LOG(SP_(2))):
Period D(LOG (SP_(2)))
D(LOG (GDPA(2)))
D(LOG (TKA(2)))
D(LOG (XA(2)))
D(LOG (IMA(2))) D(WP(2))
1 0.5355 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 -0.2033 -0.0025 0.0014 -0.0105 -0.0091 -0.0117 3 0.0893 -0.0016 0.0210 0.0125 -0.0248 -0.0084 4 0.1258 -0.0025 0.0408 0.0199 -0.0251 0.0103 5 0.1352 -0.0012 -0.0063 -0.0156 -0.0012 -0.0204 6 0.0514 -0.0008 0.0138 -0.0057 -0.0173 0.0120 7 0.1239 -0.0008 0.0162 0.0107 -0.0020 -0.0074 8 0.0992 0.0012 -0.0161 0.0089 0.0082 -0.0162 9 0.1378 -0.0020 0.0211 -0.0142 -0.0235 -0.0021
10 0.0539 -0.0001 0.0101 -0.0039 -0.0127 0.0045 11 0.1333 -0.0002 -0.0030 0.0121 -0.0028 -0.0041 12 0.1063 -0.0024 0.0151 0.0041 -0.0176 -0.0009 13 0.0923 -0.0001 0.0043 -0.0101 -0.0050 -0.0130 14 0.0893 -0.0012 0.0093 0.0008 -0.0100 -0.0011 15 0.1153 -0.0018 0.0143 0.0093 -0.0096 -0.0053 16 0.0936 -0.0005 0.0061 0.0025 -0.0108 -0.0074 17 0.1115 -0.0012 0.0120 -0.0089 -0.0106 -0.0030 18 0.0898 -0.0010 0.0114 0.0021 -0.0045 -0.0016 19 0.1057 -0.0006 0.0069 0.0075 -0.0106 -0.0053 20 0.0988 -0.0010 0.0083 -0.0011 -0.0125 -0.0024 21 0.1110 -0.0005 0.0064 -0.0047 -0.0088 -0.0014 22 0.0996 -0.0008 0.0069 0.0020 -0.0076 -0.0053 23 0.0995 -0.0009 0.0083 0.0049 -0.0105 -0.0059 24 0.1041 -0.0009 0.0081 0.0005 -0.0120 -0.0034 25 0.1015 -0.0012 0.0105 -0.0038 -0.0084 -0.0048 26 0.0991 -0.0011 0.0102 0.0026 -0.0088 -0.0052 27 0.1019 -0.0010 0.0097 0.0046 -0.0117 -0.0041 28 0.0984 -0.0010 0.0089 -0.0011 -0.0085 -0.0035 29 0.1066 -0.0008 0.0085 -0.0021 -0.0089 -0.0042 30 0.1019 -0.0008 0.0087 0.0022 -0.0094 -0.0038 31 0.0988 -0.0008 0.0074 0.0028 -0.0094 -0.0039 32 0.1047 -0.0009 0.0081 -0.0006 -0.0104 -0.0037 33 0.1038 -0.0009 0.0089 -0.0016 -0.0090 -0.0042 34 0.0999 -0.0009 0.0083 0.0024 -0.0094 -0.0044 35 0.1001 -0.0010 0.0091 0.0026 -0.0107 -0.0038 36 0.1021 -0.0010 0.0090 -0.0007 -0.0093 -0.0046 37 0.1034 -0.0009 0.0090 -0.0004 -0.0095 -0.0044 38 0.1001 -0.0010 0.0093 0.0021 -0.0096 -0.0039 39 0.1002 -0.0009 0.0086 0.0018 -0.0096 -0.0043 40 0.1042 -0.0009 0.0086 -0.0005 -0.0098 -0.0041 41 0.1023 -0.0009 0.0089 -0.0002 -0.0091 -0.0038 42 0.1004 -0.0009 0.0084 0.0019 -0.0094 -0.0041 43 0.1017 -0.0009 0.0085 0.0014 -0.0101 -0.0040 44 0.1031 -0.0009 0.0086 -0.0003 -0.0095 -0.0042 45 0.1019 -0.0009 0.0087 0.0003 -0.0095 -0.0041 46 0.1006 -0.0010 0.0089 0.0017 -0.0097 -0.0041 47 0.1017 -0.0009 0.0087 0.0012 -0.0098 -0.0043 48 0.1027 -0.0009 0.0089 -0.0001 -0.0097 -0.0042 49 0.1014 -0.0009 0.0090 0.0005 -0.0094 -0.0041 50 0.1012 -0.0009 0.0087 0.0016 -0.0096 -0.0041 51 0.1018 -0.0009 0.0087 0.0009 -0.0098 -0.0040 52 0.1025 -0.0009 0.0086 0.0000 -0.0095 -0.0041 53 0.1018 -0.0009 0.0087 0.0007 -0.0095 -0.0040 54 0.1013 -0.0009 0.0086 0.0013 -0.0096 -0.0041 55 0.1020 -0.0009 0.0086 0.0008 -0.0097 -0.0041 56 0.1023 -0.0009 0.0087 0.0002 -0.0096 -0.0041 57 0.1015 -0.0009 0.0088 0.0008 -0.0095 -0.0041 58 0.1014 -0.0009 0.0088 0.0013 -0.0097 -0.0042 59 0.1018 -0.0009 0.0088 0.0007 -0.0097 -0.0041 60 0.1021 -0.0009 0.0088 0.0004 -0.0095 -0.0041
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
386
Lampiran 9. Lanjutan 9.5. Response of D(LOG(RDA(2))):
Period D(LOG (RDA(2)))
D(LOG (GDPA(2)))
D(LOG (TKA(2)))
D(LOG (XA(2)))
D(LOG (IMA(2))) D(WP(2))
1 0.1653 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.1100 0.0012 -0.0048 -0.0003 -0.0036 -0.0111 3 0.0737 -0.0018 0.0035 -0.0013 -0.0077 0.0095 4 0.0780 -0.0014 -0.0052 -0.0006 -0.0029 0.0001 5 0.0729 -0.0028 0.0145 -0.0050 0.0315 -0.0119 6 0.0718 -0.0032 0.0071 -0.0048 0.0099 -0.0252 7 0.0851 -0.0011 -0.0011 0.0008 0.0105 0.0078 8 0.0787 -0.0020 -0.0009 -0.0064 0.0236 0.0025 9 0.0925 -0.0003 -0.0090 -0.0035 0.0188 -0.0081
10 0.0856 -0.0016 -0.0020 -0.0026 0.0091 -0.0018 11 0.0809 -0.0022 0.0039 -0.0040 0.0107 -0.0042 12 0.0862 -0.0022 0.0006 -0.0012 0.0090 -0.0014 13 0.0789 -0.0019 0.0053 -0.0048 0.0064 -0.0038 14 0.0821 -0.0015 0.0013 -0.0031 0.0172 0.0000 15 0.0836 -0.0014 0.0008 -0.0016 0.0143 -0.0023 16 0.0845 -0.0017 0.0046 -0.0034 0.0162 -0.0043 17 0.0844 -0.0014 -0.0006 -0.0028 0.0108 -0.0034 18 0.0799 -0.0016 0.0016 -0.0016 0.0059 0.0008 19 0.0808 -0.0016 -0.0003 -0.0044 0.0142 -0.0023 20 0.0835 -0.0013 -0.0024 -0.0023 0.0096 -0.0032 21 0.0816 -0.0017 0.0015 -0.0037 0.0131 -0.0031 22 0.0835 -0.0016 0.0013 -0.0024 0.0134 -0.0042 23 0.0828 -0.0018 0.0023 -0.0025 0.0112 -0.0040 24 0.0824 -0.0018 0.0028 -0.0034 0.0123 -0.0026 25 0.0828 -0.0016 0.0006 -0.0027 0.0128 -0.0029 26 0.0817 -0.0017 0.0013 -0.0025 0.0112 -0.0018 27 0.0836 -0.0016 0.0007 -0.0033 0.0132 -0.0033 28 0.0829 -0.0015 0.0003 -0.0031 0.0110 -0.0021 29 0.0825 -0.0016 0.0014 -0.0033 0.0122 -0.0025 30 0.0831 -0.0015 0.0005 -0.0026 0.0126 -0.0032 31 0.0823 -0.0016 0.0009 -0.0029 0.0117 -0.0027 32 0.0828 -0.0016 0.0013 -0.0032 0.0124 -0.0027 33 0.0826 -0.0016 0.0009 -0.0027 0.0120 -0.0029 34 0.0820 -0.0017 0.0014 -0.0027 0.0114 -0.0025 35 0.0828 -0.0016 0.0011 -0.0030 0.0121 -0.0031 36 0.0823 -0.0016 0.0011 -0.0030 0.0117 -0.0027 37 0.0827 -0.0016 0.0012 -0.0030 0.0123 -0.0028 38 0.0830 -0.0016 0.0009 -0.0027 0.0123 -0.0030 39 0.0826 -0.0016 0.0011 -0.0030 0.0120 -0.0026 40 0.0829 -0.0016 0.0010 -0.0031 0.0123 -0.0028 41 0.0826 -0.0016 0.0009 -0.0028 0.0119 -0.0027 42 0.0823 -0.0016 0.0011 -0.0029 0.0118 -0.0025 43 0.0827 -0.0016 0.0009 -0.0030 0.0120 -0.0029 44 0.0824 -0.0016 0.0011 -0.0030 0.0120 -0.0028 45 0.0827 -0.0016 0.0011 -0.0029 0.0121 -0.0029 46 0.0827 -0.0016 0.0011 -0.0028 0.0121 -0.0029 47 0.0826 -0.0016 0.0012 -0.0030 0.0120 -0.0027 48 0.0828 -0.0016 0.0011 -0.0030 0.0121 -0.0028 49 0.0826 -0.0016 0.0011 -0.0029 0.0120 -0.0027 50 0.0825 -0.0016 0.0011 -0.0029 0.0120 -0.0026 51 0.0827 -0.0016 0.0009 -0.0030 0.0121 -0.0028 52 0.0826 -0.0016 0.0010 -0.0030 0.0120 -0.0027 53 0.0827 -0.0016 0.0010 -0.0029 0.0121 -0.0028 54 0.0826 -0.0016 0.0010 -0.0029 0.0120 -0.0028 55 0.0826 -0.0016 0.0011 -0.0030 0.0120 -0.0028 56 0.0827 -0.0016 0.0011 -0.0029 0.0120 -0.0028 57 0.0826 -0.0016 0.0011 -0.0029 0.0120 -0.0028 58 0.0826 -0.0016 0.0011 -0.0029 0.0120 -0.0027 59 0.0827 -0.0016 0.0010 -0.0029 0.0120 -0.0028 60 0.0826 -0.0016 0.0011 -0.0029 0.0121 -0.0027
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
387
Lampiran 9. Lanjutan 9.6. Response of D(LOG(IA(2))):
Period D(LOG (IA(2)))
D(LOG (GDPA(2)))
D(LOG (TKA(2)))
D(LOG (XA(2)))
D(LOG (IMA(2))) D(WP(2))
1 0.1233 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 -0.0016 -0.0014 -0.0100 0.0012 0.0097 0.0480 3 0.0245 -0.0015 0.0043 0.0005 0.0149 -0.0221 4 0.0170 -0.0016 -0.0107 0.0175 -0.0044 0.0128 5 -0.0217 -0.0019 0.0059 -0.0112 0.0200 -0.0131 6 0.0308 -0.0012 0.0035 0.0042 0.0018 0.0228 7 0.0019 -0.0008 -0.0131 0.0018 0.0214 -0.0001 8 0.0005 -0.0016 -0.0030 0.0061 0.0064 0.0160 9 0.0331 -0.0018 -0.0145 -0.0024 0.0238 -0.0062
10 0.0140 -0.0018 0.0049 0.0000 0.0076 -0.0046 11 0.0167 -0.0021 -0.0042 0.0020 0.0073 0.0109 12 0.0172 -0.0013 -0.0050 0.0067 -0.0005 0.0119 13 0.0003 -0.0018 -0.0017 -0.0069 0.0279 0.0087 14 0.0233 -0.0009 -0.0057 0.0035 0.0105 0.0007 15 0.0137 -0.0019 0.0025 0.0042 0.0131 0.0051 16 0.0115 -0.0015 -0.0045 0.0014 0.0116 0.0106 17 0.0237 -0.0013 -0.0056 0.0001 0.0057 0.0074 18 0.0116 -0.0013 -0.0055 0.0005 0.0129 0.0078 19 0.0206 -0.0011 -0.0063 0.0036 0.0130 0.0029 20 0.0133 -0.0017 -0.0021 0.0025 0.0074 0.0087 21 0.0117 -0.0016 -0.0017 -0.0014 0.0139 0.0026 22 0.0151 -0.0016 -0.0031 0.0028 0.0092 0.0074 23 0.0116 -0.0016 -0.0025 0.0029 0.0113 0.0060 24 0.0151 -0.0014 -0.0040 0.0014 0.0139 0.0047 25 0.0178 -0.0015 -0.0046 -0.0001 0.0104 0.0074 26 0.0146 -0.0015 -0.0032 0.0018 0.0117 0.0062 27 0.0161 -0.0014 -0.0044 0.0026 0.0113 0.0061 28 0.0138 -0.0016 -0.0035 0.0013 0.0100 0.0064 29 0.0150 -0.0014 -0.0035 -0.0001 0.0126 0.0058 30 0.0153 -0.0015 -0.0041 0.0024 0.0116 0.0063 31 0.0139 -0.0015 -0.0032 0.0024 0.0108 0.0064 32 0.0149 -0.0015 -0.0039 0.0012 0.0119 0.0055 33 0.0155 -0.0015 -0.0031 0.0007 0.0105 0.0066 34 0.0146 -0.0015 -0.0034 0.0020 0.0116 0.0062 35 0.0152 -0.0015 -0.0038 0.0023 0.0111 0.0058 36 0.0143 -0.0015 -0.0036 0.0010 0.0111 0.0066 37 0.0157 -0.0014 -0.0037 0.0008 0.0119 0.0057 38 0.0150 -0.0015 -0.0036 0.0021 0.0115 0.0063 39 0.0145 -0.0015 -0.0036 0.0019 0.0111 0.0063 40 0.0151 -0.0015 -0.0038 0.0012 0.0114 0.0059 41 0.0149 -0.0015 -0.0035 0.0011 0.0112 0.0065 42 0.0150 -0.0015 -0.0037 0.0020 0.0114 0.0060 43 0.0148 -0.0015 -0.0037 0.0018 0.0112 0.0061 44 0.0146 -0.0015 -0.0035 0.0011 0.0113 0.0062 45 0.0153 -0.0015 -0.0036 0.0013 0.0115 0.0060 46 0.0148 -0.0015 -0.0035 0.0019 0.0114 0.0062 47 0.0148 -0.0015 -0.0036 0.0017 0.0112 0.0062 48 0.0151 -0.0015 -0.0037 0.0012 0.0114 0.0061 49 0.0149 -0.0015 -0.0035 0.0013 0.0114 0.0063 50 0.0150 -0.0015 -0.0037 0.0018 0.0113 0.0061 51 0.0148 -0.0015 -0.0037 0.0016 0.0112 0.0061 52 0.0148 -0.0015 -0.0036 0.0012 0.0113 0.0062 53 0.0152 -0.0015 -0.0036 0.0015 0.0114 0.0060 54 0.0148 -0.0015 -0.0035 0.0017 0.0113 0.0061 55 0.0148 -0.0015 -0.0036 0.0016 0.0113 0.0061 56 0.0150 -0.0015 -0.0036 0.0013 0.0113 0.0061 57 0.0149 -0.0015 -0.0035 0.0015 0.0114 0.0062 58 0.0150 -0.0015 -0.0036 0.0017 0.0113 0.0061 59 0.0149 -0.0015 -0.0036 0.0015 0.0113 0.0061 60 0.0149 -0.0015 -0.0036 0.0013 0.0114 0.0061
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
388
Lampiran 9. Lanjutan 9.7. Response of D(LOG(DF(2))):
Period D(LOG (DF(2)))
D(LOG (GDPA(2)))
D(LOG (TKA(2)))
D(LOG (XA(2)))
D(LOG (IMA(2))) D(WP(2))
1 0.2465 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.0223 -0.0006 -0.0094 -0.0096 -0.0020 -0.0071 3 0.0224 -0.0018 -0.0083 0.0020 -0.0135 0.0029 4 0.0470 -0.0013 -0.0090 0.0002 -0.0157 0.0061 5 0.0459 0.0016 -0.0144 -0.0092 0.0131 -0.0049 6 0.0043 -0.0013 -0.0042 0.0030 0.0054 0.0144 7 0.0341 -0.0007 -0.0108 -0.0011 -0.0014 -0.0158 8 0.0358 -0.0013 0.0004 0.0032 -0.0020 0.0005 9 0.0306 -0.0021 -0.0003 0.0018 -0.0106 -0.0140
10 0.0272 -0.0014 -0.0015 0.0033 -0.0032 -0.0044 11 0.0295 -0.0018 -0.0003 -0.0032 -0.0043 -0.0050 12 0.0431 -0.0009 -0.0044 0.0050 -0.0131 -0.0008 13 0.0347 -0.0012 -0.0053 -0.0047 0.0123 -0.0050 14 0.0374 -0.0009 -0.0035 -0.0002 -0.0043 -0.0067 15 0.0404 -0.0009 -0.0060 -0.0007 0.0004 -0.0069 16 0.0367 -0.0006 -0.0077 0.0004 -0.0018 0.0036 17 0.0318 -0.0010 -0.0091 -0.0011 0.0010 -0.0063 18 0.0312 -0.0010 -0.0063 0.0002 -0.0038 -0.0029 19 0.0306 -0.0014 -0.0043 -0.0003 -0.0010 -0.0085 20 0.0237 -0.0015 -0.0030 0.0021 -0.0073 -0.0018 21 0.0329 -0.0016 -0.0015 -0.0013 -0.0008 -0.0060 22 0.0359 -0.0012 -0.0035 0.0001 -0.0025 -0.0047 23 0.0401 -0.0012 -0.0038 0.0004 0.0003 -0.0047 24 0.0395 -0.0010 -0.0035 0.0003 -0.0008 -0.0034 25 0.0387 -0.0010 -0.0060 -0.0009 -0.0011 -0.0046 26 0.0320 -0.0010 -0.0055 -0.0001 -0.0038 -0.0017 27 0.0333 -0.0010 -0.0062 -0.0003 -0.0014 -0.0043 28 0.0297 -0.0010 -0.0063 0.0004 -0.0031 -0.0038 29 0.0336 -0.0012 -0.0047 -0.0008 -0.0017 -0.0049 30 0.0329 -0.0012 -0.0046 0.0002 -0.0017 -0.0050 31 0.0338 -0.0013 -0.0037 0.0004 -0.0023 -0.0050 32 0.0342 -0.0013 -0.0034 0.0003 -0.0019 -0.0047 33 0.0352 -0.0012 -0.0042 -0.0003 -0.0017 -0.0045 34 0.0334 -0.0012 -0.0042 0.0000 -0.0021 -0.0036 35 0.0358 -0.0011 -0.0048 0.0000 -0.0016 -0.0042 36 0.0337 -0.0011 -0.0053 0.0000 -0.0020 -0.0037 37 0.0353 -0.0011 -0.0051 -0.0006 -0.0018 -0.0041 38 0.0347 -0.0011 -0.0052 0.0000 -0.0017 -0.0042 39 0.0338 -0.0011 -0.0050 0.0001 -0.0021 -0.0042 40 0.0336 -0.0012 -0.0047 0.0000 -0.0020 -0.0044 41 0.0335 -0.0012 -0.0045 -0.0002 -0.0021 -0.0044 42 0.0329 -0.0012 -0.0043 0.0001 -0.0021 -0.0043 43 0.0340 -0.0012 -0.0044 0.0002 -0.0020 -0.0045 44 0.0336 -0.0012 -0.0045 0.0000 -0.0020 -0.0042 45 0.0350 -0.0011 -0.0046 -0.0003 -0.0018 -0.0043 46 0.0350 -0.0011 -0.0048 0.0000 -0.0017 -0.0042 47 0.0344 -0.0011 -0.0048 0.0000 -0.0019 -0.0041 48 0.0345 -0.0011 -0.0049 -0.0001 -0.0019 -0.0042 49 0.0339 -0.0011 -0.0048 -0.0002 -0.0020 -0.0041 50 0.0336 -0.0011 -0.0048 0.0000 -0.0020 -0.0042 51 0.0338 -0.0011 -0.0047 0.0001 -0.0020 -0.0043 52 0.0335 -0.0012 -0.0046 -0.0001 -0.0020 -0.0043 53 0.0342 -0.0012 -0.0046 -0.0001 -0.0019 -0.0044 54 0.0343 -0.0012 -0.0046 0.0000 -0.0019 -0.0043 55 0.0341 -0.0012 -0.0045 0.0000 -0.0020 -0.0042 56 0.0344 -0.0011 -0.0046 -0.0001 -0.0019 -0.0043 57 0.0342 -0.0011 -0.0047 -0.0001 -0.0019 -0.0042 58 0.0341 -0.0011 -0.0047 0.0000 -0.0019 -0.0042 59 0.0342 -0.0011 -0.0048 0.0000 -0.0019 -0.0042 60 0.0339 -0.0011 -0.0048 -0.0001 -0.0019 -0.0042
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
389
Lampiran 9. Lanjutan 9.8. Response of D(LOG(I(2))):
Period D(LOG (I(2)))
D(LOG (GDPA(2)))
D(LOG (TKA(2)))
D(LOG (XA(2)))
D(LOG (IMA(2))) D(WP(2))
1 0.3632 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 -0.1651 0.0005 0.0042 -0.0068 0.0610 -0.0057 3 0.0109 -0.0005 0.0288 0.0098 0.0022 -0.0143 4 0.0314 0.0002 0.0158 -0.0060 -0.0099 -0.0141 5 0.1951 0.0003 0.0046 -0.0056 0.0104 0.0110 6 0.0146 0.0025 -0.0230 -0.0080 0.0426 -0.0187 7 0.0397 0.0030 0.0030 0.0106 0.0097 -0.0279 8 0.0397 0.0022 0.0063 -0.0028 0.0059 -0.0042 9 0.0658 0.0012 0.0039 -0.0074 0.0138 0.0018
10 0.0540 -0.0019 0.0128 -0.0038 0.0167 -0.0143 11 0.0541 0.0006 0.0011 0.0079 0.0073 -0.0261 12 0.0589 0.0007 0.0044 -0.0009 0.0158 -0.0115 13 0.0484 0.0008 0.0050 -0.0079 0.0143 -0.0056 14 0.0727 0.0013 0.0023 -0.0044 0.0251 -0.0192 15 0.0619 0.0009 0.0041 0.0046 0.0119 -0.0097 16 0.0367 0.0004 0.0077 0.0000 0.0163 -0.0156 17 0.0503 0.0007 0.0071 -0.0075 0.0140 -0.0105 18 0.0637 0.0009 0.0028 -0.0039 0.0141 -0.0088 19 0.0622 0.0011 0.0006 0.0040 0.0136 -0.0062 20 0.0478 0.0011 0.0003 -0.0018 0.0185 -0.0143 21 0.0459 0.0009 0.0051 -0.0058 0.0146 -0.0153 22 0.0612 0.0007 0.0058 -0.0017 0.0147 -0.0123 23 0.0598 0.0005 0.0057 0.0026 0.0131 -0.0117 24 0.0604 0.0006 0.0050 -0.0018 0.0136 -0.0118 25 0.0518 0.0009 0.0044 -0.0046 0.0160 -0.0128 26 0.0525 0.0008 0.0051 -0.0018 0.0166 -0.0114 27 0.0529 0.0008 0.0042 0.0012 0.0145 -0.0114 28 0.0597 0.0009 0.0037 -0.0023 0.0142 -0.0121 29 0.0530 0.0009 0.0032 -0.0043 0.0156 -0.0115 30 0.0561 0.0009 0.0037 -0.0013 0.0156 -0.0123 31 0.0546 0.0008 0.0038 0.0003 0.0152 -0.0121 32 0.0561 0.0008 0.0039 -0.0023 0.0143 -0.0121 33 0.0554 0.0007 0.0049 -0.0032 0.0148 -0.0118 34 0.0547 0.0007 0.0050 -0.0011 0.0151 -0.0122 35 0.0555 0.0008 0.0045 -0.0001 0.0146 -0.0122 36 0.0565 0.0008 0.0043 -0.0025 0.0149 -0.0120 37 0.0548 0.0008 0.0042 -0.0030 0.0156 -0.0120 38 0.0553 0.0009 0.0041 -0.0010 0.0152 -0.0119 39 0.0547 0.0008 0.0041 -0.0007 0.0149 -0.0120 40 0.0554 0.0008 0.0040 -0.0025 0.0147 -0.0118 41 0.0551 0.0008 0.0042 -0.0025 0.0151 -0.0119 42 0.0554 0.0008 0.0042 -0.0010 0.0151 -0.0119 43 0.0553 0.0008 0.0040 -0.0010 0.0148 -0.0121 44 0.0557 0.0008 0.0043 -0.0024 0.0149 -0.0121 45 0.0550 0.0008 0.0044 -0.0022 0.0153 -0.0121 46 0.0556 0.0008 0.0044 -0.0010 0.0150 -0.0121 47 0.0555 0.0008 0.0043 -0.0013 0.0149 -0.0120 48 0.0552 0.0008 0.0043 -0.0023 0.0150 -0.0119 49 0.0550 0.0008 0.0043 -0.0020 0.0152 -0.0119 50 0.0553 0.0008 0.0042 -0.0012 0.0151 -0.0119 51 0.0553 0.0008 0.0041 -0.0015 0.0149 -0.0120 52 0.0553 0.0008 0.0041 -0.0022 0.0150 -0.0120 53 0.0551 0.0008 0.0042 -0.0019 0.0151 -0.0120 54 0.0555 0.0008 0.0042 -0.0013 0.0149 -0.0120 55 0.0555 0.0008 0.0043 -0.0016 0.0149 -0.0120 56 0.0552 0.0008 0.0043 -0.0021 0.0150 -0.0120 57 0.0552 0.0008 0.0043 -0.0018 0.0151 -0.0120 58 0.0554 0.0008 0.0043 -0.0014 0.0150 -0.0120 59 0.0553 0.0008 0.0042 -0.0017 0.0150 -0.0120 60 0.0552 0.0008 0.0042 -0.0020 0.0150 -0.0120
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
390
Lampiran 9. Lanjutan 9.9. Response of D(LOG(KONS(2))):
Period D(LOG (KONS(2)))
D(LOG(GDPA(2)))
D(LOG(TKA(2)))
D(LOG(XA(2)))
D(LOG(IMA(2))) D(WP(2))
1
0.1088 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.0000
2 0.0460 0.0001 -0.0033 0.0246 0.0216 0.0115 3 0.0277 0.0000 -0.0034 -0.0112 0.0238 0.0052 4 0.0395 -0.0004 -0.0041 0.0055 0.0168 -0.0156 5 0.0449 0.0013 0.0124 0.0250 -0.0338 0.0303 6 0.0349 0.0001 -0.0001 0.0095 0.0024 -0.0032 7 0.0442 0.0011 -0.0072 -0.0106 0.0097 0.0022 8 0.0330 0.0009 -0.0012 0.0088 0.0043 0.0082 9 0.0420 0.0018 -0.0102 0.0185 0.0097 -0.0013
10 0.0397 0.0007 -0.0047 0.0077 0.0030 0.0057 11 0.0371 0.0004 0.0031 -0.0057 -0.0022 0.0056 12 0.0448 0.0006 -0.0084 0.0083 0.0118 -0.0008 13 0.0443 -0.0002 -0.0019 0.0178 -0.0010 0.0057 14 0.0398 0.0004 -0.0021 0.0069 0.0012 -0.0005 15 0.0398 0.0007 -0.0046 -0.0028 0.0085 0.0003 16 0.0431 0.0001 0.0018 0.0083 0.0037 0.0052 17 0.0396 0.0006 -0.0020 0.0151 0.0056 0.0026 18 0.0390 0.0005 -0.0030 0.0052 0.0043 0.0019 19 0.0404 0.0005 -0.0008 -0.0003 0.0044 0.0060 20 0.0408 0.0010 -0.0040 0.0090 0.0065 0.0043 21 0.0416 0.0007 -0.0049 0.0123 0.0034 0.0048 22 0.0397 0.0007 -0.0046 0.0051 0.0026 0.0030 23 0.0400 0.0007 -0.0033 0.0023 0.0049 0.0028 24 0.0426 0.0004 -0.0019 0.0090 0.0045 0.0023 25 0.0409 0.0004 -0.0020 0.0117 0.0025 0.0032 26 0.0396 0.0004 -0.0021 0.0049 0.0041 0.0026 27 0.0412 0.0005 -0.0016 0.0036 0.0052 0.0031 28 0.0414 0.0006 -0.0020 0.0094 0.0050 0.0032 29 0.0405 0.0006 -0.0029 0.0096 0.0039 0.0036 30 0.0395 0.0006 -0.0036 0.0048 0.0040 0.0035 31 0.0404 0.0007 -0.0030 0.0047 0.0047 0.0038 32 0.0416 0.0006 -0.0033 0.0088 0.0051 0.0031 33 0.0407 0.0006 -0.0033 0.0089 0.0034 0.0033 34 0.0400 0.0005 -0.0026 0.0051 0.0040 0.0032 35 0.0411 0.0005 -0.0025 0.0056 0.0048 0.0032 36 0.0416 0.0005 -0.0023 0.0090 0.0042 0.0031 37 0.0407 0.0005 -0.0024 0.0082 0.0038 0.0032 38 0.0401 0.0005 -0.0027 0.0054 0.0043 0.0031 39 0.0407 0.0006 -0.0024 0.0062 0.0046 0.0035 40 0.0410 0.0006 -0.0028 0.0084 0.0046 0.0033 41 0.0404 0.0006 -0.0031 0.0077 0.0039 0.0033 42 0.0402 0.0006 -0.0028 0.0056 0.0044 0.0034 43 0.0409 0.0006 -0.0028 0.0066 0.0046 0.0034 44 0.0411 0.0006 -0.0029 0.0083 0.0042 0.0033 45 0.0406 0.0005 -0.0028 0.0073 0.0040 0.0032 46 0.0405 0.0005 -0.0027 0.0060 0.0043 0.0031 47 0.0409 0.0005 -0.0025 0.0069 0.0044 0.0032 48 0.0409 0.0005 -0.0026 0.0080 0.0043 0.0032 49 0.0405 0.0005 -0.0027 0.0071 0.0041 0.0032 50 0.0405 0.0005 -0.0026 0.0061 0.0044 0.0033 51 0.0408 0.0006 -0.0027 0.0070 0.0045 0.0033 52 0.0408 0.0006 -0.0028 0.0077 0.0042 0.0033 53 0.0405 0.0006 -0.0028 0.0070 0.0042 0.0033 54 0.0406 0.0006 -0.0028 0.0064 0.0043 0.0033 55 0.0409 0.0006 -0.0027 0.0071 0.0044 0.0033 56 0.0408 0.0005 -0.0028 0.0076 0.0042 0.0032 57 0.0406 0.0005 -0.0027 0.0069 0.0041 0.0032 58 0.0407 0.0005 -0.0026 0.0065 0.0044 0.0032 59 0.0408 0.0005 -0.0026 0.0072 0.0044 0.0033 60 0.0407 0.0005 -0.0027 0.0074 0.0042 0.0033
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
391
Lampiran 9. Lanjutan B. Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kebijakan Fiskal
9.10. Response of D(LOG(PPH(2))):
9.11. Response of D(LOG(PPN(2))):
9.12. Response of D(LOG(EA(2))):
Period D(LOG (NTI(2)))
D(LOG (NTO(2)))
D(DSA (2)) Period D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA
(2)) Period D(LOG (NTI(2)))
D(LOG (NTO(2)))
D(DSA(2))
1 0.0000 0.0000 0.0000 1 0.0000 0.0000 0.0000 1 0.0000 0.0000 0.00002 -0.0064 -0.0016 0.0139 2 0.0087 0.0027 0.0015 2 -0.0091 -0.0063 -0.00713 -0.0063 -0.0032 0.0245 3 0.0057 0.0051 -0.0177 3 -0.0058 -0.0043 -0.01874 -0.0061 -0.0034 0.0099 4 0.0085 0.0067 -0.0017 4 -0.0071 -0.0059 -0.01805 0.0025 0.0007 0.0076 5 0.0154 0.0136 -0.0181 5 0.0020 0.0010 -0.01726 -0.0041 -0.0028 0.0134 6 0.0083 0.0058 -0.0052 6 -0.0020 -0.0027 -0.00227 -0.0028 -0.0014 0.0140 7 0.0076 0.0074 -0.0295 7 -0.0044 -0.0034 -0.00998 -0.0054 -0.0030 0.0199 8 0.0072 0.0071 -0.0151 8 -0.0042 -0.0041 -0.00289 -0.0044 -0.0008 0.0070 9 -0.0003 -0.0009 -0.0122 9 -0.0018 -0.0030 -0.0142
10 -0.0030 -0.0013 0.0128 10 0.0081 0.0079 -0.0080 10 -0.0026 -0.0028 -0.007011 -0.0035 -0.0010 0.0094 11 0.0073 0.0061 -0.0069 11 -0.0020 -0.0021 -0.008812 -0.0041 -0.0023 0.0167 12 0.0067 0.0057 -0.0063 12 -0.0043 -0.0033 -0.003213 -0.0035 -0.0024 0.0154 13 0.0131 0.0106 -0.0114 13 -0.0029 -0.0023 -0.010314 -0.0035 -0.0020 0.0142 14 0.0067 0.0052 -0.0133 14 -0.0035 -0.0026 -0.010315 -0.0036 -0.0020 0.0113 15 0.0075 0.0056 -0.0176 15 -0.0033 -0.0027 -0.012116 -0.0037 -0.0015 0.0125 16 0.0073 0.0050 -0.0135 16 -0.0045 -0.0039 -0.009017 -0.0035 -0.0015 0.0079 17 0.0047 0.0041 -0.0133 17 -0.0032 -0.0031 -0.009018 -0.0038 -0.0017 0.0131 18 0.0080 0.0065 -0.0112 18 -0.0031 -0.0033 -0.007519 -0.0039 -0.0018 0.0123 19 0.0081 0.0072 -0.0104 19 -0.0031 -0.0028 -0.008620 -0.0041 -0.0021 0.0151 20 0.0082 0.0071 -0.0101 20 -0.0029 -0.0028 -0.007821 -0.0030 -0.0012 0.0144 21 0.0088 0.0076 -0.0125 21 -0.0028 -0.0024 -0.012022 -0.0036 -0.0018 0.0131 22 0.0070 0.0059 -0.0099 22 -0.0032 -0.0029 -0.010023 -0.0035 -0.0017 0.0123 23 0.0068 0.0054 -0.0121 23 -0.0036 -0.0032 -0.009924 -0.0039 -0.0021 0.0130 24 0.0070 0.0057 -0.0112 24 -0.0039 -0.0035 -0.008325 -0.0039 -0.0019 0.0112 25 0.0066 0.0051 -0.0122 25 -0.0031 -0.0028 -0.008526 -0.0035 -0.0017 0.0133 26 0.0080 0.0063 -0.0128 26 -0.0030 -0.0027 -0.008127 -0.0038 -0.0018 0.0121 27 0.0080 0.0065 -0.0123 27 -0.0031 -0.0029 -0.009228 -0.0036 -0.0017 0.0134 28 0.0078 0.0064 -0.0122 28 -0.0031 -0.0028 -0.008329 -0.0033 -0.0015 0.0126 29 0.0080 0.0066 -0.0126 29 -0.0033 -0.0030 -0.010130 -0.0037 -0.0018 0.0128 30 0.0073 0.0062 -0.0117 30 -0.0033 -0.0030 -0.009131 -0.0037 -0.0018 0.0129 31 0.0072 0.0061 -0.0118 31 -0.0034 -0.0031 -0.009332 -0.0038 -0.0019 0.0131 32 0.0072 0.0059 -0.0115 32 -0.0035 -0.0032 -0.009233 -0.0037 -0.0018 0.0123 33 0.0073 0.0060 -0.0111 33 -0.0030 -0.0028 -0.009334 -0.0035 -0.0017 0.0131 34 0.0076 0.0062 -0.0116 34 -0.0031 -0.0028 -0.009135 -0.0037 -0.0018 0.0127 35 0.0076 0.0062 -0.0116 35 -0.0033 -0.0030 -0.009136 -0.0036 -0.0018 0.0129 36 0.0077 0.0063 -0.0117 36 -0.0032 -0.0029 -0.008737 -0.0035 -0.0017 0.0126 37 0.0076 0.0062 -0.0125 37 -0.0033 -0.0030 -0.009438 -0.0037 -0.0018 0.0127 38 0.0075 0.0061 -0.0122 38 -0.0032 -0.0030 -0.009039 -0.0037 -0.0018 0.0127 39 0.0074 0.0061 -0.0122 39 -0.0033 -0.0030 -0.009040 -0.0037 -0.0018 0.0128 40 0.0073 0.0061 -0.0120 40 -0.0033 -0.0031 -0.009141 -0.0037 -0.0018 0.0126 41 0.0075 0.0062 -0.0116 41 -0.0031 -0.0029 -0.009242 -0.0036 -0.0017 0.0129 42 0.0075 0.0062 -0.0117 42 -0.0032 -0.0029 -0.009143 -0.0037 -0.0018 0.0129 43 0.0075 0.0062 -0.0116 43 -0.0033 -0.0030 -0.009144 -0.0036 -0.0018 0.0129 44 0.0076 0.0062 -0.0116 44 -0.0032 -0.0029 -0.009145 -0.0036 -0.0017 0.0127 45 0.0075 0.0061 -0.0119 45 -0.0033 -0.0029 -0.009346 -0.0037 -0.0018 0.0128 46 0.0075 0.0061 -0.0118 46 -0.0032 -0.0029 -0.009147 -0.0037 -0.0018 0.0128 47 0.0075 0.0061 -0.0119 47 -0.0033 -0.0030 -0.009048 -0.0037 -0.0018 0.0127 48 0.0074 0.0061 -0.0120 48 -0.0033 -0.0030 -0.009149 -0.0036 -0.0018 0.0127 49 0.0075 0.0062 -0.0119 49 -0.0032 -0.0029 -0.009150 -0.0036 -0.0017 0.0128 50 0.0075 0.0062 -0.0120 50 -0.0032 -0.0029 -0.009151 -0.0037 -0.0018 0.0128 51 0.0075 0.0062 -0.0119 51 -0.0033 -0.0030 -0.009152 -0.0036 -0.0018 0.0128 52 0.0075 0.0062 -0.0118 52 -0.0032 -0.0029 -0.009153 -0.0036 -0.0017 0.0128 53 0.0075 0.0062 -0.0119 53 -0.0032 -0.0029 -0.009254 -0.0037 -0.0018 0.0128 54 0.0075 0.0062 -0.0117 54 -0.0032 -0.0030 -0.009155 -0.0037 -0.0018 0.0128 55 0.0075 0.0061 -0.0118 55 -0.0033 -0.0030 -0.009156 -0.0037 -0.0018 0.0128 56 0.0075 0.0061 -0.0118 56 -0.0033 -0.0029 -0.009157 -0.0036 -0.0018 0.0127 57 0.0075 0.0062 -0.0118 57 -0.0032 -0.0029 -0.009158 -0.0036 -0.0018 0.0128 58 0.0075 0.0061 -0.0119 58 -0.0032 -0.0029 -0.009159 -0.0037 -0.0018 0.0128 59 0.0075 0.0062 -0.0119 59 -0.0033 -0.0030 -0.009160 -0.0036 -0.0018 0.0128 60 0.0075 0.0062 -0.0119 60 -0.0032 -0.0029 -0.0091
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
392
Lampiran 9. Lanjutan
9.13. Response of D(LOG(SP_(2))):
9.14. Response of D(LOG(RDA(2))):
9.15. Response of D(LOG(IA(2))):
Period D(LOG (NTI(2)))
D(LOG (NTO(2)))
D(DSA (2))
Period D(LOG(NTI(2)))
D(LOG(NTO(2)))
D(DSA(2))
Period D(LOG (NTI(2)))
D(LOG (NTO(2)))
D(DSA(2))
1 0.0000 0.0000 0.0000 1 0.0000 0.0000 0.0000 1 0.0000 0.0000 0.00002 0.0061 0.0016 -0.0231 2 -0.0084 -0.0056 -0.0245 2 0.0043 0.0021 -0.00793 0.0025 -0.0037 -0.0144 3 -0.0051 -0.0039 -0.0127 3 -0.0010 -0.0004 -0.02554 -0.0003 -0.0033 -0.0155 4 -0.0026 -0.0024 -0.0250 4 0.0054 0.0024 -0.02095 0.0090 0.0005 0.0092 5 0.0016 0.0025 0.0056 5 0.0151 0.0132 0.03306 0.0011 -0.0024 -0.0112 6 0.0059 0.0054 -0.0065 6 0.0038 0.0012 0.00657 0.0053 0.0038 -0.0150 7 -0.0009 0.0007 0.0019 7 0.0057 0.0059 0.00268 0.0015 0.0011 -0.0048 8 0.0019 0.0033 0.0059 8 0.0080 0.0046 0.00089 0.0019 0.0002 -0.0103 9 -0.0003 -0.0005 -0.0049 9 -0.0029 -0.0031 -0.0318
10 0.0010 0.0003 -0.0077 10 -0.0035 -0.0025 -0.0190 10 0.0071 0.0056 -0.003111 -0.0003 -0.0021 -0.0094 11 -0.0003 -0.0008 -0.0062 11 0.0014 -0.0002 -0.010212 0.0021 -0.0032 -0.0021 12 -0.0015 -0.0021 -0.0147 12 0.0015 0.0009 -0.010313 0.0052 0.0013 -0.0052 13 0.0003 0.0003 0.0000 13 0.0121 0.0082 0.001814 0.0015 -0.0019 -0.0143 14 0.0039 0.0029 0.0007 14 0.0044 0.0030 -0.006215 0.0049 0.0001 -0.0087 15 0.0006 0.0009 -0.0065 15 0.0084 0.0057 -0.001816 0.0021 -0.0004 -0.0088 16 0.0037 0.0035 -0.0014 16 0.0058 0.0039 0.001517 0.0019 -0.0003 -0.0140 17 -0.0003 0.0001 -0.0052 17 0.0014 0.0004 -0.009518 0.0036 0.0007 -0.0092 18 -0.0024 -0.0016 -0.0069 18 0.0057 0.0037 -0.001719 0.0015 -0.0006 -0.0075 19 -0.0001 0.0002 -0.0021 19 0.0044 0.0031 -0.004820 0.0023 -0.0006 -0.0042 20 -0.0015 -0.0009 -0.0065 20 0.0035 0.0018 -0.007221 0.0026 -0.0003 -0.0086 21 0.0009 0.0008 -0.0044 21 0.0083 0.0061 -0.003222 0.0024 -0.0005 -0.0071 22 0.0017 0.0016 -0.0039 22 0.0042 0.0023 -0.005423 0.0035 -0.0001 -0.0060 23 0.0002 0.0003 -0.0066 23 0.0054 0.0035 -0.005124 0.0015 -0.0013 -0.0098 24 0.0014 0.0012 -0.0040 24 0.0059 0.0041 -0.002125 0.0029 -0.0002 -0.0101 25 -0.0002 0.0000 -0.0060 25 0.0034 0.0020 -0.007926 0.0033 -0.0001 -0.0092 26 -0.0007 -0.0004 -0.0064 26 0.0057 0.0039 -0.004027 0.0018 -0.0010 -0.0094 27 0.0006 0.0008 -0.0043 27 0.0048 0.0031 -0.005028 0.0027 -0.0003 -0.0077 28 -0.0004 -0.0001 -0.0056 28 0.0044 0.0028 -0.004929 0.0027 -0.0002 -0.0101 29 0.0007 0.0008 -0.0046 29 0.0064 0.0044 -0.003730 0.0026 -0.0003 -0.0079 30 0.0008 0.0009 -0.0040 30 0.0047 0.0030 -0.004531 0.0026 -0.0003 -0.0072 31 0.0001 0.0003 -0.0048 31 0.0053 0.0034 -0.004932 0.0020 -0.0008 -0.0085 32 0.0007 0.0007 -0.0043 32 0.0054 0.0035 -0.003933 0.0029 -0.0001 -0.0081 33 0.0001 0.0002 -0.0053 33 0.0045 0.0028 -0.005734 0.0027 -0.0004 -0.0079 34 -0.0001 0.0001 -0.0053 34 0.0054 0.0035 -0.004635 0.0022 -0.0009 -0.0085 35 0.0004 0.0005 -0.0050 35 0.0050 0.0033 -0.004736 0.0028 -0.0003 -0.0082 36 0.0000 0.0002 -0.0054 36 0.0049 0.0031 -0.004737 0.0026 -0.0004 -0.0095 37 0.0005 0.0006 -0.0050 37 0.0056 0.0038 -0.004738 0.0026 -0.0005 -0.0086 38 0.0005 0.0007 -0.0048 38 0.0050 0.0032 -0.004539 0.0026 -0.0004 -0.0084 39 0.0002 0.0004 -0.0051 39 0.0051 0.0033 -0.004840 0.0023 -0.0005 -0.0088 40 0.0004 0.0006 -0.0048 40 0.0052 0.0034 -0.004441 0.0028 -0.0002 -0.0085 41 0.0002 0.0003 -0.0049 41 0.0049 0.0031 -0.004942 0.0026 -0.0004 -0.0081 42 0.0001 0.0003 -0.0048 42 0.0052 0.0034 -0.004643 0.0023 -0.0006 -0.0081 43 0.0003 0.0005 -0.0049 43 0.0051 0.0033 -0.004744 0.0026 -0.0003 -0.0082 44 0.0002 0.0003 -0.0050 44 0.0051 0.0033 -0.004845 0.0026 -0.0004 -0.0086 45 0.0004 0.0005 -0.0050 45 0.0053 0.0035 -0.004946 0.0026 -0.0005 -0.0084 46 0.0004 0.0005 -0.0050 46 0.0051 0.0033 -0.004647 0.0025 -0.0005 -0.0085 47 0.0003 0.0004 -0.0051 47 0.0051 0.0033 -0.004748 0.0025 -0.0005 -0.0087 48 0.0003 0.0005 -0.0050 48 0.0051 0.0034 -0.004749 0.0027 -0.0003 -0.0087 49 0.0002 0.0004 -0.0050 49 0.0051 0.0033 -0.004750 0.0025 -0.0004 -0.0084 50 0.0002 0.0004 -0.0049 50 0.0051 0.0033 -0.004651 0.0025 -0.0005 -0.0084 51 0.0003 0.0005 -0.0049 51 0.0051 0.0033 -0.004652 0.0026 -0.0003 -0.0084 52 0.0003 0.0004 -0.0049 52 0.0051 0.0033 -0.004753 0.0026 -0.0004 -0.0085 53 0.0003 0.0005 -0.0049 53 0.0052 0.0034 -0.004854 0.0025 -0.0004 -0.0083 54 0.0003 0.0004 -0.0049 54 0.0051 0.0033 -0.004655 0.0025 -0.0005 -0.0084 55 0.0003 0.0004 -0.0050 55 0.0051 0.0033 -0.004756 0.0025 -0.0004 -0.0085 56 0.0003 0.0004 -0.0050 56 0.0051 0.0033 -0.004757 0.0026 -0.0004 -0.0085 57 0.0003 0.0004 -0.0050 57 0.0051 0.0033 -0.004758 0.0025 -0.0004 -0.0084 58 0.0003 0.0004 -0.0050 58 0.0051 0.0033 -0.004759 0.0025 -0.0004 -0.0085 59 0.0003 0.0004 -0.0050 59 0.0051 0.0033 -0.004760 0.0026 -0.0004 -0.0086 60 0.0003 0.0004 -0.0049 60 0.0051 0.0033 -0.0047
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
393
Lampiran 9. Lanjutan
9.16. Response of D(LOG(DF(2))):
9.17. Response of D(LOG(I(2))):
9.18. Response of D(LOG(KONS(2))):
Period D(LOG(NTI(2)))
D(LOG(NTO(2)))
D(DSA (2))
Period D(LOG(NTI(2)))
D(LOG(NTO(2)))
D(DSA(2))
Period D(LOG (NTI(2)))
D(LOG (NTO(2)))
D(DSA(2))
1 0.0000 0.0000 0.0000 1 0.0000 0.0000 0.0000 1 0.0000 0.0000 0.00002 -0.0126 -0.0085 -0.0205 2 -0.0167 -0.0113 0.0049 2 0.0012 -0.0020 0.03013 -0.0059 -0.0056 -0.0060 3 -0.0124 -0.0090 0.0336 3 0.0005 0.0024 -0.02754 -0.0084 -0.0076 -0.0217 4 -0.0140 -0.0090 0.0327 4 0.0022 0.0021 -0.00715 -0.0041 -0.0034 0.0745 5 -0.0075 -0.0025 0.0044 5 -0.0056 -0.0061 -0.01756 0.0007 -0.0016 0.0100 6 -0.0059 -0.0011 0.0244 6 -0.0008 -0.0002 -0.00647 -0.0018 -0.0032 0.0319 7 -0.0052 0.0010 0.0378 7 0.0011 0.0012 -0.01158 0.0042 0.0013 0.0210 8 -0.0120 -0.0049 0.0275 8 0.0011 0.0025 -0.00649 -0.0044 -0.0069 0.0029 9 -0.0095 -0.0044 0.0210 9 0.0009 0.0030 0.0001
10 -0.0059 -0.0062 0.0039 10 -0.0102 -0.0079 0.0129 10 -0.0015 -0.0002 0.004211 -0.0075 -0.0071 0.0074 11 -0.0113 -0.0067 0.0237 11 -0.0011 0.0005 -0.010212 -0.0070 -0.0064 -0.0034 12 -0.0114 -0.0067 0.0301 12 0.0000 0.0005 -0.003913 -0.0025 -0.0023 0.0154 13 -0.0104 -0.0057 0.0191 13 -0.0031 -0.0030 -0.011814 -0.0021 -0.0019 0.0103 14 -0.0049 -0.0003 0.0150 14 -0.0014 -0.0011 -0.006415 -0.0026 -0.0024 0.0185 15 -0.0097 -0.0047 0.0151 15 0.0000 0.0007 -0.011716 -0.0029 -0.0026 0.0179 16 -0.0098 -0.0045 0.0186 16 0.0006 0.0005 -0.011217 -0.0046 -0.0053 0.0126 17 -0.0095 -0.0043 0.0251 17 0.0003 0.0011 -0.009418 -0.0050 -0.0055 0.0106 18 -0.0108 -0.0055 0.0240 18 -0.0009 0.0004 -0.005219 -0.0041 -0.0048 0.0112 19 -0.0105 -0.0059 0.0253 19 -0.0001 0.0007 -0.008020 -0.0052 -0.0062 0.0078 20 -0.0092 -0.0045 0.0238 20 -0.0004 0.0007 -0.003921 -0.0027 -0.0035 0.0111 21 -0.0087 -0.0041 0.0223 21 -0.0014 -0.0005 -0.005622 -0.0029 -0.0035 0.0105 22 -0.0082 -0.0039 0.0200 22 -0.0009 -0.0003 -0.005923 -0.0032 -0.0035 0.0106 23 -0.0097 -0.0051 0.0211 23 -0.0003 0.0004 -0.007924 -0.0029 -0.0030 0.0126 24 -0.0101 -0.0053 0.0197 24 -0.0001 0.0003 -0.007125 -0.0041 -0.0040 0.0115 25 -0.0097 -0.0046 0.0212 25 -0.0006 -0.0001 -0.007926 -0.0048 -0.0047 0.0121 26 -0.0094 -0.0046 0.0214 26 -0.0007 0.0001 -0.007427 -0.0040 -0.0042 0.0133 27 -0.0098 -0.0049 0.0218 27 -0.0001 0.0005 -0.008928 -0.0047 -0.0049 0.0124 28 -0.0094 -0.0045 0.0222 28 -0.0004 0.0003 -0.007629 -0.0033 -0.0039 0.0121 29 -0.0094 -0.0046 0.0223 29 -0.0008 0.0000 -0.006530 -0.0033 -0.0040 0.0118 30 -0.0092 -0.0044 0.0218 30 -0.0008 0.0001 -0.007231 -0.0036 -0.0042 0.0104 31 -0.0096 -0.0048 0.0225 31 -0.0005 0.0004 -0.007732 -0.0034 -0.0039 0.0111 32 -0.0098 -0.0050 0.0212 32 -0.0004 0.0003 -0.006333 -0.0039 -0.0043 0.0106 33 -0.0094 -0.0048 0.0212 33 -0.0008 -0.0001 -0.006834 -0.0041 -0.0043 0.0109 34 -0.0094 -0.0047 0.0214 34 -0.0005 0.0002 -0.007035 -0.0038 -0.0040 0.0116 35 -0.0096 -0.0049 0.0218 35 -0.0003 0.0003 -0.007736 -0.0041 -0.0043 0.0119 36 -0.0094 -0.0047 0.0215 36 -0.0005 0.0001 -0.007437 -0.0036 -0.0039 0.0120 37 -0.0093 -0.0045 0.0214 37 -0.0006 0.0000 -0.007038 -0.0036 -0.0040 0.0123 38 -0.0094 -0.0046 0.0213 38 -0.0006 0.0002 -0.007739 -0.0038 -0.0042 0.0118 39 -0.0096 -0.0047 0.0221 39 -0.0004 0.0003 -0.007840 -0.0037 -0.0041 0.0119 40 -0.0096 -0.0048 0.0217 40 -0.0005 0.0003 -0.007041 -0.0039 -0.0043 0.0113 41 -0.0095 -0.0047 0.0217 41 -0.0007 0.0001 -0.007142 -0.0039 -0.0043 0.0113 42 -0.0095 -0.0047 0.0219 42 -0.0005 0.0003 -0.007143 -0.0037 -0.0042 0.0113 43 -0.0096 -0.0048 0.0219 43 -0.0004 0.0003 -0.007244 -0.0039 -0.0042 0.0114 44 -0.0094 -0.0047 0.0215 44 -0.0006 0.0001 -0.007045 -0.0037 -0.0040 0.0113 45 -0.0094 -0.0046 0.0214 45 -0.0006 0.0001 -0.007046 -0.0037 -0.0040 0.0116 46 -0.0095 -0.0047 0.0214 46 -0.0005 0.0002 -0.007447 -0.0038 -0.0041 0.0116 47 -0.0095 -0.0047 0.0217 47 -0.0004 0.0002 -0.007548 -0.0038 -0.0041 0.0118 48 -0.0095 -0.0047 0.0215 48 -0.0005 0.0002 -0.007249 -0.0038 -0.0042 0.0117 49 -0.0095 -0.0046 0.0216 49 -0.0006 0.0001 -0.007350 -0.0038 -0.0042 0.0118 50 -0.0095 -0.0047 0.0218 50 -0.0005 0.0003 -0.007451 -0.0038 -0.0042 0.0117 51 -0.0095 -0.0047 0.0218 51 -0.0005 0.0003 -0.007352 -0.0038 -0.0042 0.0116 52 -0.0095 -0.0047 0.0217 52 -0.0006 0.0002 -0.007153 -0.0037 -0.0041 0.0114 53 -0.0094 -0.0047 0.0217 53 -0.0006 0.0002 -0.007154 -0.0037 -0.0041 0.0115 54 -0.0095 -0.0047 0.0216 54 -0.0005 0.0002 -0.007355 -0.0038 -0.0041 0.0114 55 -0.0095 -0.0047 0.0217 55 -0.0005 0.0002 -0.007256 -0.0038 -0.0041 0.0115 56 -0.0095 -0.0047 0.0215 56 -0.0005 0.0002 -0.007157 -0.0038 -0.0041 0.0116 57 -0.0095 -0.0047 0.0215 57 -0.0006 0.0001 -0.007258 -0.0038 -0.0041 0.0117 58 -0.0095 -0.0047 0.0217 58 -0.0005 0.0002 -0.007459 -0.0038 -0.0041 0.0117 59 -0.0095 -0.0047 0.0217 59 -0.0005 0.0002 -0.007360 -0.0038 -0.0041 0.0117 60 -0.0095 -0.0047 0.0216 60 -0.0006 0.0002 -0.0072
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
394
Lampiran 9. Lanjutan C. Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kinerja Sektor Pertanian
9.19. Response of D(LOG(GDPA(2))):
9.20. Response of D(LOG(TKA(2))):
9.21. Response of D(LOG(XA(2))):
Period D(LOG (NTI(2)))
D(LOG (NTO(2)))
D(DSA (2))
Period D(LOG(NTI(2)))
D(LOG(NTO(2)))
D(DSA(2))
Period D(LOG (NTI(2)))
D(LOG (NTO(2)))
D(DSA(2))
1 -0.0328 -0.0196 0.0817 1 -0.0058 -0.0034 -0.0017 1 0.0162 0.0197 0.04152 -0.0084 -0.0031 0.0419 2 -0.0042 -0.0020 0.0121 2 0.0157 0.0165 0.01183 -0.0114 -0.0051 0.0704 3 -0.0003 0.0003 0.0028 3 0.0212 0.0215 0.05324 -0.0081 -0.0018 0.0603 4 -0.0023 -0.0002 0.0080 4 0.0215 0.0230 0.01085 -0.0193 -0.0117 -0.0061 5 -0.0060 -0.0007 -0.0049 5 0.0127 0.0073 0.08866 -0.0197 -0.0120 0.0179 6 -0.0096 -0.0058 -0.0087 6 0.0126 0.0113 0.05457 -0.0239 -0.0138 0.0020 7 -0.0116 -0.0062 -0.0204 7 0.0140 0.0117 0.04458 -0.0223 -0.0142 -0.0081 8 -0.0087 -0.0051 -0.0103 8 0.0184 0.0166 0.04679 -0.0161 -0.0067 0.0126 9 -0.0036 -0.0039 -0.0131 9 0.0136 0.0095 0.0481
10 -0.0153 -0.0059 0.0202 10 -0.0039 -0.0017 0.0034 10 0.0179 0.0150 0.033711 -0.0148 -0.0055 0.0288 11 -0.0042 -0.0026 -0.0083 11 0.0213 0.0172 0.045712 -0.0154 -0.0060 0.0334 12 -0.0026 -0.0017 -0.0105 12 0.0206 0.0159 0.036313 -0.0184 -0.0098 0.0212 13 -0.0060 -0.0027 -0.0231 13 0.0150 0.0126 0.067114 -0.0178 -0.0098 0.0225 14 -0.0084 -0.0052 -0.0123 14 0.0151 0.0137 0.041615 -0.0177 -0.0108 0.0174 15 -0.0060 -0.0036 -0.0094 15 0.0162 0.0147 0.047516 -0.0181 -0.0111 0.0178 16 -0.0077 -0.0039 -0.0037 16 0.0183 0.0165 0.046217 -0.0165 -0.0094 0.0209 17 -0.0030 -0.0012 -0.0004 17 0.0135 0.0121 0.052518 -0.0160 -0.0083 0.0187 18 -0.0041 -0.0025 -0.0019 18 0.0162 0.0140 0.046719 -0.0154 -0.0075 0.0185 19 -0.0046 -0.0021 -0.0068 19 0.0181 0.0158 0.049020 -0.0152 -0.0066 0.0194 20 -0.0039 -0.0026 -0.0070 20 0.0177 0.0142 0.045321 -0.0176 -0.0087 0.0207 21 -0.0073 -0.0048 -0.0153 21 0.0155 0.0124 0.051022 -0.0182 -0.0092 0.0213 22 -0.0067 -0.0041 -0.0083 22 0.0165 0.0139 0.041423 -0.0179 -0.0092 0.0230 23 -0.0062 -0.0037 -0.0105 23 0.0175 0.0146 0.043524 -0.0182 -0.0097 0.0216 24 -0.0061 -0.0032 -0.0093 24 0.0168 0.0144 0.045325 -0.0169 -0.0089 0.0219 25 -0.0036 -0.0013 -0.0063 25 0.0155 0.0135 0.050026 -0.0163 -0.0086 0.0202 26 -0.0052 -0.0028 -0.0075 26 0.0167 0.0149 0.045627 -0.0166 -0.0089 0.0190 27 -0.0054 -0.0028 -0.0077 27 0.0179 0.0157 0.047528 -0.0162 -0.0085 0.0193 28 -0.0051 -0.0027 -0.0063 28 0.0168 0.0143 0.048829 -0.0172 -0.0092 0.0193 29 -0.0066 -0.0041 -0.0097 29 0.0157 0.0132 0.050430 -0.0172 -0.0089 0.0190 30 -0.0058 -0.0035 -0.0071 30 0.0165 0.0141 0.046131 -0.0170 -0.0087 0.0201 31 -0.0056 -0.0033 -0.0087 31 0.0172 0.0144 0.046532 -0.0173 -0.0089 0.0201 32 -0.0055 -0.0033 -0.0091 32 0.0167 0.0139 0.046733 -0.0170 -0.0086 0.0213 33 -0.0045 -0.0023 -0.0076 33 0.0162 0.0138 0.047634 -0.0169 -0.0086 0.0214 34 -0.0055 -0.0031 -0.0083 34 0.0169 0.0146 0.044835 -0.0170 -0.0088 0.0212 35 -0.0055 -0.0030 -0.0086 35 0.0174 0.0149 0.046036 -0.0168 -0.0087 0.0210 36 -0.0053 -0.0028 -0.0078 36 0.0165 0.0142 0.047737 -0.0171 -0.0091 0.0205 37 -0.0061 -0.0035 -0.0087 37 0.0161 0.0138 0.048138 -0.0171 -0.0090 0.0198 38 -0.0056 -0.0032 -0.0074 38 0.0167 0.0144 0.046639 -0.0169 -0.0089 0.0199 39 -0.0056 -0.0031 -0.0079 39 0.0169 0.0145 0.047340 -0.0171 -0.0089 0.0196 40 -0.0055 -0.0031 -0.0081 40 0.0165 0.0140 0.047941 -0.0169 -0.0087 0.0201 41 -0.0051 -0.0028 -0.0077 41 0.0164 0.0139 0.047742 -0.0169 -0.0086 0.0202 42 -0.0055 -0.0032 -0.0081 42 0.0169 0.0144 0.046243 -0.0170 -0.0087 0.0203 43 -0.0054 -0.0031 -0.0085 43 0.0171 0.0145 0.046644 -0.0169 -0.0087 0.0206 44 -0.0054 -0.0030 -0.0084 44 0.0165 0.0140 0.047245 -0.0171 -0.0089 0.0208 45 -0.0057 -0.0033 -0.0084 45 0.0164 0.0140 0.047046 -0.0171 -0.0089 0.0206 46 -0.0055 -0.0031 -0.0080 46 0.0168 0.0144 0.046347 -0.0170 -0.0089 0.0206 47 -0.0055 -0.0030 -0.0081 47 0.0168 0.0144 0.047048 -0.0170 -0.0089 0.0204 48 -0.0054 -0.0030 -0.0080 48 0.0165 0.0141 0.047649 -0.0169 -0.0088 0.0202 49 -0.0053 -0.0030 -0.0079 49 0.0165 0.0142 0.047350 -0.0169 -0.0088 0.0201 50 -0.0055 -0.0031 -0.0080 50 0.0168 0.0144 0.046851 -0.0170 -0.0088 0.0201 51 -0.0055 -0.0031 -0.0081 51 0.0168 0.0143 0.047252 -0.0170 -0.0088 0.0202 52 -0.0054 -0.0031 -0.0082 52 0.0165 0.0141 0.047453 -0.0170 -0.0088 0.0203 53 -0.0056 -0.0032 -0.0082 53 0.0166 0.0141 0.047054 -0.0170 -0.0088 0.0204 54 -0.0055 -0.0031 -0.0082 54 0.0168 0.0143 0.046655 -0.0170 -0.0088 0.0205 55 -0.0055 -0.0031 -0.0083 55 0.0168 0.0143 0.046956 -0.0170 -0.0088 0.0205 56 -0.0054 -0.0031 -0.0082 56 0.0166 0.0141 0.047257 -0.0170 -0.0088 0.0205 57 -0.0054 -0.0030 -0.0081 57 0.0166 0.0142 0.046958 -0.0170 -0.0088 0.0204 58 -0.0055 -0.0031 -0.0081 58 0.0168 0.0144 0.046859 -0.0170 -0.0088 0.0203 59 -0.0055 -0.0031 -0.0081 59 0.0167 0.0143 0.047160 -0.0170 -0.0088 0.0203 60 -0.0055 -0.0031 -0.0081 60 0.0166 0.0141 0.0473
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
395
Lampiran 9. Lanjutan 9.22. Response of D(LOG(IMA(2))):
9.23. Response of D(WP(2)):
Period D(LOG (NTI(2)))
D(LOG (NTO(2)))
D(DSA(2)) Period D(LOG(NTI(2)))
D(LOG (NTO(2)))
D(DSA(2))
1 -0.0100 -0.0097 -0.0219 1 0.0176 0.0205 0.00252 -0.0110 -0.0102 -0.0219 2 0.0209 0.0177 -0.01373 -0.0108 -0.0103 -0.0160 3 0.0309 0.0202 -0.02514 -0.0183 -0.0153 -0.0214 4 0.0044 0.0081 -0.00555 -0.0098 -0.0088 -0.0093 5 0.0185 0.0042 0.01326 -0.0104 -0.0103 -0.0298 6 0.0133 0.0099 -0.00397 -0.0179 -0.0138 -0.0411 7 0.0087 0.0070 -0.00618 -0.0162 -0.0146 -0.0267 8 0.0187 0.0114 0.01399 -0.0042 -0.0035 -0.0345 9 0.0228 0.0197 -0.0146
10 -0.0128 -0.0095 -0.0251 10 0.0142 0.0091 -0.001711 -0.0152 -0.0108 -0.0269 11 0.0142 0.0086 -0.017112 -0.0170 -0.0116 -0.0200 12 0.0187 0.0119 -0.017313 -0.0143 -0.0103 -0.0312 13 0.0130 0.0092 -0.008514 -0.0160 -0.0126 -0.0323 14 0.0150 0.0095 -0.006615 -0.0120 -0.0109 -0.0358 15 0.0154 0.0102 -0.004716 -0.0137 -0.0114 -0.0279 16 0.0173 0.0133 0.003717 -0.0131 -0.0114 -0.0269 17 0.0188 0.0129 -0.002918 -0.0120 -0.0103 -0.0277 18 0.0186 0.0127 0.004819 -0.0124 -0.0098 -0.0319 19 0.0154 0.0107 -0.007220 -0.0134 -0.0104 -0.0307 20 0.0159 0.0103 -0.006221 -0.0135 -0.0106 -0.0308 21 0.0147 0.0092 -0.007522 -0.0139 -0.0109 -0.0280 22 0.0146 0.0096 -0.008523 -0.0139 -0.0108 -0.0259 23 0.0167 0.0115 -0.006524 -0.0140 -0.0111 -0.0265 24 0.0163 0.0114 -0.005125 -0.0128 -0.0101 -0.0285 25 0.0177 0.0125 -0.004026 -0.0129 -0.0105 -0.0285 26 0.0169 0.0118 -0.002727 -0.0135 -0.0110 -0.0300 27 0.0156 0.0110 -0.005728 -0.0136 -0.0111 -0.0292 28 0.0163 0.0109 -0.003429 -0.0137 -0.0111 -0.0306 29 0.0152 0.0101 -0.005930 -0.0134 -0.0107 -0.0292 30 0.0156 0.0104 -0.005331 -0.0134 -0.0107 -0.0293 31 0.0165 0.0110 -0.004832 -0.0134 -0.0106 -0.0292 32 0.0165 0.0112 -0.005433 -0.0132 -0.0104 -0.0292 33 0.0170 0.0116 -0.005234 -0.0134 -0.0106 -0.0283 34 0.0165 0.0113 -0.004935 -0.0136 -0.0109 -0.0283 35 0.0161 0.0110 -0.005536 -0.0135 -0.0108 -0.0283 36 0.0162 0.0111 -0.004737 -0.0134 -0.0108 -0.0290 37 0.0157 0.0107 -0.005238 -0.0134 -0.0108 -0.0289 38 0.0160 0.0108 -0.004639 -0.0134 -0.0108 -0.0291 39 0.0163 0.0112 -0.004540 -0.0134 -0.0108 -0.0293 40 0.0163 0.0111 -0.005041 -0.0133 -0.0106 -0.0293 41 0.0165 0.0112 -0.004842 -0.0134 -0.0107 -0.0291 42 0.0163 0.0111 -0.005043 -0.0135 -0.0107 -0.0290 43 0.0161 0.0109 -0.005444 -0.0134 -0.0107 -0.0288 44 0.0162 0.0110 -0.005245 -0.0134 -0.0107 -0.0288 45 0.0161 0.0109 -0.005246 -0.0134 -0.0108 -0.0287 46 0.0162 0.0110 -0.005047 -0.0135 -0.0108 -0.0288 47 0.0163 0.0111 -0.004948 -0.0134 -0.0108 -0.0289 48 0.0163 0.0111 -0.004949 -0.0134 -0.0107 -0.0291 49 0.0163 0.0111 -0.004850 -0.0134 -0.0108 -0.0291 50 0.0162 0.0111 -0.004851 -0.0134 -0.0108 -0.0291 51 0.0162 0.0110 -0.005052 -0.0134 -0.0107 -0.0291 52 0.0162 0.0110 -0.005053 -0.0134 -0.0107 -0.0290 53 0.0162 0.0110 -0.005054 -0.0134 -0.0107 -0.0289 54 0.0162 0.0110 -0.005155 -0.0134 -0.0107 -0.0289 55 0.0163 0.0111 -0.005156 -0.0134 -0.0107 -0.0289 56 0.0163 0.0111 -0.005057 -0.0134 -0.0107 -0.0289 57 0.0162 0.0111 -0.005058 -0.0134 -0.0108 -0.0289 58 0.0162 0.0111 -0.005059 -0.0134 -0.0108 -0.0289 59 0.0162 0.0110 -0.005060 -0.0134 -0.0107 -0.0290 60 0.0162 0.0110 -0.0049
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))
396
ampiran 10. Forecast Error Variance Decomposition Variance Decomposition of D(LOG(GDPA(2))): Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
1 0.0128 100.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.0144 90.2879 2.2804 0.1239 0.0764 0.0021 1.1000 0.1156 0.0446 0.3125 0.7349 0.0633 3.0121 0.6392 0.9060 0.1644 0.1320 0.0046 3 0.0162 82.2281 3.6218 0.1583 0.4423 0.0599 1.5943 0.5098 0.0583 1.1155 1.8791 0.0673 3.3335 1.7081 1.5970 1.4132 0.2095 0.0041 4 0.0180 75.2007 5.0225 1.3884 0.3951 0.6857 1.7550 0.5585 0.0474 1.1873 3.2264 0.0675 4.5723 1.9467 2.0536 1.6461 0.1829 0.0641 5 0.0209 56.5378 20.3944 1.1853 1.1168 0.7445 2.7316 0.4410 1.6173 1.0336 2.4257 0.0535 3.7398 3.2741 2.3094 1.8138 0.1583 0.4230 6 0.0220 53.6500 19.4976 1.2904 1.0210 0.6915 3.0250 0.5529 1.6062 1.1798 2.5269 0.0709 3.5189 5.1416 2.4134 2.0029 1.4251 0.3858 7 0.0228 52.6819 19.0748 1.2769 1.2182 0.7118 3.1323 0.5649 1.4887 1.1146 2.3436 0.0747 3.3852 4.9782 2.3625 1.9489 3.0486 0.5942 8 0.0238 49.9674 17.9448 1.9108 1.5555 2.0237 3.2343 0.5686 1.4168 1.3125 2.1611 0.2357 3.3682 5.2715 2.6038 2.0941 3.6295 0.7018 9 0.0252 46.2387 16.8824 1.7993 1.9404 2.7668 2.9492 0.8330 3.3900 2.1342 2.3319 0.2537 3.6546 4.7391 2.8584 2.6048 3.4751 1.1484 10 0.0259 45.7939 16.6954 1.8209 1.8889 3.0381 2.8184 0.8784 3.3587 2.0580 2.2462 0.2411 3.4537 4.8337 3.1849 2.7461 3.7956 1.1480 11 0.0267 45.9277 16.1998 1.8489 1.8213 3.0736 2.6970 0.8524 3.3364 2.0078 2.1247 0.2357 3.2557 5.2152 3.6455 3.0333 3.6169 1.1082 12 0.0277 45.8683 15.3461 2.0316 1.8346 3.8591 2.6572 0.7920 3.2107 1.8732 2.0436 0.2192 3.7962 5.4712 3.5947 2.9139 3.4163 1.0721 13 0.0288 45.1178 15.7859 1.9028 2.2041 3.7609 3.0126 1.3858 2.9982 1.7500 1.9027 0.3077 3.5232 5.5068 3.7279 2.8728 3.2436 0.9971 14 0.0294 45.4874 15.4346 1.8757 2.1822 3.7993 2.9969 1.4383 2.8767 1.7919 1.9231 0.3245 3.5395 5.5339 3.6718 2.8573 3.2929 0.9742 15 0.0299 45.0672 15.1617 1.8787 2.1817 3.8618 2.9293 1.5836 2.7713 1.8398 2.0430 0.3163 3.7888 5.5448 3.9358 2.8371 3.2615 0.9977 16 0.0304 44.8846 15.3719 1.9419 2.1163 3.7410 2.9663 1.5850 2.6836 1.8979 2.1549 0.3061 3.6970 5.6744 4.0497 2.7911 3.1722 0.9661 17 0.0308 44.9035 15.3210 1.8891 2.0707 3.8086 2.8904 1.5786 2.6150 1.9074 2.1987 0.3082 3.7383 5.7232 4.1161 2.8222 3.1369 0.9721 18 0.0314 44.9227 15.4256 1.8274 2.0114 3.7862 2.9965 1.5293 2.5726 1.8759 2.1611 0.2981 3.7142 5.7945 4.1655 2.8304 3.1227 0.9660 19 0.0319 45.0601 15.4739 1.7686 2.0001 3.7286 3.0233 1.4810 2.5263 1.8702 2.1001 0.3001 3.6263 5.8556 4.1401 2.9417 3.1434 0.9605 20 0.0324 45.1546 15.2456 1.7129 1.9574 3.7568 2.9811 1.4347 2.5840 1.8702 2.0765 0.2909 3.6031 5.8181 4.2776 3.0644 3.1545 1.0175 21 0.0330 45.2273 15.0921 1.6762 1.9084 3.7166 2.9925 1.4230 2.6442 1.8908 2.0225 0.2890 3.5044 5.8991 4.3753 3.1869 3.1287 1.0230 22 0.0334 45.4490 14.8928 1.6338 1.8663 3.7284 2.9231 1.3921 2.6579 1.9154 2.0186 0.2808 3.4584 5.9542 4.4885 3.2216 3.0876 1.0316 23 0.0340 45.6413 14.7547 1.5897 1.8609 3.7310 2.8560 1.3629 2.6219 1.9187 2.0197 0.2723 3.4309 6.0584 4.5838 3.2391 3.0140 1.0447 24 0.0345 45.8899 14.6881 1.5449 1.8519 3.6965 2.8437 1.3555 2.5522 1.9068 1.9973 0.2656 3.4012 6.1633 4.6225 3.2356 2.9555 1.0294 25 0.0349 46.0214 14.6378 1.5037 1.8452 3.6846 2.8071 1.3360 2.4842 1.9072 2.0176 0.2614 3.4257 6.2166 4.6716 3.2237 2.9397 1.0166 26 0.0354 46.0453 14.6318 1.4716 1.8177 3.6530 2.8533 1.3266 2.4237 1.9032 2.0207 0.2592 3.4356 6.2877 4.7274 3.2223 2.9184 1.0026 27 0.0358 46.0863 14.6323 1.4457 1.7841 3.6213 2.8834 1.3089 2.3709 1.9094 2.0255 0.2562 3.4339 6.3331 4.7793 3.2290 2.9039 0.9967 28 0.0362 46.0788 14.6462 1.4165 1.7462 3.6179 2.8747 1.2857 2.3331 1.9129 2.0370 0.2511 3.4377 6.3682 4.8574 3.2386 2.8996 0.9984 29 0.0366 46.1080 14.6368 1.3852 1.7150 3.6027 2.8947 1.2619 2.3106 1.9205 2.0252 0.2466 3.4089 6.4228 4.9010 3.2681 2.8934 0.9985 30 0.0370 46.2000 14.5833 1.3544 1.6914 3.5981 2.8694 1.2358 2.2975 1.9281 2.0192 0.2415 3.3817 6.4494 4.9526 3.3008 2.8937 1.0032 31 0.0375 46.2967 14.5339 1.3233 1.6713 3.5986 2.8339 1.2126 2.2870 1.9321 2.0035 0.2368 3.3476 6.4864 5.0045 3.3443 2.8753 1.0123 32 0.0379 46.4247 14.4452 1.2936 1.6512 3.5943 2.8166 1.1911 2.2767 1.9371 1.9893 0.2323 3.3261 6.5235 5.0433 3.3851 2.8528 1.0171 33 0.0383 46.5469 14.3908 1.2662 1.6347 3.5861 2.7798 1.1730 2.2533 1.9417 1.9846 0.2284 3.3080 6.5583 5.0956 3.4096 2.8257 1.0173 34 0.0387 46.6569 14.3390 1.2385 1.6181 3.5763 2.7712 1.1595 2.2247 1.9417 1.9743 0.2247 3.2874 6.6069 5.1386 3.4302 2.8001 1.0120 35 0.0391 46.7561 14.2959 1.2129 1.6009 3.5698 2.7685 1.1450 2.1901 1.9422 1.9702 0.2212 3.2878 6.6445 5.1718 3.4351 2.7788 1.0094 36 0.0395 46.8244 14.2878 1.1885 1.5849 3.5524 2.7612 1.1337 2.1542 1.9402 1.9711 0.2179 3.2831 6.6813 5.2151 3.4375 2.7623 1.0045 37 0.0399 46.8821 14.2771 1.1656 1.5684 3.5397 2.7702 1.1216 2.1211 1.9430 1.9685 0.2153 3.2733 6.7178 5.2404 3.4421 2.7537 0.9999 38 0.0403 46.9261 14.2592 1.1447 1.5498 3.5314 2.7650 1.1087 2.0922 1.9461 1.9722 0.2123 3.2708 6.7453 5.2797 3.4482 2.7491 0.9992 39 0.0407 46.9644 14.2527 1.1244 1.5318 3.5171 2.7581 1.0957 2.0692 1.9500 1.9724 0.2094 3.2592 6.7779 5.3179 3.4605 2.7398 0.9995
397
Lampiran 10. Lanjutan Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
40 0.0411 47.0145 14.2286 1.1041 1.5141 3.5113 2.7511 1.0805 2.0503 1.9539 1.9690 0.2062 3.2488 6.8066 5.3508 3.4786 2.7305 1.0011 41 0.0414 47.0680 14.2045 1.0840 1.4985 3.5062 2.7363 1.0659 2.0353 1.9571 1.9652 0.2033 3.2353 6.8332 5.3877 3.4967 2.7203 1.0024 42 0.0418 47.1318 14.1728 1.0643 1.4843 3.5029 2.7282 1.0518 2.0208 1.9593 1.9567 0.2006 3.2192 6.8626 5.4162 3.5173 2.7087 1.0025 43 0.0422 47.2005 14.1346 1.0454 1.4713 3.5016 2.7186 1.0381 2.0050 1.9615 1.9506 0.1979 3.2096 6.8855 5.4456 3.5335 2.6964 1.0040 44 0.0426 47.2652 14.1054 1.0271 1.4590 3.4964 2.7072 1.0272 1.9879 1.9625 1.9458 0.1953 3.1984 6.9110 5.4768 3.5476 2.6838 1.0034 45 0.0429 47.3293 14.0783 1.0096 1.4473 3.4917 2.7017 1.0170 1.9683 1.9647 1.9418 0.1930 3.1884 6.9366 5.5011 3.5573 2.6722 1.0016 46 0.0433 47.3839 14.0553 0.9928 1.4356 3.4849 2.6938 1.0076 1.9482 1.9662 1.9415 0.1907 3.1832 6.9602 5.5300 3.5642 2.6614 1.0006 47 0.0437 47.4320 14.0418 0.9767 1.4238 3.4752 2.6882 0.9993 1.9279 1.9672 1.9402 0.1885 3.1765 6.9863 5.5561 3.5711 2.6503 0.9991 48 0.0440 47.4758 14.0280 0.9611 1.4121 3.4680 2.6848 0.9900 1.9079 1.9687 1.9393 0.1863 3.1715 7.0093 5.5798 3.5779 2.6417 0.9978 49 0.0444 47.5135 14.0169 0.9460 1.4004 3.4607 2.6796 0.9807 1.8903 1.9704 1.9384 0.1843 3.1651 7.0313 5.6055 3.5859 2.6344 0.9968 50 0.0447 47.5526 14.0022 0.9315 1.3887 3.4549 2.6766 0.9711 1.8742 1.9723 1.9356 0.1823 3.1575 7.0532 5.6279 3.5958 2.6275 0.9963 51 0.0451 47.5916 13.9850 0.9173 1.3772 3.4516 2.6715 0.9611 1.8599 1.9743 1.9331 0.1802 3.1511 7.0717 5.6512 3.6057 2.6205 0.9968 52 0.0454 47.6313 13.9676 0.9034 1.3665 3.4475 2.6648 0.9517 1.8473 1.9760 1.9301 0.1783 3.1426 7.0911 5.6747 3.6169 2.6133 0.9969 53 0.0458 47.6751 13.9477 0.8899 1.3567 3.4443 2.6591 0.9424 1.8348 1.9781 1.9269 0.1764 3.1340 7.1096 5.6950 3.6272 2.6060 0.9968 54 0.0461 47.7178 13.9279 0.8768 1.3474 3.4408 2.6519 0.9338 1.8223 1.9795 1.9242 0.1745 3.1268 7.1274 5.7172 3.6367 2.5980 0.9970 55 0.0464 47.7599 13.9100 0.8640 1.3385 3.4360 2.6458 0.9261 1.8095 1.9807 1.9215 0.1727 3.1198 7.1462 5.7375 3.6455 2.5894 0.9969 56 0.0468 47.8007 13.8935 0.8516 1.3298 3.4316 2.6405 0.9186 1.7959 1.9819 1.9195 0.1710 3.1140 7.1639 5.7569 3.6530 2.5815 0.9962 57 0.0471 47.8377 13.8795 0.8395 1.3213 3.4266 2.6356 0.9116 1.7823 1.9831 1.9178 0.1694 3.1082 7.1816 5.7766 3.6597 2.5741 0.9953 58 0.0474 47.8729 13.8658 0.8279 1.3127 3.4221 2.6323 0.9046 1.7688 1.9842 1.9161 0.1678 3.1033 7.1991 5.7945 3.6660 2.5673 0.9946 59 0.0478 47.9054 13.8539 0.8167 1.3041 3.4179 2.6287 0.8976 1.7556 1.9854 1.9149 0.1662 3.0989 7.2151 5.8127 3.6719 2.5609 0.9941 60 0.0481 47.9361 13.8428 0.8057 1.2957 3.4135 2.6250 0.8907 1.7434 1.9866 1.9134 0.1647 3.0936 7.2310 5.8306 3.6785 2.5552 0.9936 Variance Decomposition of D(LOG(TKA(2))): Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
1 0.0855 0.0085 99.9915 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.0908 0.0091 91.5540 0.5587 3.0284 0.5060 0.4491 0.3607 0.0413 0.3717 0.1904 0.0195 0.0255 0.2778 1.2018 1.0609 0.2136 0.1315 3 0.1031 0.8614 72.4235 2.4241 3.8634 0.4015 0.3535 0.6686 1.6760 0.6548 1.4418 0.0163 4.1512 0.3296 1.1057 1.4697 7.9500 0.2090 4 0.1204 0.6713 53.9754 8.4635 2.9465 0.3839 0.8710 1.1019 1.7935 0.9530 2.6432 0.2101 14.5078 0.4299 1.5959 1.6310 7.5504 0.2717 5 0.1436 1.6549 46.5670 7.5140 3.0121 0.4052 0.6993 5.3875 8.9025 2.0608 1.8660 0.4049 10.4007 1.3204 1.2915 2.1601 5.4162 0.9367 6 0.1526 1.9987 42.4986 6.9114 2.8112 3.0573 1.8996 5.1984 8.3032 1.8502 2.6049 0.3636 10.0279 1.3830 1.1961 1.9895 7.0768 0.8297 7 0.1580 3.2342 40.0401 7.0935 2.6691 3.4641 1.8263 4.8916 8.6146 1.9613 2.4474 0.3388 10.3998 1.2939 1.7986 2.3173 6.6315 0.9780 8 0.1618 3.6965 38.2726 8.1869 2.5459 4.2496 1.8156 4.6845 8.5015 1.8731 2.3346 0.3242 10.9040 1.2369 1.7494 2.2108 6.4759 0.9382 9 0.1736 3.5595 37.3647 7.3986 2.5502 5.7610 1.5831 6.6757 7.5954 1.6718 2.1997 0.3649 10.9500 1.3467 2.2193 1.9218 5.6797 1.1577 10 0.1759 3.9323 36.5726 7.4151 2.5190 5.6522 1.6353 6.6916 7.4739 1.8144 2.1483 0.4577 10.9944 1.3241 2.2370 1.8789 6.0557 1.1975 11 0.1779 3.8571 35.9047 7.7534 3.1694 5.8250 1.6089 6.7671 7.3113 1.8916 2.1023 0.4730 10.7824 1.3443 2.2426 1.8381 5.9269 1.2019 12 0.1815 3.7822 35.0790 8.3458 3.3640 5.7377 1.5834 6.6973 7.1644 2.2361 2.0271 0.4705 11.0504 1.2923 2.2297 1.8230 5.7511 1.3661 13 0.1843 3.6665 34.0127 8.0904 4.1385 6.4894 1.8521 6.8224 6.9919 2.3228 2.0110 0.4993 10.7661 1.3344 2.1702 1.8491 5.6488 1.3345 14 0.1858 3.6782 33.8615 8.0218 4.1966 6.4432 1.8487 6.7743 7.1851 2.2970 2.0372 0.5030 10.8490 1.3184 2.2291 1.8550 5.5759 1.3260
398
Lampiran 10. Lanjutan Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
15 0.1881 3.8625 33.6725 7.8320 4.1211 6.3052 1.8045 6.6745 7.2718 2.2760 2.2673 0.5098 11.1672 1.2885 2.1931 1.9121 5.4886 1.3532 16 0.1899 4.1160 33.1359 7.6898 4.0986 6.4240 1.7700 6.5588 7.6300 2.2797 2.2916 0.5027 11.0522 1.3220 2.2077 2.0373 5.5479 1.3359 17 0.1928 4.4039 32.4671 7.4707 4.0340 6.2459 1.7351 6.6415 8.1613 2.3368 2.3082 0.5418 11.1126 1.2839 2.2279 2.2010 5.5215 1.3067 18 0.1945 4.6040 32.0218 7.3403 4.0855 6.2007 1.8040 6.5882 8.2673 2.4375 2.3021 0.5327 11.2612 1.2679 2.2688 2.2664 5.4436 1.3079 19 0.1959 4.8307 31.7801 7.2498 4.1253 6.1621 1.8235 6.5363 8.4055 2.5143 2.2755 0.5260 11.2330 1.2509 2.3402 2.2845 5.3705 1.2918 20 0.1972 5.0961 31.7283 7.1809 4.1568 6.1134 1.8045 6.5137 8.3334 2.5290 2.3099 0.5209 11.2555 1.2491 2.3193 2.2766 5.2975 1.3152 21 0.1982 5.2584 31.7155 7.1190 4.1444 6.1464 1.7872 6.4516 8.2556 2.5680 2.2983 0.5187 11.2525 1.2426 2.3045 2.2603 5.3122 1.3648 22 0.1993 5.3243 31.6915 7.0693 4.1814 6.1181 1.7905 6.3987 8.2129 2.5928 2.3078 0.5273 11.2444 1.2331 2.3031 2.2658 5.3372 1.4019 23 0.2004 5.3513 31.5934 7.0430 4.2886 6.0672 1.7849 6.3404 8.1817 2.6301 2.3203 0.5302 11.2918 1.2327 2.2941 2.2774 5.3594 1.4135 24 0.2016 5.3371 31.4900 6.9818 4.4650 6.0517 1.7645 6.2631 8.2449 2.6709 2.3104 0.5254 11.3125 1.2368 2.3059 2.2797 5.3556 1.4046 25 0.2032 5.3775 31.2981 6.8779 4.5513 5.9935 1.7382 6.1806 8.4289 2.7073 2.3221 0.5192 11.4130 1.2192 2.3230 2.3331 5.3233 1.3938 26 0.2045 5.4891 31.0728 6.7867 4.5784 5.9659 1.7257 6.0982 8.5821 2.7571 2.3316 0.5131 11.5062 1.2069 2.3152 2.3731 5.3126 1.3852 27 0.2061 5.6444 30.8610 6.6963 4.5777 5.9635 1.7197 6.0174 8.7117 2.7896 2.3555 0.5075 11.5615 1.1905 2.3272 2.4294 5.2762 1.3708 28 0.2074 5.8441 30.6312 6.6110 4.5759 5.9500 1.6988 5.9504 8.8374 2.8297 2.3769 0.5043 11.5970 1.1753 2.3259 2.4899 5.2401 1.3620 29 0.2086 5.9913 30.4930 6.5397 4.5996 5.9475 1.6972 5.8952 8.8617 2.8696 2.3867 0.5025 11.6354 1.1667 2.3278 2.5140 5.2058 1.3663 30 0.2098 6.1261 30.3718 6.4699 4.6278 5.9330 1.6778 5.8497 8.8864 2.9014 2.3949 0.5016 11.6758 1.1540 2.3387 2.5337 5.1781 1.3793 31 0.2108 6.2318 30.2866 6.4175 4.6805 5.9250 1.6619 5.8086 8.8955 2.9357 2.3993 0.5002 11.6858 1.1447 2.3387 2.5399 5.1615 1.3868 32 0.2118 6.3109 30.2684 6.3666 4.7198 5.8957 1.6457 5.7685 8.8842 2.9604 2.3979 0.4976 11.7157 1.1369 2.3485 2.5411 5.1448 1.3973 33 0.2130 6.3805 30.2126 6.3056 4.7588 5.8656 1.6289 5.7234 8.8945 2.9914 2.4045 0.4969 11.7648 1.1266 2.3451 2.5523 5.1417 1.4068 34 0.2141 6.4389 30.1270 6.2577 4.8155 5.8469 1.6134 5.6760 8.9197 3.0270 2.4058 0.4947 11.7959 1.1197 2.3463 2.5647 5.1438 1.4069 35 0.2153 6.5012 30.0366 6.2084 4.8583 5.8166 1.5966 5.6233 8.9697 3.0605 2.4096 0.4922 11.8443 1.1100 2.3520 2.5864 5.1299 1.4045 36 0.2164 6.5739 29.9080 6.1469 4.9047 5.8030 1.5812 5.5666 9.0369 3.0941 2.4211 0.4887 11.8886 1.1006 2.3534 2.6181 5.1135 1.4006 37 0.2176 6.6572 29.7822 6.0826 4.9392 5.7934 1.5690 5.5112 9.1060 3.1268 2.4286 0.4856 11.9300 1.0920 2.3574 2.6444 5.0965 1.3979 38 0.2188 6.7553 29.6573 6.0194 4.9625 5.7823 1.5526 5.4567 9.1690 3.1545 2.4444 0.4832 11.9781 1.0814 2.3582 2.6722 5.0752 1.3978 39 0.2200 6.8592 29.5390 5.9626 4.9858 5.7773 1.5382 5.4079 9.2210 3.1829 2.4549 0.4806 12.0079 1.0728 2.3612 2.6958 5.0576 1.3954 40 0.2211 6.9567 29.4475 5.9060 5.0088 5.7629 1.5244 5.3663 9.2586 3.2089 2.4613 0.4787 12.0386 1.0641 2.3665 2.7140 5.0400 1.3968 41 0.2222 7.0439 29.3638 5.8514 5.0336 5.7464 1.5097 5.3277 9.2831 3.2372 2.4683 0.4775 12.0785 1.0553 2.3678 2.7285 5.0252 1.4020 42 0.2232 7.1223 29.2872 5.8055 5.0649 5.7315 1.4965 5.2911 9.3064 3.2663 2.4696 0.4758 12.1052 1.0476 2.3724 2.7399 5.0132 1.4044 43 0.2243 7.1946 29.2247 5.7619 5.0983 5.7117 1.4828 5.2547 9.3255 3.2920 2.4734 0.4740 12.1341 1.0392 2.3765 2.7521 4.9978 1.4067 44 0.2254 7.2611 29.1580 5.7159 5.1326 5.6959 1.4693 5.2153 9.3461 3.3188 2.4780 0.4721 12.1646 1.0317 2.3781 2.7654 4.9875 1.4097 45 0.2264 7.3229 29.0858 5.6686 5.1660 5.6819 1.4565 5.1745 9.3747 3.3454 2.4823 0.4704 12.1958 1.0245 2.3807 2.7798 4.9787 1.4116 46 0.2275 7.3865 29.0044 5.6227 5.1975 5.6682 1.4429 5.1324 9.4084 3.3706 2.4904 0.4686 12.2314 1.0169 2.3815 2.7970 4.9681 1.4125 47 0.2286 7.4509 28.9183 5.5769 5.2298 5.6583 1.4304 5.0902 9.4481 3.3958 2.4972 0.4665 12.2609 1.0102 2.3837 2.8145 4.9572 1.4111 48 0.2297 7.5182 28.8323 5.5279 5.2573 5.6460 1.4183 5.0495 9.4911 3.4198 2.5035 0.4644 12.2933 1.0029 2.3872 2.8332 4.9445 1.4105 49 0.2308 7.5884 28.7455 5.4798 5.2809 5.6342 1.4060 5.0102 9.5304 3.4444 2.5109 0.4625 12.3295 0.9956 2.3883 2.8504 4.9320 1.4112 50 0.2319 7.6607 28.6633 5.4351 5.3037 5.6233 1.3947 4.9731 9.5666 3.4680 2.5161 0.4607 12.3580 0.9884 2.3919 2.8665 4.9189 1.4108 51 0.2329 7.7335 28.5894 5.3918 5.3261 5.6104 1.3830 4.9383 9.5978 3.4906 2.5217 0.4589 12.3847 0.9811 2.3948 2.8818 4.9047 1.4112 52 0.2340 7.8019 28.5213 5.3493 5.3496 5.5985 1.3716 4.9046 9.6220 3.5135 2.5267 0.4574 12.4115 0.9743 2.3970 2.8952 4.8926 1.4130 53 0.2350 7.8656 28.4561 5.3081 5.3736 5.5865 1.3604 4.8715 9.6450 3.5360 2.5308 0.4560 12.4381 0.9676 2.3998 2.9075 4.8821 1.4152 54 0.2360 7.9259 28.3922 5.2695 5.3998 5.5749 1.3490 4.8385 9.6670 3.5580 2.5358 0.4546 12.4639 0.9610 2.4014 2.9196 4.8719 1.4169 55 0.2370 7.9827 28.3307 5.2315 5.4268 5.5636 1.3382 4.8053 9.6900 3.5795 2.5400 0.4530 12.4882 0.9550 2.4038 2.9313 4.8623 1.4180
399
Lampiran 10. Lanjutan Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
56 0.2381 8.0377 28.2680 5.1919 5.4525 5.5517 1.3274 4.7721 9.7158 3.6005 2.5445 0.4515 12.5153 0.9488 2.4059 2.9441 4.8531 1.4191 57 0.2391 8.0922 28.2017 5.1529 5.4771 5.5410 1.3167 4.7388 9.7434 3.6218 2.5496 0.4500 12.5434 0.9428 2.4072 2.9572 4.8443 1.4200 58 0.2401 8.1478 28.1348 5.1151 5.5005 5.5303 1.3065 4.7059 9.7734 3.6424 2.5543 0.4484 12.5690 0.9369 2.4097 2.9708 4.8345 1.4199 59 0.2412 8.2048 28.0682 5.0770 5.5227 5.5196 1.2963 4.6738 9.8035 3.6624 2.5594 0.4468 12.5944 0.9307 2.4118 2.9849 4.8238 1.4197 60 0.2422 8.2619 28.0027 5.0390 5.5439 5.5099 1.2865 4.6424 9.8316 3.6823 2.5644 0.4453 12.6196 0.9248 2.4138 2.9983 4.8136 1.4202 Variance Decomposition of D(LOG(XA(2))): Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
1 0.1284 0.0240 0.7302 99.2458 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.1355 0.0687 0.7337 89.1424 1.8970 1.3530 1.5133 0.0414 0.0000 0.1999 0.1053 0.2742 0.6032 0.0003 0.0081 0.5050 0.2495 3.3051 3 0.1399 0.1446 0.7379 84.9682 3.8670 1.7709 1.4344 0.0395 0.1407 0.1985 0.0989 0.2613 1.3612 0.0092 0.0087 0.4948 0.7263 3.7380 4 0.1508 0.3465 0.7607 80.2434 3.3916 1.9678 2.7393 0.1325 0.1324 0.3115 0.8717 0.2648 2.9165 0.0094 1.3521 0.4256 0.7854 3.3487 5 0.1772 1.0483 0.7910 78.4749 3.4734 1.6104 2.1099 0.1383 0.8861 0.4433 0.6320 0.3782 2.8832 0.0852 1.3761 0.5786 0.6682 4.4229 6 0.1792 1.0387 0.8501 76.9122 3.9618 1.6890 2.3603 0.1360 1.0380 0.4360 0.6753 0.3714 2.9209 0.1555 1.4002 0.5931 0.8538 4.6076 7 0.1818 1.0334 0.9363 74.9127 5.2177 1.7289 2.3013 0.1380 1.0097 0.4305 0.6616 0.3623 3.1818 0.1532 1.3697 0.5796 1.1669 4.8163 8 0.1879 1.0238 0.9451 74.6842 5.4703 1.6701 2.1909 0.1368 0.9536 0.4032 0.7892 0.4701 3.2029 0.2589 1.3877 0.5719 1.1142 4.7271 9 0.2019 0.8898 1.0050 75.8141 4.8674 1.4925 1.9016 0.1211 0.9018 0.4744 0.6862 0.5619 3.2697 0.2550 1.2170 0.5038 1.0995 4.9393 10 0.2037 0.9834 1.0650 74.9670 5.1885 1.7470 1.9921 0.1322 0.8858 0.4715 0.6751 0.5532 3.2474 0.2665 1.1953 0.5212 1.1155 4.9932 11 0.2054 1.0448 1.1069 73.7236 5.7260 1.8568 1.9920 0.1855 0.8711 0.4638 0.6766 0.5588 3.5421 0.3002 1.1844 0.5368 1.2443 4.9863 12 0.2117 1.0558 1.1996 74.1103 5.8787 1.7630 1.8756 0.1838 0.8215 0.4419 0.6719 0.5414 3.3721 0.2859 1.2151 0.5616 1.1732 4.8485 13 0.2212 0.9676 1.1194 74.7353 5.4244 1.6594 1.7861 0.1838 0.7999 0.4639 0.6391 0.5532 3.2991 0.3083 1.2116 0.5592 1.2020 5.0877 14 0.2225 0.9837 1.1074 74.1921 5.6553 1.8692 1.8563 0.1819 0.7914 0.4606 0.6368 0.5537 3.2615 0.3241 1.2216 0.5527 1.2273 5.1244 15 0.2239 1.0009 1.1421 73.4995 6.1107 1.8594 1.8969 0.1797 0.7849 0.4556 0.6743 0.5553 3.3957 0.3255 1.2418 0.5470 1.2541 5.0768 16 0.2287 0.9625 1.1880 73.8680 6.2239 1.8017 1.8178 0.1740 0.7886 0.4366 0.6848 0.5366 3.2661 0.3336 1.1938 0.5246 1.2018 4.9977 17 0.2349 0.9127 1.1861 74.1721 6.0258 1.7858 1.7751 0.1650 0.7476 0.4403 0.6572 0.5397 3.2399 0.3304 1.1315 0.4996 1.2416 5.1499 18 0.2363 0.9210 1.1784 73.7573 6.2563 1.9224 1.8618 0.1717 0.7407 0.4459 0.6586 0.5377 3.2105 0.3314 1.1190 0.4940 1.2544 5.1388 19 0.2377 0.9270 1.1953 73.3454 6.5707 1.9494 1.8610 0.1800 0.7317 0.4405 0.6682 0.5377 3.2719 0.3609 1.1280 0.4882 1.2673 5.0768 20 0.2424 0.9059 1.2259 73.7598 6.5828 1.9328 1.7960 0.1735 0.7038 0.4247 0.6558 0.5171 3.1488 0.3564 1.0955 0.4769 1.2244 5.0199 21 0.2470 0.8736 1.1831 73.9826 6.5346 1.9602 1.7539 0.1712 0.6783 0.4328 0.6445 0.5117 3.0680 0.3662 1.0583 0.4620 1.2349 5.0840 22 0.2483 0.8912 1.1749 73.7412 6.7059 2.0163 1.8021 0.1703 0.6729 0.4315 0.6501 0.5081 3.0438 0.3715 1.0602 0.4574 1.2269 5.0757 23 0.2499 0.9070 1.1977 73.5513 6.9211 2.0337 1.7962 0.1683 0.6644 0.4261 0.6570 0.5038 3.0432 0.3765 1.0600 0.4518 1.2223 5.0195 24 0.2539 0.8879 1.2020 73.8629 6.9396 2.0176 1.7461 0.1634 0.6498 0.4149 0.6587 0.4878 2.9465 0.3826 1.0293 0.4375 1.1883 4.9851 25 0.2574 0.8696 1.1950 73.9382 6.9301 2.0219 1.7458 0.1590 0.6337 0.4170 0.6503 0.4889 2.8901 0.3835 1.0020 0.4271 1.1892 5.0585 26 0.2587 0.8778 1.1857 73.7299 7.1128 2.0685 1.7760 0.1593 0.6278 0.4165 0.6564 0.4844 2.8711 0.3890 0.9970 0.4228 1.1819 5.0431 27 0.2605 0.8775 1.2013 73.5979 7.2994 2.0895 1.7719 0.1596 0.6198 0.4108 0.6648 0.4789 2.8612 0.3998 0.9928 0.4169 1.1672 4.9908 28 0.2642 0.8593 1.2134 73.8260 7.3179 2.0722 1.7388 0.1560 0.6052 0.4025 0.6589 0.4664 2.7843 0.4023 0.9678 0.4057 1.1431 4.9803 29 0.2670 0.8456 1.1959 73.8840 7.3424 2.0939 1.7311 0.1566 0.5925 0.4050 0.6573 0.4622 2.7313 0.4088 0.9472 0.3979 1.1444 5.0041 30 0.2685 0.8518 1.1926 73.7288 7.5002 2.1348 1.7515 0.1563 0.5864 0.4028 0.6593 0.4575 2.7090 0.4140 0.9448 0.3937 1.1344 4.9821 31 0.2705 0.8541 1.2022 73.6985 7.6274 2.1455 1.7434 0.1553 0.5778 0.3977 0.6635 0.4512 2.6800 0.4193 0.9390 0.3882 1.1179 4.9390
400
Lampiran 10. Lanjutan Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
32 0.2737 0.8414 1.2004 73.8913 7.6385 2.1409 1.7124 0.1529 0.5651 0.3923 0.6612 0.4412 2.6170 0.4230 0.9187 0.3791 1.0984 4.9260 33 0.2762 0.8355 1.1911 73.9159 7.6755 2.1612 1.7171 0.1509 0.5550 0.3925 0.6577 0.4379 2.5737 0.4250 0.9030 0.3725 1.0925 4.9429 34 0.2777 0.8415 1.1865 73.8031 7.8066 2.1957 1.7276 0.1504 0.5491 0.3906 0.6615 0.4333 2.5534 0.4295 0.8983 0.3685 1.0821 4.9223 35 0.2798 0.8404 1.1945 73.7955 7.9064 2.2059 1.7190 0.1491 0.5417 0.3857 0.6658 0.4270 2.5238 0.4348 0.8914 0.3630 1.0660 4.8899 36 0.2827 0.8298 1.1948 73.9222 7.9238 2.2015 1.7028 0.1467 0.5324 0.3816 0.6633 0.4195 2.4727 0.4370 0.8745 0.3555 1.0517 4.8901 37 0.2849 0.8236 1.1868 73.9216 7.9798 2.2225 1.7030 0.1458 0.5247 0.3812 0.6640 0.4155 2.4348 0.4413 0.8619 0.3505 1.0463 4.8967 38 0.2865 0.8255 1.1868 73.8356 8.0952 2.2457 1.7135 0.1451 0.5190 0.3789 0.6672 0.4111 2.4133 0.4455 0.8574 0.3466 1.0359 4.8777 39 0.2886 0.8225 1.1925 73.8472 8.1787 2.2515 1.7052 0.1441 0.5119 0.3748 0.6697 0.4051 2.3819 0.4501 0.8494 0.3416 1.0214 4.8524 40 0.2913 0.8139 1.1908 73.9410 8.2039 2.2535 1.6899 0.1425 0.5033 0.3719 0.6685 0.3988 2.3391 0.4531 0.8356 0.3354 1.0103 4.8486 41 0.2933 0.8106 1.1851 73.9344 8.2606 2.2727 1.6942 0.1418 0.4963 0.3711 0.6675 0.3950 2.3065 0.4560 0.8253 0.3307 1.0035 4.8488 42 0.2950 0.8126 1.1837 73.8810 8.3558 2.2931 1.6965 0.1415 0.4907 0.3689 0.6700 0.3906 2.2847 0.4602 0.8204 0.3270 0.9934 4.8298 43 0.2971 0.8103 1.1870 73.9065 8.4190 2.3001 1.6878 0.1405 0.4840 0.3654 0.6713 0.3850 2.2543 0.4638 0.8125 0.3224 0.9803 4.8096 44 0.2996 0.8043 1.1843 73.9746 8.4448 2.3049 1.6788 0.1391 0.4768 0.3630 0.6698 0.3799 2.2178 0.4661 0.8007 0.3171 0.9706 4.8074 45 0.3015 0.8021 1.1798 73.9669 8.4998 2.3214 1.6798 0.1383 0.4708 0.3619 0.6707 0.3761 2.1894 0.4692 0.7923 0.3132 0.9635 4.8047 46 0.3032 0.8029 1.1804 73.9300 8.5802 2.3364 1.6823 0.1375 0.4657 0.3596 0.6728 0.3720 2.1679 0.4725 0.7872 0.3096 0.9538 4.7890 47 0.3053 0.7999 1.1826 73.9547 8.6341 2.3417 1.6756 0.1365 0.4599 0.3566 0.6741 0.3671 2.1398 0.4757 0.7795 0.3054 0.9425 4.7741 48 0.3076 0.7946 1.1810 74.0000 8.6649 2.3471 1.6686 0.1353 0.4538 0.3547 0.6739 0.3627 2.1085 0.4780 0.7697 0.3009 0.9343 4.7719 49 0.3094 0.7925 1.1780 73.9878 8.7199 2.3614 1.6714 0.1346 0.4485 0.3535 0.6743 0.3591 2.0834 0.4808 0.7623 0.2974 0.9274 4.7676 50 0.3112 0.7922 1.1781 73.9641 8.7900 2.3742 1.6712 0.1342 0.4437 0.3514 0.6762 0.3552 2.0626 0.4841 0.7572 0.2940 0.9185 4.7530 51 0.3132 0.7892 1.1795 73.9893 8.8362 2.3798 1.6650 0.1333 0.4382 0.3489 0.6769 0.3508 2.0364 0.4868 0.7500 0.2902 0.9087 4.7409 52 0.3154 0.7851 1.1772 74.0222 8.8678 2.3868 1.6603 0.1325 0.4327 0.3472 0.6764 0.3469 2.0091 0.4891 0.7415 0.2863 0.9013 4.7376 53 0.3172 0.7837 1.1747 74.0137 8.9188 2.3998 1.6606 0.1319 0.4278 0.3460 0.6771 0.3435 1.9865 0.4918 0.7352 0.2830 0.8945 4.7313 54 0.3190 0.7834 1.1749 74.0018 8.9771 2.4103 1.6599 0.1313 0.4233 0.3440 0.6783 0.3399 1.9663 0.4945 0.7300 0.2799 0.8862 4.7188 55 0.3210 0.7808 1.1753 74.0254 9.0167 2.4158 1.6546 0.1305 0.4184 0.3418 0.6789 0.3360 1.9425 0.4969 0.7233 0.2764 0.8775 4.7091 56 0.3230 0.7778 1.1737 74.0486 9.0486 2.4227 1.6510 0.1296 0.4135 0.3403 0.6789 0.3325 1.9184 0.4989 0.7161 0.2730 0.8707 4.7057 57 0.3248 0.7765 1.1719 74.0403 9.0961 2.4338 1.6518 0.1291 0.4092 0.3390 0.6796 0.3294 1.8980 0.5013 0.7103 0.2700 0.8642 4.6996 58 0.3265 0.7756 1.1722 74.0340 9.1470 2.4426 1.6504 0.1285 0.4050 0.3372 0.6809 0.3260 1.8789 0.5039 0.7054 0.2671 0.8566 4.6889 59 0.3285 0.7730 1.1725 74.0536 9.1831 2.4478 1.6461 0.1277 0.4006 0.3353 0.6813 0.3225 1.8572 0.5060 0.6992 0.2639 0.8490 4.6812 60 0.3304 0.7703 1.1709 74.0688 9.2157 2.4548 1.6437 0.1271 0.3963 0.3340 0.6814 0.3193 1.8358 0.5080 0.6927 0.2609 0.8429 4.6774 Variance Decomposition of D(LOG(IMA(2))): Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
1 0.2738 0.8140 1.4161 0.7069 97.0629 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.3050 0.6564 1.6740 5.0465 85.1165 0.8002 0.7924 0.1896 0.1033 0.0170 0.6321 0.2601 0.0893 0.0137 0.1002 0.0043 4.0052 0.4993 3 0.3225 0.6227 1.8766 5.2195 82.6850 1.0810 0.7344 0.4681 0.4854 0.0777 0.6695 0.2782 0.6718 0.0697 0.3031 0.1793 3.5863 0.9917 4 0.3455 0.5453 1.9868 6.3841 80.6920 1.1319 0.8468 0.4764 0.6284 0.2744 0.5924 0.3109 1.1124 0.0677 0.2807 0.3623 3.2071 1.1004 5 0.3624 1.0221 1.8375 6.2008 76.4175 1.1960 1.9704 0.4727 1.7849 0.3253 0.5387 0.5176 1.0121 0.8191 0.5595 0.4596 2.9972 1.8691 6 0.3803 1.0336 2.7865 6.1843 74.0705 1.0894 2.8128 0.4292 1.6512 0.3395 0.4996 0.5435 1.1257 0.8116 0.5102 0.4376 3.9736 1.7012 7 0.3922 1.0159 3.0444 6.4640 73.2177 1.3784 2.8861 0.4441 1.5736 0.3697 0.5513 0.5123 1.0610 0.8345 0.7766 0.4127 3.7970 1.6607
401
Lampiran 10. Lanjutan Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
8 0.4073 0.9431 2.9529 7.7612 71.8488 1.6500 2.8928 0.5313 1.6539 0.3772 0.5472 0.4840 1.0244 1.1099 0.7450 0.3851 3.5421 1.5513 9 0.4218 0.9692 3.0530 7.2599 71.9616 1.5560 2.7563 0.5528 1.6200 0.3526 0.5117 0.5633 1.2661 1.2325 1.0137 0.4225 3.4094 1.4995 10 0.4337 0.9191 2.9589 7.1461 72.2561 1.5697 2.8585 0.5236 1.6736 0.3378 0.5028 0.5681 1.2833 1.2098 0.9895 0.4053 3.3745 1.4233 11 0.4463 0.9017 2.8634 7.3860 72.5441 1.4848 2.9981 0.5485 1.5857 0.3223 0.4778 0.5594 1.2156 1.1997 0.9611 0.3920 3.2134 1.3465 12 0.4559 0.8767 2.8469 7.4658 72.4929 1.4312 2.8974 0.5324 1.5603 0.3874 0.5325 0.5363 1.3148 1.1884 0.9212 0.4588 3.1995 1.3574 13 0.4702 0.8253 2.7394 7.2852 72.2691 1.3454 3.3288 0.5930 1.6836 0.3776 0.5290 0.5465 1.2474 1.1355 1.2171 0.5000 3.1006 1.2764 14 0.4824 0.7861 2.8116 7.2578 72.1193 1.3141 3.4558 0.6243 1.6315 0.3622 0.5241 0.5613 1.2280 1.2061 1.2041 0.4831 3.2173 1.2134 15 0.4938 0.7508 2.8781 7.3175 72.1217 1.2970 3.5443 0.6449 1.6027 0.3512 0.5015 0.5505 1.2097 1.2343 1.2191 0.4610 3.1284 1.1873 16 0.5037 0.7336 2.9204 7.4990 71.9300 1.2464 3.5943 0.6401 1.6411 0.3413 0.4926 0.5388 1.2081 1.2891 1.2242 0.4443 3.1102 1.1464 17 0.5123 0.7156 2.9116 7.3914 72.2420 1.2112 3.5853 0.6717 1.5913 0.3425 0.4787 0.5289 1.2110 1.2904 1.1961 0.4300 3.0821 1.1201 18 0.5232 0.6861 2.8891 7.3155 72.5863 1.1618 3.6307 0.6616 1.5714 0.3419 0.4748 0.5294 1.1684 1.2499 1.2072 0.4176 3.0275 1.0807 19 0.5338 0.6632 2.8808 7.4342 72.5212 1.1361 3.7255 0.6802 1.5357 0.3425 0.4828 0.5274 1.1615 1.2710 1.2188 0.4015 2.9727 1.0450 20 0.5436 0.6436 2.8800 7.4268 72.6212 1.1145 3.7633 0.6674 1.4978 0.3368 0.4787 0.5355 1.1728 1.2574 1.1941 0.4052 2.9829 1.0220 21 0.5528 0.6231 2.9450 7.4297 72.6146 1.0834 3.8308 0.6671 1.4794 0.3284 0.4749 0.5361 1.1594 1.2719 1.2176 0.3920 2.9545 0.9922 22 0.5619 0.6032 2.9686 7.4060 72.7267 1.0664 3.8350 0.6793 1.4805 0.3253 0.4714 0.5319 1.1405 1.2877 1.2054 0.3815 2.9281 0.9626 23 0.5706 0.5849 2.9841 7.4840 72.7557 1.0394 3.8575 0.6825 1.4628 0.3245 0.4628 0.5251 1.1398 1.2867 1.2078 0.3699 2.8920 0.9405 24 0.5798 0.5666 2.9849 7.4763 72.8107 1.0096 3.8897 0.6915 1.4746 0.3238 0.4562 0.5196 1.1465 1.2912 1.2274 0.3584 2.8561 0.9170 25 0.5887 0.5495 2.9557 7.4659 72.9379 0.9824 3.9267 0.6884 1.4614 0.3233 0.4505 0.5207 1.1323 1.2998 1.2215 0.3480 2.8445 0.8913 26 0.5975 0.5336 2.9612 7.4742 73.0027 0.9561 3.9572 0.6821 1.4509 0.3191 0.4476 0.5222 1.1209 1.2972 1.2243 0.3419 2.8390 0.8701 27 0.6060 0.5187 2.9727 7.5446 72.9575 0.9337 4.0076 0.6886 1.4347 0.3170 0.4438 0.5190 1.1265 1.3083 1.2248 0.3328 2.8168 0.8530 28 0.6141 0.5052 2.9619 7.5547 73.0556 0.9128 4.0225 0.6900 1.4200 0.3153 0.4426 0.5178 1.1163 1.3063 1.2190 0.3266 2.7962 0.8372 29 0.6224 0.4918 2.9829 7.5233 73.1146 0.8970 4.0498 0.7004 1.4051 0.3122 0.4401 0.5145 1.1073 1.3102 1.2279 0.3187 2.7852 0.8190 30 0.6307 0.4789 2.9872 7.5130 73.1705 0.8817 4.0712 0.7078 1.3958 0.3100 0.4388 0.5135 1.1007 1.3156 1.2293 0.3111 2.7732 0.8016 31 0.6389 0.4669 2.9924 7.5462 73.2130 0.8629 4.0881 0.7086 1.3812 0.3084 0.4355 0.5112 1.0941 1.3154 1.2265 0.3044 2.7588 0.7865 32 0.6469 0.4554 3.0017 7.5402 73.2648 0.8469 4.1006 0.7124 1.3755 0.3068 0.4323 0.5089 1.0932 1.3198 1.2303 0.2978 2.7400 0.7734 33 0.6547 0.4447 2.9984 7.5313 73.3388 0.8301 4.1247 0.7105 1.3668 0.3056 0.4291 0.5087 1.0861 1.3224 1.2271 0.2914 2.7266 0.7578 34 0.6625 0.4343 3.0019 7.5391 73.3861 0.8138 4.1442 0.7097 1.3586 0.3032 0.4262 0.5086 1.0807 1.3209 1.2288 0.2856 2.7147 0.7437 35 0.6703 0.4243 3.0062 7.5662 73.3950 0.8001 4.1691 0.7115 1.3521 0.3023 0.4236 0.5063 1.0813 1.3230 1.2281 0.2796 2.6997 0.7316 36 0.6779 0.4148 3.0015 7.5680 73.4456 0.7857 4.1898 0.7114 1.3460 0.3012 0.4220 0.5056 1.0761 1.3236 1.2275 0.2742 2.6880 0.7191 37 0.6854 0.4058 3.0086 7.5612 73.4814 0.7732 4.2051 0.7148 1.3404 0.2995 0.4197 0.5046 1.0717 1.3267 1.2308 0.2689 2.6810 0.7065 38 0.6929 0.3971 3.0125 7.5700 73.5050 0.7609 4.2235 0.7176 1.3339 0.2979 0.4177 0.5039 1.0678 1.3299 1.2317 0.2637 2.6718 0.6952 39 0.7003 0.3887 3.0156 7.5892 73.5296 0.7487 4.2371 0.7188 1.3257 0.2968 0.4156 0.5025 1.0643 1.3313 1.2309 0.2591 2.6611 0.6850 40 0.7075 0.3808 3.0192 7.5855 73.5709 0.7373 4.2473 0.7217 1.3193 0.2956 0.4134 0.5009 1.0618 1.3343 1.2317 0.2546 2.6504 0.6752 41 0.7147 0.3732 3.0196 7.5802 73.6158 0.7259 4.2632 0.7226 1.3119 0.2945 0.4119 0.5003 1.0569 1.3355 1.2316 0.2504 2.6418 0.6646 42 0.7219 0.3659 3.0223 7.5869 73.6462 0.7151 4.2758 0.7234 1.3051 0.2932 0.4105 0.4997 1.0529 1.3360 1.2323 0.2463 2.6333 0.6551 43 0.7290 0.3588 3.0250 7.5978 73.6670 0.7052 4.2899 0.7247 1.2992 0.2923 0.4089 0.4985 1.0515 1.3373 1.2321 0.2423 2.6233 0.6464 44 0.7360 0.3520 3.0256 7.5962 73.7021 0.6951 4.3035 0.7252 1.2941 0.2913 0.4075 0.4978 1.0483 1.3386 1.2323 0.2384 2.6147 0.6374 45 0.7429 0.3455 3.0292 7.5940 73.7320 0.6857 4.3144 0.7265 1.2898 0.2901 0.4057 0.4972 1.0451 1.3402 1.2333 0.2346 2.6082 0.6284 46 0.7498 0.3392 3.0313 7.6015 73.7522 0.6767 4.3273 0.7276 1.2853 0.2892 0.4041 0.4965 1.0426 1.3415 1.2337 0.2308 2.6004 0.6202 47 0.7566 0.3331 3.0326 7.6104 73.7733 0.6676 4.3388 0.7285 1.2806 0.2884 0.4025 0.4955 1.0407 1.3426 1.2335 0.2273 2.5922 0.6125 48 0.7634 0.3272 3.0336 7.6098 73.8021 0.6589 4.3482 0.7298 1.2766 0.2876 0.4009 0.4946 1.0384 1.3442 1.2340 0.2239 2.5852 0.6049
402
Lampiran 10. Lanjutan Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
49 0.7701 0.3216 3.0347 7.6097 73.8276 0.6506 4.3605 0.7306 1.2719 0.2867 0.3998 0.4942 1.0352 1.3452 1.2344 0.2207 2.5794 0.5972 50 0.7767 0.3161 3.0369 7.6160 73.8466 0.6427 4.3708 0.7316 1.2670 0.2857 0.3985 0.4936 1.0328 1.3462 1.2347 0.2176 2.5730 0.5902 51 0.7833 0.3108 3.0387 7.6219 73.8658 0.6351 4.3802 0.7327 1.2625 0.2850 0.3973 0.4928 1.0310 1.3474 1.2346 0.2146 2.5660 0.5837 52 0.7898 0.3057 3.0402 7.6205 73.8909 0.6277 4.3899 0.7337 1.2582 0.2842 0.3963 0.4922 1.0285 1.3485 1.2350 0.2117 2.5599 0.5769 53 0.7963 0.3008 3.0425 7.6204 73.9137 0.6207 4.3982 0.7347 1.2542 0.2834 0.3951 0.4916 1.0260 1.3495 1.2354 0.2089 2.5546 0.5703 54 0.8027 0.2960 3.0441 7.6253 73.9316 0.6137 4.4073 0.7355 1.2503 0.2827 0.3940 0.4911 1.0240 1.3504 1.2356 0.2061 2.5484 0.5641 55 0.8091 0.2913 3.0454 7.6293 73.9499 0.6069 4.4158 0.7362 1.2467 0.2820 0.3928 0.4904 1.0224 1.3513 1.2356 0.2034 2.5423 0.5582 56 0.8154 0.2868 3.0464 7.6291 73.9718 0.6003 4.4236 0.7369 1.2434 0.2814 0.3917 0.4899 1.0205 1.3523 1.2359 0.2008 2.5369 0.5523 57 0.8217 0.2825 3.0475 7.6305 73.9901 0.5939 4.4326 0.7375 1.2401 0.2807 0.3907 0.4895 1.0183 1.3531 1.2362 0.1983 2.5320 0.5464 58 0.8279 0.2782 3.0489 7.6352 74.0050 0.5878 4.4407 0.7382 1.2368 0.2800 0.3896 0.4889 1.0167 1.3539 1.2364 0.1959 2.5268 0.5410 59 0.8341 0.2741 3.0499 7.6385 74.0210 0.5818 4.4483 0.7389 1.2336 0.2794 0.3887 0.4883 1.0152 1.3548 1.2365 0.1935 2.5217 0.5358 60 0.8402 0.2702 3.0510 7.6385 74.0390 0.5760 4.4559 0.7397 1.2304 0.2788 0.3878 0.4879 1.0133 1.3557 1.2368 0.1913 2.5171 0.5305 Variance Decomposition of D(WP(2)): Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
1 0.2501 0.6027 5.1173 2.2332 0.2408 91.8061 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.2736 0.5321 4.3166 2.4121 0.2660 84.1658 1.5594 0.1133 0.6161 0.1091 1.7913 0.4045 0.1820 0.1651 3.0798 0.0673 0.0441 0.1754 3 0.2872 0.6499 3.9308 3.0180 1.7884 78.5670 1.4410 1.3231 0.5741 0.8516 3.0073 0.3992 0.2514 0.2582 3.3876 0.0716 0.2894 0.1915 4 0.2998 0.6985 4.4894 2.8566 2.3368 76.4569 2.0064 1.2140 0.8113 0.9133 2.7585 0.5414 0.3491 0.2368 3.2909 0.1071 0.4876 0.4453 5 0.3198 1.5346 4.4542 3.7399 3.8042 69.3037 4.7017 1.1424 1.2592 0.8175 2.4374 0.7300 0.7145 0.3466 3.0611 0.1178 0.5463 1.2890 6 0.3250 1.6573 4.5702 3.7376 3.7321 67.7423 4.6263 1.1165 1.2911 0.7917 2.3592 0.7334 0.8271 0.9346 3.4533 0.3099 0.8599 1.2573 7 0.3320 1.6366 4.4355 4.0377 3.5798 66.5061 4.8867 1.1062 1.6424 0.7664 2.2891 0.7480 0.8420 0.9510 3.3091 0.5240 1.5303 1.2091 8 0.3355 1.8853 4.3624 4.0200 3.5256 65.7334 4.9966 1.0891 1.6406 0.9371 2.2720 0.8023 1.0581 0.9367 3.4688 0.5134 1.5144 1.2442 9 0.3430 2.0390 4.1982 4.7038 4.4762 63.4679 5.1024 1.6248 1.5991 0.9227 2.3749 0.8678 1.0164 0.9520 3.3523 0.6586 1.4518 1.1920 10 0.3474 2.2417 4.1272 4.6046 4.5379 63.0818 5.4831 1.5884 1.5591 0.9224 2.3388 0.8602 1.0074 0.9309 3.2857 0.6579 1.5839 1.1889 11 0.3554 2.1957 3.9731 4.7361 4.3617 62.0029 6.5508 1.5265 1.7240 0.8814 2.2500 0.8247 0.9758 0.9033 3.2327 0.6482 2.0524 1.1608 12 0.3592 2.1594 3.9369 4.8697 4.4791 61.5700 6.7226 1.5545 1.7412 0.8926 2.2300 0.8454 0.9558 0.8857 3.2740 0.6350 2.1112 1.1368 13 0.3631 2.1555 3.8589 5.0383 4.4218 60.9237 7.1335 1.5569 1.8656 0.9247 2.1986 0.8533 1.0637 0.8774 3.2612 0.6404 2.0898 1.1368 14 0.3694 2.1775 3.7574 5.3417 4.3481 60.4091 7.4484 1.6105 1.9842 0.9034 2.1263 0.8259 1.0287 0.8478 3.1518 0.6514 2.2892 1.0987 15 0.3747 2.1879 3.6914 5.4280 4.4962 60.1757 7.6264 1.5774 2.0956 0.8912 2.0727 0.8032 1.0194 0.8277 3.0811 0.6670 2.2913 1.0677 16 0.3798 2.3196 3.6439 5.5391 4.5830 59.5094 7.9586 1.5397 2.1817 0.8742 2.0189 0.7915 1.0299 0.8185 3.0766 0.6582 2.3991 1.0581 17 0.3832 2.3207 3.6168 5.5980 4.5437 59.5536 7.9439 1.5156 2.2178 0.8727 1.9908 0.7853 1.0182 0.8121 3.0602 0.6740 2.4324 1.0443 18 0.3870 2.3713 3.5758 5.7576 4.5488 59.1754 8.2305 1.4886 2.2743 0.8742 1.9607 0.7776 0.9999 0.7965 3.0400 0.6664 2.4362 1.0261 19 0.3913 2.3975 3.5003 5.8120 4.5872 58.9427 8.5426 1.4893 2.2728 0.8780 1.9194 0.7632 0.9964 0.7829 2.9796 0.6994 2.4088 1.0277 20 0.3950 2.4620 3.4459 5.8856 4.6007 58.6885 8.7245 1.4641 2.2693 0.8822 1.8889 0.7561 0.9814 0.7749 2.9727 0.6885 2.4946 1.0202 21 0.3997 2.4680 3.3848 5.9544 4.5594 58.3410 9.1646 1.4456 2.3052 0.8751 1.8452 0.7402 0.9596 0.7626 2.9071 0.6949 2.5818 1.0106 22 0.4031 2.4685 3.3384 6.0154 4.5682 58.1587 9.3388 1.4368 2.3054 0.8769 1.8173 0.7343 0.9605 0.7608 2.8920 0.6967 2.6321 0.9994 23 0.4068 2.4826 3.2950 6.0887 4.5728 57.9132 9.4951 1.4340 2.3911 0.8730 1.7918 0.7296 0.9641 0.7566 2.8615 0.6975 2.6677 0.9859 24 0.4107 2.4996 3.2499 6.2015 4.5469 57.7586 9.6600 1.4275 2.4196 0.8723 1.7584 0.7228 0.9529 0.7465 2.8211 0.6912 2.7006 0.9706
403
Lampiran 10. Lanjutan Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
25 0.4145 2.5322 3.2047 6.2711 4.5696 57.4887 9.8114 1.4178 2.5007 0.8669 1.7354 0.7164 0.9491 0.7377 2.8015 0.6911 2.7470 0.9588 26 0.4183 2.5750 3.1597 6.3669 4.5966 57.2883 9.9390 1.4067 2.5495 0.8649 1.7037 0.7082 0.9469 0.7259 2.7723 0.6802 2.7712 0.9451 27 0.4222 2.6065 3.1221 6.4418 4.6079 57.0639 10.1372 1.3970 2.5825 0.8638 1.6731 0.7009 0.9386 0.7185 2.7418 0.6780 2.7933 0.9331 28 0.4259 2.6408 3.0808 6.5280 4.6142 56.8896 10.2680 1.3840 2.6163 0.8612 1.6467 0.6922 0.9292 0.7085 2.7170 0.6744 2.8260 0.9229 29 0.4298 2.6595 3.0451 6.5918 4.6166 56.7049 10.4650 1.3726 2.6369 0.8598 1.6191 0.6848 0.9221 0.6993 2.6864 0.6753 2.8476 0.9134 30 0.4334 2.6771 3.0100 6.6590 4.6294 56.5268 10.6216 1.3605 2.6504 0.8578 1.5961 0.6780 0.9145 0.6930 2.6628 0.6772 2.8814 0.9046 31 0.4369 2.6913 2.9734 6.7180 4.6333 56.3803 10.7553 1.3483 2.6712 0.8581 1.5740 0.6722 0.9077 0.6859 2.6419 0.6793 2.9118 0.8978 32 0.4404 2.7035 2.9401 6.7783 4.6395 56.2084 10.9242 1.3399 2.6879 0.8562 1.5522 0.6662 0.9005 0.6787 2.6157 0.6797 2.9405 0.8885 33 0.4438 2.7179 2.9060 6.8197 4.6427 56.0784 11.0479 1.3304 2.7156 0.8564 1.5316 0.6608 0.8956 0.6727 2.5977 0.6796 2.9667 0.8804 34 0.4473 2.7353 2.8724 6.8787 4.6469 55.9229 11.1857 1.3214 2.7421 0.8546 1.5095 0.6549 0.8914 0.6653 2.5765 0.6755 2.9951 0.8718 35 0.4508 2.7480 2.8432 6.9315 4.6449 55.7757 11.3240 1.3161 2.7720 0.8525 1.4876 0.6492 0.8845 0.6595 2.5528 0.6737 3.0214 0.8632 36 0.4543 2.7672 2.8124 6.9916 4.6497 55.6363 11.4315 1.3085 2.8022 0.8512 1.4666 0.6437 0.8812 0.6531 2.5350 0.6702 3.0450 0.8547 37 0.4578 2.7844 2.7844 7.0437 4.6515 55.5000 11.5553 1.3024 2.8288 0.8494 1.4454 0.6384 0.8770 0.6468 2.5116 0.6680 3.0663 0.8464 38 0.4612 2.8016 2.7572 7.1029 4.6567 55.3680 11.6609 1.2953 2.8513 0.8482 1.4261 0.6335 0.8710 0.6415 2.4929 0.6666 3.0879 0.8384 39 0.4646 2.8206 2.7293 7.1553 4.6649 55.2300 11.7704 1.2862 2.8757 0.8471 1.4078 0.6285 0.8670 0.6353 2.4750 0.6653 3.1099 0.8318 40 0.4679 2.8360 2.7030 7.2042 4.6710 55.1091 11.8814 1.2783 2.8914 0.8460 1.3897 0.6237 0.8622 0.6297 2.4557 0.6646 3.1292 0.8248 41 0.4712 2.8516 2.6764 7.2469 4.6763 54.9875 11.9901 1.2698 2.9111 0.8455 1.3730 0.6191 0.8568 0.6243 2.4404 0.6640 3.1489 0.8182 42 0.4745 2.8656 2.6502 7.2919 4.6807 54.8689 12.1000 1.2621 2.9274 0.8445 1.3561 0.6145 0.8524 0.6186 2.4229 0.6632 3.1689 0.8122 43 0.4778 2.8770 2.6258 7.3324 4.6831 54.7553 12.2086 1.2560 2.9433 0.8436 1.3395 0.6101 0.8475 0.6137 2.4057 0.6628 3.1898 0.8059 44 0.4810 2.8887 2.6012 7.3747 4.6858 54.6447 12.3082 1.2496 2.9620 0.8426 1.3232 0.6056 0.8435 0.6087 2.3898 0.6616 3.2104 0.7997 45 0.4843 2.8996 2.5785 7.4142 4.6878 54.5375 12.4072 1.2444 2.9798 0.8416 1.3073 0.6016 0.8396 0.6041 2.3731 0.6606 3.2296 0.7935 46 0.4875 2.9107 2.5561 7.4568 4.6905 54.4321 12.4973 1.2392 2.9991 0.8404 1.2919 0.5976 0.8356 0.5998 2.3578 0.6595 3.2484 0.7872 47 0.4907 2.9231 2.5341 7.4981 4.6934 54.3287 12.5845 1.2331 3.0193 0.8395 1.2768 0.5937 0.8324 0.5950 2.3432 0.6579 3.2661 0.7813 48 0.4939 2.9355 2.5130 7.5382 4.6976 54.2270 12.6716 1.2275 3.0370 0.8384 1.2622 0.5898 0.8288 0.5905 2.3282 0.6566 3.2825 0.7754 49 0.4971 2.9485 2.4919 7.5758 4.7015 54.1292 12.7555 1.2214 3.0552 0.8377 1.2480 0.5861 0.8251 0.5861 2.3148 0.6553 3.2983 0.7698 50 0.5002 2.9612 2.4714 7.6139 4.7055 54.0323 12.8402 1.2154 3.0709 0.8367 1.2340 0.5823 0.8216 0.5815 2.3007 0.6541 3.3139 0.7645 51 0.5033 2.9724 2.4516 7.6491 4.7086 53.9403 12.9235 1.2098 3.0850 0.8359 1.2205 0.5787 0.8178 0.5774 2.2870 0.6535 3.3295 0.7594 52 0.5064 2.9832 2.4319 7.6838 4.7119 53.8495 13.0050 1.2042 3.0991 0.8352 1.2074 0.5752 0.8143 0.5733 2.2740 0.6527 3.3449 0.7544 53 0.5095 2.9930 2.4132 7.7165 4.7144 53.7619 13.0854 1.1991 3.1124 0.8344 1.1946 0.5718 0.8108 0.5694 2.2608 0.6522 3.3604 0.7496 54 0.5125 3.0022 2.3945 7.7499 4.7170 53.6765 13.1622 1.1942 3.1258 0.8338 1.1822 0.5685 0.8075 0.5657 2.2483 0.6517 3.3754 0.7448 55 0.5156 3.0117 2.3763 7.7821 4.7195 53.5912 13.2377 1.1893 3.1402 0.8330 1.1700 0.5653 0.8045 0.5619 2.2361 0.6508 3.3903 0.7401 56 0.5186 3.0209 2.3587 7.8135 4.7220 53.5093 13.3106 1.1847 3.1541 0.8323 1.1580 0.5621 0.8014 0.5583 2.2240 0.6500 3.4046 0.7354 57 0.5216 3.0304 2.3413 7.8442 4.7245 53.4286 13.3815 1.1801 3.1686 0.8316 1.1463 0.5591 0.7985 0.5547 2.2125 0.6489 3.4185 0.7307 58 0.5246 3.0399 2.3245 7.8753 4.7270 53.3494 13.4505 1.1756 3.1825 0.8308 1.1347 0.5560 0.7957 0.5511 2.2009 0.6479 3.4318 0.7262 59 0.5276 3.0492 2.3081 7.9053 4.7296 53.2726 13.5178 1.1712 3.1957 0.8300 1.1235 0.5531 0.7928 0.5477 2.1897 0.6471 3.4448 0.7218 60 0.5305 3.0584 2.2920 7.9345 4.7322 53.1972 13.5839 1.1668 3.2086 0.8293 1.1125 0.5501 0.7901 0.5443 2.1788 0.6462 3.4574 0.7176
404
ampiran 10. Lanjutan Variance Decomposition of D(LOG(NTI(2))): Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
1 0.1057 9.6633 0.3038 2.3572 0.8944 2.7754 84.0058 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.1173 8.3500 0.3731 3.6908 1.6069 5.4234 74.7515 0.2132 0.0344 0.2980 0.5502 0.6074 0.2676 0.5078 0.1339 1.1576 2.0235 0.0107 3 0.1285 7.7440 0.3116 5.8053 2.0475 10.3019 66.7481 0.1856 0.2284 0.4925 0.6576 0.7108 0.2620 0.5836 0.1181 1.1779 2.6144 0.0106 4 0.1371 7.1556 0.3020 7.5511 3.5864 9.1545 63.5083 0.1639 0.2628 0.6327 0.9611 0.8918 0.2309 0.5476 0.2598 1.4126 3.3448 0.0344 5 0.1441 8.2720 0.4479 7.6074 3.7092 9.9417 58.6377 0.1942 0.4777 0.6029 2.0144 0.8272 0.5950 0.5077 1.3262 1.3595 3.2960 0.1835 6 0.1498 9.3804 0.8222 7.7471 3.9137 9.9887 56.4260 0.2034 0.8216 0.6322 2.1719 0.7836 0.5557 0.6229 1.2907 1.2601 3.2072 0.1726 7 0.1566 10.9215 1.3056 7.8852 4.8913 9.4500 53.7574 0.3889 0.8886 0.6098 2.2228 0.7948 0.6246 0.5736 1.3127 1.1663 3.0442 0.1626 8 0.1633 11.9008 1.4863 8.5251 5.4836 10.0055 50.4470 0.3755 0.8760 0.6707 2.2358 0.7970 0.5825 0.5410 1.4455 1.1380 3.3355 0.1544 9 0.1720 11.6032 1.3840 8.3066 5.0011 10.7684 51.2879 0.5182 0.8105 0.6700 2.0153 0.7298 0.5375 0.4878 1.3314 1.0923 3.3143 0.1419 10 0.1769 11.7143 1.3558 8.8715 5.2485 10.8235 49.9177 0.5873 0.8114 0.6619 2.1147 0.7121 0.5111 0.4995 1.4198 1.1424 3.4670 0.1415 11 0.1823 11.6970 1.3302 9.7221 5.6356 10.8034 48.5248 0.6378 0.8207 0.6601 2.1541 0.6829 0.4817 0.4709 1.3432 1.2449 3.6534 0.1372 12 0.1886 11.5926 1.2607 10.2700 6.0772 11.0719 47.4111 0.6558 0.7975 0.6629 2.1388 0.6894 0.4627 0.4463 1.2607 1.2997 3.7744 0.1282 13 0.1933 11.9483 1.2958 10.3844 6.3355 10.9958 45.6997 0.6246 1.0552 0.6646 2.4973 0.6797 0.5131 0.4253 1.5923 1.2550 3.8857 0.1478 14 0.1977 12.2273 1.4210 10.5084 6.7125 11.0827 44.9177 0.6019 1.0363 0.6664 2.5016 0.6807 0.4963 0.4447 1.5705 1.2106 3.7751 0.1463 15 0.2024 12.4277 1.4444 10.6634 6.7530 11.1476 44.2830 0.5872 1.0620 0.6672 2.5228 0.6753 0.5311 0.4251 1.6711 1.1715 3.8281 0.1396 16 0.2071 12.6292 1.5173 10.9624 6.8875 11.3438 43.3399 0.5732 1.0707 0.6697 2.5329 0.6923 0.5175 0.4373 1.6733 1.1388 3.8801 0.1340 17 0.2121 12.6506 1.4668 10.8638 6.9539 11.6060 43.3218 0.6166 1.0242 0.6656 2.4657 0.6826 0.5019 0.4174 1.6008 1.1331 3.9012 0.1281 18 0.2164 12.6950 1.4454 10.9968 6.9878 11.8871 42.6701 0.6465 1.0269 0.6699 2.5050 0.6768 0.5099 0.4136 1.6060 1.1420 3.9963 0.1249 19 0.2203 12.7403 1.4379 11.2855 7.0633 11.9640 42.1150 0.6400 1.0255 0.6772 2.5530 0.6728 0.4970 0.3992 1.5895 1.1370 4.0823 0.1206 20 0.2244 12.7360 1.4159 11.4993 7.1625 12.0313 41.7194 0.6654 1.0261 0.6852 2.5924 0.6646 0.4893 0.3892 1.5565 1.1492 4.1012 0.1165 21 0.2281 12.9225 1.4724 11.5936 7.2848 12.0645 41.0709 0.6502 1.0826 0.6801 2.6587 0.6584 0.4863 0.3782 1.6395 1.1263 4.1147 0.1163 22 0.2320 13.1037 1.5056 11.7069 7.4001 12.0516 40.7085 0.6391 1.0991 0.6814 2.6604 0.6558 0.4802 0.3708 1.6178 1.1035 4.1014 0.1141 23 0.2362 13.2202 1.5214 11.8448 7.4863 12.1269 40.2968 0.6389 1.1020 0.6797 2.6500 0.6555 0.4851 0.3579 1.6141 1.0828 4.1273 0.1102 24 0.2402 13.3609 1.5371 11.9465 7.5806 12.1906 39.8642 0.6275 1.1182 0.6835 2.6480 0.6606 0.4732 0.3494 1.6216 1.0621 4.1692 0.1066 25 0.2440 13.4254 1.5111 11.9771 7.6192 12.3349 39.6464 0.6430 1.1026 0.6875 2.6383 0.6560 0.4728 0.3385 1.5905 1.0572 4.1956 0.1039 26 0.2477 13.4650 1.5116 12.0816 7.6662 12.4394 39.2975 0.6523 1.0989 0.6873 2.6653 0.6510 0.4762 0.3295 1.5963 1.0638 4.2164 0.1016 27 0.2513 13.5182 1.5147 12.2432 7.7383 12.4696 38.9566 0.6505 1.0987 0.6901 2.6915 0.6480 0.4680 0.3206 1.5873 1.0590 4.2470 0.0987 28 0.2548 13.5447 1.5121 12.3363 7.8050 12.5325 38.7022 0.6579 1.0911 0.6907 2.7091 0.6443 0.4663 0.3119 1.5723 1.0628 4.2645 0.0963 29 0.2583 13.6294 1.5369 12.3784 7.8789 12.5466 38.4179 0.6493 1.1059 0.6891 2.7320 0.6433 0.4646 0.3043 1.5928 1.0511 4.2848 0.0948 30 0.2618 13.7038 1.5456 12.4502 7.9355 12.5709 38.1934 0.6454 1.1125 0.6910 2.7374 0.6424 0.4619 0.2973 1.5837 1.0398 4.2960 0.0931 31 0.2653 13.7514 1.5489 12.5384 7.9808 12.6268 37.9556 0.6457 1.1148 0.6919 2.7388 0.6417 0.4594 0.2895 1.5815 1.0304 4.3134 0.0910 32 0.2687 13.8164 1.5515 12.6030 8.0255 12.6819 37.7125 0.6423 1.1265 0.6946 2.7405 0.6426 0.4533 0.2828 1.5817 1.0201 4.3360 0.0888 33 0.2721 13.8664 1.5408 12.6498 8.0637 12.7600 37.5133 0.6494 1.1238 0.6965 2.7445 0.6393 0.4534 0.2758 1.5704 1.0158 4.3497 0.0874 34 0.2754 13.9091 1.5432 12.7220 8.1069 12.8117 37.2884 0.6517 1.1251 0.6963 2.7556 0.6367 0.4522 0.2692 1.5709 1.0134 4.3617 0.0857 35 0.2787 13.9562 1.5453 12.8136 8.1554 12.8442 37.0649 0.6501 1.1256 0.6972 2.7655 0.6355 0.4478 0.2632 1.5661 1.0079 4.3778 0.0838 36 0.2819 13.9929 1.5452 12.8659 8.1997 12.8805 36.8888 0.6511 1.1236 0.6979 2.7774 0.6339 0.4472 0.2572 1.5601 1.0063 4.3899 0.0822 37 0.2851 14.0461 1.5563 12.9000 8.2415 12.9006 36.7184 0.6468 1.1282 0.6977 2.7873 0.6334 0.4459 0.2518 1.5648 1.0000 4.4004 0.0809 38 0.2882 14.0906 1.5599 12.9543 8.2769 12.9269 36.5558 0.6449 1.1296 0.6987 2.7937 0.6322 0.4442 0.2466 1.5606 0.9942 4.4112 0.0795 39 0.2914 14.1223 1.5627 13.0122 8.3086 12.9618 36.3957 0.6449 1.1298 0.6995 2.7979 0.6314 0.4424 0.2413 1.5575 0.9899 4.4240 0.0780
405
Lampiran 10. Lanjutan Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
40 0.2945 14.1620 1.5648 13.0526 8.3416 12.9952 36.2418 0.6442 1.1335 0.7006 2.8013 0.6310 0.4394 0.2365 1.5558 0.9847 4.4384 0.0766 41 0.2976 14.1969 1.5620 13.0898 8.3716 13.0381 36.0947 0.6470 1.1335 0.7016 2.8071 0.6292 0.4389 0.2317 1.5508 0.9815 4.4499 0.0756 42 0.3006 14.2273 1.5644 13.1412 8.4020 13.0702 35.9432 0.6477 1.1350 0.7018 2.8133 0.6278 0.4374 0.2270 1.5498 0.9782 4.4593 0.0744 43 0.3036 14.2595 1.5655 13.1971 8.4342 13.0943 35.7938 0.6473 1.1371 0.7027 2.8193 0.6270 0.4347 0.2227 1.5472 0.9739 4.4706 0.0731 44 0.3066 14.2907 1.5661 13.2342 8.4643 13.1226 35.6618 0.6476 1.1381 0.7033 2.8259 0.6260 0.4337 0.2184 1.5447 0.9710 4.4795 0.0721 45 0.3095 14.3264 1.5704 13.2658 8.4931 13.1438 35.5380 0.6459 1.1408 0.7034 2.8307 0.6252 0.4325 0.2145 1.5451 0.9667 4.4866 0.0711 46 0.3124 14.3576 1.5721 13.3080 8.5197 13.1667 35.4130 0.6451 1.1419 0.7040 2.8354 0.6244 0.4312 0.2106 1.5426 0.9629 4.4948 0.0701 47 0.3153 14.3837 1.5735 13.3481 8.5452 13.1912 35.2944 0.6448 1.1421 0.7046 2.8392 0.6238 0.4297 0.2068 1.5403 0.9599 4.5038 0.0690 48 0.3182 14.4120 1.5746 13.3774 8.5697 13.2158 35.1838 0.6443 1.1434 0.7052 2.8429 0.6233 0.4281 0.2032 1.5386 0.9567 4.5130 0.0680 49 0.3210 14.4379 1.5747 13.4075 8.5928 13.2424 35.0739 0.6450 1.1436 0.7058 2.8482 0.6222 0.4276 0.1997 1.5364 0.9543 4.5209 0.0672 50 0.3239 14.4609 1.5766 13.4443 8.6154 13.2635 34.9660 0.6450 1.1442 0.7060 2.8528 0.6213 0.4264 0.1963 1.5351 0.9518 4.5282 0.0662 51 0.3266 14.4843 1.5778 13.4803 8.6381 13.2828 34.8603 0.6448 1.1453 0.7066 2.8571 0.6208 0.4248 0.1930 1.5332 0.9489 4.5366 0.0653 52 0.3294 14.5080 1.5789 13.5073 8.6600 13.3038 34.7620 0.6448 1.1464 0.7071 2.8616 0.6200 0.4240 0.1899 1.5317 0.9463 4.5438 0.0645 53 0.3321 14.5326 1.5810 13.5339 8.6808 13.3219 34.6683 0.6443 1.1480 0.7073 2.8649 0.6194 0.4229 0.1869 1.5309 0.9433 4.5499 0.0637 54 0.3349 14.5552 1.5820 13.5660 8.7008 13.3403 34.5726 0.6440 1.1490 0.7078 2.8684 0.6187 0.4218 0.1839 1.5293 0.9405 4.5566 0.0630 55 0.3376 14.5760 1.5828 13.5955 8.7202 13.3594 34.4815 0.6439 1.1499 0.7083 2.8715 0.6182 0.4206 0.1810 1.5277 0.9380 4.5634 0.0622 56 0.3403 14.5977 1.5836 13.6193 8.7391 13.3781 34.3956 0.6437 1.1509 0.7087 2.8746 0.6177 0.4196 0.1783 1.5263 0.9356 4.5697 0.0614 57 0.3429 14.6184 1.5843 13.6444 8.7576 13.3965 34.3098 0.6438 1.1515 0.7090 2.8784 0.6169 0.4190 0.1756 1.5251 0.9335 4.5755 0.0608 58 0.3455 14.6372 1.5855 13.6723 8.7754 13.4125 34.2269 0.6436 1.1520 0.7093 2.8817 0.6163 0.4180 0.1730 1.5238 0.9314 4.5811 0.0600 59 0.3482 14.6557 1.5865 13.6978 8.7929 13.4281 34.1468 0.6434 1.1526 0.7097 2.8850 0.6159 0.4170 0.1705 1.5224 0.9293 4.5873 0.0593 60 0.3507 14.6744 1.5875 13.7190 8.8098 13.4440 34.0706 0.6432 1.1533 0.7100 2.8884 0.6154 0.4163 0.1680 1.5213 0.9273 4.5928 0.0587 Variance Decomposition of D(LOG(NTO(2))): Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
1 0.0774 6.3919 0.1908 6.4954 1.5816 7.0221 71.0800 7.2382 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.0855 5.3709 0.2127 9.0393 2.7052 10.0353 62.5154 6.0309 0.0942 0.0363 0.1029 0.5373 0.0349 0.4239 0.0591 0.9957 1.7537 0.0524 3 0.0943 4.7106 0.1758 12.6045 3.4198 12.8178 55.5507 5.0140 0.1675 0.1450 0.3763 0.6465 0.1853 0.5171 0.0505 1.1676 2.3438 0.1070 4 0.1024 4.0316 0.1498 15.7575 5.1497 11.5055 51.7369 4.3743 0.1498 0.2310 0.7487 0.8776 0.2613 0.4933 0.0967 1.5477 2.7559 0.1327 5 0.1068 4.9024 0.1422 14.9293 5.4103 10.7101 48.8918 4.2527 0.5025 0.2164 2.3087 0.8135 0.2422 0.5093 1.6144 1.5224 2.5826 0.4492 6 0.1106 5.7548 0.4073 14.9759 5.9174 10.8049 47.3103 3.9702 0.5511 0.2646 2.4303 0.8183 0.2749 0.7178 1.5185 1.4426 2.4215 0.4196 7 0.1149 6.7653 0.6642 14.9020 6.9180 10.3789 45.5350 3.7936 0.5105 0.2599 2.6647 0.8469 0.3634 0.6681 1.6669 1.4119 2.2502 0.4004 8 0.1197 7.6449 0.7943 15.6587 7.8647 10.4691 42.8826 3.5205 0.4797 0.3015 2.8047 0.8953 0.3438 0.6917 1.6824 1.3135 2.2405 0.4120 9 0.1264 7.1415 0.8095 14.6136 7.1332 11.8312 44.0782 3.4857 0.7189 0.2745 2.5215 0.8596 0.3088 0.6223 1.5699 1.4735 2.1334 0.4248 10 0.1300 6.9477 0.7813 15.1276 7.2720 11.6649 43.2146 3.4488 0.6841 0.2684 2.7478 0.8583 0.2921 0.6234 1.6686 1.6197 2.3793 0.4014 11 0.1335 6.7628 0.7792 16.0033 7.5485 11.4857 42.2340 3.4358 0.6508 0.2601 2.8135 0.8394 0.3015 0.5946 1.5833 1.8161 2.5097 0.3819 12 0.1375 6.5649 0.7492 16.4292 7.8268 11.5757 41.6247 3.3541 0.6160 0.2735 2.8247 0.8487 0.3385 0.5846 1.4970 1.9261 2.6048 0.3615 13 0.1404 6.7838 0.7540 16.5486 8.0374 11.5215 40.2218 3.2202 0.9155 0.2920 3.2726 0.8413 0.3325 0.5609 1.7725 1.8731 2.6591 0.3934 14 0.1433 6.9890 0.8558 16.8103 8.4979 11.5048 39.5155 3.1138 0.8818 0.2996 3.2732 0.8420 0.3362 0.5793 1.7454 1.8162 2.5551 0.3841 15 0.1465 7.2283 0.8776 17.0802 8.6765 11.4858 38.9582 3.0214 0.8699 0.3059 3.2777 0.8398 0.3216 0.5579 1.8206 1.7639 2.5452 0.3696
406
Lampiran 10. Lanjutan Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
16 0.1499 7.4558 0.9056 17.5396 8.8739 11.7626 37.9901 2.9159 0.8397 0.3027 3.2453 0.8715 0.3079 0.5874 1.8077 1.7164 2.5236 0.3543 17 0.1536 7.4743 0.8686 17.3324 9.0063 11.9072 38.2082 2.8898 0.8299 0.2974 3.1613 0.8718 0.2937 0.5596 1.7228 1.7529 2.4814 0.3423 18 0.1565 7.4773 0.8625 17.4902 9.1025 12.1236 37.6871 2.8568 0.8009 0.2985 3.2162 0.8826 0.2850 0.5487 1.7158 1.8099 2.5125 0.3301 19 0.1593 7.4390 0.8504 17.8739 9.1655 12.1551 37.2455 2.7793 0.7753 0.3010 3.3082 0.8829 0.2765 0.5300 1.6934 1.8384 2.5650 0.3207 20 0.1621 7.3533 0.8468 18.0369 9.2672 12.1498 37.0466 2.7472 0.7532 0.3073 3.3865 0.8823 0.2686 0.5150 1.6489 1.9230 2.5557 0.3117 21 0.1643 7.4302 0.9093 18.1111 9.4345 12.1303 36.5870 2.6865 0.7426 0.3043 3.5088 0.8795 0.2617 0.5035 1.7399 1.9166 2.5497 0.3042 22 0.1669 7.5071 0.9426 18.2551 9.5734 12.0917 36.3738 2.6321 0.7226 0.3072 3.5279 0.8833 0.2547 0.4969 1.7064 1.9029 2.5271 0.2954 23 0.1696 7.5580 0.9607 18.4123 9.6734 12.1603 36.0991 2.5931 0.7007 0.3074 3.5160 0.8911 0.2465 0.4812 1.6942 1.8846 2.5349 0.2865 25 0.1749 7.6792 0.9438 18.5936 9.8415 12.3784 35.6058 2.5411 0.6718 0.3158 3.4975 0.9022 0.2379 0.4572 1.6615 1.8553 2.5476 0.2698 26 0.1774 7.6970 0.9414 18.7692 9.9083 12.4677 35.2868 2.5221 0.6535 0.3155 3.5247 0.9001 0.2311 0.4446 1.6614 1.8725 2.5419 0.2621 27 0.1800 7.7236 0.9401 19.0085 10.0055 12.4892 34.9580 2.4840 0.6361 0.3171 3.5565 0.9006 0.2276 0.4339 1.6449 1.8751 2.5439 0.2557 28 0.1824 7.7345 0.9372 19.1110 10.1095 12.5152 34.7640 2.4559 0.6195 0.3174 3.5856 0.9001 0.2218 0.4224 1.6238 1.8974 2.5357 0.2491 29 0.1847 7.7911 0.9638 19.1545 10.2195 12.5082 34.5545 2.4103 0.6057 0.3162 3.6270 0.9046 0.2164 0.4138 1.6404 1.8960 2.5352 0.2430 30 0.1870 7.8259 0.9746 19.2494 10.2989 12.5083 34.4016 2.3728 0.5909 0.3177 3.6472 0.9082 0.2113 0.4062 1.6262 1.8952 2.5286 0.2371 31 0.1894 7.8393 0.9807 19.3461 10.3598 12.5355 34.2507 2.3443 0.5762 0.3188 3.6591 0.9122 0.2062 0.3963 1.6172 1.8966 2.5294 0.2316 32 0.1917 7.8672 0.9870 19.4114 10.4176 12.5811 34.0873 2.3160 0.5639 0.3208 3.6682 0.9181 0.2030 0.3884 1.6130 1.8938 2.5367 0.2265 33 0.1939 7.8810 0.9786 19.4638 10.4636 12.6489 33.9573 2.3068 0.5509 0.3223 3.6780 0.9168 0.1983 0.3795 1.5965 1.8982 2.5384 0.2212 34 0.1962 7.8904 0.9812 19.5680 10.5171 12.6902 33.7769 2.2914 0.5389 0.3223 3.6927 0.9168 0.1941 0.3708 1.5914 1.9033 2.5383 0.2162 35 0.1985 7.9095 0.9820 19.6937 10.5815 12.7122 33.5842 2.2693 0.5277 0.3233 3.7064 0.9183 0.1918 0.3631 1.5826 1.9009 2.5419 0.2116 36 0.2006 7.9265 0.9799 19.7635 10.6415 12.7432 33.4423 2.2517 0.5168 0.3243 3.7231 0.9191 0.1878 0.3553 1.5725 1.9052 2.5405 0.2070 37 0.2028 7.9612 0.9891 19.8178 10.7042 12.7550 33.3052 2.2253 0.5075 0.3243 3.7393 0.9212 0.1843 0.3489 1.5752 1.9023 2.5365 0.2027 38 0.2049 7.9888 0.9921 19.8999 10.7597 12.7689 33.1694 2.2018 0.4975 0.3253 3.7509 0.9227 0.1809 0.3426 1.5674 1.9003 2.5331 0.1986 39 0.2071 8.0058 0.9942 19.9751 10.8069 12.7944 33.0433 2.1814 0.4873 0.3260 3.7590 0.9247 0.1775 0.3359 1.5603 1.9016 2.5321 0.1947 40 0.2092 8.0283 0.9969 20.0204 10.8560 12.8177 32.9328 2.1611 0.4780 0.3268 3.7680 0.9275 0.1745 0.3299 1.5553 1.9025 2.5334 0.1909 41 0.2113 8.0429 0.9955 20.0654 10.8983 12.8511 32.8260 2.1477 0.4687 0.3274 3.7800 0.9278 0.1712 0.3238 1.5468 1.9067 2.5333 0.1872 42 0.2133 8.0513 0.9984 20.1331 10.9386 12.8723 32.7112 2.1322 0.4598 0.3275 3.7920 0.9286 0.1681 0.3177 1.5419 1.9103 2.5332 0.1838 43 0.2154 8.0619 1.0003 20.2028 10.9807 12.8868 32.5965 2.1161 0.4515 0.3283 3.8036 0.9302 0.1657 0.3121 1.5359 1.9114 2.5357 0.1805 44 0.2174 8.0737 1.0012 20.2482 11.0215 12.9080 32.4984 2.1026 0.4436 0.3289 3.8160 0.9310 0.1629 0.3067 1.5305 1.9138 2.5358 0.1772 45 0.2194 8.0915 1.0055 20.2929 11.0616 12.9226 32.4045 2.0865 0.4364 0.3291 3.8253 0.9322 0.1603 0.3017 1.5284 1.9128 2.5346 0.1740 46 0.2214 8.1071 1.0071 20.3540 11.0993 12.9387 32.3019 2.0718 0.4291 0.3298 3.8332 0.9331 0.1579 0.2968 1.5232 1.9117 2.5343 0.1710 47 0.2234 8.1204 1.0079 20.4082 11.1356 12.9579 32.2058 2.0581 0.4220 0.3305 3.8396 0.9344 0.1556 0.2919 1.5182 1.9116 2.5344 0.1680 48 0.2253 8.1367 1.0087 20.4472 11.1717 12.9779 32.1192 2.0444 0.4152 0.3311 3.8462 0.9358 0.1533 0.2873 1.5141 1.9117 2.5344 0.1652 49 0.2272 8.1504 1.0087 20.4899 11.2058 12.9987 32.0304 2.0326 0.4084 0.3315 3.8551 0.9362 0.1509 0.2828 1.5095 1.9132 2.5334 0.1624 50 0.2292 8.1607 1.0104 20.5411 11.2383 13.0132 31.9431 2.0199 0.4018 0.3317 3.8632 0.9370 0.1487 0.2783 1.5054 1.9147 2.5326 0.1598 51 0.2311 8.1714 1.0117 20.5874 11.2710 13.0256 31.8602 2.0072 0.3955 0.3322 3.8714 0.9382 0.1467 0.2741 1.5011 1.9158 2.5331 0.1573 52 0.2329 8.1823 1.0131 20.6212 11.3026 13.0405 31.7860 1.9957 0.3894 0.3326 3.8804 0.9391 0.1445 0.2701 1.4974 1.9175 2.5330 0.1549 53 0.2348 8.1937 1.0156 20.6570 11.3321 13.0526 31.7154 1.9837 0.3835 0.3328 3.8877 0.9400 0.1425 0.2662 1.4944 1.9179 2.5324 0.1525 54 0.2367 8.2033 1.0170 20.7002 11.3602 13.0649 31.6404 1.9726 0.3779 0.3333 3.8946 0.9408 0.1406 0.2624 1.4906 1.9183 2.5327 0.1501 55 0.2385 8.2124 1.0179 20.7384 11.3874 13.0793 31.5694 1.9623 0.3724 0.3338 3.9006 0.9418 0.1388 0.2587 1.4868 1.9188 2.5332 0.1479 56 0.2403 8.2230 1.0187 20.7699 11.4144 13.0942 31.5031 1.9524 0.3671 0.3342 3.9065 0.9426 0.1370 0.2551 1.4836 1.9192 2.5333 0.1457 57 0.2421 8.2331 1.0193 20.8056 11.4406 13.1084 31.4337 1.9431 0.3620 0.3345 3.9132 0.9430 0.1352 0.2516 1.4804 1.9197 2.5329 0.1436
407
Lampiran 10. Lanjutan Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
58 0.2440 8.2419 1.0204 20.8447 11.4661 13.1202 31.3658 1.9335 0.3570 0.3348 3.9189 0.9437 0.1336 0.2482 1.4771 1.9201 2.5326 0.1415 59 0.2457 8.2512 1.0212 20.8791 11.4915 13.1316 31.3013 1.9239 0.3521 0.3352 3.9247 0.9445 0.1320 0.2449 1.4739 1.9206 2.5327 0.1395 60 0.2475 8.2609 1.0222 20.9080 11.5164 13.1435 31.2410 1.9147 0.3474 0.3355 3.9309 0.9452 0.1303 0.2417 1.4711 1.9213 2.5324 0.1376 Variance Decomposition of D(DSA(2)): Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
1 0.2351 12.0667 0.0053 3.1112 0.8640 0.0109 0.5416 0.0644 83.3359 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.2519 13.2782 0.2348 2.9293 1.5118 0.3043 0.9849 0.0873 76.2664 0.3038 0.0035 0.0803 0.8430 0.9468 0.0983 0.6603 0.0384 1.4285 3 0.2918 15.7171 0.1844 5.5114 1.4284 0.9677 1.1707 0.3459 66.4530 0.9297 0.3722 0.4692 0.8729 0.8965 0.8340 0.5345 1.3571 1.9551 4 0.3083 17.9085 0.2318 5.0593 1.7599 0.8991 1.1189 0.8139 61.3569 0.9369 0.3365 0.7615 1.0331 1.4610 1.2054 0.9739 2.3386 1.8048 5 0.3421 14.5751 0.2091 10.8098 1.5023 0.8792 5.9536 0.7959 49.8295 0.8104 0.5527 0.8718 0.9105 1.2128 1.9105 5.5341 1.9153 1.7272 6 0.3526 13.9833 0.2579 12.5719 2.1296 0.8401 6.1485 0.9642 47.6307 0.9078 0.5419 0.8247 0.9580 1.1761 1.8332 5.2917 2.2815 1.6588 7 0.3733 12.4781 0.5285 12.6342 3.1104 0.7758 8.2827 1.0278 44.5008 0.9500 1.1076 0.8055 1.0155 1.0518 1.6402 5.4531 3.0634 1.5744 8 0.3854 11.7506 0.5672 13.3184 3.3964 0.8570 9.1868 1.0669 42.9276 1.1585 1.1934 0.7607 0.9683 1.0101 1.5392 5.4125 3.3815 1.5050 9 0.4055 10.7097 0.6158 13.4365 3.7928 0.9040 8.5697 1.0557 44.4152 1.0757 1.1683 0.8099 0.9391 0.9268 2.0059 4.8934 3.3223 1.3593 10 0.4142 10.5019 0.5971 13.5395 4.0019 0.8680 8.4928 1.0802 44.5749 1.1260 1.1575 0.8050 0.9349 1.0986 1.9282 4.6991 3.2812 1.3133 11 0.4280 10.2880 0.5970 13.8183 4.1428 0.9718 8.5156 1.0532 44.6742 1.1026 1.1097 0.7960 0.9235 1.0495 1.8620 4.4304 3.3790 1.2865 12 0.4396 10.3330 0.6230 13.7819 4.1343 1.0760 8.2717 1.1932 44.6527 1.1897 1.0728 0.7600 0.8777 1.1072 1.8203 4.2063 3.6726 1.2276 13 0.4526 9.9670 0.8480 15.1972 4.3751 1.0500 8.3076 1.2436 43.3712 1.2382 1.0758 0.7685 0.8410 1.0445 1.7187 4.0839 3.6435 1.2262 14 0.4612 9.8385 0.8877 15.4511 4.7044 1.0320 8.2420 1.2597 43.0012 1.2874 1.1195 0.7906 0.9068 1.0063 1.6737 3.9841 3.6146 1.2004 15 0.4708 9.5742 0.8911 15.8387 5.0927 0.9999 8.2391 1.3298 42.4466 1.2926 1.2137 0.8244 0.9039 0.9846 1.6070 3.9772 3.5708 1.2136 16 0.4791 9.3869 0.8668 16.2313 5.2595 0.9719 8.4849 1.3587 41.8202 1.3167 1.2516 0.8316 0.9070 0.9520 1.5534 3.9808 3.5994 1.2274 17 0.4897 9.1635 0.8294 16.6803 5.3339 0.9334 8.6775 1.3993 41.4072 1.2856 1.2712 0.8296 0.9500 0.9221 1.5242 3.8749 3.7066 1.2112 18 0.4984 8.9867 0.8022 16.9811 5.4573 0.9103 8.7877 1.4603 41.0917 1.3106 1.2780 0.8234 0.9513 0.9096 1.4727 3.7860 3.8107 1.1803 19 0.5085 8.7680 0.7887 17.2471 5.6375 0.8946 8.9131 1.4446 40.9085 1.3179 1.2697 0.8198 0.9356 0.8758 1.4239 3.6868 3.9094 1.1591 20 0.5175 8.6045 0.7796 17.4170 5.7937 0.8778 8.8518 1.4568 40.9277 1.3575 1.2635 0.8140 0.9098 0.8613 1.3938 3.5815 3.9851 1.1246 21 0.5272 8.4444 0.8354 17.7148 5.9223 0.8661 8.8236 1.4280 40.7796 1.3825 1.2736 0.8360 0.9030 0.8369 1.3467 3.4946 4.0179 1.0949 22 0.5351 8.3577 0.8354 17.8003 6.0238 0.8659 8.8036 1.4143 40.8017 1.4026 1.2708 0.8464 0.8946 0.8179 1.3179 3.4314 4.0405 1.0753 23 0.5432 8.2878 0.8477 17.9090 6.0714 0.8544 8.8049 1.4263 40.7731 1.4117 1.2827 0.8546 0.8802 0.8081 1.2872 3.3669 4.0701 1.0641 24 0.5510 8.2109 0.8527 18.0861 6.1332 0.8394 8.8639 1.4363 40.6152 1.4280 1.2885 0.8533 0.8871 0.7910 1.2529 3.3254 4.0848 1.0513 25 0.5596 8.1116 0.8391 18.3273 6.2031 0.8186 8.9377 1.4798 40.3995 1.4245 1.2966 0.8503 0.8923 0.7780 1.2344 3.2652 4.1030 1.0390 26 0.5674 8.0170 0.8338 18.4730 6.2862 0.7985 8.9836 1.5233 40.2318 1.4407 1.3121 0.8475 0.8940 0.7694 1.2058 3.2219 4.1340 1.0275 27 0.5754 7.9059 0.8288 18.6487 6.3859 0.7865 9.0574 1.5408 40.0239 1.4457 1.3221 0.8497 0.8963 0.7539 1.1804 3.1870 4.1638 1.0233 28 0.5832 7.8033 0.8181 18.8493 6.4656 0.7688 9.0885 1.5594 39.8653 1.4594 1.3303 0.8471 0.8899 0.7431 1.1558 3.1465 4.1969 1.0127 29 0.5912 7.7015 0.8231 19.0728 6.5607 0.7583 9.0921 1.5571 39.6912 1.4663 1.3401 0.8538 0.8955 0.7293 1.1289 3.1045 4.2269 0.9979 30 0.5985 7.6138 0.8169 19.1979 6.6381 0.7475 9.1231 1.5566 39.6035 1.4762 1.3453 0.8562 0.8908 0.7159 1.1069 3.0675 4.2557 0.9881 31 0.6061 7.5350 0.8171 19.3126 6.7069 0.7352 9.1260 1.5589 39.5513 1.4851 1.3501 0.8584 0.8827 0.7046 1.0861 3.0213 4.2888 0.9798 32 0.6135 7.4625 0.8195 19.4293 6.7728 0.7254 9.1383 1.5564 39.4949 1.4952 1.3527 0.8604 0.8810 0.6925 1.0642 2.9819 4.3061 0.9669 33 0.6210 7.3999 0.8148 19.5466 6.8298 0.7148 9.1627 1.5637 39.4364 1.4985 1.3519 0.8619 0.8769 0.6830 1.0470 2.9387 4.3181 0.9554
408
Lampiran 10. Lanjutan Period S.E. D(LOG
(GDPA(2)))D(LOG
(TKA(2))) D(LOG
(XA(2))) D(LOG
(IMA(2)))D(WP(2)) D(LOG
(NTI(2)))D(LOG
(NTO(2)))D(DSA(2)) D(LOG
(PPH(2))) D(LOG
(PPN(2)))D(LOG
(EA(2)))D(LOG
(SP_(2)))D(LOG
(RDA(2)))D(LOG (IA(2)))
D(LOG (DF(2)))
D(LOG (I(2)))
D(LOG (KONS(2)))
34 0.6281 7.3499 0.8140 19.6162 6.8792 0.7049 9.1719 1.5733 39.4003 1.5081 1.3555 0.8634 0.8731 0.6747 1.0289 2.9029 4.3373 0.9463 35 0.6352 7.2973 0.8141 19.7042 6.9251 0.6968 9.2000 1.5819 39.3245 1.5145 1.3587 0.8647 0.8715 0.6658 1.0114 2.8716 4.3580 0.9398 36 0.6423 7.2440 0.8111 19.8221 6.9671 0.6869 9.2210 1.5945 39.2345 1.5218 1.3620 0.8640 0.8689 0.6581 0.9946 2.8429 4.3742 0.9323 37 0.6493 7.1884 0.8115 19.9456 7.0168 0.6784 9.2312 1.6023 39.1323 1.5270 1.3702 0.8665 0.8718 0.6501 0.9785 2.8163 4.3894 0.9240 38 0.6561 7.1314 0.8076 20.0407 7.0673 0.6694 9.2578 1.6104 39.0446 1.5333 1.3764 0.8675 0.8712 0.6421 0.9631 2.7939 4.4044 0.9189 39 0.6629 7.0751 0.8052 20.1385 7.1156 0.6602 9.2763 1.6173 38.9622 1.5388 1.3821 0.8682 0.8693 0.6348 0.9485 2.7682 4.4255 0.9140 40 0.6697 7.0182 0.8034 20.2426 7.1631 0.6524 9.2937 1.6200 38.8849 1.5442 1.3864 0.8691 0.8691 0.6272 0.9337 2.7441 4.4413 0.9065 41 0.6765 6.9659 0.8005 20.3356 7.2080 0.6445 9.3157 1.6237 38.8202 1.5479 1.3882 0.8703 0.8674 0.6199 0.9203 2.7174 4.4553 0.8993 42 0.6831 6.9191 0.7993 20.4017 7.2504 0.6375 9.3258 1.6269 38.7802 1.5540 1.3910 0.8713 0.8647 0.6129 0.9071 2.6925 4.4728 0.8929 43 0.6897 6.8744 0.7993 20.4704 7.2896 0.6316 9.3384 1.6299 38.7358 1.5594 1.3928 0.8722 0.8621 0.6062 0.8944 2.6679 4.4889 0.8868 44 0.6963 6.8332 0.7988 20.5461 7.3240 0.6252 9.3493 1.6338 38.6913 1.5644 1.3944 0.8728 0.8597 0.6000 0.8823 2.6444 4.5002 0.8802 45 0.7027 6.7958 0.7987 20.6181 7.3588 0.6192 9.3534 1.6382 38.6459 1.5688 1.3978 0.8744 0.8591 0.5941 0.8711 2.6221 4.5106 0.8739 46 0.7090 6.7596 0.7973 20.6784 7.3916 0.6132 9.3674 1.6435 38.6002 1.5735 1.4007 0.8753 0.8577 0.5886 0.8598 2.6025 4.5214 0.8694 47 0.7154 6.7236 0.7963 20.7456 7.4231 0.6072 9.3801 1.6492 38.5469 1.5776 1.4038 0.8757 0.8567 0.5833 0.8490 2.5832 4.5337 0.8651 48 0.7216 6.6867 0.7948 20.8203 7.4545 0.6012 9.3926 1.6541 38.4890 1.5814 1.4071 0.8763 0.8566 0.5780 0.8385 2.5652 4.5437 0.8601 49 0.7279 6.6500 0.7930 20.8883 7.4869 0.5953 9.4086 1.6588 38.4332 1.5847 1.4097 0.8770 0.8562 0.5728 0.8283 2.5473 4.5542 0.8555 50 0.7340 6.6140 0.7916 20.9465 7.5189 0.5898 9.4203 1.6627 38.3868 1.5887 1.4129 0.8777 0.8552 0.5677 0.8185 2.5306 4.5666 0.8515 51 0.7401 6.5785 0.7906 21.0072 7.5493 0.5846 9.4320 1.6658 38.3412 1.5925 1.4153 0.8783 0.8539 0.5627 0.8089 2.5137 4.5785 0.8472 52 0.7463 6.5445 0.7897 21.0687 7.5781 0.5795 9.4422 1.6683 38.2992 1.5960 1.4173 0.8790 0.8527 0.5578 0.7996 2.4968 4.5882 0.8424 53 0.7523 6.5131 0.7888 21.1230 7.6062 0.5747 9.4487 1.6710 38.2639 1.5994 1.4196 0.8799 0.8518 0.5532 0.7909 2.4800 4.5979 0.8378 54 0.7582 6.4834 0.7880 21.1704 7.6324 0.5702 9.4580 1.6738 38.2319 1.6030 1.4214 0.8806 0.8503 0.5488 0.7823 2.4641 4.6075 0.8339 55 0.7642 6.4550 0.7875 21.2204 7.6571 0.5658 9.4662 1.6767 38.1980 1.6063 1.4232 0.8811 0.8491 0.5446 0.7740 2.4484 4.6167 0.8299 56 0.7701 6.4276 0.7868 21.2722 7.6810 0.5615 9.4738 1.6799 38.1626 1.6093 1.4250 0.8817 0.8484 0.5405 0.7660 2.4334 4.6244 0.8258 57 0.7759 6.4011 0.7860 21.3197 7.7049 0.5572 9.4834 1.6832 38.1269 1.6122 1.4269 0.8823 0.8477 0.5366 0.7582 2.4192 4.6323 0.8222 58 0.7817 6.3749 0.7852 21.3645 7.7280 0.5531 9.4920 1.6866 38.0925 1.6153 1.4291 0.8828 0.8469 0.5327 0.7506 2.4059 4.6410 0.8190 59 0.7874 6.3488 0.7844 21.4122 7.7505 0.5490 9.5008 1.6898 38.0560 1.6182 1.4311 0.8832 0.8462 0.5290 0.7432 2.3929 4.6491 0.8157 60 0.7931 6.3230 0.7835 21.4603 7.7728 0.5450 9.5095 1.6925 38.0198 1.6208 1.4330 0.8837 0.8457 0.5252 0.7360 2.3802 4.6566 0.8122
Cholesky Ordering: D(LOG(GDPA(2))) D(LOG(TKA(2))) D(LOG(XA(2))) D(LOG(IMA(2))) D(WP(2)) D(LOG(NTI(2))) D(LOG(NTO(2))) D(DSA(2)) D(LOG(PPH(2))) D(LOG(PPN(2))) D(LOG(EA(2))) D(LOG(SP_(2))) D(LOG(RDA(2))) D(LOG(IA(2))) D(LOG(DF(2))) D(LOG(I(2))) D(LOG(KONS(2)))