6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Mangrove
Asal kata "mangrove" menurut Macnae (1968) dalam Noor et al. (1999)
menyebutkan kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis
mangue dan bahasa Inggris grove. Sementara itu, menurut Mastaller (1997)
dalam Noor et al. (1999) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-
mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan
sampai saat ini di Indonesia bagian timur.
Melana et al. (2000) mendefenisikan mangrove adalah sebuah tipe hutan
yang tumbuh disepanjang pantai, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut,
berada pada wilayah pantai yang dangkal serta meluas sampai pada sungai yang
kadar airnya agak asin, serta saling berinteraksi dan berasosiasi dengan aquatic
fauna, faktor-faktor sosial dan fisik dari lingkungan pantai.
Kathiresan dan Bingham (2001) mendefinisikan hutan mangrove sebagai
hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara
sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon
Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria,
Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Pada dasarnya, menurut
Wightman (1989) yang lebih penting untuk diketahui tentang komunitas
mangrove adalah menentukan mana yang termasuk dan mana yang tidak termasuk
mangrove. Dia menyarankan seluruh tumbuhan vaskular yang terdapat di daerah
yang dipengaruhi pasang surut termasuk mangrove.
Selain itu Nybakken (1988), menyatakan hutan mangrove adalah sebutan
umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove
disebut juga “Coastal Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest” (hutan pasang
surut) hutan bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang
karakteristiknya terdapat di daerah tropika.
7
2.2. Fungsi dan Manfaat Mangrove
Menurut Mukhtasor (2007) secara ekologis hutan mangrove mempunyai
banyak fungsi dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung. Ekosistem mangrove bagi bermacam biota perairan (ikan, udang, dan
kerang-kerangan) berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara
juvenil, dan berkembang biak. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis
satwa, baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara, penghasil
sejumlah detritus, dan perangkap sedimen. Dari segi ekonomis, vegetasi ini dapat
dimanfaatkan sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan
kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain, seperti
tannin dan pewarna. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung
pantai dari hempasan gelombang air laut serta penyerap logam berat dan pestisida
yang mencemari laut.
Akar mangrove, jenis Avicennia marina (biasa disebut dengan pohon api-
api), dapat digunakan sebagai indikator biologis pada lingkungan yang tercemar
logam berat terutama tembaga (Cu), timbal (Pb), dan seng (Zn) melalui
monitoring secara berkala (MacFarlane et al. 2003). Spesies Avicennia
menunjukkan toleransi yang lebih besar dan dapat mengakumulasi banyak jenis
logam berat daripada spesies mangrove yang lain (Thomas dan Eong, 1984; Peng,
et al., 1997; dalam MacFarlane et al. 2003).
Lebih lanjut dikatakan oleh MacFarlane et al. (2003), bahwa peningkatan
akumulasi logam ini dikarenakan adanya translokasi penyerapan udara melalui
lenti sel ke akar. Selain itu, penurunan pH sedimen ditemukan dapat
meningkatkan akumulasi logam pada akar avicennia. Peningkatan konsentrasi
logam berat pada sedimen menghasilkan tingkat akumulasi logam berat yang
lebih besar juga pada akar dan daun avicennia. Yim dan Tam (1999) dalam
MacFarlane et. al (2003), menemukan bahwa hanya sedikit logam berat yang
terakumulasi pada daun dan banyak yang terserap dan terakumulasi di batang dan
akar avicennia. Pada akar, Cu dapat terakumulasi 1,66 kali lebih besar daripada
yang terkandung pada sedimen. Sedangkan Zn terakumulasi pada akar 1,21 kali
lebih besar dari pada yang terkandung pada sedimen.
8
Liyanage (2004) mengemukakan bahwa nilai keuntungan (manfaat) tidak
langsung dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan manfaat langsungnya,
antara lain menurunkan tingkat erosi dipantai dan sungai, mencegah banjir,
mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi pencemaran produksi bahan
organik, sebagai sumber makanan, sebagai daerah asuhan, pemijahan, dan
mencari makan beberapa biota jenis biota laut.
Menurut Melana et al. (2000) terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove
ditinjau dari ekologi dan ekonomi yaitu :
1) Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan ,udang dan kepiting serta
mendukung produksi perikanan diwilayah pesisir.
2) Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang
berguna sebagai bahan makanan hewan hewan estuari dan peraira pesisir.
3) Mangrove melindungi daerah sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan
masyarakat didalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan.
4) Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan
menurunkan polusi bahan organik didaerah tepi dengan menjebak dan
menyerap berbagai polutan yang masuk kedalam air.
5) Dari segi estetika mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan
burung, dan pengamatan jenis satwa-satwa lainnya.
6) Mangrove merupakan sumber untuk bahan bakar kayu dan atap dari nipah
untuk bahan bangunan serta tambak untuk budidaya perikanan. Benih dapat
dipanen dan dijual, ikan, udang dan kerang juga dapat dipanen dari ekosistem
mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial juga tergantung pada untuk
perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu mangrove juga sebagai
sumber tannin, alkohol dan obat-obatan.
2.3. Zonasi dan Struktur Vegetasi Mangrove
Menurut Noor et al. (1999) mangrove pada umumya tumbuh dalam 4
(empat) zona yaitu, pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki
sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang
memiliki air tawar. Lebih jelasnya masing - masing zona diuraikan sebagai
berikut :
9
a) Mangrove Terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.
Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada
substratnya. Contoh tanamannya adalah Sonneratia alba yang mendominasi
daerah berpasir sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata
cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur.
b) Mangrove tengah, terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini
biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang
ditemukan adalah Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora
mucronata, Xylocarpus granatum dan X moluccensis.
c) Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir
tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia.
Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung
dengan vegetasi yang terdiri atas Cerbera sp., Gluta renghas, Stenochlaena
palustris, dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai campuran komunitas
Sonneratia-Nypa lebih sering ditemukan.
d) Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di
belakang jalur hijau mangrove sebenamya. Zona ini memiliki kekayaan jenis
yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum
ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, Ficus retusa, Intsia
bijuga, Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus sp., dan Xylocarpus
moluccensis.
Menurut Bengen (2001) penyebaran dan zonasi hutan mangrove
tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan
mangrove di Indonesia :
- Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir,
sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi
Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya
bahan organik.
- Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh
Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan
Xylocarpus spp.
- Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
10
- Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa
ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
2.4. Peranan Mangrove Bagi Biota Laut
Clark (1996) mengemukakan bahwa secara ekologis, ekosistem
mangrove memainkan peran penting di daerah pesisir. Peran yang sangat
menonjol adalah mangrove dapat memproses makanan yang merupakan suplai
pangan dari dataran lumpur ke bentuk yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh
berbagai jenis hewan laut seperti ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang dapat
dimakan oleh manusia. Mangrove disamping melengkapi pangan untuk biota laut,
juga mampu menciptakan iklim yang cocok untuk biota tersebut, dimana
sebagaian besar biota laut (ikan, udang dan kepiting) yang bernilai ekonomis
penting hidup di daerah mangrove.
Menurut Parawansa (2007) gambaran umum mengenai peranan suatu
habitat mangrove bagi biota laut dapat dilihat dari suatu model jaringan pangan
(food web). Pada dasarnya sumbangsih mangrove terhadap kehidupan biota laut
adalah melalui guguran serasah vegetasi (termasuk kotoran sisa/ tubuh fauna yang
mati) ke lantai hutan. Serasah ini akan terdekomposisi oleh cendawan dan bakteri
menjadi detritus, yang mana detritus tersebut merupakan makanan utama bagi
konsumer primer. Selanjutnya konsumen primer ini akan menunjang kehidupan
biota tingkat konsumer sekunder dengan top-konsumer di suatu habitat mengrove.
Kusmana (2000) mengemukakan bahwa Produktivitas primer habitat
mangrove akan diperkaya oleh komunitas alga di lumpur dan akar, komunitas
lamun, komunitas fitoplankton dan laut, dan limbah organik terlarut (dissolved-
organic compound) dari laut dan daratan. Kesemua fenomena ini akan
mempertinggi produktivitas primer habitat mangrove. Tingginya produktivitas
primer hutan mangrove salah satunya dapat dilihat dari produktivitas serasah
hutan tersebut yang umumnya beberapa kali lipat produktivitas- Serasah tipe
hutan daratan, yakni sekitar 5,7 sampai 25,7 ton/ha per tahun. Kondisi habitat
mangrove seperti ini mengakibatkan ekosistem mangrove berperan sebagai
feeding, spawning dan nursery ground bagi berbagai jenis biota laut (khususnya
ikan dan udang) untuk menghabiskan sebagian bahkan seluruh siklus hidupnya.
11
Sebagian besar hutan mangrove mempunyai toleransi yang rendah terhadap
garam, tetapi pada daerah mangrove mengalami setidaknya dua kali sehari pasang
naik air asin. Bahkan ada spesies yang tahan sampai kadar garam 90%. Akar
mangrove dapat melakukan fitrasi untuk dapat beradaptasi dari fluktuasi kadar
garam (Ball et al. 1997)
2.5. Asosiasi Mangrove Dengan Biota Laut
Menurut Saravanan et al. (2008) mangrove adalah daerah perikanan yang
lebih subur, mangrove dapat memproses makanan yang merupakan suplai pangan
dari dataran lumpur dan dapat dimanfaatkan oleh hewan-hewan laut seperti ikan
kepiting dan kerang-kerangan yang dapat dimakan oleh manusia. Mangrove selain
melengkapi kebutuhan pangan untuk biota laut, juga mampu untuk menciptakan
iklim yang cocok untuk biota tersebut. Sebagian besar jenis biota laut (ikan udang
dan kepiting) yang bernilai ekonomis penting hidup didaerah mangrove.
Nontji (2007) juga mengemukakan bahwa daun mangrove yang gugur
segera menjadi bahan makanan berbagai jenis hewan air atau dihancurkan terlebih
dahulu oleh bakteri dan fungi (jamur) dan kemudian menjadi bahan penting bagi
cacing, krustasea. Selain itu beberapa produk perikanan di indonesia yang
mempunyai nilai ekonomis penting berhubungan erat dengan ekosistem
mangrove, seperti udang (Penaeus), kepiting (Scylla serrata) dan tiram
(Crassostrea) selain itu ikan komersial juga mempunyai kaitan dengan mangrove,
misalnya bandeng dan belanak
2.6. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove
Dahuri (2003) mengindentifikasi beberapa faktor penyebab kerusakan
ekosistem hutan mangrove yaitu:
1) Konversi kawasan hutan mangrove secara tak terkendali menjadi tambak,
pemukiman, dan kawasan industri.
2) Terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan mangrove untuk
berbagai kegiatan pembangunan.
3) Penebangan mangrove untuk kayu bakar, bahan bangunan dan kegunaan
lainnya melebihi kemampuan untuk pulih (renewable capacity).
4) Pencemaran akibat buangan limbah minyak, industri, dan rumah tangga.
12
5) Pengendapan akibat pengelolaan kegiatan lahan atas yang kurang baik.
6) Proyek pengairan yang dapat mengurangi aliran masuk air tawar (unsur
hara) ke dalam ekosistem hutan mangrove.
7) Proyek pembangunan yang dapat menghalangi atau mengurangi sirkulasi
arus pasang surut.
Sedangkan Kusmana (2005) bahwa terdapat beberapa faktor lingkungan yang
mendukung ekosistem mangrove (struktur, fungsi, komposisi dan distribusi
spesies, dan pola pertumbuhan) yakni sebagai berikut:
1) Fisiografi pantai
Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik
struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan
ukuran serta luas mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang
surut maka semakin lebar mangrove yang tumbuh.
2) Iklim
a. Cahaya
Umumnya tanamaan mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari
yang tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat
ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk
pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m2/hari. Pada saat
masih kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan:
– Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit
Rhizopora mucronata dan Rhizophora apiculata.
– Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera
gymnorrhiza.
– Intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit
Rhizopora mucronata, Rhizophora apiculata dan Bruguiera
gymnorrhiza.
b. Curah hujan
Curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara,
salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies
13
mangrove. Dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah curah hujan
rata-rata 1500 – 3000 mm/thn.
c. Suhu udara
Suhu penting dalam proses fisiologi seperti fotosintesis dan respirasi.
d. Angin
Angin berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat
menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan
evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan
menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian
diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman.
3) Pasang surut
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi
pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal
mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu
faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove terutama distribusi
horizontal. Pada area yang selalu tergenang hanya Rhizophora Mucronata
yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. jarang
mendominasi daerah yang sering tergenang.
4) Gelombang dan arus
Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab
penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur,
gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar
atau kasar akan mengendap terakumulasi membentuk pantai pasir. Mangrove
akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.
5) Salinitas
Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dari
pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove
tumbuh subur didaerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. beberapa spesies
dapat tumbuh didaerah dengan salinitas yang tinggi.
6) Oksigen terlarut
Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove
(terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan
14
dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan
mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen
terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan dan organisme akuatik.
Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan
terendah pada malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di mangrove berkisar
antara 1,7 - 3,4 mg/l, lebih rendah di banding diluar mangrove yang besarnya
4,4 mg/1.
7) Tanah
Tanah mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai
dan erosi hulu sungai. Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun
berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah
berkerikil bahkan tanah gambut.
8) Nutrient
Nutrient mangrove dibagi atas nutrient in-organik dan detritus organic.
Nutrient in-organic penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta
K, Mg dan Na (selalu cukup). Sumber nutrient in-organik adalah hujan, aliran
permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus
organic adalah nutrient organic yang berasal dari bahan-bahan biogenic
melalui beberapa tahap degradasi microbial. Detritus organic berasal dari
authochathonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan
kotoran organisme) dan allochathaonous (partikulat dari air, limpasan sungai,
partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati
di zona pantai dan laut).
9) Proteksi
Mangrove berkembang baik di daerah pesisir yang terlindungi dari
gelombang, yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah
yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dll. Beberapa ahli
ekologi mangrove berpendapat bahwa factor-faktor lingkungan yang paling
berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase
dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi pengaruh fenomena
pasang surut dan ketinggian tempat dari rata-rata muka air laut.
15
Zonasi mangrove berdasarkan salinitas, menurut De Hann (1981) dalam
Bengen (2004) dibagi sebagai berikut:
a) Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air
pasang berkisar antara 10-30 ppt:
- Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam
sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh.
- Area yang terendam 10-19 kali/bln, ditemukan Avicennia (Avicennia alba,
Avicennia marinna), Sonneratia sp. dan Dominan Rhizophora sp.
- Area yang terendam kurang dari 9 kali/bulan, ditemukan Rhizophora sp,
Bruguiera sp.
- Area yang tergenang hanya beberapa dalam setahun, Bruguiera
gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apikulata masih dapat hidup.
b) Zona air tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0 -10 ppt :
- Area yang kurang lebih masih dibawah pengaruh pasang surut, asosiasi
Nipah.
- Area yang terendam secara musiman, Hibiscus dominan.
2.7 . Faktor Pembatas Ekosistem Mangrove
Menurut Supriharyono (2000) bahwa faktor-faktor pembatas lingkungan
mangrove diantaranya adalah berupa faktor fisika kimia dan adanya aktivitas
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya yaitu:
2.7.1. Faktor Fisika Kimia
Mangrove memiliki daya adaptasi fisiologi yang tinggi. Mereka tahan
terhadap lingkungan dengan suhu perairan tinggi, fluktuasi salinitas yang
luas dan tanah yang anaerob (tanpa udara). Salah satu faktor yang penting
dalam adaptasi fisiologis tersebut adalah sistem pengudaraan di akar-
akarnya. Tidak semua tumbuhan memperoleh oksigen untuk akar-akarnya
dari tanah yang mengandung oksigen, mangrove tumbuh di tanah yang tidak
mengandung oksigen dan harus memperoleh hampir seluruh oksigen untuk
akar-akar mereka dari atmosfer. Walaupun tumbuhan mangrove dapat
berkembang pada kondisi lingkugan yang buruk, akan tetapi mangrove
16
mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap
kondisi lingkungan fisik kimia di lingkungannya.
2.7.2. Aktivitas Manusia
a. Pencemaran
Pencemaran yang terjadi pada areal mangrove terutama disebabkan
oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal
mangrove ini merupakan dampak negatif dari kegiatan pelayaran,
industri serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam
pengangkutan.
b. Konversi Lahan Hutan
(1) Budidaya Perikanan
Konversi mangrove untuk bididaya perikanan, terutama untuk
tambak ikan menyebabkan terdegradasinya mangrove yang subur
dalam skala yang cukup luas.
(2) Pertanian
Sebagian besar pertanian di areal mangrove terdiri atas sawah dan
perkebunan kelapa. Ini dilakukan oleh penduduk dikawasan
pesisir.
(3) Jalan Raya, Industri serta Jalur dan Pembangkit Listrik
Area mangrove banyak yang dikonversi untuk pembuatan jalan
raya, pembangunan pembangkit dan jalur listrik guna mendukung
arus transportasi hasil industri, perdagangan, penduduk dan hasil
hasil lainnya yang melewati kawasan mangrove. Industri
perikanan, industri tanaman dan hasil hutan kayu, pengeringan
udang dan sebagainya yang didirikan di kawasan mangrove juga
telah mengkonversi hutan ini dalain areal yang cukup luas.
(4) Produksi Garam
Garam dihasilkan dari air laut yang pembuatannya banyak
dilakukan di areal mangrove. Tempat pembuatan garam ini
17
merupakan areal mangrove yang dikonversi yang tingkat
kerusakannya bersifat bersifat irreversible.
(5) Perkotaan
Urbanisasi menyebabkan terjadinya konversi mangrove yang
lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Selain dijadikan lokasi
pemukiman, mangrove tersebut dikonversi pula untuk keperluan
jalan raya, tambak, pelabuhan, pembuangan limbah dan lain-lain.
(6) Pertambangan
Pertambangan, terutama minyak bumi cukup banyak dilakukan di
areal mangrove. Lahan diperlukan untuk tempat penggalian sumur
bor, tempat penyimpanan minyak mentah, pipa, pelabuhan,
perkantoran dan pemukiman pekerja. Minyak yang mencemari
mangrove dalam berbagai cara juga menyebabkan degradasi
mangrove.
(7) Penggalian Pasir
Penggalian pasir menyebabkan kerusakan pada ekosistem
mangrove. Penambangan pasir dalam skala luas
c. Penebangan (Pemanenan Hasil Hutan) Yang Berlebihan
Penebangan kayu mangrove secara legal maupun illegal dilakukan
untuk produksi kayu bakar, arang, chips dan sebagainya telah
berlangsung lama. Eksploitasi tersebut dilakukan secara berlebihan,
sehingga telah menimbulkan kerusakan yang berat dan menurunkan
fungsi serta potensi produksi sebagian besar mangrove.
Uraian secara ringkas dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove
dapat dilihat pada tabel 1:
18
Tabel 1. Ikhtisar dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove
No Kegiatan Dampak potensial
1.
Tebang habis
a. berubah komposisi tumbuhan mangrove
b. tidak berfungsi daerah mencari makanan
dan pengasuhan
2. Penggalian alian air tawar,
misalnya pada
pembangunan irigasi
a. peningkatan salinitas mangrove
b. menurun tingkat kesuburan hutan
3. Konversi menjadi lahan a. mengancam regenerasi stok ikan dan
pertanian, perikanan,
pemukiman dan lain-lain. udang di perairan lepas pantai yang
memerlukan mangrove
b. terjadi pencemaran laut oleh bahan
pencemar yang sebelumnya diikat oleh
substrat mangrove
c. pendangkalan perairan pantai
d. erosi garis pantai dan intrusi garam.
4.
Pembuangan sampah cair a. Penurunan kandungan oksigen terlarut,
timbul gas H2S
5.
Pembuangan sampah padat a. Kemungkinan terlapisnya pneumatofora
yang mengakibatkan matinya pohon
mangrove
b. Perembesan bahan-bahan pencemar dalam
sampah padat
6.
Pencemaran minyak
tumpahan
a. Kematian pohon mangrove
7. Penebangan dan ekstraksi a. Kerusakan total ekosistem mangrove
mineral, baik didalam sehingga memusnahkan fungsi ekologis
hutan maupun didaratan mangrove (daerah mencari makanan dan
sekitar mangrove asuhan).
b. Pengendapan sedimen yang dapat
mematikan pohon mangrove.
Sumber: Bengen, (2001)
19
2.8. Kerusakan Ekosistem Mangrove
Menurut Saparinto (2007) Beberapa hal utama yang menyebabkan
terjadinya kerusakan ekosistem mangrove adalah:
a. Tekanan penduduk yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga
semakin tinggi.
b. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dimasa lalu yang bersifat
sangat sektoral
c. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang konversi dan fungsi ekosistem
mangrove
d. Kemiskinan masyarakat pesisir.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Saparinto (2007) tingkat kerusakan
ekosistem mangrove dapat dibagi dalam tiga kondisi yaitu:
a. Rusak berat, yaitu ditandai dengan habisnya hutan mangrove dalam suatu
wilayah, rusaknya keseimbangan ekologi, intrusi air laut yang tinggi dan
menurunnya kualitas tanah.
b. Rusak sedang, yaitu ditandai dengan masih sedikit hutan mangrove dalam
suatu wilayah, keseimbangan ekologi dalam tingkatan sedang dan intrusi air
laut yang terjadi tidak terlalu parah.
c. Tidak rusak, yaitu kondisi hutan mangrove masih terjaga dengan baik dan
lestari.
Sedangkan sebab-sebab dan akibat perusakan mangrove yang terjadi secara fisik
dan kimia adalah :
a. Penambangan mineral
Penambangan mineral, telah berkembang di kawasan pesisir Penambangan
dalam ekosistem mangrove mengakibatkan kerusakan total, sedangkan
penambangan di daerah sekitarnya dapat menimbulkan berbagai macam efek
yang merusak. Efek yang paling mencolok adalah pengendapan bahan-bahan
yang dibawa air permukaan ke dan dalam mangrove. Pengendapan yang
berlebihan akan merusak mangrove karena terjadinya penghambatan
pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air di atasnya. Bila proses
pertukaran ini tidak berlangsung, kematian mangrove akan terjadi dalam
waktu singkat. Terhentinya sebagian proses pertukaran menimbulkan tekanan
20
pada mangrove, yang terlihat pada penurunan produktivitas dan kernampuan.
Selanjutnya jaringan makanan yang berlandaskan pada adanya detritus di
mangrove terganggu pula dan secara keseluruhan dapat menurunkan pula
produktivitas ikan.
b. Pembelokan aliran air tawar
Mangrove untuk hidupnya tidak mutlak memerlukan air asin. Pada
kenyataannya perkembangan mangrove yang baik terjadi di daerah yang
mempunyai masukan air tawar yang cukup. Di daerah beriklim musiman
masukan air tawar ke mangrove juga musiman. Tetapi justru di daerah seperti
ini keperluan akan air tawar bagi manusia pun besar sekali. Aliran air tawar
ke mangrove mungkin diubah oleh berbagai kegiatan di daerah hulu.
Perubahan perubahan dalam pemanfaatan lahan pertanian dan lahan hutan
(misalnya pembalakan) dapat mengubah volume, waktu dan kualitas air yang
memasuki mangrove. Jalan - jalan yang dibuat tegak lurus terhadap arah
aliran air tawar dapat mengganggu proses-proses yang berjalan dalam
ekosistem mangrove. Efek yang paling merusak adalah pengurangan
masukan air secara besar-besaran yang disebabkan oleh penggunaan air oleh
manusia, seperti pembelokan aliran air dari daerah hulu melalui saluran
irigasi. Sama halnya kegiatan manusia yang menyebabkan perubahan volume
dan keteraturan aliran air secara besar-besaran (misalnya bendungan dan
pengatur banjir) mempunyai dampak yang merusak.
c. Eksploitasi Hutan
Eksploitasi hutan mangrove secara besar-besaran yang dilakukan untuk
keperluan kayu, tatal dan bubur kayu. Biasanya eksploitasi ini dilakukan
dengan tebang habis. Kegiatan eksploitasi hutan mangrove perlu dilakukan
secara hati-hati guna memperkecil kerusakan yang mungkin terjadi,
khususnya untuk menjamin kelangsungan mata rantai ekologi adalah
ekosistem mangrove sehingga fungsinya sebagai sumber keanekaragaman
hayati dan stabilisasi lingkungan dapat dipertahankan.
d. Konversi Lahan
Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu
dianggap daerah yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian
21
dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang
semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternatif.
Reklamasi seperti itu telah memusnahkan ekosistem mangrove dan juga
mengakibatkan efek-efek yang negatif terhadap perikanan di perairan pantai
dan sekitarnya. selain itu kehadiran saluran-saluran drainase dapat mengubah
sistem hidrologi air tawar didaerah mangrove yang masih utuh yang terletak
kearah laut dan hal ini dapat mengakibatkan dampak negatif.
e. Tumpahan Minyak
Angkutan minyak bumi dan hasil-hasil olahannya dengan kapal laut semakin
meningkat. Kebocoran, tumpahan dan pembuangan bahan tersebut ke laut
sudah sering terjadi. Di berbagai tempat, jalur-jalur angkutan ini berbatasan
dengan kawasan mangrove (misalnya Selat Malaka) dan kebocoran serta
pembuangan minyak dengan sengaja telah menunjukkan dampak negatif yang
nyata terhadap mangrove. Efek kehadiran minyak di mangrove dapat
dibedakan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah efek yang akut,
segera terlihat dan berkaitan dengan pelaburan oleh minyak pada permukaan
tumbuhan (pepagan, akar tunjang, akar napas) yang mempunyai fungsi dalam
pertukaran udara. Dalam kondisi pelaburan oleh minyak yang sangat kuat,
tumbuhan mangrove dapat mati dalam waktu 72 jam. Pengguguran daun dan
kematian pohon-pohon mangrove di tempat tempat yang paling berpengaruh
terjadi 4 - 5 minggu. Kategori kedua berkaitan dengan peracunan kronik
dalam jangka panjang tumbuhan mangrove dan fauna yang bersangkutan oleh
komponen racunyang terkandung dalam minyak.
f. Pembuangan Limbah
Kegiatan pertanian, Agro industri, industri kimia dan rumah tangga
menghasilkan limbah yang beraneka dan kemudian dibuang ke sungai atau
pantai. Limbah cair terlarut akan membentuk suspensi dalam air. Sebagian
limbah cair ini berupa bahan anorganik, yang terdapat didalam juga, tetapi
kehadiran dalam jumlah yang berlebihan dalam lingkungan aquatik,
menyebabkan bahan itu tidak dapat terurai secara alami, dan
g. Kebakaran Hutan
22
2.9. Pentingnya Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Vannucci (2004) mengemukakan bahwa pengelolaan sumber daya
ekosistem mangrove secara berkelanjutan sangat signifikan untuk dilaksanakan
secara serius. Apabila hal ini tidak diperhatikan dengan baik maka akan
berdampak negatif tidak hanya pada ekosistem mangrove saja tetapi ekosistem
pesisir sekitarnya serta dapat memepengaruhi sistem pesisir secara keseluruhan.
Hal ini disebabkan karena mangrove merupakan komponen utama yang
melindungi pesisir tropis serta mempunyai peranan fisik, kimia dan biologi yang
sangat penting. Selanjutnya menurut Moberg dan Ronnback (2003) dalam
Alongi (2009), ekosistem mangrove menyediakan sejumlah besar barang dan jasa
bernilai sosial ekonomi yang dimanfaatkan oleh manusia, baik secara komersial
maupun untuk kepentingan langsung hidup manusia.
2.10. Masyarakat Pesisir
2.10.1.Karakteristik Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir berdasarkan hubungan, adaptasi dan pemahaman
terhadap daerahnya menurut Purba (2002) dapat dibedakan menjadi tiga tipe
yaitu:
a) Masyarakat Perairan, yaitu kesatuan sosial yang hidup dari sumberdaya
perairan, cenderung terasing dari kontak dengan masyarakat lain, lebih banyak
hidup dilingkungan perairan daripada darat, berpidah- pindah dari satu
teritorial perairan tertentu. Golongan ini cenderung egaliter dan mengelompok
dalam kekerabatan setingkat dan kecil.
b) Masyarakat nelayan, golongan ini umumnya sudah bermukim secara tetap di
daerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat lain, sistem
ekonominya bukan lagi subsistem tetapi sudah ke sistem perdagangan yaitu
hasil sudah tidak dikonsumsi sendiri namun sudah didistribusikan dengan
imbalan ekonomis kepada pihak lain. Meski memanfaatkan sumberdaya
perairan, namun kehidupan sosialnya lebih banyak dihabiskan di darat.
c) Masyarakat pesisir tradisional. Meski berdiam dekat perairan laut, tetapi
sedikit sekali menggantungkan hidupnya di laut. Mereka kebanyakan hidup
dari pemanfaatan sumberdaya di daratan sebagai petani, pemburu atau
23
peramu. Pengetahuan tentang lingkungan darat lebih mendominasi daripada
pengetahuan lautan.
Sedangkan pengertian masyarakat pesisir menurut Sunoto (1997) dibedakan
menjadi 2 kelompok berdasarkan jenis kegiatan utamanya, yaitu: nelayan
penangkap ikan dan nelayan petambak. Nelayan penangkap ikan adalah seseorang
yang pekerjaan utamanya di sektor perikanan laut dan mengandalkan ketersediaan
sumberdaya ikan di alam bebas. Nelayan petambak didefeniskan sebagai nelayan
yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut lainnya
yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai.
Kusumastanto (2002) memberikan gambaran karakteristik umum
masyarakat pesisir adalah sebagai berikut: pertama, ketergantungan pada kondisi
ekosistem dan lingkungan. Keadaan ini berimplikasi pada kondisi sosial ekonomi
masyarakat pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya
pencemaran, karena dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Kedua, ketergantungan pada musim, ini karakteristik yang menonjol
di masyarakat pesisir, terutama bagi nelayan kecil. Pada musim paceklik kegiatan
melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur
dan ketiga, ketergantungan pada pasar. Karena komoditas yang mereka hasilkan
harus segera dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka
nelayan dan petambak harus menjual sebagian besar hasilnya dan bersifat segera
agar tidak rusak.
2.10.2 Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Hutan Mangrove
Menurut Raharjo (1999) dalam Tuwo (2011) kemiskinan adalah ciri yang
sangat menonjol dari kehidupan masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya
nelayan. Secara umum nelayan lebih miskin dibandingkan petani. Hal ini
terutama disebabkan oleh :
1) Tantangan alam yang dihadapai oleh nelayan sangat berat termasuk faktor
musim
2) Pola kerja yang homogen dan bergantung hanya pada satu sumber penghasilan
3) Keterbatasan penguasaan modal, perahu dan alat tangkap
4) Keadaan pemukiman perumahan yang tidak memadai
5) Karakteristik sosial ekonomi belum mengarah pada sektor jasa lingkungan
24
2.10.3 Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Menurut Wardojo (1992) partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat baik
dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk
sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok
masyarakat yang lain dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam
pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat
dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil
pembangunan yang telah dicapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak
hanya diukur dengan kemauan masyarakat untuk menanggung pembangunan,
biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut
menentukan arah dan tujuan pembangunan di wilayah mereka. Ukuran lain yang
dipakai adalah ada tidaknya kemauan masyarakat untuk secara mandiri
melestarikan dan mengembangkan hasil dari pembagunan.
Tulungen et al. (2003) berpendapat bahwa dalam mengembangkan
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berbasis masyarakat, rasa kepemilikan
dan tanggung jawab masyarakat terhadap sumberdaya pesisir mereka perlu
dikembangkan. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa sistem
pengelolaan yang sentralistik tidaklah efektif dalam mengelola sumberdaya pesisir
pada suatu tatanan yang berkelanjutan. Kepemilikan dan tanggung jawab
masyarakat atas sumberdaya mereka sendiri. Pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir berbasis masyarakat juga merupakan satu proses pemberdayaan
masyarakat pesisir secara politik dan secara ekonomi sehingga mereka dapat
mempertegas haknya dan memperoleh akses yang benar dan kontrol dalam
pengelolaan atas sumberdaya pesisir mereka. Idealnya, prakarsa dan usaha
menggerakkan proses ini haruslah datang dari masyarakat itu sendiri. Biasanya,
dengan kondisi masyarakat yang tidak berdaya, mereka tidak memiliki
kemampuan untuk mengawali suatu proses perubahan dari diri mereka sendiri.
Beberapa contoh pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat dapat
dikenal di beberapa daerah di Indonesia seperti di beberapa desa pesisir di
Kabupaten Minahasa, yang telah mengembangkan rencana pengelolaan
sumberdaya pesisir berbasis masyarakat, daerah perlindungan laut dan daerah
perlindungan mangrove, serta aturan-aturan tingkat desa tentang pengelolaan
25
sumberdaya pesisir. Contoh lain juga dapat dikenal melalui pengelolaan mangrove
di Sinjai, Sulawesi Selatan.
2.11. Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Menurut Adrianto (2004) bahwa alternatif pengelolaan dapat diterapkan
kepada ekosistem mangrove dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi,
kemungkinan dan prioritas pembangunan, aspek teknis, politis dan sosial
masyarakat di kawasan mangrove. Alternatif dapat berupa kawasan preservasi
hingga kawasan penggunaan ganda (multiple uses) yang mernberlikan ruang
kepada pemanfaatan ekosistem mangrove untuk tujuan produktif. Contoh
alternatif pengelolaan ekosistem mangrove terlihat pada Tabel 2
Tabel 2. Contoh Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pilihan Pengelolaan
Deskripsi
Kawasan lindung Larangan pemanfaatan produktif
Kawasan kehutanan subsistem
Pengelolaan kawasan hutan
mangrove oleh masyarakat;
pemanfaatan hutan mangrove oleh
masyarakat
Kawasan hutan komersial
Pemanfaatan komersial produk hutan
mangrove
Akua-silvikultur
Konversi sebagian kawasan hutan mangrove untuk kolam ikan
Budidaya perairan semi-intensif
Konversi hutan mangrove untuk
budidaya perairan dengan teknologi
semi intensif
Budidaya perairan intensif
Konversi hutan mangrove untuk
budidaya perairan dengan teknologi
intensif
Pemanfaatan hutan komersial dan Pemanfaatan ganda dengan tujuan
budidaya perairan semi intensif
memaksimalkan manfaat dari hutan
mangrove dan perikanan
Pemanfaatan ekosistem mangrove Pemanfaatan ganda dengan tujuan
subsisten dan budidaya perairan semi memberikan manfaat mangrove
intensif kepada masyarakat lokal dan
perikanan
Konversi ekosistem mangrove
Konversi kawasan mangrove
menjadi peruntukan lain
Sumber : Adrianto (2004).
26
Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam
harus dirumuskan dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk optimasi fungsi
ekosistem/sistem/habitat dengan kondisi perairan. Secara garis besar, kegiatan
tersebut berupa kegiatan pelestarian, pengembangan dan rehabilitasi ekosistem.
Kegiatan pelestarian ekosistem ditujukan terhadap ekosistem yang fungsinya
dalam keadaan optimum agara fungsinya dapat lestari. Oleh sebab itu guna
mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan, untuk memenuhi kebutuhan manusia
terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat diwilayah
pesisir dan lautan.