LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL
PERCOBAAN I
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORPSI OBAT
Disusun oleh:
Kelas : C
Golongan : IV
Kelompok : 3
Anggita Tyaswuri FA/09305 ………………..
Naisbitt Iman Hanif FA/09308 ………………..
Candra Kirana M. FA/09311 ………………..
Lusy Andriani FA/09314 ………………..
Asisten Jaga : Yolanda dan Christine
Asisten Koreksi : Yolanda
LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI
BAGIAN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
PERCOBAAN I
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT
I. Tujuan
Mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap
kecepatan absorbsinya menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukurnya.
II. Dasar Teori
Obat adalah senyawa kimia yang dapat mengubah atau mempengaruhi responsivitas
sistem biologi. Aksi obat dimediasi oleh proses yang terjadi secara alami dalam tubuh
(Hollinger, 2003).
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase, yaitu:
1) Fase Farmasetik (Fase Disolusi)
Sekitar 80% obat diberikan melalui mulut. Oleh karena itu, fase farmasetik (fase
disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran pencernaan, obat-obat
perlu dilarutkan agar dapat diabsopsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus
didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam cairan dan
proses ini disebut disolusi (Kee, 1994).
2) Fase Farmakokinetik
Merupakan proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Empat proses
yang termasuk di dalamnya adalah sebagai berikut:
a. Absorpsi
Absorbsi adalah proses pengambilan obat dari permukaan tubuh atau dari
tempat-tempat tertentu dalam organ dalam ke dalam aliran darah atau sistem
pembuluh limfe. Dari aliran darah atau sistem pembuluh limfe terjadi distribusi obat
ke dalam organisme keseluruhan. Karena obat baru berkhasiat apabila berhasil
mencapai konsentrasi yang sesuai pada tempat kerjanya, maka suatu absorbsi yang
cukup merupakan syarat untuk suatu efek terapeutik, sejauh obat tidak digunakan
secara intravasal atau tidak langsung dipakai pada tempat kerjanya. Dikatakan cukup
apabila kadar obat yang telah diabsorpsi tidak melewati batas KTM, yaitu Kadar
Toksik Minimum, tetapi masih berada di dalam batas KEM, yaitu Kadar Efektif
Minimum.
Mekanisme absorpsi obat dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu:
1. Difusi pasif
Proses perpindahan molekul obat yang bersifat spontan, mengikuti
gradien konsentrasi, dari konsentrasi tinggi (hipertonis) ke konsentrasi yang
rendah (hipotonis), berbanding lurus dengan luas permukaan absorpsi,
koefisien distribusi senyawa yang bersangkutan, dan koefisien difusi serta
berbanding terbalik dengan tebal membran.
2. Transpor aktif
Molekul ditranspor melawan gradien transportasi. Proses ini memerlukan
adanya energi dan dapat dihambat oleh senyawa analog, secara kompetitif
dan secara tak kompetitif oleh racun metabolisme.
3. Difusi terfasilitasi
Molekul hidrofil sulit untuk menembus membran yang komposisi
luarnya adalah lipid, maka berikatan dengan suatu protein pembawa yang
spesifik. Pembawa dan kompleks pembawa-substrat dapat bergerak bebas
dalam membran. Dengan demikian, penetrasi zat yang ditransport melalui
membran sel lipofil kedalam bagian dalam sel akan dipermudah.
Pergerakan partikel-partikel obat dari saluran pencernaan ke dalam tubuh
umumnya melalui difusi pasif. Dengan proses difusi pasif, obat tidak memerlukan
energi untuk menembus membran. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus
melalui kerja permukaan mukosa vili yang luas.
KTM
KEM
Kadar obat
dalam darah
Waktu
JENDELA
TERAPEUTIK
b. Distribusi
Distribusi merupakan proses dimana obat menjadi berada dalam jaringan tubuh
dan cairan tubuh. Setelah obat diabsorpsi ke dalam aliran darah, untuk mencapai
tepat pada letak dari aksi, obat harus melalui membran sel yang kemudian dalam
peredaran kebanyakan obat didistribusikan melalui cairan badan.
Distribusi merupakan transfer obat yang reversibel antara letak jaringan dan
plasma. Pola distribusi menggambarkan permainan dalam tubuh oleh beberapa faktor
yang berhubungan dengan permeabilitas, kelarutan dalam lipid dan ikatan pada
makromolekul.
Distribusi obat dibedakan menjadi dua fase berdasarkan penyebarannya dalam
tubuh. Fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke dalam organ yang
perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi
fase kedua yang jauh lebih luas, yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak
sebaik jaringan diatas yang meliputi otot, visera, kulit dan jaringan lemak. Faktor-
faktor yang berhubungan dengan distribusi obat dalam badan antara lain:
Perfusi darah melalui jaringan
Kadar gradien, PH, dan ikatan zat dengan makromolekul
Partisi kedalam lemak
Ikatan obat dengan protein plasma
c. Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme adalah proses perubahan struktur kimia obat
di dalam tubuh yang dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah
menjadi bentuk yang lebih polar atau lebih mudah larut didalam air dan sukar larut di
dalam lemak sehingga mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya
obat diubah menjadi bentuk inaktif, sehingga proses biotransformasi menentukan
akhir kerja obat (Ernest, 1991).
d. Eksresi
Rute utama dari ekskresi obat adalah melalui ginjal. Adapun, rute-rute lain
meliputi empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas,
yang tidak berikatan dan larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah difiltrasi
oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal.
Sekali obat dilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan
akhirnya akan dieksresikan melalui urin (Kee, 1994).
Ekskresi obat melalui ginjal melalui tiga tahap yaitu:
1. Penyaringan glomerulus
Ginjal menerima ± 20-25% cairan tubuh dari jantung atau 1,2-1,5 liter
darah per menit, dan ± 10% disaring melalui glomerulus. Membran
glomerulus mempunyai karakteristik sehingga dapat dilewati oleh molekul
obat dengan garis tengah ± 40% Å, obat mudah larut dalam cairan plasma
atau obat yang bersifat hidrofil (Siswandono, 1995).
Selama filtrat ini dipekatkan dalam tubuli zat-zat lipofil berdifusi kembali
secara pasif pula melalui membran sel-nya ke dalam darah dan dengan
demikian menghindari ekskresi. Zat-zat hidrofil hampir tidak didifusi
kembali dan langsung dikeluarkan lewat urine. Ekskresi dapat diperlancar
dengan memperkuat disosiasi obat yang kebanyakan bersifat asam atau basa
lemah dengan derajat ionisasi agak ringan (Tjay, 2007).
2. Adsorpsi kembali secara pasif pada tubulus ginjal
Adsorpsi kembali molekul obat dan koefisien partisi lemak atau air. Obat
yang bersifat polar, sukar larut dalam lemak, tidak diadsorpsi kembali oleh
mebran tubulus. Adsorpsi kembali pada tubular ini sangat tergantung pada
pH urin. Obat yang bersifat elektrolit lemah pada urine normal mempunyai
pH = 4,8-7,5. Sebagian besar akan terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi,
mudah larut dalam lemak, sehingga mudah diadsorpsi kembali oleh tubular.
3. Sekresi pengangkutan aktif pada tubulus ginjal
Obat dapat bergerak dari plasma darah ke urin melalui tubulus ginjal
dengan mekanisme pengangkutan aktif. Sebagai contoh, kombinasi obat
antara probenesid dengan penisilin meningkatkan masa kerja penisilin
karena probenesid dapat menghambat sekresi pengangkutan aktif penisilin
secara kompetitif sehingga ekskesi penisili menurun, kadar penisilin dalam
darah tetap tinggi dan menunjukkan aktifitas lebih lanjut (Siswandono,
1995).
3) Fase Farmakodinamik
Fase farmakodinamik merupakan fase yang mempelajari efek obat terhadap
fisiologi dan biokimia seluler serta mekanisme kerja obat. Respons obat dapat
menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer
adalah efek yang diinginkan. Sedangkan, efek sekunder merupakan efek yang
diinginkan ataupun yang tidak diinginkan (Kee, 1994).
Obat dapat menimbulkan efek apabila terjadi interaksi atau kontak dengan obat
terlebih dahulu. Kontak terjadi pada tempat dimana obat diberikan. Berikut ini ada
beberapa cara pemberian obat beserta karakteristiknya:
1. Per Oral (p.o)
Pemberian obat yang rutenya melalui saluran pencernaan dan pemberian
melalui mulut. Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum karena
mudah digunakan, relatif aman, murah dan praktis (dapat dilakukan sendiri tanpa
keahlian dan alat khusus). Kerugian dari pemberian obat secara peroral adalah
efeknya lama, mengiritasi saluran pencernaan, absorpsi obat tidak teratur, tidak
100% obat diserap. Tidak diserapnya obat secara 100% dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain:
Jumlah makanan dalam lambung
Kemungkinan obat dirusak oleh reaksi asam lambung atau enzim
gastrointestinal, misalnya insulin yang harus diberikan secara peroral akan
dirusak oleh enzim proteolitik dari saluran gastrointestinal
Pada keadaan pasien muntah-muntah sehingga obat tidak dapat diabsorpsi
Dikehendaki kerja awal yang cepat
Ketersediaan hayati yaitu persentase obat yang diabsorpsi tubuh dari suatu
dosis yang diberikan dan tersedia untuk memberi efek terapeutik
Tujuan penggunaan obat melalui oral terutama untuk memperoleh efek
sistemik, yaitu obat masuk melalui pembuluh darah dan beredar ke seluruh tubuh
setelah terjadi absorpsi obat dari bermacam-macam permukaan sepanjang saluran
gastrointestinal. Tetapi ada obat yang memberi efek lokal dalam usus atau lambung
karena obat yang tidak larut, misalnya obat yang digunakan untuk membunuh cacing
dan antasida yang digunakan untuk menetralkan asam lambung.
2. Intra Muskular (i.m)
Pemberian obat melalui suntikan dalam jaringan otot, umumnya pada otot
pantat dan otot paha (gluteus maximus) di mana tidak terdapat banyak pembuluh
darah dan saraf sehingga relatif aman untuk digunakan. Obat dengan cara pemberian
ini dapat berupa larutan, suspensi, atau emulsi.
Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi.
Obat yang sukar larut dalam air akan mengendap di tempat suntikan sehingga
absorpsinya lambat atau terjadi tagositosis dari partikel obat. Sebaliknya, obat yang
larut dalam air akan diabsorpsi dengan cepat. Absorpsi biasanya berlangsung dalam
waktu 10-30 menit. Namun, kecepatan absorpsi juga bergantung pada vaskularitas
tempat suntikan dengan kecepatan peredaran darah antara 0,027-0,07 ml/menit.
Molekul yang kecil langsung diabsorpsi ke dalam kapiler sedangkan molekul yang
besar masuk ke sirkulasi melalui saluran getah bening. Absorpsi obat cara suntikan
intra muskular pada pria lebih cepat daripada wanita karena pada wanita lebih
banyak terdapat jaringan adiposa.
Keuntungan pemberian obat dengan cara ini antara lain:
Kerusakan obat dalam saluran pencernaan dapat dihindari
Efek obat cepat
Fleksibel dan akurat jika diberikan pada penderita yang mengalami collaps,
shock, dan bagi yang sukar menelan
Serdangkan kerugiannya antara lain:
Lebih mahal
Jika terjadi efek toksik sulit diatasi
Perlu keahlian khusus dalam pemakaian obat
Terdapat efek samping berupa nyeri
3. Subkutan (s.c)
Subkutan adalah pemberian obat melalui injeksi ke dalam jaringan di bawah
kulit. Bentuk sediaan yang mungkin diberikan dengan cara ini antara lain larutan dan
suspensi dalam volume lebih kecil dari 2 ml, misalnya insulin. Obat diabsorpsi
secara lambat sehingga intensitas efek sistemik dapat diatur. Pemberian obat dengan
cara ini dilakukan bila obat tidak diabsorpsi pada saluran pencernaan atau dibutuhkan
kerja obat secara tepat, misalnya pada situasi akut. Pemberian subkutan hanya boleh
digunakan untuk obat-obat yang tidak menyebabkan iritasi pada jaringan.
Keuntungan pemberian obat dengan cara ini antara lain:
Absorpsinya lambat dan diperpanjang
Efek obat lebih teratur dan cepat disbanding per oral
Fleksibel bagi penderita yang collaps dan disorientasi
Berguna pada kondisi darurat
Serdangkan kerugiannya antara lain:
Tidak boleh untuk obat-obat yang iritatif atau dicampur dengan vasokonstriktor
Variabel absorpsi tergantung aliran darah
4. Intra peritoneal (i.p)
Obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus atau hati, karena dapat
menyebabkan kematian. Di dalam rongga perut, obat diabsorpsi secara cepat karena
pada mesentrium banyak mengandung pembuluh darah. Dengan demikian
absorpsinya lebih cepat dibandingkan peroral dan intra muskular. Obat yang
diberikan secara intra peritoneal akan diabsorpsi pada sirkulasi portal sehingga akan
dimetabolisme di dalam hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik.
5. Intra vena (i.v)
Biasanya tidak mengalami absorpsi, kadar diperoleh dengan cepat, tepat, dan
dapat disesuaikan respon serta dapat digunakan untuk larutan iritatif. Namun, cara
pemberian intravena biasanya menyebabkan efek toksik mudah terjadi dan tidak
dapat ditarik jika terjadi kesalahan perhitungan dosis, juga bagi obat yang larut dalam
larutan minyak tidak boleh diberikan karena mengendapkan konstituen darah, serta
bagi intravena penyuntikan dengan cara perlahan-lahan sambil mengawasi respon.
Selain cara pemberian, ada faktor lain yang mempengaruhi absorpsi obat, antara lain:
a. Sifat fisika-kimia obat
b. Bentuk sediaan obat
c. Dosis obat
d. Rute dan cara pemberian
e. Waktu kontak dengan permukaan absorpsi
f. Luas permukaan tempat absorpsi
g. Nilai PH cairan pada tempat absorpsi
h. Integritas membran
i. Aliran darah pada tempat absorpsi
Jumlah obat yang diabsorpsi juga dipengaruhi oleh:
a. Luas permukaan absorpsi
Semakin luas permukaan absorpsi, maka jumlah obat yang diabsorpsi semakin
banyak dan semakin sempit permukaan absorpsi maka jumlah obat yang
diabsorpsi semakin sedikit.
b. Banyaknya membran yang dilalui obat
Semakin banyak membran yang dilalui, maka obat yang diabsorpsi semakin
sedikit. Sebaliknya, jika membran yang dilalui sedikit maka obat yang
diabsorpsi semakin banyak.
c. Banyaknya obat yang terdegradasi
Semakin banyak obat yang terdegradasi, maka obat yang diabsorpsi semakin
sedikit, begitu pula sebaliknya.
d. Jumlah ikatan depot
Banyaknya ikatan depot obat dengan molekul tidak aktif (albumin, lemak,
tulang) berpengaruh pada jumlah obat yang diabsorpsi, yaitu semakin banyak
ikatan depot maka semakin sedikit jumlah obat yang diabsorpsi, begitu pula
dengan sebaliknya.
III. Alat dan Bahan
a) Alat
1. Sput injeksi dan jarum ( 1-2 ml )
2. Jarum berujung tumpul
3. Stopwatch
4. Timbangan
b) Bahan
1. Natrium thiopental 5mg/ml
2. Natrium thiopental 50mg/ml
3. 4 ekor mencit (Mus muculus)
IV. Cara Kerja
Empat ekor mencit ditimbang satu persatu dan diberi tanda.
Dihitung volume Na-tiopental yang akan diberikan.
Na-tiopental diberikan secaraintra peritoneal, intra muscular, sub cutan, dan per oral.
Diamati dan mencatat waktu hilangnya reflek balik badan.
Dihitung onset dan durasi waktu tidur Na-tiopental dari masing-masing percobaan.
Dibandingkan hasil dari masing-masing percobaan dengan menggunakan Uji Statistik
“Analisa Varian Pola Satu Arah”dengan taraf kepercayaan 95 %.
V. Data Percobaan dan Perhitungan
1) Data Percobaan
2) Perhitungan Volume Na-thiopental
Dosis = 55 mg/kg BB
Volume pemberian (Vp)=
1. Mencit I (30,6 gr) - intra peritonial
Volume pemberian = = 0,3366 ml
2. Mencit II (33,3 gr) - intra muskular
Volume pemberian = = 0,0366 ml
3. Mencit III (31,1 gr) - sub cutan
Volume pemberian = = 0,3421 ml
4. Mencit IV (40,5 gr) - per oral
Volume pemberian = = 0,4455 ml
g1000 x 5
30,6gr x 55mg
g1000 x 50
33,3gr x 55mg
g1000 x 5
31,1gr x 55mg
g1000 x 5
40,5gr x 55mg
Cara Pemberian Onset (detik) Durasi (detik)
P e r o r a l
1 . 1 .
2 . 2 .
3 . 3 .
4. 3195 4. 818
5. 326 5. 3702
Sub kutan
1 . 1 .
2. 1482 2. 1158
3. 4738 3. 735
4. 503 4. 3550
5 . 5 .
Cara Pemberian Onset (detik) Durasi (detik)
Intra muskular
1 . 1 .
2. 1556 2. 176
3. 2347 3. 912
4. 364 4. 1261
5. 2755 5. 2342
Intra peritonial
1 . 2 0 1. 2880
2. 1566 2. 805
3. 123 3 .
4 . 887 4. 263
5. 3532 5. 1291
1000grstok x
(mg)mencit badan berat x 55mg
Mencit Bobot Mencit (gram) Cara Pemberian Vp (ml) Stock
I 30,6 Intra Peritonial 0,3366 5
II 33,3 Intra Muscular 0.0366 50
III 31,1 Sub Cutan 0,3421 5
IV 40,5 Per Oral 0.4455 5
VI. Pembahasan
Praktikum ini bertujuan untuk mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara-
cara pemberian obat terhadap kecepatan absorbsinya dan menggunakan data farmakologi
sebagai tolok ukurnya. Pada percobaan ini terdapat empat cara pemberian yang akan
dibandingkan yaitu per oral, sub kutan, intra muskular, dan intra peritonial.
Pada percobaan ini, dilihat waktu yang diperlukan obat mulai dari proses pemberian
sampai mencapai sirkulasi sistemik dan menimbulkan efek yang disebut onset. Sedangkan,
durasi adalah waktu yang diperlukan suatu obat mulai memberikan efek sampai hilangnya
efek.
Hewan uji yang digunakan pada percobaan ini adalah mencit. Mencit digunakan
karena gen mencit relatif mirip dengan manusia, selain itu mencit mudah dipelihara dan
reaksi obat yang digunakan ke badannya cepat terlihat. Mencit juga ekonomis dan
berkembang biak dengan cepat dan memiliki umur pendek, sekitar 2-3 tahun sehingga
dapat diamati dalam waktu yang singkat.
Dalam percobaan ini, digunakan obat golongan barbiturat yang memberikan efek
sedatif-hipnotik. Obat golongan barbiturat yang digunakan adalah Natrium Thiopental
yang diberikan melalui empat cara, yaitu per oral, sub cutan, intra muscular dan intra
peritoneal.
Berikut pemerian Natrium Thiopental:
Natrium 5-etil-5-(1-metilbutil)-2-tiobarbiturat
C12H17N2NaO2S BM : 264,32
Natrium thiopental mengandung tidak kurang dari 97,0% dan tidak lebih dari 102,0%
C11H17N2NaO2S , dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Pemerian: Serbuk hablur, putih sampai hampir putih kekuningan atau kuning
kehijauan pucat; higroskopik; berbau tidak enak. Larutan bereaksi
basa terhadap lakmus, terurai jika dibiarkan, jika didihkan terbentuk
endapan.
Wadah dan penyimpanan dalam wadah tertutup rapat.
Kelarutan : Larut dalam air, dalam etanol, tidak larut dalam benzena, eter
mutlak, dan dalam heksana.
Pada percobaan digunakan Natrium Thiopental untuk injeksi dengan pemerian
sebagai berikut:
Thiopentalum Natricum Pro Injectione
Tiopental Natrium untuk injeksi adalah campuran Natrium Thiopental dan
Natrium Carbonat anhidrat sebagai dapar. Mengandung tidak kurang dari 93,0% dan
tidak lebih dari 107,0% C12H17N2NaO2S, dari jumlah yang tertera pada etiket. Pada
saat akan digunakan larutan. (Anonim, 1995).
Dalam tubuh, Natrium Thiopental mengalami beberapa proses, antara lain:
1. Fase Farmakokinetik
a. Absorbsi
Natrium Thiopental yang bersifat asam lemah cepat diabsorbsi dalam
lambung dalam bentuk molekul, karena tidak terionisasi (pH lambung 1-2).
Absorbsi menjadi lebih besar larena sifatnya yang lipofil.
b. Distribusi
Distribusi Natrium Thiopental pertama-tama akan masuk ke jaringan yang
memiliki tingkat perfusi yang tinggi, yaitu dengan pasokan darahnya paling
banyak. Kemudian, terjadi distribusi ulang yang cepat ke dalam otot. Faktor
penting dalam proses distribusi adalah kelarutan dalam lipid. Thiopental akan
terikat pada protein plasma sesuai dengan kelarutannya dalam lipid.
c. Metabolisme
Metabolisme Thiopental sangat lambat. Hasil metabolisme akan
didistribusikan ke hati . Rata-rata metabolismenya adalah 12% - 16% per jam
pada manusia setelah pemberian data tunggal.
Metabolisme berfungsi untuk merombak struktur senyawa obat menjadi
bentuk metabolit. Natrium Thiopental bersifat lipofil sehingga ekskresi lambat
dan waktu paruh menjadi lama.
d. Ekskresi
Obat golongan hipnotik-sedatif, metabolitnya diekskresikan melalui
ginjal. Ekskresi Natrium Thiopental melalui urin dan tidak mengalami perubahan
bentuk.
2. Fase Farmakodinamik
GABA (Gamma Amino Butyric Acid) merupakan penghambat
neurotransmitter utama pada SSP, dimana kerja obat barbiturat pada seluruh area
SSP. Reseptor GABA dibagi menjadi 2 jenis, GABA-A dan GABA-B. GABA
melakukan interaksi dengan subunit alfa atau beta yang menginisiasi terbukanya
saluran klorida akibat hiperpolarisasi membran.
Natrium Thiopental mempermudah aksi GABA pada SSP dengan memperlama
waktu terbuka saluran pintu GABA. Natrium Thiopental terikat pada reseptor
GABA-A pada sisi barbiturat yang terhubung dengan kanal ion klorida. Mekanisme
aksi obat ini dengan memperpanjang durasi pembukaan kanal ion klorida dan
memaksimalkan aliran.
Barbiturat menghambat sinaps GABAnergik. Barbiturat membantu kerja
GABA dimana sebagian mirip dengan kerja benzodiazepin. Pada dosis yang cukup
tinggi bersifat sebagai agonis GABAnergik, sehingga pada dosis tinggi menyebabkan
depresi SSP. Pada penggunaan dosis rendah, obat menimbulkan efek sedatif, yaitu
penurunan respon terhadap tingkat rangsangan yang tetap dengan penurunan
aktivitas. Pemberian dengan dosis lebih tinggi menyebabkan efek hipnotik.
Hewan uji yang diberikan injeksi natrium tiopental akan mengalami efek tidur,
dimana diamati dari hilangnya reflek balik badan. Cara pengecekan reflek balik badan
adalah, dengan membalikkan badan mencit yang sudah terlihat tidur. Jika tidak
membalikkan badan, maka reflek balik badan sudah tidak ada.
Dalam percobaan, mencit diberi tanda di ekornya untuk memudahkan pengamatan
saat pemberian obat. Sebelum diberikan obat, terlebih dahulu mencit ditimbang satu per
satu kemudian ditentukan dosis Natrium Thiopental yang akan diberikan dengan rute
pemberian yang berbeda-beda.
Volume pemberian Natrium Thiopental pada setiap rute pemberian berbeda-beda
karena menyesuaikan dengan dosis maksimum tiap rute pemberian. Metabolisme mencit
akan terganggu jika cairan yang disuntikkan ke dalam tubuh terlalu pekat, karena cairan
mengalami difusi ke dalam sel dan mencit akan mengalami over dosis. Sebaliknya, pada
pemberian larutan yang terlalu encer dan volume melebihi volume maksimal yang boleh
diberikan, cairan intrasel dari mencit akan keluar dari sel.
Terdapat empat rute pemberian obat pada praktikum kali ini, yaitu per oral, sub
kutan, intra muscular, dan intra peritoneal. Berikut ini penjelasan dari metode pemberian
obat yang dilakukan :
A. Peroral
Pada pemberian Natrium Thiopental secara peroral menggunakan jarum yang
berujum tumpul. Jarum diinjeksikan melalui kerongkongan langsung menuju ke
lambung. Pada pemberian secara per oral harus dilakukan dengan hati-hati dan
dimasukkan secara perlahan-lahan. Pastikan bahwa jarum masuk ke dalam
kerongkongan dan tidak masuk kedalam tenggorokan karena dapat menyebabkan
kematian hewan uji karena obatnya masuk ke dalam saluran pernafasan. Untuk
memastikan bahwa jarum masuk ke kerongkongan dan bukan masuk ke tenggorokan
adalah dengan tidak adanya halangan saat jarum masuk ke kerongkongan. Jarum
dapat masuk dengan leluasa tanpa terhalang apapun.
Pemberian obat secara peroral berdasarkan sistem sirkulasi sistemik tergolong
ekstravasikuler karena tidak langsung melalui pembuluh darah, tetapi melalui saluran
cerna untuk selanjutnya diabsorpsi dan menimbulkan efek. Cara pemberian ini
merupakan cara yang paling sering digunakan. Namun, memerlukan rute yang paling
lama untuk dapat menimbulkan efek. Sedangkan waktu durasi obat lebih pendek
dibandingkan dengan cara pemberian lain karena sebagian besar obat telah
diabsorbsi di sepanjang jalan pencernaan yang dilewati sehingga jumlah dan kadar
obat yang mencapai tempat aksi sedikit. Durasi oral akan mengalami first pass effect
yaitu perubahan obat dalam proses absorbsi sebelum mencapai sirkulasi sistemik.
First passs effect bisa terjadi disaluran pencernaan (lambung dan usus) dan vena
portal (liver). Pada saluran pencernaan terjadi pengerusakan oleh enzim-enzim
pencernaan. Sedangkan pada liver terjadi metabolisme obat menjadi metabolit yang
umumnya lebih aktif daripada obatnya, sehingga jumlah obat yang diabsorbsi akan
menjadi lebih sedikit, sehingga kadar obat dalam plasma darah (bioavibilitas) sedikit
tidak mencukupi untuk menimbulkan efek farmakologi tertentu.
Pada percobaan ini, mencit yang diberikan obat secara peroral tidak tertidur.
Hal ini dapat disebabkan karena tidak tercapainya KEM (Konsentrasi Efek
Minimum) obat. KEM adalah konsentrasi minimum obat dalam darah, dimana pada
konsentrasi tersebut obat dapat memberikan efek terapeutik. Selain itu, dapat juga
karena adanya makanan dalam lambung mencit sehingga absorpsi obat berkurang.
B. Subkutan
Subkutan merupakan cara pemberian obat dengan menginjeksikan obat ke
bawah jaringan kulit (antara kulit dengan otot) pada tengkuk mencit. Pemberian
secara sub kutan termasuk pemberian parenteral. Di gunakan untuk obat yang
absorbsinya buruk melalui saluran cerna dan untuk obat seperti insulin yang tidak
stabil dalam saluran cerna.
Kecepatan obat memasuki sirkulasi sistemik dalam cara pemberian ini
ditentukan oleh kecepatan aliran darah dalam pembuluh darah kapiler. Daerah
subkutan mempunyai suplai darah yang baik dari kapiler-kapiler dan pembuluh
limpa. Setelah obat masuk ke dalam tubuh mencit, maka obat akan masuk ke dalam
cairan tubuh dan memberikan efek sistemik. Mekanisme perlintasan membran
sendiri terjadi secara difusi pasif yang disebabkan oleh gradien konsentrasi. Difusi
ini terjadi dalam jaringan penghubung yang berada di bawah daerah subkutan.
Jaringan seluler subkutan akan lebih lamban daripada intramuscular. Tidak seperti
pada pemberian injeksi intravena, dimana obat tidak mengalami absorpsi terlebih
dahulu (tidak mengalami first pass metabolism) setelah mengalami difusi melalui
jaringan penghubung baru kemudian mengalami distribusi dan menimbulkan efek.
Absorpsi ini terjadi sangat lambat dan konstan karena penyuntikan dilakukan di
jaringan lemak, dan natrium thiopental memiliki sifat larut dalam lemak, sehingga
efek tahan lama (durasi lebih panjang). Absorpsi ini biasanya lebih cepat di vastus
lateralis daripada pada gluteus maximus.
Onset pada cara pemberian melalui subkutan adalah 1 jam 18 menit 58 detik,
sedangkan durasinya adalah 12 menit 15 detik. Onset yang terjadi lebih cepat
daripada peroral tapi lebih lambat daripada intraperitonial dan intramuskular.
C. Intra Muscular
Merupakan pemberian obat yang disuntikkan ke dalam otot paha (gluteus
maximus). Penyuntikan dilakukan hingga mengenai jaringan otot atau serat lintang
yang banyak dialiri darah. Penyuntikan sebaiknya tidak terlalu dalam dan tidak
terlalu dekat dengan kulit.
Otot merupakan jaringan yang terletak dibawah kulit dan terdapat pembuluh
kapiler dibawah jaringan otot. Kapiler darah dibawah otot lebih banyak dibandingkan
pada subcutan. Sehingga kecepatan absorbsi tergantung pada pasokan darah dari
jaringan. Pasokan dari otot tergantung dari aktivitas otot tersebut. Mekanisme kerja
obat hingga sampai kereseptor pada dasarnya hampir sama dengan mekanisme pada
subcutan. Cara pemberian ini juga memperkecil adanya first pass effect.
Onset pada pemberian obat melalui intramuskular adalah 39 menit 7 detik,
sedangkan durasinya adalah 15 menit 12 detik. Onset yang terjadi lebih cepat
daripada peroral dan suncutan tapi lebih lambat daripada intraperitonial dan
intramuskular.
D. Intra Peritonial
Pemberian obat secara intra peritoneal dilakukan dengan menginjeksikan
obatpada rongga perut tanpa mengenai usus ataupun hati, karena dapat
mengakibatkan kematian.Cara pemberian ini cukup efektif bila dibandingkan dengan
cara per oral, sub cutan, maupun intra peritonial. Rongga perut memiliki pembuluh
kapiler darah yang jauh lebih banyak. Hal ini dikarenakan letaknya yang berdekatan
dengan saluran pencernaan dimana proses absorbsi obat maupun zat-zat makanan
yang dimasukkan secara per oral terjadi.
Onset pada pemberian obat melalui intraperitonial adalah 2 menit 3 detik,
sedangkan durasinya tidak diperoleh karena mencit tidak bangun. Hal ini dapat
disebabkan karena kesalahan dalam penyuntikan sehingga melukai organ dalam
mencit dan akhirnya mencit tidak bangun.
Pada percobaan ini, diperoleh nilai onset berturut-turut dari yang paling cepat adalah
intra peritonial, intra muskular, sub kutan, lalu per oral. Hal ini sesuai dengan teori.
Sedangkan pada durasi, tidak terdapat teori yang pasti karena durasi obat juga dapat
dipengaruhi oleh kondisi fisik tiap mencit yang berbeda-beda. Pada percobaan, diperoleh
durasi berturut-turut dari yang tercepat adalah intra muskular, lalu sub kutan.
Analisis Data Statistika
Data hasil praktikum ini dianalisis dengan uji analisa varian pola searah (ANOVA)
dengan taraf kepercayaan 95 % dan p = 0,05. Pengujian dilakukan dengan uji Shapiro-
Wilk, karena jumlah data (N) kurang dari 50. Pengujian menggunakan aplikasi SPSS.
Langkah 1 : Menguji normalitas distribusi data
Diperoleh output sebagai berikut:
Hipotesis
H0 = Distribusi sampel normal
H1 = Distribusi sampel tidak normal
Pengambilan Keputusan
Jika probabilitas > 0,05 ; maka H0 diterima distribusi sampel normal
Jika probabilitas < 0,05 ; maka H0 ditolak distribusi sampel tidak normal
Berdasarkan tabel Tests of Normality Shapiro-Wilk untuk N<50, dengan N = 15 :
Nilai sig. (significance) onset > 0.05; maka H0 diterima, distribusi sampel normal
Nilai sig. (significance) durasi > 0.05 ; maka H0 diterima, distribusi sampel normal
Langkah 2 : Dilakukan Test of Homogeneity of Variances
Metode ini digunakan untuk melihat apakah sampel-sampel data mempunyai varian
yang sama.
Tests of Nor mality
,364 3 . ,801 3 ,116
,301 3 . ,912 3 ,425
,252 3 . ,965 3 ,640
,304 3 . ,908 3 ,411
,308 3 . ,902 3 ,391
,334 3 . ,860 3 ,267
,250 3 . ,967 3 ,651
,223 3 . ,985 3 ,765
Perlakuan
P.O
S.C
I.M
I.P
P.O
S.C
I.M
I.P
Onset
Duras i
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
Lilliefors Signif icance Correctiona.
ANOVA
1108598 3 369532,667 ,134 ,937
21997751 8 2749718,833
23106349 11
684042,9 3 228014,306 ,149 ,928
12280100 8 1535012,500
12964143 11
Betw een Groups
Within Groups
Total
Betw een Groups
Within Groups
Total
Onset
Duras i
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Diperoleh output sebagai berikut:
Hipotesis
H0 = Varian dari sampel-sampel adalah identik
H1 = Varian dari sampel-sampel adalah tidak identik
Pengambilan Keputusan
Jika probabilitas > 0,05 ; maka H0 diterima varian dari sampel-sampel adalah
identik
Jika probabilitas < 0,05 ; maka H0 ditolak varian dari sampel-sampel adalah tidak
identik
Berdasarkan tabel Test of Homogeneity of Variances :
Nilai sig. (significance) onset > 0.05; maka H0 diterima, varian dari sampel-sampel
adalah identik
Nilai sig. (significance) durasi > 0.05 ; maka H0 diterima, varian dari sampel-sampel
adalah identik
Langkah 3 : dilakukan uji One Way ANOVA
Uji ANOVA dilakukan setelahuji normalitas distribusi dan varian dilakukan. Uji
ANOVA bertujuan untuk menguji pakah keempat rute pemberian mempunyai rata-rata
(mean) yang sama baik untuk onset maupun durasinya.
Diperoleh output sebagai berikut:
Test of Homogeneity of Variances
2,150 3 8 ,172
,411 3 8 ,750
Onset
Durasi
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
Hipotesis
H0 = Distribusi rata-rata populasi adalah identik.
H1 = Distribusi rata-rata populasi adalah tidak identik.
Pengambilan Keputusan
Jika probabilitas > 0,05 ; maka H0 diterima distribusi rata-rata populasi adalah
identik
Jika probabilitas < 0,05 ; maka H0 ditolak distribusi rata-rata populasi adalah
tidak identik
Berdasarkan tabel One Way ANOVA:
Nilai sig. (significance) onset > 0.05; maka H0 diterima, distribusi rata-rata populasi
adalah identik
Nilai sig. (significance) durasi > 0.05 ; maka H0 diterima, distribusi rata-rata populasi
adalah identik
Hasil ini dipertegas dengan analisis Post Hoc (Tukey HSD Multiple Comparison)
berikut :
Multiple Com parisons
-67,33333 1353,937 1,000 -4403,1168 4268,4501
-52,33333 1353,937 1,000 -4388,1168 4283,4501
659,66667 1353,937 ,960 -3676,1168 4995,4501
67,33333 1353,937 1,000 -4268,4501 4403,1168
15,00000 1353,937 1,000 -4320,7834 4350,7834
727,00000 1353,937 ,947 -3608,7834 5062,7834
52,33333 1353,937 1,000 -4283,4501 4388,1168
-15,00000 1353,937 1,000 -4350,7834 4320,7834
712,00000 1353,937 ,950 -3623,7834 5047,7834
-659,66667 1353,937 ,960 -4995,4501 3676,1168
-727,00000 1353,937 ,947 -5062,7834 3608,7834
-712,00000 1353,937 ,950 -5047,7834 3623,7834
-67,33333 1353,937 ,962 -3189,5181 3054,8514
-52,33333 1353,937 ,970 -3174,5181 3069,8514
659,66667 1353,937 ,639 -2462,5181 3781,8514
67,33333 1353,937 ,962 -3054,8514 3189,5181
15,00000 1353,937 ,991 -3107,1847 3137,1847
727,00000 1353,937 ,606 -2395,1847 3849,1847
52,33333 1353,937 ,970 -3069,8514 3174,5181
-15,00000 1353,937 ,991 -3137,1847 3107,1847
712,00000 1353,937 ,613 -2410,1847 3834,1847
-659,66667 1353,937 ,639 -3781,8514 2462,5181
-727,00000 1353,937 ,606 -3849,1847 2395,1847
-712,00000 1353,937 ,613 -3834,1847 2410,1847
-273,66667 1011,604 ,993 -3513,1772 2965,8439
397,33333 1011,604 ,978 -2842,1772 3636,8439
62,66667 1011,604 1,000 -3176,8439 3302,1772
273,66667 1011,604 ,993 -2965,8439 3513,1772
671,00000 1011,604 ,908 -2568,5105 3910,5105
336,33333 1011,604 ,986 -2903,1772 3575,8439
-397,33333 1011,604 ,978 -3636,8439 2842,1772
-671,00000 1011,604 ,908 -3910,5105 2568,5105
-334,66667 1011,604 ,987 -3574,1772 2904,8439
-62,66667 1011,604 1,000 -3302,1772 3176,8439
-336,33333 1011,604 ,986 -3575,8439 2903,1772
334,66667 1011,604 ,987 -2904,8439 3574,1772
-273,66667 1011,604 ,794 -2606,4285 2059,0952
397,33333 1011,604 ,705 -1935,4285 2730,0952
62,66667 1011,604 ,952 -2270,0952 2395,4285
273,66667 1011,604 ,794 -2059,0952 2606,4285
671,00000 1011,604 ,526 -1661,7619 3003,7619
336,33333 1011,604 ,748 -1996,4285 2669,0952
-397,33333 1011,604 ,705 -2730,0952 1935,4285
-671,00000 1011,604 ,526 -3003,7619 1661,7619
-334,66667 1011,604 ,749 -2667,4285 1998,0952
-62,66667 1011,604 ,952 -2395,4285 2270,0952
-336,33333 1011,604 ,748 -2669,0952 1996,4285
334,66667 1011,604 ,749 -1998,0952 2667,4285
(J) Perlakuan
S.C
I.M
I.P
P.O
I.M
I.P
P.O
S.C
I.P
P.O
S.C
I.M
S.C
I.M
I.P
P.O
I.M
I.P
P.O
S.C
I.P
P.O
S.C
I.M
S.C
I.M
I.P
P.O
I.M
I.P
P.O
S.C
I.P
P.O
S.C
I.M
S.C
I.M
I.P
P.O
I.M
I.P
P.O
S.C
I.P
P.O
S.C
I.M
(I) Perlakuan
P.O
S.C
I.M
I.P
P.O
S.C
I.M
I.P
P.O
S.C
I.M
I.P
P.O
S.C
I.M
I.P
Tukey HSD
LSD
Tukey HSD
LSD
Dependent Variable
Onset
Duras i
Mean
Dif ference
(I-J) Std. Error Sig. Low er Bound Upper Bound
95% Conf idence Interval
Terlihat dari kolom Mean difference, bahwa seluruh data tidak berbeda bermakna. Jika
ada data yang menunjukkan perbedaan signifikan, akan ada tanda asterik (*) pada angka
di kolom tersebut. Selain itu, dari kolom signifikansi (Sig.) juga dapat dilihat bahwa
rata-rata keempat rute pemberian varian tidak berbeda signifikan (p atau Sig. > 0,05)
dan H0 pada durasi maupun onset diterima.
Uji Homogeneous Subsets
Uji Homogeneous subsets digunakan untuk merangkum perbedaan rata-rata. Grup rata-
rata yang tidak berbeda satu sama lain (Sig. < 0,05) akan berada dalam satu kolom.
Sedangkan, grup rata-rata yang berbeda satu sama lain, akan berada pada kolom
berbeda.
Diperoleh output sebagai berikut :
Hipotesis
H0 = Data percobaan adalah tidak berbeda bermakna
H1 = Data percobaan adalah berbeda bermakna
Pengambilan Keputusan
Onset
3 1514,0000
3 2173,6667
3 2226,0000
3 2241,0000
,947
Perlakuan
I.P
P.O
I.M
S.C
Sig.
Tukey HSDa
N 1
Subset
for alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.a.
Durasi
3 1143,3333
3 1478,0000
3 1540,6667
3 1814,3333
,908
Perlakuan
I.M
I.P
P.O
S.C
Sig.
Tukey HSDa
N 1
Subset
for alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.a.
Jika probabilitas > 0,05 ; maka H0 diterima data percobaan adalah tidak berbeda
bermakna
Jika probabilitas < 0,05 ; maka H0 ditolak data percobaan adalah berbeda
bermakna
Berdasarkan tabel Homogeneous subsets:
Nilai sig. (significance) onset > 0.05; maka H0 diterima, data percobaan tidak berbeda
bermakna
Nilai sig. (significance) durasi > 0.05 ; maka H0 diterima, data percobaan tidak
berbeda bermakna
Dari hasil analisis data secara statistik, diperoleh bahwa tidak ada perbedaan yang
nyata (signifikan) antara onset maupun durasi dari keempat cara pemberian obat. Hal ini
menunjukkan bahwa kecepatan absorbs obat yang mempengaruhi onset dan durasi tidak
hanya dipengaruhi oleh cara pemberian, melainkan faktor-faktor lain yang salah satunya
adalah faktor biologis dari mencit itu sendiri.
VII. Jawaban Pertanyaan
1. Apakah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi absorbsi obat dari saluran cerna?
Jawab:
a. Faktor obat
o Kemampuan obat melintasi membran sel saluran cerna yang tersusun atas lipid
bilayer.
o Kelarutan obat.
Agar dapat diabsorbsi, obat harus dapat larut dan melepaskan zat aktifnya, kecuali
bila obat sudah dalam bentuk larutan saat diberikan ke dalam tubuh. Obat yang
diberikan dalam bentuk larutan akan lebih cepat diabsorbsi karena tidak perlu
melewati fase pelarutan. Obat yang sukar larut dan sukar teion (bentuk molekul)
lebih mudah diabsorbsi oleh membran lipid, sesuai prinsip “like disolves like”.
o Bentuk sediaan obat.
Kecepatan absorbsi obat tergantung pada kecepatan pelepasan obat dari bahan
pembawa bentuk obat dan juga kelarutan dalam cairan tubuh. Bentuk sediaan
berpengaruh terhadap kecepatan penyerapan obat yang secara tidak langsung
mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Ukuran partikel bentuk sediaan
mempengaruhi penyerapan obat. Makin kecil ukuran partikel makin besar luas
permukaan yang bersinggungan dengan pelarut sehingga kecepatan larut obat
semakin besar.
o pKa obat atau pKb obat.
o Kemempuan difusi obat
Obat lipofilik akan dapat berdifusi melewati membran sel yang tersusun oleh
lipid.
o Konsentrasi obat
Semakin tinggi dosis obat akan lebih cepat diabsorbsi sampai batas dosis
maksimal saat seluruh reseptor sudah ditempati oleh molekul.
o Banyak ikatan dengan depot
Semakin banyak ikatan dengan depot, obat yang diabsorbsi target semakin sedikit.
b. Faktor penderita
o Sirkulasi darah pada tempat absorbs
o Rute penggunaan obat.
o Luas area untuk diabsorbsi
o Umur penderita
o Kecepatan transit obat di lumbung dan usus
o Tegangan permukaan
o Kemampuan obat melewati hepar
2. Jelaskan bagaimana cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi obat!
Jawab:
Onset adalah waktu yang diperlukan untuk dimulainya efek obat, sejak obat
diberikan sampai muncul efek. Durasi adalah waktu yang diperlukan obat mulai
terjadinya efek hingga efek itu hilang (lamanya efek).
Onset akan ditentukan oleh lamanya absorbsi. Lamanya absorbsi tergantung pada
jalur perjalanan obat sampai ke tempat aksinya. Untuk cara pemberian obat yang
mempunyai jalur perjalanan panjang, misalnya per oral maka absorbsi obatnya pun lama
dan onset atau timbulnya efek juga lama. Hal ini berkebalikan dengan cara pemberian
secara intravena dimana obat tidak perlu mengalami absorbsi, tetapi langsung masuk ke
sirkulasi darah. Cara pemberian juga akan mempengaruhi durasi obat karena durasi obat
tergantung dari banyak sedikitnya obat yang diabsorbsi. Makin banyak obat yang
diabsorbsi pada daerah target aksi, makin lama durasi obatnya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi.
3. Jelaskan keuntungan dan kerugian masing-masing cara pemberian obat!
Jawab:
Cara
pemberian
Keuntungan Kerugian
Per oral o Mudah diberikan dan
bisa dilakukan sendiri
oleh pasien
o Tidak memerlukan
keahlian khusus serta
tidak memerlukan
komplikasi yang
berkaitan dengan jarum
o Relatif aman
o Praktis
o Tidak memerlukan
sterilitas tinggi
o Lebih ekonomis
o Timbulnya efek lama (onset
lama)
o Tidak sesuai bagi pasien yang
muntah, diare, tidak sadar, dan
tidak kooperatif
o Kurang cocok untuk obat yang
rasanya tidak enak dan iritatif
o Mengalami metabolisme lintas
pertama sebelum benar-benar
didistribusi ke tempat aksi
sehingga kadar zat aktifnya
berkurang
o Absorbsi bervariasi dan kadar
obat dalam darah tidak bisa
diprediksikan
Sub cutan o Kerja obat terus
menerus, long time
release
o Kecepatan absorbsi obat
seragam
o Berguna pada kondisi
darurat
o Absorbsi tergantung pada aliran
darah
o Tidak cocok untuk obat yang
mengiritasi
o Tidak boleh digunakan untuk
obat yang iritatif dan dicampur
dengan vasokonstriktor
Intra muscular o Kecepatan absorbsi obat
seragam
o Onset pendek
o Cocok untuk obat yang
o Lokal iritasi di tempat injeksi
o Kecepatan absorbsi tergantung
kecepatan aliran darah ke otot
o Perlu keahlian khusus dalam
iritatif bila diberikan
secara sub cutan
o Obat dilepas pelan-
pelan
pemakaian obat
o Jika ada efek toksik sukar
dihindari
Intra
peritoneal
o Absorbsi paling cepat
jika dibandingkan
dengan pemberian i.m,
s.c, dan p.o
o Sesuai bagi pasien yang
sukar menelan obat
o Cara pemberiannya berbahaya
dan hanya boleh dilakukan pada
hewan
o Kemungkinan infeksi sangat
besar
VIII. Kesimpulan
1. Cara pemberian obat mempengaruhi absorpsi yang pada akhirnya mempengaruhi
onset dan durasi.
2. Kecepatan absorpsi obat dipengaruhi oleh sifat kelarutan obat dalam air atau lipid.
3. Efek obat dapat terjadi bila kadar obat dalam darah melampaui KEM.
4. Pada percobaan ini, digunakan Na-thiopental yang merupakan obat golongan
barbiturat yang memberikan efek sedatif-hipnotik.
5. Secara teoritis, urutan waktu onset menurut cara pemberian adalah i.p < i.m < s.c <
p.o.
6. Dari hasil praktikum, diperoleh urutan waktu onset menurut cara pemberian, yaitu i.p
< i.m < s.c.
7. Durasi obat tiap pemberian tidak bisa diprediksi, karena juga dipengaruhi oleh kondisi
fisik masing-masing mencit.
IX. Daftar Pustaka.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Ernest, Mutschler, 1991, DinamikaObat, Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi Edisi
V, ITB Press, Bandung.
Hollinger, M.A., 2003, Introduction to Pharmacology, 2nd
Ed, Taylor & Francis Group,
Philadelphia
Kee, J.L., dan Evelyn R. Hayes, 1994, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Siswandono, MS dan Bambang Soekardjo, SU, 1995, Kimia Medisinal 1, Airlangga
University Press, Surabaya.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan,
dan Efek-Efek Sampingnya, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Yogyakarta, 27 Maret 2013
Mengetahui, Praktikkan,
Asisten Praktikum
Anggita Tyaswuri (09305) ………..
Naisbitt Iman H. (09308) ………..
Candra Kirana M. (09311) ………..
Lusy Andriani (09314) ………..