5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pertanian Presisi
Pertanian presisi merupakan sebuah konsep manajemen yang mengumpulkan
data dari berbagai sumber untuk menghasilkan sebuah keputusan yang berkenaan
dengan produksi pertanian (Shields, 1998). Menurut Brase (2005), pertanian presisi
(precision agriculture) juga disebut sebagai pertanian spesifik lokasi yang bertujuan
mengumpulkan data untuk pengambilan keputusan mengenai produksi pertanian yang
sesuai dengan lokasi tertentu. Secara umum, pertanian presisi didefinisikan sebagai
sistem menejemen produksi pertanian yang berbasis teknologi informasi untuk
mengidentifikasi, menganalisis, dan mengelola faktor-faktor produksi untuk
mengoptimumkan keuntungan, daya tahan, dan perlindungan sumber daya lahan (Singh,
2007). Menurut Chartuni (2007) ada tiga tahapan dalam penerapan pertanian spesifik,
yaitu: pengumpulan data, intrepretasi data, dan aplikasi di lapangan. Gambar 1
menunjukkan tahapan penerapan pertanian spesifik.
Gambar 1 Tahapan pertanian presisi (Chartuni, 2007)
Pengumpulan data dilakukan untuk mengetahui kondisi komponen-komponen
pendukung produksi, seperti topografi, hara tanah, dan kondisi lingkungan. Data-data
tersebut kemudian diolah dan diinterpretasikan sebagai hasil (keputusan) mengenai
teknis produksi dilapangan. Selanjutnya, aplikasi dari keputusan tersebut dilaksanakan
sebagai pekerjaan produksi di lapangan. Penerapan konsep pertanian presisi memberi
warna baru dalam usaha produksi pertanian di seluruh dunia.
6
Sejak diaplikasikannya GPS (Global Positioning System) lima belas tahun lalu,
konsep pertanian presisi mulai bermunculan di banyak negara. Penggunaan GPS dalam
pertanian banyak dimanfaatkan untuk: aplikasi pestisida, aplikasi kapur, aplikasi pupuk,
dan untuk pemantauan proses panen pada lahan yang sangat luas (Grisso, 2009).
Penggunaan sistem navigasi berbasis GPS membantu operator mengurangi kesalahan
aplikasi dan tumpang tindih dalam pekerjaan lahan yang sebelumnya sangat bergantung
pada akurasi visual.
Selain untuk mengurangi kesalahan faktor manusia dalam pekerjaan,
keuntungan penerapan pertanian presisi dapat dilihat dari dua aspek lainnya, yaitu:
aspek ekonomi dan lingkungan. Keuntungan ekonomi dapat diperoleh karena konsep
pertanian presisi memberi hasil keluaran (keputusan) yang meminimalkan biaya operasi
dan meningkatkan pendapatan. Sementara itu, keuntungan dari sisi lingkungan dapat
diperoleh karena konsep pertanian presisi memiliki kemampuan untuk mengelola
keputusan dalam mengurangi dampak pada sumber daya alam (Brase, 2005). Beberapa
komponen teknologi yang menjadi syarat diterapkannya konsep pertanian presisi antara
lain: Geographical Information Systems (GIS), Global Positioning Systems (GPS),
sensors, Variable Rate Technology (VRT), dan Yield Monitoring (YM) (Rains dan
Thomas, 2009).
Global Positioning System (GPS)
Posisi dari sebuah titik di sebuah ruang dapat diketahui jika dilakukan
pengukuran jarak dari titik tersebut terhadap titik lain yang telah diketahui posisinya
(Bao, 2005). Global Positioning System (GPS) adalah salah satu teknologi kunci yang
memungkinkan penentuan posisi sebuah titik pada pola keruangan. GPS terdiri atas
konstelasi 24 satelit pada ketinggian orbit di atas bumi yang menempati 6 orbit yang
mengelilingi bumi. Satelit ini secara terus menerus mentransmisikan sinyal radio yang
diambil dan diuraikan dengan penerima khusus (Rains dan Thomas 2009). Penentuan
lokasi titik dilakukan menggunakan persamaan (1), (2), dan (3) (Bao, 2005):
√ (1)
√ (2)
√ (3)
7
Karena terdapat tiga parameter yang tidak diketahui dan tiga persamaan
penyelesaian, maka ketiga parameter tersebut seharusnya dapat dicari solusinya. Secara
teoritis, seharusnya terdapat dua solusi pada tiap persamaan karena bentuk persamaan
yang ada adalah persamaan kuadrat ordo kedua. Menggunakan linearisasi dan
pendekatan iterasi, maka ketiga parameter yang tidak diketahui dapat dicari solusinya.
Ilustrasi perhitungan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Ilustrasi penentuan lokasi menggunakan GPS (Bao, 2005)
Pembacaan GPS memberikan informasi posisi dalam pasangan latitude-longitude,
tetapi ditransformasikan menjadi koordinat x,y untuk penggunaan dalam sistem
koordinat lapangan. Srivastava et al. (2006) menyatakan bahwa Transformasi
mengasumsikan bumi sebagai elips dengan properti yang diberikan oleh J.P Snyder
pada tahun 1978 dalam Srivastava et al (2006) dan memanfaatkan persamaan (4) dan
(5):
[ ] (4)
( )
[ ] (5)
√
(6)
Di mana : Lat = latitude (radian)
Lon = longitude (radian)
dLat = diferensial dari latitude
Satelit 1 Satelit 3
Satelit 2
Titik yang diukur
8
dLon = diferensial dari longitude
dx = diferensial dari dimensi x (timur-barat)
dy = diferensial dari dimensi y (utara-selatan)
a = jari-jari equator (6.378.135 m)
b = jari-jari polar (6.356.750 m)
Persamaan (4) dan (5) harus diintegralkan untuk memperoleh koordinat bidang. Jika dua
titik di lapangan cukup dekat (biasanya dalam perubahan 1 menit dalam longitude atau
latitude), hasil integrasi berikut mendekati bentuk persamaan (7) dan (8) dengan
beberapa variabel yang dijelaskan oleh persamaan (9) dan (10) :
(7)
(8)
Di mana : x – x0 = perpindahan dalam arah timur-barat (m)
y – y0 = perpindahan dalam arah utara selatan (m)
x0 = posisi referensi x
y0 = posisi referensi y
Lon0 = posisi referensi longitude
Lat0 = posisi referensi latitude
[ ] (9)
( )
[ ] (10)
Akurasi GPS dalam menentukan posisi dipengaruhi oleh cuaca dan aktivitas
penerima. Menurut Ehsani (2003) akurasi GPS biasa yang bekerja pada aktivitas
dinamis akan menurun dibandingkan jika dioperasikan pada aktivitas statis. Untuk
meningkatkan akurasi penentuan lokasi, maka digunakan metode Real Time Kinematic
(RTK) dimana pada metode tersebut dua receiver GPS melakukan tracking pada satelit
yang sama sehingga akurasi pengukuran dapat meningkat hingga 2-5 cm (El-Rabbany,
2002). Selain itu, dikenal juga metode penentuan Real Time Differensial GPS yang
menggunakan receiver base dengan posisi statis dan dapat memberi koreksi jarak pada
rover melalui format Radio Technical Commission for Maritime Service (RTCM)
sehingga posisi rover dilapangan dapat menjadi lebih akurat. Ilustrasi penggunaan
DGPS diperlihatkan pada Gambar 3.
9
Gambar 3 Penggunaan DGPS (El-Rabbany, 2002)
Kemampuan DGPS untuk memberikan data posisi hingga akurasi sentimeter
telah membuat sebuah revolusi pada teknis pertanian. Beberapa contoh penerapan
DGPS untuk kegiatan pertanian antara lain: pengambilan data sampel tanah berdasarkan
posisi sampling dapat mempermudah pembuatan peta kesuburan tanah, jika DGPS
diintegrasikan dengan sistem pemandu udara maka proses penyemprotan menggunakan
pesawat udara (baik untuk pupuk ataupun pestisida) dapat lebih akurat dan memiliki
dosis variabel sesuai data kesuburan tanah atau kondisi tanaman yang telah ada
(Gambar 3). Selain itu, kegunaan DGPS dalam proses panen sangat membantu petani
skala besar untuk membuat panduan bagi mesin panen agar bekerja pada posisi lahan
yang telah siap dipanen (El-Rabbany, 2002).
Gambar 4 Penggunaan DGPS untuk penyemprotan (El-Rabbany, 2002)
10
Geographic Information System (GIS)
Sistem Informasi Geografi (GIS dalam bahasa Inggris) merupakan suatu sistem
yang terdiri dari komponen perangkat keras, perangkat lunak, data geografis, dan
sumber daya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukkan,
menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi,
mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis
geografis (Tim Teknis Nasional, 2007). GIS sudah banyak diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari tanpa kita sadari. Selain itu, GIS sudah banyak diterapkan untuk bidang
pertanian, militer, kependudukan, pariwisata, dan bidang-bidang lainnya (Sutton, 2009).
Saat ini telah banyak software aplikasi untuk pembuatan GIS, di antaranya Arc
View, Quantum GIS, Map Info, Arc Info, dan sebagainya. Hasil keluaran pengolahan
data raster pada software aplikasi merupakan sebuah peta digital yang memiliki
berbagai informasi, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5. Kedua gambar tersebut
merupakan pemetaan satu daerah yang sama, namun setelah diolah menggunakan
aplikasi GIS dapat diperoleh dua informasi yang berbeda yaitu: peta topografi dan peta
pariwisata.
Gambar 5 Hasil pengolahan GIS
Manfaat yang diperoleh dari hasil olahan peta pada Gambar 5 sangat banyak,
salah satu contohnya untuk rencana pembangunan infrastruktur dalam rangka
pemanfaatkan potensi obyek wisata. Dalam bidang pertanian GIS sudah banyak
digunakan untuk peta kesuburan lahan, peta aplikasi pupuk, dan peta aplikasi pestisida.
Solahudin (2010) menggunakan pengolahan citra digital untuk memetakan posisi dan
jumlah gulma pada lahan kedelai untuk aplikasi herbisida seperti pada Gambar 6.
11
Gambar 6 Pemetaan gulma pada lahan kedelai (Solahudin, 2006)
Peta gulma yang terbentuk dapat memberi informasi untuk referensi dosis
herbisida yang harus diterapkan menggunakan Variable Rate Applicator. Sementara itu,
Astika (2010) membuat peta kebutuhan unsur hara tanaman padi sawah menggunakan
pengolahan citra digital berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD). Warna hijau tanaman
padi dibandingkan dengan warna hijau pada BWD sehingga dapat diketahui kebutuhan
unsur hara N, P, dan K. data-data tersebut kemudian disusun menjadi peta dosis
pemupukan (Gambar 7) yang dibutuhkan sebagai referensi bagi aplikasi mesin pemupuk
berbasis VRT.
Gambar 7 Peta kondisi tanaman padi berdasarkan BWD (Astika, 2010)
2 2 1 1
3 3 2 1
3 3 1 3
2 2 1 3
3 1 3 5
4 2 4 3
2 1 5 5
2 3 5 5
12
Variable Rate Applicator (VRA)
VRA merupakan sebuah sistem terintegrasi yang dapat mengeluarkan output
sesuai dengan kebutuhan objek. Di dalam bidang pertanian teknologi VRA banyak
digunakan untuk aplikasi pupuk maupun herbisida atau pestisida. Penelitian yang
dilakukan oleh Mohammadzamani (2009) menyimpulkan bahwa penggunaan VRA
pada aplikasi herbisida dapat mengurangi penggunaan herbisida 13% dibanding metode
URT. Penggunaan metode pertanian presisi dalam aplikasi VRA dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu: map-based dan sensor-based (Setiawan, 2001). Map-based
VRA merupakan metode penggunaan VRA yang didasari oleh kebutuhan pemupukan
lahan dalam sebuah peta pemupukan. Metode ini membutuhkan teknologi GPS untuk
mengetahui posisi VRA sehingga dosis yang dikeluarkan akan sesuai dengan kebutuhan
hara tanah pada lokasi tersebut. Sementara itu, metode sensor-based lebih
mengedepankan penggunaan sensor hara tanah yang dapat menduga kebutuhan pupuk
oleh tanah secara real time sehingga pada metode kedua teknologi GPS tidak lagi
diperlukan.
Pada tahun 2010, Azis melakukan penelitian mengenai kontrol kecepatan
metering device pada mesin pemupuk dosis variabel (Gambar 8).
Gambar 8 Uji kontrol dosis pupuk (Azis, 2010)
Hasil penelitian tersebut menginformasikan bahwa perubahan laju putaran
metering device dapat proporsional dengan jumlah pupuk yang dikeluarkan sehingga
pengaturan dosis pupuk dapat dilakukan. Lebih jauh lagi, penelitian lanjutan untuk
13
pengembangan mesin pemupuk laju variabel telah dilakukan oleh Sapsal (2011). Unit
pemupuk yang dibuat oleh Azis dikembangkan menjadi 4 unit yang bekerja secara seri
dan disambungkan dengan traktor penanam bibit padi sawah (Transplanter) sehingga
dapat diaplikasikan pada lahan sawah (Gambar 9).
Gambar 9 Mesin pemupuk dosis variabel (Setiawan, 2010)
Peranan Unsur N, P, dan K dalam Pertumbuhan Tanaman Padi
Tanaman padi memiliki tiga tahapan pertumbuhan, yaitu: fase vegetatif, fase
reproduktif, dan fase pemasakan (Suratno, 1997). Ketiga fase tersebut sangat
mempengaruhi jumlah pupuk yang harus diaplikasikan agar diperoleh hasil panen yang
maksimal. Tiga unsur hara yang sangat mempengaruhi pertumbuhan padi antara lain:
Nitrogen (N), Phospor (P), dan Kalium (K).
Unsur hara N berperan penting pada fase pertama pertumbuhan tanaman padi.
Fase pertama atau vegetatif, meliputi pertumbuhan tanaman dari mulai berkecambah
sampai dengan inisiasi primordia malai (hari ke-0 hingga 60 setelah berkecambah). Fase
ini merupakan tahapan yang menyebabkan perbedaan umur panen karena lama fase-fase
reproduktif dan pemasakan tidak dipengaruhi oleh varietas maupun lingkungan. Selama
fase vegetatif, jumlah anakan bertambah dengan cepat, tanaman bertambah tinggi, dan
daun tumbuh secara regular. Pada fase vegetatif sangat dibutuhkan hara Nitrogen agar
tanaman dapat tumbuh dengan baik (Suratno, 1997). Namun, menurut Sugiyanta (2007)
efisiensi pemupukan N tidak akan meningkat setelah aplikasi dosis pemupukan N
mencapai 60 kg N/ha. Pada dosis tersebut diperoleh efisiensi pemupukan sebesar 34 kg
1. Antena GPS
2. Modul Kontrol
3. Variable Rate Granular
Fertilizer Applicator
4. Traktor Penanam Padi
5. Sensor Putaran Roda
Penggerak
2
1
4
3
5
14
gabah/kg N dengan hasil gabah mencapai 6.73 ton/ha tetapi hasil gabah tidak meningkat
walaupun dosis N dinaikkan hingga 180 kg N/ha (Tedjasarwana dan Permadi (1991)
dalam Sugiyanta (2007)). Menurut Witt et al (1999) dalam Sugiyanta (2007) efisiensi
hara N pada padi sawah berkisar 23-100 kg gabah/kg N. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa peningkatan aplikasi pupuk N pada tanaman padi tidak serta merta meningkatkan
hasil produksi padi, namun ada titik optimal yang harus dicapai untuk memperoleh hasil
yang maksimal.
Unsur hara selanjutnya, yaitu P berperan dalam proses fotosintesis, glikolisis,
metabolism asam amino, dan menyimpan serta memindahkan energi yang
mengintegrasikan membran. Fase selanjutnya, reproduktif, ditandai dengan
memanjangnya beberapa ruas teratas pada batang bersamaan dengan inisiasi primordia
malai. Pada fase ini kebutuhan hara P sangat besar sehingga kekurangan jenis unsur
hara ini sebaiknya dapat dicegah agar pertumbuhan produksi padi tidak terganggu
(Mario, 2008).
Unsur hara ketiga (K) berfungsi sebagai osmoregulan, aktivasi enzim, pengatur
pH di tingkat selular, keseimbangan kation-anion tingkat sel, pengaturan transpirasi
melalui pengaturan bukaan stomata, dan transportasi asimilat (Sugiyanta, 2007). Selain
itu, unsur K juga berperan dalam memperkuat dinding sel tanaman dan terlibat dalam
lignifikasi jaringan sklerenkim yang dihubungkan dengan ketahanan tanaman terhadap
penyakit. Unsur K dapat diperoleh dari air irigasi sungai dan pengembalian jerami ke
lahan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemupukan K dengan dosis 100 kg KCl
dapat meningkatkan hasil dari 3.84 ton gabah/ha menjadi 5.12 ton gabah/ha. Di samping
itu, aplikasi jerami padi sebanyak 5 ton/ha memberikan hasil yang tidak berbeda nyata
dengan pemupukan 100 kg KCl. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengembalian
jerami ke lahan dapat mensubstitusi penggunaan pupuk Kalium (Syam dan Hermanto
(1995) dalam Sugiyanta (2007)).
Rekomendasi Takaran Pupuk
Aplikasi pupuk pada budidaya padi sawah harus diperhitungkan agar diperoleh
respon pertumbuhan tanaman yang baik. Menurut Mario (2008) terdapat beberapa cara
untuk menentukan dosis rekomendasi bagi kebutuhan unsur hara tanaman (Nitrogen,
Fosfat, dan Kalium). Unsur Nitrogen yang dibutuhkan tanaman dapat diukur
15
menggunakan Bagan Warna Daun (BWD) dengan membandingkan warna skala pada
BWD dengan warna aktual daun yang sedang diamati. Secara umum, rekomendasi
pemupukan N yang telah dikeluarkan oleh Deptan dalam kartu BWD (Tabel 1) dapat
menjadi acuan dalam aplikasi pemupukan. Namun terdapat juga satu pola yang menjadi
ketetapan seperti pada contoh, apabila pada suatu daerah tanaman padi di suatu lokasi
menghasilkan gabah sebanyak 3 t/ha tanpa pemupukan N, sedangkan target hasil adalah
6 t/ha, maka tambahan pupuk urea yang diperlukan adalah sekitar 325 kg tanpa
penggunaan bagan warna daun (BWD) dan 250 kg dengan BWD (Deptan, 2007).
Tabel 1. Rekomendasi Pemberian Pupuk N
Nilai warna daun dengan BWD
Tingkat hasil (GKG)
5 t/ha 6 t/ha 7 t/ha 8 t/ha
Takaran urea (kg/ha)
2 – 3 75 100 125 150
Antara 3 dan 4 50 75 100 125
4 – 5 0 0 atau 50 50 50
Sementara itu, rekomendasi takaran unsur P pada pemupukan dapat dilakukan
menggunakan analisis tanah metode HCl 25%. Hasil analisis tanah akan
mengkategorikan kondisi tanah kedalam status P rendah, sedang atau tinggi, selanjutnya
jumlah pupuk P yang harus diaplikasikan disesuaikan dengan kriteria status P seperti
pada Tabel 2 (Mario, 2008).
Tabel 2. Rekomendasi Pemberian Pupuk P
Status Hara
P Tanah
Kadar P2O5 (ekstrak HCl 25%)
(mg/100g tanah)
Takaran P++
(kg SP36/ha/musim)
Rendah < 20 100
Sedang – 40 75
Tinggi >40 50* *) dapat diberikan satu kali dua musim tanam
Berbeda dengan unsur N dan P, penambahan unsur K akan menghasilkan respon
yang baik jika diaplikasikan pada tanah dengan kadar K rendah. Sementara aplikasi
16
pada tanah dengan kandungan K sedang dan tinggi tidak memberikan respon yang
besar. Takaran pupuk K pada tanah ditetapkan berdasarkan analisis tanah dengan
metode HCl 25%. Atas dasar hasil analisis, status K tanah dapat dipilah dalam kriteria
rendah, sedang, dan tinggi. Tabel 3 menunjukkan rekomendasi takaran pupuk K
berdasarkan status K tanah (Mario, 2008).
Tabel 3. Rekomendasi Pemberian Pupuk K
Status Hara
K Tanah
Kadar K2O (ekstrak HCl 25%)
(mg/100g tanah)
Takaran K++
(kg KCl/ha/musim)
Rendah < 10 100
Sedang 10 – 20 50
Tinggi >20 50
Teknis Pemupukan Padi Sawah
Pemupukan padi sawah memiliki beberapa istilah seperti: pemupukan
berimbang, pemupukan spesifik lokasi, dan pengelolaan hara spesifik lokasi. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa pemupukan berimbang mengacu kepada
keseimbangan antara unsur hara yang dibutuhkan tanaman padi berdasarkan sasaran
hasil yang ingin dicapai dengan ketersediaan hara dalam tanah (Buresh, 2006).
Sementara itu, penerapan pemupukan berimbang belum dapat direalisasikan di
masyarakat karena penggunaan metode URT yang masih mendominasi dan didukung
oleh ketersediaan peralatan yang cukup banyak bagi pelaksanaan metode URT.
Menurut Buresh (2006), tahapan dosis pemupukan didasari oleh umur tanam
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Tahapan Dosis Pemupukan
Pertumbuhan Awal Anakan
Aktif Primordia Matang
Gambar
Umur,
(HST) 0 – 14 21 – 28 35 – 50 -
Nitrogen
Takaran sedang
(50-100 kg
urea/ha)
Berdasarkan
BWD**
Berdasarkan
BWD** -
Fosfor
dan 100% - - -
17
Sulfur*
Kalium 50% - 100% - Bila perlu
50% -
*) Bila diperlukan; **) Bagan Warna Daun
Dosis yang diberikan merupakan dosis seragam dengan satuan kilogram per
hektar. Aplikasi pemupukan dilapangan sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan
yang menjadi tempat tumbuh tanaman padi. Pada umumnya, waktu aplikasi pupuk pada
padi sawah sangat dipengaruhi oleh jenis pupuk yang diaplikasikan.
Menurut Maspary (2011), jika digunakan kombinasi pupuk Urea, SP36, dan KCl
dengan perbandingan (200-250 kg/ha: 100-150 kg/ha: 75-100 kg/ha) maka satu hari
sebelum penanaman dilakukan penyebaran pupuk SP36 100%. Setelah umur 7 hari
setelah tanam (HST) dilakukan penyebaran Urea 30% dengan KCl 50%. Ketika umur
20 HST lakukan penyebaran Urea 40% dan setelah umur 30 HST lakukan penyebaran
Urea 30% dan KCl 50%. Jika digunakan Urea, SP36 dan KCl namun mempunyai BWD,
maka proses aplikasi pertama dan kedua sama seperti diatas namun setiap minggu
diperlukan pengetesan warna daun menggunakan BWD. Jika hasil pengetesan tersebut
dirasa membutuhkan penambahan Urea maka dilakukan penambahan dengan jumlah
yang sedikit (10%). Pengetesan dilakukan sampai tanaman berumur 40 HST. Pada umur
30 HST KCl yang tersisa 50% diaplikasikan seluruhnya.
Sementara itu, jika digunakan pupuk Urea dan NPK Phonska (100 kg/ha: 300
kg/ha), maka pada umur 7 HST berikan Urea 30% dan NPK Ponska 50%. Pada umur 20
HST, berikan Urea 40% dan setelah umur 30 HST berikan Urea 30% dan NPK Ponska
50%. Jika menggunakan BWD, pada 7 HST pupuk NPK Ponska dapat diberikan 50%
tanpa diiringi oleh Urea. Satu minggu kemudian, lakukan tes BWD dan jika tanaman
membutuhkan Urea maka dapat diaplikasikan sebesar 10%. Hal tersebut dilakukan
hingga tanaman berumur 40 HST, pada umur 30 HST NPK Ponska yang tersisa 50%
diberikan semuanya.
Selanjutnya, jika digunakan Urea dan NPK Pelangi (100 kg/ha dan 300 kg/ha).
Berikan NPK Pelangi 100% saat tanaman berumur 1 HST, setelah satu minggu berikan
Urea 30%. Ketika umur 20 HST, maka berikan Urea 40% dan saat tanaman berumur 30
HST 30% Urea terakhir dapat diberikan. Jika BWD dimiliki, maka aplikasikan NPK
Pelangi 100% pada 1 HST, setelah 7 HST lakukan pengetesan menggunakan BWD dan
jika hasil tes dirasa perlu aplikasi Urea maka pupuk Urea dapat ditambahkan 10%, dan
18
demikian seterusnya dilakukan penambahan Urea setelah dilakukan tes BWD setiap
satu minggu sekali.