11
BAB II
KETIDAKSESUAIAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN
MINERAL DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2014
TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009
1. Ketentuan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri
Dalam rangka meningkatkan mutu mineral serta untuk memanfaatkan dan
memperoleh mineral ikutan maka dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri
terhadap hasil tambang. Pengolahan dan pemurnian di dalam negeri ini bertujuan untuk:17
1) Meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk;
2) Tersedianya bahan baku industri;
3) Penyerapan tenaga kerja; dan
4) Peningkatan penerimaan Negara.
Definisi pengolahan dan pemurnian tidak ditemukan di dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009, hanya disebutkan bahwa pengolahan dan pemurnian adalah
kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta
untuk memanfaaatkan dan memperoleh mineral ikutan.18
Menurut pengamat
pertambangan Kurtubi, pemurnian adalah pekerjaan pengolahan atau pengilangan untuk
memurnikan atau meninggikan kadar bahan galian dengan memisahkan mineral berharga
dan yang tidak berharga, selanjutnya membuang mineral yang tidak berharga tersebut
yang dapat dilakukan dengan cara kimia.19
Sedangkan pengolahan (treatment) adalah
17
Salim HS, Op.cit, hlm. 4. 18
Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 19
Rangga Prakoso, Wahyu Sudoyo, Definisi Pengolahan dan Pemurnian Perlu Diperjelas,
http://www.ima-api.com/index.php?option=com_content&view=article&i...n-pemurnian-perlu-
diperjelas&catid=47:media-news&Itemid=98&lang=id, 2014
11
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
12
proses untuk menyiapkan bahan mentah mineral untuk diolah lebih lanjut sekaligus
diolah untuk produk akhir.20
Definisi pengolahan dan pemurnian dapat ditemukan dalam Peraturan Menteri
Energi, Sumber Daya dan Mineral Nomor 1 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa
pengolahan adalah upaya untuk meningkatkan mutu mineral atau batuan yang
menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari mineral atau
batuan asal, antara lain berupa konsentrat mineral logam dan batuan yang dipoles.21
Sedangkan pemurnian merupakan upaya untuk meningkatkan mutu mineral logam
melalui proses ekstraksi serta proses pengingkatan kemurnian lebih lanjut untuk
menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal, antara
lain berupa logam dan logam paduan.22
Dari berbagai definisi yang telah dipaparkan di atas, antara pengolahan dan
pemurnian memiliki makna yang berbeda yang menunjukan bahwa antara pengolahan
dan pemurnian adalah proses yang saling berkaitan. Pengolahan merupakan langkah awal
sebelum dilakukan pemurnian, dimana pengolahan adalah proses mempersiapkan mineral
mentah dengan memisahkan antara mineral yang berharga dan mineral yang tidak
berharga, mengingat mineral mentah yang ditemukan pada umumnya masih bercampur
dengan kotoran atau mineral bawaan, maka dari itu perlu dilakukannya pemisahan.
Pemurnian sebagai langkah lanjut dari proses pengolahan yang mana dalam proses
20
Ibid 21
Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam
Negeri. 22
Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam
Negeri.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
13
pemurnian ini hasil pemisahan dari proses pengolahan yang menghasilkan mineral
berharga kemudian ditingkatkan kadarnya hingga mencapai kadar maksimal yang
diinginkan, sehingga menghasilkan produk akhir dengan sifat fisik dan kimia yang
berbeda dari mineral asal.
Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian ditegaskan dalam Pasal
102, dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa
pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan /
atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan, dan pemurnian, serta
pemanfaatan mineral dan batubara, Berdasarkan ketentuan tersebut berarti bagi
pemegang IUP dan IUPK operasi produksi berkewajiban untuk melakukan pengolahan
dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Sedangkan bagi pemegang kontrak
karya dan perjanjian karya pertambangan batubara kewajiban melakukan pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri ditegaskan dalam Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 tahun
2009.
Pengolahan dan pemurnian, dapat dilakukan dengan membangun unit pengolahan
sendiri atau menggunakan unit pengolahan dan pemurnian yang terdapat di daerah
lainnya atau dapat pula dilakukan dengan kerjasama dengan pemegang Izin Usaha
Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus lainnya.23
Bagi pengusaha yang
benar-benar berkomitmen untuk melakukan pembangunan unit pengolahan dan
pemurnian yang dikenal dengan “smelter” di dalam negeri harus dilakukan selambat-
lambatnya lima tahun semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009,24
yang berarti bahwa seluruh perusahaan tambang yang telah berproduksi harus telah
23
Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 24
Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
14
memiliki atau membangun unit pengolahaan dan pemurniaan atau menggunakan unit
pengolahan dan pemurnian milik perusahaan tambang lainnya pada tahun 2014.
1.1. Komoditas Tambang Mineral Yang Dapat Ditingkatkan Nilai Tambahnya
Pengolahan dan pemurnian merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan
nilai tambah hasil tambang. Dimana golongan komoditas tambang mineral yang dapat
ditingkatkan nilai tambahnya, yaitu mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan.25
Mineral logam adalah mineral yang unsur utamanya mengandung logam, memiliki kilap
logam, dan umumnya bersifat sebagai penghantar panas dan listrik yang baik.26
Yang
termasuk dalam mineral logam, yaitu tembaga, nikel, bauksit, bijih besi, pasir besi, timah,
mangan, timbal, seng, emas, perak, dan kromium.27
Mineral bukan logam adalah mineral yang unsur utamanya terdiri atas bukan
logam.28
Yang termasuk mineral yang bukan logam yaitu zircon, kaolin, zeolit, bentonit,
silica (pasir kuarsa), kalsit (batu kapur atau gamping), felspar, dan intan.29
Sedangkan
yang dimaksud dengan batuan adalah massa padat yang terdiri atas satu jenis mineral
atau lebih yang membentuk kerak bumi, baik dalam keadaan terikat (massive) maupun
25
Pasal 2 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. 26
Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam
Negeri. 27
Lampiran I Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. 28
Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam
Negeri. 29
Lampiran II Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
15
lepas (loose).30
Yang termasuk dalam komoditas tambang batuan, yaitu marmer, granit,
onik, opal, giok, agat, topas, perlit, toseki, batu sabak (slate), granodiorit, gabro, peridotit,
basalt, kalsedon, rijang (chert), jasper, krisopras, dan garnet.31
Pengolahan dan pemurnian sebagai kegiatan peningkatan nilai tambah tidak
dilakukan untuk seluruh komoditas tambang mineral. Pengolahan dilakukan untuk
komoditas tambang mineral bukan logam dan batuan. Sedangkan pengolahan dan
pemurnian dilakukan untuk komoditas tambang mineral logam. Dengan ini berarti bahwa
komoditas tambang mineral yang wajib untuk dilakukan pengolahan dan pemurnian
sebelum dilakukan ekspor adalah mineral logam, yaitu tembaga, nikel, bauksit, bijih besi,
pasir besi, timah, mangan, timbal, seng, emas, perak, dan kromium. Sedangkan untuk
komoditas tambang mineral bukan logam dan batuan dapat ekspor sekalipun hanya
dengan dilakukan proses pengolahan.
1.2. Pihak-Pihak yang Berkewajiban Melakukan Pengolahan dan Pemurnian
Pemerintah sebagai badan publik sudah tidak lagi bersanding sejajar secara
perdata atau sebagai mitra bisnis dengan pelaku usaha di dalam kontrak pertambangan.32
Sebelumnya dengan menundukkan diri sebagai pihak di dalam kontrak, hanya akan
mengganggu imunitas dan kedaulatan negara.33
Terlebih jika dikaji secara historis,
30
Pasal 1 ayat (4) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam
Negeri. 31
Lampiran III Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. 32
Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, Hlm. 113. 33
Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
16
kontrak pertambangan dengan pemerintah sebenarnya tidak pernah diatur di dalam
Undang-Undang Pertambangan Umum.34
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, sudah tidak lagi
menggunakan kontrak namun diberlakukan Perizinan, dimana pemerintah sebagai pihak
pemberi izin dalam proses pemberian izin. Objektivitas dominasi negara terlihat pada
sistem perizinan usaha pertambangan (IUP) yang mengikuti kaidah hukum pertambangan
internasional melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel serta simple secara
administratif.35
Negara yang menentukan pihak yang layak diberikan izin pengelolaan
atau pengusahaan mineral batubara, tanpa membedakan status domestik atau asing.36
Bentuk izin pertambangan yang diberikan adalah Izin Pertambangan Rakyat
(IPR), Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Diantara ketiga jenis izin pertambangan hanya ada dua izin yang dibebani kewajiban
untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, yaitu Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana diatur
dalam Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melaksanakan usaha
pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi
terbatas.37
Yang berwenang memberikan IPR, yaitu Bupati atau Walikota.38
Namun,
demikian Bupati atau Walikota dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian
34
Ibid. 35
Ibid. 36
Ibid. 37 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 38 Salim HS, Op.Cit, h.7
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
17
IPR kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.39
Sebelum
IPR diberikan, maka Bupati atau Walikota menetapkan wilayah pertambangan rakyat
(WPR).40
Sedangkan yang dapat mengajukan IPR, yaitu penduduk setempat.41
Ada tiga
klasifikasi penduduk setempat, yaitu:42
1. Perorangan;
2. Kelompok masyarakat; dan/atau
3. Koperasi.
Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha
pertambangan.43
Usaha pertambangan atau mining business merupakan kegiatan dalam
rangka pengusahaan mineral yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan (feasibility study), kontruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.44
Pejabat yang
memiliki wewenang untuk menetapkan IUP, yaitu:45
1. Bupati/Walikota;
2. Gubernur; dan
3. Menteri.
Pihak yang berhak mengajukan permohonan atas IUP, adalah:46
1. Badan usaha;
2. Koperasi; dan
3. Perorangan.
Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin untuk melaksanakan usaha
pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.47
Pejabat yang berwenang
39 Ibid. 40 Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. 41 Salim HS, Op.Cit, h.7 42 Ibid 43
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 44
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 45
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 46
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
18
menetapkan IUPK, yaitu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.48
Pihak yang dapat
mengajukan permohonan IUPK, yaitu badan usaha yang berbadan hukum Indonesia,
meliputi:49
1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); atau
3. Badan Usaha Swasta (BUS).
Selain pemegang IUP dan IUPK, pemegang kontrak karya dan PKP2B yang telah
melakukan kegiatan produksi juga berkewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian
di dalam negeri.50
Kewajiban ini adalah hal baru bagi pemegang kontrak karya dan
PKPB2. Mengingat hal ini adalah ketentuan yang baru bagi pemegang Kontrak Karya
dan PKPB2 yang sebelumnya bukan merupakan bagian dari isi kontrak karya dan
PKPB2, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap isi kontrak karya dan PKPB2.51
2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Sebagai Aturan Turunan
Sebagai wujud tindak lanjut dari ketentuan pengolahan dan pemurnian di dalam
negeri yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, Pemerintah membuat
aturan turunan. Beberapa dari aturan turunan tersebut adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksana Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian
di Dalam Negeri.
47
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 48
Pasal 74 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 49
Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 50
Salim HS, Op.cit., Hlm. 4 51
Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
19
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 adalah perubahan kedua dari
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut
tentang pelaksanaan kewajiban kepada pemegang IUP operasi produksi untuk melakukan
kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.52
Materi muatan
Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang- Undang. Di dalam UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan dinyatakan
bahwa Peraturan Pemerintah sebagai aturan organik daripada Undang-Undang menurut
hierarkinya tidak boleh tumpang tindih atau bertolak belakang.
Fungsi dari Peraturan Pemerintah adalah menyelenggarakan:53
1. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas
menyebutnya.
2. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam undang-undang
yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.
Umumnya, Peraturan Pemerintah ditetapkan karena diminta secara tegas oleh undang-
undang, karena Peraturan Pemerintah itulah yang pada dasarnya merupakan pelaksana
langsung ketentuan undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945,
yaitu peraturan untuk menjalankan undang-undang.54
Pertimbangan hukum dari ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2014 adalah:
52
Pasal 1 angka 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. 53
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan - jenis, fungsi, dan materi muatan, kanisius,
Yogyakarta, 2007, hlm. 221-223. 54
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo, Jakarta, 2010, hlm. 78.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
20
a. Bahwa dalam rangka meningkatkan manfaat mineral bagi rakyat dan untuk
kepentingan pembangunan daerah, maka perlu peningkatan nilai tambah mineral
melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sumber daya mineral di dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagimana dimaksud dalam huruf a, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara.
2.1. Ketentuan Pengolahan dan Pemurnian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2014
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 dibuat oleh Pemerintah bagi para
pengusaha komoditas tambang untuk pelaksanaan kegiatan pengolahan dan pemurnian di
dalam negeri dengan unit pengolahan dan pemurnian (smelter) sebagai salah satu upaya
guna meningkatkan nilai tambah bagi komoditas tambang mineral tersebut yang juga
tentunya mempengaruhi besaraan penerimaan bagi negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 dikeluarkan sebagai perubahan kedua
atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2010 tepatnya Pasal 112 ayat (4) huruf c, disebutkan bahwa adanya kewajiban
untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling
lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Yang
berarti bahwa jangka waktu paling lambat jatuh pada tahun ini, yakni 2014.
Namun kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri menjadi
menarik ketika dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014. Dalam
Peraturan Pemerintah pengganti ini, Pasal 112 ayat (4) poin c dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 dinyatakan “dihapus”. Dengan kata lain, menurut
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
21
Peraturan Pemerintah ini dimungkinkan melakukan penjualan mineral ke luar negeri
sekalipun tanpa dilakukan pemurnian.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, terdapat Pasal baru yang
disisipkan di antara Pasal 112B dan 113, yaitu Pasal 112C. Pasal 112C tersebut berbunyi:
1. Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara wajib
melakukan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
2. Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 angka 4
huruf a Peraturan Pemerintah ini wajib melakukan pengolahan dan pemurnian
hasil penambangan di dalam negeri.
3. Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud pada angka 1 yang melakukan
kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian,
dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu.
4. Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang
melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan
pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengolahan dan pemurnian serta
batasan minimum pengolahan dan pemurnian diaturan dengan Peraturan Menteri.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah menegaskan adanya kewajiban untuk
dilakukan pengolahan dan pemurnian terhadap hasil penambangan di dalam negeri yang
diatur dalam Pasal 102, dan Pasal 103. Namun Pasal 112 C justru memberi kelonggaran
bagi pengusaha komoditas tambang mineral yang seharusnya diberi kewajiban
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebelum melakukan penjualan ke luar negeri.
Hal ini tepatnya diatur dalam Pasal 112 C angka (4)
Pasal 112 C angka (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 menyatakan
bahwa, Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang
melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan pengolahan, dapat
melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Dengan mendasarkan pada
ketentuan tersebut, berarti pengusaha komoditas tambang mineral logam dapat
melakukan penjualan ke luar negeri tanpa dengan dilakukan pemurnian. Pengusaha dapat
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
22
melakukan penjualan komoditas tambang mineral logam yang hanya dilakukan
pengolahan sesuai dengan batasan minimum kadar pengolahan komoditas tambang
mineral logam yang diatur dalam lampiran I Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Nomor 1 Tahun 2014.
2.2. Mineral Logam Yang Dikecualikan
Pasal 112 C angka (4) memberi celah bagi Pemegang IUP Operasi Produksi yang
melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan pengolahan,
untuk dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Hal ini berarti
hanya mineral logam sajalah yang dimungkinkan dilakukan penjualan ke luar negeri
tanpa harus dilakukan pemurnian terlebih dahulu.
Jenis-jenis mineral logam dapat ditemui di dalam Lampiran Peraturan Menteri
Energi, Sumber Daya, dan Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai
Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
Yang termasuk dalam mineral logam, yaitu tembaga, nikel, bauksit, bijih besi, pasir besi,
timah, mangan, timbal, seng, emas, perak, dan kromium.55
Namun ternyata tidak semua jenis mineral logam dapat dijual ke luar negeri
dengan hanya dilakukan pengolahan di dalam negeri. BAB VI Ketentuan Peralihan Pasal
12 ayat (3) Peraturan Menteri Energi, Sumber Daya, dan Mineral Nomor 1 Tahun 2014
menyatakan bahwa, “Pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112 C angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dapat melakukan penjualan ke luar
55
Lampiran I Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
23
negeri dalam jumlah tertentu hasil pengolahan termasuk hasil pemurnian setelah
memenuhi batasan minimum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini”.
Penjualan hasil pengolahan mineral logam ke luar negeri sebagaimana dimaksud
pada Pasal diatas tidak berlaku bagi komoditas tambang mineral logam, sebagai berikut:56
1. Nikel;
2. Bauksit;
3. Timah;
4. Emas;
5. Perak; dan
6. Kromium.
Dengan ini berarti bahwa, jenis mineral logam yang diperbolehkan dilakukan penjualan
ke luar negeri dengan hanya dilakukan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
112C ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yakni:
1. Tembaga;
2. Pasir besi;
3. Bijih besi;
4. Seng;
5. Timbal; dan
6. Mangan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan
Bicara tentang hierarki norma hukum, maka tidak terlepas dalam benak kita
dengan Hans Kelsen yang mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum
“Stufentheorie”. Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-
jenjang berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang
56
Pasal 12 ayat (4) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam
Negeri.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
24
lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu yang lebih tinggi, norma yang
lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm).57
Teori Hans Kelsen tersebut diilhami oleh seorang muridnya, yaitu Adolf Merkl
yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das
Doppelte Rechtsantlitz).58
Menurut Adolf Merkl suatu norma hukum itu ke atas ia
bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah juga menjadi
sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum
itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya
suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya.59
Apabila
norma hukum hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma-
norma hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula.60
Stufentheorie dari Hans Kelsen diperjelas dalam hukum positif di Indonesia dalam
bentuk undang-undang yaitu undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan. Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
mengikat secara umum. Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Undang-Undang yang pertama kali mengatur pembentukan peraturan perundang-
undangan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
57
Maria Farida Indrati S, Op.Cit, Hlm. 41, dikutip dari Hans Kelsen, General Theory of Law and
State, Russel & Russel, New York, 1945, hal 113. 58
Ibid. 59
Maria Farida, Op,cit, Hlm. 41-42 60
Ibid, Hlm 42
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
25
Peraturan Perundang-Undangan. Seiring berkembangnya zaman, undang-undang ini
dianggap masih memiliki kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan
kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik sehingga perlu undang-undang yang baru. Sebagai gantinya lahirlah Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang terdiri atas :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kajian tentang hierarki perundang-undangan, tidak lepas dengan asas
pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana kepatuhan terhadap hierarki
merupakan bagian dari pada asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam
membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang baik, meliputi:61
1. Kejelasan tujuan;
2. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
3. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
4. Dapat dilaksanakan;
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. Kejelasan rumusan; dan
7. Keterbukaan.
61
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
26
Mengacu pada ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 yang mana letak
Peraturan Pemerintah berada di bawah Undang-Undang, hendaknya Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tidak menyimpangi materi muatan aturan yang ada di
atasnya, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009.
Pasal 112 C angka (4) memberi kesempatan bagi pemegang IUP Operasi Produksi
yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan pengolahan,
dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Selain itu, Pemegang
IUP Operasi Produksi untuk dapat melakukan penjualan keluar negeri terhadap hasil
penambangan mineral logam yang hanya telah dilakukan pengolahan di dalam negeri
dikenakan tarif bea keluar progresif.
Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang mengenai
kepabeanan yang dikenakan terhadap barang ekspor.62
Pengenaan tarif bea keluar
terhadap hasil pengolahan mineral logam diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 6/PMK/011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar
dan Tarif Bea Keluar, yakni dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d. Pasal tersebut menyatakan
bahwa barang ekspor yang dikenakan bea keluar, adalah:63
1. kulit dan kayu;
2. biji kakao;
3. kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya; dan
4. produk mineral hasil pengolahan.
Pengenaan bea keluar hanya untuk jenis mineral logam hasil pengolahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112 C angka 4, yaitu tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbal,
62
Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar
Terhadap Barang Ekspor. 63
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK/011/2014 tentang Penetapan
Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
27
dan mangan. Besaran tarif bea keluar untuk keenam jenis mineral logam tersebut diatur
dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK/011/2014.
Peraturan Pemerintah tersebut telah melanggar asas pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011. Asas yang dilanggar oleh Peraturan Pemerintah tersebut yaitu
asas kesesuaian materi muatan. Yang dimaksud dengan kesesuaian materi muatan adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar- benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.64
Dalam pembuatan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014
nampaknya kurang memperhatikan materi muatan yang tepat agar sesuai dengan jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Ditinjau dari fungsinya, fungsi dari pada Peraturan Pemerintah adalah untuk
menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan di dalam Undang-Undang, maka
seharusnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tidak menyimpangi apa yang
sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2014 seharusnya menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut mengenai upaya
peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sumber
daya alam mineral di dalam negeri oleh pemegang IUP dan IUPK sebagimana dimaksud
dalam Pasal 102, dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 mengamanatkan
untuk dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebelum dilakukan penjualan
ke luar negeri, berarti bahwa tidak hanya sampai pada proses pengolahan saja, tetapi juga
64
Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
28
harus sampai pada proses pemurnian. Pasal 112 C Angka (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2014 ditinjau dari materi muatannya tidak sesuai dengan apa yang telah
ditegaskan dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009.
Menurut Pasal 112 C Angka (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014,
pemegang IUP Operasi Produksi yang melakukan kegiatan penambangan mineral dan
telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam
jumlah tertentu, berarti bahwa hanya dengan dilakukan pengolahan saja pemegang IUP
Operasi Produksi sudah dapat melakukan penjualan ke luar negeri.
Ketentuan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 102 dan Pasal 103 yang mewajibkan
pemegang IUP dan IUPK untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, antara pengolahan dan pemurnian merupakan
proses yang berbeda namun saling berkaitan. Pengolahan adalah sebagai langkah awal
yang merupakan bagian dari proses pemurnian guna memisahkan antara mineral yang
berharga dan mineral yang tidak berharga, sedangkan pemurnian merupakan proses
selanjutnya setelah dilakukan pengolahan guna meningkatkan kadar mineral berharga
hingga diperoleh hasil akhir.
Mengingat tujuan dilakukannya kegiatan pengolahan dan pemurnian adalah
sebagai upaya peningkatan nilai tambah bagi komoditas tambang mineral, seharusnya
tidak hanya dilakukan pengolahan saja. Tetapi sebagaimana yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 haruslah dilakukan pemurnian di dalam negeri,
sehingga tujuan dari pengolahan dan pemurnian tersebut benar-benar tercapai sesuai
dengan apa yang diharapkan.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
29
Padahal apabila ketentuan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri
sebagaimana yang ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 benar-benar
ditegakkan, akan menghasilkan nilai tambah yang cukup signifikan dari sisi ekonomi.
Nilai tambah tersebut bukan hanya berasal dari bijih mineral mentah yang berubah
menjadi mineral olahan yang telah meningkat kadarnya, namun juga dapat membuka
lapangan kerja baru dari adanya pembangunan unit pengolahan dan pemurnian (smelter)
di dalam negeri dan meningkatnya penerimaan negara.
Dengan mempertimbangkan potensi logam di Indonesia, maka dengan adanya
kebijakan peningkatan nilai tambah melalui kewajiban untuk melakukan kegiatan
pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, maka bijih besi, pasir besi, bijih
tembaga, bauksit (aluminium), bijih nikel dapat dijadikan bahan baku dasar yang strategis
untuk menopang industri strategis nasional yang berbasis mineral.65
Mengingat selama
ini ekspor bahan mentah mineral yang selama ini dilakukan membuat struktur industri
nasional menjadi kropos. Selain itu, Indonesia kehilangan nilai tambah yang besar dan
menjadi bangsa yang bergantung dengan bangsa lain.66
65
Julkifli Marbun, Pemerintah: UU Minerba Tidak Mengandung Larangan Ekspor,
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/14/03/12/n2bapv-pemerintah-uu-minerba-tidak-
mengandung-larangan-ekspor, 2014 66
Agustina Melani, Pemerintah Dinilai Melanggar UU Minerba,
http://bisnis.liputan6.com/read/2033547/pemerintah-dinilai-melanggar-uu-minerba, 2014
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY