15 Universitas Kristen Petra
4. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA
4.1 Proses Produksi
PT. Alfa Sarana Insani bergerak di bidang pembuatan denim. Proses
produksi denim secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian, yaitu proses
persiapan, proses tenun, dan proses finishing. Proses persiapan terdiri dari dua
proses di dalamnya, yaitu proses warping (penghanian) dan proses dyeing sizing
(celup indigo dan pengkanjian). Proses tenun terdiri dari satu proses tenun itu
sendiri. Proses finishing terdiri dari tiga proses di dalamnya, yaitu proses bakar
bulu, proses sunforize, dan proses rolling dan packing.
4.1.1 Bagian Persiapan
Proses pertama yang dilakukan adalah proses warping. Benang di dalam
cones akan diletakkan pada creel (rak) yang tersedia, kemudian ditarik ke dalam
satu beam besar. Jumlah helai dalam satu beam besar berkisar antara 408 hingga
480 helai. PT. Alfa Sarana Insani memiliki dua buah mesin warping, dengan
kapasitas berbeda. Mesin warping dan creel dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Mesin Warping dan Creel
Universitas Kristen Petra
16
Satu shift pada proses warping terdiri dari tiga orang, namun pada shift
pagi mendapat tambahan seorang normal shift sehingga menjadi empat orang. Satu
mesin umumnya dikendalikan oleh seorang operator. Operator lainnya akan
membersihkan area produksi untuk memastikan kebersihan pada saat proses
produksi berlangsung. Operator akan berjaga di bagian samping ketika sudah
selesai membersihkan area produksi, untuk berjaga-jaga ketika ada benang yang
putus agar segera dapat diperbaiki. Waktu yang dibutuhkan untuk memproses satu
beam pada proses warping berkisar antara 80 menit (kondisi lancar dengan sedikit
benang putus) hingga bisa lebih dari 150 menit bila benang banyak putus.
Proses selanjutnya adalah proses dyeing sizing. Waktu yang dibutuhkan
untuk menghabiskan satu set beam warping pada proses dyeing sizing berkisar
antara 24 hingga 27 jam (bergantung pada panjang tarikan dan kelancaran proses).
Satu set beam yang terdiri dari sepuluh beam dari proses warping akan dipasangkan
pada creel mesin dyeing sizing. Benang pada kesepuluh beam tersebut akan
disatukan menjadi satu jalur kemudian ditarik bersama-sama di sepanjang mesin
dyeing sizing. Benang yang telah disatukan dari beam creel akan ditarik untuk
melewati proses pencelupan warna. Total helai benang yang akan melewati bak
pencelupan adalah 4080 helai atau lebih. Benang akan melewati proses mercer
(buka pori-pori), kemudian akan dicuci agar kotoran pada benang lepas, baru akan
melewati proses pewarnaan. Jumlah bak yang digunakan adalah sebanyak 12 bak
dari total 15 bak yang tersedia. Benang yang telah diwarna kemudian akan dicuci
kembali, umumnya sebanyak tiga kali pencucian (melalui tiga bak cuci), dan akan
dikeringkan dengan menggunakan dryer vertikal. Benang kering yang telah
melewati dryer vertikal kemudian akan dicelupkan ke dalam size box (bak kanji).
Tujuan dari pemberian kanji pada benang adalah agar benang menjadi kuat, tidak
mudah rapuh pada saat proses tenun benang menjadi kain. Benang yang telah
dicelup ke dalam kanji selanjutnya akan dikeringkan di dalam dryer horizontal dan
akan dilanjutkan masuk ke dalam head stock. Proses terakhir pada bagian headstock
adalah benang disatukan kembali ke dalam beam untuk dilanjutkan ke proses
selanjutnya yaitu proses tenun. Gambar mesin dan proses selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 1. Headstock mesin dyeing sizing dapat dilihat pada Gambar
4.2.
Universitas Kristen Petra
17
Gambar 4.2 Mesin Headstock
4.1.2 Bagian Tenun
Proses selanjutnya adalah proses tenun benang. Benang dalam beam
indigo akan dicucukkan terlebih dahulu baru kemudian dipasang pada mesin tenun
(weaving). Beam yang telah dicucuk akan di-tying dan disisir pada mesin tenun.
Proses tenun akan dimulai setelah persiapan selesai dilakukan. Mesin tenun akan
berjalan secara otomatis, dan akan berhenti secara otomatis juga ketika terjadi putus
benang lusi atau putus benang pakan. Operator harus memperbaiki jika ada benang
yang putus. Operator juga harus mencatat data terjadinya putus, dengan tujuan
sebagai bahan evaluasi untuk melihat penyebab terjadinya putus tersebut. Setiap
hari akan dilakukan proses potong kain hasil tenun dari tiap mesin tenun yang
beroperasi. Kain dalam bentuk roll akan dibawa ke bagian greige inspection untuk
diperiksa kualitasnya.
4.1.3 Bagian Finishing
Kain yang telah lolos pemeriksaan kualitas akan dibawa ke bagian
finishing. Kain pertama-tama akan di-brushing, melewati mesin tanpa
menggunakan api dan keluar dalam bentuk tumpukan kain. Tumpukan kain yang
telah di-bruhing kemudian akan melewati proses bakar bulu, dimana kain akan
Universitas Kristen Petra
18
melewati semburan api panas. Proses bakar bulu bertujuan agar bulu-bulu yang
tersisa pada kain hilang/lepas. Proses selanjutnya adalah proses sunforize. Proses
sunforize merupakan proses dimana kain akan dimasukkan ke dalam mesin dan
diberi softener. Proses ini bertujuan untuk membuat kain menjadi halus. Kain yang
telah melalui proses sunforize kemudian akan dibawa ke bagian terakhir dari
keseluruhan proses. Kain akan dibawa ke bagian rolling untuk di-roll dan di-
packing ke dalam plastik. Kain dalam bentuk gelondongan yang telah di-packing
siap untuk dikirim ke customer.
4.2 Metode DMAIC
Metode DMAIC merupakan sebuah metode yang seringkali digunakan
untuk mengurangi tingkat kecacatan. Metode ini merupakan satu dari sekian
banyak metode six sigma. DMAIC membentuk sebuah siklus yang berulang guna
menjamin perbaikan kualitas yang berkesinambungan. Metode ini juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan mengurangi waste yang ada
di lantai produksi, dalam penelitian ini adalah lantai produksi bagian persiapan PT.
Alfa Sarana Insani. Metode DMAIC terdiri dari lima tahap, yaitu define (D),
measure (M), analyze (A), improve (I), dan control (C).
4.2.1 Tahap Define
Tahap ini merupakan tahap pertama dari keseluruhan proses, dimana pada
tahap ini tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan akan didefinisikan. Fokus
perbaikan yang perusahaan ingin lakukan akan dijabarkan secara jelas pada tahap
pertama ini. PT. Alfa Sarana Insani ingin mengurangi waste yang ada di lantai
produksi. Pengurangan waste diharapkan terjadi pada seluruh lini produksi, namun
untuk saat ini dimulai dari bagian awal produksi yaitu pada bagian persiapan.
Bagian persiapan memegang peranan sangat penting karena bahan baku akan mulai
diproses pada bagian ini. Semakin banyak masalah/kecacatan yang terjadi pada
bagian persiapan, maka akan berpengaruh pada proses-proses selanjutnya.
Perusahaan ingin mengurangi waste pada seluruh lini produksi, oleh sebab itu
perusahaan memulai dari bagian persiapan. Waste yang terjadi di bagian persiapan
Universitas Kristen Petra
19
PT. Alfa Sarana Insani antara lain defect, delay/waiting, non-utilized talent,
inventory, dan overprocessing.
Pendefinisian proses kunci dapat dilakukan dengan menggunakan diagram
SIPOC (Supplier, Input, Process, Output, Customer). Pembuatan diagram SIPOC
memungkinkan perusahaan untuk dapat mengetahui bagian mana yang dapat
menjadi penyebab masalah/kecacatan di bagian persiapan. Diagram SIPOC untuk
bagian persiapan dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Diagram SIPOC Bagian Persiapan
Supplier
Pemasok (supplier) bahan baku benang berasal dari supplier lokal di daerah
Pulau Jawa. Pemasok bahan baku obat kimia dan kanji dari distributor lokal
(dipesankan dari luar negeri). Pemasok bahan baku indigo dari supplier luar
negeri.
Input
Bahan baku utama yang digunakan untuk pembuatan kain jeans adalah benang.
Bahan baku penunjang untuk pewarnaan benang adalah indigo, sulfur, dan obat
kimia. Bahan baku penunjang untuk memperkuat benang (agar tidak mudah
rapuh) adalah kanji.
Process
Proses produksi dimulai dengan mempersiapkan bahan baku yang dibutuhkan,
baik untuk proses warping maupun proses dyeing sizing. Benang akan terlebih
dahulu diproses pada proses warping (penjelasan ada pada bagian sebelumnya),
Universitas Kristen Petra
20
kemudiaan diproses pada proses dyeing sizing. Bahan penunjang akan disiapkan
pada proses dyeing sizing untuk bersama-sama diproses dengan benang yang
telah dihani pada proses warping.
Output
Hasil dari kedua proses persiapan ini adalah benang berwarna dalam beam
indigo. Jumlah helai benang sebanyak 4080 helai (minimal) atau lebih. Benang
berwarna ini siap untuk dilanjutkan ke proses selanjutnya.
Customer
Customer dari proses persiapan bukan berasal dari luar perusahaan, melainkan
customer dalam perusahaan. Customer dalam perusahaan yang dimaksud adalah
proses selanjutnya setelah proses persiapan, yaitu bagian tenun. Benang
berwarna dalam beam indigo siap untuk ditenun menjadi kain jeans.
4.2.2 Tahap Measure
Pengukuran dilakukan pada kedua proses di bagian persiapan PT. Alfa
Sarana Insani. Pengukuran dilakukan dengan mengambil data-data yang
berhubungan dengan waste. Data yang dikumpulkan merupakan data hasil
observasi periode Januari pertengahan hingga awal April 2016. Data yang
dikumpulkan adalah data harian warping, data benang, data tunggu beam, data
waktu set up warping dan data waktu set up dan produksi dyeing sizing.
4.2.2.1 Data Harian Warping
Data harian warping merupakan data hasil produksi proses warping setiap
hari untuk setiap set. Satu set terdiri dari sepuluh beam. Data ini diambil dengan
tujuan untuk mengetahui penyebab utama dari kecacatan yang terjadi (penyebab
benang putus dan mesin berhenti). Data dikumpulkan dari tanggal 11 Januari 2016
sampai 5 April 2016. Contoh data harian warping dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Universitas Kristen Petra
21
Tabel 4.1 Contoh Data Harian Warping
Keterangan
Tanggal 11 Jan-12
Jan
12 jan-13
Jan
13 Jan-14
Jan
SET 226 227 228
Jenis Benang 7s OE
Batamtex
16s
Indiratex
7s OE
APAC
Total Lusi (helai) 4080 4600 4080
Produk DENIM
LERVAS
TP
FANTA
BLUE
DENIM
MEXICO
BLUE
Panjang tarikan 28000 33000 28000
Sebab
putus/stop
(kejadian)
Lemah 34 73 34
Melintir 0 0 0
Sambungan lepas 0 0 0
Slubs 1 0 1
Gulungan kusut 0 0 0
Gulungan cacat 8 8 21
Kotoran 11 23 9
Cone habis 135 0 20
Twist kurang 0 0 0
Nyangkut cones/ring 98 31 31
Gulungan empuk 0 0 0
Bobin cacat/gepeng 0 0 0
TOTAL 287 135 116
Data harian warping berisikan tanggal produksi set tersebut, nomor set,
jenis benang yang digunakan, total lusi, jenis produk yang diproduksi, panjang
tarikan, dan penyebab dari putus/mesin berhenti. Data harian warping
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Data harian tersebut kemudian
dirangkum dalam satu tabel rekapitulasi. Rekapitulasi penyebab benang
putus/mesin berhenti dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Universitas Kristen Petra
22
Tabel 4.2 Rekapitulasi Penyebab Benang Putus/Mesin Berhenti
Sebab putus/stop TOTAL
(kejadian)
Lemah 4324
Melintir 9
Sambungan lepas 300
Slubs 449
Gulungan kusut 170
Gulungan cacat 1188
Kotoran 1664
Cone habis 1571
Twist kurang 7
Nyangkut cones/ring 1533
Gulungan empuk 2
Bobin cacat/gepeng 20
Tabel rekapitulasi berguna untuk melihat penyebab benang putus/mesin
berhenti secara keseluruhan selama periode pengamatan. Penyebab putus terbanyak
dari 57 set beam (total panjang 1.490.450 meter) yang dihasilkan selama
pengamatan adalah karena benang lemah, yaitu sebanyak 4324 kali. Angka ini
terpaut jauh dengan penyebab putus selanjutnya, yaitu karena kotoran (1664 kali
kejadian) dan penyebab lain dengan frekuensi yang lebih rendah. Data ini
selanjutnya akan dianalisa lebih dalam pada bagian selanjutnya.
4.2.2.2 Data Benang
Data benang merupakan data hasil pemeriksaan benang pada proses
warping. Pengukuran dan pencatatan dilakukan sebelum benang ditarik/diproses
dan setelah benang tersebut diproses. Pencacatan yang dilakukan adalah pencacatan
terhadap berat awal benang dalam cones dan berat cones starter (sisa) hasil tarikan.
Contoh data berat awal dan berat starter benang dapat dilihat pada Tabel 4.3. Data
berat awal dan berat starter benang (data benang) untuk beberapa supplier dapat
dilihat pada Lampiran 3.
Universitas Kristen Petra
23
Tabel 4.3 Contoh Data Berat Awal dan Berat Starter
berat awal berat starter panjang
sisa
(meter) brutto
(kg)
netto
(kg)
netto
(gr)
brutto
(kg)
netto
(kg)
netto
(gr)
2.52 2.46 2460 0.15 0.09 90 1066.78
2.5 2.44 2440 0.14 0.08 80 948.25
2.53 2.47 2470 0.14 0.08 80 948.25
2.52 2.46 2460 0.14 0.08 80 948.25
2.48 2.42 2420 0.14 0.08 80 948.25
2.51 2.45 2450 0.13 0.07 70 829.72
2.5 2.44 2440 0.13 0.07 70 829.72
2.53 2.47 2470 0.13 0.07 70 829.72
2.46 2.4 2400 0.14 0.08 80 948.25
2.5 2.44 2440 0.14 0.08 80 948.25
2.52 2.46 2460 0.14 0.08 80 948.25
2.49 2.43 2430 0.14 0.08 80 948.25
2.48 2.42 2420 0.14 0.08 80 948.25
2.5 2.44 2440 0.12 0.06 60 711.19
2.51 2.45 2450 0.14 0.08 80 948.25
2.53 2.47 2470 0.14 0.08 80 948.25
2.49 2.43 2430 0.13 0.07 70 829.72
2.48 2.42 2420 0.14 0.08 80 948.25
2.47 2.41 2410 0.14 0.08 80 948.25
2.42 2.36 2360 0.14 0.08 80 948.25
2.5 2.44 2440 0.14 0.08 80 948.25
2.48 2.42 2420 0.14 0.08 80 948.25
2.52 2.46 2460 0.15 0.09 90 1066.78
2.53 2.47 2470 0.14 0.08 80 948.25
2.47 2.41 2410 0.14 0.08 80 948.25
2.51 2.45 2450 0.14 0.08 80 948.25
2.49 2.43 2430 0.13 0.07 70 829.72
2.49 2.43 2430 0.14 0.08 80 948.25
2.52 2.46 2460 0.14 0.08 80 948.25
2.46 2.4 2400 0.13 0.07 70 829.72
Tabel 4.3 merupakan contoh berat awal dan berat starter dari benang 7s
OE dari supplier Pangestu. Variasi berat awal benang dan berat sisa tarikan pada
data di atas tergolong tidak terlalu besar. Penghitungan panjang sisa tarikan
dilakukan dengan mengalikan berat sisa tarikan (dalam gram) dengan NE benang
dan konstanta 768, kemudian dibagi dengan konstanta 453,6.
Universitas Kristen Petra
24
Perhitungan selanjutnya adalah perhitungan NE (ukuran benang)
sebenarnya dari sampel benang yang diperiksa. Ukuran benang akan berpengaruh
pada proses produksi selanjutnya, yaitu proses dying sizing. Contoh data NE benang
dapat dilihat pada Tabel 4.4. Data NE benang untuk beberapa supplier (data
benang) dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 4.4 Contoh Data NE Benang
Selisih
berat awal
dan starter
(gram)
Panjang
tarikan/selisih
berat awal dan
starter (meter/gr)
NE
(Ukuran
benang)
2370 11.8143 6.9771
2360 11.8644 7.0067
2390 11.7155 6.9187
2380 11.7647 6.9478
2340 11.9658 7.0666
2380 11.7647 6.9478
2370 11.8143 6.9771
2400 11.6667 6.8899
2320 12.0690 7.1275
2360 11.8644 7.0067
2380 11.7647 6.9478
2350 11.9149 7.0365
2340 11.9658 7.0666
2380 11.7647 6.9478
2370 11.8143 6.9771
2390 11.7155 6.9187
2360 11.8644 7.0067
2340 11.9658 7.0666
2330 12.0172 7.0969
2280 12.2807 7.2525
2360 11.8644 7.0067
2340 11.9658 7.0666
2370 11.8143 6.9771
2390 11.7155 6.9187
2330 12.0172 7.0969
2370 11.8143 6.9771
2360 11.8644 7.0067
2350 11.9149 7.0365
2380 11.7647 6.9478
2330 12.0172 7.0969
Universitas Kristen Petra
25
Angka pada kolom selisih didapat dari pengurangan antara berat awal
benang (dalam gram) dengan berat starter (dalam gram). Angka pada kolom
meter/gram didapat dari pembagian antara panjang tarikan (dalam contoh ini adalah
28.000 meter) dengan selisih berat awal benang dengan berat starter benang.
Penghitungan NE dapat dilakukan dengan beberapa cara. Salah satu cara
penghitungan NE adalah dengan mengalikan panjang tarikan (28.000 meter)
dengan konstanta 453,6 kemudian dibagi dengan selisih berat (berat benang
terpakai) yang dikali dengan konstanta 768. Perhitungan ini akan menghasilkan NE
sesungguhnya dari benang yang diperiksa, yang selanjutnya akan dibandingkan
dengan standar NE seharusnya.
4.2.2.3 Data Tunggu Beam
Data tunggu beam berisi jumlah kejadian proses warping harus menunggu
beam kosong dari proses dyeing sizing. Data diambil mulai tanggal 29 Januari 2016
hingga 5 April 2016. Data tunggu beam dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Data Tunggu Beam
Tanggal Jumlah Menunggu
Beam (shift)
Durasi
(menit)
1-Feb-16 2 960
15-Feb-16 1 420
16-Feb-16 1 340.2
17-Feb-16 1 480
18-Feb-16 1 480
20-Feb-16 2 873
21-Feb-16 1 60
26-Feb-16 2 694.8
2-Mar-16 2 319.2
8-Mar-16 1 180
9-Mar-16 1 375
17-Mar-16 3 1080
2-Apr-16 1 90
3-Apr-16 1 65
Jumlah 20 6417.2
Universitas Kristen Petra
26
Tabel 4.5 menunjukkan dalam jangka waktu pengamatan sekitar dua bulan
telah terjadi 14 kali (dalam hari) menunggu beam kosong. Angka pada kolom
jumlah menunggu beam (shift) menunjukkan bahwa dalam satu hari tidak menutup
kemungkinan terjadi lebih dari satu shift menunggu beam. Total shift yang
mengalami proses menunggu adalah sebanyak 20 shift. Total waktu menunggu
beam dalam dua bulan pengamatan adalah 6.417,2 menit atau setara dengan 4 hari
10 jam.
4.2.2.4 Data Waktu Set Up Warping
Waktu set up warping merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
mempersiapkan benang sebelum diproses. Persiapan yang dilakukan antara lain
memotong sisan tarikan beam sebelumnya, menyambung benang baru dengan sisa
pancingan sebelumnya, dan mengganti beam isi dengan beam kosong. Data diambil
mulai tanggal 11 Januari 2016 hingga 5 April 2016. Data waktu set up dapat dilihat
pada Lampiran 4. Rangkuman data waktu set up proses warping dapat dilihat pada
Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Rangkuman Data Waktu Set Up Warping
Waktu (menit)
20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ Total
Bulan
Januari 0 0 34 0 95 12 1 142
0% 0% 24% 0% 67% 8% 1% 100%
Februari 0 0 47 3 105 3 8 166
0% 0% 28% 2% 63% 2% 5% 100%
Maret 0 2 63 18 101 3 0 187
0% 1% 34% 10% 54% 2% 0% 100%
April 0 6 1 13 0 0 0 20
0% 30% 5% 65% 0% 0% 0% 100%
Rangkuman data waktu set up warping menunjukkan bahwa pada bulan
Januari mayoritas waktu set up adalah 40 menit. Data bulan Februari dan bulan
Maret juga tidak jauh berbeda berada di 40 menit, namun secara persentase berbeda
karena jumlah total dan jumlah waktu yang lain berbeda. Hasil setiap bulan bila
dibandingkan dengan bulan sebelumnya telah mengalami peningkatan. Secara
Universitas Kristen Petra
27
waktu memang masih mayoritas berada di 40 menit, namun angka lain seperti 30
menit sudah mulai menyusul.
4.2.2.5 Data Waktu Set Up dan Produksi Dyeing Sizing
Waktu set up (persiapan) dyeing sizing merupakan waktu yang dibutuhkan
untuk melakukan pergantian set pada proses tersebut. Pergantian set merupakan
peralihan dari satu set ke set lain dimana operator harus menyambung set baru
dengan sisa pancingan pada set sebelumnya, memasak obat, dan bersih-bersih.
Waktu set up dihitung sejak beam terakhir set ini selesai digulung di headstock dan
akan berakhir pada saat benang baru pada set selanjutnya masuk ke beam awal.
Waktu produksi dyeing sizing merupakan waktu yang dibutuhkan untuk memproses
satu set dari awal masuk beam hingga selesai digulung pada beam terakhir. Data
waktu set up dan produksi dyeing sizing diambil mulai tanggal 11 Januari hingga 5
April 2016. Data waktu set up dan produksi dyeing sizing selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 5. Contoh data waktu set up dan waktu produksi dyeing
sizing dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Contoh Data Waktu Set Up dan Produksi Dyeing Sizing
Tanggal Set awal
(nomor)
Waktu
Produksi
(menit)
Tanggal
Set
selanjutnya
(nomor)
Waktu
persiapan
(menit)
11-Jan 224 1410 12-Jan 225 151
12-Jan 225 1433 13-Jan 226 257
13-Jan 226 1455 14-Jan 227 225
14-Jan 227 1820 16-Jan 228 150
16-Jan 228 1545 18-Jan 229
18-Jan 229 1397 19-Jan 230 227
19-Jan 230 1255 20-Jan 231 185
20-Jan 231 1555 21-Jan 233
21-Jan 233 25-Jan 234
25-Jan 234 1655 26-Jan 237 285
26-Jan 237 970 27-Jan 232 180
27-Jan 232 2130 29-Jan 235
29-Jan 235 1470 30-Jan 240 345
30-Jan 240 1-Feb 236
1-Feb 236 1468 2-Feb 239 258
2-Feb 239 1467 3-Feb 238
Universitas Kristen Petra
28
Tabel 4.7 Contoh Data Waktu Set Up dan Produksi Dyeing Sizing (Lanjutan)
Tanggal Set awal
(nomor)
Waktu
Produksi
(menit)
Tanggal
Set
selanjutnya
(nomor)
Waktu
persiapan
(menit)
3-Feb 238 1445 5-Feb 242
5-Feb 242 1457 9-Feb 241
9-Feb 241 10-Feb 244 235
10-Feb 244 767 11-Feb 243 253
11-Feb 243 1122 12-Feb 246 168
Data waktu set up dan produksi diperoleh dari catatan yang dibuat oleh
operator pada bagian headstock. Operator akan mencatat setiap beam yang
diproduksi berikut jam dimulainya, jam selesainya, panjang benang, jumlah putus,
dan keterangannya. Contoh buku catatan headstock dapat dilihat pada Lampiran 8.
Blok hitam merupakan data waktu yang tidak tercatat. Tidak tercatatnya waktu
dapat dikarenakan oleh terpotongnya waktu karena ada masalah yang berlanjut
hingga ke hari berikutnya atau terpotong akhir minggu (proses berhenti). Warna
merah pada tabel menunjukkan bahwa waktu tersebut berada diluar/melebihi batas
waktu yang ditentukan perusahaan. Batas waktu set up yang ditentukan perusahaan
adalah selama tiga jam atau setara dengan 180 menit. Batas waktu produksi yang
ditargetkan perusahaan adalah selama 24 jam atau setara dengan 1440 menit.
4.2.3 Tahap Analyze
Tahap analyze dilakukan dengan tujuan untuk mencari akar permasalahan
dari permasalahan (waste) yang ada. Analisa dan pencarian akar permasalahan
dilakukan dengan menggunakan data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Tools yang digunakan dalam melakukan analisa pada bagian ini adalah Pareto
Chart dan Fishbone Diagram (diagram sebab akibat).
4.2.3.1 Analisa Akar Penyebab Timbulnya Defect
Analisa akar penyebab timbulnya defect dilakukan dengan menggunakan
data harian warping sebagai tolok ukur. Data harian warping menunjukkan jumlah
penyebab benang putus dan mesin berhenti (break ratio). Semakin banyak mesin
berhenti maka menandakan banyak kecacatan terjadi.
Universitas Kristen Petra
29
Proses analisa dilakukan dengan menggunakan pareto chart. Pareto chart
dibuat untuk melihat akar penyebab masalah mana saja yang mengambil andil
banyak pada kecacatan yang terjadi. Pareto chart untuk penyebab benang
putus/mesin berhenti dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Pareto Chart Penyebab Benang Putus/Mesin Berhenti
Pareto chart menunjukkan terdapat enam penyebab benang putus/mesin
berhenti. Total penyebab permasalahan termasuk yang berada di dalam kelompok
other adalah 12 penyebab. Prinsip pareto 80-20 menunjukkan bahwa 80 persen
permasalahan yang terjadi disebabkan oleh 20 persen penyebab permasalahan.
Penyebab utama yang menyebabkan 80 persen permasalahan benang putus/mesin
berhenti adalah karena benang lemah, terdapat kotoran, cones habis, dan benang
menyangkut di ring tensioner.
Akar permasalahan juga dapat dicari dengan menggunakan fishbone
diagram. Fishbone diagram menunjukkan akar permasalahan secara terperinci.
Fishbone diagram penyebab break ratio (benang putus/mesin berhenti) tinggi dapat
dilihat pada Gambar 4.5.
TOTAL 4324 1664 1571 1533 1188 449 508
Percent 38.5 14.8 14.0 13.6 10.6 4.0 4.5
Cum % 38.5 53.3 67.3 80.9 91.5 95.5 100.0
Sebab putus/stop
Othe
r
Slub
s
Gulung
an cac
at
Nyan
gkut con
es/ring
Cone
hab
is
Kotora
n
Lemah
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
100
80
60
40
20
0
TO
TA
L
Pe
rce
nt
Pareto Chart of Sebab putus/stop
Universitas Kristen Petra
30
Gambar 4.5 Fishbone Diagram Penyebab Break Ratio Tinggi
Gambar 4.5 menunjukkan analisa akar penyebab permasalahan break ratio
tinggi. Akar permasalahan break ratio tinggi dapat ditinjau dari segi material
(bahan baku), machine, dan environment. Penjelasan untuk masing-masing bagian
dapat dilihat pada penjabaran berikut.
Material
Akar permasalahan break ratio tinggi bila dilihat dari segi material dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu karena benang mudah putus, benang pada cones habis
sebelum waktunya, dan benang tersangkut di ujung cones. Benang mudah putus
dapat terjadi karena kualitas benang memang buruk dan ada kesalahan dalam
proses pengiriman dan penyimpanan benang di gudang. Kualitas benang yang
buruk disebabkan oleh kesalahan dalam pemilihan supplier benang dan
ketidakstandaran strength (kekuatan) dari benang (banyak benang yang rapuh).
Benang pada cones habis sebelum waktunya disebabkan oleh NE (ukuran)
benang tidak sesuai dengan standar. Ukuran benang tidak sesuai standar
disebabkan oleh belum adanya data yang menunjang untuk bahan evaluasi
supplier. Benang tersangkut di ujung cones disebabkan oleh ujung cones yang
jelek, dalam hal ini ada sobekan pada cones. Benang yang sudah menipis akan
mudah putus bila tersangkut pada ujung cones yang sobek.
Machine
Akar permasalahan break ratio tinggi bila dilihat dari segi machine terjadi
karena ring tensioner pada creel kotor. Ring tensioner kotor disebabkan oleh
Universitas Kristen Petra
31
tingginya kadar debu di area produksi (fly waste). Fly waste akan berterbangan
dan menyangkut di ring tensioner. Penyebab lainnya ring tensioner kotor adalah
karena ring tensioner jarang dibersihkan. Operator lebih sibuk melakukan hal
lain dan tidak membersihkan ring tensioner secara berkala.
Environment
Akar permasalahan break ratio tinggi bila dilihat dari segi environment terjadi
karena kondisi area kerja yang kotor. Area kerja kotor disebabkan oleh jarang
dilakukan pembersihan area kerja. Area kerja jarang dibersihkan karena proses
bersih-bersih tidak dicantumkan di dalam SOP proses warping.
4.2.3.2 Analisa Akar Penyebab Timbulnya Delay Pada Warping
Analisa akar penyebab timbulnya delay/waiting antar beam pada proses
warping dilakukan karena melihat data waktu set up proses warping masih belum
berada dalam target yang ditetapkan perusahaan. Data waktu set up menunjukkan
bahwa pada waktu awal pengamatan (bulan Januari), mayoritas waktu set up adalah
selama 45 menit. Angka ini masih belum berada dalam target perusahaan yaitu 30
menit. Fishbone diagram penyebab waktu set up antar beam lama dapat dilihat pada
Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Fishbone Diagram Penyebab Waktu Set Up Antar Beam Lama
Gambar 4.6 menunjukkan analisa akar penyebab permasalahan jeda waktu
set up antar beam lama. Akar dari permasalahan delay yang lama ini dapat dilihat
dari lima segi, yaitu man, machine, material, method, dan environment. Penjelasan
untuk masing-masing bagian dapat dilihat pada penjabaran berikut ini.
Universitas Kristen Petra
32
Man
Akar permasalahan delay lama bila dilihat dari segi man terjadi karena waktu set
up mesin dan sambung benang lama. Waktu sambung benang yang lama
disebabkan oleh kurangnya kecekatan operator dalam bekerja (menyambung
benang). Faktor penyebab lainnya adalah karena pada setiap shift terdapat
operator baru yang masih belum terlatih dalam menyambung benang.
Machine
Akar permasalahan delay lama bila dilihat dari segi machine terjadi karena
mesin belum bisa beroperasi. Mesin belum bisa beroperasi karena belum
tersedianya beam kosong. Proses tidak bisa berlangsung tanpa beam kosong
tersebut. Beam kosong belum tersedia karena stok beam isi masih menumpuk di
proses sizing dan celup indigo. Beam kosong belum tersedia juga karena jumlah
beam tidak genap. Perusahaan memiliki tiga set beam besar yang berarti
seharusnya terdapat 30 beam. Kondisi saat ini, ada satu beam yang rusak dan
belum bisa diperbaiki. Kekurangan satu beam tersebut cukup mengganggu flow
produksi.
Material
Akar permasalahan delay lama bila dilihat dari segi material disebabkan oleh
ukuran benang yang berbeda-beda, dimana semakin kecil benang maka akan
semakin sulit dalam proses set up. Benang berukuran kecil sulit dalam proses set
up karena tension benang kendur. Tension kendur ini seringkali menyebabkan
benang mudah terlepas dari tensioner, sehingga operator membutuhkan lebih
banyak waktu untuk mencucuk ulang benang pada lubang tensioner.
Method
Akar permasalahan delay lama bila dilihat dari segi method disebabkan oleh
penugasan operator yang belum tepat. Kondisi awal pengamatan, diambil contoh
shift siang dan malam yang terdiri dari tiga operator per shift. Dua operator akan
menyambung benang sedangkan satu operator lainnya akan membereskan
starter sisa tarikan sebelumnya. Hal ini memakan waktu cukup lama. Penugasan
operator yang belum tepat terjadi karena belum ada SOP yang jelas mengenai
penugasan operator dalam tiap shift.
Universitas Kristen Petra
33
Environment
Akar permasalahan delay lama bila dilihat dari segi environment terjadi karena
jalur transportasi beam terhambat. Jalur transportasi terhambat karena banyak
barang yang menutupi jalan, sedangkan hanya tersedia satu jalur transportasi
yang dapat dilalui oleh beam. Contoh barang yang menutupi jalan adalah kain
yang akan diproses bakar bulu. Kain akan diletakkan di dekat mesin bakar bulu,
namun menghalangi akses transportasi dari beam.
4.2.3.3 Analisa Akar Penyebab Timbulnya Delay Pada Dyeing Sizing
Analisa akar penyebab timbulnya delay/waiting antar set pada proses
dyeing sizing dilakukan karena melihat data waktu set up (waktu pergantian set)
yang masih belum konsisten berada di dalam batas yang diberikan perusahaan. Data
waktu set up menunjukkan bahwa pada waktu awal pengamatan (bulan Januari
sampai Februari) mayoritas waktu masih berada di atas batas yang diberikan
perusahaan yaitu 180 menit (tiga jam). Fishbone diagram penyebab waktu set up
antar set lama dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Fishbone Diagram Penyebab Waktu Set Up Antar Set Lama
Gambar 4.7 menunjukkan analisa akar penyebab permasalahan waktu set
up antar set pada proses dyeing sizing lama. Akar dari permasalahan waktu set up
Universitas Kristen Petra
34
dyeing sizing masih berada di luar target ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari
segi man dan method. Penjelasan untuk masing-masing bagian dapat dilihat pada
penjabaran berikut ini.
Man
Akar permasalahan delay lama bila dilihat dari segi man terjadi karena operator
membutuhkan waktu untuk mempersiapkan obat pewarna. Operator
membutuhkan waktu untuk mempersiapkan disebabkan karena obat terkadang
belum dinaikkan ke area masak dan operator tidak mau memasak lebih awal.
Obat belum dinaikkan ke area masak terjadi karena terkadang obat belum
dikirim oleh bagian gudang dan operator tidak mau menaikkan obat lebih awal
(operator menunda menaikkan obat hingga mau habis set).
Method
Akar permasalahan delay antar set masih terlalu lama bila dilihat dari segi
method disebabkan oleh prioritas pekerjaan dan waktu pengerjaan yang masih
belum jelas. Prioritas pekerjaan dan waktu pengerjaan yang masih belum jelas
dikarenakan oleh kesadaran dan kerjasama antar tim dan shift masih kurang.
Operator dalam satu tim/shift masih kurang kesadaran dan kerjasama untuk
membantu pekerjaan anggota lainnya ketika ada waktu luang (tidak sibuk).
Operator antar shift masih kurang dalam hal kesadaran dan kerjasama, dalam
artian terkadang masih membebankan tugas untuk operator pada shift
berikutnya. Penyebab lainnya adalah karena belum adanya SOP/Jobdesc yang
jelas mengenai prioritas pekerjaan mana yang harus dilakukan lebih awal dan
kapan harus dikerjakannya.
4.2.3.4 Analisa Akar Penyebab Timbulnya Non-Utilized Talent
Non-utilized talent merupakan salah satu waste dimana operator tidak
bekerja sesuai kemampuan maksimalnya atau dapat dikatakan tidak maksimal.
Utilitas operator yang tidak merata antar satu dengan lain, dimana ada yang bekerja
dengan maksimal (sibuk) dan ada yang bekerja lebih santai, juga dapat
dikategorikan jenis waste ini. Analisa akar penyebab timbulnya non-utilized talent
dilakukan dengan mengamati secara langsung pada saat proses produksi
Universitas Kristen Petra
35
berlangsung. Fishbone diagram penyebab utilitas operator tidak merata dapat
dilihat pada Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Fishbone Diagram Penyebab Utilitas Operator Tidak Merata
Gambar 4.8 menunjukkan analisa akar penyebab permasalahan utilitas
operator tidak merata pada proses warping. Akar dari permasalahan utilitas
operator tidak merata ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi man dan method.
Penjelasan untuk masing-masing bagian dapat dilihat pada penjabaran berikut ini.
Man
Akar permasalahan utilitas operator tidak merata bila dilihat dari segi man terjadi
karena tidak semua operator dalam satu shift aktif bekerja. Tidak semua operator
aktif bekerja karena kurangnya kerjasama dalam tim. Kurang kerjasama yang
dimaksud adalah operator yang tidak memegang headstock, setelah
menyelesaikan tugas jarang membantu operator headstock. Operator samping
tidak membantu mengantarkan benang putus ke headstock, sehingga operator
headstock harus turun sendiri mengambil ke belakang. Faktor lainnya adalah
karena operator kurang inisiatif untuk membantu temannya setelah pekerjaannya
selesai. Intinya adalah operator yang sudah selesai mengerjakan pekerjaannya
cenderung untuk beristirahat dibanding standby untuk membantu jika ada
benang putus.
Method
Akar permasalahan utilitas operator tidak merata bila dilihat dari segi method
disebabkan oleh pembagian kerja operator yang belum jelas. Hal ini terjadi
Universitas Kristen Petra
36
karena sampai saat ini belum ada SOP yang jelas mengenai jobdesc untuk tiap
operator. Jobdesc yang dimaksud adalah tiga orang operator akan ditempatkan
dimana saja, kemudian setelah selesai mengerjakan tugas, operator harus
standby dimana atau mengerjakan tugas apa.
4.2.3.5 Analisa Akar Penyebab Timbulnya Inventory
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat inventory menumpuk
antara proses warping dengan proses sizing dan celup indigo. Penumpukan di antara
kedua proses ini berupa beam yang berisi helaian benang yang siap untuk diproses.
Inventory beam warping dapat dilihat pada Gambar 4.9.
Gambar 4.9 Inventory Beam Warping
Inventory yang berlebihan ini menyebabkan proses warping terkadang
harus menunggu beam kosong untuk dapat melanjutkan proses produksi. Analisa
akar penyebab timbulnya inventory dilakukan dengan menggunakan fishbone
diagram. Fishbone diagram penyebab timbunya inventory dapat dilihat pada
Gambar 4.10.
Universitas Kristen Petra
37
Gambar 4.10 Fishbone Diagram Penyebab Inventory
Gambar 4.10 menunjukkan analisa akar penyebab permasalahan
timbulnya inventory antara proses warping dengan proses sizing dan celup indigo.
Akar dari permasalahan timbulnya inventory WIP ini dapat dilihat dari dua segi,
yaitu segi man dan method. Penjelasan untuk masing-masing bagian dapat dilihat
pada penjabaran berikut ini.
Man
Akar permasalahan timbulnya inventory bila dilihat dari segi man terjadi karena
waktu ganti set pada proses sizing dan celup indigo belum konsisten. Waktu
ganti set masih tidak konsisten berada di dalam batas yang diberikan perusahaan
yaitu tiga jam. Data waktu pergantian set proses sizing dan celup indigo belum
bisa didapatkan karena terjadi kesalahan pencatatan selama periode waktu
Januari hingga Maret. Waktu ganti set tidak konsisten karena untuk beberapa
kasus seperti penggantian jenis warna membutuhkan waktu lebih lama.
Penggantian warna membutuhkan waktu lama karena operator harus
memindahkan cairan pada bak celup dan menguras bak sebelum diisi kembali.
Faktor lainnya adalah karena terdapat beberapa operator baru yang masih belum
terlatih. Pekerjaan saat penggantian set apabila dilakukan oleh operator yang
terlatih akan dapat selesai dengan lebih cepat, sedangkan saat ini butuh
diarahkan terlebih dahulu.
Universitas Kristen Petra
38
Method
Akar permasalahan timbulnya inventory bila dilihat dari segi method disebabkan
overproduction dari proses warping. Waste inventory memiliki hubungan secara
langsung dengan waste overproduction. Overproduction pada proses warping
terjadi karena ketidakseimbangan produksi antar kedua proses.
Ketidakseimbangan yang dimaksud adalah proses warping terus produksi
bahkan saat proses sizing dan celup indigo berhenti untuk scouring/cleaning.
Dapat disimpulkan timbulnya inventory karena proses warping mencuri start
produki. Faktor lainnya selain karena mencuri start adalah karena lead time dari
proses sizing dan celup indigo sejatinya memang lebih lama dibanding proses
warping. Warping mulai lebih awal ditambah lead time sizing dan celup indigo
yang lebih lama membuat penumpukan inventory WIP di antara kedua proses
tersebut.
4.2.3.6 Analisa Akar Penyebab Timbulnya Overprocessing
Overprocessing adalah proses/kegiatan tambahan yang dilakukan padahal
seharusnya tidak perlu dilakukan. Overprocessing terjadi pada bagian proses
warping, dimana terjadi proses persiapan tambahan untuk benang. Benang cacat
dan proses tambahan dapat dilihat pada Gambar 4.11.
Gambar 4.11 Benang Cacat dan Proses Tambahan
Universitas Kristen Petra
39
Proses persiapan tambahan yang dilakukan adalah proses pembongkaran
tepian benang yang rusak pada cones. Pembongkaran ini akan memerlukan waktu
tambahan dan akan menyebabkan panjang benang berbeda antar cones. Analisa
akar penyebab timbulnya overprocessing dilakukan dengan menggunakan fishbone
diagram. Fishbone diagram penyebab timbulnya overprocessing dapat dilihat pada
Gambar 4.12.
Gambar 4.12 Fishbone Diagram Penyebab Timbulnya Overprocessing
Gambar 4.12 menunjukkan analisa akar penyebab permasalahan
timbulnya proses persiapan tambahan (overprocessing) pada proses warping. Akar
dari permasalahan timbulnya overprocessing ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu
segi material dan method. Penjelasan untuk masing-masing bagian dapat dilihat
pada penjabaran berikut ini.
Material
Akar permasalahan overprocessing bila dilihat dari segi material terjadi karena
cones gulungan cacat. Cones cacat karena bahan baku yang digunakan jelek.
Kecacatan ini biasanya terjadi pada bagian tepi/permukaan luar dari gulungan
cones. Contoh dari kecacatan ini adalah pinggiran cones banyak benang yang
sobek/putus.
Method
Akar permasalahan overprocessing bila dilihat dari segi method disebabkan oleh
dua hal, yaitu kesalahan dalam proses pengiriman dan kesalahan dalam proses
loading/unloading. Kesalahan dalam proses pengiriman terjadi ketika benang
Universitas Kristen Petra
40
dalam karung didesak/dijejal di dalam truk sehingga benang saling bergesekan
satu dengan lain dan menimbulkan kerusakan. Kesalahan dalam proses
loading/unloading disebabkan oleh tiga hal, yaitu karena menggunakan palet
yang rusak, karung dibanting, dan karung banyak mengalami gesekan. Palet
rusak umumnya palet yang sudah berusia cukup lama, terdapat bagian-bagian
kayu yang telah tercabik, patah, dan terdapat paku yang menonjol keluar.
Benang yang diletakkan di atas palet akan tergesek dan mudah rusak terkena
bagian tajam dan kasar tersebut. Karung biasanya dibanting ke atas karung yang
lain, sehingga menyebabkan ada gesekan antar satu dengan lainnya. Hal tersebut
dapat membuat pinggiran benang terkikis.
4.2.4 Tahap Improve
Pemberian usulan perbaikan merupakan langkah selanjutnya yang harus
dilakukan setelah analisa mengenai akar permasalahan dari setiap waste yang ada
pada bagian persiapan PT. Alfa Sarana Insani dilakukan. Rencana perbaikan dibuat
dengan mempertimbangkan kondisi aktual dari proses persiapan saat ini.
Perusahaan ingin mengurangi waste yang ada di bagian persiapan, dengan tujuan
dapat membawa pengaruh positif bagi proses yang mengikuti di belakangnya.
Seluruh usulan perbaikan yang diberikan akan didiskusikan terlebih dahulu dengan
pihak perusahaan sebelum direalisasikan ke lapangan. Usulan perbaikan untuk
mengurangi terjadinya waste di lantai persiapan dapat dilihat pada bagian
selanjutnya.
4.2.4.1 Usulan Perbaikan Untuk Mengurangi Defect
Defect terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi
benang, kondisi area kerja, dan sebagainya. Defect merupakan salah satu
permasalahan yang penting untuk segera ditindaklanjuti. Usulan perbaikan yang
diberikan untuk permasalahan kondisi benang adalah dengan mengkaji ulang data
yang ada dan melihat kondisi benang yang digunakan. Perusahaan berdasarkan data
yang ada dapat mulai memilah mana supplier yang baik dan tidak, mana yang layak
dan dipertahankan dan mana yang tidak lagi digunakan. Data mengenai NE benang
sangat dibutuhkan sebagai salah satu bahan evaluasi, oleh sebab itu disarankan agar
Universitas Kristen Petra
41
pihak perusahaan rutin melakukan pengambilan data. Usulan perbaikan lainnya
adalah dengan membuat quality plan untuk pemeriksaan kualitas incoming material
benang. Quality plan untuk pemeriksaan kualitas incoming material benang dapat
dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Quality Plan Pemeriksaan Kualitas Incoming Material Benang
Usulan perbaikan yang diberikan untuk permasalahan kondisi kerja adalah
dengan menambahkan kebersihan sebagai bagian dari tanggungjawab operator.
Tanggungjawab untuk bersih-bersih ditambahkan ke dalam SOP/Jobdesc yang ada
saat ini, sehingga operator mengetahui dan melakukan apa yang menjadi tugasnya.
Operator harus membersihkan area kerja, baik itu bagian mesin maupun bagian
lantai produksi dan sekitarnya. Bagian terpenting yang harus selalu dibersihkan
adalah tensioner pada creel. Tensioner yang kotor dapat menyebabkan tension
benang berbeda, benang menyangkut dan kemudian putus.
Usulan perbaikan selanjutnya adalah melengkapi SOP/Jobdesc dengan
instruksi mengenai arah pemasangan cones pada creel dan instruksi mengenai
perbaikan ujung cones bila dibutuhkan. Selama ini bila ujung cones rusak/jelek,
operator akan membalik posisinya, padahal seharusnya tidak boleh dilakukan.
Pembalikan posisi cones dapat merusak twist dari benang. Hal ini penting untuk
diketahui dan diperhatikan oleh operator.
Usulan perbaikan di atas telah diimplementasikan pada lantai produksi
bagian persiapan. Hasil dari perbaikan dibandingkan dengan kondisi awal sebelum
perbaikan untuk melihat apakah perbaikan yang dilakukan benar-benar berdampak
bagi perusahaan. Perbandingan untuk seluruh penyebab utama break ratio tinggi
sebelum dan sesudah perbaikan dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Universitas Kristen Petra
42
Tabel 4.9 Tabel Perbandingan Sebelum dan Sesudah Perbaikan
Sebelum Perbaikan Setelah Perbaikan
Sebab putus/stop Total
kejadian
Kejadian
per hari
Total
kejadian
Kejadian
per hari
Lemah 4324 66.52 2044 41.71
Melintir 9 0.14 0 0
Sambungan lepas 300 4.62 0 0
Slubs 449 6.91 123 2.51
Gulungan kusut 170 2.62 43 0.88
Gulungan cacat 1188 18.28 1037 21.16
Kotoran 1664 25.60 600 12.24
Cone habis 1571 24.17 2029 41.41
Twist kurang 7 0.11 0 0.00
Nyangkut
cones/ring 1533 23.58 2117 43.20
Gulungan empuk 2 0.03 0 0
Bobin
cacat/gepeng 20 0.31 0 0
TOTAL 11237 172.88 7993 163.12
Periode waktu pengambilan data sebelum perbaikan adalah selama 65 hari,
sedangkan periode waktu pengambilan data setelah perbaikan adalah selama 49
hari. Perbedaan lama waktu pengambilan data menyebabkan data yang ada harus
disetarakan dari total kejadian menjadi jumlah kejadian per hari. Urutan empat
penyebab utama break ratio tinggi saat sebelum perbaikan dilakukan adalah karena
lemah, kotoran, cone habis, dan menyangkut di cones/ring. Break ratio tinggi
karena benang lemah telah mengalami penurunan dari 66,52 kejadian per hari
menjadi 41,71 kejadian per hari. Break ratio tinggi karena kotoran telah mengalami
penurunan dari 25,6 kejadian per hari menjadi 12,24 kejadian per hari. Break ratio
tinggi karena cones habis mengalami peningkatan dari 24,17 kejadian per hari
menjadi 41,41 kejadian per hari. Break ratio tinggi karena menyangkut di
ring/cones mengalami peningkatan dari 23,58 kejadian per hari menjadi 43,2
kejadian per hari. Urutan empat penyebab utama break ratio tinggi setelah
perbaikan dilakukan adalah karena lemah, menyangkut di cones/ring, cone habis,
dan gulungan cacat. Secara garis besar bila dilihat melalui total kejadian per hari
dari sebelum perbaikan dan setelah perbaikan dilakukan, telah terjadi penurunan
sebesar 9,75 kejadian per hari (dari 172,88 kejadian per hari menjadi 163,12
Universitas Kristen Petra
43
kejadian per hari). Penurunan yang terjadi telah membantu mengurangi waktu
produksi dari proses warping.
4.2.4.2 Usulan Perbaikan Untuk Mengurangi Delay Pada Warping
Penyebab terjadinya delay adalah karena waktu set up yang lama, operator
belum terlatih, sulit dalam proses sambung benang, jalur transportasi terhambat,
menunggu beam kosong, dan penugasan operator yang belum tepat. Waktu set up
yang lama memiliki keterkaitan dengan kurang terlatihnya operator dan kesulitan
dalam proses menyambung benang. Mayoritas kegiatan yang dilakukan pada saat
proses ganti beam adalah menyambung benang, dan dilakukan oleh operator secara
manual. Kecepatan operator dalam menyambung benang menjadi faktor yang
sangat penting. Tujuan yang ingin dicapai adalah mesin dapat sesegera mungkin
beroperasi, oleh sebab itu penugasan operator menjadi suatu hal yang sangat
penting. Kondisi awal pengamatan menunjukkan bahwa pada saat proses sambung
benang, dua orang operator akan menyambung benang sedangkan seorang operator
akan melepas starter hasil tarikan. Usulan perbaikan yang diberikan adalah dengan
mengatur ulang penugasan operator. Saat proses sambung benang, seluruh operator
yang ada, baik tiga maupun empat operator harus menyambung benang terlebih
dahulu. Penugasan operator yang baru ini dapat meminimkan waktu set up dan
mesin dapat segera beroperasi kembali. Dua atau tiga orang operator dapat melepas
starter sisa tarikan dan memasang cones yang baru pada saat mesin telah
beroperasi, sedangkan seorang operator menjaga headstock.
Usulan untuk menanggulangi terjadinya delay karena jalur transportasi
terhambat adalah dengan melakukan koordinasi dengan proses dyeing sizing.
Koordinasi dilakukan untuk mengatur mengenai proses penurunan beam kosong
yang sudah selesai diproses di dyeing sizing. Beam yang telah kosong sesegera
mungkin diturunkan dan diletakkan di dekat area warping agar pada saat
dibutuhkan tidak harus menunggu untuk diturunkan terlebih dahulu. Beam isi dari
warping akan diletakkan di dekat area peletakkan seperti biasanya (buffer).
Operator yang bertugas adalah seorang operator dyeing sizing dan seorang dari
warping, bertugas untuk membawa beam isi tersebut ke area creel dyeing sizing.
Operator warping bisa membantu mengirimkan beam isi dari buffer tengah ke area
Universitas Kristen Petra
44
creel dyeing sizing apabila operator dyeing sizing sedang melakukan penggantian
set. Beam kosong yang telah diproses akan diturunkan dan diletakkan kembali ke
area buffer tengah oleh operator dyeing sizing. Koordinasi yang baik dapat
mengurangi kemungkinan beam terjebak karena jalur transportasi tertutup oleh
barang.
Usulan untuk menanggulangi terjadinya delay karena harus menunggu
beam kosong dari proses dyeing sizing adalah dengan melakukan pengaturan
rencana produksi yang lebih balance. Tidak lengkapnya jumlah beam membuat
proses warping seringkali menunggu. Bagian PPIC harus mengatur perencanaan
produksi dengan lebih baik. Contoh pengaturan yang dilakukan adalah pada saat
proses dyeing sizing sedang scoring/cleaning, maka proses warping juga harus
berhenti (agar tidak start lebih awal dan kehabisan beam). Pengaturan juga dapat
dilakukan dengan menetapkan hari kerja dan libur yang berbeda antar kedua proses.
Data waktu set up warping yang diambil menunjukkan perbandingan
antara sebelum dan setelah dilakukannya perbaikan. Rangkuman data waktu set up
warping mulai awal (sebelum perbaikan) sampai setelah perbaikan dapat dilihat
pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Rangkuman Data Waktu Set Up Warping Setelah Perbaikan
Waktu (menit)
20' 25' 30' 35' 40' 45' 50' Total
Bulan
Januari 0 0 34 0 95 12 1 142
0% 0% 24% 0% 67% 8% 1% 100%
Februari 0 0 47 3 105 3 8 166
0% 0% 28% 2% 63% 2% 5% 100%
Maret 0 2 63 18 101 3 0 187
0% 1% 34% 10% 54% 2% 0% 100%
April 17 17 161 31 2 1 0 229
7% 7% 70% 14% 1% 0% 0% 100%
Mei 20 2 69 0 0 0 0 91
22% 2% 76% 0% 0% 0% 0% 100%
Rangkuman data waktu set up warping bila dilihat dari sejak awal
pengamatan hingga saat ini telah mengalami peningkatan (semakin baik dan cepat).
Universitas Kristen Petra
45
Waktu set up pada bulan Januari dan Februari mayoritas berada pada 40 menit.
Waktu tersebut semakin cepat dari bulan ke bulan, dapat dilihat dari penurunan
yang terjadi pada persentase waktu set up 40 menit dan meningkatnya persentase
waktu set up 30 menit. Waktu set up pada bulan April mayoritas telah beralih dari
40 menit (54% pada bulan Maret) ke 30 menit (70%). Waktu set up pada setengah
bulan Mei menunjukkan kemajuan drastis. Mayoritas waktu set up masih berada
pada 30 menit (76%) dan 22% waktu set up sudah berada dalam waktu 20 menit.
Perbaikan ini bila dipertahankan dan dilakukan secara terus menerus maka akan
membawa dampak yang baik bagi perusahaan.
4.2.4.3 Usulan Perbaikan Untuk Mengurangi Delay Pada Dyeing Sizing
Penyebab terjadinya delay adalah karena obat belum dikirim dari gudang,
operator tidak mau menaikkan dan memasak obat lebih awal, kurangnya kesadaran
dan kerjasama operator, dan belum adanya SOP/Jobdesc yang jelas. Usulan untuk
menanggulangi terjadinya delay pada proses pergantian set di dyeing sizing adalah
dengan menambahkan poin prioritas pekerjaan dan waktu pengerjaannya ke dalam
SOP/Jobdesc. Keberadaan SOP/Jobdesc ini diharapkan dapat menjadi patokan
untuk seluruh operator dalam melakukan pekerjaannya. Usulan lainnya adalah
dengan melakukan briefing kepada seluruh operator dyeing sizing agar operator
antar tim atau antar shift dapat saling mendukung bukan saling membebankan.
Komunikasi dengan pihak gudang juga menjadi salah satu faktor penting, agar obat
dapat tersedia pada saat dibutuhkan (tidak terlambat).
Usulan perbaikan telah diimplementasikan pada proses dyeing sizing.
Perbaikan dinilai berhasil apabila dapat menurunkan waktu persiapan dari proses
dyeing sizing. Waktu persiapan/set up proses dyeing sizing sebelum dan sesudah
perbaikan dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11 Perbandingan Waktu Set Up Sebelum dan Sesudah Perbaikan
Sebelum Sesudah
IN 38.9% 42.5%
OUT 61.1% 57.5%
Universitas Kristen Petra
46
Baris bertuliskan “IN” menunjukkan persentase waktu persiapan proses dyeing
sizing yang berada dalam target perusahaan, sedangkan baris “OUT” menunjukkan
persentase waktu persiapan yang berada di luar target perusahaan. Persentase waktu
persiapan proses dyeing sizing yang berada di luar target perusahaan telah
mengalami sedikit penurunan setelah perbaikan dilakukan. Persentase waktu
persiapan dyeing sizing yang berada di luar target telah mengalami penurunan
sebesar 3,6% dari 61,1% menjadi 57,5%.
4.2.4.4 Usulan Perbaikan Untuk Mengurangi Non-Utilized Talent
Waste ini terjadi karena tidak semua operator aktif bekerja dalam satu
tim/shift. Seringkali terlihat ada operator yang paling dominan sedangkan dua atau
tiga operatornya tidak terlihat bekerja dengan maksimal. Hal ini juga tak lepas dari
belum jelasnya SOP/Jobdesc mengenai pembagian tugas operator. Usulan
perbaikan yang diberikan adalah diadakan briefing dan training untuk operator agar
mereka tahu dengan jelas mengenai tanggungjawab yang harus dikerjakannya.
Usulan lainnya adalah dengan memasukkan pembagian tugas operator ke dalam
SOP/Jobdesc yang jelas, sehingga setiap operator tahu apa yang harus
dikerjakannya. Penulisan dalam SOP/Jobdesc akan memudahkan operator untuk
dapat melihat kembali mengenai tanggungjawabnya selama jam shift berlangsung.
Usulan perbaikan telah diimplementasikan di proses warping. Pembagian
tugas telah diatur kembali agar semua operator memiliki porsi kerja yang seimbang
antar operator headstock dengan operator creel. Perbedaan tugas kerja sebelum
perbaikan dan setelah perbaikan dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4.12.
Universitas Kristen Petra
47
Tabel 4.12 Perbedaan Tugas Kerja Sebelum dan Sesudah Perbaikan Dilakukan
Sebelum Perbaikan Setelah Perbaikan
Operator Mesin
Headstock
Mengoperasikan mesin
Turun ke creel
mengambil benang
Menyambung benang
saat terjadi putus
Mengoperasikan mesin
Menerima benang dari
operator samping
Menyambung benang
Operator Bagian
Samping (Creel) Bersih-bersih
Bersih-bersih
Memasang cones untuk
beam selanjutnya
Mengantar benang
bekas putus dari creel
ke headstock
4.2.4.5 Usulan Perbaikan Untuk Mengurangi Inventory
Inventory timbul karena proses warping overproduction dan waktu ganti
set pada proses sizing yang belum konsisten dalam standar waktu yang diberikan
perusahaan. Warping dikatakan overproduction karena pada saat proses sizing
melakukan cleaning/scouring, proses warping tetap produksi normal sebanyak tiga
shift. Kondisi ini menyebabkan banyak beam hasil warping yang menumpuk,
menunggu untuk diproses di dyeing sizing. Lead time proses dyeing sizing juga
memang pada dasarnya lebih lama dibanding proses warping, sehingga turut
menambah ketertinggalan bagi proses dyeing sizing. Usulan yang diberikan untuk
menanggulangi hal tersebut adalah pengaturan ulang jadwal produksi, dimana saat
dyeing sizing scouring maka warping juga ikut berhenti untuk scoring. Hal ini
memungkinkan jumlah beam yang menunggu untuk diproses oleh dyeing sizing
tidak terlalu banyak (tetap ada safety stock beam kosong untuk warping). Jumlah
beam yang menunggu untuk diproses maksimal satu set yang terdiri atas sepuluh
beam. Pengaturan lain dapat dilakukan dengan mengatur jadwal produksi, dimana
hari/jam kerja proses dyeing sizing lebih lama dibandingkan jam kerja proses
warping. Hal ini akan membantu membuat produksi berjalan dengan lebih
seimbang antar kedua proses. Usulan yang diberikan untuk mengurangi waktu ganti
set dyeing sizing adalah dengan mendahulukan proses persiapan yang
membutuhkan waktu lebih lama. Operator harus menaikkan obat dan mulai
Universitas Kristen Petra
48
memasak sebelum benang pada creel habis, sehingga pada saat benang habis
operator dapat fokus melakukan persiapan lain yang diperlukan.
Usulan perbaikan telah diimplementasikan baik pada proses warping
maupun pada proses dyeing sizing. Kondisi di lapangan saat ini menunjukkan
bahwa sudah tidak ada lagi beam yang menumpuk, menunggu untuk diproses pada
dyeing sizing. Hal ini dapat dilihat melalui jumlah beam kosong yang tersedia untuk
diisi pada proses warping. Beam kosong selalu tersedia menandakan kedua proses
telah berjalan dengan seimbang.
4.2.4.6 Usulan Perbaikan Untuk Mengurangi Overprocess
Waste overprocess terjadi pada proses warping ketika ada benang yang
cacat di bagian tepinya. Kecacatan tepian benang dapat disebabkan oleh faktor
bahan baku maupun faktor penanganan benang saat dikirim dan diturunkan. Usulan
perbaikan yang diberikan adalah dengan memberi masukan ke supplier agar benang
tidak dipaksa/didesak ke dalam truk, karena hanya akan menyebabkan benang
saling bergesekan dan rusak. Usulan lainnya adalah dengan mengganti palet yang
digunakan untuk meletakkan tumpukan benang. Palet yang selama ini digunakan
sudah ada bagian yang patah/rusak dan ada paku yang menonjol yang dapat
merusak benang. Palet yang baru dapat meminimalisasi kemungkinan benang rusak
karena tertusuk paku atau tergesek kayu yang patah. Usulan lainnya adalah
berhubungan dengan proses penurunan benang dalam karung. Selama ini tumpukan
karung benang terlalu tinggi, bisa mencapai 15 tumpuk karung. Operator kesulitan
untuk menurunkan benang pada bagian atas sehingga akan melempar karung
tersebut ke bawah. Pengurangan ketinggian tumpukan karung dapat mengurangi
resiko benang rusak karena dibanting dari ketinggian.
4.2.5 Tahap Control
Tahap control merupakan tahap terakhir pada proses perbaikan yang
dilakukan. Tahap ini merupakan tahap dimana pemonitoran dan evaluasi terhadap
hasil perbaikan dilakukan. Perusahaan tentu ingin memastikan bahwa
pengimplementasian perbaikan pada proses akan terus bertahan dan tidak kembali
ke kondisi awal sebelum perbaikan. Hasil perbaikan akan didokumentasikan,
Universitas Kristen Petra
49
distandarisasi, dan disebarluaskan sebagai pedoman kerja standar. Tahap control
untuk setiap perbaikan dapat dilihat pada bagian selanjutnya.
4.2.5.1 Tahap Control Untuk Waste Defect
Perbaikan yang telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya defect
adalah dengan melakukan pengambilan data mengenai kualitas dan kuantitas
benang (NE/ukuran benang) sebagai bahan evaluasi untuk supplier. Pengambilan
data sempat diambil untuk beberapa set saja, dan saat ini berhenti dikarenakan
belum ada operator khusus yang ditugaskan untuk mengambil data tersebut. Data
benang dirasa perlu oleh perusahaan, oleh karena itu proyek ini telah kembali
dijalankan dengan menugaskan seorang operator untuk menimbang dan mencatat
data. Data harian warping dapat digunakan untuk melihat kualitas dari benang pada
beam, untuk melihat penyebab putus benang pada saat proses warping berlangsung.
Contoh data harian warping dapat dilihat pada Lampiran 6.
Perbaikan kedua adalah dengan melakukan pembersihan mesin/tensioner
dan area kerja secara berkala. Kebersihan saat ini bila dibandingkan dengan kondisi
awal pengamatan telah mengalami banyak peningkatan. Kondisi tensioner sebelum
dan sesudah dibersihkan secara rutin dapat dilihat pada Gambar 4.13.
Universitas Kristen Petra
50
Gambar 4.13 Kondisi Tensioner Sebelum dan Sesudah Rutin Dibersihkan
Tensioner dibersihkan di seluruh bagiannya agar tidak ada debu yang
menghambat laju benang. Operator setiap shift berkewajiban untuk membersihkan
tensioner setiap produksi berlangsung. Pembersihan area kerja juga dilakukan
secara terus menerus agar tidak banyak debu (fly waste) yang beterbangan di sekitar
area produksi. Kondisi area kerja sebelum dan sesudah dibersihkan dapat dilihat
pada Gambar 4.14.
Universitas Kristen Petra
51
Gambar 4.14 Kondisi Area Kerja Sebelum dan Sesudah Rutin Dibersihkan
Kebersihan akan menjadi satu poin yang ditambahkan pada SOP/Jobdesc
dalam proses warping, dengan tujuan untuk mengingatkan operator selalu menjaga
kebersihan mesin dan lingkungan kerja. Perbaikan ketiga adalah melengkapi
SOP/Jobdesc dengan instruksi mengenai arah pemasangan cones pada creel dan
instruksi mengenai perbaikan ujung cones bila dibutuhkan. Arah cones yang
terpasang harus sama agar tegangan dari benang juga sama. Cones dengan ujung
yang jelek/sobek harus diperbaiki oleh operator tanpa membalik posisi
peletakannya. Hal ini juga dirasa perlu untuk ditambahkan ke dalam SOP/Jobdesc,
dengan tujuan agar dapat terus menjadi acuan kerja bagi operator. SOP/Jobdesc
proses warping dapat dilihat pada Lampiran 9. Instruksi kerja juga dibuat dengan
tujuan sebagai panduan kerja yang standar untuk setiap operator. Instruksi kerja
(Work Instruction) untuk proses set up warping dapat dilihat pada Lampiran 12.
Instruksi kerja (Work Instruction) untuk proses produksi warping dapat dilihat pada
Lampiran 13.
Universitas Kristen Petra
52
4.2.5.2 Tahap Control Untuk Waste Delay Pada Warping
Perbaikan pertama yang dilakukan untuk mengurangi delay antar beam
pada proses warping adalah dengan mengatur ulang penugasan operator pada saat
proses ganti beam (sambung benang). Perbedaan dengan kondisi awal adalah
operator semuanya langsung menyambung benang terlebih dahulu agar mesin bisa
cepat beroperasi kembali, baru melakukan tugas lain seperti melepas cones.
Perbaikan ini membawa hasil positif dalam mengurangi waktu ganti beam.
Perbaikan ini dirasa perlu untuk dipertahankan, oleh sebab itu pengaturan
penugasan operator akan ditambahkan ke dalam SOP/Jobdesc proses warping.
SOP/Jobdesc proses warping dapat dilihat pada Lampiran 9. Instruksi kerja juga
dibuat dengan tujuan sebagai panduan kerja yang standar untuk setiap operator.
Instruksi kerja (Work Instruction) untuk proses set up warping dapat dilihat pada
Lampiran 12.
Perbaikan kedua yang dilakukan untuk mengurangi delay antar beam pada
proses warping adalah dengan melakukan koordinasi dengan proses dyeing sizing
dan bagian finishing. Kesepakatan tidak hanya dilakukan untuk proses menurunkan
beam kosong, tetapi untuk proses meletakkan beam dan mempersiapkan jalur yang
akan dilalui beam. Kesepakatan ini ditambahkan ke dalam SOP (tertulis), dan harus
dijalankan oleh semua pihak. SOP/Jobdesc proses warping, dyeing sizing, dan
BBSF dapat dilihat pada Lampiran 11.
Perbaikan ketiga yang dilakukan untuk mengurangi delay antar beam pada
proses warping adalah dengan mengatur jadwal untuk kedua proses agar tidak ada
proses menunggu beam kosong selesai diproses. Perencaan paling mudah dilakukan
dengan mengatur jadwal scouring bersama untuk kedua proses. Masing-masing
operator untuk kedua bagian akan membersihkan bagiannya masing-masing,
dengan maksud tidak ada proses yang mulai produksi lebih awal. Perencanaan lain
dapat dilakukan dengan mengatur hari kerja kedua proses (warping ada libur
bersama sedangkan sizing jalan terus dengan berlaku libur gilir), dengan tujuan agar
kedua proses dapat berjalan dengan seimbang. Perbaikan ini dapat dikontrol apakah
sudah berjalan atau tidak dengan melihat pada perencanaan produksi yang telah
dibuat oleh bagian PPIC dan jadwal scouring yang telah ditentukan bersama oleh
bagian produksi dan PPIC. Buku komunikasi warping dan data harian warping
Universitas Kristen Petra
53
dapat digunakan untuk mengontrol apakah proses warping masih menunggu beam
atau tidak. Contoh data harian warping di lapangan dapat dilihat pada Lampiran 6
dan contoh buku komunikasi warping dapat dilihat pada Lampiran 7.
4.2.5.3 Tahap Control Untuk Waste Delay Pada Dyeing Sizing
Perbaikan yang telah dilakukan adalah melakukan briefing kepada seluruh
operator dyeing sizing agar operator antar tim atau antar shift dapat saling
mendukung bukan saling membebankan. Perbaikan lain adalah dengan
menambahkan poin prioritas pekerjaan dan waktu pengerjaannya ke dalam
SOP/Jobdesc. Instruksi kerja juga dibuat dengan tujuan sebagai panduan kerja yang
standar untuk setiap operator. Instruksi kerja (Work Instruction) untuk proses set
up dyeing sizing dapat dilihat pada Lampiran 14.
Hasil dari perbaikan dapat dikontrol dengan melakukan pengecekan
langsung di lapangan dan dengan melihat data waktu pergantian ganti set dyeing
sizing pada buku catatan headstock. Contoh buku catatan headstock dapat dilihat
pada Lampiran 8. SOP/Jobdesc untuk bagian dyeing sizing dapat dilihat pada
Lampiran 10.
4.2.5.4 Tahap Control Untuk Waste Non-Utilized Talent
Perbaikan yang telah dilakukan adalah dengan melakukan briefing kepada
operator mengenai tanggungjawab mereka selama jam kerja berlangsung dan
mengenai penugasan operator. Penugasan operator ditambahkan ke dalam SOP,
sehingga operator dapat terus melihat, mengingat, dan melakukan apa yang menjadi
tanggungjawabnya. Hasil dari perbaikan dapat dilihat dengan melakukan
pengecekan langsung di lapangan, apakah operator telah berada pada posisi/tugas
yang seharusnya dikerjakannya. SOP/Jobdesc warping dapat dilihat pada Lampiran
9. Instruksi kerja juga dibuat dengan tujuan sebagai panduan kerja yang standar
untuk setiap operator. Instruksi kerja (Work Instruction) untuk proses warping
dapat dilihat pada Lampiran 12.
Universitas Kristen Petra
54
4.2.5.5 Tahap Control Untuk Waste Inventory
Perbaikan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya waste inventory
adalah dengan melakukan pengaturan jadwal produksi, tujuannya agar tidak banyak
stok menumpuk di antara kedua proses tersebut. Perencaan paling mudah dilakukan
dengan mengatur jadwal scouring bersama untuk kedua proses. Pengaturan jadwal
scouring bertujuan agar tidak ada proses yang mulai produksi lebih awal (mencuri
start). Perencanaan lain dapat dilakukan dengan mengatur hari kerja kedua proses
(warping ada libur bersama sedangkan dyeing sizing jalan terus dengan berlaku
libur gilir). Pengaturan ini bertujuan agar kedua proses dapat berjalan dengan
seimbang. Perbaikan ini dapat dikontrol apakah sudah berjalan atau tidak dengan
melihat pada perencanaan produksi yang telah dibuat oleh bagian PPIC. Perbaikan
juga dapat dikontrol dengan melihat data harian dan buku komunikasi warping.
Data harian warping dan buku komunikasi warping dapat digunakan untuk melihat
apakah masih banyak menunggu karena kehabisan beam (stok beam kosong habis
menunjukkan banyak inventory beam isi menumpuk). Contoh data harian warping
di lapangan dapat dilihat pada Lampiran 6 dan contoh buku komunikasi warping
dapat dilihat pada Lampiran 7. Kondisi di lapangan saat ini menunjukkan bahwa
WIP antar kedua proses sudah tidak lagi menumpuk seperti waktu awal pengamatan
dilakukan. Beam yang telah melewati proses warping tidak akan menunggu lama
untuk kemudian diproses pada bagian dyeing sizing (tidak sampai terjadi
penumpukan).
Perbaikan lain yang telah dilakukan adalah dengan mendahulukan proses
persiapan yang membutuhkan waktu lebih lama, seperti mempersiapkan obat
(menaikkan dan memasak). Instruksi kerja juga dibuat dengan tujuan sebagai
panduan kerja yang standar untuk setiap operator. Instruksi kerja (Work Instruction)
untuk proses dyeing sizing dapat dilihat pada Lampiran 13. Perbaikan ini dapat
dikontrol dengan melihat kondisi di lapangan, apakah operator sudah menjalankan
sesuai dengan SOP/Jobdesc yang telah dibuat. Pengontrolan lain dapat dilakukan
dengan melihat data waktu pergantian set pada buku catatan headstock dyeing
sizing, apakah sudah konsisten berada dalam target yang ditentukan selama tiga
jam. Contoh buku catatan headstock dapat dilihat pada Lampiran 8.
Universitas Kristen Petra
55
4.2.5.6 Tahap Control Untuk Waste Overprocess
Perbaikan yang telah dilakukan adalah memberi masukan/feedback ke
supplier ketika benang banyak yang rusak tepi, membuat palet baru sebagai ganti
palet-palet lama yang sudah rusak, dan mengurangi ketinggian tumpukan karung.
Palet lama memiliki banyak bagian yang rusak (kayu patah dan terkelupas) dan
paku menonjol yang mungkin merusak tepian benang dalam karung. Penggantian
palet lama dengan palet baru dengan kondisi yang baik akan mengurangi
kemungkinan benang rusak. Kondisi palet juga harus terus diperhatikan agar jangan
sampai ada kejadian benang/kain yang sobek karena palet. Palet lama dan palet baru
dapat dilihat pada Gambar 4.15.
Gambar 4.15 Palet Lama (Kiri) dan Palet Baru (Kanan)
Ketinggian tumpukan karung juga diubah dari yang semula 15 lantai (60
karung) menjadi 13 lantai (50 karung). Perubahan dilakukan agar kemungkinan
Universitas Kristen Petra
56
benang rusak akibat jatuh dari ketinggian dapat dikurangi. Keselamatan kerja
operator juga lebih terjamin karena tidak harus memanjat ke atas tumpukan.
Ketinggian tumpukan karung sebelum dan sesudah dikurangi dapat dilihat pada
Gambar 4.16.
Gambar 4.16 Ketinggian Tumpukan Karung Sebelum dan Sesudah Dikurangi