Download - 2-Fenomena Gempa
Bab 2.Fenomena Gempa
2.1 Pendahuluan
Geofisika adalah bidang ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena fisik yang yang
berhubungan dengan kebumian. Seismologi adalah cabang dari ilmu geofisika yang
mempelajari mekanisme terjadinya gempa serta gelombang seismik yang ditimbulkannya,
sedangkan orang yang mempelajari seimologi disebut seimolog. Dari sudut pandang
rekayasa bangunan, seimologi diharapkan dapat memberikan data atau informasi yang
akurat untuk memperkirakan pengaruh gempa yang perlu dipertimbangkan pada
perancangan struktur bangunan. Seimologi juga memberikan konstribusi yang penting bagi
kita untuk dapat memahami struktur bagian dalam dari bumi.
Kerusakan yang dapat ditimbulkan gempa tergantung dari besar (magnitude) dan
lamanya gempa, atau banyaknya getaran yang terjadi. Desain struktur dan material yang
digunakan untuk konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap intensitas
kerusakan yang terjadi. Tingkat kekuatan gempa bervariasi mulai dari getaran yang ringan,
sedang, sampai getaran kuat yang dapat dirasakan sampai ribuan kilometer. Gempa dapat
menyebabkan perubahan bentuk dari permukaan bumi, menyebabkan runtuhnya struktur
bangunan, atau menyebabkan terjadinya gelombang pasang yang besar (tsunami). Akibat
kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa akan menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan
kerugian harta benda dalam jumlah yang banyak.
Di seluruh dunia, gempa dapat terjadi ratusan kali setiap harinya. Suatu jaringan alat
seismograph (alat untuk mencatat pergerakan tanah akibat gempa) yang terpasang di
seluruh dunia, mendeteksi sekitar 1 juta gempa ringan terjadi setiap tahunnya. Gempa
sangat kuat (great earthquake) seperti yang terjadi pada 1964 di Alaska yang
mengakibatkan kerugian jutaan dollar, terjadi sekali dalam beberapa tahun. Gempa-gempa
kuat (major earthquake) seperti yang terjadi di Loma Prieta, California pada 1989 dan di
Kobe, Jepang pada 1995, dapat terjadi 20 kali setiap tahunnya. Gempa kuat juga dapat
menyebabkan banyak kerugian materi dan korban jiwa.
Dalam 500 tahun terakhir, gempa telah menyebabkan jutaan korban jiwa di seluruh
dunia, termasuk 240000 korban saat terjadi gempa Tang-Shan di Cina pada 1976. Gempa
juga mengakibatkan kerugian properti dan kerusakan struktur. Persiapan-persiapan yang
memadai seperti pendidikan atau sosialisasai mengenai bahaya gempa, perancangan
Fenomena Gempa II-1
keselamatan saat terjadi gempa, perkuatan struktur bangunan yang sudah berdiri dan desain
struktur bangunan tahan gempa, dapat mengurangi jumlah korban jiwa dan kerusakan
infrastruktur yang disebabkan oleh gempa.
2.2 Interior Bumi
Seismolog juga mempelajari gempa untuk mengungkap lebih jauh mengenai struktur
bagian dalam (interior) dari bumi. Gempa memberikan kesempatan bagi ilmuwan untuk
melakukan observasi bagaimana bagian dalam dari bumi merespon ketika gelombang
gempa melewatinya. Mengukur kedalaman dan struktur geologi di dalam bumi dengan
menggunakan gelombang gempa adalah lebih sulit dibandingkan dengan mengukur jarak
pada permukaan bumi. Dengan menggunakan gelombang gempa, seismolog mendapatkan
gambaran mengenai susunan dari interior bumi yang terdiri dari 4 bagian, yaitu :
permukaan bumi (crust), selimut bumi (mantle), inti bagian dalam (inner core) dan inti
bagian luar (outer core). Susunan bagian dalam bumi diperlihatkan pada Gambar 2-1
Gambar 2-1. Susunan struktur bagian dalam bumi
Studi yang intensive terhadap gempa dimulai pada akhir abad ke 19, dimana pada
saat itu mulai banyak dipasang jaringan alat seismogragh untuk melakukan observasi di
seluruh dunia. Pada 1897, ilmuwan mendapatkan cukup banyak seismogram gempa yang
mengindikasikan bahwa gelombang gempa P dan S telah menjalar jauh sampai ke dalam
bumi. Dengan mempelajari perilaku perambatan gelombang gempa P dan S ini, seismolog
menemukan suatu struktur lapisan geologi yang besar di bagian dalam bumi. Dengan
Fenomena Gempa II-2
menggunakan hasil pengukuran ini, seismolog mulai menginterpretasikan struktur geologi
bumi yang dilewati oleh gelombang P dan S.
Berdasarkan pengamatan terhadap pola perambatan gelombang P dan S, pada 1904
seimolog dari Croatia A. Mohorovicic menyebutkan bahwa pada bagian luar bumi terdapat
suatu lapisan permukaan (crust) di atas lapisan batuan yang keras. Dia berpendapat bahwa
di dalam bumi, gelombang gempa dipantulkan secara tidak menerus (discontinue) akibat
adanya perubahan sifat kimiawi atau struktur geologi batuan. Dari penemuannya ini,
lapisan pertemuan antara lapisan permukaan bumi dengan lapisan selimut bumi (mantle) di
bawahnya,diberi nama Mohorovicic atau Moho Discontinuity.
Pada 1906, R.D. Oldham dari India menggunakan waktu kedatangan dari gelombang
P dan S untuk memastikan bahwa bumi mempunyai pusat atau inti (core) yang besar. Dia
menginterpretasikan struktur bagian dalam bumi dengan membandingkan kecepatan
rambat gelombang P terhadap gelombang S, dan diketahui bahwa perambatan gelombang
P mengalami perubahan arah akibat diskontinuitas seperti pada Moho Discontinuity.
Pada 1914, dengan menggunakan waktu perambatan dari gelombang gempa yang
dipantulkan dari batas antara selimut dan inti bumi, seismolog Beno Gutenberg dari Jerman
dapat memperkirakan besarnya radius dari inti bumi yaitu sekitar 3500 km. Pada 1936
seismolog Inge Lehmann dari Dermark menemukan pusat struktur bumi yang lebih kecil
yang dikenal sebagai inti bagian dalam (inner core) bumi. Dengan mengukur waktu
kedatangan gelombang gempa yang diakibatkan oleh gempa yang terjadi di Pasific Selatan
(South Pasific), dia dapat memperkirakan besarnya radius inti bagian dalam bumi sebesar
1216 km. Pada saat gelombang gempa merambat melewati bumi dan mencapai pusat
observatori gempa di Denmark, dia mendapatkan kesimpulan bahwa kecepatan dan waktu
kedatangan gelombang gempa telah mengalami pembelokan oleh inti bumi bagian dalam.
Pada penelitian-penelitian lebih lanjut terhadap gelombang gempa, seismolog menemukan
fakta bahwa inti bagian luar (outer core) dari bumi merupakan cairan, sedangkan inti
bagian dalam bumi terdiri dari benda padat.
Seperti sudah dijelaskan di atas, bumi terdiri dari beberapa lapisan yaitu lapisan
permukaan bumi, selimut bumi, inti bagian dalam dan bagian luar. Lapisan lithosphere
setebal kurang lebih (50-100) km adalah bagian dari lapisan permukaan dan lapisan selimut
bumi bagian atas, dan merupakan lapisan batuan sangat padat. Di atas lapisan lithosphere
ini terdapat benua (continent) dan lautan (ocean). Di bawah lapisan lithosphere terdapat
lapisan asthenosphere yang merupakan lapisan batuan kurang padat. Lapisan ini
Fenomena Gempa II-3
mengelilingi lapisan mantle. Lapisan lithosphere bumi patah menjadi lebih kurang dua
puluh keping bagian yang disebut pelat tektonik (plate tectonic). Pelat-pelat tektonik ini
mengambang di atas lapisan asthenosphere, dan secara perlahan bergerak. Secara periodik
beberapa pelat akan saling berbenturan satu dengan yang lainnya, dan dapat menyebabkan
patahan pada permukaan bumi. Tumbukan antara pelat dapat memicu timbulnya gempa.
Gambar 2-2. Lapisan Lithosphere dan Asthenosphere
2.3 Pelat Tektonik
Jika gempa vulkanik terjadi akibat aktifitas gunung berapi, maka gempa tektonik
terjadi akibat benturan antara pelat-pelat tektonik yang terdapat pada lapisan luar dari
bumi. Menurut teori pelat tektonik, lapisan terluar dari bumi terdiri dari pelat-pelat batuan
yang saling bergerak relatif satu dengan yang lainnya. Teori ini diformulasikan pada awal
1960, dan merupakan suatu penemuan yang baru di bidang geologi. Dengan menggunakan
teori ini, para ilmuwan dapat secara ilmiah menjelaskan beberapa fenomena geologi seperti
letusan gunung berapi, mekanisme terdinya gempa, terbentuknya pegunungan, serta
formasi dari lautan dan benua.
Teori pelat tektonik dikembangkan dari teori yang diusulkan oleh ilmuwan German
Alfred Wegener pada 1921. Dengan melihat bentuk dari benua-benua yang ada sekarang
ini dan dengan bukti-bukti geologi yang ditemukan di setiap benua, ia mengembangkan
suatu teori mengenai benua yang lepas (continental drift).
Fenomena Gempa II-4
Teori continental drift diawali dengan pendapat bahwa pada masa lalu benua-benua
yang ada di bumi ini pernah bergabung menjadi satu membentuk benua yang sangat besar
(supercontinent) yang disebut Pangaea.
Gambar 2-3 menunjukkan formasi benua pada 200 juta tahun yang lalu ketika semua
benua masih berkumpul menjadi satu. Sekitar 160 juta tahun yang lalu Pangaea terpecah
menjadi dua benua yang besar yaitu Laurasia dan Gondwaland. Setelah sekian lama, kedua
benua besar tersebut pecah menjadi beberapa benua dengan dengan bentuk yang seperti
yang terlihat sekarang. Diperkirakan perubahan formasi dari benua-benua akan terus
berlangsung. Pada gambar juga diperlihatkan prediksi dari formasi benua pada 60 juta
tahun mendatang.
Para ahli geologi pada 1960 menemukan bukti yang mendukung ide dari pelat
tektonik dan pergerakannya. Mereka menggunakan teori dari Wegener pada berbagai aspek
dari perubahan bumi, dan menggunakan bukti-bukti ini untuk memperkuat teori mengenai
benua yang lepas. Pada 1968 para ilmuwan menggabungkan banyak kejadian geologi pada
suatu teori yang disebut Global Tektonik Baru (New Global Tectonics) atau lebih dikenalal
dengan nama Pelat Tektonik.
Saat ini terdapat tujuh buah pelat tektonik yang besar dan beberapa pelat yang
berukuran lebih kecil. Beberapa pelat yang besar meliputi pelat Pasific, pelat North
American, pelat Eurasian, pelat Antartica, dan pelat Africa. Pelat yang lebih kecil tediri
dari pelat Cocos, pelat Nazca, pelat Caribean, pelat Philippine.
Gambar 2-4. Pelat-pelat tektonik bumi
Fenomena Gempa II-6
Ukuran dari pelat tektonik sangat bervariasi, sebagai contoh, pelat Cocos mempunyai
lebar 2000 km, sedangkan pelat Pacific yang merupakan pelat yang terbesar mempunyai
ukuran lebar 14000 km.
Para ahli geologi mempelajari bagaimana pelat-pelat tektonik tersebut dapat bergerak
relatif terhadap suatu tempat yang tetap pada lapisan mantel, dan pergerakan relatif antara
satu pelat tektonik dengan pelat lainnya. Tipe gerakan yang pertama dari pelat tektonik
disebut gerakan absolut, dan gerakan ini dapat menjebabkan terbentuknya rangkaian
gunung berapi. Tipe gerakan yang kedua disebut gerakan relatif, dan gerakan ini dapat
menyebabkan berbagai bentuk perubahan permukaan bumi.
Teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya pergerakan-pergerakan
pelat-pelat tektonik bumi adalah teori Sea Floor Spreading yang dikembangkan oleh F. J.
Vien dan D. H. Mathews pada 1963. Teori ini menyatakan bahwa permukaan bumi
seluruhnya tertutup oleh lebih kurang 20 lapisan lithospere, yaitu lapisan batuan yang
berbentuk pelat-pelat tektonik yang mempunyai ukuran berbeda-beda serta tebalnya
berkisar antara 50–100 km.
Karena lapisan permukaan bumi dengan ketebalan (50-100) km mempunyai
temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan didalamnya, yaitu lapisan
asthenosphere yang terdiri selimut bumi dan inti bumi, maka akan terjadi aliran konveksi
dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke daerah temperatur rendah atau
sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang untuk menerangkan
pergeseran pelat-pelat tektonik yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa.
Benua dan lautan yang terletak di atasnya, diangkut oleh pergerakan pelat-pelat
tektonik ini akibat proses geologi. Pelat-pelat tektonik selalu bergerak antara satu dengan
yang lainnya. Pergerakan pelat-pelat tektonik ini bervariasi, dan ada yang mencapai 10
cm pertahun.
Pada perbatasan atau pertemuan antara pelat-pelat tektonik, dapat terjadi beberapa
proses geologi yaitu :
Subduction, yaitu pelat tektonik yang satu bergerak membelok ke bawah, sedangkan
pelat yang lain sedikit terangkat.
Extrusion, yaitu kedua pelat tektonik saling bergerak ke atas kemudian saling
menjauh.
Intrusion, yaitu kedua pelat tektonik saling mendekat kemudian bergerak ke bawah
Fenomena Gempa II-7
Trancursion, yaitu pelat tektonik yang satu bergerak vertikal atau horisontal terhadap
pelat yang lainnya.
2.4 Gempa Bumi
Gempa bumi (earth quake) adalah suatu gejala fisik yang ditandai dengan
bergetarnya bumi dengan berbagai intensitas. Getaran gempa dapat disebabkan oleh
banyak hal antara lain peristiwa vulkanik, yaitu getaran tanah yang disebabkan oleh
aktivitas desakan magma ke permukaan bumi atau meletusnya gunung berapi. Gempa yang
terjadi akibat aktivitas vulkanik ini disebut gempa vulkanik. Gempa vulkanik terjadi di
daerah sekitar aktivitas gunung berapi, dan akan menyebabkan mekanisme patahan yang
sama dengan gempa tektonik.
Getaran gempa dapat juga diakibatkan oleh peristiwa tektonik, yaitu getaran tanah
yang disebabkan oleh gerakan atau benturan antara lempeng-lempeng tektonik yang
terdapat di dalam lapisan permukaan bumi. Gempa yang terjadi akibat aktivitas tektonik
ini disebut gempa tektonik.
Selain gempa vulkanik dan gempa tektonik, terdapat juga gempa runtuhan, gempa
imbasan, dan gempa buatan. Gempa runtuhan disebabkan oleh runtuhnya tanah di daerah
pegunungan, sehingga akan terjadi getaran disekitar runtuhan tersebut. Gempa imbasan
biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan adalah
gempa yang sengaja dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari
bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibadingkan dengan jenis gempa
lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.
Gerakan atau getaran tanah yang terjadi akibat gempa disebabkan oleh terlepasnya
timbunan energi yang tersimpan di dalam bumi secara tiba-tiba. Energi yang terlepas ini
dapat berbentuk energi potensial, energi kinetik, energi kimia, atau energi regangan elastis.
Pada umumnya gempa-gempa yang merusak lebih banyak diakibat oleh terlepasnya energi
regangan elastis di dalam batuan (rock) di bawah permukaan bumi. Energi gempa ini
merambat ke segala arah. dan juga kepermukaan tanah sebagai gelombang gempa
(seismic wave), sehingga akan menyebabkan permukaan bumi bergetar.
Sifat merusak dari suatu gempa tergantung dari besarnya atau magnitude dan
lamanya gempa, serta banyaknya getaran yang terjadi. Perencanaan konfigurasi struktur
bangunan dan jenis material yang digunakan pada konstruksi bangunan, juga akan
berpengaruh terhadap banyaknya kerusakan struktur bangunan. Gempa dan gelombang
Fenomena Gempa II-8
gempa terjadi beberapa ratus kali setiap hari diseluruh dunia. Suatu jaringan dunia dari alat
seismograph (mesin yang mencatat gerakan tanah) medeteksi sekitar 1 juta kali gempa
kecil pertahun. Gempa sangat kuat seperti yang terjadi di Alaska pada tahun 1964 yang
menyebabkan kerugian jutaan dollar, dapat terjadi sekali setiap satu tahun. Sedangkan
gempa kuat seperti yang terjadi di Loma Prieta, California pada 1989 dan gempa Kobe di
Jepang pada 1995, terjadi rata-rata 20 kali setiap tahunnya.
Pada 500 tahun terakhir ini, jutaan orang telah meninggal dunia akibat gempa yang
terjadi diseluruh dunia, termasuk 240.000 korban jiwa yang meninggal akibat gempa Tang-
Shan di China pada 1976. Gempa-gempa yang terjadi di seluruh dunia juga telah
menyebabkan kerusakan properti dan kerusakan berbagai macam struktur bangunan.
Antisipasi awal terhadap bencana gempa seperti, pendidikan dan sosialisasi terhadap
pemahaman gempa, mitigasi, perkuatan struktur bangunan, perencanaan struktur bangunan
tahan gempa yang lebih fleksibel dan aman, dapat membatasi korban jiwa dan mengurangi
kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa.
Lapisan paling atas bumi yaitu crust atau lapisan litosfir merupakan batuan yang
relatif dingin dan bagian paling atas berada pada kondisi padat dan kaku. Di bawah lapisan
ini terdapat batuan yang jauh lebih panas yang disebut mantle. Lapisan ini sedemikian
panasnya sehingga senantiasa dalam keadaan tidak kaku dan dapat bergerak sesuai dengan
proses pendistribusian panas, yang kita kenal sebagai aliran konveksi.
Pelat-pelat tektonik yang merupakan bagian dari lapisan litosfir padat dan terapung
di atas mantel ikut bergerak satu sama lainnya. Ada tiga kemungkinan pergerakan yang
dapat terjadi antara satu pelat tektonik relatif terhadap pelat lainnya, yaitu :
Spreading, jika kedua pelat tektonik bergerak saling menjauhi
Collision, jika kedua pelat tektonik bergerak saling mendekati
Transform, jika kedua pelat tektonik bergerak saling menggeser
Jika dua buah pelat tektonik bertemu pada suatu daerah sesar atau patahan (fault),
keduanya dapat bergerak saling menjauhi, saling mendekati atau saling bergeser.
Umumnya gerakan dari pelat tektonik ini berlangsung sangat lambat dan tidak dapat
dirasakan oleh manusia, namun terukur sebesar 0 sampai 15 cm pertahun. Kadang-kadang
gerakan pelat tektonik macet dan saling mengunci, sehingga terjadi pengumpulan energi
yang berlangsung terus sampai pada suatu saat batuan pada pelat tektonik tersebut tidak
mampu lagi menahan gerakan tersebut, sehingga terjadi pelepasan energi regangan secara
Fenomena Gempa II-9
mendadak. Mekanisme pelepasan energi regangan ini yang kita kenal sebagai pemicu
terjadinya gempa tektonik.
Gempa dapat terjadi kapan saja, tanpa mengenal musim. Meskipun demikian,
konsentrasi gempa cenderung terjadi di tempat-tempat tertentu saja, seperti di daerah
pertemuan antara dua pelat tektonik. Gempa dapat terjadi dimanapun di bumi ini, tetapi
pada umumnya banyak terjadi di sekitar perbatasan antara pelat-pelat tektonik
2.5 Bencana Yang Ditimbulkan Gempa
Gempa tektonik adalah gempa yang disebabkan oleh terlepasnya energi regangan
elastis pada formasi batuan yang ada dipermukaan bumi . Salah satu teori yang dipakai
untuk menjelaskan mekanisme terjadinya gempa tektonik adalah teori Elastic Rebound
yang dikemukakan oleh Prof. H. F. Reid. Teori ini dapat dipaparkan secara sederhana
sebagai berikut : di dalam permukaan bumi senantiasa terdapat aktivitas geologis yang
mengakibatkan pergerakan relatif suatu massa batuan di dalam permukaan bumi terhadap
massa batuan lainnya. Gaya-gaya yang menimbulkan pergerakan batuan-batuan ini disebut
gaya-gaya tektonik (tectonic forces). Batuan-batuan ini bersifat elastis dan dapat
menimbun regangan bilamana ditekan atau ditarik oleh gaya-gaya tektonik. Ketika
tegangan yang terjadi pada batuan tersebut melampaui kekuatannya, maka batuan tersebut
akan hancur di daerah terlemah yang disebut patahan (fault). Batuan yang hancur tersebut
akan melepaskan sebagian atau seluruh tegangan untuk kembali ke dalam keadaan semula
yang bebas tegangan.
Gempa secara langsung tidak begitu membahayakan manusia. Ini berarti bahwa
korban jiwa tidak disebabkan karena adanya goncangan tanah yang disebabkan oleh
gempa. Kebanyakan dari bencana gempa yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian
materi diakibatkan oleh struktur bangunan yang dibuat oleh manusia. Bahaya yang
sesungguhnnya disebabkan oleh keruntuhan dari struktur bangunan, korban banjir yang
disebabkan oleh jebolnya suatu bendungan atau tanggul, longsoran batuan dan tanah pada
tebing yang curam, dan kebakaran.
2.5.1 Pengaruh Akibat Goncangan Tanah
Bencana pertama yang disebabkan oleh gempa adalah pengaruh dari goncangan
tanah. Struktur bangunan dapat mengalami kerusakan dan keruntuhan, baik oleh
goncangan itu sendiri maupun oleh lapisan tanah dibawahnya yang mengalami penurunan
elevasi (subsidence) saat terjadi gempa.
Fenomena Gempa II-10
Struktur bangunan bahkan dapat ambles ke dalam tanah ketika terjadi liquifaksi
(liquefaction). Liquifaksi adalah peristiwa tercampurnya pasir atau tanah berpasir dengan
air tanah, selama terjadi goncangan gempa. Ketika air dan pasir dicampur, lapisan ini
menjadi sangat lunak dan berperilaku seperti pasir hisap. Jika liquifaksi terjadi di bawah
suatu bangunan, dapat menyebabkan longsoran atau amblesan. Lapisan tanah bergerak ke
atas lagi setelah gempa berlalu dan air tanah kembali turun ke tempatnya yang semula.
Peristiwa liquifaksi lebih berpengaruh pada lokasi tanah berpasir dimana air tanah terletak
cukup dekat dengan permukaan tanah.
Gambar 2-5. Salah satu bagian jalan mengalami kerusakan yang parah akibat Gempa Good Friday di Alaska, 1964.
Gambar 2-6. Keruntuhan bangunan akibat likuifaksi saat terjadi gempa Kobe di Jepang, 1995.
Fenomena Gempa II-11
Struktur banguan juga dapat mengalami kerusakan akibat gelombang permukaan
yang kuat yang berasal dari dorongan dan rekahan tanah. Struktur bangunan apapun yang
berada di alur gelombang permukaan ini dapat bergeser atau roboh akibat dari pergerakan
tanah. Goncangan tanah dapat juga menyebabkan tanah longsor yang dapat merusak
bangunan atau mencederai manusia.
2.5.2 Pergeseran Tanah
Bencana utama akibat gempabumi yang kedua adalah pergeseran tanah di sepanjang
patahan. Jika sebuah bangunan seperi gedung, jembatan atau jalan dibangun melintasi
daerah patahan, maka pergeseran tanah akibat gempa akan sangat merusak dan bahkan
akan meruntuhkan bangunan tersebut.
2.5.3 Banjir
Bencana yang ketiga yang dapat ditimbulkan gempa adalah banjir. Sebuah gempa
dapat merusak tanggul atau bendungan sepanjang sungai. Air yang berasal dari sungai atau
reservoir akan membanjiri daerah tersebut dan merusak bangunan atau mungkin
menghanyutkan dan menenggelamkan orang.
Tsunami dan seiche dapat juga menyebabkan banyak kerusakan. Kebanyakan orang
menyebut tsunami sebagai ombak pasang yang sangat besar, tetapi ini tidak ada kaitannya
dengan gelombang pasang air laut biasa. Tsunami merupakan suatu gelombang yang
sangat besar disebabkan oleh gempa yang terjadi di bawah samudera. Tsunami dapat
mencapai tinggi tiga meter dan mempunyai kecepatan yang tinggi pada saat mencapai
daerah pantai, sehingga dapat menyebabkan kerusakan yang besar di daerah pantai. Seiche
adalah gelombang air sama seperti tsunami, tetapi dengan skala yang lebih kecil. Seiche
terjadi pada danau yang diakibatkan oleh gempa, dan pada umumnya hanya memiliki
tinggi setengah meter. Meskipun demikian, seiche juga dapat menyebabkan banjir.
2.5.4 Kebakaran
Bencana lainnya yang dapat diakibatkan oleh gempa adalah kebakaran. Kebakaran
ini diawali oleh terputusnya jaringan kabel listrik atau meledaknya pipa gas. Hal tersebut
dapat menjadi masalah yang serius, kususnya pada saat saluran air yang menyokonng
pompa hydrant juga terputus. Sebagai contoh terjadinya kebakaran akibat gempa adalah
terbakarnya kota San Fransisco setelah gempa kuat pada tahun 1906. Kota ini terbakar
Fenomena Gempa II-12
selama 3 hari yang menyebabkan sebagian besar kota hancur dan 250,000 penduduk
kehilangan tempat tinggal.
Gambar 2-7. Kebakaran di kota San Francisco setelah terjadi gempa kuat pada 1906 .
2.6 Cara Mempelajari Gempa
Para ahli seismologi mempelajari gempa bumi dengan cara melihat kerusakan yang
disebabkan oleh gempa dan dengan menggunakan seismograf. Seismograf adalah alat yang
dapat merekam goncangan pada permukaan bumi akibat gelombang gempa.. Seismograf
pertama kali ditemukan oleh seorang ahli astronomi Cina bernama Chang Heng.
Kebanyakan seismograf modern saat ini adalah bersifat elektronik, tetapi komponen-
komponen dasar dari alat seismograf adalah tetap yaitu drum yang diberi kertas diatasnya
(rotating drum records motion), suatu ruang yang dihubungkan dengan suatu engsel yang
dapat bergerak pada kedua ujungnya, suatu beban (mass), dan suatu pena (pen).
Salah satu ujungnya dipalang dengan kotak logam yang tertancap di tanah. Beban
diletakkan pada ujung lainnya dari palang dan pena ditancapkan pada beban itu. Drum
dengan kertas di atasnya akan berputar secara konstan (Gambar 2-8)
Ketika terjadi gempa, semua peralatan di seismograf bergerak; kecuali beban dengan
pena di atasnya. Saat drum dan kertas berguncang mendekati pena, maka pena akan
membuat garis-garis yang tak beraturan di atas kertas, dan membuat catatan mengenai
pergerakan tanah akibat gempa. Catatan yang terekam oleh seismograf ini disebut
seismogram.
Fenomena Gempa II-13
Dengan mempelajari seismogram, para ahli seismologi dapat memperkirakan
seberapa jauh dan seberapa kuat gempa yang terjadi. Catatan ini tidak dapat menceritakan
letak pusat gempa secara tepat, hanya dapat memberitahukan bahwa gempa terjadi sejauh
beberapa mil atau kilometer dari seismograf. Untuk memperoleh letak pusat gempa yang
tepat, dibutuhkan setidaknya 2 seismograf lain yang berada di tempat lain
Gambar 2-8. Komponen-komponen dasar alat seismograph
2.6.1 Parameter-parameter Gempa
Suatu peristiwa gempa biasanya digambarkan dengan beberapa parameter, sebagai
berikut :
Tanggal dan waktu terjadinya gempa
Koordinat epicenter ( dinyatakan dengan garis lintang dan garis bujur geografi )
Kedalaman pusat gempa (focus)
Magnitude dan Intensitas maksimum gempa
Pusat gempa atau focus adalah titik di bawah permukaan bumi di mana gelombang
gempa untuk pertama kali dipancarkan. Fokus biasanya ditentukan berdasarkan
perhitungan data gempa yang diperoleh melalui peralatan pencatat gempa (seismograf).
Lokasi sumber gempa pada umumnya terdapat diperbatasan antara pelat-pelat tektonik, di
mana pada tempat ini sering terjadi patahan bidang permukaan bumi. Pada prinsipnya
Fenomena Gempa II-14
gempa adalah suatu peristiwa pelepasan energi pada suatu tempat di perbatasan antara
pelat-pelat tektonik.
Episentrum (Epicenter) adalah titik pada permukaan bumi yang didapat dengan
menarik garis melalui focus, tegak lurus pada permukaan bumi. Episentrum dapat
ditentukan melalui peralatan pencatat gempa atau secara makroseismik. Episentrum yang
ditentukan melalui peralatan pencatat getaran gempa disebut instrumental epicenter.
Bilamana tidak ada hasil pencatatan getaran gempa, episentrum ditentukan berdasarkan
pengamatan terhadap kerusakan pada suatu daerah. Episentrum pada cara ini adalah titik
di mana kerusakan terbesar terjadi, dan disebut macroseismic epicenter.
Kedalaman fokus adalah kedalaman jarak antara fokus dengan epicentrum.
Berdasarkan kedalaman fokus ini, suatu gempa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Gempa dengan kedalaman fokus lebih kecil dari 70 km, disebut Gempa Dangkal.
Gempa dengan kedalaman fokus antara 70 km sampai dengan 300 km, disebut
Gempa Menengah.
Gempa dengan kedalaman fokus lebih besar dari 300 km, disebut Gempa Dalam.
Gambar 2-9. Focus, Epicenter, seismic waves, dan fault
Kedalaman fokus adalah kedalaman jarak antara fokus dengan epicentrum.
Berdasarkan kedalaman fokus ini, suatu gempa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Gempa dengan kedalaman fokus lebih kecil dari 70 km, disebut Gempa Dangkal.
Gempa dengan kedalaman fokus antara 70 km sampai dengan 300 km, disebut
Gempa Menengah.
Gempa dengan kedalaman fokus lebih besar dari 300 km, disebut Gempa Dalam.
Fenomena Gempa II-15
2.6.2 Menentukan Letak Episentrum dan Magnitude Gempa
Untuk menentukan di mana gempa terjadi, perlu dipelajari data rekaman gempa
(seismogram) yang tercatat pada seismograf. Sekurang-kurangnya diperlukan 2 seismograf
yang berbeda untuk gempa yang sama. Gambar 2-10 menunjukkan contoh rekaman gempa
yang tercatat pada seismograf. Jarak antara awal permulaan gelombang P dan awal mula
gelombang S menunjukkan berapa detik gelombang tersebut terpisah.
Gambar 2-10. Rekaman gempa yang tercatat pada seismograf.
Hasil ini dapat digunakan untuk memperkirakan jarak dari seismograf ke pusat gempa.
Untuk menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa dapat dilakukan dengan
menggunakan grafik seperti pada Gambar 2-11.
Fenomena Gempa II-16
Gambar 2-11. Grafik untuk menentukan jarak episentrum dan magnitud gempa
Prosedur untuk menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa, sbb. :
Mengukur jarak antara awal gelombang P dan gelombang S. Dalam hal ini, awal
gelombang P dan S adalah terpisah 24 detik. Plot 24 detik ini pada grafik skala S-P,
akan didapatkan jarak pusat gempa adalah 215 kilometer (Gambar 2-11).
Ukur amplitudo maksimum dari gelombang gempa yang terekam pada seismograf. Pada
rekaman seismograf di dapat amplitudo maksimum adalah 23 mm (lihat Gambar 2-10)
Plot 23 mm ini pada grafik skala Amplitude yang sudah tersedia (Gambar 2-11).
Tarik garis lurus melalui dua yaitu titik 24 detik dan 23 mm, sehingga memotong grafik
skala Magnitude. Dengan membaca titik potong pada grafik skala Magnitude,
didapatkan besarnya magnitude gempa adalah M = 5 pada Skala Richter.
2.7 Patahan
Patahan (fault) adalah retakan di permukaan bumi dimana dua buah pelat tektonik
bergerak dengan arah yang berbeda. Patahan dapat terjadi karena tumbukan dan gesekan
antar pelat tektonik. Tergantung dari arah terjadinya patahan, pada dasarnya ada dua jenis
patahan yang dapat terjadi, yaitu patahan dip slip dan patahan strike slip.
Gambar 2-12. Jenis-jenis patahan yang dapat terjadi akibat gempa.
Patahan dip slip atau patahan normal (normal fault) adalah retakan dimana satu
bagian dari batuan bergeser kearah vertikal menjauhi bagian yang lain. Patahan jenis ini
biasanya terjadi pada wilayah dimana suatu pelat tektonik terbelah dengan sangat lambat,
atau pada dua buah pelat tektonik yang saling mendorong satu sama lain. Patahan strike-
Fenomena Gempa II-17
slip adalah retakan antara dua pelat tektonik yang bergesekan satu sama lain dalam arah
horisontal. Patahan strike slip yang terkenal adalah adalah patahan San Andreas sepanjang
300 km dengan lebar patahan 6,4 m. Patahan San Andreas di California ini disebabkan
oleh gempa San Francisco yang berkekuatan M = 8,3 pada Skala Richter pada 1906.
Patahan berlawanan arah (reverse fault) adalah retakan yang terbentuk dimana salah
satu pelat tektonik terdorong menuju pelat lainnya. Patahan ini juga terjadi jika sebuah
pelat tektonik terlipat akibat tekanan dari pelat yang lain. Pada patahan jenis ini, salah satu
bagian dari pelat bergeser kebawah, sedangkan bagian lainnya terdorong ke atas.
2.8 Mengukur Besaran Gempa
Jika terjadi gempa yang merusak disuatu tempat, mungkin pertanyaan yang pertama-
tama timbul adalah : Berapakah besarnya gempa tersebut dan bagaimana cara
mengukurnya?. Besaran yang dipakai untuk mengukur suatu gempa ada dua, yaitu
Intensitas (Intencity) dan Magnitude (Magnitude). Kedua ukuran ini menunjukkan aspek-
aspek yang berbeda mengenai suatu gempa.
2.8.1 Skala Mercalli
Sebelum ditemukannya alat-alat pencatat getaran gempa, satu-satunya cara untuk
mengukur besarnya gempa adalah dengan jalan pengamatan langsung oleh manusia. Untuk
memudahkan pengamatan tersebut, dibuatlah daftar-daftar yang mengklasifikasikan
besarnya gempa, berdasarkan derajat kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa terhadap
bangunan-bangunan. Skala daftar derajat kerusakan ini dinyatakan dalam angka Romawi
( I, II, III, …. ). Skala ini pada umumnya digunakan untuk pengamatan oleh orang-orang
yang sudah berpengalaman untuk memperkirakan tingkat intensitas suatu gempa.
Derajat kerusakan akibat gempa yang sama dengan ukuran yang terdapat dalam
daftar yang dipakai untuk menyatakan intensitas suatu gempa. Intensitas yang dilaporkan
untuk suatu gempa adalah intensitas maksimum yang disebabkan oleh aktivitas gempa
pada suatu lokasi. Intensitas ini sering juga disebut sebagai intensitas lokal. Intensitas lokal
berhubungan langsung dengan percepatan tanah maksimum yang terjadi akibat gempa.
Dengan demikian intensitas lokal gempa akan berhubungan pula dengan besar kecilnya
kerusakan yang terjadi pada bangunan-bangunan disuatu lokasi.
Daftar skala intensitas, pertama kali dikembangkan oleh Rossi dari Italia dan Forrel
dari Swiss. Skala ini, merujuk pada nilai I sampai X, yang untuk pertama kalinya
Fenomena Gempa II-18
digunakan untuk melaporkan gempa San Fransisco yang terjadi pada tahun 1906. Pada
tahun 1902 seorang seimolog dan vulkanolog dari Italia bernama Giuseppe Mercalli
mengusulkan skala intensitas dari I sampai dengan XII. Pada tahun 1931, Harry O. Wood
dan Frank Neumann memodifikasi skala Mercalli ini, dan disebut skala Modified Mercalli
Intensity (MMI Scale) untuk mengukur intensitas gempa yang terjadi di California,
Amerika.
Skala MMI mempunyai 12 tingkatan intesitas gempa (I s/d XII). Setiap tingkatan
intensitas didefinisikan berdasarkan pengaruh gempa yang didapat dari pengamatan, seperti
goncangan tanah, dan kerusakan dari struktur bangunan seperti gedung, jalan, dan
jembatan. Tingkat intensitas I sampai VI, digunakan untuk mendeskripsikan apa yang
dilihat dan dirasakan orang selama terjadinya gempa ringan dan gempa sedang. Sedangkan
tingkat intensitas VII sampai dengan XII digunakan untuk mendeskripsikan kerusakan
pada struktur bangunan selama terjadinya gempa kuat.
Di dunia, setiap tahunnya terjadi rata-rata satu gempa dengan tingkat intensitas X
sampai XII, 10 sampai 20 gempa dengan intensitas VII sampai IX, dan lebih dari 500
gempa dengan intensitas I sampai VI. Setiap tahun terjadi hampir 100000 gempa tetapi
tidak dicatat manusia, oleh karena itu gempa-gempa ini tidak diklasifikasikan di dalam
skala MMI. Gempa dengan intensitas II dan III pada skala MMI dapat dianggap setara
dengan gempa dengan magnitude M=3 sampai M=4 pada Skala Richter. Gempa dengan
intensitas XI dan III pada skala MMI dapat dianggap setara dengan gempa dengan
magnitude M=8 sampai M=9 pada Skala Richter.
Hal-hal yang dapat menyebabkan banyaknya kerusakan dari bangunan pada saat
terjadi gempa adalah, desain dari konstruksi bangunan, jarak lokasi bangunan dari pusat
gempa, dan kondisi lapisan permukaan tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Desain
dari konstruksi bangunan yang berbeda, akan memiliki daya tahan terhadap gempa yang
berbeda pula, serta semakin jauh lokasi bangunan dari pusat gempa, semakin sedikit
kerusakan yang akan terjadi. Demikian juga pengaruh dari kondisi tanah dasar dimana
bangunan didirikan, akan menyebabkan perbedaan pada tingkat kerusakan yang dapat
terjadi. Pada lokasi dimana lapisannya merupakan tanah lunak, gempa akan menyebabkan
bangunan bergoncang lebih keras dibandingkan jika lapisan tanahnya merupakan tanah
lunak. Bangunan-bangunan yang didirikan di atas lapisan tanah lunak akan mengalami
kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang didirikan di
atas lapisan tanah keras.
Fenomena Gempa II-19
Dari penjelasan mengenai tingkat kerusakan bangunan yang dapat terjadi akibat
gempa, terlihat bahwa penentuan dari nilai Skala Mercalli sangat bersifat subjektif karena
beberapa hal sebagai berikut :
Tergantung pada jarak epicenter sampai tempat yang dimaksud.
Keadaan geologi setempat
Kualitas dari bangunan-bangunan setempat di lokasi terjadinya gempa.
Pengamatan manusia sangat dipengaruhi oleh keadaan panik akibat kekacauan yang
biasanya terjadi pada saat gempa,
Skala Mercalli tidak dapat digunakan secara ilmiah seperti Skala Richter. Karena
skala ini bersifat subjektif, maka untuk suatu kerusakan yang diakibatkan oleh gempa,
pengamatan yang dilakukan oleh beberapa orang akan mempunyai pendapat yang berbeda
mengenai tingkat kerusakan yang terjadi.
Tabel 2-1. Skala Intensitas Modified Mercalli ( MMI Scale )
Skala Intensitas
Keterangan
I Tidak terasa orang, hanya tercatat oleh alat pencatat yang peka
II Getaran terasa oleh orang yang sedang istirahat, terutama orang yang berada di lantai dan di atasnya
III Benda-benda yang tergantung bergoyang, bergetar ringan
IV Getaran seperti truk lewat. Jendela, pintu dan barang pecah belah bergemerincing
V Getaran terasa oleh orang di luar gedung. Orang tidur terbangun. Benda-benda tidak stabil di atas meja terguling atau jatuh. Pintu bergerak menutup dan membuka.
VI Getaran terasa oleh semua orang. Banyak orang takut dan keluar rumah. Berjalan kaki sulit. Kaca jendela pecah. Meja dan kursi bergerak.
VII Sulit berdiri. Getaran terasa oleh pengendara motor dan mobil. Genteng di atap terlepas.
VIII Pengemudi mobil terganggu. Tembok bangunan retak.
IX Semua orang panik. Tembok bangunan mengalami kerusakan berat.Pipa-pipa dalam tanah putus.
X Sebagian konstruksi portal dan temboknya rusak beserta pondasinya.Tanggul dan bendungan rusak berat. Rel kereta api bengkok sedikit.Banyak terjadi tanah longsor.
XI Rel kereta api rusak berat. Pipa-pipa di dalam tanah rusak
XII Terjadi kerusakan total. Bangunan-bangunan mengalami kerusakan.Barang-barang terlempar ke udara.
Fenomena Gempa II-20
Beberapa orang saksi mungkin akan melebih-lebihkan betapa banyaknya hal buruk
yang terjadi saat terjadi gempa. Jumlah kerusakan yang disebabkan oleh gempa tidak dapat
didata dengan teliti, sama halnya dengan kekuatan gempa itu sendiri. Dengan demikian,
skala intensitas tidak dapat digunakan sebagai ukuran untuk menyatakan besarnya suatu
gempa. Meskipun demikian, skala intensitas sangat berguna untuk membuat garis
isoseismal pada peta suatu daerah atau lokasi guna menetapkan tempat-tempat atau daerah-
daerah yang mempunyai derajat kerusakan yang sama. Peta ini adalah yang sering disebut
sebagai peta jalur gempa, dan berguna sekali sebagai informasi di dalam perencanaan
struktur bangunan tahan gempa.
Dengan ditemukannya alat seismograf, yaitu alat pencatat getaran gempa, maka
terbukalah kemungkinan untuk mengukur besarnya suatu gempa dengan lebih teliti. Dari
hasil pencatatan suatu alat seismograf, akan dapat diketahui jumlah energi kinetik yang
terlepas pada pusat gempa.
2.8.2 Skala Richter
Salah satu skala yang paling sering digunakan untuk mengukur kekuatan atau
besarnya gempa adalah Skala Richter (Richter Magnitude Scale), atau disebut Local
Magnitude (ML). Skala ini dibuat oleh DR. Charles F. Richter dari California Institute of
Technology pada 1934. Skala Richter didasarkan pada skala logaritma dan ditulis dalam
angka Arab (1, 2, 3, …. ). Besaran dari Skala Richter ditentukan dengan mengukur
amplitudo maksimum dari gelombang seismik yang tercatat pada alat seismograf standart
Wood-Anderson, yang ditempatkan pada jarak 100 km dari pusat gempa. Alat seismograf
dapat mendeteksi gerakan tanah yang sangat kecil sebesar 0,00001 mm, sampai gerakan
tanah sebesar 1 meter.
Karena besaran pada Skala Richter ditulis berdasarkan skala logaritma (base 10), ini
berarti bahwa setiap penambahan satu angka pada Skala Richter, akan mempresentasikan
kenaikan sebesar 10 kali lipat pada pergerakan tanah akibat gempa. Jadi dengan
menggunakan skala ini, gempa yang tercatat 5 pada Skala Richter (magnitude gempa
M=5), akan mengakibatkan goncangan tanah sepuluh kali lipat lebih kuat dibandingkan
gempa dengan skala 4 (magnitude gempa M=4), dan permukaan bumi akan bergerak
sejauh 10 kali.
Untuk memberi gambaran mengenai angka-angka pada Skala Richter, maka
anggaplah hal ini sebagai suatu bentuk energi yang dilepaskan oleh bahan peledak. Suatu
Fenomena Gempa II-21
gelombang gempa dengan tingkat magnitude gempa M=1 pada Skala Richter akan
melepaskan energi setara dengan energi ledakan 6 ton bahan peledak TNT. Sebuah gempa
dengan tingkat magnitude gempa M=8 akan melepaskan energi setara dengan banyaknya
energi yang dihasilkan oleh ledakan 6 juta ton TNT. Untungnya, kebanyakan dari gempa
yang terjadi setiap tahunnya mempunyai tingkat magnitude kurang dari 2.5, sehingga
terlalu kecil untuk dapat dirasakan oleh manusia.
Meskipun Richter yang pertama kali mengusulkan cara ini untuk mengukur kekuatan
gempa, ia hanya menggunakan suatu jenis alat seismograf tertentu dan mengukur gempa
dangkal di California Selatan. Untuk penggunaan berbagai jenis alat seismograf untuk
mengukur magnitude dan kedalaman gempa dari semua tingkatan gempa, para Ilmuwan
sekarang telah membuat skala magnitude yang lain, yang semuanya sudah dikalibrasikan
terhadap metoda asli dari Richter. Berikut ini adalah sebuah tabel yang menggambarkan
tingkatan magnitude dan kekuatan gempa, pengaruh-pengaruhnya, serta perkiraan jumlah
gempa yang terjadi setiap tahunnya.
Tabel 2-2. Magnitude dan Kelas Kekuatan Gempa
Magnitude Gempa
Kelas Kekuatan Gempa
Pengaruh gempaPerkiraan kejadian pertahun
< 2,5 Minor earthquake
Pada umumnya tidak dirasakan, tetapi dapat direkam oleh seismograf.
900,000
2,5 s.d 4,9 Light earthquake
Selalu dapat dirasakan, tetapi hanya menyebabkan kerusakan kecil.
30,000
5,0 s.d 5,9 Moderate earthquake.
Menyebabkan kerusakan pada bangunan dan struktur-struktur yang lain.
500
6,0 s.d 6,9 Strong earthquake
Kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan besar, pada daerah dengan populasi tinggi.
100
7.0 s.d 7.9 Major earthquake
Menimbulkan kerusakan yang serius. 20
8.0 Great earthquake
Dapat menghancurleburkan daerah yang dekat dengan pusat gempa.
satu setiap 5-10 tahun
Gempa dengan magnitude M=5 dianggap sebagai gempa sedang (moderate
earthquake), sedangkan gempa dengan magnitude M=6 merupakan gempa kuat (strong
earthquake). Gempa dengan magnitude M=8 atau lebih, merupakan gempa sangat kuat
(great earthquake). Sebagai contoh gempa Los Angeles 1994 mempunyai magnitude
M=6,7 dan gempa San Fransisco 1906 mempunyai magnitude M=7,9.
Fenomena Gempa II-22
Meskipun Skala Richter tidak mempunyai batas atas, tetapi gempa dengan magnitude
lebih dari M=8 sangat jarang terjadi. Gempa ini hanya terjadi sekali setiap 5 sampai 10
tahunnya di dunia. Demikian juga tidak terdapat batas bawah pada Skala Richter. Suatu
gempa berukuran 1/10 dari gempa dengan magnitude M=1, adalah gempa dengan skala 0
pada Skala Richter. Dan gempa berukuran 1/10 dari gempa dengan magnitude 0, adalah
gempa dengan skala -1 pada Skala Richter. Gempa dengan magnitude negatif pada skala
Richter terjadi setiap hari, tetapi sangat kecil getarannya sehingga sulit untuk dideteksi.
Magnitude gempa dapat mencermikan kondisi sesungguhnya dari besarnya gempa.
Magnitude tidak memberikan gambaran mengenai derajat kerusakan yang disebabkan oleh
gempa. Perlu dicatat, bahwa suatu gempa dengan magnitude besar yang terjadi di tengah
samudera, mungkin tidak akan mengakibatkan kerusakan pada bangunan, bahkan
getarannya pun mungkin tidak akan dirasakan oleh manusia yang berada di darat.
Sebaliknya suatu gempa dengan magnitude rendah tetapi mempunyai pusat gempa yang
dekat pada suatu kota yang padat penduduk serta penuh dengan bangunan-bangunan,
mungkin akan menyebabkan banyak kerusakan. Hubungan sesungguhnya antara intensitas
dan magnitude sangat sulit untuk ditentukan. Banyak faktor disamping magnitude gempa
dan jarak yang mempengaruhi besarnya intensitas. Salah satu faktor yang berpengaruh
adalah kondisi tanah. Meskipun demikian, hubungan perkiraan antara besaran magnitude
(Richter) dengan intensitas (MMI dapat ditentukan sebagai berikut :
Tabel 2-3. Hubungan antara Magnitude dan Intensitas Gempa
Magnitude( Richter )
Intensitas( MMI )
Pengaruh-pengaruh Tipikal
2 I – II Pada umumnya tidak terasa
3 III Terasa di dalam rumah, tidak ada kerusakan
4 IV – V Terasa oleh banyak orang, barang-barang bergerak,Tidak adak kerusakan struktural
5 VI – VII Terjadi beberapa kerusakan struktural, sepertiRetak-retak pada dinding
6 VII – VIII Kerusakan menengah, seperti hancurnya dinding
7 IX – X Kerusakan besar, seperti runtuhnya bangunan
8 XI – XII Rusak total atau hampir hancur total
Fenomena Gempa II-23
2.9 Energi Gempa Dan Percepatan Tanah
Gempa tektonik hanya dapat terjadi jika dua syarat utamanya terpenuhi, yaitu :
Harus terjadi penimbunan regangan secara perlahan-lahan pada batu-batuan di dalam
kulit bumi dalam waktu yang lama
Batuan-batuan di dalam kulit bumi tersebut harus cukup kuat untuk dapat menimbun
tegangan hingga mencapai energi, kira-kira (1020–1025) erg. Sebagai perbandingan :
bom atom Hiroshima mempunyai energi sebesar 8x1020 erg.
Jika kedua syarat tersebut tidak tercapai, maka dapat dipastikan gempa tektonik tidak akan
terjadi. Seperti telah di sebutkan di atas, anggapan yang dapat diterima sampai saat ini
adalah, suatu gempa akan terjadi karena adanya pelepasan energi regangan yang telah lama
tertimbun di dalam batu-batuan, dan terjadinya penimbunan tegangan adalah karena
pergerakan di dalam bumi.
Pada saat terjadi pergerakan tanah akibat gempa, akan terjadi pelepasan energi pada
sumber gempa. Besarnya energi yang dilepas pada sumber gempa diukur dengan skala
Richter. Hubungan antara Skala Richter dan besarnya energi yang dilepaskan pada saat
terjadi gempa, dapat ditulis dalam suatu persamaan :
Log E = 11,4 + 1,5 M
dimana E adalah energi gempa yang dilepaskan (erg atau dyne-cm), dan M adalah besaran
atau magnitude gempa pada Skala Richter.
Dari rumus di atas terlihat bahwa peningkatan dalam satu satuan Skala Richter
berarti peningkatan energi sebesar 32 kali, dan peningkatan dua satuan pada Skala Richter
berati peningkatan energi sebesar 1000 kali. Jadi suatu gempa yang tercatat M=7 pada
Skala Richter, akan melepaskan energi sebanyak 32 kali dari energi yang dilepas dari
gempa yang tercatat M=6 pada Skala Richter. Jumlah energi yang dilepaskan gempa
dengan magnitude M=4,3 adalah ekivalen dengan energi yang dilepas oleh bom atom yang
menghancurkan kota Hirosima di Jepang, yaitu sebanding dengan 20 kiloton TNT.
Diperkirakan suatu gempa dengan magnitude M=12 pada Skala Richter, akan melepaskan
cukup banyak energi yang dapat mengakibatkan bumi terbelah menjadi dua bagian.
Pembagian besaran gempa menurut skala Richter ini kurang begitu tepat digunakan
di bidang rekayasa struktur bangunan tahan gempa, karena meskipun gempa yang tercatat
melepaskan energi sangat besar, tetapi kadang-kadang kurang terasa di permukaan tanah,
karena jarak sumber gempa sangat jauh di dalam bumi. Sebagai contoh, gempa yang
Fenomena Gempa II-24
melanda Chili dan Agadir (Maroko), keduanya terjadi pada 1960. Magnitude gempa yang
terjadi di Chili tercatat sebesar M=7,5 pada Skala Richter, tetapi tidak mengakibatkan
kerusakan yang berat karena sumber gempa terletak 100 km di bawah muka tanah.
Sedangkan magnitude gempa yang melanda Agadir tercatat hanya sebesar M=5,7 pada
Skala Richter, tetapi mengakibatkan kerusakan yang hebat karena sumber gempa terletak
hanya 6 km dari permukaan tanah. Jadi pengaruh gempa di permukaan tanah tidak hanya
ditentukan oleh besarnya energi yang dilepaskan dari sumber gempa saja, akan tetapi juga
kedalaman atau jarak sumber gempa.
Hubungan antara Skala Richter dan percepatan tanah maksimum atau Peak Ground
Acceleration (PGA) akibat pengaruh gempa pada suatu wilayah, dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Donovan dan Matuschka. Jika M adalah besarnya gempa menurut
Skala Richter, H adalah jarak hypocenter (dalam km), maka besarnya percepatan tanah
maksimum a (dalam cm/detik2) adalah :
Rumus Donovan (1973) : a = 1080.(2,718)0,5.R (H+25)–1,32
Rumus Matuschka (1980) : a = 119.(2,718)0,81.R.(H+25)–1,15
Perpindahan materi biasa disebut displacement. Jika dapat diketahui waktu yang
diperlukan untuk perpindahan tersebut, maka akan dapat dihitung kecepatan materi
tersebut. Sedangkan percepatan adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan
mulai dari keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu. Percepatan gelombang gempa
yang sampai di permukaan bumi disebut percepatan tanah, dan merupakan gangguan yang
perlu dikaji untuk setiap gempa, kemudian dipilih percepatan tanah yang maksimum untuk
dipetakan agar bisa memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah dialami
suatu lokasi.
Efek primer gempa adalah kerusakan struktur bangunan baik yang berupa gedung,
perumahan rakyat, gedung bertingkat, fasilitas umum, monumen, jembatan dan
infrastruktur lainnya, yang diakibatkan oleh getaran yang ditimbulkannya. Secara garis
besar, tingkat kerusakan yang mungkin terjadi tergantung dari kekuatan dan kualitas
bangunan, kondisi geologi dan geotektonik lokasi bangunan, dan percepatan tanah di lokasi
bangunan akibat dari getaran gempa. Faktor yang merupakan sumber kerusakan dapat
dinyatakan dalam parameter percepatan tanah. Sehingga data percepatan tanah maksimum
akibat gempa pada suatu lokasi menjadi penting untuk menggambarkan tingkat resiko
Fenomena Gempa II-25
gempa di suatu lokasi tertentu. Semakin besar nilai percepatan tanah maksimum yang
pernah terjadi disuatu tempat, semakin besar resiko gempa yang mungkin terjadi.
Gempa bisa terjadi berulang-ulang di suatu tempat. Hal ini dikenal sebagai perioda
ulang gempa. Terjadinya gempa yang berulang di suatu tempat didukung oleh teori Elastic
Rebound yang mempunyai fase pengumpulan energi dalam jangka waktu tertentu, dan
kemudian masa pelepasan energi pada saat gempa besar. Perioda ulang gempa bisa 10
tahun, 50 tahun, 100 tahun, 500 tahun, atau bahkan 2500 tahun, sehingga tingkat resiko
bangunan terhadap gempa bisa terkait dengan periode ulang terjadinya gempa.
2.10 Frekuensi Terjadinya Gempa
Hubungan antara besarnya gempa menurut Skala Richter dengan frekuensi terjadinya
gempa pada suatu wilayah, oleh Gutenberg dan Richter dapat dinyatakan dengan rumus :
Log N = A – b.M
dimana N adalah jumlah rata-rata gempa yang besarnya M atau lebih pada Skala Richter
yang terjadi pada suatu wilayah, M adalah magnitude gempa menurut Skala Richter, A dan
b adalah konstanta yang besarnya tergantung pada lokasi atau wilayah yang ditinjau.
Sebagai contoh, untuk wilayah Jepang Timur Laut, harga A=6,88 dan b=1,06, untuk
Jepang Barat Daya, harga A=4,19 dan b=0,72, untuk wilayah Amerika Barat, harga
A=5,94 dan b=1,14, untuk wilayah Amerika Timur, harga A=5,79 dan b=1,34. Untuk
Indonesia, besarnya konstanta A dan b dapat diambil sebesar A=7,30 dan b=0,94.
Rumus Gutenberg dan Richter di atas menunjukkan hubungan antara frekuensi dan
besarnya gempa yang ditinjau berdasarkan besarnya energi yang dilepas pada sumber
gempa, pada suatu wilayah tertentu. Untuk keperluan rekayasa Teknik Sipil, rumus ini
jarang digunakan, karena pada rekayasa Teknik Sipil yang diperlukan adalah besarnya
percepatan maksimum tanah permukaan pada saat terjadinya gempa. Hubungan yang
banyak dipakai di bidang Teknik Sipil adalah hubungan antara frekuensi terjadinya gempa
dan besarnya percepatan permukaan tanah yang maksimum pada suatu wilayah tertentu.
Jika untuk suatu wilayah tertentu telah diketahui besarnya percepatan permukaan
tanah yang pernah terjadi, maka dapat dibuat hubungan antara besarnya percepatan tanah
dengan frekuensi terjadinya gempa. Misalnya pada suatu daerah, berdasarkan catatan-
catatan gempa yang lalu, rata-rata mengalami 1 kali getaran gempa dengan percepatan
permukaan tanah sebesar 0,10 gal (gal = gravity acceleration atau percepatan gravitasi)
Fenomena Gempa II-26
atau lebih untuk setiap 50 tahun, dan mengalami 1 kali getaran gempa dengan percepatan
permukaan tanah sebesar 0,08 gal atau lebih untuk setiap 10 tahun, maka dapat dikatakan
bahwa daerah tersebut mempunyai gempa 50 tahunan sebesar 0,10 gal dan gempa 10
tahunan sebesar 0,08 gal. Makin lama waktu atau periode ulang terjadinya gempa, maka
akan makin besar percepatan permukaan tanahnya.
2.11 Gelombang Gempa
Hancurnya massa batuan di dalam kulit bumi akan disertai dengan pemancaran
gelombang-gelombang gempa (seismic wave) ke segala arah, kadang-kadang sampai ke
tempat yang jauh sekali tergantung dari banyaknya energi yang terlepas. Pada dasarnya ada
dua jenis gelombang yang dilepas pada saat terjadi gempa, yaitu Gelombang Badan (Body
Waves) dan Gelombang Permukaan (Surface Wave). Gelombang badan ada dua jenis, yaitu
Gelombang P (Primer) dan Gelombang S (Secunder). Gelombang permukaan ada dua
jenis, yaitu Gelombang R (Rayleigh) dan Gelombang L (Love).
Gelombang P merambat pada arah longitudinal, dengan cara memampat dan
mengembang searah dengan arah rambatan. Kecepatan perambatan gelombang P antara 1,4
sampai dengan 6,4 km/detik. Gelombang S merambat pada arah transversal. Perambatan
dari Gelombang S ini disertai juga dengan gerakan berputar sehingga dapat lebih
membahayakan di bandingkan Gelombang P. Kecepatan perambatan Gelombang S sekitar
2/3 kali kecepatan Gelombang P. Karena perbedaan kecepatan rambat dari kedua
gelombang ini, maka dari hasil rekaman gempa, dapat diperkirakan jarak sumber
gempanya berdasarkan selisih waktu tiba antara kedua gelombang tersebut pada alat
seismograf. Gelombang R dan Gelombang L hanya merambat di permukaan tanah saja.
Gelombang R arah gerakannya pada bidang vertikal, sedangkan Gelombang L bergerak
transversal pada bidang horisontal.
2.11.1 Gelombang P
Gelombang P adalah gelombang gempa yang tercepat. Gelombang P ini dapat
merambat melalui media padat dan cair, seperti lapisan batuan, air atau lapisan cair bumi.
Pada saat merambat, gelombang ini akan menekan media batuan yang dilewatinya.
Mekanisme perambatan Gelombang P yang menekan lapisan batuan, identik dengan
mekanisme terjadinya getaran pada jendela kaca saat terjadi suar*a petir yang keras.
Jendela bergetar karena adanya tekanan dari gelombang suara pada kaca jendela. Pada saat
terjadi gempa, pengaruh dari Gelombang P dapat dirasakan berupa getaran.
Fenomena Gempa II-27
Gambar 2-13. Perambatan Gelombang P
2.11.2 Gelombang S
Jenis kedua dari Gelombang Badan adalah Gelombang S, yang merupakan
gelombang kedua yang dapat dirasakan pada saat gempa. Gelombang S lebih lambat dari
pada Gelombang P, dan hanya dapat merambat melalui batuan padat. Arah gerakan dari
gelombang ini naik-turun atau bergerak menyamping.
Gambar 2-14. Perambatan Gelombang S
2.11.3 Gelombang L
Jenis pertama dari Gelombang Permukaan disebut Gelombang L. Gelombang ini
diberi nama sesuai dengan nama penemunya yaitu A.E.H. Love seorang ahli matematika
dari Inggris yang mengerjakan model matematika untuk jenis gelombang ini di pada 1911.
Gelombang ini adalah yang tercepat dan menggerakkan tanah dari samping ke samping.
Gambar 2-14. Perambatan Gelombang L
Fenomena Gempa II-28
2.11.4 Gelombang R
Jenis Gelombang Permukaan lainnya adalah Gelombang R. Keberadaan dari
gelombang ini diperkirakan secara matematika oleh W.S. Rayleigh pada 1885. Pada saat
merambat, Gelombang R akan menggulung media yang dilewatinya, dimana gerakan dari
gelombang ini mirip dengan gerakan gelombang air di laut. Karena gerakan yang
menggulung ini, maka lapisan tanah atau batuan akan naik dan turun, dan akan ikut
bergerak searah dengan gerakan gelombang. Kebanyakan goncangan dari gempa
berhubungan erat dengan Gelombang R ini. Pengaruh kerusakan yang diakibatkan oleh
Gelombang R dapat lebih besar dibandingkan gelombang-gelombang gempa lainnya.
Gambar 2-15. Perambatan Gelombang R
2.11.5 Amplifikasi Gelombang Gempa
Karena lapisan permukaan bumi tidak homogen dan terdiri dari bermacam-macam
bahan dan lapisan, maka gelombang-gelombang gempa tersebut dalam perjalanannya
mencapai permukaan bumi akan mengalami berbagai perubahan, yaitu diredam,
dipantulkan, dibiaskan baik pada lapisan-lapisan maupun pada permukaan bumi. Sebagai
akibatnya jalannya gelombang menjadi tidak beraturan, rumit, serta sulit untuk diprediksi.
Lapisan permukaan bumi merupakan lapisan yang penting di bidang rekayasa
gempa, karena pada lapisan ini sering terjadi retakan atau patahan yang dapat
menyebabkan terjadinya gempa. Pengalaman menunjukkan bahwa, kondisi geologi dan
kondisi tanah setempat sangat mempengaruhi gerakan permukaan tanah pada saat terjadi
gempa. Beberapa faktor yang mempengaruhi gerakan tanah akibat gempa adalah : panjang
dan tebalnya lapisan tanah di atas lapisan batuan, perubahan jenis lapisan tanah,
kemiringan lapisan tanah endapan, retakan di dalam lapisan batuan, dan lain-lain.
Pada saat gelombang gempa menyebar di tanah, maka akan terjadi pemantulan dan
penyebaran pada perbatasan antara lapisan-lapisan permukaan tanah yang mempunyai sifat
karakterisitik yang berbeda. Seperti diilustrasikan pada Gambar 2-16, hubungan antara
Fenomena Gempa II-29
sudut 1 pada bagian lapisan batuan dasar dan sudut gelombang n pada permukaan teratas,
dapat dinyatakan dalam persamaan :
Sebagai contoh, jika cn = 0,1c1 dan 1 = 900 , maka n = 60 . Hal ini menunjukkan bahwa
arah penyebaran gelombang seismik hampir vertikal pada saat mencapai permukaan tanah.
Jika gelombang gempa dengan percepatan yang tetap (stationary wave) merambat
dari lapisan batuan dasar ke permukaan tanah, maka amplitudo dari gelombang pada saat
mencapai permukaan tanah akan menjadi lebih besar dari pada gelombang asalnya. Dalam
hal ini disebut bahwa gelombang seismik mengalami amplifikasi. Fenomena resonansi
dapat terjadi terutama jika waktu getar dari gelombang gempa sama dengan atau mendekati
waktu getar alami dari lapisan tanah yang dilewatinya.
Gambar 2-16. Perambatan gelombang gempa pada beberapa lapisan tanah
Pada kondisi sebenarnya, gelombang gempa mempunyai percepatan rambat yang
tidak tetap (nonstationary wave).
Gambar 2-17. Distribusi akar kuadrat rata-rata dari pembesaran amplitudo percepatan tanah untuk komponen utara-selatan gempa El Centro, California, 1940 (Toki, 1981)
Fenomena Gempa II-30
Amplifikasi yang terjadi pada gelombang gempa nonstationary lebih kecil dari pada
gelombang gempa stationary. Meskipun demikian, gelombang gempa akan semakin
membesar saat mendekati permukaan tanah, seperti yang terlihat pada contoh numerik
pada Gambar 2-17.
2.11.6 Bentuk Gelombang Gempa
Bentuk, amplitudo, durasi, serta karakteristik lainnya dari gelombang gempa tidak
hanya dipengaruhi oleh ukuran besarnya gempa dan jarak hiposentrum saja, tetapi juga
dipengaruhi oleh mekanisme yang terjadi pada sumber gempa, dan struktur geologi tanah
yang dilalui gelombang gempa. Pada suatu tempat yang letaknya jauh dari pusat gempa,
gelombang gempa akan mempunyai intensitas dan bentuk yang berbeda dengan
gelombang yang terjadi di dekat pusat gempa. Derajat dari amplifikasi dan perubahan
bentuk dari gelombang gempa dipengaruhi juga oleh kekerasan dan ketebalan dari lapisan
tanah di bawah lokasi setempat. Bentuk dari gelombang gempa sangat komplek dan
berbeda satu dengan lainnya. Newmark dan Rosenblueth (1971) mengklasifikasikannya
dalam empat tipe gelombang yaitu :
1. Single-shock type. Pusat gempa terdapat pada kedalaman yang dangkal, dimana
lapisan dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras, seperti gempa Port Hueneme
1957 (Gambar 2-18), gempa Libya 1963, dan gempa Skopje 1963.
2. A moderately long, extremely irregular motion. Pusat gempa terdapat pada
kedalaman sedang, dimana lapisan dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras,
seperti gempa El Centro 1940 (Gambar 2-19). Tipe ini sering terjadi pada sabuk
Sirkum Pasifik , dimana lapisan batuan dasarnya keras.
3. A long ground motion exhibiting pronounced prevailing periods of vibration. Pada
tipe ini, gelombang gempa tersaring oleh banyak lapisan tanah lunak, dan terjadi
refleksi berurutan pada permukaan tanah, seperti pada gempa Meksiko 1964.
4. A ground motion involving large-scale permanent deformation of the ground.
Gempa seperti ini terjadi di pelabuhan Alaska 1064 dan Niigata 1064.
Sudah barang tentu gempa-gempa lainnya yang terjadi tidak akan memiliki bentuk
gelombang gempa yang tepat sama dengan salah satu dari keempat tipe yang disebutkan
diatas. Sejumlah gempa memperlihatkan bentuk gelombang diantara atau kombinasi dari
keempat tipe tersebut.
Fenomena Gempa II-31
Gambar 2-18. Komponen timur-barat dari gempa Port Hueneme, 1957.
Gambar 2-19. Komponen utara-selatan gempa El Centro, California, 1940.
Fenomena Gempa II-32
2.12 Wilayah Gempa
Gempa dapat terjadi kapan saja dan dimanapun di bumi ini, tetapi pada umumnya gempa
terjadi di sekitar batas pelat tektonik dan banyak disekitar sesar aktif disekitar batas pelat
tektonik. Dengan demikian lokasi gempa cenderung terkonsentrasi pada tempat-tempat
tertentu saja, seperti pada batas pelat tektonik Pasific. Tempat ini dikenal dengan nama
Lingkaran Api (Ring of Fire) karena banyaknya gunung berapi dan aktivitas geologi.
Gambar 2-20. Lingkaran Api (Ring of Fire)
Dengan melihat tempat-tempat dimana gempa sering terjadi, maka telah dipetakan
tiga jalur gempa yang ada di bumi, yaitu :
1. Circum Pasific Earthquake Belt ( Jalur Gempa Pasifik ), yang meliputi : Chili,
Equador, California, Jepang, Taiwan, Philipina, Sulawesi Utara, Kepulauan
Maluku, Irian, Melanesia, Polynesia, dan Selandia Baru.
2. Trans Asiatic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Asia ), yang meliputi : Pegunungan
Alpine di Eropa, Asia Kecil, Irak, Iran, Afganistan, Himalaya, Birma, Sumatera,
Jawa, Nusa Tenggara, dan Irian.
3. Mid Atlantic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Atlantik Tengah ), yang meliputi :
Atlantik Selatan melintas ke utara melalui Iceland dan Spitzbergen.
Dari jalur gempa di atas terlihat bahwa kepulauan Indonesia menjadi tempat pertemuan dua
jalur gempa, yaitu Circum Pasific Earthquake Belt dan Trans Asiatic Earthquake Belt.
Dengan demikian kepulauan Indonesia merupakan daerah yang rawan gempa.
Fenomena Gempa II-33
2.13 Tsunami
Istilah tsunami berasal dari kosa kata Jepang tsu yang berarti gelombang dan nami
yang berarti pelabuhan, sehingga secara bebas, tsunami diartikan sebagai gelombang laut
yang melanda pelabuhan. Bencana tsunami terbukti menelan banyak korban manusia
maupun harta benda, sebagai contoh untuk tsunami di Flores (1992) mengakibatkan
meninggalnya lebih dari 2000 manusia, kemudian untuk tsunami di Banyuwangi (1994)
telah menelan korban 800 orang lebih, belum termasuk hitungan harta benda yang telah
hancur, dan yang terakhir di Aceh yang menyebabkan lebih dari 100.000 ribu korban jiwa.
Tsunami ditimbulkan oleh adanya perubahan bentuk (deformasi) pada dasar lautan,
terutama perubaan permukaan dasar lautan dalam arah vertikal. Perubahan pada dasar
lautan tersebut akan diikuti dengan perubahan permukaan lautan, yang mengakibatkan
timbulnya penjalaran gelombang air laut secara serentak tersebar keseluruh penjuru mata-
angin. Kecepatan rambat penjalaran tsunami di sumbernya bisa mencapai ratusan hingga
ribuan km/jam, dan berkurang pada saat menuju pantai, dimana kedalaman laut semakin
dangkal.
Gambar 2-21. Gelombang Tsunami
Meskipun tinggi gelombang tsunami disumbernya kurang dari satu meter, tetapi pada
saat menghempas di pantai, tinggi gelombang tsunami bisa mencapai lebih dari 5 meter.
Hal ini disebabkan karena berkurangnya kecepatan merambat gelombang tsunami
disebabkan semakin dangkalnya kedalaman laut menuju pantai. Tetapi ini akan
mengakibatkan tinggi gelombangnya menjadi lebih besar karena harus sesuai dengan
hukum kekekalan energi.
Fenomena Gempa II-34
Penelitian menunjukkan bahwa tsunami dapat timbul bila kondisi tersebut di bawah
ini terpenuhi :
Gempa dengan pusat gempa di tengah lautan.
Gempa dengan magnitude lebih besar dari M=6.0 pada Skala Ricter
Gempa dengan pusat gempa dangkal, kurang dari 33 Km
Gempa dengan pola mekanisme dominan adalah sesar naik atau sesar turun
Lokasi sesar (fault) di lautan yang dalam.
Fenomena Gempa II-35