HAKEKAT ILMU (PERENCANAAN) PEMBANGUNAN WILAYAH
(REGIONAL SCIENCE)
Prof. Dr. Ir. Rudi Wibowo, MS
Prodi Agribisnis UNEJ,
2016
TEORI DAN HAKEKAT PEMBANGUNAN
WILAYAH
KETERBATASAN TEORI EKONOMI KONVENSIONAL
Teori-Teori Ekonomi konvensional tidak mampu ‘menjangkau’ persoalan pembangunan
wilayah yang bersifat ‘unik’ (misalnya: imperfect factor mobility, economic of concentration, imperfect of goods mobility).
Teori Ekonomi Klasik, Neo-Klasik maupun Keynes tidak mampu menjelaskan dengan
baik aspek spasial yang berkaitan dengan distribusi dan kualifikasi dampak (multiplier)
yang menjadi sangat penting dalam pembangunan wilayah. Secara akademik didekati
dalam Ilmu Ekonomi Regional (Regional Economics) dan atau Ekonomi Kelembagaan
(Institutional Economics).
POTENSI SUMBERDAYA DAN KUALIFIKASI DAMPAK DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
Kualitas dan kuantitas penyebaran dari sumberdaya potensial berbagai wilayah
(resources endowment) seringkali berbeda, sehingga keunggulan komparatif
(comparative advantage) wilayah menjadi sangat berbeda antara wilayah yang satu
dengan lainnya. Suatu wilayah tertentu tidaklah dapat dipaksakan untuk menjadi
wilayah industri tertentu jika resource base-nya tidak mengijinkan untuk pembangunan
sektor tersebut.
Dalam konteks pembangunan nasional, kualifikasi dampak dari pembangunan kurang
mendapat perhatian. Akan tetapi dalam konteks regional (wilayah), kualifikasi dampak
(impact multiplier) menjadi masalah yang harus dianalisis dan diperhitungkan secara
seksama.
FOKUS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
Pembangunan Wilayah adalah bagaimana cara mengalokasi sumber daya
potensial wilayah yang bersangkutan agar dapat mendorong pencapaian
tujuan umum pembangunan (growth, income, employment, distribution, environmentally friendships), yang sejauh mungkin dapat ‘ditangkap dan
dinikmati’ wilayah ybs.
Masalah pentingnya adalah : upaya menginternalisasi kualifikasi multiplier
dan memampukan kelembagaan masyarakat (growth from within) untuk
mengurangi negative impact hasil dari pembangunan tersebut.
FAKTOR KRITIS DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
Yang banyak terjadi saat ini adalah bahwa pembangunan wilayah sering
terlepas (uncoupling), dimana wilayah yang bersangkutan tidak mempunyai
kemampuan menangkap manfaat yang ditimbulkan.
Jika hal ini berlangsung terus-menerus, pada gilirannya pasti terjadi
“kebocoran” (regional leakages) manfaat wilayah tersebut yang biasanya
akan diikuti oleh mengalirnya tenaga kerja produktif ke luar wilayah,
sebagai akibat tak dapat ikut-serta dalam proses-proses pembangunan
bersangkutan.
ILMU (EKONOMI) REGIONAL
•Berkembang sejak tahun 1940-an, dipandu oleh Walter Isard dan
diikuti oleh pemikir lain (Alonso, Geenhut, Gillie, Hoover, Losch,
Richardson, Weber, dan lainnya)
•Mengembangkan variabel space (jarak) dan tataruang (spatial, location) dalam analisis ekonomi. Menitikberatkan peran wilayah
dalam sistem ekonomi keseluruhan, antar wilayah, multiplier, dan
kebijakan wilayah.
METODA, ANASISIS DAN PENGEMBANGAN ILMU WILAYAH
•Berdimensi ruang (region). Analisisnya berbasis wilayah, baik bersifat
homogen, nodal (fungsional), ataupun administratif (planning).
•Beberapa metoda analisis yang seringkali digunakan, misalnya
analisis lokasi, economic base, analisis transportasi dan distribusi
berbasis Input-Output maupun linear programming, dst.
•Pada saat ini seringkali ‘bergabung’ dengan analisis-analisis berbasis
institusi (economic institution).
INTEGRASI PENDEKATAN
Ilmu-ilmu
Wilayah
Analisis
Sosio-Kultural
Analisis
Sumberdaya Analisis
Lokasi
Analisis
Ekonomi
Wilayah
RELEVANSI PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH MASA KINI
Tidak ada lagi GBHN, diganti dengan Perpres (misalnya RPJMN 2004-
2009dengan Perpres 7/2005). RPJP 2005-2025 masih digodog Bappenas (?).
Perencanaan Nasional dalam RPJMN tidak cukup. Perlu pengembangan
perencanaan wilayah, berbasis kemampuan dan potensi wilayah.
Perencanaan Pembangunan Wilayah seharusnya bukan lagi ‘fotocopy’ dari
Perencanaan Nasional (sebagaimana selama ini dijumpai, atau hanya
merupakan “pembangunan dari bawah yang digerakkan dari atas”)
EVALUASI MASA OTONOMI DAERAH :
Menonjolnya Ego-Sektor dan ego-kedaerahan
Manajemen Pembangunan Wilayah tersekat-sekat (fragmented), kurang sinergis antar
wilayah dan antar sektor
Partisipasi, transparansi dan pelibatan masyarakat masih terhambat (fenomena rent seeking activities)
Program-program ‘top-down’ sering merusak social capital wilayah
Akuntabilitas pelaksanaan pembangunan sangat terbatas dan sering kurang
substansial sifatnya.
KEBUTUHAN MENDESAK :
Mengembangkan kemampuan masyarakat (dan daerah) dalam
perencanaan pembangunan wilayah berbasis proses dan konsensus
(Institutional building di tingkat grassroot)
Membangun Ketatalaksanaan (SoP) bottom-up planning secara efektif,
kreatif, transparan, akuntabel dan demokratis.
Mengembangkan SDM wilayah sebagai Modal sosial (social capital) ke
arah yang lebih profesional.
GAMBARAN REALITA PEMBANGUNAN WILAYAH
INDONESIA
Indonesia di antara negara-negara Asia
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar, dengan keragaman sumberdaya yang
sangat besar, terutama berbasis pertanian.
Kondisi Indonesia dibandingkan dengan kondisi Korea Selatan, Thailand, Malaysia
dan bahkan dengan Jepang sekalipun, pada akhir tahun 1950an, tidak jauh berbeda.
Apabila berdasar data pendapatan per kapita 2002, diperoleh gambaran bahwa
dengan angka pertumbuhan 5 % per tahun, Indonesia baru akan sama dengan
pendapatan Malaysia pada tahun 2035, sama dengan Korea Selatan pada tahun 2056,
dan sama dengan Thailand pada tahun 2023.
Kondisi Indonesia saat ini
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa setiap pulau berperan dengan fungsinya yang relatif unik.
Pulau Jawa, walaupun luas lahannya hanya 6.75% dari total luas wilayah dengan penduduk 58.6% dari total penduduk Indonesia, masih berfungsi sebagai penghasil pangan dominan (55.6% produksi padi pada tahun 2002).
Luar pulau Jawa sebagai penghasil produk industri dan kehutanan serta perikanan. Potensi-potensi pertanian di luar Jawa secara keseluruhan belum dimanfaatkan secara optimal.
Infrastruktur masih bias Jawa.
Diperlukan langkah-langkah tepat dalam pembangunan wilayah, dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Negara Pendapatan
Perkapita 1957
Pendapatan
Perkapita 2002
Peningkatan
(%)
Peningkatan per
tahun (%)
Indonesia 131 710 441,9 9,8
KorSel 144 9930 6795,8 151,0
Malaysia 356 3540 894,4 19,8
Jepang 306 33550 10864,1 241,4
Thailand 96 1980 1962,5 43,6
India 73 480 557,5 12,4
Cina 73 940 1187,6 26,4
Nepal 45 230 411,1 9,1
Kuwait 2900 18270 530,0 11,8
Pendapatan Perkapita 1957-2002
Gambaran Kasar Ketertinggalan Indonesia Diukur dengan
Pendapatan Perkapita 2002
Negara r = 3% r = 5% r = 7 %
Malaysia 54,5 tahun 32,9 tahun 23,7 tahun
Korea
Selatan
89,5 tahun 54,0 tahun 38,9 tahun
Jepang 130,8 tahun 78,9 tahun 56,9 tahun
Thailand 34,8 tahun 21,0 tahun 15,2 tahun
Perbandingan Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia dengan
Thailand, Malaysia dan Korea Selatan
Indonesia Malaysia Thailand Korea Selatan
1957 2002 1957 2002 1957 2002 1957 2002
GDP perta-
nian (%) 56 17 45 9 38 9 41 4
Tenaga Kerja
Pert n (%) 61 44 58 21* 82 50* 70 12
Perubahan Persentase Penurunan Tenaga Kerja (TK) Pertanian dan
GDP Pertanian dan Elastisitas Perubahan TK Pertanian terhadap
Perubahan GDP Pertanian, Tahun 1957&2002
Indonesia Thailand Malaysia Kor-Sel
Δ% TK Pert.
(A)
17 32 37 58
Δ % GDP
Pert. (B)
39 29 36 37
(A/B) 0,43
1,1 1,02 1,56
DISPARITAS PDB INDONESIA D
KI
15%
Jati
m
14%
Jab
ar
14%
10%
Jate
ng
6%
Su
mu
t
Ka
ltim
6%
5%
Ria
u
4% B
an
ten
Su
ms
el
3%
Su
lsel
2% 3%
NA
D
2%
Pa
pu
a
2%
Su
mb
ar
Ba
li
Lam
pu
ng
Ka
lba
r
Ka
lse
l
DIY
NT
B
Ka
lte
ng
Ja
mb
i
Su
lut
NT
T
Su
lte
ng
Ba
be
l
Ben
gku
lu
Su
ltra
Ma
luk
u
Go
ron
talo
Ma
l.U
tara
2% 2% 2% 2% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 0,5%
0,4% 0,4% 0% 0% 0% 0%
100%
Sumber: PDRB Provinsi-Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha, BPS, 2002
The Largest Urban Agglomerations Cities, 1960 and 1995
Agglomeration 1960 1995
Rank Population Rank Population
NewYork 1 14.2 4 16.3
Tokyo 2 11 1 27.0
London 3 9.1 25 7.6
Shanghai 4 8.8 6 13.6
Paris 5 7.2 18 9.5
Mexico City 14 5.4 2 16.6
Sao Paulo 15 4.7 3 16.5
Bombay 6 4.1 5 15.1
Jakarta 28 2.7 22 8.6
Metro Manila - - 20 9.3
Bangkok - - 29 6.5
Source : Kuncoro, 2000 cited from UNDP, 1988
Urbanizations by Southeast Asian Country, 1960 and 1995
*) Excluding Singapore
Source : Kuncoro, 2000 cited from UNDP, 1988
Degree of Urbanization (%)
Country 1960 1995
Thailand 12.5 20.0
Indonesia 14.6 35.4
Philippines 30.3 54.0
Malaysia 26.6 53.6
Brunei 43.4 69.2
Cambodia 10.3 20.4
Laos 7.9 20.7
Vietnam 14.7 19.4
ASEAN* 20.0 36.6
ASIA 20.8 34.7
WORLD 33.6 45.3
MASALAH-MASALAH PEMBANGUNAN WILAYAH YANG DIPRIORITASKAN DALAM RPJMN 2004-2009
Kesenjangan pertumbuhan antar Wilayah, dan masih banyak wilayah yang tertinggal
dalam pembangunan (remote, border area). Kesenjangan pembangunan desa dan kota.
Kurang berfungsinya Kota-kota sebagai hirarki penggerak dalam sistem kota-desa yang
sinergis.
Negative externalities berkembangnya kota-kota besar yang cepat, sementara kota-kota
kecil lamban berkembang.
Kecenderungan eksploitasi, degradasi dan deplesi sumberdaya alam dan lingkungan
hidup akibat pelanggaran pemanfaatan tata ruang wilayah.
Sistem pengelolaan pertanahan yang kurang baik.
Kurang berkembangnya potensi ekonomi lokal dengan segala infrastrukturnya.
BEBERAPA PROGRAM TERKAIT DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH PADA RPJMN 2004-2009
Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh
Program Pengembangan Wilayah Tertinggal
Program Pengembangan Wilayah Perbatasan
Program Pengembangan Keterkaitan Pembangunan antar Kota
Program Pengembangan Kota-Kota Kecil dan Menengah
Program Pengendalian Pembangunan Kota-Kota Besar dan Metropolitan
Program Penataan Ruang Nasional
Program Pengelolaan Pertanahan
Program-Program Pembangunan Perdesaan (Keberdayaan Masyarakat, Ekonomi Lokal, Infrastruktur Perdesaan, kualitas SDM, Perlindungan dan Konservasi SDA).
KONSEPSI PEMBANGUNAN WILAYAH YANG HARUS
DIKEMBANGKAN
BEBERAPA PRINSIP DASAR
Mengembangkan Partisipasi Masyarakat
Meningkatkan Stok Kapital Perkapita (Increasing Percapita Capital Stock)
Pendekatan Kesejahteraan (Prosperity approach) secara berkelanjutan, yang tercermin
dalam Tujuan Ekonomi, Sosial dan Ekologi.
Optimalisasi pengelolaan sumberdaya wilayah, dengan memperhatikan masalah-
masalah externalities, market failure, impact-multiplier, dan regional leakages.
Secara teknis kualitas pembangunan wilayah memperhatikan empat ciri pokok:
kemerataan (equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability), dan
produktivitas (productivity).
Saat ini Indonesia merupakan negara besar yang relatif ‘tertinggal’
dibanding negara-negara lain di Asia.
Pembangunan Wilayah merupakan instrumen sangat penting dalam
meningkatkan proses pembangunan yang berkelanjutan dan
berkeadilan
Konsepsi pembangunan wilayah dalam era otonomi harus dilakukan
dalam kerangka partisipatory development, mendorong pertumbuhan
dari dalam (growth from within) dengan memperhatikan prinsip-prinsip
dasar pembangunan wilayah.
ILUSTRASI PENINGKATAN STOK KAPITAL PERKAPITA WILAYAH
Man
Made
Capital
Social
Capital
Natural
Capital
Human
Capital
Man
Made
Capital
Social
Capital
Natural
Capital Human
Capital
KONSEPSI PEMBANGUNAN WILAYAH
Tujuan Sosial:
Pengentasan Kemiskinan
dan Pemerataan
Tujuan Ekosistem:
Pengelolaan Sumberdaya
Tujuan Ekonomi:
Pertumbuhan Berkelanjutan
Dan Efisiensi Kapital
•Distribusi Pendapatan
•Kesempatan Kerja
•Bantuan Ke Group Target
•Partisipasi
•Konsultansi/Pendampingan
•Pluralisme
•Evaluasi Dampak Lingkungan
•Penilaian Sumberdaya
•Internalisasi
PRINSIP MANAJEMEN PEMBANGUNAN WILAYAH
Kualitas
Akuntabilitas Otonomi
Evaluasi
diri
Fungsi-fungsi:
•Perencanaan
•Pengorganisasian
•Pelaksanaan
•Pengawasan
Aspek-aspek:
•Kelembagaan
•Ketatalaksanaan
•SDM
Equitability, sustainability,
Stability, productivity
CIRI POKOK EKOSISTEM DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
Equitability (kemerataan), adalah penilaian tentang sejauh mana hasil suatu
kegiatan pembangunan sumberdaya didistribusikan diantara masyarakatnya
Sustainability (keberlanjutan), adalah kemampuan sistem sumberdaya
mempertahankan produktivitasnya, walaupun mendapat gangguan
Stability (stabilitas), adalah ukuran tentang sejauh mana produktivitas
sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi faktor
lingkungan
Productivity (produktivitas), adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik
atau ekonominya.
Growth from Within : meletakkan landasan pembangunan wilayah dalam keragaman dan heterogenitas sumberdaya berdasarkan pengembangan kapital sosial • Kelembagaan produktif di tingkat grass-root
• Rural Producer Organization (RPO’s), misalnya asosiasi-asosiasi petani, lembaga tradisional produktif, koperasi, korporasi petani, Asosiasi UMKM, inkubator, dll.
Pengembangan Partisipasi Masyarakat