Download - 3. Hemodialisis
A. Hemodialisis
1. Pengertian
Hemodialisis adalah dialysis yang dilakukan di luar tubuh. Darah
dikeluarkan dari tubuh, melalui sebuah kateter arteri, masuk kedalam
sebuah mesin besar. Didalam mesin tersebut terdapat dua ruang yang
dipisahkan oleh sebuah membran semipermiable. Darah dimasukkan ke
salah satu ruang, sedangkan ruang yang lain diisi oleh cairan pen-dialisis
atau dilisat yang dipisahkan oleh membrane semipermiabel, dan diantara
keduanya akan terjadi difusi. Darah dikembalikan ke tubuh melalui sebuah
pirau vena (Corwin, 2009).
2. Prinsip Dasar Hemodialisis
Menurut Smeltzer & Bare, 2002 ada tiga prinsip yang mendasari
kerja hemodialisis, yaitu:
a. Difusi
Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi
tinggi, ke cairan dialisat ke konsentrasi yang lebih rendah.
b. Osmosis
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan
gradient tekanan; dengan kata lain, air bergerak dari daerah tekanan
yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan
dialisat).
c. Ultrafiltrasi
Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative
yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialysis. Tekanan
negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada
membran dan memfasilitasi pengeluaran air.
3. Komponen Hemodialisis
a. Akses pada Sirkulasi Darah Pasien
Menurut Smeltzer & Bare, 2002 ada tiga akses sirkulasi pada darah
pasien, yaitu:
1) Kateter Subklavia dan Femoralis
Akses segera kedalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis
darurat dicapai melalui kateterisasi subklavia untuk pemakaian
sementara. Kateter dwi-lumen atau multi-lumen dimasukkan
kedalam vena subklavia.
2) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (yang
biasanya dilakukan pada lengan bawah) dengan cara
menghubungkan atau menyambung pembuluh arteri dengan vena
yang dihubungkan antar sisi atau dihubungkan antara ujung dan
sisi pembuluh darah. Fistula tersebut memerlukan waktu empat
hingga enam minggu untuk menjadi “matang” sebelum siap
digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberikan untuk
member kesempatan agar fistula pulih dan segmen-vena fistula
berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum dengan
ukuran 14 sampai 16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah
agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui
dialiser.
3) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum
dialysis, sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit
sepotong pembuluh arteri atau vena dari sapi, material Gore-Tax
(heterograft) atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya
tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak
cocok untuk dijadikan fistula. Tandur biasanya dipasang pada
lengan bawah, lengan atas atau paha bagian atas.
b. Dialiser
Dialiser merupakan unit fungsional dari sirkuit ekstrakorporeal
yang fungsinya sama seperti nefron sehingga sering disebut dengan
ginjal buatan. Dialiser berbentuk seperti tabung yang dibagi menjadi
dua ruangan atau kompartemen yaitu kompartemen darah yaitu
ruangan yang berisi darah dan kompartemen dialisat yaitu ruangan
yang berisi dialisat yang dipisahkan oleh suatu membran tipis yang
bersifat semipermiabel. Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung
untuk keluar masuk darah dan dua samping untuk keluar masuk
dialisat (Thomas, 2002; KKIGDH, 2010)
Terdapat dua jenis dialiser yaitu jenis hallow fiber dialyzer dan
parallel plate dialyzer. Hingga saat ini hallow fiber dialiser lebih
banyak digunakan karena ukuran dan jenis membran yang lebih
bervariasi serta tahanan yang rendah terhadap aliran darah (Thomas,
2002; Kallenbach et al, 2005)
c. Sirkuit Darah
Sirkuit darah merupakan suatu rangkaian sirkulasi darah. Sirkulasi
darah mengalirkan darah dari dalam tubuh pasien melalui jarum/kanula
(inlet) dengan bantuan pompa darah (blood pump) ke kompartemen
darah dengan kecepatan aliran darah/ quick of blood antara 200-400
ml/menit. Darah dari kompartemen darah kemudian dialirkan kembali
kedalam tubuh pasien melali jarum kanula vena (outlet) (Pardede,
2006).
Menurut KKIGDH, 2010 komponen sirkuit darah yaitu Arterial –
Venouse Blood Line (AVBL) yang terdiri dari Arterial Blood Line
(ABL) dan Venouse Blood Line (VBL).
1) Arterial Blood Line (ABL)
Adalah tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari tubing
akses vascular tubuh pasien menuju dialiser, disebut inlet ditandai
dengan warna merah.
2) Venouse Blood Line (VBL)
Adalah tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari dialiser
dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien disebut outlet
ditandai dengan warna biru.
Selain komponen tersebut, terdapat komponen penting
lainnya yang perlu diperhatikan pada sirkuit darah adalah peranan dari
antikoagulan. Saat darah masuk ke dalam sirkuit dialiser dapat
mengalami pembekuan sehingga diperlukan suatu antikoagulan yang
tepat. Heparin merupakan antikoagulan yang paling sering digunakan
pada dialisis. Pembagian heparin dibagi menjadi 2 tahap yaitu
pemberian dosis awal ( dosis permulaan ) 25 – 100 unit/kgBB
diberikan pada waktu melakukan punksi atau pada persiapan
pemasangan kateter akses vaskuler. Pemberian dosis selanjutnya (dosis
pemeliharaan) yaitu 500 – 2000 unit/jam diberikan selama HD
berlangsung namun 1 jam sebelum HD berakhir maka heparin harus
distop atau habis (Pardede, 2006).
d. Sirkuit Dialisat
Dialisat adalah suatu cairan yang dialirkan kedalam dialiser pada
posisi yang berlawanan dengan kompartemen darah. Tujuan
penggunaan dialisat ini adalah untuk membuat perbedaan konsentrasi
yang mendukung difusi produk akhir dari darah. Dialisat merupakan
larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi tertentu.
Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat dan dialisat
bicarbonate (KKIGDH, 2010).
Kecepatan aliran dialisat/ quick dialysate yang dihubungkan untuk
HD yang adekuat ialah 400- 800 ml/ menit dan monitor pada sirkulasi
dialisat, yaitu temperature, konduktivitas, detector kebocoran darah
dan tekanan dialisat.
e. Proses Hemodialisis
Proses hemodialisis dimulai dari pemasangan kanula sesuai akses
vaskuler yang telah dibuat sebelumnya. Pemasangan kanula inlet
dimasukkan kedalam pembuluh darah arteri sedangkan kanula outlet
dipasang di pembuluh darah vena . Pemasangan kanula inlet dan outlet
berjarak kurang lebih 10cm dengan tujuan yaitu mencegah terjadinya
percampuran darah (Thomas, 2002).
Darah ditarik dari akses vaskuler pasien oleh pompa darah melalui
aliran arteri dengan tekanan negative. Selanjutnya, kecepatan pompa
darah diatur yaitu antara 0-600 ml/menit dengan tujuan agar darah
dapat mengalir menuju dialiser. Sebelum darah sampai ke dialiser,
heparin diinjeksikan ke dalam darah untuk mencegah terjadinya
bekuan pada darah yang masuk kedalam dialiser (Thomas, 2002).
Pada HD, darah dipompa keluar dari tubuh, masuk kedalam mesin
dialiser. Di dalam mesin dialiser, darah dibersihkan dari zat-zat racun
melalui proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu
cairan khusus untuk dialisis), lalu dialirkan kembali kedalam tubuh.
Proses HD dilakukan 1-3 kali seminggu di rumah sakit dan setiap
kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam (KKIGDH, 2010).
Selama proses dialysis pasien akan terpajan dengan cairan dialysis
sebanyak 120-150 ml setiap dialysis. Cairan dialysis terbebas dari
pirogen, berisi larutan dengan komposisi yang mirip dengan serum
normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Zat yang
berat moekul ringan yang terdapat pada dialisat akan dapat dengan
mudah berdifusi kedalam darah selama proses dialysis. Melalui
tekhnik reverse osmosis air akan melewati membrane semipermiabel
yang memiliki pori-pori kecil sehingga dapat menahan molekul dengan
berat molekul kecil seperti urea, natrium dan klorida (Sudoyo, 2006).
4. Pengkajian dan Penatalaksanaan Hemodialisis
a. Perawatan sebelum hemodialisis (Pre HD)
Perawat melakukan pengkajian meliputi meninjau ulang
riwayat pasien dan temuan klinis, respon terhadap terapi dialysis
sebelumnya, hasil laboratorium (misalnya elektrolit), warna kulit,
temperatur kulit, turgor dan integritas kulit, kepatenan akses vaskuler
dan terbebas dari perdarahan dan infeksi, konsultasi dengan pemberi
perawatan lain, dan pengkajian langsung perawatan terhadap pasien
(Morton, 2012; Kallenbach et al, 2005).
Perawat mengevaluasi keseimbangan cairan sebelum dialysis
sehingga tindakan korektif dapat dilakukan pada permulaan prosedur.
Tekanan darah, nadi, berat badan, asupan dan haluaran, turgor
jaringan dan gejala lainnya membantu perawat dalam memperkirakan
kelebihan atau kekurangan cairan. Istilah berat kering atau berat ideal
digunakan untuk menunjukkan saat berat badan dan volume cairan
berada dalam kisaran normal untuk seorang pasien yang tidak
menunjukkan gejala ketidakseimbangan cairan. Ini menjadi panduan
untuk pembuangan atau penggantian cairan (Morton, 2012).
Setelah meninjau ulang data dan berkonsultasi dengan dokter,
perawat dialysis menetapkan tujuan bedasarkan pada pembuangan
cairan dan perbaikan keseimbangan cairan untuk terapi dialysis
tersebut (Morton, 2012). Perencanaan yang dilakukan perawatan
meliputi menyiapkan pasien dan keluarga, menentukan tujuan untuk
pengobatan dan memeriksa keamanan peralatan (Sumpena, 2002).
Pada persiapan mesin dan peralatan hemodialisis yang perlu
diperhatikan,yaitu mesin siap pakai, listrik, air yang sudah
dimurnikan, saluran pembuangan (drainage), komposisi dialisat
(bicnat atau asetat), kaji dialiser yang akan dipakai (dialiser non reuse
atau reuse), kaji konductive, kaji temperature dan limit alarm system,
pastikan sirkuit dialisat bebas udara, pastikan semua peralatan siap
untuk dipakai (Sipayung, 2006).
Kemudian yang dilakukan adalah persiapan sirkulasi darah
(sirkulasi ekstra corporeal) meliputi melembabkan dialyzer (soaking),
membilas dialyzer (rinsing), mengisi sirkulasi pertama (priming).
Peralatan yang digunakan saat hemodialisis, yaitu dialyzer, A.V
blood lines, A.V fistula, NaCL + infusion set, spuit, heparin injeksi,
anastesi local, kain kasa, doek, sarung tangan, bak dan mangkuk kecil,
desinfektan, klem, alat fiksasi, gelas ukur, timbangan badan, dan
formulir hemodialisis (Sumpena, 2002).
Pada persiapan pasien yang perlu dipersiapkan meliputi
persiapan mental dan persiapan fisik. Persiapan fisik dan mental
meliputi kaji status volume (timbang berat badan, ada/tidaknya
odema, ada/tidaknya peninggian vena jugularis, ada tidaknya bunyi
nafas ronchi, intake dan output), kaji hasil laboratorium, kaji vaskuler
akses, kaji kebutuhan HD, kaji pengetahuan pasien/keluarga terhadap
prosedur yang akan dilakukan, kaji persetujuan keluarga (inform
concent), observasi KU (tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu), dan
memberikan posisi yang nyaman (Sipayung, 2006).
b. Perawatan selama hemodialisis (Intra HD)
Perawatan selama hemodialisis meliputi sarana hubungan sirkulasi
(AV shunt atau femoralis). Jika pasien dengan akses AV Shunt hal
yang harus dilakukan selanjutnya adalah desinfektan dengan betadin,
alcohol, tanpa/ dengan anastesi local, fungsi outlet (vena), bolus
heparin injeksi (dosis awal), fungsi inlet (arteri), fiksasi (Sumpena,
2002).
Jika pasien dengan akses femoralis hal yang harus dilakukan
selanjutnya adalah desinfektan, anastesi local, fungsi outlet (vena),
bolus heparin injeksi (dosis awal), fungsi inlet (vena femoralis) secara
perkutanius, fiksasi (Sumpena, 2002).
Memulai hemodialisis yaitu arterial line dihubungkan dengan
fungsi inlet, ujung venous line dihubungkan dengan gelas ukur, semua
klem dibuka kecuali klem infuse set, darah dialirkan ke mesin dengan
mempergunakan pompa darah (blood pump) 100 ml/mnt, cairan
priming ditampung di gelas ukur, jumlahnya dicatat (cairan
dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan, ujung venous line dihubungkan
dengan fungsi outlet A.V blood line difiksasi), hubungkan monitor
venous pressure, arterial pressure dan hidupkan air/ blood leak
detector. QB dinaikkan berlahan- lahan sampai 200ml/mnt, pompa
heparin dijalankan (dosis maintenance), ukur tekanan darah dan nadi.
Pada saat memprogram mesih HD yang perlu diperhatikan adalah
Quick Blood (QB), Quick Dialisat (QD), Temperature basal, TEMP,
UFR dan Heparinisasi (Dosis awal 25- 50 U/ KgBB dan dosis
selanjutnya 500- 1000 u/jam) (Sumpena, 2002).
Pemantauan intradialisis adalah penilaian berkelanjutan dari pasien
dan peralatan selama perawatan hemodialisis. Pasien dan mesin
dimonitor setiap jam oleh perawat. Pemantauan dilakukan lebih sering
pada pasien yang tidak stabil. Pemantauan yang terpenting yaitu
tanda-tanda vital dan monitor mesin hemodialisis. Peran perawat
dalam pemantauan pasien intradialisis meliputi KU pasien, posisi
pasien, perdarahan, fungsi inlet dan outlet, keluhan/komplikasi akut
HD (seperti hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepada,
sakit dada, sakit punggung, gatal, demam dan menggigil). Selain itu
peran perawat juga melakukan pemantauan mesin dan peralatan HD
meliputi aliran darah/Quick of Blood (QB), aliran dialisat/Quick of
Dialisat (QD), temperature, konduktiviti, pressure/ tekanan (fistula
pressure , arterial pressure, venous pressure), perpindahan
cairan/pengurangan cairan, memantau dialiser, memantau tabung
darah, memantau koneksi mesin HD, heparinisasi, memantau
pengaturan mesin, sambung- sambungan/ klem, akses pada inlet dan
outlet, serta fiksasi (Sumpena, 2002; Kallenbach et al, 2005).
c. Perawatan setelah hemodialisis (Post HD)
Saat mengakhiri hemodialisis yang perlu dilakukan adalah
persiapan alat yang meliputi kain kasa , band aid, antibiotic powder,
perban gulung, alat penekan, bantal pasien. Cara kerjanya meliputi 5
menit sebelum hemodialisis berakhir QB diturunkan sampai 100 cc/
mnt, mungkin juga dengan TMP, ukur tensi dan nadi, pompa darah
stop, ujung arterial diklem, jarum inlet dicabut dan bekas fungsi inlet
ditekan, darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan QB 1 cc/ mnt
dengan NaCl sebagai pendorong, setelah darah masuk ke dalam
tubuh, pompa darah stop, ujung venous line diklem, jarum outlet
dicabut dan bekas fungsi outlet ditekan, bekas fungsi dibubuhi dengan
powder, lalu ditutup dengan bandage, pasang balutan perban gulung
dengan penekanan sedang ukur tensi dan nadi, timbang BB, dan isi
formulir HD (Sumpena, 2002).
Penilaian pada post dialitik yang dilakukan oleh perawat adalah
mengevaluasi pasien, efektivitas terapi dan interpretasi dari tujuan
predialitic. Evaluasi pada post dialysis meliputi menimbang berat
badan pasien dan mengobservasi penurunan berat badan, tanda vital
(suhu, denyut nadi, pernapasan, tekanan darah), pencapaian
keefektifan terapi pada predialisis bermasalah (peningkatan status
cairan), penilaian fisik pasien secara subjektif (rasa sakit atau keluhan
lain), penilaian akses, dan status pendarahan (Kallenbach et al, 2005).
Hasil terapi dialysis dapat ditentukan dengan mengkaji jumlah
cairan yang dibuang (seperti yang dikaji dengan berat badan
pascadialisis) dan tingkat koreksi ketidakseimbangan elektrolit dan
asam-basa. Darah yang diambil dengan segera pascadialisis melalui
pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan kadar elektrolit,
nitrogen urea, dan kreatinin (Morton, 2012).
Perawat dapat memberikan edukasi tentang diet, intake cairan
dan pencapaian berat badan yang ideal selama pasien dirumah
sebelum menjalani terapi HD berikutnya. Hal ini penting dilakukan
untuk dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawat
hemodialisis memiliki peran penting dalam menurunkan angka
morbility dan mortality pasien yang menjalani hemodialisis, dimana
perawat berperan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
pasien dengan melaksanakan pengkajian berkelanjutan, memberikan
pendidikan kesehatan, memberikan dukungan untuk kemampuan self
care serta melakukan pemantauan secara menyeluruh. Peran perawat
dialysis di unit hemodialisis dapat mencegah terjadinya komplikasi
yang berefek pada peningkatan kualitas hidup (Kallenbach et al,
2005).
Diet merupakan factor penting bagi pasien yang menjalani
hemodialisis mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang
rusak tidak mampu mengekskresikan produk akhir metabolisme,
substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien
dan bekerja sebagai racun atau toksin. Gejala yang terjadi akibat
penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremik
dan akan mempengaruhi setiap system tubuh. Lebih banyak toksin
yang menumpuk, lebih berat gejala yang timbul (Sudoyo, 2006).
Diet yang diberikan pada pasien hemodialisis meliputi diet protein
dengan asupan protein diharapkan 1-1,2 g/kgBB/hari dengan 50%
terdiri atas protein dengan nili biologis tinggi, asupan kalium
diberikan 40-70 mEq/hari. Pembatasan kalium sangat dibutuhkan,
karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-
umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Asupan natrium dibatasi
40-120 mEq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan odema.
Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya
mendorong pasien untuk minum. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai
dengan jumlah air kencing yang ada ditambah insisible water loss
(500-750 ml). Asupan cairan bukan hanya didapatkan oleh air tetapi
juga makanan dalam bentuk gelly, ice cream, es batu, saus, dan sup.
Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode selama dialysis
akan terjadi kenaikan berat badan yang besar (Sudoyo, 2006; Thomas,
2002).
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan
gagal jantung kongestif serta odema paru. Dengan demikian,
pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep diet ntuk pasien
ini (Smeltzer & Bare, 2002;1400)
Peningkatan berat badan diantara 2 waktu dialysis yang sering
diistilahkan Interdialytic Weight Gain (IDWG) merupakan
peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan
peningkatan berat badan sebagai indicator untuk mengetahui jumlah
cairan yang masuk selama periode interdialitik dan kepatuhan pasien
terhadap pengaturan cairan pada pasien yang mendapatkan terapi
hemodialisis (Istanti,2009). Berat badan diantara dua waktu dialysis
yang ditoleransi adalah sebesar 1,5 kg atau kurang dari 3% dari berat
badan post HD sebelumnya (Kallenbach et al, 2005). Berat badan
adalah indicator yang penting dalam memprediksi kondisi cairan
tubuh pada pasien HD (Thomas, 2002). Masukan cairan merupakan
factor yang berkontribusi secara significant terhadap IDWG (Istanti,
2009). Menurut Young, 2009 penambahan berat badan yang
berlebihan akan menimbulkan berbagai masalah bagi pasien, dan
semua ini akan dapat memberikan dampak dan mempengaruhi serta
menurunkan kualitas hidup pasien hemodialisis sehingga dapat
menyebabkan perubahan pada kemampuan untuk melaksanakan
fungsi kehidupannya sehari-hari. Kualitas Hidup yang rendah akan
dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien
yang menjalani hemodialisis
IDWG dilihat dari selisih dari berat badan pre HD sekarang dengan
berat badan post HD sebelumnya. Yetti, 2001 mengelompokkan
penambahan berat badan diantara dua waktu dialysis menjadi 3
kelompok, yaitu: penambahan <4% adalah pertambahan ringan,
penambahan 4-6% pertambahan rata-rata, penambahan >6%
merupakan pertambahan bahaya.
Semakin banyak akumulasi/ distribusi cairan didalam tubuh pasien
maka pasien berpotensi mengalami gangguan fisik. Gangguan
tersebut berupa gangguan fungsi paru, pasien biasanya mengeluh
sesak nafas. Sesak nafas terjadi karena akumulasi cairan berlebih pada
abdomen mendesak diafragma sehingga mengganggu proses ventilasi
baik saat inspirasi maupun saat ekspirasi. Gangguan lain yang timbul
adalah peningkatan tekanan darah sebagai akibat semakin beratnya
kerja jantung memompa cairan yang berlebih ini. Akibat lain dari
kelebihan volume cairan ini adalah terjadinya odema paru yang
berpotensi menyebabkan penurunan kualitas hidup bahkan kematian
(Black & Hawks, 2005 dan Thomas, 2005).
5. Peran Perawat
Perawat memiliki peran penting dalam pelaksanaan hemodialisis.
Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan, peneliti, dan
pendidik.
a. Peran Perawat Pre Dialysis
Perawat berperan dalam melakukan persiapan pasien dan alat
dialisa. Pasien diberikan informed consent dan dilakukan
pengkajian pasien predialysis, perawat harus mempersiapkan
mesin hemodialisa, dan mempersiapkan lingkungan.
1) Pengkajian Pasien Predialysis
a) Berat badan, tekanan darah, nadi, suhu, dan pernapasan.
b) Kepatenan akses vaskuler
c) Pengkajian status cairan pasien, meliputi :
1. Riwayat pasien : sesak pada saat istirahat atau
beraktivitas, peningkatan konsumsi garam, nafsu
makan terakhir, sakit kepala, diagnosa medis, riwayat
dialysis sebelumnya, urine output, asupan cairan yang
diperkenankan, dan haluaran urine hari sebelumnya.
2. Tanda dan gejala klinis : edema (pada ekstermitas,
periorbital), sesak pada saat istirahat atau beristirahat,
hipertensi pada saat duduk, berdiri, dan berbaring,
hipotensi, peningkatan berat badan sejak dialysis
sebelumnya, distensi JVP, peningkatan CVP, dan suara
crackles pada auskultasi paru.
3. Prosedur diagnostik : pemeriksaan X-ray dada, serum
albumin, Hb, dan serum sodium.
d) Status mental
2) Persiapan alat HD
Perawat berperan dalam mempersiapkan dialisat, dialiser dan
bloodlines, melakukan priming dan recirculation, serta
melakukan predialysis safety cek yaitu dengan memastikan
alarm pada mesin hemodialisis dapat berfungsi dengan baik.
3) Persiapan lingkungan
Pasien menjalani hemodialisis selama ± 3-4 jam dalam satu kali
dialysis. Oleh karena itu lingkungan harus dipersiapkan dengan
sebaik-baiknya sehingga pasien merasa nyaman dan aman
selama pelaksanaan hemodialisis. Peran perawat disini yaitu
menyiapkan lingkungan yang nyaman bagi pasien seperti bed
yang bersih dan rapi serta memastikan pelindung tempat tidur
berfungsi dengan baik, menyiapakan sarana mengisi waktu
selama dialysis seperti televisi, bacaan.
b. Peran Perawat Intradialysis
Selama pelaksanaan hemodialisis perawat harus memonitor sirkuit
extracorporeal dan pasien untuk memastikan tidak adanya
sumbatan pada aliran darah, tidak tampak adanya gelembung
udara, dan seluruh sambungan sirkuit aman.
Perawat juga harus memantau keadaan umum pasien, tanda-tanda
vital (tekanan darah, nadi, suhu, dan kecepatan pernapasan),
venous pressure, arterial pressure, cairan yang diekskresikan, UF
rate, dan dosis heparin atau medikasi yang diberikan. Pada
intradialysis, peran terpenting perawat yaitu penanganan
komplikasi akut yang sering terjadi misalnya hipotensi, hipertensi,
mual dan muntah, sakit kepala, kejang, kram, demam disertai
menggigil, nyeri dada, dan gatal-gatal. Peran perawat dalam
mengatasi komplikasi intra HD, perawat melakukan kolaborasi
dengan tim dokter yang bertanggung jawab di ruangan tersebut.
Penanganan komplikasi intra HD antara lain pengaturan Qb,
pemberian oksigen, pemberian medikasi, dan pemantauan cairan
dialisat. Saat terjadi komplikasi, perawat tetap memberikan
dukungan kepada pasien untuk melanjutkan HD. Dukungan yang
diberikan perawat yaitu dengan menjelaskan penyebab terjadinya
komplikasi dan tindakan yang dilakukan tim untuk mengurangi
komplikasi.
Sebelum meninggalkan pasien, perawat harus yakin bahwa arterial
dan venous line aman, pasien merasa nyaman, pasien telah
diobservasi ulang dan dalam kondisi stabil, kadar gula darah pada
pasien diabetes telah dicek, mesin hemodialisis diatur pada dialysis
mode dan bebas dari alarm, antikoagulasi telah diberikan, 500 cc
Normal Saline telah disiapkan pada sirkuit untuk keadaan
emergency.
Perawat juga harus melaksanakan universal precaution dan
tindakan asepsis baik bagi staff perawat maupun pasien. Setiap
pelaksanaan prosedur klinis, perawat harus mencuci tangan,
menggunakan handschoon dan apron, menggunakan pelindung
wajah pada kondisi yang berisiko terjadinya percikan darah atau
bahan kimia, serta tersedianya substansi bakteriostatik jika terjadi
paparan darah.
c. Peran Perawat Post Dialysis
Perawat harus mengobservasi kembali tekanan darah, berat badan
post dialysis, status cairan, dan status mental, observasi pada luka
penusukan (ada tidaknya hematom, edema, maupun perdarahan),
untuk mencegah hal ini perawat dapat menganjurkan untuk
melakukan penekanan pada luka tusukan. Perawat juga
melakukan monitoring hasil laboratorium kimia darah seperti
ureum kreatinin yang hasilnya dapat digunakan untuk menentukan
frekuensi hemodialisa selanjutnya. Perawat juga harus
memberikan informasi mengenai diet, intake cairan, dan
pencapaian berat badan yang ideal selama pasien di rumah
sebelum menjalani terapi HD berikutnya. Perawat bekerja sama
dengan dokter dalam menghitung pencapaian adekuasi HD yang
telah terlaksana agar dapat menghitung dosis HD untuk terapi
selanjutnya. Perawat harus melakukan disinfeksi pada mesin HD
dan dialiser (jika menggunakan reuse dialiser).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Fokus Pengkajian
Pengkajian focus keperawatan yang perlu diperhatikan pada
penderita gagal ginjal kronik menurut Doeges (1999), Smeltzer dan
Bare (2001) ada berbagai macam, meliputi:
1) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler
hipertensif, gangguan saluran penyambung, gangguan
kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik
dan neropati obstruktif.
2) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik,
riwayat menderita penyakit gagal ginjal kronik.
b. Pola kesehatan fungsional
1) Pemeliharaan kesehatan
Penggunaan obat laksatif, diamox, vitamin D, antacid, aspirin
dosis tinggi, personal hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi
makanan tinggi kalsium, purin, oksalat, fosfat, protein,
kebiasaan minum suplemen, control tekanan darah dan gula
darah tidak teratur pada penderita tekanan darah tinggi dan
diabetes mellitus.
2) Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan
inadekuat, peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan
berat badan (malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa metalik tidak sedap
pada mulut (pernafasan amonia), penggunanan diuretik
3) Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut),
abdomen kembung, diare, konstipasi, perubahan warna urin.
4) Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatasan gerak
sendi.
5) Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
6) Pola persepsi sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan
otot, perubahan tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala,
kram/nyeri kaki (memburuk pada malam hari), perilaku berhati-
hati/distraksi, gelisah, penglihatan kabur, kejang, sindrom “kaki
gelisah”, rasa kebas pada telapak kaki, kelemahan khusussnya
ekstremitas bawah (neuropati perifer), gangguan status mental,
contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau.
7) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian, kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu
bekerja, mempertahankan fungsi peran
8) Pola reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi
c. Pengkajian fisik
1) Keluhan umum : Peningkatan berat badan
2) Tingkat kesadaran kompos mentis sampai koma.
3) Pengukuran antropometri : berat badan meningkat
4) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi
lemah, nafas pendek, dipsnea, batuk dengan atau tanpa seputum
kental dan banyak.
5) Kepala
a) Mata
Inspeksi : konjungtiva anemis, mata merah, berair
dan penglihatan kabur,
Palpasi : edema periorbital
b) Rambut
Inspeksi : rambut mudah rontok, tipis
Palpasi : kasar.
c) Hidung
Inspeksi : pernapasan cuping hidung
d) Mulut
Inspeksi : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau
ammonia, mual, muntah serta cegukan,
peradangan gusi.
6) Leher
Inspeksi dan palpasi : pembesaran vena jugularis.
7) Toraks
a) Toraks
Inspeksi : bentuk dada: normal chest, pergerakan
simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Paru :
Inspeksi : penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan dangkal dan kusmaul
Palpasi : getaran taktil fremitus sama antara
kanan dan kiri
Perkusi : redup akibat edema paru
Auskultasi : adanya suara tambahan (rales/ronki
basah)
Jantung :
Inspeksi : tampak ictus cordis
Palpasi : pelebaran iktus kordis akibat beban
jantung meningkat
Perkusi : pelebaran batas pekak jantung
akibat hipertrofi
Auskultasi : friction rub pericardial.
8) Abdomen :
Inspeksi : distensi abdomen
Auskultasi : bising usus menurun (< 5x/menit)
Perkusi : suara redup/pekak (berisi cairan/ascites)
Palpasi : ginjal : nyeri tekan pada sudut kostovertebral
9) Genital
Inspeksi dan Palpasi: atropi testikuler
10) Ekstremitas
Inspeksi : kuku rapuh dan kusam serta tipis, kelemahan pada
tungkai, foot drop
Palpasi : capirally refill time > 3 detik, rasa panas pada
telapak kaki
11) Kulit
Inspeksi : echimosis, kulit kering, bersisik, warna kulit abu
abu, mengkilat atau hiperpigmentasi, gatal
(pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura),
Palpasi : edema
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre HD.
1) Pola nafas tak efektif berhubungan dengan odema sekunder
akibat GGK
2) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan
haluaran, diit berlebihan, retensi cairan dan natrium terhadap
penurunan fungsi ginjal.
3) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
mengenai diit cairan dan protein
4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia, mual dan muntah
5) Perubahan perfusi jaringan, berhubungan dengan penurun aliran
darah sekunder terhadap GGK
6) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status
metabolism, pruritus.
b. Intra HD
1) Masalah kolaboratif : hipotensi, nyeri dada, pruritus, sakit
kepala, gangguan keseimbangan elektrolit (kejang), kramp otot,
mual muntah, demam dan menggigil.
2) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan proses
ultrafitrasi yang berlebihan
3) Resiko cedera berhubungan dengan akses vaskuler
c. Post HD
1) Resiko cedera berhubungan dengan hipotensi ortostatik
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka bekas
pemasangan akses vaskuler
3) Regimen terapi tidak efektif berhubungan dengan keterbatasan
pengetahuan, deficit support sosial
Prioritas masalah
1) Pre HD
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan
haluaran, diit berlebihan, retensi cairan dan natrium terhadap
penurunan fungsi ginjal.
2) Intra HD
Masalah kolaboratif : hipotensi, nyeri dada, pruritus, sakit
kepala, gangguan keseimbangan elektrolit (kejang), kramp otot,
mual muntah, demam dan menggigil.
3) Post HD
Resiko cedera berhubungan dengan hipotensi ortostatik.
Regimen terapi tidak efektif berhubungan dengan keterbatasan
pengetahuan, deficit support sosial.
3. Intervensi Keperawatan
Terlampir
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencana
asuhan keperawatan yang telah disusun sebelumnya berdasarkan
tindakan yang telah dibuat, dimana tindakan yang dilakukan mencangkup
tindakan mandiri dan kolaborasi (Tarwoto & Wartonah, 2003).
5. Evaluasi Keperawatan
a. Pre HD
1) Pola nafas kembali efektif.
2) Volume cairan kembali seimbang
3) Pengetahuan pasien tentang diit cairan cukup
4) Kebutuhan nutrisi pasien tercukupi
5) Perfusi jaringan kembali efektif
6) Kerusakan integritas kulit teratasi
b. Intra HD
1) Bebas dari komplikasi
2) Kekurangan volume cairan teratasi
3) Cedera tidak terjadi
c. Post HD
1) Terhindar dari cedera
2) Regimen terapi kembali tidak efektif
3) Terhindar dari infeksi